PERSONIFIKASI DAN SIMILE DALAM TERJEMAHAN KITAB DURRATUN NASHIHIN KARYA ACHMAD SUNARTO (TINJAUAN BALAGHAH) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S) Oleh NOVI ARYANITA 1110024000004 \ JURUSAN TARJAMAH FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015
96
Embed
PERSONIFIKASI DAN SIMILE DALAM TERJEMAHAN KITAB …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/27781/1/NOVI... · tidaknya makna yang meliputi gaya bahasa personifikasi dan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERSONIFIKASI DAN SIMILE DALAM TERJEMAHAN
KITAB DURRATUN NASHIHIN KARYA ACHMAD SUNARTO
(TINJAUAN BALAGHAH)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh
NOVI ARYANITA
1110024000004
\
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015
i
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
Nama : Novi Aryanita
NIM : 1110024000004
Jurusan: Tarjamah
1. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis asli yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya penulis asli
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka penulis bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 9 Januari 2015
Novi aryanita
ii
PERSONIFIKASI DAN SIMILE DALAM TERJEMAHAN
KITAB DURRATUN NASHIHIN KARYA ACHMAD SUNARTO
(TINJAUAN BALAGHAH)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Diajukan Oleh:
Novi Aryanita
NIM : 1110024000004
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, M.A Dr. Darsita Suparno, M.Hum
NIP: 195512061992031003 NIP:19610807 199303 2
iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Personifikasi dan Simile Dalam Terjemahan Kitab Durratun
Nashihin Karya Achmad Sunarto (Tinjauan Balaghah) telah diajukan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
S.S pada program studi Tarjamah.
Ciputat, 16 Januari 2015
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merangkap Anggota,
Dr. Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum Umi Kulsum, M.A
NIP: 197912290050110004 NIP: 197507232009012005
Anggota,
Penguji I Penguji II
Drs. A. Syatibi, M.A Drs. Ikhwan Azizi, M.A
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, M.A Dr. Darsita Suparno, M.Hum
NIP: 195512061992031003 NIP:19610807 199303 2
iv
PRAKATA
Alhamdullilah, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Ilahi Robbi
atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam tak lupa penulis
junjungkan pada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat-
Nya mampu mengenal, mencari, dan menegakkan syari’at Islam. Dalam hal ini
penulis menyadari, skripsi yang penulis karyakan ini masih jauh dari sempurna,
dan proses penulisannya tidak terjadi secara instant begitu saja butuh proses
panjang dalam menyelesaikannya. Skripsi ini merupakan sebuah karya penulisan
dalam memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis haturkan terimakasih kepada penerbit dan penerjemah Kitab
Durratun Nashihin. Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Dr. Oman Fathurrohman, M.A selaku dekan Fakultas Adab dan
Humaniora. Dr. Akhmad Saehudin, M.ag Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Tb.
Ade Asnawi, M.A selaku Ketua Jurusan Tarjamah (Periode 2015), Dr. Moch.
Syarif Hidayatullah, M.Hum selaku Ketua Jurusan Tarjamah (Periode 2015-
2018, Umi Kulsum, M.A selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah. Serta seluruh
dosen-dosen jurusan Tarjamah terima kasih atas segala ilmu dan pengetahuan
yang diberikan selama ini kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan
bermanfaat dan menjadi bekal dimasa depan. Beserta staff perpustakaan fakultas
v
adab dan humaniora penulis haturkan terimakasih, karena telah memebrikan izin
untuk meminjam buku sebagai referensi skripsi ini.
Secara khusus kepada dosen pembimbing, penulis mengucapkan terima
kasih tak terhingga kepada bapak Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail, M.A dan ibu
Dr. Darsita Suparno, M.Hum yang sudah meluangkan waktu ditengah
kesibukannya untuk membaca, mengoreksi, dan memberi referensi, serta
memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih juga kepada
bapak Drs. A. Syatibi, M.A dan Drs. Ikhwan Azizi, M.A yang sudah menjadi
penguji dalam sidang munaqasyah. Penghormatan serta salam cinta saya
haturkan kepada sosok yang sangat berjasa selama ini, yaitu kedua orangtua
penulis ayahanda (Asta) dan ibunda (Ayanih). Terima kasih Apa dan Ema atas
do’a yang tiada hentinya selalu dipanjatkan, serta dukungan dan motivasi yang
diberikan untuk penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
adik yang tersayang (Ayu Aulia) yang telah membantu dan mendukung penulis
sehingga penulisan skripsi ini selesai.
Kepada teman dan sahabat tarjamah masa kuliah angkatan 2010,
terimakasih atas hari-hari penuh canda dan sedikit dukanya Makhfiyyah, Hany,
Farhan, kholis, Syafaat, Humairoh, Nia, Eva, Asiah, Rifyal dan yang lainnya.
Terima kasih juga kepada adik-adik di jurusan Tarjamah yang selalu mendukung
penulis dalam penulisan skripsi ini, kemudian penulis ucapkan terima kasih
kepada someone spesial yaitu Ipan Paelani yang sudah membantu dan
menyemangati penulis setiap mengerjakan skripsi ini.
vi
Semoga skripsi yang masih jauh dari kesempurnaan ini bisa memberikan manfaat
bagi siapa saja terutama yang tertarik dengan dunia penerjemahan. Bila
ditemukan kekurangan dan kesalahan dalam karya tulis ini, harap disampaikan
kepada penulis, ini demi pengembangan ilmu pengetahuan dan pembelajaran
individual. Akhir kalam, atas segala perhatian, dukungan, dan bantuan dari
semuanya penulis haturkan terima kasih. Semoga karya ini bermanfaat bagi ilmu
pengetahuan begitu pun ilmu agama.
Ciputat, 9 Januari 2015
Penulis
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ............................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ iii
PRAKATA ....................................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................... v
PEDOMAN LITERASI ARAB-LATIN .......................................................... ix
ABSTRAK ....................................................................................................... xiii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ...................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 5
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................... 5
E. Sistematika Penulisan .............................................................. 6
BAB II : KERANGKA TEORI
A. Pengertian Penerjemahan ........................................................ 7
dan ilmu Nahwu (grammatical صفح نجهح )أ( ر ػاللح تؼهى انماػذ )ب( . لاػذ ح
.(gramatika/ صححح يرشح يغ لاػذ انهغح8 Balaghah bukan hanya studi tentang kata
5 Sugihastuti, Editor Bahasa, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar 2006), h. 28. 6 Umi Rukhiyatun, Tesis Gaya Bahasa Qasasal-Hayawan Fi Al-Qur’an (Analisis Stilistika),
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga), h. 2. 7 Muhammad Ali Al Khuli, A Dictionary Of Theoretical Linguistics English-Arabic, (Beirut:
Librairie du Liban, 1982). 8 Muhammad Ali Al Khuli, A Dictionary Of Theoretical Linguistics English-Arabic, (Beirut:
Librairie du Liban, 1982).
4
disaat sendirian, atau ketika berhubungan dengan kata lain, akan tetapi disamping
itu semua, balaghah juga merupakan studi tentang keindahan, keserasian,
ketepatan penempatan, dan bunyi kata. Bahkan balaghah juga mencakup studi
tentang hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain baik sesudah maupun
sebelumnya. Lebih dari itu, balaghah juga mengatur hubungan antara beberapa
kalimat dengan kalimat lain. 9
Kitab Durratun Nashihin dapat dikatakan yang kalimatnya mengandung
nilai sastra, karena kitab Durratun Nashihin adalah salah satu kitab yang
menyajikan tentang nasehat-nasehat, peringatan, cerita-cerita menarik, hikayat
dan penjelasan hukum. Kitab Durratun Nahihin ini sudah lama dikaji dan
dipelajari di kalangan Pondok Pesantren, Perguruan Tinggi Islam, bahkan
masyarakat dewasa pun mulai tertarik untuk membaca dan mempelajarinya.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan
judul Personifikasi dan Simile dalam Terjemahan Kitab Durratun Nashihin
Karya Achmad Sunarto (Tinjauan Balaghah)
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Permasalahan yang terungkap dalam kitab Durratun Nashihin karya
Usman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syakir Al-Khaubawiy terdiri banyak bab,
karenanya penelitian yang penulis lakukan lebih fokus dan tidak melebar. Maka di
dalam penulisan skripsi ini, penulis memberikan perumusan sebagai berikut:
9 Ahmad Syatibi, Pengantar Memahami Bahasa Al-Qur’an Balaghah 1 (Ilmu Bayan), (Jakarta: Adabia Press, 2012), h. i.
5
1. Bagaimana terjemahan gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam kitab
Durratun Nashihin?
2. Bagaimana terjemahan gaya bahasa simile yang terdapat dalam kitab Durratun
Nashihin?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui terjemahan gaya bahasa personifikasi yang terdapat dalam
kitab Durratun Nashihin.
2. Untuk mengetahui terjemahan gaya bahasa simile yang terdapat dalam kitab
Durratun Nashihin.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai gambaran dalam pengembangan ilmu pengetahuan terhadap tata
bahasa Indonesia dan bahasa Arab.
2. Sebagai bahan pemikiran dalam meningkatkan ilmu pengetahuan terhadap
penerjemahan.
D. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti menelaah berbagai penelitian terlebih dahulu dari survey
pustaka yang telah dilakukan, terutama pada jurusan tarjamah, peneliti belum
menemukan sebuah penelitian tentang Personifikasi dan Simile Terhadap
Terjemahan Kitab “Durratun Nashihin‟‟ Tinjauan Balaghah. Saya terinspirasi
dari saudara Fadli Muhammad dengan skripsi yang berjudul “PERSONIFIKASI
6
DALAM SURAH AL-BAQARAH (Analisis Terjemahan Al-Qur‟an Prof.
Dr.HAMKA)”, dan saudara Umar Mukhtar dengan skripsi yang berjudul
“Terjemahan Novel Aulâd Hâratinâ Karya Najîb Mahfûz: Studi Stilistika
Terhadap Serial “Rifa‟at Sang Penebus”. Namun dalam skripsi Fadli Muhammad
hanya menjelaskan tentang gaya bahasa personifikasi saja, kemudian dalam
skripsi Umar menjelaskan tentang gaya bahasa dalam studi stilistika, sedangkan di
sini saya akan menjelaskan tentang gaya bahasa personifikasi dan simile yang
terdapat dalam kitab Durratun Nashihin dalam tinjauan Balaghahnya.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam skripsi ini terbagi dalam V bab, terdiri dari :
Bab I Pendahuluan yang terdiri dari : latar belakang masalah. Agar
permasalahan yang diteliti lebih jelas dan tidak meluas maka dilakukan
pembatasan dan perumusan masalah, dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, dan terakhir sistematika penulisan.
Bab II Membahas tentang gambaran penerjemahan, dan gaya bahasa serta ilmu
balaghah.
Bab III Berisi metode penelitian dan gambaran objek penelitian.
Bab IV Analisis personofikasi dan simile terhadap terjemahan kitab Durratun
Nashihin dalam tinjauan balaghah.
Bab V Merupakan penutup yang mengenai: kesimpulan dan rekomendasi.
Kesimpulan ini berisikan semua kesimpulan dari seluruh analisis.
7
BAB II
KERANGKA TEORI
1. Pengertian Penerjemahan
Penerjemahan adalah suatu kegiatan mengalihbahasakan makna teks
sumber (BSu) ke dalam teks sasaran (BSa). Sebuah terjemahan harus dapat sesuai
dengan apa yang dipesankan oleh penulis, melalui teks-teks yang akan
diterjemahkan oleh penerjemah. Baik dalam memilih kata yang sepadan (diksi),
ataupun sebuah kata yang memiliki keterkaitan makna yang sesuai dari pesan teks
yang akan diterjemahkan. Penerjemahan juga merupakan sebuah kompleks yang
menurut kecermatan. Seorang penerjemah tidak hanya dituntut menguasai bahasa
sumber dan bahasa target dengan baik, namun juga harus menguasai isi materi
yang diterjemahkan. Selain itu, seorang penerjemah juga harus peka terhadap
berbagai faktor sosial, budaya, politik, dan emosi agar dapat menerjemahkan
secara tepat.
Ada dua jenis penerjemah yaitu penerjemah lisan (interpreting) dan tulisan
(translating). Penerjemah lisan biasanya dilakukan secara langsung dalam
menerjemahkannya, penerjemah di sini berfungsi sebagai mediator antara bahasa
sumber (pembicara) dengan bahasa sasaran (pendengar). Sedangkan penerjemah
tulisan membutuhkan beberapa teori dalam hal menerjemahkan, teori tersebut
berkedudukan sebagai mediator antara penulis dan pembaca.
8
Dalam kamus ػالوغح األجذ ف انهان edisi 1986 disebutkan seperti ini:
Jadi menerjemahkan adalah menyalin “kalam” (juga teks) atau
menjelaskannya dari bahasa tertentu ke dalam bahasa lain. Kalam di sini berarti
ide, pesan atau informasi. Jadi, yang disalin itu bukan huruf-huruf atau kata-kata
yang terpotong dari konteksnya atau lingkungannya-siyaqnya. Penyalinan
tersebut, sebagaimana dinyatakan oleh M.G. Rose, tidak hanya dalam bahasa
penerima, tetapi juga dalam bentuk kondisi serta keadaan masyarakat
penerimanya. Ini semua mesti dilaksanakan dengan mencari padanan praktis yang
terpelihara terus menerus sesuai dengan lingkungan penerjemah. Dalam batasan
seperti ini penerjemah tidak harus bahkan tidak boleh, linear, glossing, setia atau
harfiyyah.10
Catford mengatakan dalam bukunya A Linguistic Theory of Translation,
tentang definisi penerjemahan, yakni the replacement of textual material in one
language (SL) by equivalent textual material in another language (TL).
10 Nur Mufid, Kaserun AS. Rahman, Buku Pintar Menerjemah Arab-Indonesia (Cara Paling Tepat, Mudah dan Kreatif), (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), h.7.
9
(mengganti bahasa teks dalam bahasa sumber (BSu) dengan bahasa teks yang
sepadan dalam bahasa sasaran (BSa).11
Kemudian, J. Levy, mendefinisikan hal yang sama dalam bukunya
Translation as A Decision Process, seperti yang dikutip Nurachman Hanafi:
Translation is a creative process which always leaves the translator a freedom of
choice between several approximately equivalent possibilities of realizing
situational meaning. (terjemahan merupakan proses kreatif yang memberikan
kebebasan bagi penerjemah buat memilih kemungkinan padanan yang dekat
dalam mengungkapkan makna yang sesuai dengan situasinya).12
Adapun Eugence
A. Nida dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory and practice of
Translation, memberikan definisi penerjemahan sebagai berikut:
Translation consist in reproducing in the receptor language the closest
natural equivalent of the source language masaage, first in terms of meaning and
secondly in terms of style.13
(menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan
kembali di dalam bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan
sewajarnya sepadanan dengan pesan dalam bahasa sumber (BSu), pertama-tama
mengangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya).
Itulah tiga pendapat dari tokoh penerjemah yang masing-masing
menyatakan pendapatnya. Bisa kita simpulkan bahwa Penerjemahan adalah suatu
11 J.C Catford, A Linguistic Theory of Translation, (London: Oxford University Press, 1974),
Fourth Impression, p. 20 12 Nurchman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan, (Flores: Nusa Indah, 1986), h.24. 13 Eugene A. Nida and Charles R. Taber, The Theory and Practice of Translation, (Leiden:
The United Bible Societies, 1974), p.12.
10
proses pengubahan bentuk (teks) dari satu bahasa, biasa disebut bahasa sumber
(BSu) ke bahasa lain, biasa disebut bahasa sasaran (BSa), dan pengalihan pesan
dari BSu ke BSa. Dalam penerjemahan hanya form (bentuk) yang berubah dan
hanya meaning (arti) yang dipindahkan.
1. Metode-Metode Penerjemahan
Newmark (1988) mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu:
a. Metode yang memberikan penekanan terhadap Bahasa Sumber (BSu)
Ada metode penerjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber yaitu metode
penerjemahan kata demi kata (word for word translation).
1. Metode penerjemahan kata demi kata
Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata TSa langsung
diletakan di bawah versi TSu. Kata-kata dalam TSu diterjemahkan di luar konteks,
dan kata-kata yang bersifat cultural (misalnya kata “tempe”) dipindahkan apa
adanya. Umumnya metode ini dipergunakan sebagai tahapan prapenerjemahan
(sebagai gloss) pada penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami
mekanisme BSu. Jadi, dalam proses penerjemahan metode ini dapat terjadi pada
tahap analisis atau tahap awal pengalihan. Namun, perlu diingat bahwa metode
penerjemahan semacam ini mempunyai kegunaan atau tujuan khusus, dan dalam
praktik penerjemahan di Indonesia lazim digunakan sebagai metode penerjemahan
yang umum.
11
b. Metode yang memberikan penekanan terhadap Bahasa Sasaran (BSa)
Berbeda dengan metode di atas, pada metode ini penerjemahan lebih
berorientasi pada bahasa target. seperti halnya yaitu metode penerjemahan
komunikatif (communicative translation).
1. Metode Penerjemahan Komunikatif
Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian
rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat
dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi TSa-nya pun langsung berterima.
Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi,
yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah
versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan prinsip-
prinsip di atas.
Sebagai contoh adalah penerjemahan kata spine dalam frase thorns spines
in old reef sediments. Apabila kata tersebut diterjemahkan untuk para ahli atau
kalangan ilmuan biologi, padanannya adalah spina (istilah teknis latin), tetapi
apabila diterjemahkan untuk khalayak pembaca yang lebih umum, kata tersebut
dapat diterjemahkan menjadi “duri” (dari lokakarya penerjemahan III bidang
iptek, atas kerja sama pusat penerjemahan Fakultas Sastra Universitas Indonesia
dengan Pusat Bahasa, 1993).14
14 Rochayah Machali, Pedoaman Bagi Penerjemah, (Bandung : Mizan Pustaka 2009), h. 83.
12
2. Proses Penerjemahan
Orang yang berusaha memperoleh pengetahuan mengenai penerjemahan paling
tidak harus mengetahui apa yang dimaksud dengan proses penerjemahan.
Soemarno mengatakan bahwa proses penerjemahan ialah langkah-langkah yang
dilakukan oleh seorang penerjemah pada waktu dia melakukan
penerjemahannya.15
Secara umum proses penerjemahan itu terdapat tiga tahap,
diantaranya sebagai berikut:
a. Tahap analisis
Dalam tahap ini struktur lahir atau kalimat yang ada dianalisis menurut
hubungan gramatikal, menurut makna kata atau kombinasi kata, makna tekstual,
dan makna kontekstual. TSu harus dibaca secara keseluruhan dan dipahami
pesannya (maksudnya) meskipun hanya secara garis besar.
b. Tahap Transfer
Dalam tahap ini materi yang sudah dianalisis dan dipahami maknanya tadi
diolah oleh penerjemah dalam pikirannya dan dialihkan dari BSu ke dalam BSa.
c. Tahap Restrukturisasi
Dalam tahap ini penerjemah berusaha mencari padanan kata, ungkapan dan
struktur kalimat yang tepat dan sepadan dalam BSa. Sehingga isi makna dan pesan
yang ada dalam teks BSu tadi disampaikan sepenuhnya ke dalam BSa secara
sempurna.
15 Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim Al-An (Cara Mudah Menerjemahkan Arab Indonesia), (Pamulang Barat: Dikara 2011), hal. 23.
13
Proses penerjemahan yang perlu diperhatikan adalah analisis teks asli, dan
pemahaman makna atau pesan teks asli yang diungkapkan kembali ke dalam BSa
dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang sepadan dan wajar.
3. Syarat-syarat Penerjemah
Hasil terjemahan akan dianggap baik atau buruk, jelas atau tidak sangat
bergantung pada siapa yang menerjemahkan, meskipun seorang penerjemah itu
adalah sebagai pencipta, tetapi ia tidak mempunyai kebebasan seluas kebebasan
yang dimiliki penulis aslinya, karena seorang penerjemah pada dasarnya hanya
mengungkapkan apa yang dikarang oleh penulis aslinya.
Untuk menjadi seorang penerjemah yang baik serta menghasilkan terjemahan
yang berkualitas, seorang penerjemah harus memiliki syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Seorang penerjemah harus menguasai dua bahasa, bahasa sumber dan bahasa
sasaran.
b. Seorang penerjemah harus memahami secara benar gaya bahasa dan
karakteristik bahasa-bahasa yang diterjemahkan.
c. Penerjemahan harus memiliki ciri khas bahasa sumber dan bahasa sasaran.
d. Seorang penerjemah harus menguasai kosa kata pada kedua bahasa tertentu.16
4. Teknik Penerjemahan dan Gaya Bahasa
Selain memperhatikan jenis teks (dalam arti fungsi dan maksud
keseluruhannya), seorang penerjemah juga harus memperhatikan gaya bahasa
yang digunakan dalam TSu. Misalnya, dalam kalimat berikut si penyampai berita
16 Solihin Bunyamin, Panduan Belajar Menerjemahkan Al-Qur’an Metode Granada Sistem Delapan Jam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas 2003), h. 26.
14
memakai gaya resmi “bertenaga” dengan memanfaatkan aspek makna konotatif.
Di sini penulis memakai kata-kata sifat yang mengundang emosi pembaca.
TSu III :
The non-aligned movement is determined to actively participate in all efforts
towards a successful resulition of hotbeds of crises in the world, irrespective of
their historical or contemporary causes, ensuring that solutions are not imposed
by outside power to the detriment of the interests of the parties direcly concerned.
(Deklarasi KTT Non-Blok, Beograd)
Penggunaan kata/frase yang bergaris bawah menunjukkan gaya “bertenaga”
tersebut. Bandingkan, misalnya, kalau kata-kata yang bergaris bawah tersebut
diganti dengan yang lebih netral, misalnya “is determined” diganti dengan
“decides”, dan kata sifat atau adverbanya dibuang. Tentu gaya bahasanya akan
lain dan tidak se-“bertenaga” aslinya. Seorang penerjemah harus sejauh mungkin
memproduksi ciri-ciri teks TSu tersebut dalam terjemahannya. Contoh
penerjemahan berikut tidak menunjukkan upaya reproduksi ini:
Teks TSa IIIa:
Gerakan Non-Blok merasa terpanggil untuk ikut serta dalam usaha meredakan
ketegangan, dalam rangka mencari solusi atas setiap krisis yang terjadi di dunia
ini. Dalam usaha tersebut, Gerakan Non-Blok berupaya agar kekuatan luar tidak
ikut campur.
Dapat dilihat di sini bahwa, terlepas dari masalah padanan pragmatik, versi
TSa-nya tidak sepadan dalam gaya bahasa (tidak “bertenaga”), banyak memakai
15
aspek makna denotatif daripada konotatif, yaitu seperti penyampaian fakta biasa.
Bandingkan dengan TSa IIIb berikut:
Teks TSa IIIb:
Gerakan Non-Blok berketetapan untuk secara aktif berperan serta dalam segala
upaya pemecahan gemilang bagi permasalahan atau krisis di dunia, tanpa
memandang apakah penyebab historisnya lama atau baru, untuk menjamin bahwa
pemecahan permasalahan tidak ditunggangi oleh pihak-pihak luar demi
kepentingan pihak-pihak yang terlibat secara langsung.
Terlepas dari wajar-tidaknya penyampaian gramatikal melalui kalimat yang
panjang ini, TSa IIIb mengupayakan padanan gaya “bertenaga”. Upaya tersebut,
misalnya, dapat dilihat dari penggunaan kata-kata “berketetapan”, “pemecahan
gemilang”, dan “ditunggangi”. Dengan demikian, penerjemah TSa IIIb
mengupayakan padanan yang relatif total, karena mempertimbangkan segi gaya
bahasa dalam TSu III, di samping pemadanan lain.17
5. Definisi Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah salah satu di antara bagian dari ilmu bahasa. Oleh
karena itu bahasa sebagai alat komunikasi antar anggota masyarakat, berupa
lambang bunyi-suara yang dihasilkan oleh alat-ucap manusia. Gaya bahasa sering
kali dikenal dalam retorika dengan istilah “style”, yaitu kemampuan dan keahlian
menulis atau menggunakan kata-kata dengan alat bantu lidah. 18
Hal yang pertama
17 Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Bandung : Mizan Pustaka 2009), h.
112. 18 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2009), h. 112.
16
perlu dipahami bahwa gaya bahasa bukan semata-mata menggayakan suatu
bahasa.
Menurut Keraf, 2007: 113 “Gaya bahasa juga dapat dibatasi sebagai cara
mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa
dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”. Sedangkan menurut Tarigan, 1985: 5
“gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu penggunaan kata-kata dalam
berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau mempengaruhi penyimak dan
pembaca. Kata retorik berasal dari bahasa Yunani rhetor yang berarti orator atau
ahli pidato. Pada masa Yunani kuno retorik memang merupakan bagian penting
dari suatu pendidikan dan oleh karena itu aneka ragam gaya bahasa sangat penting
dan harus dikuasai benar-benar oleh orang-orang Yunani dan Romawi yang telah
memberi nama bagi aneka seni persuasi ini.”
Nini Ibrahim memiliki istilah lain bahwa gaya bahasa disebut juga majas,
yaitu penggunaan kata kiasan dan perbandingan yang tepat untuk mengungkapkan
perasaan dan pikiran dengan maksud tertentu. Gaya bahasa berguna untuk
menimbulkan keindahan dalam karya sastra atau dalam berbicara. Setiap orang
atau pengarang memiliki cara tersendiri dalam memilih dan menggunakan gaya
bahasa.19
Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah ungkapan untuk
menunjukan efek tersendiri, baik berupa estatis ataupun kepuisian, dengan jalan
membandingkan satu hal ataupun permasalahan dengan hal yang lain. Pemakaian
19 Nini Ibrahim, Bahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Uhamka Press 2009), h. 74.
17
bahasa digunakan secara imajinatif bukan dalam pengertian yang benar-benar
secara ilmiah (pembicaraan) saja, tetapi bertujuan untuk meyakinkan dan
mempengaruhi penyimak dan pembaca.
6. Jenis-jenis gaya bahasa
a. Segi bahasa
Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya
bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan,
sebagai berikut:
1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata
Berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling
tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya
penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat.
Dapat dikatakan, gaya bahasa mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam
menghadapi situasi-situasi tertentu.
Dalam bahasa standar (bahasa buku) dapatlah dibedakan: gaya bahasa resmi
(bukan bahasa resmi), gaya bahasa tak resmi dan gaya bahasa percakapan. Gaya
bahasa dalam tingkatan bahasa nonstandar tidak akan dibicarakan di sini, karena
tidak akan berguna dalam tulisan-tulisan ilmiah atau ilmiah populer.20
20 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2009), h. 117.
18
2. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna
Gaya berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu apakah
acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada
penyimpangan. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna biasanya
disebut trope atau figure of speech. Istilah trope sebenarnya berarti “pembalikan”
atau “penyimpangan”. Trope atau figure of speech dengan demikian memiliki
bermacam-macam fungsi yaitu: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek
mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan.21
6.1. Gaya bahasa khiasan
Gaya bahasa khiasan ini awalnya dibentuk berdasarkan perbandingan
atau persamaan. Yaitu membandingkan sesuatu antara yang satu dengan sesuatu
yang lain, tujuannya untuk menemukan ciri-ciri yang menunjukan kesamaan
antara dua hal tersebut. Macam-macam gaya bahasa khiasan yang akan saya
bahasa di antanya sebagai berikut:
a. Simile
Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan
perbandingan yang bersifat eksplisit adalah bahwa ia langsung menyatakan
sesuatu dengan hal yang lain.
Contoh: Kikirnya seperti kepiting batu.
21 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2009), h. 129.
19
Simile dalam ilmu balaghah termasuk ,dalam kamus Al-Munawir شثنر
lafadz انرشث berarti انرثم dan dalam bahasa Indonesia berarti “persamaan”. Dalam
istilah balaghah:
ثشانر شآخ شيأت شيأ قانحا ضشغن جداأت فص ف
Artinya: menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam suatu sifat
dengan menggunakan alat karena ada tujuan.22
Contoh:
د ما ان كانثحش ػ
Cinta itu bagaikan laut dalam segi luas.
b. Personifikasi
Personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan
benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki
sifat-sifat kemanusiaan. Menurut Sayuti, perbandingan dalam personifikasi
dilakukan secara langsung yaitu dengan memberikan sifat-sifat atau ciri-ciri
manusia kepada benda-benda mati, binatang atau suatu ide.23
Pendapat Sayuti ini
sejalan dengan pernyataan Dick Hartoko dan Rahmanto yang menyatakan bahwa
gaya jenis ini merupakan suatu bentuk kiasan yang menampilkan benda-benda
22 Ahmad Syatibi, Pengantar Memahami Bahasa Al-Qur’an Balaghah 1 (Ilmu Bayan),
(Jakarta: Adabia Press, 2012), h. 1. 23 A. Sumanto, Sayuti, Puisi dan Pengajarannya, (Semarang: Penerbit IKIP, 1985), h. 95.
20
atau konsep abstrak sebagai pribadi/person manusiawi dengan sifat-sifat
manusia.24
Contoh: Rumahmu barangkali ia menyeka mimpimu.
Personifikasi dalam aspek ilmu balaghah termasuk (يجاص نغ) majaz secara
harfiyah artinya “boleh”, lughawi artinya “bersifat bahasa” atau “dalam bahasa”.
Dengan demikian majaz lughawi artinya suatu kebolehan menggunakan suatu kata
sebagai bahasa bukan pada tempatnya. Seperti : matahari tersenyum atau bulan
menangis dll. Dalam istilah balaghah:
انه جاص ان ضغ ن ش يا غ م ف غرؼ ا جدساا ي حؼيا حشل غي حلالنؼفظ ان ؼن
.ممنحا
Artinya: “kata yang digunakan bukan pada tempatnya karena ada alaqah serta
qarinah yang mencegah dari arti yang sebenarnya”.25
Contoh:
انغذثغ اء.ى انثشق ف
Kilat itu tersenyum di langit.
Setelah mengemukakan beberapa aspek dari Syatibi dan Gorys,
selanjutnya akan dikemukakan beberapa sub unsur dari diksi yang meliputi kata
konkret dan kata abstrak.
24 Dick Hartoko dan Rahmanto, Pemandu Di Dunia Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1986),
h. 108. 25 Ahmad Syatibi, Pengantar Memahami Bahasa Al-Qur’an Balaghah 1 (Ilmu Bayan),
(Jakarta: Adabia Press, 2012), h. 48.
21
a. Kata konkret dan kata abstrak
Kata konkret adalah kata-kata yang dapat ditangkap indra.26
Suatu kata
harus diperkonkret untuk membangkitkan imaji (daya bayang) pembaca.
Maksudnya adalah, bahwa kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang
menyeluruh. Sama halnya dengan pengimajian, kata yang diperkonkret erat
hubungannya dengan penggunaan kiasan atau lambang. Jika pengarang mahir
memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar, atau
merasa apa yang dilukiskan oleh pengarang, sehingga pembaca terlibat penuh
secara batin dalam terjemahannya.
Sementara itu, kata abstrak adalah berupa gambar, tanda, atau kata yang
menyatakan maksud tertentu, sehingga kata abstrak lebih berfungsi untuk
menambah keestetikaan terjemahan.
b. Imaji atau pencitraan
Imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Waluyo
mengatakan, bahwa pengimajian dapat dibatasi dengan pengertian kata atau
susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. 27
26 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 119. 27 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 78.
22
c. Tema
Tema merupakan gagasan pokok atau subject-matter yang dikemukakan
oleh pengarang.28
Sementara itu, dalam buku The Norton Introduction to
Literature dikatakan, bahwa some refer to the central idea, the thesis, or even the
message of the story, and that is rougly what we mean by theme.29
Artinya, bahwa
beberapa tema mengacu pada ide sentral, tesis, atau bahkan pesan dari cerita.
Dapat dikatakan, bahwa pokok pikiran atau pokok persoalan begitu kuat
mendesak dalam jiwa pengarang sehingga menjadi landasan utama
pengucapannya. Melalui latar belakang yang sama, penafsir-penafsir terjemahan
akan memberikan tafsiran tema yang sama bagi sebuah terjemahan harus
dihubungkan dengan pengarang, serta dengan konsep-konsepnya yang
terimajinasikan. Oleh karena itu, tema bersifat khusus (pengarang), tetapi obyektif
(bagi semua penafsir), dan lugas (tidak dibuat-buat). Perkembangan tema yang
baik dan terarah akan menguatkan topik dan tujuan yang telah ditentukan.
Perkembangan tema dapat dilihat dari dua sudut yaitu: 1) gagasan yang lebih
tinggi telah diperinci secara maksimal, 2) perincian-perincian tersebut sudah
diurutkan secara logis dan teratur, 3) perincian tesis atau pengungkapan maksud
sudah diperinci secara maksimal untuk membuat tema menjadi jelas, 4) perincian
gagasan sentral sudah diurutkan dalam urutan yang teratur dan logis dengan
memperlihatkan transisi yang jelas.30
Tema di sini bagian dari unsur semantik.
28 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 106. 29 Peter Simon (ed), The Norton Introduction to Literature, (London: W. W. Norton &
Company, 2002), h. 214. 30 Darsita Suparno, Komposisi Bahasa Indonesia, (Jakarta: Adabia Press, 2012), h. 159.
23
d. Rasa
Rasa dalam terjemahan adalah sikap pengarang terhadap pokok
permasalahan yang terdapat dalam terjemahannya. Pengungkapan tema dan rasa
berkaitan dengan latar belakang sosial dan psikologis pengarang, seperti latar
belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, kelas sosial, kedudukan dalam
masyarakat, usia, pengalaman sosiologis dan psikologis, serta pengetahuan.
Kedalam pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi suatu masalah tidak
bergantung pada kemampuan pengarang memilih kata-kata, gaya bahasa, dan
bentuk terjemahan itu saja, tetapi lebih bergantung pada wawasan, pengetahuan,
pengalaman, dan kepribadian yang berbentuk oleh latar belakang sosiologis dan
psikologisnya.31
Rasa di sini bagian dari pencitraan.
e. Amanat (pesan)
Amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang dapat ditelaah setelah
memahami tema, rasa, dari terjemahan itu sendiri. Tujuan atau amanat merupakan
hal yang mendorong pengarang untuk menciptakan terjemahannya. Amanat
tersirat dibalik kata-kata yang disusun, dan juga berada dibalik tema yang
diungkapkan. Amanat yang hendak disampaikan oleh pengarang mungkin secara
sadar berada dalam pikiran pengarang, namun lebih banyak pengarang sadar akan
amanat yang diberikan.32
Amanat di sini bagian dari unsur semantik.
31 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: Grasindo, 2008), h. 125. 32 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 130.
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Metodologi berasal dari bahasa Yunani „metodos‟ dan „logos‟, kata ini
terdiri dari dua suku kata yaitu ”metha” yang berarti melalui/melewati dan
“hodos” yang berarti jalan/cara metode yang merupakan analisis teoritis mengenai
suatu cara/metode. Muhammad mendefinisikan metode penelitian atau research
method sebagai aspek aksiologi dari suatu paradigma.33
Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan jenis penelitian kualitatif.
Menurut Djajasudarma, penelitian kualitatif di dalam linguistik selalu
ditunjang dengan kuantitatif dari segi penghitungan data.34
Metode kualitatif
dipahami sebagai suatu prosedur penelitian untuk menghasilkan uraian deskriptif
berupa kalimat-kalimat yang berkaitan dengan gaya bahasa dalam aspek balaghah
yang terdapat dalam kitab Durratun Nashihin yang menjadi objek penelitian ini.
Dengan demikian data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kualitatif.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini terbatas pada:
33 Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2011), h. 168. 34 T. Fatimah Djajasudarma, Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian,
(Bandung: Refrika Adiatma, 2006), h. 10.
25
1. Gaya bahasa Personifikasi yaitu terjemahan yang mengandung perumpamaan
yang diibaratkan seperti manusia, sebagaimana dalam aspek balaghahnya
disebut majaz.
2. Gaya bahasa Simile yaitu terjemahan yang mengandung kata penghubung
seperti dalam aspek balaghahnya disebut sebagai tasybih.
C. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah kalimat yang sudah diterjemahkan dari
bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang diidentifikasikan mengandung gaya bahasa
dalam aspek balaghah, kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan kategori
gaya bahasa yaitu berdasarkan langsung tidaknya makna.
D. Metode Penyediaan Data
Untuk menyediakan data, digunakan metode, adapun istilah metode dan
teknik yaitu “cara”. Metode adalah cara yang harus dilaksanakan sedangkan
teknik adalah cara melaksanakan metode.35
Terdapat dua jenis metode dalam
penyediaan data yaitu: metode simak dan metode catat.
Metode simak merupakan metode yang digunakan dalam penyediaan data
dengan cara peneliti melakukan penyimakan penggunaan bahasa. Mahsun
menjelaskan isi dari bagian ilmu sosial, oleh karena itu metode pengamatan dari
linguistik mengambil konsep dari ilmu sosial. Dikatakan bahwa metode ini dapat
35 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 127.
26
disejajarkan dengan metode pengamatan atau observasi.36
Metode penyediaan
data ini dalam lingusitik diberi nama metode simak, karena cara yang digunakan
untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Istilah
menyimak di sini tidak hanya berkaitan dengan penggunaan bahasa secara lisan,
tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis. Metode ini memiliki teknik dasar
yang berwujud teknik sadap.37
Teknik sadap tersebut sebagai teknik dasar dalam
metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan
penyadapan. Pada langkah ini digunakan teknik simak bebas cakap, peneliti hanya
menyimak informasi teks baik yang berkenaan dengan isi maupun satuan bahasa
teks. Untuk mengidentifikasikan teks tersebut, peneliti menggunakan metode
simak dengan teknik dasar sadap dan teknik bebas cakap.
Selain menggunakan teknik simak bebas cakap untuk menjalankan metode
simak, digunakan juga metode catat. Metode catat adalah mencatat data-data
dengan teknik pencatatan data. Teknik sadap, teknik dasar dengan teknik simak
libat cakap digunakan sebagai teknik lanjutan karena dapat langsung mencatat
data yang diperoleh. Teknik catat dipilih karena data yang dihadapi berwujud
lisan dan tulis, sehingga memungkinkan dapat mencatat hal-hal yang satuan
bahasanya diperlukan untuk mendapatkan cara secara catat.
Penelitian ini data diperoleh melalui sumber yang telah terjadi dalam kitab
Durratun Nashihin. Artinya dalam dalam terjemahan sudah tersedia, artinya
36 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 242. 37 Mahsun, Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode dan Tekniknya,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 92.
27
penyediaan data terdapat dalam sebuah kitab. Oleh karena itu, dilakukan
penyediaan data seperti bagan berikut:
Sumber : Mahsun (2007), Metode Penelitian Bahasa, 116.
Yang sudah dimodifikasi oleh peneliti untuk keperluan penelitian.
E. Metode Analisis Data
Metode analisis data adalah cara menguraikan dan mengelompokkan satuan
lingual. Metode padan digunakan untuk menganalisis data berupa kata yang
bersinonim dengan kata banding, dan sesuatu yang dibandingkan mengandung
makna adanya keterhubungan. Menurut mahsun, metode padan dilaksanakan
dengan menggunakan teknik hubung banding menyamakan (HBS), hubung
banding membedakan (HBB) dan teknik hubung banding menyamakan hal pokok
(HBSP). Pada metode analisis ini menggunakan konsep Syatibi, untuk melihat
adanya tinjauan balaghah dalam terjemahan Durratun Nashihin.38
Sementara
digunakan konsep Harimurti Kridalaksana, untuk melihat makna yang tidak sama
dengan gabungan makna anggota-anggotanya.39
38 Ahmad Syatibi, Pengantar Memahami Bahasa Al-Qur’an Balaghah 1 ( Ilmu Bayan),