PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA MELALUIPERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA ANTARA PEDAGANG DENGAN BANK DI PASAR PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA Disusun Oleh: PUTU KRISNA ADI PERDANA NIM : E. 0004035 Disetujui untuk dipertahankan Dosen Pembimbing TUHANA, S.H, M.Si NIP. 132 162 557 ii
106
Embed
PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) …/Kajian-yuridis... · maka pemerintah menggunakan Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional perekonomian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA MELALUIPERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT
HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA ANTARA PEDAGANG DENGAN BANK DI PASAR PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA
Disusun Oleh:
PUTU KRISNA ADI PERDANA NIM : E. 0004035
Disetujui untuk dipertahankan
Dosen Pembimbing
TUHANA, S.H, M.Si NIP. 132 162 557
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena kebaikan dan
anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan judul
”KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
MELALUI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT
HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA ANTARA PEDAGANG DENGAN
BANK DI PASAR PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA” yang diajukan
sebagai syarat tugas akhir dalam menempuh gelar Sarjana Hukum (SH) Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS).
Dengan segala keterbatasan pengetahuan yang dimiliki oleh penulis dalam
menyusun penulisan hukum (skripsi) ini selain bahan-bahan yang erat kaitannya
dengan penyusunan skripsi ini, tidak luput pula dengan adanya bimbingan,
dorongan serta doa dari berbagai pihak yang telah membantu penulis sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Moh Yamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum UNS yang
telah memberi izin dan kesempatan kepada Penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
2. Bapak Tuhana, S.H, M.Si, selaku Pembimbing penulisan hukum (skripsi)
Penulis yang telah banyak membantu memberikan pengarahan, bimbingan,
serat saran dari awal hingga akhir penulisan hukum ini
3. Bu Ambar Budhi S., S.H., M.Hum, selaku Ketua Bagian Hukum Perdata yang
juga telah banyak membantu dalam penulisan hukum (skripsi) ini.
4. Bapak Bambang Joko S, S.H, selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan selama masa perkuliahan.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta jajaran staf Fakultas Hukum UNS yang telah
memberikan ilmu, membimbing Penulis dan membantu kelancaran sehingga
dapat menjadi bekal bagi Penulis dalam penulisan hukum ini dan semoga
dapat Penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis.
vi
6. Bapak Wayan Dharma Jaya, S.H., M.H, selaku Manager Area Pasar Jaya
cabang Pasar Rumput dan seluruh karyawan Perusahaan Daerah Pasar Jaya
yang telah membantu selama penelitian dan penulisan hukum (skripsi)
berlangsung.
7. Bapak Wayan Dharma Jaya dan keluargaku tercinta (mama, Ari adikku),
terima kasih atas kasih sayang, perhatian, dukungan, semangat dan doa yang
selalu diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
(skripsi) ini .Terima kasih telah sabar menunggu dan memberikan semangat
dan keceriaan serta membantu penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Ayusitta Damayanti, S.H. beserta keluarga, terima kasih telah memberikan
semangat, dukungan, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
hukum (skripsi) dan terima kasih karena telah menemani dalam suka duka
penulis sehingga akhiraya penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum
(skripsi).
9. Sahabat-sahabatku yang terindah dalam hidupku
10. Rekan-rekan angkatan 2004 tak terkecuali, yang tidak dapat saya sebutkan
satu persatu, terima kasih atas segala dukungan dan motivasinya.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuannya bagi penulis.
Akhir kata mengingat banyaknya bantuan yang telah penulis terima dari
berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,, sekali lagi,
penulis mengucapkan terima kasih banyak, semoga Allah membalas semua
kebaikan kalian semua yang telah diberikan kepada penulis.
Surakarta, 11 April 2009
Penulis
PUTU KRISNA ADI
vii
ABSTRAK
PUTU KRISNA ADI PERDANA, E. 0004035, ”KAJIAN YURIDIS PEROLEHAN HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA MELALUI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA ANTARA PEDAGANG DENGAN BANK DI PASAR PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA” Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tahun 2009.
Penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha di Perusahaan Daerah Pasar Jaya, hambatan yang dihadapi dan penyelesaiannya.
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini merupakan penelitian hukum empirik yang bersifat deskriptif, data penelitian meliputi data primer dan data sekunder, teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah studi lapangan dan studi dokumen, teknik analisis data ini dilakukan dengan teknik analisis data yang kualitatif.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh dua kesimpulan, yaitu pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha dimulai dengan membuat Perjanjian Kerjasama antara Perusahaan Daerah Pasar Jaya, pedagang, bank. Mengajukan syarat-syarat sesuai dengan perjanjian kerjasama kepada bank, Bank meneliti kelengkapan untuk selanjutnya dibuatkan perjanjian kredit,Kreditur memperoleh Nota Realisasikredit dengan nilai 80% dari harga penjualan Hak Pemakaian Tempat Usaha dengan syarat 20% dari harga penjualan telah dilunasi, penyerahan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha sebagai Agunan paling lambat 30 hari setelah pencairan kredit, pengembalian kredit oleh pedagang kepada bank, Hambatan yang dihadapi adalah bagaimana pemenuhan pengembalian kredit apabila debitur meninggal dunia, Barang yang menjadi objek perjanjian musnah karena Force Majure , Debitur melakukan pelanggaran terhadap hukum yang berlaku yang mengakibatkan hilangnya Hak Pemakaian Tempat Usaha, terjadi kredit macet. Upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut adalah mengharuskan calon kreditur untuk memiliki asuransi jiwa kreditur, mengkoordinasikan dengan pihak Perusahaan Daerah Pasar Jaya untuk mengasuransikan bangunan yang menjadi objek perjanjian kredit, meminta ke aktifan Perusahaan Daerah Pasar Jaya untuk turut serta bertanggung jawab dalam hal terjadinya kredit macet dan pelanggaran berat yang mengakibatkan kreditur kehilangan Hak Pemakaian Tempat Usaha sehingga pengembalian kredit dapat berjalan lancar.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha harus selalu berpedoman pada Peraturan Daerah Khusus Ibukota (OKI) Jakarta Nomor: 6 Tahun 1992 Tentang Pengurusan Pasar dan Keputusan Direksi Perusahan Daerah (PD) Pasar Jaya Nomor: 450 Tahun 2003 dan ketentuan perbankan dan pelaksanaanya harus berpedoman pada perjanjian pokok. Implikasi praktis dari penelitian dan penulisan hukum (skripsi) ini adalah menjadi rujukan bagi pihak yang melaksanakan perjanjian kredit dengan jaminan Sertifikat Hak Pemakaian
viii
Tempat Usaha agar memahami prosedur dan pelaksanaan perjanjian kredit baik dan benar supaya dalam pelaksanaannya dapat berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERSEMBAHAN iv
KATAPENGANTAR vi
ABSTRAK viii
DAFTAR ISI xi
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Perumusan Masalah 5
C. TujuanPenelitian 5
1. Tujuan Obyektif 5
2. Tujuan Subyektif 5
D. Manfaat Penelitian 6
1. Manfaat Teoritis 6
2. Manfaat Praktis 6
E. Metode Penelitian 6
1. Jenis Penelitian & Sifat Penelitian 7
2. Jenis Data 8
3. Sumber Data 9
4. Teknik Pengumpulan Data 9
5. Teknik Analisis Data 10
F. Sistematika Penulisan Hukum (skripsi) 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 13
A. Kerangka Teoritis 13
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 13
2. Tinjauaan Umum Tentang Kredit 24
3. Tinjauan Umum Tentang Jaminan 30
4. Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi 31
ix
5. Tinjauan Umum Tentang Pasar, Hak
pemakaian Tempat Usaha Pemakai Tempat Usaha
42
B. KerangkaPemikiran 44
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 48
A. Deskripsi Umum Perusahaan Daerah (PD)
Pasar Jaya 48
1. Sejarah dan Dasar Hukum Perusahaan Daerah (PD)
Pasar Jaya 48
2. Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia 52
B. Prosedur Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan
Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha di Pasar
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya 59
C. Hambatan yang Timbul Dalam Pelaksanaa Perjanjian
Kredit Dengan Jaminan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat
Usaha di Pasar Perusahaan Daerah Pasar Jaya 85
BAB IV : PENUTUP 98
A. Kesimpulan 98
B. Saran 100
DAFTARPUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang memiliki kekayaan alam yang
berlimpah, namun bukan merupakan suatu jaminan bahwa suatu negara yang
memiliki kekayaan alam yang berlimpah berarti masyarakatnya makmur dan
sejahtera. Seperti yang tertulis di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 bahwa memakmurkan dan mensejahterakan masyarakat Indonesia
merupakan tujuan luhur bangsa Indonesia.
Menyadari akan pentingnya pengelolaan sumber daya alam terutama
terkait dengan kegunaan serta manfaatnya bagi kemakmuran bangsa Indonesia
maka pemerintah menggunakan Pasal 33 UUD 1945 amandemen ke-4 sebagai
landasan konstitusional perekonomian bangsa, sehingga dalam hal
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dapat semaksimal dan
seefektif mungkin berguna bagi kemakmuran rakyat, yang dinyatakan bahwa:
”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional”.
Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan dalam rangka
pemerataan pembangunan dengan tidak mengurangi pengawasan dari
pemerintah pusat maka pemerintah membuat suatu sistem pengelolaan terpadu
dan terstruktur dengan jelas yaitu dengan pembentukan perusahaan daerah.
Atas dasar landasan konstitusional yang tdah diatur dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar 1945 maka terbit Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962
tentang Perusahaan Daerah. Secara keseluruhan pada intinya Undang-Undang
Nomor: 5 Tahun 1962 mengatur perusahaan daerah, dengan salah satu isinya
meliputi pengertian Perusahaan Daerah, Perusahaan Daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1962 adalah
suatu kesatuan produksi yang bersifat memberi jasa, menyelenggarakan
kemanfaatan umum dan memupuk pendapatan. Menurut Pasal 5 ayat (3) dan
ayat (4) Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
disebutkan bahwa:
”Perusahaan Daerah bergerak dalam bidang usaha yang sesuai dengan urusan
rumah tangganya menurut peraturan yang mengatur tentang pokok-pokok
pemerintahan di daerah”.
”Cabang-cabang produksi yang penting bagi daerah dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak di daerah yang bersangkutan diusahakan oleh Perusahaan
Daerah yang modalnya untuk seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang
dipisahkan.”
Dalam rangka menjalankan fungsi dan tugasnya serta agar memenuhi
asas kemanfaatan umum seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor: 5
Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah maka merupakan suatu tuntutan
bahwa perusahaan daerah harus memprotek segala urusan rumah tangganya
dengan hukum yang berlaku agar dapat memberikan kepastian hukum.
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya sebagai salah satu Badan Usaha
Milik Daerah Pemerintah Daerah Khusus Ibukota (OKI) Jakarta didirikan
dengan maksud dan tujuan untuk melakukan pengurusan pasar dan fasilitas
perpasaran lainnya dalam rangka pengembangan perekonomian daerah serta
menunjang Anggaran Daerah dan pertumbuhan ekonomi nasional (Pasal 5
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor: 12 Tahun
1999).
Perusahaan Daerah Pasar Jaya merupakan perusahaan daerah yang
seluruh modalnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, maka dalam
hal pengelolaan kekayaan milik daerah yang terdapat di pasar-pasar
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya berlaku ketentuan Menteri Dalam Negeri
Nomor; 153 Tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Daerah yang
dipisahkan Jo Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota (OKI)
Jakarta Nomor; 17 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Barang Daerah. Barang
yang dipisahkan diartikan sebagi barang milik daerah baik barang bergerak
maupun barang tidak bergerak yang dikelola oleh badan usaha milik daerah.
Tanah dan bangunan pasar milik Perusahaan Daerah Pasar Jaya
merapakan kekayaan daerah yang dipisahkan dimana pengurusannya
diserahkan untuk dikelola berdasarkan Peraturan Daerah Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta Nomor; 6 Tahun 1992 tertanggal 21 Juli 1992 tentang
Pengurusan Pasar di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Dalam Peraturan Daerah
DKI Jakarta Nomor; 6 Tahun 1992 disebutkan bahwa untuk dapat
menggunakan tempat-tempat usaha harus mendapatkan ijin pemakaian tempat
usaha secara tertulis dari Gubernur Kepala Daerah agar pemakaian tempat
mempunyai hak memakai tempat di pasar (Pasal 1 huruf 9). Menurut
Peraturan Daerah Nomor: 6 Tahun 1992 juga disebutkan bahwa Pemakai
Tempat Usaha adalah orang atau badan hukum yang berdasarkan izin
penghunian tempat mempunyai hak memakai tempat di pasar untuk
memperdagangkan barang dan jasa (Pasal 1 huruf e).
Berdasarkan pengertian di atas maka penulis menyimpulkan bahwa
untuk dapat dikatakan sebagai pemakai tempat usaha (pedagang) di pasar
pasar Perusahaan Daerah Pasar Jaya haruslah terlebih dahulu memiliki ijin
berupa kepemilikan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU).
Pengertian Hak Pemakaian Tempat Usaha terdapat dalam Pasal 9 ayat (2)
Peraturan Daerah Nomor: 6 Tahun 1992 menambahkan bahwa Hak
Pemakaian Tempat Usaha di pasar ditetapkan oleh Direksi Perusahaan Daerah
(PD) Pasar Jaya, untuk jangka waktu selama-lamanya 20 tahun. Untuk itu
sebagai pelaksanaaan Peraturan Daerah Nomor: 6 Tahun 1992 Jo. Peraturan
Daerah Nomor: 12 Tahun 1999 maka ditetapkan Keputusan Direksi
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya Nomor; 450 Tahun 2003 tentang Hak
Pemakaian Tempat Usaha dan Ketentuan Pemakaian Tempat Usaha di pasar-
pasar Perusahaan Daerah Pasar Jaya.
Hak pemakaian tempat usaha di pasar-pasar Perusahaan Daerah Pasar
Jaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Daerah Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Nomor: 6 Tahun 1992 merupakan suatu hak
untuk memakai atas kebendaan berwujud dan tempat usaha pada bangunan
pasar yang dapat dimiliki dan dialihkan serta dapat dijadikan jaminan kredit,
baik kredit modal kerja maupun kredit pemilikan Hak Pemakaian Tempat
Usaha. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Keputusan Direksi
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya Nomor 450 Tahun 2003, yaitu :
”Pemakaian tempat usaha dapat menjaminkan Hak Pemakaian Tempat
Usahanya yang berupa sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha dan Surat
Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha untuk memperoleh kredit bank setelah
terlebih dahulu mendapatkan ijin tertulis / referensi dan direksi atau pejabat
yang ditunjuk.”
Penggunaan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU)
sebagai jaminan dalam pemberian kredit oleh bank untuk mendapatkan
kepemilikan hak pemakaian tempat usaha tentunya mengakibatkan adanya
hubungan hukum baik antara Bank dengan Penjamin atau orang yang
menjaminkan sertifikat. Adanya hubungan hukum antar para pihak maka
timbullah hak dan kewajiban para pihak. Pada dasarnya penggunaan Sertifikat
Hak Pemakaian Tempat Usaha sebagai jaminan kredit dalam rangka untuk
memberikan kemudahan bagi pedagang dalam hal pembayaran pelunasan
sertifikat hak pemakaian tempat usaha itu sendiri.
Dalam rangka untuk mengetahui dengan jelas mengenai Pengadaaan
hak pemakaian tempat usaha terkait dalam hal pemilikan Hak Pemakaian
Tempat Usaha dengan jaminan sertifikat hak pemakaian tempat usaha maka
penyusun berniat untuk membuat penulisan hukum dengan judul ”KAJIAN
YURIDIS PEROLEHAN HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
MELALUI PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN SERTIFIKAT
HAK PEMAKAIAN TEMPAT USAHA ANTARA PEDAGANG DENGAN
BANK DI PASAR PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana prosedur yang harus dilaksanakan untuk mendapatkan
Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha melalui perjanjian kredit dengan
bank?
2. Bagaimana hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan perjanjian kredit
untuk memperoleh Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha dan
solusinya?
C. Tujuan Penelitian
Suatu kegiatan penelitian sudah tentu mempunyai suatu tujuan yang
jelas dan pasti sebagai sarana yang akan dicapai untuk pemecahan masalah
yang dihadapi. maka berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan oleh
penyusun, tujuan penelitian penulisan hukum ini adalah :
1. Tujuan Obyektif:
a. Untuk meneliti lebih terperinci tentang prosedur yang harus
dilaksanakan untuk mendapatkan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat
Usaha melalui perjanjian kredit dengan bank.
b. Untuk mengetahui hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan
perjnajian kredit untuk memperoleh Sertifikat hak Pemakaian Tempat
Usaha dan solusi yang diberikan dalam hal terjadinya hambatan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku.
2. Tujuan Subyektif:
a. Untuk mengetahui segala sesuatu mengenai pelaksanaan perjanjian
kredit dalam hal untuk memperoleh kepemilikan sertifikat hak
pemakaian tempat usaha di pasar Perusahaan Daerah Pasar Jaya.
b. Untuk melatih kemampuan dan ketrampilan penulis agar siap terjun di
dalam masyarakat.
c. Untuk menambah wawasan, pengalaman, pengetahuan penulis sebagai
mahasiswa guna melengkapi persyaratan untuk mencapai dan meraih
gelar kesarjanaan (S-l) pada bidang Hukum di Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritisa.
a. Dapat digunakan sebagai sumbangan karya ilmiah dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Salah satu usaha memperbanyak wawasan dan pengalaman serta
menambah pengetahuan tentang Hukum Perdata, Hukum Perjanjian
dan khususnya Hukum Jaminan.
c. Dapat bermanfaat dalam mengadakan penelitian yang sejenis
berikutnya disamping itu sebagai pedoman penelitian yang lain.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyarakat pada
umumnya dan pengguna tempat usaha di pasar dibawah kebijakan
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya.
b. Memberikan sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terkait dalam
menyelesaikan hambatan-hambatan yang timbul dalam pengadaan dan
pelaksanaan pemberian kredit dalam rangka pengadaan modal usaha
bagi pedagang.
c. Pelaksanaan hasil penelitian dapat menambah dan mengembangkan
pengetahuan serta pengalaman bagi penulis dalam pemberian kredit
untuk pengadaaan modal usaha terkait dengan produk hukum baru.
E. Metode Penelitian
Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsannya suatu
penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang
hendak dicapai sebelumnya, sedangkan dalam penentuan metode mana yang
akan digunakan penyusun harus cermat agar metode yang dipilih nantinya
tepat dan jelas sehingga untuk mendapatkan hasil dengan kebenaran yang
dapat dipertanggungjawabkan dapat tercapai. Metode penelitian merupakan
satu faktor yang penting dan menunjang proses penyelesaian suatu
permasalahan yang dibahas, di mana metode merupakan cara utama yang
digunakan dengan suatu tujuan mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis
yang dihadapi dengan mengadakan klasifikasi yang didasarkan pada
pengamatan, dapat ditentukan jenis-jenis metode penelitian (Winarno
Surakhmad, 1992: 130).
Pengertian metode sendiri adalah usaha untuk menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana
dilakukan dengan metode ilmiah (Sutrisno Hadi, 1994 :4). Pengertian metode
sebenarnya adalah cara bagaimana penelitian akan dijalankan.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisis dan konstruksi yang akan dilakukan secara metodologi, sistematis dan
konsisten. Metodologi berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu.
Sistematis adalah berdasarkan suatu sistem sedangkan konsisten adalah tidak
adanya hak-hal yang bertentangan dalam kerangka tertentu (Soerjono
Soekanto, 1991 :42).
Guna mendapatkan data dan pengolahan data yang diperlukan dalam
rangka penulisan hukum ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum yang
empiris, yaitu penelitian yang mengkaji hukum dalam realitas kenyataan di
dalam masyarakat Penulis mencari data dan informasi secara langsung ke
lapangan dan sumbernya yaitu di Pasar Perusahaan Daerah Pasar Jaya .
2. Sifat Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang
deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia , keadaan atau gejala-gejala lainnya
(Soerjono Soekanto, 1984 :10). Penelitian dalam hukum ini diharapkan
dapat memberikan data yang seteliti mungkin mengenai pelaksanaan
perjanjian kredit dengan jaminan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha.
3. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif.
4. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi
ini, penulis mengambil lokasi penelitian di Pasar Daerah Pasar Jaya.
5. JenisData
Penulis dalam penelitian ini menggunakan jenis data sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek
penelitian lapangan dengan cara mengumpulkan data-data yang
berguna dan berhubungan dengan judul penulisan hukum dan
permasalahan yang diangkat, dalam hal ini data diperoleh secara
langsung dari sumber pertama di lapangan.
b. Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan (Soerjono & Sri Mahmudji, 2003 :13). Data sekunder
adalah sejumlah keterangan fakta-fakta yang tidak diperoleh secara
langsung dari sumber pertama dan dapat melalui bahan dokumen
mengenai pengangkutan, peraturan perundang-undangan, laporan,
buku-buku kepustakaan, dan sebagainya yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas.
6. Sumber Data
Sumber data adalah tempat dimana suatu data atau tempat data
yang dibutuhkan dalam penelitian ditemukan atau digali sesuai dengan
jenis data yang akan dipergunakan, maka yang menjadi sumber data dalam
penelitian ini yakni:
a. Sumber data primer
Sumber data primer yaitu data atau keterangan yang diperoleh
dari semua pihak yang terkait langsung dengan permasalahan yang
menjadi obyek penelitian.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder, yakni data yang bersumber dari bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer meliputi Kitab Undang-Undang beserta
peraturan perundang-undangan yang terkait bahan hukum sekunder
yaitu buku-buku ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang
diteliti, hasil penelitian yang relevan, dan buku-buku penunjang
lainnya. Sedangkan bahan hukum tersier berupa bahan hukum yang
bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri
dari kamus ensiklopedia, dan lain-lain (Burhan Ashofa, 2001 : 104).
7. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dimaksudkan sebagai cara untuk
memperoleh data dalam penelitian yang mendukung dan berkaitan dengan
masalah yang akan diteliti dalam penulisan hukum ini.
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini
adalah:
a. Studi Lapangan
Studi lapangan yaitu pengumpulan data dengan cara terjun
langsung ke obyek penelitian yaitu di Pasar Daerah Pasar Jaya dan
selanjutnya penulis melakukan pengamatan secara langsung. Hal ini
dimaksudkan agar diperoleh data yang valid.
b. Wawancara
Wawancara merupakan proses tanya jawab secara lisan dimana
satu pihak berfungsi sebagi pencari informasi atau penanya sedangkan
pihak lain berfungsi sebagai sumber informasi atau informan. Dalam
penulisan hukum ini, penyusun menggunakan metude wawancara
berencana dan wawancara tidak berencana, yang dimaksud dengan
wawancara berencana yaitu dimana sebelum dilakukan wawancara
telah dipersiapkan suatu daftar pertanyaan yang sistematis, sehingga
pewawancara berpatokan pada pertanyaan yang telah disusun dan
pokok pembicaraan tidak boleh menyimpang dari apa yang telah
ditentukan.Alat bantu yang digunakan berupa daftar pertanyaan, alat
tulis, dan alat perekam, sedangkan dalam wawancara tidak berencana,
disini tidak berarti bahwa peneliti tidak terlampau terikat pada aturan-
aturan yang ketat. Alat yang digunakan berupa pedoman wawancara
yang memuat hal-hal pokok secara garis besar yang ditanyakan, alat
tulis, dan alat perekam. Dalam penelitian ini, penulis melakukan
wawancara dengan narasumber bapak Wayan Dharma Jaya S.H,M.H
selaku Manager area Perusahaan Daerah Pasar Jaya cabang Pasar
Rumput
c. Studi Dokumen (bahan pustaka)
Teknik ini merupakan cara mengumpulkan data dengan cara
mengkaji substansi atau isi suatu bahan hukum yang berupa buku,
seperti literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen serta
tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
8. Teknik Analisis Data
Dalam suatu penelitian, teknik analisis data merupakan suatu hal
yang sangat penting untuk menguraikan dan memecahkan masalah yang
diteliti berdasarkan data-data yang sudah dikumpulkan. Pada tahap ini
seluruh data yang telah terkumpul diolah sedemikian rupa sehingga
tercapai sebuah kesimpulan yang nantinya akan menjadi hasil akhir dari
penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis data yang bersifat kualitatif.
Menurat Lexy J. Moleong, penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memehami fenomena tentang apa yang dialami
oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan
lain-lain, secara holistik, dan dengad cara deskripsi dalam bentuk kata-
kata dan bahasa. Pada konteks khustis yang alamiah dan dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (2007:6).
F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM (SKRIPSI)
Sistematika penulisan hukum (skripsi) ini dibuat agar gambaran
keseluruhan dari isi penulisan hukum ini jelas ruang lingkupnya, sistematika
penulisan hukum ini meliputi empat bab yaitu :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah yang menjadi
alasan pemilihan judul, perumusan masalah yang menjadi dasar penulisan
skripsi, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan hukum
(skripsi).
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kerangka teori dan kerangka
pemikiran. Dalam kerangka teori diuraikan mengenai Tinjauan Umum
Tentang Perjanjian, tinjauan mengenai kredit pada umumnya, tinjauan
mengenai jaminan, tinjauan tentang wanprestasi, Tinjauan Umum tentang
pasar, Hak Pemakaian Tempat Usaha, Pemakai Tempat Usaha
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pengertian sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha sebagai hak
kebendaaan yang dapat dijadikan jaminan kredit ditinjau dari hukum perdata
di Indonesia, proses dan tata cara pelaksanaan pemberian kredit dengan
sertifikat hak pemakaian tempat usaha sebagai jaminan di Perusahaan Daerah
(PD) Pasar Jaya
Pandangan hukum yang berlaku terkait dengan wanprestasi dan penyelesaian
menurut hukum yang berlaku apabila terjadi wanprestasi
BAB IV:PENUTUP
Dalam bab ini terbagi dalam dua bagian yaitu simpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1313 yang berbunyi
”Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatnya dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Rumusan yang
diberikan pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut
merupakan pengertian yang tidak sempurna dan kurang memuaskan,
karena terdapat beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut
menurut pendapat Abdulkadir Muhammad, yaitu
1) Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini diketahui dari perumusan satu orang atau lebih
mengikatkan diri nya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata
kerja mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja ,tidak
kedua belah pihak. Seharusnya peruumusan itu adalah saling
mengikatkan diri.
2) Kata perbuatan mencangkup juga tanpa konsensus
Pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan
melaksanakan tugas tanpa causa,tindakan melawan hukum yang
tidak mengandung suatu konsensus. Seharusnya dipakai kata
”persetujuan”.
3) Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut terlalu luas,
dapat juga mencangkup pelangsungan perkawinan, janji kawin,
yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
13
Hubungan yang diatur dalam pengertian perjanjian dalam
Kitab Undang-Undang hukum Perdata adalah hubungan antara
debitur dengan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.
Perjanjian yang dikehendaki dalam Buku Ketiga Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata sebenarnya adalah perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
4) Tanpa menyebutkan tujuan
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut tidak
menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian ,sehingga pihak-pihak
yang mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa.
Perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad adalah suatu
perjanjian dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan
diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan
(1992:78).
Menurut Prof. Subekti, SH. “Perjanjian adalah suatu
perikatan di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana
dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”
(1990:1). Prof.Subekti, S.H. juga menyatakan dalam bukunya
“hukum perjanjian” bahwa kata sepakat berarti suatu persesuaian
paham dan kehendak antara dua pihak (1990:26).
Berdasarkan pengertian perjanjian diatas dapat dirumuskan
bahwa perjanjian merupakan kesepakatan antara dua orang atau
dua pihak, mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek dari
perjanjian. Kesepakan itu timbul karena adanya kepentingan dari
masing-masing pihak yang saling membutuhkan. Perjanjian juga
dapat disebut sebagai persetujuan, karena dua pihak tersebut setuju
untuk melakukan sesuatu.
b. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, yang terdiri dari 4 (empat) empat syarat yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Para pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju atau
sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan dan
syarat-syarat perjanjian. Apa yang dikehendaki oleh salah satu pihak, juga
harus dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka mehendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik.
Maksud dari kata sepakat yaitu harus ada kemauan diantara para
pihak yang mengadakan perjanjian mengenai hal-hal pokok dari perjanjian
yang diadakan tersebut, maka kedua - belah pihak harus mempunyai
kebebasan kehendak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1321 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata yang menyebutkan tiada sepakat yang sah apabila
sepakat itu diberikan karena khekilafan atau diperoleh karena paksaan atau
penipuan. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak
dengan bebas, artinya tidak mengandung cacat dalam kehendak, tidak
boleh ada kekhilafan atau kesesatan (dwaling) paksaan (dwang), dan
penipuan (bedrog).
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Dalam ketentuan Pasal 1329 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata disebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap
untuk bertindak kecuali apabila oleh undang-undang tidak dinyatakan
cakap. Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum.
Dalam Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang disebut
sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
a) Orang-orang yang belum dewasa
b) Mereka yang ditaruh di dalam pengampunan
c) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang,
dan sernua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian tertentu.
Menurut Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
kriteria orang belum dewasa adalah orang-orang yang belum berumur 21
tahun dan sebelumnya belum pernah kawin. Berdasarkan kriteria tersebut
dapat ditafsirkan bahwa orang dewasa adalah orang yang telah mencapai
umur 21 tahun, tetapi berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Nomor: 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dikatakan bahwa anak yang belum
mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
ada di bawah kekuasaan orang tuanya. Orang tua akan mewakili anak
tersebut dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor: 1 Undang-
Undang Tahun 1974 maka yang disebut orang dewasa adalah orang yang
sudah mencapai umur 18 tahun.
Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan adalah setiap orang
dewasa yang selalu dalam keadaan sakit ingatan (gila), dungu, boros dan
lemah akalnya, seperti yang disebutkan dalam Pasal 1433 Kitab Hukum
Perdata. Pembentuk undang-undang memandang bahwa yang
bersangkutan tidak mampu menyadari tanggung jawabnya sehingga tidak
cakap untuk mengadakan perjanjian.
Mengenai kecakapan seorang istri yang bersuami diatur dalam
Pasal 108 dan Pasal 110 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyebutkan ketidakcakapan seorang istri untuk melakukan perbuatan
hukum tanpa bantuan suaminya, sedangkan Pasal 110 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata menyebutkan mengenai ketidakcakapan seorang
istri menghadap di muka sidang pengadilan, tetapi dengan keluarnya
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dinyatakan
bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dalam
pergaulan masyarakat perbuatan hukum dan menghadap di muka
pengadilan tanpa bantuan suaminya. Istri mempunyai kedudukan yang
sama dengan suami dalam melakukan perbuatan hukum atau melakukan
tindakan hukum.
3) Mengenai hal tertentu
Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian disebutkan bahwa suatu
perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu. Suatu perjanjian harus ada
suatu objek tertentu. Objek perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus
ditentukan jenisnya. Hanya barang yang dapat diperdagangkan saja yang
dapat menjadi objek perjanjian, sedangkan barang-barang yang
dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek
perjanjian.
4) Suatu sebab yang halal
Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ditetapkan sebagai syarat keempat untuk suatu perjanjian yang sah adalah
suatu sebab yang halal. Dengan sebab (causa) ini dimaksudkan tiada lain
adalah isi perjanjian.
Undang-Undang tidak memberikan pengertian tentang sebab
(oorzak causa). Yurisprudensi causa ditafsirkan sebagai isi atau maksud
dari perjanjian, tetapi sebab yang mendorong para pihak untuk
mengadakan perjanjian. Maksud suatu sebab yang halal adalah sebab yang
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan kepentingan
umum.
c. Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian terdapat beberapa asas yaitu:
(Mariam Darus Badrulzaman, 1998: 108).
1) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebesan berkontrak merupakan salah satu asas yang
penting dalam hukum perjanjian. Asas ini merupakan perwujudan manusia
yang bebas, pancaran hak asasi manusia. Asas kebebasan berkontrak
berhubungan erat dengan isi perjanjian, yakni kebebasan untuk
menentukan “apa” dan dengan “siapa” perjanjian diadakan.
Asas tersebut tersimpul dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-
Undang Hukum Perdta yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebutkan bahwa untuk sahnya perjanjian deiperlukan syarat-syarat;
sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan membuat perjanjian,
suatu hal tertentu, dan sebab yang halal.
Kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian yang
dibuat sesuai dengan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak
yang membuat perjanjian. Terhadap asas kebebasan berkontrak dibatasi
oleh tiga hal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum dan kesusilaan.
2) Asas konsensualisme
Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata disebutkan secara tegas bahwa untuk sahnya
perjanjian harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak. Dalam Pasal
1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditemukan dalam perkataan
“semua” menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk
menyatakan kehendak yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian,
Asas ini menentukan adanya perjanjian. Menurut asas ini perjanjian lahir
sejak tercapai kesepakatan antara para pihak dalam perjanjian,
3) Asas kepercayaan
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain,
menumbuhkan kepercayaan di antara para pihak bahwa satu sama lain
akan memegang janjinya untuk memenuhi prestasi di kemudian hari.
Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian tidak mungkin diadakan
para pihak.
Adanya kepercayaan ini, para pihak akan mengikatkan diri dan
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-undang.
4) Asas keseimbangan
Asas keseimbangan menghendaki para pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Kreditur mempunyai hal
untuk menuntut pelaksanaan prestasi dengan melunasi utang melalui
kekayaan debitur, namun kreditur juga mempunyai beban untuk
melaksanakan perjanjian dengan itikad baik, sehingga dapat dikatakan
bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajiban untuk
memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur
seimbang.
5) Asas kebiasaan
Asas kebiasaan diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata jo Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menurut Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan
bahwa suatu persetujuan tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas
dinyatakan dari dalamnya tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
Dalam Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya
diperjanjikan dianggap secara diarn-diam dimasukkan dalam perjanjian
meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Kebiasaan yang dimaksud dalam
Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kebiasaan pada
umumnya dan kebiasaan yang dimaksud dalam Pasal 1347 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata adalah kebiasaan setempat (khusus) atau
kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan tertentu.
d. Akibat Hukum Perianiian yang Sah
Suatu perjanjian yang telah dibuat secara sah sesuai dengan Pasal
1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menimbulkan akibat hukum
yaitu:
1) Berlaku sebagai undang-undang
Para pihak harus menaati perjanjian itu sama dengan undang-
undang. Apabila salah satu pihak melanggar perjanjian yang dibuat, maka
dianggap telah melanggar undang-undang. Pihak yang melakukan
pelanggaran tersebut akan mendapat hukuman seperti yang telah
ditetapkan undang-undang.
Dalam perkara perdata, hukuman bagi pelanggar perjanjian
ditetapkan oleh hakim berdasarkan undang-undang atas permintaan pihak
lainnya. Menurut undang-undang pihak yang tidak memenuhi isi
perjanjian diharuskan:
a) Membayar ganti kerugian;
b) Perjanjian dapat diputuskan;
c) Menanggung beban resiko;
d) Membayar biaya perkara jika sampai diperkarakan di pengadilan.
2) Tidak dapat ditarik kembali secara sepihak
Perjanjian yang mengikat para pihak, tidak boleh ditarik atau
dibatalkan secara sepihak. Para pihak yang ingin menarik kembali atau
membatalkan perjanjian tersebut, harus mendapat persetujuan dari pihak
yang lain, jadi diperjanjikan lagi, tetapi apabila ada alasan-alasan yang
cukup menurut undang-undang perjanjian dapat ditarik kembali atau
dibatalkan secara sepihak.
Alasan-alasan yang diberikan oleh undang-undang dapat diketahui
dalam pasal-pasal undang-undang sebagai berikut:
a) Perjanjian yang bersifat terus-menerus, berlakunya dapat dihentikan
secara sepihak. Misalnya Pasal 1571 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang sewa-menyewa yang dibuat secara tidak tertulis dapat
diberhentikan dengan memberitahukan kepada penyewa.
b) Perjanjian sewa suatu rumah yang diatur dalam Pasal 1587 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata setelah setelah berakhir waktu sewa
seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian tertulis, penyewa tetap
menguasai rumah tersebut tanpa ada teguran dari pemilik yang
menyewakan, maka penyewa tetap dianggap meneruskan penguasaan
rumah atas dasar sewa-menyewa dengan syarat-syarat yang sama
untuk waktu yang ditentukan menurut kebiasaan setempat. Jika
pemilik ingin menhentikan sewa-menyewa tersebut ia harus
memberitahukan kepada penyewa menurut kebiasaan setempat.
c) Perjanjian memberi kuasa (lastgeving) yang diatur dalam Pasal 1814
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pemberi kuasa dapat menarik
kembali kuasanya, apabila ia menhendakinya.
d) Perjanjian penerima kuasa (lasgeving) yang diatur dalam pasal 1817
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, penerima kuasan dapat
membebaskan diri dari kuasa yang diterimanya dengan
memberitahukan kepada pemberi kuasa.
3) Pelaksanaan dengan itikad baik
Menurut Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (tegoeder
trouvi). Norma ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari hukum
perjanjian.
Istilah itikad baik ada dua macam pengertian yaitu sebagai ukuran
subjektif dan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian itu. Hal
tersebut mengandung arti bahwa pelaksanaan perjanjian itu harus
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Setiap perjanjian
harus dilengkapi dengan aturan-aturan, undang-undang dan adat kebiasaan
di suatu tempat di samping kepatutan.Perjanjian tidak hanya mengikat
terhadap hal-hal yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Atas dasar hal ini, kebiasaan
juga ditunjuk sebagai sumber hukum disamping undang-undang.
Kebiasaan tersebut ikut menentukan hak dan kewajiban para pihak
dalam perjanjian, tetapi kebiasaan tersebut tidak boleh mengesampingkan
undang-undang. Dengan kata lain undang-undang tidak dapat
dikesampingkan oleh adapt kebiasaan yang menyimpang dari ketentuan
undang-undang tersebut. Hal yang diperjanjikan untuk dilaksanakan,
dinamakan prestasi. Prestasi dapat diartikan sebagai pemenuhan kewajiban
bila dilaksanakan membuat suatu janji (promise) untuk memenuhi prestasi.
e. Berakhirnya Perjanjian
Dalam suatu perjanjian kita harus tahu kapan perjanjian itu berakhir.
Perjanjian dapat berakhir karena:
1) Ditentukan dalam perjanjian oleh pihak, misalnya persetujuan yang
berlaku untuk waktu tertentu.
2) Ditentukan oleh undang-undang mengenai batas berlakunya suatu
perjanjian, misalnya menurut Pasal 1066 ay at (3) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebutkan bahwa para ahli waris dapat mengadakan
perjanjian untuk selama waktu tertentu untuk tidak melakukan pemecahan
harta warisan, tetapi waktu persetujuan tersebut oleh ayat (4) dibatasi
hanya dalam waktu limatahun.
3) Ditentukan oleh para pihak atau undang-undang bahwa perjanjian akan
hapus dengan terjadinya peristiwa tertentu. Misalnya jika salah satu pihak
meninggal dunia, maka perjanjian tersebut akan berakhir. Hal ini terdapat
dalam:
a) Perjanjian perseroan, Pasal 1646 ayat (4) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata;
b) Perjanjian pemberian kuasa, Pasal 1813 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata;
c) Perjanjian kerja, Pasal 1603 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
4) Pernyataan menghentikan persetujuan (opzegging). Opzegging dapat
dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak. Opzegging hanya
ada pada perjanjian-perjanjian yang bersifat sementara, misalnya:
a) Perjanjian kerja;
b) Perjanjian sewa-menyewa.
c) Perjanjian hapus karena putusan hakim.
d) Tujuan perjanjian telah tercapai.
e) Berdasarkan kesepakatan para pihak (heroeping) (R.Subekti,
1995:56).
2. Tinjauan tentang Kredit
a. Pengertian Kredit
Kata kredit berasal dari bahasa Romawi “creder” yang berarti
percaya. Dasar dari kredit adalah adanya kepercayaan. Pihak bank selaku
pemberi kredit (kreditur) percaya bahwa penerima kredit (debitur)
sanggup memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan, baik
menyangkut jangka waktu, prestasi maupun kontraprestasinya (Muhamad
Djumhana, 1996:229).
Pengertian kredit menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perbankan dalam Pasal 1 butir (1) adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu dengan pemberian bunga.
b. Unsur-unsur Kredit
Unsur-unsur yang terkandung dalam pemberian suatu fasilitas
kredit adalah sebagai berikut:
1) Kepercayaan
Kepercayaan merupakan suatu keyakinan dari pemberi kredit
bahwa prestasi yang diberikannya, baik dalam bentuk uang, barang
atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu
tertentu di masa yang akan datang.
2) Tenggang Waktu
Tenggang waktu adalah suatu inasa yang memisahkan antara
pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada
masa yang akan datang. Dalam unsur waktu ini, terkandung
pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang ada sekarang lebih tinggi
nilainya dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3) Degree of risk
Degree of risk yaitu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai
akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian
prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari
Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat risikonya,
karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu,
maka masih terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat
diperhitungkan dengan adanya unsur risiko maka timbul jaminan
dalam pemberian kredit.
4) Prestasi
Prestasi atau objek kredit jumpai dalam praktek perkreditan
adalah dalam bentuk uang (Thomas Suyatno, 1995:12-13).
c. Tujuan dan Fungsi Kredit
Pemberian suatu fasilitas kredit mempunyai beberapa tujuan yang
hendak dicapai yang tentunya tergantung dari tujuan bank itu sendiri.
Tujuan pemberian kredit juga tidak akan terlepas dari misi bank tersebut
didirikan. Dalam prakteknya tujuan pemberian suatu kredit sebagai
berikut:
1) Mencari keuntungan
2) Membantu usaha debitor
3) Membantu pemerintah
Selain memiliki tujuan, pemberian suatu fasilitas kredit juga
memiliki suatu fungsi yang sangat luas. Fungsi kredit tersebut antara lain :
1) Meningkatkan daya guna uang
2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang
3) Meningkatkan daya guna barang
4) Meningkatkan peredaran barang
5) Sebagai alat stabilitas ekonomi
6) Meningkatkan kegairahan berusaha
7) Meningkatkan pemerataan pendapatan
8) Meningkatkan hubungan internasional (Kasmir, 2004:105-109)
d. Jenis-jenis Kredit
Secara umum jenis-jenis kredit dapat dilihat dari berbagai segi:
1) Dilihat dari segi Kegunaan
a) Kredit Investasi
Kredit yang digunakan untuk keperluan perluasan usaha
atau membangun proyek/pabrik baru atau untuk keperluan
rehabilitasi. Contoh kredit untuk membangun pabrik atau membeli
mesin-mesin.
b) Kredit Modal Kerja
Kredit yang digunakan untuk meningkatkan produksi dalam
operasionalnya. Contoh kredit untuk membeli bahan baku,
membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan
dengan proses produksi perusahaan.
2) Dilihat dari segi Tujuan Kredit
a) Kredit Produktif
Kredit yang digunakan untuk meningkatkan usaha atau
produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan
barang atau jasa, contoh kredit untuk membangun pabrik yang
nantinya akan menghasilkan barang, kredit pertanian menghasikan
produk pertanian dan kredit pertambangan menghasilkan bahan
tambang.
b) Kredit Konsumtif
Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi.
Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang atau jasa yang
dihasilkan, karena memang untuk dipakai oleh seseorang atau
badan usaha, contoh kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi,
kredit perabotan rumah tangga.
c) Kredit Perdagangan
Kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk
membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari
hasil penjualan barang dagangan tersebut. Kredit ini sering
diberikan kepada supplier atau agen-agen perdagangan yang akan
membeli barang dalam jumlah besar, contoh kredit ekspor dan
impor.
3) Dilihat dari segi Jangka Waktu
a) Kredit Jangka Pendek
Kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun
atau paling lama 1 tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan
modal kerja, contoh untuk peternakan misal kredit peternakan
ayam, untuk pertanian misal tanaman padi.
b) Kredit Jangka Menengah
Jangka waktu kreditnya antara 1 tahun sampai 3 tahun dan
biasanya untuk investasi, contoh kredit untuk pertanian, misal
tanamanjeruk.
c) Kredit Jangka Panjang
Kredit yang masa pengembaliannya paling panjang, yakni
di atas 3 tahun atau 5 tahun dan biasanya untuk investasi Jangka
panjang, contoh untuk tekstil berupa pembelian mesin, kredit
konsumtif untuk perumahan.
4) Dilihat dari segi Jaminan
a) Kredit Dengan JaminanKredit yang diberikan dengan suatu
Jaminan. Jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau
tidak berwujud atau jaminan orang. Setiap kredit yang dikeluarkan
akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan calon debitur.b)
Kredit Tanpa JaminanKredit yang diberikan tanpa jaminan barang
atau orang tertentu. Kredit ini diberikan dengan melihat prospek
usaha dan karakter serta loyalitas atau nama baik calon debitur
selama ini.
5) Dilihat dari segi Sektor Usaha
a) Kredit Pertanian
Kredit untuk sektor perkebunan atau pertanian rakyat.
Sektor usaha pertanian dapat berupa jangka pendek atau jangka
panjang.
b) Kredit Peternakan
Kredit jangka pendek untuk peternakan ayam, kambing
dan sebagainya.
c) Kredit Industri
Kredit untuk membiayai industri kecil, menengah dan besar.
d) Kredit Pertambangan
Kredit untuk jenis usaha tambang yang dibiayainya dalam
bentuk kredit jangka panjang seperti tambang emas, minyak atau
timah.
e) Kredit Pendidikan
Kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan
prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk para
mahasiswa.
f) Kredit Profesi
Kredit yang diberikan kepada para profesional, seperti
dosen, dokter atau pengacara.
g) Kredit Perumahan
Kredit untuk membiayai pembangunan atau pembelian
perumahan.
h) Sektor-sektor lainnya (Johannes Ibrahim, 2004:96-98)
e. Prinsip-nrinsip Pemberian Kredit
Sebelum suatu kredit diberikan, pihak bank wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan
kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai
dengan yang diperjanjikan (Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor: 10
Tahun 1998). Keyakinan tersebut dapat diperoleh dengan melakukan
analisa kredit dengan memintakan berbagai persyaratan yang harus
dipenuhi oleh calon penerima kredit
3. Tinjauan Umum Tentang Jaminan
a. Pengertian Jaminan
Secara umum hukum jaminan adalah keselurahan dari ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang jaminan di dalam pemberian kredit.
Sedangkan jaminan ialah sesuatu yang menimbulkan keyakinan bahwa
debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang
timbul dari suatu perikatan (Hartono Hadi Soeprapto, 1984:50).
Berdasarkan pengertian di atas, jaminan merupakan sesuatu yang
mempunyai nilai mudah diuangkan yang dengan janji sebagai jaminan
untuk pembayaran dari kewajiban debitur yang ada. Adanya jaminan
tersebut memang diperlukan oleh kreditur. Kredit yang diberikan akan
lebih aman dalam pelunasannya bila disertai adanya suatu jaminan,
dengan demikian fungsi jaminan dalam pemberian kredit adalah penting
sekali karena memberikan hak dan kekuasaan pada bank (kreditur) untuk
mendapatkan pelunasan dari barang-barang kaminan tersebut bila debitur
ingat janji dalam membayar kembali hutang pada waktu yang telah
ditentukan dalam perjanjian.
b. Bentuk-bentuk Jaminan
Bentuk jaminan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
1) Jaminan yang timbul dari undang-undang, dan
2) Jaminan yang timbul dari atau perjanjian (Hartono
Hadisoeprapto, 1984:5)
Jaminan yang timbul dari undang-undang dimaksudkan adalah
bentuk-bentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu undang-
undang. Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi
sebagai berikut: ”Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak
maupun tidak bergerak, baik yang sudah maupun baru akan ada di
kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan
perseorangan.” Dengan ketentuan undang - undang seorang kreditur telah
diberikan jaminan yang berupa harta benda dari milik debitur tanpa
khusus diperjanjikan terlebih dahulu, namun dengan jaminan semacam itu
kedudukan kreditur hanyalah merupakan kreditur konkoren saja terhadap
seluruh kekayaan debitur.
Jaminan yang timbul dari undang-undang juga diatur dalam Pasal
1131 kitab Undang-Undang Hukuni Perdata adalah sebagai berikut:
”Kebendaan terebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan kepadanya pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan yaitu menurut besar kecilnya piutang
masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan.”
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Pasal 1131 pada kalimat terakhir
yang berbunyi kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-
alasan yang sah untuk didahulukan, maka antara kreditur dan debitur
dapat membuat perjanjian jaminan secara khusus, sehingga dapat
memberikan alas an bagi kreditur untuk mendapatkan hak
didahulukan/preferensi dalam pembayaran piutangnya.
Bentuk jaminan yang timbul karena perjanjian yang dibuat khusus
dengan kreditur dan debitur itu dapat dibedakan antara bentuk jaminan
yang bersifat kebendaan dan yang bersifat perorangan.
1) Jaminan yang bersifat kebendaan
Jaminan yang bersifat kebendaan dapat diadakan antara
kreditur dengan debiturnya, tetapi juga dapat dibedakan antara
kreditur dengan seseorang ketiga yang menjamin dipenuhinya
kewajiban-kewajiban si berhutang (debitur) (R. Subekti, 1996: 17).
Jaminan yang bersifat kebendaan berupa hak mutlak atas suatu
benda tertentu dari debitur yang dapat dipertahankan pada setiap
orang. Jaminan ini mempunyai ciri-ciri:
a) Mempunyai hubungan langsung atas bendanya;
b) Dapat dipertahankan kepada siapapun;
c) Selalu mengikuti bendanya (droit de surte);
d) Yang lebih tua mempunyai kedudukan yang lebih tinggi;
e) Dapat diperalihkan kepada orang lain. (J. Satrio, 1993:13).
Atas dasar ciri-ciri tersebut maka jaminan pada jaminan
kebendaan harus benda yang dapat dialihkan dan mempunyai nilai jual
(ekonomis), pemberian jaminan kebendaan selalu berupa
menyendirikan suatu bagian dari kekayaan seseorang si pemberi
jaminan dan menyediakan guna pemenuhan pembayaran hutang
seorang debitur tersebut dapat berupa kekayaan sendiri (debitur) atau
kekayaan seorang ketiga.
Penyendirian atau penyidiaan secara khusus itu diperuntukan
bagi keuntungan seorang kreditur tertentu yang telah memintanya,
karena apabila tidak ada penyendirian atau penyediaan secara khusus
bagian dari kekayaan tadi, seperti halnya dengan seluruh kekayaan si
debitur dijadidkan jaminan untuk pembayaran semua hutang debitur,
dengan demikian, pemberian jaminan kebendaan pada seorang kreditur
tertentu memberikan kepada kreditur tersebut suatu preferensi atau hak
didahulukan terhadap para kreditur lainnya.
Jaminan kebendaan meliputi barang bergerak, barang tetap
(tak bergerak), barang tak berwujud (piutang). Memberikan suatu
barang dalam jaminan berarti melepaskan sebagian kekuasaan atas
barang itu. Pada asasnya yang harus dilepaskan adalah kekuasaan
untuk memindahkan hak milik atas barang itu dengan cara apapun juga
(menjual, menukarkan, menghibangkan. Untuk barang-barang
bergerak cara paling efektif untuk mencegah barang itu dipindahkan
hak miliknya oleh debitur adalah menarik barang itu dari kekuasaan
fisik debitur maka dalam gadai (pand) telah ditetapkan oleh Pasal 1152
ayat(2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata, bahwa barang yang
diberikan dalam gadai harus ditarik dari kekuasaan (fisik) si debitur).
Untuk barang tetap (tak bergerak) penguasaan fisik atas
barangnya tidak relevan untuk pemindahan hak milik, tetapi
menentukan untuk itu adalah suatu perbuatan adminstratif yang
memindahkan hak milik ini.
2) Jaminan yang bersifat perorangan
Jaminan yang bersifat perorangan adalah selalu suatu perjanjian
antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang
menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban si berhutang (debitur)
(R.Subekti, 1996: 4), ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa)
pengetahuan si berhutang tersebut, atau juga dapat berarti pihak ketiga
guna kepentingan kreditur mengikatkan diri untuk memenuhi hutang
dari debitur, manakala debitur tidak memenuhi janjinya.
Dalam Jaminan perorangan selalu dimaksudkan bahwa untuk
pemenuhan kewajiban-kewajiban si berhutang yang dijamin
pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian (jumlah) tertentu,
harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang
menurut ketentuan-ketentuan pelaksanaan (eksekusi) putusan-putusan
pengadilan. Mengingat pada sifatnya yang assesoir maka seorang
penanggung diberikan hak istimewa untuk supaya si berhutang utama
(debitur) terlebih dahulu dilelang sita harta kekayaannya, meskipun
hak istimewa boleh ditiadakan dan memang dalam praktik sering
ditiadakan. Juga kepada seorang penanggung bersama-sama
menganggung pembayaran satu hutang, untuk diadakannya
”pemecahan” atau pembagian beban tanggungannya. Dalam hal
beberapa orang itu bersama-sama menanggung pemenuhan hutang
tersebut sepenuhnya, dapat dituntut pembagian sama rata dalam hal
kewajiban penanggungan dibatasi sampai suatu jumlah tertentu dapat
dituntutnya pembagian menurut imbangan jumlah-jumlah pembatasan
tersebut. Hal ini seringkali dalam praktik sering ditiadakan jika hak-
hak istimewa untuk menuntut ditiadakarmya pembagian atau
pemecahan ini ditiadakan maka semua penanggung berkedudukan
seperti seorang debitor tanggung-menanggung sehingga masing-
masing dapat dituntut untuk membayar seluruh hutang yang
ditanggungnya.
Lembaga jaminan perorangan ini dari dulu sampai sekarang
tidak mengalami perkembangan. Oleh karena tuntutan kreditur
terhadap seorang penanggung tidak diberikan suatu privilege atau
kedudukan istimewa di atas tuntutan-tuntutan kreditur lainnya dari si
penanggung, maka jaminan perorangan ini tidak banyak berguna bagi
dunia perbankan.
c. Macam-macam Jaminan
Dalam praktik perbankan di Indonesia jaminan yang sering dipakai
adalah jaminan kebendaan yang meliputi:
1) Gadai atau Pand
Dasar hukum dari pand adalah terdapat di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Buku II tentang Pasal 1150 sampai dengan 1160
butir ke-20. Pengertian pand sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal
1150 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
”Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang (kreditur) atas suatu benda bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang (debitur) atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutan itu untuk mengambil pelunasan barang-barnag bergerak tersebut secara didahulukan dari ada orang-orang berpiutang lainnya dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara barang itu. Biaya-biaya mana harus didahulukan”.
Objek gadai adalah benda bergerak baik itu benda yang berwujud
maupun tidak berwujud sehingga cara untuk mengadakan pengikatan
gadai juga berbeda persyaratannya tergantung pada jenis benda apa yang
digadaikan itu. Namun demikian, ada persyaratan umum yang harus
dipenuhi pada setiap penggadaian benda-benda yaitu harus ada perjanjian
gadai dengan benda yang digadaikan itu harus diserahkan oleh debitur
(pemberi gadai) kepada kreditur pemegang gadai.
Hapusnya hak gadai dapat terjadi karena:
a) Hapusnya perikatan pokok;
b) Karena benda gadai keluar dari kekuasaan pemegang gadai;
c) Karena musnahnya benda gadai;
d) Karena penyalahgunaan benda gadai;
e) Karena pelaksanaan eksekusi;
f) Karena kreditur melepaskan benda gadai secara sukarela;
g) Percampuran.
2) Fidusia
Menurut sejarahnya fidusia berasal dari Belanda, yaitu dengan
adanya arrest 25 Januari 1929. Arrest ini kemudian menjadi dasar hukum
dalam arrest berikutnya, seperti keputusan HR 3 Januari 1941, NJ.
1941,470.
Dari arrest ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian di mana salah
satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan barang miliknya sebagai
jaminan merupakan title yang sempurna dari penyerahan, walaupun
penyerahan nyata tidak terjadi. Penyerahan di sini bersifat abstrak.
Perjanjian ini tidak berlaku jika diselubungi dengan perjanjian jual beli.
Selanjutnya yurisprudensi yang pertama di Indonesia mengenai
fidusia ialah dengan adanya arrest Hoogee recht shop tanggal 18 Agustus
1932. Yurisprudensi ini sebagai jalan keluar yang ditempuh pengadilan
untuk mengatasi masalah yang terdapat dalam hak gadai menurut
KUHPerdata dalam hubungannya dengan esensi penguasaan benda oleh
pemegang gadai.
Dalam perkembangan selanjutnya timbul kebutuhan-kebutuhan
baru dalam masyarakat yang belum diatur dalam undang-undang.
Khususnya kebutuhan akan jaminan fidusia, di mana benda yang
dijaminkan masih dibutuhkan untuk mengembangkan dan melanjutkan
usahanya. Maka untuk Itu kemudian dibentuk Undang-Undang No. 41
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Menurut Pasal 1 Undang-Undang
No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia bahwa fidusia adalah
pengaliahan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap
dalam penguasaan pemilik benda.
Lembaga jaminan fidusia dibentuk dengan maksud bahwa
peminjam menyerahkan hak miliknya atas benda jaminan itu secaa
kepercayaan. Dengan adanya jaminan fidusia maka hubungan hukum yang
terjadi antara debitur pemberi fidusia dan kreditur penerima fidusia
merupakan hubungan hukum yang berdasarkan kepercayaan. Pemberi
fidusia percaya bahwa penerima fidusia mau mengembalikan hak miliknya
yang diserahkan kepadanya setelah debitur melunasi hutangnya.Kreditur
sebagai penerima fidusia juga percaya bahwa pemberi fidusia tidak akan
menyalahgunakan barang jaminan yang ada dalam kekuasaannya.
Sifat-sifat hukum fidusia adalah sebagai berikut:
a) Fidusia adalah hak kebendaan
Hak kebendaan ini adalah absolut, artinya hak ini dapat
dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak itu berhak
menuntut setiaporang yang mengganggu haknya. Setiap orang
berhak menghormati hak itu.
Hak kebendaan mempunyai zaaksgevolg (droit de
suite), artinya hak itu mengikuti bendanya di dalam tangan
siapapun benda itu berada. Di dalam karakter ini terkandung
asas hak yang tua didauhulukan dari hak yang muda (droit de
preference). Karena ada beberapa hak kebendaan yang
diletakkan di atas suatu benda maka kekuatan hak itu
ditentukan oleh urutan waktu. Hak kebendaan memberikan
wewenang yang luas kepada pemiliknya dan hak kebendaan
jangka waktunya tidak terbatas (Mariam Darus Badrul Zaman,
1984: 5).
Hak fidusia yang diperoleh kreditur merupakan hak
kebendaan yang bersifat memberikan jaminan yang dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga. Tujuan sifat kebendaan
di sinilah untuk memberikan jaminan bagi pemegang fidusia
bahwa di kemudian hari piutangnya past! dibayar dari nilai
barang jaminan.
b) Fidusia adalah hak accessoir
Fidusia ini adalah bersifat accessoir adanya tergantung
kepada perjnjian pokok yang biasanya berupa perjanjian
peminjaman uang pada bank. Di dalam praktik perbankan
perjanjian fidusia ini sering diadakan sebagai tambahan
jaminan pokok manakala jaminan pokok itu dianggap kurang
memenuhi. Adakalanya fidusia juga diadakan secara tersendiri
dalam arti tidak sebagai tambahan jaminan pokok, yaitu
sebagaimana yang sering dipakai oleh pedagang kecil atau
pengecer sebagai jaminan kredit mereka yang dimintakan pada
bank (Sri Soedewi M.S, 1982:26). Fidusia ini bukan
merupakan hak yang berdiri sendiri, tetapi adanya dan
hapusnya tergantung pada perjanjian pokok. Lahir dan
berakhirnya penyerahan hak milik secara fidusia tergantung
dari perjanjian pokok, misalnya perjanjian pinjam uang.
c) Fidusia adalah hak preference
Pemilik fidusia mempunyai hak preferensi jika pemberi
jaminan fidusia pailit maka benda fidusia tidak jatuh ke
dalamboedel pailit. Pemilik jaminan fidusia untuk pelunasan
hutangnya (Mariam Darus Badrulzaman, 1984: 98).
Untuk pelunasan hutangnya, kreditur fidusia
mempunyai hak untuk lebih didahulukan dari kreditur-kreditur
lainnya. Mengenai hak yang didahulukan ini dapat dita lihat
dalam Pasal 1133 KUHP Perdata, yaitu hak untuk didahulukan
diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa.
d) Parate eksekusi
Hak melakukan parate eksekusi yaitu wewenang yang
diberikan kepada kreditur untuk mengambil pelunasan
piutangnya dari kekayaan debitur tanpa memiliki eksekutornya
title atau hak seseorang kreditur untuk melakukan parate
eksekusi dengan menjalankan sendiri apa yang menjadi
haknya tanpa perantara hakim. Sebagai konsekuensinya dari
penyerahan hak milik secara fidusia sebagai jaminan oleh
Pasal 15 ayat 3 Undang-Undang Nomor: 42 Tahun 1999
diakui sebagai hukum jaminan kebendaan yang baru, maka
pemilik fidusia mempunyai hak melakukan parate eksekusi
(menjual dengan kekuasaan sendiri dengan benda yang
menjadi jaminan fidusia apabila debitur cidera janji). la berhak
menagih piutangnya dari hasil penjualan benda fidusia tanpa
eksekutorial title. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
pemilik fidusia tidak boleh mengadakan perjanjian untuk
mendaku benda fidusia (Mariam Darus Badrulzaman,
1984:98).
e) Luas hak milik fidusia
Ada 2 aliran atau pendapat mengenai luas hak milik
fidusia.Aliran yang pertama menyatakan bahwa hak milik
fidusia bersifat sempurna, sedangkan aliran yang kedua
menyatakan bahwa pemilik fidusia terbatas.
1) Pendirian kuno
Dikemukakan dalam pendirian kuno bahwa hak
milik fldusia adalah hak milik yang sempurna, berdasarkan
perjanjian fidusia itu merupakan perjanjian yang bersifat
obligator. Pendirian ini dianut pada zaman romawi yang
disebut fidusia com credit ore.Veenhoven menerima
pendirian ini dengan catatan bahwa hak milik disini bersifat
sempurna yang terbatas yakni digantungkan kepada syarat
tertentu. Untuk memiliki fidusia hak miliknya
digantungkan kepada syarat putus. Hak milik yang
sempurna baru lahir jika pemberi fidusia tidak memenuhi
kewajibannya (wanprestasi). Bagi pemberi fidusia hak
miliknya yang sempurna digantungkan pada syarat tangguh
jika ia memenuhi hutangnya demi hukum benda fidusia
kembali menjadi hak miliknya.
2) Pendirian modern
Mengemukakan bahwa perjanjian penyerahan hak
milik secara fidusia sebagai jaminan merupakan hak milik
terbatas. Perjanjian ini hanya melahirkan hak jaminan dan
bukan hak milik. Perbedaan kedua pendirian ini akan
menjadi jelas dalam hal pemilik fidusia jatuh pailit.
Menurut pendirian pertama jika pemilik fidusia pailit
seluruh kekayaan pemilik fidusia termasuk benda fidusia
jatuh ke dalam boedel pailit. Sedangkan menurut pendirian
modern jika pemegang fidusia pailit benda fidusia tidak
termasuk ke dalam boedek pailit. Terhadap kedua pendirian
ini, pendirian kedua yakni pendirian modern lebih disetujui
sebab tujuan pihak-pihak dalam perjanjian fidusia bukan
menciptakan hak milik, akan tetapi jaminan saja.
3) Hak Tanggungan
Undang-Undang Nomor: 4 Tahun 1996 Tentang
Hak tanggungan. Undang-undang ini ditetapkan untuk
memenuhi ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor: 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
atau yang dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA).Berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan
tersebut, maka ketentuan tentang Hipotik yang diatur dalam
buku II KUHP Perdata sepanjang mengenai pembebanan
Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah, serta ketentuan tentang
crediet verband diatur dalam staatsblad 908: 542 jo
staatsblead 1909.586 dan staatsblad 1937; 190 jo
staatsblad 1937: 191 dinyatakan tidak berlaku lagi.
3. Tinjauan Tentang Wanprestasi
a. Pengertian Wanprestasi
Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi yang
berarti tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan bersama dalam
perjanjian. Menurut Prof. Dr. Mariam Daus Badrulzaman, SH. yang
disebut dengan wanprestasi adalah ”debitur” karena kesalahan tidak
melaksanakan apa yang diperjanjikan” (Mariam Daus Badrulzaman,
1983:108).
Tidak dipenuhinya kewajiban itu dapat terjadi karena dua hal,
yaitu:
1) Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun karena
kelalaian,
2) Karena keadaan memaksa (force majour), di luar kemampuan debitur.
b. Bentuk dan wujud wanprestasi
Menurut Subekti wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang
debitur dapat berupa:
1) Debitur sama sekali tidak memenuhi prestasi
2) Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang
diperjanjikan,
3) Debitur memenuhi presatsi tetapi tidak tepat waktunya (terlambat),
4) Debitur melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukan (Subekti, 1993: 49).
Pada kenyataannya, sangat sulit untuk menentukan apakah debitur
dikatakan tidak memenuhi perikatan, karena pada saat mengadakan
perjanjian pihak-pihak tidak menentukan waktu untuk melakukan suatu
prestasi tersebut.
c. Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi
Adapun akibat hukum bagi debitur yang lalai atau melakukan
wanprestasi, dapat menimbulkan hak bagi kreditur, yaitu:
1) Menuntut pemenuhan perikatan,
2) Menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan tersebut bersifat
timabal balik, menuntut pembatalan perikatan,
3) Menuntut ganti rugi,
4) Menuntut pemenuhan perikatan dengan disertai ganti rugi,
5) Menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.
Akibat hukum yang timbul dari wanprestasi dapat juga disebabkan
karena keadaan memaksa (force majour). Keadaan memaksa (force majour)
yaitu salah satu alasan pembenar untuk membebaskan seseorang dari
kewajiban untuk mengganti kerugian (Pasal 1244 dan 1445 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata).
Menurut undang-undang ada tiga hal yang harus dipenuhi untuk
adanya keadaan memaksa, yaitu:
1) Tidak memenuhi prestasi,
2) Ada sebab yang terletak di luar kesalahan debitur,
3) Faktor penyebab itu tidak terduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Pasal 1244 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi jika ada
alasan untuk itu, si berhutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan
bunga, apabila ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak dilaksanakan atau
tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perjanjian itu, pun tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itupun jika itikad buruk
tidaklah ada pada pihaknya. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa kesalahan memaksa adalah suatu kejadian yang tak
terdua, di luar kesalahan pihak debitur tetapi segala akibat peristiwa itu harus
dipikulkan kepadanya karena ia telah menyanggupi atau karena
penganggungan dengan segala akibat itu termasuk dalam sifat perjanjiannya.
Dalam soal ganti rugi dan keadaan memaksa itu suatu soal yang
mendahuluinya adalah menetapkan maksud dari kedua belah pihaktentang
apakah yang menjadi kesanggupan masing-masing dan apakah suatu peristiwa
dapat diangap sebagai suatu keadaan memaksa atau tidak adalah soal yang
mengenai penilaian hasil pembuktian yang induk pada pemeriksaan kasasi
(Subekti, 1993: 57).
4. Tinjauan Umum tentang pasar, Hak Pemakaian Tempat Usaha,
Pemakai Tempat Usaha
Tanah dan bangunan pasar milik Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan yang pengurusannya diserahkan
untuk dikelola berdasarkan Peraturan Daerah Khusus Ibukota (OKI) Jakarta
Nomor 6 Tahun 1992 tanggal 21 Juli 1992.
Peraturan Daerah Nomor: 6 Tahun 1992 tentang pengurusan pasar di
Daerah Khusus Ibu Kota Pasal 1 huruf a menyatakan : ”Pasar adalah suatu
tempat transaksi jual beli umum milik pemerintah daerah, tempat pedagang
secara teratur dan langsung mernperdagangkan barang dan jasa.”
Sedangkan dalam Pasal 1 huruf c dinyatakan bahwa ”pemakai tempat
usaha adalah orang atau badan hukum yang berdasarkan ijin penghunian
tempat mempunyai hak memakai tempat di pasar untuk memperdagangkan
barang dan jasa.”
Ijin pemakaian tempat usaha adalah ijin tertulis dari Gubernur atau
kepala daerah atas pemakaian tempat di pasar. Sesuai dengan Pasal 9 ayat (2)
Peraturan Daerah Nomor: 6 Tahun 1992 ditegaskan bahwa Hak Pemakaian
Tempat Usaha di pasar ditetapkan oleh direksi untuk jangka waktu 20 tahun,
Adapun asas-asas umum hukum benda dalam KUH Perdata menurut
Prof Subekti antara lain;
a. Asas tertutup, dengan ini dimaksudkan bahwa tidak dapat dibuat hak
kebendaan baru selain yang telah disebut secara limitatif dalam
Undang-Undang.
b. Asas Absolut, bahwa hak kebendaan dapat dipertahankan terhadap
siapapun. Setiap orang harus menghormati hak tersebut.
c. Dapat diserahkan, bahwa pemilikan benda mengandung wewenang untuk
menyerahkan bendanya.
d. Asas mengikuti, bahwa hak kebendaan akan mengikuti bendanya di
tangan siapapun berada.
e. Asas Publisitas, bahwa pendaftaran benda merupakan bukti
kepemilikan.
f. Asas Individual, bahwa objek hak kebendaan hanya terdapat benda yang
dapat ditentukan.
g. Asas totalitas, bahwa hak milik hanya dapat diletakkan terhadap benda
secara totalitas atau secara keseluruhan dan tidak pada bagian-bagian
benda.
h. Asas Pelekatan (asorsi), yaitu asas yang melekatkan benda pelengkap pada
benda pokoknya.
i. Asas besit merupakan title sempurna, berlaku bagi benda bergerak dan
secara letak dalam Pasal 1977 KUH Perdata. Asas ini dewasa ini hanya
dapat berlaku bagi benda bergerak tidak atas nama ataupun tidak terdaftar.
Hak pemakaian diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Perda OKI Jakarta No. 6
Tahun 1992 tentang pengurusan pasar di daerah kliusus ibu kota dengan
jangka waktu kurang lebih 20 tahun, Merupakan suatu hak untuk memakai
atas kebendaan berwujud dari tempat usaha dan bangunan pasar yang dapat
dimiliki dan dialihkan serta dapat dijadikan jaminan kredit, baik kredit modal
usaha, maupun kredit kepemilikan hak pemakaian tempat usaha.
B. Kerangka Pemikiran
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya mengeluarkan Keputusan Direksi
Nomor: 450 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Khusus
Ibukota (OKI) Jakarta Nomor; 6 Tahun 1992 Tentang Pengelolaan dan
Pengembangan Pasar. Di dalam Peraturan Daerah Khusus Ibukota (OKI)
Jakarta Nomor: 6 Tahun 1992 disebutkan mengenai Hak Pemakaian Tempat
Usaha sebagai ijin untuk memakai tempat usaha di kios yang terdapat pada
pasar di Jakarta. Hal ini terdapat pada Pasal 1 huruf f Disebutkan ”Pemakai
Tempat Usaha adalah orang atau badan hukum yang berdasarkan ijin
penghunian tempat mempunyai hak memakai tempat di pasar untuk
memperdagangkan barang dan jasa”. Hak pemakaian tempat usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 2 Peraturan Daerah Khusus Ibukota
(OKI) Jakarta Nomor: 6 Tahun 1992 Tentang Pengelolaan dan Pengembangan
Pasar merupakan suatu hak untuk memakai atas kebendaan berwujud dari
tempat usaha pada bangunan pasar yang dimiliki dan dapat dialihkan serta
dapat dijadikan jaminan kredit baik kredit modal kerja maupun kredit
pemilikan Hak Pemakaian Tempat Usaha. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat
1 dan ayat 2 Keputusan Direksi Peraturan Daerah Pasar Jaya Nomor: 450
Tahun 2003 yaitu: ”Pemakai tempat usaha dapat menjaminkan Hak
Pemakaian Tempat Usahanya yang berapa Sertiflkat Hak Pemakaian Tempat
usaha dan surat perjanjian pemakaian tempat usaha untuk memperoleh Kredit
bank setelah terlebih dahulu mendapat ijin tertulis dari Direksi atau pejabat
yang ditunjuk”.
Perolehan Sertiflkat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) dengan
cara mengajukan permohonan kredit pada bank dimulai melalui pembuatan
Perjanjian Kerjasama tiga pihak yaitu pedagang, bank, Perusahaan Daerah
Pasar Jaya. Perjanjian kerjasama ini merupakan perjanjian awal untuk
memulai pengadaaan fasilitas pemberian kredit bagi pedagang untuk
memperoleh Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha untuk selanjutnya
menjadi dasar pembuatan perjanjian kredit.
Terkait dengan hal tersebut maka pedagang yang hendak memiliki
sertiflkat hak pemakaian tempat usaha sebagai bentuk kepemilikan hak untuk
menggunakan tempat di pasar, dapat melakukan perjanjian kredit dengan bank
dengan catatan apabila bank telah mambayar lunas sisa pembayaran yang
belum dilakukan oleh pedagang dalam rangka untuk memperoleh sertifikat
hak pemakaian tempat usaha maka sertiflkat hak akan terlebih dahulu di tahan
oleh bank hingga utang pedagang lunas. Namun sebelum hal itu dilakukan
harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak yang tertuang dalam bentuk
perjanjian tertulis yang dibuat di hadapan notaris.
Apabila perjanjian itu baik dari segi formal maupun segi materialnya
telah sah menurut hukum yang berlaku maka dilakukanlah pelaksanaan
pemberian kredit sesuai dengan waktu dan cara yang telah di sepakati dalam
perjanjian pemberian kredit dengan bank. Kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian yang dalam hal ini antara lain adalah pedagang
(debitur) dan bank (kreditur) harus menjalankan hak dan kewajibannya
masing masing yang telah tertuang dan disepakati dalam perjanjian kredit
apabila hak dan kewajiban para pihak telah dipenuhi maka selesailah
pelaksanaan pemberian kredit. Tetapi apabila salah satu pihak melakukan
wanprestasi maka diperlukan solusi dan penyelesaian dimana ternyata
penyelesaian itu tidak hanya melihat ke perjanjian pokok yaitu perjanjian
pemberian kredit tetapi juga harus melihat menurut hukum dan aturan yang
berlaku dimana hukum itu terdapat didalam KUH Perdata sebagai sumber
hukum perdata di Indonesia dan juga Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
Tentang Jaminan Fidusia khususnya. Mengingat bahwa Hak Pemakaian
Tempat Usaha merupakan produk hukum dari Perusahaan Daerah (PD) Pasar
Jaya maka mengenai pelaksanaan eksekusi maupun penyelesaian perkara
harus melihat juga dari Peraturan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta
Nomor: 6 Tahun 1992 Tentang Pengelolaan dan Pengembangan Pasar juga
dari Keputusan Direksi Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya Nomor: 450
Tahun 2003 tentang pelaksanaan Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Nomor: 6 Tahun 1992 Tentang Pengelolaan dan Pengembangan Pasar.
Sehingga solusi yang didapatkan dapat bersinergis dengan hukum yang ada
dan ganti kerugian dapat mencerminkan prinsip keadilan.
Untuk lebih jelasnya lihat bagan dibawah ini:
Gambar 1
Alur Kerangka Pemikiran
Hak Pemakaian Tempat Usaha
Syarat penggunaan tempat usaha di pasar
di PD Pasar Jaya
Sertifikat hak pemakaian tempat usaha
Di bayar lunas oleh pedagang
Di bayar sementara oleh bank
Perjanjian kerjasama
Pelaksanaan perjanjian
Hambatan pelaksanaan
Solusi
- Perda DKI No. 6 Th. 1992 tentang pengelolaan dan pengembangan pasar
- Kep. Direksi PD Pasar Jaya No. 450 Th. 2003 tentang pelaksanaan Perda DKI No. 6 Tahun 1992 tentang pengelolaan dan pengembangan pasar
Perjanjian Pemberian kredit
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Umum Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
1. Sejarah dan Dasar Hukum Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
a. Sejarah Singkat Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya, pada awalnya adalah
perusahaan pasar hasil reorganisasi di lingkungan Djawatan Perekonomian
Rakyat Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang ditetapkan melalui
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Nomor
lb.3/2/15/66 Tanggal 24 Desember 1966, dan kemudian disahkan dengan
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Ekbang 8/8/13305 Tanggal 23
Desember 1967. Seiring dengan perkembangan kota Jakarta menjadi kota
metropolitan dan persaingan usaha yang makin kompetitif, status dan
kedudukan hukum Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya ditingkatkan
dengan Peraturan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Nomor 7 Tahun
1982 dan disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
511.2331 - 181 Tanggal 19 April 1983.
Dalam upaya meningkatkan peranan Perusahaan Daerah (PD)
Pasar Jaya sebagai perusahaan daerah yang lebih profesional serta
mengantisipasi tuntutan perkembangan bisnis perpasaran di Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang makin kompetitif dan untuk
meningkatkan fungsi dan peranannya maka Perusahaan Daerah (PD) Pasar
Jaya ditetapkan kembali dengan Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta Nomor 12 Tahun 1999 Tanggal 30 Desember 1999,
dengan bergulirnya waktu pasar terus berkembang. Pada mulanya pasar
merupakan tempat bertemunya pedagang dan pembeli dan terjadinya
transaksi langsung, namun dari waktu ke waktu, dan tuntutan konsumen
pasar yang terus berubah maka pasar tidak hanya sekedar menjadi tempat
bertemunya pedagang dan konsumen serta terjadi transaksi barang riil di
pasar, tetapi pasar merupakan entity business yang lengkap dan kompleks
dimana kenyamanan dan kepuasan pelanggan (consumer satisfaction)
yang menjadi tujuan utama.
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya mengelola 151 (seratus lima
puluh satu) pasar yang tersebar di seluruh wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta. Total nilai asset perusahaan lebih dari 3 (tiga) triliun Rupiah.
Pasar-pasar yang dikelola banyak berlokasi di tempat yang strategis antara
lain Pasar Tanah Abang, Pasar Senen, Pasar Jatinegara, Pasar Burung,
Pasar Pramuka, Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Pagi, Pasar Blok M, Pasar
Cipulir, Pasar Mayestik dan puluhan pasar milik Perusahaan Daerah Pasar
Jaya lainnya. Omset bisnis yang diperdagangkan diseluruh pasar yang
dikelola Perusahaan Daerah Pasar Jaya lebih dari 150 Triliun
Rupiah/Tahun dengan jumlah tempat usaha 98.507 Tempat Usaha.
Berdasarkan survei yang didukung dengan hasil wawancara
denagan Bapak Wayan Dharma Jaya S.H,M.H selaku Manager Hukum
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya setiap hari pasar dikunjungi lebih dari
2 (dua) juta pengunjung atau kurang lebih dua puluh persen penduduk
Jakarta. Hal ini merupakan satu kekuatan ekonomi bagi kota Jakarta.
Menyadari akan pentingnya peranan pasar bagi laju perekonomian daerah
maka Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya membuat berbagai produk
hukum sebagai langkah kebijakan dalam rangka melindungi kepentingan
pedagang dan pembeli. Menciptakan fasilitas yang mendukung serta
menciptakan kestabilan harga dan kelancaran distribusi barang atau jasa
dalam rangka menunjang anggaran daerah dan petumbuhan perekonomian
nasional merupakan tugas pokok Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya.
Mengacu pada Pasal 9 Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta Nomor 12 Tahun 1999 Tentang Perusahaan Daerah Pasar
Jaya, modal dasar Pasar Jaya ditetapkan sebesar Rp. 500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah ). Modal dasar tersebut yang disetor dan
dipisahkan dari kekayaan daerah sebesar Rp.327.175.929.293.09(tiga ratus
dua puluh tujuh miliar seratus tujuh puluh lima juta sembilan ratus dua
puluh tiga rupiah sembilan cen)adalah merupakan modal Perusahaan
Daerah (PD) Pasar Jaya yang saat pendirian ditambah Penyertaan Modal
Pemerintah Daerah dan modal yang berasal dari kekayaan pasar Inpres
yang dialihkan kepada Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya dan penyertaan
modal dapat disediakan berupa aset.
b. Landasan Hukum Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
a) Landasan Hukum Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya didirikan dengan mengacu
pada Peraturan Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Nomor 12 Tahun
1999 Tanggal 30 Desember 1999 Tentang Perusahaan Daerah Pasar
Jaya Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Landasan hukum
ini penting dalam rangka memberikan acuan dan dasar hukum yang
jelas untuk memenuhi kepastian hukum dan memberikan kewenangan
yang legal menurut hukum yang berlaku bagi Perusahaan Daerah (PD)
Pasar Jaya untuk melakukan tindakan hukum dan melaksanakan tugas
pokok dan fungsi Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya.
b) Landasan Operasional perusahaan Daerah Pasar Jaya
Dalam rangka terpenuhinya tujuan pendirian Perusahaan
Daerah (PD) Pasar Jaya maka Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
membutuhkan landasan hukum yang memberikan kewenangan
beroperasi yaitu Peraturan Daerah Daerah Khusus Ibukota (DKI)
Jakarta Nomor: 6 Tahun 1992 Tanggal 21 Juli 1992 Tentang
Pengurusan Pasar di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta (disahkan
oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Nomor 511.231-234
Tanggal 2 Maret 1993 dan SK Gubernur Propinsi Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta Nomor 54 Tahun 2000 Tanggal 5 Mei 2000
Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah (PD)
Pasar Jaya Propinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.
c. Visi,Misi, Fungsi Perusahaan Daerah (DKI) Pasar Jaya
a) Visi Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
"Menjadikan pasar tradisional dan modern sebagai sarana
unggulan dalam penggerak perekonomian daerah Provinsi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta".
b) Misi Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
"Menyediakan pasar tradisional dan modern yang bersih,
aman, nyaman dan berwawasan lingkungan serta memenuhi kebutuhan
barang dan jasa yang lengkap, segar, murah dan bersaing". Pelayanan
terbaik adalah kata kunci yang menjadi obsesi pada setiap karyawan
Perusahaan Daerah Pasar Jaya di semua lini organisasi. Setiap
karyawan menyadari bahwa apa pun yang dilakukannya melaksanakan
tugas adalah bagian dari pelayanan kepada masyarakat.
c) Tugas pokok Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
Mengacu pada Pasal 9 Peraturan Daerah Propinsi Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta Nomor 12 Tahun 1999 Tentang
Perusahaan Daerah (PD) Pasar jaya, maka yang menjadi tugas pokok
melaksanakan pelayanan umum dalam bidang perpasaran, meliputi :
1) Membina pedagang pasar
2) Ikut menciptakan stabilitas harga dan kelancaran distribusi barang
dan jasa.
d) Fungsi Peusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
Mengacu pada ketentuan Pasal 7 Peraturan Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta Nomor 12 Tahun 1999 tentang Perusahaan
Daerah Pasar Jaya dalam melaksanakan tugas pokok memiliki fungsi :
1) Melakukan perencanaan, pembangunan, pemeliharaan dan
pengawasan bangunan pasar.
2) Melakukan pengelolaan pasar dan fasilitas perpasaran.
3) Melakukan pembinaan pedagang pasar.
4) Membantu menciptakan stabilitas harga dan kelancaran distribusi
barang dan jasa.
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya dalam melaksanakan
tugas pokok dan fungsinya dapat mengadakan kerjasama dengan badan
hukum lain baik pemerintah maupun swasta. Terkait dengan hal
tersebut Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya dapat melakukan
diversifikasi usaha dengan persetujuan Dewan.
2. Struktur Organisasi dan Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan asset terpenting bagi
perusahaan, maju mundurnya perusahaan sangat tergantung dengan
kualitas SDM, teamwork, dan komitmen dalam berorganisasi serta strategi
jitu perusahaan dalam menangkap peluang dan memenangkan setiap
persaingan yang dihadapi. Salah satu program utama dalam bidang
organisasi adalah restrukturisasi dan pengurangan jumlah karyawan serta
pendelegasian tugas dan tanggung jawab secara tepat dan proporsional.
Sistem pengelolaan pasar yang semula berdasarkan pendekatan wilayah
kotamadya (5 wilayah) diubah menjadi berdasarkan letak geografis
yaitu (20 Area).
Program restrukturisasi berjalan mulus dan dapat mengurangi
beban operasional serta meningkatkan kesejahteraan karyawan yang
diimbangi dengan meningkatnya produktivitas kerja. Pada awal tahun
2007 jumlah karyawan 1.876 orang, seiring dengan adanya karyawan
yang pensiun, meninggal dunia atau yang mundur atas permintaan sendiri.
Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya dipimpin oleh 4 (empat) orang
Direktur yang terdiri atas Direktur Utama, Direktur Administrasi,
Direktur Operasi dan Direktur Perencanaan & Hukum yang masing-
masing bertanggung jawab kepada Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota (DKI) Jakarta melalui Badan Pengawas Perusahaan Daerah (PD)
Pasar Jaya. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari dibantu oleh Kepala
Satuan Pengawasan Intern, 7 (tujuh) Manager Divisi dan 19 (sembilan
belas) Manager Area serta 1 (satu) Unit Strategic Business Unit / Unit
Usaha Perpakiran.
Struktur Organisasi Perusahaan Daerah Pasar Jaya dapat
dijelaskan dalam bagan di bawah :
Bagan 1
Struktur organisasi Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya
menunjukkan kedudukan, wewenang dan tanggung jawab masing-masing
bagian (bagan struktur organisasi terdapat dalam lampiran). Adapun
struktur organisasi Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya terdiri dari :
a. Dewan Pengawas
1) Dewan Pengawas mengadakan pengawasan terhadap semua
kegiatan pelaksanaan tugas Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya.
2) Pengawasan dapat dilakukan dengan cara :
a) Sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.
b) Sewaktu-waktu dipandang perlu menurut pertimbangan Dewan
Komisaris dalam menjalankan tugasnya.
3) Memberikan saran pendapat kepada Direksi mengenai rencana
kerja dan anggaran Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya serta
perubahannya.
4) Mengawasi pelaksanaan rencana kerja dan anggaran Perusahaan
Daerah (PD) Pasar Jaya serta menyampaikan hasil penilaian
kepada Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dengan
tembusan Direksi.
5) Menyampaikan laporan kepada Gubernur Daerah Khusus Ibukota
(DKI) Jakarta sesuai dengan pedoman penyusunan.
6) Menyelenggarakan rapat Dewan Pengawas dengan Direksi.
Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dan
dengan ketentuan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan paling
banyak 4 (empat) orang.
b. Direksi
1) Perusahaan Daerah (PD) Pasar Jaya dipimpin oleh Direksi yang
terdiri dari seorang Direktur Utama, Direktur Administrasi,
Direktur Operasi dan Direktur Perencanaan dan Hukum. Direksi
diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur atas usul Rapat Umum
Pemegang Saham untuk masa jabatan 4 (empat) tahun dan dapat
diangkat kembali.
2) Sebelum surat pengangkatan Direksi ditetapkan terlebih dahulu
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang N0. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah UU No. 42 Th. 1999 tentang Jaminan Fidusia
PerDa DKI No. 6 Th. 1992 tentang pengelolaan dan pengembangan pasar
Kep. Direksi PD Pasar Jaya No. 450 Th. 2003 tentang pelaksanaan Perda DKI No. 6 tahun 1992 tentang pengelolaan dan pengembangan pasar