PERSEPSI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN UNTUK MASYARAKAT MISKIN DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Oleh Nurmeilita NIM: 104052001992 JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
122
Embed
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN … · Yang menarik dalam penelitian ini yaitu masyarakat luas dapat mengetahui tingkat persepsi masyarakat dalam penerimaan pelayanan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERSEPSI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN UNTUK MASYARAKAT MISKIN
DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)
Oleh Nurmeilita
NIM: 104052001992
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H/2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 16 September 2010
Nurmeilita
PERSEPSI MASYARAKAT MISKIN TERHADAP PELAYANAN KESEHATAN UNTUK MASYARAKAT MISKIN
DI RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Islam (S.Kom.I)
JURUSAN BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1431 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Persepsi Masyarakat Miskin terhadap Pelayanan Kesehatan untuk Masyarakat Miskin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I) pada Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam. Jakarta, 23 September 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Sidang Sekretaris Sidang
DR. Arief Subhan, MA Drs. Sugiharto, MA NIP 196601101993031004 NIP 196608061996031001
Penguji, Penguji I Penguji II
Drs. Mahmud Jalal, MA Dra. Asriati Jamil, M.hum NIP 195204221981031002 NIP 196104221990032001
Pembimbing,
Dra. Rini Laili Prihatini, M. Si NIP 196906071995032003
ABSTRAK
Nurmeilita Persepsi Masyarakat Miskin Terhadap Pelayanan Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta
Peralihan pengobatan alternatif yang tidak syar’i dalam Islam banyak dilakukan oleh kebanyakan masyarakat miskin. Hal ini terjadi karena persepsi negatif masyarakat terhadap mahal biaya ataupun buruknya penerimaan pelayanan di rumah sakit terhadap masyarakat miskin. Seringkali masyarakat miskin merasa termarginalkan karena ketidakmampuan untuk membiayai pengobatan di rumah sakit. Tentunya peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan pemberian jaminan kesehatan adalah strategi partisipatif rumah sakit dan pemerintah yang sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat miskin untuk beralih menggunakan pengobatan modern dan terjangkau oleh masyarakat serta sesuai syariat dalam Islam dalam proses pengobatan.
Yang menarik dalam penelitian ini yaitu masyarakat luas dapat mengetahui tingkat persepsi masyarakat dalam penerimaan pelayanan kesehatan rumah sakit terhadap masyarakat miskin sehingga masyarakat tidak segan-segan untuk berobat di rumah sakit. Adapun persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin dalam penelitian ini terbentuk dari berbagai faktor, termasuk dimensi kompetensi teknis, akses terhadap pelayanan, efektifitas, hubungan antar manusia, efisiensi, kelangsungan pelayanan, keamanan dan kenyamanan/kenikmatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis tingkat persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin dan untuk mengetahui serta menganalisis bentuk dan upaya rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin dalam penggunaan Jamkesda di Rumah sakit Cipto Mangunkosumo (RSCM) Jakarta.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain deskriptif dan dilaksanakan di Instalasi rawat jalan RSCM Jakarta, dengan melibatkan populasi 400 orang dan terpilih 80 responden dengan teknik pengambilan sampel menggunakan rumus slovin. Responden adalah pasien atau masyarakat miskin yang menggunakan Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin (Jamkesda). Instrumen penelitian yang diberikan berupa 50 butir pernyataan tentang persepsi masyarakat mengenai dimensi pelayanan kesehatan. Data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel atas jawaban-jawaban responden dan pengujian dengan uji mean sebesar 181,48 dan standar deviasi sebesar 24,614. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa kategorisasi persepsi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin adalah positif dalam ketegori sedang. Yaitu berada di antara skor rendah dan tinggi dari nilai yanga ada. Kata kunci: Persepsi Masyarakat , pelayanan kesehatan, masyarakat miskin
i
KATA PENGANTAR
بسم االله الرحمن الرحيم
Assalammu’alaikum wr.wb
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang senantiasa mencurahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyusun skripsi ini. Oleh karena itu, hanya kepada-Nya segala pengabdian dan
rasa syukur dikembalikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah
kepada suri tauladan seluruh umat manusia yakni nabi besar Muhammad SAW,
rasul yang mulia.
Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Persepsi Masyarakat Miskin Terhadap Pelayanan
Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta”. Sripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana komunikasi
program strata 1 (S1) di Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunukasi.
Mengingat jasa-jasa selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi
ini, penulis mendapat bantuan, dorongan dan arahan dari berbagai pihak oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ayahanda Parmudji dan Ibunda Mudjiati yang setiap saat mendoakan dan
mencurahkan segala kasih sayang dengan tulus serta senantiasa
menginspirasi penulis untuk selalu semangat mengerjakan skripsi.
ii
2. Dr. Arief Subhan, M.A., selaku dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dra. Rini Laili Prihatini, M.Si, selaku Ketua Jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan Islam sekaligus sebagai pembimbing yang telah membimbing
dan mengarahkan penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
“Setiap penyakit ada obatnya, jika suatu obat itu tepat (manjur) untuk suatu penyakit,
maka penyakit itu akan sembuh dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.” (HR. Muslim
dari Jabir radhiyallahu ‘anhu)1
Hadits di atas bisa menjadi gambaran dan memotivasi kita untuk tak pernah
menyerah dalam mencari kesembuhan. Dalam usaha kita untuk mengobati penyakit
yang diderita, kita harus memperhatikan dua hal : Pertama, bahwa obat dan dokter
hanya sarana kesembuhan, sedangkan yang benar-benar menyembuhkan adalah
Allah. Kedua, ikhtiar (usaha) dalam mencari obat tersebut tidak boleh dilakukan
dengan cara-cara yang haram dan syirik.2
Banyak masyarakat Indonesia lebih mengandalkan pengobatan alternatif yang
pada umumnya dikenal lebih murah dan terjangkau, lebih aman, dan tidak memiliki
efek samping daripada pengobatan lewat jalur medis yang membutuhkan banyak
biaya. Sayangnya, saat ini banyak pengobatan alternatif yang mengaku bisa
menyembuhkan segala macam penyakit, tidak sedikit yang mengklaim pengobatan
dilakukan dengan cara islami. Namun kenyataannya, metode pengobatan yang
dilakukan jauh dari syar’i, bahkan tak jarang bercampur dengan kesyirikan.3
Kepercayaan pada hal yang mistis sehingga pergi ke dukun lebih disukai masyarakat
dari pada ke rumah sakit. Hal tersebut sebagaimana temuan survey Sosial Ekonomi
1 Fahrur Muis, Bahagia Saat Sakit, (Solo: Pustaka Iltizam, 2008), Cet Ke-2, h. 27 2 Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Do’a dan Wirid, (Jakarta : Pustaka Imam Asy-syafi’I,
2008),Cet. Ke-9, h. 470 3 Deedat, 1001 Jalan Kesembuhan, Nikah Edisi 15 Februari 2008, h. 8
2
Nasional tahun 2001, 57,7% penduduk Indonesia melakukan pengobatan sendiri,
31,7% menggunakan obat tradisional, dan 9,8% memilih cara pengobatan
tradisional.4 Maraknya pengobatan alternatif membuat kita harus berhati-hati agar
mendapatkan kehalalan dalam berobat. Salah satu pengobatan alternatif yang sangat
jauh dari syariat adalah berobat ke dukun. Berobat ke dukun merupakan suatu
keharaman karena telah dilarang oleh syariat, dengan begitu pengetahuan yang
memadai sangat membantu kita untuk dapat menentukan pengobatan yang baik
dalam pencapaian kesembuhan.
Salah satu pengobatan alternatif yang sempat menjadi perhatian banyak orang
adalah pengobatan alternatif yang dilakukan oleh bocah cilik asal Jombang Jawa
Timur bernama Ponari. Menurut pemberitaan di media massa, Ponari mendapatkan
kemampuan untuk mengobati berbagai penyakit melalui sebuah batu yang cukup
dicelupkan ke dalam air minum. Akibat ekspos media massa yang luar biasa, dengan
cepat puluhan ribu orang dari seluruh Indonesia memadati dusun tempat tinggal
Ponari di Jombang. Sudah empat orang yang tewas terinjak-injak karena berdesak-
desakan di gang sempit menuju rumah Ponari.5 Wakil Katib Syuriah PWNU Jawa
Timur KH Abdurrahman Nafis menilai peristiwa di Jombang itu membuktikan
bahwa masyarakat masih lemah moral dan ekonomi. Masyarakat diminta tidak lantas
4 Dewi, Rumah Sakit: Mencapai Indonesia Sehat 2010 dengan Pelayanan Kesehatan Yang
Optimal Bagi Keluarga Miskin, artikel diakses tanggal 19 Maret 2009 dari www.dewi.pn.com 5 Resti, Fenomena Ponari dan Bagaimana Sikap Kita Seharusnya, artikel diakses tanggal 20
Bab IV : Merupakan temuan dan analisa data, yang menjelaskan
tentang gambaran umum Rumah Sakit Cipto Mangunkuskumo yang meliputi, latar
belakang berdirinya RSCM Jakarta, visi-misi RSCM Jakarta, kemudian tentang hasil
penemuan.
Bab V : Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang
kesimpulan penelitian ini dan saran-saran yang ditujukan kepada pihak-pihak terkalt
dalam masalah ini.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Persepsi Masyarakat
1. Pengertian Persepsi Masyarakat
Bagi hampir semua orang, sangatlah mudah kiranya melakukan perbuatan
melihat, mendengar, membau, merasakan, dan menyentuh, yakni proses-proses yang
sudah semestinya ada. Namun informasi yang datang dari organ-organ indera kiranya
perlu terlebih dahulu diorganisasikan dan dinterpretasikan sebelum dapat dimengerti,
dan proses ini dinamakan persepsi (perception).1
Kata persepsi berasal dari kata “perception” yang berarti kesadaran,
pengaturan data pancaindera ke dalam pola-pola pengalaman.2 Menurut Bimo
Walgito persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan,
yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau
juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak begitu saja, melainkan situmulus
tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi.3
Sedangkan menurut Desiderato yang dijelaskan oleh Jalaluddin Rakhmat
persepsi adalah :
1 Malcom Hardy dan Steve Heyes, Pengantar Psikologi, (Jakarta: Erlangga, 1988), Cet Ke-2,
h. 83 2 Philip L. Harriman, Istilah Psikologi, (Jakarta: Restu Agung, 1995), Cet Ke-2, h. 182 3 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), Cet Ke-4, h.
87-88
14
“Pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Hubungan sensasi dengan persepsi sudah jelas. Sensasi adalah bagian dari persepsi. Walaupun begitu, menafsirkan makna informasi inderawi tidak hanya melibatkan sensasi, tetapi juga antesi, ekspektasi, motivasi, dan memori”.4
Sedangkan Young seperti yang dijelaskan oleh Nanadt admin persepsi
merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada
obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada
stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya. Sensasi-sensasi dari
lingkungan akan diolah bersama-sama dengan hal-hal yang telah dipelajari
sebelumnya baik hal itu berupa harapan-harapan, nilai-nilai, sikap, ingatan dan lain-
lain.5
Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut society, asal katanya socius yang
berarti “kawan”. Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab ‘musyaraka’ yang berarti
ikut serta atau berpartisipasi.6
Dalam Kamus Bahasa Indonesia masyarakat adalah sejumlah manusia dalam
arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap.7
Sedangkan menurut Edi Suharto masyarakat adalah sekelompok orang yang memiliki
perasaan yang sama atau menyatu satu sama lain karena mereka saling berbagi
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Makna persepsi seseorang adalah proses yang berhubungan dengan
penginderaan, seperti melihat, membau, mendengar, merasakan, menanggapi,
menyentuh, menerima dan lain-lain. Pernyataan ini menyiratkan bahwa persepsi itu
dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor dari dalam (interen individu) dan faktor luar
(ekstren individu).
Menurut Bimo Walgito bahwa faktor-faktor yang mempangaruhi persepsi
yaitu:
1. Faktor individu, yang meliputi : (1) Perhatian, baik perhatian spontan maupun perhatian tidak spontan; dinamis atau statis; (2) Sifat struktural individu; simpati atau antipati; (3) Sifat temporer individu; emosional atau stabil; (4) Aktivitas yang sedang berjalan pada individu.
2. Faktor stimulus (rangsangan). Stimulus akan dapat disadari oleh individu, bila stimulus itu cukup kuat. Bagaimanapun besarnya perhatian dari individu, tetapi bila stimulus tidak cukup kuat, maka stimulus itu tidak akan dipersepsi tidak akan dipersepsi oleh individu yang bersangkutan, dan ini bergantung pada : (1) intensitas (kekuatan) stimulus; (2) ukuran stimulus; (3) perubahan stimulus; (4) ulangan dari stimulus (5) pertentangan atau kontras dari stimulus.11
Muhyadi juga menerangkan persepsi dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama
orang yang membentuk persepsi itu sendiri, khususnya kondisi intern (kebutuhan,
kelelahan, sikap, minat, motivasi, harapan, pengalaman masa lalu dan kepribadian),
kedua, stimulus yang berupa obyek maupun peristiwa tertentu (benda, orang, proses
11 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 1989), Cet Ke-2, h.
56-57
18
dan lain-lain) dan ketiga, stimulus dimana pembentukan persepsi itu terjadi baik
tempat, waktu, suasana (sedih, gembira dan lain-lain).12
Sedangkan Jalaluddin Rakhmat mengemukakan bahwa persepsi ditentukan
oleh dua faktor, yaitu faktor-faktor fungsional bersifat personal berasal dari
kebutuhan, pengalaman masa lalu, proses belajar dan motif dan faktor-faktor
struktural berasal dari luar individu antara lain lingkungan keluarga, hukum yang
berlaku dan nilai-nilai dalam masyarakat.13 Oleh karena itu, setiap individu dalam
masyarakat mempunyai persepsi yang berbeda–beda dalam menanggapi suatu obyek.
Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan pengalaman atau lingkungan, maka
persepsi dapat berubah–ubah sesuai dengan suasana hati, cara belajar, dan keadaan
jiwa. Jadi persepsi itu tergantung pada proses berpikir atau kognitif seseorang,
sehingga persepsi akan selalu berubah setiap saat. Perubahan itu tergantung pada
kemampuan selektivitas informasi yang diterima setelah diolah ternyata bermakna
positif maka seseorang mendukung informasi yang diterima, tetapi bila negatif maka
yang terjadi sebaliknya.
3. Proses Terjadinya Persepsi Masyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa persepsi itu merupakan
proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah proses diterimanya
stimulus melalui alat indera atau reseptor. Stimulus kemudian diteruskan ke otak dan
12 Hidayat, Pengertian Persepsi, artikel di akses tanggal 19 Maret 2009 dari
http://www.infoskripsi.com/Article/Pengertian-Persepsi.htm 13 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, h. 55
19
proses selanjutnya adalah proses persepsi. Lebih rinci lagi mengenai proses terjadinya
persepsi menurut Bimo Walgito adalah sebagai berikut :
“Objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kelaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran yang disebut sebagai proses psikologis. Proses terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yang dilihat, diraba, didengar, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera.”14
Sedangkan pembentukan persepsi yang dijelaskan menurut Feigi yang dikutip
oleh Irwanto yaitu :
“Sebagai pemaknaan hasil pengamatan yang diawali dengan adanya stimuli. Setelah mendapat stimuli pada tahap selanjutnya terjadi seleksi yang berinteraksi dengan “interpretation”, begitu juga berinteraksi dengan “closure”. Proses seleksi terjadi pada saat seseorang memperoleh informasi, maka akan berlangsung proses penyeleksi pesan tentang mana pesan yang dianggap penting dan tidak penting. Proses closure terjadi ketika hasil seleksi tersebut akan disusun menjadi satu kesatuan yang berurutan dan bermakna, sedangkan interpretasi berlangsung ketika yang bersangkutan memberi tafsiran atau makna terhadap informasi tersebut secara menyeluruh.15 Mencermati proses terbentuknya persepsi masyarakat dapat dikemukakan
bahwa seseorang diawali oleh adanya rangsangan atau stimulus yang diterima oleh
alat indera atau reseptor, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindera
tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan.
14 Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 2004), Cet Ke-4, h.
Ke-1, h. 35 20 Moenir, Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h. 55 21 Ascobat Gani, Aspek-aspek Pelayanan Kesehatan, (Jakarta : Rajawali Press, 1995), Cet Ke-
1, h. 67
23
Berdasarkan rumusan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa bentuk dan
jenis pelayanan kesehatan tergantung dari beberapa faktor yakni :
1. Pengorganisasian pelayanan ; pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan secara
sendiri atau bersama-sama sebagai anggota dalam suatu organisasi.
2. Tujuan atau ruang lingkup kegiatan ; pencegahan penyakit, memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan, penyembuhan / pengobatan dan pemulihan
kesehatan.
3. Sasaran pelayanan ; perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat.22
Sedangkan untuk dapat disebut sebagai bentuk pelayanan kesehatan, baik dari
jenis pelayanan kesehatan kedokteran maupun dari jenis pelayanan kesehatan
masyarakat harus memiliki berbagai syarat pokok. Syarat pokok yang dimaksud
adalah :
a. Tersedianya dan berkesinambungan, yakni syarat yang pertama pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat serta bersifat berkesinambungan.
b. Dapat diterima dan wajar, syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik adalah dapat diterima oleh masyarakat serta bersifat wajar artinya pelayanan kesehatab tersebut tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.
c. Mudah dicapai, syarat pokok yang ketiga pelayanan kesehatan yang baik adalah mudah dicapai oleh masyarakat ( di sudut lokasi).
d. Mudah dijangkau, syarat pokok ke empat pelayanan kesehatan yang baik adalah modal di jangkau oleh masyarakat. Pengertian keterjangkauan yang dimaksud disini termasuk dari sudut biaya. Untuk dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan pelayanan kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.
22 Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan, h. 36
24
e. Bermutu ; Syarat pokok pelayanan kesehatan yang baik adalah mutu. Pengertian yang dimaksud disini adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan, yang disatu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan di pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah ditetapkan.23
2. Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit
Rumah sakit adalah sebuah intitusi perawatan kesehatan professional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Istilah hospital (rumah sakit) berasal dari kata Latin, hospes (tuan rumah), yang juga
menjadi akar kata hotel dan hospitality (keramahan). Rumah sakit merupakan
komponen sistem pelayanan kesehatan yang paling menarik perhatian. Pada
umumnya rumah sakit berusaha untuk melaksanakan empat pelayanan utama yaitu,
pelayanan kepada pasien, pendidikan para pemberi jasa, riset dan pelayanan kepada
masyarakat.24 Sedangkan Rumah sakit menurut American Hospital Association yang
dikutip Azwar adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis professional yang
terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan
kedokteran, asuhan perawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan
yang diderita oleh pasien.25
Rumah sakit adalah suatu lembaga dalam mata rantai sistem kesehatan
nasional yang mengembang tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat dan
mempunyai fungsi utama menyelenggarakan kesehatan bersifat penyembuhan dan
23 Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan, h. 38-39 24 Marcia Stahhope dan Jeanette Lancaster, Perawatan Kesehatan Masyarakat, , h. 34 25 Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan,h. 82
25
pemulihan penderita serta memberikan pelayanan yang tidak terbatas pada perawatan
di luar rumah sakit.26
Batasan pengertian rumah sakit di atas, menunjukkan bahwa fungsi kegiatan
rumah sakit sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan zaman. Artinya rumah
sakit tidak hanya berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit, tempat
pengasuhan, tempat pelayanan, pendidikan dan penelitian sederhana, dan bersifat
sosial. Dewasa ini, rumah sakit fungsinya berkembang sesuai dengan tuntunan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Antara lain ; sebagai penyumbang
pendidikan dan penelitian, spesialistik / subspesialistik, dan mencari keuntungan.
Implikasinya adalah rumah sakit dituntut untuk senantiasa meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan pasiennya dalam semua aspek pelayanan, baik yang
bersifat fisik maupun non fisik agar pelayanan kesehatan dapat terwujudkan dengan
baik. Disamping itu rumah sakit harus dapat memberikan pelayanan kesehatan yang
cepat, akurat dan sesuai dengan kemajuan teknologi kedokteran sehingga dapat
berfungsi sebagai rujukan rumah sakit sesuai dengan tingkat rumah sakitnya.27
Dalam upaya pelayanan dirumah sakit, maka pasienlah yang memperoleh jasa
pelayanan memiliki harapan tertentu. Bila jasa rumah sakit yang diterimanya dapat
memenuhi bahkan melebihi dari apa yang diharapkan dalam waktu ke waktu tumbuh
26 Dalmy Iskandar, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan dan Pasien, (Jakarta : Sinar Grafika,
1998), Cet KE-1, h. 6 27 Djoko wijono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Vol I, (Surabaya: Airlangga
University Press, 1999), Cet Ke-1, h. 26
26
pemikiran dalam diri pasien bahwa inilah suatu jasa pelayanan rumah sakit yang
efektif dan memiliki mutu.
Jenis-jenis disiplin pelayanan di rumah sakit yang bisa diterima oleh
masyarakat menurut surat keputusan 436/menkes/SK/VI/1993 diantaranya ;28
• Administrasi dan manajemen • Pelayanan medis • Pelayanan gawat darurat • Kamar operasi • Pelayanan intensif • Pelayanan perinatal resiko tinggi • Pelayanan keperawatan • Pelayanan anestesi • Pelayanan radiology • Pelayanan farmasi • Pelayanan laboratorium • Pelayanan rehabilitasi medis • Pelayanan gizi • Rekam medis • Pengendalian infeksi di rumah sakit • Pelayanan sterilisasi sentral • Keselamatan kebakaran dan kewaspadaan bencana • Pemeliharaan sarana • Pelayanan lain • Perpustakaan.
Adapun yang peneliti maksud dengan pelayanan kesehatan dalam penelitian
ini, bahwa pelayanan kesehatan adalah upaya yang dilakukan dalam rangka untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan yang ada dimasyarakat baik dalam bidang
preventif (upaya pencegahan), kuratif (pengobatan) maupun rehabilitasi (pemulihan
kesehatan) agar setiap warga masyarakat dapat mencapai derajat kesehatan yang
28 Djoko wijono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Vol II (Teori, Strategi dan Aplikasi), (Surabaya: Airlangga University Press, 1999), Cet Ke-1, h. 637
27
setinggi-tingginya. Kemudian dengan memberikan pelayanan prima yang diberikan
pihak RSCM untuk masyarakat menjadikan masyarakat dapat merasakan nyaman
untuk melakukan pengobatan di rumah sakit tersebut.
3. Mutu Pelayanan Kesehatan Di Rumah Sakit
Konsep mutu merupakan konsep multi dimensi. Konsep ini merupakan
pengembangan teori yang terpijak pada prinsip-prinsip efesiensi pelayanan, yakni ;
costumer focus, process improvement, dan total improvement. Mutu pelayanan lebih
mengacu pada costumer focus, dimana mutu pelayanan merupakan penilaian terhadap
kepuasan pelanggan (pasien) yang harus dipenuhi setiap saat, baik pelanggan internal
maupun pelanggan eksternal.
Ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang mutu, baik
dilihat dari produk maupun dari segi pelayanannya. Salah satu pendapat tersebut
yakni;29
1. Menurut Winston Distionary mutu adalah tingkat kesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedang di amati,
2. Menurut Donabedian Mutu adalah sifat yang memiliki oleh sesuatu program, 3. Menurut DIN ISO Mutu adalah totalitas dari wujud serta cirri dari suatu
barang atau jasa, yang didalamnya terkandung sekaligus pengertian rasa aman atau pemenuhan kebutuhan para pengguna,
4. Menurut Crosby Mutu adalah kepatuhan terhadap standar yang telah ditetapkan.
Sedangkan pengertian mutu dalam pelayanan kesehatan menurut Djoko
Wijono adalah faktor keputusan mendasar dari pasien. Mutu adalah penentuan
29 Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan, h. 48
28
pelanggan, bukan ketetapan insinyur, pasar atau ketetapan manajemen, ia berdasarkan
atas pengalaman nyata pelanggan terhadap produk dan jasa pelayanan, mengukurnya,
mengharapkannya, dijanjikan atau tidak, sadar atau hanya dirasakan, operasional
teknik atau subjektif sama sekali dan selalu menggambarkan target yang gerak dalam
pasar kompetitif.30
Mutu pelayanan kesehatan menurut WHO yang dikutip oleh Samsi Jacobalis
adalah penampilan yang pantas atau sesuai yang berhubungan dengan standar-standar
dari suatu intervensi yang diketahui aman, yang dapat memberikan hasil kepada
masyarakat yang bersangkutan yang telah mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan dampak pada kematian, kesakitan, ketidakmampuan, dan kekurangan
gizi.31
Mutu pelayanan kesehatan dalam bentuk pemberian dan pengobatan pasien
bila semua pihak terkait dan mendukung kegiatan ini tidak berada dalam posisi
sebagai “unit dalam suatu system” menuju tercapainya yang telah disepakati.
Mengacu pada pengelolaan rumah sakit yang senantiasa berusaha memberi pelayanan
dan pengobatan sabaik-baiknya dapat secara operasional di definisikan jalur
komunikasi untuk membentuk perilaku institusi guna tercapainya efektifitas serta
mutu pelayanan yang optimal.
Untuk mencapai tujuan yang optimal jalur komunikasi peranan yang sangat
penting dimana hal ini tidak terlepas dari factor petugas pelayanan, sehingga menurut
30 Djoko Wijono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan Vol 1, h. 33 31 Samsi Jacobalis, Penilaian mutu pelayanan kesehatan dan akreditasi rumah sakit, (Jakarta:
Persi II, 1982), h. 67
29
Yudarnaso Dawud mengemukakan seorang petugas kesehatan ideal adalah mereka
yang memiliki ability (kemampuan), performance (kinerja), personality
(kepribadian), credibility ( kepercayaan) dan maturity (kematangan).
Dari beberapa unsur diatas, dapat di definisikan sebagai berikut :
1. Ability : Petugas kesehatan memiliki kemampuan teori dan
pengalaman lapangan sehingga pada pelaksanaan tugasnya,
petugas kesehatan yang dimaksud mampu menunjukkan
prestasi
2. Performance : Membina dan memelihara kinerja dari petugas dan institusi
yang diwakilinya merupakan kewajiban petugas yang ideal.
3. Personality : Seorang petugas kesehatan sangat erat hubunganya dengan
rasa tanggung jawab sebagai petugas kesehatan serta
memelihara tugas-tugas dibidang kesehatan yang berkaitan
dengan keselamatan jiwa orang lain yang menjadikan
kepribadian yang sangat penting.
4.Credibility : Merupakan batu ujian bagi petugas kesehatan yang berusaha
mendukung upaya kesehatannya tanpa memiliki rasa ragu
dalam menanganii masalah yang diberikan.
30
5. Maturnity : mampu mengendalikan kondisi, dalam hal ini kemampuan
jiwa yang dewasa dan cukup matang untuk mengendalikan diri
orang lain.32
Rumah sakit di Indonesia yang semula adalah bersifat sosial, dalam proses
selanjutnya mengalami perubahan menjadi badan usaha yang bersifat sosial ekonomi,
sebagai suatu badan usaha rumah sakit harus menciptakan dan memperhatikan para
pelanggannya. Dengan memahami pelanggannya maka organisasi akan bertahap
hidup dan meningkat keuntungannya. Hampir semua aktifitas dalam rumah sakit di
Indonesia sekarang ini banyak diarahkan kepada program-program untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan.33
Dari yang telah diuraikan suatu penilaian yang dapat dilihat bahwa persepsi
tentang mutu pelayanan dilahirkan suatu penilaian yang menyeluruh (global
judgment) berdasarkan pengalaman yang diperoleh pasien, antara lain pengalaman
dalam kontak jasa melalui services encounters (moment of truth) the evidence of
service, image and price. Kemudian dibandingkan dengan pelayanan yang
diterimanya. Pengalaman tersebut menjadi pembanding yang pada akhirnya
menentukan tingkat afektifitas dari pelayanan.
32 Yudarnaso Dawud, Peran Proses Manajemen dalam Pengembangan Mutu Pelayanan
Rumah Sakit, Jurnal Manajemen dan Adminitrasi Rumah Sakit, edisi Volume 1Tahun 1999, h. 40 33 Tjandra Yoga Aditama, Pelayanan Prima, Jurnal Manajemen dan Adminitrasi Rumah
Sakit, edisi Volume 5 Tahun 2005, h. 50
31
Menurut Lori Di Prete Brown dalam bukunya Quality Assurance of
Health Care in Developing Countries dimensi mutu dalam pelayanan kesehatan di
rumah sakit sebagai berikut :
1. Kompetensi teknis, yakni berhubung dengan bagaimana cara petugas mengikuti standar pelayanan yang telah ditetapkan dalam hal: dapat dipertanggung jawabkan atau diandalkan (dependability), ketepatan (accuracy), ketahanan uji (reliability) dan konsistensi (consistency).
2. Akses terhadap pelayanan, yakni akses berarti bahwa pelayanan kesehatan tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, budaya, organisasi atau hambatan bahasa.
3. efektifitas, yakni kualitas pelayanan kesehatan tergantung dari efektifitas yang menyangkut norma dan petunjuk klinis sesuai standar yang ada.
4. hubungan antar manusia, yakni hubungan antar manusia yang baik menanamkan kepercayaan dan kredibilitas dengan cara : menghargai, menjaga rahasia, menghormati, responsif, dan memberikan perhatian. Hubungan antar manusia yang kurang baik, akan mengurangi efektifitas dari kompetensi teknis pelayanan kesehatan.
5. efisiensi yakni pelayanan yang efisien akan memberikan perhatian yang optimal daripada memaksimalkan pelayanan yang terbaik dengan sumber daya yang dimiliki. Pelayanan kurang baik karena norma yang tidak efektif atau pelayanan yang salah harus dikurangi atau dihilangkan. Dengan cara ini, kualitas dapat ditingkatkan sambil menekan biaya.
6. Kelangsungan pelayanan, yakni berarti klien akan menerima pelayanan yang lengkap yang dibutuhkan (termasuk rujukan) tanpa interupsi, berhenti atau mengulangi prosedur diagnosa dan terapi yang tidak perlu. Klien harus mempunyai akses terhadap pelayanan rutin dan preventif yang diberikan oleh petugas kesehatan yang mengetahui riwayat penyakitnya. Klien juga mempunyai akses rujukan untuk pelayanan yang spesialistis dan menyelesaikan pelayanan lanjutan yang diperlukan.
7. keamanan, berarti mengurangi risiko cedera, infeksi, efek samping, atau bahaya lain yang berkaitan dengan pelayanan.
8. kenyamanan dan kenikmatan, berarti dalam keramahan/kenikmatan berkaitan dengan pelayanan kesehatan yang tidak berhubungan langsung dengan efektifitas klinis, tetapi dapat mempengaruhi kepuasan pasien dan bersedianya untuk kembali ke fasilitas kesehatan untuk memperoleh pelayanan berikutnya.34
34 Djoko Wijono, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, h. 35-37
32
C. Masyarakat Miskin
1. Pengertian Masyarakat Miskin
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa
lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi
miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan
modern pada masa kini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan
kesehatan, dan kemudah-mudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.35
Masalah kemiskinan melibatkan seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi
mereka yang tergolong miskin, kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Mereka merasakan dan menjalani sendiri bagaimana
hidup dalam kemiskinan. Walaupun demikian, mereka belum tentu menyadari
kemiskinan yang mereka alami. Kesadaran akan kemiskinan baru terasa pada waktu
mereka membandingkan kehidupan yang mereka jalani dengan kehidupan
masyarakat lain yang mempunyai tingkat kehidupan sosial dan ekonomi yang lebih
tinggi. Selain itu masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha
dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari
masyarakat lainnya yang mempunyai potensi tinggi.
Adapun yang menjadi batasan masyarakat miskin menurut Biro pusat statistik
yang dikutip Saefuddin adalah sebagai kondisi dimana seseorang hanya dapat
memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Senada
dengan BKKBN yang dikutip Saefuddin, masyarakat miskin adalah keluarga miskin
35 Merphin Pajaitan, Memberdayakan Kaum Miskin, (Jakarta: BPK, 2000), Cet Ke-1, h. 3
33
prasejahtera yang tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu
makan 2 kali sehari, tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja dan
berpergian, bagian terluas rumah berlantai tanah dan tidak mampu membawa anggota
keluarga ke sarana kesehatan.36
Menurut Sajogyo pengertian miskin tidak sebatas hanya dicerminkan oleh
rendahnya tingkat pendapatan dan pengeluaran. Sayogyo memandang miskin secara
lebih kompleks dan mendalam dengan ukuran delapan jalur pemeretaan yaitu
rendahnya peluang berusaha dan bekerja, tingkat pemenuhan pangan, sandang dan
perumahan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kesenjangan desa dan kota, peran serta
masyarakat, pemerataan, kesamaan dan kepastian hukum dan pola keterkaitan dari
beberapa jalur tersebut.37
Menurut Bappenas, miskin adalah suatu situasi dan kondisi yang dialami
seseorang atau sekelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya
sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.38
Jadi yang dimaksud dengan masyarakat miskin kesatuan hidup manusia yang
saling berinteraksi bersifat kontinyu dan terikat serta tidak mempunyai kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan meliputi kebutuhan
akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan, dan pendidikan.
36 Syaefudin dkk, Menuju Masyarakat Mandiri, (Jakarta: PT Gramedia Utama, 2003), hal.
213 37 Sayogyo, Masalah Kemiskinan di Indonesia, Antara Teori dan Praktek, (Bogor: Institut
Pertanian Bogor, 1988), hal. 52 38 Bappenas, Direktori Kegiatan Pengentasan Kemiskinan Periode 1996-2001, Jakarta, h. 8
34
2. Penyebab Masyarakat Miskin
a. Faktor Internal
Menurut Andre B Ala, faktor internal adalah faktor (individu) itu sendirilah
yang menyebabkan kemiskinan bagi dirinya sendiri.39
Menurut Alkostar yang dikutip Aswab Mahasin faktor internal yang
menyebabkan kemiskinan adalah sifat malas (tidak mau berkerja), lemah mental,
cacat fisik dan cacat psikis (kejiwaan).40 Sedangkan menurut Friedman yang dikutip
oleh Dorodjatun Kuntjoro secara internal masyarakat miskin adalah karena malas
mengakumulasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Pada Tabel 1 dijelaskan
beberapa faktor penyebab kemiskinan secara internal menurut Friedman.41
1. Keterbatasan karakter Kurang etos kerja : malas, falastistik, takut menghadapi masa depan, kurnag daya juang Kurang kepedulian terhadap norma-norma susila : suburnya perilaku menyimpang (pelacuran, perceraian, kumpul kebo, minuman keras dan obat terlarang, pencurian, anak-anak terlantar, pengemis, pengamen, pencopetan, keterasingan, kekerasan, ketidaksantunan, penodongan)
2. Keterbatasan pendidikan / pengetahuan
- tidak memiliki / tidak terjangkau biaya untuk menempuh
- tidak memikirkan pendidikan anak-anaknya - sebahagian masih buta huruf
39 Andre B Ala, Strategi Anti Kemiskinan Lima Tahap, Edisi Analisa Tahun 1981 No.9, h. 86 40 Aswab Mahasin, Gelandangan : Pandangan Ilmuwan, (Jakarta: LP3ES, 1991), h. 125 41 Dorodjatun Kuntjoro, Kemiskinan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986),
h. 179
35
- tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya
Learning process sangat terbatas untuk merubah perilakunya karena perilaku yang lebih produktif, lebih normative bersumber dari learning process, berada dalam lingkungan dimana learning process tidak kondusif.
3. Keterbatasan harta benda / ekonomi
Tidak memiliki / minim asset, kurangnya lapangan kerja, ekonomi informal (jalanan, tidak akui, tanpa fasilitas apa-apa), buruh kasar-upah rendah, tidak punya modal untuk memulai usaha, jaringan kredit yang tidak mudah, tidak mampu mengisi sector kerja yang lebih normal, exchange properties yang rendah, pekerjaan tidak tetap, pengangguran, kerja berbau criminal.
4. Keterbatasan kesehatan Pangan yang tidak memenuhi kebutuhan fisik (bahkan sering kelaparan) ; rumah yang tidak layak (multiguna, tempat kerja, untuk tempat jualan, menumpuk dan memilah-milah barang bekas, kerajinan dan berbagai kegiatan ekonomi sector informal lainnya ; lingkungan perumahan yang tidak sehat (kumuh), MCK yang tidak layak / pinggiran kali, listrik yang terbatas, air bersih terbatas ; lemahnya ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kuantitas maupun kualitas sehingga komsumsi gizi mereka sangat rendah yang berakibat pada rendahnya produktifitas mereka, bila sakit tak mampu berobat, bahkan anak sering sakit karena konsumsi air yang tidak bersih.
5. Keterbatasan keterampilan
Rendahnya learning process karena tidak memiliki biaya untuk mengikuti sekolah, kursus, atau pelatihan yang menambah keterampilan mereka.
6. Keterbatasan kasih sayang
Kurangnya masyarakat terhadap keberadaannya akibat budaya materialistik
7. Keterbatasan keadilan Menjadi korban ketidak adilan oleh dirinya sendiri, oleh orang kelompoknya, kelompok kaya, maupun oleh pemerintah. Karena sifatnya yang menjadi masalah / beban dan tidak produktif maka tidak memiliki daya tarik. Daya tarik oleh perusahaan dengan gaji rendah.
36
8. Keterbatasan penghargaan
Tersingkirkan dari institusi masyarakat atau bahkan pemerintah. Hanya sering dipolitisasi tapi jarang direalisasi perbaikan nasibnya.
9. Keterbatasan kekuasaan - suaranya jarang didengar baik secara kelompok apalagi secara individu
- tidak cukup kekuatan tawar menawar / tidak berdaya untuk memperjuangkan nasibnya / tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup mereka
- jarang menang dalam bernegosiasi ekonomi 10. Keterbatasan keamanan Keterbatasan keamanan, lokasi usaha diterbitkan
tibom ; tinggal di tanah Negara ; lingkungan masalah-masalah sosial lain.
11. Keterbatasan kebebasan Terhimpit persoalan hidup sehari-hari untuk mencari makan, terhimpit hutang, tempat tinggal di tanah Negara, lingkungan kumuh yang tidak sehat.
b. Faktor Eksternal
Menurut Andre B Ala, kemiskinan yang disebabkan factor eksternal
(eksogen) adalah terjadinya kemiskinan disebabkan oleh faktor-faktor yang berada
diluar diri si aktor tersebut. Faktor eksternal terdiri dari : faktor alamiah dan faktor
buatan (struktural).42
1. Faktor Alamiah
Ada beberapa factor alamiah yang menyebabkan kemiskinan antara lain ;
keadaan alam yang miskin, bencana alam, keadaan iklim yang kurang
menguntungkan. Kemiskinan alamiah dapat juga ditandai dengan semakin
menurunnya kemampuan kerja anggota keluarga karena usia bertambah dan sakit
keras untuk waktu yang cukup lama.
2. Faktor Buatan
42 Andre B Ala, Strategi Anti Kemiskinan Lima Tahap, h. 87
37
Faktor buatan yaitu terjadinya masyarakat miskin karena tidak mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi secara cepat (dalam arti yang mampu ekonomi,
mengakibatkan kesempatan kerja yang dimiliki mereka semakin tertutup. Mereka
tidak mendapatkan hasil yang proposional dari keuntungan-keuntungan akibat dari
perubahan-perubahan itu.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena struktur
masyarakat yang timpang baik karena perbedaan kepemilikan, kemampuan,
pendapatan, dan kesempatan kerja yang tidak seimbang maupun karena ditribusi
pembangunan dan hasilnya yang belum rata.43 Kemiskinan buatan (struktural) itu
adalah buatan manusia, dari manusia dan terhadap manusia pula. Kemiskinan yang
timbul oleh dari dan dari struktur-struktur (buatan manusia), dapat mencakup baik
struktur ekonomi, politik, sosial dan kultur. Struktur-struktur ini terdapat pada
lingkup nasional maupun internasional. Hal ini senada dengan pendapat Soedjotmiko
dalam Prisma, “pola ketergantungan, pola kelemahan dan eksploitasi golongan
miskin berkaitan juga dengan pola organisasi institusional pada tingkat nasional dan
internasional”.
Menurut Alkostar yang dikutip Aswab Mahasin, faktor eksternal penyebab
terjadinya gelandangan (kaum miskin) adalah :
43 Risa Adisti, Kajian Kecamatan Miskin, artikel diakses pada tanggal 23 Februari 2010 dari
Faktor ekonomi : kurangnya lapangan pekerjaan ; rendahnya pendapatan per
kapita dan tidak tercukupinya kehidupan hidup.
Faktor geografi ; daerah asal yang minus dan tandus sehingga tidak
memungkinkan pengolahan tanahnya.
Faktor sosial ; arus urbanisasi yang semakin meningkat dan kurangnya
partisipasi masyarakat dalam usaha kesejahteraan sosialnya.
Faktor pendidikan ; relatif rendahnya tingkat pendidikan baik formal maupun
informal.
Faktor kultural ; pasrah kepada nasib dan adat istiadat yang merupakan
rintangan dan hambatan mental.
Faktor lingkungan keluarga dan sosialisasi.
Faktor kurangnya dasar-dasar ajaran agama sehingga menyebabkan tipisnya
iman, membuat mereka tidak mau berusaha.44
3. Upaya Penanggulangi Kemiskinan
Strategi pembangunan masyarakat dalam menangani masalah kemiskinan
akan sangat dipengaruhi oleh pendekatan dalam memahami latr belakang dan sumber
masalahnya. Apabila kemiskinan dilihat sebagai akibat dari cacat dan kelemahan
individu, maka strategi yang digunakan untuk pemecahannya akan lebih ditekankan
pada usaha untuk merubah aspek manusia sebagai individu atau warga masyarakat.
Dalam hal ini, upaya pembangunan masyarakat akan lebih dititik beratkan pada
44 Aswab Mahasin, Gelandangan : Pandangan Ilmuwan, h. 132
39
peningkatan kualitas manusianya sehingga akan dapat berfungsi lebih efektif dalam
upaya peningkatan taraf hidupnya. Dengan peningkatan kualitas ini akan
memungkinkan peningkatan kemampuan dalam mengantisipasi berbagai peluang
ekonomi yang muncul disamping peningkatan kemampuan dan produktifitas kerja.45
Sementara itu, apabila kemiskinan dianggap merupakan akibat dari
kelemahan struktur dan system, maka strategi penanganan kemiskinan lebih dititik
beratkan pada perubahan system dan perubahan structural. Melalui serangkaian
perubahan ini diharapkan akan dapat terwujud adanya distribusi penguasaan sumber
daya yang lebih baik.46
Dilihat dari seberapa jauh suatu strategi pembangunan masyarakat
melakukan perubahan structural dalam rangka usaha peningkatan taraf hidup.
Menurut Dixon yang dikutip oleh Soetomo adanya tiga bentuk strategi. Dari yang
kurang mensyarakatkan perubahan structural sampai yang lebih mensyaratkan
perubahan structural, urutannya adalah strategi tektonik, reformist dan radikal.
Pertama, strategi tektonik terutama bertujuan untuk peningkatan produksi, dengan
demikian sasaran utamanya adalah lapisan yang memungkinkan peningkatan
produksi secara tepat dan efisien yaitu elite desa dan pemilik tanah luas. Kedua,
strategi reformist bertujuan untuk melakukan radistribusi pendapatan disamping
peningkatan produksi, untuk itu mengambil sasaran utama petani menengah dan
petani progresif dalam masyarakat desa. Ketiga, strategi radikal, sesuai namanya,
45 Merphin Pajaitan, Memberdayakan Kaum Miskin, h. 3 46 Ibid., h. 4
40
mempunyai tujuan utama melakukan perubahan structural dan institusional dalam
rangka mempercepat terjadinya redistribusi kewenangan politik, kekayaan dan
produksi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila kelompok sasaran strategi yang
terakhir tersebut adalah petani kecil, petani tak bertanah dan buruh tani.47
Sedangkan Menurut Kramer yang dikutip Soetomo mengemukakan empat
bentuk partisipasi lapisan miskin dalam program pengentasan kemiskinan yaitu :
a. Pastisipasi dalam proses pengambilan keputusan pada kebijaksanaan program yang akan dijalankan. Dengan keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan tersebut, diharapkan kepentingan dan permasalahan lapisan miskin ini akan dapat tercermin dalam program yang dibuat.
b. Partisipasi dalam perkembangan program. Dasar pemikirannya adalah, sebagai kelompok sasaran, lapisan miskin akan berkedudukan sebagau konsumen program. Oleh sebab itu, agar program yang ditawarkan betul-betul sesuai dengan kebutuhan dan persoalan kelompok sasaran, maka mereka perlu didengar pendapat dan sarannya terutama tentang kebutuhan dan kepentingan serta aspirasinya yang betul-betul riil.
c. Partisipasi ketiga lebih menekankan pada keterlibatan dalam gerakan social. Dalam konsep ini lapisan miskin dilihat sebagai pihak yang tidak berdaya. Oleh sebab itu, agar mereka dapat iktu serta dalam proses pengambilan keputusan dibutuhkan stimulasi dan dukungan agar dapat menjadi pressure group yang efektif.
d. Partisipasi berupa keterlibatan lapisan miskin di dalam berbagai pekerjaan. Salah satu dasar pertimbangannya adalah bahwa mereka menjadi miskin karena terbatasnya alternative bagi mereka untuk dapat melakukan pekerjaan guna meningkatkan pendapatan.48
3. Pelayanan Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin
Dalam beberapa dekade terakhir ini ilmu kedokteran dan teknologi kedokteran
telah berkembang sangat pesat. Namun demikian secara relatif pelayanan kesehatan
47 Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1999), Cet Ke-1, h.
133-134 48 Ibid., h. 134 - 135
41
tidak memberikan dampak nyata terhadap timbulnya penyakit dan kematian, baik
kepada masyarakat negara maju, maupun di negara kita. Disangsikan orang, bahwa
pelayanan kesehatan dapat memberikan perubahan dalam keadaan khusus sekalipun.
Karena itu banyak pengamat dan peneliti pelayanan kesehatan mulai merasakan
bahwa pelayanan kesehatan merupakan hak manusia dan bukan suatu keistimewaan
bagi manusia. Dan oleh karena itu pelayanan kesehatan harus dapat tersedia bagi
semua yang membutuhkan, tanpa memandang posisinya dalam masyarakat.
Menurut Benyamin Lumenta permintaan terhadap pelayanan kesehatan akan
terus bertambah, namun meningkatnya kompleksitas ilmu kedokteran modern telah
membuat penyediaan pelayanan kesehatan menjadi sesuatu yang amat mahal.49
Semakin maju tingkat sosial ekonomi masyarakat, semakin banyak permintaan akan
pelayanan kesehatan dan begitu juga semakin rendah keadaan sosial ekonomi suatu
masyarakat, semakin banyak penyakit, kelemahan, penyakit kronis, menimpa bagi
yang tidak dapat mencapai pelayanan kesehatan atau menerima pelayanan medis
yang bermutu rendah.50
Seperti pada umumnya, harapan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit
adalah ketersediaan pelayanan yang tepat, akses yang mudah, serta keterjangkauan
dalam hal biaya terhadap palayanan tersebut. Berbeda lagi dengan pemberi pelayanan
kesehatan, dimana adanya tuntutan-tuntutan lain seperti ketepatan dalam pemberian
pelayanan serta kepuasan atas pelayanan yang diperoleh.
Seperti halnya yang dijelaskan oleh Soedarmono Soejitno dalam bukunya
Reformasi Perumahsakitan Indonesia yaitu harapan-harapan dari masyarakat terhadap
pelayanan rumah sakit berupa :
• ketepatan seorang pengguna jasa pelayanan kesehatan, mengharapkan penyedian jasa rumah sakit, termasuk tenaga medis yang menanganinya mampu memberikan penanganan yang tepat dan pada waktu yang tepat pula.
• Akses masyarakat mengharapkan akses yang mudah untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya.
• Biaya yang terjangkau dimana tarif jasa pelayanan kesehatan yang terpaksa digunakan oleh penggunaan jasa kesehatan atau rumah sakit seharusnya disesuaikan dengan kemampuan masyarakat untuk membayarnya.
• Kelayakan dan kepuasan dimana perlakuan yang diberikan baik oleh tenaga kesehatan maupun tenaga administrasi dapat diterima oleh
51pasien.
Apabila hal-hal tersebut sangat jauh dari harapan-harapan masyarakat, maka
tentunya banyak masyarakat akan beralih untuk menyembuhkan dirinya dari
kesakitan untuk berobat-berobat selain dari pelayanan kesehatan. Misalnya saja
pengobatan-pengobatan alternatif berbau mistis yang marak terjadi di Indonesia.
Sering kita jumpai sebagian masyarakat apabila ditimpa penyakit mereka
lebih memilih untuk datang ke dukun daripada ke rumah sakit ataupun sejenisnya.
Dalam Islam berobat dengan dukun adalah perkara yang diharamkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,