PERSEPSI MASYARAKAT MEDAN HELVETIA TERHADAP SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2013 SKRIPSI DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK MEMPEROLEH GELAR SARJANA ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA NICO HANDANI SIAHAAN NIM : 090906070 DEPARTEMEN ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013
87
Embed
PERSEPSI MASYARAKAT MEDAN HELVETIA TERHADAP SISTEM ... · pengumpulan data dengan cara menyebarkan kuisioner dan observasi pada daerah penelitian. Lalu hasil kuisioner akan di ukur
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERSEPSI MASYARAKAT MEDAN HELVETIA TERHADAP SISTEM
PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2013
SKRIPSI
DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU SYARAT UNTUK
MEMPEROLEH GELAR SARJANA ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
NICO HANDANI SIAHAAN
NIM : 090906070
DEPARTEMEN ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2013
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK NICO HANDANI SIAHAAN (090906070) PERSEPSI MASYARAKAT MEDAN HELVETIA TERHADAP SISTEM PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2013. Rincian isi skripsi xvi, 71 halaman, 38 tabel, 21 buku dan 2 situs internet. (Kisaran buku dari tahun 1985-2010)
ABSTRAK
Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang diatur oleh Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadikan pilkada masuk kepada tahapan rezim pemilu. Undang-undang mengamanatkan agar pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Kepala daerah itu merupakan walikota/bupati dan juga gubernur. Adanya wacana mengembalikan pemilihan pasangan gubernur-wakil gubernur kepada DPRD Provinsi menjadi ancaman atau kemunduran kepada masa lalu. Lalu, bagaimana persepsi masyarakat terhadap pilkada untuk tingkat gubernur. Masihkah ada kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilihan langsung untuk mendapatkan pemimpin seperti yang mereka inginkan. Masyarakat Kecamatan Medan Helvetia merupakan kelompok masyarakat yang heterogen, baik secara suku, agama, budaya dan lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran persepsi masyarakat Kecamatan Medan Helvetia terhadap sistem pemilihan kepala daerah tahun 2013 yang lalu. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dimana peneliti ingin menampilkan gambaran keseluruhan tentang persepsi masyarakat. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Medan Helvetia dengan jumlah responden 100 orang. Teknik penarikan sampelnya adalah simple random sampling. Teknik pengumpulan data dengan cara menyebarkan kuisioner dan observasi pada daerah penelitian. Lalu hasil kuisioner akan di ukur untuk mendapatkan gambaran persepsi, dimana semuanya disajikan dalam bentuk tabel dan dilakukan analisis kuantitatif dengan skala likert. Hasil analisa data menunjukkan bahwa responden memiliki persepsi positif terhadap pilkada tahun 2013 sebanyak 71 responden (71%), persepsi netral 28 responden (28%) dan 1 responden (1%) memiliki persepsi negatif terhadap sistem pilkada langsung oleh rakyat. Berdasarkan hasil analisa, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat Kecamatan Medan Helvetia terhadap pilkada tahun 2013 adalah positif yang berarti masyarakat masih percaya bahwa sistem pilkada langsung masih dapat menghasilkan pemimpin yang seperti mereka inginkan. Kata Kunci : Persepsi, Masyarakat, Pemilihan Kepala Daerah
iii
UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTMENT OF POLITICAL SCIENCE Nico Handani Siahaan (090906070) MEDAN HELVETIA PUBLIC PERCEPTIONS OF LOCAL ELECTIONS SYSTEM IN 2013. Details of the contents of the thesis xvi, 71 page, table 38, 21 books and 2 Internet sites. (Range of year book 1985 to 2010)
ABSTRACT
Local elections (elections) are regulated by Law 32 of 2004 on Regional Government makes elections regime entered the stage of the election. Legislation mandates that couples regional head and deputy regional head directly elected by the people. The head of the area is the mayor / regent and governor. Discourse restore mate selection governor-lieutenant governor to be a threat or Provincial Parliament setback to the past. Then, how the public perception of the election for governor level. Shall there is public confidence in the electoral system directly to get the leaders as they wish. Community District Medan Helvetia is a heterogeneous group of people, whether ethnic, religious, cultural and others. This study aims to get a picture of Medan Helvetia district public perception of the system in 2013 local elections ago.
This research is a descriptive study in which the researcher wants to show the whole picture of public perception. The research was conducted in the district of Medan Helvetia with the number of respondents 100 people. Sample withdrawal technique is simple random sampling. Techniques of data collection by distributing questionnaires and observations of the study area. Then the results of the questionnaire will be measured to get an idea of perception, where everything is presented in tables and quantitative analysis with Likert scale.
Results of data analysis showed that the respondents had a positive perception of the elections in 2013 were 71 respondents (71%), perception of neutral 28 respondents (28%) and 1 respondent (1%) had a negative perception of the direct election system by the people. Based on the analysis, it can be concluded that the public perception of the electoral district of Medan Helvetia in 2013 is positive, which means people still believe that the direct election system can still produce leaders as they wish. Keywords: Perception, Society, Local Elections
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Pengesahan
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Dilaksanakan pada: Hari : Senin Tanggal : 9 September 2013 Pukul : 10.00 s.d 12.00 WIB Tempat : Ruang Sidang Tim Penguji : Ketua : Drs. Anthonius P Sitepu, M.Si ( ) NIP. 1952 0701 1985 1110 01 Anggota I : Drs. Tonny P.Situmorang, M.Si ( ) NIP. 1962 1031 1987 0310 04 Anggota II : Indra Fauzan, S.H.I, M.Soc,SC ( ) NIP. 1981 0218 2008 1210 02
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
Halaman Persetujuan
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh Nama : Nico Handani Siahaan NIM : 090906070 Departemen : Ilmu Politik Judul : Persepsi Masyarakat Medan Helvetia Terhadap Sistem Pemilihan
Daftar Pustaka ........................................................................................... 70
Daftar Lampiran:
Lampiran 1. Kuisioner Penelitian
Lampiran 2. Lembar Pengajuan Judul Skripsi
Lampiran 3. Surat Kesediaan Dosen Pembimbing
Lampiran 4. Surat Kesediaan Dosen Pembaca
Lampiran 5.Berita Acara Seminar Proposal
Lampiran 6. Surat Rekomendasi Penelitian Dari Balitbag Kota Medan
Lampiran 7. Surat Keterangan Izin Penelitian Dari Kantor Kecamatan Medan Helvetia
Lampiran 8. Rekapitulasi Jumlah Pemilih Terdaftar Pilkada Oleh Panitia Pemilihan Kecamatan Medan Helvetia
Lampiran 9. Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Untuk Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 di Kecamatan Medan Helvetia.
xiii
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Tabel Hal
Tabel 1.1
Tabel 1.2
Tabel 1.3
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 2.7
Tabal 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.4
Tabel 3.5
Tabel 3.6
Tabel 3.7
Perkembangan Mekanisme Pemilihan Pada Undang-
Undang Pemerintahan Daerah di Indonesia ..................
Pembagian Jumlah Responden Penelitian Per-
Kelurahan di Kecamatan Medan Helvetia .....................
Pasca jatuhnya Orde Baru di Indonesia dan dimulainya masa Reformasi,
Indonesia memasuki babak baru pada sistem pemilihan umum (untuk kemudian
disebut pemilu), dimana pada jaman Orde Baru pemilu hanya merupakan sarana
untuk memilih Anggota DPRD Tingkat II, Anggota DPRD Tingkat I dan juga
Anggota DPR-RI. Setelah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengalami
amandemen ke-2 pada 9 November 2001, konstitusi mengamanatkan agar
Gubernur, Bupati dan Wali Kota dipilih secara demokratis. Hal ini tertuang
dengan jelas dalam Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945. Untuk lebih lanjut kemudian
diatur dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian
direvisi menjadi UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Pemilu merupakan wujud proses demokrasi dalam sebuah negara
demokratis, yang dimana setiap individu masyarakat memiliki hak untuk memilih
calon ataupun partai politik sebagai representasi (perwakilan) di lembaga
pemerintahan yang ada. Pemilihan Kepala Daerah (untuk kemudian disebut
sebagai pilkada) langsung juga merupakan wujud sarana pembelajaran demokrasi
untuk masyarakat. Dimana, melalui pilkada diharapkan dapat membentuk
kesadaran segenap unsur masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang
sesuai dengan hatinurani dan juga dapat mempercepat proses otonomi daerah
yang merupakan cita-cita reformasi. Sukses atau tidaknya sebuah otonomi daerah
juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik dan berkomitmennya
pemimpin lokal yang dihasilkan melalui pemilukada maka diharapkan
kesejahteraan masyarakat dapat segera terwujud dengan memperhatikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat lokal.
Sebelum diatur oleh UU No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah,
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) yang setingkat dengannya. Setalah diatur dengan UU No.32
Tahun 2004 dan kemudian direvisi menjadi UU No.12 Tahun 2008 kepala daerah
dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui sebuah
mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung. Undang-Undang No.22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum pada Pasal 1 Ayat 4
dituliskan bahwa pilkada dimasukkan dalam bagian pemilihan umum, dan secara
resmi disebut sebagai Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
atau Pilkada.
Berakhirnya rezim orde baru ternyata benar-benar membawa perubahan
yang signifikan terhadap kehidupan berpolitik di Indonesia. Dimana salah satu
tuntutan reformasi adalah perubahan pada sistem politik yang otoriter menuju
sistem politik yang demokratis. Hal ini dapat dilihat pada sistem sentralistik pada
masa orde lama, yang dimana semua urusan mengenai kekuasaan politik lokal
daerah harus melalui persetujuan atau diatur oleh pusat. Waskito Utomo (ahli
pemerintahan daerah dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) mengatakan,
formulasi dan penerapan otonomi-desentralisasi dilandasi oleh politik Orde Baru
yang berorentasi pada 3 hal, yaitu: Pertama, bagaimana membangun legitimasi
sebagai penguasa. Kedua, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan
dan Ketiga, bagaimana membangun kekuasaan sebagai pemerintah pusat yang
mempunyai kewenangan di daerah-daerah.1 Untuk kemudian di jaman reformasi
tuntutan untuk diubahnya sistem sentralistik menjadi sistem desentralistik yang
berarti daerah mengurus sendiri daerahnya dengan semangat otonomi daerah dan
percepatan atau pemerataan pembangunan.
Sejak berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah,
sistem desentralistik diatur secara legal formal. Ini merupakan perubahan terhadap
1Amiruddin & A.Zaini Bisri,Pilkada Langsung Problem & Prospek Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hlm. 98
konsep pelaksanaan otonomi daerah, dimana di dalam undang-undang ini diatur
mengenai pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung.
Pilkada yang dilakukan setiap 5 (lima) tahun sekali memiliki tujuan untuk
memilih pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh
masyarakat. Pilkada dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada Juni 2005. Pada
awalnya proses pilkada membagi masyarakat pada posisi pro dan kontra.
Masyarakat yang pro terhadap pilkada berpendapat bahwa dengan proses
pemilihan langsung akan memperkecil kemungkinan penyimpangan nilai-nilai
demokrasi yang dilakukan oleh oknum-oknum elit DPRD, seperti terjadinya
politik uang (money politics), memperkecil intervensi partai politik yang ada di
DPRD dan memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat untuk memilih
pimpinan di daerahnya secara objektif.
Sedangkan kelompok kontra beranggapan bahwa pilkada langsung
merupakan ide dan keputusan prematur yang tidak relevan dengan peningkatan
kualitas demokrasi karena kualitas demokrasi di daerah lebih ditentukan oleh
faktor-faktor lain, misalkan kualitas DPRD dan kualitas pemilih jauh lebih
berbeda dari apa yang kita harapkan. Jadi dengan kata lain kelompok kontra
sangat menentang kehadiran pilkada langsung ini, karena bisa menimbulkan
euphoria demokrasi di tingkat lokal.2
Ada juga yang berpendapat bahwa pilkada langsung ini dikatakan sebagai
“lompatan demokrasi”. Artinya pilkada itu bersifat positif dan bisa juga bersifat
negatif. Positif disini adalah pilkada langsung sebagai sarana demokrasi untuk
memberikan kesempatan kepada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk
memilih kepala daerahnya secara langsung melalui mekanisme pemungutan suara.
Hal ini bertujuan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih sendiri
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mereka sukai, tanpa adanya
paksaan dan intervensi dari pihak manapun. Dalam pengertian negatif sendiri,
2 Joko J. Prihatmoko. Pemilihan Kepala Daerah Langsung filosofi Sistem dan Problema Penerapan di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hlm.10-11.
pilkada langsung sebagai “lompatan demokrasi” yang mencerminkan penafsiran
sepihak atas manfaat dari proses pilkada. Artinya bahwa rakyat bebas untuk
melakukan tindakan-tindakan yang bersifat anarki, karena tidak adanya peraturan-
peraturan yang mengatur hal itu.3
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
kemudian direvisi, memiliki banyak kejanggalan pasal-pasal yang terdapat
didalam UU No.32/2004, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah
dinamika lokalisme politik di Indonesia. Persoalan yang dalam kurun waktu satu
atau dua dekade lalu seolah-olah hanya sebuah impian, saat ini telah menjadi
kenyataan. Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Ini menunjukkan keberhasilan dan kemajuan bagi sistem demokratisasi di
Indonesia, dimana penempatan posisi dan kepentingan rakyat berada di atas
segala-galanya dari berbagai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai
terlampau mendominasi dan bahkan terkesan menghegemoni.4 Politik, menurut
ahli politik merupakan permainan kekuasaan dan karena para individu menerima
keharusan untuk melakukan sosialisasi serta penanaman nilai-nilai guna
menemukan ekspresi bagi pencapaian kekuasaan tersebut, maka segala upaya pun
mereka lakukan untuk memindahkan penekanan dari para elit dan kelompok
kepada individu.5
Perkembangan mekanisme pemilihan kepala daerah yang diatur dalam
perundang-undangan memiliki fase-fase sesuai dengan kebutuhan pada saat itu.
Ini dapat dilihat pada isi undang-undang mengenai pemerintahan daerah yang
dahulu sampai sekarang di Indonesia. Mulai dari UU No.5 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah pada Rezim Soeharto hingga UU No.2 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Rezim B.J Habibie, Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dicalonkan dan dipilih oleh DPRD. Kemudian berubah
3 Amiruddin & A.Zaini Bisri,Pilkada Langsung Problem & Prospek Sketsa Singkat Perjalanan Pilkada, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hlm.1-2. 4 Ibid. Hlm.1. 5 Ibid. Hlm.198.
setalah disahkannya UU No.32 Tahun 2004 yang kemudian direvisi menjadi UU
No.12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dipilih oleh
rakyat. Namun calon kepala daerah tidak hanya diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik saja, tetapi juga oleh perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang yang memenuhi persyaratan dan ketentuan UU.12 Tahun 2008.
Fase-fase mekanisme sistem pemilihan kepala daerah bisa dilihat seperti:
Tabel 1.1 Perkembangan Mekanisme Pemilihan Pada Undang-Undang Pemerintahan Daerah di Indonesia
No.UU Tentang Pada Rezim Pasal Mekanisme Pemilihan
- No.5
Tahun
1974
Pokok-Pokok
Pemerintahan
Daerah
Soeharto - Pasal 15 (1)
- Pasal 16 (1)
Dicalonkan dan dipilih
oleh DPRD
- No.2
Tahun
1999
Pemerintahan
Daerah
B.J Habibie - Pasal 18 (1)
- Pasal 34 (1)
Dicalonkan dan dipilih
oleh DPRD
- No.32
Tahun
2004
Pemerintahan
Daerah
Megawati
Soekarnoputri
- Pasal 24 (5)
- Pasal 56 (2)
- Dipilih secara
langsung oleh Rakyat
- Dicalonkan Oleh
Parpol atau Gabungan
Parpol
- No.12 Tahun 2008
Perubahan Kedua
UU.No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah
Susilo
Bambang
Yudhoyono
- Pasal 24 (5)
- Pasal 56 (2)
- Dipilih secara langsung oleh Rakyat
- Dicalonkan oleh Parpol atau Gabungan Parpol atau Perseorangan
Sumber : Dikelolah oleh peneliti berdasarkan dari berbagai sumber UU mengenai
pemerintahan daerah
Berubahnya sistem pemilihan kepala daerah juga membawa perubahan
terhadap hubungan tata pemerintahan antara pusat dan daerah. Kewenangan yang
selama ini dimiliki daerah berupa pendelegasian kekuasaan bersifat administratif
dari pusat kepada daerah kini bertambah menjadi kewenangan politik.
Pemerintahan daerah tidak lagi menjadi pemimpin yang bersifat administratif
perwakilan pemerintahan pusat saja, tetapi telah menjadi pemimpin politik di
daerah karena memiliki legitimasi dari rakyat. Hal ini sejalan dengan konsep
desentralisasi yang merupakan perwujudan transfer kekuasaan politik tidak hanya
terbatas pada pendelegasian otoritas pusat kepada daerah yang selama ini bersifat
administratif. Pemilihan kepala daerah langsung menjadi sebuah isi sentral dalam
diskursus politik nasional dan dipandang sebagai bagian dari proses perwujudan
otonomi daerah. Pelaksanaannya menjadi momentum yang sangat penting bagi
proses demokratisasi politik di tingkat lokal. Rakyat dan lembaga daerah akan
terlibat langsung dalam mengelola pilkada nantinya.6
Pilkada memiliki azas-azas yang sama dengan pemilihan umum (pemilu)
yaitu azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dengan demikian
pilkada dianggap telah memenuhi nilai-nilai demokrasi. pilkada tidak hanya
berfungsi sebagai sarana mengganti, akan tetapi juga berfungsi sebagai sebuah
wadah penyalur aspirasi dari rakyat. Rakyat diberikan kewenangan langsung
untuk menilai kepala daerah apakah sesuai tindakannya dengan yang diharapkan
atau tidak, jikalah kepala daerah tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat,
maka rakyat dapat memberikan punishment dengan tidak memilih kembali pada
pilkada berikutnya.
Tahun 2008, pilkada telah dilakukan diberbagai daerah di Indonesia,
namun pada tahap pelaksanaannya masing-masing daerah memiliki kegagalan
ataupun keberhasilan. Menurut Amiruddin, pada bukunya Problem dan Prospek
pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung menampilkan dua sisi, yaitu
6 Phenie Chalid (ed), Pilkada Langsung, Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance, Jakarta : Patnership Kemitraan, 2006. Hlm. 2.
sisi gelap dan sisi terang. Sisi gelap menunjukkan pilkada hanya sebagai ajang
perebutan kekuasaan belaka, sedangkan sisi terangnya adalah memunculkan
harapan bagi terciptanya kedaulatan rakyat.7
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi
telah melempar wacana untuk mengembalikan pemilihan Gubernur-Wakil
Gubernur kepada Dewan Pimpinan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dengan
alasan untuk untuk meminimalisir konflik pasca pilkada dan efesiensi anggaran.8
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah pada Bab II
mengenai pemilihan Gubernur pasal 2 tertulis “Gubernur dipilih oleh DPRD
Provinsi secara demokratis berdasar asas bebas, rahasia, jujur, dan adil.” Tetapi,
untuk pilkada pada Provinsi Sumatera Utara tahun 2013 masih tetap mengunakan
UU No.12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai dasar hukum, yang
berarti masih mengunakan sistem pemilihan langsung oleh rakyat.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Sumatera
Utara telah melaksanakan pemilihan Gubernur sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada
tahun 2008 dan tahun 2013. Pilkada di Provinsi Sumatera Utara tahun 2013
diikuti oleh 5 (lima) pasangan calon. Dimana kelima pasangan calon kepala
daerah ini semuanya diusung oleh partai politik ataupun gabungan partai politik
peserta pemilu pada tahun 2009 lalu. Tidak adanya calon perseorangan pada
pilkada dikarenakan sulitnya memenuhi syarat administratif yaitu dukungan dari
masyarakat sebesar 3% dari jumlah penduduk Sumatera Utara yaitu 479.322
jiwa.9
Pilkada gubernur dan wakil gubernur Sumatera Utara berlangsung pada 7
Maret 2013. Yang dimana diikuti oleh 5 (lima) pasangan calon gubernur dan
7 Amiruddin, Pilkada Langsung : Problem dan Prospek, Yogyakarta ; Pustaka Pelajar, 2006. Hlm. xi. 8 KPU Pusat Pastikan Pilgubsu 2013 Pakai UU Pemda, diakses dalam http://kpud-sumutprov.go.id/berita-150-kpu-pusat-pastikan-pilgubsu-2013--pakai-uu-pemda.html, pada 20 Mei 2013 Pukul 11:32 WIB 9 Keputusan KPU Sumatera Utara No.4/Kpts/KPU-Prov-002/2012.
wakil gubernur yang semuanya diusung oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilu 2009, kelima pasangan calon tersebut adalah:
1. H. Gus Irawan Pasaribu, SE.Ak, MM - Ir. H. Soekirman (yang diusung
oleh PAN, Gerindra, PBB, P.Buruh, PDK, Barnas, PIS, PKPB, PKP,
PKBIB, PKNUI, PDP dan PBR) memperoleh suara 21,13%
2. Drs. Effendi MS Simbolon - Drs. H. Jumiran Abdi (yang diusung oleh
PDIP, PPRN dan PDS) memperoleh suara 24,24%
3. Dr. H. Chairuman Harahap, SH, MH - H. Fadly Nurzal, S.Ag (yang
diusung oleh P.Golkar, PPP, PPPI dan PRN) memperoleh suara 9,3%
4. Drs. H. Amri Tambunan - Dr. R. E. Ningolan, MM (yang diusung oleh
Partai Demokrat) memperoleh suara 12,23%
5. H. Gatot Pujo Nugroho, ST - Ir. H. Tengku Erry Nuradi, M.Si (yang
diusung oleh PKS, Hanura, PPD, Patriot dan PKNU) memperoleh
suara 33%.10
Pada pilkada Sumatera Utara yang menjadi pemenang adalah pasangan
calon gubernur dan wakil gubernur yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Hanura, PPD, Partai Patriot dan PKNU, yaitu pasangan H.Gatot Pujo
Nugroho, ST dan Ir.H.Tengku Erry Nuradi, M.Si. Dari hasil suara yang mampu
diraih oleh pasangan GANTENG dalam pilkada Sumatera Utara terjadi satu
putaran saja karena telah melewati 30% dari jumlah suara sah.
Berdasarkan hasil pilkada Sumatera Utara 2013, tingginya angka
masyarakat yang tidak menggunakan hak suaranya (golput) mencapai 5.309.442
(51,49%) dari jumlah calon pemilih yang terdaftar 10.310.872. Melihat fakta-fakta
pada pilgubsu 2013, output yang diharapkan tidak sesuai dengan biaya yang
dikeluarkan untuk pelaksanaan pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Sumatera
Utara. Salah satu unsur output yang diharapkan adalah tingkat partisipasi politik
10 Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatea Utara Periode 2013-2018, pada http://kpud-sumutprov.go.id/home, diakses pada 20 Mei 2013 pukul 13:17 WIB
yang tinggi oleh masyarakat, karena masyarakat diberikah hak untuk memilih
langsung pemimpinnya sesuai dengan amanat UU No.12 Tahun 2008.
Tidak hanya untuk hasil provinsi saja tingkat partisipasi politik yang
rendah pada pilkada sumatera utara 2013, tetapi untuk tingkat kecamatan juga
tergolong rendah. Seperti halnya yang terjadi pada Kecamatan Medan Helvetia
yang terdiri dari 7 (tujuh) kelurahan, dimana masyarakat kecamatan ini tergolong
pada katagori karakteristik yang heterogen, baik dalam hal agama, pendidikan,
pendapatan dan lainnya. Tingkat partisipasi di Kecamatan Medan Helvetia hanya
mencapai 36,62% saja. Atau dengan kata lain, tingkat golput mencapai 63.37%
dari daftar pemilih tetap.
Melihat realita yang ada pada uraian diatas, peneliti merasa tertarik untuk
meneliti persepsi masyarakat terhadap mekanisme pemilihan gubernur-wakil
gubernur secara langsung. Dengan rendahnya partisipasi politik ditambah
mahalnya dana pelaksanaan pilkada, perlu dikaji kembali kebijakan pemilihan
gubernur secara langsung. Melalui penelitian ini kita dapat melihat bagaimana
persepsi masyarakat Kecamatan Medan Helvetia terhadap sistem pemilihan
kepala daerah secara langsung pada pilkada gubernur-wakil gubernur.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan
yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Bagaimana
Persepsi masyarakat Kecamatan Medan Helvetia terhadap sistem pemilihan
kepala daerah tahun 2013?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai sosok
gubernur yang diinginkan oleh masyarakat Kecamatan Medan Helvetia.
2. Berikutnya menganalisis persepsi masyarakat Kecamatan Medan Helvetia
terhadap sistem pemilihan kepala daerah tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
Sedangkan maanfaat dari penelitian ini adalah :
1. Bagi Akademik, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya penelitian di
bidang ilmu sosial dan ilmu politik, khususnya mengenai studi terhadap
pemilihan kepala daerah (pilkada)
2. Bagi Masyarakat, penelitian ini dapat digunakan sebagai literature daftar
kepustakaan bagi yang tertarik untuk meneliti tentang masalah pemilihan
kepala daerah (pilkada)
3. Bagi penulis, menambah pengetahuan dalam hal menganalisis
permasalahan yang ada pada masyarakat dan mengasah kemampuan untuk
menciptakan karya tulis ilmiah yang baik khususnya dalam bidang Ilmu
Politik.
E. Kerangka Teori
Teori menurut Masri Singarimbun adalah serangkaian asumsi, konsep,
konstruksi, defenisi dan proporsi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan merumuskan hubungan antar konsep.11
Sedangkan teori menurut FN Karlinger adalah sebuah konsep atau
konstruksi yang berhubungan satu sama lain, suatu set dari proporsi yang
mengandung suatu pandangan yang sistematis dan fenomena.12
Dalam penelitian ini penulis mengambil teori-teori yang berhubungan
dengan persepsi, masyarakat dan pemilukada.
11 Masri Singarimbun dan Sofyan Efendi, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1995,hal.37 12 Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Jakarta:Reineka Cipta,1997, hal. 20
E.1. Persepsi
Persepsi adalah proses internal yang memungkinkan seseorang memilih,
mengorganisasikan dan manafsirkan rangsangan dari lingkungan. Menurut
Sondang Siagian persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami
oleh setiap orang di dalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman. Kunci
untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan bahwa persepsi itu
merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan bukannya suatu
pencatatan yang benar terhadap situasi.
Beberapa teori mengenai persepsi oleh para ahli:
1. Sondang P Siagian menyatakan bahwa persepsi itu adalah apa yang ingin
dilihat seseorang itu belum tentu sama dengan fakta yang sebenarnya.13
2. Thoha menyatakan bahwa persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif
yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang
lingkungannya baik melalui penglihatan maupun pendengaran.14
3. Somanto menyatakan bahwa persepsi merupakan bayangan yang menjadi
kesan yang dihasilkan dari pengamatan. Defenisi ini menekankan bahwa
persepsi merupakan hasil yang ditangkap dari mengamati suatun objek apa
yang dituju.15
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi
seseorang antara lain16:
1. Psikologi
Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di alam dunia ini sangat
dipengaruhi oleh keadaan psikologi.
13 Sondang P.Siagian, Teori Motivasi dan Aplikasinya,Jakarta:Bina Aksara,1989,hal.89. 14 Miftah Toha, Perilaku Organisasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998. hal. 23 15 Musty Soemanto, Psikologi pendidikan,Jakarta:Rineka Cipta,1990,hal.23. 16 Ibid.hal.143-144.
2. Famili
Pengaruh yang paling besar terhadap anak-anak adalah familinya. Orang
tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam
memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-
persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya.
3. Kebudayaan
Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan salah
satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan cara
seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.
E.2. Konsep Masyarakat
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan
memiliki keinginan untuk dapat menyatu dengan sesamanya di alam sekitarnya.
Pola interaksi sosial kemudian dihasilkan oleh hubungan yang berkesinambungan
dalam suatu kelompok masyarakat.
Berikut adalah beberapa pengertian masyarakat menurut para ahli:
1. Selo Sumardjan
Masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan
kebudayaan.
2. Karl Marx
Masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan
organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antar
kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi.
3. Paul B.Horton dan C.Hunt
Masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup
bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal disuatu wilayah,
mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan
di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.17
17 Prof. Drh.Wiku Adisasmito, M.Sc., Ph.D. Kebijakan Publik dan Kebijakan Kesehatan.
Masyarakat menurut Soerjono Soekanto harus memiliki unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Beranggotakan minimal dua orang
2. Anggotanya sadar sebagai satu kesatuan
3. Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan
manusia baru yang saling berkomunikasi dan membuat aturan-aturan
hubungan antara anggota masyarakat.
4. Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta
keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
E.3. Persepsi Masyarakat
Bila melihat defenisi persepsi dan masyarakat menurut para ahli, maka
penulis mendefenisikan persepsi masyarakat sebagai proses dimana individu-
individu yang tergabung dalam kelompok dan tinggal bersama dalam suatu
wilayah tertentu memberikan tanggapan terhadap fenomena-fenomena sosial yang
terjadi dan dianggap menarik dari tempat tinggal mereka.
Robbins menyatakan bahwa ada 3 faktor yang mempengaruhi persepsi
masyarakat, yaitu:
1. Pelaku persepsi
Bila seseorang memandang suatu objek dan mencoba menafsirkan apa
yang dilihatnya dan penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh
karakteristik pribadi dan palaku persepsi individu.
2. Target atau objek
Karakteristik-karakteristik dan target yang diamati dapat
mempengaruhi apa yang dipersepsikan, hubungan suatu target dengan
latar belakangnya mempengaruhi persepsi seperti kecendrungan kita
mengelompokkan benda-benda berdekatan atau yang mirip.
3. Situasi
Dalam hal ini penting untuk melihat konteks objek atau peristiwa
sebab unsur-unsur lingkungan sekitar mempengaruhi sekitar kita.
E.4. Pemilihan Umum di Indonesia
Pemilihan Umum di Indonesia pasca kemerdekaan pada tahun 1945 dapat
dibagi dalam 3 (tiga) fase perkembangan, mulai dari Orde Lama, Orde Baru dan
juga era reformasi. Dimana pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia sudah
dilaksanakan sebanyak 10 (sepuluh) kali, yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004 dan 2009.
Tujuan dari pemilihan umum adalah untuk:
a. Memungkinkan terjadinya peralihan kekuasaan secara aman dan tertib
b. Dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara
c. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
d. Pemilu diselengarakan dengan tujuan memilih wakil rakyat dan wakil
daerah.
Amin Suprihatini (2008: 11-12) mengatakan bahwa pemilu diselengarakan
dengan tujuan memilih Presiden/Wakil Presiden, Legislatif, Kepala daerah yang
memperoleh dukungan dari rakyat sehingga mampu menjalankan fungsi-fungsi
kekuasaan pemerintah negara dalam rangka tercapainya tujuan nasional
sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia dilaksanakan setiap 5 (lima)
tahun sekali. Dimana tahapan pemilu meliputi pendaftaran peserta pemilu,
penetapan, pemungutan suara dan terakhir penetapan hasil pemilu. Lembaga
penyelengara pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU). Rezim pemilu yang
dilaksanakan secara langsung tidak hanya memilih legislatif saja pada saat ini
(DPR dan DPD) tetapi juga sudah memilih Presiden/Wakil Presiden secara
langsung dari rakyat. Serta juga memilih kepala daerah/wakil kepala daerah baik
di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.
E.5. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004 pasal 56 ayat 1 dijelaskan
bahwa “kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur dan adil.”
Tujuan utama pilkada langsung adalah penguatan masyarakat dalam
rangka peningkatan kapasitas demokrasi ditingkat lokal dan peningkatan harga
diri masyarakat yang sekian lama sudah dimarginalkan18. Pilkada langsung dinilai
sebagai perwujudan pengembalian “hak-hak dasar” masyarakat di daerah dengan
memberi kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutmen pimpinan daerah
sehingga meminimalisir kehidupan demokratis di tingkat lokal.
Sehubungan dengan pengembalian hak-hak dasar tersebut, Joko. J
Prihatmoko memiliki asumsi-asumsi positif. Adapun asumsi-asumsi tersebut
mencakup:
1. Penarikan kedaulatan yang dititipkan DPRD
Dengan pilkada langsung berarti kedaulatan rakyat yang selama ini
dititipkan kepada anggota DPRD berada di tangan rakyat sendiri. Rakyat
benar-benar dapat menunjukkan kedaulatannya dengan memilih
pemimpinnya. Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, kedaulatan itu
hanya terwujud dalam pemilihan kepala desa. Sebagai konsekuensinya,
para wakil rakyat di DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak
memiliki mandat untuk memilih kepala daerah. Sosok, kualitas dan kinerja
pimpinan pemerintah daerah sangat tergantung pada rakyat sendiri ketika
mengunakan hak pilih di tempat pemungutan suara (TPS). Secara teknis,
jika sebelumnya DPRD memiliki fungsi memilih kepala daerah sekarang
18 Joko. J Prihatmoko.2005. Pemilihan kepala daerah langsung, filosofi, sitem dan problema penerapan di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. viii.
fungsi tersebut dihapus. DPRD hasil pemilu 2004 hanya menjalankan
fungsi legislasi, pembuatan perda, anggaran, dan pengawasan.
2. Sumber kekuasaan adalah rakyat.
Filosofi sumber kekuasaan (the origin of power) kepala daerah adalah
rakyat. Kehendak rakyat merupakan muara ari segala kiprah, cita-cita,
perilaku, tindak tanduk dan kegiatan serta rencana-rencana kepala daerah.
Sumber kekuasaan itulah yang membedakan apakah seseorang kepala
daerah layak disebut pemimpin atau elit politik. Dengan pemilihan
langsung, kepala daerah disebut pimpinan politik lokal. Istilah pimpinan
atau kepemimpinan di dalamnya mengandung makna sebagai bagian
integral dari rakyat itu sendiri. Sebaliknya, kepala daerah dipilih tidak
secara langsung atau DPRD, kepala daerah adalah elit politik lokal.
Artinya kepala daerah bukan bagian integral dari rakyat melainkan satu
lapisan sosial lain diluar rakyat (bersama DPRD).
3. Rakyat adalah subjek demokrasi
Rakyat adalah subjek demokrasi dalam artian sesungguh-sungguhnya,
sebagai pimpinan politik. Dengan demikian rakyat tidak hanya didorong
subjek demokrasi, rakyat memainkan peran dan posisi sebagai pelaku
melalui saluran-saluran yang disediakan baik dalam proses pembuatan
kebijakan publik maupun rekrut mendorong untuk memilih calon
pemimpinnya akan tetapi juga memiliki hak untuk mencalonkan diri. Hak
warga untuk dipilih dan memilih itu merupakan bagian terpenting dari
Keputusan KPU Sumatera Utara No.4/Kpts/KPU-Prov-002/2012. Keputusan KPU Provinsi Sumatera Utara No.20/Kpts/KPU-Pro-002/2013 Rekapitulasi Jumlah Pemilih Terdaftar Pemilihan Umum Gubernur dan
Wakil Gubernur Oleh Panitia Pemilihan Kecamatan Medan Helvetia
Model A5-KWK.KPU Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Revisi Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
Website:
KPU Pusat Pastikan Pilgubsu 2013 Pakai UU Pemda, diakses dalam