BAB IPENDAHLUAN
1.1 Latar BelakangPersalinan preterm merupakan salah satu
penyebab morbiditas dan mortalitas perinatal di seluruh dunia.
Persalinan preterm menyebabkan mortalitas 70% perinatal dan
neonatal, dan morbiditas jangka panjang, yang meliputi retardasi
mental, serebral palsi, gangguan perkembangan, seizure disorder,
kebutaan, hilangnya pendengaran, dan gangguan non neurologis,
seperti penyakit paru kronis dan neuropati. Oleh karena itu
persalinan preterm bukan hanya menjadi masalah obstetri yang paling
umum tapi dapat menjadi masalah obstetri yang paling serius (Rima,
2010).Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang
terjadi pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, dimana terjadi
kontraksi uterus yang teratur yang berhubungan dengan penipisan dan
dilatasi serviks. Terdapat definisi lain tentang persalinan
preterm, yaitu persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20 dan
37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Bayi yang lahir
prematur memiliki berat badan lahir rendah dan hubungan antara umur
kehamilan dengan berat badan lahir mencerminkan kecukupan
pertumbuhan intra uterin (Cunningham, 2012)..Angka kejadian
persalinan preterm umumnya bervariasi antara 6 15% pada seluruh
persalinan. Diperkirakan terdapat 12.870 persalinan preterm per
1000 kelahiran di seluruh dunia (9,6%), di USA kejadian persalinan
preterm adalah 12 -13%. di Afrika terdapat 4.047 persalinan preterm
per 100 kelahiran (11,9%) di Eropa sebesar 466 per 1000 kelahiran
(6,2%), di Asia 6.097 per 1000 kelhiran atau 9,1%, dan di Asia
Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran (11,1%) (Stacy et al, 2010). Di
Indonesia belum ada angka yang secara nasional menunjukkan kejadian
persalinan preterm, namun pernah dilaporkan angka kejadian
persalinan preterm di rumah sakit di Jakarta sebesar 13,3% dan di
rumah sakit di bandung sekitar 9,9% pada tahun 2001 (Rima, 2010).
Di Amerika Serikat pada tahun 2005, 28.384 bayi meninggal pada
tahun pertama kehidupan mereka, kelahiran kurang bulan terkait
dengan dua per tiga kematian ini. Angka kelahiran kurang bulan
pernah menjadi penyumbang terbesar kematian bayi di Amerika
Serikat. Berbagai jenis morbiditas terutama dikarenakan sistem
organ yang imatur secara signifikan meningkat pada bayi yang lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu dibandingkan dengan bayi yang
lahir aterm (Cunningham, 2012).Keberhasilan menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas perinatal yang berhubungan dengan
persalinan preterm memerlukan identifikasi faktor resiko. Sehingga
diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang faktor faktor resiko
psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm (Rima,
2010).
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 DefinisiPersalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan
yang terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu atau kurang dari 259
hari sejak hari pertama haid terakhir (C.Hubinont, 2011). Partus
prematurus atau persalinan prematur juga diartikan sebagai
dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan
atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang
lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari
hari pertama haid terakhir (Oxorn, 2010). Himpunan Kedokteran
Fetomaternal (POGI) di Semarang menetapkan bahwa persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22 37 minggu
(Rima, 2010).
2.2 EpidemiologiKejadian persalinan preterm tidak merata
disetiap wanita hamil. Dari suatu penelitian didapatkan bahwa
kejadian persalinan preterm pada wanita dengan kulit hitam adalah 2
kali lebih banyak dibandingkan ras lain di Amerika Serikat.
Penyebab prematuritas adalah terkait multifaktorial. Persalinan
preterm wanita kulit putih lebih banyak berupa persalinan preterm
spontan dengan selaput ketuban utuh, sedangkan pada wanita kulit
hitam umumnya didahului dnegan ketuban pecah dini. Persalinan
preterm juga dapat dibagi menurut usia kehamilan, sekitar 5%
persalinan preterm terjadi pada usia kurang dari 28 minggu (extreme
prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu
(severe prematurity), sekitar 20% pada usia 32-33 minggu (moderate
prematurity), dan 60-70% pada usia 34-36 minggu (near term) (Rima,
2010.)Diperkirakan terdapat 12.870 persalinan preterm per 1000
kelahiran di seluruh dunia (9,6%), di USA kejadian persalinan
preterm adalah 12 -13%. di Afrika terdapat 4.047 persalinan preterm
per 100 kelahiran (11,9%) di Eropa sebesar 466 per 1000 kelahiran
(6,2%), di Asia 6.097 per 1000 kelhiran atau 9,1%, dan di Asia
Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran (11,1%) (Stacy et al, 2010).
Angka kejadian persalinan prematur di Indonesia pada taun 1983
adalah 18,5% dan pada tahun 1995 menurun menjadi 14,2%. Menurut
data terakhir pada tahun 2005 jumlah persalinan prematur di
Indonesia adalah 10% (Oxorn, 2010).Prematuritas dewasa ini menjadi
merupakan faktor tersering terkait morbiditas dan mortalitas bayi.
Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi bayi prematur,
gangguan respirasi menyebabkan kematian sebesar 44% pada bayi usia
kurang dari 1 bulan. Jika berat bayi kurang dari 1000 gram maka
angka kematian naik menjadi 74%. Karena lunaknya tulang tengkorak
serta immaturitas, bayi prematur lebih rentan terhadap kompresi
kepala. Perdarahan intrakranial lebih sering terjadi pada bayi
prematur dibandikan dengan bayi aterm (Oxorn, 2010). Setiap tahun
sekitar 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama kehidupan
(periode neonatal). Secara global diperkirakan penyebab langsung
kematian neonatal adalah prematuritas (28%), infeksi berat 26%, dan
asfiksia 28%. Persalinan preterm spontan paling sering terjadi pada
ibu dengan kulit putih, sedangkan ketuban pecah prematur adalah
penyebab paling sering terjadinya persalinan preterm pada ibu kulit
hitam (Cunningham, 2012).
2.3 Etiologi dan PatofisiologiPenyebab persalinan preterm untuk
semua kasus adalah berbeda beda. Persalinan preterm, merupakan
kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi keadaan obstetrik,
sosiodemografi, dan faktor medik memiliki pengaruh terhadap
terjadinya persalinan preterm. Kadang hanya resiko tunggal dijumpai
seperti distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini atau trauma
(Sarwono, 2010). Beberapa faktor resiko terjadinya persalinan
preterm adalah abortus yang mengancam, faktor gaya hidup seperti
merokok, pertambahan berat badan ibu yang tidak adekuat, penggunaan
narkoba. Faktor maternal lain yang terlibat adalah usia ibu terlalu
muda atau terlalu tua, tubuh pendek, kesenjangan ras dan etnik,
hiperaktivitas selama kehamilan, faktor genetik, penyakit
periodontal, cata lahir, interval antara kehamilan sebelumnya dan
saat ini, serta riwayat persalinan preterm pada kehamilan
sebelumnya (Cunningham, 2012).
Tabel 1. Faktor resiko persalinan preterm
Terdapat empat penyebab utama untuk kelahiran kurang bulan di
Amerika Serikat. yaitu :1. Persalinan atas indikasi ibu atau janin
sehingga persalinan diinduksi atau bayi dilahirkan dengan
persalinan sesar.2. Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan
dengan selaput ketuban utuh.3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM)
idiopatik4. Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih banyakPada
persalinan preterm, 30 35% teridentifikasi, sebanyak 40 45%
dikarenakan persalinan kurang bulan spontan dan 30-35% karena PPROM
(Cunningham, 2012).Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat
proses patogenik yang merupakan mediator biokimia yang mempunyai
dampak terjadinya kontraksi rahim dan perubahan serviks, yaitu
aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada ibu
maupun janin, akibat stress pada ibu ataupun janin, inflamasi
desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi ascenden dari
traktus genitourinari atau infeksi sistemik, perdarahan desidua,
peregangan uterus patologik, kelainan pada uterus atau serviks.
Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya
persalinan preterm harus dicermati beberapa kondisi yang dapat
menimbulkan kontraksi, menyebabkan persalinan prematur (Sarwono,
2010).
1. Indikasi Medis dan ObstetrisPreeklampsia, distress janin,
kecil masa kehamilan, dan solusio plasenta merupakan indikasi
paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan persalinan
preterm. Penyebab lain yang kurang umum adalah hipertensi kronik,
plasenta previa, perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes,
penyakit ginjal, isoimunisasi RH, dan malformasi kongenital
(Cuningham, 2012).
2. Ketuban Pecah Dini PretermDidefinisikan sebagai pecahnya
ketuban sebelum persalinan dan sebelum usia kehamilan 37 minggu,
ketuban pecah dini prematur dapat disebabkan oleh beragam mekanisme
patologis termasuk infeksi intraamnion. Faktor lain yang terlibat
adalah indeks massa tubuh yang rendah krang dari 19,8, kurang gizi,
dan merokok. Wanita dengan riwayat ketuban pecah dini preterm
sebelumnya memiliki resiko yang tinggi terjadinya rekurensi pada
kehamilan berikutnya. Namun kebanyakan kasus ketuban pecah preterm
terjadi tanpa faktor resiko (Cuningham, 2012).
3. Persalinan Kurang Bulan SpontanPersalinan kurang bulan
spontan dikaitkan dengan beberapa hal, yaitu withdrawal
progesteron, inisiasi oksitosin, dan aktivitas desidua. Teori
withdrawal progesteron menjelaskan bahwa semakin mendekati proses
persalinan sumbu adrenal janin menjadi lebih sensitif terhadap
adrenokortikotropik sehingga meningkatkan sekeresi kortisol.
Kortisol janin merangsang aktivitas 17- hidroksidase plasenta
sehingga mengurangi sekresi progesteron dan meningkatkan produksi
estrogen. Kondisi ini menyebabkan peningkatan pembentukan
prostaglandin yang memicu persalinan preterm (Goldenberg et al,
2008).Sebuah jalur penting menyebabkan inisiasi persalinan
melibatkan aktivasi inflamasi desidua. Pada kasus persalinan
preterm, aktivasi desidua tampaknya muncul pada kauss perdarahan
intrauterin atau infeksi intrauteri (Louis J, 2010).
4. Infeksi Intra UterinInfeksi intra uterin merupakan salah satu
penyebab terjadinya persalinan preterm. Infeksi bakterial dalam
uterus dapat terjadi antara jaringan maternal dan fetal membran
(dalam koriodesidual space), dalam fetal membran (amnion dan
korion), dalam placenta, dalam cairan amnion, dalam tali pusat.
Infeksi pada fetal membran disebut korioamnionitis, infeksi pada
tali pusat disebut funisitis, infeksi pada cairan amnion disebut
amnionitis. Infeksi jarang terjadi pada kehamilan prematur akhir
(34-36 minggu), dan lebih sering terjadi pada usia kehamilan kurang
dari 30 minggu (Franklin. 2000).
Gambar 1. Tempat potensial terjadinya infeksi bakteri
intrauterin
Ada beberapa jalur yang dapat menyebabkan masuknya bakteri ke
dalam uterus. Bakteri dapat berasal dari migrasi dari kavum abdomen
melalui tubafallopi, infeksi dari jarum amnionsintesis yang
terkontaminasi, secara hematogen melalui plasenta, atau melalui
serviks dari vagina. Pada persalinan preterm dengan membran yang
utuh bakteri yang paling banyak ditemukan adalah Ureaplasma
urealitycum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis,
peptostretococcus, dan spesies bakterioides (Franklin, 2000).
Organisme yang sering berhubungan dengan infeksi saluran genital
pada wanita tidak hamil Neisseria gonorrhoeae dan Chlamydia
trachomatis, jarang ditemukan dalam uterus sebelum pecah ketuban,
sedangkan bakteri yang sangat sering berhubungan dengan
korioamnionitis dan infeksi janin setelah pecah ketubah, group B
streptococci dan Escherichia coli, hanya ditemukan kadang-kadang.
Jarang, organisme saluran non genital, seperti organisme di mulut
genus capnocitophaga, ditemukan di dalam uterus yang berhubungan
dengan persalinan prematur dan korioamnionitis. Organisme ini
mencapai uterus dapat melalui plasenta dari sirkulasi atau mungkin
dengan kontak oral genital. Meskipun demikian, kebanyakan bakteria
yang ditemukan dalam uterus dalam hubungannya dengan persalinan
prematur berasal dari vagina. Bakteri dari vagina menyebar secara
ascendens pertama kali ke dalam ruang koriodesidua. Pada beberapa
wanita, organisme ini melewati membran korioamniotik yang intak ke
dalam cairan amnion, dan beberapa fetus akhirnya menjadi
terinfeksi. Bukti infeksi melalui rute ini berasal dari penelitian
609 wanita yang fetusnya dilahirkan dengan seksio sesar sebelum
pecah ketubah. Setengah dari 121 wanita dengan kultur membran
positif juga memiliki organisme dalam cairan amnion. Sebagian kecil
fetus memiliki kultur darah atau cairan serebrospinal yang positif
saat persalinan. Wanita dengan kultur membran positif memiliki
respon peradangan yang aktif, seperti diinfikasikan oleh temuan
leukosit histologis pada membran dan adanya konsentrasi interleukin
6 yang tinggi dalam cairan amnion. Temuan ini mungkin menjelaskan
kenapa wanita dengan kultur cairan amnion negatif tetapi dengan
konsentrasi sitokin yang tinggi dalam cairan amnion resisten
terhadap obat tokolitik. Tampaknya, wanita ini sering memiliki
infeksi dalam korioamnion, suatu tempat yang tidak boleh dikultur
sebelum persalinan.
Waktu terjadinya infeksiBukti terakhir menunjukkan bahwa infeksi
intrauterine mungkin terjadi jauh lebih awal saat hamil dan masih
tidak terdeteksi selama beberapa bulan. Sebagai contoh U.
urealyticum telah terdeteksi pada beberapa sampel cairan amnion
yang diperoleh dari analisis kromosom rutin pada usia kehamilan 15
18 minggu. Kebanyakan wanita ini melakukan persalinan sekitar usia
kehamilan 24 minggu. Lebih lanjut, konsentrasi interlekin 6 yang
tinggi dalam cairan amnion pada minggu 15 20 berhubungan dnegan
persalinan prematur spontan setelat 32 34 minggu. Contoh lain yang
menunjukkan infeksi kronik, konsentrasi fibronektin yang tinggi
dalam cerviks atau vagina pada usia kehamilan 24 minggu (yang
dipertimbangkan sebagai marker infeksi saluran genitalia atas)
berhubungan dengan terjadinya korioamnionitis rata-rata 7 minggu
kemudian. Akhirnya, beberapa wanita yang tidak hamil dengan
vaginosis bakterialis memiliki kolonisasi intrauterin yang
berhubungan dengan endometritis sel plasma kronik. Sehingga
memungkinkan bahwa kolonisasi intrauterine yang berhubungan dengan
persalinan prematur spontan tampak saat konsepsi. Penting untuk
menekankan bahwa kebanyakan infeksi saluran genitalia atas masih
asimptomatik dan tidak berhubungan dengan demam, uterus yang
bengkak atau leukositosis darah tepi.
Mekanisme persalinan prematur akibat infeksiData dari penelitian
hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan gambaran yang
konsisten bagaimana infeksi balteri menyebabkan persalinan prematur
spontan (gambar 3). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua,
menyebabkan pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi
desidua dan membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin,
termasuk including tumor necrosis factor, interleukin-1,
interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte
colony-stimulating factor. Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan
exotoxins merangsang sistesis dan pelepasan prostaglandin dan juga
mengawali chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi neutrofil.
Prostaglandin merangsang kontraksi uterus sedangkan metalloprotease
menyerang membran korioamnion yang menyebabkan pecah ketuban.
Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam serviks dan
melembutkannya (Franklin, 2000). Terdapat jalur lain yang memiliki
peranan yang hampir sama. Sebagai contoh, prostaglandin
dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi prostaglandin
yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai miometrium
dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan
aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan peningkatan kuantitas
prostaglandin untuk mencapai miometrium (Rima, 2010).Jalur lain
dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin itu
sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi
corticotropin-releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi
kortikotropin janin, yang kemudian meningkatkan produksi kortisol
adrenal fetus. Sekresi kortisol yang tinggi menyebabkan
meningkatnya produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu ketika fetus
itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu
untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif
kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan
keseluruhan tidak diketahui (Rima, 2010).
Gambar 2. Alur kolonisasi bakteri koriodesidua yang menyebabkan
persalinan prematur
Marker infeksiInfeksi intrauterine sering bersifat kronik dan
biasanya asimptomatik hingga persalinan dimulai atau pecah ketubah.
Bahkan selama persalinan, kebanyakan wanita yang menunjukkan
korioamnionitis kemudian (dengan temuan histologis dan kultur)
tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur tidak demam,
nyeri perut atau leukositosis darah tepi dan biasanya tidak
terdapat takikardia janin. Zat yang ditemukan dalam kuantitas
abnormal dalam cairan amnion dan di tempat lain pada wanita dengan
infeksi intrauterine dijelaskan dalam tabel 1 (Rima, 2010).
Tabel 2. Marker infeksi intrauterin
5. Aktivasi Aksis Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Ibu dan
Janin Stress didefiniskan sebagai tantangan baik psikologis ataupun
fisik yang mengancam ataupun mengancam hemostasis pasien akan
mengakibatkan aktivasi prematur Hipothalamic-Pituitary-Adrenal
(HPA) janin atau ibu. Stress semakin diakui sebagai faktor resiko
penting terjadinya persalinan preterm. Neuroendrokin, kekebalan
tubuh, proses perlilaku (seperti depresi) telah dikaitkan dengan
kejadian persalinan preterm akibat stress. Proses aktivasi prematur
HPA dimediasi oleh corticothropine releasing hormone (CRH)
plasenta. Dalam sebuah hasil penelitian in vivo ditemukan hubungan
yang signifikan antara stress psikososial ibu dengan kadar CRH,
ACTH, dan kortisol plasma ibu. Menurut Hobel dkk, dibandingkan
dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang preterm memiliki
kadar CRH yang meningkat signifikan dengan mempercepat peningkatan
kadar CRH selama kehamilan (Rima, 2010).Pada persalinan preterm
aksis HPA ibubdapat mendorong ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta
menstimulasi janin untuk mensekresi kortisol dan
dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) melalui aktivasi aksis HPA
janin dan menstimulasi plasenta untuk mensisntesis estriol dan
prostaglandin, sehingga mempercepat persalinan preterm (Rima,
2010).
6. Perdarahan Desidua (Desidual Hemmorrage/thrombosis)Perdarahan
desidu dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskuler dari
plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban
pecah dini. Lesi plasenta dilaporkan terjadi pada 34% wanita dengan
persalinan preterm. Lesi ini dapat dikarakteristikkan sebagai
kegagalan transformasi fisiologis dari arteri spiralis, atherosis,
dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan mekanisme yang
menghubungkan lesi vaskuler dengan persalinan preterm adalah iskemi
uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas tetapi trombin
diduga memegang peranan utama (Rima, 2010).Terlepas dari peran
penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease multifungsi
yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskuler dan otot halus
myometrium. Trombin mestimulasi kontraksi otot polos longitudinal
myometrium (Rima, 2010).
Tabel 3. Etologi dan jalur persalinan preterm yang diakui secara
umum (Rima, 2010)
2.4 Diagnosis1. AnamnesisAnamnesis diperlukan untuk mencari
faktor resiko. Faktor resiko ini penting dan dalam kaitannya dengan
terjadinya persalinan preterm. Berikut adalah beberapa faktor
resiko terjadinya persalinan preterm : (Rima, 2010)1. Faktor resiko
mayor : a. Kehamilan multipelb. Polihidramniomc. Anomali uterusd.
Dilatasi serviks > 2cm pada usia kehamilan 32 minggue. Riwayat
abortus 2 kali atau lebih pada trimester IIf. Riwayat persalinan
preterm sebelumnyag. Riwayat menjalani prosedur operasi pada
serviks (cone biopsy, loop electrosurgical excision procedure)h.
Penggunaan cocain dan amphetaminei. Operasi besar pada abdomen .2.
Faktor resiko minora. Perdarahan pervaginam setelah 12 minggub.
Riwayat pyelonefritisc. Merokokd. Riwayat abortusPasien tergolong
reiko tinggi apabila ditemukan lebih dari satu faktor resiko mayor
atau dua atau lebih fator resiko minor, atau keduanya. Disamping
faktor resiko di atas faktor resiko lain yang perlu diperhatikan
adalah tingkat sosiobiologi (usia ibu, jumlah anak, obesitas,
status sosioekonomi yang rendah, ras, stress lingkungan) dan
komplikasi kehamilan lainnya (infeksi maternal,
preeklampsia-eklampsia, plasenta previa, kehamilan yang diperolh
melalui bantuan medikasi, terlambat atau ridak melakukan asuhan
antenatal) (Rima, 2010).
Gambar 2. Mekanisme persalinan preterm pada kehamilan ganda
2. Gejala KlinisSering terjadi kesulitan dalam diagnosis ancaman
persalinan preterm. Differensiasi dini antara persalinan palsu
dengan persalinan sebenarnya sulit ditentukan sebelum adanya
pendatarandan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri sulit
dibedakan karena daanya kontraksi braxtons hicks. Kontraksi ini
digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmis,
tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat
menimbulkan keraguan besar dalam diagnosis persalinan preterm.
Tidak jarang wanita yang melahirkan sebelum aterm memiliki
kontraksi yang mirip dengan braxtons hicks yang mengarahkan ke
diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. Beberapa kriteria
yang dapat dipakai sebagai ancaman persalinan preterm :a. Usia
kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau 140 dan 259 hari.b.
Kontraksi uterus (his) yang teratur yaitu berulang 7-8 kali atau
2-3 kali dalam 10 menit.c. Merasakan gejala seperti kaku di perut,
menyerupai rasa kaku seperti menstruasi, rasa tekanan intrapelvik,
nyeri punggung bawah (low back pain).d. Mengeluarkan lendir
bercampu darah pervaginam.e. Pemeriksaan dalam menunjukkan serviks
telah mendatar 50-80%, atau telah terjadi pembukaan sedikitnya 2
cm.f. Selaput amnion sering kali telah pecah.g. Presentasi janin
rendah, sampai mencapai spina ischiadika (Cunningham,
2012).Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of
Pediatrics dan The American College of Obstreticians and
Gynecologists, adalah sebagai berikut :a. Kontraksi yang terjadi 4
kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan perubahan
progresif pada serviks.b. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.c.
Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
3. Perubahan serviksa. Dilatasi serviksDilatasi serviks
asimtomatik setelah pertengahan masa kehamilan diduga sebagai fator
resiko persalinan preterm (Cunningham, 2012).b. Panjang
serviksServiks memegang peranan ganda pada kehamilan. Serviks
mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan
intrauterin sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk
memungkinkan isi uterus untuk melewatinya selama proses
persalinan.Kompetensi serviks tergantung pada kestuan antara
anatomi dan komposisi biokimia dari serviks. Salah satu indikator
dini dari inkompetensia serviks adalah terjadinya pemendekan dari
serviks. Berdasarkan hasil penelitian dengan ultrasounografi
sebagai prediktor persalinan preterm menentukan bahwa panjang
serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat
meningkatkan resiko persalinan preterm (Rima, 2010).c.
Inkompetensia ServiksInkompetensia serviks adalah diagnosis klinis
yang ditandai dengan dilatasi serviks berulang, tanpa rasa sakit,
dan kejadian kelahiran spontan pada midtrimester tanpa adanya pecah
ketuban spontan, peradarahan, ataupun infeksi. Dilatasi serviks ini
dapat diiikuti prolaps dan menggembungnya membran janin ke dalam
vagina, dan akhirnya ekspulsi janin imatur. Penyebab inkompetensia
serviks ini belum jelas, namun terkait dengan riwayat trauma pada
serviks seperti dilatasi , kuretase, kauterisasi (Rima, 2010).
2.4.1 Indikasi Wanita yang beresiko mengalami persalinan
pretermCara utama untuk mengurangi resiko persalinan preterm dapat
dilakukan sejak awal, sebelum tanda tanda persalinan muncul.
Dimulai dengan pengenalan pasien yang beresiko, untuk diberi
penjelasan dan penilaian klinik terhadap persalinan preterm serta
pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan pencegahan
dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks mempunyai manfaat yang
cukup besar dalam memprediksi terjadinya persalinan preterm. Bila
dijumpai serviks pendek (< 1cm) yang disertai dengan pembukaan
yang merupakan tanda serviks matang/inkompetensia serviks, maka
pasien tersebut dikatakan memiliki resiko mengalami persalinan
preterm 3-4 kali (Cunningham, 2012).Berikut adalah beberapa metode
untuk mengenali wanita yang beresiko mengalami persalinan preterm
:1. Estriol SalivaBeberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan
antara estriol saliva ibu dengan persalinan preterm. Hal ini dapat
dijelaskan melalui penelitian mengenai fisiologi proses persalinan,
yang menunjukkan peranan aksis hipotalamus pituitari adrenal (HPA)
janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol plasenta
sejak dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia,
aktivasi prematur dari aksis HPA pada persalinan preterm akan
meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini dapat
menjadi prediktor dimulainya persalinan preterm (Rima, 2010).Telah
dilaporkan bahwa peningkatan estriol dimulai sejak 3 minggu sebelum
terjadinya persalinan, pada wanita yang mengalami persalinan
preterm atau aterm. Tingkat esriol pada saliva ibu menggambarkan
tingkat estriol dalam serum ibu dan estriol saliva digunakan untuk
menilai resiko persalinan preterm dengan atau tanpa gejala. Tingkat
estriol saliva dapat dinilai dengan radioimmunoassay. Tingkat
estriol saliva positif 1 ( 2,1 ng/ml) dapat memprediksi suatu
peningkatan resiko persalinan preterm 3 4 kali lipat pada wanita
dengan resiko rendah ataupun tinggi (Rima, 2010).2. Skrining
bakterial vaginosisBakterial vaginosis (BV) adalah infeksi vagina
yang ditandai perubahan flora normal vagina, berkurangnya
Lactobacillus menjadikan tumbuhnya bakteri anaerob disertai
perubahan sekresi vagina (Vida, 2008). BV diperkirakan terjadi pada
40% wanita, dengan prevalensi berkisar 10-61% dan faktor risiko
paling kuat menyebabkan preterm. Data meta analisis menunjukkan BV
meningkatkan risiko preterm 2 kali lipat terutama jika dijumpai
pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, dan infeksi BV secara
bermakna berhubungan dengan kejadian persalinan preterm kurang dari
37 minggu .Di Indonesia, Riduan dkk mendapatkan angka kejadian
persalinan preterm sebanyak 20,5% pada wanita dengan BV saat
kehamilan muda, dan 10,7% bila terjadi pada akhir kehamilan (Vida,
2008).Standar diagnosis servikovaginitis adalah gambaran klinis dan
pewarnaan Gram dari swab serviks dan vagina. Lima puluh persen
servikovaginitis akibat BV bersifat asimtomatik, sehingga
diperlukan deteksi dini dan skrining ibu hamil terhadap infeksi
ini. Penegakan diagnosis servikovaginitis karena BV berdasarkan
kriteria klinis memiliki sensitivitas 62% dan spesifisitas 66%,
sementara pewarnaan Gram memiliki sensitivitas 97% dan spesifisitas
95%. Gambaran klinis dapat dinilai dengan menggunakan kriteria
Amsel, yaitu terdapat tiga dari empat tanda klinis berikut (Damar
Prasmusinto, 2010) :- pH vagina di atas 4,5 - Duh vagina yang
homogen, tipis - Terdapat bau amis dari duh vagina bila ditambahkan
kalium hidroksida 10% (tes amin) - Terdapat clue cell pada sediaan
basah.3. Fibronekstin FetalFibronektin fetal merupakan suatu
glikoprotein matriks ekstraseluler. Fibronektin fetal dalam cairan
biologis diproduksi oleh amniosit dan sitotrofoblas. Zat ini muncul
selama masa gestasi pada semua kehamilan. Kadarnya paling tinggi
ditemukan pada cairan amnion (100 g/mL) pada trimester kedua, dan
menjadi 30 g/mL saat aterm. Zat ini terletak di permukaan antara
sisi maternal dan fetal pada membran amnion, di antara korion dan
desidua, dan terkonsentrasi di ruang di antara desidua dan
trofoblas (Damar Prasmusinto, 2010). Fibronektin fetal di sini
berperan sebagai perekat antara uterus dan hasil konsepsi.
Konsentrasi fibronektin fetal yang ditemukan di dalam darah 1/5
dari yang ditemukan dari cairan amnion dan tidak muncul dalam urin.
Pada kondisi normal, glikoprotein ini tetap berada di tempatnya
tersebut, dan hanya sebagian kecil dapat ditemukan pada sekret
servikovagina setelah usia gestasi 22 minggu (kurang dari 50
ng/mL). Kadar di atas nilai ini ( 50 ng/mL) pada atau setelah usia
gestasi 22 minggu pada sekret servikovagina berkaitan dengan
peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm spontan (Damar
Prasmusinto, 2010).Pemeriksaan fibronektin fetal digunakan untuk
menilai risiko persalinan dan kelahiran preterm dengan mengukur
jumlah kadar fibronektin fetal pada sekret servikovagina. Pada
kenyataannya, fibronektin fetal merupakan salah satu penanda
kelahiran preterm terbaik yang pernah diujicobakan pada seluruh
populasi yang diteliti, termasuk wanita berisiko rendah dan tinggi
tanpa riwayat persalinan preterm, wanita dengan riwayat kelahiran
kembar, serta wanita dengan riwayat persalinan preterm. Tingginya
kadar fibronektin fetal , bahkan pada usia gestasi 13-22 minggu,
berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm
spontan sebesar dua hingga tiga kali (Damar Prasmusinto, 2010) .
Pemeriksaan fibronektin fetal tersedia dalam dilakukan di dalam
laboratorium atau langsung di tempat tidur pasien, dengan kadar
ambangnya 50 ng/mL. Salah satu keterbatasan uji fibronektin fetal
adalah uji tersebut tidak dapat dilakukan pada keadaan berikut:
PPROM, perdarahan, riwayat hubungan seksual dalam 24 jam
sebelumnya, dan pre-eklamsia (Damar Prasmusinto, 2010).
2.5 PenatalaksanaanManajemen persalinan perterm meliputi
(P.O.G.I, 2011):1. Tirah baring (Bedrest)2. Hidrasi dan sedasi3.
Pemberian tokolitik4. Pemberian steroid5. Pemberian antibiotik6.
Emergency Cerclage7. Perencanaan persalinan
1. Tirah baring (bedrest)Kepentingan istirahat rebah disesuaikan
dengan kebutuhan ibu, namun secara statistik tidak terbukti dapat
mengurangi kejadian kurang bulan secara statistik (P.O.G.I,
2011).
2. Hidrasi dan sedasiHidrasi oral maupun intravena sering
dilakukan untuk mencegah persalinan preterm, karena sering terjadi
hipovolemik pada ibu dengan kontraksi premature, walaupun mekanisme
biologisnya belum jelas. Preparat morfin dapat digunakan untuk
mendapatkan efek sedasi (P.O.G.I, 2011).
3. Pemberian tokolitikTokolitik akan menghambat kontraksi
myometrium dan dapat menunda persalinan. Berikut adalah alasan
pemberian tokolitik pada persalinan preterm (Sarwono, 2010) :a.
Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur.b. Memberi
kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan
paru janin.c. Memberi kesempatan trasnfer intrauterin pada
afsilitas yang lebih lengkap.d. Optimalisasi personel.Beberapa
macam obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis :a. Nifedipin
Nifedipin adalah antagonis kalsium diberikan per oral. Dosis
inisial 20 mg, dilanjutkan 10-20 mg, 3-4 kali perhari, disesuaikan
dengan aktivitas uterus sampai 48 jam. Dosis maksimal 60mg/hari,
komplikasi yang dapat terjadi adalah sakit kepala dan hipotensi
(P.O.G.I, 2011). Antagonis kalsium merupakan relaksan otot polos
yang menghambat aktivitas uterus dengan mengurangi influks kalsium
melalui kanal kalsium yang bergantung pada 19 voltase. Terdapat
beberapa kelas antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman
klinis adalah dengan nifedipin (Hadrians, 2007). Nifedipin
diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral
ataupun sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya
dicapai setelah 15-90 menit setelah pemberian oral, dengan
pemberian sublingual konsentrasi dalam plasma dicapai setelah 5
menit pemberian(Hadrians, 2007) .
b. Magnesium sulfat Magnesium sulfat dipakai sebagai tokolitik
yang diberikan secara parenteral. Dosis awal 4-6 gr IV diberikan
dalam 20 menit, diikuti 1-4 gram per jam tergantung dari produksi
urin dan kontraksi uterus. Bila terjadi efek toksik, berikan
kalsium glukonas 1 gram secara IV perlahan-lahan (P.O.G.I,
2011).Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan
bermanfaat terhadap janin dan ibu. Namun, perubahan tulang yang
terlihat melalui rontgen terlihat pada neonatus dari pasien yang
menerima infus magnesium sulfat jangka panjang (lebih dari 1
minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang
secara radiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan
tulang parietal, dan mineralisasi tulang yang abnormal. Ketika
magnesium sulfat digunakan dengan hati-hati sebagai obat tokolitik,
efek sampingnya terhadap ibu, janin dan neonatus biasanya sedikit
dan tidaklah serius atau merusak (Hadrians, 2007).c. Atosiban
Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat
menjadi obat tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif
menarik terhadap obat-obat tokolitik saat ini karena
spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek samping terhadap
ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru pada
golongan obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai
tokolitik di Eropa (Hadrians, 2007). Atosiban menghasilkan efek
tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor
oksitosin. Dosis awal 6,75mg bolus dalam satu menit, diikuti
18mg/jam selama 3 jam per infus, kemudian 6mg/jam selama 45 jam
(P.O.G.I, 2011).
d. Beta2-sympathomimetics Saat ini sudah banyak ditinggalkan.
Preparat yang biasa dipakai adalah ritodrine, terbutaline,
salbutamol, isoxsuprine, fenoterol and hexoprenaline. Contoh:
Ritodrin (Yutopar) Dosis: 50 mg dalam 500 ml larutan glukosa 5%.
Dimulai dengan 10 tetes per menit dan dinaikkan 5 tetes setiap 10
menit sampai kontraksi uterus hilang. Infus harus dilanjutkan 12 48
jam setelah kontraksi hilang. Selanjutnya diberikan dosis
pemeliharaan satu tablet (10 mg) setiap 8 jam setelah makan. Nadi
ibu, tekanan darah dan denyut jantung janin harus dimonitor selama
pengobatan (Hadrians, 2007). Kontra indikasi pemberian adalah
penyakit jantung pada ibu, hipertensi atau hipotensi, hipertiroidi,
diabetes dan perdarahan antepartum. Efek samping yang dapat terjadi
pada ibu adalah palpitasi, rasa panas pada muka (flushing), mual,
sakit kepala, nyeri dada, hipotensi, aritmia kordis, edema paru,
hiperglikemi, dan hipoglikemi. Efek samping pada janin antara lain
ft.tal takhikardia. Inpoglikemia, hipokalemi, ileus dan hipotensi
(Hadrians, 2007).e. ProgesteronProgesteron dapat mencegah
persalinan preterm. Injeksi alpha-hi.drax-ffirogesterone caproate
menurunkan persalinan pretern berulang. Dosis 250 mg (1 mL) im tiap
minggu sampai 37 minggu kehamilan atau sampai persalinan. Pemberian
dimulai 16-21 minggu kehamilan (P.O.G.I, 2011). f. COX
(Cyclo-oxygenase) -2 inhibitorIndomethacinDosis awal 100 mg,
dilanjutkan 50 rng per oral setiap 6 jam untuk 8 kali pemberian.
Jika pemberian lebih dari dua hari,dapat rnenimbulkan
oligohidramnion akibat penurunan renal blood flow janin.
Indometasin direkomendasikan pada kehamilan >32 minggu karena
dapat mempercepat penutupan ductus arteriosus (P.O.G.I, 2011).
4. Pemberian SteroidPemakaian kortikosteroid dapat menurunkan
kejadian RDS. kematian neonatal dan perdarahan intraventrikuler.
Dianjurkan pada kehamilan 24 34 minggu, namun dapat dipertimbangkan
sampai 36 minggu.Kontra indikasi : infeksi sistemik yang berat,
(tuberkulosis dan korioamnionitis). Betametason merupakan obat
terpilih, diberikan secara injeksi intramuskuler dengan dosis 12 mg
dan diulangi 24 jam kemudian. Efek optimal dapat dicapai dalam 1 -
7 hari pemberian, setelah 7 hari efeknya masih meningkat. Apabila
tidak terdapat betametason, dapat diberikan deksametason dengan
dosis 2 x 5 mg intramuskuler per hari selama 2 hari (P.O.G.I,
2011).
5. Antibiotika Pemberian antibiotika pada persalinan tanpa
infeksi tidak dianjurkan karena tidak dapat meningkatkan luaran
persalinan. Pada ibu dengan ancaman persalinan preterm dan
terdeteksi adanya vaginosis bakterial, pemberian klindamisin ( 2 x
300 mg sehari selama 7 hari) atau metronidazol ( 2 x 500 mg sehari
selama 7 hari). atau eritromisin (2 x 500 mg sehari selama 7 hari)
akan bermanfaat bila diberikan pada usia kehamilan minggu (P.O.G.I,
2011).
6. Emergency cerclage Di negara maju telah dilakukan emergency
cerclage pada ibu hamil dengan pembukaan dan pendataran serviks
yang nyata tanpa kontraksi. Secara teknik hal ini sulit dilakukan
dan berisiko untuk terjadi pecah ketuban (P.O.G.I, 2011).7.
Perencanaan Persalinan Persalinan preterm harus dipertimbangkan
kasus perkasus, dengan mengikutsertakan pendapat orang tuanya.
Untuk kehamilan 13.000/ml). Indikator biokimia antara lain adalah
peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks, dan air
ketuban memberi indikasi adanya gangguan pada hubungan antara
korion dan desidua. Pada kehamilah 24 minggu atau lebih. Kadar
fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih mengindikasikan resiko
persalinan preterm (Sarwono, 2010).Pertimbangan utama dalam
penatalaksanaan persalinan preterm adalah memastikan bahwa ini
memang persalinan preterm. Selanjutnya mengidentififikasi etiologi
terkait persalinan preterm. Manajemen persalinan preterm tergantung
dari beberapa faktor, yaitu keadaan selaput ketuban, pada umumnya
persalinan tidak dihambat bila selaput ketuban sudah pecah.
Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm. Makin
muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan makin perlu
dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan bila TBJ > 2000 gram
atau kehamilan > 34 minggu, penyebab atau komplikasi persalinan
preterm, dan kemampuan neonatal intensive care facilities (Sarwono,
2010).Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan
preterm, terutama untuk mencegah morbiditas dan mortalitas
persalinan preterm, yaitu bedrest, menghambat proses persalinan
preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi
paru dengan pemberian kortikosteroid, pencegahan infeksi dengan
pemberian antibiotik (Cuningham, 2011).
BAB IVPENUTUP
4.1 Simpulan Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan
tersebut, maka dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu :1. Partus
prematurus atau persalinan prematur merupakan dimulainya kontraksi
uterus yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi serviks
serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang
dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari pertama haid
terakhir.2. Persalinan preterm menjadi masalah obstetri penting
sebab menjadi salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
perinatal.3. Pengenalan faktor resiko dan identifikasi penyebab
terjadinya persalinan preterm adalah penting dalam upaya pencegahan
terhadap terjadinya persalinan preterm yang dapat dijelaskan kepada
ibu hamil melalui komunikasi, informasi, dan edukasi.4. Wanita yang
diketahuin beresiko mengalami persalinan preterm dan mereka yang
diketahui memiliki tanda dan gejala persalinan preterm telah
menjadi kandidat penerima intervensi yang dimaksudkan untuk
meningkatkan prognosis neonatus. Jika tidak ada indikasi ibu atau
janin yang mengharuskan pelaksanaan persalinan yang disengaja, maka
intervensi dimaksudkan untuk mencegah persalinan kurang bulan.5.
Intervensi medik yang dilakukan adalah pemberian tokolisis,
kortikosteroid, dan antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham et al. 2012. Obstetri Williams.Volume 2. Edisi 23.
Jakarta : EGCCubinont, H. 2011. Prevention of PretermLabour: 2011
Update on Tocolysis.Saint-luc University Hospital : Hindawi
Publishing Corporation. Journal of Pregnancy.
Franklin H. Epstein. 2000. Intrauterine infection and Preterm
Delivery. The New England Journal of Medicine .
Goldenberg, Robert L. 2008. Epidemiology dan Causes of Preterm
Birth.http://www.thelancet-epidemiology-preterm-birt-pdf.
Kesuma, Hadrians dr. 2007. Obat Obat Tokolitik dalam Bidang
Kebidanan. Departemern Obstetri dan Ginekologi Universitas
Sriwijaya. RSUP Moh. Hoesin
Palembang.http://digilib.unsri.ac.id/download/obat%20tokolitik.pdf.
Louis J. 2010. The Enigma of Spontaneus Preterm Birth. The New
England Journal of Medicine.
http://nejm0904308-spontaenus-preterm-birtf-pdf.
Nejad, Vida. 2008. The Association of Bacterial Vaginosis and
Preterm Labor. Department of Obstetrics and Gynaecology, Kerman
University of Medical Sciences and Health Services, Kerman,
Iran.http://1338 bacterial-vaginosis-nejm pdf.
Novalia, Rima. 2010. Persalian Preterm. Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman. http:// 97539577/Persalinan-Preterm.
Oxorn, Harry. 2010. Human Labor dan Birth.
1343405.Oxorn_Foote_Human_Labor_and_Birthhttp://
P.O.G.I. 2011. Panduan Pengelolaan Persalianan Preterm Nasional.
Bandung : Himpunan Kedokteran Fetomaternal
POGI.http://kalogisma.com/kepustakaan/pengelolaan%20persalinan%20preterm.pdfPrasmusinto,
Damar dr.. 2010. Prediksi Persalinan
Preterm.http://prediksipersalinanpreterm-pdf.
Prawiroharjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta :
P.T Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.
36