PERPUSTAKAAN KPK Oase Keadilan di Tengah Kegersangan Hukum S iapa tak kenal Artidjo Alkostar? Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung ini dikenal memiliki ketegasan luar biasa. Sebut saja, Angelina Sondakh, terpidana kasus korupsi Wisma Atlet Hambalang, yang mengajukan kasasi atas putusan pengadilan. Bukannya mendapat keringanan, politikus muda ini malah diganjar dengan hukuman lebih berat. Dari 4,5 tahun menjadi 12 tahun penjara. Tak banyak orang tahu bagaimana Artidjo Alkostar menjadi sosok seperti sekarang ini. Ia adalah hasil pergulatan batin atas kondisi riil yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Negara ini memang berdasar hukum, tetapi budaya hukum belum betul-betul diterapkan. Hukum seringkali ’dipermainkan’ oleh orang berduit. Sedangkan rakyat kecil selalu kalah terlilit dalam permainan hukum. Artidjo menghabiskan masa kecilnya di Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, yang dikenal sebagai penghasil tebu sejak zaman kolonial. Namun, tak semua penduduk di sana bertanam tebu. Lebih banyak yang menggantungkan hidup dengan menggarap sawah. Termasuk Pak Dulah, ayah Artidjo. Sebagai anak petani, kewajiban Artidjo selepas sekolah, ngangon kambing seperti teman-teman sebaya di kampung halamannya. Kendati begitu, pemikiran Artidjo terlihat menonjol dibanding teman-temannya. Ia melihat binatang berkaki empat itu selayaknya manusia. Memiliki luapan emosi yang tercermin dari tingkah polahnya. Sehingga harus dirawat sebaik-baiknya. Bahkan ia sempat bercita-cita menjadi joki sapi profesional karena saking cintanya pada hewan itu. Sampai-sampai ia mengikuti perlombaan karapan sapi di daerahnya. Tapi hasilnya di luar harapan. Ia kalah. Kekalahan tersebut membuatnya menemukan ketertarikan pada bidang pertanian. Ia bergabung dalam ekstrakulikuler pertanian ketika SMA, dan memutuskan untuk menjadi insinyur pertanian. Tekad dibuladkan. Upaya dirapatkan untuk mengejar impian. Beruntung ada kakak kelas Artidjo yang bersedia menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, UGM. Berkas lamaran kuliah disiapkan kemudian dikirimkan ke kakak kelasnya yang sudah berdomisili di Yogyakarta. Lama menanti akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Tetapi hasilnya di luar dugaan. Ia mesti mengubur dalam-dalam impiannya menjadi seorang insinyur pertanian. Bukan tidak diterima di fakultas pilihan lantaran nilai tak mencukupi. Tetapi, ternyata berkas lamarannya telat sampai di Yogyakarta. Sehingga pendaftaran mahasiswa baru keburu ditutup. Dalam rasa kecewa mendalam, Artidjo menerima tawaran seorang kawan untuk berkuliah di Jurusan Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII). Awalnya kuliah itu hanya diniatkan Artidjo untuk menunggu seleksi penerimaan mahasiswa baru di UGM tahun depan. Maka, ia tak serius menekuni kuliah di UII. Bahkan di semester pertama, ia sangat kepayahan dengan tuntutan menghafal pasal-pasal hukum. Keadaan berubah di semester kedua. Ia meyakini bila bidang hukum adalah panggilan jiwanya. Tak ayal, ia mulai telaten menguasai konsep dan pasal-pasal hukum. Dia belajar berbagai kegiatan dewan mahasiswa (dema) ia lakoni dengan sungguh-sungguh. Ia menilai bila pengajaran hukum di UII tak sesuai dengan kenyataan. Beda teori, beda praktik di lapangan. Hukum belum menjawab rasa keadilan yang semestinya dinikmati oleh rakyat kecil. Pemahaman ini mendorongnya menggelar protes ke universitas agar melakukan perubahan kurikulum. Ternyata jawaban yang diberikan kampus berbeda. Melalui pesan yang diberikan seorang profesor di almamaternya, Artidjo justru ditantang untuk menjadi tenaga pengajar di kampusnya. Waktu berjalan hingga Artidjo resmi menyandang gelar dosen di Fakultas Hukum UII. Mapan secara pekerjaan tak membuatnya berhenti memperjuangkan keadilan bagi wong cilik. Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, ia terjun mengadvokasi rakyat kecil, kaum pinggiran, korban PHK, serta orang-orang miskin yang tersangkut perkara hukum. Tak semua kasus yang ia tangani berakhir dalam kemenangan karena komitmennya untuk tetap bersih. Namun dari semua capaian itu, adalah upaya advokasi para petani tebu dan petani garam di Madura yang membuatnya diangkat sebagai Direktur LBH Yogyakarta pada pertengahan tahun 1983. Berdomisili di Yogyakarta, ia dihadapkan pada fenomena pembunuhan puluhan preman di luar proses pengadilan yang jelas. Suatu tim yang tergabung dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) melakukan aksinya di malam hari. Hampir setiap pagi masyarakat Yogyakarta menemukan mayat tanpa identitas di pinggir kali, pinggir jalan, dan di tempat-tempat umum. Rata-rata mayat yang ditemukan itu tertembak di bagian kepala atau mati terjerat. Karena tidak diketahui persis siapa pelaku pembunuhan itu, masyarakat sering menyebutnya ‘petrus’ atau penembak misterius. Kebanyakan masyarakat Yogyakarta merasa senang karena para penjahat tumbang. Tetapi dari kaca mata Artidjo, hukuman jalanan ini jauh dari rasa keadilan. Kepastian hukum pun juga semakin kabur. Para bromocorah -sebutan bagi preman yang menjadi target operasi- memang bersalah, namun seharusnya mereka diadili sesuai hukum yang berlaku. Bukan diburu dan dibantai secara tak manusiawi. Atas upayanya memperjuangkan nasib preman tersebut, ia pun sering mendapat intimidasi yang membahayakan jiwa. Tetapi ancaman ini membuatnya tak gentar. Pada tahun 1989, Artidjo berkesempatan mengikuti pelatihan lawyer mengenai hak azasi manusia selama enam bulan di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Selepas pendidikan itu, ia sempat bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun. Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman itu, ia mendirikan firma hukumnya Artidjo Alkostar and Associates. Dengan kantor hukum ini, fokusnya tak bergeser. Ia ingin memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil dan korban penindasan hak azasi manusia. Insiden berdarah Santa Cruz menjadi pembuktian komitmen Artidjo untuk berdiri di depan menjunjung rasa kemanusian. Kebijakan rezim yang tengah berkuasa kala itu, ia lawan dengan segala risiko. Tragedi ini bermula dari kematian seorang pemuda bernama Sebastiano Gomez Rangel yang diyakini ditembak oleh milisi prointegrasi. Serombongan pemuda Timor menghadiri pemakamannya sebagai bentuk solidaritas. Untuk mencegah kerusuhan, sejumlah aparat keamanan disiagakan di belakang barisan ribuan pemuda tersebut. Namun yang terjadi lebih jauh dari itu. Tak hanya tembakan peringatan, rentetan peluru dimuntahkan, membuat bagian belakang barisan bertumbangan. Komitmen tak terhingga Artidjo dalam menegakkan keadilan hukum berujung pada tawaran menjadi Hakim Agung di MA. Tak tanggung-tanggung, Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, menghubunginya langsung untuk mengikuti seleksi calon hakim jalur nonkarir. Dibutuhkan waktu lama bagi Artidjo untuk menerima tawaran itu. Termasuk harus berkonsultasi dengan para kyai di Pulau Madura. Akhirnya ia mengikuti saran para kyai untuk mengambil kesempatan itu. Setelah mengikuti fit and proper test di hadapan anggota DPR, ia lolos dengan meyakinkan. Pada 2 September 2000, ia dilantik sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung oleh Presiden Abdurrahman Wakhid. Peresensi: Anjas Prasetyo BUKU PILIHAN ¢ 3 Sisi Susi ¢ Athirah ¢ Critical Eleven ¢ Gusti Noeroel: Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan) ¢ Jodoh ¢ Mellow Yellow Drama ¢ Rantau 1 Muara ¢ Tri Rismaharini “Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.” – R.A. Karni – E-NEWSLETTER EDISI 04 VOL.IV | APRIL 2018 Penulis: Haidar Musyafa Penerbit: Imania