PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF TAFSIR ( Penafsiran Terkait Ayat-Ayat, QS.[2]:221, QS.[5]:5 dan QS. [60]:10 ) Oleh : Dr. H. Hasbullah Diman, Lc. MA Tafsir dan wawasan Al-Qur'an tentu tidak terlepas dari pembicaraan metodologi tafsirnya. Menurut gagasan Abdul Hay Al-Farma>wi dalam bukunya, al-Bida>yah Fi > al-Tafsi> r al-Mawd}u’iy terdapat empat metode tafsir yang menjadi pijakan dalam memahami Al- Qur'an, yang dikenal, yaitu, (1). Metode ijma>ly ( global ), (2). Metode tah}li>ly ( analitis ) (3). Metode muqa>rin ( perbandingan ) (4), dan metode maud}u>’iy ( tematik ). Metodologi tafsir bagi para mufasir merupakan sebuah alat bantu memahami kasus-kasus dalam studi Islam (Islamic Studies). Metode tafsir yang berkembang saat ini, sebagaimana yang diungkap di atas adalah metode kontekstual yang menurut Islah Gusmian sama dengan pendekatan sejarah-sosial (sosial-historis). Di antara contoh konteks ini, adalah studi tafsir dalam memahami kasus pernikahan beda agama, yang sering kali muncul di tengah masyarakat, bahkan di dasawarsa delapan puluhan, yang sempat merisaukan sebagaian besar umat Islam Indonesia. Timbulnya kerisauan tersebut cukup beralasan, karena hanya dalam kurun waktu 15 bulan (April 1985-Juli 1986), khususnya, di DKI Jakarta tercatat 139 kasus perkawinan campuran. Itu artinya rata-rata setiap dua hari terjadi satu kali perkawinan campuran, atau hampir 16 kali setiap bulan. Kemudian setelah munculnya kasus tersebut, terdapat reaksi masyarkat, kemudian muncul-lah keputusan ulama yang tergabung dalam ikatan Majlis Ulama Indonesia (MUI) tentang pernikahan beda agama ini, bahwa status pernikahan tersebut, tidak dibenarkan (haram) dan tidak sah. 1 Juga berdasarkan undang-undang No.1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila 1 Keputusan Majlis Ulama Indonesia (MUI), No.4/Munas VII/MUI/8/ 2005, tentang Perkawinan Beda Agama. Majlis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005, bahwa pernikahan beda agama adalah : haram dan tidak sah dan perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab, menurut pendapat yang disepakati (qaul mu'tamad) adalah haram dan tidak sah. Selain itu MUI juga berpedoman kepada Qaidah Fiqh yang berbunyi, " Dar'u al-Mafa>sid Muqadamun Ala> Jalbi al-Mas}a>lih (mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan), html (Diakses, Sabtu, 26 Desember 2009).
12
Embed
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF TAFSIR...Di antara contoh konteks ini, adalah studi tafsir dalam memahami kasus pernikahan beda agama, yang sering kali muncul di tengah masyarakat,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF TAFSIR
( Penafsiran Terkait Ayat-Ayat, QS.[2]:221, QS.[5]:5 dan QS. [60]:10 )
Oleh : Dr. H. Hasbullah Diman, Lc. MA
Tafsir dan wawasan Al-Qur'an tentu tidak terlepas dari pembicaraan metodologi
tafsirnya. Menurut gagasan Abdul Hay Al-Farma>wi dalam bukunya, al-Bida>yah Fi> al-Tafsi>r
al-Mawd}u’iy terdapat empat metode tafsir yang menjadi pijakan dalam memahami Al-
Qur'an, yang dikenal, yaitu, (1). Metode ijma>ly ( global ), (2). Metode tah}li>ly ( analitis ) (3).
Metode muqa>rin ( perbandingan ) (4), dan metode maud}u>’iy ( tematik ). Metodologi tafsir
bagi para mufasir merupakan sebuah alat bantu memahami kasus-kasus dalam studi Islam
(Islamic Studies). Metode tafsir yang berkembang saat ini, sebagaimana yang diungkap di
atas adalah metode kontekstual yang menurut Islah Gusmian sama dengan pendekatan
sejarah-sosial (sosial-historis). Di antara contoh konteks ini, adalah studi tafsir dalam
memahami kasus pernikahan beda agama, yang sering kali muncul di tengah masyarakat,
bahkan di dasawarsa delapan puluhan, yang sempat merisaukan sebagaian besar umat Islam
Indonesia. Timbulnya kerisauan tersebut cukup beralasan, karena hanya dalam kurun waktu
15 bulan (April 1985-Juli 1986), khususnya, di DKI Jakarta tercatat 139 kasus perkawinan
campuran. Itu artinya rata-rata setiap dua hari terjadi satu kali perkawinan campuran, atau
hampir 16 kali setiap bulan. Kemudian setelah munculnya kasus tersebut, terdapat reaksi
masyarkat, kemudian muncul-lah keputusan ulama yang tergabung dalam ikatan Majlis
Ulama Indonesia (MUI) tentang pernikahan beda agama ini, bahwa status pernikahan
tersebut, tidak dibenarkan (haram) dan tidak sah.1 Juga berdasarkan undang-undang No.1
tahun 1974 pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa perkawinan adalah sah apabila
1 Keputusan Majlis Ulama Indonesia (MUI), No.4/Munas VII/MUI/8/ 2005, tentang Perkawinan Beda
Agama. Majlis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional VII pada tanggal 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005, bahwa pernikahan beda agama adalah : haram dan tidak sah dan perkawinan laki-laki Muslim
dengan wanita Ahl al-Kitab, menurut pendapat yang disepakati (qaul mu'tamad) adalah haram dan tidak sah. Selain
itu MUI juga berpedoman kepada Qaidah Fiqh yang berbunyi, " Dar'u al-Mafa>sid Muqadamun Ala> Jalbi al-Mas}a>lih (mencegah kerusakan lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan), html (Diakses, Sabtu, 26 Desember
2009).
dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaan itu, dan dalam bab VI mengenai
larangan kawin, Pasal 40 ayat (c). Pasal itu berbunyi bahwa, seorang pria muslim tidak
diperbolehkan mengawini wanita yang tidak beragama Islam. Pendapat di atas, tidaklah
serta-merta dibenarkan oleh sebagian ulama, tetapi terdapat pendapat lain yang bertolak-
belakang dan cukup beralasan. Mereka yang besebrangan membenarkan status pernikahan
beda agama, pendapat itu disepakati sejumlah ulama dan juga cendikiawan muslim yang
tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL).
Dalam tulisan ini, bahwa konsep pernikahan beda agama, atau persoalan lainnya, yang
menyangkut kehidupan berkeluarga, budaya, ekonomi, dan masalah-masalah sosial
kemasyarakatan lainnya, bila dicermati, sebagian besar problematika tersebut, merupakan
persoalan yang telah ada sejak masa Nabi SAW, para sahabat, dan pengikut selanjutnya. Lalu
dimasa kini persoalan itu muncul kembali, dengan pemahaman yang berbeda alasan. Hal itu,
terjadi karena kontroversi dalam memahami kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an itu
sendiri terhadap, penafsiran, term al-mushrika>t, maupun term ahl al-Kita>b, atau Maju>si dan
S}a>bi'in, yang terdapat dalam teks-teks Al-Qur’an, yang terkandung dalam surat al-
Baqarah[2]:221, al-Maidah[5]:5, dan al-Mumtahanah[60]:10, yang memunculkan banyak
perdebatan, antara yang menolak maupun yang menerima.
Bila dilihat duduk persoalannya, hal tersebut terdapat faktor-faktor penyebab
perbedaan memahami teks-teks agama dalam tinjauan literatur tafsir, terkait konsep al-
mushrikāt, ahl al-kita>b, (Yahudi dan Nasrani), majūsi dan s}a>bi'in, yang terkandung dalam
teks QS. al-Baqarah [2]:221, QS. al-Ma>idah [5]:5, dan QS. al-Mumtahanah [60]:10 serta
Hadith Nabi SAW yang diriwayatkan, dari Abu Hurairah r.a. yang berbunyi:
عن النبى صلى الله عليه وسلم قال : تنكح المرأة لأربع : لمالها ولحسبها عن أبى هريرة رضى الله عنه
.,فاظفر بذات الدين تربت يداك ولجمالها ولدينها
Dari Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW bersabda : Nikahilah seorang wanita karena
empat kriteria, (1) Karena hartanya, (2) keturunannya, (3) kecantikannya, (4) dan agamanya. Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada Islam, (jika tidak), maka akan binasalah kedua
tanganmu (HR. Muslim). ( Imam Muslim, Mukhtas}ar S}ahih Muslim, No. 798, Kitab Nikah, Bab Targhi>b Fi
Tidak terdapat kata sepakat tentang pernikahan beda agama dalam beberapa literatur
tafsir, dikarenakan perbedaan konsep al-mushrika>t yang terkandung dalam teks QS. Al-
Baqa>rah[2] : 221 yang cukup beragam.
Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita mushrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak wanita yang
mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih
baik dari orang-orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintahnya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.( QS. al-Baqarah[2]:221 ).
Dari ayat di atas misalnya, menurut Imam Fakhruddin Al-Ra>zi (544 H), dalam tafsirnya,
al-Tafsi>r al-Kabi>r Wa Mafa>tih al-Ghayb, menyebutnya ayat di atas, sebagai ayat-ayat
Madaniyah yang pertama turun secara explisit menjelaskan hal-hal yang halal (ma > yuhallu) dan
hal-hal yang dilarang ( ma> yuhramu ). Sedangkan menikahi orang musyrik merupakan salah satu
perintah Tuhan dalam katagori " haram " dan " dilarang". Bila dicermati secara seksama
beberapa literatur tafsir, menyebutkan, bahwa katagori musyrik adalah non muslim, termasuk di
didalamnya Kristen (Nasrani) dan Yahudi. Dengan demikian, muncul pertanyaan, apakah benar,
bahwa katagori al-mushrika>t yang dimaksud dalam teks (QS. Al-Baqarah[2]:221) adalah Yahudi
dan Nasrani ? dan bila tidak, maka siapakah yang dimaksudkan al-mushrika>t dalam teks ayat al-
Baqarah itu ? Dalam hal ini, para ulama memberikan batasan terhadap istilah tersebut, yang
menurut al-Al-Ra>zi, bahwa dalam beberapa teks al-Qur'an Ia menyebutkan Yahudi dan Nasrani
adalah musyrik. Dan menurutnya juga, katagori musyrik dalam kedua agama samawi tersebut,
beralasan bahwa orang-orang Yahudi menganggapnya, Uzai>r sebagai anak Tuhan, demikian juga
orang Kristen menganggap al-Masih sebagai anak Tuhan. Dengan demikian, Al-Rāzi
menyatakan haram pernikahan beda agama, dikarenakan katagori musyrik pada ayat al-
Baqarah[2]:221 itu, statusnya kafir untuk semua ahl al-kita>b, hal itu bersumber atas landasan
teks QS. al-Taubah[9]:30.
Orang-orang Yahudi berkata:"Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata:"Al-Masih itu putera
Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir
terdahulu. Dila'nati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling. ( QS. Al-Taubah[9]:30 ).
Dari ayat di atas, Al-Ra>zi menegaskan pula, bahwa Yahudi dan Nasrani adalah musyrik
secara i’tiqa>d (keimanan), karena mereka berkeyakinan kepada trinitas, sebagaimana
dimaksudkan dalam QS.Al-Maidah [5]:73. Berbeda halnya dengan Al-Qurt}ubi (671 H), Mufassir
yang terkenal dengan kitabnya al-Ja>mi’ Li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n, terkait penafsiran ayat al-
Baqarah : 221, Ia menjelaskan konteks ayat tersebut dengan menyebutkan terlebih dahulu asbāb
al-nuzūl tentang pernikahan itu, yang ditujukan kepada Abu > Marthad yang ingin menikahi
seorang wanita bernama Ana>q, namun ketika Rasul SAW mengetahuinya, ternyata ia bukan
wanita muslimah, lalu beliau melarangnya. Latar belakang asba>b al-nuzu>l itulah, yang
merupakan dasar pelarangan bagi pria muslim menikahi wanita musyrik (baca : al-mushrikāt).
Cukup beragam pendapat para ulama dalam menafsirkan al-Qur'an ayat Al-Baqarah[2]:
221 ini. Namun demikian, di sisi lain terdapat sejumlah ulama yang membolehkan pernikahan
pria muslim menikahi wanita musyrik, dengan alasan ahl al-kitāb. Pendapat ini, bersumber dari
kalangan sahabat yang dipelopori oleh Ibn Abbās r.a, yang diikuti oleh Mālik bin Anas, Sofyan
bin Saīd As-Thauri dan juga Abdurahman bin 'Amar Al-Awzā’i. Qata>dah dan Sa'id bin Jubayr
berpendapat sama, bahwa maksud ayat al-Baqarah[2]:221 itu bersifat umum untuk semua kafir,
yang kemudian ayat teresbut di-takhs}i>s} ( dikhususkan ) dengan ayat 5 surat Al-Maidah bagi ahl
al-kita>b. Pendapat yang demikian, mendapat dukungan dari kalangan Mazhab Syafi’i, dengan
alasan, hal yang bersifat umum itu, kemudian dikhususkan hanya untuk wanita ahl al-kita>b.
Mazhab Māliki juga berpendapat demikian, sebagaimana dinyatakan Ibn Habīb, bahwa seorang
pria muslim dibolehkan menikahi wanita Yahūdi atau Nas}rāni. Meskipun pernikahan itu
disetujui, namun kondisi tersebut adalah tercela (madhmūm ).
Berbeda dengan pandangan Abdullah bin Umar r.a yang menolak secara mutlak
pernikahan semacam ini, Ia menyatakan, bahwa al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 ini,
berstatus penghapus (na>sikh ), terhadap ayat 5 surat Al-Maidah, dan secara hukum maksud yang
terkandung dalam ayat al-Baqarah membatalkan status hukum dalam ayat al-Māidah, maka
dengan demikian, pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik, secara hukum tidaklah
dibolehkan (hara>m ), baik untuk katagori Ahl al-Kitāb maupun non Ahl al-Kitāb. Bahkan secara
tegas Ia mengatakan:" Saya tidak melihat syirik yang lebih besar dari perkataan seorang
wanita, bahwa Tuhannya adalah Isa atau hamba dari hamba Allah ". Hal semacam ini, berlaku
juga, larangan untuk menikahi wanita al-Majūsi menurut para Imam Mazhab, seperti, Imam
Mālik, Imam Syā’fi’i, Abu Hanīfah, al-Awzā’i dan sebagainya.
Sehubungan dengan konteks pernikahan beda agama, Ibn Abba>s r.a membagi status
wanita ahl-al-Kitāb ke dalam dua kelompok. Pertama, wanita ahl al-kitāb yang halal dinikahi,
yaitu mereka yang membayar jizyah (upeti). Kedua, wanita ahl al-kitāb yang tidak halal dinikahi,
yaitu mereka yang tidak membayar jizyah. Pendapat ini dilandaskan atas dasar QS. Al-
Taubah[9]:29.
ق من الذين أوتوا الكتاب حتى لاي ؤمنون بالله ولا بالي وم الأخر ولايحرمون ماحرم الله ورسوله ولايدينون دين الح قاتلوا الذين
ي عطوا الجزية عن يد وهم صاغرون
Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah Dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk. (QS. Al-Taubah [9]:29)
Berbeda umumnya para ulama dengan Ibn Umar r.a, mereka umumnya menyatakan,
bahwa menikahi wanita ahl al-kitab dibolehkan, dengan alasan, bahwa ayat 5 surat al-Maidah
secara qat }'i (benar) telah menyatakan status kebolehannya. Menurut Al-Zamakshari berkata :
bunyi ayat [ ولا تنكحوا المشركات حتى يؤمن], telah di-nasakh dengan ayat 5 surat al-Maidah, dan atas
dasar ayat ke-72 surat Al-Maidah, ahl al-kita>b termasuk dalam katagori musyrik, akan tetapi
bagi yang menganggap, bahwa ahl al-kita>b tidak termasuk katagori musyrik akan mengatakan,
bahwa syirik dalam ayat tersebut berkonotasi umum dengan pengertian syirik dalam hal ini
secara bahasa, bukan pengertian secara khusus, bagi penyembah berhala, seperti yang tanpak
dalam surat al-Bayyinah [98]:1, surat al-Hajj [22]:17 atau surat al-Maidah [5]:82. Sedangkan
berdasarkan QS. al-Baqarah [2]:221, sebagian ulama berbicara tentang kaum musyrik selain ahl
al-kita>b, dan surat al-Maidah ayat 5, menjelaskan status pernikahan khusus mengenai ahl al-
kita>b. Maka menurut pandangan Jumhur, bahwa ahl al-kita>b yang dimaksudkan dalam ayat al-
Maidah adalah Yahudi dan Nasrani, sementara yang dimaksudkan al-mushrika>t dalam ayat al-
Baqarah [2]: 221, adalah para penyembah berhala. Pemilahan pengertian seperti ini, berawal dari
redaksi al-Qur'an sendiri yang menyebutkan kaum musyrik berbeda dengan ahl al-Kita>b, yang
batasannya dibedakan dengan huruf 'at}af (wawu), yang menurut kajian kaidah bahasa arab
(baca: ilmu nahwu), antara pemahaman ma't}u>f berbeda dengan pemahaman ma't}u>f 'Alaih,
sebagaimana yang tampak pada QS. al-Bayinah[98]:1
“ Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka)
tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata “ ( QS.
Al-Bayinah [98] :1).
Dengan demikian, menurut ayat di atas, bahwa katagori ka>fir berbeda dengan mushrik,
dan berbeda pula dengan ahl al-kita>b. Dan atas dasar inilah, muncul bermacam-macam
perbedaan penafsiran. Menurut Abu> Ja'far bin Ibn Jari>r al-T}abari (224-310 H), menafsirkan kata
al-mushrika>t sebagai orang yang bukan ahl al-kita>b. Menurutnya, musyrik yang dimaksudkan
dalam ayat al-Baqarah[2]:221 ini, sama sekali bukan Kristen dan bukan Yahudi, melainkan
orang musyrik bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Sedangkan menurut Al-Qurt}ubi
menyatakan status kebolehan pernikahan semacam ini, sebagai penekanan khusus terhadap
katagori al-muh}s}anāt, karena dalam redaksi (wa man yakfur bi al-i>ma>n) terdapat indikasi
adanya syarat bagi wanita ahl al-kitāb, yang bukan sekedar al-muh}s}anāt, yaitu wanita yang
dewasa, beakal yang terpelihara kehormatannya. Demikian juga menurut, Ibn Kathi>r (w. 774 H)
sebagaimana juga para ulama pada umumnya, berpendapat demikian, seperti pendapat ; Ibn