1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Jakarta masih saja menarik sebagai tujuan urban. Meskipun semakin kompleks permasalahan di kota ini, tidak menyurutkan minat pendatangberbondong-bondong ke Jakarta untuk mendapatkan mata pencaharian. Kemacetan yang kian hari semakin parah, banjir yang telah telah menjadi semacam ‘ritual’ tahunan, dan kriminalitas yang semakin ‘berkualitas’ adalah sebagian permasalahan yang dihadapi Jakarta. Namun semua kekurangan-kekurangan tersebut masih dianggap ringan bagi mereka yang terpaksa datang ke kota ini. Ketika desa sudah tidak mampu lagi memberi harapan hidup lagi, satu-satunya jalan adalah berangkat ke kota. Meskipun ada tren penurunan pertumbuhan migrasi yang masuk Jakarta, dengan kepadatan penduduknya, tetap saja jumlahnya secara nominal masih besar. JUMLAH PENDATANG 2004 2006 2006 2007 2008 2009 2010 Jumlah Pendatang 190.356 180.767 124.427 109.617 88.473 69.554 60.000 Sumber: Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta Gerbang di timur dan barat Jakarta merupakan wilayah sasaran utama para pendatang. Jakarta Timur merupakan pintu masuk ke Jakarta bagi pendatang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Sementara Jakarta Barat menjadi tempat masuk bagi pendatang dari Jawa Barat dan wilayah lain di Sumatera. Dari data Survei Penduduk Antarsensus (Supas) 1995 diketahui bahwa sebanyak 33 persen penduduk masuk ke wilayah Jakarta Timur dan 24 persen ke wilayah Jakarta Barat. Sisanya, para migran masuk ke wilayah pusat, utara, dan selatan dengan persentase masing-masing di bawah 20 persen.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang masalah
Jakarta masih saja menarik sebagai tujuan urban. Meskipun semakin kompleks
permasalahan di kota ini, tidak menyurutkan minat pendatangberbondong-bondong
ke Jakarta untuk mendapatkan mata pencaharian. Kemacetan yang kian hari semakin
parah, banjir yang telah telah menjadi semacam ‘ritual’ tahunan, dan kriminalitas yang
semakin ‘berkualitas’ adalah sebagian permasalahan yang dihadapi Jakarta. Namun
semua kekurangan-kekurangan tersebut masih dianggap ringan bagi mereka yang
terpaksa datang ke kota ini. Ketika desa sudah tidak mampu lagi memberi harapan
hidup lagi, satu-satunya jalan adalah berangkat ke kota. Meskipun ada tren penurunan
pertumbuhan migrasi yang masuk Jakarta, dengan kepadatan penduduknya, tetap saja
Subsidi konstruksi pada medium-quality submarket, menaikkan penawaran medium-
quality dwellings dan menurunkan harganya. Kondisi pada pasar ini memengaruhi
konidisi pada Low-Quality Submarket, menurunkan permintaan dan menaikkan
penawaran sehingga harga di pasar low quality juga ikut menurun. Secara umum,
subsidi pemerintah menurunkan harga rumah di setiap pasar.
2.2. PENDIDIKAN (EDUCATION)
Tujuan pendidikan adalah mengembangkan kognitifitas (kecerdasan logika),
kepekaan sosial dan manajemen diri (batin dan pikiran). Pendidikan bisa dikatakan
unik karena outputnya sulit diukur, terutama sisi sosial dan psikologikal. Satu-satunya
yang dapat dicoba untuk diukur adalah sisi kognitifitas. Layaknya komoditas industri,
pendidikan juga mempunyai fungsi produksi. Fungsi tersebut adalah:
Achievment = f(C, E, T, S, H, P)
9
Dimana C adalah kurikulum, E perlengkapan dan peralatan sekolah, T kualitas guru, S
banyaknya siswa dalam satu kelas, H kualitas lingkungan rumah siswa, dan P adalah
nilai kerjasama dalam kelompok.
Tiga variabel input pertama dibawah kendali sekolah. Dengan supervisi
pemerintah daerah, sekolah mendesain kurikulum, membeli peralatan penunjang
pembelajaran (seperti gedung, buku, laboratorium, komputer), dan menggaji guru
berdasar latar belakang pendidikan, pengalaman dan kualitasnya. Sekolah juga
mengontrol ukuran kelas dan dapat menambah proporsi guru dengan siswa untuk
mengurangi kepadatan kelas.
Input selanjutnya adalah lingkungan rumah. Perkembangan pendidikan siswa
dipengaruhi oleh variabel ini dalam tiga hal, pertama, orang tua sebagai pengatur
rumah tangga apakah telah memberikan situasi yang kondusif bagai pendidikan anak
atau tidak. Sebagai contoh, orang tua membiarkan anak-anaknya menonton televisi
atau bermain game berjam-jam dan mengabaikan untuk membaca atau mengerjakan
tugas-tugas sekolah mereka. Kedua, orang tua bisa memotivasi anak-anaknya dengan
membantu mereka agar lebih cepat menangkap pelajaran sekolah, atau mungkin
lewat les tambahan. Ketiga, kemampuan orang tua menyediakan ketercukupan gizi
bagi keluarganya dan peralatan penunjang pelajaran, misalnya buku atau komputer.
Input terakhir menjelaskan bagaimana siswa mampu memotivasi diri dan
temannya serta mampu bekerjasama dalam kelompok. Hal ini untuk menutupi
kekurangan waktu yang dimiliki seorang guru setelah dihabiskan untuk mengajar
mereka. Jadi nilai-nilai positif lain yang berhubungan dengan kecerdasan lain seperti
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual diharapkan bisa diperoleh dari
kelompok.
Sementara untuk pemerataan pendidikan dalam hal pendanaan, pemerintah
bisa berperan melalui skema foundation grant atau guaranteed tax base. Foundation
grantper siswa diformulasikan sebagai :
Grant = Foundation level – Foundation tax rate x Local property value per pupil
10
Budget line with $2,000 grant
Initial budget line
2,000 Spending on education ($ per pupil)
7,600
6,000
4,000 4,400
10,000
Spending on other goods ($ per pupil)
Dengan skema pemerataan ini, bantuan diberikan kepada sekolah yang miskin
sedangkan sekolah yang kaya akan menyetor sejumlah uang kepada pemerintah.
Misalnya foundation level ditetapkan sebesar $5,000 dan foundation tax rate sebesar
1.5 % (0.015),maka bagi sekolah yang memiliki Local property value per pupil sebesar
$200,000 mendapatkan bantuan sebesar $2,000 ($5,000 – 0.015 x $200,000).
Sedangkan bagi sekolah yang memiliki Local property value per pupil sebesar $400,000
maka ia harus menyetor uang ke pemerintah $1,000 ($5,000 – 0.015 x $400,000).
Bantuan ini mampu menaikkan pengeluaran bidang pendidikan dan juga pengeluaran
untuk barang lain, yang berarti juga meingkatkan kepuasan konsumen, seperti tampak
pada gambar berikut:
Sedangkan guaranteed tax base atau power equalization diformulasikan sebagai
berikut:
11
Budget line with GTB grant
Initial budget line
2,000 Spending on education ($ per pupil)
6,800
6,000
4,000 4,800
Spending on other goods ($ per pupil)
GTB Grant = Local tax rate x (Guaranteed tax base per pupil – Local tax base per pupil)
Perbedaan skema ini dengan skema sebelumnya adalah bahwa guaranteed tax
base memengaruhi pengeluaran terhadap komoditas dengan dua cara sekaligus, efek
pendapatan dan efek substitusi.Sedangkan pada skema yang pertama hanya memiliki
satu efek saja, yakni efek pendapatan. Efek substitusi sendiri mengalihkan sebagain
pengeluaran terhadap barang-barang non pendidikan ke pengeluaran terhadap
barang pendidikan. Jika pada skema yang pertama, pengeluaran terhadap barang-
barang non pendidikan bisa mencapai $7,600 maka pada skema yang kedua turun
menjadi sebesar $6,800, dimana yang $800 dialihkan untuk konsumsi barang-barang
pendidikan. Jadi pada skema guaranteed tax base menghasilkan pengeluaran yang
lebih banyak terhadap barang-garang pendidikan, sehingga disebut juga power
equalization.
12
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Kawasan kumuh
Salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk
mengatasi masalah kependudukan akibat urbanisasi adalah operasi yustisi
kependudukan (majalah garda online). Operasi ini bertujuan mengendalikan dan
mendata penduduk dengan memeriksa penduduk yang tidak memiliki identitas dan
keterangan tempat tinggal.
Upaya Pemprov DKI Jakarta dari tahun ke tahun ini dilengkapi Kementerian
Sosial dengan program pulang kampung. Mereka yang bukan warga Jakarta
dipulangkan ke daerah asal dengan transportasi gratis dan dibekali sejumlah uang.
Sayangnya, upaya ini belum efektif karena ketidakpastian modal usaha dan renovasi
rumah yang dijanjikan (Kompas, 24/10/11).
Seburuk apapun kehidupan yang dijalani di Jakarta, para pendatang ini
menganggapnya lebih baik ketimbang di daerah asal. Mereka tidak keberatan tinggal
di rumah tidak layak huni asal ada pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Pendatang
yang tidak mempunyai kecukupan biaya terpaksa hidup di tempat-tempat yang kurang
layak, seperti bantaran sungai, bantaran rel kereta api, sekitar pasar tradisional,
stasiun atau terminal, di lahan serobotan, ataupun di bawah kolong jalan layang,
memunculkan kawasan kumuh.
Mengatasi dampak urbanisasi seperti munculnya kawasan kumuh tersebut,
menjadi persoalan rumit bagi sebuah kota metropolitan, termasuk Jakarta. Upaya
memindahkan atau memulangkan pendatang ke daerah asal mereka tidak akan efektif
jika pemangku kebijakan tidak memahami ikatan sosiopsikologis yang sudah terbentuk
di tempat baru.
13
Dari hasil survei2
Dilihat dari asal penduduk permukiman kumuh, mayoritas responden
(41%)mengaku berasal dari wilayah Jakarta. Sebanyak 6% berasal dari daerah
penyangga, yaitu Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Separuh lainnya (50%) dari
sejumlah wilayah di Pulau Jawa
yang dilakukan Litbang Kompas terhadap 200 rumah tangga
yang tinggal di permukiman kumuh Jakarta tergambar kondisi sosiopsikologis
masayarakat yang tinggal di kawasan tersebut, sekaligus menjawab kenapa mereka
enggan meninggalkan kawasan yang tidak layak huni itu.
Hampir separuh responden yang merupakan kepala keluarga atau
pasangannya menyatakan sudah menetap di permukiman kumuh lebih dari 10 tahun.
Sebanyak 21% lainnya bahkan mengaku sudah tinggal di permukiman ini sejak mereka
dilahirkan. Dapat dikatakan, bagi mereka, Jakarta merupakan tanah kelahiran atau
kampung halaman meskipun rumah mereka terdesak oleh perkembangan kota.
3
Hubungan sosial antartetangga pun terbilang baik dilihat dari tingkat
kenyamanan interaksi antarmereka yang tinggi. Lingkungan sosial di lingkungan
dan hanya 3% yang merupakan pendatang dari
Sumatera.
Kelekatan mereka terhadap rumah tinggal yang tergolong kumuh ini diperkuat
pula oleh kepuasan mereka terhadap kehidupan sehari-hari yang dijalani. Sembilan
dari sepuluh responden menyatakan puas dengan kehidupan di tempat tinggal
sekarang (89%). Mereka dekat dengan sumber-sumberyang dianggap dapat memberi
penghasilan. 43 % responden mengatakan dari tempat tinggal mereka cukup mudah
mendapatkan pekerjaan meskipun itu hanya pekerjaan di sektor informal, seperti
menjadi pedagang keliling, buruh, atau kuli bangunan, sopir, tukang ojek, atau
pembantu rumah tangga.
2 Metode survei dilakukan dengan melakukan wawancara tatap muka terhadap 200 keluarga pada tanggal 2-8 Mei 2011. Lokasi penelitian terpilih di lima wilayah Jakarta: utara, selatan, timur, barat, dan pusat. Permukiman kumuh target penelitian mewakili beberapa karakteristik kawasan kumuh yang ada, seperti dekat bantaran sungai, dekat bantaran rel kereta api, di pinggir/bawah jalan tol/layang, dekat kawasan industri, dan dekat pasar. Hasil survei dilengkapi dengan obserasi langsung. 3 Menurun dibanding sensus penduduk tahun 2000 oleh BPS yang menyatakan lebih dari 60% pendatang dari Jawa
14
mereka bersifat homogen dengan karakteristik tingkat kesejahteraan yang kurang
lebih sama.
Status sebagai tanah kelahiran dan interaksi sosial yang terbentuk sejak lama
hingga menimbulkan kenyamanan ini menjadi faktor sosiopsikologis yang membuat
penduduk di permukiman kumuh sulit meninggalkan kawasan tersebut.
Kendati sudah tinggal sejak lama dan turun-temurun, penduduk golongan ini
tidak memiliki hak yang kuat atas tanah dan rumah yang ditempati. Status tanah yang
ditempati umumnya milik pemerintah atau orang lain. Hanya 38,7% yang menyatakan
tanahnya milik sendiri atau orang tua. Lebih dari separuh (70%) menyatakan rumah
adalah milik sendiri atau orang tua. Selebihnya mengaku mengontrak.
Dengan kondisi itu, meski mengaku nyaman dan puas tinggal di permukiman
yang kumuh, mayoritas responden menyimpan kekhawatiran sewaktu-waktu digusur,
mengalami kebakaran atau kebanjiran. Namun kekhawatiran itu tidak menyurutkan
keinginan mereka untuk bertahan.
Apakah mereka ingin selamanya tinggal di permukiman yang kumuh? Sebanyak
43,5% menyatakan, ya. Alasannya mereka sudah turun-temurun tinggal di lokasi itu,
tak punya tempat lain, dan dekat dari sember penghasilan. Selebihnya (55%)
menyatakan ingin berpindah dan memiliki rumah yang lebih layak huni.
Mayoritas responden menyatakan bersedia direlokasi jika lingkungan mereka
digusur atau terjadi banjir dan kebakaran (82,5%). Namun pilihan relokasi lebih tertuju
pada permukiman rumah biasa (landed house)yang berada dekat dengan lokasi
tempat tinggal semula atau lokasi lain tetapi masih di Jakarta dan sekitarnya. Hanya
20% yang menyatakan berminat direlokasi ke rumah susun (rusun).
Secara umum, responden di permukiman kumuh memiliki perspektif positif
terhadap rusun. Pemahaman mereka, tinggal di rusunakan lebih bersih, fasilitas lebih
baik, aman dari banjir, dan penggusuran. Namun minat untuk menetap di rusun
tergolong rendah (35%). Beberapa responden juga sebelumnya pernah tinggal di
rusun (6%). Alasan tidak memilih tinggal di rusun beragam. Mereka merasa tak
mampu membayar sewa, pengeluaran yang bertambah untuk air, listrik, tidak mau
15
turun naik tangga, hingga kekhawatiran terjadi perubahan pola interaksi sosial
menjadi lebih individualistik.
Alasan tinggal di lingkungan kumuh (%)
Sudah turun-temurun
Tidak punya pilihan lain
Dekat tempat usaha
Lokasi strategis
Lainnya
Alasan tidak bersedia direlokasi (%)
Dekat tempat kerja
Ingin pulang kampung
Sudah nyaman
Sudah turun-temurun
Ganti rugi tidak sesuai
Minat tinggal di rumah susun (%)
Tidak tahu/tidak jawab
Berminat
Tidak Berminat
16
Dari hasil survei terlihat bahwa kebijakan memindahkan atau memulangkan
warga dari permukiman kumuh bisa berhadapan dengan resistensi karena faktor
sosiopsikologis yang sudah terbentuk. Oleh karena itu, kebijakan tersebut harus
memperhatikan dua hal, yaitu kedekatan lokasi dan pendekatan komunitas atau
kelompok. Memindahkan warga ke lokasi yang masih berada di Jakarta dan sekitarnya
cenderung akan lebih diterima. Warga masih merasa dekat dengan tanah
kelahirannya.
Memindahkan warga bersama kelompok sosialnya juga akan lebih diterima
karena meskipun di tempat yang baru, warga masih berada di lingkungan tetangga
yang sama sehingga adaptasi sosial tidak terjadi secara ekstrem. Di luar hal itu,
pemberdayaan ekonomi warga permukiman kumuh juga penting dilakukan karena jika
kesejahteraan mereka meningkat, dengan sendirinya mereka memiliki modal untuk
keluar dari kawasan tersebut mencari permukiman dan rumah yang lebih layak huni.
Dan jangan lupa bahwa pemerintah harus juga mengusahakan rumah murah bagi
warga ini dengan misalnya, subsidi, seperti yang telah banyak dinikmati sebagian
pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri.
3.2. Pendidikan anak jalanan
UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak
terlantar dipelihara oleh Negara”. Kemudian UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan keputusan presiden RI No.36 tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on The Right of The Child. Semua itu jelas menyebutkan pemerintah punya
tanggung jawab terhadap pemeliharaan anak-anak terlantar dan tak terkecuali anak
jalanan.4
Menurut Sudarsono
5
4 Mangkoesapoetra, Arief Achmad. 2005. Pemberdayaan Anak Jalanan. Bandung 5 http://id.shooving.com/social-sciences/education/2179546-pengertian-anak-
jalanan/#ixzz1bctcuWHO)
anak jalanan adalah mereka yang tidak mempunyai
tempat tinggal yang tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili otentik, disamping itu
mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan layak menurut
17
ukuran masyarakat pada umumnya dan mereka sebagian besar tidak mengenal nilai-
nilai keluhuran. Sudarsono juga mengatakan bahwa anak jalanan mempunyai ciri-ciri :
a) Mudah tersinggung perasaannya
b) Mudah putus asa dan cepat murung, kemudian nekat tanpa dapat dipengaruhi
secara mudah oleh orang lain yang ingin membantunya
c) Kurangnya kasih sayang
d) Tidak mau bertatap muka dengan orang lain,dalam artian tidak mau melihat
orang secara terbuka
e) Sangat labil dan cenderung susah untuk berubah meskipun sudah diberi
pengarahan yang positif
f) Memiliki keterampilan akan tetapi keterampilan ini tidak dapat di ukur dengan
ukuran normatif masyarakat.
Sedangkan faktor-faktor penyebab menjadi anak jalanan menurut Sudarsono:
a) Keluarganya bermasalah
b) Kurang pendidikan
c) Kurang kasih sayang dan kehangatan jiwa
d) Kehilangan hak untuk bermain,bergembira,bermasyarakat, dan hidup merdeka
Sedangkan Gunanto Surjono, SH, M.Si, peneliti senior dari B2P3KS Yogyakarta
menemukan bahwa permasalahan dasar anak berada di jalanan di latar belakangi oleh
lima faktor, yaitu karena kemiskinan dan ketidakharmonisan keluarga, pertemanan di
jalanan, adanya toleransi masyarakat, tidak konsistensinya penerapan hukum dalam
melarang anak-anak berada di jalanan, dan karakter diri anak.
Apa yang telah dilakukan Pemerintahterhadap anak jalanan?
Kebijakan penanganan anak jalanan dan anak terlantar yang menjadi
dampak pertumbuhan penduduk, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menurut data
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI, pada tahun 2011 (oktober) ini telah
18
melakukan pemberian bantuan makanan dan peningkatan gizi kepada 3.394 anak di
non panti sosial.Kemudian pemberian bantuan per makanan bagi 364 anak di rumah
singgah. Dan bantuan nutrisi kepada 3.664 anak jalanan.Dijelaskannya, penanganan
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Jalanan telah berhasil menurunkan
sejumlah titik rawan PMKS dari 53 titik pada tahun 2009 menjadi 48 titik di tahun 2010
dan diupayakan menjadi 44 titik akhir 2011. Hasil penertiban PMKS yaitu 14.584
(2009), 11.338 (2010), 10.088 (2010), dan sampai Oktober 2011 sejumlah 8.735 orang.
Sementara itu peranan Kementerian Sosial RI diantaranya dengan progam
tabungan anak jalanan yang merupakan bagian dari Program Kesejahteraan Sosial
Anak (PKSA). Target PKSA adalah anak balita telantar, anak telantar, anak jalanan, dan
anak yang berhadapan dengan hukum.
Jumlah anak yang dapat dijangkau dalam PKSA selama 2011 mencapai
160.485 anak dengan nilai bantuan sebesar Rp 287,1 miliar. Khusus untuk DKI Jakarta,
program pengentasan anak jalanan dilaksanakan terhadap 8.000 anak. Jumlah
tersebut yang harus ditiadakan hingga akhir 2011.
Jumlah anak jalanan di DKI Jakarta pada 2011 sekitar 8.000 anak. Sebanyak
3.325 anak telah menerima buku tabungan dan pembinaan dengan dana dari APBN
2011 sebesar Rp 4,9 miliar. Adapun pada 2009 baru 390 anak terbina, sementara pada
2010 sebanyak 1.140 anak jalanan.
Jumlah anak jalanan yang belum mendapat pembinaan dari dana APBN
pada 2011 sekitar 4.675 anak. Kekurangan tersebut saat ini sudah tertangani melalui
APBN hasil penghematan sebesar Rp 5,7 miliar untuk 3.837 anak jalanan dan APBD DKI
Jakarta Rp 398 juta untuk 364 anak.
Selain itu, dari dana hibah UKS Rp 385 juta untuk 214 anak, dan CSR Medco
Foundation sebesar Rp 390 juta untuk 260 anak. Dengan demikian, total dana
pembinaan 8.000 anak jalanan mencapai Rp 11,9 miliar.
19
Membicarakan pendidikan anak jalanan, peranan rumah singgah sangatlah
penting.6
6 Kominfo.newsroom
Tujuan didirikannya rumah singgah adalah memberikanpelayanan alternatif
bagi anak-anak jalanan untuk memperoleh pelayanan kegiatan dan aspek
perlindungan, yang kemudian dirujuk ke lembaga-lembaga yang berkompeten untuk
menanganinya lebih lanjut.
Ada beberapa kegiatan rumah singgah,diantaranya melaksanakan tahap-tahap
keterjangkauan, seleksi dan identifikasi masalah, penyusunan rencana intervensi, dan
baru kemudian masuk ke pelaksanaan program. Di sebagian besar rumah singgah, ada
juga program sosialisasi, bantuan beasiswa, kemudian pelatihan keterampilan, dan
dalam beberapa tahun terakhir ini, rumah singgah sudah mulai mantap untuk
memberikan pendidikan non formal bagi anak-anak jalanan yang sudah tidak mungkin
lagi sekolah di jalur pendidikan formal, khususnya bagi anak jalanan yang
pekerjaannya mengamen.
Kemitraan yang dijalin oleh rumah singgah langsung atau tidak langsung,
dilakukan dengan kementerian sosial dan Bina Sosial Pemprov DKI Jakarta, misalnya
dalam bentuk kegiatan pendampingan, pemberian beasiswa, pelatihan keterampilan,
magang kerja, dan pemberian modal usaha.Kemitraan yang kedua adalah dengan
Kementerian Pendidikan Nasional RI dan dinas pendidikan di daerah, yaitu program
beasiswa anak jalanan, termasuk melakukan kegiatan pendidikan nonformal/informal
dalam bentuk kegiatan kesetaraan, life skill, pendidikan layanan khusus, dan
pendidikan berbasis komunitas.
Sedangkan dengan Dinas Kesehatan DKI Jakarta juga telah menjalin kemitraan
dalam bentuk penyuluhan kesehatan dan pengobatan, kemudian dengan Dinas
Kependudukan & Catatan Sipil Jakarta dilakukan kerja sama dalam bentuk pengadaan
akta kelahiran cuma-cuma. Dengan perusahaan swasta telah dilakukan kerja sama,
misalnya dengan beberapa BUMN, perusahaan swasta dan beberapa komunitas sosial
yang peduli dengan kegiatan rumah singgah.
20
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. KESIMPULAN
1. Jakarta masih menggiurkan bagi sebagian orang untuk mendapatkan pekerjaan.
2. Banyaknya pendatang yang masuk ke Jakarta terutama mereka yang tanpa bekal
pendidikan, keterampilan atau modal usaha menambah padatnya penduduk
sekaligus memberi beban tambahan terhadap kota.
3. Bertambahnya permukiman kumuh di Jakarta tentu saja sebagai bentuk
pembiasan atas pengelolaan tata ruang kota.
4. Masyarakat miskin lebih sensitif daripada mereka yang lebih kaya.
Memperhatikan kondisi sosiopsikologis mereka merupakan hal yang penting.
5. Kesejahteraan anak jalanan adalah amanat konstitusi.
6. Pendidikan sebagai pemutus ‘lingkaran setan’ kemiskinan.
7. Segala bentuk subsidi masih banyak dibutuhkan bagi masyarakat marjinal di
perkotaan.
8. Mengurangi permukiman kumuh dan anak jalanan di Jakarta memerlukan
partisipasi semua pihak, baik pemerintah pusat, daerah penyangga, daerah asal
pendatang, swasta maupun masyarakatnya sendiri.
21
4.2. SARAN
1. Pemerintahan yang baik dan bersih adalah syarat utama mengurangi kemiskinan.
Korupsi mendorong semakin banyaknya orang miskin dan memperlebar
kesenjangan antar warga karena korupsi membuat sumberdaya menjadi
misalokasi. Maka reformasi birokrasi harus selalu diperhatikan dalam prakteknya.
Karena faktanya, tingkat korupsi di Indonesia masih tinggi, terekam oleh
Transparency International dalam indeks pesrsepsi korupsi yang masih bernilai
3,00 pada tahun 2011, jauh dari nilai tertinggi, yaitu 10,00.
2. Pemerintah harus terus mengusahakan pemerataan dalam pembangunan agar
tidak terkonsentrasi di Jakarta saja, terutama daerah pengirim terbanyak
pendatang ke Jakarta, yaitu Jawa. Pemberian dana hibah, dana alokasi umum, dan
dana alokasi khusussupaya ditingkatkan tiap tahun sambil mengawasi secara ketat
pelaksanaan otonomi daerah oleh pemerintah pusat agar tidak terjadi
penyimpangan dalam pelaksanannnya .
3. Pemerintah pusat juga harus mengusahakan agar transmigrasi lebih menarik
daripada urbanisasi.
4. Sebelum memutuskan untuk melakukan eksekusi tertentu, pemerintah perlu
untuk mengidentifikasi dulu masalahnya, memertimbangkan segala aspek
terutama aspek jangka panjangya. Jika perlu banyak melibatkan ahlinya sehingga
kebijakan tidak hanya berdampak instan.
5. Pemberdayaan anak-anak jalanan seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang
manusiawi.Menggalakkan berbagai program pendidikan, bimbingan belajar,
pendidikan agama, pelatihan seni,kreatifitas dan olahraga serta adanya forum
yang memiliki rasa kekeluargaan sehingga mereka tidak sendiri dan merasa
kesepian bahkan mereka akan terus bahagia dengan cara yang benar.
22
KEMISKINAN JAKARTA: KAWASAN KUMUH DAN PENDIDIKAN ANAK JALANAN