VI. MASALAH INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI Berdasarkan kepada hasil penelitian pada bab-bab terdahulu dapat diperoleh pengetahuan situasi institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam, yaitu cita-cita perubahan yang dikehendaki, respon pemerintah dalam membangun struktur, respon perusahaan dalam bentuk pilihan perilaku dan kinerja. Bagaimana interaksi antara situasi yang satu dengan situasi lainnya, dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi akan dibahas dalam bab ini. 6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang Perubahan UU, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang terbit antara tahun 1999 sampai dengan 2007 dicirikan oleh perubahan orientasi yang belum di aktualisasikan kedalam kebijakan kehutanan secara utuh, mempunyai hirarkhi yang tidak konsisten dan mengandung unsur-unsur yang menyebabkan institusi tidak efektif. Situasi ini menimbulkan berbagai masalah dan direspon oleh perusahaan secara rasional, berikut ini disampaikan analisanya. 6.1.1. Tujuan Pengelolaan Hutan Perubahan UU. Pokok Kehutanan no. 5 tahun 1967 menjadi UU. Kehutanan no. 41 tahun 1999, pada intinya dimaksudkan untuk mengubah orientasi pengelolaan hutan yang berorientasi kayu menjadi berorientasi sumberdaya hutan secara menyeluruh, dan dari orientasi pada kelompok tertentu menjadi berorientasi keadilan. Untuk itu tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan
64
Embed
PERMASALAHAN INSTITUSI PENGELOLAAN DAN … · memproduksi multiproduk (dan jasa) ... Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat - non ... memproduksi barang publik dan mengelola
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
VI. MASALAH INSTITUSI PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Berdasarkan kepada hasil penelitian pada bab-bab terdahulu dapat diperoleh
pengetahuan situasi institusi pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi alam, yaitu
cita-cita perubahan yang dikehendaki, respon pemerintah dalam membangun struktur,
respon perusahaan dalam bentuk pilihan perilaku dan kinerja. Bagaimana interaksi
antara situasi yang satu dengan situasi lainnya, dan bagaimana hal tersebut dapat
terjadi akan dibahas dalam bab ini.
6.1. Arah Perubahan Yang Dikehendaki Undang-Undang
Perubahan UU, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang terbit antara
tahun 1999 sampai dengan 2007 dicirikan oleh perubahan orientasi yang belum di
aktualisasikan kedalam kebijakan kehutanan secara utuh, mempunyai hirarkhi yang
tidak konsisten dan mengandung unsur-unsur yang menyebabkan institusi tidak
efektif. Situasi ini menimbulkan berbagai masalah dan direspon oleh perusahaan
secara rasional, berikut ini disampaikan analisanya.
6.1.1. Tujuan Pengelolaan Hutan
Perubahan UU. Pokok Kehutanan no. 5 tahun 1967 menjadi UU. Kehutanan no. 41
tahun 1999, pada intinya dimaksudkan untuk mengubah orientasi pengelolaan hutan
yang berorientasi kayu menjadi berorientasi sumberdaya hutan secara menyeluruh,
dan dari orientasi pada kelompok tertentu menjadi berorientasi keadilan. Untuk itu
tujuan pengelolaan hutan adalah menghasilkan hutan yang berkualitas tinggi dan
179
mendistribusikan manfaat yang optimal secara berkeadilan. Yang dimaksudkan
dengan hutan yang berkualitas tinggi adalah apabila fungsi-fungsi ekologi, ekonomi
dan sosial dapat berjalan, sehingga hutan bukan hanya memproduksi kayu saja tetapi
hutan juga menghasilkan produk-produk lain seperti hasil hutan bukan kayu, plasma
nuftah, dan jasa-jasa lingkungan (paragraf 7 dan 8 penjelasan umum UU. 41.1999) .
Dengan kata lain bahwa pengelolaan hutan dimaknai sebagai kegiatan untuk
memproduksi multiproduk (dan jasa) hasil hutan yang optimal.
Produksi multiproduk di hutan alam dicirikan oleh hubungan ketergantungan
antara produk yang satu dengan lainnya, seperti keberadaan beberapa spesies
tumbuhan maupun satwa tertentu bergantung dari keberadaan spesies lainnya,
sebagaimana dikemukakan oleh Hamilton (1993). Hubungan interdependensi
memungkinkan adanya faktor produksi yang non-allocable (Beattie dan Taylor,
1985), sebagai contoh produksi jasa lingkungan yang berupa tata air tidak dapat
dipisahkan dari proses produksi kayu. Jasa lingkungan bergantung pada kualitas
tegakan hutan yang dibangun melalui pengelolaan hutan untuk produksi kayu, faktor-
faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan jasa lingkungan sama dengan
faktor-faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan tegakan yang baik.
Sebagaimana dikemukakan oleh Beattie dan Taylor (1985) bahwa untuk
menghasilkan manfaat optimal melibatkan proses pengambilan keputusan untuk
menentukan tingkat produksi multiproduk yang menghasilkan keuntungan (manfaat)
maksimal. Keputusan tersebut melibatkan perhitungan dalam rangka minimisasi
biaya produksi dan maksimasi keuntungan. Proses ini memerlukan syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk melakukan optimasi. Pertama optimasi dapat dilakukan
180
apabila terdapat unit analisis atau unit produksi yang jelas, kedua terdapat berbagai
pilihan kombinasi produk yang dikehendaki, ketiga diketahui nilai keuntungan setiap
produk yang merupakan selisih antara pendapatan dan biaya produksi. Undang-
undang no. 41 /1999 mengenal tiga tingkatan unit pengelolaan hutan, yaitu
pengelolaan hutan wilayah provinsi, pengelolaan hutan wilayah kabupaten dan
pengelolaan hutan tingkat unit manajemen. Pembagian wilayah administrasi
pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota sudah jelas batas-batasnya, dengan
demikian kepastian tentang batas-batas wilayah pengelolaan hutan tingkat unit
manajemen menjadi suatu hal yang harus dipastikan keberadaannya. Wilayah
pengelolaan tingkat unit ini dalam undang-undang dikenal sebagai Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH), jika KPH tidak tersedia maka optimasi tidak dapat
dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 belum
tersedia satupun KPH yang telah dilengkapi dengan organisasi dan sarananya.
Optimasi manfaat dapat dilakukan apabila di dalam setiap unit tersebut memiliki
potensi lebih dari satu produk atau manfaat yang dapat diproduksi. Dalam konsep
optimasi yang terjadi adalah mengkombinasikan upaya-upaya pengelolaan hutan
untuk menghasilkan berbagai macam produk atau manfaat sehingga diperoleh total
nilai produk akhir secara maksimal. Hutan mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan berbagai manfaat, oleh sebab itu untuk melakukan optimasi, pada
setiap unit pengelolaan hutan harus ditetapkan terlebih dahulu jenis-jenis produk atau
manfaat yang akan diproduksi sebagai tujuan pengelolaan hutan.
Optimasi pada tingkat unit pengelolaan (KPH) berbeda dengan optimasi
pengelolaan tingkat wilayah kabupaten dan wilayah provinsi. Pengelolaan hutan
181
tingkat kabupaten dan provinsi, merupakan agregasi dari berbagai KPH (produksi,
lindung, konservasi), jenis-jenis status hutan (hutan negara, adat, dan hutan hak).
Optimasi pada tingkat ini dimaksudkan untuk mendukung misi pengurusan hutan
tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi (pasal 10 dan pasal 18). Pengelolaan pada
tingkat wilayah ini dilakukan oleh pemerintah, sehingga permerintah perlu membuat
perhitungan optimasi manfaat hutan tingkat wilayah, menetapkan tujuan pengelolaan
hutan secara spesifik dan menetapkan kebijakan-kebijakan publik untuk memfasilitasi
upaya para pihak dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan yang menghasilkan
manfaat optimal di wilayahnya. Optimasi tingkat wilayah ini berkaitan dengan
indikator kinerja utama organisasi makro dan meso yang berupa kecukupan hutan,
penutupan hutan dan peran sektor kehutanan yang dikehendaki (lihat lampiran 6).
Optimasi memerlukan nilai sebagai dasar untuk mengukur manfaat yang
diproduksi dan mengukur biaya untuk memproduksinya. Sebagaimana telah diketahui
bahwa hutan mempunyai karakteristik disamping menghasilkan produk-produk privat
yang dapat diperdagangkan, hutan juga menghasilkan barang-barang publik dan
eksternalitas. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2001), pengertian eksternalitas
dinyatakan sebagai pengaruh aktivitas produksi dan konsumsi yang tidak
dicerminkan di dalam pasar. Eksternalitas dapat berupa eksternalitas negatif
manakala tindakan salah satu pihak menimbulkan beban kepada pihak lain, atau
berupa eksternalitas positif manakala tindakan salah satu pihak memberikan manfaat
kepada pihak lain. Aktifitas pengelolaan hutan dapat mengandung kedua jenis
eksternalitas ini, sebagai contoh eksternalitas positif dapat terjadi ketika pengelola
hutan melakukan tindakan-tindakan yang menghasilkan hutan yang sehat sehingga
182
dapat berfungsi secara maksimal, ketika hutan berfungsi dengan baik, maka hutan
memberikan pengaruh terhadap stabilitas iklim, fungsi tata air, habitat bagi berbagai
macam kehidupan, keindahan alam dan fungsi-fungsi lain yang dinikmati oleh pihak-
pihak lain yang tidak turut membiayai pengelolaan hutan tersebut. Sementara
eksternalitas negatif terjadi terutama pada saat dilakukan penebangan pohon dalam
rangka produksi kayu, dampak dari penebangan tersebut dapat berupa erosi yang
lain akibat yang ditanggung oleh pihak lain, sementara pihak lain itu tidak turut
menikmati manfaat dari penebangan pohon tersebut.
Sedangkan barang publik oleh Pindyck dan Rubinfeld (2001) dinyatakan bahwa
barang publik mempunyai dua karakter yaitu non-rival dan non-exclusive. Barang
publik yang dihasilkan hutan bersifat non-rival yaitu ketika hutan telah berfungsi
maka penambahan jumlah pengguna manfaat hutan tidak akan menambah biaya
produksi barang tersebut. Hutan juga memproduksi barang publik yang bersifat non-
ekslusif sebagai contoh adalah oxigen, tidak ada yang bisa mencegah orang untuk
mengkonsumsi oksigen yang diproduksi dari hutan yang dikelolanya dan pengguna
produk tersebut tidak dapat dikenai biaya. Manfaat hutan lebih banyak dinikmati
oleh pengguna tidak langsung, dalam pengertian Dye (1995) merupakan hal yang
tergolong kedalam urusan publik.
Dengan memperhatikan karakteristik hutan sebagaimana tersebut di atas, untuk
melakukan optimasi pengelolaan hutan diperlukan adanya ukuran yang
mencerminkan nilai kemanfaatan dari produk yang dihasilkannya, dan ukuran yang
dapat mencerminkan biaya produksi, serta tersedia mekanisme yang menghubungkan
183
antara perolehan pendapatan dengan pembiayaan oleh pengelola hutan. Terhadap
produk yang dapat diperdagangkan, pasar telah menyediakan mekanisme hubungan
tersebut, sedangkan terhadap eksternalitas dan barang-barang publik diperlukan
kebijakan publik yang dapat menghubungkan antara biaya dan pendapatan.
Untuk melakukan koreksi pasar atas keberadaan eksternalitas (Pindyck dan
Rubinfeld, 2001), terdapat beberapa pilihan kebijakan yaitu standardisasi emisi, pajak
emisi, perdagangan ijin emisi atau daur ulang. Standar emisi adalah aturan yang
menetapkan tingkat emisi yang masih diperbolehkan terjadi, pelanggaran atas batas
ini dapat dikenakan denda atau hukuman kriminal. Sedangkan pajak emisi adalah
biaya yang dikenakan atas setiap satuan emisi yang dihasilkan oleh seseorang atau
perusahaan. Pada perdagangan ijin emisi, setiap pelaku diharuskan mempunyai ijin
emisi yang menunjukkan jumlah emisi yang diperbolehkan, mereka yang
memproduksi emisi lebih besar dari ijinnya dapat membeli ijin emisi dari pihak yang
memproduksi emisi lebih kecil dari ijinnya. Sedangkan koreksi pasar atas
keberadaan barang publik dilakukan dengan kebijakan subsidi oleh pemerintah.
Pemerintah di beberapa negara mempunyai kebijakan pemberian subsidi sebagai
insentif kepada untuk membangun hutan, pemerintah Findlandia menanggung biaya
pembangunan hutan hingga mencapai 25% dari total biaya dengan nilai rata-rata
setara dengan Rp. 550 Milyard pertahun (APHI, 2004). Sementara itu di tingkat dunia
sedang berkembang mekanisme perdagangan karbon yang merupakan bentuk upaya
koreksi terhadap keberadaan eksternalitas pada pengelolaan hutan. Berbagai
mekanisme pembayaran jasa lingkungan (Payment on Environmental Services / PES)
telah banyak didiskusikan oleh berbagai lembaga internasional.
184
Dalam perkembangannya, kehendak undang-undang belum dapat diterjemahkan
dengan baik oleh aturan-aturan pelaksanaannya. Peraturan pemerintah yang mengatur
pengelolaan dan pemanfaatan hutan produksi yaitu Peraturan Pemerintah nomor 34
tahun 2002, Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah
nomor 6 tahun 2007 serta peraturan-peraturan menteri tidak mengarahkan perubahan
tujuan pengelolaan hutan dari orientasi kayu menjadi orientasi produksi multiproduk,
peraturan-peraturan tersebut mengatur pemanfaatan multiproduk dengan tidak
memberi perhatian yang cukup pada manajemen produksi multiproduk. Peraturan
Pemerintah no. 44 tahun 2004 maupun Peraturan Menteri Kehutanan no.
P.28/Menhut-II/2006 tidak menjelaskan dan tidak mengatur tentang proses-proses
optimasi fungsi maupun produksi/manfaat. Mandat undang-undang untuk
mewujudkan manfaat optimal masih diterima sebatas retorika, belum ditejemahkan
ke dalam kebijakan dan peraturan.
Berdasarkan peraturan yang telah diterbitkan pemerintah, disimpulkan bahwa
belum ada kebijakan publik yang secara eksplisit dimaksudkan untuk melakukan
koreksi atas masalah eksternalitas dan barang publik yang terjadi pada pengelolaan
hutan produksi alam. Selain itu KPH sebagai unit analisa belum disiapkan, oleh sebab
itu perubahan orientasi belum dapat dilaksanakan.
6.1.2. Hirarkhi Organisasi Kehutanan
Undang-undang Kehutanan mengatur hirarkhi organisasi dan kebijakan ke dalam
tiga tingkatan yaitu pengurusan, pengelolaan dan pemanfaatan. Pengaturan hirarkhi
ini berkaitan dengan hirarkhi organisasi dan kebijakan yang terdiri dari makro, meso
185
dan mikro. Sedangkan dari konteks kebijakan pengaturan hirarkhi juga mempunyai
kesesuaian dengan kuadran kebijakan yang memposisikan kebijakan publik,
kebijakan privat dan quasi publik. Pengurusan hutan adalah hirarkhi tingkat makro
yang berhubungan dengan pengaturan hal-hal yang bersifat umum dan mencakup
wilayah luas, pengurusan hutan juga merupakan domain kebijakan publik yang
berupa tugas pemerintah yang menyangkut kepentingan bersama. Pengelolan hutan
dibagi kedalam tiga tingkatan yaitu wilayah provinsi, kabupaten/kota dan tingkat unit
manajemen atau disebut sebagai KPH, masing-masing berada pada tingkat makro,
meso dan mikro. Sejalan dengan karakteristik hutan yang juga memproduksi
ekternalitas dan barang publik maka pengelolaan hutan termasuk dalam ranah
kebijakan publik dan quasi publik. Pada tingkat makro dan meso pengelolaan hutan
termasuk dalam kebijakan publik karena mencakup wilayah luas dan mengatur
kepentingan bersama masyarakat di dalam wilayahnya, sedangkan pengelolaan hutan
pada tingkat KPH dapat dikategorikan sebagai quasi publik karena KPH sebagai unit
managemen terkecil adalah sebuah entitas individual yang mempunyai otoritas untuk
melakukan tindakan-tindakan manajemen atas kawasan hutan negara yang
dikelolanya, tetapi KPH juga melaksanakan pekerjaan pemerintah dalam
memproduksi barang publik dan mengelola eksternalitas hutan, dua hal terakhir ini
yang dipercaya menyebabkan kegagalan pasar. Sepanjang tidak dilakukan koreksi
atas keberadaan barang publik dan ekternalitas pada pengelolaan hutan, maka peran
pemerintah masih diperlukan. Pemanfaatan hutan adalah hirarkhi tingkat mikro dan
merupakan wilayah privat, dimana pemanfaatan hutan adalah aktifitas memanfaatkan
hasil produksi multiproduk dari pengelola hutan (KPH). Hubungan-hubungan
186
transaksi antara pengelola hutan (KPH) dangan pengguna (pemanfaat) adalah
hubungan transaksi individual. Hubungan struktur organisasi kehutanan yang diatur
oleh Undang-Undang 41/1999 adalah seperti Tabel 45.
Tabel 45. Hubungan Hirarkhi Organisasi Kehutanan Menurut UU. 41/1999
Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan
Pengurusan Makro Publik Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi Makro Publik 2. Wilayah Kab/Kota Meso Publik 3. Unit Pengelolaan (KPH) Mikro Quasi Publik Pemanfaatan Mikro Privat
Berdasarkan ketentuan undang-undang, transaksi antara pengelola dengan
pengguna dilakukan melalui mekanisme ijin-ijin usaha. Berdasarkan hirarki yang
ditentukan oleh undang-undang, apabila organisasi pengelola tingkat unit telah ada
maka kedudukan ijin usaha berada pada lapisan yang paling rendah, seperti pada
gambar 21. Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa ijin usaha yang terjadi dalam
konteks hubungan antara pengelola dengan pengguna adalah bentuk transaksi
pemanfaatan hasil produksi yang merupakan wilayah privat, harus dibedakan dengan
ijin usaha yang berupa ijin pendirian usaha yang merupakan kewenangan publik
karena adanya persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi demi melindungi
kepentingan publik. Ijin usaha dalam konteks pemanfaatan hasil hutan adalah
hubungan transaksi produk hasil hutan antara pengelola dengan pengguna, hubungan
transaksi ini seperti yang terjadi antara Perum Perhutani dengan pembeli kayu, antara
pengelola hotel dengan penyewa ruang pamer atau pengguna kamar, antara pengelola
kebun binatang dengan penyewa toko cindera mata yang ada di dalamnya dan
187
transaksi pengelola stadion dengan pengunjung yang membeli karcis ijin masuk.
Hubungan-hubungan transaksional individu ini memerlukan ijin dari pengelola untuk
mengambil manfaat.
Aturan pelaksanaan yang berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri tidak
konsisten melaksanakan struktur organisasi kehutanan yang dikehendaki oleh
undang-undang. Penyimpangan ini dapat dilacak dari pengaturan perencanaan
pengelolaan hutan dan perijinan usaha pemanfaatan dalam Peraturan Pemerintah no.
34 tahun 2002. Wewenang penyusunan dan pengesahan rencana pengelolaan hutan
(RPH) yang merupakan rencana tingkat unit (KPHP) yang merupakan rencana
individual dan mikro, didistribusikan kepada institusi tingkat meso dan makro dengan
meniadakan peran institusi mikro. RPH jangka satu tahun disusun oleh instansi
kehutanan (tanpa disebut identitasnya) dan disahkan oleh Gubernur, RPH jangka 5
tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri, RPH 20
tahun disusun oleh instansi kehutanan provinsi dan disahkan oleh Menteri.
Pengaturan ini menyebabkan Menteri, Gubernur dan Bupati melaksanakan urusan-
urusan yang bersifat mikro
Di bidang perijinan juga berlaku hal yang serupa, bupati, gubernur dan menteri
mempunyai peran dalam pemberian ijin-ijin usaha pemanfaatan, sedangkan ijin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi wewenang menteri. Dalam terminologi
Schlager dan Ostorm (1992) perijinan adalah exclusion right maka dengan
diambilnya hak ekslusi oleh birokrasi maka definisi hak pengelolaan pada KPH
menjadi tidak lengkap, dan KPH sebagai unit pengelolaan tidak dapat menjalankan
fungsinya sebagai pengelola.
188
48
Pengurusan Hutan
Pengelolaan Provinsi
Pengelolaan Kabupaten
Pengelolaan Unit
Blok
Pemanfaatan
Petak
Ijin Usaha Pemanfaatan Gambar 21. Kedudukan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dalam Hirarki Organisasi Kehutanan
Akibat dari pilihan organisasi yang tidak membedakan hirarki makro, meso mikro,
dan tidak membedakan domain publik dan privat membawa pemerintah terlibat
langsung dalam aktivitas operasional sehingga pemerintah menjalankan peran
regulator, penegak aturan dan pemain. Kedudukan dan peran para pihak menjadi
bercampur-baur tanpa hirarki yang jelas (Gambar 22). North (1990) telah
mengingatkan bahwa agar institusi ekonomi berjalan secara efektif harus ada
pemisahan antara pembuat aturan dan pemain, dan menurut Sewel (1992) peran
pemerintah diposisikan pembuat aturan dan penegak peraturan. Mengapa pemisahan
ini diperlukan, Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scoot (2008),
memberikan alasan bahwa mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya
memerlukan wewenang dan legitimasi. Namun demikian berdasarkan pemahaman
Skocpol (1985) dan North (1990) di dalam Scott (2008), bahwa dalam prakteknya
189
negara membangun kepentingannya sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan
terpisah dari aktor-aktor social lainnya.
Organisasi Kehutanan Hirarkhi Institusi Kuadran Kebijakan
Pengurusan Pengelolaan 1. Wilayah Provinsi 2. Wilayah Kab/Kota 4. Unit Pengelolaah (KPH Pemanfaatan
Gambar 22. Hirarki yang Berlaku di Kehutanan
Keterlibatan pemerintah secara langsung pada urusan mikro pada situasi hirarki
yang tidak terstruktur dengan baik menimbulkan kesulitan untuk memposisikan
perannya dalam fungsi publik dan privat. Perannya sebagai regulator, wasit dan
sekaligus pemain, menghasilkan aturan-aturan yang mengandung konflik kepentingan
seperti peraturan mengenai sanksi yang berimbas pada kepentingan langsung
pemerintah, kebijakan SILIN dan penurunan batas diameter yang mengutamakan
kepentingan jangka pendek daripada tujuan optimasi manfaat adalah contoh dari
adanya konflik kepentingan tersebut. Sebagai pemegang kekuasaan, maka untuk
mendapatkan kepentingannya, pemerintah melakukan perversi yaitu mengambil
keuntungan atas beban pihak lain melalui peraturan yang dibuatnya, pemindahan
tanggung jawab pengelolaan hutan kepada perusahaan, pembebanan biaya penilaian
kinerja kepada perusahaan, pembebanan biaya informasi dan lain sebagainya adalah
contoh aturan yang bersifat perversif.
190
Salah satu negara yang telah menerapkan pengelolaan hutan yang bertujuan untuk
memperoleh manfaat multiguna, dan menerapkan hirarki secara konsisten adalah
Swedia. Swedia juga pernah mengalami kerusakan hutan yang serius pada masa yang
lalu dan akibat perang, namun telah berhasil mengembalikan kondisi hutannya
dengan sangat baik hasil inventarisasi hutan nasional pada 1990 menunjukkan bahwa
stok hutan meningkat 50% dan produksi kayu terus meningkat, jika pada tahun 1982
produksi kayu mencapai 64,5 jutan m3 maka pada tahun 1999 meningkat menjadi
72,4 juta m3
Aspek
jauh melampaui produksi kayu Indonesia. Tabel 46 menyampaikan
perbandingan pengaturan institusi hutan negara antara Indonesia dan Swedia.
Tabel 46. Perbandingan Pengaturan atas Hutan Negara di Indonesia dengan Hutan Negara di Swedia
Indonesia Swedia(1)
Landasan Peraturan
Undang-Undang Kehutanan Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999
Undang-Undang Kehutanan Swedia tahun 1993
Filosofi Hutan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu sumber penyangga kehidupan, harus disyukuri dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Hutan adalah suatu sumber-daya nasional harus dikelola sehingga memberi manfaat maksimal yang lestari dan menjamin pelestarian keaneka-ragaman hayati.
Tujuan Pengelolaan
Menghasilkan hutan berkualitas tinggi dengan beragam produk dan manfaat yang optimal dan terdistribusi secara berkeadilan
Menghasilkan produktivitas hutan yang tinggi yang memproduksi multiguna
Instrumen teknologi untuk mencapai tujuan
Belum jelas pengaturannya Mengubah orientasi mono-kultur menjadi hutan campuran, dan memadukan sistem silvikultur dengan konservasi sumberdaya hutan secara sederajad.
Peran Pemerintah
1. Pengurusan Regulator Memberikan petunjuk;
191
Aspek Indonesia Swedia(1)
Inventarisasi hutan;
Pengukuhan hutan;
Penatagunaan hutan;
Pembentukan wilayah pengelolaan hutan;
Litbang, Diklat, Penyuluhan;
Pengawasan;
Informasi Kehutanan
Memberikan hibah kepada
pemilik hutan yang
memenuhi kontrak;
Inventarisasi hutan;
Informasi kehutanan;
Urusan lingkungan (ekologi) tertentu;
Pengaturan timber scaling;
Statistik Kehutanan dan Peramalan tren sektor kehutanan
2. Pengelolaan Menentukan pilihan teknologi, volume produksi, rencana usaha, dan rencana karya tahunan, mengalihkan tanggung jawab pelaksanaan praktek pengelolaan hutan kepada peru-sahaan IUPHHK,
Memiliki 51% saham pada Perusahaan Negara Kehutanan “Assidoman”, 49% saham di jual di bursa saham Tidak ada pembatasan umur ijin
3. Pemanfaatan Memberikan ijin-ijin usaha pada kawasan hutan negara;
Mengesahkan rencana-rencana usaha dan rencana karya tahunan;
Mengawasi pelaksanaan kewajib-an pengelolaan hutan oleh perusa- haan IUPHHK;
Memberikan sanksi administrasi atas pelanggaran kewajiban perusahaan.
Bersama-sama dengan Dewan Kehutanan Nasional (Skog-svardsforbund) menetapkan traget produksi tahunan; Melalui kantor kehutanan daerah memberikan petunjuk atas renca-na penebangan yang diajukan oleh pemilik/pengelola hutan; Memberikan penilaian atas kinerja produksi, dan merenca-nakan pemberian subsidi penanaman kembali.
Kecenderungan Kinerja Pembangunan Stok Hutan
Negatif (laju deforestasi positif) Positif (Stok tegakan hutan terus meningkat)
Sumber : Skogsstyrelsen. 1994
192
Swedia mengaktualisasikan perubahan orientasi kayu menjadi orientasi
sumberdaya hutan dengan mengubah pilihan teknologi pengelolaan hutan, yaitu
dengan memadukan teknik silvikultur dan teknik konservasi sumberdaya hutan.
Sementara pemerintah tidak terlibat langsung dalam kegiatan operasional, dengan
menyerahkan operasional pengelolaan hutan kepada perusahaan kehutanan
Assidoman/Domansverket, sehingga pemerintah berkonsentrasi pada kebijakan
publik.
Pemerintah Swedia selain mengambil jarak untuk menghidari keterlibatannya
secara langsung dalam aktivitas tingkat mikro, juga membangun mekanisme kontrol
yang melekat (built in control mechanism) dengan melibatkan publik melalui pasar
modal.
Hasil studi Hirakuri (2003) mendukung teori tentang perlunya pemerintah tidak
terlibat langsung pada urusan tingkat mikro. Studi yang membandingkan praktek
pengelolaan hutan di Brazil dan Finlandia, menunjukkan bahwa pemerintah Brazil
yang banyak mengatur aspek-aspek administratif dan hal-hal detail lainnya, pada
akhirnya kehilangan tingkat kepatuhan yang berakibat kerusakan hutan lebih tinggi
dibandingkan dengan Findlandia yang mengatur hal-hal pokok, dan menyerahkan
keputusan pengelolaan hutan kepada organisasi tingkat mikro, sementara pemerintah
berkonsentrasi pada kebijakan publik memberikan hasil bahwa tingkat kepatuhan
sangat tinggi dan produktivitas hutan lebih tinggi.
Hasil studi Yin (2003), menggambarkan bahwa campurtangan pemerintah yang
minimal mampu meningkatkan partisipasi masyarakat secara nyata dalam
membangun hutan di China. Reformasi yang dilakukan di China bagian utara, yang
193
mengubah sistem komunal menjadi sistem tanggung jawab keluarga (household
responsibility system), yang dikombinasikan dengan perubahan pasar dari sistem
quota produksi dengan mekanisme pasar mampu meningkatkan rasio luas hutan dari
5% menjadi 12.5 %. Sebaliknya di China bagian selatan dimana hutan-hutan dikelola
negara menunjukkan bahwa produktifitas hutannya lebih rendah.
6.2. Arti Penting Kepemilikan Hutan Negara
Mengapa berkembang aturan main yang mempunyai ciri tanpa hirarki, konflik dan
perversif ? Penelitian ini tidak secara khusus meneliti tentang motivasi para pihak
dalam membuat aturan, sehingga tidak memberi jawaban dari sisi motivasi.
UU memberikan “pesan” yang mengambang tentang status kepemilikan hutan
negara, disatu sisi dikatakan bahwa status hutan terdiri dari hutan negara dan hutan
hak, namun di sisi lain diatur bahwa pengertian “dikuasai” tidak berarti “dimiliki”
(pasal 4: 1), pengaturan ini memberikan ketidak pastian tentang siapa pemilik hutan
negara. Ketidak pastian tentang kepemilikan ini menyebabkan definisi tentang hak
properti atas hutan negara tidak lengkap sehingga klasifikasi hak sebagaimana
dikemukakan oleh Schlager dan Ostorm (1992) tidak dapat dilakukan. Hak kelola,
hak sewa dan hak guna adalah hak-hak yang dapat ada kalau jelas pemiliknya. Jika
hak-hak tersebut diberikan tanpa dilandasi dengan ijin dari pemiliknya, maka telah
terjadi tindak kejahatan. Status kepemilikan atas hutan negara yang tidak terdefinisi
dengan lengkap, menyebabkan pemerintah tidak dapat memposisikan kepemilikan
atas asset tegakan di hutan negara dan tidak dapat mengidentifikasikan dirinya dalam
menata hubungan-hubungan tentang hak-hak properti.
194
6.2.1. Dasar Menentukan Status Asset Tegakan Hutan
Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam lainnya, pengelolaan hutan
melibatkan pembiayaan untuk menghasilkan tegakan hutan, sehingga biaya-biaya
tersebut tersimpan di dalam stok tegakan hutan itu sendiri. Pada pengelolaan tambang
biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan dengan pembuatan stok bahan tambang,
demikian pula dengan perikanan tangkap biaya yang dikeluarkan tidak berhubungan
dengan pembentukan populasi ikan di laut. Pengelolaan atas dua jenis sumberdaya
alam tersebut tidak perlu secara eksplisit mengatur kepemilikan atas barang tambang
dan ikan di laut, melainkan cukup dengan penguasaan yang efektif.
Undang-undang kehutanan tidak secara spesifik mengatur tentang status asset
tegakan hutan, demikian pula aturan-aturan yang dibangun oleh pemerintah juga tidak
menyinggung status ini. Pengakuan tegakan hutan sebagai asset memerlukan
kejelasan tentang pengaturan definisi hak properti secara lengkap, sehingga dapat
ditentukan siapa pemilik asset tersebut. Undang-undang dan aturan-aturan yang tidak
secara eksplisit menentukan pemilik hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk
menentukan siapa yang menjadi pemilik atas stok tegakan hutan alam yang berstatus
sebagai hutan negara.
Pengalaman masyarakat Ejidos di Mexico sebagaimana disampaikan oleh Van den
Berg (2001), bahwa 100 tahun yang lalu pemerintah setempat mengubah kebijakan
properti lahan komunal (community land right), menjadi hak pengelolaan kepada
keluarga yang dapat diwariskan kepada anak-anaknya dan berlaku selama masih
digunakan untuk produksi hasil tanaman. Hak tersebut kembali ke negara bila yang
bersangkutan tidak bekerja sebagai penggarap lahan tersebut. Dari segi keamanan
195
atas hak, skema ini cukup aman, tetapi tidak ada pengakuan atas asset tegakan yang
ditanam. Meskipun keluarga tersebut telah mengeluarkan banyak biaya untuk
menanam pepohonan, namun ketika keluarga itu beralih profesi atau pindah tempat
tinggal, investasinya tidak terakumulasi sebagai asset yang bisa ditransaksikan,
akibatnya seluruh biaya yang sudah ditanamkan menjadi beban tetap (fix cost) bagi
pergantian profesinya.
Kegiatan yang dilaksanakan dalam IUPHHK adalah kegiatan bisnis dengan tujuan
untuk memaksimumkan keuntungan. Menurut Hampton (1989), untuk
memaksimumkan keuntungan perusahaan akan meningkatkan likuiditas dengan
mengkonversi aset menganggur (idle) menjadi uang tunai (cash) dan dengan cara
meminimumkan biaya produksi. Di dalam Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu,
status asset tegakan merupakan hal yang sangat penting, mengingat bahwa ketidak
jelasan statusnya dapat menimbulkan persepsi sebagai asset menganggur dan
mendorong perusahaan untuk menjadikannya tunai. Hasil penelitian Kartodiharjo
(1998), menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan perusahaan HPH
tidak termotivasi untuk melaksanakan pengelolaan hutan lestari adalah akibat dari
tidak adanya pengakuan dan pencatatan tegakan sebagai asset.
Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan diperlakukan sebagai
biaya yang “hilang sia-sia” karena nilai tesebut tidak tersimpan di dalam tegakan dan
tidak menjadi kekayaan perusahaan maupun pemerintah, tegakan hutan tidak ada
yang memiliki. Van den Berg (2001) mengemukakan bahwa pengakuan asset
memberikan lebih banyak pilihan, karena asset dapat diakumulasikan sebagai alat
penyimpan kekayaan, yang dapat dikonversikan ke dalam jenis asset lainnya atau
196
dikonsumsi sejalan dengan perkembangan kebutuhan, sehingga memberikan insentif
terhadap inovasi dan investasi. Siapapun yang membiayai dan mencurahkan
kemampuannya untuk membangun hutan tidak akan kehilangan nilai usahanya karena
nilai itu tersimpan di dalam tegakan sebagai asset, dan apabila ia memerlukan atau
akan berganti usaha asset tersebut dapat diubah ke jenis asset lainnya dengan cara
bertransaksi kepada pihak yang ingin melanjutkan usaha pembangunan hutan.
Dengan mentransaksikan asset tegakan memungkinkan masuknya perusahaan lain
yang lebih kompeten untuk melanjutkan usaha, dibandingkan dengan
mempertahankan perusahaan yang lama. Sementara apabila tidak diakui sebagai
asset, maka perusahaan-perusahaan kehutanan yang menanamkan uangnya dalam
bentuk tegakan akan terjebak di dalamnya dan tidak dapat keluar dari bisnis ini, jika
ia beralih bidang usaha seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membangun tegakan
harus direlakan sebagai biaya tetap atas pergantian usaha.
Pengakuan tegakan sebagai asset juga mengurangi resiko finansial apabila
didukung dengan kebijakan untuk meniadakan batas umur ijin dan menggantikannya
dengan kriteria kinerja fungsi hutan. Sanksi pencabutan dan umur ijin memberi
ketidak-pastian usaha, karena sewaktu-waktu asset dapat beralih menjadi milik
negara, sehingga lembaga keuangan tidak tertarik untuk membiayai proyek
pembangunan hutan (Ferreira, 2004) . Pengakuan dan jaminan keamanan asset serta
transferabilitasnya dapat meningkatkan bankabilitas proyek pembangunan hutan
(Mendelshon, 1990 di dalam Ferreira, 2004).
Jika pengakuan sebagai assset diintegrasikan dengan neraca sumberdaya hutan,
maka akan diperoleh ukuran moneter atas kekayaan hutan. Dengan adanya ukuran
197
moneter, pembangunan kehutanan dapat dikomunikasikan dalam bahasa yang lebih
mudah dimengerti oleh otoritas fiskal. Dengan demikian kebijakan kehutanan dapat
difasilitasi untuk masuk ke dalam arus utama (main stream) kebijakan ekonomi.
Pengaturan gaya Ejidos tergolong lebih maju daripada IUPHHK karena tiga hal
yaitu ada kejelasan strata hak yang diberikan berupa hak kelola, ada kepastian jangka
panjang berupa kepastian hak sepanjang masih digunakan sesuai kontrak, dan hak
tersebut dapat diwariskan. Berbeda dengan IUPHHK yang diberikan hak
pemanfaatan, dibatasi jangka waktu ijinnya dan tidak dapat diwariskan. Mekanisme
ini bukan saja menimbulkan beban tetap terhadap perusahaan yang akan berganti
bidang usahanya, melainkan juga memberikan ketidak pastian usaha. Adanya sanksi
pencabutan, jangka waktu ijin dan ketentuan bahwa asset tidak bergerak menjadi
milik negara, menyebabkan hutan tidak dapat dijadikan agunan sehingga sulit
mendapatkan layanan investasi dari perbankan.
Ketidak jelasan status kepemilikan hutan negara, menimbulkan kesulitan untuk
mendudukkan status tegakan hutan sebagai asset karena pengakuan asset memerlukan
kejelasan pemiliknya. Tegakan hutan tidak dapat menjadi alat penyimpan asset,
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun hutan alam menjadi biaya yang
hilang karena tidak disimpan sebagai kekayaan, dan bisnis kehutanan sulit mendapat
dukungan perbankan oleh sebab itu perilaku rasional tidak akan membelanjakan
uangnya untuk membangun hutan.
Sama seperti pada bagian terdahulu, pemerintah tidak melakukan perubahan yang
nyata, disamping kemungkinan adanya motivasi untuk memperkuat kekuasaan dan
adanya resistensi namun terdapat kemungkinan bahwa respon ini karena mereka
198
terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal, (Scott, 2008). Dalam
hal ini birokrasi terikat oleh aturan PSAK-32 yang kewenangan regulasinya tidak
langsung berada di Departemen Kehutanan, tetapi pada Ikatan Akuntan Indonesia.
6.2.2. Dasar Menata Hubungan Hak Properti
Pengakuan atas kepemilikan hutan negara akan memudahkan pengaturan strata
hak properti atas hutan secara baik, dapat diketahui siapa pemilik, siapa pengelola,
siapa penyewa dan siapa pengguna. Masing-masing aktor dapat mengidentifkasikan
dirinya, sehingga dapat menjalankan peran masing-masing sesuai dengan
kedudukannya. Kemampuan identifikasi ini akan memfasilitasi pengaturan hirarki
institusi.
Sebagai pembanding dapat diperhatikan pengaturan hak-hak properti hutan negara
yang berlaku di Swedia, data perbandingan ini disajikan pada Tabel 47. Hak
kepemilikan atas hutan diakui secara jelas, sehingga terdapat hutan negara, hutan
milik perorangan, hutan milik perusahaan, dan hutan milik komunitas (Nilsson,
1990). Terhadap hutan yang dimiliki oleh negara, sejak tahun 1993 pemerintah
memberikan hak pengelolaan atas hutan negara kepada perusahaan kehutanan
“AssiDoman”, pemerintah memiliki saham sebesar 51 % dan sisanya 49% dijual ke
pasar modal (Borealforest, 2010). Pemerintah sebagai salah satu pemilik hutan tidak
terlibat langsung dalam urusan-urusan mikro. Pemerintah berkonsentrasi pada
kebijakan publik untuk memajukan kehutanan di seluruh wilayah negaranya. Tugas-
tugas pemerintah dalam rangka menjalankan undang-undang berupa : pemberian
nasehat; distribusi hibah pemerintah kepada pemilik hutan yang berhasil memenuhi
199
kontrak, inventarisasi hutan, aktifitas informasi, urusan-urusan ekologik tertentu,
pengaturan timber scaling, statistik kehutanan dan peramalan sektor kehutanan.
(Skogsstyrelson, 1994).
Selanjutnya undang-undang kehutanan swedia juga mengatur bahwa setiap orang
yang akan melakukan penebangan hutan harus menyampaikan rencana
penebangannya kepada pemerintah setempat untuk diberikan petunjuk apabila
terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan, dan apabila dalam 15 hari tidak ada
petunjuk maka penebangan dapat langsung dilaksanakan. Berdasarkan rencana
tersebut pemerintah memeriksa dan menilai kondisi setelah penebangan, jika hasilnya
memenuhi kriteria kinerja yang berlaku, maka pemerintah merencanakan besarnya
hibah atau subsidi yang akan diberikan kepada yang bersangkutan untuk membiayai
penanaman kembali. Hal-hal yang bersifat teknis tidak diurus oleh pemerintah secara
langsung melainkan didevolusikan kepada para pemilik/pengelola hutan. Para
pemilik/pengelola hutan membentuk Federasi Pemilik Hutan Swedia (Skogsagarnas
Riksforbund) untuk meningkatkan pendapatan finansial para anggotanya. Tujuan
tersebut dicapai dengan mengkoordinasikan perdagangan kayu dan memberikan
bantuan kepada pemilik tentang teknik-teknik logging dan silvikultur.
Undang-undang kehutanan swedia juga mengatur hak-hak tradisional masyarakat
Swedia yang berupa akses kehutan (right of common acces) setiap orang berhak
melewati hutan milik siapapun, berhak menikmati lanskap, memungut jamur dan
buah berry, dengan cara-cara yang bertanggung jawab. Aktivitas berkendaraan dan
berkemah yang melampaui 24 jam diharuskan mendapat ijin dari pemilik/pengelola
hutan.
200
Apabila kepemilikan hutan negara dinyatakan dengan jelas seperti yang telah
dilakukan oleh pemerintah Swedia, maka klasifikasi hak sesuai metoda Schlager dan
Ostorm (1992) dapat dilakukan atas properti hutan negara menjadi sebagai berikut :
pemilik hutan negara adalah negara mewakili warga negara Indonesia, yang
dilaksanakan oleh pemerintah melalui kewenangan pengurusan hutan; pengelola
adalah pemerintah pusat dan daerah dalam kaitannya dengan pengelolaan tingkat
provinsi dan kabupaten/ kota, sedangkan pengelola tingkat unit adalah KPH pada
hutan negara dan masyarakat adat terhadap hutan adat serta pihak lain yang diberikan
wewenang pengelolaan; termasuk dalam kelompok penyewa adalah penerima ijin
usaha pemanfaatan kawasan dan penerima ijin usaha jasa lingkungan wisata alam
yang memerlukan areal tertentu untuk mengembangkan produk wisatanya; terakhir
dapat digolongkan sebagai pengguna adalah penerima ijin-ijin usaha pemanfaatan
kayu, bukan kayu, produk jasa lingkungan dan penerima ijin pemungutan hasil hutan.
Klasifikasi menurut Schlager dan Ostorm (1992) tersebut dapat membantu untuk
memposisikan KPHP dan pihak-pihak lainnya dengan lebih jelas dan lebih baik
dibandingkan dengan penataan menurut peraturan pemerintah yang ada. Dengan
memanfaatkan klasifikasi Schlager dan Ostorm, maka hubungan-hubungan tersebut
dapat diatur menjadi sebagaimana Tabel 48.
Negara sebagai perwakilan seluruh rakyat Indonesia dapat diposisikan sebagai
“pemilik” hutan negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah melalui
kewe-nangan pengurusan hutan. Negara sebagai pemilik hutan mempunyai strata hak
yang paling lengkap, termasuk hal alienation yaitu hak untuk memindah tangankan
seluruh atau sebagian dari hutan tersebut kepada pihak lain. Melalui kewenangan
201
pengurusan, pemerintah dapat melakukan tindakan alih fungsi hutan produksi
termasuk mengubah status hutan menjadi bukan hutan, tukar menukar kawasan, dan
ijin pinjam pakai. Pemerintah mempunyai pilihan untuk mengaktualisasikan hak-hak
atas kepemilikannya dengan cara melaksanakan sendiri atau dengan cara memberikan
kepada pihak lain kepada pengelola, penyewa dan atau pengguna sesuai dengan strata
hak yang diberikan.
Agar efektif batasan hak properti harus lengkap dan tepat, oleh karenanya setiap
pilihan mengandung implikasi pendelegasian hak-haknya. Jika pemilik memilih
menjalinj hubungan dengan pengelola, maka hak-hak access and withdrawal,
management, dan exclusion, harus didevolusikan kepada pengelola, sementara hak
allienasion tetap menjadi hak pemeili8k untuk melaksanakannya. Demikian pula jika
pemilik menjalin hubungan dengan pengguna, maka hak yang diberikan adalah
access and withdrawal, sehingga strata hak yang lainnya menjadi tanggung jawab
pemilik untuk melaksanakannya.
Situasi yang berlaku saat ini, pemerintah juga tidak dapat membuat definis hak-
hak properti atas hutan negara secara lengkap dan jelas, kedudukan pemilik,
pengelola, penyewa dan pengguna (pemanfaat) tidak terdifinisi dengan baik, sehingga
terjadi kerancuan pengaturan. Dalam kasus IUPHHK, pengguna diposisikan sebagai
pengelola dengan memberikan beban kewajiban-kewajiban pengelolaan. Pemerintah
tidak mampu mengidentifikasikan dirinya, akibatnya tidak dapat mengidentifikasi
peran diri sendiri dan aktor-aktor lain dalam menjalin hubungan kontraktual
dengannya. Oleh sebab itu sejalan dengan pendapat Titienberg (1992) hak-hak
properti atas hutan tidak dapat dilaksanakan secara efektif.
Tabel 47. Perbandingan Penggunaan Strata Hak Pada Hutan Negara di Indonesia dan Swedia Strata Hak Indonesia Swedia
Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Pemilik Pengelola Penyewa Pengguna Access and withdrawal
Diatur pemerintah
Tidak Jelas pelaku dan pengaturannya
Tidak Jelas pelaku dan pengaturannya
Mendapat ijin usaha dari pemerintah dengan dibebani kewajiban pengelolaan
Negara menyerahkan kewenangannya kepada pengelola, Perusahaan Negara Kehutanan (Assidoman)
(Assidoman) Berwenang melaksanakan
Atas ijin pengelola
Dijamin oleh undang-undang sebagi right of common access. Seijin pengelola jika melampaui batas 24 jam
Management
Diatur pemerintah
na Berwenang melaksanakan
Atas ijin pengelola
na
Exclusion Diatur pemerintah
na Na Berwenang melaksanakan
na Na
Alienation Diatur pemerintah
na na na Menjualan saham di bursa saham
na na na
203
Tabel 48. Pengaturan Hak-hak Properti yang Berlaku pada KPHP, Berdasarkan Klasifikasi Schlager dan Ostorm
Strata Hak
PEMILIK (Owner)
PENGELOLA (Proprietor)
PENYEWA (Claimant)
PENGGUNA (Autorized
User)
Negara KPH, Hutan Adat, Hutan
Desa IUPK, IUPJL
IUPHHK, IUPHHBK,
IUPHH, IUPJL
Access and Withdrawal X X X X
Management X X X Exclusion X X Alienation X
Kerancuan dalam mendefinisikan hak properti menyulitkan pemerintah dalam
memposisikan hirarkhi institusi dan kebijakan secara jelas menyebabkan pemerintah
pusat dan daerah memasuki wilayah-wilayah mikro yang merupakan domain urusan
individu, hal seperti ini tidak terjadi di Swedia. Ijin-ijin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu yang merupakan hubungan transaksi individu ditangani langsung oleh
Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur. Menteri
juga terlibat langsung dalam memutuskan pilihan teknologi yang digunakan pada
pengelolaan hutan tingkat KPH. Sedangkan Bupati/walikota dan Gubernur juga
mengambil alih peran yang dapat dilakukan oleh KPH, sehingga terlibat langsung
dalam transaksi pemanfaatan kawasan, hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan dan
pemungutan hasil hutan, yang merupakan urusan tingkat mikro. Pilihan manajemen
yang memposisikan Menteri, Gubernur dan Bupati/walikota terlibat dalam urusan
tingkat mikro memerlukan penguasaan informasi yang detail dan kapasitas
pengendalian dan pengawasan yang kuat. Penguasaan informasi secara cepat menjadi
204
semakin penting jika dikaitkan dengan misi pemerintah untuk mengoptimalkan fungsi
hutan, dimana karakterisitik tegakan hutan disamping sebagai produk, ia juga
berperan sebagai “pabrik” sehingga jika terjadi kesalahan akan berdampak jangka
panjang. Oleh sebab itu informasi yang cepat dapat memberikan arahan untuk
mengambil tindakan secara cepat guna menghindari dampak buruk yang meluas.
PP no. 34/2002 dan PP no. 6/2007 mempunyai bias terhadap hutan negara. Hal-hal
yang diatur lebih tepat diberlakukan untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan
negara, sedangkan undang-undang memerintahkan pengaturan terhadap seluruh status
hutan, sehingga pembentukan KPH, penunjukan pengelola dan prosedur perijinan
tidak tepat diberlakukan pada hutan hak, hutan adat, hutan desa yang menurut
undang-undang diberikan kewenangan pengelolaan. Bias pengaturan ini dapat terjadi
karena logika tata urutan penetapan tidak diikuti, undang-undang membangun logika
urutan penetapan dimulai dari status hutan, fungsi hutan, wilayah pengelolaan,
pemanfaatan dan terakhir perijinan.
6.3. Respon Pemerintah
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat tiga respon pemerintah
yaitu mengosongkan pranata pengelolaan hutan tingkat unit, memindahkan tanggung
jawab pengelolaan hutan dan kapasitas penegakan aturan yang lemah.
6.3.1. Kekosongan Pranata Pengelolaan Hutan Tingkat Unit.
Definisi hak properti atas hutan negara yang tidak lengkap, tegakan yang tidak
diakui sebagai asset dan hirarki yang rancu, memberikan pilihan kepada pemerintah
205
untuk tidak segera membentuk pengelolaan tingkat unit (KPH). Data yang diperoleh
menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2007 tidak ada satupun unit manajemen
KPHP yang telah dilengkapi dengan organisasi yang beroperasi di lapangan. Luas
KPHP yang telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan data tersebut baru
mencapai 4% dari luas hutan negara yang ditetapkan sebagai hutan produksi. Dengan
demikian tidak ada orgaisasi yang bekerja untuk melaksanakan tugas pengelolaan
hutan negara, atau terjadi kekosongan pranata pengelola hutan tingkat unit.
Kekosongan pranata ini diisi dengan cara memindahkan tanggung jawab pengelolaan
hutan dari pemerintah kepada perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK dan dengan
mengambil wewenang melaksanakan hubungan transaksional pemanfaatan hasil
hutan dari pengelola oleh pemerintah pusat dan daerah. Kekosongan pranata ini telah
terjadi sejak dimulainya sistem pengusahaan hutan pada tahun 1970 dan berlangsung
sampai sekarang.
Hak pengelolaan yang efektif berdasarkan Schlager dan Ostorm (1992) harus
dilengkapi dengan strata hak (1) access and withdrawal, (2) management, dan (3)
exclusion. Strata hak management dan exclusion masih dipegang oleh pemerintah,
oleh sebab itu pemberian kewajiban pengelolaan kepada perusahaan tidak
menghilangkan situasi kekosongan pranata. Dengan demikian pilihan kebijakan ini
memiliki peluang gagal yang tinggi terutama jika tidak didukung oleh penguasaan
informasi dan kapasitas pengawasan yang tinggi oleh pemerintah. Adalah tugas
pemerintah untuk mengubah ketidak-pastian menjadi resiko yang dapat
diperhitungkan melalui kebijakan publik sehingga memfasilitasi perusahaan untuk
memasuki bisnis dan mengambil resiko itu, bukan tindakan yang sebaliknya.
206
KPHP yang diharapkan dapat diperankan sebagai pengelola yang dilengkapi
dengan strata hak access and withdrawl, management, dan exclusion pada akhirnya
tidak dapat menjalankan peran tersebut karena hak management, dan exclusion
diambil alih oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 yang telah
menjabarkan tugas dan tanggung jawab kepala KPH belum dapat memposisikan
KPHP secara baik. Dengan pengambil-alihan kedua strata hak-hak tersebut, maka
kepala KPHP hanya berperan sebagai pekerja pelaksana dari pemegang wewenang
pengelolaan yang sesungguhnya.
6.3.2. Salah Pilih (adverse selection)
Tujuan pemerintah melakukan seleksi perusahaan penerima IUPHHK baik melalui
mekanisme lelang maupun pengajuan permohonan adalah agar diperoleh mitra kerja
yang berkualitas tinggi dan kompeten untuk melaksanakan pekerjaannya dan
kewajiban yang diberikan kepadanya untuk mengelola hutan. Akan tetapi hasil
penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mendapat kualifikasi baik dari 40
perusahaan contoh hanya sekitar 10 %, populasi, sedangkan perusahaan yang tidak
berkualifikasi baik lebih dominan. Dengan demikian mekanisme yang dijalankan oleh
pemerintah tidak berhasil memilih perusahaan yang baik, pemerintah telah salah
pilih. Bagaimana hal ini terjadi dapat dijelaskan sebagai berikut :
Mekanisme seleksi kualifikasi yang dilakukan oleh Menteri terdistorsi oleh
prosedur yang mengharuskan perusahaan yang lulus seleksi mendapatkan
rekomendasi bupati dan gubernur. Subyektifitas bupati dan gubernur menjadi penentu
pemilihan calon perusahaan yang akan menerima IUPHHK. Selain itu masing-
207
masing perusahaan lebih mengetahui kapasitasnya atau keinginannya untuk
memenuhi aturan main atau kewajiban yang diterima apabila ijin diberikan
dibandingkan dengan pengetahuan pemerintah. Diasumsikan bahwa terdapat dua
jenis perusahaan yang mengikuti proses lelang, yaitu perusahaan yang “baik” yaitu
perusahaan yang mempunyai komitmen pada pengelolaan hutan lestari, ia telah
menginternalisasikan kewajiban-kewajiban kedalam bisnisnya sebagai bagian nilai-
nilai perusahaan dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Perusahaan ini
melaksanakan kewajiban-kewajiban itu sesuai dengan standard dan ketentuan yang
berlaku. Jenis perusahaan kedua adalah perusahaan “buruk” adalah perusahaan-
perusahaan yang memposisikan kewajiban sebagai beban exogenus yang tidak
berhubungan dengan kepentingan usahanya. Ia akan meminimumkan biaya
menjalankan kewajiban, termasuk dengan cara melaksanakan kewajiban dibawah
standar aturan yang berlaku. Jenis perusahaan “baik” akan memiliki kurva permintaan
yang tajam, sedangkan perusahaan “buruk” akan mempunyai kurva permintaan yang
lebih landai. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Darusman, et all (2003) yang
menunjukkan bahwa biaya perunit output perusahaan yang menerapkan PHL sedikit
lebih tinggi dari biaya perusahaan non-PHL meskipun perbedaan tersebut tidak
signifikan.
Di dalam setiap unit ijin melekat satu set kewajiban untuk mewujudkan PHL,
dengan demikian dapat dianalogikan bahwa unit ijin setara dengan set kewajiban.
Kemiringan kurva permintaan ijin menurun karena setiap penambahan satu set
kewajiban menyebabkan utilitas marginalnya menurun, dan sampai batas tertentu
nilai marginal utilitasnya sama dengan nol. Sementara itu kurva suplai yang
208
menggambarkan seperangkat kewajiban mempunyai kemiringan mendatar karena
hanya ada satu set kewajiban pada setiap ijin dan nilai biaya perunit dianggap tetap.
Pemerintah pada prinsipnya melakukan penawaran ijin (set kewajiban) kepada
pelaku bisnis, dan pelaku bisnis memberikan permintaan ijin (set kewajiban) maka
hubungan transaksional keduanya dapat diilustrasikan pada gambar 23.
Gambar 23. Adverse Selection pada Perijinan Pemanfaatan Kayu
Jika S adalah kurva penawaran set kewajiban, dan MB adalah kurva permintaan
set kewajiban perusahaan “baik”, dan MB1 adalah kurva permintaan set kewajiban
perusahaan “buruk” , Q adalah jumlah ijin dan jika diasumsikan setiap ijin dimiliki
oleh satu perusahaan maka Q juga mencerminkan jumlah perusahaan, sedangkan UC
adalah beban perunit yang timbul sebagai konsekwensi pelaksanaan kewajiban.
UC
Pi
Pe
MB MB1
S
S1
Q1 Q2 Q3 Q
209
Pemerintah hanya mempunyai satu tarif (set kewajiban) yang dibayar secara tunai
dalam bentuk iuran ijin usaha (IIU), dana reboisasi (DR) dan provisi sumberdaya
hutan (PSDH) dan dibayarkan tidak dalam bentuk tunai yang berupa kewajiban-
kewajiban pengelolaan hutan lestari. Tidak ada pembedaan tarif untuk perusahaan
“baik” dan perusahaan “buruk”. Pada tingkat penawaran S maka biaya perunit adalah
merupakan tarrif yang ditentukan pemerintah sebesar Pe, maka jumlah perusahaan
atau jumlah ijin yang ditransaksikan adalah Q2 yang terdiri dari perusahaan baik
sebanyak Q1 dan perusahaan buruk sebanyak (Q2 – Q1). Apabila pemerintah
mengubah aturan mainnya yang mengakibatkan beban perunitnya meningkat hingga
> Pi, maka hanya perusahaan buruk yang memasuki bisnis kehutanan sebanyak Q3.
Jika data hasil penilaian kinerja tersebut diterapkan pada gambar 22, maka Q1
adalah perusahaan yang mempunyai nilai baik sebesar lebih-kurang 10 %, perusahaan
yang tidak masuk dalam kategori baik adalah (100% - 10%) atau sebanyak 90%.
Adanya adverse selection menghadirkan lebih banyak perusahaan tidak dalam
kategori baik yang memasuki usaha kehutanan. Dalam penelitian ini ditunjukkan
oleh jumlah perusahaan yang tergolong baik hanya berkisar 10%, dan perusahaan
yang menjalankan visi dan misinya dengan baik tidak lebih dari 5% saja. Mengingat
bahwa salah satu kriteria penting yang digunakan dalam proses seleksi adalah
pernyataan visi dan misi, namun kenyataan menunjukkan bahwa hanya 5 % yang
menjalankannya, dan hanya 10 perusahaan penerima IUPHHK tergolong sebagai
perusahaan yang mencapai nilai akhir baik. Kenyataan ini mengkonfirmasi adanya
masalah salah pilih.
210
6.3.3. Penegakan Lemah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas dalam mengendalikan
pelaksanaan kewajiban teknis dan administrasi perusahan (urusan mikro) adalah
rendah, didukung dengan kemampuan menguasai informasi yang rendah pula, serta
adanya peraturan-peraturan yang mengandung konflik kepentingan secara bersama-
sama membuat penegakan aturan lemah. Hubungan keterkaitan dari berbagai masalah
yang timbul dari berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah diilustrasikan pada
gambar 24.
Pengidentifikasian pengguna yang diposisikan sebagai pengelola dan adanya
kekosongan pranata pengelola hutan, menimbulkan konflik kepentingan para pihak
yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu. Keterlibatan
pemerintah pada urusan mikro dan inkonsistensi dalam penempatan kewenangan
menyebabkan kebijakan-kebijakan pemerintah menjadi sangat rumit.
Kompleksitas ini menimbulkan peluang dibuatnya peraturan-peraturan yang
mengandung konflik kepentingan. Ketentuan tentang sanksi administrasi yang berupa
penghentian pelayanan, penghentian kegiatan di lapangan dan pencabutan ijin, akan
berdampak kepada kepentingan pemerintah. Penerapan sanksi-sanksi tersebut secara
konsisten akan berpengaruh kepada penurunan produksi, dan pemerintah
berkepentingan atas kinerja produksi hasil hutan.
Konflik ini mendorong pemerintah memberikan toleransi-toleransi dalam
penegakan aturan, signal ini menunjukkan adanya ruang negosiasi terhadap sanksi
pelanggaran administrasi, maka berlakukah apa yang disebutkan oleh Wiliamson
(1985) terdahulu, bahwa situasi ini membuka peluang kolusi antara pengawas dan
211
perusahaan. Kebiasaan perusahaan yang lebih banyak mengembangkan manajemen
lobi daripada manajemen profesional (Abeng, 1996), juga mendukung terjadinya
pelemahan kapasitas pemerintah dalam menegakkan aturan. Jika dibandingkan
dengan hasil penelitian Kartodihardjo (1998) maka situasi yang berlaku pada masa
HPH masih belum berubah dimana pemerintah dan pengusaha terjebak dalam
perilaku opportunistik.
Gambar 24. Hubungan antara Struktur tidak Efektif dengan Kapasitas Penegakan
Kapasitas pemerintah yang lemah dalam penegakan aturan ditunjukkan oleh data
hasil penelitian bahwa jumlah perusahaan yang termonitor dikenakan sanksi dalam
bentuk peringatan maupun eksekusi terlalu rendah jika dibandingkan dengan jumlah
perusahaan yang mendapat nilai buruk. Mengingat bahwa penilaian yang dilakukan
oleh Lembaga Penilai Independen dilakukan dengan membandingkan antara
KesalahanIdentifikasi
PeranPemerintahPengusaha
KonflikAturan
KonflikKepentingan
SulitDitegakkan
Asymmetric Information
LobbyTransaksi
KapasitasPenegakan
AturanLemah
KesalahanIdentifikasi
PeranPemerintahPengusaha
KonflikAturan
KonflikKepentingan
SulitDitegakkan
Asymmetric Information
LobbyTransaksi
KapasitasPenegakan
AturanLemah
212
peraturan dan pelaksanaannya maka nilai buruk memberikan indikasi pelanggaran,
namun tidak semua pelanggaran dikenakan sanksi oleh pemerintah.
Berdasarkan hasil nilai pada verifier-verifier pada keempat kelompok indikator
diketahui adanya kecenderungan bahwa hanya sebagian kecil perusahaan yang
melaksanakan peraturan yang ditunjukkan oleh jumlah perusahaaan yang mencapai
nilai baik pada verifier-verifier tersebut rata-rata berada dibawah 10%. Pada Tabel 49
disampaikan aturan (verifier) yang paling banyak dilanggar yang ditunjukkan oleh
jumlah perusahaan yang tidak mendapat nilai baik pada verifier / indikator yang
bersangkutan.
Selama periode tahun 2004-2009 pemerintah telah menjatuhkan sanksi pencabutan
ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebanyak 59 ijin yang mendekati 20% dari
jumlah ijin yang diberikan dan berlaku pada periode tersebut. Pencabutan ini
sebagian besar (76%) dilakukan terhadap perusahaan yang telah beroperasi selama
lebih dari 10 tahun. Sebanyak 20 ijin dicabut karena perusahaan tidak mendapatkan
rencana produksi tahunan (RKT) selama tiga tahun berturut-turut, dari jumlah ini
sebanyak 17 perusahaan (85 %) adalah perusahaan yang telah bekerja lebih dari 10
tahun. Sebanyak 17 ijin dicabut karena diserahkan kembali oleh pemilik ijin kepada
pemerintah, penyerahan tersebut dilakukan oleh perusahaan baru maupun perusahaan
lama. Terdapat 8 perusahaan yang telah menerima IUPHHK selama lebih dari lima
tahun dicabut ijinnya karena meninggalkan areal kerjanya.
Pencabutan terhadap 20% dari ijin yang diterbitkan, tidak menggambarkan
kemampuan pemerintah dalam menegakkan aturan. Berdasarkan data sanksi yang
diberikan oleh pemerintah baik dalam bentuk peringatan pertama, peringatan kedua,
213
peringatan ketiga dan eksekusi atas sanksi diketahui bahwa jumlah perusahaan yang
mendapatkan sanksi berbanding terbalik dengan perusahaan yang tidak mendapat
nilai baik. Jika diperhatikan Tabel 49 jumlah perusahaan yang tidak menjalankan
aturan penggunaan tenaga kerja mencapai 97,5 % namun jumlah perusahaan yang
mendapat sanksi peringatan pada tahun 2008-2009 sebanyak 3 perusahaan (+ 1%).
Diantara 40 perusahaan yang diambil sebagai contoh terdapat 1 (2.5%) perusahaan
yang mendapat sanksi peringatan, selebihnya tidak mendapat sanksi dari pemerintah.
Mengingat bahwa pemerintah mengatur urusan mikro, maka sangat banyak aturan
yang harus ditegakkan. Data tersebut memberikan gambaran bahwa kapasitas dalam
menegakkan aturan tergolong lemah, pemerintah hanya mempunyai kiemampuan
terbatas untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian kontrak dengan penerima IUPHHK
Tabel 49. Daftar 9 Ketentuan yang Paling Banyak Dilanggar Berdasarkan Nilai Verifier Hasil Penilaian LPI pada 40 Perusahaan Tahun 2008- 2009
No Verifier Jumlah perusahaan tidak bernilai baik (%)
1 Realisasi secara fisik pembinaan dan perlindungan hutan (BIN)
95
2 Keberadaan tenaga professional kehutanan (SDM) 97.5
3 Implementasi SOP seluruh tahapan silvikultur (SIL) 97.5
4 Kesesuaian realisasi tebangan dengan rencana tebangan tahunan (RAS)
97.5
5 Kesesuaian realisasi tebangan dengan riap (RIA) 97.5
6 Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3)
97.5
7 Ketersediaan prosedur dan implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan fauna langka, dilindungi, endemic
100
8 Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic 100