1 Permainan Tafsir Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014 (Tugas Akhir Tafsir Kebudayaan dan Teori Simbol) Oleh: Transpiosa Riomandha 13/354363/PSA/07599 Magister Antropologi UGM Yogyakarta “satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta dua atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu karena diriku bingung harus pilih dia atau dirimu” ~ Gamma Band A. Pendahuluan: Simbol dan Citra Membaca dan mengamati proses pemilihan presiden Indonesia 2014 antar Capres- Cawapres pada beberapa waktu terakhir, baik melalui jejaring media sosial, media massa, media elektronik, ataupun melalui spanduk-spanduk dan selebaran kampanye, adalah hal yang mungkin telah kita ikuti bersama-sama. Sejak ditetapkannya nomor urut 1 untuk pasangan Prabowo - Hatta Rajasa, serta nomor urut 2 untuk pasangan Jokowi - Jusuf Kalla, sejak saat itu pula secara resmi pertarungan simbol atau citra dimulai. Saya katakan secara resmi, karena KPU pada tanggal 1 Juni 2014 telah menetapkan nomor urut bagi pasangan Capres-Cawapres
11
Embed
Permainan Tafsir Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Permainan Tafsir
Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014 (Tugas Akhir Tafsir Kebudayaan dan Teori Simbol)
Oleh:
Transpiosa Riomandha
13/354363/PSA/07599
Magister Antropologi UGM Yogyakarta
“satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka
satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta
dua atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu
karena diriku bingung harus pilih dia atau dirimu”
~ Gamma Band
A. Pendahuluan: Simbol dan Citra
Membaca dan mengamati proses pemilihan presiden Indonesia 2014 antar Capres-
Cawapres pada beberapa waktu terakhir, baik melalui jejaring media sosial, media massa,
media elektronik, ataupun melalui spanduk-spanduk dan selebaran kampanye, adalah hal yang
mungkin telah kita ikuti bersama-sama. Sejak ditetapkannya nomor urut 1 untuk pasangan
Prabowo - Hatta Rajasa, serta nomor urut 2 untuk pasangan Jokowi - Jusuf Kalla, sejak saat
itu pula secara resmi pertarungan simbol atau citra dimulai. Saya katakan secara resmi, karena
KPU pada tanggal 1 Juni 2014 telah menetapkan nomor urut bagi pasangan Capres-Cawapres
2
yang berkompetisi meski sesungguhnya persiapan kompetisi telah dimulai sejak lama,
mungkin sejak Prabowo berpasangan dengan Megawati di Pilpres sebelumnya.
Drama pertarungan pun kemudian dimulai, dramaturgi yang disebut “gerakan
simbolik” menurut Geertz, “drama sosial” menurut Turner, sementara Goffman menyebutnya
sebagai “permainan social” (Geertz 2003: 17-18). Masyarakat Indonesia yang berhak memilih
kemudian terbelah, termasuk mereka yang sedang tak berada di Indonesia. Lagu Gamma
Band sepertinya mewakili situasinya, “pilih satu atau dua aku tak tahu.” Namun demikian,
apakah sesungguhnya memang “tak tahu?” Drama sosial seperti PILPRES memunculkan
konflik antar pendukungnya, perang berita, simbol dan citra visual muncul di berbagai media.
Turner memaparkan bahwa ketika konflik memuncak menjadi krisis, dan emosi telah tumbuh
meledak-ledak, di saat orang sudah mulai merasa bahwa mereka telah disatukan oleh satu rasa
yang sama dan telah lepas dari ikatan sosial mereka, suatu bentuk ritualisme otoritas –
keterlibatan, perseteruan, pengorbanan dan doa – mereka dipanggil untuk memasukkan unsur-
unsur ini, dan menyusunnya dengan baik (Geertz 2003: 18-19). Dengan demikian, diperlukan
penyusunan citra dan simbol-simbol dalam detil-detil tertentu seperti proses pendetilan
individu dan semacamnya, sehingga membentuk “drama-teater” yang kharismatik dan
dipahami di dalam berbagai bentuknya serta melalui pemaknaan proses sosial. Performance,
Presentasi dan Representasi kemudian menjadi penting. Segala proses terkait PILPRES
kemudian dapat dilihat sebagai sebuah Upacara “besar”, kita mengenal istilah “pesta
demokrasi”. Upacara dimana kita menemukan nilai-nilai masyarakat yang sukar kita amati
dalam kehidupan yang biasa, kita juga dapat menemukan kata-kata kunci, “to understanding
of how people think and feel about those relationship, and about the natural and social
environments in which they operate” (Turner via Abdullah 2002).
Manusia pada dasarnya adalah makhluk penafsir, seperti yang dikatakan oleh Cassirer
yakni animal symbolicum, atau hewan yang mampu menciptakan, menggunakan,
mengembangkan simbol-simbol, untuk berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungan
guna melestarikan jenisnya. Kapasitas yang hanya bisa dimiliki manusia dan hanya ada dalam
kehidupan manusia. (Ahimsa-Putra 2012). Hal tersebut sejalan dengan apa yang dilantunkan
oleh Geertz mengenai kebudayaan, adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna
yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditautkan secara menyejarah, serta
merupakan sistem konsep yang diwariskan secara simbolik, dimana dengan cara tersebut
manusia kemudian mampu berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan
dan sikapnya terhadap kehidupan (Abdullah 2002).
Turner (Winangun 1990) mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang dianggap,
dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili
atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan
dalam kenyataan atau pikiran. Istilah “simbol” dan tanda sering digunakan dalam arti yang
sama dengan penggunaan yang berubah-ubah, namun simbol dianggap mampu merangsang
perasaan seseorang, sedangkan tanda tidak. Geertz's mendefinisikan simbol untuk
mengartikan secara denotatif semua obyek, aksi, kejadian, kualitas, atau relasi yang bertindak
sebagai sebuah kendaraan dari sebuah konsepsi, the symbol's "meaning". Namun Asad
mengevaluasi pernyataan Geertz mengenai simbol, dengan mengatakan bahwa simbol bukan
sebuah obyek yang bertindak sebagai sebuah kendaraan dari sebuah konsepsi namun simbol
adalah konsepsi itu sendiri1.
1 Geertz's first task is to define symbol. 'Symbol' will be taken to denote 'any object, act, event, quality, or
relation which serves as a vehicle for a conception -the conception is the symbol's "meaning"' (I973: 9I). But this
simple, clear, statement-in which symbol (any object, etc.) is differentiated from but linked to conception (its
meaning)-is later supplemented by others not entirely consistent with it, for it turns out that the symbol is not an
object which serves as a vehicle for a conception, it is itself the conception. (Asad, 1983)
3
Sapir yang mengatakan bahwa simbol dibedakan menjadi dua klas. Pertama, simbol-
simbol referensial, biasanya merupakan system pengetahuan yang mengacu pada pemahaman
kenyataan dalam kehidupan manusia. Simbol-simbol referensial berkembang dengan
penguraian formal mengenai apa yang disadari, mencakup pembicaraan oral, bendera, dan
organisasi-organisasi simbol lain yang dianggap sebagai petunjuk. Kedua, adalah simbol-
simbol penyingkatan atau kondensasi yang menjadi penemuan lebih dalam dan mengakar
dalam ketidaksadaran yang menyebabkan sifat emosi terhadap berbagai tipe tingkah laku dan
seringkali situasi ini akan bergerak jauh dari arti sebenarnya. Simbol ini mencakup sebagian
besar simbol-simbol upacara, sebagai bentuk-bentuk penyingkatan yang lebih tinggi untuk
mengelola ekpresi pelepasan ketegangan melalui bentuk-bentuk yang disadari atau tidak
(Abdullah, 2002).
Boulding menjelaskan mengenai citra sebagai bentuk pengetahuan subyektif, dimana
dari sudut pandang individu, citra merupakan gabungan informasi dari pribadi individu serta
pengetahuan budaya dari masyarakat atau publik. Citra terbangun dari pengalaman pemilik
citra itu sendiri, salah satu bagian dari citra adalah proses munculnya kesadaraan tentang citra.
Citra ini kemudian mempengaruhi perilaku seseorang, selain membentuk citra, orang juga
bisa bertingkah laku sesuai dengan citra serta berbicara mengenai citra itu sendiri. Pandangan
ini mirip dengan klas simbol-simbol referensial. Orang belajar merespon secara sadar
mengenai citra-citra dan simbol-simbol yang ada dihadapannya untuk kemudian menjadi
pengetahuan subyektif (Riomandha, 2000). Sekelompok pendukung capres tertentu akan
memiliki citra kolektif yang sama melalui pengetahuan subyektif yang terbangun dari simbol-
simbol referensi yang terbangun. Dengan demikian, system nilai dari individu-individu
pendukung capres akan dilihat secara identik karena mereka membangun dan mengamini
simbol-simbol dan citra secara identik pula.
Sementara itu, Barthes dan Sontag, yang melihat citra sebagai representasi, citra
sebagai sebuah ilusi atau bayangan, copy bukan asli, representasi bukan realitas. Citra
memiliki jarak pada realitas (Riomandha, 2002). Citra kolektif mengkonstruksikan citra
individu untuk tunduk. Ini mirip dengan apa yang dikatakan sebagai simbol penyingkapan,
dimana individu tunduk pada simbol-simbol yang telah mengakar, mengikat dan tidak kita
pertanyakan lagi. Ketika pendukung salah satu pasangan Capres merasa yakin maka ia akan
merasa identic, merasa memiliki identitas yang sama, sepaham, satu ideology, hal-hal absurd
lain yang sudah tak dipertanyakan lagi.
Berangkat dari hal tersebut, saya ingin mencoba untuk menafsirkan kembali simbol-
simbol serta citra-citra yang ditawarkan oleh kedua pasangan Capres-Cawapres, dengan
mengidentifikasi bentuk-bentuk simbol yang digunakan, bagaimana cara penggunaannya,
dimana ruang simboliknya, kemudian logika atau rationalisasi dari penggunaan simbol
tersebut serta efektivitas simbol tersebut. Turner menyebutnya sebagai “prosesual simbologi”
yakni suatu kajian mengenai bagaimana simbol menggerakkan tindakan social dan melalui
proses yang bagaimana simbol memperoleh dan memberikan arti kepada masyarakat dan
pribadi. Apa yang dikatakan Turner ini menjadi sebuah pendekatan yang berpegang pada
dinamika sosial yang berbeda dengan analisis structural yang dianggap statis, sementara pada
dinamika sosial, proses menjadi penting, karena seperti yang dikatakan Jung bahwa simbol
adalah kehidupan (Abdullah, 2002). Dengan demikian, dengan melakukan analisa simbol dan
citra yang dilekat(-lekat)kan pada kedua pasangan Capres-Cawapres, diharapkan dapat
membantu menjelaskan bagaimana nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus
semoga mencoba mengamati bagaimana simbol-simbol dan citra “benar” yang diproduksi dan
ditawarkan.
Dalam melihat penafsiran simbolik, kita bisa melihat penggunaan satu dua hal untuk
mewakili keseluruhan identitas, seperti misalnya Malioboro adalah Jogjakarta. Artinya,
(penggunaan) simbol atau citra merupakan representasi, terjadi pemilihan sebagian untuk
4
mewakili keseluruhan. Namun demikian, pembangunan citra simbolik yang representatif
tersebut juga membutuhkan strategi dan taktik tertentu sehingga orang akan terpengaruh dan
setuju memiliki pengetahuan subyektif yang sama, citra kolektif yang sama atas simbol yang
ditawarkan. Dengan demikian, pengaminan dan kesepakatan atas penafsiran simbolik
tersebut, pertama, bisa melalui simbol-simbol referensial atau pengetahuan subyektif, dimana
kita perlu “belajar memahami” simbol-simbol terlebih dahulu sebelum kemudian sepakat.
Kedua, melalui simbol-simbol yang bersifat penyingkapan, orang tak mempertanyakan lagi
atas pilihan simbol-simbol, sudah take it for granted. Dua metode tersebut digunakan untuk
membangun simbol-simbol dan citra-citra pada kontes politik pemilihan presiden 2014,
simbol-simbol yang sesungguhnya telah terbangun jauh sebelum dikontestasikan pada masa
kampanye 4 Juni – 5 Juli 2014.
B. Membaca Simbol dan Citra Pesona Personal
Mari kita amati, simbol-simbol yang digunakan untuk merepresentasikan sosok
personal dari kedua calon pasangan, secara khusus pada para Calon Presidennya, yakni antara
Prabowo dan Jokowi. Masyarakat Jawa yang kemudian diamini oleh (mungkin) keseluruhan
masyarakat Indonesia, hampir selalu melihat latar belakang daripada orang yang akan menjadi
bagian dari hidupnya, termasuk calon Presidennya. Prabowo merupakan seorang tokoh yang
memiliki latarbelakang keluarga yang cemerlang, kakeknya seorang tokoh perbankan dan
ayahnya adalah begawan ekonomi. Prabowo sendiri merupakan laki-laki yang (pernah)
memiliki karir cemerlang dalam militer, termasuk menikah dengan mantan putri Presiden.
Pendek kata, dari bibit, bebet dan bobot, Prabowo adalah priyayi yang tak perlu dipertanyakan
lagi kepantasannya sebagai calon Presiden. Sementara Jokowi adalah seseorang yang
misterius, ia seperti tokoh yang tiba-tiba hadir, tak banyak orang tahu siapa dia sebelum
menjadi walikota Solo. Namanya, mencuat ketika belum selesai ia mempimpin Solo, ia sudah
pindah menjadi Gubernur DKI, hingga kemudian dicalonkan sebagai Calon Presiden oleh
partai pengusungnya PDI Perjuangan.
Dua model yang kemudian bisa menjadi bahan untuk “diserang” secara politik dari
pesona personalnya. Prabowo diserang justru karena keluarganya cukup “terkenal” sehingga
seolah bagai buku “terbuka” relasi diri dan keluarganya dengan pihak lain menjadi santapan
politik. Bagaimana dari segi bisnis, Hasjim, Prabowo dikupas relasi internasionalnya dengan
Amerika, Yordania. Kasus peristiwa pra-Reformasi atau 1998 dengan isu pelanggaran HAM
menjadi mitos yang selalu anyang-anyangen, karena dianggap tanpa kepastian hukum yang
jelas. Traumatik komunal atas peristiwa 1998 membuat, massa pendukung Jokowi berusaha
menggunakan isu tersebut untuk menolak kepemimpinan militer ala Prabowo yang dianggap
bagian dari Orde Baru. Singkatan pasanganpun diplesetkan menjadi Prahara (Prabowo-Hatta
Rajasa) Sementara, Jokowi, ketidakjelasan masa lalunya membuat ia sempat dikabar-
kabarkan dalam narasi gelap sebagai seorang Kristen, Tionghoa hingga komunis.
Pamor Prabowo sebagai pemimpin militer lalu membangun partai Gerindra, membuat
ia dianggap sebagai orang yang memiliki jiwa kepemimpinan sekaligus dianggap sebagai
orang yang ambisius menjadi Presiden. Prabowo adalah seorang yang selalu berusaha untuk
menampilkan dirinya sebagai sosok penuh wibawa, orator ulung. Sosok militer yang menjadi
simbol tokoh yang penuh disiplin. Sedangkan Jokowi yang misterius itu, ketika kemudian ia
5
dicalonkan sebagai Presiden, hampir tak ada yang berubah dari penampilannya, gaya
bicaranya selalu santai, kalem, dan intonasi yang biasa-biasa saja. Jokowi selalu menampilkan
diri sebagai seorang yang “ndeso” dan kader partai yang baik, hal tersebut kemudian bisa
dibaca sebagai orang yang selalu mampu menjaga amanah, sekaligus juga sebagai boneka
partai yang sudah lama terlanjur dimitoskan sebagai partainya “Soekarno Putri”.
Penampilan kostum kedua pasangan, bisa kita baca dan tafsirkan secara simbolik apa
yang sedang mereka tawarkan. Prabowo-Hatta dalam setiap penampilannya, hampir selalu
konsisten dengan baju (kemeja) putih, dan peci. Peci adalah simbol penutup kepala yang biasa
dikenakan oleh laki-laki Islam yang oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno digunakan
sebagai simbol pemersatu Indonesia. Peci adalah Indonesia, bukan cuma Islam. Tradisi yang
kemudian dilanjutkan oleh presiden-presiden berikutnya ketika para menteri berfoto, hampir
semua menteri laki-laki akan selalu menggunakan peci. Prabowo-Hatta seolah ingin
mengingatkan, bahwa ia seperti para pemimpin terdahulu, yang ingin memimpin Indonesia
secara simbolik dengan kostum Indonesia. Peci tersebut secara simbolik seolah menjadi
rangkuman nasionalismenya Gerindra dengan koalisi merah putih, yang kebanyakan terdiri
dari partai bergaya Islam seperti PKS, PPP, PAN, PBB dengan partai “pembangunan” seperti
Golkar, dan (akhirnya) Demokrat.
Sementara Jokowi-Jusuf Kalla, yang diusung oleh partai yang memiliki mitos
nasionalis seperti PDI Perjuangan, Partai NASDEM dan juga partai “aneka rupa” seperti
PKB, HANURA, PKPI, memilih menggunakan kostum yang sebetulnya kurang konsisten,
karena kadang menggunakan peci, kadang tidak, kadang berbaju putih, kadang pakai jas.
Namun demikian, justru hal tersebut bisa dilihat sebagai konsistensi “easy going” dari
pasangan JKW-JK ini. Kemeja kotak-kotak yang mengantar Jokowi menjadi Gubernur DKI,
masih menjadi ciri yang cukup kuat dan melekat. Citra casual yang sekaligus simbol bahwa
mereka siap dan sanggup bergaul dengan orang-orang muda dan orang-orang biasa, karena
kostum mereka seperti kebanyakan orang biasa. Penampilan yang membawa kita kembali ke
urusan “Priyayi vs Cah nDeso”. Bagi yang mempercayai pola kemunculan kepemimpinan
secara tradisional yang hampir selalu berasal dari kalangan Priyayi, maka Prabowo adalah
orang yang tepat. Namun bagi yang percaya akan hadirnya pemimpin dari kalangan biasa,
maka Jokowi adalah orang tersebut.
6
C. Membaca Permainan Slogan Simbolik
Selepas pengundian nomor urut ditetapkan, maka perlombaan permainan simbolik
melalui kata dan angka resmi dimulai. Nomor 1 (satu) kemudian menjadi simbol bahwa
Prabowo-Hatta siap menjadi yang nomor satu di Indonesia. Bagi Jokowi-JK, angka 2 (dua)
melalui simbol telunjuk dan jari tengah, adalah simbol dari victory (kemenangan), artinya
mereka siap untuk memenangkan Pilpres 2014 ini. Permainan simbolik 1 dan 2 ini, kemudian
berlanjut pada maraknya foto profil di media sosial yang merujuk pada lembar kartu suara
nanti, dimana nomor urut satu akan berada di sebelah kiri, dan nomor urut dua akan berada di
sebelah kanan. Pendukung Jokowi-JK dengan lebih mudah berkata “I stand on the right side”
right yang bisa berarti sebelah kanan atau “yang benar”. Sementara pendukung Prabowo-
Hatta lebih sering menggunakan satu, dalam bahasa Inggris “one” sebagai bagian dari
IndONEsia atau satu sebagai ajakan untuk “bersatu” demi IndONEsia. Tentu saja agak sulit
menggunakan “Kiri jalan terus” mengingat kata “Kiri” masih sulit diterima, karena isu soal
kekirian yang merujuk komunis justru terhembus ke asal-usul pasangan nomor urut 2.
Permainan kata dengan menyebut bahwa nomor satu yang lebih utama, dengan mudah
terbalas dengan berbagai kalimat secara jenaka dari pendukung JKW-JK seperti “keluarga
tetap nomor satu, kalau presiden itu no 2”, “Ibadah itu selalu nomor satu, presiden nomor
dua”, dan sebagainya.
Permainan kata yang kedua adalah slogan simbolik yang digunakan. Prabowo-Hatta
dengan menggunakan slogan “Selamatkan Indonesia”, dan “Indonesia Bangkit” sepertinya
berusaha menampilkan diri sebagai sang juru selamat bangsa. Hal ini bisa dibaca bahwa
mereka menganggap Indonesia sedang berada dalam kondisi genting pada masa (dua) periode
kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketokohan model priyayi dan militer,
kemudian dicitrakan sebagai yang dianggap paling pas untuk menjadi pembangkit dan
penyelamat Indonesia. Hal ini kemudian masih ditambah dengan jargon lainnya yakni
“Cerdas, Tegas dan Mampu”, pada beberapa lokasi kata mampu diganti dengan amanah dan
lain-lain. Priyayi dan Militer adalah perwakilan dari ungkapan simbolik Cerdas dan Tegas.
Suasana “genting” coba ditampilkan kembali dengan slogan, “kalau bukan kita siapa lagi,
kalau bukan sekarang kapan lagi.” Tak ada yang lebih baik dari mereka, dan sekaranglah
saatnya kami memimpin, demikian kira-kira pesan simbolik yang disampaikan pada suasana
yang “genting” ini.
7
Jokowi-JK menggunakan jargon “JKW-JK adalah kita” dan dilanjutkan dengan “Jujur
Merakyat Sederhana”. Slogan yang secara simbolik seolah hanya ingin mengabarkan apa
yang mereka punya, bukan slogan yang secara simbolik mengajak untuk memilih atau minta
dipilih. Namun demikian, slogan tersebut secara simbolik sedikit berbeda dengan Prabowo-
Hatta yang seolah memisahkan calon pemimpin dan rakyatnya. Jokowi-JK justru berusaha
secara simbolik mengabarkan bahwa mereka adalah bagian dari rakyat, bagian dari rakyat
yang Jujur, Merakyat dan Sederhana. Pernyataan tersebut kemudian ditimpali dengan slogan
Indonesia Hebat. Jokowi-JK tidak berusaha untuk meletakkan Indonesia dalam situasi yang
genting, meski secara simbolik sesungguhnya ia menyindir halus atas rivalnya yang
(mungkin) kurang jujur, kurang merakyat dan kurang sederhana, beberapa narasi keterlibatan
oknum dari koalisi merah putih seperti kasus korupsi hambalang, impor sapi dan dana haji
tertohok di titik ini. Sekaligus sebetulnya pasangan Jokowi-JK juga dianggap kurang Cerdas
dan Tegas, dengan serangan terhadap “masa lalu” orang-orang dibalik layar mereka yang
menjual asset negara seperti Indosat. Namun demikian, secara simbolik kalimat “Jokowi-JK
adalah kita merupakan ajakan bersama-sama bahwa mereka dan rakyat adalah setara, dan
mari bersama membangun Indonesia (yang) Hebat. Indonesia yang tidak dalam suasana
genting, hanya Indonesia sedang kurang hebat.
Pasangan Jokowi-JK tidak menggunakan logo Garuda Pancasila sebagai kampanye
simboliknya, namun mereka mendapatkan “bahan” ketika pasangan Prabowo-Hatta
mengubah lambang negara tersebut menjadi siluet berwarna merah. Pasangan nomor urut satu
tersebut kemudian dianggap menghilangkan pancasila, mengubah lambang negara, dan
8
mengaitkan warna merah dengan darah yang menetes dari peristiwa 1998 yang mengait-
ngaitkan dengan keterlibatan Prabowo.
D. Kampanye PILPRES: Pertarungan Media
Pertarungan PILPRES kali ini adalah pertarungan simbolik yang melibatkan
penggunaan media. Ketika Surya Paloh bergabung dengan pasangan nomor urut 2, maka
lumrah dan mudah ditebak ketika Metro-TV menjadi peliput utama pasangan Jokowi-JK.
Ketika pasangan WIN-HT pecah kongsi, dimana Wiranto merapat ke Jokowi dan Hary Tanoe
merapat ke Prabowo, maka seluruh televise MNC-Group seperti MNCTV, Global TV dan
RCTI menjadi pendukung pasangan nomor urut 1. Kemudian ditambah ketika GOLKAR tak
menjadi aktor utama PILPRES, maka Aburizal Bakri yang memiliki TV-One dan ANTeve
kemudian merapat ke pasangan Prabowo-Hatta. “Perang media” pun kemudian berlangsung
sengit. Namun demikian yang dilupakan oleh para pendukung Prabowo-Hatta, hampir seluruh
televisi sesungguhnya telah memperkenalkan secara “brutal” bagaimana dan siapa Jokowi
sejak ia berkampanye menjadi Gubernur DKI. Televisi mana yang tidak menayangkan
kegiatan blusukan Jokowi atau semprotan slengekan Ahok yang telah mendekonstruksi gaya
kepemimpinan daerah yang selama ini ada. Saya kira, saingan bintang berita visual dari
Jokowi-Ahok hanyalah Risma, walikota Surabaya. Merekalah penarik berita, yang membuat
seluruh pelosok Indonesia mengenalnya secara lebih “dekat”, secara simbolik.
Penggunaan media sosial popular seperti facebook, twitter, instagram, hingga sms
bertubi-tubi hadir memenuhi layar computer dan layar handphone hampir semua penduduk di
Indonesia yang memiliki akses internet, yang pada durasi terakhir agak dibuat tersendat oleh
menkominfo dengan penutupan beberapa situs serta komentar “buat apa Indonesia perlu
koneksi cepat?” Mungkin menteri yang berasal dari partai yang berkoalisi dengan pasangan
nomor urut satu tersebut, memiliki kepekaan atas peran media-media online yang condong
berpihak pada Jokowi sejak pemilihan Gubernur DKI, wallahualam.
Namun demikian, tak semua orang berdaya untuk mengikuti teknologi secara lebih
bebas. Beberapa masyarakat “tradisional” yang tidak memiliki akses akan informasi secara
cepat lebih memilih mempercayai perkataan tokoh-tokoh setempat, sanak keluarga, kerabat
atau media-media yang mereka terima melalui sms, selebaran atau media alternatif lainnya.
Perang sms, selebaran, hadirnya tabloid “obor rakyat” adalah beberapa model kampanye yang
dilakukan lewat media, mendampingi kampanye melalui tokoh-tokoh lokal, sanak saudara
dan kerabat.
Pasangan Jokowi-JK dengan jejak sejarah dukungan media, kemudian
mengoptimalisasikan penggunaan aneka rupa media tersebut. Beberapa blunder justru
dilakukan oleh pasangan urutan pertama dalam penggunaan media, kasus Ahmad Dani yang
kemudian mendapat respon dari Bryan May atas penggunaan lagu Queen, “We Will Rock
You” tanpa ijin penciptanya yang diubah menjadi lagu kampanye untuk Prabowo, menjadi isu
internasional, sehingga Youtube bahkan merasa perlu untuk melakukan banned atas video
tersebut. Pemaknaan simbolik melalui media juga dilakukan secara optimal oleh pasangan
Jokowi-JK. Kedekatan Jokowi dengan budaya popular, sanggup menjadi salah satu modal ia
dikenal oleh banyak seniman dan artis, tak hanya di dalam negeri namun juga hingga luar
negeri. Dukungan Sting, Arkana, Jason Mraz dengan hastag #jokowi9juli mampu
menunjukkan bahwa Indonesia hari ini, adalah Indonesia yang memiliki relasi dengan hal-hal
di luar Indonesia itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dengan demikian adalah kebudayaan
yang terbentuk juga melalui relasi dengan budaya-budaya lainnya, Appadurai menyebutnya
sebagai deteritorialisasi budaya (Abdullah 2010). Penggunaan simbol internasional yang
dilakukan oleh tim Prabowo-Hatta dengan jargon Macan Asia, agaknya kurang dioptimalkan
oleh timsesnya, karena selain pada media televisi yang mendukung mereka, penggunaan di
media massa dan media sosial kurang gaungnya.
9
Momen piala Dunia juga digunakan untuk melakukan dukungan pada pasangan
Capres-Cawapres secara jenaka, misalnya Uruguay menang 2-1 atas Inggris, dua tentu
menang dari satu. Hingga ketika kemudian Brasil dibantai oleh Jerman dengan 7-1,
diplesetkan menjadi 7okow1. Pendukung Prabowo juga menggunakan 1 sebagai tanda, ketika
Argentina menang 1-0 atas Belgia, atau pertandingan Brasil-Jerman 1-7 itu dimaknai sebagai
nomor 1 adalah presiden ke-7..
Secara jenaka, beberapa media sosial, menyamakan fenomena Jokowi dengan
fenomena Obama, terutama sebagai orang yang disimbolkan pembawa perubahan, harapan.
Foto Jokowi berlari di panggung, pada kampanye terakhir di Jakarta ketika membaca
maklumat, diperbandingkan dengan foto kegesitan Obama ketika lari menuju panggung.
Simbol pemimpin yang gesit. Beberapa othak-athik gathuk jenaka lainnya adalah seperti
misalnya, penyamaan nomor 7 dengan huruf J, juga ditampilkan di media sosial yang
diartikan bahwa Presiden ke 7 adalah 7okowi.
E. Epilog
Dari keseluruhan analisa pembacaan saya, kemisteriusan latar belakang Jokowi
sesungguhnya adalah salah satu faktor pendorong yang menempatkan dia sebagai orang yang
betul-betul “baru”, secara personal ia tak punya keterkaitan dengan berbagai persoalan politik
pada masa orde baru hingga orde SBY ini. Betul bahwa beberapa orang yang ada di balik
dirinya merupakan bagian dari masalah masa lalu. Kecerdikan memilih Jusuf Kalla sebagai
wakil adalah pilihan politik untuk meraih suara luar Jawa khususnya Indonesia Timur,
sekaligus untuk memperoleh suara Golkar yang sesungguhnya menjadi partai nomor 2 suara
terbanyak dengan jumlah suara yang hampir mendekati PDI Perjuangan, pemenang pemilu
legislatif.
Tim sukses Prabowo-Hatta agaknya terlalu terpaku dalam menggunakan permainan
simbolik gaya lama, dengan penokohan secara tradisional melalui mitologi Priyayi dan
Militer sebagai golongan yang pantas menjadi pemimpin, saya kira ini cara feodal yang telah
lama digunakan sejak masa Orde Baru. Namun demikian, tentu saja masyarakat tradisional
yang percaya pada mitos ini masih sangat banyak, terutama pada mereka yang percaya pada
informasi yang diberikan oleh tokoh-tokoh lokal, sanak-saudara dan kerabat. Jaringan
GOLKAR, HKTI dan MILITER dari tim Prabowo-Hatta masih terbukti sangat kuat untuk
bergerilya hingga ke level paling bawah, ketika saya berkunjung ke Alor NTT sebelum
Pemilu dan bertemu dengan beberapa orang, khususnya pejabat kabupaten hingga kecamatan,
Prabowo dan Golkar masih menjadi rujukan pilihan. Yang terkenang dengan Jokowi justru
anak-anak yang biasa nonton Televisi, karena hampir tiap hari dia diberitakan, anak-anak
muda inilah yang memperkenalkan Jokowi kepada orangtua mereka yang cuek terhadap
informasi terbaru.
Jargon “Jokowi-JK Adalah Kita” menjadi magnet simbolik yang telah mempersatukan
hampir seluruh elemen masyarakat, khususnya non partisan, mereka yang tak berafiliasi pada
partai. Meski ini juga bisa menjadi boomerang ketika mesin partai Jokowi (PDI Perjuangan)
kurang bergerak dan kurang berjuang. Namun, sosok Jokowi yang ndeso, sekaligus popular
melalui citra media dianggap sebagai “Harapan, Hope”. Ia menjadi simbol terjadinya
pembaruan di Indonesia, juga dalam iklim perpolitikan dan kenegaraan di Indonesia. Buat
saya, meskipun nanti jika tanggal 22 Juli 2014, KPU memutuskan bukan pasangan nomor urut
dua yang menjadi pemenang, Jokowi-JK mutlak adalah pemenang “sesungguhnya” dari
PILPRES 2014. Secara simbolik, Jokowi menjadi fenomena Hope, pembaharuan, menjadi
pembius yang memaksa orang sangat antusias untuk berpartisipasi dalam PILPRES 2014,
mereka yang pada beberapa tahun sebelumnya memilih menjadi GOLPUT, kini bahkan rela
untuk bangun pagi, antri di TPS untuk mencoblos. Berbagai euphoria kampanye dukungan
Jokowi-JK yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok non partisan adalah simbol dari
10
kemenangan Jokowi-JK pada PILPRES 2014 ini, termasuk tentu saja saya yang menjadi
bagian dari kelompok “Gagal Golput Karena Jokowi”.
Kalau bukan KITA siapa lagi, Jokowi adalah KITA!
Salam Dua Jari!
11
Daftar Pustaka
Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2012) “Baik dan Buruk dalam Budaya Jawa: Sketsa Tafsir Nilai-
nilai Budaya Jawa, dalam Patrawidya: seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya,
Vol. 13 No. 3 September 2012. Hal. 383-410. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai
Budaya Yogyakarta.
Abdullah, Irwan (2002) Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan
pada Upacara Garebeg, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
-------------------- (2010) Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Asad, Talal (1983) “Anthropological Conception of Religion: Reflection on Geertz” dalam
Man, New Series Vol. 18, No. 2 (June 1983), pp: 237-259. Royal Anthropological