Top Banner
1 Permainan Tafsir Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014 (Tugas Akhir Tafsir Kebudayaan dan Teori Simbol) Oleh: Transpiosa Riomandha 13/354363/PSA/07599 Magister Antropologi UGM Yogyakarta “satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta dua atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu karena diriku bingung harus pilih dia atau dirimu” ~ Gamma Band A. Pendahuluan: Simbol dan Citra Membaca dan mengamati proses pemilihan presiden Indonesia 2014 antar Capres- Cawapres pada beberapa waktu terakhir, baik melalui jejaring media sosial, media massa, media elektronik, ataupun melalui spanduk-spanduk dan selebaran kampanye, adalah hal yang mungkin telah kita ikuti bersama-sama. Sejak ditetapkannya nomor urut 1 untuk pasangan Prabowo - Hatta Rajasa, serta nomor urut 2 untuk pasangan Jokowi - Jusuf Kalla, sejak saat itu pula secara resmi pertarungan simbol atau citra dimulai. Saya katakan secara resmi, karena KPU pada tanggal 1 Juni 2014 telah menetapkan nomor urut bagi pasangan Capres-Cawapres
11

Permainan Tafsir Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

Apr 04, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

1

Permainan Tafsir

Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014 (Tugas Akhir Tafsir Kebudayaan dan Teori Simbol)

Oleh:

Transpiosa Riomandha

13/354363/PSA/07599

Magister Antropologi UGM Yogyakarta

“satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau suka

satu atau dua pilih aku atau dia yang engkau cinta

dua atau satu pilih dia atau kamu aku tak tahu

karena diriku bingung harus pilih dia atau dirimu”

~ Gamma Band

A. Pendahuluan: Simbol dan Citra

Membaca dan mengamati proses pemilihan presiden Indonesia 2014 antar Capres-

Cawapres pada beberapa waktu terakhir, baik melalui jejaring media sosial, media massa,

media elektronik, ataupun melalui spanduk-spanduk dan selebaran kampanye, adalah hal yang

mungkin telah kita ikuti bersama-sama. Sejak ditetapkannya nomor urut 1 untuk pasangan

Prabowo - Hatta Rajasa, serta nomor urut 2 untuk pasangan Jokowi - Jusuf Kalla, sejak saat

itu pula secara resmi pertarungan simbol atau citra dimulai. Saya katakan secara resmi, karena

KPU pada tanggal 1 Juni 2014 telah menetapkan nomor urut bagi pasangan Capres-Cawapres

Page 2: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

2

yang berkompetisi meski sesungguhnya persiapan kompetisi telah dimulai sejak lama,

mungkin sejak Prabowo berpasangan dengan Megawati di Pilpres sebelumnya.

Drama pertarungan pun kemudian dimulai, dramaturgi yang disebut “gerakan

simbolik” menurut Geertz, “drama sosial” menurut Turner, sementara Goffman menyebutnya

sebagai “permainan social” (Geertz 2003: 17-18). Masyarakat Indonesia yang berhak memilih

kemudian terbelah, termasuk mereka yang sedang tak berada di Indonesia. Lagu Gamma

Band sepertinya mewakili situasinya, “pilih satu atau dua aku tak tahu.” Namun demikian,

apakah sesungguhnya memang “tak tahu?” Drama sosial seperti PILPRES memunculkan

konflik antar pendukungnya, perang berita, simbol dan citra visual muncul di berbagai media.

Turner memaparkan bahwa ketika konflik memuncak menjadi krisis, dan emosi telah tumbuh

meledak-ledak, di saat orang sudah mulai merasa bahwa mereka telah disatukan oleh satu rasa

yang sama dan telah lepas dari ikatan sosial mereka, suatu bentuk ritualisme otoritas –

keterlibatan, perseteruan, pengorbanan dan doa – mereka dipanggil untuk memasukkan unsur-

unsur ini, dan menyusunnya dengan baik (Geertz 2003: 18-19). Dengan demikian, diperlukan

penyusunan citra dan simbol-simbol dalam detil-detil tertentu seperti proses pendetilan

individu dan semacamnya, sehingga membentuk “drama-teater” yang kharismatik dan

dipahami di dalam berbagai bentuknya serta melalui pemaknaan proses sosial. Performance,

Presentasi dan Representasi kemudian menjadi penting. Segala proses terkait PILPRES

kemudian dapat dilihat sebagai sebuah Upacara “besar”, kita mengenal istilah “pesta

demokrasi”. Upacara dimana kita menemukan nilai-nilai masyarakat yang sukar kita amati

dalam kehidupan yang biasa, kita juga dapat menemukan kata-kata kunci, “to understanding

of how people think and feel about those relationship, and about the natural and social

environments in which they operate” (Turner via Abdullah 2002).

Manusia pada dasarnya adalah makhluk penafsir, seperti yang dikatakan oleh Cassirer

yakni animal symbolicum, atau hewan yang mampu menciptakan, menggunakan,

mengembangkan simbol-simbol, untuk berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungan

guna melestarikan jenisnya. Kapasitas yang hanya bisa dimiliki manusia dan hanya ada dalam

kehidupan manusia. (Ahimsa-Putra 2012). Hal tersebut sejalan dengan apa yang dilantunkan

oleh Geertz mengenai kebudayaan, adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna

yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditautkan secara menyejarah, serta

merupakan sistem konsep yang diwariskan secara simbolik, dimana dengan cara tersebut

manusia kemudian mampu berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan

dan sikapnya terhadap kehidupan (Abdullah 2002).

Turner (Winangun 1990) mendefinisikan simbol sebagai sesuatu yang dianggap,

dengan persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili

atau mengingatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membayangkan

dalam kenyataan atau pikiran. Istilah “simbol” dan tanda sering digunakan dalam arti yang

sama dengan penggunaan yang berubah-ubah, namun simbol dianggap mampu merangsang

perasaan seseorang, sedangkan tanda tidak. Geertz's mendefinisikan simbol untuk

mengartikan secara denotatif semua obyek, aksi, kejadian, kualitas, atau relasi yang bertindak

sebagai sebuah kendaraan dari sebuah konsepsi, the symbol's "meaning". Namun Asad

mengevaluasi pernyataan Geertz mengenai simbol, dengan mengatakan bahwa simbol bukan

sebuah obyek yang bertindak sebagai sebuah kendaraan dari sebuah konsepsi namun simbol

adalah konsepsi itu sendiri1.

1 Geertz's first task is to define symbol. 'Symbol' will be taken to denote 'any object, act, event, quality, or

relation which serves as a vehicle for a conception -the conception is the symbol's "meaning"' (I973: 9I). But this

simple, clear, statement-in which symbol (any object, etc.) is differentiated from but linked to conception (its

meaning)-is later supplemented by others not entirely consistent with it, for it turns out that the symbol is not an

object which serves as a vehicle for a conception, it is itself the conception. (Asad, 1983)

Page 3: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

3

Sapir yang mengatakan bahwa simbol dibedakan menjadi dua klas. Pertama, simbol-

simbol referensial, biasanya merupakan system pengetahuan yang mengacu pada pemahaman

kenyataan dalam kehidupan manusia. Simbol-simbol referensial berkembang dengan

penguraian formal mengenai apa yang disadari, mencakup pembicaraan oral, bendera, dan

organisasi-organisasi simbol lain yang dianggap sebagai petunjuk. Kedua, adalah simbol-

simbol penyingkatan atau kondensasi yang menjadi penemuan lebih dalam dan mengakar

dalam ketidaksadaran yang menyebabkan sifat emosi terhadap berbagai tipe tingkah laku dan

seringkali situasi ini akan bergerak jauh dari arti sebenarnya. Simbol ini mencakup sebagian

besar simbol-simbol upacara, sebagai bentuk-bentuk penyingkatan yang lebih tinggi untuk

mengelola ekpresi pelepasan ketegangan melalui bentuk-bentuk yang disadari atau tidak

(Abdullah, 2002).

Boulding menjelaskan mengenai citra sebagai bentuk pengetahuan subyektif, dimana

dari sudut pandang individu, citra merupakan gabungan informasi dari pribadi individu serta

pengetahuan budaya dari masyarakat atau publik. Citra terbangun dari pengalaman pemilik

citra itu sendiri, salah satu bagian dari citra adalah proses munculnya kesadaraan tentang citra.

Citra ini kemudian mempengaruhi perilaku seseorang, selain membentuk citra, orang juga

bisa bertingkah laku sesuai dengan citra serta berbicara mengenai citra itu sendiri. Pandangan

ini mirip dengan klas simbol-simbol referensial. Orang belajar merespon secara sadar

mengenai citra-citra dan simbol-simbol yang ada dihadapannya untuk kemudian menjadi

pengetahuan subyektif (Riomandha, 2000). Sekelompok pendukung capres tertentu akan

memiliki citra kolektif yang sama melalui pengetahuan subyektif yang terbangun dari simbol-

simbol referensi yang terbangun. Dengan demikian, system nilai dari individu-individu

pendukung capres akan dilihat secara identik karena mereka membangun dan mengamini

simbol-simbol dan citra secara identik pula.

Sementara itu, Barthes dan Sontag, yang melihat citra sebagai representasi, citra

sebagai sebuah ilusi atau bayangan, copy bukan asli, representasi bukan realitas. Citra

memiliki jarak pada realitas (Riomandha, 2002). Citra kolektif mengkonstruksikan citra

individu untuk tunduk. Ini mirip dengan apa yang dikatakan sebagai simbol penyingkapan,

dimana individu tunduk pada simbol-simbol yang telah mengakar, mengikat dan tidak kita

pertanyakan lagi. Ketika pendukung salah satu pasangan Capres merasa yakin maka ia akan

merasa identic, merasa memiliki identitas yang sama, sepaham, satu ideology, hal-hal absurd

lain yang sudah tak dipertanyakan lagi.

Berangkat dari hal tersebut, saya ingin mencoba untuk menafsirkan kembali simbol-

simbol serta citra-citra yang ditawarkan oleh kedua pasangan Capres-Cawapres, dengan

mengidentifikasi bentuk-bentuk simbol yang digunakan, bagaimana cara penggunaannya,

dimana ruang simboliknya, kemudian logika atau rationalisasi dari penggunaan simbol

tersebut serta efektivitas simbol tersebut. Turner menyebutnya sebagai “prosesual simbologi”

yakni suatu kajian mengenai bagaimana simbol menggerakkan tindakan social dan melalui

proses yang bagaimana simbol memperoleh dan memberikan arti kepada masyarakat dan

pribadi. Apa yang dikatakan Turner ini menjadi sebuah pendekatan yang berpegang pada

dinamika sosial yang berbeda dengan analisis structural yang dianggap statis, sementara pada

dinamika sosial, proses menjadi penting, karena seperti yang dikatakan Jung bahwa simbol

adalah kehidupan (Abdullah, 2002). Dengan demikian, dengan melakukan analisa simbol dan

citra yang dilekat(-lekat)kan pada kedua pasangan Capres-Cawapres, diharapkan dapat

membantu menjelaskan bagaimana nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus

semoga mencoba mengamati bagaimana simbol-simbol dan citra “benar” yang diproduksi dan

ditawarkan.

Dalam melihat penafsiran simbolik, kita bisa melihat penggunaan satu dua hal untuk

mewakili keseluruhan identitas, seperti misalnya Malioboro adalah Jogjakarta. Artinya,

(penggunaan) simbol atau citra merupakan representasi, terjadi pemilihan sebagian untuk

Page 4: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

4

mewakili keseluruhan. Namun demikian, pembangunan citra simbolik yang representatif

tersebut juga membutuhkan strategi dan taktik tertentu sehingga orang akan terpengaruh dan

setuju memiliki pengetahuan subyektif yang sama, citra kolektif yang sama atas simbol yang

ditawarkan. Dengan demikian, pengaminan dan kesepakatan atas penafsiran simbolik

tersebut, pertama, bisa melalui simbol-simbol referensial atau pengetahuan subyektif, dimana

kita perlu “belajar memahami” simbol-simbol terlebih dahulu sebelum kemudian sepakat.

Kedua, melalui simbol-simbol yang bersifat penyingkapan, orang tak mempertanyakan lagi

atas pilihan simbol-simbol, sudah take it for granted. Dua metode tersebut digunakan untuk

membangun simbol-simbol dan citra-citra pada kontes politik pemilihan presiden 2014,

simbol-simbol yang sesungguhnya telah terbangun jauh sebelum dikontestasikan pada masa

kampanye 4 Juni – 5 Juli 2014.

B. Membaca Simbol dan Citra Pesona Personal

Mari kita amati, simbol-simbol yang digunakan untuk merepresentasikan sosok

personal dari kedua calon pasangan, secara khusus pada para Calon Presidennya, yakni antara

Prabowo dan Jokowi. Masyarakat Jawa yang kemudian diamini oleh (mungkin) keseluruhan

masyarakat Indonesia, hampir selalu melihat latar belakang daripada orang yang akan menjadi

bagian dari hidupnya, termasuk calon Presidennya. Prabowo merupakan seorang tokoh yang

memiliki latarbelakang keluarga yang cemerlang, kakeknya seorang tokoh perbankan dan

ayahnya adalah begawan ekonomi. Prabowo sendiri merupakan laki-laki yang (pernah)

memiliki karir cemerlang dalam militer, termasuk menikah dengan mantan putri Presiden.

Pendek kata, dari bibit, bebet dan bobot, Prabowo adalah priyayi yang tak perlu dipertanyakan

lagi kepantasannya sebagai calon Presiden. Sementara Jokowi adalah seseorang yang

misterius, ia seperti tokoh yang tiba-tiba hadir, tak banyak orang tahu siapa dia sebelum

menjadi walikota Solo. Namanya, mencuat ketika belum selesai ia mempimpin Solo, ia sudah

pindah menjadi Gubernur DKI, hingga kemudian dicalonkan sebagai Calon Presiden oleh

partai pengusungnya PDI Perjuangan.

Dua model yang kemudian bisa menjadi bahan untuk “diserang” secara politik dari

pesona personalnya. Prabowo diserang justru karena keluarganya cukup “terkenal” sehingga

seolah bagai buku “terbuka” relasi diri dan keluarganya dengan pihak lain menjadi santapan

politik. Bagaimana dari segi bisnis, Hasjim, Prabowo dikupas relasi internasionalnya dengan

Amerika, Yordania. Kasus peristiwa pra-Reformasi atau 1998 dengan isu pelanggaran HAM

menjadi mitos yang selalu anyang-anyangen, karena dianggap tanpa kepastian hukum yang

jelas. Traumatik komunal atas peristiwa 1998 membuat, massa pendukung Jokowi berusaha

menggunakan isu tersebut untuk menolak kepemimpinan militer ala Prabowo yang dianggap

bagian dari Orde Baru. Singkatan pasanganpun diplesetkan menjadi Prahara (Prabowo-Hatta

Rajasa) Sementara, Jokowi, ketidakjelasan masa lalunya membuat ia sempat dikabar-

kabarkan dalam narasi gelap sebagai seorang Kristen, Tionghoa hingga komunis.

Pamor Prabowo sebagai pemimpin militer lalu membangun partai Gerindra, membuat

ia dianggap sebagai orang yang memiliki jiwa kepemimpinan sekaligus dianggap sebagai

orang yang ambisius menjadi Presiden. Prabowo adalah seorang yang selalu berusaha untuk

menampilkan dirinya sebagai sosok penuh wibawa, orator ulung. Sosok militer yang menjadi

simbol tokoh yang penuh disiplin. Sedangkan Jokowi yang misterius itu, ketika kemudian ia

Page 5: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

5

dicalonkan sebagai Presiden, hampir tak ada yang berubah dari penampilannya, gaya

bicaranya selalu santai, kalem, dan intonasi yang biasa-biasa saja. Jokowi selalu menampilkan

diri sebagai seorang yang “ndeso” dan kader partai yang baik, hal tersebut kemudian bisa

dibaca sebagai orang yang selalu mampu menjaga amanah, sekaligus juga sebagai boneka

partai yang sudah lama terlanjur dimitoskan sebagai partainya “Soekarno Putri”.

Penampilan kostum kedua pasangan, bisa kita baca dan tafsirkan secara simbolik apa

yang sedang mereka tawarkan. Prabowo-Hatta dalam setiap penampilannya, hampir selalu

konsisten dengan baju (kemeja) putih, dan peci. Peci adalah simbol penutup kepala yang biasa

dikenakan oleh laki-laki Islam yang oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno digunakan

sebagai simbol pemersatu Indonesia. Peci adalah Indonesia, bukan cuma Islam. Tradisi yang

kemudian dilanjutkan oleh presiden-presiden berikutnya ketika para menteri berfoto, hampir

semua menteri laki-laki akan selalu menggunakan peci. Prabowo-Hatta seolah ingin

mengingatkan, bahwa ia seperti para pemimpin terdahulu, yang ingin memimpin Indonesia

secara simbolik dengan kostum Indonesia. Peci tersebut secara simbolik seolah menjadi

rangkuman nasionalismenya Gerindra dengan koalisi merah putih, yang kebanyakan terdiri

dari partai bergaya Islam seperti PKS, PPP, PAN, PBB dengan partai “pembangunan” seperti

Golkar, dan (akhirnya) Demokrat.

Sementara Jokowi-Jusuf Kalla, yang diusung oleh partai yang memiliki mitos

nasionalis seperti PDI Perjuangan, Partai NASDEM dan juga partai “aneka rupa” seperti

PKB, HANURA, PKPI, memilih menggunakan kostum yang sebetulnya kurang konsisten,

karena kadang menggunakan peci, kadang tidak, kadang berbaju putih, kadang pakai jas.

Namun demikian, justru hal tersebut bisa dilihat sebagai konsistensi “easy going” dari

pasangan JKW-JK ini. Kemeja kotak-kotak yang mengantar Jokowi menjadi Gubernur DKI,

masih menjadi ciri yang cukup kuat dan melekat. Citra casual yang sekaligus simbol bahwa

mereka siap dan sanggup bergaul dengan orang-orang muda dan orang-orang biasa, karena

kostum mereka seperti kebanyakan orang biasa. Penampilan yang membawa kita kembali ke

urusan “Priyayi vs Cah nDeso”. Bagi yang mempercayai pola kemunculan kepemimpinan

secara tradisional yang hampir selalu berasal dari kalangan Priyayi, maka Prabowo adalah

orang yang tepat. Namun bagi yang percaya akan hadirnya pemimpin dari kalangan biasa,

maka Jokowi adalah orang tersebut.

Page 6: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

6

C. Membaca Permainan Slogan Simbolik

Selepas pengundian nomor urut ditetapkan, maka perlombaan permainan simbolik

melalui kata dan angka resmi dimulai. Nomor 1 (satu) kemudian menjadi simbol bahwa

Prabowo-Hatta siap menjadi yang nomor satu di Indonesia. Bagi Jokowi-JK, angka 2 (dua)

melalui simbol telunjuk dan jari tengah, adalah simbol dari victory (kemenangan), artinya

mereka siap untuk memenangkan Pilpres 2014 ini. Permainan simbolik 1 dan 2 ini, kemudian

berlanjut pada maraknya foto profil di media sosial yang merujuk pada lembar kartu suara

nanti, dimana nomor urut satu akan berada di sebelah kiri, dan nomor urut dua akan berada di

sebelah kanan. Pendukung Jokowi-JK dengan lebih mudah berkata “I stand on the right side”

right yang bisa berarti sebelah kanan atau “yang benar”. Sementara pendukung Prabowo-

Hatta lebih sering menggunakan satu, dalam bahasa Inggris “one” sebagai bagian dari

IndONEsia atau satu sebagai ajakan untuk “bersatu” demi IndONEsia. Tentu saja agak sulit

menggunakan “Kiri jalan terus” mengingat kata “Kiri” masih sulit diterima, karena isu soal

kekirian yang merujuk komunis justru terhembus ke asal-usul pasangan nomor urut 2.

Permainan kata dengan menyebut bahwa nomor satu yang lebih utama, dengan mudah

terbalas dengan berbagai kalimat secara jenaka dari pendukung JKW-JK seperti “keluarga

tetap nomor satu, kalau presiden itu no 2”, “Ibadah itu selalu nomor satu, presiden nomor

dua”, dan sebagainya.

Permainan kata yang kedua adalah slogan simbolik yang digunakan. Prabowo-Hatta

dengan menggunakan slogan “Selamatkan Indonesia”, dan “Indonesia Bangkit” sepertinya

berusaha menampilkan diri sebagai sang juru selamat bangsa. Hal ini bisa dibaca bahwa

mereka menganggap Indonesia sedang berada dalam kondisi genting pada masa (dua) periode

kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketokohan model priyayi dan militer,

kemudian dicitrakan sebagai yang dianggap paling pas untuk menjadi pembangkit dan

penyelamat Indonesia. Hal ini kemudian masih ditambah dengan jargon lainnya yakni

“Cerdas, Tegas dan Mampu”, pada beberapa lokasi kata mampu diganti dengan amanah dan

lain-lain. Priyayi dan Militer adalah perwakilan dari ungkapan simbolik Cerdas dan Tegas.

Suasana “genting” coba ditampilkan kembali dengan slogan, “kalau bukan kita siapa lagi,

kalau bukan sekarang kapan lagi.” Tak ada yang lebih baik dari mereka, dan sekaranglah

saatnya kami memimpin, demikian kira-kira pesan simbolik yang disampaikan pada suasana

yang “genting” ini.

Page 7: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

7

Jokowi-JK menggunakan jargon “JKW-JK adalah kita” dan dilanjutkan dengan “Jujur

Merakyat Sederhana”. Slogan yang secara simbolik seolah hanya ingin mengabarkan apa

yang mereka punya, bukan slogan yang secara simbolik mengajak untuk memilih atau minta

dipilih. Namun demikian, slogan tersebut secara simbolik sedikit berbeda dengan Prabowo-

Hatta yang seolah memisahkan calon pemimpin dan rakyatnya. Jokowi-JK justru berusaha

secara simbolik mengabarkan bahwa mereka adalah bagian dari rakyat, bagian dari rakyat

yang Jujur, Merakyat dan Sederhana. Pernyataan tersebut kemudian ditimpali dengan slogan

Indonesia Hebat. Jokowi-JK tidak berusaha untuk meletakkan Indonesia dalam situasi yang

genting, meski secara simbolik sesungguhnya ia menyindir halus atas rivalnya yang

(mungkin) kurang jujur, kurang merakyat dan kurang sederhana, beberapa narasi keterlibatan

oknum dari koalisi merah putih seperti kasus korupsi hambalang, impor sapi dan dana haji

tertohok di titik ini. Sekaligus sebetulnya pasangan Jokowi-JK juga dianggap kurang Cerdas

dan Tegas, dengan serangan terhadap “masa lalu” orang-orang dibalik layar mereka yang

menjual asset negara seperti Indosat. Namun demikian, secara simbolik kalimat “Jokowi-JK

adalah kita merupakan ajakan bersama-sama bahwa mereka dan rakyat adalah setara, dan

mari bersama membangun Indonesia (yang) Hebat. Indonesia yang tidak dalam suasana

genting, hanya Indonesia sedang kurang hebat.

Pasangan Jokowi-JK tidak menggunakan logo Garuda Pancasila sebagai kampanye

simboliknya, namun mereka mendapatkan “bahan” ketika pasangan Prabowo-Hatta

mengubah lambang negara tersebut menjadi siluet berwarna merah. Pasangan nomor urut satu

tersebut kemudian dianggap menghilangkan pancasila, mengubah lambang negara, dan

Page 8: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

8

mengaitkan warna merah dengan darah yang menetes dari peristiwa 1998 yang mengait-

ngaitkan dengan keterlibatan Prabowo.

D. Kampanye PILPRES: Pertarungan Media

Pertarungan PILPRES kali ini adalah pertarungan simbolik yang melibatkan

penggunaan media. Ketika Surya Paloh bergabung dengan pasangan nomor urut 2, maka

lumrah dan mudah ditebak ketika Metro-TV menjadi peliput utama pasangan Jokowi-JK.

Ketika pasangan WIN-HT pecah kongsi, dimana Wiranto merapat ke Jokowi dan Hary Tanoe

merapat ke Prabowo, maka seluruh televise MNC-Group seperti MNCTV, Global TV dan

RCTI menjadi pendukung pasangan nomor urut 1. Kemudian ditambah ketika GOLKAR tak

menjadi aktor utama PILPRES, maka Aburizal Bakri yang memiliki TV-One dan ANTeve

kemudian merapat ke pasangan Prabowo-Hatta. “Perang media” pun kemudian berlangsung

sengit. Namun demikian yang dilupakan oleh para pendukung Prabowo-Hatta, hampir seluruh

televisi sesungguhnya telah memperkenalkan secara “brutal” bagaimana dan siapa Jokowi

sejak ia berkampanye menjadi Gubernur DKI. Televisi mana yang tidak menayangkan

kegiatan blusukan Jokowi atau semprotan slengekan Ahok yang telah mendekonstruksi gaya

kepemimpinan daerah yang selama ini ada. Saya kira, saingan bintang berita visual dari

Jokowi-Ahok hanyalah Risma, walikota Surabaya. Merekalah penarik berita, yang membuat

seluruh pelosok Indonesia mengenalnya secara lebih “dekat”, secara simbolik.

Penggunaan media sosial popular seperti facebook, twitter, instagram, hingga sms

bertubi-tubi hadir memenuhi layar computer dan layar handphone hampir semua penduduk di

Indonesia yang memiliki akses internet, yang pada durasi terakhir agak dibuat tersendat oleh

menkominfo dengan penutupan beberapa situs serta komentar “buat apa Indonesia perlu

koneksi cepat?” Mungkin menteri yang berasal dari partai yang berkoalisi dengan pasangan

nomor urut satu tersebut, memiliki kepekaan atas peran media-media online yang condong

berpihak pada Jokowi sejak pemilihan Gubernur DKI, wallahualam.

Namun demikian, tak semua orang berdaya untuk mengikuti teknologi secara lebih

bebas. Beberapa masyarakat “tradisional” yang tidak memiliki akses akan informasi secara

cepat lebih memilih mempercayai perkataan tokoh-tokoh setempat, sanak keluarga, kerabat

atau media-media yang mereka terima melalui sms, selebaran atau media alternatif lainnya.

Perang sms, selebaran, hadirnya tabloid “obor rakyat” adalah beberapa model kampanye yang

dilakukan lewat media, mendampingi kampanye melalui tokoh-tokoh lokal, sanak saudara

dan kerabat.

Pasangan Jokowi-JK dengan jejak sejarah dukungan media, kemudian

mengoptimalisasikan penggunaan aneka rupa media tersebut. Beberapa blunder justru

dilakukan oleh pasangan urutan pertama dalam penggunaan media, kasus Ahmad Dani yang

kemudian mendapat respon dari Bryan May atas penggunaan lagu Queen, “We Will Rock

You” tanpa ijin penciptanya yang diubah menjadi lagu kampanye untuk Prabowo, menjadi isu

internasional, sehingga Youtube bahkan merasa perlu untuk melakukan banned atas video

tersebut. Pemaknaan simbolik melalui media juga dilakukan secara optimal oleh pasangan

Jokowi-JK. Kedekatan Jokowi dengan budaya popular, sanggup menjadi salah satu modal ia

dikenal oleh banyak seniman dan artis, tak hanya di dalam negeri namun juga hingga luar

negeri. Dukungan Sting, Arkana, Jason Mraz dengan hastag #jokowi9juli mampu

menunjukkan bahwa Indonesia hari ini, adalah Indonesia yang memiliki relasi dengan hal-hal

di luar Indonesia itu sendiri. Kebudayaan Indonesia dengan demikian adalah kebudayaan

yang terbentuk juga melalui relasi dengan budaya-budaya lainnya, Appadurai menyebutnya

sebagai deteritorialisasi budaya (Abdullah 2010). Penggunaan simbol internasional yang

dilakukan oleh tim Prabowo-Hatta dengan jargon Macan Asia, agaknya kurang dioptimalkan

oleh timsesnya, karena selain pada media televisi yang mendukung mereka, penggunaan di

media massa dan media sosial kurang gaungnya.

Page 9: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

9

Momen piala Dunia juga digunakan untuk melakukan dukungan pada pasangan

Capres-Cawapres secara jenaka, misalnya Uruguay menang 2-1 atas Inggris, dua tentu

menang dari satu. Hingga ketika kemudian Brasil dibantai oleh Jerman dengan 7-1,

diplesetkan menjadi 7okow1. Pendukung Prabowo juga menggunakan 1 sebagai tanda, ketika

Argentina menang 1-0 atas Belgia, atau pertandingan Brasil-Jerman 1-7 itu dimaknai sebagai

nomor 1 adalah presiden ke-7..

Secara jenaka, beberapa media sosial, menyamakan fenomena Jokowi dengan

fenomena Obama, terutama sebagai orang yang disimbolkan pembawa perubahan, harapan.

Foto Jokowi berlari di panggung, pada kampanye terakhir di Jakarta ketika membaca

maklumat, diperbandingkan dengan foto kegesitan Obama ketika lari menuju panggung.

Simbol pemimpin yang gesit. Beberapa othak-athik gathuk jenaka lainnya adalah seperti

misalnya, penyamaan nomor 7 dengan huruf J, juga ditampilkan di media sosial yang

diartikan bahwa Presiden ke 7 adalah 7okowi.

E. Epilog

Dari keseluruhan analisa pembacaan saya, kemisteriusan latar belakang Jokowi

sesungguhnya adalah salah satu faktor pendorong yang menempatkan dia sebagai orang yang

betul-betul “baru”, secara personal ia tak punya keterkaitan dengan berbagai persoalan politik

pada masa orde baru hingga orde SBY ini. Betul bahwa beberapa orang yang ada di balik

dirinya merupakan bagian dari masalah masa lalu. Kecerdikan memilih Jusuf Kalla sebagai

wakil adalah pilihan politik untuk meraih suara luar Jawa khususnya Indonesia Timur,

sekaligus untuk memperoleh suara Golkar yang sesungguhnya menjadi partai nomor 2 suara

terbanyak dengan jumlah suara yang hampir mendekati PDI Perjuangan, pemenang pemilu

legislatif.

Tim sukses Prabowo-Hatta agaknya terlalu terpaku dalam menggunakan permainan

simbolik gaya lama, dengan penokohan secara tradisional melalui mitologi Priyayi dan

Militer sebagai golongan yang pantas menjadi pemimpin, saya kira ini cara feodal yang telah

lama digunakan sejak masa Orde Baru. Namun demikian, tentu saja masyarakat tradisional

yang percaya pada mitos ini masih sangat banyak, terutama pada mereka yang percaya pada

informasi yang diberikan oleh tokoh-tokoh lokal, sanak-saudara dan kerabat. Jaringan

GOLKAR, HKTI dan MILITER dari tim Prabowo-Hatta masih terbukti sangat kuat untuk

bergerilya hingga ke level paling bawah, ketika saya berkunjung ke Alor NTT sebelum

Pemilu dan bertemu dengan beberapa orang, khususnya pejabat kabupaten hingga kecamatan,

Prabowo dan Golkar masih menjadi rujukan pilihan. Yang terkenang dengan Jokowi justru

anak-anak yang biasa nonton Televisi, karena hampir tiap hari dia diberitakan, anak-anak

muda inilah yang memperkenalkan Jokowi kepada orangtua mereka yang cuek terhadap

informasi terbaru.

Jargon “Jokowi-JK Adalah Kita” menjadi magnet simbolik yang telah mempersatukan

hampir seluruh elemen masyarakat, khususnya non partisan, mereka yang tak berafiliasi pada

partai. Meski ini juga bisa menjadi boomerang ketika mesin partai Jokowi (PDI Perjuangan)

kurang bergerak dan kurang berjuang. Namun, sosok Jokowi yang ndeso, sekaligus popular

melalui citra media dianggap sebagai “Harapan, Hope”. Ia menjadi simbol terjadinya

pembaruan di Indonesia, juga dalam iklim perpolitikan dan kenegaraan di Indonesia. Buat

saya, meskipun nanti jika tanggal 22 Juli 2014, KPU memutuskan bukan pasangan nomor urut

dua yang menjadi pemenang, Jokowi-JK mutlak adalah pemenang “sesungguhnya” dari

PILPRES 2014. Secara simbolik, Jokowi menjadi fenomena Hope, pembaharuan, menjadi

pembius yang memaksa orang sangat antusias untuk berpartisipasi dalam PILPRES 2014,

mereka yang pada beberapa tahun sebelumnya memilih menjadi GOLPUT, kini bahkan rela

untuk bangun pagi, antri di TPS untuk mencoblos. Berbagai euphoria kampanye dukungan

Jokowi-JK yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok non partisan adalah simbol dari

Page 10: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

10

kemenangan Jokowi-JK pada PILPRES 2014 ini, termasuk tentu saja saya yang menjadi

bagian dari kelompok “Gagal Golput Karena Jokowi”.

Kalau bukan KITA siapa lagi, Jokowi adalah KITA!

Salam Dua Jari!

Page 11: Permainan Tafsir  Kampanye Pemilihan Presiden Indonesia 2014

11

Daftar Pustaka

Ahimsa-Putra, Heddy Shri (2012) “Baik dan Buruk dalam Budaya Jawa: Sketsa Tafsir Nilai-

nilai Budaya Jawa, dalam Patrawidya: seri penerbitan penelitian sejarah dan budaya,

Vol. 13 No. 3 September 2012. Hal. 383-410. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai

Budaya Yogyakarta.

Abdullah, Irwan (2002) Simbol, Makna dan Pandangan Hidup Jawa: Analisis Gunungan

pada Upacara Garebeg, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

-------------------- (2010) Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Asad, Talal (1983) “Anthropological Conception of Religion: Reflection on Geertz” dalam

Man, New Series Vol. 18, No. 2 (June 1983), pp: 237-259. Royal Anthropological

Institute of Great Britain and Ireland.

Geertz, Clifford (2003) Pengetahuan Lokal: Esai-esai Lanjutan Antropologi Interpretatif.

Penerjemah Vivi Mubaikah, Apri Danarto S. IP. Yogyakarta: Rumah Penerbitan

Merapi.

Riomandha, Transpiosa (2000) “Dunia (Citra) Kaki Lima Malioboro” dalam Permainan

Tafsir: Politik Makna di Jalan pada Penghujung Orde Baru”. Hal. 32-59.

Yogyakarta: Insist Press dan Jerat Budaya bekerja sama dengan Pustaka Pelajar

Winangun, Y.W. Wartaya (1990) Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas

Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

*Seluruh foto adalah bersumber dari hasil pencarian melalui “Google Image”