This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT:
UPAYA PENCEGAHAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT
DENGAN ADANYA HAK PELAYARAN INTERNASIONAL
DI PERAIRAN INDONESIA
Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar Tetap
dalam Bidang Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum,
Diucapkan di Hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Yang terhormat, Bapak Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Sumatera Utara, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Senat Akademik Universitas Sumatera Utara, Bapak Ketua dan Bapak/Ibu Anggota Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak/Ibu Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara Para Dekan dan Pembantu Dekan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, Ketua Lembaga dan Unit Kerja di lingkungan Universitas Sumatera Utara, Para Dosen dan Karyawan serta segenap Sivitas Akademika Universitas Sumatera Utara, Bapak dan Ibu para undangan, teman sejawat, keluarga dan handai taulan, para mahasiswa, dan hadirin yang saya muliakan. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena pada hari yang berbahagia ini kita diberi-Nya rahmat dan karunia berupa kesehatan sehingga dapat hadir di tempat ini. Berkat rahmat dan karunia-Nya pulalah, saya pada hari ini berkesempatan untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum USU dalam rapat terbuka Universitas Sumatera Utara, di hadapan majelis yang mulia ini. Pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih khususnya kepada Bapak Menteri Pendidikan Nasional atas kepercayaan yang dilimpahkan kepada saya untuk menjabat Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Internasional sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 52661/A2.7/KP/2005 terhitung mulai tanggal 1 November 2005. Hadirin yang terhormat, Dengan mengharap ridho dari Allah SWT perkenankan saya menyampaikan pidato pengukuhan di hadapan Bapak/Ibu para hadirin, yang berjudul: PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT: UPAYA PENCEGAHAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DENGAN ADANYA HAK PELAYARAN INTERNASIONAL DI PERAIRAN INDONESIA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN Posisi wilayah Indonesia memiliki letak geografis yang unik. Di samping letak kepulauan Indonesia yang berada pada garis khatulistiwa, juga posisi geografis ini menurut kenyataannya adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang berada pada posisi silang dunia, di antara dua benua yaitu benua Asia - Australia dan di antara dua samudera yaitu Samudera Indonesia-Pasifik.1 Demikian pula dengan perbandingan wilayah laut yang lebih luas daripada wilayah daratannya.2 Sejak tanggal 16 November 1994, Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea 1982) telah berlaku efektif (enter into force).3 Dengan berlakunya konvensi ini maka luas wilayah Indonesia adalah 8.193.250 km², yang terdiri dari 2.027.087 km² daratan dan 6.166.163 km² lautan. Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km² laut teritorial, 2,8 juta km² perairan nusantara (perairan kepulauan), dan 2,7 juta km² Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.4 Pada wilayah laut inilah terdapat lingkungan laut Indonesia. Hadirin yang terhormat, Pada lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik kekayaan alam hayati maupun non-hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sangat penting untuk melindungi lingkungan laut dari ancaman pencemaran, seperti ancaman pencemaran yang bersumber dari kapal. Hal ini dilakukan agar lingkungan laut dapat dinikmati secara berkelanjutan,5 baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Dengan demikian, terdapat ketergantungan pada sumber kekayaan alam di laut dalam jumlah dan kualitas yang memenuhi syarat dan tersedia secara berkelanjutan.
Teori Perlindungan Lingkungan Laut Teori tentang perlindungan lingkungan laut dalam kerangka hukum internasional (dalam hal ini Hukum Lingkungan Internasional), sebenarnya merupakan akumulasi dari The Principle of National Sovereignity and The Freedom of The High Sea. Umumnya, argumentasi yang dikemukakan di sini adalah "a right on the part of a state threatened with environmental injury from sources beyond its territorial jurisdiction, at least where those sources are located on the high seas, to take reasonable action to prevent or abate that injury."6
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Perkembangan teori perlindungan lingkungan laut dapat ditelusuri dari pendapat Grotius, dikenal dengan teorinya mare liberum, yang memandang bahwa pemanfaatan lingkungan laut berdasarkan konsepsi the freedom of the sea. Pendapat ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan "pelayaran internasional" bagi perdagangan, atau sebagai jus communis. Mengenai perikanan, Grotius mempunyai pandangan yang sejalan dengan konsep kebebasan di laut lepas. Perikanan harus terbuka bagi semua orang, hal ini didasarkan pada pendapat bahwa laut merupakan sumber kekayaan yang tidak ada habisnya. Teori ini ditentang oleh Selden, dikenal dengan teori mare clausum, ia menyatakan bahwa argumentasi yang menyatakan laut merupakan sumber kekayaan yang tidak terhabiskan (inexhaustible) sama sekali tidak beralasan.7 Selanjutnya, Pontanus mengajukan teori yang merupakan kompromi antara teori mare liberum dan mare clausum dengan membagi laut dalam dua bagian, yakni laut yang berdekatan dengan pantai (adjacent sea) dapat jatuh di bawah pemilikan atau kedaulatan negara pantai,8 sedangkan di luar itu laut bersifat bebas. Dalam perkembangannya, pada abad pertengahan doktrin kedaulatan modern didasari oleh 2 (dua) hal yang mendasar, yaitu:9
(1) pada satu segi kedaulatan timbul karena adanya kekhawatiran dari
negara-negara nasional yang baru merdeka untuk menegaskan kemerdekaan total, termasuk pengembangan perekonomiannya, dan menghilangkan intervensi bangsa-bangsa feodal atau intervensi negara-negara besar,
(2) pada segi lain merupakan akumulasi dari negara-negara baru merdeka untuk membentuk hukum baru bagi pengaturan wilayahnya.
Dengan berkembangnya konsepsi the new economic use for the sea yang pada waktu itu didasarkan pada anggapan bahwa "all state possessed their shores in those parts of the sea that touches their shores", hingga sekarang mengalami perkembangan yang pesat.10 Oleh sebab itu, dari sudut sejarah latar belakang penguasaan kekayaan alam di laut dapat diidentifikasi sekurang-kurangnya tiga hal pokok:11
(1) aspek ekonomi dari persoalan yang diperdebatkan antara Grotius dan Selden tentang laut bebas dan laut tertutup, juga dipersoalkan aspek keterbatasan kekayaan alam hayati laut yang hingga sekarang masih tetap relevan,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
(2) doktrin mare liberum dari Grotius juga mengakui adanya kebutuhan negara pantai untuk menguasai bagian laut (maritime zone) yang didasarkan pada practical need yang kemudian dikenal sebagai laut teritorial yang jatuh di bawah kekuasaan negara pantai, sedangkan lingkungan laut di luarnya menjadi laut lepas,
(3) perkembangan yang terjadi setelah Perang Dunia II yang diawali dengan gerakan penguasaan kekayaan alam dan lingkungan laut, berdasarkan Proklamasi Truman 1945 oleh Amerika Serikat.
Sebagai dasar falsafah dari perlindungan lingkungan laut adalah pertimbangan nilai-nilai dan rasa keadilan secara luas, baik dilihat dari segi moral maupun dari segi kehidupan sosial terhadap negara pantai dan pengguna laut (yang melakukan kegiatan/usaha di laut). Mereka yang melakukan kegiatan atau usaha untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri adalah wajar bila harus menanggung risiko akibat kegiatannya. "Special Area" dalam Perlindungan Lingkungan Laut Negara pantai dibolehkan melindungi lingkungan lautnya dengan menetapkan ketentuan-ketentuan khusus guna mencegah terjadinya pencemaran dari kapal dalam hal situasi-situasi khusus, misalnya dengan alasan teknis yang diakui berkaitan dengan persyaratan menyangkut bidang ekologi dan oseanografi, demikian pula dengan penggunaan sumber-sumber dan sifat-sifat khusus dari lalu lintas pelayaran.12 Juga didasarkan pada sifat lingkungan lautnya yang unik, berdasarkan pertimbangan adanya sistem nilai khusus dalam setiap negara (the system of values prevailing in each country). 13
Untuk perlindungan lingkungan laut pada daerah yang sangat luas, kemungkinan terdapat wilayah-wilayah lingkungan laut tertentu yang menjadi prioritas, karena tidak mungkin untuk melindungi wilayah lingkungan laut secara keseluruhan. Wilayah pantai yang sensitif dapat lebih diutamakan, pada wilayah ini diperlukan upaya perlindungan yang lebih ketat dibanding dengan wilayah laut lainnya.14 Bagi negara yang mempunyai pantai lebih panjang, kemungkinan risiko pencemaran lebih tinggi dibanding negara yang mempunyai pantai pendek. Pantai yang panjang lebih kompleks interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan lainnya sehingga jika terjadi pencemaran akan lebih menyulitkan dalam hal penanggulangannya.15 Adapun faktor yang harus dipertimbangkan meliputi: fisheries, mariculture, bird and other wildlife, areas of particular environmental significance, e.g. wetlands, industrial use
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
seawater, e.g. in power stations, desalination plants, amenity beaches, yachting and other recreational facilities.16 Dengan demikian, konsep special areas didasarkan pada oceanographical, ecological, and the particular character of its traffic yang didasarkan pada penelitian yang mendalam menyangkut aspek-aspek lingkungan.17 Adapun dasar pertimbangan yang diperoleh dari penelitian-penelitian, dapat diketahui bahwa lingkungan laut memang sangat rentan terhadap zat pencemar (special environmental sensitive). Dengan demikian, negara yang akan membuat ketentuan khusus pada lingkungan lautnya, harus disertai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, juga disertai dengan teknik yang mendukung dan informasi yang akurat. 18 Ketentuan-ketentuan khusus tersebut harus pula diiringi dengan kewajiban-kewajiban untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan internasional melalui perairan nasional, misalnya dalam bentuk adanya hak lintas bagi kapal-kapal asing.19 Ketentuan-ketentuan khusus bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari kapal harus diberitahukan kepada IMO (International Maritime Organization), sebagai organisasi yang berkompeten.20 Faktor-faktor yang perlu menjadi pertimbangan menurut IMO meliputi:21
(a) availability of local knowledge, (b) the practicality of protecting a particular resource, (c) relative importance of competing demands, (d) variations in priorities due to seasonal factors, such as fish and bird
breeding season and holiday season, (e) alterations might be necessary to these priorities if some resources
are impacted before defences can be established. Kasus yang pernah terjadi pada special environmental sensitive yang memberikan dampak serius pada lingkungan laut adalah peristiwa Exxon Valdez Case (1989). Kapal tanker Exxon Valdez menumpahkan minyak pada wilayah laut Prince William Sound, Alaska. Kasus ini dirasakan oleh masyarakat internasional sangat sulit untuk menanggulanginya, terutama usaha pembersihan minyak yang tumpah.22 Belajar dari peristiwa ini telah menggugah masyarakat internasional untuk mengambil langkah-langkah, baik dalam bentuk pencegahan maupun dalam penanggulangan pencemaran lingkungan laut.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Ketentuan-ketentuan internasional memang telah mengubah pola pendekatan terhadap perlindungan lingkungan laut. Ketentuan-ketentuan sebelumnya mensyaratkan pendekatan umum untuk semua rezim kelautan tanpa melihat bagaimana kondisi lingkungan laut suatu negara. Sedangkan pendekatan sekarang merupakan "new special approaches to certain areas".23 Adanya perkembangan yang baru dan penting adalah dengan diterimanya konsep "special areas" menyangkut jumlah maksimum yang diizinkan bagi buangan kapal ke laut pada daerah-daerah tertentu,24 disebut special protected area (daerah perlindungan khusus). Daerah perlindungan khusus ditetapkan berdasarkan kriteria "where for recognized technical reason in relations to its oceano-graphical and ecological conditions and to the particular character of its traffic the adoption of special mandatory methods for the prevention of sea pollution by oil is required". Pada saat ini wilayah laut yang diakui sebagai special area meliputi Laut Mediterania,25 Laut Hitam, Laut Baltik, Laut Merah, Teluk Persia, dan lain sebagainya.26 Perkembangan menyangkut klaim negara atas special area pada daerah lingkungan laut adalah keberhasilan yang diperlihatkan oleh Australia dengan perhatiannya yang cukup besar untuk membuktikan adanya "adequate powers" untuk melindungi "The Great Barrier Reef". Usaha Australia ini mencapai kesuksesan dengan tercapainya "International Agreement in 1971 to Amandements to OILPOL" dengan alasan "nearest land". Nearest land dalam persetujuan ini merupakan "the outer edge of The Great Barrier Reef".27
Bagi Indonesia dengan kondisi lingkungan laut yang unik, sebenarnya dapat mengatur sebagian wilayah lautnya sebagai "special area". Diatur secara khusus dengan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan internasional, seperti Konvensi Hukum Laut 1982, OILPOL 1954 berikut amandemennya, dan MARPOL 1973/78 berikut amandemennya. Penerapan Alur Lintas Kepulauan Indonesia (ALKI) pada Perairan Indonesia Pengakuan internasional melalui Konvensi Hukum Laut 1982 atas negara kepulauan Indonesia,28 membawa konsekuensi dengan kewajiban untuk memberikan akomodasi bagi pelayaran internasional pada perairannya dalam bentuk:29
(1) hak lintas alur laut kepulauan, (2) hak lintas damai.30
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Konsep hak lintas alur laut kepulauan (Indonesia menyebut lintas alur laut kepulauannya dengan "Alur Laut Kepulauan Indonesia"-ALKI), merupakan hal yang baru di dalam ketentuan tentang kelautan. Setelah Indonesia meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985 tanggal 13 Desember 1985, maka Indonesia mulai memikirkan dan berusaha untuk menetapkan alur-alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) melalui perairan nusantara Indonesia.31 Penetapan ALKI harus sesuai dengan konsep yang terdapat pada Konvensi Hukum Laut 1982,32 di mana "all ships and aircrafts" memperoleh "right of archipelagic sea lanes passage".33 Indonesia dalam memberikan hak lintas alur kepulauan atas perairan kepulauannya harus mencakup semua tempat lewat yang biasa dipakai untuk pelayaran dan penerbangan internasional (all normal passage routes used as routes for international navigation or overflights), dengan catatan bahwa jika di satu tempat ada beberapa tempat lewat yang kira-kira sama kemudahannya, maka cukuplah satu saja ditetapkan sebagai alur (duplication of routes of similar convenience between the same entry and exit points shall not be necessary).34
Dengan demikian, sebagai negara kepulauan dengan posisi adanya hak pelayaran internasional menjadikan posisi lingkungan laut Indonesia berpotensi tercemar. Dalam rangka mendukung posisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari segala ancaman, termasuk ancaman dari pencemaran yang bersumber dari kapal asing, diperlukan upaya-upaya maksimal untuk menentukan alur-alur laut pada perairan kepulauan Indonesia. Dalam penetapan ALKI perlu diperhitungkan jangan sampai merugikan kepentingan nasional Indonesia atas pemanfaatan kekayaan lautnya dan dari segala ancaman pencemaran yang bersumber dari kapal yang dapat merugikan negara. Untuk mencegah hal demikian, diperlukan upaya-upaya penelitian dan identifikasi yang mendalam pada kawasan yang akan dijadikan ALKI. Penelitian dan identifikasi yang mendalam di kawasan yang dilewati ALKI, antara lain meliputi:35
(1) intensitas lalu lintas lokal atau yang memotong ALKI, (2) lokasi daerah-daerah penangkapan ikan yang padat dan intensif, (3) lokasi daerah-daerah eksplorasi dan eksploitasi migas yang sedang
berlangsung, (4) lokasi pipa-pipa dan kabel-kabel bawah laut,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
(5) lokasi daerah-daerah wisata, khususnya pantai-pantai dan pulau- pulau wisata yang berdekatan dengan ALKI,
(6) lokasi-lokasi daerah yang sensitif di bidang lingkungan laut, (7) identifikasi kemampuan fasilitas yang ada di sepanjang ALKI untuk
menghadapi segala kemungkinan, baik pencemaran lingkungan laut maupun pengamanan dan penegakan hukum.
Sesuai dengan persyaratan yang menyebutkan bahwa the coastal state is required only to take into account the recommendations of the competent international organization, whereas a state boudering an archipelagic state may designate sea lanes and prescribe traffic separation schemes or substitute them only after they have been adopted by the competent international organization and agreed to by the state concerne.36 Pada tanggal 15 Februari 1996, Indonesia secara formal telah mengusulkan kepada IMO mengenai penetapan tiga ALKI beserta cabang-cabangnya di perairan Indonesia,37 yaitu: ALKI I di bagian Utara bercabang menuju Singapura (IA), dan menuju Laut Cina Selatan, ALKI II melalui Selat Lombok menuju Laut Sulawesi, dan ALKI III di bagian selatan bercabang tiga menjadi ALKI III A, III-B, III-C, dan yang di bagian utara III-D bercabang menuju Laut Sulawesi (III-E) dan Samudera Pasifik.38 Usul Indonesia dalam penetapan ALKI ini telah dibahas dalam Sidang Komite Keselamatan Pelayaran ke-67 (Maritime Safety Committee/MSC-67) pada bulan Desember 1996 dan Sidang Sub-Komite Keselamatan Navigasi IMO ke-43 (NAV-43) di London pada bulan Juli 1997. Sidang Majelis IMO ke-20 pada bulan Desember 1997 telah menyetujui prosedur dan ketentuan-ketentuan mengenai penetapan ALKI sekaligus mengesahkan MSC-67 untuk membahas usul Indonesia. Jika memenuhi syarat, MSC-67 dapat diterima tanpa perlu lagi dibawa kepada sidang majelis IMO ke-21 tahun 1999.39 Pada tanggal 19 Mei 1998, Sidang Pleno Maritime Safety Committee (MSC-69) IMO secara resmi telah menerima (adopt) tiga ALKI yang diusulkan Indonesia.40 Indonesia adalah negara kepulauan pertama yang mengusulkan penetapan alur laut kepulauannya sesuai dengan Konvensi Hukum Laut 1982.41 Indonesia sebelumnya sudah pernah menetapkan alur laut bagi kapal-kapal penangkap ikan asing untuk melintasi perairan Indonesia, yaitu melalui Selat Lombok dan Selat Makassar, namun dalam kerangka hak lintas damai bagi pelayaran internasional.42
Jika keadaan menghendaki, Indonesia dapat merubah alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
dengan alur laut atau skema pemisah lalu lintas lainnya, "an archipelagic state may, when circumstances require, after giving due publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation scheme for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or prescribed by it".43 Alur laut dan skema pemisah tersebut harus sesuai dengan ketentuan internasional yang diterima secara umum. Jika Indonesia berniat mengganti alur laut/skema pemisah lalu lintas, maka Indonesia harus mengajukan usulan tersebut kepada IMO.44 Hak pelayaran internasional yang diberikan pada kapal-kapal asing sudah pasti menimbulkan potensi pencemaran pada lingkungan laut Indonesia. Dengan memberikan keleluasaan yang lebih besar bagi pelayaran internasional melalui hak lintas alur laut kepulauan dibanding hak lintas damai, justru akan menimbulkan potensi pencemaran yang lebih besar pada lingkungan laut Indonesia. Untuk mengantisipasi kondisi posisi geografis Indonesia dan adanya hak pelayaran internasional pada perairan Indonesia, menimbulkan pertanyaan apakah untuk melindungi lingkungan lautnya dari ancaman pencemaran, Indonesia dapat mencegah berlayarnya suatu kapal, terutama kapal asing yang diidentifikasi dapat mencemari lingkungan laut? Konsep pencegahan pencemaran merupakan penggunaan proses, praktik bahan energi guna menghindarkan atau mengurangi timbulnya pencemaran. Pencegahan pencemaran secara fundamental mengalihkan fokus perlindungan lingkungan dari penanggulangan melalui end-of pipe yang reaktif dengan pengolahan pencemaran setelah terjadinya pencemaran ke pemikiran front-of process yang preventif dengan menekankan bahwa pencemaran seharusnya tidak boleh terjadi,45 termasuk pencemaran lingkungan laut sebagai akibat adanya sarana pelayaran internasional pada wilayah perairan suatu negara. Pada saat ini, upaya pencegahan terhadap pelayaran kapal-kapal yang mengangkut zat-zat berbahaya yang dapat mencemari lingkungan laut merupakan suatu praktik yang kontroversial pada masyarakat internasional. Kontroversial pada masyarakat internasional atas pencegahan pencemaran lingkungan laut ini dapat dilihat pada pengiriman "ultrahazardous radioactive cargo" melalui laut. Umumnya negara-negara pantai yang dilalui kapal yang membawa kargo tersebut keberatan dengan alasan perlindungan lingkungan laut seperti yang terjadi dalam Akatsuki Maru Case (1992).46
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Walaupun masyarakat internasional sudah berusaha untuk mengambil tindakan positif guna menghindari risiko terjadinya pencemaran dari pengiriman "ultrahazardous radioactive cargo", baik langkah yuridis maupun non-yuridis, namun potensi terjadinya pencemaran lingkungan laut merupakan hal yang dikhawatirkan oleh negara pantai. Terlebih lagi jalur pelayaran tersebut dilihat dari segi kondisi lingkungannya merupakan jalur yang potensial terjadinya pencemaran. Perbedaan atas persepsi risiko dari pengiriman "ultrahazardous radioactive cargo" pada masyarakat internasional terhadap lingkungan laut telah menimbulkan problematika. Di satu pihak, adanya industri nuklir yang menginginkan pengiriman atas zat tersebut melalui laut berdasarkan hak-hak pelayaran internasional yang dibenarkan dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Selanjutnya ada negara-negara pantai yang perairannya merupakan rute dari pelayaran, padahal lingkungan lautnya merupakan salah satu sumber kekayaan alam, baik sumber kekayaan hayati maupun non-hayati. Pada pihak lainnya terdapat "the international agencies" yang menetapkan standar packing atas kapal-kapal (saat ini disebut type B standard) yang mengangkut material ultrahazardous radioactive cargo. International agencies yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah International Atomic Energy Agency (IAEA). Selanjutnya terdapat organisasi-organisasi lingkungan internasional sebagai pemerhati masalah lingkungan. Walaupun sudah terdapat badan internasional yang bertanggung jawab atas standar packing, namun kekhawatiran masyarakat internasional masih besar akan timbulnya bencana. Kesalahan pada "the containment system" dapat mengakibatkan bencana serius. Bencana serius ini dapat terjadi jika terdapat kebocoran pada kontainer yang mengangkut bahan radio aktif.47 Untuk mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan dari organisasi-organisasi lingkungan, dan juga dari negara-negara pantai maka IAEA melakukan suatu "coordinated research program" dalam rangka memperkuat "type B standard". Hal ini dilakukan agar penggunaan type B standard cukup aman bagi perlindungan manusia dan lingkungan.48
Tingginya tingkat potensi terjadinya masalah lingkungan seperti pencemaran lingkungan laut dapat dilihat pula dari bagaimana kondisi lingkungan laut, misalnya terdapat berbagai jenis dan bidang dari aktivitas manusia di sekitar lingkungan laut, perbedaan perubahan iklim, sirkulasi permukaan, keadaan geologis dari lingkungan laut, dan lain sebagainya.49
Alasan pembenaran dari keberatan yang diajukan negara-negara pantai di antaranya adalah penafsiran dari negara-negara pantai bahwa a vessel carrying such a hazardous cargo could be engaging in no-innocent passage
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
under the terms of Article 19. While, the environmental risk of such a voyage may be high, the LOS only recognises that a voyage is not innocent if an "act of wilful or serious pollution contrary to this convention" accurs. Sedangkan alasan lain yang dapat dibenarkan adalah adanya persyaratan bagi kapal asing bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya dan beracun, jika melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorial, harus membawa dokumen dan mematuhi tindakan pencegahan khusus yang ditetapkan oleh perjanjian internasional.50 Alasan pembenaran lainnya tentang keberatan negara pantai atas pelayaran kapal yang dikategorikan mengangkut “ultrahazardous radioactive cargo" adalah dengan adanya prinsip yang dinamakan "Precautionary Principle". Precautionary Principle juga diterapkan pada Deklarasi Rio 1992. Penerapan Precautionary Principle adalah dalam rangka melindungi hak-hak negara pantai atas lingkungan lautnya pada jalur-jalur pelayaran internasional, yang mana pelayaran tersebut merupakan "hazardous transports".51 Namun perlu diketahui bahwa Precautionary Principle tidak dapat diterapkan dalam semua risk regulation.52
Precautionary Principle juga telah diadopsi oleh The 1990 Bergen Ministerial Declaration on Sustainable Development yang menyatakan bahwa, "environmental measures must anticipate, prevent and attack the causes of environmental degradation. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainly should not be used as a reason for postponing measures to prevent environmental degradation".53
Manakala negara-negara pantai mempunyai dasar yang kuat untuk menduga bahwa kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam yurisdiksi atau di bawah pengawasannya dapat menimbulkan pencemaran yang berarti atau perubahan yang menonjol dan merugikan terhadap lingkungan laut, negara-negara tersebut harus sedapat mungkin menilai efek potensial dari kegiatan tersebut terhadap lingkungan, dan harus menyampaikan laporan hasil penilaian termaksud kepada IMO.54
Adanya bahaya yang mengancam dari hazardous transports, mewajibkan negara untuk mengumumkan setiap adanya bahaya bagi pelayaran dalam perairannya, termasuk pada alur laut kepulauan. Kapal-kapal yang berlayar pada alur laut kepulauan diharuskan:55
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
(1) memenuhi ketentuan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktik tentang keselamatan di laut, dan pencegahan tubrukan di laut,
(2) memenuhi ketentuan internasional yang diterima secara umum, prosedur dan praktik tentang pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran yang berasal dari kapal.
Indonesia dapat menolak kapal asing yang mengangkut bahan-bahan yang berbahaya dan beracun lainnya seperti nuklir,56 jika kapal tersebut tidak memberitahukan dan berkonsultasi mengenai jalur yang akan dilaluinya, prosedur tentang emergency, dan ketentuan tentang tanggung jawab (liability arrangements) yang terdapat pada kapal.57 Ketentuan ini sudah diadopsi oleh Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan. Peraturan pemerintah ini merupakan ketentuan pelaksana seperti yang termuat dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Upaya pencegahan pencemaran lingkungan laut dapat dilakukan Indonesia dengan pertimbangan yang didasarkan atas Konvensi Hukum Laut 1982 dan Precautionary Principle (Prinsip Kehati-hatian), juga didasarkan atas ketentuan-ketentuan Nasional Indonesia seperti UU No. 6 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002. Di samping rasio untuk kepentingan negara pantai, sebenarnya rasio ini juga berlaku bagi keselamatan kapal dalam pelayarannya, dan pada akhirnya juga demi kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan. Yurisdiksi Penegakan Hukum Lingkungan Laut
Perubahan-perubahan dengan adanya yurisdiksi penegakan hukum pada negara pelabuhan (port state) dan negara pantai (coastal state) disamping negara bendera (flag state), pada awalnya merupakan perdebatan panjang dari masyarakat internasional. Hal ini merupakan langkah revisi yang cukup radikal terhadap hukum yang ada sebelumnya. Dalam kerangka revisi atas yurisdiksi penegakan hukum terdapat dua hal yang pokok.58
Hal pokok pertama, adanya kewajiban negara bendera untuk menjamin dipenuhinya persyaratan yang terdapat dalam ketentuan-ketentuan internasional oleh kapal-kapal yang memakai benderanya. Kapal-kapal tersebut harus memakai standar-standar yang diperlukan bagi pencegahan pencemaran. Kapal-kapal tersebut harus memperoleh sertifikat
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
internasional atas kelaikan kapalnya untuk berlayar. Jika kapal-kapal yang memakai benderanya melakukan pelanggaran, maka negara bendera harus menjamin adanya penghukuman yang memadai atas pelanggaran tersebut. Hal pokok kedua adalah bahwa kekuatan tugas yang dibebankan pada negara bendera saja tidak cukup untuk melakukan penegakan hukum. Untuk mempertinggi keefektifan penegakan hukum, maka upaya ini dapat dilakukan oleh negara pelabuhan sebagai pelengkap utama pada kekuatan yurisdiksi negara bendera. Yurisdiksi negara pelabuhan di samping tidak membahayakan bagi navigasi, juga lebih memudahkan usaha pengadaan fasilitas untuk melakukan investigasi dan mengumpulkan fakta-fakta.59 Dalam hal tanggung jawab negara bendera terhadap kapal yang berlayar dengan memakai benderanya terdapat kasus yang menarik, yaitu Saint Vincent and the Grenadines v. Guinea Case (1997).60 Penambahan yurisdiksi penegakan hukum pada negara pantai didasarkan oleh akibat yang dirasakan oleh negara pantai jika terjadi pencemaran lingkungan laut. Namun perlu pula diperhatikan bahwa sebelum negara pantai atau negara pelabuhan melaksanakan penegakan hukum terhadap kapal asing, negara bendera harus diberi kesempatan untuk melaksanakan yurisdiksi serta kewajibannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan internasional. Ketentuan ini jelas menimbulkan kontradiksi jika kapal tersebut melakukan pencemaran pada lingkungan laut suatu negara pantai yang memerlukan tindakan segera dalam penanggulangan pencemaran lingkungan laut. MARPOL 73/78 mensyaratkan yurisdiksi penegakan hukum dengan 3 cara, yaitu:
(1) mengadakan inspeksi untuk menjamin "minimum technical stan-dard",
(2) memonitor kapal-kapal bagi pemenuhan "discharge standards" , (3) menghukum kapal-kapal yang melakukan pelanggaran terhadap
standar yang telah ditentukan dalam MARPOL.
Negara bendera melaksanakan inspeksi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun agar kapal yang memakai benderanya memperoleh International Oil Pollution Prevention Certificate (IOPP). Waktu inspeksi selanjutnya dapat berbeda-beda namun waktu minimum inspeksi adalah setiap lima tahun. Sertifikat ini menunjukkan bahwa kapal tersebut laik untuk berlayar dan telah memenuhi "MARPOL'S Standards".
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Negara pelabuhan juga memiliki kewenangan untuk menginspeksi kapal-kapal yang berlabuh di negaranya dengan melihat apakah kapal-kapal tersebut telah memenuhi standardisasi yang terdapat pada MARPOL dengan melihat sertifikat IOPP. Negara pelabuhan dapat melakukan inspeksi menyeluruh jika kapal tersebut tidak mempunyai sertifikat, juga jika ada keraguan terhadap kondisi kapal yang pada waktu itu sudah tidak sesuai lagi dengan standar MARPOL seperti yang tertuang dalam sertifikat IOPP.61 Peristiwa menarik dalam hal perlunya negara pelabuhan memperketat penegakan hukum dengan melakukan inspeksi terhadap kapal-kapal yang memasuki pelabuhan suatu negara adalah peristiwa Erika Case (1999).62
Komponen kedua dalam penegakan hukum berdasarkan MARPOL adalah monitoring. MARPOL mensyaratkan setiap negara dapat bekerjasama untuk mendeteksi kapal-kapal yang melakukan pelanggaran. Dalam hal memonitor "ships's oil record book" suatu kapal, negara pelabuhan diberi wewenang selama kapal tersebut berada dalam wilayah yurisdiksinya. Contoh pengawasan yang baik diperlihatkan oleh The Australian Maritime Safety Authority (AMSA), suatu badan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan negara Australia. AMSA mempunyai program untuk mengawasi dan menginspeksi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan-pelabuhan Australia. Demikian juga dengan kapal-kapal berbendera Australia yang akan melakukan pelayaran antarnegara. Jika kapal-kapal tersebut laik layar ditinjau dari segala aspek, maka AMSA dapat menerbitkan suatu sertifikat ataupun dapat diterbitkan oleh badan lain dengan persetujuan AMSA.63 Komponen ketiga dari penegakan hukum pada MARPOL adalah penghukuman. Penghukuman dilakukan bagi kapal-kapal yang "illegally discharged oil". Kewajiban investigasi bagi kapal dilakukan oleh negara bendera dengan melakukan prosedur hukum. Dengan semangat kerjasama, negara bendera harus segera menginformasikan laporan pelanggaran tersebut kepada negara-negara lainnya. Negara bendera harus memberikan hukuman yang cukup keras terhadap pelanggaran ketentuan MARPOL. Dalam peristiwa kapal tanker Erika (1999), The International Association of Independent Tanker Owner (INTERTANKO) berpendapat bahwa masalahnya bukan terletak pada “suitable regulation”, tetapi kekurangannya terletak pada adequate implementation of the existing body of international rules governing tanker safety and pollution prevention. Dengan demikian, diperlukan suatu implementasi yang tegas terhadap ketentuan-ketentuan internasional. Ketentuan-ketentuan internasional juga jangan berkompromi terhadap regional requirement sepanjang persyaratan regional tersebut bertentangan dengan persyaratan yang dibuat oleh International Maritime
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Organization (IMO). Kekurangan dari implementasi sangat berhubungan dengan persyaratan keselamatan pelayaran. Permasalahan akan terjawab jika dilakukan pengketatan dalam inspeksi terhadap kapal-kapal yang akan melakukan pelayaran. Prosedur terhadap inspeksi kapal-kapal merupakan kunci dari bagian mata rantai responsibility shipowner, classification societies, charteres, flag states, and port states terhadap lingkungan laut negara pantai. Classification societies merupakan prinsip yang standar dari struktur kapal dan esensial sistem mesin kapal, dalam hal ini merupakan pengakuan dari technical basis for delivering safer ships and cleaner seas. Negara pelabuhan merupakan kunci dan berinisiatif dalam mempromosikan keselamatan pelayaran dengan melakukan inspeksi sebagai Port State Control (PSC) terhadap kapal-kapal yang berlabuh di negaranya. Terlebih lagi dalam masa periodik dari tanggung jawab negara bendera untuk melakukan inspeksi terhadap suatu kapal merupakan peranan inspeksi yang dilakukan negara pelabuhan. Perkembangan positif lain setelah Erika Case adalah dengan segera Perancis membuat ketentuan-ketentuan yang lebih keras tentang keselamatan dan navigasi di laut, dan lebih disiplinnya pola inspeksi atas kapal-kapal tanker yang sudah tua pada pelabuhan-pelabuhan laut Perancis. Pelabuhan laut Perancis diinstruksikan untuk lebih bertanggung jawab dalam memonitor struktur kapal yang singgah secara menyeluruh, dan untuk selanjutnya menginformasikan temuan tersebut pada negara bendera dari kapal.64
Sebagai upaya perbandingan dalam mengantisipasi dan pengawasan terhadap ketentuan-ketentuan MARPOL 73/78, dapat dilihat kebijakan publik negara Amerika Serikat yang mempunyai sistem "Port State Control (PSC),65 Vessel Traffic Service (VTS)66, dan Alcohol Testing of Vessel Captains".67
Dengan demikian, terlihat bahwa wewenang negara pantai dan negara pelabuhan cukup besar dalam penegakan hukum di laut. Suatu sistem "equipment standard" dan segala fasilitas untuk mendukung ketentuan MARPOL diperlukan oleh negara pantai dan negara pelabuhan yang ditempatkan pada pelabuhan-pelabuhan suatu negara.68
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Koordinasi Antar-instansi dalam Penegakan Hukum Perlindungan lingkungan laut, baik itu berupa pencegahan maupun penanggulangan pencemaran yang bersumber dari kapal mencakup kegiatan berbagai bidang dari instansi terkait. Instansi terkait pada masing-masing negara dapat saja berbeda. Namun secara umum, upaya perlindungan lingkungan laut akan terkait dengan:69
(1) military (or naval) department (2) maritime transport (civil) department (3) environment protection department (4) coast guard (5) national committee
Walaupun di setiap negara berbeda dalam hal instansi yang berwenang,70 namun yang diperlukan adalah perlindungan lingkungan laut dapat mencapai sukses, sehingga sangat diperlukan adanya usaha-usaha koordinasi yang terpadu antar instansi yang terkait. Koordinasi antarlembaga yang menangani masalah-masalah lingkungan laut amatlah penting, tidak hanya untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan bagi efektivitas perlindungan lingkungan laut, tetapi terutama bagi penegakan (enforcement) hukum.71 Kenyataannya dapat dilihat bahwa masing-masing instansi pada setiap negara mempunyai wewenang yang terbatas dan berbeda, misalnya menyangkut kewenangan instansi di laut dan instansi di pelabuhan. Sehingga diperlukan suatu formula dengan membentuk koordinator/badan yang lebih luas. Sekurang-kurangnya, badan tersebut harus merupakan authority body dengan "expert" yang mempunyai skill yang diperlukan dalam upaya perlindungan lingkungan laut. Keahlian yang diperlukan dalam bidang marine salvage, ship operations, meterology and ocenography, aircraft operation, scientific expertise of various kinds, fisheries, environment protection, civil engineering, and legal.72
Sebelum tindakan di lapangan dilakukan, maka hal yang harus dilakukan adalah:73
(1) menetapkan koordinasi operasional seluruh instansi yang terkait
dengan masalah pencemaran lingkungan laut. Koordinasi ini dapat melibatkan badan-badan (agencies) lain untuk meminta advis, seperti technical scientific, lawyer, dan lain-lain,
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
(2) mengidentifikasi tingkat risiko wilayah yang terkena pencemaran, (3) mengidentifikasi beberapa prioritas bagi daerah pantai untuk
dilakukan perlindungan dan pembersihan dari pencemaran, (4) mengorganisir kecukupan peralatan penanggulangan pencemaran,
sedangkan tindakan tersebut meliputi:74
(a) jika memungkinkan dilakukan aksi pencegahan atau mengurangi penyebaran zat pencemar dari sumbernya,
(b) jika perairan pada lingkungan pantai tidak terancam pencemaran, maka dilakukan monitoring terhadap lapisan zat pencemar,
(c) usahakan pemulihan lingkungan laut dari zat pencemar, (d) perlindungan maksimal terhadap daerah yang sensitip dari
zat pencemar (key resources), (e) pembersihan terhadap garis pantai, (f) atau beberapa kombinasi upaya penanggulangan.
Jika tumpahan zat pencemar sedikit, maka upaya penanggulangannya dapat dilakukan pada tingkat lokal/nasional. Jika pencemaran yang terjadi berskala besar, maka upaya penanggulangannya diperlukan pada tingkat regional dan tingkat internasional. Keberhasilan dalam penegakan hukum secara regional diperlihatkan oleh negara-negara Eropa dengan ditandatanganinya "Memorandum of Understanding on Port State Control" (MoU PSC). Dengan demikian, diperlukan adanya kewenangan dari badan koordinator untuk mengkoordinasikan masalah perlindungan lingkungan laut dengan badan/instansi yang berwenang dari negara lain.75 Adanya koordinasi terpadu dengan dasar hukum yang pasti, maka terhindar adanya ego sektoral dari masing-masing instansi sehingga upaya pencegahan pencemaran lingkungan laut dapat dilakukan. Jika pun terjadi pencemaran lingkungan laut, tindakan aksi dapat segera dilakukan, sehingga zat pencemar jangan sampai meluas pada wilayah laut lainnya. Tindakan segera juga diperlukan agar dampak dari pencemaran dapat diminimalkan. UCAPAN TERIMA KASIH Bapak Rektor, Bapak Dekan, Anggota Senat Akademik, Anggota Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, serta hadirin yang saya hormati. Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini, tak henti-hentinya saya mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat, karunia, dan hidayah-Nya saya mendapat kesempatan untuk dikukuhkan sebagai Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Internasional. Semoga Allah SWT
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
selalu memberikan petunjuk-Nya dalam melangkah jalan kehidupan. Selawat beriring salam disampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, DSA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dan mendorong saya untuk mengikuti perkuliahan S3 sampai ke jenjang Guru Besar yang acara pengukuhannya diselenggarakan pada hari ini. Semoga Allah SWT tetap memberikan petunjuk dan kemudahan kepada Bapak dalam memimpin keluarga dan Universitas Sumatera Utara yang kita cintai.
Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada Bapak/Ibu anggota Senat Akademik, Dewan Guru Besar Universitas Sumatera Utara, Tim Penilai Kenaikan Pangkat Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan persetujuannya atas pengusulan saya sebagai Guru Besar. Selanjutnya ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada mantan Dekan Fakultas Hukum USU, Ibu Prof. Rehngena Purba, S.H., M.S., Bapak Hasnil Basri Siregar, S.H. yang telah banyak mendorong saya dalam menapak jenjang akademis. Khusus kepada Bapak Dekan Fakultas Hukum USU, Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., terima kasih atas bantuan dan dorongannya sehingga saya dapat berdiri di sini. Kepada Bapak Prof. Sanwani Nasution, S.H., yang telah membimbing saya di bidang akademik, dengan penuh kesabaran memotivasi saya, saya ucapkan terima kasih. Juga kepada semua Guru Besar Fakultas Hukum USU yang telah berkenan untuk menilai kelaikan saya sebagai guru besar, saya ucapkan terima kasih. Kepada Prof. Muhammad Daud, S.H. dan Prof. M. Abduh, S.H., terima kasih atas nasihat dan doanya. Buat Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S. terima kasih atas doa dan dorongan semangatnya, juga buat Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. terima kasih atas bantuannya selama ini. Khusus kepada Ibu Nurhaina Burhan, S.H. terima kasih atas dorongan semangat dan doanya. Selanjutnya ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Syafruddin Kalo, S.H., M.Hum., Dr. Tan Kamello, S.H., M.S., Dr. M. Yamin, S.H., M.S., C.N., Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., M.S., Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.LI, Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum., C.N., Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., Dr. Utary Maharany Barus, S.H., M.Hum., Armansyah, S.H., M.H., Faisal Akbar, S.H., M.H., Abul Khair, S.H., M.Hum., Suwarto, S.H., M.Hum.,
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Suria Ningsih, S.H., M.Hum., Nurmalawati, S.H., M.Hum., Sunarto A.W., S.H., M.Hum., Syafruddin, S.H., M.H., D.FM, M. Husni, S.H., M.Hum., serta teman-teman sejawat staf pengajar lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh staf pegawai Fakultas Hukum USU atas doa dan bantuannya. Selanjutnya terima kasih juga saya sampaikan kepada Dr. Januari Siregar, S.H., M.Hum., Dr. Triono Eddy, S.H., M.Hum., Dr. Idham, S.H., M.Hum., Dr. Djaffar Albram, S.H., M.Hum., Dr. Dayat Limbong, S.H., M.Hum., Dr. Iman Jauhari, S.H., M.Hum., Dr. Laily Washliati, S.H., M.Hum., Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.Hum., Dr. Soleman Mantaibordir, S.H., M.Hum., Dr. Supandi, S.H., M.Hum., Kamaruddin Aldian Pinem, S.H., M.Hum., Syahril Sofyan, S.H., M.Kn., Kunto Prasti Trenggono, S.H., atas doa dan bantuannya. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Erman Rajagukguk, S.H., LLM, Ph.D., Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LLM, Ph.D, dengan kesabaran dan motivasi yang Bapak berikan, ditambah dengan bimbingan dalam perkuliahan dan penelitian disertasi, saya dapat mencapai gelar doktor dan selanjutnya mendapatkan gelar profesor. Sebagai pembimbing dalam penyusunan disertasi, saya sangat simpatik dengan cara-cara Bapak dalam memberikan bimbingan. Insya Allah, cara demikianlah yang saya terapkan dalam membimbing para mahasiswa. Selanjutnya, rasa hormat dan terima kasih saya haturkan kepada Bapak Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H., kematangan ilmu Bapak sangat berkesan pada diri saya, sehingga saya banyak belajar dari Bapak. Ucapan terima kasih tak lupa saya sampaikan kepada semua guru-guru saya pada pendidikan formal maupun non-formal, mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar sampai perguruan tinggi, juga guru-guru agama/mengaji saya di Madrasah Quba dan Madrasah Al-‘Ulum. Semoga amal ibadah yang beliau-beliau kerjakan diterima Allah SWT dan diampuni dosa-dosanya, amin. Buat Bapak Mertua (Alm.) Matdjali, dan Ibunda Hj. Nurdiah dan semua ipar-iparku, terima kasih atas dorongan dan doanya selama ini. Kepada Kakanda H. Hidayat, banyak kenangan yang kakanda goreskan di hati saya dalam menapak jenjang akademis, baik sebagai abang, sebagai sahabat, semoga Allah SWT selalu menyertai kita semua, amin. Buat semua saudara-saudara kandungku, dan saudara-saudaraku lainnya, terima kasih atas doa dan dorongan semangatnya. Selanjutnya buat Bapanda (Alm.) H. Razali dan
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Ibunda Hj. Rostina, dengan segala pengorbanan dan doa yang tulus dari kedua orang tua, ananda sampai kapan pun tidak dapat membalas budi baik yang Bapanda dan Ibunda berikan. Khusus buat Bapanda, walaupun Bapanda saat ini sudah tidak berada ditengah-tengah kita, namun ananda yakin bahwa tercapainya ananda seperti saat ini adalah berkat doa dari Bapanda bersama dengan ketulusan doa Ibunda. Ya Allah ampunilah dosa kedua orang tuaku, terimalah semua amal ibadahnya, amin. Teristimewa buat istri tercinta Seri Rasmi, S.H., serta ananda Sabtia, Novi Aisha, dan Riadhi Alhayyan, banyak sudah pengorbanan kalian dalam saya menapak kehidupan ini. Pernah tidak menghiraukan kalian saat Papa hanyut dalam perkuliahan dan penelitian, pernah tidak memperhatikan kalian saat dalam kesibukan perkuliahan dan ujian, namun Papa yakin kalian semua selalu mendoakan Papa agar berhasil, doa dan pengorbanan kalian yang tulus untuk Papa telah membuahkan hasil. Semoga kita semua selalu ditunjuki Allah SWT pada jalan yang benar, amin. Buat semua yang telah membantu saya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Buat seluruh panitia dalam acara ini, saya ucapkan terima kasih. Buat seluruh adik-adik mahasiswa, pacu terus semangatmu dalam menimba ilmu. Semoga Allah SWT memberikan ganjaran berupa pahala dan kebaikan pada kita semua. Ya Allah…berikan selalu petunjuk-Mu kepada kami, ampuni seluruh dosa-dosa kami, amin. Hadirin yang terhormat, Demikianlah orasi ilmiah ini, semoga bermanfaat. Terima kasih atas kesabaran kita semua dan mohon maaf jika terdapat kesalahan dan tutur kata yang tidak pada tempatnya. Semoga diridhoi Allah SWT, amin ya Rabbal’alamin. Wabillahi taufiq walhidayah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
10 M. Daud Silalahi, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan
Implikasinya Secara Regional, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), h. 224-226. 11 Ibid. 12 Pasal 211 ayat (6) KHL 1982. 13 M. Daud Silalahi, Pengaturan..., op.cit, h. 135. 14 Committee on Shipborne Wastes Marine Board, Commission on Engineering and
Technical Systems National Research Council, "Clean Ships Clean Ports Clean
Ocean", National Academy Press, Washington, D.C, (1995), h. 50-51. 15 IMO, Manual on Oil Pollution, Section II Contingency Planning, (London: IMO,
1988), h. 2. 16 Ibid. 17 Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), <http://www.amsa. gov.an/me/pn324.HTM. 18 Lihat Pasal 211 ayat (6) KHL 1982. 19 Konvensi Hukum Laut 1982 merupakan ketentuan-ketentuan dengan prinsip
keseimbangan antara kepentingan negara pantai dan kepentingan negara maritim.
Lihat Jeffrey S. Dehner, Vesse Dehner, Jeffrey S., "Vessel-Source Pollution and
Public Vessel: Sovereign Immunity V. Compliance, Implications for International
Environmental Law", Emory International Law Review, (1995), h. 12. 20 IMO harus pula menindaklanjutinya dengan meneliti pengajuan ketentuan
khusus dari negara pantai tersebut paling lambat 12 bulan setelah menerima
pemberitahuan secara resmi. Ketentuan khusus ini juga belum berlaku sampai 15
(lima belas) bulan setelah penyampaian pemberitahuan kepada IMO. Ketentuan ini
juga harus diberitahukan kepada negara-negara tetangga yang lautnya
berdampingan dengan laut yang akan diatur secara khusus tersebut. Lihat Pasal
211 ayat (7) KHL 1982. 21 IMO, Manual…, op.cit, h. 2. 22 Cross, Michael, Hamer, Mick, Cross, Michael, How to Seal a Supertanker,
Improving Ship Design to Prevent Oil Spills, New Scientist, (Vol. 133, No. 1812,
March, 1992), h. 40. 23 Martin R. Lee, Marine Pollution, (21-02-2001), <http://www.cnie.org/nle/mar-
20/r.htm1>. 24 Lihat juga ketentuan dalam OILPOL 1954 dan Marpol 1973/1978. 25 Penelitian yang dilakukan pada Laut Mediterania sampai dijadikan sebagai
"special area" dimulai dengan adanya "The Mediterranean Action Plan" antara tahun
1975-1980. UNEP (United Nations Environment Programme) dan negara-negara
regional laut mediterania bekerjasama dalam menunjang keberhasilan rencana
aksi ini yang didukung oleh para saintis kelautan. Lihat Haas, Peter M.,
"International Cooperation: Building Regimes for Natural Resources and the
Environment", Massachusetts Institute of Technology Alumni Associate Technology
Review, (Januari 1990), h. 5-6. 26 IMOs Web Site-Summary of Status of Convention, (24-06-2000), <http://www.
pn324.HTM. 28 Pada perairan Indonesia terdapat hak pelayaran internasional, hal ini
merupakan proses akomodasi antara kepentingan negara kepulauan Indonesia dan
negara pengguna laut. Akomodasi kepentingan ini terjadi pada waktu proses
perundingan dalam pembentukan Konvensi Hukum Laut 1982. Amerika Serikat
yang juga ikut dalam perundingan pembentukan Konvensi Hukum Laut 1982,
berpendapat bahwa walaupun Amerika Serikat belum meratifikasi konvensi, namun
tetap mengakui adanya hak-hak negara pantai atas perairannya, sepanjang
negara-negara tersebut menghormati hak-hak negara lain pada perairannya
dibawah kerangka hukum internasional, berupa hak kebebasan berlayar (freedom
of the sea). Lihat "Rights and Freedoms in International Waters", Superintendent of
Documents Department of State Bulletin, (Vol. 86, 1986), h. 1-2. 29 Pasal 52 dan Pasal 53 KHL 1982. 30 Hak-hak tersebut terdapat pada laut teritorial dan perairan kepulauan
Indonesia. Pada laut teritorial, Indonesia mempunyai kedaulatan untuk menetapkan
lebar laut teritorialnya sampai batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari
garis pangkal. Pada laut teritorial kapal-kapal asing mempunyai hak lintas damai.
Lihat Pasal 3 dan 19 KHL 1982. Selanjutnya, negara pantai juga mempunyai hak
berdaulat atas jalur laut sejauh 200 mil laut pada Zona Ekonomi Eksklusif, juga
kedaulatan atas dasar laut dan tanah di bawahnya hingga jarak 200 mil laut, atau
dapat melebihi ini berdasarkan "specified circumstance”. Lihat Ocean and Law of
The Sea--Convention Overview, (14-06-2000), <http:www.un.org/Depts/los/
losconv2.htm>. 31 Hak ini tercantum dalam Pasal 53 ayat (1) KHL 1982. 32 Jika Indonesia tidak menetapkan ALKI-nya, maka sesuai dengan Pasal 53 ayat
(12) KHL 1982, kapal-kapal asing boleh melaksanakan lintas alur laut kepulauan
"through the routes normally used for international navigation". 33 Indonesia mengakui keberadaan hak pelayaran internasional menyangkut "right
of innocent passage". Kasus terjadi pada tanggal 23 Desember 1985. Sebuah kapal
asing berbendera Taiwan berbobot 200 ton, tanpa memiliki dokumen imgrasi yang
sah, baik visa maupun security clearence telah memasuki dan berada di wilayah
teritorial negara Republik Indonesia, tepatnya di perairan Laut Arafuru sebelah
selatan Kepulauan Arafuru, Kabupaten Maluku Tenggara tanpa izin.
Pengadilan Negeri di Ambon dalam putusan No. 27/Pid/B/1986/PN.AB memberikan
keputusan antara lain terdakwa bersalah telah melakukan delik pelanggaran tanpa
hak berlayar memasuki wilayah perairan Indonesia. Selanjutnya dalam putusan
Pengadilan Tinggi No. 04/Pid/B/1987/PT.MAL di Ambon telah menguatkan putusan
Pengadilan Negeri. Pada Pengadilan Tinggi juga terungkap bahwa kapal nelayan
Taiwan ini sedang berlayar di perairan Indonesia dalam rangka perjalanan menuju
ke Australia guna memperpanjang foreign fishing boat lisence yang telah habis
masa berlakunya. Ternyata kemudian dalam putusan Mahkamah Agung, telah
membatalkan putusan judex facti Pengadilan Negeri Maluku yang dinilai telah salah
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
negara pada kawasan yang akan dilalui kapal Akatsuki Maru khawatir dengan rute-
rute tersebut, dan tidak siap untuk membolehkan kapal Akatsuki Maru melalui laut
teritorial, perairan kepulauan, selat, dan ZEE suatu negara. Kekhawatiran ini
disebabkan jika terjadi kecelakaan terhadap kapal Akatsuki Maru, dapat
menimbulkan kerusakan bagi lingkungan laut. Tiga negara tepi Selat Malaka, yaitu
Indonesia, Malaysia, dan Singapura juga keberatan jika kapal Akatsuki Maru
melalui Selat Malaka. Lihat Martin Tsamenyi, Max Herriman, (ed), Rights and
Responsibilities in the Maritime Environment: National and International Dilemmas,
Australia: the University of Wollongong, 1996, h. 22-24. 47 Salah satu "the key issues" yang menjadi permasalahan adalah rekomendasi
yang dikeluarkan oleh The International Atomic Energy Agency (IAEA) yang disebut
dengan 'type B standard'. Tipe B standar merupakan standar yang
direkomendasikan untuk "the packing and transport" dengan sejumlah material
yang dianggap cukup untuk melindungi masyarakat dan lingkungan selama
pelayaran. Lihat Edwin S. Lyman, "The Sea Shipment of Radioactive Materials:
Safety and Environmental Concern". dalam Ed Lyman--MMI Sea Transport Paper
(18-07-2000), http://www.nci.org/el-malaysia.htm. 48 Ibid. 49 Van Deveer, Stacy D., "Protecting Europe's Seas", Heldref Publications
Environment, (No. 6; Vol 42, 2000), h. 3. 50 Pasal 23 KHL 1982. 51 Nuclear Sea Shipments: An Overview, (18-07-2000), <http://www.nci.org/
seatrans-overvi.ew.htm. 52 Deklarasi Rio 1992 mensyaratkan untuk pemakaian Precautionary Principle
hanya bagi 'threats of serious or irreversible environmental damage'. The
Precautionary Principle is a principle which states that in cases where there are
threats to human health or the environment the fact that there is scientific
uncertainty over those threats should not be used as the reason for not taking
action to prevent harm. The Precautionary Principle relevan dengan risk regulation,
dapat diartikan sebagai body of regulation concerned with protecting the
environment or human health from the risks arising from industrial activity. Prinsip
ini awalnya berasal dari Jerman pada dekade tahun 1970-an, dan dipopulerkan
dalam kerangka hukum lingkungan internasional pada dekade tahun 1990-an. Lihat
Elizabeth Fisher, "Is the Precautionary Principle Justiciable?”, Journal of
Environmental Law, Oxford University Press, (V. 13, N. 3, 2001), h. 316. 53 Melda Kamil A. Ariadno, "Prinsip-Prinsip dalam Hukum Lingkungan Internasional”,
Hukum dan Pembangunan, ( N. 2, Tahun XXIX), April 1999, h. 119-120. 54 Pasal 206 KHL 1982. 55 Pasal 39, 54 KHL 1982. 56 Amerika Serikat setelah peristiwa Exxon Valdez 1990, dengan dasar "Oil
Pollution Act 1990 (OPA 90), pernah melarang kapal-kapal tanker yang berlayar
di perairannya yang tidak memakai "double hull". Hal ini dilakukan agar tidak
terulang kembali bencana ekologis pada peristiwa Exxon Valdez. Lihat Dickey, Alan,
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
pertengahan tahun 1970-an oleh Kasada dockyard di Jepang. dalam suatu catatan
(record) yang dibuat oleh Direktorat Kelautan Norwegia, menunjukkan bahwa kapal
tanker Erika telah melakukan a port state control (PSC) inspection baik oleh negara
bendera maupun oleh negara pelabuhan.
Di pelabuhan Porto Torres pada bulan Mei 1999. The Erika was inspected and
approved, by nearly all kinds of controls, ranging from flag state and class control,
including various safety management audits to port state control inspections of
various profundity and private industry vetting mechanisms established to ensure
the suitability of the ships for the trade. Namun dalam inspeksi yang dilakukan
sebelumnya oleh PSC Authorities pada pelabuhan Novorossiysk di Rusia,
sebenarnya kapal Erika sudah menunjukkan adanya 'some deficiencies'. Lihat The
Erica Accident and Issues Raised, (15-05-2002), http://www.intertanko.com/
conferences/tankerevent 2000/erika. Lihat pula Charles B. Anderson, Colin de la
Rue, "Liability of Charterer and Cargo Owners for Pollution from Ships, Tulane
Maritime Law Journal. (Tulane University School of Law, V. 26, N. 1, 2001), h. 4. 63 The Australian Maritime Safety Authority (AMSA) manages the National Plan,
working with States/Northern Territory (NT) governments, the shipping, oil,
explorating and chemical industries, emergency services and fire brigades to
maximise Australia's marine pollution response capability. Funding, equipment and
training programs to support National Plan activities are coordinated by AMSA on
advice from the National Plan Advisory Committee (NPAC). Lihat Oil spill in the
Australia Marine Environment: Environmental Consequences and response
pdf. 64 "Erika Spill Prompts Maritme Safety", Penn Well Publishing Co. The Oil and Gas
Journal, (No. 4 Vol. 98, 2000), h. 1-4. 65 PSC merupakan badan yang berwenang untuk melakukan inspeksi dan
pengawasan terhadap kapal-kapal yang masuk pada salah satu pelabuhan negara
di Amerika Serikat. Hal ini dilakukan untuk melakukan penegakan hukum atas
standar-standar internasional tentang keselamatan kapal dan pencegahan terhadap
pencemaran. Lihat Talley, Wayne, "Vessel Damage Severity of Tanker Accidents",
The Logistics and Transportation Review, (Vol. 31;No. 3, 1995), h. 191. 66 VTS merupakan sistem yang didisain untuk mencegah kapal-kapal tidak
bertabrakan, misalnya dengan melakukan kontak radio di antara pusat-pusat VTS
dan sistem pengoperasian kapal-kapal. Ibid. 67 Tes alkohol terhadap kapten kapal juga dilakukan oleh sistem VTS. Konsentrasi
alkohol pada darah kapten kapal agar diperbolehkan untuk mengoperasikan kapal
adalah tidak melebihi kadar 0,04. Ibid. 68 Lihat pula Young, Oran R, "Hitting the Mark; International Environmental
Agreement" Heldref Publications Environment, (No. 8; Vol. 41, 1999), h. 12. 69 IMO, Manual on Oil Pollution, Section II..., op.cit, h. 1-2. 70 Pada satu negara saja terdapat wewenang yang berbeda terhadap penanganan
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
Tsamenyi, Martin, Herriman, Max, (ed). 1996. Rights and
Responsibilities in the Maritime Environment: National and International Dilemmasthe. University of Wollongong, Australia.
B. ARTIKEL
Anderson, Charles B., Rue, Colin de la, "Liability of Charterer and Cargo Owners for Pollution from Ships”, Tulane Maritime Law Journal, Tulane University School of Law, V. 26, N. 1, 2001.
Boyle, Alan E, “ Marine Pollution Under the Law of the Sea Convention”,
The American Journal of International Law, April, 1985. Committee on Shipborne Wastes Marine Board, Commission on
Engineering and Technical Systems National Research Council, “Clean Ships Clean Ports Clean Ocean”, National Academy Press, Washington DC, 1995.
Cross, Michael, Hamer, Mick, “How to Seal a Supertanker, Improving
Ship Design to Prevent Oil Spills”, New Scientist, Vol. 133, No. 1812, March, 1992.
Dehner, Jeffrey S., "Vessel-Source Pollution and Public Vessel: Sovereign
Immunity V. Compliance, Implications for International Environmental Law", Emory International Law Review, 1995.
Dickey, Alan, “Crisis Over Oil Tanker Design Moves Toward Resolution”,
Information Access Company, a Thomson Corporation Company, 1991.
Djalal, Hasjim, "Penentuan "Sea Lanes" (ALKI) Melalui Perairan
Nusantara Indonesia", paper pada Penataran Hukum Laut Internasional, Unpad, Bandung, 1996.
Fisher, Elizabeth, "Is the Precautionary Principle Justiciable ?, Journal of
Environmental law, Oxford University Press, V. 13, N. 3, 2001. Erika Spill Prompts Maritme Safety, Penn Well Publishing Co. The Oil and
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
Hartono, Sunaryati, "Pengembangan Dan Pembaharuan Hukum Lingkungan Nasional", Makalah Pada Seminar Hukum Lingkungan, Kantor Menteri LH-Bapedal, Jakarta, 1996.
Kamil, Melda, A. Ariadno, "Prinsip-Prinsip Dalam Hukum Lingkungan
Internasional, Hukum dan Pembangunan, (N. 2, Tahun XXIX), April 1999.
Mitchell, Ronald B.," Lesson from Intentional Oil Pollution", Helen Dwight
Reid Educational Foundation, Vol. 37; No. 4, 1995. Oxman, Bernard H., "International Decisions", dalam American Journal
of International Law, V.96, N.1, 2002. Peter M., Hass, "International Cooperation: Building Regimes for Natural
Resources and the Environment", Book Reviews: Massachusetts Institute of Technology Alumni Associati Technology Review, Januari 1990.
Rights and Freedoms in International Waters, Superintendent of
Documents Departement of State Bulletin, Vol.86, 1986. Romimohtarto, "Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati
di Perairan Indonesia", Seminar Hukum Nasional V, Jakarta, 1990. Siaran Pers Menteri Luar Negeri RI mengenai Penetapan 3 (tiga) Alur
laut Kepulauan Indonesia (ALKI)", Jepang, KBRI-Ottawa, 2000. Talley, Wayne, "Vessel Damage Severity of Tanker Accidents", The
Logistics and Transportation Review, Vol. 31; No. 3, 1995. Tim Panja Dishidros, "Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)" , Mabes-
TNI AL, Jakarta,1996. United Nations Press Release, "UN Convention on the Law of the Sea
Receives Sixtieth Ratification to Enter Into Force in One Year", New York: Departement of Public Information, News Coverage Service, 1993.
Van Deveer, Stacy D., "Protecting Europe's Seas, Heldref Publications
Ed Lyman--MMI Sea Transport Paper, (18-07-2000), <http://www.ci.rg/ el-malaysia.htm>. IMOs WebSite-Summary of Status of Conventions, (24-06-2000), <http://www.imo.org/imo/convent/summary.htm>. Indonesia's Archipelagic Sea Lanes, (12-05-2002), http://www.dfa-deplu.go.id/ english2/pt28-98.htm. KBRI-Ottawa, (05-12-2000), <http://www.indonesia-ottawa.org/news/ Hot%20 Topicts/ht98 sep/ht.alki.htm. Marine Pollution, (21-02-2001), <http://www.cnie.org/nle/mar-20/r. html>. Marine Pollution Legislation, (06-06-2000), <http://www.amsa.gov.an/me/ pn324.HTM>. Nuclear Sea Shipments: An Overview, (18-07-2000), <htttp://www.nci. org/seatrans-overview.htm>. Ocean and Law of The Sea--Convention Overview, (14-06-2000), <http: www.un.org/Depts/los/losconv2.htm>. Oil Spill in The Australia Marine Environment: Environmental Consequences and Response Technologies, (12-05-2002), http://www. amsa.gov.au/me/natpran/R&D/paper 33.pdf. Safety of and Right to Navigate, (02-04-2002), http://www.un.org/ Depts/los iyo/safety-of-navigation. htm. Specified Circumstance Ocean and Law of The Sea--Convention Overview, (14-06-2000), <http:www.un.org/Depts/los/losconv2.htm>.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
The Erika Accident and Issues Raised, (15-05-2002), http://www. intertanko.com/conferences/tankerevent 2000/Erika.
D. DOKUMEN-DOKUMEN DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Dokumen-Dokumen Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal, 1989. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (LDC), 1972. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973, as Modified by the Protocol of 1978 Relating thereto (MARPOL 73/78). International Convention for the Prevention of Pollution of the Sea by Oil (OILPOL), 1954. International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS), 1960 and 1974. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage (CLC), 1969. International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation (OPRC), 1990. International Convention on Oil Pollution Preparedness, Response, and Co-Opertion, 1990. International Convention on the Establishment of an International Fund for Compensation for Oil Pollution Damage (FUND), 1971. International Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution Casualties (INTERVENTION), 1969. Protocol of 1992 to Amend CLC 1969 and Fund Convention 1971. United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982.
Perlindungan Lingkungan Laut: Upaya Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut dengan Adanya Hak Pelayaran Internasional di Perairan Indonesia
2. Peraturan Perundang-undangan UUD 1945 UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia UU No. 5 Tahun 1985 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan the United Nations Convention on the Law of the Sea UU No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Hayati di ZEE Indonesia Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam Melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Melalui Alur Laut Kepulauan yang Ditetapkan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978 tentang Pengesahan CLC 1969 Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1978 tentang Pengesahan Fund Convention 1971 Keputusan Presiden No. 46 Tahun 1986 tentang Pengesahan International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973, beserta Protokol (the Protokol of 1978 Relating to the
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Universitas Sumatera Utara
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships, 1973) Keputusan Presiden No. 41 Tahun 1998 tentang Pencabutan Keputusan Presiden No. 19 Tahun 1978 Keputusan Presiden No. 52 Tahun 1999 tentang Pengesahan Protocol of 1992 to Amend The International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage, 1969