Top Banner
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK (E- COMMERCE) A. Sejarah dan Perkembangan Transaksi Elektronik Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan antara penjual dan pembeli di suatu tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang dikehendaki. Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang terjadi sebagai akibat munculnya problem kelangkaan barang. Perdagangan juga merupakan kegiatan spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan produksi dan distribusi barang. Kegiatan perdagangan bukan merupakan sesuatu yang baru, sebab kegiatan ini sudah ada sejak zaman prasejarah. Menurut sejarah, internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika serikat, dimana dibentuk suatu jaringan computer di University of California di Los Angeles, university of California di Santa Barbara, University of Utah dan Institut Penelitian Stanford. 26 Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat dengan nama Advanches Researches Project Agence (ARPA), ARPA atau ARPANET ini didesain untuk mengadakan sistem desentralisasi internet. 27 26 Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal.267. 27 Ibid Lalu sekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National Scince Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer Universitas Sumatera Utara
66

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

May 14, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-

COMMERCE)

A. Sejarah dan Perkembangan Transaksi Elektronik

Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan antara

penjual dan pembeli di suatu tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika

terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang

dikehendaki. Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang

terjadi sebagai akibat munculnya problem kelangkaan barang. Perdagangan juga

merupakan kegiatan spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan

produksi dan distribusi barang. Kegiatan perdagangan bukan merupakan sesuatu

yang baru, sebab kegiatan ini sudah ada sejak zaman prasejarah.

Menurut sejarah, internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika

serikat, dimana dibentuk suatu jaringan computer di University of California di

Los Angeles, university of California di Santa Barbara, University of Utah dan

Institut Penelitian Stanford.26 Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan

Amerika Serikat dengan nama Advanches Researches Project Agence (ARPA),

ARPA atau ARPANET ini didesain untuk mengadakan sistem desentralisasi

internet.27

26Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

2001, hal.267.

27 Ibid

Lalu sekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National

Scince Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer

Universitas Sumatera Utara

Page 2: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

seluruh dunia. Internet, termasuk electronic mail (E-mail) yang berkembang

sampai tahun 1994, pada saat mana ilmu pengetahuan memperkenalkan World

Wide Web (WWW). Seterusnya internet mengalami perkembangan dan

penggunaannya meluas ke kegiatan bisnis, industri, dan rumah tangga di seluruh

dunia. Perkembangan dan kemajuan internet telah mendorong kemajuan di bidang

teknologi informasi. Penggunaan internet yang semakin luas dalam kegiatan

bisnis, industri dan rumah tangga telah mengubah pandangan manusia. Dimana

kegiatan-kegiatan diatas pada awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini

bergeser menjadi kegiatan di dunia maya (Cyber world) yang tidak memerlukan

kegiatan fisik. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global

communication network) dengan semakin populernya internet, seakan telah

membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan

batas negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga

perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli

barang pun yang pada awalnya bersifat konvensional perlahan-lahan beralih

menjadi transaksi jual beli barang secara elaktronik yang menggunakan media

internet yang dikenal dengan e-commerce atau kontrak dagang elektronik.

Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996

dengan munculmya situs http:// http://www.sanur.com/ sebagai toko buku on-line

pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai

bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-

1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi

namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik

Universitas Sumatera Utara

Page 3: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang

mengenal teknologi.

E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan baik

barang dan jasa melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam

kegiatan bertransaksi konsumen di internet. Keunggulan e-commerce terletak pada

efisiensi dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce maka tidak

akan lepas dari hukum internet (cyber law). Internet adalah dunia virtual/dunia

maya yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang bagaimana

aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat si pengguna

internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka dalam

konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce

adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak

yang melakukan transaksi melalui sistem e-commerce.28

B. Pengertian Transaksi Elektronik

Istilah Electronic Commerce belum memiliki istilah yang baku. Terdapat

beberapa istilah yang dikenal pada umumnya seperti E-Commerce, WEB

Contract, dan Kontrak Dagang Elektronik. Namun dalam tulisan ini, istilah yang

digunakan adalah e-commerce.

E-commerce merupakan bagian dari Electronic Bussines (bisnis yang

dilakukan melalui media elektronik). Kalangan bisnis memberikan definisi

28 Michael S.H. Neng, Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective,

http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc/, bahan diakses tanggal 3 Februari 2008

Universitas Sumatera Utara

Page 4: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

tentang e-commerce sebagai segala bentuk perniagaan / perdagangan barang atau

jasa dengan menggunakan media elektronik. Media elektronik disini tidak terbatas

pada internet saja, namun karena penggunaan internet dewasa ini amat populer

maka focus pembahasan pada skripsi ini adalah e-commerce pada media internet.

Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi yang mengutip pendapat David

Baum29

Menurut Julian Ding sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus

Badrulzaman memberikan definisi sebagai berikut :

menyebutkan bahwa “e-commerce is a dynamic sets of technologies,

application, and bussines procces that link enterprises, consumers and

communities through electronic transaction and the electronic exchange of goods,

services and information”. bahwa e-commerce adalah suatu set dinamis teknologi,

aplikasi, dan kegiatan bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan

komunitas melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, servis dan

informasi.

30

“Electronic Commerc, or E-Commerce as it is also knomn is a commercial

transactions between a vendor and phurchaser or parties in similar contractual

relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “right”. This

commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or

digital medium)when the physical presence of the parties is not required. And the

medium exits in a public network or system as opposed to a private network

(Closed System). The public network or system must be considered an open

29Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi, Mengenal E-Commerce, PT Elex Media Komputindo, 2000,

Jakarta, hal. 2.

30 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, hal. 283

Universitas Sumatera Utara

Page 5: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

system (e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded

regardless of national boundaries or local requirements”.

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

“Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara

penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih

hak. Kontrak ini dilakukan dengan media electronic (digital medium) di mana

para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan

umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web. Transaksi ini

terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional”.

Wikipedia memberikan definisi E-commerce sebagai berikut :31

1. “e-commerce can be defined as commercial activities conducted through an

exchange of information generated, stored, or communicated by electronical,

optical or analogues means, including EDI, E-mail, and so forth”

Terjemahan bebasnya sebagai berikut :

e-commerce dapat didefinisikan sebagai aktifitas komersial melalui

pertukaran informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikomunikasikan oleh

alat elektronik, optik atau analog, termasuk EDI, E-mail, dan lainlain.

2. “e-commerce is performing business transaction with the aid of evolving

computing tools and paper-less communication links (electronic messaging

technologies)”.

Terjemahan bebasnya sebagai berikut :

31 http://id.wikipedia.org/wiki/E-commerce, bahan diakses tanggal 10 Juni 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

e-commerce adalah alat untuk mendukung kegiatan transaksi bisnis dengan

perkembangan komputansi dan tidak menggunakan kertas.

3. “electronic Commerce may be defined as the entire set of process that support

commercial activities on a network and involve information analysis”.

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :

e-commerce dapat didefinisikan sebagai suatu set dari keseluruhan proses

yang mendukung kegiatan komersial dalam jaringan dan mengembangkan

analisa informasi.

Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari E-

commerce, yakni:32

1. Adanya kontrak dagang,

2. Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik,

3. Transaksi bersifat paper less,

4. Kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan,

5. Kontrak itu terjadi dalam jaringan publik,

6. Sistem terbuka, yaitu dengan internet atau WWW (World Wide Web)

7. Kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.

8. Mempunyai nilai ekonomis.

E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang

menggunakan media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia

terletak dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian,

32 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, hal.284.

Universitas Sumatera Utara

Page 7: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

maka e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada

umumnya seperti :33

1. Asas kebebasan berkontrak

2. Asas konsensual

3. Asas itikad baik

4. Asas keseimbangan

5. Asas kepatutan

6. Asas kebiasaan

7. Asas ganti rugi

8. Asas keadaan memaksa

9. Asas kepastian hukum, dll.

Karena berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce, maka

ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUH

Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni :

1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ;

2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.

C. Mekanisme dan Karakteristik E-Commerce

Transaksi e-commerce antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan

barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang

33 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, hal.282.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada

umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang

digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan

dokumen elektronik (digital document).34

Kontrak online dalam e-commerce menurut Santiago Cavanillas dan A.

Martines Nadal, seperti yang dikutip oleh Arsyad Sanusi memiliki banyak tipe

dan variasi berdasarkan sarana yang digunakan untuk membuat kontrak, yaitu:

35

1. Kontrak melalui chatting dan video conference

Chatting dan video conference adalah alat komunikasi yang disediakan

oleh internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung.

Dengan chatting seseorang dapat berkomunikasi secara langsung dengan orang

lain seperti layaknya telepon, hanya saja komunikasi lewat chatting ini adalah

tulisan atau pernyataan yang terbaca pada komputer masing-masing. Sesuai

dengan namanya, video conference adalah alat untuk berbicara dengan beberapa

pihak dengan melihat gambar dan mendengar suara secara langsung pihak yang

dihubungi dengan alat ini. Dengan demikian melakukan kontrak dengan

menggunakan jasa chatting dan video conference ini dapat dilakukan secara

langsung antara beberapa pihak dengan menggunakan sarana komputer.

2. Kontrak melalui e-mail

E-mail adalah salah satu kontrak online yang sangat populer karena

pengguna e-mail saat ini amat banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat

murah dan waktu yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan

34Nofie Iman, Mengenal E-Commerce, www.hasan-uad.com/menegenal-e-commerce.pdf,hal.5

35 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

dengan cara mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail gratis atau dengan

mendaftarkan diri sebagai subscriber pada server atau ISP tertentu. Kontrak e-

mail dapat berupa penawaran yang dikirimkan kepada seseorang atau kepada

banyak orang yang tergabung dalam sebuah mailing list, serta penerimaan dan

pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan melalui e-mail. Di

samping itu kontrak e-mail dapat dilakukan dengan penawaran barangnya

diberikan melalui situs web yang memposting penawarannya, sedangkan

penerimaannya dilakukan melalui e-mail.

3. Kontrak melalui web

Kontrak melalui web terjadi dimana pihak e-merchant memiliki deskripsi

produk atau jasa dalam suatu halaman web dan dalam halaman web tersebut

terdapat form pemesanan, sehingga e-customer dapat mengisi formulir tersebut

secara langsung apabila barang atau jasa yang ditawarkan hendak dibeli oleh e-

customer.

Secara umum tahapan mekanisme transaksi e-commerce dapat diurutkan

sebagai berikut:36

a. E-customer dan e-merchant bertemu dalam dunia maya melalui server yang

disewa dari Internet Server Provider (ISP) oleh e-merchant.

b. Transaksi melalui e-commerce disertai term of use dan sales term condition

atau klausula standar, yang pada umumnya e-merchant telah meletakkan

klausula kesepakatan pada website-nya, sedangkan e-customer jika berminat

tinggal memilih tombol accept atau menerima.

36 Nofie Iman, op.cit, hal. 8.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

c. Penerimaan e-customer melalui mekanisme “klik” tersebut sebagai

perwujudan dari kesepakatan yang tentunya mengikat pihak e-merchant.

d. Pada saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kemudian diikuti dengan

proses pembayaran, yang melibatkan dua bank perantara dari masing-masing

pihak yaitu acquiring merchant bank dan issuing customer bank. Prosedurnya

e-customer memerintahkan kepada issuing customer bank untuk dan atas

nama e-customer melakukan sejumlah pembayaran atas harga barang kepada

acquiring merchant bank yang ditujukan kepada e-merchant.

e. Setelah proses pembayaran selesai kemudian diikuti dengan proses

pemenuhan prestasi oleh pihak e-merchant berupa pengiriman barang sesuai

dengan kesepakatan mengenai saat penyerahan dan spesifikasi barang.

Berbeda dengan transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce

memiliki beberapa karakteristik yakni :37

a. Transaksi tanpa batas

Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi penghalang suatu

perusahaan atau individu yang ingin go-internasional. Sehingga hanya perusahaan

atau individu yang memiliki modal besar yang dapat memasarkan produknya ke

luar negeri. Dewasa ini dengan adanya internet, perusahaan kecil atau menengah

dapat memasarkan barangnya ke luar negeri dengan hanya membuat website atau

memajang iklan-iklannya di internet tanpa batas waktu (24 jam), maka pelanggan

dari seluruh dunia dapat mengaksesnya dan melakukan transaksi secara online.

b. Transaksi bersifat anonym

37 Nofie Iman, op.cit, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara

Page 11: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Para penjual dan pembeli dalam transaksi e-commere tidak harus bertemu

muka secara langsung satu sama lainnya. Bahkan penjual tidak memerlukan nama

pembeli, selama pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan yang

ditentukan, biasanya pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit

atau transfer via bank.

c. Produk yang diperdagangkan

Produk yang diperdagangkan melalui internet berupa produk digital

maupun non digital, barang berwujud maupun tak berwujud, dan barang bergerak.

D. Ruang Lingkup dan Dasar Hukum E-Commerce

Perkembangan dunia bisnis dewasa ini dalam perkembangan perdagangan

tidak lagi membutuhkan pertemuan secara langsung antara para pelaku bisnis.

Kemajuan teknologi memungkinkan para pelaku bisnis melakukan hubungan

hubungan bisnis melalui internet baik itu kegiatan penawaran maupun pembelian.

Ruang lingkup e-commerce meliput i 3 sisi yakni :38

1. Business to Business (B2B)

Merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata

lain secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam

kapasitas atau volume produk yang besar. Aktivitas e-commerce dalam ruang

lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri.

Karakteristik yang umum dalam lingkup B2B adalah :

38 Abdul Halim Barkatullah, Bisnis E-Commerce (studi sistem keamanan dan hukum di Indonesia),

Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 18.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

a. Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah

saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang

berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi berlangsung diantara mereka

dan karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi dilakukan atas

dasar kebutuhan dan kepercayaan;

b. Pertukaran yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala format data

yang telah telah disepakati. Jadi service yang digunakan antara kedua sistem

tersebut sama dan menggunakan standar yang sama pula;

c. Salah satu pelaku tidak harus menunggu partners mereka lainnya untuk

mengirimkan data;

2. Business to Consumer (B2C)

Business to Consumer dalam e-commerce merupakan suatu transaksi

bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk

memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu contohnya “internet

mall”. Konsumen pada lingkup ini merupakan konsumen akhir yang merupakan

pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan jasa yang ditawarkan oleh

pelaku usaha. Permasalahan perlindungan konsumen terdapat dalam lingkup ini,

karena produk yang diperjualbelikan adalah produk barang dan jasa baik dalam

bentuk berwujud maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah siap

untuk dikonsumsi. Perkembangan lingkup B2C ini membawa keuntungan tidak

saja pada pelaku usaha namun juga kepada pihak konsumen.

Karakteristik dari lingkup B2C ini adalah :

a. Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum pula;

Universitas Sumatera Utara

Page 13: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

b. Service yang diberikan bersifat umum sehingga mekanisme dapat digunakan

oleh banyak orang;

Service yang diberikan adalah berdasarkan permintaan konsumen;

3. Consumer to Consumer (C2C)

Consumer to Consumer merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang

dilakukan antar konsumen untuk memnuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat

tertentu pula, lingkup C2C ini bersifat lebih mengkhusus karena transaksi

dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Internet telah

dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai

harga, kualitas dan pelayanan. Selain itu customer juga dapat membentuk

komunitas pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan konsumen

terhadap suatu produk atau pelayanan, dengan cepat dapat tersebar kepada

konsumen lain melalui komunitas yang dibentuk, hal ini membawa dampak

positip bagi konsumen karena dapat menaikkan posisi tawar konsumen terhadap

pelaku usaha. Sehingga pelaku usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang

lebih baik bagi konsumennya.

Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11

tahun 2008 merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU

ITE ini disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku pada saat

diundangkan (Pasal 54 ayat 1). Arti penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-

commerce adalah :

Universitas Sumatera Utara

Page 14: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

a. Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam

kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum

transaksi elektronik dapat terjamin.

b. Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran

hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan

sanksi pidananya.

c. UU ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik

yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga

jangkauan UU ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional.

Selain UU ITE, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang

dapat menunjang perlindungan konsumen dalam e-commerce, peraturan tersebut

adalah:

1. Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

2. Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang hak cipta,

3. Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten,

4. Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek,

5. Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,

6. Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan jo. Undang-undang

nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun

1992.

Universitas Sumatera Utara

Page 15: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

BAB IV

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK

(E-COMMERCE)

A. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Berdasarkan Peraturan

Perundang-Undangan

Konsumen dalam e-commerce memiliki resiko yang lebih besar dari pada

penjual atau merchant-nya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam

transaksi e-commerce lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena

karakteristik dari e-commerce sendiri, yakni dalam e-commerce tidak terjadi

pertemuan secara fisik antara konsumen dengan penjualnya yang kemudian dapat

menimbulkan berbagai permasalahan.

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa e-commerce menimbulkan berbagai

permasalahan, maka dalam pembahasan berikut akan dijabarkan berbagai

permasalahan yang penting seputar e-commerce dan pengaturan permasalahan

tersebut menurut UUPK, UU ITE dan juga KUH Perdata. Permasalahan tersebut

sebagai berikut :

1. Privasi

Privasi adalah claim of individuals, groups, or institution to determine for

themselves when, how, and what extent information about them is communicated

to others.39

39 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,

hal.159.

Pengertian privasi tidak sama dengan kerahasiaan (Confidentiality),

Universitas Sumatera Utara

Page 16: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

privasi merupakan konsep yang lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi

hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk tetap mandiri, hak untuk dibiarkan

sendiri, hak untuk mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang dan

dalam hal apa saja informasi tersebut harus diperoleh dan digunakan.40 Pada

umumnya ada tiga aspek dari privasi, yaitu:41

a. privasi mengenai pribadi seseorang;

b. privasi dari data seseorang; dan

c. privasi atas komunikasi seseorang.

Permasalahan yang muncul dalam e-commerce adalah pelanggaran

terhadap privasi dari data tentang seseorang atau dengan kata lain disebut “data

pribadi”, pelanggaran ini biasanya dalam bentuk penyalahgunaan informasi-

informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi/lembaga atau

atas pelanggan-pelanggan dari suatu perusahaan.

Pengumpulan data pribadi konsumen dalam transaksi e-commerce

dilakukan melalui media-media berikut :

a. Cookies

Cookies adalah suatu aplikasi kecil yang ditempatkan dalam hard drive

seseorang ketika mengunjungi suatu website/situs, cookies ini dapat

mengumpulkan informasi mengenai nomor kartu kredit, situs-situs yang

dikunjungi, alamat e-mail, minat maupun pola belanja. Informasi tersebut

digunakan untuk melacak kunjungankunjungan ke suatu situs serta untuk

mengetahui apa yang disukai atau tidak disukai oleh seorang pengunjung tentang

40 Ibid, hal.162. 41 Ibid, hal.160.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

situs tersebut. Apabila informasi-informasi yang dikumpulkan oleh cookies

digabungkan, maka akan dapat mengidentifikasi seorang individu secara spesifik.

b. Pendaftaran Online (Online Registration)

Kebanyakan situs-situs yang melakukan penjualan barang/jasa

mengharuskan pengunjung/konsumen melakukan registrasi terlebih dahulu

sebelum dapat melakukan transaksi jual beli atau memanfaatkan fitur lengkap dari

suatu situs.42

42 Contoh situs yang mengharuskan registrasi adalah bhineka.com, ebay.com, amazon.com.

Form registrasi dari suatu situs mewajibkan pengunjung untuk

mengisi informasi-informasi pribadi seperti nama, alamat e-mail, alamat dan kota

tempat tinggal, user name dan password, jenis kelamin, tanggal lahir, penghasilan,

pekerjaan. Bahkan ada beberapa situs yang mewajibkan konsumen untuk

memasukkan nomor kartu kreditnya. Jika hal-hal diatas tidak dilengkapi, maka

konsekuensinya adalah pengunjung/konsumen tidak dapat menikmati fitur

lengkap dari suatu situs atau konsumen tidak dapat melakukan transaksi jual beli.

Permasalahannya adalah, konsumen tidak mengetahui penggunaan dari data

pribadinya, terlebih lagi terhadap informasi-informasi sensitif seperti nama,

alamat dan nomor kartu kredit yang apabila disalahgunakan dapat membahayakan

dan merugikan pemilik informasi tersebut.

UU ITE sudah memberikan perlindungan terhadap data pribadi seseorang,

hal ini diatur dalam pasal 26. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa:

“kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap

informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang

harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”.

Universitas Sumatera Utara

Page 18: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Cakupan dari pengertian data pribadi yang dianut oleh Pasal 26 ayat 1 dapat

ditemui dalam penjelasannya, yakni :

a) Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam

gangguan.

b) Hak untuk berkomunkasi dengan orang lain tanpa tindakan mematamatai.

c) Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data

seseorang.

Perlindungan hukum terhadap data pribadi oleh Pasal 26 UU ITE sudah

cukup memadai, selain karena cakupan pengertian data pribadi yang dianut cukup

luas, juga memberikan hak mengajukan gugatan kepada orang yang dirugikan atas

penggunaan data pribadi orang yang bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2).

2. Klausula Baku

Dalam dunia usaha, terdapat klausula baku / perjanjian baku yang

menempatkan posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, yang

pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang merugikan salah satu pihak yang

dalam hal ini konsumen. UUPK tidak merumuskan pengertian perjanjian baku

tapi menggunakan istilah klausula baku yang menurut Pasal 1 ayat (10) UUPK

dirumuskan sebagai berikut :

“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat

yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh

pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”

Universitas Sumatera Utara

Page 19: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyatakan;43

Dalam e-commerce, penggunaan klausula baku adalah hal yang mutlak.

Karena dalam e-commerce para pihak tidak berinteraksi secara langsung

melainkan berinteraksi menggunakan media elektronik, salah satunya adalah

internet. Saat konsumen hendak membeli suatu barang pada suatu website, maka

penjual/merchant akan menyodorkan suatu perjanjian (term and condition) yang

berisikan mengenai persyaratan-persyaratan seperti layaknya perjanjian jual beli

pada umumnya. Perjanjian (term and condition) inilah yang dapat dikategorikan

sebagai klausula baku, karena isi dari perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak

“UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku atas

setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/

atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/ atau klausul baku tersebut

tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1),

serta tidak “berbentuk” sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) UUPK

tersebut”.

Tujuan penggunaan klausula baku dalam kegiatan bisnis sebenarnya

adalah untuk menghemat waktu dalam setiap kegiatan jual beli, amat tidak efisien

apabila setiap terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli mereka

membicarakan mengenai isi kontrak jual beli. Oleh karena itu dalam suatu kontrak

standard dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak

jual beli.

43Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

oleh penjual/merchant. Disini pihak konsumen tidak bisa memprotes isi dari pada

perjanjian, karena dalam website yang menampilkan perjanjian tersebut tidak

mempunyai opsi (pilihan) untuk merubah perjanjian. Disini konsumen hanya

mempunyai dua pilihan yakni menerima atau membatalkan pesanan.

Dalam UUPK penggunaan klausula baku pada prinsipnya tidak dilarang,

namun yang perlu dikhawatirkan adalah pencantuman klausula eksonerasi

(exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula

yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali

tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur

produk (penjual).44

1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada

setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :

UUPK sendiri memberikan persyaratan mengenai

pencantuman klausula baku yang diatur dalam pasal 18 UUPK, yakni sebagai

berikut :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen.

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen.

44 Shidarta, op.cit, h.147.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan

sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran.

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau

pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau

mengurangi manfaat harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual

beli jasa.

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang

dibelinya.

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk

pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang

yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti.

3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen

atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

Universitas Sumatera Utara

Page 22: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan

undang-undang ini.

Walaupun UUPK secara jelas mengatur mengenai tata cara pembuatan

klausula baku, namun dalam praktek masih terjadi penyimpangan terlebih lagi

dalam e-commerce dimana segala kegiatan transaksi dilakukan dengan proses

“klik” tanpa adanya proses tawar-menawar. Klausula eksenorasi dalam e-

commerce banyak terdapat dalam hal :

a. Pilihan hukum (choice of law)

Klausula mengenai pilihan hukum pada umumnya terjadi pada e-

commerce yang bersifat lintas batas Negara. Pilihan hukum menyangkut hukum

negara mana yang akan digunakan bila terjadi sengketa, dalam hal ini sengketa

antara konsumen dan pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri.

UUPK memiliki kelemahan, yakni tidak dapat menjangkau pelaku usaha

yang berkedudukan di luar negeri. Hal ini terlihat dalam rumusan Pasal 1 butir 3

UUPK yang menyatakan :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang

didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Berdasarkan pengertian pelaku usaha di atas maka ruang lingkup dari

UUPK hanyalah pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik

Indonesia. UU ITE sudah mengatur perihal mengenai pilihan hukum yakni

Universitas Sumatera Utara

Page 23: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (2) dimana disebutkan bahwa para pihak

mempunyai kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi

elektronik internasional yang dibuatnya, namun UU ITE tidak mengatur perihal

mengenai klausula baku sebagaimana diatur oleh UUPK, sehingga mau tidak mau

konsumen tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.

Contoh penggunaan klausul baku tentang pilihan hukum terdapat dalam

EULA (End User License Agreement) yang dikeluarkan oleh amazon.com yang

berbunyi “bahwa segala transaksi yang terjadi dengan amazon.com berlaku the

laws of state of Washington.”45

Walaupun Pasal 18 ayat 2 UU ITE mempunyai kelemahan sebagaimana

disebutkan diatas, namun terdapat ketentuan internasional yang dapat digunakan

untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dalam e-commerce

internasional. Ketentuan tersebut terdapat dalam Konvensi Roma 1980 Pasal 5

ayat 2 yang menegaskan bahwa:

Dengan demikian konsumen yang berasal dari

negara manapun yang melakukan transaksi dengan amazon.com tunduk pada

hukum negara bagian Washington. Hal ini tentu memberatkan konsumen karena

apabila ia dirugikan oleh pelaku usaha, maka ia harus mengajukan gugatannya ke

negara bagian Washington dan hal ini tentu memakan biaya yang tidak sedikit.

Seharusnya UU ITE sebagai dasar hukum transaksi e-commerce yang telah

menjangkau transaksi e-commerce internasional mencantumkan mengenai perihal

pilihan hukum ini, karena ketentuan pasal 18 ayat 2 UU ITE ini tidak memberikan

perlindungan kepada konsumen.

45 www.amazon.com, bahan diakses pada tanggal 4 mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

“dalam kontrak bisnis-konsumen, pilihan hukum yang dibuat di dalam kontrak

tidak dapat menghilangkan hak-hak konsumen atas perlindungan konsumen dari

Negara tempat ia memiliki kediaman tetap”.

Sejalan dengan ketentuan yang terkandung dalam konvensi roma 1980

tersebut, berlaku asas bahwa hukum yang dipilih para pihak dalam kontrak tidak

dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa (mandatory laws) dari Negara

yang meiliki closest connection dengan kontrak.46

b. Pembagian resiko yang tidak berimbang

Dengan adanya ketentuan ini,

walaupun pihak konsumen menggugat pelaku usaha di Negara lain, konsumen

tersebut tetap mendapatkan hak-haknya sebagai konsumen sebagaimana diberikan

oleh UUPK.

Pembagian resiko yang tidak berimbang banyak terjadi dalam e-

commerce, khususnya dalam transaksi pembayaran. Biasanya konsumen harus

terlebih dahulu membayar secara penuh (menggunakan kartu kredit atau transfer

antar bank) atas barang yang dibeli, barulah pesanannya akan diproses oleh pelaku

usaha atau penjual. Hal ini tentu berisiko tinggi karena membuka peluang

terlambatnya pengiriman barang yang dipesan, isi dan mutu barang tidak sesuai

dengan pesanan atau bahkan barang sama sekali tidak sampai di tangan

konsumen. Klausula baku mengenai pembagian resiko ini banyak digunakan

dengan alas an melindungi pelaku usaha dari konsumen yang tidak bertanggung

jawab, namun di sisi lain klausula ini dapat merugikan kepentingan konsumen

karena jaminan bahwa pesanan akan diproses setelah pembayaran hanya berasal

46 Edmon Makarim, opcit, h. 379

Universitas Sumatera Utara

Page 25: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

dari pelaku usaha saja. Dalam Pasal 16 UUPK, terdapat pengaturan mengenai

kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi janji dalam hal menawarkan barang atau

jasa melalui pesanan, dimana disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk:

1) Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan

yang dijanjikan.

2) Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.

Dengan adanya Pasal 16 ini, maka pelaksanaan janji yang diberikan oleh

pelaku usaha dapat lebih terjamin. Selain jaminan yang diberikan oleh Pasal 16,

faktor kepercayaan juga berlaku disini karena kepercayaan merupakan dasar dari

e-commerce.

3. Otensitas Subjek Hukum

Otensitas sama artinya dengan autentik, autentik menurut Kamus Umum

Bahasa Indonesia artinya dapat dipercaya, asli atau sah.47

a. Kecakapan para pihak

Masalah otensitas para

subyek hukum dalam e-commerce menjadi isu yang penting untuk dibahas karena

menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat melalui e-commerce. Isu yang

menyangkut otensitas adalah :

Dasar hukum bagi perjanjian di Indonesia diatur dalam pasal 1320

KUHPerdata. Dalam pasal 1320 ini terdapat 4 syarat untuk sahnya suatu

perjanjian yakni :

1) Kesepakatan para pihak,

47 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai pustaka, Jakarta, 1976, h. 65.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

2) Kecakapan,

3) Suatu hal tertentu

4) Suatu sebab yang halal

Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif karena menyangkut individu yang

membuat perjanjian, sedangkan syarat 3 dan 4 merupakan syarat obyektif. Tidak

terpenuhinya salah satu syarat diatas dalam suatu perjanjian akan menimbulkan

dampak hukum yang berbeda tergantung syarat mana yang tidak dipenuhi.

Apabila syarat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian

tersebut dapat dibatalkan, sedangkan apabila syarat 3 dan 4 yang tidak dipenuhi

maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.

Pada asasnya semua orang cakap untuk membuat perikatan/perjanjian,

kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Menurut undang-

undang, orang yang tak cakap adalah mereka yang belum dewasa (genap berusia

21 tahun atau mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah) dan

mereka yang di bawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap, lemah akal dan

pemboros).48

48 Abdulkadir Muhammad, op . cit , h. 250.

Namun dalam e-commerce sangat sulit untuk menentukan seseorang

yang melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan

karena proses penawaran dan penerimaan tidak dilakukan secara fisik melainkan

melalui suatu media elektronik yang rawan penipuan. Dalam e-commerce, sering

terjadi dimana konsumen yang belum dewasa melakukan pembelian dan pesanan

tersebut diproses oleh penjualnya walaupun penjual mengetahui bahwa konsumen

tersebut belum dewasa, ini terlihat dalam forum jual beli classyfield.chip.co.id

Universitas Sumatera Utara

Page 27: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

dimana 30 % dari pembeli dalam forum tersebut adalah anak-anak usia 15-20

tahun.49

b. Dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang berwenang

mewakilinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan

Informasi dan Transaksi Elektronik (RPP ITE), hal ini telah mendapat pengaturan.

Dalam Pasal 2 RPP ITE diatur mengenai syarat sahnya suatu transaksi elektronik,

syarat tersebut adalah :

c. Obyek transaksi tidak boleh bertentangan dengan UU

d. Dilakukan dengan kontrak elektronik

e. Dilaksanakan dengan sistem elektronik yang disepakati.

Berdasarkan persyaratan diatas maka jelas bahwa apabila syarat kecakapan

tidak dipenuhi maka transaksi elektronik tersebut tidak sah/ tidak memiliki

kekuatan hukum sehingga berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata perjanjian

tersebut dapat dibatalkan. Kemudian dalam Pasal 3 RPP ITE disebutkan mengenai

kewajiban penyelenggara transaksi elektronik untuk melakukan langkah-langkah

yang memadai untuk menguji keaslian identitas dan kewenangan konsumen yang

melakukan transaksi elektronik dengan berbagai metode yang dimungkinkan.

Dengan adanya pengaturan sebagaimana disebutkan diatas, maka jelas

bahwa untuk melakukan transaksi elektronik harus memenuhi syarat kecakapan

sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

49http://forum.chip.co.id/chip-classifieds/118515-opini-pembeli-anda-adalahanak.

html#post2063158, bahan diakses tanggal 1 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 28: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

4. Validitas subyek hukum

Validitas dalam e-commerce adalah hal yang sangat penting, pengertian

validitas ini adalah sejauh mana kebenaran akan keberadaan suatu subyek

hukum.50

a. Dengan pencantuman alamat

Konsep validitas dalam e-commerce menjadi penting karena dapat

mencegah terjadinya penipuan, untuk mengetahui kemana ganti rugi harus

diajukan dan menambah kepercayaan konsumen untuk berbelanja. Dalam e-

commerce banyak cara yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menunjukkan

validitasnya misalnya :

Biasanya website e-commerce mencantumkan alamatnya di website

mereka dengan tujuan untuk memberitahu kepada calon konsumen mereka bahwa

mereka betul-betul ada, sehingga konsumen merasa aman untuk berbelanja di

website tersebut. Selain itu, dengan dicantumkannya alamat penjual maka pembeli

mengetahui kemana harus mengajukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan

terhadap barang yang dibeli atau apabila barang tidak sampai ke tangan

konsumen.

b. Mencantumkan logo perusahaan

Pencantuman logo perusahaan dalam suatu website, menandakan bahwa

website tersebut benar-benar ada, karena sudah diotorisasi oleh CA (Certification

Authority).

c. Feed back dari pelanggan.

50 http://violetatniyamani.blogspot.com/2007/09/teori-validitas.html, bahan diakses tanggal 5 Mei

2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 29: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Ini adalah salah satu bentuk validitas yang paling sederhana namun tingkat

validitasnya hampir sempurna. Feed back ini diberikan oleh pelanggan yang

merasa puas dengan pelayanan, kecepatan pengiriman barang yang dipesan dan

kualitas barang yang dibeli dari suatu website, feed back yang menyatakan

kepuasaan pelanggan terhadap suatu website dalam dunia internet dikenal dengan

istilah positive feed back. Semakin banyak konsumen yang puas terhadap suatu

website e-commerce, semakin tinggi reputasi dan validitas website tersebut,

sehingga calon pelanggan akan semakin yakin akan pelayanan website tersebut.

Sistem ini sangat bagus, karena pelaku usaha dituntut untuk memberikan

pelayanan yang sebaik-baiknya. Dalam e-commerce, apabila suatu website

menerima feed back yang buruk/negatif dari pelanggannya maka dapat dipastikan

bahwa website tersebut akan sepi oleh pembeli.

Validitas erat kaitannya dengan CA (Certification Authority), namun

dalam UU ITE tidak menggunakan istilah CA tapi menggunakan istilah “lembaga

sertifikasi keandalan”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 diartikan sebagai lembaga

independent yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi

oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat

keandalan dalam e-commerce. Salah satu tugas CA adalah melakukan verifikasi,

pemeriksaan dan pembuktian identitas pengguna dan pelanggan atau dengan kata

lain CA bertugas untuk memastikan dan menjamin kebenaran keberadaan

pengguna dan pelanggan sehingga terjamin otentisitasnya. Yang dimaksud dengan

pengguna dan pelanggan adalah para pihak yang terlibat dalam transaksi e-

commerce.

Universitas Sumatera Utara

Page 30: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Peranan CA untuk menjamin otentisitas para pihak yang terlibat dalam e-

commerce adalah untuk mencegah penipuan-penipuan yang sering terjadi dalam

transaksi e-commerce seperti ”phising”. Phising sering diartikan sebagai suatu

cara untuk memancing seseorang ke halaman tertentu. phising tidak jarang

digunakan oleh para pelaku kriminal untuk memancing seseorang agar

mendatangi alamat web melalui e-mail, salah satu tujuannya adalah untuk

menjebol informasi yang sangat pribadi dari sang penerima email, seperti

password, nomor kartu kredit, dan lain-lain dengan cara mengirimkan informasi

yang seakan-akan dari penerima e-mail mendapatkan pesan dari sebuah situs, lalu

mengundangnya untuk mendatangi sebuah situs palsu. Situs palsu dibuat

sedemikian rupa yang penampilannya mirip dengan situs aslinya, lalu ketika

korban mengisikan password maka pada saat itulah penjahat ini mengetahui

password korban. Penggunaan situs palsu ini disebut juga dengan istilah

pharming.51

Selain mengatur tentang CA, UU ITE secara implisit mengatur kejahatan

mengenai phising yakni tercantum dalam Pasal 35, dimana disebutkan bahwa

“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum

melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi

elektronik tersebut dianggap seolah-olah otentik”, dimana pelanggaran terhadap

Bila suatu situs e-commerce menggunakan jasa CA, maka otentisitas

dari situs tersebut akan terjamin, sehingga konsumen dapat bertransaksi dengan

lebih aman.

51 http://www.total.or.id/info.php?kk=phising, bahan diakses tanggal 15 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 31: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Pasal 35 ini dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling

banyak 12 miliar rupiah (Pasal 51 ayat 1).

Namun UU ITE tidak mewajibkan suatu situs e-commerce untuk

menggunakan jasa CA, ini terlihat dalam Pasal 10 ayat 1 dimana disebutkan

“Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat

disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi keandalan” (garis bawah dari penulis). Dari

rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan

untuk menggunakan jasa CA, sehingga tidak semua situs e-commerce dijamin

otentisitasnya oleh CA. Seharusnya UU ITE mewajibkan sertifikasi setiap situs e-

commerce untuk memberikan perlindungan bagi konsumen dari penipuan.

5. Obyek E-Commerce

Yang menjadi obyek e-commerce adalah barang atau jasa yang diperjual

belikan oleh pelaku usaha kepada setiap orang yang membeli barang dan jasa

melalui e-commerce. Namun tidak semua barang atau jasa dapat diperjualbelikan

dalam e-commerce. UU ITE dan UUPK tidak mengatur mengenai syarat-syarat

barang atau jasa yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan dalam e-commerce,

namun dengan melihat ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terdapat ketentuan yang

mengatur mengenai barang-barang yang boleh untuk diperdagangkan yakni :52

1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, baik yang ada sekarang

maupun yang akan ada.

52 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, h. 169.

Universitas Sumatera Utara

Page 32: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

2) Tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.

Apabila kedua hal tersebut diatas dilanggar, maka perjanjian jual beli dalam

transaksi barang dinyatakan batal demi hukum.

UUPK tidak mengatur mengenai persyaratan tentang barang atau jasa yang

boleh diperdagangkan, melainkan hanya mengatur mengenai perbuatan yang

dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan barang atau jasa (BAB IV UUPK

Pasal 8-17). Namun dari ketentuan yang tercantum dalam bab IV tersebut, dapat

dijadikan acuan mengenai barang atau jasa yang boleh untuk diperdagangkan.

Dalam Pasal 8 ayat 1, disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk

mengedarkan barang atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam

ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam

hitungan sebagaimana yang diyatakan dalam label atau etiket barang.

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan

menurut ukuran yang sebenarnya.

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau

jasa tersebut.

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses, pengolahan, gaya,

mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Page 33: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label , etiket, keterangan,

iklan atau promosi penjualan barang/jasa tersebut.

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan

“halal” yang dicantumkan dalam label.

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama

barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal

pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan

lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam

bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang

memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.

Dalam ayat 3 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan

persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan

atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Selain Pasal 8,

terdapat juga Pasal lain yang dapat dijadikan acuan mengenai barang-barang yang

diperbolehkan dalam transaksi e-commerce yakni terdapat dalam :

a. Pasal 9 melarang melakukan manipulasi produk atau jasa.

b. Pasal 10 melarang memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan.

Universitas Sumatera Utara

Page 34: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

c. Pasal 11 mengatur mengenai barang-barang yang dijual secara lelang atau

obral.

d. Pasal 13 dan 14 mengatur mengenai perihal pemberian hadiah terhadap

barang/jasa yang dibeli.

e. Pasal 16 mengatur tentang keharusan pelaku usaha untuk menepati janji dalam

hal pembelian barang dibeli melalui pesanan. Hal ini banyak terjadi dalam

transaksi e-commerce dimana pembeli membeli barang dengan cara memesan.

f. Pasal 17 mengatur secara khusus tentang periklanan

Walaupun UU ITE tidak mengatur mengenai kriteria barang yang boleh

diperdagangkan dalam transaksi e-commerce, namun UU ITE mewajibkan pelaku

usaha untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan

produk yang ditawarkan (Pasal 9) dan melarang penyebaran berita bohong dan

menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik

(Pasal 28 ayat 1).

6. Tanggung Jawab Para Pihak

Transaksi e-commerce dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun

pihakpihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain melainkan

berhubungan melalui media internet. Dalam e-commerce, pihak-pihak yang

terkait tersebut antara lain :53

a. Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet\

sebagai pelaku usaha.

53 Edmon Makarim, op . cit , h. 65.

Universitas Sumatera Utara

Page 35: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

b. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima

penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan melakukan

transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.

c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual

atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan secara

elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka

berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan

melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.

d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.

Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di

atas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant

merupakan pihak yang menawarkan produk melalui Internet, oleh karena itu

penjual bertanggung jawab memberikan informasi secara benar dan jujur atas

produk yang ditawarkan kepada pembeli atau konsumen (UU ITE Pasal 9). Di

samping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh

undang-undang maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak rusak atau

mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang

yang layak untuk diperjualbelikan (UUPK Pasal 8). Penjual juga bertanggung

jawab atas pengiriman produk atau jasa yang telah dibeli oleh seorang konsumen.

Dengan demikian, transaksi jual beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi

siapa pun yang membelinya. Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha

memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga

Universitas Sumatera Utara

Page 36: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

barang yang dijualnya dan juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas

tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan

transaksi jual beli elektronik ini. Jadi, pembeli berkewajiban untuk membayar

sejumlah harga atas produk atau jasa yang telah dipesannya pada penjual tersebut.

Seorang pembeli memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang

telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disampaikan

antara penjual dan pembeli tersebut, selain itu mengisi data identitas diri yang

sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen

berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya

itu. Pembeli juga berhak mendapat perlindungan hukum atas perbuatan

penjual/pelaku usaha yang ber’itikad tidak baik.

Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik,

berkewajiban dan bertanggung jawab sebagai penyalur dana atas pembayaran

suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu karena mungkin saja

pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui

Internet yang letaknya berada saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus

mengunakan fasilitas Bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang

telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening

pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).

Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik,

dalam hal ini provider memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk

menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan

transaksi jual beli secara elektronik melalui media Internet dengan penjualan yang

Universitas Sumatera Utara

Page 37: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

menawarkan produk lewat Internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerja sama

antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui

Internet ini.

Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang

dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem yang informasi

berbasis computer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa

tekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara

elektronik tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga

terjadi pada pihak-pihak dibawah ini:54

a. Business to business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan

dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan

bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah

saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan

untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.

b. Costumer to costumer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar

individu dengan individu yang akan saling menjual barang.

c. Custumer to business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar

individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya.

d. Costumer to goverment, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antar

individu dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran pajak.

Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam satu transaksi

jual beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu tetapi juga

54 Edmon Makarim, op . cit , h. 75.

Universitas Sumatera Utara

Page 38: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara

individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termasuk secara

perdata telah memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan

hukum dalam hal ini hubungan hukum jual beli.55

Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh

berbeda dengan jual beli biasa, sebagai berikut:

56

a. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website

pada Internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan strorefront yang berisi

catalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang

memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat barang yang

ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan jual beli melalui took online

ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa

dibatasi ruang dan waktu.

b. Penawaran dalam sebuah website biasanya menampikan barang-barang yang

ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi

oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termasuk menu produk lain yang

berhubungan. Penawaran melalui Internet terjadi apabila pihak lain yang

mengunakan media Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha

yang melakukan penawaran, oleh karena itu apabila seseorang tidak

menggunakan media Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang

menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran.

Dengan demikian, penawaran melalui media Internet hanya dapat terjadi

55 Edmon Makarim, loc . cit . 56 Edmon Makarim, Op . cit , h. 82.

Universitas Sumatera Utara

Page 39: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

apabila seseorang membuka situs yang menampikan sebuah tawaran melalui

internet tersebut.

c. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila

penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerima dilakukan

melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan sebuah e-mail tersebut

yang ditujukan untuk seluruh rakyat yang membuka website yang berisikan

penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha.

Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu dapat

membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan

barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik khususnya melalui

website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang

ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau

konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka

barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen

merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki

tahap pembayaran.

d. Pembayaran dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung,

misalnya melalui fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada system

keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi

cara pembayaran adalah sebagai berikut:

1) Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan

intitusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan

pengambilan atau deposit uangnya dari account masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

Page 40: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

2) Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan

langsung antar kedua pihak tanpa perantaraan mengunakan uang

nasionalnya.

3) Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan

proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek

masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain: sistem

pembayaran melalui kartu kredit online serta sistem pembayaran

check in line. Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda,

maka pembayaran dapat dilakukan melalui cash account to account

atau pengalihan dari rekening pembeli pada rekening penjual.

berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan

melalui kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual

dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara

elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya

perbedaan lokasi antar penjual dengan pembeli, dimungkinkan untuk

dilakukan.

e. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas

barang yang telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini

pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya barang

yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli

dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar penjual dan

pembeli.

Universitas Sumatera Utara

Page 41: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah

diuraikan di atas yang telah menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya

dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli

saling bertemu secara lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet,

sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap

dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling

bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu

serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.

Pasal 15 UU ITE menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi

dan transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi

sebagaimana mestinya. penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab

atas sistem yang diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa

sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap

penyelenggaraan system elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik

secara minimum, yang harus dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem

elektronik adalah:

i. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan

penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;

ii. Dapat melindungi otentifikasi, integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses

dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan system elektronik

tersebut;

iii. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam

penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;

Universitas Sumatera Utara

Page 42: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

iv. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dengan bahasa, informasi,

atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan

penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan

v. Memiliki fitur untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan

pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut secara

berkelanjutan;

Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa “pelaku usaha yang menawarkan

produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan

benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.

Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa “setiap pelaku usaha yang

menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga

Sertifikasi keandalan”. Dalam Pasal 10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan

mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah”.

Terkait dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda tangan

elektronik maka dalam Pasal 12 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang

yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan

pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya”. Dalam Pasal 12

ayat (2) UU ITE dijelaskan bahwa “pengamanan tanda tangan elektronik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi ;

i. Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak ;

Universitas Sumatera Utara

Page 43: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

ii. Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk

menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait

pembuatan tanda tangan elektronik ;

iii. Penanda tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang

dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik jika ;

iv. Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan

elektronik telah di bobol; atau

v. Keadaan yang diketahui oleh penada tangan dapat menimbulkan resiko

yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembentukan tanda

tangan elektronik.

vi. Dalam hal sertifikasi digunakan untuk mendukung tanda tangan

elektronik, penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan

semua informasi yang terkait dengan sertifikasi elektronik tersebut.

Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang

melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat

pelanggaran yang dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan

elektronik tersebut.

B. Bentuk-Bentuk Kerugian Konsumen dalam E-Commerce

Transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan

kecepatan dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah yang mendorong

Universitas Sumatera Utara

Page 44: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-

commerce, tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak

konsumen. Kerugian yang diderita konsumen dapat berupa :

1. Wanprestasi

Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang

dimaksud oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Karena merupakan suatu

perjanjian maka melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu

kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu

perjanjian. Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak

dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan

oleh kontrak kepada para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual

merupakan kerugian bagi pihak konsumen. Bentuk-bentuk dari pada wanprestasi

yang dilakukan oleh pelaku usaha ini antara lain :57

a. Tidak Melakukan Apa Yang Disanggupi Akan Dilakukan

Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk

menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk

menanggung kenikmatan tenteram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika

penjual tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, penjual dapat dikatakan

wanprestasi. Contohnya saja toko online kakilima.com yang menawarkan cakes

(kue ulang tahun). Kaki lima menjanjikan untuk mengantar pesanan pembeli

dalam waktu satu minggu setelah pesanan diterima. Apabila pembeli memesan

57 M. Arsyad Sanusi, E- commerce: hukum dan solusinya, PT Mizan Grafika Sarana, Jakarta,

2007, h. 34.

Universitas Sumatera Utara

Page 45: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

kue ulang tahun tersebut tanggal 12 juni 2010, seharusnya cakes atau kue ulang

tahun tersebut sampai di tempat pembeli pada tanggal 19 juni 2010. Akan tetapi,

ternyata penjual tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak

mengirimkan kue tersebut sehingga dengan demikian penjual telah melakukan

wanprestasi.58

b. Melaksanakan Apa Yang Dijanjikan Tetapi Terlambat

Situs-situs e-commerce di Indonesia, jarang memberikan informasi

mengenai perhitungan durasi waktu pengiriman, hal ini berbeda dengan Situs e-

commerce besar seperti amazon.com dan playasia.com yang selalu

mencantumkan perkiraan durasi waktu pengiriman barang.Melaksanakan apa

yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.

Contoh atau aplikasi dari wanprestasi ini adalah pembeli membeli sebuah

hardware komputer pada forum jual beli kaskus.us Menurut gambar dan dekripsi

barang yang terdapat di iklan tersebut menyatakan bahwa perlengkapan dari

hardware tersebut sangat lengkap walaupun hardware tersebut adalah barang

bekas. Perlengkapan yang ada menurut iklan tersebut adalah hardware, Cd driver,

buku manual operasi, kabel power dan sebuah bonus cd game. Akan tetapi setelah

sampai di tempat pembeli, bonus cd game tidak disertakan sebagaimana yang

tertera dalam iklan. Dengan demikian, jelas sekali bahwa penjual telah melakukan

wanprestasi karena melaksanakan prestasinya dengan tidak sebagai mana

mestinya.

58 http://www.mediakonsumen.com/Artikel1732.html, diakses pada tanggal 10 Mei 2010.

Universitas Sumatera Utara

Page 46: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada

nomor “a”. jika barang yang dipesan datang terlambat, tetapi tetap dapat

dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat.

Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi, digolongkan sebagai tidak

melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.

c. Melakukan Sesuatu Yang Menurut Perjanjian Tidak Boleh Dilakukan

Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi

konsumen yang dilakukan oleh penjual. Informasi yang disebarkan oleh penjual

tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh konsumen sendiri dan

cookies yang berasal dari situs penjual. Penyebaran terhadap informasi pribadi

ini tentu akan akan merugikan konsumen, terlebih lagi terhadap informasi

sensitif seperti nomor kartu kredit.

4. Kerugian yang timbul akibat cyber crimes

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia cyber terdapat berbagai jenis

kejahatan yang dapat merugikan konsumen. Kegiatan transaksi e-commerce yang

semakin meningkat pesat menarik minat para penjahat cyber. Kejahatan dalam

dunia cyber sering disebut dengan cyber crimes. Jenis-jenis dari e-crime adalah

sebagai berikut :59

a. Penipuan financial menggunakan media komputer atau media digital

59 Abdul Wahid dan Mohhamad Labib, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Refika Aditama,

Malang, 2005. hal. 80.

Universitas Sumatera Utara

Page 47: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

b. Sabotase terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang lain, dan

jaringan komunikasi data.

c. Pencurian informasi pribadi seseorang maupun organisasi tertentu.

d. Penetrasi terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan

privasi terganggu atau gangguan pada fungsi komputer yang digunakan

(denial of service).

e. Para pengguna internal sebuah organisasi melakukan akses-akses ke server

tertentu atau ke internet yang tidak diijinkan oleh peraturan organisasi.

f. Menyebarkan virus, worm, backdoor, trojan pada perangkat komputer sebuah

organisasi yang mengakibatkan terbukanya aksesakses bagi orang-orang yang

tidak berhak.

Kesemua jenis cyber crime tersebut menimbulkan kerugian yang amat

besar bagi korbannya, sebab data yang dicuri pada umumnya adalah data yang

sensitif seperti nomor kartu kredit, nama korban, username atau password dan

lain-lain.

C. Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Konsumen Apabila Terjadi

Kerugian Dalam E-Commerce

Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu

masalah hukum. Dalam E-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni :

1. Upaya hukum preventif

Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang

dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan yang tidak

Universitas Sumatera Utara

Page 48: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

diinginkan. Dalam transaksi e-commerce, keadaan yang tidak diinginkan ini

adalah terjadinya kerugian, khususnya kerugian pada pihak konsumen. Upaya

preventif perlu untuk diterapkan mengingat penyelesaian sengketa e-commerce

relatif sulit, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan tidak

jarang memerlukan biaya yang tinggi. Sebagai contoh dua orang Hongkong dan

Austraia memerlukan waktu 5 bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran

kembali) atas barang yang dibeli. Maka dari itu, sengketa e-commerce sebisa

mungkin harus dicegah. Dalam usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kerugian

langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :

a. Pembinaan Konsumen

Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 UUPK dimana

disebutkan bahwa:

“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan

konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta

dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.

Kemudian dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen bertujuan untuk :

1) Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan

konsumen.

2) Berkembangnya lembaga konsumen swadaya masyarakat.

3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan

penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.

Universitas Sumatera Utara

Page 49: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak

haknya sebagai konsumen dan mendorong pelaku usaha agar berusaha secara

sehat. Dalam era Informasi Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen

harus ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk

mengatasi cybercrime, karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen

tidak hanya berasal dari pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga

melalui kejahatan-kejahatan internet (cyber crimes). Hal-hal yang perlu diberikan

dalam edukasi terhadap konsumen adalah :

1) hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak terkait. Baik konsumen,

pelaku usaha, maupun bank (dalam hal transaksi menggunakan kartu kredit)

2) Pentingnya menjaga keamanan password seperti misalnya :

a) merahasiakan dan tidak memberitahukan PIN/Password kepada siapapun

termasuk kepada petugas penyelenggara

b) Menggunakan Pin/Password yang tidak mudah ditebak

c) melakukan perubahan PIN/Password secara berkala

d) tidak mencatat PIN/Password dalam bentuk fisik

e) Pin untuk satu produk hendaknya berbeda dengan produk lainnya.

3) Edukasi mengenai berbagai modus cyber crime

Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri/menteri

teknis terkait (UUPK Pasal 29 ayat 2). Namun dalam praktek, peranan pemerintah

dalam melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal,

hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang

Universitas Sumatera Utara

Page 50: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

dimilikinya dan masih rendahnya keberanian konsumen untuk menuntut pelaku

usaha.

b. Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah Maupun Badan Yang Terkait.

Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan

tercantum dalam UU ITE Pasal 40 ayat 2 dan UUPK Pasal 30 ayat 1, dimana

dalam Pasal 40 ayat 2 UU ITE disebutkan bahwa “Pemerintah melindungi

kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan

Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban

umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Perlindungan

oleh pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa

Instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan

(back up) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan

perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap

data elektronik tersebut. Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah

terlaksana, hal ini terlihat dalam :

1) Dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang memblokir konten-konten internet

yang mengandung unsur pornografi dan konten yang berbau SARA

(implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE).60

60 Salah satu contoh implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE yang sudah dilakukan oleh pemerintah

adalah pemblokiran website-website porno dan menghapus/memblokir website-website yang

menampilkan/menyediakan film fitna, dimana film tersebut mengandung muatan SARA.

Universitas Sumatera Utara

Page 51: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

2) Pengawasan terhadap bank yang memiliki data elektronik yang strategis

dilakukan oleh Bank Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5 UU

ITE).

Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa

“Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta

penerapan ketentuan peraturan Perundang-undangannya diselenggarakan oleh

pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat”.

Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga

swadaya masyarakat misalnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

(YLKI). Hal ini disebabkan karena rendahnya kinerja badan pemerintah yang

bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya sosialisasi dan

edukasi kepada konsumen.

2. Upaya hukum represif

Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk

menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini

digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.

Menurut UUPK salah satu hak konsumen adalah mendapatkan advokasi,

perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut (UUPK Pasal 4 huruf

e). Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi,

ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan

pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f).

Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang bias menimbulkan suatu sengketa

Universitas Sumatera Utara

Page 52: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

sebagaimana disebutkan diatas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan

konsumen terhadap sistem e-commerce, sehingga diperlukan suatu mekanisme

penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.

Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat

nasional. Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi dapat

dilakukan dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik

e-commerce yang bersifat borderless. Oleh karena itu, pembahasan dalam sub bab

ini dibagi menjadi dua yakni upaya hukum dalam hal transaksi terjadi secara

internasional dan transaksi yang terjadi dalam wilayah Indonesia.

3. Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional

Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-

commerce yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan

mana yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa.61

61 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, Cyber Law : aspek hukum teknologi

informasi,Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal.167.

Dalam UU ITE,

pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat

dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) UU ITE para pihak berwenang untuk

menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya,

maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku

apa bila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan

Universitas Sumatera Utara

Page 53: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

pilihan hukum, ada batasanbatasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan

yakni sebagai berikut :62

a. Partijautonomie

Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak

menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar

penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang

dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui

oleh sebagian besar Negara, seperti eropa, eropa timur, Negara-negara asia afrika,

termasuk Indonesia.

b. Bonafide

Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik,

yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan

yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.

c. Real Connection

Beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata

antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak

ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.

d. Larangan Penyelundupan Hukum

Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum,

hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenangwenangan

demi keuntungan sendiri.

62 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis

Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hal.70-71.

Universitas Sumatera Utara

Page 54: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

e. Ketertiban Umum

Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi

hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa

ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam

melakukan pilihan hukum.

Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam

melakukan pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip

dan batasan sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak

mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya

maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak

ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI

terdapat teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu

kontrak internasional, teori tersebut adalah :63

a. Teori Lex loci contractus, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana

kontrak dibuat. Teori ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan

dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak

yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu

tempat (contract between absent person). Dapat saja mereka berkontrak

melalui telepon atau sarana-sarana lainnya. Alternatif yang tersedia bagi

kelemahan teori ini adalah pertama, teori post box dan kedua, teori

penerimaan. Menurut teori post box, hukum yang berlaku adalah hukum

tempat post box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu

63 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III bagian 2 Buku ke-8),

Alumni, Bandung, 1998,h. 8-16.

Universitas Sumatera Utara

Page 55: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara

itu, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di

mana pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan

penawaran dari pihak yang menerima tawaran.

b. Teori Lex loci solutionis, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana

perjanjian dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani.

Kesulitan utama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak

di satu tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak

(penjual dan pembeli) yang berada di Negara berbeda, dan dengan system

hukum yang berbeda pula.

c. Teori the proper law of contract, hukum yang berlaku adalah hukum Negara

yang paling wajar berlaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik

berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.

d. Teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah hukum

dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori

ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti

keharusan untuk mengadakan kualifikasi lex loci contractus atau lex loci

solutionis, di samping itu juga dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal

oleh teori ini.

Selain para pihak dapat menentukan hukum yang berlaku, para pihak juga

dapat secara langsung menunjuk forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga

penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa

diantara mereka (Pasal 18 ayat 4). Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce

Universitas Sumatera Utara

Page 56: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

yang bersifat internasional, sebaiknya menggunakan mekanisme ADR

(Alternative Dispute Resolution). Alasannya adalah bahwa dengan menggunakan

ADR maka para pihak tidak perlu dipusingkan dengan perbedaan sistem hukum,

budaya dan bahasa.64 Dasar hukum ADR di Indonesia adalah Undang-undang No.

30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU

Arbitrase). Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan e-commerce sepenuhnya

bersifat online oleh karena itu sudah sewajarnya apabila penyelesaian

sengketanyapun dilakukan secara online, mengingat bahwa para pihak

berkedudukan dinegara yang berbeda yang tentunya bila penyelesaian sengketa

dilakukan dengan pertemuan secara fisik akan memakan waktu dan biaya yang

banyak. Di Amerika bermunculan situs-situs untuk menyelesaikan permasalahan

ecommerce secara online seperti Cybersettle.com, E-Resolutions.com,

iCourthouse, dan Online Mediators.65

64 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, opcit, Hal. 177. 65 Edmon Makarim, op.cit, h. 180.

Pelaksanaan penyelesaian sengketa e-

commerce di Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun UU Arbitrase

memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan

menggunakan e-mail, hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU

No.30 tahun 1999 yakni “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui

arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,

faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib disertai

dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.” (huruf miring dari penulis).

Dengan diperbolehkannya penggunaan e-mail untuk menyelesaikan sengketa,

Universitas Sumatera Utara

Page 57: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

maka para pihak dapat menyelesaiakan sengketanya secara online tanpa harus

bertemu satu sama lain.

4. Upaya hukum bagi transaksi e-commerce yang terjadi di Indonesia

a. Non Litigasi

Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan di selenggarakan untuk

mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau

mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali

kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 47 UUPK). Penyelesaian sengketa

konsumen melalui jalur non litigasi digunakan untuk mengatasi keberlikuan

proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat 4 UUPK disebutkan bahwa “jika telah

dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan

melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak

berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”.

Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh melalui Lembaga

Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag,

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha sendiri.66

YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh

pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen

(UUPK Pasal 44 ayat 1 dan 2). YLKI menyediakan sarana dengan bentuk

pengaduan terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan

Masing-masing badan ini memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam

menyelesaikan perkara yang ada.

66 Edmon Makarim, op . cit , h. 404.

Universitas Sumatera Utara

Page 58: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

dari empat saluran yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke

kantor YLKI, dan email.67

Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen

Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI,

yaitu melakukan pengaduan disertai dengan bukti kejadian. Perbedaannya adalah

pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal masalah

yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak

pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan mematuhi ketentuan yang telah

digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait dengan ancaman pencabutan

Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem

full up atau secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen

harus dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas

konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran

melalui ATM maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam

aduannya. Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut,

selanjutnya YLKI akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai

keterangannya. Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak

konsumen tidak puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat

mengundang kedua belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya.

Disini YLKI bertindak sebagai mediator. Sistem kedua yakni sistem non-full up,

dalam sistem ini YLKI akan memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat

dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk

ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem full up.

67 http://www.mediakonsumen.com/Kategori11.html, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.

Universitas Sumatera Utara

Page 59: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

izin usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag. Terapi ini ampuh untuk

menindaklanjuti permasalahan konsumen yang mengemuka. Mekanisme

pengaduan melalui lembaga pemerintah ini masih jarang dilakukan konsumen

karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran pengaduan yang tenyata

disediakan oleh Disperindag.68

BPSK merupakan badan bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah

melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara

melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa

konsumen melalui badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-

belit.

69

Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat

berasal dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer

Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini

dan mengisi formulir pengaduan, nantinya BPSK akan mengundang para pihak

yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. BPSK berwenang

untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang

diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa

melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase,

sebab hasil putusan arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan

hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh

BPSK adalah 21 hari sejak pengaduan diterima (Pasal 55 UUPK) dan pelaku

usaha dalam waktu paling lambat 7 hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib

melaksanakan putusan tersebut.

68 Edmon Makarim, Op . cit , h. 405. 69 Happy Susanto, op . cit , h. 78.

Universitas Sumatera Utara

Page 60: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

service. Akan tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak

dapat memuaskan konsumen.

Dari uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang

tersedia telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya

yang dilanggar oleh pelaku usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan

kesadaran bagi konsumen untuk lebih berani mengadukan permsalahannya,

dimana dalam praktek konsumen masih enggan untuk melaporkan pelanggaran

terhadap hak-haknya.

b. Litigasi

Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam

Pasal 38 ayat 1 UU ITE dan Pasal 45 ayat 1 UUPK. Dalam Pasal 38 ayat 1 UU

ITE disebutkan bahwa:

“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang

menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi

yang menimbulkan kerugian”. Sedangkan gugatan yang diajukan berupa gugatan

perdata (Pasal 39 ayat 1).

Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa:

“Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui

lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku

usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.

Universitas Sumatera Utara

Page 61: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

Dengan diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di

pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU ITE maka

alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :

1) Bukti transfer atau bukti pembayaran.

2) SMS atau e-mail yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan pembelian.

3) Nama, alamat, nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha.

Pihak-pihak yang boleh mengajukan gugatan ke pengadilan dalam

sengketa konsumen menurut pasal 46 UUPK adalah :

1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya

2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama

3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang tujuan didirikannya

lembaga ini adalah untuk kepentingan konsumen.

4) Pemerintah atau instansi terkait

Yang perlu diperhatikan konsumen dalam mengajukan gugatan ke

pengadilan dalam sengketa konsumen adalah :

1) Setiap bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan ke

pengadilan dengan tidak memandang besar kecilnya kerugian yang diderita,

hal ini diizinkan dengan memperhatikan hal-hal berikut :70

(1) Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur

semata-mata dari nilai uang kerugiannya,

70 Janus Sidubalok, op . cit , h.148.

Universitas Sumatera Utara

Page 62: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

(2) Keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi siapa saja,

termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan

(3) Untuk menjaga intregitas badan-badan peradilan.

(4) bahwa pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan

tanggung jawab pelaku usaha, hal ini karena UUPK menganut asas

pertanggungan jawab produk (product liability) sebagaimana diatur

dalam Pasal 19 juncto Pasal 28 UUPK.71 Ini berbeda dengan teori beban

pembuktian pada acara biasa, dimana beban pembuktian merupakan

tanggung jawab penggugat (konsumen) untuk membuktikan adanya

unsur kesalahan. Dengan adanya prinsip product liability ini, maka

konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku usaha cukup

menunjukkan bahwa produk yang diterima dari pelaku usaha telah

mengalami kerusakan pada saat diserahkan oleh pelaku usaha dan

kerusakan tersebut menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi si

konsumen.72

Dengan berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan

suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang

diperbuatnya. Maka dalam hal ini konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa

kompensasi/ganti rugi kepada pelaku usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal

19 ayat 2 UUPK meliputi pengembalian sejumlah uang, penggantian barang atau

71 http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2002-dewi-5881- e-

commerce&q=Usaha, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.

72 N.H.T Siahaan, op . cit , h, 17.

Universitas Sumatera Utara

Page 63: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

jasa sejenis atau yang setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai

ketentuan perundang-undangan.

Berdasakan uraian diatas, terlihat bahwa penyelesaian sengketa konsumen

melalui jalur litigasi tidak serumit yang dibayangkan oleh konsumen pada

umumnya. Karena dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan,

pihak yang dibebani untuk membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan

merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.

Universitas Sumatera Utara

Page 64: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan diatas, dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

1. E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan

media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia terletak

dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian, maka

e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada

umumnya seperti :

- Asas kebebasan berkontrak

- Asas konsensual

- Asas itikad baik

- Asas keseimbangan

- Asas kepatutan

- Asas kebiasaan

- Asas ganti rugi

- Asas keadaan memaksa

- Asas kepastian hukum, dll.

Universitas Sumatera Utara

Page 65: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

2. UUPK dan UU ITE telah mampu memberikan perlindungan hukum yang

memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi jual beli barang beregrak

melalui e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam

ketentuanketentuan UUPK dan UU ITE dimana kedua peraturan tersebut telah

mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu

transaksi ecommerce, penggunaan CA (Certification Authority), permasalahan

klausula baku dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku

usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa yang dapat

dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi e-commerce. Walaupun UUPK

memiliki kelemahan yaitu hanya menjangkau pelaku usaha yang

berkedudukan di Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah ditutupi oleh UU

ITE dan berbagai ketentuan internasional.

3. Upaya hukum yang dapat ditempuh bagi konsumen yang dirugikan dalam

transaksi e-commerce adalah sebagai berikut :

a) Upaya hukum preventif

Upaya hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu

kerugian yakni dengan cara pengawasan oleh pihak-pihak terkait baik itu

pemerintah maupun maupun masyarakat dan melakukan pembinaan

konsumen.

b) Upaya hukum represif

Upaya hukum ini terdiri dari dua, yakni upaya hukum dalam hal

transaksi ecommerce bersifat internasional yang penyelesaiannya

menggunakan mekanisme ADR, dan upaya hukum dalam hal transaksi e-

Universitas Sumatera Utara

Page 66: PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-COMMERCE) DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA

commerce yang terjadi di Indonesia yang dapat diselesaikan melalui dua

jalur yakni jalur non-litigasi melalui Lembaga Swadaya Masyarakat

(YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha. Kemudian

jalur kedua adalah melalui jalur litigasi/ pengadilan.

D. Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan agar perlindungan hukum bagi

konsumen dalam transaksi e-commerce dapat terjamin adalah sebagai berikut ;

1. Pemerintah perlu segera membuat peraturan pelaksana untuk melengkapi

ketentuan hukum dalam UU ITE, karena masih terdapat hal-hal yang tidak

diatur dalam UU ITE, sehingga perlu dimasukkan kedalam peraturan

pelaksana.

2. Sebaiknya UU ITE mencantumkan kewajiban bagi website e-commerce yang

mengumpulkan data pribadi konsumen untuk mencantumkan kebijakan

privasinya, agar data-data pribadi konsumen tetap terjaga kerahasiaannya.

3. Perlu dilakukannya sosialisasi UU ITE agar masyarakat mengetahui bahwa

saat ini telah ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai

penggunaan informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik.

Disamping itu dengan adanya sosialisasi UU ITE diharapkan pelaku usaha,

konsumen dan pemerintah menyiapkan diri terhadap ketentuan hukum baru

dalam UU ITE sehingga pelaksanaan dari UU ITE ini dapat berjalan secara

efisien.

Universitas Sumatera Utara