Page 1
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG TRANSAKSI ELEKTRONIK (E-
COMMERCE)
A. Sejarah dan Perkembangan Transaksi Elektronik
Perdagangan merupakan transaksi jual beli barang yang dilakukan antara
penjual dan pembeli di suatu tempat. Transaksi perdagangan dapat timbul jika
terjadi pertemuan antara penawaran dan permintaan terhadap barang yang
dikehendaki. Perdagangan sering dikaitkan dengan berlangsungnya transaksi yang
terjadi sebagai akibat munculnya problem kelangkaan barang. Perdagangan juga
merupakan kegiatan spesifik, karena di dalamnya melibatkan rangkaian kegiatan
produksi dan distribusi barang. Kegiatan perdagangan bukan merupakan sesuatu
yang baru, sebab kegiatan ini sudah ada sejak zaman prasejarah.
Menurut sejarah, internet pertama kali muncul pada tahun 1969 di amerika
serikat, dimana dibentuk suatu jaringan computer di University of California di
Los Angeles, university of California di Santa Barbara, University of Utah dan
Institut Penelitian Stanford.26 Proyek yang didanai oleh Departemen Pertahanan
Amerika Serikat dengan nama Advanches Researches Project Agence (ARPA),
ARPA atau ARPANET ini didesain untuk mengadakan sistem desentralisasi
internet.27
26Mariam Darus Badrulzaman et al, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hal.267.
27 Ibid
Lalu sekitar tahun 1980, Yayasan Nasional Ilmu Pengetahuan (National
Scince Foundation) memperluas ARPANET untuk menghubungkan computer
Universitas Sumatera Utara
Page 2
seluruh dunia. Internet, termasuk electronic mail (E-mail) yang berkembang
sampai tahun 1994, pada saat mana ilmu pengetahuan memperkenalkan World
Wide Web (WWW). Seterusnya internet mengalami perkembangan dan
penggunaannya meluas ke kegiatan bisnis, industri, dan rumah tangga di seluruh
dunia. Perkembangan dan kemajuan internet telah mendorong kemajuan di bidang
teknologi informasi. Penggunaan internet yang semakin luas dalam kegiatan
bisnis, industri dan rumah tangga telah mengubah pandangan manusia. Dimana
kegiatan-kegiatan diatas pada awalnya dimonopoli oleh kegiatan fisik kini
bergeser menjadi kegiatan di dunia maya (Cyber world) yang tidak memerlukan
kegiatan fisik. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global
communication network) dengan semakin populernya internet, seakan telah
membuat dunia semakin menciut (shrinking the world) dan semakin memudarkan
batas negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakatnya, begitu juga
perkembangan teknologi dan informasi di Indonesia, maka transaksi jual beli
barang pun yang pada awalnya bersifat konvensional perlahan-lahan beralih
menjadi transaksi jual beli barang secara elaktronik yang menggunakan media
internet yang dikenal dengan e-commerce atau kontrak dagang elektronik.
Di Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996
dengan munculmya situs http:// http://www.sanur.com/ sebagai toko buku on-line
pertama. Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai
bermunculan berbagai situs yang melakukan e-commerce. Sepanjang tahun 1997-
1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit terabaikan karena krisis ekonomi
namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali menjadi fenomena yang menarik
Universitas Sumatera Utara
Page 3
perhatian meski tetap terbatas pada minoritas masyarakat Indonesia yang
mengenal teknologi.
E-commerce dapat dipahami sebagai kegiatan transaksi perdagangan baik
barang dan jasa melalui media elektronik yang memberikan kemudahan didalam
kegiatan bertransaksi konsumen di internet. Keunggulan e-commerce terletak pada
efisiensi dan kemudahannya, membahas tentang hukum e-commerce maka tidak
akan lepas dari hukum internet (cyber law). Internet adalah dunia virtual/dunia
maya yang memiliki komunitas yang sangat khas, yaitu tentang bagaimana
aplikasi teknologi komputer yang berlangsung secara online pada saat si pengguna
internet menekan atau telah terkoneksi dengan jaringan yang ada. Maka dalam
konteks ini pula maka aspek hukum yang melekat dari mekanisme e-commerce
adalah berinteraksi dengan aplikasi jaringan internet yang digunakan oleh pihak
yang melakukan transaksi melalui sistem e-commerce.28
B. Pengertian Transaksi Elektronik
Istilah Electronic Commerce belum memiliki istilah yang baku. Terdapat
beberapa istilah yang dikenal pada umumnya seperti E-Commerce, WEB
Contract, dan Kontrak Dagang Elektronik. Namun dalam tulisan ini, istilah yang
digunakan adalah e-commerce.
E-commerce merupakan bagian dari Electronic Bussines (bisnis yang
dilakukan melalui media elektronik). Kalangan bisnis memberikan definisi
28 Michael S.H. Neng, Understansing Electronic Commerce From A Historitical Perspective,
http://www.oecd.org/dsti/sti/it/infosoc/, bahan diakses tanggal 3 Februari 2008
Universitas Sumatera Utara
Page 4
tentang e-commerce sebagai segala bentuk perniagaan / perdagangan barang atau
jasa dengan menggunakan media elektronik. Media elektronik disini tidak terbatas
pada internet saja, namun karena penggunaan internet dewasa ini amat populer
maka focus pembahasan pada skripsi ini adalah e-commerce pada media internet.
Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi yang mengutip pendapat David
Baum29
Menurut Julian Ding sebagaimana dikutip oleh Mariam Darus
Badrulzaman memberikan definisi sebagai berikut :
menyebutkan bahwa “e-commerce is a dynamic sets of technologies,
application, and bussines procces that link enterprises, consumers and
communities through electronic transaction and the electronic exchange of goods,
services and information”. bahwa e-commerce adalah suatu set dinamis teknologi,
aplikasi, dan kegiatan bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen, dan
komunitas melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, servis dan
informasi.
30
“Electronic Commerc, or E-Commerce as it is also knomn is a commercial
transactions between a vendor and phurchaser or parties in similar contractual
relationships for the supply of goods, services or the acquisition of “right”. This
commercial transaction is executedor entered into in an electronic medium (or
digital medium)when the physical presence of the parties is not required. And the
medium exits in a public network or system as opposed to a private network
(Closed System). The public network or system must be considered an open
29Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi, Mengenal E-Commerce, PT Elex Media Komputindo, 2000,
Jakarta, hal. 2.
30 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, hal. 283
Universitas Sumatera Utara
Page 5
system (e.g the internet or the world wide web), the transactions are concluded
regardless of national boundaries or local requirements”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :
“Electronic Commerce Transaction adalah transaksi dagang antara
penjual dengan pembeli untuk menyediakan barang, jasa atau mengambil alih
hak. Kontrak ini dilakukan dengan media electronic (digital medium) di mana
para pihak tidak hadir secara fisik dan medium ini terdapat dalam jaringan
umum dengan sistem terbuka yaitu internet atau world wide web. Transaksi ini
terjadi terlepas dari batas wilayah dan syarat nasional”.
Wikipedia memberikan definisi E-commerce sebagai berikut :31
1. “e-commerce can be defined as commercial activities conducted through an
exchange of information generated, stored, or communicated by electronical,
optical or analogues means, including EDI, E-mail, and so forth”
Terjemahan bebasnya sebagai berikut :
e-commerce dapat didefinisikan sebagai aktifitas komersial melalui
pertukaran informasi yang dihasilkan, disimpan atau dikomunikasikan oleh
alat elektronik, optik atau analog, termasuk EDI, E-mail, dan lainlain.
2. “e-commerce is performing business transaction with the aid of evolving
computing tools and paper-less communication links (electronic messaging
technologies)”.
Terjemahan bebasnya sebagai berikut :
31 http://id.wikipedia.org/wiki/E-commerce, bahan diakses tanggal 10 Juni 2010.
Universitas Sumatera Utara
Page 6
e-commerce adalah alat untuk mendukung kegiatan transaksi bisnis dengan
perkembangan komputansi dan tidak menggunakan kertas.
3. “electronic Commerce may be defined as the entire set of process that support
commercial activities on a network and involve information analysis”.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :
e-commerce dapat didefinisikan sebagai suatu set dari keseluruhan proses
yang mendukung kegiatan komersial dalam jaringan dan mengembangkan
analisa informasi.
Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik beberapa unsur dari E-
commerce, yakni:32
1. Adanya kontrak dagang,
2. Kontrak itu dilaksanakan dengan media elektronik,
3. Transaksi bersifat paper less,
4. Kehadiran fisik dari para pihak tidak diperlukan,
5. Kontrak itu terjadi dalam jaringan publik,
6. Sistem terbuka, yaitu dengan internet atau WWW (World Wide Web)
7. Kontrak itu terlepas dari batas yurisdiksi nasional.
8. Mempunyai nilai ekonomis.
E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang
menggunakan media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia
terletak dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian,
32 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, hal.284.
Universitas Sumatera Utara
Page 7
maka e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada
umumnya seperti :33
1. Asas kebebasan berkontrak
2. Asas konsensual
3. Asas itikad baik
4. Asas keseimbangan
5. Asas kepatutan
6. Asas kebiasaan
7. Asas ganti rugi
8. Asas keadaan memaksa
9. Asas kepastian hukum, dll.
Karena berlakunya asas-asas hukum perjanjian dalam e-commerce, maka
ketentuan tentang perikatan tetap berlaku, sehingga berlaku pula Pasal 1320 KUH
Perdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian yakni :
1. Sepakat mereka untuk mengikatkan dirinya ;
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
C. Mekanisme dan Karakteristik E-Commerce
Transaksi e-commerce antara pihak e-merchant (pihak yang menawarkan
barang atau jasa melalui internet) dengan e-customer (pihak yang membeli barang
33 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, hal.282.
Universitas Sumatera Utara
Page 8
atau jasa melalui internet) yang terjadi di dunia maya atau di internet pada
umumnya berlangsung secara paperless transaction, sedangkan dokumen yang
digunakan dalam transaksi tersebut bukanlah paper document, melainkan
dokumen elektronik (digital document).34
Kontrak online dalam e-commerce menurut Santiago Cavanillas dan A.
Martines Nadal, seperti yang dikutip oleh Arsyad Sanusi memiliki banyak tipe
dan variasi berdasarkan sarana yang digunakan untuk membuat kontrak, yaitu:
35
1. Kontrak melalui chatting dan video conference
Chatting dan video conference adalah alat komunikasi yang disediakan
oleh internet yang biasa digunakan untuk dialog interaktif secara langsung.
Dengan chatting seseorang dapat berkomunikasi secara langsung dengan orang
lain seperti layaknya telepon, hanya saja komunikasi lewat chatting ini adalah
tulisan atau pernyataan yang terbaca pada komputer masing-masing. Sesuai
dengan namanya, video conference adalah alat untuk berbicara dengan beberapa
pihak dengan melihat gambar dan mendengar suara secara langsung pihak yang
dihubungi dengan alat ini. Dengan demikian melakukan kontrak dengan
menggunakan jasa chatting dan video conference ini dapat dilakukan secara
langsung antara beberapa pihak dengan menggunakan sarana komputer.
2. Kontrak melalui e-mail
E-mail adalah salah satu kontrak online yang sangat populer karena
pengguna e-mail saat ini amat banyak dan mendunia dengan biaya yang sangat
murah dan waktu yang efisien. Untuk memperoleh alamat e-mail dapat dilakukan
34Nofie Iman, Mengenal E-Commerce, www.hasan-uad.com/menegenal-e-commerce.pdf,hal.5
35 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Page 9
dengan cara mendaftarkan diri kepada penyedia layanan e-mail gratis atau dengan
mendaftarkan diri sebagai subscriber pada server atau ISP tertentu. Kontrak e-
mail dapat berupa penawaran yang dikirimkan kepada seseorang atau kepada
banyak orang yang tergabung dalam sebuah mailing list, serta penerimaan dan
pemberitahuan penerimaan yang seluruhnya dikirimkan melalui e-mail. Di
samping itu kontrak e-mail dapat dilakukan dengan penawaran barangnya
diberikan melalui situs web yang memposting penawarannya, sedangkan
penerimaannya dilakukan melalui e-mail.
3. Kontrak melalui web
Kontrak melalui web terjadi dimana pihak e-merchant memiliki deskripsi
produk atau jasa dalam suatu halaman web dan dalam halaman web tersebut
terdapat form pemesanan, sehingga e-customer dapat mengisi formulir tersebut
secara langsung apabila barang atau jasa yang ditawarkan hendak dibeli oleh e-
customer.
Secara umum tahapan mekanisme transaksi e-commerce dapat diurutkan
sebagai berikut:36
a. E-customer dan e-merchant bertemu dalam dunia maya melalui server yang
disewa dari Internet Server Provider (ISP) oleh e-merchant.
b. Transaksi melalui e-commerce disertai term of use dan sales term condition
atau klausula standar, yang pada umumnya e-merchant telah meletakkan
klausula kesepakatan pada website-nya, sedangkan e-customer jika berminat
tinggal memilih tombol accept atau menerima.
36 Nofie Iman, op.cit, hal. 8.
Universitas Sumatera Utara
Page 10
c. Penerimaan e-customer melalui mekanisme “klik” tersebut sebagai
perwujudan dari kesepakatan yang tentunya mengikat pihak e-merchant.
d. Pada saat kedua belah pihak mencapai kesepakatan, kemudian diikuti dengan
proses pembayaran, yang melibatkan dua bank perantara dari masing-masing
pihak yaitu acquiring merchant bank dan issuing customer bank. Prosedurnya
e-customer memerintahkan kepada issuing customer bank untuk dan atas
nama e-customer melakukan sejumlah pembayaran atas harga barang kepada
acquiring merchant bank yang ditujukan kepada e-merchant.
e. Setelah proses pembayaran selesai kemudian diikuti dengan proses
pemenuhan prestasi oleh pihak e-merchant berupa pengiriman barang sesuai
dengan kesepakatan mengenai saat penyerahan dan spesifikasi barang.
Berbeda dengan transaksi perdagangan pada umumnya, e-commerce
memiliki beberapa karakteristik yakni :37
a. Transaksi tanpa batas
Sebelum era internet, batas-batas geografi menjadi penghalang suatu
perusahaan atau individu yang ingin go-internasional. Sehingga hanya perusahaan
atau individu yang memiliki modal besar yang dapat memasarkan produknya ke
luar negeri. Dewasa ini dengan adanya internet, perusahaan kecil atau menengah
dapat memasarkan barangnya ke luar negeri dengan hanya membuat website atau
memajang iklan-iklannya di internet tanpa batas waktu (24 jam), maka pelanggan
dari seluruh dunia dapat mengaksesnya dan melakukan transaksi secara online.
b. Transaksi bersifat anonym
37 Nofie Iman, op.cit, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
Page 11
Para penjual dan pembeli dalam transaksi e-commere tidak harus bertemu
muka secara langsung satu sama lainnya. Bahkan penjual tidak memerlukan nama
pembeli, selama pembayarannya telah diotorisasi oleh penyedia layanan yang
ditentukan, biasanya pembayaran dilakukan dengan menggunakan kartu kredit
atau transfer via bank.
c. Produk yang diperdagangkan
Produk yang diperdagangkan melalui internet berupa produk digital
maupun non digital, barang berwujud maupun tak berwujud, dan barang bergerak.
D. Ruang Lingkup dan Dasar Hukum E-Commerce
Perkembangan dunia bisnis dewasa ini dalam perkembangan perdagangan
tidak lagi membutuhkan pertemuan secara langsung antara para pelaku bisnis.
Kemajuan teknologi memungkinkan para pelaku bisnis melakukan hubungan
hubungan bisnis melalui internet baik itu kegiatan penawaran maupun pembelian.
Ruang lingkup e-commerce meliput i 3 sisi yakni :38
1. Business to Business (B2B)
Merupakan sistem komunikasi bisnis antar pelaku bisnis atau dengan kata
lain secara elektronik antar perusahaan yang dilakukan secara rutin dan dalam
kapasitas atau volume produk yang besar. Aktivitas e-commerce dalam ruang
lingkup ini ditujukan untuk menunjang kegiatan para pelaku bisnis itu sendiri.
Karakteristik yang umum dalam lingkup B2B adalah :
38 Abdul Halim Barkatullah, Bisnis E-Commerce (studi sistem keamanan dan hukum di Indonesia),
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
Page 12
a. Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah
saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang
berlangsung cukup lama. Pertukaran informasi berlangsung diantara mereka
dan karena sudah sangat mengenal, maka pertukaran informasi dilakukan atas
dasar kebutuhan dan kepercayaan;
b. Pertukaran yang dilakukan secara berulang-ulang dan berkala format data
yang telah telah disepakati. Jadi service yang digunakan antara kedua sistem
tersebut sama dan menggunakan standar yang sama pula;
c. Salah satu pelaku tidak harus menunggu partners mereka lainnya untuk
mengirimkan data;
2. Business to Consumer (B2C)
Business to Consumer dalam e-commerce merupakan suatu transaksi
bisnis secara elektronik yang dilakukan pelaku usaha dan pihak konsumen untuk
memenuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat tertentu contohnya “internet
mall”. Konsumen pada lingkup ini merupakan konsumen akhir yang merupakan
pemakai, pengguna dan/atau pemanfaat barang dan jasa yang ditawarkan oleh
pelaku usaha. Permasalahan perlindungan konsumen terdapat dalam lingkup ini,
karena produk yang diperjualbelikan adalah produk barang dan jasa baik dalam
bentuk berwujud maupun dalam bentuk elektronik atau digital yang telah siap
untuk dikonsumsi. Perkembangan lingkup B2C ini membawa keuntungan tidak
saja pada pelaku usaha namun juga kepada pihak konsumen.
Karakteristik dari lingkup B2C ini adalah :
a. Terbuka untuk umum, dimana informasi disebarkan secara umum pula;
Universitas Sumatera Utara
Page 13
b. Service yang diberikan bersifat umum sehingga mekanisme dapat digunakan
oleh banyak orang;
Service yang diberikan adalah berdasarkan permintaan konsumen;
3. Consumer to Consumer (C2C)
Consumer to Consumer merupakan transaksi bisnis secara elektronik yang
dilakukan antar konsumen untuk memnuhi suatu kebutuhan tertentu dan pada saat
tertentu pula, lingkup C2C ini bersifat lebih mengkhusus karena transaksi
dilakukan oleh konsumen ke konsumen yang memerlukan transaksi. Internet telah
dijadikan sebagai sarana tukar menukar informasi tentang produk baik mengenai
harga, kualitas dan pelayanan. Selain itu customer juga dapat membentuk
komunitas pengguna/penggemar produk tersebut. Ketidakpuasan konsumen
terhadap suatu produk atau pelayanan, dengan cepat dapat tersebar kepada
konsumen lain melalui komunitas yang dibentuk, hal ini membawa dampak
positip bagi konsumen karena dapat menaikkan posisi tawar konsumen terhadap
pelaku usaha. Sehingga pelaku usaha dituntut untuk memberikan pelayanan yang
lebih baik bagi konsumennya.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) nomor 11
tahun 2008 merupakan dasar hukum utama bagi e-commerce di Indonesia. UU
ITE ini disahkan pada tanggal 21 april 2008 dan mulai berlaku pada saat
diundangkan (Pasal 54 ayat 1). Arti penting dari UU ITE ini bagi transaksi e-
commerce adalah :
Universitas Sumatera Utara
Page 14
a. Pengakuan transaksi, informasi, dokumen dan tanda tangan elektronik dalam
kerangka hukum perikatan dan hukum pembuktian, sehingga kepastian hukum
transaksi elektronik dapat terjamin.
b. Diklasifikasikannya tindakan-tindakan yang termasuk kualifikasi pelanggaran
hukum terkait penyalahgunaan TI (Teknologi Informasi) disertai dengan
sanksi pidananya.
c. UU ITE berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik
yang berada di wilayah Indonesia maupun diluar Indonesia. Sehingga
jangkauan UU ini tidak hanya bersifat lokal saja tetapi juga internasional.
Selain UU ITE, terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan yang
dapat menunjang perlindungan konsumen dalam e-commerce, peraturan tersebut
adalah:
1. Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
2. Undang-undang nomor 12 tahun 2002 tentang hak cipta,
3. Undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang paten,
4. Undang-undang nomor 15 tahun 2001 tentang merek,
5. Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran,
6. Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan jo. Undang-undang
nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun
1992.
Universitas Sumatera Utara
Page 15
BAB IV
PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM TRANSAKSI ELEKTRONIK
(E-COMMERCE)
A. Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan
Konsumen dalam e-commerce memiliki resiko yang lebih besar dari pada
penjual atau merchant-nya. Atau dengan kata lain hak-hak konsumen dalam
transaksi e-commerce lebih rentan untuk dilanggar. Hal ini disebabkan karena
karakteristik dari e-commerce sendiri, yakni dalam e-commerce tidak terjadi
pertemuan secara fisik antara konsumen dengan penjualnya yang kemudian dapat
menimbulkan berbagai permasalahan.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa e-commerce menimbulkan berbagai
permasalahan, maka dalam pembahasan berikut akan dijabarkan berbagai
permasalahan yang penting seputar e-commerce dan pengaturan permasalahan
tersebut menurut UUPK, UU ITE dan juga KUH Perdata. Permasalahan tersebut
sebagai berikut :
1. Privasi
Privasi adalah claim of individuals, groups, or institution to determine for
themselves when, how, and what extent information about them is communicated
to others.39
39 Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
hal.159.
Pengertian privasi tidak sama dengan kerahasiaan (Confidentiality),
Universitas Sumatera Utara
Page 16
privasi merupakan konsep yang lebih luas dari sekedar kerahasiaan yang meliputi
hak untuk bebas dari gangguan, hak untuk tetap mandiri, hak untuk dibiarkan
sendiri, hak untuk mengontrol peredaran dari informasi tentang seseorang dan
dalam hal apa saja informasi tersebut harus diperoleh dan digunakan.40 Pada
umumnya ada tiga aspek dari privasi, yaitu:41
a. privasi mengenai pribadi seseorang;
b. privasi dari data seseorang; dan
c. privasi atas komunikasi seseorang.
Permasalahan yang muncul dalam e-commerce adalah pelanggaran
terhadap privasi dari data tentang seseorang atau dengan kata lain disebut “data
pribadi”, pelanggaran ini biasanya dalam bentuk penyalahgunaan informasi-
informasi yang dikumpulkan atas anggota-anggota suatu organisasi/lembaga atau
atas pelanggan-pelanggan dari suatu perusahaan.
Pengumpulan data pribadi konsumen dalam transaksi e-commerce
dilakukan melalui media-media berikut :
a. Cookies
Cookies adalah suatu aplikasi kecil yang ditempatkan dalam hard drive
seseorang ketika mengunjungi suatu website/situs, cookies ini dapat
mengumpulkan informasi mengenai nomor kartu kredit, situs-situs yang
dikunjungi, alamat e-mail, minat maupun pola belanja. Informasi tersebut
digunakan untuk melacak kunjungankunjungan ke suatu situs serta untuk
mengetahui apa yang disukai atau tidak disukai oleh seorang pengunjung tentang
40 Ibid, hal.162. 41 Ibid, hal.160.
Universitas Sumatera Utara
Page 17
situs tersebut. Apabila informasi-informasi yang dikumpulkan oleh cookies
digabungkan, maka akan dapat mengidentifikasi seorang individu secara spesifik.
b. Pendaftaran Online (Online Registration)
Kebanyakan situs-situs yang melakukan penjualan barang/jasa
mengharuskan pengunjung/konsumen melakukan registrasi terlebih dahulu
sebelum dapat melakukan transaksi jual beli atau memanfaatkan fitur lengkap dari
suatu situs.42
42 Contoh situs yang mengharuskan registrasi adalah bhineka.com, ebay.com, amazon.com.
Form registrasi dari suatu situs mewajibkan pengunjung untuk
mengisi informasi-informasi pribadi seperti nama, alamat e-mail, alamat dan kota
tempat tinggal, user name dan password, jenis kelamin, tanggal lahir, penghasilan,
pekerjaan. Bahkan ada beberapa situs yang mewajibkan konsumen untuk
memasukkan nomor kartu kreditnya. Jika hal-hal diatas tidak dilengkapi, maka
konsekuensinya adalah pengunjung/konsumen tidak dapat menikmati fitur
lengkap dari suatu situs atau konsumen tidak dapat melakukan transaksi jual beli.
Permasalahannya adalah, konsumen tidak mengetahui penggunaan dari data
pribadinya, terlebih lagi terhadap informasi-informasi sensitif seperti nama,
alamat dan nomor kartu kredit yang apabila disalahgunakan dapat membahayakan
dan merugikan pemilik informasi tersebut.
UU ITE sudah memberikan perlindungan terhadap data pribadi seseorang,
hal ini diatur dalam pasal 26. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa:
“kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap
informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang
harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan”.
Universitas Sumatera Utara
Page 18
Cakupan dari pengertian data pribadi yang dianut oleh Pasal 26 ayat 1 dapat
ditemui dalam penjelasannya, yakni :
a) Hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam
gangguan.
b) Hak untuk berkomunkasi dengan orang lain tanpa tindakan mematamatai.
c) Hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data
seseorang.
Perlindungan hukum terhadap data pribadi oleh Pasal 26 UU ITE sudah
cukup memadai, selain karena cakupan pengertian data pribadi yang dianut cukup
luas, juga memberikan hak mengajukan gugatan kepada orang yang dirugikan atas
penggunaan data pribadi orang yang bersangkutan (UU ITE Pasal 26 ayat 2).
2. Klausula Baku
Dalam dunia usaha, terdapat klausula baku / perjanjian baku yang
menempatkan posisi tidak seimbang antara pelaku usaha dan konsumen, yang
pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang merugikan salah satu pihak yang
dalam hal ini konsumen. UUPK tidak merumuskan pengertian perjanjian baku
tapi menggunakan istilah klausula baku yang menurut Pasal 1 ayat (10) UUPK
dirumuskan sebagai berikut :
“Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”
Universitas Sumatera Utara
Page 19
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyatakan;43
Dalam e-commerce, penggunaan klausula baku adalah hal yang mutlak.
Karena dalam e-commerce para pihak tidak berinteraksi secara langsung
melainkan berinteraksi menggunakan media elektronik, salah satunya adalah
internet. Saat konsumen hendak membeli suatu barang pada suatu website, maka
penjual/merchant akan menyodorkan suatu perjanjian (term and condition) yang
berisikan mengenai persyaratan-persyaratan seperti layaknya perjanjian jual beli
pada umumnya. Perjanjian (term and condition) inilah yang dapat dikategorikan
sebagai klausula baku, karena isi dari perjanjian tersebut ditetapkan secara sepihak
“UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat klausula baku atas
setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/
atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/ atau klausul baku tersebut
tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1),
serta tidak “berbentuk” sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) UUPK
tersebut”.
Tujuan penggunaan klausula baku dalam kegiatan bisnis sebenarnya
adalah untuk menghemat waktu dalam setiap kegiatan jual beli, amat tidak efisien
apabila setiap terjadi transaksi jual beli antara pihak penjual dan pembeli mereka
membicarakan mengenai isi kontrak jual beli. Oleh karena itu dalam suatu kontrak
standard dicantumkan klausul-klausul yang umumnya digunakan dalam kontrak
jual beli.
43Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
Page 20
oleh penjual/merchant. Disini pihak konsumen tidak bisa memprotes isi dari pada
perjanjian, karena dalam website yang menampilkan perjanjian tersebut tidak
mempunyai opsi (pilihan) untuk merubah perjanjian. Disini konsumen hanya
mempunyai dua pilihan yakni menerima atau membatalkan pesanan.
Dalam UUPK penggunaan klausula baku pada prinsipnya tidak dilarang,
namun yang perlu dikhawatirkan adalah pencantuman klausula eksonerasi
(exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausula eksonerasi adalah klausula
yang mengandung kondisi membatasi, atau bahkan menghapus sama sekali
tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur
produk (penjual).44
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila :
UUPK sendiri memberikan persyaratan mengenai
pencantuman klausula baku yang diatur dalam pasal 18 UUPK, yakni sebagai
berikut :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen.
44 Shidarta, op.cit, h.147.
Universitas Sumatera Utara
Page 21
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi manfaat harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
Universitas Sumatera Utara
Page 22
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Walaupun UUPK secara jelas mengatur mengenai tata cara pembuatan
klausula baku, namun dalam praktek masih terjadi penyimpangan terlebih lagi
dalam e-commerce dimana segala kegiatan transaksi dilakukan dengan proses
“klik” tanpa adanya proses tawar-menawar. Klausula eksenorasi dalam e-
commerce banyak terdapat dalam hal :
a. Pilihan hukum (choice of law)
Klausula mengenai pilihan hukum pada umumnya terjadi pada e-
commerce yang bersifat lintas batas Negara. Pilihan hukum menyangkut hukum
negara mana yang akan digunakan bila terjadi sengketa, dalam hal ini sengketa
antara konsumen dan pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri.
UUPK memiliki kelemahan, yakni tidak dapat menjangkau pelaku usaha
yang berkedudukan di luar negeri. Hal ini terlihat dalam rumusan Pasal 1 butir 3
UUPK yang menyatakan :
“Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
Berdasarkan pengertian pelaku usaha di atas maka ruang lingkup dari
UUPK hanyalah pelaku usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik
Indonesia. UU ITE sudah mengatur perihal mengenai pilihan hukum yakni
Universitas Sumatera Utara
Page 23
dicantumkan dalam Pasal 18 ayat (2) dimana disebutkan bahwa para pihak
mempunyai kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi
elektronik internasional yang dibuatnya, namun UU ITE tidak mengatur perihal
mengenai klausula baku sebagaimana diatur oleh UUPK, sehingga mau tidak mau
konsumen tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh pelaku usaha.
Contoh penggunaan klausul baku tentang pilihan hukum terdapat dalam
EULA (End User License Agreement) yang dikeluarkan oleh amazon.com yang
berbunyi “bahwa segala transaksi yang terjadi dengan amazon.com berlaku the
laws of state of Washington.”45
Walaupun Pasal 18 ayat 2 UU ITE mempunyai kelemahan sebagaimana
disebutkan diatas, namun terdapat ketentuan internasional yang dapat digunakan
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen dalam e-commerce
internasional. Ketentuan tersebut terdapat dalam Konvensi Roma 1980 Pasal 5
ayat 2 yang menegaskan bahwa:
Dengan demikian konsumen yang berasal dari
negara manapun yang melakukan transaksi dengan amazon.com tunduk pada
hukum negara bagian Washington. Hal ini tentu memberatkan konsumen karena
apabila ia dirugikan oleh pelaku usaha, maka ia harus mengajukan gugatannya ke
negara bagian Washington dan hal ini tentu memakan biaya yang tidak sedikit.
Seharusnya UU ITE sebagai dasar hukum transaksi e-commerce yang telah
menjangkau transaksi e-commerce internasional mencantumkan mengenai perihal
pilihan hukum ini, karena ketentuan pasal 18 ayat 2 UU ITE ini tidak memberikan
perlindungan kepada konsumen.
45 www.amazon.com, bahan diakses pada tanggal 4 mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Page 24
“dalam kontrak bisnis-konsumen, pilihan hukum yang dibuat di dalam kontrak
tidak dapat menghilangkan hak-hak konsumen atas perlindungan konsumen dari
Negara tempat ia memiliki kediaman tetap”.
Sejalan dengan ketentuan yang terkandung dalam konvensi roma 1980
tersebut, berlaku asas bahwa hukum yang dipilih para pihak dalam kontrak tidak
dapat mengesampingkan kaidah-kaidah memaksa (mandatory laws) dari Negara
yang meiliki closest connection dengan kontrak.46
b. Pembagian resiko yang tidak berimbang
Dengan adanya ketentuan ini,
walaupun pihak konsumen menggugat pelaku usaha di Negara lain, konsumen
tersebut tetap mendapatkan hak-haknya sebagai konsumen sebagaimana diberikan
oleh UUPK.
Pembagian resiko yang tidak berimbang banyak terjadi dalam e-
commerce, khususnya dalam transaksi pembayaran. Biasanya konsumen harus
terlebih dahulu membayar secara penuh (menggunakan kartu kredit atau transfer
antar bank) atas barang yang dibeli, barulah pesanannya akan diproses oleh pelaku
usaha atau penjual. Hal ini tentu berisiko tinggi karena membuka peluang
terlambatnya pengiriman barang yang dipesan, isi dan mutu barang tidak sesuai
dengan pesanan atau bahkan barang sama sekali tidak sampai di tangan
konsumen. Klausula baku mengenai pembagian resiko ini banyak digunakan
dengan alas an melindungi pelaku usaha dari konsumen yang tidak bertanggung
jawab, namun di sisi lain klausula ini dapat merugikan kepentingan konsumen
karena jaminan bahwa pesanan akan diproses setelah pembayaran hanya berasal
46 Edmon Makarim, opcit, h. 379
Universitas Sumatera Utara
Page 25
dari pelaku usaha saja. Dalam Pasal 16 UUPK, terdapat pengaturan mengenai
kewajiban pelaku usaha untuk memenuhi janji dalam hal menawarkan barang atau
jasa melalui pesanan, dimana disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk:
1) Tidak menepati pesanan atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan
yang dijanjikan.
2) Tidak menepati janji atas suatu pelayanan atau prestasi.
Dengan adanya Pasal 16 ini, maka pelaksanaan janji yang diberikan oleh
pelaku usaha dapat lebih terjamin. Selain jaminan yang diberikan oleh Pasal 16,
faktor kepercayaan juga berlaku disini karena kepercayaan merupakan dasar dari
e-commerce.
3. Otensitas Subjek Hukum
Otensitas sama artinya dengan autentik, autentik menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia artinya dapat dipercaya, asli atau sah.47
a. Kecakapan para pihak
Masalah otensitas para
subyek hukum dalam e-commerce menjadi isu yang penting untuk dibahas karena
menyangkut keabsahan perjanjian yang dibuat melalui e-commerce. Isu yang
menyangkut otensitas adalah :
Dasar hukum bagi perjanjian di Indonesia diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata. Dalam pasal 1320 ini terdapat 4 syarat untuk sahnya suatu
perjanjian yakni :
1) Kesepakatan para pihak,
47 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai pustaka, Jakarta, 1976, h. 65.
Universitas Sumatera Utara
Page 26
2) Kecakapan,
3) Suatu hal tertentu
4) Suatu sebab yang halal
Syarat 1 dan 2 disebut syarat subyektif karena menyangkut individu yang
membuat perjanjian, sedangkan syarat 3 dan 4 merupakan syarat obyektif. Tidak
terpenuhinya salah satu syarat diatas dalam suatu perjanjian akan menimbulkan
dampak hukum yang berbeda tergantung syarat mana yang tidak dipenuhi.
Apabila syarat 1 dan 2 tidak dipenuhi maka akibat hukumnya adalah perjanjian
tersebut dapat dibatalkan, sedangkan apabila syarat 3 dan 4 yang tidak dipenuhi
maka akibat hukumnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.
Pada asasnya semua orang cakap untuk membuat perikatan/perjanjian,
kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Menurut undang-
undang, orang yang tak cakap adalah mereka yang belum dewasa (genap berusia
21 tahun atau mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi sudah menikah) dan
mereka yang di bawah pengampuan (gila, dungu, mata gelap, lemah akal dan
pemboros).48
48 Abdulkadir Muhammad, op . cit , h. 250.
Namun dalam e-commerce sangat sulit untuk menentukan seseorang
yang melakukan transaksi telah dewasa atau tidak berada di bawah pengampuan
karena proses penawaran dan penerimaan tidak dilakukan secara fisik melainkan
melalui suatu media elektronik yang rawan penipuan. Dalam e-commerce, sering
terjadi dimana konsumen yang belum dewasa melakukan pembelian dan pesanan
tersebut diproses oleh penjualnya walaupun penjual mengetahui bahwa konsumen
tersebut belum dewasa, ini terlihat dalam forum jual beli classyfield.chip.co.id
Universitas Sumatera Utara
Page 27
dimana 30 % dari pembeli dalam forum tersebut adalah anak-anak usia 15-20
tahun.49
b. Dilakukan oleh subyek hukum yang cakap atau yang berwenang
mewakilinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan
Informasi dan Transaksi Elektronik (RPP ITE), hal ini telah mendapat pengaturan.
Dalam Pasal 2 RPP ITE diatur mengenai syarat sahnya suatu transaksi elektronik,
syarat tersebut adalah :
c. Obyek transaksi tidak boleh bertentangan dengan UU
d. Dilakukan dengan kontrak elektronik
e. Dilaksanakan dengan sistem elektronik yang disepakati.
Berdasarkan persyaratan diatas maka jelas bahwa apabila syarat kecakapan
tidak dipenuhi maka transaksi elektronik tersebut tidak sah/ tidak memiliki
kekuatan hukum sehingga berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata perjanjian
tersebut dapat dibatalkan. Kemudian dalam Pasal 3 RPP ITE disebutkan mengenai
kewajiban penyelenggara transaksi elektronik untuk melakukan langkah-langkah
yang memadai untuk menguji keaslian identitas dan kewenangan konsumen yang
melakukan transaksi elektronik dengan berbagai metode yang dimungkinkan.
Dengan adanya pengaturan sebagaimana disebutkan diatas, maka jelas
bahwa untuk melakukan transaksi elektronik harus memenuhi syarat kecakapan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
49http://forum.chip.co.id/chip-classifieds/118515-opini-pembeli-anda-adalahanak.
html#post2063158, bahan diakses tanggal 1 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Page 28
4. Validitas subyek hukum
Validitas dalam e-commerce adalah hal yang sangat penting, pengertian
validitas ini adalah sejauh mana kebenaran akan keberadaan suatu subyek
hukum.50
a. Dengan pencantuman alamat
Konsep validitas dalam e-commerce menjadi penting karena dapat
mencegah terjadinya penipuan, untuk mengetahui kemana ganti rugi harus
diajukan dan menambah kepercayaan konsumen untuk berbelanja. Dalam e-
commerce banyak cara yang dilakukan oleh pelaku usaha untuk menunjukkan
validitasnya misalnya :
Biasanya website e-commerce mencantumkan alamatnya di website
mereka dengan tujuan untuk memberitahu kepada calon konsumen mereka bahwa
mereka betul-betul ada, sehingga konsumen merasa aman untuk berbelanja di
website tersebut. Selain itu, dengan dicantumkannya alamat penjual maka pembeli
mengetahui kemana harus mengajukan ganti rugi apabila terjadi kerusakan
terhadap barang yang dibeli atau apabila barang tidak sampai ke tangan
konsumen.
b. Mencantumkan logo perusahaan
Pencantuman logo perusahaan dalam suatu website, menandakan bahwa
website tersebut benar-benar ada, karena sudah diotorisasi oleh CA (Certification
Authority).
c. Feed back dari pelanggan.
50 http://violetatniyamani.blogspot.com/2007/09/teori-validitas.html, bahan diakses tanggal 5 Mei
2010.
Universitas Sumatera Utara
Page 29
Ini adalah salah satu bentuk validitas yang paling sederhana namun tingkat
validitasnya hampir sempurna. Feed back ini diberikan oleh pelanggan yang
merasa puas dengan pelayanan, kecepatan pengiriman barang yang dipesan dan
kualitas barang yang dibeli dari suatu website, feed back yang menyatakan
kepuasaan pelanggan terhadap suatu website dalam dunia internet dikenal dengan
istilah positive feed back. Semakin banyak konsumen yang puas terhadap suatu
website e-commerce, semakin tinggi reputasi dan validitas website tersebut,
sehingga calon pelanggan akan semakin yakin akan pelayanan website tersebut.
Sistem ini sangat bagus, karena pelaku usaha dituntut untuk memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya. Dalam e-commerce, apabila suatu website
menerima feed back yang buruk/negatif dari pelanggannya maka dapat dipastikan
bahwa website tersebut akan sepi oleh pembeli.
Validitas erat kaitannya dengan CA (Certification Authority), namun
dalam UU ITE tidak menggunakan istilah CA tapi menggunakan istilah “lembaga
sertifikasi keandalan”, dimana dalam Pasal 1 angka 11 diartikan sebagai lembaga
independent yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan dan diawasi
oleh pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat
keandalan dalam e-commerce. Salah satu tugas CA adalah melakukan verifikasi,
pemeriksaan dan pembuktian identitas pengguna dan pelanggan atau dengan kata
lain CA bertugas untuk memastikan dan menjamin kebenaran keberadaan
pengguna dan pelanggan sehingga terjamin otentisitasnya. Yang dimaksud dengan
pengguna dan pelanggan adalah para pihak yang terlibat dalam transaksi e-
commerce.
Universitas Sumatera Utara
Page 30
Peranan CA untuk menjamin otentisitas para pihak yang terlibat dalam e-
commerce adalah untuk mencegah penipuan-penipuan yang sering terjadi dalam
transaksi e-commerce seperti ”phising”. Phising sering diartikan sebagai suatu
cara untuk memancing seseorang ke halaman tertentu. phising tidak jarang
digunakan oleh para pelaku kriminal untuk memancing seseorang agar
mendatangi alamat web melalui e-mail, salah satu tujuannya adalah untuk
menjebol informasi yang sangat pribadi dari sang penerima email, seperti
password, nomor kartu kredit, dan lain-lain dengan cara mengirimkan informasi
yang seakan-akan dari penerima e-mail mendapatkan pesan dari sebuah situs, lalu
mengundangnya untuk mendatangi sebuah situs palsu. Situs palsu dibuat
sedemikian rupa yang penampilannya mirip dengan situs aslinya, lalu ketika
korban mengisikan password maka pada saat itulah penjahat ini mengetahui
password korban. Penggunaan situs palsu ini disebut juga dengan istilah
pharming.51
Selain mengatur tentang CA, UU ITE secara implisit mengatur kejahatan
mengenai phising yakni tercantum dalam Pasal 35, dimana disebutkan bahwa
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar informasi
elektronik tersebut dianggap seolah-olah otentik”, dimana pelanggaran terhadap
Bila suatu situs e-commerce menggunakan jasa CA, maka otentisitas
dari situs tersebut akan terjamin, sehingga konsumen dapat bertransaksi dengan
lebih aman.
51 http://www.total.or.id/info.php?kk=phising, bahan diakses tanggal 15 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Page 31
Pasal 35 ini dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling
banyak 12 miliar rupiah (Pasal 51 ayat 1).
Namun UU ITE tidak mewajibkan suatu situs e-commerce untuk
menggunakan jasa CA, ini terlihat dalam Pasal 10 ayat 1 dimana disebutkan
“Setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat
disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi keandalan” (garis bawah dari penulis). Dari
rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa pelaku usaha tidak diwajibkan
untuk menggunakan jasa CA, sehingga tidak semua situs e-commerce dijamin
otentisitasnya oleh CA. Seharusnya UU ITE mewajibkan sertifikasi setiap situs e-
commerce untuk memberikan perlindungan bagi konsumen dari penipuan.
5. Obyek E-Commerce
Yang menjadi obyek e-commerce adalah barang atau jasa yang diperjual
belikan oleh pelaku usaha kepada setiap orang yang membeli barang dan jasa
melalui e-commerce. Namun tidak semua barang atau jasa dapat diperjualbelikan
dalam e-commerce. UU ITE dan UUPK tidak mengatur mengenai syarat-syarat
barang atau jasa yang diperbolehkan untuk diperjualbelikan dalam e-commerce,
namun dengan melihat ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata terdapat ketentuan yang
mengatur mengenai barang-barang yang boleh untuk diperdagangkan yakni :52
1) Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan, baik yang ada sekarang
maupun yang akan ada.
52 Mariam Darus Badrulzaman et al, op.cit, h. 169.
Universitas Sumatera Utara
Page 32
2) Tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.
Apabila kedua hal tersebut diatas dilanggar, maka perjanjian jual beli dalam
transaksi barang dinyatakan batal demi hukum.
UUPK tidak mengatur mengenai persyaratan tentang barang atau jasa yang
boleh diperdagangkan, melainkan hanya mengatur mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha dalam memasarkan barang atau jasa (BAB IV UUPK
Pasal 8-17). Namun dari ketentuan yang tercantum dalam bab IV tersebut, dapat
dijadikan acuan mengenai barang atau jasa yang boleh untuk diperdagangkan.
Dalam Pasal 8 ayat 1, disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang untuk
mengedarkan barang atau jasa yang :
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang diyatakan dalam label atau etiket barang.
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses, pengolahan, gaya,
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Page 33
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label , etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjualan barang/jasa tersebut.
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label.
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang
memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksud.
Dalam ayat 3 disebutkan bahwa pelaku usaha dilarang memperdagangkan
persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar, dengan
atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Selain Pasal 8,
terdapat juga Pasal lain yang dapat dijadikan acuan mengenai barang-barang yang
diperbolehkan dalam transaksi e-commerce yakni terdapat dalam :
a. Pasal 9 melarang melakukan manipulasi produk atau jasa.
b. Pasal 10 melarang memberikan informasi yang tidak benar atau menyesatkan.
Universitas Sumatera Utara
Page 34
c. Pasal 11 mengatur mengenai barang-barang yang dijual secara lelang atau
obral.
d. Pasal 13 dan 14 mengatur mengenai perihal pemberian hadiah terhadap
barang/jasa yang dibeli.
e. Pasal 16 mengatur tentang keharusan pelaku usaha untuk menepati janji dalam
hal pembelian barang dibeli melalui pesanan. Hal ini banyak terjadi dalam
transaksi e-commerce dimana pembeli membeli barang dengan cara memesan.
f. Pasal 17 mengatur secara khusus tentang periklanan
Walaupun UU ITE tidak mengatur mengenai kriteria barang yang boleh
diperdagangkan dalam transaksi e-commerce, namun UU ITE mewajibkan pelaku
usaha untuk menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan
produk yang ditawarkan (Pasal 9) dan melarang penyebaran berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik
(Pasal 28 ayat 1).
6. Tanggung Jawab Para Pihak
Transaksi e-commerce dilakukan oleh pihak yang terkait, walaupun
pihakpihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain melainkan
berhubungan melalui media internet. Dalam e-commerce, pihak-pihak yang
terkait tersebut antara lain :53
a. Penjual atau merchant yang menawarkan sebuah produk melalui Internet\
sebagai pelaku usaha.
53 Edmon Makarim, op . cit , h. 65.
Universitas Sumatera Utara
Page 35
b. Pembeli yaitu setiap orang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima
penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan melakukan
transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual.
c. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual
atau pelaku usaha/merchant, karena transaksi jual beli dilakukan secara
elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka
berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan
melalui perantara dalam hal ini yaitu Bank.
d. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses Internet.
Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut di
atas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban, penjual/pelaku usaha/merchant
merupakan pihak yang menawarkan produk melalui Internet, oleh karena itu
penjual bertanggung jawab memberikan informasi secara benar dan jujur atas
produk yang ditawarkan kepada pembeli atau konsumen (UU ITE Pasal 9). Di
samping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh
undang-undang maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak rusak atau
mengandung cacat tersembunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang
yang layak untuk diperjualbelikan (UUPK Pasal 8). Penjual juga bertanggung
jawab atas pengiriman produk atau jasa yang telah dibeli oleh seorang konsumen.
Dengan demikian, transaksi jual beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi
siapa pun yang membelinya. Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha
memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga
Universitas Sumatera Utara
Page 36
barang yang dijualnya dan juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas
tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan
transaksi jual beli elektronik ini. Jadi, pembeli berkewajiban untuk membayar
sejumlah harga atas produk atau jasa yang telah dipesannya pada penjual tersebut.
Seorang pembeli memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang
telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disampaikan
antara penjual dan pembeli tersebut, selain itu mengisi data identitas diri yang
sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen
berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya
itu. Pembeli juga berhak mendapat perlindungan hukum atas perbuatan
penjual/pelaku usaha yang ber’itikad tidak baik.
Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik,
berkewajiban dan bertanggung jawab sebagai penyalur dana atas pembayaran
suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu karena mungkin saja
pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui
Internet yang letaknya berada saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus
mengunakan fasilitas Bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang
telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening
pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).
Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik,
dalam hal ini provider memiliki kewajiban atau tanggung jawab untuk
menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan
transaksi jual beli secara elektronik melalui media Internet dengan penjualan yang
Universitas Sumatera Utara
Page 37
menawarkan produk lewat Internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerja sama
antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui
Internet ini.
Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang
dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem yang informasi
berbasis computer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa
tekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara
elektronik tidak hanya terjadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga
terjadi pada pihak-pihak dibawah ini:54
a. Business to business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan
dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan
bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah
saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan
untuk menjalin kerja sama antara perusahaan itu.
b. Costumer to costumer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar
individu dengan individu yang akan saling menjual barang.
c. Custumer to business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antar
individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya.
d. Costumer to goverment, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antar
individu dengan pemerintah, misalnya, dalam pembayaran pajak.
Dengan demikian, pihak-pihak yang dapat terlibat dalam satu transaksi
jual beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu tetapi juga
54 Edmon Makarim, op . cit , h. 75.
Universitas Sumatera Utara
Page 38
dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahkan antara
individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termasuk secara
perdata telah memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan
hukum dalam hal ini hubungan hukum jual beli.55
Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh
berbeda dengan jual beli biasa, sebagai berikut:
56
a. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui website
pada Internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan strorefront yang berisi
catalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang
memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat barang yang
ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan jual beli melalui took online
ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa
dibatasi ruang dan waktu.
b. Penawaran dalam sebuah website biasanya menampikan barang-barang yang
ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi
oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termasuk menu produk lain yang
berhubungan. Penawaran melalui Internet terjadi apabila pihak lain yang
mengunakan media Internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha
yang melakukan penawaran, oleh karena itu apabila seseorang tidak
menggunakan media Internet dan memasuki situs milik pelaku usaha yang
menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran.
Dengan demikian, penawaran melalui media Internet hanya dapat terjadi
55 Edmon Makarim, loc . cit . 56 Edmon Makarim, Op . cit , h. 82.
Universitas Sumatera Utara
Page 39
apabila seseorang membuka situs yang menampikan sebuah tawaran melalui
internet tersebut.
c. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila
penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerima dilakukan
melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan sebuah e-mail tersebut
yang ditujukan untuk seluruh rakyat yang membuka website yang berisikan
penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha.
Setiap orang yang berminat untuk membeli barang yang ditawarkan itu dapat
membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan
barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik khususnya melalui
website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang
ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau
konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka
barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen
merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki
tahap pembayaran.
d. Pembayaran dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung,
misalnya melalui fasilitas Internet namun tetap bertumpu pada system
keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi
cara pembayaran adalah sebagai berikut:
1) Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan
intitusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan
pengambilan atau deposit uangnya dari account masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Page 40
2) Pembayaran dua pihak tanpa perantara, yang dapat dilakukan
langsung antar kedua pihak tanpa perantaraan mengunakan uang
nasionalnya.
3) Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan
proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek
masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain: sistem
pembayaran melalui kartu kredit online serta sistem pembayaran
check in line. Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda,
maka pembayaran dapat dilakukan melalui cash account to account
atau pengalihan dari rekening pembeli pada rekening penjual.
berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan
melalui kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual
dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara
elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya
perbedaan lokasi antar penjual dengan pembeli, dimungkinkan untuk
dilakukan.
e. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas
barang yang telah ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini
pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya barang
yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli
dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antar penjual dan
pembeli.
Universitas Sumatera Utara
Page 41
Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah
diuraikan di atas yang telah menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya
dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli
saling bertemu secara lansung, namun dapat juga hanya melalui media Internet,
sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap
dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling
bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu
serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.
Pasal 15 UU ITE menjelaskan bahwa sistem penyelenggaraan informasi
dan transaksi elektronik harus dilakukan secara aman, andal dan dapat beroperasi
sebagaimana mestinya. penyelenggaraan sistem elektronik bertanggung jawab
atas sistem yang diselenggarakannya. Pasal 16 UUITE menjelaskan bahwa
sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap
penyelenggaraan system elektronik wajib mengoperasikan sistem elektronik
secara minimum, yang harus dapat dilakukan oleh penyelenggara sistem
elektronik adalah:
i. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;
ii. Dapat melindungi otentifikasi, integritas, rahasia, ketersediaan, dan akses
dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan system elektronik
tersebut;
iii. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
Universitas Sumatera Utara
Page 42
iv. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk dengan bahasa, informasi,
atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan
penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
v. Memiliki fitur untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan
pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut secara
berkelanjutan;
Dalam Pasal 9 UUITE dijelaskan bahwa “pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui sistem elekronik harus menyediakan informasi yang dilengkap dan
benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan.
Dalam Pasal 10 ayat (1) UUITE dijelaskan bahwa “setiap pelaku usaha yang
menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga
Sertifikasi keandalan”. Dalam Pasal 10 ayat (2) UUITE menyebutkan “ketentuan
mengenai pembentukan Lembaga Sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah”.
Terkait dengan tanggung jawab seseorang mengenai tanda tangan
elektronik maka dalam Pasal 12 ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa “setiap orang
yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan
pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya”. Dalam Pasal 12
ayat (2) UU ITE dijelaskan bahwa “pengamanan tanda tangan elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi ;
i. Sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak ;
Universitas Sumatera Utara
Page 43
ii. Penanda tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk
menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait
pembuatan tanda tangan elektronik ;
iii. Penanda tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang
dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik jika ;
iv. Penanda tangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan
elektronik telah di bobol; atau
v. Keadaan yang diketahui oleh penada tangan dapat menimbulkan resiko
yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembentukan tanda
tangan elektronik.
vi. Dalam hal sertifikasi digunakan untuk mendukung tanda tangan
elektronik, penanda tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan
semua informasi yang terkait dengan sertifikasi elektronik tersebut.
Pasal 12 ayat (3) UUITE juga menjelaskan bahwa “setiap orang yang
melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.
Artinya setiap orang bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul akibat
pelanggaran yang dilakukan terhadap pemberian pengamanan atas tanda tangan
elektronik tersebut.
B. Bentuk-Bentuk Kerugian Konsumen dalam E-Commerce
Transaksi melalui internet memberikan kemudahan, kenyamanan dan
kecepatan dalam setiap transaksi yang dilakukan hal inilah yang mendorong
Universitas Sumatera Utara
Page 44
pesatnya pertumbuhan e-commerce di Indonesia. Namun terlepas dari kebaikan e-
commerce, tidak menutup kemungkinan timbulnya kerugian terhadap pihak
konsumen. Kerugian yang diderita konsumen dapat berupa :
1. Wanprestasi
Transaksi e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang
dimaksud oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Karena merupakan suatu
perjanjian maka melahirkan juga apa yang disebut sebagai prestasi, yaitu
kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu
perjanjian. Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak
dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan
oleh kontrak kepada para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual
merupakan kerugian bagi pihak konsumen. Bentuk-bentuk dari pada wanprestasi
yang dilakukan oleh pelaku usaha ini antara lain :57
a. Tidak Melakukan Apa Yang Disanggupi Akan Dilakukan
Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk
menanggung kenikmatan tenteram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika
penjual tidak melaksanakan kedua kewajibannya tersebut, penjual dapat dikatakan
wanprestasi. Contohnya saja toko online kakilima.com yang menawarkan cakes
(kue ulang tahun). Kaki lima menjanjikan untuk mengantar pesanan pembeli
dalam waktu satu minggu setelah pesanan diterima. Apabila pembeli memesan
57 M. Arsyad Sanusi, E- commerce: hukum dan solusinya, PT Mizan Grafika Sarana, Jakarta,
2007, h. 34.
Universitas Sumatera Utara
Page 45
kue ulang tahun tersebut tanggal 12 juni 2010, seharusnya cakes atau kue ulang
tahun tersebut sampai di tempat pembeli pada tanggal 19 juni 2010. Akan tetapi,
ternyata penjual tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, ia tidak
mengirimkan kue tersebut sehingga dengan demikian penjual telah melakukan
wanprestasi.58
b. Melaksanakan Apa Yang Dijanjikan Tetapi Terlambat
Situs-situs e-commerce di Indonesia, jarang memberikan informasi
mengenai perhitungan durasi waktu pengiriman, hal ini berbeda dengan Situs e-
commerce besar seperti amazon.com dan playasia.com yang selalu
mencantumkan perkiraan durasi waktu pengiriman barang.Melaksanakan apa
yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Contoh atau aplikasi dari wanprestasi ini adalah pembeli membeli sebuah
hardware komputer pada forum jual beli kaskus.us Menurut gambar dan dekripsi
barang yang terdapat di iklan tersebut menyatakan bahwa perlengkapan dari
hardware tersebut sangat lengkap walaupun hardware tersebut adalah barang
bekas. Perlengkapan yang ada menurut iklan tersebut adalah hardware, Cd driver,
buku manual operasi, kabel power dan sebuah bonus cd game. Akan tetapi setelah
sampai di tempat pembeli, bonus cd game tidak disertakan sebagaimana yang
tertera dalam iklan. Dengan demikian, jelas sekali bahwa penjual telah melakukan
wanprestasi karena melaksanakan prestasinya dengan tidak sebagai mana
mestinya.
58 http://www.mediakonsumen.com/Artikel1732.html, diakses pada tanggal 10 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
Page 46
Bentuk kerugian model ini sebenarnya sama dengan bentuk kerugian pada
nomor “a”. jika barang yang dipesan datang terlambat, tetapi tetap dapat
dipergunakan, hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat.
Sebaliknya jika prestasinya tidak dapat digunakan lagi, digolongkan sebagai tidak
melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.
c. Melakukan Sesuatu Yang Menurut Perjanjian Tidak Boleh Dilakukan
Contoh aplikasi kerugian jenis ini adalah penyebaran informasi pribadi
konsumen yang dilakukan oleh penjual. Informasi yang disebarkan oleh penjual
tersebut dapat berasal dari form registrasi yang diisi oleh konsumen sendiri dan
cookies yang berasal dari situs penjual. Penyebaran terhadap informasi pribadi
ini tentu akan akan merugikan konsumen, terlebih lagi terhadap informasi
sensitif seperti nomor kartu kredit.
4. Kerugian yang timbul akibat cyber crimes
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam dunia cyber terdapat berbagai jenis
kejahatan yang dapat merugikan konsumen. Kegiatan transaksi e-commerce yang
semakin meningkat pesat menarik minat para penjahat cyber. Kejahatan dalam
dunia cyber sering disebut dengan cyber crimes. Jenis-jenis dari e-crime adalah
sebagai berikut :59
a. Penipuan financial menggunakan media komputer atau media digital
59 Abdul Wahid dan Mohhamad Labib, Kejahatan Mayantara (cyber crime), Refika Aditama,
Malang, 2005. hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
Page 47
b. Sabotase terhadap perangkat-perangkat digital, data-data milik orang lain, dan
jaringan komunikasi data.
c. Pencurian informasi pribadi seseorang maupun organisasi tertentu.
d. Penetrasi terhadap sistem komputer dan jaringan sehingga menyebabkan
privasi terganggu atau gangguan pada fungsi komputer yang digunakan
(denial of service).
e. Para pengguna internal sebuah organisasi melakukan akses-akses ke server
tertentu atau ke internet yang tidak diijinkan oleh peraturan organisasi.
f. Menyebarkan virus, worm, backdoor, trojan pada perangkat komputer sebuah
organisasi yang mengakibatkan terbukanya aksesakses bagi orang-orang yang
tidak berhak.
Kesemua jenis cyber crime tersebut menimbulkan kerugian yang amat
besar bagi korbannya, sebab data yang dicuri pada umumnya adalah data yang
sensitif seperti nomor kartu kredit, nama korban, username atau password dan
lain-lain.
C. Upaya Hukum Yang Dapat Ditempuh Oleh Konsumen Apabila Terjadi
Kerugian Dalam E-Commerce
Upaya hukum adalah keseluruhan upaya-upaya guna menyelesaikan suatu
masalah hukum. Dalam E-commerce terdapat dua macam upaya hukum yakni :
1. Upaya hukum preventif
Upaya hukum preventif dapat diartikan sebagai segala upaya yang
dilakukan guna mencegah terjadinya suatu peristiwa atau keadaan yang tidak
Universitas Sumatera Utara
Page 48
diinginkan. Dalam transaksi e-commerce, keadaan yang tidak diinginkan ini
adalah terjadinya kerugian, khususnya kerugian pada pihak konsumen. Upaya
preventif perlu untuk diterapkan mengingat penyelesaian sengketa e-commerce
relatif sulit, memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaiannya dan tidak
jarang memerlukan biaya yang tinggi. Sebagai contoh dua orang Hongkong dan
Austraia memerlukan waktu 5 bulan untuk mendapatkan refund (pembayaran
kembali) atas barang yang dibeli. Maka dari itu, sengketa e-commerce sebisa
mungkin harus dicegah. Dalam usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kerugian
langkah-langkah yang dapat ditempuh, yakni :
a. Pembinaan Konsumen
Pembinaan konsumen terdapat dalam Pasal 29 ayat 1 UUPK dimana
disebutkan bahwa:
“Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha”.
Kemudian dalam ayat 4 disebutkan bahwa pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen bertujuan untuk :
1) Terciptanya iklim usaha dan hubungan yang sehat antara pelaku usaha dengan
konsumen.
2) Berkembangnya lembaga konsumen swadaya masyarakat.
3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan meningkatkan kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
Universitas Sumatera Utara
Page 49
Pembinaan terhadap konsumen bertujuan agar konsumen mengetahui hak
haknya sebagai konsumen dan mendorong pelaku usaha agar berusaha secara
sehat. Dalam era Informasi Teknologi (IT) seperti saat ini, pembinaan konsumen
harus ditingkatkan mengingat bahwa edukasi adalah pertahanan terbaik untuk
mengatasi cybercrime, karena ancaman pelanggaran terhadap hak-hak konsumen
tidak hanya berasal dari pelaku usaha saja tapi bisa juga datang dari pihak ketiga
melalui kejahatan-kejahatan internet (cyber crimes). Hal-hal yang perlu diberikan
dalam edukasi terhadap konsumen adalah :
1) hak, kewajiban dan tanggung jawab seluruh pihak terkait. Baik konsumen,
pelaku usaha, maupun bank (dalam hal transaksi menggunakan kartu kredit)
2) Pentingnya menjaga keamanan password seperti misalnya :
a) merahasiakan dan tidak memberitahukan PIN/Password kepada siapapun
termasuk kepada petugas penyelenggara
b) Menggunakan Pin/Password yang tidak mudah ditebak
c) melakukan perubahan PIN/Password secara berkala
d) tidak mencatat PIN/Password dalam bentuk fisik
e) Pin untuk satu produk hendaknya berbeda dengan produk lainnya.
3) Edukasi mengenai berbagai modus cyber crime
Pembinaan konsumen oleh pemerintah dilakukan oleh menteri/menteri
teknis terkait (UUPK Pasal 29 ayat 2). Namun dalam praktek, peranan pemerintah
dalam melakukan edukasi/pembinaan terhadap konsumen belum begitu maksimal,
hal ini dapat dilihat dari rendahnya kesadaran konsumen mengenai hak-hak yang
Universitas Sumatera Utara
Page 50
dimilikinya dan masih rendahnya keberanian konsumen untuk menuntut pelaku
usaha.
b. Pengawasan dan Perlindungan Oleh Pemerintah Maupun Badan Yang Terkait.
Kewajiban pemerintah untuk melakukan pengawasan dan perlindungan
tercantum dalam UU ITE Pasal 40 ayat 2 dan UUPK Pasal 30 ayat 1, dimana
dalam Pasal 40 ayat 2 UU ITE disebutkan bahwa “Pemerintah melindungi
kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan
Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban
umum, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”. Perlindungan
oleh pemerintah terlihat dalam ayat 3, 4, dan 5 dimana apabila disimpulkan bahwa
Instansi yang memiliki data elektronik yang strategis wajib membuat cadangan
(back up) terhadap data elektronik tersebut dengan tujuan untuk kepentingan
perlindungan data apabila terjadi kerusakan, kehilangan atau serangan terhadap
data elektronik tersebut. Pengawasan yang dilakukan pemerintah sudah
terlaksana, hal ini terlihat dalam :
1) Dikeluarkannya kebijakan pemerintah yang memblokir konten-konten internet
yang mengandung unsur pornografi dan konten yang berbau SARA
(implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE).60
60 Salah satu contoh implementasi Pasal 40 ayat 2 UU ITE yang sudah dilakukan oleh pemerintah
adalah pemblokiran website-website porno dan menghapus/memblokir website-website yang
menampilkan/menyediakan film fitna, dimana film tersebut mengandung muatan SARA.
Universitas Sumatera Utara
Page 51
2) Pengawasan terhadap bank yang memiliki data elektronik yang strategis
dilakukan oleh Bank Indonesia (implementasi Pasal 40 ayat 3, 4, dan 5 UU
ITE).
Kemudian dalam Pasal 30 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa
“Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan Perundang-undangannya diselenggarakan oleh
pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat”.
Pelaksanaan terhadap ketentuan ini lebih banyak dilakukan oleh lembaga
swadaya masyarakat misalnya oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI). Hal ini disebabkan karena rendahnya kinerja badan pemerintah yang
bergerak dalam perlindungan konsumen, mulai dari kurangnya sosialisasi dan
edukasi kepada konsumen.
2. Upaya hukum represif
Upaya hukum represif adalah upaya hukum yang dilakukan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan hukum yang sudah terjadi. Upaya hukum ini
digunakan apabila telah terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.
Menurut UUPK salah satu hak konsumen adalah mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa secara patut (UUPK Pasal 4 huruf
e). Selain itu, salah satu kewajiban pelaku usaha adalah memberikan kompensasi,
ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (UUPK Pasal 7 butir f).
Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang bias menimbulkan suatu sengketa
Universitas Sumatera Utara
Page 52
sebagaimana disebutkan diatas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan
konsumen terhadap sistem e-commerce, sehingga diperlukan suatu mekanisme
penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
Transaksi e-commerce dapat bersifat internasional maupun bersifat
nasional. Tranasksi e-commerce yang bersifat internasional artinya transaksi dapat
dilakukan dengan melintasi batas suatu negara, hal ini sesuai dengan karakteristik
e-commerce yang bersifat borderless. Oleh karena itu, pembahasan dalam sub bab
ini dibagi menjadi dua yakni upaya hukum dalam hal transaksi terjadi secara
internasional dan transaksi yang terjadi dalam wilayah Indonesia.
3. Upaya hukum dalam hal transaksi e-commerce bersifat Internasional
Masalah yang muncul dalam hal terjadi sengketa pada transaksi e-
commerce yang bersifat internasional adalah menentukan hukum/pengadilan
mana yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa.61
61 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, Cyber Law : aspek hukum teknologi
informasi,Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal.167.
Dalam UU ITE,
pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat
dalam Pasal 18. Menurut pasal 18 ayat (2) UU ITE para pihak berwenang untuk
menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya,
maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku
apa bila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan
Universitas Sumatera Utara
Page 53
pilihan hukum, ada batasanbatasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan
yakni sebagai berikut :62
a. Partijautonomie
Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak
menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar
penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang
dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui
oleh sebagian besar Negara, seperti eropa, eropa timur, Negara-negara asia afrika,
termasuk Indonesia.
b. Bonafide
Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik,
yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan
yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.
c. Real Connection
Beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata
antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak
ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.
d. Larangan Penyelundupan Hukum
Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum,
hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenangwenangan
demi keuntungan sendiri.
62 Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis
Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2000, hal.70-71.
Universitas Sumatera Utara
Page 54
e. Ketertiban Umum
Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi
hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa
ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam
melakukan pilihan hukum.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa kebebasan para pihak dalam
melakukan pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip
dan batasan sebagaimana diuraikan diatas. Namun ada kalanya para pihak tidak
mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya
maka berdasarkan Pasal 18 ayat (3) hukum yang berlaku bagi para pihak
ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI
terdapat teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu
kontrak internasional, teori tersebut adalah :63
a. Teori Lex loci contractus, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana
kontrak dibuat. Teori ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan
dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak
yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu
tempat (contract between absent person). Dapat saja mereka berkontrak
melalui telepon atau sarana-sarana lainnya. Alternatif yang tersedia bagi
kelemahan teori ini adalah pertama, teori post box dan kedua, teori
penerimaan. Menurut teori post box, hukum yang berlaku adalah hukum
tempat post box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu
63 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia (Jilid III bagian 2 Buku ke-8),
Alumni, Bandung, 1998,h. 8-16.
Universitas Sumatera Utara
Page 55
memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara
itu, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di
mana pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan
penawaran dari pihak yang menerima tawaran.
b. Teori Lex loci solutionis, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana
perjanjian dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani.
Kesulitan utama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak
di satu tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak
(penjual dan pembeli) yang berada di Negara berbeda, dan dengan system
hukum yang berbeda pula.
c. Teori the proper law of contract, hukum yang berlaku adalah hukum Negara
yang paling wajar berlaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik
berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.
d. Teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah hukum
dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori
ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti
keharusan untuk mengadakan kualifikasi lex loci contractus atau lex loci
solutionis, di samping itu juga dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal
oleh teori ini.
Selain para pihak dapat menentukan hukum yang berlaku, para pihak juga
dapat secara langsung menunjuk forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga
penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa
diantara mereka (Pasal 18 ayat 4). Untuk menyelesaikan sengketa e-commerce
Universitas Sumatera Utara
Page 56
yang bersifat internasional, sebaiknya menggunakan mekanisme ADR
(Alternative Dispute Resolution). Alasannya adalah bahwa dengan menggunakan
ADR maka para pihak tidak perlu dipusingkan dengan perbedaan sistem hukum,
budaya dan bahasa.64 Dasar hukum ADR di Indonesia adalah Undang-undang No.
30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU
Arbitrase). Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan e-commerce sepenuhnya
bersifat online oleh karena itu sudah sewajarnya apabila penyelesaian
sengketanyapun dilakukan secara online, mengingat bahwa para pihak
berkedudukan dinegara yang berbeda yang tentunya bila penyelesaian sengketa
dilakukan dengan pertemuan secara fisik akan memakan waktu dan biaya yang
banyak. Di Amerika bermunculan situs-situs untuk menyelesaikan permasalahan
ecommerce secara online seperti Cybersettle.com, E-Resolutions.com,
iCourthouse, dan Online Mediators.65
64 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Dultom, opcit, Hal. 177. 65 Edmon Makarim, op.cit, h. 180.
Pelaksanaan penyelesaian sengketa e-
commerce di Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun UU Arbitrase
memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan
menggunakan e-mail, hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU
No.30 tahun 1999 yakni “Dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui
arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram,
faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib disertai
dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak.” (huruf miring dari penulis).
Dengan diperbolehkannya penggunaan e-mail untuk menyelesaikan sengketa,
Universitas Sumatera Utara
Page 57
maka para pihak dapat menyelesaiakan sengketanya secara online tanpa harus
bertemu satu sama lain.
4. Upaya hukum bagi transaksi e-commerce yang terjadi di Indonesia
a. Non Litigasi
Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan di selenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau
mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali
kerugian yang diderita oleh konsumen (Pasal 47 UUPK). Penyelesaian sengketa
konsumen melalui jalur non litigasi digunakan untuk mengatasi keberlikuan
proses pengadilan, dalam Pasal 45 ayat 4 UUPK disebutkan bahwa “jika telah
dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”.
Penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dapat ditempuh melalui Lembaga
Swadaya Masyarakat (YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag,
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha sendiri.66
YLKI merupakan lembaga swadaya masyarakat yang diakui oleh
pemerintah yang dapat berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen
(UUPK Pasal 44 ayat 1 dan 2). YLKI menyediakan sarana dengan bentuk
pengaduan terhadap transaksi yang bermasalah yaitu dengan membuka pengaduan
Masing-masing badan ini memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam
menyelesaikan perkara yang ada.
66 Edmon Makarim, op . cit , h. 404.
Universitas Sumatera Utara
Page 58
dari empat saluran yang ada yaitu telepon, surat, dengan datang langsung ke
kantor YLKI, dan email.67
Dari sisi pemerintah melalui Direktorat Perlindungan Konsumen
Disperindag, upaya konsumen yang dapat dilakukan hampir sama dengan YLKI,
yaitu melakukan pengaduan disertai dengan bukti kejadian. Perbedaannya adalah
pada saat pemanggilan pelaku usaha untuk dimintai keterangan perihal masalah
yang ada. Apabila ditemukan adanya hak-hak konsumen yang dilanggar, pihak
pelaku usaha dapat dengan cepat merespons dan mematuhi ketentuan yang telah
digariskan oleh Direktorat tersebut. Hal ini terkait dengan ancaman pencabutan
Adapun sistem yang digunakan adalah pertama, sistem
full up atau secara tertulis. Bentuk pengaduan yang dilakukan oleh konsumen
harus dalam bentuk tertulis dengan disertai bukti-bukti yang cukup dan identitas
konsumen yang bersangkutan. Misalnya dalam kasus kegagalan pembayaran
melalui ATM maka konsumen dapat melampirkan “slip” tanda pembayaran dalam
aduannya. Kemudian YLKI akan mempelajari berkas perkara tersebut,
selanjutnya YLKI akan melayangkan surat kepada pelaku usaha untuk dimintai
keterangannya. Pihak YLKI kemudian melakukan surat-menyurat apabila pihak
konsumen tidak puas atas tanggapan dari pelaku usaha, dan YLKI juga dapat
mengundang kedua belah pihak yang bermasalah untuk didengar pendapatnya.
Disini YLKI bertindak sebagai mediator. Sistem kedua yakni sistem non-full up,
dalam sistem ini YLKI akan memberikan konsultasi dan saran-saran yang dapat
dilakukan konsumen, jika konsumen merasa yakin dan perlu kasusnya untuk
ditindaklanjuti, maka dapat dilakukan sistem full up.
67 http://www.mediakonsumen.com/Kategori11.html, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
Page 59
izin usaha yang dikeluarkan oleh Disperindag. Terapi ini ampuh untuk
menindaklanjuti permasalahan konsumen yang mengemuka. Mekanisme
pengaduan melalui lembaga pemerintah ini masih jarang dilakukan konsumen
karena ketidaktahuan terhadap bentuk penyaluran pengaduan yang tenyata
disediakan oleh Disperindag.68
BPSK merupakan badan bentukan pemerintah yang tugas utamanya adalah
melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi. Penyelesaian masalah sengketa
konsumen melalui badan ini sangat murah, cepat, sederhana dan tidak berbelit-
belit.
69
Kemudian, dari sisi pelaku usaha, umumnya pengaduan yang ada dapat
berasal dari saluran telepon, surat, dan e-mail yang diterima oleh customer
Konsumen yang bersengketa dengan pelaku usaha bisa datang ke badan ini
dan mengisi formulir pengaduan, nantinya BPSK akan mengundang para pihak
yang bersengketa untuk melakukan pertemuan pra-sidang. BPSK berwenang
untuk melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan dan keterangan yang
diadukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa
melalui jalur non litigasi konsumen sebaiknya memilih menggunakan arbitrase,
sebab hasil putusan arbitrase mengikat para pihak dan mempunyai kekuatan
hukum layaknya putusan pengadilan. Jangka waktu penyelesaian sengketa oleh
BPSK adalah 21 hari sejak pengaduan diterima (Pasal 55 UUPK) dan pelaku
usaha dalam waktu paling lambat 7 hari sejak menerima putusan dari BPSK wajib
melaksanakan putusan tersebut.
68 Edmon Makarim, Op . cit , h. 405. 69 Happy Susanto, op . cit , h. 78.
Universitas Sumatera Utara
Page 60
service. Akan tetapi, terkadang penyaluran pengaduan melalui pelaku usaha tidak
dapat memuaskan konsumen.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa jalur-jalur penyelesaian sengketa yang
tersedia telah memberikan jalan bagi konsumen untuk menegakkan hak-haknya
yang dilanggar oleh pelaku usaha. Hal ini seharusnya dapat menimbulkan
kesadaran bagi konsumen untuk lebih berani mengadukan permsalahannya,
dimana dalam praktek konsumen masih enggan untuk melaporkan pelanggaran
terhadap hak-haknya.
b. Litigasi
Dasar hukum untuk mengajukan gugatan di pengadilan terdapat dalam
Pasal 38 ayat 1 UU ITE dan Pasal 45 ayat 1 UUPK. Dalam Pasal 38 ayat 1 UU
ITE disebutkan bahwa:
“Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang
menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi
yang menimbulkan kerugian”. Sedangkan gugatan yang diajukan berupa gugatan
perdata (Pasal 39 ayat 1).
Sedangkan dalam Pasal 45 ayat 1 UUPK disebutkan bahwa:
“Setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui
lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku
usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”.
Universitas Sumatera Utara
Page 61
Dengan diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di
pengadilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 1, 2 dan 3 UU ITE maka
alat-alat bukti yang dapat digunakan oleh konsumen di pengadilan adalah :
1) Bukti transfer atau bukti pembayaran.
2) SMS atau e-mail yang menyatakan kesepakatan untuk melakukan pembelian.
3) Nama, alamat, nomor telepon, dan nomor rekening pelaku usaha.
Pihak-pihak yang boleh mengajukan gugatan ke pengadilan dalam
sengketa konsumen menurut pasal 46 UUPK adalah :
1) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli warisnya
2) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama
3) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang tujuan didirikannya
lembaga ini adalah untuk kepentingan konsumen.
4) Pemerintah atau instansi terkait
Yang perlu diperhatikan konsumen dalam mengajukan gugatan ke
pengadilan dalam sengketa konsumen adalah :
1) Setiap bentuk kerugian yang dialami oleh konsumen bisa diajukan ke
pengadilan dengan tidak memandang besar kecilnya kerugian yang diderita,
hal ini diizinkan dengan memperhatikan hal-hal berikut :70
(1) Kepentingan dari pihak penggugat (konsumen) tidak dapat diukur
semata-mata dari nilai uang kerugiannya,
70 Janus Sidubalok, op . cit , h.148.
Universitas Sumatera Utara
Page 62
(2) Keyakinan bahwa pintu keadilan seharusnya terbuka bagi siapa saja,
termasuk para konsumen kecil dan miskin, dan
(3) Untuk menjaga intregitas badan-badan peradilan.
(4) bahwa pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha, hal ini karena UUPK menganut asas
pertanggungan jawab produk (product liability) sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 juncto Pasal 28 UUPK.71 Ini berbeda dengan teori beban
pembuktian pada acara biasa, dimana beban pembuktian merupakan
tanggung jawab penggugat (konsumen) untuk membuktikan adanya
unsur kesalahan. Dengan adanya prinsip product liability ini, maka
konsumen yang mengajukan gugatan kepada pelaku usaha cukup
menunjukkan bahwa produk yang diterima dari pelaku usaha telah
mengalami kerusakan pada saat diserahkan oleh pelaku usaha dan
kerusakan tersebut menimbulkan kerugian atau kecelakaan bagi si
konsumen.72
Dengan berlakunya prinsip hukum bahwa setiap orang yang melakukan
suatu akibat kerugian bagi orang lain, harus memikul tanggung jawab yang
diperbuatnya. Maka dalam hal ini konsumen dapat mengajukan tuntutan berupa
kompensasi/ganti rugi kepada pelaku usaha, kompensasi tersebut menurut Pasal
19 ayat 2 UUPK meliputi pengembalian sejumlah uang, penggantian barang atau
71 http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jiptumm-gdl-s1-2002-dewi-5881- e-
commerce&q=Usaha, bahan diakses tanggal 15 januari 2009.
72 N.H.T Siahaan, op . cit , h, 17.
Universitas Sumatera Utara
Page 63
jasa sejenis atau yang setara, perawatan kesehatan, dan pemberian santunan sesuai
ketentuan perundang-undangan.
Berdasakan uraian diatas, terlihat bahwa penyelesaian sengketa konsumen
melalui jalur litigasi tidak serumit yang dibayangkan oleh konsumen pada
umumnya. Karena dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan,
pihak yang dibebani untuk membuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan
merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Universitas Sumatera Utara
Page 64
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan atas permasalahan diatas, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. E-commerce pada dasarnya adalah kegiatan perdagangan yang menggunakan
media elektronik. Kedudukan e-commerce dalam hukum Indonesia terletak
dalam bidang hukum perdata sebagai subsistem dari hukum perjanjian, maka
e-commerce memiliki asas-asas yang sama dengan hukum perjanjian pada
umumnya seperti :
- Asas kebebasan berkontrak
- Asas konsensual
- Asas itikad baik
- Asas keseimbangan
- Asas kepatutan
- Asas kebiasaan
- Asas ganti rugi
- Asas keadaan memaksa
- Asas kepastian hukum, dll.
Universitas Sumatera Utara
Page 65
2. UUPK dan UU ITE telah mampu memberikan perlindungan hukum yang
memadai bagi konsumen dalam melakukan transaksi jual beli barang beregrak
melalui e-commerce, perlindungan hukum tersebut terlihat dalam
ketentuanketentuan UUPK dan UU ITE dimana kedua peraturan tersebut telah
mengatur mengenai penggunaan data pribadi konsumen, syarat sahnya suatu
transaksi ecommerce, penggunaan CA (Certification Authority), permasalahan
klausula baku dan mengatur mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha dalam memasarkan dan memproduksi barang dan jasa yang dapat
dijadikan acuan bagi obyek dalam transaksi e-commerce. Walaupun UUPK
memiliki kelemahan yaitu hanya menjangkau pelaku usaha yang
berkedudukan di Indonesia saja, namun kelemahan ini sudah ditutupi oleh UU
ITE dan berbagai ketentuan internasional.
3. Upaya hukum yang dapat ditempuh bagi konsumen yang dirugikan dalam
transaksi e-commerce adalah sebagai berikut :
a) Upaya hukum preventif
Upaya hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu
kerugian yakni dengan cara pengawasan oleh pihak-pihak terkait baik itu
pemerintah maupun maupun masyarakat dan melakukan pembinaan
konsumen.
b) Upaya hukum represif
Upaya hukum ini terdiri dari dua, yakni upaya hukum dalam hal
transaksi ecommerce bersifat internasional yang penyelesaiannya
menggunakan mekanisme ADR, dan upaya hukum dalam hal transaksi e-
Universitas Sumatera Utara
Page 66
commerce yang terjadi di Indonesia yang dapat diselesaikan melalui dua
jalur yakni jalur non-litigasi melalui Lembaga Swadaya Masyarakat
(YLKI), Direktorat Perlindungan Konsumen Disperindag, Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan pelaku usaha. Kemudian
jalur kedua adalah melalui jalur litigasi/ pengadilan.
D. Saran
Adapun saran-saran yang dapat diberikan agar perlindungan hukum bagi
konsumen dalam transaksi e-commerce dapat terjamin adalah sebagai berikut ;
1. Pemerintah perlu segera membuat peraturan pelaksana untuk melengkapi
ketentuan hukum dalam UU ITE, karena masih terdapat hal-hal yang tidak
diatur dalam UU ITE, sehingga perlu dimasukkan kedalam peraturan
pelaksana.
2. Sebaiknya UU ITE mencantumkan kewajiban bagi website e-commerce yang
mengumpulkan data pribadi konsumen untuk mencantumkan kebijakan
privasinya, agar data-data pribadi konsumen tetap terjaga kerahasiaannya.
3. Perlu dilakukannya sosialisasi UU ITE agar masyarakat mengetahui bahwa
saat ini telah ada undang-undang khusus yang mengatur mengenai
penggunaan informasi dan transaksi yang dilakukan secara elektronik.
Disamping itu dengan adanya sosialisasi UU ITE diharapkan pelaku usaha,
konsumen dan pemerintah menyiapkan diri terhadap ketentuan hukum baru
dalam UU ITE sehingga pelaksanaan dari UU ITE ini dapat berjalan secara
efisien.
Universitas Sumatera Utara