PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK MEREK TERDAFTAR DARI PERBUATAN PASSING OFF DAN AKIBAT HUKUMNYA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: ANWAR FAUZI NIM: 11140480000051 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/ 2018 M
86
Embed
PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK MEREK TERDAFTAR DARI …€¦ · PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK MEREK TERDAFTAR DARI PERBUATAN PASSING OFF DAN AKIBAT HUKUMNYA. Program Studi Ilmu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERLINDUNGAN HUKUM PEMILIK MEREK TERDAFTAR
DARI PERBUATAN PASSING OFF DAN AKIBAT HUKUMNYA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANWAR FAUZI
NIM: 11140480000051
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/ 2018 M
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata-1 (S1) di Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil plagiat dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 24 Mei 2018
Anwar Fauzi
v
ABSTRAK
ANWAR FAUZI. NIM 11140480000051. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK MEREK TERDAFTAR DARI PERBUATAN PASSING OFF DAN AKIBAT HUKUMNYA. Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. x + 68 Halaman + 3 Halaman Daftar Pustaka + 5 Halaman Lampiran Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan pemboncengan reputasi (passing off) yang masih belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, melihat seperti apa perlindungan hukum yang diberikan oleh Direktorat Jenderal KI kepada pendaftar pertama merek, terutama tehadap merek terkenal seperti GS Yuasa, INK, dan TOYOTA, serta menjelaskan dampak akibat hukum terhadap pelaku usaha yang melakukan perbuatan passing off.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian yuridis-normatif dengan penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan. Jenis penelitian yang penulis lakukan menggunakan kualitatif yang dimana penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis pada putusan kasasi tersebut. Sumber data yang diperoleh melalui wawancara Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dan library research.
Hasil penelitian menunjukan tidak adanya pengaturan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang disebut sebagai persaingan curang yang terdapat dalam penjelasan Pasal 21, serta belum memadainya kriteria merek terkenal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis mengakibatkan munculnya masalah passing off terhadap merek terkenal. Bangsa Indonesia tunduk kepada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/ Konvensi Paris) dan (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Good/TRIPs). Akan tetapi ketentuan ini memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu, penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya tetap diserahkan kepada Majelis Hakim. Dasar hukum passing off maupun kriteria merek terkenal dirasa sangat diperlukan saat ini mengingat perkembangan dunia usaha dan juga era globalisasi yang sudah maju pada zaman modern ini.
Kata Kunci : Passing Off, Merek Terkenal, Putusan Pengadilan
4. Pendaftaran Merek di Direktorat Jenderal KI ...................... 20
5. Penghapusan dan Pembatalan Merek .................................. 25
B. Konsep Passing Off Dalam Hukum Merek di Indonesia ............ 26
1. Pengertian Passing Off ........................................................ 26
2. Passing Off Menurut Undang-Undang Merek di Indonesia 30
C. Kajian Teoritis ............................................................................ 31
1. Teori Perlindungan Hukum .................................................. 31
2. Teori Kepastian Hukum ........................................................ 34
ix
D. Review (Tinjauan Ulang) Hasil Studi Terdahulu ....................... 35
BAB III DATA PENELITIAN TENTANG YURISPRUDENSI
PASSING OFF
A. Pelanggaran Merek di Indonesia.......................................... 38
B. Yurisprudensi Tentang Perbuatan Passing Off .................... 40
1. Sengketa Merek GS Yuasa dan GS Garuda Sakti Pada
Putusan M.A.R.I Nomor 55 K/Pdt.Sus-HKI/2015 ......... 40
2. Sengketa Merek Toyota dan Toyoko Pada Putusan
M.A.R.I Nomor 03 K/Pdt.Sus-HKI/2012 ....................... 44
BAB IV ANALISIS PERBUATAN PASSIG OFF TERHADAP HAK
ATAS MEREK DAN AKIBAT HUKUMNYA
A. Analisis Kasus Perbuatan Passing Off di Indonesia ................. 47
B. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perbuatan Passing Off .... 58
C. Akibat Hukum Dari Perbuatan Passing Off ............................. 62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 66
B. Rekomendasi ............................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 69
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat, juga
mendorong globalisasi Hak Kekayaan Intelektual. Suatu barang atau jasa
yang hari ini diproduksi di satu negara, di saat berikutnya telah dapat
dihadirkan di negara lain. Kehadiran barang atau jasa yang dalam proses
produksinya telah menggunakan Hak Kekayaan Intelektual, dengan demikian
juga telah menghadirkan Hak Kekayaan Intelektual, pada saat yang sama
ketika barang atau jasa yang bersangkutan dipasarkan. Kebutuhan untuk
melindungi Hak Kekayaan Intelektual dengan demikian juga tumbuh
bersamaan dengan kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa sebagai
komoditi dagang. Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari
kemungkinan pemalsuan atau dari persaingan yang tidak wajar (curang), juga
berarti kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual yang
digunakan pada atau memproduksi barang atau jasa tadi, Hak Kekayaan
Intelektual tersebut tidak terkecuali mereka.1
Merek merupakan ruang lingkup dari pada Hak Kekayaan Intelektual
yang merupakan suatu hak kebendaan yang sah dan diakui oleh hukum atas
benda tidak berwujud berupa kekayaan/kreasi intelektual, yang dapat berupa
diantaranya hak merek, seperti hak kebendaan lainnya Hak Kekayaan
Intelektual dapat beralih atau dialihkan dan dapat dipertahankan
kepemilikannya oleh siapapun. Atas dasar ketentuan aturan-aturan serta
ketentuan Undang-Undang yang ada. Suatu merek yang menjadi merek
terkenal menjadi andalan pengusaha dalam memenangkan persaingan usaha
yang semakin ketat. Fakta itu merek-merek terkenal menjadi incaran tindakan
passing off bagi pihak-pihak yang beritikad tidak baik.
1 Budi Agus Riswandi dan Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.82.
2
Perlindungan terhadap merek terkenal, baik terdaftar maupun tidak
terdaftar, di Indonesia dapat diperoleh juga melalui hukum perdata. Ketentuan
yang melindungi merek terkenal, terdaftar ataupun tidak terdaftar, adalah
pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) atau Burgelijk
Wetboek (BW) tentang perbuatan melanggar hukum. Sebenarnya pasal ini
tidak ditujukan secara khusus untuk melindungi merek, tetapi ditujukan
secara umum pada semua aktifitas bisnis yang menimbulkan kerugian bagi
pihak lain.
Merek sangat penting dalam dunia periklanan dan pemasaran karena
publik sering mengaitkan suatu image, kualitas atau reputasi dan jasa dengan
merek tertentu. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga
secara komersial. Passing off melindungi pemilik merek reputasi dan pihak-
pihak yang akan membonceng keberhasilan mereka, sehingga para
pembonceng tidak dapat lagi menggunakan merek, kemasan atau indikasi lain
yang bisa mendorong konsumen yakin bahwa produk yang dijual mereka
dibuat oleh orang lain.2
Pemboncengan reputasi pada merek atau biasa dikenal dengan sebutan
Passing Off pada sistem Common Law. Dalam passing off terkait erat dengan
apa yang dimaksud dengan kata reputasi yaitu sebagai sesuatu yang melekat
dalam merek dan selain itu kata goodwill sering juga diartikan “itikad baik”.
Reputasi atau goodwill dalam dunia bisnis dipandang sebagai kunci sukses
atau kegagalan dari sebuah perusahaan sehingga reputasi atau goodwill
sangatlah penting bagi produsen karena dapat meyakinkan pihak konsumen
untuk membeli produknya.3
Definisi umum dari doktrin passing off adalah: a common-law tort to
enforce unregistered trademark. Menurut definisi tersebut, maka ada dua
unsur dari passing off, yaitu:
2 Endang Purwaningsih, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dan Lisensi, (Bandung: Mandar
Maju, 2012), h.112. 3 Tim Lindsey, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni,
2013), h.152.
3
1. Passing off merupakan tort (yang sering kali disandingkan dengan
perbuatan melawan hukum pada Pasal 1365 BW).
2. Passing off merupakan upaya hukum yang dilakukan pemilik merek
yang belum didaftarkan untuk melindungi mereknya dari digunakan
oleh pihak lain.
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:4
“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement”.
Berdasarkan Black’s Law Dictionary, bahwa passing off adalah
tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya sendiri seperti
produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing off
ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum
persaingan curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak
merek.
Sebagai pengguna meskipun mereka secara langsung dapat
membedakan merek terkenal dengan merek terkenal palsu tetapi mereka
menghiraukan demi menunjang gaya hidup, keadaan seperti inilah yang perlu
diperhatikan pemerintah agar pemegang merek terkenal/investor mendapat
jaminan perlindungan hukum terhadap berkembangnya merek-merek terkenal
palsu dalam skala besar. Mereka harus memiliki daya pembeda yang cukup
(capable of distinguishing), artinya memiliki kekuatan untuk membedakan
barang atau jasa suatu perusahaan lainnya. Agar mempunyai daya pembeda,
merek itu harus dapat memberikan penentuan pada barang atau jasa yang
bersangkutan.5 Dalam Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis berbunyi:
4 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul,Minn: West
Publishing Co, 2004), h.1115. 5 Tomi Utomo Suro, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010), h.209.
4
“Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara
kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk
jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau
memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya”.
Dimaksudkan untuk melindungi pemilikan atas merek, investasi, dan
nama baik (goodwill) dalam suatu merek, dan untuk melindungi konsumen
dari kebingungan menyangkut asal usul suatu barang atau jasa. Namun masih
banyak perilaku masyarakat yang melakukan pelanggaran terhadap merek,
menunjukan bahwa masih rendahnya pemahaman terhadap norma-norma
hukum yang berlaku khususnya yang tercantum dalam Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Merek dan Indikasi Geografis atau yang lebih
kita kenal dengan kesadaran hukum6.
Permasalahan sengketa merek semakin beragam tersebut juga terjadi
terkait dengan adanya perbuatan-perbuatan pelaku usaha yang berbuat curang
dalam melakukan persaingan usaha. Seperti merek yang sudah terdaftar lebih
dahulu di Dirjen KI sebagai Daftar Umum Merek yang ternyata ditemukan
adanya kesamaan dalam merek berupa kata dan pengucapan suara yang jelas
sama dengan pendaftar merek lain.
Ada salah satu contoh kasus passing off yang dialami oleh perusahaan
aki GS Yuasa Corporation yang berasal dari Jepang. Perusahaan tersebut
telah terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dari tahun 1974,
diperpanjang terus-menerus sampai tahun 2014 dengan datar nomor
IDM000027599 termasuk dalam kelas 9. Bahwa pihak GS Yuasa Corporation
mengetahui adanya pesaing yang pelafalan merek nya hampir serupa yaitu
“GS Garuda Sakti” milik Yudi Tanto yang telah disetujui pendaftarannya
oleh Direktorat Jenderal KI pada tahun 2008 di Indonesia. Dari kasus tersebut
terlihat persamaan pada pokoknya yaitu terlihat dalam penggunaan merek GS
Garuda Sakti, terdiri dari huruf GS yang dominan, bahkan sangat identik
dengan merek milik GS Yuasa. Dan merek GS milik Penggugat dengan
6 Jaya Sopyansyah, dan Durachman Yusuf, Etika Bisnis dan Hak Kekayaan Intelektual,
(Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009), h.182.
5
Tergugat, sama-sama didaftarkan pada barang kelas 9 khususnya pada jenis
barang accu. Selain itu, memiliki kesamaan dalam kata GS yang merupakan
pokok merek, sedangkan kata Garuda Sakti merupakan keterangan yang
menjelaskan kata GS. Hal ini didukung dengan tampilan kata GS pada merek
Tergugat yang lebih besar, dibandingkan dengan tampilan kata Garuda Sakti.
Dengan demikian tampilan kata GS pada merek Tergugat I sangat dominan.
Bahwa apabila merujuk dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek bahwa telah dijelaskan ketika telah ditemukan persamaan
pada pokoknya dan/atau keseluruhannya dengan merek milik orang lain yang
telah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa sejenis maka
Direktorat Jenderal KI harus menolaknya, akan tetapi ketika melihat fakta
kasus yang sudah terjadi Direktorat Jenderal KI tetap menerima pendaftaran
merek yang diidentifikasi memiliki persamaan merek.
Menurut peneliti perlindungan hukum bagi pemegang merek terdaftar
merupakan suatu hal yang krusial dalam kekayaan intelektual, karena masih
banyak pihak-pihak yang berani melakukan tindakan passing off yang sudah
sangat jelas merugikan bagi pihak pemegang merek terdaftar. Dengan adanya
ketidakpastian perlindungan hukum pemilik merek terdaftar dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis maka
peneliti tertarik mengangkat tema ini yang akan lebih lanjut dituangkan dalam
sebuah skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Pemilik Merek
Terdaftar Dari Perbuatan Passing Off Dan Akibat Hukumnya
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang disampaikan terdapat beberapa
persoalan yang berkaitan dengan perlindungan hukum pemilik merek
terdaftar dari perbuatan passing off dan akibat hukumnya.
Dari latar belakang berfikir tersebut terdapat berbagai masalah
yang muncul yaitu:
6
a. Ketentuan dan pengaturan mengenai kepemilikan merek terdaftar
di Indonesia.
b. Tata cara memperoleh perlindungan hukum bagi pemilik merek
terdaftar terhadap perbuatan pemboncengan reputasi (passing off).
c. Perlindungan konsumen akibat pelanggaran merek yang
merugikan.
d. Unsur itikad tidak baik dalam melakukan pendaftaran merek.
e. Ketegasan sistem pendafaran merek serta masa perlindungan
merek.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini,
peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya
lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti. Di sini peneliti
hanya akan membahas masalah yakni perlindungan hukum pendaftar
pertama merek terhadap praktik passing off di Indonesia. Kegunaan dari
pada batasan masalah yang saya timbulkan ini ada untuk membatasi
pembahasan materi saya agar lebih terarah dan fokus sehingga tidak
terjadi kesalahpahaman serta pemecahan konsentrasi pembahasan
nantinya.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan masalah dan pembatasan masalah yang telah diuraikan
di atas, maka peneliti merumuskan masalah utama adalah:
Bagaimana perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar
dari perbuatan passing off dan akibat hukumnya?
Selanjutnya pertanyaan riset dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut
a. Bagaimana pengaturan passing off dalam hukum merek di
Indonesia?
7
b. Bagaimana perlindungan hukum bagi pendaftar pertama merek
terhadap praktik passing off ?
c. Bagaimana akibat hukum dari adanya perbuatan passing off
terhadap merek terdaftar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap hal berikut:
a. Untuk mengetahui pengaturan dan ketentuan passing off dalam sistem
hukum di Indonesia
b. Untuk mengetahui cara memperoleh perlindungan hukum terhadap
perbuatan passing off
c. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap perbuatan passing off
terhadap hak atas merek.
2. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, skripsi ini juga diharapkan dapat
bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya :
a. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang dapat diperoleh dari penelitian ini, ialah:
1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam
perkembangan ilmu hukum khususnya pada bidang Hak
Kekayaan Intelektual terkait tindakan passing off merek.
2) Diharapkan dapat memberikan dan menambah refrensi penulisan
Hak Kekayaan Intelektual khususnya mengenai perbuatan passing
off merek serta menjadi masukan daripada penulisan selanjutnya
dalam penulisan karya ilmiah pada masa yang akan datang.
3) Dapat menerapkan ilmu-ilmu yang selama ini ditempuh dalam
bangku perkuliahan dalam menganalisis maupun penerapannya
secara langsung dilapangan.
8
b. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari penelitian ini, ialah:
1) Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada
lembaga atau instansi terkait dalam upaya permohonan dan
pendaftaran merek.
2) Diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam
menganalisis permasalahan perlindungan hukum merek dan
dalam memberikan kebijakan-kebijakan dan konsekuensi hukum
yang berkaitan dengan penegakan hukum dalam memberantas
tindak kecurangan dalam perbuatan passing off di Indonesia,
sehingga dapat tercipta nya persaingan usaha dalam praktek bisnis
yang seadil-adilnya.
3) Diharapkan dapat turut serta menginpirasi para masyarakat dan
mahasiswa.
D. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang akan digunakan oleh
penelitian ini adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis menggunakan metode
penelitian yuridis-normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan
dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat
atau juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.7
2. Jenis Penelitian
Mengenai jenis penelitian yang digunakan yaitu kualitatif. Jenis
penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang
Tidak Sehat, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang dapat
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang
diharapkan mendukung penulisan ini. Bahan hukum sekunder terdiri
dari buku-buku yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual
terkait hak merek, hukum bisnis, jurnal-jurnal, media cetak dan
media elektronik.11
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yaitu berupa literature yang berasal dari
non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian dan
juga dapat membantu memberikan penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan sekunder sebelumnya. Bahan hukum tersier terdiri dari
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus hukum, majalah,
koran, internet, dan lainnya.12
4. Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini, peneliti mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/kepustakaan (library research), yaitu dengan
mencari dan menganalisis peraturan perundang-undangan serta sumber
bacaan seperti buku-buku yang berkaitan dengan merek dan
perlindungan hukum hak atas merek, doktrin, surat kabar, artikel, kamus,
dan juga berita yang peneliti peroleh dari internet. Tujuan dan kegunaan
studi kepustakaan pada dasarnya untuk menunjukan jalan pemecah
permasalahan penelitian, maka peneliti akan lebih siap dengan
pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap.
11 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), h.15. 12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum... h. 143.
11
5. Analisis Data
Bahan hukum seperti aturan perundang-undangan, penelitian
studi kepustakaan, dan artikel-artikel lainnya dihubungkan agar bahan
hukum tersebut tersusun secara runtut, sistematis sehingga akan
memudahkan peneliti dalam melakukan analisis.13 Setelah data tersebut
dihasilkan, selanjutnya peneliti melakukan pengolahan data dengan cara
kualitatif yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif
analisis, dimana data tersebut tidak menampilkan angka-angka sebagai
penelitiannya melainkan dihasilkan dalam bentuk pembahasan dengan
uraian kalimat-kalimat dan dipaparkan dalam bentuk tulisan.
Hasil dari analisis data ini akan diolah secara deduktif yaitu cara
berfikir yang menarik suatu kesimpulan dari suatu pertanyaan yang
bersifat umum menjadi suatu pertanyaan yang bersifat khusus yang mana
dari kesimpulan dapat diajukan beberapa saran terhadap permasalahan.
E. Sistematika Penelitian
Skripsi ini disusun berdasarkan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” terbitan tahun 2017
dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Untuk menjelaskan isi
skripsi secara menyeluruh ke dalam penulisan yang sistematis dan terstruktur
maka skripsi ini disusun dengan sistematika penulisan yang terdiri dari
beberapa sub bab, yaitu:
BAB I, pada bagian bab ini menguraikan mengenai alasan dalam
pemilihan judul, diuraikan juga mengenai Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Pembatasan, dan Perumusan Masalah, Tujuan dan
Manfaat Penelitian, , Metode Penelitian, Rancangan Sistematika Penulisan.
13 Mukti Fajar Nur Dewata dan Yulianto Ahmad, “Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris”… h.180.
12
BAB II, dalam bab ini akan menguraikan tentang kerangka konseptual
dan selanjutnya akan dilanjutkan dengan teori-teori yang mendukung
permasalahan skripsi ini. Dalam teori ini peneliti akan membahas ketentuan
umum mengenai pengaturan merek di Indonesia, yang menguraikan teori
mengenai konsep umum tentang merek , pengertian merek, jenis merek,
fungsi merek. Diuraikan juga mengenai pendaftaran merek serta mekanisme
persyaratan merek, penghapusan dan pembatalan merek di Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual. Selanjutnya akan dibahas pula mengenai
konsep passing off dalam hukum merek di Indonesia, dan terdapat penjelasan
mengenai kajian teoritis yaitu teori perlindungan hukum dan teori kepastian
hukum, serta terdapat tinjauan review kajian terdahulu.
BAB III, dalam bab ini akan memaparkan tentang data penelitian yang
berisikan yurisprudensi passing off yang di dalamnya akan menjelaskan
beberapa putusan mengenai sengketa merek terhadap perbuatan passing off di
Indonesia.
BAB IV, bab ini merupakan inti dari penulisan skripsi yaitu berisi
analisis kasus perbuatan passing off di Indonesia, faktor-faktor penyebab
terjadinya perbuatan passing off, dan akibat hukum dari perbuatan passing off
BAB V, bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi, berisi
tentang kesimpulan dan rekomendasi peneliti yang didapatkan berdasarkan
pemaparan pada bab-bab sebelumnya.
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA TENTANG MEREK DAN PASSING OFF
A. Konsep Umum Merek
1. Pengertian Merek
Pengertian merek perlu mendapat uraian dan penjelasan lebih jelas
dan terperinci untuk menghindari kesimpangsiuran dari arti yang
sebenarnya yang dapat menimbulkan salah pengertian, permasalahannya,
karena banyak bentuk kreasi yang berkaitan dengan ciptaan suatu barang
dan jasa tertentu masing-masing mempunyai ciri yang spesifik dan
menyerupai dengan yang lain.
Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang 15 Tahun 2001 tentang Merek,
diberikan suatu definisi tentang merek yaitu; tanda yang berupa gambar,
nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam
kegiatan perdagangan barang atau jasa. Adapun, dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis terbaru
memberikan suatu definisi adalah tanda yang dapat ditampilkan secara
grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna,
dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram,
atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan
barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam
kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Perbedaannya yaitu pada UU
Merek yang baru telah memperluas merek yang akan didaftarkan. Di
antaranya penambahan merek 3 dimensi, merek suara, dan merek
hologram.
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa batasan atau definisi merek
dikalangan pakar hukum, meliputi:
a. Menurut Todung Mulya Lubis, menjelaskan “merek adalah tanda
pada dirinya terkandung daya pembeda yang cukup (capable of
14
distringuisshing) dengan barang-barang sejenis, kalau tidak ada
daya pembeda maka tidak mungkin disebut merek”.1
b. Pendapat R. Soekardono, definisi merek adalah suatu tanda (ciri atau tengger) dengan nama dipribadikan sebuah barang tertentu, dimana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitasnya barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.2
c. Muhammad Djumhana dan R. Djubaidillah, memberikan rumusan bahwa Merek yaitu dengan mana dipribadikanlah suatu barang tertentu, untuk menunjukan asal barang, dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat, dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.3
d. Iur Soeryatin, merumuskan merek dari meninjau aspek fungsinya yaitu, suatu merek dipergunakan untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejenis lainnya. Oleh karena itu, barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.4
e. Pendapat H.M.N Purwo Sutjipto, memberikan definisi “merek
adalah suatu tanda dengan mana suatu benda tertentu dipribadikan,
sehingga dapat dibedakan dengan benda lain yang sejenis”.5
Beberapa pengertian di atas menunjukan bahwa pada mulanya merek
hanya diakui untuk barang. Merek jasa baru diakui Konvensi Paris (Paris
Conventin) pada perubahan di Lisabon tahun 1958. Di Inggris merek jasa
baru bisa didaftarkan, dan mempunyai konsekuensi yang sama dengan
1 Todung Mulya Lubis, Perselisihan Hak Atas Merek di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000), h.5.
2 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat, 1983), h.149. 3 Djumhana dan Djubaidillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di
Indonesia), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.121. 4 Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Prad Paramita, 1980), h.84. 5 H.M.N Purwo Sutjipto, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang, (Jakarta: Djambatan,
1984), h.82.
15
merek barang, setelah adanya undang-undang hasil revisi pada tahun 1958.
Di Inggris merek jasa baru bisa didaftarkan, dan mempunyai konsekuensi
yang sama dengan merek barang, setelah adanya undang-undang hasil
revisi pada tahun 1984 atas UU Trademarks 1938. Di Indonesia sendiri
merek jasa baru dicantumkan pada Undang-Undang Merek Tahun 1992.
Berdasarkan pendapat-pendapat sarjana tersebut, maupun dari
peraturan merek itu sendiri, secara umum dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa yang diartikan dengan perkataan merek adalah suatu tanda (sign)
untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan
atau diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum
dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang
lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya
dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.6
2. Jenis dan Fungsi Merek
Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis telah mengatur tentang jenis-jenis merek, yaitu:
a. Merek dagang, dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Merek dan Indikasi Geografis adalah merek
yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang sejenis lainnya. Hal ini berarti merek
dagang maupun merek barang adalah sama saja mengandung
pengertian yang sama yaitu merek barang. Contoh merek dagang
antara lain: Samsung, Panasonic, Miyako, LG, dan lain-lain;
b. Merek jasa, dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan ndikasi Geografis adalah merek
yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang
atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
6 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights),
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.345.
16
membedakan dengan jasa-jasa lainnya. Contoh merek jasa antara
lain: POS Indonesia, JNE, TIKI, dan lain-lain.
Selain jenis merek di atas, adapun jenis merek kolektif pada Pasal 1
Ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis adalah merek yang digunakan pada barang dan/atau
jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri, umum, dan mutu
barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh
beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk
membedakan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.
Di samping jenis merek sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, terdapat beberapa jenis
merek yang dimaksudkan untuk membedakan dari jenis barang sejenis
milik orang lain menurut R.M. Suryodiningrat, yaitu:7
a. Merek kata yang terdiri dari kata-kata saja, misalnya: Good Year, Dunlop, sebagai mere kaki, ban mobil, dan ban sepeda
b. Merek lukisan adalah merek yang terdiri dari lukisan saja yang tidak pernah atau setidak-tidaknya jarang sekali dipergunakan;
c. Merek kombinasi kata dan lukisan, banyak sekali dipergunakan.
Sedangkan menurut Soeryatin telah mengklasifikasikan beberapa jenis
merek, yaitu:8
a. Merek Lukisan (beel mark); b. Merek Kata (word mark); c. Merek Bentuk (form mark); d. Merek Bunyi (klank mark); e. Merek Judul (little mark).
Fungsi utama dari sebuah merek agar konsumen dapat memilih suatu
produk (baik itu barang dan/atau jasa) yang dimiliki oleh perusahaan
sehingga dapat dibedakan dari produk perusahaan lain yang serupa atau
mirip yang dimiliki oleh pesaingnya. Karena bagi pengguna barang
7 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)… h.346. 8 Tim Lindsey, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni,
2013), h.134.
17
dan/atau jasa meskipun mereka secara langsung dapat membedakan merek
terkenal dengan merek terkenal palsu tetapi mereka menghiraukannya
demi menunjang gaya hidup, keadaan seperti inilah yang perlu
diperhatikan pemerintah agar pemegang merek terkenal/investor mendapat
jaminan perlindungan hukum terhadap berkembangnya merek-merek
terkenal palsu dalam skala besar.
Untuk memenuhi fungsinya, merek digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang dan/atau jasa. Fungsi merek adalah sebagai berikut:9
a. Tanda pengenal untuk membedakan produk perusahaan yang satu
dengan produk perusahaan yang lain (Produk Identity). Fungsi ini
juga menghubungkan barang atau jasa dengan produsennya sebagai
jaminan reputasi hasil usahanya ketika diperdagangkan.
b. Sarana Promosi dagang (means of trade promotion). Promosi
tersebut dilakukan melalui iklan produsen atau pengusaha yang
memperdagangkan barang atau jasa. Merek merupakan salah satu
good will untuk menarik konsumen merupakan simbol pengusaha
untuk memperluas pasar produk atau barang dagangannya.
c. Jaminan atas mutu barang atau jasa (quality guarantee). Hal ini
tidak hanya menguntungkan produsen pemilik merek, melainkan
juga perlindungan jaminan mutu barang atau jasa bagi konsumen.
d. Penunjukan asal barang atau jasa yang dihasilkan (source of
origin). Merek merupakan tanda pengenal asal barang atau jasa
yang menghubungakan barang atau jasa dengan produsen, atau
antara barang atau jasa dengan daerah/negara asalnya.
3. Persyaratan Merek
Terdapat syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh setiap orang atau
badan hukum ketika ingin mendaftarkan merek tersebut harus memliki
9 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.84.
18
daya pembedaan yang cukup.10 Jika suatu barang atau hasil produksi suatu
perusahaan tidak mempunyai kekuatan pembedaan dianggap sebagai tidak
cukup mempunyai kekuatan pembedaan dan karenanya bukan merupakan
merek.
Merek juga harus didaftarkan dengan itikad baik. Jika seseorang
mencoba mendaftarkan sebuah merek yang disadarinya sebagai merek
milik orang lain atau serupa dengan milik orang lain, merek tersebut tidak
dapat didaftarkan. Persyaratan itikad baik juga berarti bahwa untuk dapat
didaftarkan, sebuah merek harus digunakan atau dimaksudkan untuk
digunakan dalam perdagangan barang dan atau jasa.11
Terdapat ketentuan merek yang tidak dapat didaftarkan yang telah
diatur dalam Pasal 20 huruf (a) sampai (f) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Bahwa merek tidak
dapat didaftarkan apabila mengandung salah satu unsur dibawah ini:
a. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-
undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, dan
ketertiban umum;
b. Sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang
dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya;
c. Memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal,
kualitas, jenis, ukuran, macam, tujuan penggunaan barang dan/atau
jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama
varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis;
d. Memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat,
khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi;
e. Tidak memiliki daya pembeda;
f. Merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum.
10 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)…h.348. 11 Tim Lindsey, dkk. Suatu Pengantar Hak Kekayaan Intelektual…h.141.
19
Dengan menambah beberapa unsur terkait persyaratan merek yang
tidak dapat di daftarkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, bahwa Dirjen KI (Kekayaan
Intelektual) lebih memperketat terkait syarat suatu merek yang tidak dapat
didaftarkan, agar seseorang atau badan hukum dapat mendaftarkan merek
nya dengan itikad baik dan lebih menjamin produk yang ingin didaftarkan
sesuai dengan penjelasan kualitas maupun manfaat dari produk tersebut
agar konsumen tidak dirugikan.
Dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis Permohonan ditolak jika merek
tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan:
a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh
pihak lain untuk barang dan/ataujasa sejenis;
b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak
sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau
d. Indikasi Geografis terdaftar.
Dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, permohonan ditolak jika merek
tersebut:
a. Merupakan atau menyerupai nama atau singkatan nama orang
terkenal, foto, atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain,
kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak;
b. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,
bendera, lambang atau simbol atau emblem suatu negara, atau
lembaga nasional maupun internasional, kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang; atau
c. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel
resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah,
kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
20
4. Pendaftaran Merek di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual
Pendaftaran merek bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan
perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Bahwa hak atas merek baru
bisa diperoleh jika merek tersebut telah didaftarkan terlebih dahulu di
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual dibawah naungan Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Maka bersifat wajib hukumnya bagi
pemilik merek yang ingin mendapatkan perlindungan hukum dari
pemerintah dan bertujuan untuk meminimalisir maraknya perbuatan
passing off di Indonesia.
Secara Internasional menurut pendapat Soegondo Soemodiredjo yang
dikutip oleh OK. Saidin, bahwa ada 4 sistem pendaftaran merek, yaitu:12
a. Pendaftaran merek tanpa pemeriksaan merek terlebih dahulu. Menurut sistem ini merek dapat didaftarkan asal syarat-syarat permohonannya telah dipenuhi seperti pembayaran biaya permohonan, pemeriksaan, dan pendaftaran. Negara yang menganut sistem ini adalah Perancis, Belgia, Luxemberg, dan Rumania.
b. Pendaftaran dengan pemeriksaan merek terlebih dahulu. Hanya merek yang memenuhi syarat dan tidak mempunyai persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya dengan merek yang telah didaftarkan sebelumnya. Negara yang membangun sistem ini adalah Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Indonesia.
c. Pendaftaran dengan pengumuman sementara. Sebelum merek tersebut didaftarkan, akan diumumkan terlebih dahulu untuk memberi kesempatan kepada pihak lain untuk mengajukan keberatan-keberatan tentang pendaftaran merek tersebut. Sistem ini dianut oleh negara Spanyol, Columbia, Mexico, Brazil, dan Amerika.
d. Pendaftaran merek dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang adanya merek-merek terdaftar lain yang ada persamaannya. Negara yang menganut sistem ini adalah Swiss dan Australia.
Dalam kepustakaan dikenal dua macam sistem pendaftaran merek,
yaitu sistem konstitutif (first to file principle) dan sistem deklaratif (first to
use principle). Dalam sistem konstitutif, hak atas merek diperoleh melalui
pendaftaran, artinya hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena
12 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)…h.362.
21
adanya pendaftaran (required by registration). Dengan ungkapan lain,
pada sistem konstitutif pendaftaran merek merupakan hal yang mutak
dilakukan. Merek yang tidak terdaftar, otomatis tidak akan mendapat
perlindungan hukum.13
Namun, di dalam sistem deklaratif, pendaftaran merek tidak
merupakan keharusan, jadi tidak ada wajib daftar merek. Pendaftaran
hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftaran merek adalah pemakai
pertama dari merek yang bersangkutan. Pendaftaran itu bukanlah
menerbitkan hak, melainkan hanya, memberikan dugaan atau presumsition
iuris yaitu bahwa pihak yang mereknya terdaftar itu adalah pihak yang
berhak atas merek tersebut dan sebagai pemakai pertama dari merek yang
didaftarkan.14
Indonesia menganut sistem konstitutif dalam sistem pendaftaran
mereknya, sehingga yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah
mendaftarkan mereknya. Pendaftaran itu menciptakan suatu hak atas
merek tersebut, pihak yang mendaftarkan ialah satu-satunya yang berhak
atas suatu merek dan pihak ketiga harus menghormati haknya pendaftar
sebagai hak mutlak.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan
Indikasi Geografis, merek dapat didaftarkan melalui 2 (dua) cara yaitu
melalui elektronik atau nonelektronik. Jika mendaftarkan melalui
elektronik maka dilakukan melalui laman resmi Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual, dan apabila pendaftaran dilakukan melalui
noneleltronik maka pendaftaran harus dilakukan melalui Menteri
Permohonan pendaftaran merek harus diajukan dalam Bahasa Indonesia
dengan formulir rangkap 2 (dua) kepada Menteri, oleh pemohon atau
kuasa, dengan melampirkan bukti pembayaran biaya pendaftaran merek.
13 Rahmadi Usman, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), h.331. 14 Djumhana dan Djubaidillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di
Indonesia), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), h.225.
22
Dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67
Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek, bahwa dalam surat permohonan
harus dicantumkan sebagai berikut:
a. Tanggal, bulan, tahun Permohonan;
b. Nama lengkap, kewarganegaraan dan alamat pemohon;
c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan merek
diajukan melalui kuasa;
d. Warna-warna apabila merek yang dimohonkan pendaftarannya
menggunakan unsur-unsur warna;
e. Nama negara dan tanggal permintaan merek yang pertama kali
dalam hal permohonan diajukan dengan Hak Prioritas.
f. Label merek
g. Kelas barang dan/atau kelas jasa serta uraian jenis barang dan/atau
jenis jasa.
Adapun permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas. Secara
umum hak prioritas ialah hak yang diberikan kepada pendaftar Hak
Kekayaan Intelektual, dimana tanggal penerimaan dianggap sama dengan
tanggal penerimaan pertama di negara asal. Dianggap sama berarti
bukanlah dalam pengertian yang sebenarnya, namun berupa pengakuan
saja. Sebagaimana dijelaskan juga hak prioritas dalam Pasal 1 Ayat (17)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis, yaitu:
“Hak Prioritas adalah hak Pemohon untuk mengajukan Permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Konvensi Paris tentang Pelindungan Kekayaan Industri (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) atau Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) untuk memperoleh pengakuan bahwa Tanggal Penerimaan di negara anal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian itu, selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan perjanjian internasional dimaksud”
23
Permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas ini diatur dalam
Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, yaitu:
a. Diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak
tanggal penerimaan permohonan pendaftaran Merek yang
pertama kali diterima dinegara lain, yang merupakan anggota
dalam Paris Convention dor the Protection of Industrial Property
atau anggota Agreement Establishing the World Trade
Organization
b. Dilengkapi dengan bukti tentang penerimaan permohonan
pendaftaran merek yang pertama kali yang menimbulkan hak
prioritas tersebut.
c. Apabila terjadi ketidaklengkapan persyaratan pendaftaran merek,
maka jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut
paling lama (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu
pengajuan permohonan dengan menggunakan hak prioritas.
Bagi pemilik merek yang bertempat tinggal di luar negeri tidak boleh
mengajukan permohonan pendaftaran merek secara langsung sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang No. 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis. Undang-Undang ini mewajibkan
pemilik merek untuk mengajukan permohonan melalui kuasanya.
Pemohon tidak boleh menggunakan kuasa asing melainkan wajib
menggunakan kuasa yang berasal dari Indonesia. Selain itu juga undang-
undang merek mewajibkan pemohon memilih domisili di tempat tinggal
kuasanya di Indonesia. Peneliti akan menjelaskan mengenai perbandingan alur pendaftaran
merek dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek di
bandingkan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, sebagai berikut:
24
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Undang-Undang No. 20 Tahun 2016
Permohonan Merek
Permohonan Merek
Pemeriksaan Administratif
Pemeriksaan Administratif
Pemeriksaan Substantif
Pengumuman
Tanggapan Keberatan
Pengumuman Sanggahan
Sanggahan Pemeriksaan Substantif
Pemeriksaan Kembali
Tanggapan
Sertifikasi Sertifikasi
25
5. Penghapusan dan Pembatalan Merek
Penghapusan dan pembatalan pendaftaran merek diatur dalam Pasal
72 sampai dengan 79 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang
Merek dan Indikasi Geografis, bahwa merek terdaftar dapat dihapuskan
karena empat kemungkinan yaitu:
a. Atas prakasa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual;
b. Atas permohonan dari pemilik merek yang bersangkutan;
c. Atas putusan Pengadilan berdasarkan gugatan penghapusan;
d. Tidak diperpanjang jangka waktu pendaftaran mereknya;
e. Merek yang masih terikat dengan perjanjian lisesnsi dan
dihapuskan dengan disetujui oleh penerima lisensi tersebut.
Penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa Direktorat Jenderal KI
tercantum pada Pasal 61 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
Tentang Merek dapat dilakukan apabila:
a. Merek terdaftar tidak digunakan selama (tiga) tahun berturut-turut
dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal
pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan
yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal KI, yaitu: larangan
impor, larangan yang berkaitan dengan izin bagi peredaran barang
yang menggunakan merek yang bersangkutan atas keputusan dari
pihak yang berwenang yang bersifat sementara atau larangan
serupa lainnya yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
b. Merek digunakan untuk barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan jenis barang dan/atau jasa yang dimohonkan
pendaftarannya, termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai
dengan merek yang didaftarkan.
Untuk penghapusan pendaftaran merek di dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis, telah
menambahkan mengenai penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa
Menteri dalam Pasal 72 ayat 7 UU Merek dan Indikasi Geografis Tahun
2016, meliputi:
26
a. Memiliki persamaan pada pokoknya dan/atau keseluruhannya
dengan Indikasi Geografis;
b. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-
undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum;
atau
c. Memiliki kesamaan pada keseluruhannya dengan ekspresi budaya
tradisional, warisan budaya takbenda, atau nama atau logo yang
sudah merupakan tradisi turun temurun.
Pada Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Merek dan Indikasi Geografis, gugatan pembatalan pendaftaran
merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal
pendaftaran merek. Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu
apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama,
kesusilaan, atau ketertiban umum.
B. Konsep Passing Off Dalam Hukum Merek di Indonesia
1. Pengertian Passing Off dan Dasar Hukumnya
Passing off diartikan adalah tindakan yang mencoba meraih
keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih melanggar
etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum. Tindakan ini dapat terjadi
dengan meniru atau memiripkan kepada merek kepemilikan pihak lain
yang telah memiliki reputasi baik dan cara meniru reputasi (good will) ini
dapat terjadi pada bidang merek, paten, desain industry maupun bidang
hak cipta. Passing Off dapat juga diartikan sebuah istilah untuk menyebut
suatu perbuatan yang tidak fair dalm bisnis (unfair competition), dimana
seseorang memanfaatkan ketenaran merek terdaftar pihak lain untuk
keuntungan pribadi.15
15 OK., Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights)…h.312
27
Pengertian passing off menurut Black’s Law Dictionary yaitu:16
“The act or an instance of falsely representing one’s own product as that of another in an attempt to deceive potential buyers. Passing off is actionable in tort under the law of unfair competition. It may also be actionable as trademark infringement”. (Terjemahannya: tindakan atau suatu hal palsu yang menampilkan produknya sendiri seperti produk orang lain dalam upaya menipu pembeli potensial. Passing off ditindaklanjuti dalam perbuatan melawan hukum berdasarkan hukum persaingan curang. Ini juga dapat ditindaklanjuti sebagai pelanggaran hak merek).
Muhammad Djumhana dan Djubaedillah memberikan definisi mengenai passing off yaitu tindakan yang mencoba meraih keuntungan melalui jalan pintas dengan segala cara dan dalih dengan melanggar etika bisnis, norma kesusilaan maupun hukum. Tindakan ini bisa terjadi dengan mendompleng dengan secara meniru atau memirip-miripkan kepada kepunyaan orang lain yang telah memiliki reputasi baik. Cara mendompleng reputasi ini bisa terjadi pada bidang merek, paten, desain industri maupun hak cipta.17
Ketentuan mengenai passing off dalam Undang-Undang Merek di
Indonesia tidak diatur secara khusus, akan tetapi terkait perlindungan
hukum terhadap praktik passing off adalah termasuk mengenai reputasi
nama baik (good will). Dengan demikian diperlukan penjelasan lebih
lanjut mengenai perlindungan hukum terhadap pemilik merek terdaftar
dari perbuatan passing off yang dapat dijelaskan melalui KUHPer, KUHP,
dan Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights
Including Trade Counterfeid Goods (TRIPs). Dari semua sumber hukum
yang telah disebutkan diatas bahwa sebenarnya belum terdapat pasal
tertentu yang menjelaskan secara spesifik mengenai passing off, namun
pada hakikatnya ketentuan passing off dapat dilihat dari sisi dasar hukum
dan merujuk pada berbagai pasal yang berkaitan dengan passing off, yaitu:
a. Pasal 15 ayat (1) TRIPs berbunyi:
16 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul,Minn: West
Publishing Co, 2004), h.1115.
17 Djumhana dan Djubaidillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori dan Prakteknya di Indonesia)…h.265.
28
Any sign, or combination of sign, capable distinguishing the goods or services of one undertalking, shall be capable of constituting a trademark. Such signs in particular words including personal names, letters, numerals, figurative elements and combination of colors as well as any combination of such signs shall be eligible for registration as trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, members may require as a condition of registration that sign be visually perceptible; (Terjemahannya: tiap apapun atau kombinasi apapun dari tanda, yang dapat membedakan barang atau jasa satu perusahaan dari perusahaan lain, dapat menjadi merek dagang. Tanda-tanda tersebut khususnya kata-kata termasuk nama pribadi, huruf-huruf, angka-angka, elemen-elemen figurative dan kombinasi dari warna seperti juga halnya dengan kombinasi dari tanda-tanda tersebut dapat disetujui untuk mendaftarkan sebagai merek dagang. Dimana tanda-tanda tidak secara langsung dapat membedakan barang atau jasa yang relevan, para anggota dapat membuat hal yang dapat didaftarkan bergantung pada pembedaan yang didapat melalui penggunaan. Para anggota dapat meminta sebagai suatu kondisi pendaftaran bahwa tanda-tanda dapat dilihat dengan jelas).
b. Pasal 16 ayat (1) TRIPs, berbunyi:
The owner of a registered trademark shall have the exclusive rights to prevent all third parties not having the owner’s consent from us-ing in the course of trade identical or similar signs for goods or services which are identical or similar to those in respect of which the trademark is registered where such use would result in a likehood of confusion shall be presumed. The right described above shall not prejudice any existing prior rights, not shall the affect the possibility of members making rights available on the basic of use. (Terjemahannya: pemilik suatu merek dagang terdaftar memiliki hak ekslusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh izin dari pemilik atas penggunaan dalam perdagangan tanda-tanda yang sama atau identik untuk barang atau jasa yang identik atau serupa dengan yang sehubungan dengan merek dagang yang didaftarkan dimana penggunaan tersebut dapat mengakibatkan suatu kesesatan atas keserupaannya. Dalam hal penggunaan atas suatu tanda yang identik untuk barang atau jasa yang identik, suatu kesesatan atas keserupaann harus dianggap ada. Hak-hak yang dielaskan di atas tidak boleh merugikan hak-hak yang telah ada, atau mempengaruhi kemungkinan dari para anggota agar hak-hak menjadi dapat digunakan atas dasar penggunaan).
29
Berdasarkan Pasal 15 dan Pasal 16 dalam perjanjian TRIPs tersebut
dapat ditarik kesimpulan bahwa Indonesia selaku Negara anggota,
diwajibkan untuk memberikan perlindungan hukum terhadap merek dari
perbuatan passing off sebagai konsekuensi dan keikutsertaan dalam
instrument internasional sebagaimana kedua pasal tersebut. Namun pada
hakikatnya dalam perjanjian TRIPs tidak terdapat penjelasan secara khusus
mengenai passing off, namun pada Negara-negara yang menganut
common law system, passing off berkembang sebagai bentuk praktik
persaingan curang dalam usaha perdagangan atau perniagaan, seperti Pasal
10 bis paris convention lebih mengenal persaingan curang adalah setiap
perbuatan persaingan yang bertentangan dengan kejujuran dan kepatutan
dalam praktiknya dibidang perindustrian perdagangan.18
Secara umum lahirnya peraturan dalam bidang perlindungan
konsumen ini merupakan suatu bentuk upaya pemerintah untuk menjaga
iklim usaha yang sehat dan upaya terciptanya keseimbangan kedudukan
antara pelaku usaha dan para konsumen. Terkait dengan perlindungan
konsumen, maka pelanggaran terhadap hak merek dapat memberikan
dampak yang cukup fatal bagi konsumen, hal ini disebabkan karena merek
memiliki keterkaitan dengan kebutuhan konsumen.
Lebih lanjut, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen menetapkan bahwa Hak konsumen adalah:
“Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
Pada Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
mendefinisikan bahwa:
“Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan atau
18 Suyud Margono dan Amir Pamungkas, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum
Bisnis, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002), h.160.
30
jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau
menghambat persaingan usaha”
2. Passing Off Menurut Undang-Undang Merek di Indonesia
Dalam pengaturan hukum merek di Indonesia tidak mengenal adanya
passing off karena passing off lebih dikenal di negara-negara penganut
Common Law sebagai bagian dari hukum persaingan curang. Passing Off
sering diartikan sebagai pemboncengan reputasi pada merek terkenal atau
hakim biasanya mengartikan passing off sebagai penyerupaan atau
peniruan sebuah merek.
Perbuatan passing off sebenarnya memenuhi kriteria Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi
Geografis, karena di dalam Pasal tersebut juga menegaskan adanya
tindakan untuk mengecoh atau menyesatkan konsumen yang didasari oleh
persaingan curang. Perbuatan itu dilandasi dengan itikad buruk untuk
mengelabui konsumen, sehingga konsumen dirugikan. Atas dasar itu
ketentuan Pasal tersebut sebenarnya memungkinkan untuk dipergunakan
sebagai alasan hak untuk mengajukan gugatan apabila terjadi perbuatan
passing off
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis tersebut merupakan
persyaratan yang wajib dipenuhi agar suatu tanda bisa didaftar sebagai
merek. Khusus mengenai persyaratan bahwa suatu merek harus memiliki
daya pembeda, maka jika dikaitkan dengan perbuatan passing off hal itu
sangat signifikan. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa perbuatan
passing off umumnya menggunakan merek yang tidak memiliki daya
pembeda dengan merek yang telah ada, sehingga hal itu merupakan suatu
pelanggaran.
Ketentuan selanjutnya yaitu dalam Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Merek tersebut merupakan
persyaratan yang juga harus dipenuhi. Ketentuan mengenai bahwa suatu
31
merek tidak boleh mengandung persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terdaftar juga memiliki hubungan yang erat
dengan perbuatan passing off. Pada umumnya perbuatan passing off
dilandasi dengan itikad buruk untuk menggunakan merek yang
mengandung persamaan pada pokoknya atau persamaan pada
keseluruhannya dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan sendiri
bagi pelaku usaha tersebut yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
pemilik hak atas merek, konsumen, serta membuat persaingan usaha tidak
sehat.
C. Kajian Teoritis
1. Teori Perlindungan Hukum
Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip oleh Satjipto Raharjo awal
mula dari munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori
hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato,
Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). Menurut aliran
hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang
bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh
dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral
adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan
manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral.19
Fitzgerald menjelaskan teori pelindungan hukum Salmond bahwa
hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan
cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum
adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum
memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang
perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan
19 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h.53.
32
yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala
peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya
merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan
prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan
dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.20
Menurut Satijipto Raharjo, mengemukakan rumusannya bahwa
perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi
manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu di berikan
kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan
oleh hukum. Hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan
yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif
dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum
kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan
sosial.21
Perlindungan hukum dalam bidang merek di Indonesia pertama kali
diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 Tentang Merek
Dagang dan Merek Perniagaan. Selanjutnya diubah dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1992 Tentang Merek. Selanjutnya dalam rangka
penyesuaian terhadap ketentuan Trade Related Aspect of Intellectual
Property Rights Including Trade in Counterfeid Goods (TRIPs) dilakukan
penyempurnaan ketentuan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 melalui
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 Tentang Perubahan UU Merek,
yang dimuat dalam Lembaran Negara (LN) No. 31/1997 dan Memori
Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) No.
3681/1997 serta dinyatakan berlaku efektif tanggal 7 Mei 1997, namun
pengaturan merek berikut penyempurnaan aturannya sangat tidak praktis.
Selanjutnya untuk penyempurnaan dan kepraktisannya dibuatlah Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Adapun pertimbangannya
20 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum…h.54. 21 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum…h.55.
33
adalah sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia, maka dirasakan peranan merek sangat penting
untuk menjaga persaingan usaha yang sehat. Untuk melengkapi
pengaturan merek yang lebih memadai, maka diterbitkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2016 dengan menambah 6 (enam) unsur-unsur baru agar
pengaturan merek dapat lebih seimbang.
Phillipus M. Hadjon, juga merumuskan bahwa perlindungan hukum
bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan
represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-
hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penangananya di lembaga peradilan.22
Perlindungan hukum meliputi dua hal, yakni:
a. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum
di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif,
b. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum
di mana lebih ditujukan dalam penyelesian sengketa.23 Perlindungan hukum preventif merupakan sebuah bentuk
perlindungan yang mengarah pada tindakan yang bersifat pencegahan.
Tujuannya adalah meminimalisasi peluang terjadinya pelanggaran merek
dagang. Langkah ini difokuskan pada pengawasan pemakaian merek,
perlindungan terhadap hak ekslusif pemegang hak atas merek dagang
terkenal asing, dan anjuran-anjuran kepada pemilik merek untuk
mendaftarkan mereknya agar hak nya terlindungi. Sedangkan perlindungan
22 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT.
hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif,
bukan sosiologi.25
Keharusan akan adanya peraturan dalam masyarakat merupakan syarat
pokok untuk adanya kepastian hukum sehingga peraturan merupakan
kategori tersendiri yang tidak bersumber kepada ideal maupun kenyataan.
Yang menjadi sasarannya bukanlah untuk menemukan ide-ide, juga bukan
tuntutan praktis sehari-hari, melainkan tuntutan agar peraturannya ada.26
Menurut Utrecht yang dikutip oleh Zainuddin Ali, bahwa kepastian
hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang
bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.27
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Pertama, skripsi berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Pendaftar
Pertama Merek Dalam Tindakan Passing Off yang disusun oleh Safira
Maharani, Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2016, dalam penulisan
ini terfokus terhadap bagaimana perlindungan hukum terhadap pendaftar
pertama merek dalam tindakan passing off yaitu PT. White House Ceramic
Indonesia vs White Horse Ceramic CO, LTD. Taiwan. Yang dimana
keduanya dinilai memiliki kesamaan nama, logo dan produk dan hampir tidak
memliki daya pembeda dari kedua merek tersebut. Berbeda dengan skripsi
yang peneliti susun, dimana lebih memfokuskan bagaimana cara mekanisme
perlindungan hukum merek yang sudah termasuk klasifikasi merek terkenal
25 Insan Budi Maulana, Bianglala HAKI (Hak Kekayaan Intelektual), (Jakarta: Hecca Publishing, 2012), h.33. 26 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 16. 27 Zainudin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.24.
36
sekaligus sudah terdaftar lebih dahulu, menghadapi upaya pemboncengan
reputasi (passing off) yang berusaha memperoleh perlindungan dengan cara
mendaftarkan ke Dirjen KI. Serta peneliti akan menjelaskan bagaimana
konsep passing off di Indonesia yang masih sering terjadi dan meneliti
korelasi Jurisprudensi hakim mengenai berbagai kasus passing off dengan
peraturan-peraturan yang ada
Kedua, buku karangan Prof. Tim Lindsey dkk. berjudul “Suatu
Pengantar Hak Kekayaan Intelektual” diterbitkan oleh PT. Alumni tahun
2013. Dalam buku ini terfokus dengan penegakan hukum terkait
perlindungan Hak Kekayaan Intelektual, bahwa dalam buku ini memiliki
substansi terkait semua unsur Hak Kekayaan Intelektual yaitu berupa hak
cipta dan hak kekayaan industry berupa paten, merek, desain industri dan
desain tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, dan indikasi geografis.
Berbeda dengan berbagai buku pada umumnya mengenai Hak Kekayaan
Intelektual, buku ini menekankan political will atau tekad bersama dari
masyarakat pengguna Hak Kekayaan Intelektual terhadap penegakan hukum
dalam perlindungan Hak kekayaan Intelektual, terdapat pembahasan
mengenai definisi merek, jangka waktu perlindungan merek, dan merek
terkenal.
Ketiga, Jurnal Rechtvinding Vol. 5 No. 01 April 2016 yang ditulis oleh
Edy Santoso mengenai “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Merek
Dagang Terkenal Melalui Peran Kepabeanan Sebagai Upaya Menjaga
Keamanan dan Kedaulatan Negara”. Jurnal ini terfokus terhadap
perlindungan merek dagang, peran Kepabeanan sebagai upaya menjaga
keamanan perdistribusian merek yang dirasa belum optimal nya peran
kebabeanan tersebut, dan bentuk-bentuk pelanggaran merek dagang,
Sedangkan skripsi yang disusun oleh peneliti, lebih terfokus mengenai
perlindungan hukum terhadap merek terkenal yang sudah terdaftar terlebih
37
dahulu terhadap tindakan passing off, karena belum optimalnya pengawasan
Dirjen KI dalam praktik passing off yang masih sering terjadi.28
28 Eddy Santoso, “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Merek Dagang Terkenal
Melalui Peran Kepabeanan Sebagai Upaya Menjaga Keamanan dan Kedaulatan Negara” diakses dari http://rechtsvinding.bphn.go.id diakses pada 7 November 2017 pukul 16:20
Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002.
Sopyansyah, Jaya, dan Durachman Yusuf, Etika Bisnis dan Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009.
Suryatin, Hukum Dagang I dan II, (Jakarta: Prad Paramita, 1980), h.84. Sutjipto, H.M.N, Purwo, Pengertian Pokok-Pokok Hukum Dagang, Jakarta:
Djambatan, 1984.
Tomi Utomo Suro, Hak Kekayaan Intelektual di Era Global, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010.
Usman, Rahmadi, Hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, Jakarta: PT. Alumni, 2006.
BAHAN ONLINE
Edy Santoso, “Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Merek Dagang Terkenal Melalui Peran Kepabeanan Sebagai Upaya Menjaga Keamanan dan Kedaulatan Negara”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 5 No. 1, April 2016.
https://pakarkomunikasi.com/jenis-metode-penelitian-kualitatif diakses pada 5 November 2017.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15211/gugatan-pembatalan-dan-penghapusan-merek-delifrance diakses pada 7 November 2017
https://economy.okezone.com/read/2016/06/09/320/1410336/akibat-pembajakan-kerugian-negara. Diakses pada tanggal 24 April 2018, Pukul 12.20.
https://dgip.go.id//pdki, Diakses pada tanggal 22 April 2018, Pukul 19.45. Jisia Mamahit, “Perlindungan Hukum Merek Dalam Perdagangan Barang dan Jasa” Jurnal Lex Privatum. Vol.I No.3 (diakses pada, 13 Februari 2018 pukul 20:25 WIB)
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografis
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor 67 Tahun 2016 Tentang
Pendaftaran Merek. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
UU Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization.
Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Konvensi Paris dan
WIPO
PERJANJIAN INTERNASIONAL
Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeid Goods/TRIPs.