Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda (VOC) Jejak Puisi
Sejarah Indonesia Di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap
kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang
kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makasar. Dilihat dari letak
geografisnya, letak wilayah Kerajaan Makasar sangat strategis dan
memiliki kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Kawasan
Indonesia Timur.
Kerajaan Makassar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung,
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin
antara tahun 1654 - 1669. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan
Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan
perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut
terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin
membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang
sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan
kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan
kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai
menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan
tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.
Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin
dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan
yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha
mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah
beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.
Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran
kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali
dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang
masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut
mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan
sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 -
1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar,
pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan
Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang
dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut,
sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan berhasil
mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan
Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.
Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu
Kota Makassar masih dapat dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada
akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk
menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun
1667.
Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah
satu faktor penyebab kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan
politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru
Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam
bentuk lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap
melakukan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan di MalukuTahun 1635
timbul perlawanan di Ambon dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri
di Jawa yang juga seorang Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu
di bawah Belanda) . Awalnya pemberontakan ini menyulitkan pihak
VOC, karena kekuatan militer yang tidak begitu memadai di Kepulauan
Maluku, maka dengan siasat berusaha memadamkan pemberontakan
tersebut yaitu dengan mengundang Kakiali ke kapal VOC, lalu
menangkap dan menahannya. Namun hal itu justru membuat penduduk
semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC pun menguat, sehingga
pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur Jendral saat itu)
membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali jabatannya. Perang pun
berhenti, namun persaan benci terhadap VOC tidak bisa padam.
Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan Maluku, Kakiali
membentuk persekutuan antara penduduk Hitu, orang-orang Ternate
yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa serta kembali mendukung
perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun 1638, van Diemen kembali
ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi VOC hak monopoli penuh atas
dan kekuasaan de facto di Maluku Selatan serta dihentikannya
penyelundupan dengan imbalan 4000 real pertahun bagi Raja Ternate
dan diakui kedaulatannya di Seram dan Hiu. Tuntutan ini tidak
mencapai kata sepakat, sehingga hubungan dengan VOC kembali memanas
dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya melakukan perlawanan, namun
perlawanan tersebut salah momentum, karena Belanda telah menguasai
Malaka sehingga lebih mudah mengirimkan bala bantuan ke Maluku,
saat itu VOC menjanjikan akan memberikan hadiah bagi siapa saja
yang dapat membunuh Kakiali, dan Kakiali pun tewas tahun 1643 pada
malam hari dengan cara ditusuk golok di tempat tidurnya sendiri
oleh seorang berkebangsaan Spanyol yang membelot dari pihak
Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru berhenti ketika
Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir menyerah dan
bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi mati pada
September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650 terjadi
perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan Mandarsyah yang
dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari tahtanya. VOC
mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta Mandarsyah. Namun
hal tersebut justru mengobarkan perang total melawan VOC. Saat itu
Ambon menghasilkan cengkih yang sangat banyak,bahkan melebihi
kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini dimanfaatkan oleh de
Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada Januari 1652 untuk
menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkih di
semua wilayah kecuali Ambon, yang diharapkan selain menjadikan
cengkih barang langka juga untuk menghindari perdagangan gelap di
daerah tersebut, perjanjian itu juga berlaku pada sultan-sultan
lain di Maluku, namun sultan tetap mendapat uang konpensasi tiap
tahun. Setelah perjanjian tersebut terealisasi, de Vlamingh mulai
melakukan perang terhadap gerakan perlawanan mulai tahun 1652
sampai 1658 , dan bisa disebut yang paling berdarah dalam sejarah
VOC.Adanya konpensasi bagi para sultan telah memperkuat kedudukan
mereka menjadi kuat dan mandiri, seperti halnya Sultan Mandarsyah,
yang bahkan menamai anaknya Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain
ia namakan Rotterdam. Namun demikian, di Maluku bukan hanya masalah
persekutuan, seperti halnya kristenisasi yang didiukung sangat
ditentang oleh Ternate, sehingga menimbulkan permusuhan keduanya
pada 1680, tapi bila dibandingkan dengan persaingan lokal antara
Ternate dengan Tidore yang satu agama dan satu etnik, lebih kuat
pertentangan pada persaingan lokal. Perlawanan di Sulawesi
SelatanSelain di Maluku, perlawanan juga muncul di Sulawesi
Selatan, perlawanan menentang VOC adalah Kesultanan Gowa. Gowa
menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC, karena merupakan
kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan terjadinya aliansi
politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa sedangkan Perdana Mentri
dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang ganda. Awalnya VOC tidak
begitu manaruh minat pada Gowa, namun setelah mengetahui bahwa Gowa
begitu strategis, yang letaknya sebagai tempat transit baik bagi
kapal-kapal yang berlayar ke Maluku atau dari Maluku selain itu
juga terletak antara Malaka dan Maluku yang mana keduanya adalah
pusat perdagangan VOC serta pelabuhan yang aman dari
gangguan-gangguan Portugis. Seperti kebiasaan VOC, pada awal
interaksi dengan Gowa menunjukan sikap baik, namun sedikit demi
sedikit mulai menunjukan sifat aslinya, seperti meminta agar tidak
lagi menjual beras pada Portugis, menyerang kapal Makassar yang
berlayar ke Maluku. VOC juga beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh
karena tempat memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini
VOC melegitimasi tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga
menjalin aliansi dengan seorang pangeran Bugis bernama La
Tenritatta to Unru yang lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang
melakukan pemberontakan pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan
Bone, namun berhasil ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan
VOC. Pada tahun 1666 pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang
didukung oleh Arung Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses
dimenangkan oleh pihak VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan
Gowa terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667),
namun perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan
pihak Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap
pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan
serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu)
memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan
terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total
terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan
Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis
lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena
keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung
Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC
jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul
balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang
sendiri.
Perlawanan di MalukuTahun 1635 timbul perlawanan di Ambon
dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri di Jawa yang juga seorang
Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu di bawah Belanda) . Awalnya
pemberontakan ini menyulitkan pihak VOC, karena kekuatan militer
yang tidak begitu memadai di Kepulauan Maluku, maka dengan siasat
berusaha memadamkan pemberontakan tersebut yaitu dengan mengundang
Kakiali ke kapal VOC, lalu menangkap dan menahannya. Namun hal itu
justru membuat penduduk semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC
pun menguat, sehingga pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur
Jendral saat itu) membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali
jabatannya. Perang pun berhenti, namun persaan benci terhadap VOC
tidak bisa padam. Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan
Maluku, Kakiali membentuk persekutuan antara penduduk Hitu,
orang-orang Ternate yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa
serta kembali mendukung perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun
1638, van Diemen kembali ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi
VOC hak monopoli penuh atas dan kekuasaan de facto di Maluku
Selatan serta dihentikannya penyelundupan dengan imbalan 4000 real
pertahun bagi Raja Ternate dan diakui kedaulatannya di Seram dan
Hiu. Tuntutan ini tidak mencapai kata sepakat, sehingga hubungan
dengan VOC kembali memanas dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya
melakukan perlawanan, namun perlawanan tersebut salah momentum,
karena Belanda telah menguasai Malaka sehingga lebih mudah
mengirimkan bala bantuan ke Maluku, saat itu VOC menjanjikan akan
memberikan hadiah bagi siapa saja yang dapat membunuh Kakiali, dan
Kakiali pun tewas tahun 1643 pada malam hari dengan cara ditusuk
golok di tempat tidurnya sendiri oleh seorang berkebangsaan Spanyol
yang membelot dari pihak Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru
berhenti ketika Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir
menyerah dan bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi
mati pada September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650
terjadi perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan
Mandarsyah yang dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari
tahtanya. VOC mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta
Mandarsyah. Namun hal tersebut justru mengobarkan perang total
melawan VOC. Saat itu Ambon menghasilkan cengkih yang sangat
banyak,bahkan melebihi kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini
dimanfaatkan oleh de Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada
Januari 1652 untuk menandatangani perjanjian yang melarang
penanaman pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon, yang
diharapkan selain menjadikan cengkih barang langka juga untuk
menghindari perdagangan gelap di daerah tersebut, perjanjian itu
juga berlaku pada sultan-sultan lain di Maluku, namun sultan tetap
mendapat uang konpensasi tiap tahun. Setelah perjanjian tersebut
terealisasi, de Vlamingh mulai melakukan perang terhadap gerakan
perlawanan mulai tahun 1652 sampai 1658 , dan bisa disebut yang
paling berdarah dalam sejarah VOC.Adanya konpensasi bagi para
sultan telah memperkuat kedudukan mereka menjadi kuat dan mandiri,
seperti halnya Sultan Mandarsyah, yang bahkan menamai anaknya
Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain ia namakan Rotterdam. Namun
demikian, di Maluku bukan hanya masalah persekutuan, seperti halnya
kristenisasi yang didiukung sangat ditentang oleh Ternate, sehingga
menimbulkan permusuhan keduanya pada 1680, tapi bila dibandingkan
dengan persaingan lokal antara Ternate dengan Tidore yang satu
agama dan satu etnik, lebih kuat pertentangan pada persaingan
lokal. Perlawanan di Sulawesi SelatanSelain di Maluku, perlawanan
juga muncul di Sulawesi Selatan, perlawanan menentang VOC adalah
Kesultanan Gowa. Gowa menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC,
karena merupakan kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan
terjadinya aliansi politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa
sedangkan Perdana Mentri dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang
ganda. Awalnya VOC tidak begitu manaruh minat pada Gowa, namun
setelah mengetahui bahwa Gowa begitu strategis, yang letaknya
sebagai tempat transit baik bagi kapal-kapal yang berlayar ke
Maluku atau dari Maluku selain itu juga terletak antara Malaka dan
Maluku yang mana keduanya adalah pusat perdagangan VOC serta
pelabuhan yang aman dari gangguan-gangguan Portugis. Seperti
kebiasaan VOC, pada awal interaksi dengan Gowa menunjukan sikap
baik, namun sedikit demi sedikit mulai menunjukan sifat aslinya,
seperti meminta agar tidak lagi menjual beras pada Portugis,
menyerang kapal Makassar yang berlayar ke Maluku. VOC juga
beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh karena tempat
memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini VOC melegitimasi
tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga menjalin aliansi
dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenritatta to Unru yang
lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang melakukan pemberontakan
pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan Bone, namun berhasil
ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan VOC. Pada tahun 1666
pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang didukung oleh Arung
Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses dimenangkan oleh pihak
VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan Gowa terpaksa
menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667), namun
perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan pihak
Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap
pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan
serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu)
memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan
terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total
terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan
Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis
lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena
keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung
Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC
jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul
balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang
sendiri. Perlawanan daerah yang menentang kerajaan belanda
Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan
Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4.
Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa
Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal
itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat
Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun
gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan
berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2.
Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan
Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628
merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan
perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia
dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah
pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan
Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap
VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini
menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan
Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia
meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram
akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan
Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4.
Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab
terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar
sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi
terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan
Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar
yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian
Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan
musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan
ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di
Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah
pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang
Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan
Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di
Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci,
dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas
Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan
berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den
Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga
perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap
dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam
perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita
yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada
mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum
ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan
adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam
berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk
yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan
mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda,
tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai
Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk
menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari
pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa
Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke
Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng
Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian
dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada
tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya:
Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2)
Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di
kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus:
Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur
Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini,
Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh
kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan
Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro
menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di
Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh
Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan
Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan
ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali
Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa
setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja
Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja
Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus
memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3)
Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan
rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan
Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran
melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan
pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda
lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh
(1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh
ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut
Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar
perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan
Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai
Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2)
Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat
mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat
dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil
dikuasai diikat dengan Plakat Pendek. Perlawanan daerah yang
menentang kerajaan belanda
Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan
Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4.
Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa
Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal
itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat
Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun
gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan
berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2.
Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan
Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628
merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan
perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia
dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah
pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan
Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap
VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini
menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan
Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia
meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram
akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan
Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4.
Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab
terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar
sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi
terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan
Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar
yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian
Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan
musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan
ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di
Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah
pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang
Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan
Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di
Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci,
dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas
Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan
berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den
Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga
perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap
dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam
perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita
yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada
mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum
ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan
adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam
berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk
yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan
mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda,
tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai
Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk
menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari
pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa
Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke
Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng
Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian
dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada
tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya:
Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2)
Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di
kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus:
Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur
Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini,
Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh
kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan
Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro
menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di
Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh
Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan
Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan
ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali
Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa
setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja
Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja
Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus
memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3)
Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan
rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan
Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran
melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan
pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda
lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh
(1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh
ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut
Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar
perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan
Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai
Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2)
Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat
mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat
dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil
dikuasai diikat dengan Plakat Pendek.
Perlawanan daerah yang menentang kerajaan belanda
Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan
Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4.
Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa
Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal
itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat
Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun
gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan
berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2.
Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan
Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628
merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan
perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia
dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah
pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan
Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap
VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini
menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan
Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia
meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram
akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan
Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4.
Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab
terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar
sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi
terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan
Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar
yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian
Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan
musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan
ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di
Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah
pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang
Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan
Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di
Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci,
dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas
Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan
berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den
Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga
perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap
dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam
perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita
yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada
mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum
ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan
adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam
berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk
yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan
mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda,
tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai
Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk
menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari
pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa
Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke
Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng
Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian
dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada
tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya:
Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2)
Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di
kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus:
Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur
Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini,
Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh
kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan
Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro
menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di
Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh
Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan
Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan
ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali
Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa
setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja
Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja
Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus
memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3)
Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan
rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan
Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran
melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan
pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda
lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh
(1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh
ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut
Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar
perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan
Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai
Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2)
Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat
mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat
dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil
dikuasai diikat dengan Plakat Pendek.
Perlawanan daerah yang menentang kerajaan belanda
Perlawanan rakyat di Indonesia Sebelum Tahun 1800 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis 2. Perlawanan Sultan
Agung (Mataram) 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap VOC 4.
Perlawanan Rakyat Makasar terhadap VOC (1654-1655) 1. Perlawanan
Sultan Baabullah (Ternate) terhadap Portugis Kedatangan bangsa
Portugis di Ternate tahun 1512 berusaha memonopoli perdagangan hal
itu menimbulkan kebencian bangsa Ternate. Tahun 1565, rakyat
Ternate menyerang benteng Santo Paulo dipimpin Sultan Harun, namun
gagal. Setelah itu perlawanan dilanjutkan Sultan Baabullah dan
berhasil menguasai Santo Paulo dan Portugis diusir dari Ternate. 2.
Perlawanan Sultan Agung (Mataram) Sultan Agung mengirim kerajaan
Mataram untuk menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628
merupakan serangan pertama, namun gagal karena kehabisan
perbekalan. Serangan kedua (1629) Mataram menyerang VOC di Batavia
dan mengalami kegagalan sehingga perlawanan kembali lanjut di bawah
pimpinan Trono Joyo kepada Untung Senopati serta perlawanan
Mangkubumi dan Raden Mas Said. 3. Perlawanan Rakyat Banten terhadap
VOC Perlawanan rakyat Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa,
namun putranya Sultan Haji bersukutu dengan Belanda, hal ini
menyebabkan pihak Belanda dapat ikut campur dalam urusan kerajaan
Mataram setelah Sultan Ageng mencopot kekuasaan Sultan Haji, ia
meminta bantuan pada VOC untuk menyerang ayahnya. Kerajaan Mataram
akhirnya dikuasai oleh Sultan Haji dan dikontrol oleh VOC, Sultan
Ageng Tirtayasa ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Batavia. 4.
Perlawanan Rakyat Makassar terhadap VOC (1654-1655) Penyebab
terjadinya perlawanan adalah: 1) Belanda menganggap Makassar
sebagai pelabuhan gelap 2) Belanda mengadakan blokade ekonomi
terhadap Makassar 3) Sultan Hasanuddin menolak monopoli perdagangan
Belanda di Makassar VOC mengajukan perjanjian damai dengan Makassar
yang dimanfaatkan oleh Belanda untuk memperkuat pasukan,kemudian
Belanda bersekutu dengan Aru Palaka (Raja Bone) yang merupakan
musuh Sultan Hasanuddin. Belanda akhirnya menguasai Makassar dengan
ditandatanganinya perjanjian Bongaya. Perlawanan rakyat di
Indonesia Sesudah Tahun 1800 1. Perlawanan rakyat Maluku di bawah
pimpinan Pattimura 2. Perang Paderi (1821-1838) 3. Perang
Diponegoro 4. Perlawanan rakyat Bali 5. Perang Aceh 1. Perlawanan
Rakyat Maluku di bawah pimpinan Pattimura Sejak Belanda berkuasa di
Maluku rakyat menjadi sengsara, sehingga rakyat semakin benci,
dendam kepada Belanda. Di bawah pimpinan Pattimura (Thomas
Matualessi) rakyat Maluku bangkit melawan Belanda tahun 1817 dan
berhasil menduduki Benteng Duursted dan membunuh Residen Van Den
Berg. Belanda kemudian meminta bantuan ke Batavia, sehingga
perlawanan Pattimura dapat dipatahkan, Pattimura kemudian ditangkap
dan dijatuhi hukuman gantung pada bulan Desember 1817. Dalam
perjuangan rakyat Maluku ini juga terdapat seorang pejuang wanita
yang bernama Christina Martha Tiahahu. 2. Perang Paderi Pada
mulanya Perang Paderi merupakan perang antara kaum adat dan kaum
ulama. Penyebabnya: 1) Terdapat perbedaan pendapat kaum ulama dan
adat. Kaum ulama mengehendaki pelaksanaan ajaran agama Islam
berdasarkan hadist 2) Kaum ulama ingin memberantas kebiasaan buruk
yang dilakukan kaum adat, seperti berjudi, menyambung ayam dan
mabuk Karena terdesak, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda,
tetpi kemudian kaum adat sadar bahwa Belanda ingin menguasai
Sumatera Barat, kemudian kaum adat bersatu dengan kaum Paderi untuk
menghadapi Belanda, karena terdesak, Belanda mengirim bantuan dari
pulau Jawa yang diperkuat oleh pasukan Sentot Ali Basa
Prawirodirjo. Sentot Ali Basa Prawirodirjo ditangkap dan dibuang ke
Cianjur karena berpihak kepada kaum Paderi. Dengan siasat Benteng
Stelsel, Belanda mengepung dan menangkap Imam Bonjol kemudian
dibuang ke Cianjur lalu dipindahkan ke Manado hingga wafat pada
tahun 1864. 3. Perang Diponegoro (1825-1830) Penyebab terjadinya:
Sebab umum: 1) Penderitaan dan kesengsaraan rakyat akibat pajak 2)
Campur tangan Belanda dalam urusan istana 3) Munculnya kecemasan di
kalangan para ulama karena berkembangnya budaya Barat Sebab khusus:
Belanda membuat jalan di Tegalrejo yang melewati makam leluhur
Diponegoro tanpa meminta izin terlebih dahulu. Dalam perang ini,
Diponegoro menggunakan siasat perang gerilya yang didukung oleh
kaum bangsawan dan ulama serta bupati, antara lain Kyai Mojo dan
Sentot Ali Basa memisahkan diri. Lemahnya pasukan Diponegoro
menyebabkan Diponegoro menerima tawaran Belanda untuk berunding di
Magelang, dalam perundingan ini pihak Belanda diwakili oleh
Jenderal De Kock namun perundingan mengalami kegagalan dan
Diponegoro ditangkap dan dibawa ke Batavia, selanjutnya dipindahkan
ke Menado kemudian dipindahkan lagi ke Makassar dan meninggal di
Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855 4. Perlawanan Rakyat Bali
Sebab Umum: Adanya Hak Tawan Karang yaitu suatu ketentuan bahwa
setiap kapal yang terdampar di perairan Bali menjadi milik raja
Bali. Sebab Khusus: Menyangkut tuntutan Belanda yang ditolak raja
Bali, berisikan: 1) Hak Tawan Karang dihapuskan 2) Raja harus
memberi perlindungan terhadap pedagangpedagang Belanda di Bali 3)
Belanda minta diizinkan mengibarkan Bendera di Bali Perlawanan
rakyat Bali dipimpin Patih Gusti Ketut Jelantik dari Kerajaan
Buleleng didukung kerajaan-kerajaan lain di Bali. Dalam pertempuran
melawan Belanda, rakyat Bali mengobarkan Perang Puputan dengan
pusat pertahanan di Benteng Jagaraga. Karena persenjataan Belanda
lengkap, akhirnya Bali berhasil dikuasai Belanda. 5. Perang Aceh
(1873-1904) Perlawanan dipimpin oleh para bangsawam dan para tokoh
ulama seperti Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, Panglima Polem, Cut
Nyak Dien, Cut Mutia dll. Penyebabnya adalah Belanda melanggar
perjanjian Traktat London (1824) yang berisi bahwa Inggris dan
Belanda tidak boleh mengganggu kemerdekaan Aceh. Untuk menguasai
Aceh, Belanda menggunakan cara: 1) Konsentiasi Stelsel 2)
Mendatangkan ahli Agama Islam:Snouch Hurgyonye Cara tsb dapat
mempersempit ruang gerak pasukan Aceh, sehingga Aceh akhirnya dapat
dikuasai oleh Belanda, kemudian raja-raja di daerah yang berhasil
dikuasai diikat dengan Plakat Pendek. Perlawanan Rakyat Makasar
Terhadap Belanda (VOC) Jejak Puisi Sejarah Indonesia Di Sulawesi
Selatan, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh
Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan
Makasar. Dilihat dari letak geografisnya, letak wilayah Kerajaan
Makasar sangat strategis dan memiliki kota pelabuhan sebagai pusat
perdagangan di Kawasan Indonesia Timur.
Kerajaan Makassar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung,
mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin
antara tahun 1654 - 1669. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan
Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan
perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut
terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin
membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang
sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan
kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan
kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai
menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan
tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.
Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin
dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan
yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha
mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah
beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.
Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran
kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali
dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang
masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut
mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan
sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 -
1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar,
pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan
Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang
dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut,
sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan berhasil
mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan
Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.
Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu
Kota Makassar masih dapat dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada
akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk
menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun
1667.
Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah
satu faktor penyebab kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan
politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru
Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam
bentuk lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap
melakukan perlawanan terhadap VOC. Perlawanan di MalukuTahun 1635
timbul perlawanan di Ambon dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri
di Jawa yang juga seorang Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu
di bawah Belanda) . Awalnya pemberontakan ini menyulitkan pihak
VOC, karena kekuatan militer yang tidak begitu memadai di Kepulauan
Maluku, maka dengan siasat berusaha memadamkan pemberontakan
tersebut yaitu dengan mengundang Kakiali ke kapal VOC, lalu
menangkap dan menahannya. Namun hal itu justru membuat penduduk
semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC pun menguat, sehingga
pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur Jendral saat itu)
membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali jabatannya. Perang pun
berhenti, namun persaan benci terhadap VOC tidak bisa padam.
Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan Maluku, Kakiali
membentuk persekutuan antara penduduk Hitu, orang-orang Ternate
yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa serta kembali mendukung
perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun 1638, van Diemen kembali
ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi VOC hak monopoli penuh atas
dan kekuasaan de facto di Maluku Selatan serta dihentikannya
penyelundupan dengan imbalan 4000 real pertahun bagi Raja Ternate
dan diakui kedaulatannya di Seram dan Hiu. Tuntutan ini tidak
mencapai kata sepakat, sehingga hubungan dengan VOC kembali memanas
dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya melakukan perlawanan, namun
perlawanan tersebut salah momentum, karena Belanda telah menguasai
Malaka sehingga lebih mudah mengirimkan bala bantuan ke Maluku,
saat itu VOC menjanjikan akan memberikan hadiah bagi siapa saja
yang dapat membunuh Kakiali, dan Kakiali pun tewas tahun 1643 pada
malam hari dengan cara ditusuk golok di tempat tidurnya sendiri
oleh seorang berkebangsaan Spanyol yang membelot dari pihak
Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru berhenti ketika
Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir menyerah dan
bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi mati pada
September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650 terjadi
perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan Mandarsyah yang
dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari tahtanya. VOC
mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta Mandarsyah. Namun
hal tersebut justru mengobarkan perang total melawan VOC. Saat itu
Ambon menghasilkan cengkih yang sangat banyak,bahkan melebihi
kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini dimanfaatkan oleh de
Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada Januari 1652 untuk
menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkih di
semua wilayah kecuali Ambon, yang diharapkan selain menjadikan
cengkih barang langka juga untuk menghindari perdagangan gelap di
daerah tersebut, perjanjian itu juga berlaku pada sultan-sultan
lain di Maluku, namun sultan tetap mendapat uang konpensasi tiap
tahun. Setelah perjanjian tersebut terealisasi, de Vlamingh mulai
melakukan perang terhadap gerakan perlawanan mulai tahun 1652
sampai 1658 , dan bisa disebut yang paling berdarah dalam sejarah
VOC.Adanya konpensasi bagi para sultan telah memperkuat kedudukan
mereka menjadi kuat dan mandiri, seperti halnya Sultan Mandarsyah,
yang bahkan menamai anaknya Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain
ia namakan Rotterdam. Namun demikian, di Maluku bukan hanya masalah
persekutuan, seperti halnya kristenisasi yang didiukung sangat
ditentang oleh Ternate, sehingga menimbulkan permusuhan keduanya
pada 1680, tapi bila dibandingkan dengan persaingan lokal antara
Ternate dengan Tidore yang satu agama dan satu etnik, lebih kuat
pertentangan pada persaingan lokal. Perlawanan di Sulawesi
SelatanSelain di Maluku, perlawanan juga muncul di Sulawesi
Selatan, perlawanan menentang VOC adalah Kesultanan Gowa. Gowa
menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC, karena merupakan
kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan terjadinya aliansi
politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa sedangkan Perdana Mentri
dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang ganda. Awalnya VOC tidak
begitu manaruh minat pada Gowa, namun setelah mengetahui bahwa Gowa
begitu strategis, yang letaknya sebagai tempat transit baik bagi
kapal-kapal yang berlayar ke Maluku atau dari Maluku selain itu
juga terletak antara Malaka dan Maluku yang mana keduanya adalah
pusat perdagangan VOC serta pelabuhan yang aman dari
gangguan-gangguan Portugis. Seperti kebiasaan VOC, pada awal
interaksi dengan Gowa menunjukan sikap baik, namun sedikit demi
sedikit mulai menunjukan sifat aslinya, seperti meminta agar tidak
lagi menjual beras pada Portugis, menyerang kapal Makassar yang
berlayar ke Maluku. VOC juga beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh
karena tempat memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini
VOC melegitimasi tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga
menjalin aliansi dengan seorang pangeran Bugis bernama La
Tenritatta to Unru yang lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang
melakukan pemberontakan pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan
Bone, namun berhasil ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan
VOC. Pada tahun 1666 pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang
didukung oleh Arung Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses
dimenangkan oleh pihak VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan
Gowa terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667),
namun perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan
pihak Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap
pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan
serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu)
memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan
terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total
terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan
Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis
lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena
keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung
Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC
jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul
balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang
sendiri.
Perlawanan di MalukuTahun 1635 timbul perlawanan di Ambon
dipimpin oleh Kakiali, murid Sunan Giri di Jawa yang juga seorang
Kapitan Hitoe (pemimpin masyarakat Hitu di bawah Belanda) . Awalnya
pemberontakan ini menyulitkan pihak VOC, karena kekuatan militer
yang tidak begitu memadai di Kepulauan Maluku, maka dengan siasat
berusaha memadamkan pemberontakan tersebut yaitu dengan mengundang
Kakiali ke kapal VOC, lalu menangkap dan menahannya. Namun hal itu
justru membuat penduduk semakin marah, dan perlawanan terhadap VOC
pun menguat, sehingga pada 1637 Antonio van Diemen (Gubernur
Jendral saat itu) membebaskan Kakiali, dan memberikan kembali
jabatannya. Perang pun berhenti, namun persaan benci terhadap VOC
tidak bisa padam. Setelah van Diemen meninggalkan meninggalkan
Maluku, Kakiali membentuk persekutuan antara penduduk Hitu,
orang-orang Ternate yang berada di Hoalmoal, dan Kerajaan Gowa
serta kembali mendukung perdagangan-perdagangan gelap. Pada tahun
1638, van Diemen kembali ke Maluku agar Raja Ternate mau memberi
VOC hak monopoli penuh atas dan kekuasaan de facto di Maluku
Selatan serta dihentikannya penyelundupan dengan imbalan 4000 real
pertahun bagi Raja Ternate dan diakui kedaulatannya di Seram dan
Hiu. Tuntutan ini tidak mencapai kata sepakat, sehingga hubungan
dengan VOC kembali memanas dan pada 1641 Kakiali bersama sekutunya
melakukan perlawanan, namun perlawanan tersebut salah momentum,
karena Belanda telah menguasai Malaka sehingga lebih mudah
mengirimkan bala bantuan ke Maluku, saat itu VOC menjanjikan akan
memberikan hadiah bagi siapa saja yang dapat membunuh Kakiali, dan
Kakiali pun tewas tahun 1643 pada malam hari dengan cara ditusuk
golok di tempat tidurnya sendiri oleh seorang berkebangsaan Spanyol
yang membelot dari pihak Kakiali. Perlawanan dari rakyat Hitu baru
berhenti ketika Telukabesi, pemimpin perlawanan Hitu yang terakhir
menyerah dan bersedia masuk Kristen, namun begitu tetap dieksekusi
mati pada September 1646.Setelah Hitu, di Ternate tahun 1650
terjadi perlawanan dari rakyat dipimpin oleh Saidi. Sultan
Mandarsyah yang dianggap terlalu dekat dengan VOC diturunkan dari
tahtanya. VOC mengirim de Vlamingh untuk mengembalikan tahta
Mandarsyah. Namun hal tersebut justru mengobarkan perang total
melawan VOC. Saat itu Ambon menghasilkan cengkih yang sangat
banyak,bahkan melebihi kebutuhan konsumsi di seluruh dunia, hal ini
dimanfaatkan oleh de Vlamingh dengan membawa Sultan ke Batavia pada
Januari 1652 untuk menandatangani perjanjian yang melarang
penanaman pohon cengkih di semua wilayah kecuali Ambon, yang
diharapkan selain menjadikan cengkih barang langka juga untuk
menghindari perdagangan gelap di daerah tersebut, perjanjian itu
juga berlaku pada sultan-sultan lain di Maluku, namun sultan tetap
mendapat uang konpensasi tiap tahun. Setelah perjanjian tersebut
terealisasi, de Vlamingh mulai melakukan perang terhadap gerakan
perlawanan mulai tahun 1652 sampai 1658 , dan bisa disebut yang
paling berdarah dalam sejarah VOC.Adanya konpensasi bagi para
sultan telah memperkuat kedudukan mereka menjadi kuat dan mandiri,
seperti halnya Sultan Mandarsyah, yang bahkan menamai anaknya
Sultan Amsterdam dan anaknya yang lain ia namakan Rotterdam. Namun
demikian, di Maluku bukan hanya masalah persekutuan, seperti halnya
kristenisasi yang didiukung sangat ditentang oleh Ternate, sehingga
menimbulkan permusuhan keduanya pada 1680, tapi bila dibandingkan
dengan persaingan lokal antara Ternate dengan Tidore yang satu
agama dan satu etnik, lebih kuat pertentangan pada persaingan
lokal. Perlawanan di Sulawesi SelatanSelain di Maluku, perlawanan
juga muncul di Sulawesi Selatan, perlawanan menentang VOC adalah
Kesultanan Gowa. Gowa menjadi masalah yang cukup serius bagi VOC,
karena merupakan kesultanan yang kuat, hal ini ditambah dengan
terjadinya aliansi politik Gowa-Tallo, dengan Raja dari Gowa
sedangkan Perdana Mentri dari Tallo, sehingga menghasilkan wewenang
ganda. Awalnya VOC tidak begitu manaruh minat pada Gowa, namun
setelah mengetahui bahwa Gowa begitu strategis, yang letaknya
sebagai tempat transit baik bagi kapal-kapal yang berlayar ke
Maluku atau dari Maluku selain itu juga terletak antara Malaka dan
Maluku yang mana keduanya adalah pusat perdagangan VOC serta
pelabuhan yang aman dari gangguan-gangguan Portugis. Seperti
kebiasaan VOC, pada awal interaksi dengan Gowa menunjukan sikap
baik, namun sedikit demi sedikit mulai menunjukan sifat aslinya,
seperti meminta agar tidak lagi menjual beras pada Portugis,
menyerang kapal Makassar yang berlayar ke Maluku. VOC juga
beranggapan bahwa Gowa merupakan musuh karena tempat
memperjualbelikan barang selundupan atas dasar ini VOC melegitimasi
tindakannya untuk menguasai Makassar, VOC juga menjalin aliansi
dengan seorang pangeran Bugis bernama La Tenritatta to Unru yang
lebih dikenal sebagai Arung Palakka yang melakukan pemberontakan
pada 1660 dengan 10.000 orang Bugis dan Bone, namun berhasil
ditumpas oleh Makassar dan meminta bantuan VOC. Pada tahun 1666
pecahlah perang antara Gowa melawan VOC yang didukung oleh Arung
Palakka dan Raja Buton. Perang ini sukses dimenangkan oleh pihak
VOC, dan Sultan Hasanuddin sebagai sultan Gowa terpaksa
menandatangani Perjanjian Bungaya (18 November 1667), namun
perjanjian tersebut tidaklah berarti karena sangat merugikan pihak
Gowa sehingga 12 April 1668 melakukan penyerangan terhadap
pendudukan Belanda di Wilayahnya dan pada 5 Agustus melakukan
serangan berikutnya sampai Speelman (Gubernur Jendral saat itu)
memuji Sultan Hasanuddin atas keberaniannya, tapi itulah kemenangan
terakhir Gowa karena setelahnya VOC mengerahkan perang Total
terhadap Gowa dan menjadi kekalahan paling telak untuk kerajaan
Gowa. Perlawanan terhadap VOC juga dilancarkan oleh tokoh Bugis
lain, yaitu Arung Singkang atau La Maddukelleng, bahkan karena
keberaniannya dia dianggap sebagai bajak laut. Tahun 1739 Arung
Singkang dan sekutunya menyerang VOC di Makassar. Namun karena VOC
jauh lebih kuat, serangan tersebut bisa ditahan bahkan dipukul
balik sampai ke Wajo, yang merupakan tempat asal Arung Singkang
sendiri.