1 Perkembangan pengadilan pradata masa reorganisasi bidang hukum di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903 SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Disusun oleh: Achmad Ridwan C.0505004 FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
108
Embed
Perkembangan pengadilan pradata masa reorganisasi bidang ... filesuatu ketentraman, kedamaian maupun ketenangan hati serta mewujudkan tata tertib formal seperti peraturan negara. Dengan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Perkembangan pengadilan pradata masa reorganisasi bidang hukum
di kasunanan Surakarta tahun 1893-1903
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh:
Achmad Ridwan
C.0505004
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perlu disadari bahwa pemikiran mengenai pengaturan negara didasarkan
pada perlu ditegakkannya suatu tata tertib tertentu di dalam kehidupan
bermasyarakat. Pemerintah suatu negara berkewajiban untuk memelihara
ketertiban umum, menjaga agar masyarakat dalam keadaan aman dan damai.
Untuk menciptakan itu semua maka pemerintah harus menegakkan tata tertib
hukum di wilayahnya. Karena menurut pandangan orang jawa, tidak akan
menggangap negara telah memenuhi kewajiban-kewajiban bila tidak mendorong
suatu ketentraman, kedamaian maupun ketenangan hati serta mewujudkan tata
tertib formal seperti peraturan negara. Dengan terwujudnya hal tersebut barulah
tercapai suatu negara yang benar-benar selaras dan harmonis.1
Pertama kali di Mataram diadakan perubahan di dalam tata hukum di
bawah pengaruh Islam oleh Sultan Agung yang dikenal sebagai raja yang alim
dan mejunjung tinggi agamanya. Perubahan itu pertama-tama diwujudkan khusus
dalam pengadilan yang dipimpin oleh raja sendiri. Pengadilan jaman Mataram
merupakan pengadilan yang didasarkan pada hukum Islam yang mengambil
tempat persidangan di Sittinggil atau juga di serambi masjid. Perkara-perkara
kejahatan yang menjadi urusan pengadilan itu dinamakan kisas.
1 Mr. R.Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradanya Paramita,
1978), hal., 17-19.
3
Kraton Surakarta sebagai bentuk kerajaan, memiliki sebuah stuktur
pemerintahan yang tersusun atas beberapa lembaga di antaranya adalah lembaga
peradilan. Secara kelembagaan pengadilan kraton merupakan lembaga yang
memberikan kontribusi dalam menegakkan hukum, menciptakan keamanan dan
ketertiban di wilayah Kasunanan Surakarta. Selain itu sistem peradilan kraton
adalah lembaga penegak hukum yang berfungsi untuk mencegah terjadinya
pelanggaran dan tindak kejahatan yang dapat mengancam eksistensi Raja.
Sejak masa Mataram di Kartasura sampai pindahnya kraton ke Surakarta,
sudah ada campur tangan dari pemerintah Belanda dalam sistem peradilan dalam
pemerintahan Kasunanan Surakarta. Perkembangan selanjutnya menunjukkan
penetrasi pemerintah Belanda ke dalam persoalan intern kraton membawa
perubahan dalam tata peradilan dan tata hukum kraton. Pemerintah Belanda
berupaya memaksakan rencana reorganisasi terhadap sistem peradilan dengan
maksud supaya pemerintah kraton menyetujui perubahan baik dalam kelembagaan
maupun pranata hukumnya.
Menurut sejarahnya, sistem peradilan di Kasunanan Surakarta banyak
mengalami perubahan sejak menguatnya penetrasi dari sistem pemerintah Belanda
yang semakin intensif. Reorganisasi sistem peradilan dilakukan pemerintah
Belanda secara bertahap. Hal ini menyebabkan kebijaksanaan Sunan banyak
dipengaruhi oleh peraturan dari pemerintah Belanda. Meskipun demikian,
legitimasi Sunan masih tetap terjaga di mata rakyatnya. Intervansi pemerintah
Belanda terhadap sistem peradilan menjadikan Sunan hanya sebagai sebuah
4
simbol. Pemerintah Belanda bertindak sebagai pengendali kekuasaan di wilayah
Kasunanan Surakarta.
Larson mengatakan, bahwa situasi politik Kasunanan sangat dipengaruhi
oleh sikap dari pihak Kasunanan sendiri terhadap pemerintah Belanda,
Mangkunegaran, penduduk dan wilayah di luar kerajaan.2 Bila dirunut sejarahnya,
reorganisasi sistem peradilan di Kasunanan sudah terjadi sejak masa pemerintahan
Pakubuwana II (1726-1749). Di mana seluruh daerah Mataram masuk ke dalam
wilayah kekuasaan pemerintah Belanda. Akibatnya Mataram bukan hanya
kehilangan wilayahnya tetapi juga harus tunduk pada peraturan-peraturan
pemerintah Belanda termasuk mengenai sistem peradilan.
Meskipun sistem peradilan di Kasunanan Surakarta harus menaati
peraturan pada pemerintah Belanda, namun bukan berarti seluruh sistem dan tata
cara peradilan mengalami perubahan total. Masyarakat Jawa terbiasa
menggunakan cara musyawarah mufakat untuk menyelesaikan perkara-perkara
ringan. Sikap kekeluargaan dalam menyelesaikan perkara yang dimiliki
masyarakat jawa, bukan berarti mereka tidak membutuhkan lembaga pengadilan
untuk menyelesaikan suatu masalah. Lembaga pengadilan dimanfaatkan apabila
suatu perkara tidak dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan musyawarah.3
Pada masa pemerintahan Pakubuwana III(1749-1788) dan masa
pemerintahan Pakubuwana IV(1788-1820) sistem peradilan masih berjalan di
bawah peraturan pemerintah Belanda. Sedangkan masa pemerintahan
2 G. D Larson, Masa Menjelang Revolusi, Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta,
(Yogyakarta: UGM Press, 1989), hal., 5. 3 T. Roorda, Wetten de Nawala Pradata, de Angger Sadasa, de Angger Ageng, de Angger
Gunung, de Angger Aru Biru, (Amsterdam: Muler, 1844), hal., 4.
5
Pakubuwana V(1820-1823) dan masa pemerintahan Pakubuwana VI(1823-1830)
masih tetap seperti masa sebelumnya. Tidak adanya perubahan peradilan yang
signifikan pada waktu itu, karena Sunan tidak sempat memikirkan perbaikan
dalam pemerintahan mereka. Selain disebabkan oleh singkatnya masa
pemerintahan juga karena kondisi politik saat itu tidak mendukung untuk
memperbaiki pemerintahan akibat dari munculnya pemberontakan yang terjadi di
Kasunanan. Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada masa pemerintahan
Pakubuwana VII(1830-1858). Pada waktu itu sistem pengadilan tradisional
berubah seiring dengan reorganisasi yang dilakukan pemerintah Belanda.
Perubahan tersebut mengakibatkan muncul beberapa pengadilan di wilayah
Kasunanan termasuk adanya pengadilan pradata.
Sistem peradilan di Kasunanan Surakarta mengalami banyak perubahan
seiring dengan perubahan pembagian wilayah kerajaan Mataram. Tiap-tiap daerah
Vorstelanden memiliki pengadilan sendiri-sendiri. Kerajaan Mataram mendapat
pengaruh hukum barat pada tahun 1709 melalui perjanjian dengan pemerintah
Belanda. Dalam perjanjian tersebut Sunan harus menyerahkan pelaksanaan
pengadilan dan tanah di sebelah timur gunung merapi dan merbabu kepada
pemerintah Belanda.4
Sunan Pakubuwana VII(1830-1858) pada tahun 1847 menandatangani
perjanjian dengan pemerintah Belanda sebelum naik tahta. Dalam perjanjian
tersebut dinyatakan bahwa Sunan menyetujui perubahan yang akan dilakukan
oleh Gubermen dalam rangka memperbaiki kepolisian dan pengadilan yang
dalam memperkokoh kedudukannya. Untuk mengukuhkan kekuasaan Raja atas
wilayah yang telah ditaklukkan, ditempuhlah berbagai cara antara lain:
a. Memaksa dan mewajibkan penguasa-penguasa daerah untuk tinggal
dikraton beberapa bulan dalam setahun sedangkan daerahnya diurus oleh
wakil mereka masung-masing. Kalau penguasa itu pulang, ia diwajibkan
meninggalkan salah satu anggota keluarga dekatnya di kraton. Hal ini
dilakukan disamping untuk mengantisipasi kemungkinan timbulnya
pemberontakan dari penguasa daerah, juga menjaga kelangsungan ikatan
persaudaraan antara Raja dengan daerah wilayahnya.
b. Menjalin persekutuan dengan penguasa daerah melalui politik perkawinan.
Sifat hubungan pribadi antara penguasa lokal atau pejabat dengan Raja
dijamin melalui perkawinan yang dipandang sebagai cara yang efektif secara
lahir batin. Kraton rupanya mempunyai hampir suatu jumlah yang tidak
terbatas putra dan putri yang berdarah Raja. Sesudah menang perang, Raja dan
para pengikutnya biasanya menikahi putri-putri atau saudara perempuan Raja
yang kalah. Tidak semua putri boyongan dijadikan selir, adakalanya mereka
dipilih untuk menjadi permaisuri.
c. Menggunakan kekerasan dengan mengirim ekspedisi militer dalam
menumpas penguasa daerah yang membangkang atau memberontak bahkan
menjatuhkan hukuman mati atas lawannya beserta keluarganya.
d. Pembentukan sejenis polisi negara yang langsung bertanggung jawab
kepada Raja. Van Goens, menceritakan bahwa, diatas semuanya bangsawan
keraton terdapat kira-kira 4000 petugas pengadilan yang tersebar di seluruh
30
negeri dan di tempatkan di bawah 4 hakim militer yang menetap di keraton.
Mereka menjelajahi seluruh kerajaan bagaikan anjing pemburu/ als
jachthouden untuk mengamati dan mendengar segala sesuatu yang terjadi.”27
Mereka pulalah yang menjadi penuntut pengadilan Raja. Mereka boleh
menjalankan pengadilan sekaligus menjadi algojo. Mereka bebas menghadiri
pertemuan dan mengamati apa yang dilakukan di sana, sekalipun di tempat-
tempat penguasa-penguasa terbesar di negeri itu sehingga mereka sangat
ditakuti. Polisi-polisi tersebut mengandalkan jaringan informan yang disebut
mata-mata yang tidak terhitung banyaknya dan melaporkan segala sesuatunya
pada Raja.
e. Raja berusaha memantapkan kedudukan sebagai penguasa kerajaan
menjalankan politik patrimonial. Dalam sistem ini, jabatan dalam keseluruhan
hierarki birikrasi lebih didasarkan pada hubungan famili dan hubungan bapak-
anak(patron client). Penguasa yang terdiri dari Raja, sentana dalem, dan abdi
dalem merupakan satu keluarga besar. Raja mempunyai hak milik penuh atas
rakyatya seperti petani, pedagang, pemuka dan tentara yang kesemuanya
merupakan sumber hidup dan kekuasaan kerajaannya.28 Raja sebagai kepala
keluarga atau bapak sedangkan sentana dalem berkedudukan sebagai anak.
Bapak harus selalu dihormati, ditaati dan pantang untuk ditentang sehingga
anak wajib taat dan patuh terhadap segala perintah sang bapak tanpa kecuali.
Anak dijadikan tulang punggung yang setia bahkan bersedia untuk
27 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, (Jakarta: Gramedia, 1996), hal., 39-40. 28 Yahya Muhaimin, Beberapa Segi Birokrasi Di Indonesia, (Jakarta: Prisma, 1980),
hal., 24.
31
mempertaruhkan jiwanya untuk kepentingan bapak. Hubungan bapak-anak
merupakan suatu hubungan yang kuat berdasarkan kemauan timbal balik
untuk saling memberi dan menerima secara informal antara dua pihak yang
saling mempunyai status yang masing-masing mempunyai status yang tidak
sama derajatnya.
Susunan kosmologis dari keseluruhan negeri hanya dapat diwujudkan
dengan jumlah dan letak propinsi serta simbol dari penguasa daerah. Tetapi,
arsitektur bisa dibentuk sebagai gambaran yang lebih riil meyerupai jagad raya,
sebuah mikro yang lebih kecil dalam makrokosmos. Pengertian wilayah kerajaan
ini sesuai dengan pandangan Veth dan Selo Soemardjan yang menggambarkan
kerajaan-kerajaan Jawa direncanakan menurut lingkaran konsentris.29 Konsep
tersebut dapat diterapkan dalam menganalisis pembagian wilayah kerajaan-
kerajaan Jawa yang bercorak agraris seperti halnya Mataram. Di tengah-tengah
kerajaan terdapat keraton, tempat kediaman Raja dan pemerintah dalamnya.
Disekitar keraton terdapat ibu kota, yang disebut negara. Ibu kota merupakan
tempat kedudukan pemerintahan luar dan disitulah para bangsawan dan priyayi
tinggal di bawah kekuasaan dan wewenang patih. Disekitar ibukota Negaraagung
yang secara harfiah berarti kota besar. Lingkungan yang terakhir dari wilayah
kerajaan adalah mencanegara, yaitu propinsi-propinsi yang letaknya jauh dari
pusat ibu kota kerajaan.
29 Selo Soemardjan, Perubahan Sosial Di Yogyakarta, (Yogyakarta: UGM Press, 1991),
hal., 13.
32
2. Administrasi Wilayah Kasunanan Surakarta
Setelah tahun 1755 Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua pemerintahan
yaitu Kasunanan dan Kasultanan. Semula wilayah Mataram terbagi menjadi
kuthagara, negaraagung, mancanegara, dan pesisir. Namun semenjak Sunan
Pakubuwana II berangsur-angsur wilayah Mataram berkurang karena terikat
perjanjian dengan pemerintah Belanda. Sebagai konsekuensinya semua
keturunannya terikat dengan perjanjian tersebut. Luas wilayah Kuthagara luasnya
sama dengan kraton Kasunanan saat ini, yang meliputi kedhaton, baluwarti, dan
paseban dengan batas sebelah utara dan sebelah selatan adalah pintu brajanala.
Sedangkan batas sebelah barat dan timur adalah pintu gapit. Kuthagara
merupakan wilayah kraton yang paling dikeramatkan karena di dalamnya terdapat
bangunan prabasuyasa atau banguan dalem agung sebagai tempat untuk
menyimpan pusaka kerajaan.
Wilayah Kuthagara di kelilingi oleh daerah Negaraagung yang
perbatasannya hingga daerah Mancanegara. Di daerah Negaraagung ini terdapat
bumi narawita Sunan, tanah pancen sentana dalem, dan apanage sebagai gaji.
Luas tanah yang dimiliki tergantung pada tinggi rendahnya jabatan30
Semenjak pemerintahan Sunan Pakubuwana II sudah terikat perjanjian
dengan pemerintah Belanda. Perjanjian tahun 1743 menyebutkan bahwa seluruh
daerah pantai utara Jawa atau pesisiran, mulai dari Brebes sampai Blambangan
termasuk Madura, diserahkan kepada pemerintah Belanda, dan sebagai gantinya
30 Supariadi, Kyai dan Priyayi di Masa Transisi, (Surakarta: Pustaka Cakra, 2001), hal.,
192.
33
Sunan mendapatkan ganti rugi 20.000 ringgit setiap tahun.31 Dari perjanjian yang
sangat merugikan pihak Kasunanan tersebut terjadi pertentangan dari keluarga
Kasunanan, yaitu Pangeran Mangkubumi yang kemudian meletuslah Perang
Suksesi Jawa III.
Untuk mempermudah pengelolaan wilayah Kasunanan, daerah
Negaraagung dibagi ke dalam empat bagian, yaitu
1. Daerah Bagelen, yang terdiri atas Numbak Anyar dan Sewu.
2. Daerah Kedu, yang terdiri dari Bumi dan Bumija
3. Daerah Pajang, yang terdiri dari Panumping dan Panekar
4. Daerah Demak dan Pajang, yang terdiri dari Bumi Gedhe Kiwa dan
Bumi Gedhe Tengen.32
Wilayah kekuasaan Sunan diperoleh melalui perjanjian dengan pemerintah
Belanda pada tahun 1749. Mengenai letak dan luas Negaraagung adalah berikut
Setelah bupati njero, menyusul empat orang bupati njaba, yaitu bupati
gede dan bupati sewu sebagai bupati kanan, kemudian bupati penumping dan
bupati bumi sebagai bupati kiri. Bupati-bupati ini mengepalai administrasi dari
berbagai propinsi kerajaan diluar ibu kota. Kemudian menyusul lima orang bupati
dari tingkat tiga yaitu pembesar mahkamah pengadilan atau bupati pangrembe,
bupati kadipaten anom yaitu kepala rumah tangga putra mahkota, bupati kalang
adalah pengawas tertinggi gedung dan bangunan-bangunan istana, bupati gladag
adalah pengawas tertinggi alat-alat pengangkutan, dan bupati jaksa pengawas
tertinggi pengadilan.40 Di bawah bupati masih ada lima jabatan birokrasi lainnya,
yaitu kliwon, panewu, mantri, lurah, dan jajar.
Pelimpahan wewenang didalam sistem pemerintahan merupakan persoalan
pokok dalam struktur birokrasi kerajaan Kasunanan Surakarta. Sunan sebagai
penguasa bertanggung jawab penuh terhadap lancarnya roda pemerintahan
walaupun dalam pelaksanaan tugas sehari-hari penyelenggaraannya diserahkan
kepada patih dalem. Setiap menyampaikan kebijaksanaan, Sunan cukup
memberikan surat yang disebut Nawala dalem, yang ditulis oleh abdi dalem
Sasana Wilapa. Surat tersebut diberikan kepada patih sehingga posisi patih dalam
hal ini bertanggung jawab penuh terhadap jalannya pemerintahan kerajaan. Patih
berfungsi sebagai wakil sunan dalam bidang pemerintahan. Tugas yang
dibebankan kepada patih dirasakan berat sehingga dalam pelaksanaannya dibantu
oleh delapan Bupati nayaka yaitu empat bupati lebet (keparak dan gedong kiwa-
tengen) dan empat bupati jawi (sewu, bumi, bumu gedhe, dan penumping) serta
40 Ibid
40
bupati kadipaten anom sehingga jumlah keseluruhan ada sepuluh orang yang
disebut mantri sadasa. Para pelaksana birokrasi tersebut dalam mengelola
pemerintahan dipusatkan di kuthagara yang disebut pemerintahan Balemangu.
Golongan petugas yang diserahi untuk pengawalan Raja disebut Keparak dan
golongan yang bertugas mengantar surat dan melakukan pekerjaan keraton disebut
Gandek. Kedua golongan ini masing-masing dipimpin oleh kliwon. Dari
pemerintahan Balemangu, patih menyampaikan kebijaksanaan kepada para
bawahannya. Disamping itu patih dapat pula menetapkan Rijksblaad atau undang-
undang yang berisi keputusan pemerintahan atas persetujuan Sunan dan Residen.
C. Kedudukan Elit Agama di Kasunanan Surakarta
Dalam melihat peranan elit agama dibedakan antara elit agama yang
menduduki jabatan birokrasi atau golongan penghulu dengan mereka yang ada di
luar jabatan itu atau golongan ulama bebas. Para pengulu yang menduduki
birokrasi membentuk kelompok sendiri dan biasanya hubungan politiknya dekat
dengan pusat birokrasi. Mereka termasuk kelompok penguasa yang bersifat loyal,
sedang para ulama bebas yang ada di luar pemerintahan cenderung bersikap
menentang pemerintah dan lembaga sekuler lainnya.41
Peranan politik para penghulu dengan peranan para birokrat terutama
dalam menghadapi desakan lembaga-lembaga politik kolonial yang dominan. Para
birokrasi menyesuaikan diri dan bersikap loyal kepada pemerintah kolonial karena
mereka merupakan bagian dari kekuasaan kolonial. Para ulama yang tidak terlibat
41 Radjiman, op. cit., hal., 11.
41
dalam lembaga kolonial selalu menolak setiap kali terjadi tekanan-tekanan karena
kehadiran mereka terlepas dari sistem kolonial. Penekanan ini didasarkan pada
kenyataan sosial bahwa kyai birokrasi biasanya membentuk kelompok sendiri dan
dilihat dari segi budaya mereka cenderung terserap dalam budaya priyayi.42
Pada abad 19 penolakan terhadap pengaruh barat meluas sebanding
dengan meluasnya daerah santri di seluruh Jawa. Melihat kemajuan tersebut para
Residen di Jawa mencegah pengaruh ulama dan pengaruh lain yang masuk ke
Jawa. Mereka saling mengingatkan kemungkinan terjadinya gerakan-gerakan
agama.43
Para kyai mempunyai kedudukan mantap karena mereka memiliki otoritas
tradisonal dan kebebasan baik politik maupun ekonomi pada masyarakat agraris.
Antara kyai dan masyarakat terjalin hubungan timbal balik. Artinya, disatu pihak
mereka memberikan perlindungan, dan dipihak lain masyarakat memberikan
penghormatan dan pelayanan sosial. Hubungan dua golongan sosial ini
membentuk jalinan kehidupan pedesaan yang harmonis. Oleh karena itu, wajar
jika mereka mampu mengajak petani agar berpartisipasi penuh menghadapi
tekanan pemerintah Belanda. Reputasi mereka sebagai guru ngelmu dan kyai
dapat menyakinkan masyarakat sehingga mendapat dukungan sepenuhnya dari
petani. Pada pertengahan abad 19 banyak diantara mereka yang ditangkap dan
42 William R. Roff, Islam di Asia Tenggara Abad ke-19, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1989), hal., 371. 43 Suhartono, Apanage dan Bekel: Perubahan Sosial di Pedesaan 1830-1920,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), hal., 27-28.
42
dibuang.44 Dalam hal imbangan kekuatan, jika ulama bebas yang tidak kuat
menghadapi penguasa kerajaan atau pemerintah Belanda bersekutu dengan
kelompok yang kecewa dan tidak puas dengan keduanya. Oleh karena para kyai
dan haji tinggal di pedesaan, mereka tidak terlalu sukar mendekati bekel desa dan
petani agar ada di pihak mereka.45 Ulama bebas di Surakarta memang
berpengaruh di kalangan bawah, tetapi penghulu tidak pernah berpengaruh kuat di
kalangan elit birokrat. Salah satu penyebabnya ialah karena pengaruh Barat lebih
cepat diterima oleh lapisan atas, sedang lapisan bawah masih dalam proses
pengenalan ke dalam lembaga-lembaga kolonial. Oleh karena itu, dapat
dimengerti bahwa lapisan bawah jauh lebih kuat menganut ajaran agama Islam
sebagai pegangan dalam menghadapi pengaruh Barat.
Elit agama di Kasunanan Surakarta terdiri dari para pegawai kerajaan yang
mengurus masalah agama. Mereka ini ialah abdi dalem pangulon atau abdi dalem
pemetakan. Abdi dalem ini terdiri dari pengulu, katib, jaksa, muadzin, mudarin,
kebayan, syarif, dan marbot.46 Kelompok elit agama yang dapat dimasukkan ke
dalam abdi dalem pemetakan ialah abdi dalem suronatan, mereka ini memiliki
fungsi mengurus masjid Suronoto dan masjid Besar. Abdi dalem pengulon
mempunyai fungsi mengurus perkawinan, warisan diantaranya priyayi dalem dan
priyayi jawi.
44 Sartono Kartodirdjo, op. cit., hal., 96.
45 Damakshari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta: LP3ES, 1994), hal., 3. 46 Wiliam. R. Roff, op. cit., hal 3.
43
Semua sebagai pegawai kerajaan dalam lngkungan abdi dalem pemetakan
adalah tergolong elit agama Kasunanan. Dalam segmen mereka ini terdapat
kelompok sosial yang disebut abdi alem perdikan, mereka ini terdiri dari juru
tebah, marbot, dan modin. Mereka mempunyai kewajiban memelihara makam
Raja atau keluarga Raja di luar Istana. Wong cilik santri pada umumnya termasuk
mereka yang belajar pada pondok pesantren di bawah ulama dan kyai. Apabila
dihubungkan dengan birokrasi tradisonal, mereka tergolong kelompok elit agama
biasa.47
47 Suhartono, op. cit., hal 78.
44
BAB III
SISTEM HUKUM DAN PERADILAN
DI KASUNANAN SURAKARTA
A. Perkembangan Sistem Hukum dan Peradilan di Kasunanan Surakarta
Sejarah berdirinya suatu negara baik itu bentuk Republik atau Kerajaan
harus memiliki tiga syarat pokok yaitu, adanya wilayah, penduduk, dan sistem
pemerintahan. Untuk tegaknya suatu pemerintahan suatu negara diperlukan
sarana-sarana pokok dalam sistem kelembagaan. Sarana itu meliputi bidang
pemerintahan, keuangan Negara, pengadilan, dan sekretaris Negara. Untuk
Kerajaan Kasunanan disebutkan Reh Kepatihan antara lain, Kantor Pangreh Praja,
Kantor keuangan Negara, kantor Pengadilan, dan Sekretaris Negara. Dari susunan
lembaga Kerajaan tersebut bidang Pengadilan sebagai bentuk sistem hukum yang
mengatur ketertiban dan keamanan Kerajaan. Kebutuhan ini mutlak perlu
dilaksakan untuk kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini kerajaan Kasunanan sebagai
kelanjutan kerajaan Mataram memiliki sistem peradilan yang dijalankan menurut
aturan dan norma yang telah disepakati antara Raja-raja Kasunanan dengan
Pemerintah Belanda.48
Kata peradilan mengandung arti sesuatu keadaan adil dan segala sesuatu
yang bertalian dengan keadilan. Peradilan bukan semata-mata sebagai badan
untuk mengadili tetapi lebih bersifat sebagai pengadilan konkret yang memberi
48 Riyanto, Hukum dan Peradilan di Praja Kejawen, (UNS: Fakultas Sastra, 1996), hal.,
17.
45
hak dan memperoleh keadilan hukum. Hal tersebut sebagai pancaran sifat tugas
dan tanggung jawab seorang Raja sebagai kepala suatu Kerajaan.49 Kerajaan
Kasunanan dalam sejarah peradilannya telah mengalami beberapa kali perubahan
dan perkembangannya. Selanjutnya peradilan mengalami kemajuan di mulai pada
masa pemerintahan Pakubuwana VII(1830-1858) hingga sesudahnya berkembang
karena pengaruh hukum kolonial. Hal ini dapat terlihat adanya pengadilan
Surambi pada masa Mataram menjadi pengadilan tertinggi namun setelah kuatnya
hukum kolonial pengadilan ini hanya mengurusi masalah agama dan tidak
mempunyai hak mengadili perkara –perkara umum.50
Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwana X(1893-1939) sistem
peradilan masih berkaitan dengan konstitusi yang diselenggarakan oleh
pemerintah Hindia-Belanda. Peradilan daerah swapraja disusun berdasarkan
kontrak politik antara pemangku kekuasaan pemerintah lokal dengan pemerintah
pusat yang berada di Batavia. Pemerintah mandiri dalam kebanyakan daerah-
daerah swapraja meliputi juga peradilan. Dari empat daerah swapraja, daerah
swapraja Kasunanan mempunyai kekuasaan peradilan dari gubernemen untuk
mengadili kawula di daerahnya. 51 Dalam perkembangannya hukum di Kasunanan
mengalami beberapa perubahan-perubahan seiring pergantian Raja di Kasunanan
adapun struktur hukum di Kasunanan yaitu,
49 Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia, (Yogyakarta:
UGM, 1972), hal., 2. 50 Ibid, hal., 18. 51 Supomo, Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1957), hal., 190.
46
Struktur Hukum Kerajaan Kasunanan 52
Pakubuwana II (1726-1749) Pakubuwana III (1749-1788) 1. Surambi 2. Pradata 3. a. Angger Gunung b. Angger Sadasa c. Aru Biru Pakubuwana IV (1788-1820) Surambi
1. Pradata 2. Balemangu 3. Kadipaten Anom
Pakubuwana VII (1830-1858) Pemerintah Belanda
(1847) Hukum Kolonial
1. Pradata 2. Surambi 3. Bupati Polisi
Pakubuwana X (1893-1903) 1. Pradata 2. Surambi 3. Polisi
52 Purwadi, Sri Susuhunan Pakubuwana X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya Untuk
Nusa dan Bangsa, (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), hal., 85.
1. Surambi 2. Pradata
1. Kisas 2. Nawala
Pradata
Hukum Kolonial
47
Sistem hukum di Kasunanan di mulai pada awal masa pemerintahan
Pakubuwana II(1726-1749) pada tahun 1737 dibentuk dua lembaga peradilan
yaitu Surambi dan Pradata. Pengadilan tersebut berada di bawah kekuasaan Sunan
dengan pelaksanaan pengadilan diketuai oleh Sunan sendiri. Pengadilan di
Kasunanan pada masa Pakubuwana II didasarkan pada hukum Kisas. Kemudian
pada masa Pakubuwana IV(1788-1820) pengadilan Surambi menjadi pengadilan
tertinggi dan menjadi bandingan dari pengadilan Pradata. Pada masa Pakubuwana
IV juga didirikan dua pengadilan bagi kerabat Raja yang bersalah yaitu
Balemangu dan Kadipaten Anom. Perkembangan selanjutnya pada tahun 1847
sistem Kolonial masuk dalam tatanan peradilan di Kasunanan yang
mengakibatkan Pengadilan Surambi pada masa Pakubuwana VII(1830-1858)
Hanya mengurusi masalah keluarga. Kemudian karena pengaruh Kolonial pada
tahun 1847 pengadilan Pradata menjadi pengadilan tertinggi dengan
kewenangannya diawasi Residen. Pada tahun 1847 pengadilan Balemangu dan
Kadipaten Anom juga dihapuskan. Sunan dengan seijin pemerintah Belanda juga
membentuk Bupati Polisi di tiap daerah Kasunanan guna membantu peradilan di
Kasunanan. Perkembangan selanjutnya pada masa Pakubuwana X1893-1939)
terjadi reorganisasi peradilan yang mana pengadilan Pradata dibagi menjadi tiga
yaitu Pradata Gedhe, Kadipaten, dan Kabupaten serta pembentukan lembaga
Polisi.53
53 Riyanto, op. cit., hal., 20.
48
Pengadilan dari ketiga daerah swapraja lainnya di Jawa yaitu Surakarta,
Yogyakarta dan Mangkunegaran hanya mempunyai kekuasaan mengadili terhadap
keluarga sedarah dan keluarga karena perkawinan sampai dengan keturunan
keempat dari Raja dan terhadap pegawai-pegawai tertinggi dari Raja. Kawula
selainnya termasuk yurisdikasi pengadilan-pengadilan gubernemen.54 Daerah-
daerah swapraja di luar Jawa dan Madura mempunyai hak melakukan peradilan
atas kawulanya sendiri, terkecuali jika kawula itu mengenai golongan perkara
tertentu ditarik dari kekuasaan peradilan hakim daerah swapraja.
1. Sistem peradilan di daerah swapraja Kasunanan
Lingkungan pekerjaan pengadilan-pengadilan di luar Jawa Madura tidak
melampaui batas daerah-daerahnya, maka peradilan dari pengadilan daerah
swapraja hanya mengenai perkara –perkara yang terjadi dalam daerah swapraja.
Dalam hal ini daerah Kasunanan juga mempunyai pengadilan Gubernemen
sehingga terjadi pembatasan kekuasaan antara pengadilan Kasunanan dengan
pengadilan Gubernemen. Dasar untuk pembatasan kekuasaan terdapat di dalam
kontrak politik atau Veklaring. Pada pokoknya pembagian kekuasaan diatur
sebagai bentuk kekuasaan mengadili, sehingga dalam daerah-daerah swapraja
rakyat pemerintahan Hindia-Belanda sebagai tergugat atau tersangka diadili oleh
pengadilan-pengadilan gubernemen dan kawula daerah swapraja sebagai tergugat
atau tersangka akan diadili oleh pengadilan-pengadilan daerah swapraja.55
54 Purwadi, op. cit., 87. 55 Ibid, hal., 83.
49
Dalam sengketa perdata penggugat tidak dipedulikan sama sekali asal
daerahnya. Ketentuan-ketentuan di dalam Veklaring atau kontrak politik
menentukan, bahwa pengadilan daerah swapraja berwenang memutuskan tentang:
a. Tuntutan-tuntutan pidana terhadap kawula Gubernur karena perbuatan-
perbuatan pidana yang juga termasuk kekuasaanya jika penjahat pertama pada
saat perbuatan itu adalah seorang kawula daerah swapraja.
b. Sengketa-sengketa terhadap rakyat pemerintah Hindia-Belanda jika
penggugat pada saat gugatannya diajukan adalah seorang kawula daerah
swapraja.
c. Sengketa-sengketa perdata terhadap rakyat pemerintah Hindia-Belanda
mengenai bidang-bidang tanah, rumah, dan tanaman-tanaman yang lebih dari
satu tahun umurnya yang dimiliki menurut hukum Indonesia, apabila benda-
benda itu letaknya dalam daerah swapraja.56
Sebaliknya yang ditarik dari kekuasaan hakim swapraja dan karena itu
dipercayakan kepada peradilan hakim Gubernemen berdasar kontrak politik atau
Veklaring adalah:
a. Tuntutan pidana terhadap kawula daerah swpraja karena kejahatan jika
mereka dituntut bersama-sama dengan orang yang tunduk kepada kekuasaan
hakim Gubernemen.
b. Tuntutan pidana terhadap kawula daerah swapraja karena kejahatan
mengenai milik dan penghasilan pemerintah, dan juga terhadap tata tertib dari
Gubernemen.
56 Supomo, op.cit., hal., 83.
50
c. Tuntutan pidana terhadap kawula daerah swapraja karena kejahatan
mengenai pertahanan negara.
Ketentuan di dalam Veklaring tersebut pada intinya ialah bahwa Raja yang
memerintah daerah swapraja berwenang menghadiri sidang hakim Gubernemen
untuk memberitahukan pendapatnya dalam hal kawula daerah swpraja Kasunanan
yang tersangkut dalam perkara sebagai tergugat atau tersangka. Susunan
kekuasaan pengadilan menurut perkara dan menurut daerah dan tata tertib acara
pengadilan di Kasunanan. Peraturan tersebut diserahkan kepada Raja swapraja
Kasunanan dengan persetujuan dari Residen.57
Hakim-hakim di Kasunanan berada di bawah pengawasan Residen. Dalam
kontrak politik atau Veklaring keputusan-keputusan yang menjatuhkan hukuman
selama satu tahun atau lebih, atau denda uang sebanyak seratus rupiah atau lebih
untuk dapat dijalankan harus mendapat persetujuan dari Residen. Jika dalam hal
persengketaan perdata salah satu pihak dalam waktu 14 hari sesudah
pengumuman keputusan itu menuntutnya maka keputusan mengenai pokok
perkara yang lebih daripada seratus rupiah tidak dijalankan sebelum dimintakan
pertimbangan dari Residen.58 Residen mempunyai wewenang yang sama sebagai
badan pengawas mengenai pengadilan-pengadilan daerah swapraja terutama di
Kasunanan. Seperti terhadap hakim pribumi di dalam daerah yang diperintah
langsung, Gubernur Jenderal sebagai alat pemerintahan yang tertinggi berwenang
di dalam urusan pengadilan-pengadilan daerah swpraja.
57 Purwadi, op.cit., hal., 84. 58 Ibid, hal., 85.
51
Swapraja Kasunanan hanya mempunyai kekuasaan mengadili terhadap
keluarga sedarah sampai dengan keturunan keempat dari Raja dan juga terhadap
pegawai-pegawai tertinggi di wilayah Kasunanan.
2. Kewenangan Peradilan di Swapraja Kasunanan
Wewenang hakim-hakim di daerah Swapraja diterangkan dalam Rijksblad
atau lembaran dalam pemerintahan Negara. Di dalam lembaran Negara tersebut di
jelaskan mengenai peraruran-peraturan serta norma dalam menjalankan sistem
peradilan. Hal ini berlaku untuk keempat daerah swapraja yaitu, Kasunanan,
Kasultanan, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Menurut peraturan dalam
lembaran Negara pekerjaan hakim-hakim daerah swapraja Kasunanan terikat
kepada aturan-aturan sebagai berikut:
a. Pengadilan-pengadilan Kasunanan berwenang dalam perkara pidana, jika
perbutannya dilakukan di dalam daerah Kasunanan.
b. Pengadilan-pengadilan Kasunanan berwenang dalam perkara perdata, jika
tergugat berdiam di daerah-daerah Kasunanan.59
Untuk daerah Surakarta bahwa tergugat atau tersangka harus termasuk
salah satu golongan orang yang disebut dalam isi kontrak politik diatas. Keluarga
sedarah atau keturunan Raja yang sedang memerintah dan para pegawai-pegawai
Kerajaan. Dalam hal itu, bagaimana kedudukan penggugat dalam perkara tidak
dipedulikan asal daerahnya. Juga dalam perkara rapak, dan perceraian kekuasaan
Para Bupati Gunung atau Bupati Polisi tersebut diberi tugas kepolisian
seperti dalam penjelasan bab 16 Serat Angger Gunung yaitu, ”Para Tumenggung
kawajiban rumeksa amurih tata tentreming bawahe dhewe-dhewe sarta padha
71 Ibid
58
kabawah marang Raden Adipati.”72 Dari kutipan tersebut jelas bahwa para Bupati
Polisi tersebut berada di bawah perintah Patih mereka bertanggung jawab kepada
Patih. Mereka adalah wakil patih di daerah-daerah yang menjadi wilayahnya.
C. Pengadilan Kadipaten Anom
Munculnya lembaga pengadilan baru yaitu Kadipaten Anom pada tahun
1831, yaitu bersamaan dengan didirikannya Pengadilan Karesidenan atau
Residentie Raad sebagai realisasi surat keputusan Gubernur Surakarta pada
tanggal 11 Juni 1831. Isi pokok surat keputusan tersebut antara lain yaitu:
” Menawi abdine Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan anglakoni kadurjanan
kanthi abdine Kanjeng Gupermen, iku bakal karampung dening Residentie Raad,
dene yen kanthi bangsa Walanda utawa Landa pranakan, iku bakal karampungan
dening Raad Van Justie ing Semarang.”73
Berhubung di Surakarta telah terdapat tradisi apabila seorang Sentana Dalem
bersalah, maka yang menjatuhkan vonis pengadilan adalah Raja sendiri. Untuk
melangsungkan tradisi tersebut, maka dalam surat keputusan menyatakan bahwa
pengadilan bagi Sentana Dalem tetap masih di bawah kekuasaan Raja Jawa atau
Sunan walaupun perkaranya melibatkan bangsa Belanda atau keturunan Belanda.
Nama Pengadilan Kasentanan itu disebut Pengadilan Kadipaten Anom.
Selanjutnya dalam Staasblad tahun 1847, yaitu
” Mungguh keh sethithiking Pangeran srta Wadana kang angrembug prakara ana ing Kadipaten iku Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan kang bakal anamtokake, arta anggalih ing prayoga parlune, sakehing para padu kang lawanan padha Sentana, awit dene menawa Santana ginugat ing wong cilik, iku bubuhane Kadipaten kang ambeneri, Apadene prakara kang wis
terjadinya pertikain dan pembunuhan serta perang antar desa-desa di Kasunanan,
Kasultanan, dan Mangkunegaran setelah pembagian Kerajaan. Atas desakan
Residen diadakan pertemuan antara Patih Dalem Sosrodiningrat I dengan Patih
Danurejo I pada tanggal 21 April 1771 yang kemudian menghasilkan Serat
Angger Ageng dengan 16 Pasal. Sebelumnya Serat Angger Ageng jaga pernah
mengalami perubahan sampai enam kali dari tahun 1771 sampai tahun 1818.
Kemudian pada tanggal 4 Oktober 1818 diadakan perubahan lagi yang
merupakan perubahan yang terakhir.92
Dalam perkembangannya Pengadilan Pradata mendapatkan pelimpahan
perkara dengan dihapuskannya pengadilan Balemangu pada tahun 1847.
Pengadilan Pradata ini juga dibentuk di luar ibukota Kasunanan Surakarta seperti
di daerah Kabupaten Klaten, Ampel, Boyolali, Kartasura, dan Sragen.
Pengadilan-pengadilan Pradata di daerah tersebut diberi otonomi oleh Sunan pada
tahun 1847 atas desakan Residen Keuchenius (1871-1875).93 Dibentuknya
Pengadilan-pengadilan di daerah tersebut bertujuan untuk membatasi kekuasaan
pengadilan di pusat. Sejumlah Bupati yang memimpin di daerah-daerah tersebut
diangkat oleh Sunan atas persetujuan dari Residen. Mengenai tugas dari para
bupati dan Patih Dalem sudah ditetapkan oleh Sunan. Keamanan dan ketentraman
di daerah-daerah menjadi tanggung jawab para Bupati kepada Patih Dalem.
92 G. P Rouffaer, op. cit., hal., 57.
93 Staasblad Van Nederlands Indie No. 30, op. cit., hal., 209.
67
BAB IV
PENGADILAN PRADATA MASA REORGANISASI BIDANG HUKUM
DI KASUNANAN SURAKARTA TAHUN 1893-1903
A. Masa Reorganisasi Peradilan Di Kasunanan Surakarta
Sistem peradilan di Kasunanan mengalami banyak perubahan sejak
menguatnya pengaruh hukum kolonial melalui perjanjian antara Sunan dengan
Pemerintah Belanda. Perubahan peradilan pada awalnya terjadi pada masa
pemerintahan Pakubuwana II (1726-1749) terjadi perjanjian dengan pihak
Belanda pada tahun 1749 yang berisi tentang penyerahan kedaulatan Kerajaan
Mataram kepada Belanda. Akibatnya Sunan dan keturunannya kehilangan
kedaulatan atas kerajaan Mataram termasuk juga dalam bidang peradilan.94
Pada masa pemerintahan Pakubuwana IV(1788-1820) masih mewarisi
hasil perjanjian dari pendahulunya yaitu sebagai bawahan pemerintah Belanda.
Satu hal yang menarik pada masa Pakubuwana IV pengadilan Surambi menjadi
pengadilan tertingi dan menjadi pengadilan tinggkat banding bagi pengadilan
Pradata dan Balemangu. Sebagai konsekuensinya hukuman Kisas masih
diberlakukan pada masa itu.95 Namun sejak tahun 1812 terjadi perjanjian antara
Pakubuwana IV dengan Pemerintah Belanda untuk pengahapusan hukuman kisas.
94 G. P. Rouffaer, Swapraja, (Mangkunegaran: Reksa Pustaka, 1931), hal., 52. 95 T. Roorda, Wetten de Nawala Pradata, de Angger Sadasa, de Angger Ageng, de
Angger Gunung, de Angger Aru Biru, (Amsterdam: Muler, 1844), hal., 64.
68
Perubahan bidang hukum terutama pada masa reorganisasi peradilan
terjadi cukup signifikan pada masa pemerintahan Pakubuwana VII(1830-1858)
setelah menandatangani suatu perjanjian dengan Pemerintah Belanda sebelum
naik tahta. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa Sunan menyetujui
perubahan-perubahan yang akan dilaksanakan oleh Gubernemen dalam rangka
perbaikan pengadilan yang akan diawasi oleh Residen. Usaha tersebut dilakukan
agar pemerintah Belanda dapat mengendalikan sistem hukum di wilayah
Kasunanan dengan didasarkan pada hukum kolonial. Salah satu bentuk usaha
Belanda ialah pengangkatan Bupati sebagai pegawai pengadilan harus
mendapatkan persetujuan dari Residen.96
Perkembangan selanjutnya terjadi penetapan pengadilan di wilayah
Surakarta setelah perjanjian tahun 1847 antara Pemerintah Belanda dengan
Pakubuwana VII yaitu terdapat empat Pengadilan di Kasunanan antara lain,
Pengadilan Balemangu, Pradata, Surambi, dan Kadipaten Anom. Bersamaan
dengan penetapan tersebut juga dibentuk Residentie Raad pada tahun 1831.
Pengadilan Residentie Raad ini hanya berlaku untuk mengadili bagi sentana
dalem yaitu keluarga Raja sampai keturunan keempat.97 Kemudian setelah tahun
1847 pengadilan Balemangu dihapuskan dengan alasan tidak mampu
menyelesaikan permasalahan yang timbul di masyarakat. Sebagai gantinya tugas
dan wewenang pengadilan Balemangu dilimpahkan ke pengadilan Pradata.
Penghapusan Balemangu tersebut mengakibatkan Pradata menangani perkara-
96 G. P. Rouffaer, op. cit., hal., 61. 97 Ibid, hal., 55.
69
perkara yang sangat luas maka setelah tahun 1847 dibagi menjadi dua bagian
yaitu, Urusan Perkara pidana yang dikepalai oleh Kliwon jaksa kriminil, yang
bersidang pada hari Rabu dan Sabtu. Sedangkan untuk urusan perkara perdata
yang dikepalai oleh Kliwon jaksa sipil, yang bersidang pada hari Selasa.98 Tempat
persidangan pun dipindahkan dari Paseban Alun-alun Utara ke Baleharja di depan
Kepatihan. Dalam rangka penyederhanaan lembaga peradilan di Kasunanan
dilakukan penghapusan pengadilan Balemangu kemudian diikuti penghapusan
pengadilan Kadipaten Anom. Semua perkara yang dilakukan sentana dalem akan
dilimpahkan ke pengadilan Pradata.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwana
X(1893-1939) terjadi reorganisasi besar-besaran di bidang peradilan. Akibat dari
pernyataan Sunan sebelum dinobatkan menjadi Raja yang didasarkan pada
keluarnya Veklaring pada tanggal 25 Maret 1893. Salah satu isi Veklaring tersebut
ialah Sunan harus melaksanakan perbaikan pengadilan sesuai dengan
penyelesaian hukum menurut dasar hukum kolonial. Hal tersebut membawa
dampak penyerahan wewenang peradilan di wilayah Surakarta kepada pemerintah
Belanda yang mana seluruh sistem peradilan di wilayah Kasunanan dalam hal
kekuasan mengadili dan pemutusan hukuman harus mendapat ijin dari Residen.99
Pada tahun 1901 reorganisasi peradilan dilaksanakan dalam rangka
peyederhanaan lembaga peradilan di Kasunanan Surakarta. Residen dengan hasil
perjanjian dengan Pakubuwana X mengambil alih kekuasaan peradilan di wilayah
98 Staasblad Van Nederlands Indie No. 30, (Mangkunegaran: Reksa Pustaka, 1847), hal.,
58. 99 Riyanto, Hukum dan Peradilan di Praja Kejawen, (Uns: Fakultas Sastra, 1996), hal.,
11.
70
Kasunanan dengan mengadakan reorganisasi bidang peradilan. Hasil reorganisasi
tersebut menetapkan bahwa di Kasunanan terdapat tiga lembaga pengadilan yaitu,
Surambi, Pradata, dan Pradata Gedhe.100
Hasil reorganisasi pada tahun 1901 juga menetapkan pengadilan
Gubernemen sebagai usaha pemerintah Belanda dalam kekuasaan mengadili di
wilayah Kasunanan. Kekuasaan tersebut dilakukan dalam penerapan hukum dan
peradilan terhadap penduduk yang berada di Surakarta, maka pemerintah Belanda
membagi tiga kelompok yaitu, pertama golongan Pribumi dengan kekuasan
peradilan kerajaan Kasunanan yang telah didasarkan hukum kolonial, kedua
golongan orang-orang Eropa dengan sistem hukum peradilan kolonial, dan ketiga
golongan orang Timur asing dengan kekuasaan peradilan campuran tradisional
dengan kolonial.101
B. Pengadilan Pradata Masa Reorganisasi Peradilan Tahun 1901 Di
Kasunanan
Perkembangan masa reorganisasi pada tahun 1901 membawa dampak
yang cukup signifikan bagi pengadilan Pradata. Perubahan-perubahan terjadi
akibat pernyataan dalam Veklaring antara Pakubuwana X(1893-1939) dengan
Pemerintah Belanda agar melakukan perbaikan dalam bidang peradilan. Hal ini
membuat pengadilan Pradata dalam kekuasaan mengadili sangat dibatasi. Dalam
perkembangannya sebagai akibat pengaruh hukum kolonial beberapa perkara sipil
F. Lembaga-lembaga Peradilan Sesudah Reorganisasi Hukum Tahun
1903 di Kasunanan
Perubahan-perubahan dalam tatanan hukum terutama dalam bidang
peradilan di wilayah Kasunanan semakin berkembang dengan munculnya
lembaga-lembaga pengadilan baru sesudah reorganisasi. Usaha pemerintah
Belanda untuk menerapkan dasar hukum kolonial di dalam sistem peradilan
daerah Swapraja membuahkan hasil. Masa reorganisasi hukum yang dilakukan
oleh Pakubuwana X(1893-1939) atas saran Residen membawa perubahan dalam
lembaga pengadilan di Kasunanan maupun di luar daerah Kasunanan. Pada tahun
1901 pemerintah Belanda bersama Sunan melakukan perbaikan peradilan lembaga
peradilan baru didirikan sedangkan lembaga peradilan lama kekuasaannya
dibatasi. Penetapan pengadilan baru sebagai hasil dari reorganisai antara lain
didirikannya Landraad, Rol Polisi, Raad Agama serta pengadilan khusus bagi
orang Eropa yaitu, pengadilan Landsgerecht dan Raad Van Justitie.153
1. Pengadilan Landraad
Landraad merupakan Majelis Kehakiman dan yang menjadi hakim dalam
pengadilan ini adalah seorang ahli hukum. Landraad menangani pelanggaran
yang dilakukan oleh Kawula di wilayah Ibu Kota dan di luar Ibu Kota Kasunanan.
Hakim dalam Landraad dibantu dengan dua orang anggota serta seorang
panitera. Khusus untuk perkara pidana susunan dalam pengadilan Landraad akan
ditambah dengan seorang Jaksa. Sedangkan untuk perkara perdata akan diadili
oleh seorang hakim tunggal. Selain itu apabila terdakwa beragana Islam hakim
153 Koerniatmo, Pemerintahan dan peradilan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1994), hal., 95.
96
harus didampingi oleh seorang penghulu. Sementara apabila terdakwa beragama
selain Islam harus didampingi oleh seorang yang relevan. Dalam menangani suatu
perkara perdata pada tingkat pertama landraad akan mengadili gugatan yang
mempunyai nilai sekurang-kurangnya f 50. Selanjutnya banding atas keputusan
Landraad akan diupayakan ke Raad Van Justitie.154
2. Rol Polisi
Rol Polisi merupakan badan peradilan yang didirikan sejak tahun 1903
sebagai lembaga peradilan Gubernemen. Rol Polisi berwenang dalam menangani
masalah pelanggaran kecil yang dilakuakan oleh Kawula maupun pihak
Gubernemen. Penanganan urusan sipil bagi Rol Polisi sebagai pelaksanaan sistem
hukum Gubernemen. Rol Polisi di Ketuai oleh seorang Asisten Residen dengan
dasar hukum yang digunakan adalah Buku Undang-undang pelanggaran atau
Strahvethcek dan peraturan Polisi atau Polisiereglement. Pelanggaran kecil dan
urusan sipil yang bernilai F 50,- yang dilakukan oleh kawula Sunan di Ibu Kota
akan ditangani oleh Rol Polisi. Apabila hasil putusan Rol Polisi tidak memuaskan
dapat naik banding ke Landraad di Ibu Kota.155
3. Raad Agama
Pengadilan ini merupakan peradilan Agama yang sebagai hasil
reorganisasi peradilan oleh Gubernemen yang berwenang menangani masalah
Agama. Sebelum adanya reorganisasi urusan Agama di tangani oleh Pengadilan
Surambi di Ibu Kota dan di luar Ibu Kota Kasunanan yang menangani masalah
warisan, cerai, dan pernikahan, namun setelah reorganisasi tahun1901 surambi di
154 Ibid, hal., 103. 155 Mr. R.Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta: Pradanya Paramita,
1978), hal., 92.
97
luar Ibu Kota dihapuskan. Sebagai gantinya pemerintah Belanda mendirikan Raad
Agama yang menangani urusan perkawinan, perceraian, dan warisan di luar Ibu
Kota. Adapun yang menjadi hakim tunggal ialah seorang penghulu dibantu dua
orang anggota. Kekuasaan Raad Agama hanya terbatas di luar Ibu Kota
Kasunanan sedangkan urusan Agama di Ibu Kota Kasunanan masih ditangani oleh
Pengadilan Surambi.156
4. Landsgerecht
Jenis pengadilan ini berdiri pada tahun 1903 sebagai lembaga peradilan
Gubernemen. Kewenangan dalam pengadilan ini diperuntukkan bagi semua
golongan baik penduduk pribumi maupun non pribumi. Sementara kekuasaan
wilayah hukumnya ditetapkan oleh putusan Gubernur Jenderal. Badan peradilan
ini sebagai bandingan dalam pemutusan perkara dari pengadilan Landraad apabila
kawula Sunan melakukan pelanggaran besar dan tidak puas dengan hasil landraad
Ibu Kota maka Kawula berhak naik banding ke pengadilan Landsgerecht ini.
Adapun hakim yang mengadili dalam pengadilan ini adalah seorang hakim tungal.
Hakim dibantu oleh seorang Griffir sebagai panitera dalam persidangan
Landsgerecht. Pada prinsipnya yang menjadi hakim dalam pengadilan ini adalah
seorang ahli hukum serta kekuasaan mengadili landsgerecht hanya perkara pidana
saja tanpa memandang golongan penduduk. Pada tingkat pertama dan tertinggi
landsgerecht mengadili semua pelanggaran dan kejahatan yang ringan akan
diancam hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling tinggi f
500.157
156 Koerniatmo, op. cit., hal., 111. 157 Supomo, Sistem Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pradanya Paramita, 1977), hal., 96.
98
5. Districtsgerecht
Pengadilan ini merupakan pengadilan Kawedanan atau Distrik yang
mempunyai wilayah hukum di daerah-daerah Kawedanan Surakarta. Adapun yang
menjadi hakim tunggal ialah seorang Wedana dengan dibantu oleh beberapa
pegawai bawahan yang ditetapkan oleh Residen. Kekuasaan mengadili dalam
pengadilan ini hanya terbatas pada wilayah daerah-daerah Kasunanan. Anggota
dan susunan personilnya ditetapkan oleh Residen setelah berkonsultasi dengan
Bupati setempat. Districtsgerecht hanya mempunyai kekuasaan mengadili perkara
antar orang pribumi untuk perkara pidana pelanggaran diancam hukuman denda
tiga gulden sedangkan untuk perkara perdata hanya mengadili gugatan senilai dua
puluh gulden. Upaya revisi putusan hukuman Districtsgerecht dapat naik banding
ke pengadilan Kabupaten atau Regentschapsgerecht setempat.158
6. Regentschapgerecht
Pengadilan ini merupakan pengadilan Kabupaten yang menangani masalah
pelanggran besar dan kecil yang dilakukan Kawula bertempat tinggal di luar Ibu
Kota Surakarta. Pengadilan ini didirikan bersamaan dengan pengadilan
Gubernemen pada tahun 1903 setelah reorganisasi peradilan yang dilakukan
Residen. Sistem pengadilan ini didasarkan pada hukum kolonial dan yang menjadi
hakimnya adalah seorang Patih dengan beberapa bawahannya yang diangkat oleh
Residen. Kekuasaan mengadili pengadilan regentschapsgerecht hanya pada
pelanggaran yang dilakukan Kawula yang berada di luar Ibu Kota Kasunanan
dengan ketentuan banding dari putusan dari Districgerecht yang ada di
158 Koerniatmo, op. cit., hal., 97.
99
lingkungan Kabupaten setempat. Perkara yang ditangani pengadilan
Regentschapsgerecht hanya gugatan yang bernilai f 50 dan upaya naik banding
dari hasil putusan pengadilan ini dapat diupayakan ke Landraad setempat.159
7. Raad Van Justitie
Pengadilan ini merupakan pengadilan tinggi pemerintah Hindia-Belanda.
Pengadilan ini sebagai bandingan seluruh putusan dari pengadilan di Kasunanan.
Adapun hakim yang mengadili dalam pengadilan ini berupa sebuah Majelis yang
terdiri atas seorang Ketua yang dijabat oleh seorang ahli hukum dengan dua orang
anggota kemuadian ditambah dengan seorang Panitera. Raad Van Justitie pada
hakekatnya merupakan pengadilan umum bagi orang Eropa, namun untuk semua
perkara Raad Van Justitie juga mengadili semua golongan penduduk. Perkara
perdata meliputi temuan barang di pantai dan di laut sedangkan perkara pidana
yang ditangani menyangkut masalah perdagangan budak, kejahatan, pembunuhan,
dan pembajakan. Raad Van Justitie merupakan pengadilan bandingan bagi semua
putusan hukuman pengadilan di Kasunanan apabila Keluarga raja dan Kawula
Sunan tidak puas dengan putusan pengadilan di Kasunanan terutama bandingan
dari Landraad Ibu Kota. Raad Van Justitie juga sebagai pengadilan tingkat
pertama dan terakhir untuk menyelesaikan sengketa kekuasaan peradilan
Swapraja dengan Peradilan Gubernemen. Putusan banding yang di tangani akan
diselesaikan Raad Van Justitie di Semarang.160
159 Ibid 160 Ibid, hal., 108
100
BAB V
KESIMPULAN
Sejak masa kerajaan Mataram telah diadakan pengadilan sebagai wujud
penerapan hukum oleh seorang Raja. Seorang Raja berkewajiban memelihara
ketertiban dan keamanan Kerajaan dan rakyatnya. Pada jaman Mataram
penerapan pengadilan dipimpin oleh Raja sendiri yang didasarkan pada hukum
Islam yang mengambil tempat persidangan di Serambi Masjid. Perkembangan
selanjutnya sejak masa Mataram di Kartasura sampai pindahnya Kraton ke
Surakarta telah terjadi perubahan peradilan. Kerajaan Kasunanan telah memiliki
sebuah lembaga pengadilan sebagai bentuk penerapan hukum bagi wilayahnya.
Salah satunya ialah pengadilan Pradata yang merupakan pengadilan tertinggi yang
menangani pelanggaran yang dilakukan Kawula di Kasunanan. Kewenangan
pengadilan Pradata menyelesaikan dan memutuskan perkara kriminal misalnya
pembunuhan. Pedoman yang digunakan adalah hukum Islam sebagai dasar hukum
dalam pengadilan Pradata. Pengadilan Pradata berkembang sebagai pengadilan
yang memutuskan perkara kejahatan terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwana
IV(1788-1820) di mana dibentuk prajurit-prajurit pelaksana hukuman diantaranya
Nirbaya, mertaulut, dan Singanagara. Prajurit tersebut bertugas melaksanakan
hukuman kisas atau hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan tersangka.
Susunan anggota dalam pengadilan Pradata ialah seorang Jaksa yang diangkat
oleh Sunan. Urusan pelanggaran di wilayah Kasunanan pada masa Pakubuwana
IV(1788-1820) ditangani oleh pengadilan Pradata. Peran pengadilan Pradata pada
pelaksanaan sidang dilakukan di Paseban Pradatan tepatnya di sebelah Alun-alun
101
Utara sebelah Masjid. Dalam pelaksanaan sidang pengadilan Pradata diadakan
pada hari Senin dan Kamis yang dihadiri oleh Sunan sebagai pengawas jalannya
sidang. Pemutusan hukuman dalam pengadilan Pradata baru dapat dilaksanakan
atas ijin Sunan.
Selanjutnya sejak diberlakukannya hukum kolonial pengadilan Pradata
mengalami perubahan-perubahan terutama dalam kekuasaan mengadili. Sistem
peradilan di Kasunanan banyak mengalami perubahan akibat penetrasi pengaruh
hukum kolonial Belanda yang sangat kuat. Hal tersebut terlihat pada masa
penerintahan Pakubuwana VII(1830-1858) dibentuk pengadilan di daerah-daerah
Kasunanan akibat ditanda tanganinya suatu perjanjian pada tahun 1847 antara
Sunan dengan pemerintah Belanda sebelum Sunan naik tahta. Dalam perjanjian
tersebut dinyatakan bahwa Sunan menyetujui perubahan peradilan yang akan
diketuai oleh pemerintah Belanda. Perjanjian tahun1847 tersebut membawa
dampak bagi pengadilan Pradata yang dibentuk di luar Ibu Kota Kasunanan. Hak
kekuasaan mengadili bagi pengadilan Pradata dibatasi sesuai dengan pelanggaran
yang dilakukan tersangka. Apabila pelanggaran dilakukan di dalam wilayah
Kasunanan maka yang berwenang ialah pengadilan Pradata di Kasunanan dan
apabila pelanggaran dilakukan di luar daerah maka yang berwenang ialah
pengadilan Pradata di daerah luar Ibu Kota. Pembentukan Pengadilan Pradata di
luar Ibu Kota Kasunanan antara lain di daerah Klaten, Ampel, Boyolali,
Kartasura, dan Sragen. Pengadilan daerah tersebut diberi otonomi oleh Sunan atas
saran Residen. Dibentuknya pengadilan di luar daerah tersebut bertujuan untuk
membatasi kekuasaan pengadilan di Pusat serta menjaga keamanan di daerah-
102
daerah. Dalam pelaksanan hukuman di pengadilan Pradata baru dapat
dilaksanakan setelah hasil pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Patih
sebagai ketua yang diserahkan kepada Sunan kemudian dikirim ke Residen.
Sebagai bentuk penerapan hukum kolonial mengenai soal waktu yang diberikan
dalam pengadilan Pradata dalam perkara pidana maupun perdata selama tiga kali
dua puluh empat jam. Pemberian hukuman mati baru dapat dilakukan setelah
mendapat persetujuan dari Residen.
Pengadilan Pradata hingga masa reorganisasi di mulai pada awal
pemerintahan Pakubuwana X(1893-1939) terjadi perubahan akibat pernyataan
dalam Veklaring yang dibuat oleh Pemerintah Belanda yang meminta agar Sunan
melakukan perubahan peradilan. Hal tersebut mengakibatkan pengadilan Pradata
kekuasaannya sangat dibatasi karena banyak didirikan lembaga peradilan sesudah
reorganisasi tahun 1901. Sebagai pelaksanaan reorganisasi mengenai tugas dan
wewenang pengadilan Pradata serta pengangkatan pegawai pengadilan ditetapkan
oleh Residen. Masa reorganisasi juga menetapkan pembagian pengadilan Pradata
antara lain Pengadilan Pradata Gedhe, Pradata Kadipaten, dan Pradata Kabupaten.
Pengadilan tersebut dibagi tugas dalam menangani masalah pelanggaran di Ibu
Kota Kasunanan dan pelanggaran di luar Ibu Kota. Reorganisasi tahun 1901 juga
menetapkan pembentukan kepolisian sebagai lembaga yang membantu
penanganan kasus dalam pengadilan Pradata. Pada tahun 1901 pengadilan Prdata
dapat menangani beberapa Kasus-kasus Kriminal yang sebagian besar terjadi di
wilayah pedesaan Surakarta. Kasus kriminal yang ditangani meliputi perampokan
dan pembunuhan yang dilakukan oleh kaum bandit. Setelah reorganisasi hukum
103
tahun 1903 pengadilan Pradata juga berhasil menangani pelanggaran di daerah
Enclave kasunanan yang meliputi perang desa di Imogiri dan atas saran Residen
daerah Enclave Kasunanan dijadikan wilayah hukum Surakarta.
Perkembangan selanjutnya sesudah reorganisasi peradilan tahun 1901
muncul beberapa lembaga pengadilan baru di wilayah Kasunanan dan pengadilan
lama hak mengadili sangat dibatasi oleh Residen. Hasil reorganisasi pengadilan
tersebut menetapkan pengadilan yang didirikan oleh Gubernemen antara lain
Landraad, Rol Polisi, Rad Agama serta pengadilan khusus bagi orang Eropa yaitu
Landsgerecht dan Raad Van Justitie. Penetapan pengadilan-pengadilan tersebut
dilakukan oleh Residen dengan pertimbangan dari pemerintah Belanda di pusat
yang berada di Batavia. Pengaruh reorganisasi peradilan bagi Kasunanan ialah
pembagian pengadilan bagi penduduk pribumi dengan penduduk Gubernemen
serta Orang Eropa. Apabila pelanggaran dilakukan oleh penduduk pribumi akan
ditangani oleh pengadilan Gubernemen yaitu Landraad. Kemudian pelanggaran
yang dilakukan oleh orang dari pihak Gubernemen akan ditangani oleh
Landsgerecht, sedangkan untuk pelanggaran yang dilakuakan oleh Orang Eropa
akan ditangani Raad Van Justitie yang berada di Semarang. Pengadilan Raad Van
Justitie juga merupakan pengadilan tertinggi Pemerintah Belanda yaitu sebagai
bandingan putusan perkara dari seluruh pengadilan di Surakarta.
104
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsip dan Dokumen Almanak Narpawandawa.1929. Surakarta: Sasana Pustaka. Rijksblaad Surakarta tahun 1930 No. 6 . Surakarta: Sasana Pustaka Rijksblaad Mangkunegaran tahun 1927 No. 22. Mangkunegaran: Reksa Pustaka. Stasblaad tahun 1847 No 30. Magkunegaran: Reksa Pustaka Surat keputusan Pengadilan dari Residen Surakarta j.w Killian Tahun 1927.
Mangkunegaran: Reksa Pustaka. Serat Angger Gunung. 1840. Mangkunegaran: Reksa Pustaka. Nawala Pradata Pakubuwana IV. 1818. Surakarta: Radya Pustaka. 2. Surat Kabar Darmokondo, 9 Februari 1900 Darmokondo, 9 Februari 1900 Darmokondo, 18 Februari 1901 Darmokondo, 23 Juli 1901
3. Buku-buku Azumardi. 1989. Perspektif Islam di Asia Tenggara. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. Black, James A dan Champion, Dean J. 1992. Metode dan Masalah Penelitian
Sosial. Bandung: PT ERESCO. Budiono Herususoto. 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT.
Harinindo. Burger. D. H. 1983. Perubahan-Perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Bhatara Aksara. Darori Amin. 2000. Islam Dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media.
105
Darsiti Soeratman. 1989. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta (1830-1939). Yogyakarta: Taman Siswa.
Dwi Ratna Nurhajrani. 1999. Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta. Jakarta:
C.V Ilham Bangun Karya. Dzamakshari Dhofier. 1992. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai. Jakarta: LP3ES. Geldren. 1994. Konsepsi Tentang Negara Dan Kedudukan Raja Di Asia
Tenggara.Jakarta: Rajawali Press. Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Pustaka Jaya. Gotschalk, louis. 1978. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press. Graaf. D dan Pigeaud. 1985. Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Pulau Jawa.
Jakarta: Grafiti Press. Karno. R. M. 1990. Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Pakubuwana X
(1893-1939). Jakarta: Yayasan Pembangunan Jakarta. Killian,H.D (terj). 1932. Geschiedenis van de Oorlog Op Java. Mangkunegaran:
Rekso Pustaka. Koentjaraningrat. 1954. Sejarah Kebudayaan Indonesia . Yogyakarta: Djembatan. Koerniatmanto. 1994. Pemerintahan dan Peradilan di Indonesia (Asal-usul dan
perkembangannya). Bandung: PT. Citra Aditya. Kuntowijoyo. 2006. Raja, Priyayi dan Kawula Surakarta 1900-1915. Yogyakarta:
Ombak. Larson G.D . 2006. Masa menjelang Revolusi, Kraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta.Yogyakarta: UGM Press. Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa Silang Budaya. Jakarta: Gramedia. Mariam Budiardjo. 1991. Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa.Jakarta:
Sinar Harapan. Mertokusumo. 1972. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di Indonesia.
Yogyakarta: UGM. Moedjanto. 1987. Perseliran Dalam Budaya Jawa.Yogyakarta: Lembaga
Javanologi.
106
Nugroho Notosusanto. 1978. Masalah Penelitian Sejarah, Suatu Pengalaman.
Jakarta: Yayasan Idayu. Onghokham. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta: Grafiti. Panitia satu windu Pangreh Praja. 1938. Pangreh Praja Bond. Surakarta: Budi
Utama. Paeira Mandalangi. 1955. Himpunan Peraturan Tata Hukum Indonesia Sebelum
dan Sesudah Proklamasi. Bandung: Tarsito. Purwadi. 2009. Sri Susuhunan Pakubuwana X Perjuangan, Jasa dan
Pengabdiannya Untuk Nusa dan Bangsa. Jakarta: Bangun Bangsa. Radjiman. 1984. Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat.
Surakarta: Toko Buku Krida.
Radjiman. 1988. Sejarah Surakarta II. Surakarta: Fakultas Sastra. Riyanto. 1966. Hukum dan Peradilan di Praja Kejawen. UNS: Fakultas Sastra. Riclefs. M.C. 1993. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: UGM. Roorda. T. 1844. Wetten de Nawala Pradata, de Angger Sadasa, de Angger
Ageng, de Angger Gunung, de Angger Aru Biru. Amsterdam: Muller. Rouffaer. 1931. Swapraja. Mangkunegaran: Rekso Pustoko. Sajuti Thalib. 1982. Receptio Contario ( Hubungan hukum adat dengan hukum
islam) . Jakarta: Bina Aksara. Sartono Kartodirdjo. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Departemen
Pendidikan dan Budaya . ________________. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari
Emperium sampai Imperium. Jakarta: Gramedia. ________________. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi
Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Schrieke. 1929. The Administrative System Of The Nederlands Indies.
Amsterdam: Tweede Gedeelte. Selo Soemardjan. 1999. Perubahan Sosial Di Yogyakarta. Yogyakarta: UGM
Press.
107
Soemarsaid Moertono.1985. Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa
Lampau (Studi tentang masa Mataram II Abad XVI sampai XIX). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soenarko. 1955. Susunan Negara Kita, Jilid III Tentang Sejarah dan
Pertumbuhan Daerah. Jakarta: Djambatan. Sudikno Mertokusumo. 1971. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangan di
Indonesia. Bandung: Kilatmadju. Suhartono. 1993. Apanage dan Bekel Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta
1830-1920. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. _____1993. Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa Studi Historis 1850-1942.
Yogyakarta: UGM Press. Sukamdi Sahid. 2004. Di Balik Suksesi Keraton Kasunanan. Jakarta: pt. aKsara
Grafika. Supariadi. 2001. Kyai dan Priyayi di Masa Transisi. Surakarta: Pustaka Cakra. Supomo. 1957. Sistem Hukum di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Supomo. 1965. Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II. Jakarta:
Prandjaparamita. Tresna. Mr. R. 1978. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Jakarta:Pradanya
Paramita. Wertheim. 1999. Masyarakat Indonesia Dalam Masa Transisi. Yogyakarta: Tiara
Wacana. William R. Roff. 1989. Islam di Asia Tenggara Abad ke-19, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia. Wolhorf. 1990. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta:
Timun Emas. Yahya Muhaimin. 1980. Beberapa Segi Birokrasi Di Indonesia. Jakarta: Prisma.