PERKEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL DAN PROSES PEMBELAJARAN
A. Pengertian Hubungan SosialSecara teoritis, hubungan sosial
ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian
berkembang ke lingkungan sekolah, dan dilanjutkan kepada lingkungan
yang lebih luas lagi yaitu tempat berkumpulnya teman sebaya. Namun
kenyataannya, yang sering terjadi adalah bahwa hubungan sosial anak
dimulai dari rumah, kemudian dilanjutkan dengan teman sebaya, baru
kemudian dengan teman-temannya di sekolah. Kesulitan hubungan
sosial dengan teman sebaya atau teman di sekolah sangat mungkin
terjadi manakala individu dibesarkan dalam suasana pola asuh orang
tua yang otoriter dalam keluarga. Penyebab kesulitan hubungan
sosial sebagai akibat dari pola asuh orang tua yang penuh dengan
unjuk kuasa ini adalah timbul dan berkembangnya perasaan takut yang
berlebihan pada anak sehingga tidak berani mengambil inisiatif
dalam berhubungan dengan orang lain, tidak berani mengambil
keputusan, dan tidak berani memutuskan pilihan teman yang dipandang
cocok.Situasi kehidupan dalam keluarga yang berupa pola asuh orang
tua pada umumnya masih dapat diperbaiki oleh orang tua itu sendiri,
tetapi situasi pergaulan dengan teman-teman sebayanya cenderung
sulit diperbaiki.Anak yang dibesarkan dalam lingkungan dengan pola
anak yang otoriter kemungkinan akan mengalami kesulitan dalam
mengadaptasi diri ke dalam setiap situasi yang dianggap akan
menimbulkan konflik pada dirinya. Ada dua kemungkinan kompensasi
negatif yang dapat muncul pada diri anak dalam mengolah konfliknya
itu, yaitu rasa rendah diri yang akan tetap melekat pada dirinya
atau anak berbuat berlebih-lebihan. Dengan demikian, tampak bahwa
keluarga merupakan peletak dasar hubungan sosial anak, dan yang
terpenting adalah pola asuh orang tua terhadap anak.B. Pengaruh
Hubungan Sosial terhadap Tingkah LakuHubungan sosial individu
dimulai sejak individu itu berada di lingkungan rumah bersama
keluarganya. Segera setelah lahir, hubungan bayi dengan orang di
sekitarnya, terutama ibu, memiliki arti yang sangat penting.
Hubungan ini paling dirasakan kehangatannya dan kemudian menjadi
pengalaman hubungan sosial yang amat mendalam adalah melalui
sentuhan ibu terhadap anak bayinya, terutama saat menetek. Bahkan
seorang ahli Psikoanalisis yang bernama Sigmund Freud menegaskan
bahwa sentuhan lembut seorang ibu, kehangatan dekapan gendongan
seorang ibu, dan bahan degupan jantung seorang ibu ketika menyusui
anak bayinya dirasakan oleh seorang bayi dalam alam psikologisnya
sebagai pernyataan kasih sayang, pengakuan, perasaan diterima, dan
perlindungan yang luar biasa yang memiliki pengaruh besar terhadap
perkembangan jiwa anak di kelak kemudian hari, termasuk kemampuan
hubungan sosialnya. Gangguan tingkah laku yang terjadi pada anak
yang selama hidupnya berada di rumah titipan atau yatim piatu,
merupakan contoh akibat kurangnya kebutuhan akan kasih sayang dan
sentuhan lembut seorang ibu. Pada mereka tidak ada kesempatan untuk
menikmati kasih sayang ayah atau ibunya sehingga dapat berpengaruh
terhadap perkembangan hubungan sosialnya.Perkembangan hubungan
sosial anak dimulai dari sejak bayi dan semakin berkembang ketika
anak mulai memasuki masa prasekolah, kira-kira umur 18 bulan. Pada
umur ini dimulai dengan tumbuhnya kesadaran diri atau yang dikenal
dengan kesadaran akan dirinya dan kepemilikannya. Pada umur ini
keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan semakin besar sehingga
tidak jarang menimbulkan masalah yang berkaitan dengan
kedisiplinan. Anak mulai berhadapan dengan orang-orang sekitarnya
yang mungkin menyetujui tetapi ada pula yang menghalangi
keinginannya. Pada masa ini sampai akhir masa sekolah ditandai
dengan meluasnya lingkungan sosial. Selain dengan anggota
keluarganya, anak juga mulai mendekatkan diri kepada orang-orang
lain di lingkungannya. Meluasnya lingkungan sosial anak itu
menyebabkan anak memperoleh pengaruh-pengaruh yang ada di luar
pengawasan orang tuannya. Anak sudah semakin luas bergaul dengan
teman-temannya serta berhubungan dengan guru-guru yang memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap proses hubungan sosial anak.
Dalam hubungan sosial pada masa ini anak melakukan proses
emansipasi dan sekaligus individualisasi. Dalam proses ini,
teman-teman sebayanya juga mempunyai peranan yang sangat penting
bagi mereka.Dalam konteks ini, Jean Piaget mengatakan bahwa
permulaan kerjasama dan konformisme sosial semakin bertambah pada
saat anak mencapai usia 7 sampai 10 tahun dan mencapai puncak kurva
pada saat anak berada di antara umur 9 sampai 15 tahun. Ini dapat
diartikan bahwa konformisme semakin bertambah dengan bertambahnya
usia sampai permulaan remaja dan setelah itu mengalami penurunan
kembali. Penurunan ini disebabkan pada masa remaja sudah semakin
berkembang keinginan mencari dan menemukan jati dirinya sehingga
konformisme semakin berbenturan dengan upaya mencapai kemandirian
atau individuasi.
C. Makna InteraksiThibaut dan Kelley (1979), yang merupakan
pakar dalam teori interaksi, mendefinisikan interaksi sebagai
peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau
lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain,
atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi, dalam setiap kasus
interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi
individu lain. Sebagai contoh, A bertemu dengan B di jalan,
kemudian ia menghentikan B dan mengajaknya ngobrol tentang cuaca,
mendengarkan kesulitan-kesulitan yang dialaminya, dan kemudian
mereka bertukar pendapat dengan caranya masing-masing. Chaplin
(1979) mendefiniskan bahwa interaksi merupakan hubungan sosial
antara beberapa individu yang bersifat alami di mana
individu-individu itu saling mempengaruhi satu sama lain secara
serempak.Adapun Homans mendefinisikan interaksi sebagai suatu
kejadian di mana suatu aktivitas atau sentimen yang dilakukan oleh
seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran (reward) atau
hukuman (punishment) dengan menggunakan suatu aktivitas atau
sentimen oleh individu lain yang menjadi pasangannya (Shaw, 1985:
71). Jadi, dalam konsep yang dikemukakan oleh Homans ini,
mengandung pengertian bahwa suatu tindakan oleh seseorang dalam
suatu interaksi merupakan suatu stimulus bagi tindakan individu
lain yang menjadi pasangannya. Sedangkan Shaw (1976:447)
mendefinisikan bahwa interaksi adalah suatu pertukaran antarpribadi
di mana masing-masing orang menunjukkan perilakunya sama lain dalam
kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku itu mempengaruhi satu
sama lain.Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi
mengandung pengertian hubungan timbal balik antara dua orang atau
lebih, dan masing-masing orang yang terlibat di dalamnya, memainkan
peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekadar terjadi
hubungan antara pihak-pihak yang terlibat melainkan terjadi saling
mempengaruhi.
D. Jenis-jenis InteraksiAda tiga jenis interaksi, yaitu:1.
Interaksi verbal2. Interaksi fisik3. Interaksi emosionalInteraksi
verbal adalah interaksi yang terjadi bila dua orang atau lebih
melakukan kontak satu sama lain dengan menggunakan alat-alat
artikulasi atau pembicaraan. Prosesnya terjadi dalam bentuk saling
bertukar percakapan satu sama lain.Interaksi fisik adalah interaksi
yang terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan
menggunakan bahasa-bahasa tubuh. Misalnya, ekspresi wajah, posisi
tubuh, gerak-gerik tubuh, dan kontak mata.Sedangkan yang dimaksud
interaksi emosional adalah interaksi yang terjadi manakala individu
melakukan kontak sama lain dengan melakukan curahan perasaan.
Misalnya, mengeluarkan air mata sebagai tanda sedih, haru, atau
bahkan terlalu bahagia.Selain tiga jenis interaksi di atas, jenis
interaksi dapat dibedakan berdasarkan banyaknya individu yang
terlibat dalam proses interaksi tersebut serta pola interaksi yang
terjadi. Atas dasar itu, maka ada dua jenis interaksi, yaitu:1.
Interaksi dyadic2. Interaksi tryadicInteraksi dyadic terjadi
manakala hanya ada dua orang yang terlibat di dalamnya atau lebih
dari dua orang tetapi arah interaksinya hanya terjadi dalam dua
arah. Contoh: interaksi antara percakapan dua orang lewat telepon,
interaksi antara guru-murid dalam kelas jika guru menggunakan
metode ceramah atau tanya jawab satu arah tanpa menciptakan dialog
antar murid.Interaksi tryadic terjadi manakala individu yang
terlibat di dalamnya lebih dari dua orang dan pola interaksi
menyebar ke semua individu yang terlibat. Misalnya, interaksi
antara ayah, ibu, dan anak jika interaksinya terjadi pada mereka
semuanya.
E. Pola Interaksi Remaja-Orang TuaSesuai dengan tahapan
perkembangannya, interaksi remaja dengan orang tua memiliki
kekhasan tersendiri. Jersild, Brook, dan Brook (1998) mengatakan
bahwa interaksi antara remaja dengan orang tua dapat digambarkan
sebagai three-act-drama (drama-tiga-tindakan).Drama tindakan
pertama (the first act drama), interaksi remaja dengan orang tua
berlangsung sebagaimana yang terjadi pada interaksi antara masa
anak-anak dengan orang tua; mereka memiliki ketergantungan kepada
orang tua dan masih sangat dipengaruhi oleh orang tua. Namun,
remaja sudah mulai semakin menyadari keberadaan dirinya sebagai
pribadi daripada masa-masa sebelumnya.Drama tindakan kedua (the
second act drama), dapat disebut juga dengan istilah perjuangan
untuk emansipasi. Pada masa ini, remaja juga memiliki perjuangan
yang kuat untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan dengan
orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak dalam rangka berusaha
mencapai status dewasa. Dengan demikian, remaja dalam interaksinya
dengan orang tua sudah mulai berusaha untuk meninggalkan kemanjaan
dirinya dengan orang tua dan sudah semakin bertanggungjawab
terhadap dirinya sendiri. Akibatnya, mereka seringkali mengalami
pergolakan dan konflik dalam interaksinya dengan orang tua.Drama
tindakan ketiga (the third act drama), remaja sudah berusaha untuk
dapat menempatkan dirinya untuk berteman dengan orang dewasa dan
berinteraksi secara lancar dengan mereka. namun, usaha remaja ini
seringkali masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh
dari orang tua yang sebenarnya masih belum bisa melepas anak
remajanya secara penuh. Sehingga, remaja seringkali menentang
gagasan-gagasan dan sikap orang tuanya.Dalam konteks interaksi
remaja-orang tua ini, Fontana (1981) menambahkan adanya aspek
obyektif dan subyektif dalam interaksi antara remaja dengan orang
tua. Aspek obyektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang
terjadi pada saat interaksi antara remaja dan orang tua
berlangsung. Sedangkan aspek subyektif adalah keadaan nyata yang
dipersepsi oleh remaja pada saat interaksi berlangsung. Tidak
jarang terjadi remaja cenderung menggunakan aspek subyektif dalam
berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya, orang tua yang
bertindak agak keras terhadap remaja karena merasa khawatir dan
cemas terhadap anak remajanya justru dipersepsi oleh remaja itu
sebagai memarahinya. Padahal sesungguhnya orang tua itu bermaksud
untuk melindunginya. Atas dasar aspek subyektif yang seringkali
digunakan oleh remaja dalam berinteraksi dengan orang tuanya, maka
pemahaman terhadap interaksi remaja perlu memperhatikan bagaimana
persepsi remaja tentang interaksinya dengan orang lain, dan bukan
semata-mata interaksi nyata (real interaction).Jadi, yang dimaksud
dengan interaksi remaja-orang tua adalah hubungan timbal balik
secara aktif antara remaja dengan orang tuanya yang terwujud dalam
kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengembangkan
potensi dirinya.
F. Persepsi tentang Interaksi Remaja-Orang TuaBerkaitan dengan
kualitas interaksi remaja-orang tua, dapat dikemukakan konsep yang
di dalamnya meliputi sejumlah aspek dan masing-masing aspek
mengandung sejumlah indikator, yaitu:1. Persepsi remaja mengenai
partisipasi dan keterlibatan dirinya dalam keluarga. Aspek ini
mengandung indikator-indikator sebagai berikut:a. Persepsi remaja
mengenai sikap saling menghargai di antara para anggota keluarga.b.
Persepsi remaja mengenai keterlibatan dirinya dalam membicarakan
dan memecahkan masalah yang dihadapi keluarga.
2. Persepsi remaja mengenai keterbukaan sikap orang tua. Aspek
ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut:a. Persepsi
remaja mengenai toleransi orang tua terhadap perbedaan pendapat.b.
Persepsi remaja mengenai kemampuan orang tua untuk memberikan
alasan yang masuk akal terhadap suatu perbuatan atau keputusan yang
diambil.c. Persepsi remaja mengenai keterbukaan orang tua terhadap
minat yang luas.d. Persepsi remaja mengenai upaya orang tua untuk
mengembangkan komitmen terhadap tugas.e. Persepsi remaja mengenai
kehadiran orang tua di rumah dan keakraban hubungan antara orang
tua dengan remaja.
3. Persepsi remaja mengenai kebebasan dirinya untuk melakukan
eksplorasi lingkungan. Aspek ini mengandung indikator-indikator
sebagai berikut:a. Persepsi mengenai dorongan orang tua untuk
mengembangkan rasa ingin tahu yang lebih besar.b. Persepsi remaja
mengenai perasaan aman dan bebas yang diberikan oleh orang tua
untuk mengadakan eksplorasi dalam rangka mengungkapkan pikiran dan
perasaannya.c. Persepsi remaja bahwa dalam keluarga terdapat aturan
yang harus ditaati, tetapi tidak cenderung mengancam.
G. Karakteristik Perkembangan Hubungan Sosial Subjek DidikAda
sejumlah karakteristik menonjol dari perkembangan sosial remaja
sebagai subjek didik, yaitu:1. Berkembangnya kesadaran akan
kesunyian dan dorongan akan pergaulan.Masa remaja bisa disebut
sebagai masa sosial karena sepanjang masa remaja, hubungan
sosialnya semakin tampak jelas dan sangat dominan. Kesadaran akan
kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari hubungan dengan orang
lain atau berusaha mencari pergaulan.2. Adanya upaya memilih
nilai-nilai sosial. Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja
ketika berhadapan dengan nilai-nilai sosial tertentu, yaitu
menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada
pendiriannya dengan segala akibatnya. Ini berarti bahwa reaksinya
terhadap keadaan tertentu akan berlangsung menurut norma-norma
tertentu pula. Bagi remaja yang idealis dan mimiliki kepercayaan
penuh akan cita-citanya, menuntut norma-norma sosial yang ideal
meskipun segala sesuatu yang telah dicobanya gagal. Sebaliknya,
bagi remaja yang bersikap pasif terhadap keadaan yang dihadapi akan
cenderung menyerah atau bahkan apatis. Namun, kemungkinan ada juga
seseorang remaja tidak akan menuntut norma-norma sosial yang
sedemikian ideal, tetapi tidak pula menolak seluruhnya.3.
Meningkatnya kesadaran akan lawan jenis. Remaja sangat sadar akan
dirinya sendiri dan tentang bagaimana pandangan lawan jenis
mengenai dirinya. Dalam konteks ini, Bischof (1983) bahkan
menegaskan bahwa: The social interest of adolescent are essentially
sex social interest. Oleh sebab itu, masa remaja seringkali disebut
juga sebagai masa biseksual. Meskipun kesadaran akan lawan jenis
ini berhubungan dengan perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya
yang berkembang secara dominan bukanlah kesadaran akan jasmaniah
yang berlainan melainkan tumbuhnya ketertarikan terhadap jenis
kelamin yang lain. Hubungan sosial yang tidak terlalu menghiraukan
perbedaan jenis kelamin pada masa-masa sebelumnya, kini beralih ke
arah hubungan sosial yang dihiasi dengan perhatian terhadap lawan
jenisnya. Sampai-sampai ada yang mengistilahkan bahwa dunia remaja
telah menjadi dunia erotis. Keinginan untuk membangun hubungan
sosial dengan jenis kelamin lain dapat pula dipandang sebagai
sesuatu yang berpangkal pada kesadaran akan kensunyian.4. Mulai
tampak kecenderungan mereka untuk memilih karir tertentu.
Karakteristik berikutnya adalah bahwa ketika sudah memasuki masa
remaja akhir, mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karir
tertentu, meskipun dalam pemilihan karir tersebut masih mengalami
kesulitan. Ini wajar karena pada orang dewasa pun kerap kali masih
terjadi perubahan orientasi karir dan kembali berusaha menyesuaikan
diri dengan karir barunya itu.
H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Hubungan Sosial
Subjek DidikProses sosialisasi individu terjadi di tiga lingkungan
utama, yaitu: lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Berikut
ini didiskusikan pengaruh lingkungan keluarga, sekolah, dan
masyarakat terhadap perkembangan sosial.1. Lingkungan KeluargaAda
sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh
anak dalam proses perkembangan sosialnya, yaitu kebutuhan akan rasa
aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan
diri. Rasa aman meliputi perasaan aman secara material dan secara
mental. Perasaan aman secara material berarti pemenuhan oleh orang
tua tentang pakaian, makanan, mainan, dan sarana lain yang
diperlukan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada di luar
kemampuan orang tua. Sedangkan perasaan aman secara mental berarti
pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional, menjauhkan
ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang
dihadapi, dan memberikan bantuan untuk kestabilan emosionalnya.
Manusia normal, baik anak maupun orang dewasa, senantiasa
membutuhkan penghargaan atau merasa dihargai oleh orang lain. Oleh
karena itu, mempermalukan anak di depan orang banyak merupakan
pukulan jiwa yang sangat berat dan dapat berakibat buruk bagi
perkembangan hubungan sosial anak. Beberapa aspek psikologis anak
dapat terhambat atau bahkan tertekan, misalnya saja kemampuan dan
kreativitasnya, sehingga mengakibatkan anak menjadi banyak berdiam
diri. Sikap seperti ini muncul karena merasa bahwa sesuatu yang
akan dikemukakannya tidak akan mungkin mendapat sambutan atau
bahkan akan dipermalukan. Sebaliknya, memberikan pujian kepada anak
secara tepat adalah sangat baik. Cara ini akan dapat membesarkan
hati dan menimbulkan perasaan disayang pada diri anak yang
dinyatakan secara menyenangkan oleh orang tua. Dengan kata lain,
yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam perkembangan hubungan
sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Apa
sesungguhnya yang dimaksud dengan iklim kehidupan keluarga itu? Jay
Kesler (1978:47) mendefinisikan iklim kehidupan keluarga sebagai:
The set internal characteristics that distinguishes one family from
another and influences the behavior of people in it is called
family climate ... climate is determined importantly by conduct,
attitudes, and expectations of other persons.Jadi, iklim kehidupan
keluarga itu mengandung tiga unsur:a. Karakteristik khas internal
keluarga yang berbeda dari keluarga lainnya.b. Karakteristik khas
itu dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga itu
(termasuk remajanya).c. Unsur kepemimpinan dan keteladanan kepala
keluarga, sikap, dan harapan individu dalam keluarga
tersebut.Karena remaja hidup dalam suatu kelompok individu yang
disebut keluarga, maka salah satu aspek penting yang dapat
mempengaruhi kemampuan hubungan sosial remaja adalah interaksi
antaranggota keluarga. Harmonis-tidaknya dan intensif-tidaknya
interaksi antaranggota keluarga akan mempengaruhi perkembangan
hubungan sosial remaja yang ada di dalam keluarga itu. Gardner
(1983) dalam penelitiannya menemukan bahwa interaksi antaranggota
keluarga yang tidak harmonis merupakan korelasi faktor yang
potensial menjadi penghambat perkembangan hubungan sosial remaja.
Pemimpin redaksi News and World Report dalam laporannya menyatakan
secara tegas bahwa TV dalam keluarga merupakan variabel yang amat
kuat pengaruhnya terhadap perkembangan hubungan sosial remaja;
termasuk timbulnya perilaku nakal. Sebab, di Amerika para remaja
pada usia 18 tahun telah menyaksikan 200.000 adegan kekerasan di
layar TV. Dalam The Moral Life of Children ditegaskan bahwa selain
acara-acara kekerasan di TV, situasi keluarga merupakan faktor
utama yang menyebabkan perilaku nakal remaja. Mengapa demikian?
Albert Bandura dalam The Social Theory menjelaskan bahwa suatu
rangsangan itu dipersepsi oleh individu kemudian diberi makna
berdasarkan struktur kognitif yang telah dimiliki. Jika cocok, maka
rangsangan itu dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang
secara kuat memberikan bobot kepada perilaku individu. Oleh sebab
itu, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk berperilaku. Teori
Bandura ini berlaku juga bagi persepsi remaja terhadap kehidupan
dalam keluarganya yang kemudian mempengaruhi perkembangan hubungan
sosialnya.Karena remaja juga tengah berada pada fase krisis
identitas atau ketidak-tentuan, maka mereka amat memerlukan teladan
tentang norma-norma yang mapan untuk diidentifikasikannya.
Perwujudan norma-norma yang mantap itu tentunya menuntut orang tua
sebagai pelopor norma. Dengan demikian, faktor keteladanan dari
sosok pribadi orang tua menjadi amat penting bagi perwujudan
variasi perkembangan sosial remaja pada keluarga yang bersangkutan.
Remaja seringkali menjadi runyam hubungan sosialnya manakala orang
tua dan orang dewasa sendiri mulai mendua dan mulai menyuguhkan
ukuran ganda; yakni di satu sisi kesalihan dianjur-anjurkan, tetapi
di belakang layar orang tua dan orang dewasa melanggarnya. Masalah
remaja lantas memperoleh dramatisasi justru karena orang tua
sendiri cemas melihat dunianya sendiri digerogoti kemerosotan. Oleh
sebab itu, remaja sangat memerlukan keteladanan dari orang tua dan
orang dewasa lainnya. Pentingnya faktor keteladanan ini dikuatkan
oleh Fawzia aswin Hadis (1991) dan Soetjipto Wirosardjono (1991)
bahwa orang tua harus dapat menjadi panutan dan jangan menerapkan
orientasi parent-oriented, yakni orang tua serba benar, memiliki
privellege, dan menekankan otoritas.
2. Lingkungan SekolahAda empat tahap proses pengembangan
hubungan sosial yang harus dilalui oleh anak, yaitu: a. Anak
dituntut agar tidak merugikan orang lain, menghargai, dan
menghormati hak orang lain.b. Anak dituntut untuk mentaati
peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok.c. Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan
interaksi sosial berdasarkan azas saling memberi dan menerima.d.
Anak dituntut untuk bisa saling memberi dan menerima dengan orang
lain.Keempat tahap proses pengembangan hubungan sosial ini
berlangsung dari proses yang sederhana ke proses yang semakin
kompleks dan semakin menuntut penguasaan sistem respons yang
kompleks pula. Selama proses ini sangat mungkin terjadi anak
menghadapi konflik yang dapat berakibat pada terhambatnya
perkembangan hubungan sosial mereka.Sebagaimana dalam lingkungan
keluarga, maka lingkungan sekolah juga dituntut mampu menciptakan
iklim kehidupan sekolah yang kondusif bagi perkembangan sosial
remaja. Sekolah merupakan salah satu lingkungan di mana remaja
hidup dalam kesehariannya. Sebagaimana dalam keluarga, sekolah juga
memiliki potensi untuk memudahkan atau menghambat perkembangan
hubungan sosial remaja. Lingkungan sekolah yang kurang positif
iklim kehidupannya dapat menciptakan hambatan-hambatan bagi
perkembangan hubungan sosial remaja. Sebaliknya, sekolah yang iklim
kehidupannya bagus dapat memperlancar atau bahkan memacu
perkembangan hubungan sosial remaja.Kondusif tidaknya iklim
kehidupan sekolah bagi perkembangan hubungan sosial remaja itu
tersimpul dalam interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan
siswa, keteladanan perilaku guru, dan etos kepakaran atau kualitas
guru yang ditampilkan dalam melaksanakan tugas profesionalnya
sehingga dapat menjadi model bagi siswanya yang sedang berada masa
remaja. Hadir atau tidaknya faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi perkembangan hubungan sosial remaja, meskipun disadari
pula bahwa sekolah bukanlah satu-satunya faktor penentu
perkembangan hubungan sosial remaja.
3. Lingkungan MasyarakatSalah satu masalah yang dialami oleh
remaja dalam proses perkembangan hubungan sosialnya adalah bahwa
tidak jarang masyarakat bersikap tidak konsisten terhadap remaja.
Di satu sisi remaja dianggap sudah besar, tetapi kenyataannya di
sisi lain mereka tidak diberikan kesempatan atau peran sebagaimana
orang yang sudah dewasa.Sebagaimana dalam lingkungan keluarga dan
sekolah, maka iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif juga
sangat diharapkan kemunculannya bagi perkembangan hubungan sosial
remaja. Remaja tengah mengarungi perjalanan masa mencari jati diri
sehingga faktor keteladanan dan kekonsistenan sistem nilai dan
norma dalam masyarakat juga menjadi sesuatu yang amat penting. Masa
remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan arah kehidupan
yang jelas dan kokoh sehingga seringkali penuh kesulitan. Namun
demikian, masa yang sulit ini akan menjadi bertambah sulit oleh
adanya kontradiksi-kontradiksi dalam masyarakat. Justru dalam
periode remaja yang sedang mencari identitas dan penuh kesulitan
ini diperlukan norma dan pegangan yang jelas dan sederhana.
Kurangnya keteladanan sebagai faktor yang mempengaruhi perkembangan
hubungan sosial remaja itu diperkuat oleh pendapat Soetjipto
Wirosardjono (1991) yang mengatakan bahwa: Bentuk-bentuk perilaku
sosial itu merupakan hasil tiruan dan adaptasi dari pengaruh
kenyataan sosial yang ada. Kebudayaan kita menyimpan potensi
melegitimasi anggota masyarakat untuk menampilkan perilaku sosial
yang kurang baik dengan berbagai dalih, yang syah maupun yang tak
terelakkan. Dengan demikian, iklim kehidupan masyarakat memberikan
sumbangan penting bagi variasi perkembangan hubungan sosial remaja.
Apalagi, remaja senantiasa ingin selalu seiring sejalan dengan
trend yang sedang berkembang dalam masyarakat agar tetap selalu
merasa dipandang trendy.
I. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Hubungan SosialMasa
kanak-kanak merupakan masa mempelajari berbagai sikap dasar
hubungan sosial. Sikap ini bisa berubah dan bahkan berkembang di
kemudian hari sebagai hasil dari bertambahnya pengalaman. Pada masa
kanak-kanak, sikap-sikap dasar hubungan sosial tersebut masih
sangat minim. Tetapi setelah anak mencapai umur sekitar 13 tahun
dan mulai meluaskan daerah sosialisasinya ke dalam masyarakat, maka
sikap dasar hubungan sosialnya menjadi semakin lenyap yang
diperolehnya dari lingkungan pergaulannya, antara lain: pergaulan
dengan sebaya, guru, dan orang dewasa lainnya. Dengan semakin
lengkapnya sikap dasar hubungan sosial ini anak menjadi semakin
tahu tentang apa yang sebaliknya dilakukan dan apa yang sebaliknya
dihindari.Perbedaan lingkungan dapat mempengaruhi perbedaan sikap
dasar hubungan sosial remaja. Secara psikologi, sikap ini dapat
dipelajari melalui tiga cara, yaitu:1. Meniru orang yang lebih
berprestasi dalam bidang tertentu.2. Mengkombinasikan pengalaman.3.
Menghayati pengalaman emosional khusus secara mendalam.
J. Proses Pembelajaran untuk Membantu Perkembangan Hubungan
Sosial Subjek Didik.Masa remaja merupakan fase yang sangat
potensial bagi tumbuh dan berkembangnya aspek fisik maupun psikis,
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Remaja menganggap
dirinya sudah bukan anak-anak lagi, tetapi orang-orang di
sekelilingnya masih menganggap mereka belum dewasa. Seringkali
remaja ingin bertindak sebagaimana orang dewasa, tetapi perilaku
mereka seringkali masih bersifat impulsif dan belum menunjukkan
kedewasaan. Karena dorongan yang kuat ingin menemukan dan
menunjukkan jati-dirinya, remaja seringkali berusaha ingin
melepaskan diri dari orang tuanya dan mengarahkan perhatiannya
kepada lingkungan di luar keluargannya sehingga cenderung lebih
senang bergabung dengan teman sebaya.Dalam kegiatan mencari jati
diri melalui upaya bergabung dengan lingkungannya itu, remaja
cenderung berupaya menemukan tokoh identifikasi dari lingkungan
jenis kelamin yang sama tetapi yang memiliki usia sedikit lebih
tua. Jika telah menemukan tokoh identifikasinya, maka tokoh ini
cenderung lebih diikutinya dan bahkan lebih sering dituruti
nasihatnya daripada orang tuanya. Kelompok teman sebaya memegang
peranan penting dalam kehidupan remaja. Remaja sangat ingin
diterima dan dipandang sebagai anggota kelompok teman sebaya, baik
di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, mereka cenderung
bertingkah laku seperti tingkah laku kelompok teman sebayanya.
Remaja akan merasa sangat menderita manakala suatu saat tidak
diterima atau bahkan diasingkan oleh kelompok teman sebayanya.
Penderitaannya akan lebih mendalam daripada tidak diterima oleh
keluarganya sendiri. Kohesivitas kelompok sangat kuat dan toleransi
antar anggota kelompok sangat tinggi. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan manakala suatu saat salah seorang anggota kelompoknya
terluka oleh kelompok lain, maka demi solidaritas dan kohesivitas
kelompoknya itu mereka dengan tegar membelanya. Di sinilah tawuran
antar pelajar seringkali terjadi, yang seringkali hanya disebabkan
oleh upaya mewujudkan kohesivitas dan toleransi terhadap anggota
kelompoknya yang terluka tersebut.Melihat masa remaja sangat
potensial dan potensi itu dapat saja berkembang ke arah positif
maupun negatif, maka sudah barang tentu intervensi edukatif dalam
bentuk pendidikan, bimbingan, maupun pendampingan sangat diperlukan
untuk mengarahkan perkembangan potensi remaja tersebut agar
berkembang ke arah yang positif dan produktif. Intervensi edukatif
ini harus sejalan dan seimbang, baik dari pihak keluarga/orang tua,
sekolah, maupun masyarakat. Kerjasama yang baik antara ketiga
komponen ini harus dijalin sebaik-baiknya agar secara simultan
dapat mencegah remaja berkembang ke arah negatif dan mendorong
remaja berkembang ke arah yang positif dan produktif.Melakukan
intervensi pendidikan terhadap remaja di zaman modern sekarang ini
jauh lebih sulit dibandingkan zaman dahulu. Ini disebabkan situasi
kehidupan dewasa ini sudah semakin kompleks. Kompleksitas kehidupan
itu, yang pada saat sekarang seolah-olah telah menjadi bagian yang
mapan dari kehidupan masyarakat, sebagaimana demi sebagian akan
bergeser atau bahkan mungkin hilang sama sekali karena digantikan
oleh pola kehidupan baru pada masa mendatang yang diprakirakan akan
semakin lebih kompleks.Kecenderungan yang muncul di permukaan
dewasa ini, ditunjang oleh laju perkembangan teknologi dan arus
gelombang kehidupan global yang sulit atau tidak mungkin untuk
dibendung, mengisyaratkan bahwa kehidupan masa mendatang akan
menjadi sarat pilihan yang rumit. Ini mengisyaratkan pula bahwa
manusia akan semakin didesak ke arah kehidupan yang amat
kompetitif. Andersen (1993:718) memprediksikan situasi kehidupan
semacam itu dapat menyebabkan manusia menjadi serba bingung atau
bahkan larut ke dalam situasi baru itu tanpa dapat menyeleksi lagi
jika tidak memiliki ketahanan hidup yang memadai karena tata-nilai
lama yang telah mapan ditantang oleh nilai-nilai baru yang belum
banyak dipahami.Situasi kehidupan semacam itu memiliki pengaruh
kuat terhadap dinamika kehidupan remaja, apalagi remaja, secara
psikologis, tengah berada pada masa topan dan badai dan tengah
mencari jati diri. Pengaruh kompleksitas kehidupan dewasa ini sudah
tampak pada berbagai fenomena remaja yang perlu memperoleh
perhatian pendidikan. Fenomena yang tampak akhir-akhir ini antara
lain perkelahian antarpelajar, penyalagunaan obat dan alkohol,
reaksi emosional yang berlebihan, dan berbagai perilaku yang
mengarah pada tindak kriminal.Dalam konteks proses belajar, gejala
negatif yang tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang
berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi,
kebiasaaan belajar yang kurang baik yakni tidak tahan lama dan baru
belajar setelah menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari
kebocoran soal ujian.Problem remaja di atas, yang merupakan
perilaku-perilaku reaktif, semakin meresahkan jika dikaitkan dengan
situasi masa depan remaja yang diprakirakan akan semakin kompleks
dan penuh tantangan itu. Menurut Tilaar (1987:2), tantangan
kompelksitas masa depan itu memberikan dua alternatif; pasrah
kepada nasib atau mempersiapkan diri sebaik mungkin. Misi
pendidikan yang juga berdimensi masa depan tentunya menjatuhkan
pilihannya pada alternatif kedua. Artinya, pendidikan mengemban
tugas untuk mempersiapkan remaja bagi peranannya di masa depan agar
kelak menjadi manusia berkualitas dan memiliki kemampuan hubungan
sosial yang baik sehingga tidak menjadi manusia yang meresahkan
kondisi sosial masyarakat atau senantiasa menjadi sasaran
nasihat.Pentingnya ikhtiar mempersiapkan remaja bagi masa depannya
itu, di samping mereka tengah mencari jati diri, karena mereka juga
tengah berada pada tahap perkembangan yang amat potensial.
Perkembangan kognitifnya, menurut teori perkembangan kognitif dari
Piaget, telah mencapai tahap puncak perkembangan kognitif, yakni
masa munculnya kemampuan berpikir sistematis dalam menghadapi
persoalan-persoalan abstrak dan hipotesis karena telah mencapai
tahap operasional formal. Perkembangan moralnya tengah berada pada
tingkatan konvensional: suatu tingkatan yang ditandai dengan adanya
kecenderungan tumbuhnya kesadaran bahwa norma-norma yang ada dalam
masyarakat perlu dijadikan acuan dalam hidupnya, menyadari
kewajibannya melaksanakan norma-norma itu, dan mempertahankan
perlunya ada norma. Perkembangan fisiknya juga tengah berada pada
masa perkembangan fisik yang amat pesat.Melihat potensi remaja itu,
menjadi sangat penting dan amat menguntungkan manakala ikhtiar
pengembangannya difokuskan pada aspek-aspek positif remaja itu
daripada lebih menyoroti sisi negatifnya. Sebab, meskipun ada
remaja yang menunjukkan perilaku negatif, sebenarnya hanya sebagian
kecil saja dari sekian banyaknya remaja yang ada: hanya kurang dari
1% dari jumlah remaja Indonesia.Kegamangan terhadap nilai-nilai
yang ditawarkan oleh kebudayaan modern akan menimbulkan kelompok
remaja haus akan perlindungan mental emosional. Ini memberikan
implikasi imperatif akan perlunya pendampingan dalam memilah dan
memilih nilai yang akan dijadikan pegangan hidupnya. Jika tidak,
sangat boleh jadi pada suatu saat remaja jatuh ke dalam kegiatan
yang negatif seperti narkoba, minuman keras, penyalahgunaan obat,
dan sejenisnya yang dianggapnya yang membebaskan dirinya dari
kebingungan, kegamangan, serta ketegangan jiwanya.Dorongan yang
kuat pada remaja untuk melepaskan diri dari orang tua dan ditunjang
oleh hohesivitas dan solidaritas yang kuat terhadap kelompok teman
sebayanya, seringkali remaja membentuk apa yang dikenal dengan
istilah gang. Mereka beranggapan bahwa dengan membentuk dan masuk
sebagai anggota gang akan merasa kuat dan merasa aman karena
anggota gang-nya pasti akan melindungi dan membela dirinya manakala
menghadapi sesuatu yang membahayakan dirinya. Akibatnya, dengan
terbentuknya gang dan telah diakuinya sebagai anggota gang mereka
menjadi lebih berani mengambil risiko karena didorong adanya
kebutuhan untuk diakui dan dikagumi. Dorongan seperti ini jika
tidak dibarengi dengan pembimbingan dikhawatirkan dapat mengarahkan
remaja kepada pengembangan hubungan sosial yang negatif.Sebagaimana
telah ditekankan terdahulu bahwa yang lebih penting bagi orang tua
maupun pendidik lainnya adalah harus lebih sanggup melihat potensi
dan segi-segi positif lain pada remaja. Sebab, segi-segi negatif
itu sebenarnya hanya merupakan suatu outgrowth atau suatu akibat
wajar dari masa pertumbuhan dan perkembangan yang sedemikian
pesatnya sehingga mereka sendiri kurang mampu mengendalikannya,
padahal sesungguhnya dalam hati kecil mereka sendiri tidak
menghendakinya.Orang tua hendaknya mengakui kedewasaan remaja
dengan jalan memberikan kebebasan terbimbing untuk mengambil
keputusan dan tanggung jawab sendiri. Dalam masalah seks, misalnya,
orang tua harus mengemukakan secara hati-hati dan menjaga
kerahasiaan remaja (confidential).Iklim kehidupan keluarga yang
memberikan kesempatan secara maksimal terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak akan dapat membantu anak memiliki kebebasan
psikologis untuk mengungkapkan perasaannya. Dengan cara demikian,
remaja akan senantiasa merasa bahwa dirinya dihargai oleh orang tua
dan anggota keluarga lainnya. Dalam lingkungan keluarga harga diri
remaja akan berkembang dengan baik karena merasa dihargai,
diterima, dicintai dan dihormati sebagai manusia. Kondisi seperti
ini akan sangat bagus bagi berkembangnya kemampuan hubungan sosial
remaja.Dalam konteks pembimbingan orang tua terhadap remaja, ada
tiga jenis pola asuh yang diterapkan oleh orang tua, yaitu:1. Pola
asuh bina kasih (induction)2. Pola asuh unjuk kuasa (power
assertion)3. Pola asuh lepas kasih (love withdrawal) Pola asuh bina
kasih adalah perlakukan yang diterapkan orang tua dalam mendidik
anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal
terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil bagi anaknya.
Pola asuh otoriter adalah perlakuan yang diterapkan orang tua dalam
mendidik anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk
dipatuhi oleh anak meskipun sebenarnya anak tidak dapat
menerimanya. Adapun pola asuh permisif adalah perlakuan yang
diterapkan orang tua dalam mendidik anaknya dengan membiarkan anak
tidak menjalankan apa yang dikehendaki orang tuanya.Dalam konteks
pengembangan kepribadian remaja, termasuk di dalamnya pengembangan
hubungan sosial, pola asuh yang disarankan untuk diterapkan adalah
pola asuh bina kasih (induction). Artinya, setiap keputusan yang
diambil oleh orang tua tentang anak remajanya atau setiap perlakuan
yang diberikan orang tua terhadap anak remajanya harus senantiasa
disertai dengan penjelasan atau alasan yang rasional. Dengan cara
demikian, remaja akan dapat mengembangkan pemikirannya untuk
kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak terhadap
keputusan atau perlakuan orang tuanya. Pola asuh ini disarankan
karena perkembangan kognitif remaja sudah mencapai tahap
operasional formal sehingga sudah mampu untuk mencerna secara logis
dan rasional tentang perlakuan yang diterapkan oleh orang tuanya.
Namun demikian, bukan berarti bahwa bina kasih ini merupakan
satu-satunya pola asuh yang harus diterapkan oleh orang tua.
Variasi pola asuh yang diterapkan secara tepat tentunya juga
penting untuk diperhatikan dalam penerapannya.Lingkungan pendidikan
berikutnya, setelah keluarga, adalah sekolah. Sekolah sebagai
lembaga formal yang diserahi tugas untuk menyelenggarakan
pendidikan tentunya tidak kecil peranannya dalam rangka membantu
perkembangan hubungan sosial remaja. Dalam konteks ini guru harus
mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis.
Jika guru tetap berpendirian bahwa dirinya sebagai tokoh
intelektual dan tokoh otoritas yang memegang kekuasaan penuh, maka
perkembangan hubungan sosial remaja akan terganggu. Sebab, remaja
sudah bukan anak-anak lagi yang senantiasa memiliki sikap mengagumi
gurunya sebagai tokoh yang harus dipatuhi melebihi siapapun. Untuk
itu, guru harus mampu mengembangkan perannya selain sebagai guru
juga sebagai pemimpin yang demokratis atau bahkan suatu saat
berperan semacam teman sebaya remaja yang dapat dijadikan tempat
pertukaran pikiran, meminta pertimbangan, dan mencurahkan segala
permasalahan yang dialami. Dengan cara demikian, akan sangat
membantu perkembangan hubungan sosial remaja secara maksimal.Untuk
dapat membantu perkembangan subjek didik secara maksimal, termasuk
di dalamnya perkembangan hubungan sosial, Standar Nasional
Pendidikan (2005) menuntut empat kompetensi yang seharusnya
dipenuhi oleh seorang guru, yaitu:1. Kompetensi kepribadian
(termasuk di dalamnya moral dan religius)2. Kompetensi pedagogis3.
Kompetensi sosial4. Kompetensi profesionalKompetensi pribadi,
sosial moral, dan religius merupakan kompetensi yang sangat penting
untuk membantu perkembangan hubungan sosial remaja di sekolah.
Dengan kompetensi pribadi mengandung makna bahwa seorang guru harus
memiliki integritas pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan sebagi
suatu kepribadian yang utuh sehingga dapat diteladani oleh siswa
yang sedang berada pada fase remaja. Dengan kompetensi sosial,
seorang mampu melakukan interaksi atau hubungan sosial secara
menyenangkan, hangat, terbuka, tulus, empati, dan penuh penghargaan
terhadap siswanya yang tengah berada pada fase remaja. Dengan
kompetensi moral mengandung makna bahwa seorang guru bukan hanya
dapat mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk, melainkan
sanggup berbuat menurut norma-norma kesusilaan sehingga guru dapat
menjadi model norma bagi siswanya yang sedang remaja. Adapun dengan
kompetensi religius mengandung makna bahwa seorang guru harus
menganut agama yang diyakini dan mengamalkannya dengan
sebaik-baiknya sehingga dapat menjadi teladan bagi murid-muridnya
yang sedang berada pada masa remaja.Seorang guru harus dapat
melihat dengan jelas dan manusiawi bahwa setiap muridnya adalah
manusia yang bermartabat yang harus dihargai sepenuhnya. Dengan
cara saling menghargai dapat dibangun suatu landasan yang
mengandung rasa pengertian, saling percaya, saling menghormati, dan
mampu menjauhkan dari berburuk sangka dalam mengembangkan kemampuan
hubungan sosial murid yang sedang berada pada masa remaja.Strategi
pembelajaran yang demokratis merupakan alternatif yang sangat
bermanfaat bagi guru dalam membantu perkembangan hubungan sosial
remaja. Atas dasar prinsip demokrasi disusun strategi pembelajaran
dan model bimbingan bagi siswa, baik secara individual maupun
kelompok. Kebebasan dalam kerangka demokratisasi pendidikan bukan
berarti kebebasan seluas-luasnya melainkan kebebasan yang disertai
rasa tanggung jawab secara penuh. Pemahaman tentang kebebasan
seseorang harus didudukkan dalam kerangka pemahaman bahwa orang
lain juga memiliki kebebasan sehingga kalau kebebasan itu
dikembangkan tanpa dibatasi dengan tanggungjawab akan berbenturan
dengan kebebasan orang lain dan bahkan dapat melanggar atau
menghalangi kebebasan orang lain. Pemahaman seperti ini harus
senantiasa dikembangkan oleh guru kepada siswa yang sedang berada
pada fase remaja itu selama proses pembelajaran
berlangsung.Lingkungan ketiga yang amat besar pengaruhnya terhadap
perkembangan hubungan sosial remaja adalah lingkungan masyarakat.
Berkenaan dengan upaya pengembangan hubungan sosial remaja, peran
masyarakat justru amat besar seiring dengan perkembangan psikologis
masa remaja. Variasi perkembangan individu terjadi dalam segala
macam hubungan dan pengalaman, termasuk variasi kebudayaan dan
sosial yang ada dalam suatu masyarakat. Sistem kebudyaan, lapisan
sosial, kelompok agama, dan sebagainya memiliki nilai-nilai
tersendiri yang sudah tentu sangat berpengaruh terhadap para
anggotanya. Sebagai contoh, suatu sistem kebudayaan yang sangat
menjunjung tinggi kejujuran dan hormat kepada orang tua, maka akan
besar kemungkinannya mampu mengembangkan hubungan sosial remaja
sebagai anggota masyarakat yang sangat menentang perilaku-perilaku
membohongi orang lain, mencuri, mencopet, berani kepada orang tua,
dan sejenisnya. Dengan demikian, dalam konteks ini, tugas utama
masyarakat adalah menekan seminimal mungkin tingkah laku atau sikap
negatif para remaja dan mengembangkan tingkah laku positif;
termasuk di dalamnya pengembangan hubungan sosial remaja. Para
pemimpin dalam masyarakat, seperti pemimpin organisasi politik,
agama, dan organisasi lainnya memikul tugas dan tanggung jawab
dalam upaya pengembangan hubungan sosial remaja agar tidak mengarah
kepada hubungan sosial yang bersifat negatif dan
destruktif.Perkembangan Hubungan Sosial dan Proses
Pembelajaran2