1 PERKEMBANGAN HARGA PANGAN DAN IMPLIKASINYA BAGI MASYARAKAT PEDESAAN Sri Hery Susilowati dan Benny Rachman Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 ABSTRAK Sebagai negara dengan perekonomian relatif terbuka, perkembangan harga komoditas pertanian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan globalisasi perekonomian dunia, sehingga menuntut sinkronisasi pergerakan harga dalam negeri dan di pasar dunia. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perkembangan harga komoditas pertanian, khususnya beberapa komoditas pangan, di pasar dunia dan pasar dalam negeri. Selain perkembangan harga dikemukakan pula respons masyarakat pedesaan dalam menyikapi perubahan harga. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkembangan harga riil beberapa komoditas pangan selama periode tahun1990-2008 menunjukkan kecenderungan meningkat. Harga domestik menunjukkan laju pertumbuhan dan fluktuasi lebih tinggi dibandingkan dengan harga dunia. Namun selama periode krisis pangan global (tahun 2007- 2008) harga pangan domestik relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga dunia dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah pula. Respons masyarakat pedesaan dalam kegiatan usahatani dan pola konsumsi dalam menghadapi peningkatan harga pangan secara umum tidak berubah. Dalam frekuensi yang relatif kecil masyarakat pedesaan menyikapi peningkatan harga pangan dengan menurunkan kualitas makanan pokok serta menurunkan kualitas maupun kuantitas lauk pauk pauk. Pengeluaran konsumsi rumahtangga untuk keperluan non pangan meningkat lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pangan. Kata kunci : harga dunia, harga domestik, laju pertumbuhan harga. PENDAHULUAN Perkembangan harga komoditi pangan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat konsumen secara luas maupun tingkat kesejahteraan petani, mengingat sebagian besar petani di Indonesia adalah net buyer of food. Oleh karena itu perkembangan harga komoditi pangan dapat digunakan sebagai salah satu indikator parsial tentang perkembangan kesejahteraan masyarakat dan petani. Peningkatan harga pangan dalam dua tahun terakhir terasa sangat memberatkan masyarakat khususnya masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Dimulai dengan melonjaknya harga minyak goreng sejak dua tahun terakhir kemudian berturut-turut diikuti oleh kenaikan harga beras, telur, daging ayam, terigu dan perkembangan terakhir adalah kenaikan harga kedele. ‘Krisis pangan’, yang ditandai dengan meningkatnya harga-harga pangan secara tajam dalam dua tahun terakhir bukan hanya dialami oleh masyarakat Indonesia namun juga terjadi di negara-negara lainnya. Daya beli masyarakat secara luas mengalami tekanan, meskipun di sisi lain harga komoditas perkebunan yang juga meningkat di pasar internasional memberikan keuntungan bagi petani pekebunan. Namun
24
Embed
PERKEMBANGAN HARGA PANGAN DAN IMPLIKASINYA BAGI …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/MSU_3.pdf · Sebagai negara dengan perekonomian relatif terbuka, perkembangan harga komoditas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PERKEMBANGAN HARGA PANGAN DAN IMPLIKASINYA BAGI MASYARAKAT PEDESAAN
Sri Hery Susilowati dan Benny Rachman
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRAK
Sebagai negara dengan perekonomian relatif terbuka, perkembangan harga komoditas pertanian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan globalisasi perekonomian dunia, sehingga menuntut sinkronisasi pergerakan harga dalam negeri dan di pasar dunia. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perkembangan harga komoditas pertanian, khususnya beberapa komoditas pangan, di pasar dunia dan pasar dalam negeri. Selain perkembangan harga dikemukakan pula respons masyarakat pedesaan dalam menyikapi perubahan harga. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkembangan harga riil beberapa komoditas pangan selama periode tahun1990-2008 menunjukkan kecenderungan meningkat. Harga domestik menunjukkan laju pertumbuhan dan fluktuasi lebih tinggi dibandingkan dengan harga dunia. Namun selama periode krisis pangan global (tahun 2007-2008) harga pangan domestik relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga dunia dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah pula. Respons masyarakat pedesaan dalam kegiatan usahatani dan pola konsumsi dalam menghadapi peningkatan harga pangan secara umum tidak berubah. Dalam frekuensi yang relatif kecil masyarakat pedesaan menyikapi peningkatan harga pangan dengan menurunkan kualitas makanan pokok serta menurunkan kualitas maupun kuantitas lauk pauk pauk. Pengeluaran konsumsi rumahtangga untuk keperluan non pangan meningkat lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pangan.
Kata kunci : harga dunia, harga domestik, laju pertumbuhan harga.
PENDAHULUAN
Perkembangan harga komoditi pangan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
masyarakat konsumen secara luas maupun tingkat kesejahteraan petani, mengingat sebagian
besar petani di Indonesia adalah net buyer of food. Oleh karena itu perkembangan harga
komoditi pangan dapat digunakan sebagai salah satu indikator parsial tentang
perkembangan kesejahteraan masyarakat dan petani.
Peningkatan harga pangan dalam dua tahun terakhir terasa sangat memberatkan
masyarakat khususnya masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Dimulai dengan
melonjaknya harga minyak goreng sejak dua tahun terakhir kemudian berturut-turut diikuti
oleh kenaikan harga beras, telur, daging ayam, terigu dan perkembangan terakhir adalah
kenaikan harga kedele. ‘Krisis pangan’, yang ditandai dengan meningkatnya harga-harga
pangan secara tajam dalam dua tahun terakhir bukan hanya dialami oleh masyarakat
Indonesia namun juga terjadi di negara-negara lainnya. Daya beli masyarakat secara luas
mengalami tekanan, meskipun di sisi lain harga komoditas perkebunan yang juga
meningkat di pasar internasional memberikan keuntungan bagi petani pekebunan. Namun
2
pergerakan harga-harga dunia bergerak cepat. Krisis finansial global yang terjadi sejak dua
bulan terakhir (September 2008) yang menyebabkan melambatnya pertumbuhan
permintaan output dunia, seolah-olah membalikkan harga, terutama harga komoditi
pertanian yang diperdagangkan di pasar dunia. Dampak yang paling nyata bagi
perekonomian Indonesia adalah menurunnya harga-harga ekspor komoditas perkebunan
dan hal ini akan berdampak negatif terhadap perolehan devisa maupun kesejahteraan petani
pekebun.
Sebagai negara dengan perekonomian relatif terbuka, perkembangan harga
komoditas pertanian di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan globalisasi
perekonomian dunia, sehingga menuntut sinkronisasi pergerakan harga dalam negeri dan di
pasar dunia. Tulisan ini bertujuan untuk membahas perkembangan harga komoditas
pertanian, khususnya beberapa komoditas pangan, di pasar dunia dan pasar dalam negeri.
Selain perkembangan harga dikemukakan pula respons masyarakat pedesaan dalam
menyikapi perubahan harga.
Data
Data yang digunakan adalah data harga dunia yang bersumber dari FAO-STAT dan
Bloomberg. Harga pangan dalam negeri bersumber dari Pusat Data dan Statistik,
Departemen Pertanian. Untuk memperoleh harga riil, harga aktual di deflasi dengan CPI.
Untuk memperoleh informasi tentang respons masyarakat pedesaan terhadap
peningkatan harga pangan digunakan data survey rumah tangga ‘Konsorsium Penelitian
Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai Tipe Agroekosistem’, yang dilakukan
oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Survey dilakukan di 9
(sembilan) propinsi di Jawa dan Luar Jawa.
PERKEMBANGAN HARGA KOMODITAS PANGAN
Dalam bagian ini dibahas perilaku pergerakan harga beberapa komoditas pangan
selama periode tahun 1990-2008. Rentang waktu tersebut akan dibagi kedalam dua periode
yaitu periode sebelum krisis moneter tahun 1997 dan periode setelah krisis
Tabel 1 menyajikan tingkat pertumbuhan harga domestik beberapa komoditas
pangan pada periode tahun 1990-1997, periode tahun 1998-2008 dan agregat periode
tahun 1990-2008. Selanjutnya Tabel 2 menyajikan laju pertumbuhan harga pangan dunia
pada periode yang sama.
Selama periode tahun 1990-1997, yaitu periode sebelum terjadi krisis moneter Asia,
pergerakan harga beberapa komoditas pangan di pasar domestik menunjukkan
kecenderungan meningkat. Harga beras meningkat sekitar 7.5 persen per tahun. Harga
pangan lainnya (kedele, jagung, gula, minyak goreng, terigu dan daging) meningkat dengan
kisaran 2.2 persen per tahun (gula pasir) dan 11.1 persen per tahun (minyak goreng).
3
Periode setelah krisis ekonomi (tahun 1998-2008) laju pertumbuhan harga beberapa
komoditi mengalami peningkatan (kedele, gula pasir, terigu, daging) namun beberapa
komoditas menurun, yaitu beras, jagung dan minyak goreng. Penurunan laju pertumbuhan
harga beberapa komoditas tersebut karena pengaruh intervensi pemerintah melalui operasi
pasar terutama untuk beras dan minyak goreng. Laju pertumbuhan harga secara agregat
untuk periode tahun 1990-2008 lebih besar dibandingkan pada dua periode secara terpisah.
Tabel 1. Laju Pertumbuhan Harga Riil Domestik Beberapa Komoditi Pangan Tahun 1990-2008*
Dari respons rumah tangga tersebut, secara umum dapat dikatakan bahwa di dalam
merespons peningkatan harga pangan, aktivitas berusahatani oleh sebagian besar rumah
tangga petani adalah tetap. Sebagian rumah tangga merespons dengan menambah ataupun
mengurangi aktivitas usahatani dengan frekuensi yang relatif kecil. Namun hal ini perlu
dimaknai lebih lanjut bahwa bagi masyarakat petani di pedesaaan yang rata-rata hanya
memiliki lahan seluas 0.5 hektar, kegiatan usahatani merupakan sumber pendapatan utama
mereka. Dengan demikian dalam kondisi apapun kegiatan usahatani tetap mereka lakukan
seperti biasa. Pupuk merupakan faktor penentu produktivitas sehingga petani tetap
berusaha untuk menggunakan seperti semula meskipun harga pupuk semakin mahal karena
khawatir pengurangan pupuk akan menurunkan produktivitas yang akan berakibat
menurunkan pendapatan mereka.
Pola Konsumsi
Peningkatan harga pangan diduga selain berpengaruh terhadap kegiatan
berusahatani, juga berpengaruh terhadap pola dan pengeluaran konsumsi masyarakat.
Perubahan pola konsumsi masyarakat yang diduga terpengaruh oleh peningkatan harga
pangan adalah dalam hal kuantitas maupun kualitas makanan pokok dan lauk pauk (Tabel
5). Peningkatan harga pangan direspons oleh sebagian besar (lebih dari 80 persen) rumah
tangga dengan tidak mengubah kuantitas maupun kualitas makanan pokok yang mereka
konsumsi. Hal ini terjadi baik di wilayah Jawa maupun luar Jawa. Hanya sekitar 9 persen
rumah tangga mengurangi kuantitas konsumsi makanan pokok, namun lebih banyak
(sekitar 15 persen) rumah tangga yang merespons dengan mengurangi kualitas konsumsi
makanan pokok. Perubahan pola konsumsi lebih banyak terjadi dalam hal konsumsi
makanan lainnya (lauk pauk). Secara umum rumah tangga lebih banyak mengurangi
konsumsi lauk pauk baik dalam hal kuantitas maupun kualitas dibandingkan konsumsi
makanan pokok seperti telah diuraikan, meskipun masih sebagian besar rumah tangga
(sekitar 70 persen sampai 80 persen) mengkonsumsi lauk pauk dengan pola yang sama.
11
Tabel 5. Respon Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan dalam Pola Konsumsi Makanan Pokok dan Lauk Pauk, Tahun 2008
Jawa (%) Luar jawa (%) Keterangan1 2 3 1 2 3
1. Pola Konsumsi Pangan Pokok a. Kuantitas 9.09 90.91 0 9.54 87.14 3.32 b. Kualitas 14.88 84.30 0.83 11.20 88.38 0.41 c. Perolehan* 6.61 92.56 0.83 3.73 94.19 2.07 2. Pola Konsumsi Lauk Pauk a. Kuantitas 26.67 70.83 2.50 21.58 74.27 4.15 b. Kualitas 23.33 75.00 1.67 19.92 79.67 0.41 c. Perolehan* 18.33 80.83 0.83 6.22 91.70 2.07
Keterangan: 1 = Berkurang; 2 = Tetap; 3 = Bertambah * 1 = Lebih sulit 2 = Sama saja 3 = Lebih mudah
Dalam hal perolehan, frekuensi rumah tangga yang mengatakan lebih sulit memperoleh
makanan pokok maupun lauk pauk relatif lebih banyak di Jawa dibandingkan di luar Jawa
meskipun masih tetap sebagian besar (kisaran 80 persen sampai 94 persen) rumah tangga
menyatakan tidak mengalami perubahan dalam hal perolehan.
Terkait dengan perubahan kualitas konsumsi makan pokok, jenis makanan pokok
yang dikonsumsi masyarakat sebelum dan sesudah terjadi kenaikan harga pangan disajikan
pada Tabel 6. Pada kondisi sebelum maupun sesudah kenaikan harga pangan, jenis
makanan pokok yang dikonsumsi sebagian besar masyarakat (lebih 90 persen) baik di Jawa
maupun di luar Jawa adalah beras. Konsumsi beras dicampur jagung lebih banyak
dilakukan pada musim paceklik, terutama oleh rumah tangga di Jawa.
Tabel 6. Respons Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan dalam Jenis Konsumsi Makanan Pokok, Tahun 2008
Jawa (%) Luar jawa (%)
KeteranganBeras
Beras+Jagung
Lainnya BerasBeras+ jagung
Lainnya
a. Sebelum harga naik - Bukan musim paceklik 94.2 3.31 2.48 97.08 1.25 3.67* - Musim paceklik 91.7 6.61 21.69** 94.2 1.67 4.16**b. Sesudah harga naik - Bukan musim paceklik 94.2 1.67 4.16 96.25 1.67 2.08 - Musim Paceklik 90.91 5.79 3.31** 94.98 1.26 4.57**
* = Campuran beras dan jagung atau beras dan umbi atau umbi saja.** = lebih beragam: campuran beras dan umbi, jagung saja, umbi saja, beras dan umbi, beras, jagung dan
umbi.
Kenaikan harga pangan, khususnya beras, direspons oleh rumah tangga dengan
mengkonsumsi makanan pokok dengan jenis yang lebih bervariasi, yang pada umumnya
mencampur beras dengan jagung dan umbi-umbian atau hanya mengkonsumsi jagung atau
12
umbi saja tanpa campuran beras. Namun frekuensi rumah tangga yang melakukan variasi
konsumsi makanan pokok selain beras tersebut hanya relatif kecil, hanya sekitar 4 persen
sampai 6 persen.
Peningkatan harga pangan selain diduga berpengaruh terhadap pola konsumsi
makanan pokok dan lauk pauk, juga diduga akan berpengaruh terhadap frekuensi makan
secara lengkap per hari. Respons rumah tangga terhadap hal itu disajikan pada Tabel 7.
Dari informasi pada tabel tersebut terlihat bahwa frekuensi makan per hari relatif tidak
berubah dengan adanya kenaikan harga pangan. Frekuensi makan per hari rumah tangga
bervariasi antar 2 sampai 4 kali makan per hari namun secara umum tiga kali per hari.
Variasi frekuensi makan antar rumah tangga pada umumnya lebih disebabkan oleh faktor
kebiasaan.
Tabel 7. Respon Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan dalam Frekuensi Makan per hari, Tahun 2008
Jawa (%) Luar Jawa (%)Keterangan
2 kali 3 kali 4 kali 2 kali 3 kali 4 kali Frekuensi makan secara lengkap/hr a. Sebelum harga naik 23.97 71.07 1.65 13.69 86.31 0 b. Sesudah harga naik 25.62 69.42 1.65 14.52 85.48 0
Terkait dengan perubahan kuantitas dan kualitas makanan pokok serta lauk pauk
Secara umum dapat dikatakan kuantitas makanan pokok dan lauk pauk relatif tetap seperti
diuraikan terdahulu. Penurunan kuantitas konsumsi beras dilakukan oleh hanya sekitar 5
persen rumahtangga. Namun rumahtangga yang mengurangi konsumsi mie bungkus relatif
lebih besar, yaitu berkisar 15 persen di Jawa dan 10 persen di Luar Jawa. Sebaliknya
rumahtangga yang mengkonsumsi ubi kayu, ubi jalar dan jagung meningkat meskipun
dengan frekuensi yang relatif kecil (satu sampai 2 persen). Di Luar Jawa, sekitar 3.4 persen
rumah tangga mengurangi konsumsi beras sebaliknya rumah tangga yang meningkatkan
konsumsi gaplek juga sekitar 3.2 persen. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa
meskipun dengan frekuensi yang relatif kecil, respons sebagian rumah tangga dalam
menyikapi peningkatan harga pangan adalah dengan melakukan substitusi beras dengan
jenis makanan pokok lainnya seperti jagung, ubi jalar, ubi kayu dan gaplek. Selain itu
sebagian rumahtangga (berkisar 3 sampai 9 persen) juga menyiasati peningkatan harga
pangan dengan menurunkan kualitas beras yang dikonsumsi, Lampiran 3 dan Lampiran 4
menyajikan secara rinci jenis perubahan konsumsi makanan pokok dan lauk pauk yang
dikonsumsi rumahtangga.
Jenis makanan lain (lauk pauk) yang dikurangi konsumsinya oleh sebagian rumah
tangga terutama adalah ikan segar, daging sapi, daging ayam dan telur ayam. Frekuensi
rumah tangga yang mengurangi berbagai jenis lauk pauk nabati tersebut berkisar 6 persen
13
sampai 18 persen. Selain mengurangi konsumsi protein nabati, sebagian rumah tangga (10
sampai 12 persen) juga mengurangi konsumsi tahu dan tempe. Dari sisi kualitas lauk pauk,
frekuensi rumah tangga yang menurunkan kualitas lauk pauk yang dikonsumsi relatif lebih
sedikit dibandingkan dalam hal pengurangan kuantitas. Penurunan kualitas lauk pauk yang
paling kentara adalah pada jenis ikan segar, yang pada umumnya mengganti konsumsi ikan
dengan jenis ikan yang lebih murah harganya.
Penurunan kuantitas konsumsi makanan lainnya terutama untuk jenis minyak
goreng, buah-buahan dan makanan jajan. Penurunan kuantitas konsumsi buah-buahan
diikuti pula dengan penurunan kualitasnya, yaitu dengan mengganti jenis buah yang biasa
dibeli dengan buah hasil tanam sendiri atau pemberian tetangga. Penurunan kuantitas
maupun kualitas rokok juga dilakukan oleh sebagian kecil (sekitar 6 persen) rumahtangga
di Jawa.
Pembahasan di muka menunjukkan bahwa sekilas peningkatan harga pangan yang
terjadi selama lebih dari setahun terakhir tidak banyak mempengaruhi pola konsumsi
pangan masyarakat di pedesaan. Bagi rumah tangga di pedesaan yang orientasi kebutuhan
utama masih sebagian besar untuk konsumsi makanan, akan tetap berupaya untuk
memenuhinya meskipun harga pangan meningkat. Apalagi kebutuhan makanan pokok,
terutama beras dan sayuran, sebagian besar dipenuhi dari produksi sendiri. Peningkatan
harga pangan diduga lebih berpengaruh terhadap pengeluaran lain selain konsumsi dan
berkurangnya modal usahatani.Yang dikhawatirkan adalah apabila berpengaruh terhadap
keberlanjutan pendidikan anak. Dalam batas tertentu hal ini memang terjadi namun hanya
beberapa kasus.
Peningkatan harga pangan dan harga gabah (serta kenaikan harga BBM yang juga
terjadi pada tahun 2008) berpengaruh terhadap pengeluaran konsumsi pangan. Perubahan
pengeluaran konsumsi pangan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Perubahan Pengeluaran Rumah Tangga Padi di Kabupaten Karawang, Tahun 2008.
(2007-2011) melalui optimalisasi lahan dan pemanfaatan lahan tidur guna mencapai swa
sembada kedelai. Peningkatan produksi melalui peningkatan luas areal dan produktivitas
tersebut diharapkan akan dicapai keseimbangan harga baru yang lebih rendah dan stabil
dan pada saat yang sama juga dicapai peningkatan produksi pangan nasional dan
peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan
KESIMPULAN
1. Perkembangan harga riil beberapa komoditas pangan selama periode tahun1990-2008
menunjukkan kecenderungan meningkat. Harga domestik menunjukkan laju
pertumbuhan dan fluktuasi lebih tinggi dibandingkan dengan harga dunia. Namun
selama periode krisis pangan global (tahun 2007-2008) harga pangan domestik relatif
lebih stabil dibandingkan dengan harga dunia dengan laju pertumbuhan yang lebih
rendah pula.
2. Respons masyarakat pedesaan dalam kegiatan usahatani dan pola konsumsi dalam
menghadapi peningkatan harga pangan secara umum tidak berubah. Dalam frekuensi
yang relatif kecil masyarakat pedesaan menyikapi peningkatan harga pangan dengan
menurunkan kualitas makanan pokok serta menurunkan kualitas maupun kuantitas lauk
pauk pauk. Pengeluaran konsumsi rumahtangga untuk keperluan non pangan meningkat
lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran pangan.
3. Krisis finansial global mengakibatkan dampak penurunan harga komoditas pertanian di
pasar dunia. Penurunan harga komoditi pangan (beras, kedele, jagung, gula dan
18
gandum) lebih rendah dibandingkan dengan penurunan harga pada komoditas
perkebunan. Krisis finansial global berdampak pada penurunan harga komoditas
pertanian terutama yang sifatnya tradable. Dalam hal ini komoditas perkebunan lebih
besar terkena dampak krisis finansial global tersebut.
4. Perkembangan harga pangan yang cenderung meningkat tersebut mengindikasikan
bahwa perekonomian global dewasa ini mengalami fenomena excess demand.
Akibatnya harga produk pertanian menjadi meningkat. Masyarakat konsumen,
khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah harus melakukan penyesuaian
yang sulit terhadap kenaikan harga. Namun dengan meningkatnya harga-harga produk
pertanian, sektor pertanian akan menjadi lebih diuntungkan. Kondisi ini merupakan
moment yang tepat bagi petani (dengan atau tanpa insentif) untuk meningkatkan
produksi dan produktivitasnya. Juga merupakan kesempatan baik bagi usaha agribisnis
baik pada on-farm maupun off-farm untuk lebih bersinergi dalam memajukan sektor
pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Aldaz-Carrol, Enrque. 2008. Dealing with International Price Shocks and High Energy Prices. Seminar on “ Impact of High International Commodity Price: Evidence, Challenges and Opportunities. Jakarta.
Conforti, Piero. 2004. Price Transmission in Selected Agricultural Market. FAO Commodity and Trade Policy Research Working Paper No. 7.
FAO, 2008. Soaring Food Prices: The Need for International Action. High Level Converence on World Food Security: The Challenge of Climate Change and Bioenergy, Roma 3-5 June 2008.
Istiqomah, Manfred Zeller, Stephan von Cramon-Taubadel. 2005. Volatility and Integration of Rice market in Java, Indonesia. A Comparative Analysis Before and After Trade Liberalization. Conference on ainternational Agriculturral Research for Development.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. 2008. Dampak Kenaikan Harga BBM dan HPP Gabah terhadap Laba Usahatani dan Konsumsi Rumah Tangga Tani. Departemen Pertanian, Bogor
Sudaryanto, Tahlim dan Budiman Hutabarat. 1993. Perkembangan Harga Komoditas Pertanian dan Implikasinya bagi Indonesia. Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
19
LAMPIRAN
Lampiran 1. Perkembangan Harga Dunia Beberapa Komoditi Pangan, Tahun 2007-2008
0.0
200.0
400.0
600.0
800.0
1000.0
1200.0
1400.0M
ei-07
Juni
Juli
Agus
tus
Sept
Okt
Nop
Des
Ja
nuari
-08
Feb
Mare
t
April
Mei
Juni
Juli
Agus
tus
Okt
-08
$/t
on
Gula Kedele Jagung Gandum Beras CPO
Lampiran 2. Perkembangan Harga Domestik Beberapa Komoditi Pangan Tahun 2007-2008
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
Jan-
07
Mar
-07
May
-07
Jul-0
7
Sep-0
7
Nov-0
7
Jan-
08
Mar
-08
May
-08
Jul-0
8
Sep-0
8
Rp
/kg
Beras Gula Migor Kedele Jagung
20
Lampiran 3. Respons Rumahtangga terhadap Kenaikan Harga Pangan pada Kuantitas Konsumsi Pangan, Tahun 2008