Page 1
PERKAWINAN BEDA AGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
Pendahuluan
Diskursus tentang HAM[1] terus berlanjut seiring dengan perkembangannya, tidak
terkecuali di Indonesia. Salah satu instrumen hukum HAM di Indonesia adalah lahirnya
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berisi 11 bab 106 pasal.[2] Maka
dengan lahirnya undang-undang tersebut, HAM adalah hak-hak yang diakui secara
konstitusional sehingga pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran atas
konstitusi.[3] Untuk mendukung terwujudnya kesadaran kolektif atas eksistensi HAM maka
pemerintah menyadari bahwa kebijakannya harus mengedepankan isu-isu HAM. Meskipun
pada dasarnya HAM bukanlah berada pada wilayah politik, namun dalam praktek bernegara,
terlaksananya HAM secara baik dan bertanggung jawab sangat tergantung kepada political
will dan political action dari penyelenggara negara.
Salah satu kebijakan negara Indonesia dalam persoalan klasik yang tetap menjadi isu
aktual dalam wacana hukum Islam (khususnya di Indonesia) adalah wacana perkawinan beda
agama.[4] Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Untuk memenuhi tuntutan bunyi pasal tersebut, maka bagi umat Islam
di Indonesia melahirkan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) yang diantara
materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu pasal 40 huruf (c) dan pasal 44.[5]
Hanya saja materi yang termuat dalam pasal tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap
persoalan kawin beda agama.
Larangan tersebut tentu saja perlu dikritisi lebih lanjut karena beberapa hal yaitu,
pertama sebagai satu negara yang sudah memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, idealnya negara menjamin kebebasan warganya untuk
memilih pasangannya dalam membentuk sebuah keluarga. Hak untuk memilih pasangan
hidup merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh negara. Berdasarkan
pasal 10 ayat (1) dalam undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas
kehendak yang bebas Kenyataannya, negara justru membatasi perkawinan tersebut. Kedua,
Indonesia bukan negara teokrasi dan bukan pula negara sekuler sehingga di dalam
pembentukan hukum nasional, pemerintah harus bisa menjamin kepastian hukum kepada
Page 2
seluruh lapisan masyarakat tanpa melihat agama dan kepercayaan yang dianut, termasuk
dalam persoalan perkawinan beda agama. Ketiga, perkawinan antar agama secara objektif
sosiologis adalah wajar karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan
UUD 1945 menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu saja
terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada
akhirnya membentuk sebuah keluarga. Keempat, akibat tidak diaturnya ketentuan mengenai
perkawinan beda agama dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974, maka hal tersebut
membuka ruang terjadinya penyeludupan hukum. Untuk memenuhi persyaratan formal secara
perdata, suami-istri berbeda agama “rela” melangsungkan pernikahan di luar negeri tanpa
memperhatikan hukum agama, atau salah satu pihak pura-pura pindah agama.
Oleh karena itu, kajian mengenai perkawinan beda agama dalam perspektif HAM
menjadi signifikan berdasarkan kegelisahan diatas. Tulisan sederhana berikut ini mencoba
menganalisa satu persoalan pokok yakni bagaimanakah pengaturan perkawinan beda agama
di Indonesia bila dianalisis dalam perspektif HAM khususnya lewat instrumen Undang-
Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)?
Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, di Indonesia pernah ada
suatu peraturan hukum antar golongan yang mengatur masalah perkawinan campuran.
Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial
Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) atau Peraturan
tentang Perkawinan Campuran sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.[6]
Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran
adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang
berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar
agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang
menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam
GHR; kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan
campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok
yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya
perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat
tidak termasuk di dalam GHR.[7]
Page 3
Soudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1
GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan
karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat,
tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslah yang banyak di
dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya
Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk
kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada
perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan.
Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan
beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni pertama, dengan
mengingat kembali pada sejarah undang-undang perkawinan 1973, terutama perdebatan yang
berkaitan dengan pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa,
negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang
perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak
dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.[8]
Kedua, ada beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar dilarangnya perkawinan beda
agama dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 haruf (f).
Dalam pasal 2 ayat (1) dinyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Kemudian dalam penjelasannya
dinyatakan “Dengan perumusan pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar
1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan
kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam Undang-
undang ini”.
Bila pasal ini diperhatikan secara cermat, maka dapat difahami bahwa undang-undang
menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-syarat
pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditepkan
oleh negara. Jadi apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, atau apakah para calon
mempelai telah memenuhi syarat-syarat atau belum, maka disamping tergantung kepada
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, hal tersebut
juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing. Dalam perspektif agama-agama di
Page 4
Indonesia, maka perkawinan beda agama tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan hukum
agama-agama yang diakui di Indonesia. Argumentasi ini diperkuat oleh pasal 8 huruf (f)
bahwa “perkawinan dilarang antara dua orang yang ; mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”.[9]
Ketiga, merujuk kepada pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
yang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang
ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie
Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku”.
Dari ketentuan pasal 66 itu, jelas bahwa ketentuan-ketentuan GHR (STB. 1898/158)
sebagaimana yang diungkapkan diawal juga tidak dapat diberlakukan lagi karena di samping
ketentuannya telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, GHR
juga mengandung asas yang bertentangan dengan asas keseimbangan hukum antara suami
istri sebagaimana yang dianut oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Selain itu, rumusan
mengenai perkawinan campuran dalam GHR berbeda dengan rumusan dalam pasal 57
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang berbunyi “Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia”.
Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara
Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama,
tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.
Perspektif Hak Asasi Manusia tentang Pengaturan Perkawinan Beda Agama di
Indonesia.
Page 5
Hal yang signifikan di dalam memahami persoalan perkawinan beda agama bukanlah
soal perbedaan agama itu sendiri, tetapi soal tanggung jawab negara dalam melindungi dan
menjamin hak-hak warganya. Adapun yang dipersoalkan adalah soal relasi vertikal dalam
hubungan antara negara dan warga negara (citizen), bukan soal relasi horisontal yang
menyangkut hubungan di antara warga negara yang beragam agama, kepercayaan dan
beragam penafsirannya.[10]
Hal ini penting untuk diperhatikan karena persoalan perkawinan beda agama dalam
konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum, sementara tafsiran agama-agama tentang
pernikahan beda agama adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan. Oleh karena
Indonesia bukan negara agama, maka yang menjadi acuan adalah hukum nasional. Meskipun
hukum nasional, seperti Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mendasarkan diri
pada apa yang dikatakan dengan hukum agama, namun cendrung lebih terikat pada dasar
filosofi bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Artinya, prinsip mengakui keragaman bangsa dan
kemajemukan masyarakat haruslah menjadi dasar dari pembentukan dan pembuatan suatu
hukum maupun undang-undang yang bersifat nasional.
Dalam konteks nation state, tidak boleh ada satu produk hukum pun yang sektarian
yang hanya menguntungkan kelompok agama tertentu dan mengabaikan suara komunitas
agama lainnya.[11] Setiap warga negara dijamin hak-haknya yang sama dan sederajat, apa
pun latar belakang agama, keyakinan, dan kepercayaannya. Setiap pertimbangan dan alasan
untuk membuat perundang-undangan haruslah memperhitungkan kesamaan dan
kesederajatan warga negara dalam pemenuhan hak-hak mereka, tanpa membedakan antara
satu kelompok warga negara dengan yang lainnya atas dasar perbedaan agama dan
kepercayaan. Dalam perspektif HAM, setiap pembuatan undang-undang harus
mempertimbangkan terlebih dahulu kewajiban negara untuk mempromosikan (to promote),
melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak mendasar warga negara.[12]
Jika melihat persoalan perkawinan di Indonesia, maka hukum perkawinan di
Indonesia diatur melalui Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini
terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya dilengkapi dengan Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanannya dan dinyatakan berlaku
efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. Berkaitan dengan perkawinan beda agama, maka pasal
yang sering dijadikan rujukan bagi persoalan ini adalah pasal 2 ayat (1) yang menyatakan
bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
Page 6
agamanya dan kepercayaanya itu” dan ditegaskan lagi lewat Penjelasan pasal tersebut bahwa
“ Tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945”.
Jika dianalisa secara kritis, tampak bahwa persoalan hak asasi manusia muncul dalam
kasus perkawinan beda agama berkaitan dengan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 dan
pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pencatatan Perkawinan
sebagai peraturan pelaksana UU Perkawinan. Problem HAM yang muncul adalah:
Pertama, soal sahnya perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (1) diatas terlihat bahwa
sahnya perkawinan tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua mempelai
memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang berbeda, maka boleh jadi,
ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah yakni,
pertama, meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah
pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi
dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No. 12 Tahun 1983. Kedua, perkawinan dilangsungkan
menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut
hukum agama seorang mempelai (biasanya suami), baru disusul pernikahan menurut hukum
agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah?
Apakah perkawinan menurut hukum yang kedua (terakhir)? Jika ya, apakah perkawinan
pertama dianggap tidak sah? Ketiga, kedua pasangan menentukan pilihan hukum. Salah satu
pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang
pasangan ‘berpindah agama’ sebagai bentuk penundukan hukum. Disini terlihat adanya
penyeludupan hukum dimana salah satu pihak secara pura-pura beralih agama. Keempat,
yang sering dipakai belakangan, adalah melangsungkan perkawinan di luar negeri.[13]
Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda
agama di Indonesia. Masalahnya, apakah kawin beda agama di luar negeri sah menurut
hukum Indonesia? Jika ingin dipertajam lagi, mengapa warga negara Indonesia tidak
mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi justru ingin
mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain? Bukankah hal tersebut sungguh ironis?
Kedua, soal pencatatan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa “Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Peran
pemerintah hanya sebatas melakukan pencatatan nikah dan hal tersebut berarti pemerintah
Page 7
hanya mengatur aspek administratif perkawinan. Namun, dalam prakteknya, kedua ayat
dalam pasal 2 tersebut berlaku secara kumulatif sehingga kedua-duanya harus diterapkan bagi
persayaratan sahnya suatu perkawinan. Hal ini boleh jadi merupakan konsekwensi dari
sistematika produk perundang-undangan dimana komponen-komponen yang menjadi
bagiannya tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lain.[14]
Akibatnya, meskipun suatu perkawinan sudah dipandang sah berdasarkan aturan
agama tertentu, tetapi kalau belum dicatatkan pada kantor pemerintah yang berwenang (baik
Kantor Urusan Agama/KUA untuk yang beragama Islam ataupun Kantor Catatan Sipil/KCS
untuk yang diluar Islam), maka perkawinan tersebut belum diakui sah oleh negara. Dalam
berbagai kasus, sahnya suatu perkawinan secara yuridis memang harus dibuktikan melalui
buku nikah yang diperoleh dari KUA dan KCS. Hal ini tentu saja menimbulkan implikasi
hukum dan sosial yang beragam bagi pasangan yang berbeda agama seperti misalnya anak-
anak yang lahir tidak akan dianggap sebagai keturunan yang sah dan suami-istri pun
mengalami kesulitan memperoleh hak-hak keperdataan yang timbul dari perkawinan tersebut.
Padahal dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta
mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.
Problem lain yang muncul dari sahnya sebuah perkawinan harus dicatatkan adalah
bahwa pencatatan tersebut hanya berlaku bagi agama-agama yang diakui oleh negara
sebagaimana yang tertuang dalam UU No 1/PNPS/1965 dimana agama-agama yang diakui di
Indonesia hanya ada lima yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu.
Di luar itu hak sipilnya tidak diakui negara sehingga orang yang di luar enam agama tersebut
jika menikah dan ingin diakui negara maka dia harus membohongi negara dan diri
sendiri.[15]
Definisi agama yang dibuat oleh pemerintah ternyata sangat diskriminatif. Defenisi
agama versi pemerintah menyebutkan bahwa agama adalah sistem kepercayaan yang disusun
berdasarkan kitab suci, memuat ajaran yang jelas, mempunyai nabi dan kitab suci. Definisi
ini berimplikasi negatif karena menimbulkan diskriminasi terhadap agama-agama bumi yang
tidak memenuhi syarat sebagai agama sesuai definisi pemerintah. Selain itu, diskriminasi
tersebut merembet pada diskriminasi terhadap hak sipil. Mereka terancam tidak memiliki
KTP karena komputer pemerintah hanya bisa menuliskan satu dari 5 agama atau mereka
harus memilih pencantuman sebagai salah satu pemeluk agama yang 5 untuk dapat dibuatkan
Page 8
KTPnya. Hal ini tentu berimplikasi pada masalah pencatatan perkawinan yang seringkali
ditolak oleh Kantor Catatan Sipil karena bukan pemeluk salah satu agama yang diakui oleh
pemerintah. Perkawinan yang tidak mendapatkan pengakuan negara akan mendapatkan
kesulitan untuk mendapatkan Kartu Keluarga (KK), akta kelahiran anak, KTP, surat nikah
dan hak pendidikan. Ini artinya keluarga tersebut kehilangan hak sipilnya sebagai warga
negara. Diskriminasi jelas merupakan tindakan yang melanggar HAM. Dalam pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “Diskriminasi adalah setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan
pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status
sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif
dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan spek kehidupan lainnya”.
Pertanyaannya, atas dasar apa negara seakan mempunyai otoritas untuk menentukan diakui
atau tidaknya sebuah agama padahal agama telah lahir dan eksis terlebih dahulu
dibandingkan dengan kelahiran sebuah negara?
Problem-problem di atas tentu tidak harus terjadi jika saja pemerintah lebih
memahami bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh setiap manusia yang
hidup yang bukan merupakan pemberian siapapun juga termasuk negara, sedangkan hak sipil
adalah hak warga negara yang menimbulkan kewajiban bagi negara untuk melindungi,
mengakui dan memproteksinya.
Hak beragama, berkeyakinan, dan berkeluarga termasuk dalam rumpun hak sipil.
Beragama dan beraliran kepercayaan adalah hak sipil dalam arti bahwa hak itu sudah ada,
tumbuh dan berkembang dalam lembaga sosial dan keagamaan sebelum lahirnya organisasi
negara. Dasar kebebasan agama dan beragama adalah kodrat atau martabat manusia itu
sendiri. Kodrat atau martabat adalah kenyataan bahwa manusia sebagai pribadi dikaruniai
akal budi dan kehendak. Akal budi dan kehendak bebas tersebut merupakan inti kodrat
(martabat) manusia. Berkaitan dengan adanya kedua hal tersebut dalam diri manusia, maka
dikatakan manusia mempunyai tanggung jawab pribadi dalam bidang apa saja, termasuk
dalam tindakan percaya dan beragama itu sendiri. Tanggung jawab pribadi yang
mengandaikan akal budi dan kehendak bebas itu bukanlah sesuatu yang diberikan oleh siapa-
siapa dan oleh karena itu tidak dapat diambil oleh siapapun.
Page 9
Berbicara tentang pilihan terhadap agama, berarti berbicara tentang sesuatu yang
paling asasi pada diri manusia.[16] Dikatakan demikian karena proses manusia dalam
beragama merupakan pengejawantahan kesadaran ilahiyah yang terpatri dalam diri manusia.
Kesadaran ini kemudian memperoleh afirmasi simbolik melalui agama formal yang
disebarkan melalui utusan Tuhan yang jumlahnya tak terbilang. Dari kajian sejarah agama-
agama diperoleh suatu gambaran, banyaknya utusan Tuhan berpengaruh juga terhadap
banyaknya agama yang dipeluk oleh manusia. Maka kalau kemudian muncul kebijakan yang
hanya mengakui keberadaan agama dengan jumlah yang amat terbatas, maka hal ini
merupakan pengingkaran terhadap kemerdekaan eksistensial manusia untuk melakukan
ziarah spiritual yang bisa jadi melintasi agama-agama yang diakui secara resmi oleh
pemerintah.[17]
Oleh karena itu, setiap orang mempunyai kewajiban dan hak untuk mencari kebenaran
terutama dalam bidang agama, sesuai dengan tuntutan suara hatinya. Orang harus dapat
menjalankan kewajiban dan menggunakan haknya dalam suasana bebas tanpa ketakutan dan
tekanan dari pihak manapun dan dalam bentuk apa pun. Dalam suasana itulah, manusia dapat
bertindak secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, kebebasan adalah hak asasi manusia
dan termasuk dalam martabat manusia. Merusak kebebasan seseorang berarti menghina citra
martabat orang itu sebagai manusia.
Adapun hak sipil itu umumnya berkaitan dengan prinsip kebebasan, yang terganggu
karena hadirnya organisasi negara. Negara melalui pemerintah cenderung mengatur,
membatasi dan terkadang melarang kebebasan sipil. Kebebasan sipil yang berkait dengan
nilai-nilai agama dan diatur oleh kaidah agama, seringkali berimpit dengan hak penguasa
dalam mengatur kehidupan kemasyarakatan. Hak untuk memilih pasangan hidup misalnya,
haruslah merupakan kebebasan yang harus diakui keberadaannya oleh pemerintah. Namun
kenyataannya, negara tidak membiarkan begitu saja kebebasan memilih pasangan yang
bersamaan jenis atau berbeda agama.[18]
Negara seharusnya tidak dibenarkan memaksa seseorang agar mengawini orang yang
sama agamanya, karena perkawinan berbeda agama itu pun merupakan bagian dari kebebasan
memilih calon suami atau istri. Lebih jauh lagi, perkawinan beda agama adalah merupakan
implikasi dari realitas kemajemukan agama, etnis, suku, ras yang ada di Indonesia sehingga
jika terjadi pelarangan perkawinan beda agama, maka hal tersebut sama saja dengan
mengingkari realitas kemajemukan tadi. Kaidah dalam hak-hak asasi manusia sebagaimana
Page 10
yang telah dijelaskan sebelumnya, tidak mungkin dapat ditegakkan pelaksanaannya tanpa
adanya hukum positif yang mengatur hak tersebut. Walaupun kaidah hak asasi manusia
membenarkan perkawinan antar agama, tetapi jika pemerintah menolak melakukan
pencatatan, maka kaidah hak asasi manusia itu akan kehilangan makna. Oleh karena itu,
meskipun pemerintah atau negara tidak melarang perkawinan campuran antar agama, namun
pemerintah secara tidak langsung menolak hak asasi tersebut melalui lembaga pencatatan
nikah. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesan bahwa pemerintah memaksakan seseorang
untuk memilih agama, yang semata-mata hanya untuk kepentingan unifikasi hukum dan
administrasi pemerintahan.
Oleh karena itu, bila di Indonesia terjadi penolakan perkawinan beda agama, baik dari
segi pelaksanaannya maupun pencatatannya, maka dalam perspektif HAM, hal tersebut
menurut penulis jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM
terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
Alasannya adalah bahwa Undang-Undang No. 39 tahun 1999 yang merupakan
instrumen hukum yang mengatur HAM secara khusus di Indonesia, dengan tegas
menjelaskan pada pasal 22 ayat (1) bahwa “ Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-
masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu”. Pasal 10 ayat (1)
lebih menegaskan lagi bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Pelarangan kawin beda agama juga
melanggar prinsip kebebasan dasar seseorang dalam beragama dan merupakan tindakan
diskriminatif. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 secara jelas menyatakan
bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan
politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan
baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan
sepek kehidupan lainnya”.
Oleh karena itu, tindakan diskriminasi terhadap kebebasan seseorang dalam beragama
mesti dihentikan karena beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan
kebebasan dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang
No. 39 Tahun 1999. Hal ini tampak pada pasal 3 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap
Page 11
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi”. Dalam Pasal 8 juga ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah)
memiliki tanggungjawab menjamin prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi
manusia, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi
tanggung jawab negara, terutama Pemerintah“. Oleh karena itu, jika terjadi pelanggaran,
pembatasan, bahkan penolakan terhadap kebebasan beragama dan kebebasan untuk
berkeluarga (menikah) di Indonesia, maka hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap
HAM dan konstitusi itu sendiri.
Dari segi pencatatan perkawinan, setiap warga negara yang memeluk agama apa pun
yang secara universal diakui oleh umat manusia, maka berhak mendapat pelayanan
administrasi dari negara. Tidak bisa dibenarkan Kantor Catatan Sipil menolak pencatatan
perkawinan hanya karena suatu agama tidak tercatat pada lembaran negara atau karena
masing-masing pasangan yang ingin menikah berbeda agamanya. Asumsi dasar dari
pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual
dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan
sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat
yuridis-formal. Di samping perkawinan adalah sebagai sebuah peristiwa hukum, perkawinan
juga merupakan bagian dari proses sosial yang memerlukan adanya pengakuan secara sosial.
Keharusan pencatatan dalam perkawinan bisa ditempatkan sebagai tindakan preventif dari
kemungkinan lahirnya pelanggaran hukum berupa kekerasan dalam perkawinan baik dalam
bentuk kekerasan fisik, psikis maupun penelantaran rumah tangga dengan payung yuridis
yang kuat dan otentik yang dibuktikan dengan adanya akte perkawinan.
Pencatatan perkawinan juga merupakan bagian hak asasi warga negara yang perlu
dilindungi karena berdasarkan pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
dijelaskan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di
depan hukum”.
Masa Depan Pengaturan Perkawinan Beda Agama di Indonesia
“A constitution is not the act of a government but of a people constituting a
government, without a constitution is power without right, and a constitution is the property
of the nation and not of those who exercise the goverment”,[19] demikian penegasan Thomas
Page 12
Paine, seorang tokoh radikal abad ke-18 yang karya-karyanya banyak mengilhami munculnya
revolusi Prancis dan Amerika. Pandangan ini menunjukkan bahwa kedudukan konstitusi
merupakan elemen esensial dalam sebuah negara. Tidak saja karena konstitusi memberikan
kejelasan tentang mekanisme ketatanegaraan, tetapi juga memberikan penegasan atas
kedudukan dan relasi yang amat kuat antara penguasa dan rakyat.
Dalam konteks jaminan atas HAM, konstitusi memberikan arti penting tersendiri bagi
terciptanya sebuah paradigma negara hukum sebagai buah dari proses dialektika demokrasi
yang telah berjalan secara amat panjang dalam lintasan sejarah peradaban manusia. Jaminan
atas HAM meneguhkan pendirian bahwa negara bertanggung jawab atas tegaknya supremasi
hukum. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas HAM penting artinya bagi arah pelaksanaan
ketatanegaraan sebuah negara, sebagaimana yang diungkapkan oleh Sri Soemantri sebagai
berikut:
Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap warga negara mengandung arti bahwa
setiap penguasa dalam negara tidak dapat dan tidak boleh bertindak sewenang-wenang
kepada warga negaranya. Bahkan adanya hak-hak dasar itu juga mempunyai arti adanya
keseimbangan dalam negara, yaitu keseimbangan antara kekuasaan dalam negara dan hak-
hak dasar warga negara.[20]
Dari pernyataan diatas terlihat bahwa konstitusi merupakan napas kehidupan
ketatanegaraan sebuah bangsa, tidak terkecuali bagi bangsa Indonesia. Konstitusi sebagai
perwujudan konsensus dan penjelmaan dari kemauan rakyat memberikan jaminan atas
keberlangsungan hidup berikut HAM secara nyata. Oleh karena itu, jaminan konstitusi atas
HAM adalah bukti dari hakikat, kedudukan dan fungsi konstitusi itu sendiri bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal, dalam perspektif HAM, membentuk
keluarga melalui pernikahan merupakan hak prerogatif pasangan calon suami dan istri yang
sudah dewasa. Kewajiban negara adalah melindungi, mencatatkan dan menerbitkan akte
perkawinannya. Namun sayangnya sebagaimana analisa penulis di atas, realitas ini tidak
cukup disadari oleh negara, bahkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
maupun Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi tempat bagi perkawinan beda agama.
Akibatnya, banyak warga negara yang kebetulan “mampu” secara ekonomi menyiasati
pembatasan undang-undang tersebut dengan mencatatkan perkawinannya di luar negeri untuk
Page 13
akhirnya dilaporkan ke Kantor Catatan Sipil di Indonesia. Sungguh ironis, bahwa warga
negara Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum di dalam negerinya sendiri, tetapi
justru mendapatkan perlindungan hukum dari negara lain. Untuk yang tidak mungkin ke luar
negeri, ada yang terpaksa “mengalah” dengan jalan pindah agama sejenak agar peristiwa
pernikahannya dicatat oleh Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
Pertanyaannya kemudian, solusi apa yang bisa ditawarkan sehingga hak seseorang
untuk melakukan pernikahan beda agama di Indonesia tetap terjamin dan tidak akan tejadi
lagi tindakan yang diskriminatif seperti di atas? Salah satu yang perlu dilakukan adalah
merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan khususnya pasal 2 ayat 1.
Pembaruan tersebut menurut penulis secara teoritis dilatari dengan alasan, pertama, bahwa
perkawinan, membentuk keluarga dan mendapatkan keturunan adalah merupakan hak
seseorang yang termasuk dalam hak asasi manusia[21]; kedua, sebagai sebuah negara,
Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja, melainkan di dasarkan pada asas
nasionalitas; ketiga, dalam konteks negara demokrasi[22], maka beberapa prasyarat yang
dibutuhkan antara lain jaminan membangun civil society yang bebas, otonomi dan kualitas
political society, adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga negara
dan kehidupan organisasi yang independent, birokrasi yang mendukung pemerintahan baru
yang demokratis, dan masyarakat ekonomi yang institutionalized[23]; keempat, Indonesia
merupakan negara yang sangat plural. Pluralitas tersebut bukan hanya dari sudut etnis, ras,
budaya, dan bahasa melainkan juga agama sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh
negara haruslah mengakomodir semua warga negaranya tanpa membedakan latar
belakangnya. Tujuan dari pengakomodiran kebijaksanaan tersebut tidak lain agar semua
warga negara mendapat sebuah kepastian hukum;[24] kelima, negara mempunyai kewajiban
untuk melayani hajat keberagamaan warganya secara adil tanpa diskriminasi. Implikasi dari
kewajiban negara tersebut harus diartikan secara luas terhadap segala sesuatu yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban warga negara di mata hukum. Atas dasar itu, negara harus
memenuhi hak-hak sipil warga negaranya tanpa melihat agama dan kepercayaan yang
dianut[25]; dan keenam, perkawinan antar agama secara objektif sosiologis adalah wajar
karena penduduk Indonesia memeluk bermacam-macam agama dan instrumen hukum yang
ada di Indonesia menjamin kemerdekaan beragama bagi setiap penduduknya sehingga tentu
saja terbuka kemungkinan terjadinya dua orang berbeda agama saling jatuh cinta dan pada
akhirnya membentuk sebuah keluarga.
Page 14
Adapun secara praktis, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 telah berusia lebih dari 32
tahun, sebuah usia yang menuntut peninjauan ulang atasnya karena undang-undang
merupakan satu “sistem yang terbuka” yang tidak hanya melihat kebelakang kepada
perundang-undangan yang ada, tetapi juga memandang kedepan dengan memikirkan
konsekuensi-konsekuensi suatu keputusan hukum bagi masyarakat yang diaturnya.[26]
Kesimpulan
Penolakan terhadap perkawinan beda agama, baik dari segi pelaksanaannya maupun
pencatatannya jelas bertentangan dan melanggar prinsip-prinsip yang dikandung oleh HAM
terutama hak beragama dan berkeluarga yang merupakan hak sipil seseorang.
Berkaitan dengan pencatatan perkawinan, maka hal tersebut juga merupakan bagian
dari hak warga negara yang mesti dilindungi dan dipenuhi haknya. Asumsi dasar dari
pencatatan perkawinan adalah bahwa pernikahan, disamping sebagai bagian aktifitas ritual
dalam semua agama, juga harus ditempatkan sebagai perikatan yang berdimensi yuridis dan
sosiologis sehingga dalam pelaksanaannya harus memperhatikan aspek legalitas yang bersifat
yuridis-formal. Maka, materi-materi di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI
perlu diperbaharui untuk tujuan penyempurnaan, sehingga mampu memberikan solusi
terhadap persoalan yang muncul di masyarakat, baik dalam aturan formil maupun materil.
DAFTAR PUSTAKA
Alder, John, General Principles of Constitusional and Administrative Law, New York:
Palgrave Macmillan, 2002.
Asmin, Status Perkawinan antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.
1/1974, Jakarta: Dian Rakyat, 1986.
Baso, Ahmad dan Nurcholish, Ahmad (ed.), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian, Argumen
Keagamaan, dan Analisis Kebijakan, Jakarta: KOMNAS HAM bekerja sama dengan ICRP,
2005.
Page 15
Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, Pokok-Pokok Pikiran Bangsa Indonesia tentang
HAM, Jakarta: Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, 1997.
Effendy, Bahtiar, “Islam dan Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan”,
dalam M. Nasir Tamara dan Elza Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 1996.
Eoh, O.S, Perkawinan Antaragama dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996.
FXS. Purwaharsanto pr, Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak, Yogyakarta: tnp,
1992.
Hamidi, Jazim dan Abadi, M. Husnu, Intervensi Negara terhadap Agama; Studi Konvergensi
atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta: UII
Press, 2001.
Hartini, Perkawinan Berbeda Agama di Luar Negeri (Makalah pada Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan).
Hidayat, Komaruddin dan AF, Ahmad Gaus (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama,
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Howard, Rhoda E., HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, terj. Nugraha
Katjasungkana, Jakarta: Grafiti, 2000.
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Lay, Cornelis, Kajian Komparatif tentang HAM dan Hak-Hak Warga Negara, Makalah
Pengantar diskusi dalam Seminar Dies Natalis Fisipol UGM ke-44 tentang “Amandemen
UUD 1945”, Yogyakarta, 18 September 1999, tidak diterbitkan.
Mubarok, Jaih, “Akar-Akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di Indonesia”, Khazanah, Vol. 1,
No. 3 (Januari-Juni 2003).
Page 16
el-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945 sampai
dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Jakarta: Kencana, 2005.
Nickel, James. W., Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Nusantara, Abdul Hakim Garuda, “Konsep Dasar Hak Asasi Manusia”, dalam Menelusuri
Makna Hak Asasi Manusia, Seri Buku VOX, 41/2, Maumere: STFK Ledalero, 1997.
Raharjo, Satjipto Ilmu Hukum, Bandung: Angkasa, 1979.
Raharjo, M. Dawam, “Dasasila Kebebasan Beragama,”
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925, akses 7 Juni 2006.
Rasyidi, M, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974.
Ridwan, Nur Khalik, Detik-Detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan,
Menggagas Pluralisme Pembebasan, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2003.
Sirry, Mun’im A., Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat
Modern, Jakarta: Erlangga, 2003.
Soehadha, Moh, “Kebijakan Pemerintah tentang “Agama Resmi” serta Implikasinya terhadap
Peminggiran Sistem Religi Lokal dan Konflik antar Agama”, Esensia, Vol. 5, No. 1 (Januari
2004).
Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1992.
Tamara, M. Nasir dan Taher, Elza Peldi (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban, Jakarta:
Paramadina, 1996.
Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak
Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media, 2000.
Page 17
[1] Secara defenitif, “hak” merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
berprilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabatnya. Hak mempunyai unsur-unsur sebagai berikut yaitu,
pertama, pemilik hak; kedua, ruang lingkup penerapan hak; dan ketiga, pihak yang bersedia
dalam penerapan hak. HAM yang dimaksudkan dalam dokumen internasional adalah hak-hak
fundamental yang dimiliki dan tidak dapat dikurangi ataupun diambil (inalienable), oleh
seseorang atau kelompok yang disebabkan “hanya” karena ditakdirkan sebagai manusia. Oleh
karena itu, HAM ditujukan sebagai nilai-nilai “universal”, bukan sekedar sebagai nilai-nilai
internasional. Soetandyo Wignyosoebroto menyatakan bahwa yang dimaksud dengan HAM
adalah Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang melekat secara kodrati pada setiap makhluk
yang bersosok secara biologik sebagai manusia yang memberikan jaminan moral dan legal
kepada setiap manusia itu untuk menikmati kebebasan dari setiap bentuk penghambaan,
penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan apapun lainnya yang menyebabkan
manusia itu tidak dapat hidup secara layak sebagai manusia yang dimuliakan Allah. Dari
pengertian HAM diatas, maka beberapa unsur yang ada dalam HAM antara lain, pertama,
hak tersebut bersifat kodrati; kedua, hak tersebut melekat pada hakikat keberadaan manusia;
ketiga, hak tersebut bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat; keempat, hak tersebut
merupakan anugerah Tuhan; kelima, hak tersebut bersifat luhur dan suci; keenam, hak
tersebut wajib dihormati dan dilindungi oleh siapa pun, termasuk dan terutama dari tindakan
penguasa; ketujuh, berfungsi sebagai jaminan moral dan legal; kedelapan, ditujukan untuk
menikmati kebebasan. James. W. Nickel, Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, terj. Titis Eddy Arini (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996), hlm. 20-21. Jazim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap
Agama; Studi Konvergensi atas Politik Aliran Keagamaan dan Reposisi Peradilan Agama di
Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 16. Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Konsep
Dasar Hak Asasi Manusia”, dalam Menelusuri Makna Hak Asasi Manusia, Seri Buku VOX,
41/2 (Maumere: STFK Ledalero, 1997), hlm. 28. Tim ICCE UIN Jakarta, Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani (Jakarta: Prenada Media, 2000), hlm. 199-200. Theo Huijbers, Filsafat Hukum
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 96. Rhoda E. Howard, HAM: Penjelajahan Dalih
Relativisme Budaya, terj. Nugraha Katjasungkana (Jakarta: Grafiti, 2000), hlm. 19.
[2] Adapun dasar pemikiran pembentukan undang-undang ini adalah sebagai berikut yakni
pertama, Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta dengan segala isinya; kedua,
Page 18
manusia pada dasarnya dianugerahi, jiwa, bentuk, struktur kemampuan, kemauan, serta
berbagai kemudahan oleh Penciptanya demi menjamin kelanjutan hidupnya; ketiga, untuk
melindungi, mempertahankan, dan meningkatkan martabat manusia, diperlukan pengakuan
dan perlindungan Hak Asasi Manusia karena tanpa hal tersebut manusia akan kehilangan sifat
dan martabatnya sehingga dapat mendorong manusia menjadi srigala bagi manusia lainnya;
keempat, manusia adalah makhluk sosial, maka hak asasi manusia yang satu dibatasi oleh hak
asasi manusia yang lain, sehingga kebebasan atau hak asasi manusia bukanlah tanpa batas;
kelima, Hak Asasi Manusia tidak boleh dilenyapkan oleh siapapun dan dalam keadaan
apapun; keenam, setiap Hak Asasi Manusia mengandung kewajiban untuk menghormati Hak
Asasi Manusia sehingga di dalam Hak Asasi Manusia terdapat kewajiban mendasar; ketujuh,
Hak Asasi Manusia harus benar-benar dihormati, dilindungi, dan ditegakkan. Untuk itu
pemerintah, aparatur negara, dan pejabat publik lainnya mempunyai kewajiban dan tanggung
jawab menjamin terselenggaranya penghormatan, perlindungan, dan penegakan Hak Asasi
Manusia. Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, Pokok-Pokok Pikiran Bangsa Indonesia
tentang HAM (Jakarta: Dewan Pertahanan Keamanan Nasional, 1997), hlm. 9-10.
[3] Majda el-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD 1945
sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. xii.
[4] Amin Suma mengungkapkan bahwa diktum hukum yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 adakalanya jauh lebih ringkas, filosofis, tepat dan akurat dibandingkan
dengan diktum hukum yang diformulasikan dalam Kompilasi Hukum Islam. Salah satu
contohnya adalah berkaitan dengan defenisi perkawinan. Dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 pasal 1, defenisi perkawinan lebih mencakup tujuan dan dasar sekaligus yakni
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Undang-Undang Perkawinan di Indonesia
(Surabaya: Arkola, t.t.), hlm. 5. Adapun istilah dan tujuan perkawinan dalam KHI dibuat
terpisah menjadi dua pasal yakni “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan
yaitu, aqad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah” (pasal 2), sedangkan tujuannya adalah “untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah” (pasal 3).
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, 1997/1998), hlm. 14. Kejanggalan lain adalah dalam tambahan kalimat “untuk
Page 19
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Redaksi ini lebih
mencerminkan bahasa dakwah daripada bahasa hukum yang berbentuk undang-undang.
Muhammad Amin Suma, “Studi Evaluatif terhadap Materi dan Dasar Hukum Pemberlakuan
Kompilasi Hukum Islam”, dalam Unisia, No. 48, Vol. II (2003), hlm. 118. Adapun
Perkawinan Beda Agama adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang
wanita, yang karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum
agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat O.S, Eoh, Perkawinan Antaragama dalam
Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 35-36.
[5]Secara lengkap bunyi pasal tersebut adalah pasal 40 huruf (c): “Dilarang melangsungkan
perkawinan antar seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; huruf c)
seorang wanita yang tidak beragama Islam. Dan pasal 44: “Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Kompilasi,
hlm. 26-27.
[6] Regeling Of de Gemengde Huwelijken (GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yang
dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam
Lembaran Negara Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158. Pada pasal 1 GHR disebutkan
perkawinan campuran adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan. Kemudian dalam penjelasannya dikemukakan contoh perkawinan
antara seorang WNI dengan seorang bangsa Belanda atau Eropa lainnya sekalipun telah
menjadi WNI serta memeluk agama Islam. Begitu pula perkawinan antara seorang Indonesia
dengan seorang Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang tidak memeluk agama Islam
sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu, pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan
agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk perkawinan” FXS.
Purwaharsanto pr, Perkawinan Campuran Antar Agama menurut UU RI No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan: Sebuah Telaah Kritis Aktualita Media Cetak (Yogyakarta: tnp, 1992),
hlm. 10-13.
[7] Ibid., hlm. 66.
[8] M. Rasjidi dengan nada mengecam menyatakan bahwa kata “agama” dalam pasal ini
sengaja diselipkan sedemikian rupa, sehingga orang yang tidak teliti dalam membacanya
Page 20
akan mengatakan bahwa pasal ini tidak bertentangan dengan hukum Islam. Selain itu, Rasjidi
juga menganggap bahwa RUU ini merupakan kristenisasi terselubung karena menganggap
hal yang dilarang Islam seolah menjadi hal yang sudah biasa diterima oleh orang termasuk
perkawinan antar agama. Menyamakan perbedaan agama dengan perbedaan suku dan daerah
asal sehingga dianggap tidak menghalangi sahnya suatu perkawinan adalah merupakan hal
yang bertentangan dengan ajaran Islam sehingga RUU ini hanya menguntungkan satu pihak
saja yaitu misionaris. M. Rasjidi, Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan
Kristen (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 10-12.
[9] Selain Islam, agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen sehingga
jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut hukum agama Katholik,
maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan
kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada
prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang
seagama, tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan
kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan
Sipil atau diberkati di gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan
agama Hindu tidak mengenal perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak
perkawinan tersebut. Sedangkan agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan
perkawinan dengan penganut agama lain asal dilakukan menurut tata cara agama Budha. O.S
Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hlm.118-125.
[10] Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (ed.), Pernikahan Beda Agama: Kesaksian,
Argumen Keagamaan, dan Analisis Kebijakan (Jakarta: KOMNAS HAM bekerja sama
dengan ICRP, 2005), hlm. 7.
[11] Cornelis Lay dalam salah satu tulisannya menjelaskan bahwa aspek penting yang harus
ada dalam setiap konstitusi modern-demokratis adalah pengakuan dan pemberlakuan prinsip
citizenship. Prinsip ini mengandaikan dan sekaligus menerima premis tentang kesetaraan
warga negara tanpa kecuali dalam segala hal. Prinsip ini mengabaikan politik pengecualian
atas dasar kriteria apapun termasuk agama, etnisitas, gender, dan selainnya. Cornelis Lay,
Kajian Komparatif tentang HAM dan Hak-Hak Warga Negara, Makalah Pengantar diskusi
dalam Seminar Dies Natalis Fisipol UGM ke-44 tentang “Amandemen UUD 1945”,
Yogyakarta, 18 September 1999, tidak diterbitkan.
Page 21
[12] Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (ed.), Pernikahan, hlm. 8.
[13] Perkawinan beda agama mempunyai dua aspek jika dilihat dari kacamata hukum yakni,
pertama, perkawinan tersebut dilakukan oleh orang yang tunduk pada agama dan keyakinan
yang berbeda; kedua, perkawinan tersebut dilangsungkan di luar wilayah Indonesia, sehingga
berlaku hukum Indonesia maupun hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Hartini,
Perkawinan Berbeda Agama di Luar Negeri (Makalah pada Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, tidak diterbitkan), hlm. 11.
[14] Paling tidak terdapat dua pendapat dalam menafsirkan hubungan ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yakni pertama, aliran legisme (tekstualis)
yang berpendapat bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa dicatat oleh pegawai pencatat
perkawinan adalah sah, karena dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan yang
dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing adalah sah dan hukum agama tidak
menjadikan pencatatan perkawinan sebagai syarat sah perkawinan; kedua, aliran
strukturalisme yang beranggapan bahwa perkawinan yang dilakukan tanpa dicatat oleh
pegawai pencatat perkawinan tidaklah sah karena dalam ayat (2) terdapat ketentuan bahwa
setiap perkawinan dicatat oleh pegawai pencatat perkawinan. Oleh karena itu, dalam
perspektif penafsiran strukturalisme, antara ayat (1) dan ayat (2) merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Jaih Mubarok, “Akar-Akar RUU Perkawinan Tahun 1973 di
Indonesia”, Khazanah, Vol. 1, No. 3 (Januari-Juni 2003), hlm. 531.
[15] Kalau secara jelas diakui bahwa Indonesia adalah negara beribu suku, ras, golongan,
maka dengan sendirinya pula Pancasila sebagai titik pertemuan antar kelompok, antaragama,
antarras, dan suku, mestilah dipandang sebagai payung bagi semua anak bangsa di dalamnya
sehingga tidak betul bila Pancasila sebagai dasar negara hanya milik umat beragama yang
hanya diakui pemerintah. Nur Khalik Ridwan, Detik-Detik Pembongkaran Agama:
Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme Pembebasan (Yogyakarta: Ar-
Ruzz, 2003), hlm. 259-262.
[16] Dengan panjang lebar Dawam Raharjo menjelaskan tentang kebebasan beragama.
Kebebasan beragama, dengan dalil tidak ada paksaan dalam agama, adalah prinsip yang
sangat penting dalam sekularisme dan harus dipahami makna dan konsekuensinya, baik oleh
negara maupun masyarakat. Oleh sebab itu, prinsip ini perlu diwujudkan ke dalam suatu
undang-undang (UU) yang memayungi kebebasan dalam keberagamaan. Maksud UU ini
Page 22
adalah, pertama agar bisa membatasi otoritas negara sehingga tidak menimbulkan campur
tangan negara dalam hal akidah (dasar-dasar kepercayaan), ibadah, maupun syariat agama
(code) pada umumnya. Kedua, di lain pihak, ia memberi kesadaran kepada setiap
warganegara akan hak-hak asasinya dalam berpendapat, berkeyakinan, dan beragama.
Undang-undang semacam itu harus mendefinisikan kebebasan beragama secara lebih detail
yaitu, pertama, kebebasan beragama berarti kebebasan untuk memilih agama atau
menentukan agama yang dipeluk, serta kebebasan untuk melaksanakan ibadah menurut
agama dan keyakinan masing-masing; kedua, kebebasan beragama berarti pula kebebasan
untuk tidak beragama. Walaupun UUD menyatakan bahwa negara berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, kebebasan beragama juga berarti bebas untuk tidak percaya kepada Tuhan
atau untuk berkeyakinan ateis; ketiga, kebebasan beragama berarti juga kebebasan untuk
berpindah agama, yang setara dengan berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama
lain. Berpindah agama tidak berarti murtad, melainkan menemukan kesadaran baru dalam
beragama. Berpindah agama juga tidak bisa disebut kafir, karena istilah kafir bukan berarti
mempunyai agama lain, melainkan menentang perintah Tuhan; keempat, kebebasan
beragama berarti pula bebas untuk menyebarkan agama (berdakwah), asal dilakukan tidak
melalui kekerasan maupun paksaan secara langsung ataupun tidak langsung. Kegiatan untuk
mencari pengikut, dengan pembagian bahan makanan, beasiswa kepada anak-anak dari
keluarga miskin, atau pelayanan kesehatan gratis dengan syarat harus masuk ke dalam
agama tertentu, adalah usaha yang tidak etis, karena bersifat merendahkan martabat manusia,
dengan cara “membeli” keyakinan seseorang. Namun program bantuan semacam itu boleh
dilakukan oleh suatu organisasi keagamaan, asal tidak disertai syarat masuk agama tertentu.
Penyebaran agama dengan cara menawarkan iman dan keselamatan secara langsung dari
orang ke orang atau dengan cara kunjungan dari rumah ke rumah dengan tujuan proliterasi
adalah tindakan yang tidak sopan dan sangat mengganggu, karena itu harus dilarang.
Kegiatan penyebaran agama, sebagai pewartaan, tidak dilarang, tetapi upaya kristenisasi atau
islamisasi sebagai proliterasi tidak diperkenankan. Jika tata cara penyebaran agama bisa
diatur, tidak akan ada lagi tuduhan kristenisasi, islamisasi, atau pemurtadan; kelima, atas
dasar kebebasan beragama dan pluralisme, negara harus bersikap adil terhadap semua agama.
Suatu peraturan pemerintah yang bersifat membendung penyebaran agama atau membatasi
kegiatan beribadah agama tertentu, dianggap bertentangan dengan UU. Konsekuensinya,
pencantuman agama dalam kartu identitas, misalnya di Kartu Tanpa Penduduk (KTP), tidak
diperlukan, karena bisa membuka peluang favoritisme dan diskriminasi yang menguntungkan
agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk atau mereka yang berpengaruh di
Page 23
pemerintahan; keenam, dalam perkembangan hidup beragama, setiap warga berhak
membentuk aliran keagamaan tertentu, bahkan mendirikan agama baru, asal tidak
mengganggu ketenteraman umum dan melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum dan
tata susila, atau menipu dengan kedok agama. Kebebasan itu berlaku pula bagi mereka yang
ingin mendirikan perkumpulan untuk maksud kesehatan atau kecerdasan emosional dan
spiritual berdasarkan ajaran beberapa agama, sesuai dengan pilihan anggota atau peserta,
selama tidak mengharuskan keimanan kepada suatu akidah agama sebagai syarat; dan
ketujuh, negara maupun suatu otoritas keagamaan, jika ada, tidak boleh membuat keputusan
hukum (legal decition) yang menyatakan suatu aliran keagamaan sebagai sesat dan
menyesatkan, kecuali jika aliran itu telah melakukan praktik-praktik yang melanggar hukum
dan tata susila. M. Dawam Raharjo, “Dasasila Kebebasan Beragama,”
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=925, akses 7 Juni 2006.
[17] Kebijakan negara yang tidak mengakui sistem kepercayaan lokal sebagai agama resmi,
berimplikasi terhadap adanya “pembenaran” untuk mematikan eksistensi agama-agama lokal.
Kebijakan ini kemudian berdampak kepada maraknya kegiatan misi atau dakwah agama
resmi terhadap para pemeluk kepercayaan lokal. Aktivitas misi atau dakwah pada akhirnya
menimbulkan persaingan di antara para pelaku dakwah dari berbagai agama resmi, sehingga
menimbulkan bibit-bibit konflik dalam tiga aras konflik yakni, pertama, konflik antara
pengemban misi atau dakwah agama resmi. Hal ini terjadi karena masing-masing agama
resmi saling berlomba menginginkan masuknya masyarakat suku ke dalam agama mereka;
kedua, konflik antara penganut agama lokal dengan penganut agama resmi. Hal tersebut
terjadi sebagai akibat adanya respon masyarakat penganut kepercayaan lokal yang masih
ingin mempertahankan kepercayaan asli mereka dari aktivitas penyebarluasan atau misi
(dakwah) agama resmi; dan ketiga, konflik antara negara dengan masyarakat penganut sistem
kepercayaan lokal. Hal ini muncul akibat 2 konflik di atas yang ujung-ujungnya berakibat
pada tuntutan masyarakat lokal terhadap pemerintah, yakni tuntutan yang menghendaki
negara mengakui eksistensi kepercayaan lokal tersebut. Moh Soehadha, “Kebijakan
Pemerintah tentang “Agama Resmi” serta Implikasinya terhadap Peminggiran Sistem Religi
Lokal dan Konflik antar Agama”, Esensia, Vol. 5, No. 1 (Januari 2004), hlm. 106-107.
[18] Suwoto Mulyosudarmo, “Kebebasan Beragama dalam Perspektif HAM”, dalam
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over Melintasi Batas Agama
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 146-147.
Page 24
[19] John Alder, General Principles of Constitusional and Administrative Law (New York:
Palgrave Macmillan, 2002), hlm. 39.
[20] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia (Bandung: Alumni, 1992),
hlm. 74.
[21] Hak berkeluarga termasuk dalam hak sipil dan hal tersebut telah terakomodir dalam
ICCPR sehingga tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan
kebebasan yang diatur dalam kovenan tadi adalah merupakan kewajiban negara. Hal ini
ditegaskan pada pasal 2 ayat (1) dari covenan tersebut yang menyatakan bahwa negara-
negara pihak diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam
kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan
tunduk pada yurisdiksinya tanpa ada diskriminasi apa pun. Kalau hak dan kebebasan yang
terdapat dalam kovenan ini belum dijamin dalam yurisdiksi suatu negara, maka negara
tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislative atau tindakan lainnya yang perlu
guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu. Tanggung jawab negara dalam ICCPR
bersifat mutlak dan harus segera dijalankan (immediately) karena hak-hak sipil dan politik
adalah bersifat justiciable. Dalam konteks Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 pun telah
ditegaskan pada pasal 10 ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga
dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Bahkan dalam Pasal 8 juga
ditegaskan bahwa negara (dalam hal ini pemerintah) memiliki tanggungjawab menjamin
prinsip kebebasan tersebut yang menjadi hak asasi manusia, “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama
Pemerintah“.
[22] Juan Linz sebagaimana dikutip oleh Bahtiar Effendy menjelaskan bahwa dalam
merumuskan sebuah konsep tentang demokrasi, beberapa syarat agar sebuah sistem politik
baru bisa dikatakan demokratis bila ia, pertama, memberi kebebasan bagi masyarakatnya
untuk merumuskan preferensi-preferensi politik mereka melalui jalur-jalur perserikatan,
informasi, dan komunikasi; kedua, memberikan kesempatan bagi warganya untuk bersaing
secara teratur, melalui cara-cara damai; ketiga, tidak melarang siapa pun untuk
memperebutkan jabatan-jabatan politik yang ada; dan keempat, memberi perlindungan
terhadap kebebasan masyarakat (civil liberties). Dari konsepsi tersebut, terlihat bahwa konsep
demokrasi adalah konsep yang menuntut (demanding). Bahtiar Effendy, “Islam dan
Page 25
Demokrasi: Mencari Sebuah Sintesa yang Memungkinkan”, dalam M. Nasir Tamara dan Elza
Peldi Taher (ed.), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 89.
[23] Mun’im A. Sirry, “Reformasi dan Imajinasi Indonesia Baru”, dalam Mun’im A. Sirry,
Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta:
Erlangga, 2003), hlm. 167. Adanya rule of law sebagai jaminan hukum bagi kebebasan warga
negara sesuai dengan bunyi angka 3 Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974 yang menyatkan bahwa “Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, maka Undang-undang ini di satu pihak harus dapat mewujudkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
sedangkan di lain pihak harus dapat pula menampung segala kenyataan yang hidup
dalam masyarakat dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini telah menampung di
dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan” (cetak tebal dari penulis). Asmin, Status Perkawinan antar Agama
Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974 (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm.
76.
[24] Asmin mengungkapkan bahwa sangat bijaksana bila Negara Republik Indonesia, dengan
falsafah Pancasila-nya, dapat memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang
berkehendak untuk melangsungkan pernikahan dengan calon pasangannya yang mempunyai
agama yang berbeda dengan agama yang dianutnya, karena mereka pun adalah sebagian dari
warga negara yang berhak mendapat perlindungan dan kepastian hukum. Kiranya langkah
kearah itu tidak akan mengurangi sikap negara dalam menghormati dan melindungi agama-
agama di Indonesia. Pengakuan dan pemberian perlindungan hukum kepada perkawinan
antar agama merupakan suatu keharusan, bila undang-undang perkawinan nasional
berkehendak untuk dapat menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
Masalah kepatuhan seseorang terhadap agamanya adalah masalah pribadi para pemeluk
agama. Oleh karena itu, negara wajib menjamin kebebasan beragama dan di pihak lain
berkewajiban memberikan perlindungan hukum pada rakyatnya. Ibid., hlm. 76.
[25] Jika negara sampai melakukan tindakan diskriminatif dalam pemenuhan hak-hak warga
negaranya terutama atas dasar agama, maka hal tersebut jelas melanggar HAM. Hal ini
sebagaimana ditegaskan pada pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 yang
menyatakan bahwa “Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan
yang langsung ataupun tak langsung di dasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
Page 26
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin,
bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan, atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial,
budaya, dan sepek kehidupan lainnya”. Pasal 3 ayat (3) juga menyatakan bahwa “Setiap
orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi”. Beragama merupakan salah satu hak asasi manusia dan merupakan kebebasan
dasar manusia yang diatur dan dijamin perlindungannya dalam Undang-Undang No. 39
Tahun 1999. Diskriminasi yang dilakukan oleh negara tersebut jelas amat berbahaya dan
mengancam nilai-nilai demokrasi dan kebebasan karena beberapa hal. Pertama, kebijakan
diskriminatif yang dilakukan oleh negara bersifat resmi melalui sejumlah regulasi.
Diskriminasi demikian tentu tidak sekadar “prasangka” yang muncul secara sporadis, tetapi
bersifat sistematis-struktural yang mewarnai kebijakan-kebijakan resmi pemerintah atas
warga negaranya; kedua, karena bersifat sistematis-struktural, maka kebijakan itu mempunyai
daya paksa dan menjadi semacam blue print dari wajah negara sendiri; dan ketiga, kebijakan
diskriminatif merupakan kejahatan yang disponsori oleh negara (state sponsored evil) dan
tentu tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.
[26] Berkaitan dengan undang-undang sebagai sistem yang terbuka adalah merupakan
pendapat Paul Scholten yang menjelaskan bahwa tujuan akhir dari sebuah hukum adalah
“keadilan” yang diartikannya sebagai memberikan perlakuan yang sama terhadap hal-hal
yang sama. Konsekuensi dari undang-undang sebagai satu siatem yang terbuka adalah
sebagaimana ungkapan Wayne R. LaFave yang dikutip oleh Satjipto Raharjo yang
menyatakan bahwa “no legislation has succeeded in formulating a code which clearly
encompassed all conduct” (tidak ada badan perundang-undangan yang telah berhasil
merumuskan sebuah susunan undang-undang yang jelas-jelas mencakup semua pri-
kelakuan). Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum (Bandung: Angkasa, 1979), hlm. 113-117. Alasan
ini juga berpijak pada logika yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung (MA) bahwa terdapat
kekosongan hukum pada pengaturan perkawinan beda agama. Kekosongan ini tentu tidak
dapat dibiarkan berlarur-larut tanpa terpecahkan secara hukum karena membiarkan masalah
tersebut berlarut-larut pasti akan menimbulkan dampak-dampak negatif di segi kehidupan
bermasyarakat maupun beragama berupa penyelundupan-penyelundupan nilai-nilai sosial,
agama, maupun hukum positif.
Page 27
Sahnya suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUP adalah :
1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya.
Dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar
hukum agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila
perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai
pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954. Sedangkan, bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar
agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP
No. 9/1975).
Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai
perkawinan pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya
perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan
menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.
Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut
membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran Islam
wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Al Baqarah [2]:
221). Selain itu, juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang (II Korintus 6:
14-18). Lebih lanjut mengenai permasalahan apa saja yang mungkin timbul dalam
Page 28
perkawinan beda agama simak artikel Kawin Beda Agama Itu Kira-kira Bakal Munculin
Permasalahan Apa Saja Ya?
Dalam hal ini karena Anda sebagai pihak laki-laki yang beragama Islam, dan dalam ajaran
Islam masih diperbolehkan untuk menikah beda agama apabila pihak laki-laki yang beragama
Islam dan pihak perempuan beragama lain. Namun, dalam ajaran Katolik yang dianut oleh
pasangan Anda pada prinsipnya dilarang adanya perkawinan beda agama.
Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di
Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono
Darmabrata, menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama
agar pernikahannya dapat dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1. meminta penetapan pengadilan,
2. perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3. penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4. menikah di luar negeri.
Lebih lanjut simak artikel Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda
Agama.
Dalam artikel Empat Cara Penyelundupan Hukum Bagi Pasangan Beda Agama, kita
juga ketahui bahwa benar ada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No.
1400 K/Pdt/1986. Putusan MA tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil
saat itu diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari
perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan
Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (laki-laki/Kristen).
Page 29
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di
Kantor Catatan Sipil maka Andi Vonny telah memilih untuk perkawinannya tidak
dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk
mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan dan
mencatatkan perkawinan tersebut.
Dalam hal ini apabila Anda berkeinginan untuk mencatatkan perkawinan di KCS, maka
berdasarkan pada putusan MA tersebut Anda dapat memilih untuk menundukkan diri dan
melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Kemudian, apabila permohonan pencatatan
perkawinan Anda dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan Anda adalah
sah menurut hukum