-
i
PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR
AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Suripto Bero
21214003
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2018
-
ii
-
iii
PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR
AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
Suripto Bero
21214003
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2018
-
iv
Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
Dosen IAIN Salatiga
PENGESAHAN PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
KepadaYth.
Dekan FakultasSyari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga.
Assalamu’alaikumWarahmatullahiWabarakatuh
Denganhormat, setelah di laksanakan bimbingan, arahan dan
koreksi, maka
naskah skripsi mahasiswa :
Nama : Suripto Bero
NIM : 212-14-003
Judul : Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah
dan
Buku Fiqh Lintas Agama.
Dapat diajukan kepada Fakultas Syariah IAIN Salatiga untuk
diujikan dalam
sidang munaqosyah.
Demikian nota pembimbing ini dibuat, untuk menjadi perhatian dan
digunakan
sebagaimana mestinya.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Salatiga, 26 September 2018
Pembimbing,
Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
NIP.197411232000032002
-
v
PENGESAHAN
SkripsiBerjudul:
PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-MISBAH
DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
Oleh:
Suripto Bero
NIM 212-14-003
Telah di pertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi
Jurusan Hukum
Keluarga Islam, Fakultas Syariah, Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga,
pada tanggal 28September 20186dan telah dinyatakan memenuhi
syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum (SH).
Dewan Sidang Munaqosyah:
KetuaPenguji : Muh. Hafidz, M. Ag.
SekretarisPenguji : Tri Wahyu Hidayati, M. Ag.
Penguji I : Dr. Ilyya Muhsin, M. SI.
Penguji II : Luthfiana Zahriani, S. H., M. H.
Salatiga, 1 Oktober 2018
DekanFakultasSyariah IAIN
Dr. SitiZumrotun, M.Ag
NIP. 19670115 199803 2002
KEMENTERIAN AGAMA RI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS SYRI’AH Jl. NakulaSadewa V No. 9Telp (0298) 3419400
Fax. 323423 Salatiga5022
Website:www.iainsalatiga.ac.idEmail :
[email protected]
http://www.iainsalatiga.ac.id/mailto:[email protected]
-
vi
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawahini :
Nama : Suripto Bero
NIM : 212-14-003
Jurusan : HukumKeluarga Islam
Fakultas : Syariah
Judul : PERKAWINAN BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR
AL-MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-bena
rmerupakan hasil karya
saya sendiri, buka njiplakan dari karya tulis orang lain.
Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk
berdasarkan kode
etik ilmiah.
Salatiga, 1 Oktober 2018
Yang menyatakan,
Suripto Bero
NIM21214003
-
vii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
“Khoirunnas anfa’uhum linnas”
Persembahan
Untuk orang tuadan keluarga tercintaku
-
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan
semesta
alam yang berkuasa atas segala sesuatu. Berkat tuntutan, hidayah
serta
karuniaNya lah penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada baginda
Nabi
Muhamad SAW. Nabi akhir zaman yang akan selalu menjadi
suritauladan bagi
umat islam sampai yaumulqiyamah. Amin.
Manusia tida kada yang sempurna. Begitupun dengan penulis,
penulis
hanyalah makhluk yang tiada mungkin tidak ada kekurangan.
Penulis hanyalah
manusia biasa yang semangatnya terkadang hidup dan padam ,
sehingga
merupakan anugerah yang luar biasa dengan bekal niat dan
dukungan dari banyak
pihak yang pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan penulisan
skripsi yang
berjudul: Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir al-Misbah dan
Buku Fiqh
Lintas Agama. Atas terselesaikannya skripsi ini, penulis
menghaturkan terima
kaasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN
Salatiga.
2. Ibu Dr. Sit iZumrotunM.Ag, Selaku Dekan Fakults Syariah IAIN
Salatiga.
3. Bapak Sukron Ma’mun, M.Si,selaku Kepala Jurusan Hukum
Keluarga Islam.
4. Ibu Tri Wahyu Hidayati, M. Ag, selaku Pembimbing Skripsi
5. Ibu Luthfiana Zahriani, S. H., M. H,selaku dosenPembimbing
Akademik.
6. Segenap Bapak Ibu petugas Perspustakaan IAIN Salatiga yang
selalu setulus
hati memberikan pelayanan terbaiknya.
-
ix
7. Orang tua dan istri tercinta atas segala doa, bimbingan,
arahan dan juga
kesabarannya.
8. Teman-teman Jurusan Hukum Keluarga Islam angkatan 2014.
9. Pihak-pihak yang mendukungku dan memberikan banyak ilmu
serta
pengalaman.
Penulis tidak mampu membalas dukungan, bimbingan serta motivasi
yang
telah diberikan selamaini, semoga semua itu menjadi amal shalih
dan semoga
Allah membalas amal shalih tersebut dengan balasan yang lebih
baik. Penulis
menyadari dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan
dan kelalaian,
oleh karenanya penulis berlapang dada untuk menerima kritik dan
saran yang
membangun demi perbaikan.
Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi salah satu sumber
ilmu yang
bermanfaat dunia dan akhirat.Trima kasih.
Salatiga, 1 Oktober 2018
Penulis
-
x
ABSTRAK
Bero, Suripto. 2018. “Perkawinan Beda Agama Perspektif Tafsir
al-Misbah dan
Buku Fiqh Lintas Agama”.Skripsi.FakultasSyari’ah. Jurusan
Hukum
Keluarga Islam .Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
PembimbingTri Wahyu Hidayati, M.Ag.
Kata kunci: Perkawinan, Beda Agama.
Tidak dipungkiri lagi bahwa perkawinan beda agama semakin
marak
terjadi di tengah kehidupan masyarakat, problematika ini menjadi
akar
permasalahan yang kemudian akan dibahas dalam Kitab Tafsir
al-Misbah dan
Buku Fiqh Lintas Agama. Penelitian ini bertujuan untuk (1)
mengetahuibagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Tafsir
al-
Misbah, (2) mengetahui bagaimanahukum perkawinan beda agama
menurut
Buku Fiqih Lintas Agama, (3) mengetahui apa persamaan dan
perbedaan
pemikiran kitab Tafsir al-Misbah dan Buku FiqihLintas Agama
tentang
perkawinan beda agama serta bagaimana relevansinya terhadap
Peraturan
Perundang -undangan di Negara Indonesia.
Penelitian ini bersifat literatur atau kepustakaan yang
menggunakan kajian
terhadap buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi ini.
Dalam penelitian ini
menggunakan metode deskriptif-analitis yang penulis gunakan
untuk mengungkap
permasalahan yang berkaitan dengan penelitian ini.
Penelitian ini menunjukkan hukum nikah beda agama dalam Tafsir
al-
Misbah adalahdibolehkan dengandasar QS. al-Maidah ayat 5 yang
menyatakan
kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita Ahl al-Kitab dengan
tujuan dakwah,
dan larangan pernikahan beda agama yang bersandar pada QS.
al-Baqarah ayat
221 dengan alasan dikhawatirkan akan membuat runtuhnya bangunan
rumah
tangga karena perbedaan iman. Kemudian menurut Buku Fiqh Lintas
Agama
tentang pernikahan beda agama ini diperbolehkan berdasarkan QS.
al-Maidah ayat
5 yang menyatakan kebolehan laki-laki muslim menikahi wanita Ahl
al-Kitab,
dan karena berkembangnya zaman serta adanya ijtihad yang
seringkali melahirkan
produk hukum baru, maka bisa dimungkinkan wanita muslimah boleh
menikah
dengan laki-laki Ahl al-Kitab. Selanjutnya persamaan antara
pemikiran M.
Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid adalah keduanya membolehkan
seorang
laki-laki muslim menikah denga wanita Ahl al-Kitab, sedang
perbedaannya yakni
dalam pemikiran Nur Cholis Madjid ini lebih luas memaknai
kebolehan wanita
muslimah menikah dengan laki-laki Ahl al-kitab yang dimungkinkan
bisa
diperbolehkan karena perkembangan zaman dan ijtihad yang
seringkali
melahirkan produk hukum baru. Terkait dengan relevansinya dengan
Perundang-
undangan berdasarkan keempat penjelasan tersebut di atas
terdapat kontrovesri
dan ketidak sinambungan satu sama lain. KarenaUU No. 1 Tahun
1974hanyamengaturtentangkeabsahansuatupernikahansajadantidakmengatursecar
arincimengenaipernikahanbeda agama, sedangkan menurut Kompilasi
Hukum
Islam lebih melarang adanya perkawinan beda agama.
-
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
......................................................................................
i
LEMBAR BERLOGO
....................................................................................
ii
HALAMAN JUDUL
......................................................................................
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
..............................................................
iv
PENGESAHAN
..............................................................................................
v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
..................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
...............................................................
vii
KATA PENGANTAR
................................................................................
viii
ABSTRAK
......................................................................................................
x
DAFTAR ISI
..................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL
.......................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR
.....................................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN
................................................................................
1
A. Latar BelakangPenelitian
.......................................................... 1
B. RumusanMasalah
......................................................................
4
C. TujuanPenelitian
........................................................................
4
D. KegunaanPenelitian
...................................................................
5
E. TelaahPustaka
............................................................................
5
F. Metode Penelitian
......................................................................
7
1. PendekatanPenelitian
........................................................... 7
2. Sumber Data
........................................................................
8
3. Analisis Data
......................................................................
8
-
xii
G. Penegasan Istilah .
...................................................................
10
H. SistematikaPenulisan
...............................................................
11
BAB IIKAJIAN PUSTAKA
.........................................................................
13
A. Perkawinan dalam Hukum Islam
............................................. 13
B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam ..............
15
C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam
............................ 19
D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Peraturan Perundang-
undangan dan Kompilasi Hukum Islam
................................... 21
BAB III HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIF TAFSIR AL-
MISBAH DAN BUKU FIQH LINTAS AGAMA.....................31
A. Biografi M. Quraish Shihab
...................................................... 31
B. Metode Tafsir al-Misbah
.......................................................... 36
C. Pemikiran Beda Agama menurut M. Quraish Shihab ..............
37
D. Pemikiran Beda Agama menurut Buku Fiqh Lintas Agama ....
52
E. Makna Kata Musyrik dan Ahl al-Kitab dalam Pandangan M.
Quraish Shihab dan Nur Cholis Madjid
................................... 75
F. Perkawinan Beda Agama dalam UU. No. 1 Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam
........................................................... 76
BAB IV ANALISA
........................................................................................
79
A. Analisa tentang Hukum Beda Agamamenurut M. Quraish Shihab
..................................................................................................
79
B. Analisa tentang Hukum Beda Agamamenurut Buku Fiqh Lintas
Agama
.......................................................................................
82
-
xiii
C. Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir
al-
Misbah dan Buku Fiqih Lintas Agama serta Relevansinya
terhadap
Peraturan Perundang-undangan di Negara Indonesia ...............
84
BAB V PENUTUP
.........................................................................................
88
A. Kesimpulan
..............................................................................
88
B. Saran
........................................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA
....................................................................................
92
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rasulullah di utus oleh Allah SWT kemuka bumi ini sebagai
rasul
penutup dan penyempurna akhlak mansuia, begitu pula al-Quran
sebagai
sumber hukum yang pertama risalah yang dibawa Rasulullah
juga
merupakan kitab penyempurna dari kitab sebelumnya ( Zabur,
Taurat dan
Injil ). Rasul diutus mewujudkan ummat yang rahmatal lil alamin
. “Rasa
cinta dan kasih sayanglah yang menjadikan bumi tercipta,
ber-putar
menunjukkan setiap peradabannya.” Demikian Jalaluddin Rumi
berujar.
Menurutnya cintalah yang menjadi sebab semuanya. Rasa yang
keberadaan-nya jauh di luar kuasa manusia, sejauh khayal yang
terbang,
manusia hanya dapat mewakilkannya dengan kata. Ia adalah
fitrah
pemberian Allah. Allah yang menganugerahkan rasa cinta dan
kasih
sayang kepada makhluk-Nya, karena memang Dia adalah Dzat
yang
selalu dipenuhi ribuan cinta. Ia ciptakan semburat rasa itu agar
antara
makhluk saling berkasih sayang, bertemu se-bagai makhluk Allah
atas
nama cinta, untuk suatu saat nanti kembali kepada-Nya karena
cinta.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan masyarakat yang
pluralistik dengan beragam suku dan agama. Ini tercermin dari
semboyan
bangsa Indonesia “ BHINEKA TUNGGAL IKA “. Dalam kondisi
keberagaman seperti ini bisa saja terjadi interaksi sosial di
antara
-
2
kelompok kelompok masyarakat yang berbeda kemudian berlanjut
ke
perkawinan.
Agama sebagai aturan atau ketentuan dari langit yang
mengatur
hubungan antara makhluk dan Tuhannya atau sebagai sistem
sosial
merupakan sebuah kebutuhan pokok bagi manusia. Agama akan
lebih
dibutuhkan lagi bila kita pahami sebagai nilai nilai ruhaniah
dan spiritual.
Tak terkecuali agama Islam memiliki pandangan luhur dan
syariat
(aturan) berkaitan dengan pernikahan . Adanya pandangan suci
terhadap
pernikahan ini melahirkan paradigma dan apresiasi tinggi dan
mulia
terhadap pernikahan. Karena hanya dengan pernikahan relasi
laki-laki dan
perempuan dapat dibedakan dari kehidupan binatang. Hanya
dengan
pernikahan seseorang dianggap telah menempuh cara terbaik
untuk
menyalurkan kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan.
ُهَما يَا َها َزْوَجَها َوَبثَّ ِمن ْ أَي َُّها النَّاُس ات
َُّقوا َربَُّكُم الَِّذي َخَلَقُكْم ِمْن نَ ْفٍس َواِحَدٍة َوَخَلَق
ِمن ْ رَِجاال َكِثريًا َوِنَساًء َوات َُّقوا اللََّو الَِّذي
َتَساَءُلوَن بِِو َواألْرَحاَم ِإنَّ اللََّو َكاَن َعَلْيُكْم
َرِقيًبا
Artinya:
“Wahai Manusia bertakwalah kamu kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu ( Adam ) dan Allah
menciptakan pasangannya ( Hawa ) dari (diri) nya , dan dari
keduanya Allah memperkembang biakan laki laik dan perempuan
yang banyak. Bertakwalah Kepada Allah yang dengan nama-Nya
kamu saling meminta dan peliharalah hubungan kekeluargaan”
.(Qs An nisa :1)
Perkawinan adalah fitrah kemanusian, maka dari itu Islam
menganjurkan untuk menikah, karena nikah merupakan gharizah
insaniyah ( naluri kemanusiaan ) bila gharizah insaniyah ini
tidak
terkecekupi dengan jalan yang sah maka akan mencari jalan jalan
syetan
-
3
yang menjeruskan kelembah hitam ( “Aturan Pernikahan dalam Islam
“
Farid Fatcturohman ).
Indonesia mendasarkan Negara dengan Ideologi Pancasila dan
legitimasi atas agama di Indonesia mendapatkan perlindungan
secara
konstitusional, dan secara jelas disebutkan dalam UUD 1945 pasal
29
yang berbunyi sebagai berikut (Rosadi & Rais, 2006:01):
1. Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, permasalahan yang
terjadi kompleks. Berkaitan dengan perkawinan belakangan ini
sering
tersiar dalam berbagai media terjadinya perkawinan yang
dianggap
problematis dalam kehidupan bermasyarakat.
Sudah tidak dipungkiri lagi terkait pasangan yang berbeda
agama
dan keyakinan yang semakin marak dalam kehidupan kita,
mereka
mempertahankan agama dan keyakinan masing masing tetapi
mereka
tetap mempertahankan cinta mereka ke jenjang pernikahan.
Problematika
ini menjadi akar permasalahan yang akan kami bahas pada
kesempatan
ini tentang pendapat M Quraish Shihab Dalam tafsir Al Misbahnya
dan
Mohammad Monib, Ahmad Norcholish dalam Fiqh Lintas Agamanya.
-
4
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti
sampaikan
di atas, maka peneliti dapat merumuskan beberapa rumusan
masalah:
1. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Tafsir al-
Misbah?
2. Bagaimana Hukum Perkawinan Beda Agama menurut Buku Fiqih
Lintas Agama ?
3. Apa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir al-Misbah
dan
Buku Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama serta
Bagaimana Relevansinya terhadap Peraturan Perundang -undangan
di
Negara Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama bahwa setiap
kegiatan atau aktivitas yang dilakukan seseorang pasti mempunyai
tujuan
yang ingin dicapai. Adapun tujuan penulisan skripsi ini
adalah:
1. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut tafsir al-
Misbah
2. Bagaimana hukum perkawinan beda agama menurut Buku Fiqh
Lintas Agama
3. Apa persamaan dan perbedaan pemikiran kitab tafsir al-Misbah
dan
Fiqih Lintas Agama tentang perkawinan beda agama serta
bagaimana
relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara
Indonesia.
-
5
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dalam penulisan skripsi ini
diantaranya adalah:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara
teoritis bagi dunia akademik dan hukum yang ada di
Indonesia.
2. Secara Praktis
Adapun manfaat praktis yang diharapkan di antaranya:
a. Memperkaya pemahaman ajaran hukum Islam sebagai hukum
yang rohmattan li al-alamin bagi penduduk Indonesia yang
dinamis.
b. Diharapkan menjadi bahan pertimbangan konsep hukum di
Indonesia yang sesuai dengan ideologi dan nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia.
E. Telaah Pustaka
Fenomena Perkawinan Beda Agama akan selalu menjadi hal yang
kontroversi di tengah masyarakat luas, karena persoalan ini
selain
menyangkut keperdataan antar manusia juga menyangkut masalah
keyakinan. Adapun penelitian ini sesungguhnya penelitian
lanjutan,
karena sebelumnya terdapat banyak penelitian yang berbicara
tentang
masalah Perkawinan Beda Agama diantaranya ada beberapa buku
dan
skripsi yang penulis temukan.
-
6
Pertama, di dalam skripsi yang disusun oleh Ahmad Hasan
Mafatih tahun 2006 STAIN Surakarta yang berjudul “Perkawinan
Antar
Agama suatu Analisis Pandangan Muhammad Ali As-Shabuni
tentang
perkawinan Al Musyrikah dengan Ahl al-kitab”. Kesimpulan
dalam
skripsi ini menjelaskan bahwa As Shabuni memperbolehkan
laki-laki
muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kitab dan mengharamkan
terjadinya pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita
musyrik.
Sedangkan pernikahan antara wanita uslimah dengan laki-laki
non
muslim lain baik laki-laki Ahl al-kitab ataupun musyrik adalah
haram.
Kedua, skripsi yang berjudul “Nikah Beda Agama (Studi
komparasi Pemikiran Nurcholish Madjid dan Siti Musdah
Mulia)”.
Skripsi ini disusun oleh Mar Atur Robikhah pada tahun 2011 UIN
Sunan
Kalijaga. di dalam skripsi ini membahas tentang hukum nikah
beda
agama menurut Nurcholish Madjid dan Siti Musdah Mulia.
Kesimpulan
dalam skripsi ini Nurcholish Madjid berpendapat bahwa pernikahan
beda
agama antara pria muslim dengan wanita non muslim atau Ahl
al-Kitāb
hukumnya boleh dengan pertimbangan dakwah untuk membentuk
keluarga sakinah mawaddah dan rohmah. Pendapat tersebut
dipengaruhi
paham pluralisme yang menyatakan bahwa semua agama adalah
jalan
yang sama-sama menuju Tuhan yang sama. Berbeda dengan pendapat
Siti
Musdah Mulia yang membolehkan perempuan muslim menikah
dengan
laki-laki non muslim atau Ahl al-Kitāb dengan alasan potensi
perempuan
muslim dalam menentukan identitas agama anaknya lebih besar dari
pada
-
7
potensi laki-laki muslim. Sehingga perempuan muslim lebih
berhasil
mengajak anak-anaknya ke lingkungan agama yang dianut
ibunya.
Ketiga, skripsi yang berjudul “Pernikahan Beda Agama Dalam
Pemikiran Muslim (Studi Komparasi Antara Mahmud Syaltūt Dan
M.
Quraish Shihab)”. Skripsi ini disusun oleh Basoruddin pada tahun
2004
UIN Sunan Kalijaga. Dalam skripsi ini membahas tentang hukum
pernikahan beda agama menururt Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish
Shihab. Mahmud Syaltūt Dan M. Quraish Shihab sama-sama
mengharamkan nikah beda agama dengan dasar hukum Q.S al
Baqarah
(2): 221 dan memperbolehkan laki-laki muslim nikah dengan
perempuan
Ahl al-Kitab, hanya pemaknaan redaksi ayat “wa al-muḥṣanāh min
al-
mu‟mināh wa al- muḥṣanāh min al-lażīn ūtu al-kitāb” saja yang
dari
masing-masing mempunyai pendapat yang berbeda, dengan metode
yang
berbeda pula.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bersifat literatur (kepustakaan), sehingga
penelitian ini menggunakan kajian terhadap buku-buku yang
ada
kaitannya dengan judul skripsi ini, yaitu Tafsir Al Misbah
karangan
M . Quraish Shihab Dan Fiqh Lintas Agama Karangan Mohammad
Monib dan Ahmad Nurcholish dan buku lain yang membahas
tentang
Pernikahan beda Agama . Penelitian dilakukan dengan
mencermati
sumber-sumber tertentu, mencari, menelaah buku-buku artikel
atau
-
8
lainnya yang berkaitan dengan Pernikahan Beda Agama (Nazir,
1998:62).
2. Sumber Data
Dalam pengambilan dan pengumpulan data penelitian ini
menggunakan metode pencarian data berupa buku, artikel,
dokumen
dan lain sebagainya. Penelitian ini berisi kutipan-kutipan data
untuk
memberi gambaran penyajian laporan (Arikunto, 1987:135).
Sedangkan data-data tersebut dibagi menjadi dua bagian,
yaitu:
a. Sumber Data Primer
Sumber data primer adalah sumber data yang paling utama
digunakan dan sesuai dengan permasalahan dalam peneliti ini.
Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah Tafsir
Al
Misbah karangan M . Quraish Shihab dan Fiqh Lintas Agama
karangan Mohommad Monib dan Ahmad Nurcholish.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-
buku, artikel, dan sumber terkait lainnya.
3. Analisis Data
Untuk menganalisis data penulis menggunakan beberapa
metode, yaitu:
a. Metode Deskriptif
Peneliti melakukan analisis data dengan metode deskripsi,
yaitu menggambarkan pemikiran-pemikiran M. Quraish Shihab
-
9
Dan Mohammad Monib , Ahmad Nurcholish tentang materi
yang terkait dengan penelitian.
b. Metode Analisis
Analisis data merupakan cara penanganan terhadap obyek
ilmiah dengan jalan memilih-milih antara pengertian yang
satu
dengan pengertian yang lain untuk mendapatkan pengertian
yang
baru (Sumargono, 1989:21). Data yang terkumpul selanjutnya
peneliti analisa dengan menggunakan teknik analisa data,
dengan
cara:
1) Kategorisasi
Kategorisasi adalah upaya memilah-milah setiap
satuan ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan
(Moleong, 2011: 288). Peneliti melakukan kategorisasi
dengan cara memilah setiap data yang didapatkan, data dari
dokumen atau buku-buku terkait penelitian ini. Kategorisasi
dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menyatukan
data-data tersebut.
2) Sintesisasi
Sintesisasi merupakan mencari kaitan antara satu
kategori dengan kategori yang lain agar bertemu titik
permasalahan (Moleong, 2011:289). Data yang telah
dikategorikan oleh peneliti kemudian dicari titik temu satu
-
10
sama lain dan kemudian disatukan dalam pembahasan yang
sama sehingga menjadi sebuah penjelasan yang utuh.
3) Reflektif Thinking
Metode Reflektif thinking yaitu berfikir yang
prosesnya mondar-mandir antara yang empiris dengan yang
abstrak. Empiris yang khusus dapat saja menstimulasi
berkembangnya abstrak yang luas, dan menjadikan mampu
melihat relevansi empiris pertama dengan empiris-empiris
yang lain yang termuat dalam abstrak baru yang dibangunnya
(Muhadjir, 1991: 66-67). Metode ini digunakan untuk
melihat relevansi dalam kitab tafsir Al Misbah dan Fiqh
Lintas Agama terhadap pernikahan beda agama dalam
kehidupan sekarang dan Undang Undang Perkawinanan No
1 tahun 1974.
G. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul skripsi,
maka penulis memberikan pengertian dan batasan skripsi ini,
yaitu:
1. Perkawinan
Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata kawin
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan
jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
Perkawinan
disebut juga pernikahan, berasal dari kata nikah yang menurut
bahasa
artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk
-
11
bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan
untuk
arti persetubuhan, juga untuk arti akad nikah (Gozali, 2003:
7).
Abdur Rahman Gazaly mengutip pendapat Muhammad Abu
Israh memberikan definisi yang lebih, pernikahan ialah akad
yang
memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadaka
tolong
menolong, dan memberi batas hak bagi pemiliknya serta
pemenuhan
kewajiban bagi masing-masing (Gozali, 2006: 1).
2. Perkawinan Beda Agama
Perkawinan yang dilakukan oleh sepasang laki - laki dan
perempuan yang berbeda agama atau pun kepercayaan.
H. Sistematika Penulisan
Bab I, dalam bab ini berisi tentang pendahuluan. Hal ini
mencakup
latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan
penelitian,
telaah pustaka, metode penelitian, penegasan istilah dan
diakhiri dengan
sistematika penulisan.
Bab II, dalam bab ini berisikan penjelasan mengenai
pernikahan
menurut Hukum Islam dan Perundang-undangan.
BAB III, dalam bab ini berisikan Biografi M. Quraish Shihab,
Metode Tafsir al-Misbah, Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut
Tafsir Al Misbah, Hukum Perkawinan Beda Agama Menurut Buku
Fiqh
Lintas Agama, Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Kitab Tafsir
al-
Misbah dan Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan Beda Agama
serta
-
12
Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan di Negara
Indonesia.
BAB IV, dalam bab ini merupakan bagian inti dari penelitian
skripsi yang berisikan Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama
Menurut
Tafsir Al Misbah, Analisa Hukum Perkawinan Beda Agama
Menurut
Fiqh Lintas Agama, Analisa Persamaan dan Perbedaan Pemikiran
Kitab
Tafsir al-Misbah dan Fiqih Lintas Agama tentang Perkawinan
Beda
Agama serta Relevansinya terhadap Peraturan Perundang-undangan
di
Negara Indonesia.
BAB V, dalam bab ini berisikan tentang penutup, meliputi
kesimpulan dari hasil penelitian yang penulis lakukan dan
saran.
-
13
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Perkawinan dalam Hukum Islam
Perkawinan juga disebut pernikahan yang berasal dari bahasa
Arab
yaitu nakaha yang pempunyai arti mengumpulkan, saling
memasukkan
dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi‟). Nikah menurut arti
asli
adalah hubungan seksual, tetapi menurut arti majazi atau arti
hukum
adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual
sebagai
suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita (Idris,
2002: 1).
Kata nakaha banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti nikah
atau
kawin, seperti QS. An-Nisa’ ayat 22 di bawah ini:
َوال تَ ْنِكُحوا َما َنَكَح آبَاؤُُكْم ِمَن النَِّساِء ِإال َما
َقْد َسَلَف ِإنَُّو َكاَن فَاِحَشًة َوَمْقًتا(۲۲) َسِبيال
َوَساءَ
Artinya:
”Janganlah kamu menikahi perempuan yang telah pernah
dinikahi oleh ayahmu kecuali apa yang telah berlalu” (QS.
An-Nisa’: 22)
Menurut Abu Yahya Zakariya Al-Anshari mendefinisikan Nikah
menurut istilah syara’ ialah akad yang mengandung ketentuan
hukum
kebolehan hubungan seksual dengan lafadz nikah atau dengan
kata-kata
yang semakna dengannya.
Dari pengertian tersebut di atas dibuat hanya melihat dari satu
segi
saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang
laki-laki dan
-
14
seorang wanita yang semula dilarang menjadi halal (Rahman, 2003:
9).
Dari beberapa pendapat mengenai pengertian perkawinan tersebut
banyak
beberapa pendapat yang satu sama lain berbeda. Tetapi
perbedaan
tersebut sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan
yang
sungguh-sungguh antara pendapat satu dengan pendapat
lainnya.
Perbedaan tersebut hanya keinginan para perumus untuk
memasukkan
unsur-unsur yang sebanyak-banyaknya dalam merumuskan
pengertian
perkawinan di pihak yang lain. Dalam hukum Islam hukum
perkawinan
ada lima yang semuanya dikembalikan pada calon suami istri,
yang
adakalanya hukum menjadi (Soedarsono, 1994: 75):
1. Mubah (jaiz), sebagaimana asal hukumnya;
2. Sunnah, bagi orang yang sudah mampu baik secara dhohir
maupun secara batin (culup mental dan ekonomi);
3. Wajib, perkawinan hukumnya bisa menjadi wajib bagi mereka
yang sudah mampu secara dhohir dan batin serta dikwatirkan
terjebak dalam perbuatan zina;
4. Haram, pernikahan bisa menjadi raram hukumnya bagi mereka
yang berniat untuk menyakiti perempuan yang akan dinikahkan;
5. Makruh, pernikahan bisa berubah menjadi makruh bagi
mereka
yang belum mampu member nafkah baik secara dhohir maupun
batin.
-
15
B. Syarat dan Rukun Perkawinan dalam Hukum Islam
Sebelum menginjak lebih jauh tentang syarat dan rukun
perkawinan, maka harus dipahami apa makna syarat dan rukun itu
sendiri.
Adapun syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
atau
tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah, tetapi
pekerjaan
tersebut bukan ternasuk dalam rangkaian itu sendiri, seperti
halnya
menutup aurat dalam shalat atau dalam perkawinan dalam Islam
bahwa
calon suami atau istri harus beragama Islam. Sedangkan makna
dari rukun
itu sendiri adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah
dan
tidaknya suatu pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan
pekerjaan
tersebut termasuk dalam rangkaian ibadah itu sendiri, seperti
adanya
calon pengantin laki-laki dan calon perempuan dalam
perkawinan
(Rahman, 2003: 46).
Adapun syarat dalam pernikahan adalah merupakan dasar bagi
sahnya perkawinan. Apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi maka
sah
perkawinan itu dan menimbulkan adanya segala hak dan
kewajiban
sebagai suami istri. Dalam hal hukum perkawinan, dalam
menentukan
mana yang rukun dan mana yang syarat terdapat perbedaan di
kalangan
ulama, yang mana perbedaan di antara pendapat tersebut
disebabkan
karena berbeda dalam melihat fokus perkawinan itu. Semua
ulama
sepakat dalam hal-hal yang terlibat dan harus ada dalam suatu
perkawinan
yaitu (Amir, 2007: 59):
1. Akad nikah,
-
16
2. Mempelai laki-laki dan perempuan,
Dalam kedua pempelai harus termasuk orang yang bukan muhrim,
seperti dalam surat An-Nisa’ ayat: 22-23 yaitu:
َوال تَ ْنِكُحوا َما َنَكَح آبَاؤُُكْم ِمَن النَِّساِء ِإال َما
َقْد َسَلَف ِإنَُّو َكاَن فَاِحَشًة َوَمْقًتا َوَساءَ (۲۲َسِبيال
)
اُتُكْم َوَخاالُتُكْم َوبَ َناُت األِخ َوبَ َناُت ُحرَِّمْت
َهاُتُكْم َوبَ َناُتُكْم َوَأَخَواُتُكْم َوَعمَّ َعَلْيُكْم
أُمََّهاُت ِنَساِئُكْم َوَربَائُِبُكُم َهاُتُكُم الالِت
أَْرَضْعَنُكْم َوَأَخَواُتُكْم ِمَن الرََّضاَعِة َوأُمَّ األْخِت
َوأُمَّ
ُجَناحَ َساِئُكُم الالِت َدَخْلُتْم ِِبِنَّ فَِإْن َلَْ
َتُكونُوا َدَخْلُتْم ِِبِنَّ َفالِف ُحُجورُِكْم ِمْن نِ َعَلْيُكْم
َوَحالِئُل أَبْ َناِئُكُم الَِّذيَن ِمْن َأْصالِبُكْم َوَأْن
ََتَْمُعوا بَ ْْيَ األْختَ ْْيِ ِإال َما َقْد َسَلَف
(۲۳) ِإنَّ اللََّو َكاَن َغُفورًا َرِحيًما Artinya:
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah
lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”. “Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-
anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-
anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan;
ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan
sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang
telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat tersebut, maka muhrim dapat dibagi menjadi, yaitu:
a) Ibu kandung;
-
17
b) Anak perempuan;
c) Saudara perempuan baik saudara perempuan seibu-sebapak ;
d) Saudara perempuan dari bapak termasuk semua anak-anak
perempuan dari kakek atau nenek;
e) Saudara perempuan dari ibu;
f) Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki atau parempuan
g) Ibu sesusuan
h) Saudara sesusuan
i) Mertua perempuan
j) Anak tiri
k) Istri anak kandung sendiri dan istri anak-anak
keturunannya
l) Dua saudara menjadi istri juga saudara perempuan bersama
saudara ibu/bapaknya.
3. Wali
Bagi mempelai perempuan harus ada izin atau persetujuan
dari wali, sedang bagi mempelai laki-laki izin atau persetujuan
di
perlukan selama belum dewasa. Sedangkan yang menjadi wali
menurut urutan adalah (Samidjo, 1993: 125):
a) Bapak
b) Kakak
c) Saudara laki-laki seibu sebapak
d) Saudara laki-laki sebapak
e) Anak saudara laki-laki seibu sebapak
-
18
f) Anak saudara sebapak
g) Saudara laki-laki dari bapak, yang seibu sebapak
h) Saudara laki-laki dari bapak, yang sebapak
i) Anak laki-laki dari saudara laki-laki dari bapak, yang
seibu
sebapak
j) Anak laki-laki dari Saudara laki-laki dari bapak, yang
sebapak
4. Dua orang saksi
Dalam sahnya perkawinan harus ada sedikitnya dua orang
saksi, yang syarat-syaratnya sebagai berikut:
a) Seorang muslim
b) Seorang merdeka
c) Dewasa
d) Pikiran sehat
e) Kelakuan baik.
5. Mahar atau mas kawin.
Dalam Islam “Sadaq” berarti mas kawin dan juga disebut
mahar, dalam perkawinan harus ada mahar atau mas kawin yaitu
suatu pemberian dari pihak laiki-laki sesuai dengan
permintaan
pihak perempuan. Sedangkan besarnya mahar tidak dibatasi,
Islam hanya memberikan prinsip pokok yaitu secara ma’ruf
artinya dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan kemampuan
suami.
-
19
C. Larangan Perkawinan dalam Hukum Islam
Meskipun dalam pernikahan telah dipenuhi syarat dan rukun
perkawinan belum tentu perkawinan itu sah, karena pernikahan
tersebut
harus lepas dari segala hal yang menghalanginya dan disebut
juga
larangan perkawinan. Sedangkan larangan perkawinan dalam
pembahasan
ini adalah orang-orang yang tidak boleh melakukan
perkawinan.
Menurut hukum syara’ larangan pernikahan dalam Islam
antaraseorang laki-laki dan seorang perempuan dibagi menjadi
dua
yaitu larangan abadi atau selamanya dalam arti sampai kapan pun
dan
dalam keadaan apapun laki-laki dan perempuan tidak boleh
melakukan
perkawinan yang disebut juaga Mahram Muabbad.
Berdasarkan QS. an-Nisa ayat 23, wanita-wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya (mahram muabbad) karena pertalian
nasab,
yaitu (Tihami, 2009: 65):
1. Ibu, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis
keturunan
garis ke atas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun
ibu)
2. Anak perempuan, wanita yang mempunyai hubungan darah
dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak perempuan, cucu
perempuan, baik dari anak laki-laki maupun dari anak
perempuan
dan seterusnya ke bawah.
3. Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau
seibu
saja.
-
20
4. Bibi, saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara
sekandung
ayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
5. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan
saudara laki-laki atau saudara perempuan dan seterusnya ke
bawah.
Kemudian larangan yang kedua yaitu, larangan sementara waktu
tertentu, jika suatu ketika bila keadaan dan waktu tertentu
sudah berubah
ia sudah tidak lagi menjadi haram dan pernikahan tersebut
mahram
muaqqat atau di sebut juga mahram ghairu muabbad.
Mahram ghairu muabbad adalah larangan perkawinan yang
berlaku untuk sementara waktu yang di sebabkan oleh hal
tertentu.
Larangan perkawinan (mahram ghairu muabbab) itu berlaku dalam
hal-
hal tersebut dibawah ini:
a) Menikahi dua orang saudara dalam satu masa
b) Poligami di luar batas
c) Larangan karena ikatan perkawinan
d) Larangan karena talak tiga
e) Larangan karena ihram
f) Larangan karena perzinaan
g) larangan karena beda agama
-
21
D. Syarat dan Rukun Nikah dalam Perundang-undangan dan
Kompilasi
Hukum Islam
Syarat-syarat perkawinan juga diatur dalam
Perundang-undangan
Indonesia yaitu dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Undang-undang
Nomor
1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 1 sampai dengan 12.
Syarat-syarat yang
harus dilaksanakan sebelum pihak melangsungkan perkawinan
terbagi
atas syarat materil dan formil. Syarat materil adalah mengenai
diri pribadi
calon suami istri, sedangkan syarat formil adalah mengenai
formalitas
atau prosedur yang harus diikuti oleh calon suami istri sebelum
maupun
pada saat dilangsungkannya perkawinan (Badan Penelitian dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal 25).
Dalam
pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menyatakan:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Dalam Pasal 2 ayat (2) menyatakan:
“Tiap-tiap Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
Pada dasarnya sahnya suatu perkawinan menurut Undang-undang
ialah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agama
dan
kepercayaan setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan,
setelah
sah menurut agama dan kepercayaannya itu barulah Perkawinan
tersebut
-
22
dicatat untuk mendapatkan pengakuan dari Negara (Badan
Penelitian dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 25).
Syarat materil terbagi menjadi 2 (dua) yaitu syarat materil
umum
yang berlaku bagi pernikahan pada umumnya dan syarat materil
khusus bagi pernikahan tertentu. Syarat materil umum diatur pada
pasal 6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu:
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai
umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua
orang
tua.
(3) Dalam hal seorang dari kedua orang tua meninggal dunia
atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehandaknya, maka
izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari
orang
tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dalam keadaan menyatakan
kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan antara orang-orang yang dimaksud
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau
lebih
-
23
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan
dalam daerah tempat tinggal orang yang akan melangsungkan
perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan
ijin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang tersebut
dalam
ayat (2), (3) dan (4) dalam pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Yang dimaksud dengan persetujuan kedua calon mempelai dalam
ayat 1 adalah adanya persetujuan bebas tanpa adanya paksaan
lahir dan
bathin dari pihak manapun untuk melaksanakan perkawinan, karena
pada
hakikatnya perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri
dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia (Badan Penelitian
dan
Pengembangan HAM Kementrerian Hukum dan HAM RI, hal. 26).
Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan umur minimal
bagi
calon suami dan calon istri serta beberapa alternatif lain
untuk
mendapatkan jalan keluar apabila ketentuan umur minimal
tersebut
belum terpenuhi. Mengenai masalah umur ini masih merupakan
syarat
materil yaitu tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1
Tahun
1974 Tentang Perkawinan yaitu:
(1) Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria mencapai umur
19
tahun (sembilan belas) tahun dan puhal wanita sudah mencapai
usia 16 (enam belas) tahun.
-
24
(2) Dalam hal penyimpangan dalam ayat (1) pasal ini dapat
minta
dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang diminta
oleh
kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau
kedua
orang tua tersebut Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-Undang
ini,
berlaku juga dalam permintaan dispensasi tersebut ayat (2)
Pasal
ini dengan tidak mengurani yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(6).
Syarat materil khusus yang berisi izin melangsungkan
perkawinan
dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun
1974 Tentang Perkawinan tersebut (Badan Penelitian dan
Pengembangan
HAM Kementrian Hukum dan HAM RI, hlm. 27).
Syarat-syarat formil dalam perkawinan juga terbagi 2 (dua)
yaitu:
1. Syarat formil yang dilakukan sebelum perkawinan
dilangsungkan
adalah:
a. Perkawinan harus didahului oleh suatu pemberitahuan oleh
kedua calon mempelai kepada pegawai pencatat nikah
(pegawai Kantor Urusan Agama untuk yang beragama Islam
dan pegawai Kantor Catatan Sipil untuk yang beragama
selain Islam).
b. Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat
pembuktian yang diperlukan sesuai dengan syarat-syarat
-
25
yang ditentukan oleh Undang-undang untuk pelaksanaan
perkawinan.
c. Pelaksanaan perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah
lampau tenggang waktu 10 (sepuluh) hari terhitung dari
tanggal pemberitahuan.
2. Syarat formil yang dilakukan pada saat dilangsungkannya
perkawinan adalah:
a. Perkawinan dilangsungkan oleh atau dilakukan di hadapan
pegawai pencatat nikah (pegawai Kantor Urusan Agama
untuk yang beragama Islam dan pegawai Kantor Catatan
Sipil untuk yang beragama selain Islam).
b. Perkawinan harus dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila telah
dipenuhi syarat-syaratnya, baik syarat materil maupun syarat
formil maka
kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri. Apabila
syarat-syarat
tersebut tidak dipenuhi maka dapat menimbulkan
ketidakabsahan
perkawinan yang bisa saja akan mengakibatkan batalnya suatu
perkawinan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM
Kementrerian
Hukum dan HAM RI, hal. 28). Sebagaimana diatur dalam Pasal
22
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang
berbunyi:
“Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak
memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
-
26
Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur dalam
Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,
yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami
atau
isteri
b. Suami atau isteri
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan diputuskan
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16
Undang-undang
ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara
langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah
perkawinan ini putus.
Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang Rukun dan Syarat
Perkawinan dalam Pasal 14 sampai dengan pasal 38. Berbeda
dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Kompilasi
Hukum Islam membahas rukun perkawinan mengikuti sistematika
fikih
yang mengaitkan rukun dan syarat sahnya perkawinan.
Pada bagian
kesatu Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam menyatakan, untuk
melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi dan
e. Ijab Kabul
-
27
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan lima rukun perkawinan
sebagaimana fikih, dalam persyaratannya Kompilasi Hukum
Islam
mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
melihat syarat hanya berkenaan dengan persetujuan kedua
calon
mempelai dan batasan umur. Pasal-pasal berikutnya juga
membahas
tentang wali (Pasal 19), saksi (Pasal 24), akad nikah (Pasal
27), namun
sistematikanya diletakkan pada bagian yang terpisah dari
pembahasan
rukun. Kompilasi Hukum Islam tidak mengikuti skema fikih juga
tidak
mengikuti Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang
hanya
membahas persyaratan perkawinan menyangkut kedua calon
mempelai.
Bagian mengenai wali nikah, Pasal-pasal Kompilasi Hukum
Islam
menyatakan:
“Wali nikah alam perkawinan merupakan rukun yang harus
dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahkannya.
Dalam Pasal 20 dinyatakan:
1. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki
yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, akil dan balig.
2. Wali nikah terdiri dari:
a. Wali nasab
b. Wali hakim.
Pada Pasal 21 dibahas empat kelompok wali nasab yang
pembahasannya samadengan fikih Islam seperti pertama
,kelompok
-
28
kerabat laki-laki garis keturunan keatas. Kedua, kelompok
kerabat
saudara laki-laki kandung, seayah dan keturunan laki-laki
mereka. Ketiga,
kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah,
saudara
seayah dan keturunan laki-laki mereka. Keempat, kelompok saudara
laki-
laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan
laki-
laki mereka.
Menyangkut wali hakim dinyatakan pada Pasal 23 yang
berbunyi:
1. Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila
wali
nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirinya atau tidak
diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adlal atau
enggan.
2. Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru
dapat
bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan
Agama tentang wali tersebut.
Mengenai saksi nikah Kompilasi Hukum Islam masih senada
dengan apa yang berkembang dalam fikih. Pada bagian keempat
Pasal 24 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa saksi nikah merupakan
rukun
nikah dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang
saksi.
Mengenai syarat saksi terdapat pada Pasal 25 yang berbunyi:
“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim, adil, akil, balig, tidak terganggu
ingatan dan
tidak runa rungu atau tuli”.
Pada Pasal 26 berbicara tentang keharusan saksi menghadiri
akad
nikah secara langsung dan menandatangani akta nikah secara
langsung
-
29
dan menandatangani akta nikah pada waktu dan tempat akad
nikah
dilangsungkan (Badan Penelitian dan Pengembangan HAM
Kementrian
Hukum dan HAM RI, hlm. 30).
Bagian kelima Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam mengatur
tentang
akad nikah, ijab kabul antara wali dan calon mempelai pria harus
jelas,
beruntun dan tidak berselang waktu. Pasal 28 mengatur tentang
kebolehan
wali nikah untuk mewakilkan hak walinya kepada orang lain. Pasal
29
memberi ruang kepada calon mempelai pria dimana dalam
keadaan
tertentu dapat mewakilkan dirinya kepada orang lain dengan
syarat
adanya surat kuasa dan pernyataan bahwa orang yang diberi kuasa
adalah
mewakili dirinya, diatur pula pada ayat (3), jika wali keberatan
dengan
perwakilan calon mempelai pria maka akad nikah tidak dapat
dilangsungkan. Mahar sebagai syarat sah perkawinan juga diatur
dalam
Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 30 sampai 38, dalam Pasal
30
dinyatakan:
”Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh
kedua
belah pihak”.
Pasal yang juga sangat penting diperhatikan adalah terdapat
dalam
Pasal 31 yang berbunyi:
“Penentuan Mahar berdasarkan atas asas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran islam.”
-
30
Dengan demikian meskipun mahar itu wajib, namun dalam
penentuannya tetaplah harus mempertimbangkan asas kesederhanaan
dan
kemudahan. Maksudnya, bentuk dan harga mahar tidak boleh
memberatkan calon suami dan tidak pula boleh mengesankan asal
ada
atau apa adanya, sehingga calon istri tidak merasa dilecehkan
atau
disepelekan. Sejalan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, dalam Kompilasi Hukum Islam juga dikenal
batalnya suatu perkawinan apabila syarat-syarat perkawinan
tidak
dipenuhi oleh suami isteri yang melangsungkan perkawinan
maka
perkawinanya tersebut dapat dibatalkan.
Adapun perkawinan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam
secara ekspilisit dapat dilihat dari ketentuan empat pasal.
1. Pada pasal 40 KHI, dinyatakan; Dilarang melangsungkan
perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan
tertentu:
a. Karena wanita yang bersangutan masih terikat satu
perkawinan
dengan pria lain.
b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan
pria
lain.
c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam (Departemen
Agama
RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 32).
2. Pasal 44 KHI; ”Seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan
perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.”
(Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1993: 33).
-
31
3. Pasal 61 KHI; ”Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan
untuk
mencegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan
agama
atau ikhtilaf al-din (Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam, 1993: 39).
4. Pasal 116 KHI; Perceraian dapat terjadi karena alasan atau
alasan-
alasan:
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabok,
pemadat,
penjudi dan lain sebaginya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara (lima) tahun,
atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan
akibat tidak dapat menjalankannya sebagai suami atau istri.
e. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam
rumah tangga.
f. Suami melanggar taklik talak.
g. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga (Departemen Agama RI,
Kompilasi Hukum Islam, 1993: 59).
-
32
BAB III
HUKUM NIKAH BEDA AGAMA PERSPEKTIK TAFSIR AL-MISBAH
DAN FIQIH LINTAS AGAMA
A. Biografi M. Quraish Shibab
M. Quraish Shihab atau yang biasa dikenal dengan nama
Quraish
Shihab lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi
Selatan
(Abuddin, 2005: 362). Beliau telah dilahirkan dan dibesarkan
dalam
lingkungan keluarga muslim yang taat beragama, yang sebagian
orang
menyebut sebagai keluarga Habib (Sayyid). Ayahnya bernama
Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang ulama yang memiliki
keturunan Arab yang terpelajar, guru besar tafsir di IAIN
Alauddin,
Ujung Pandang, dan termasuk salah satu pendiri Universitas
Muslim
Indonesia (UMI), Makasar (Junaidi, 2011: 24).
Sebagai seorang yang memiliki pikiran maju, Abdurrahman
yakin
bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan
pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar
belakang
pendidikannya, yaitu Jami'atul Khair, lembaga pendidikan Islam
tertua di
Indonesia. Murid-murid belajar di lembaga ini diajari tentang
gagasan-
gagasan pembaruan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena
lembaga
ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan
di
Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak
guru-
guru yang didatangkan ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh
Ahmad
-
33
Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika. M. Quraish Shihab
menyelesaikan sekolah dasarnya di kota Ujung pandang. Ia
kemudian
melanjutkan sekolah menengahnya di kota Malang sambil belajar
agama
di Pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah. Pada tahun 1958, ketika
berusia
14 tahun, ia berangkat ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan studi,
dan
diterima di kelas II Tsanawiyah Al-Azhar. Setelah itu ia
diterima sebagai
mahasiswa di Universitas Al-Azhar dengan mengambil Jurusan
Tafsir
dan Hadis, Fakultas Ushuluddin hingga menyelesaikan Lc pada
tahun
1967. Kemudian ia melanjutkan studinya di jurusan dan
universitas yang
sama hingga berhasil mempertahankan tesisnya yang berjudul
Al-
Ijazasyri'i li Alquranal-Karim pada tahun 1969 dengan gelar
M.A.
Setelah menyelesaikan studinya dengan gelar M.A. tersebut,
untuk
sementara ia kembali ke Ujung Pandang. Dalam kurun waktu
kurang
lebih sebelas tahun (1969 sampai 1980) ia terjun ke berbagai
aktivitas
sambil menimba pengalaman empirik, baik dalam bidang
kegiatan
akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai institusi
pemerintah
setempat. Dalam masa menimba pengalaman dan karier ini, ia
terpilih
sebagai Pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia
juga
terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta
wilayah
Timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah.
Di
tengah-tengah kesibukannya itu, ia juga aktif melakukan kegiatan
ilmiah
yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah
dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang “Penerapan
Kerukunan
-
34
Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf
di
Sulawesi Selatan” (1978) (Abuddin, 2005: 363). Pada tahun 1980,
M.
Quraish Shihab kembali ke Mesir untuk meneruskan studinya di
Program
Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis,
Universitas Al-
Azhar. Hanya dalam waktu dua tahun (1982) dia berhasil
menyeiesaikan
disertasinya yang berjudul “Nazm al-Durar li al- Biqai Tahqiq
wa
Dirasah” dan berhasil dipertahankan dengan nilai Suma Cum
Laude.
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi M. Quraish
Shihab untuk melanjutkan kariernya. Beliau pindah tugas dari
IAIN
Ujung Pandang ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini
beliau
aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Alquran di Program SI, S2
dan S3
sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya
sebagai
dosen, beliau juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor
IAIN
Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah
itu
beliau dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama
selama
kurang lebih selama dua bulan di awal tahun 1998, hingga
kemudian dia
diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh
Republik
Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap Negara
Republik Djibauti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran M. Quraish Shihab di Ibu kota Jakarta telah
memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal
ini
terbukti dengan adanya berbagai kegiatan yang dijalankannya di
tengah-
tengah masyarakat. Selain mengajar, beliau juga dipercaya
untuk
-
35
menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua
Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah
Pentashhih
Alquran Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam
beberapa
organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum
Ikatan
Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini
berdiri.
Selanjutnya beliau juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan
Ilmu-ilmu
Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang beliau
lakukan
adalah sebagai Dewan Studia Islamika Indonesian Journal for
Islamic
Studies, Ulumul Qur‟an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal
Kajian
Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta. Di
samping
kegiatan tersebut di atas, M. Quraish Shihab juga telah dikenal
sebagai
penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar
belakang
keilmuan yang kokoh yang beliau tempuh melalui pendidikan
formal
serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan
gagasan
dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional,
kecenderungan
pemikiran yang moderat, beliau tampil sebagai penceramah penulis
yang
bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah
ini beliau
lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid
al-Tin
dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti Istiqlal
serta di
sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di
bulan
Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI, Metro TV
mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh
olehnya.
-
36
Di tengah-tengah berbagai aktivitas sosial, keagamaan tersebut,
M.
Quraish Shihab juga tercatat sebagai penulis yang sangat
prolifik. Buku-
buku yang telah beliau tulis antara lain berisi tentang kajian
di sekitar
epistemologi al Qur’an hingga menyentuh permasalahan hidup
dan
kehidupan dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer.
Beberapa
karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain: disertasinya:
Durar li al-
Biqa'i (1982), Membumikan Al-Qur'an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam
Kehidupan Masyarakat (1992), Wawasan Al-Qur'am Tafsir Maudlu'i
atas
Pelbagai Persoalan Umat (1996), Studi Kritis Tafsir al-Manar
(1994),
Mu'jizat Alquran Ditinjau dari Aspek Bahasa (1997), Tafsir
al-Mishbah
(hingga tahun 2004) sudah mencapai 14 jilid (Abuddin, 2005:
365).
Selain itu beliau juga banyak menulis karya ilmiah yang
berkaitan
dengan masalah kemasyarakatan. Di majalah Amanah beliau
mengasuh
rubrik Tafsir al-Amanah", di Harian Pelita ia pernah mengasuh
rubrik
"Pelita Hati", dan di Harian Republika dia mengasuh rubrik atas
namanya
sendiri, yaitu M. Quraish Shihab Menjawab".
Dari karyah karya tulis M. Quraish Shibab yang dianalisis
Kusmana ditemukan kesimpulan bahwa secara umum karakteristik
pemikiran keislaman M. Quraish Shihab adalah bersifat rasional
dan
moderat. Sifat rasional pemikirannya diabdikan tidak untuk,
misalnya,
memaksakan agama mengikuti kehendak realitas kontemporer,
tetapi
lebih mencoba memberikan penjelasan atau signifikansi khazanah
agama
klasik bagi masyarakat kontemporer atau mengapresiasi
kemungkinan
-
37
pemahaman dan penafsiran baru tetapi dengan tetap sangat
menjaga
kebaikan tradisi lama. Dengan kata lain, beliau tetap berpegang
pada
adagium ulama al-muhafadzah bi al-qadim al-shalih wa al-akhdz hi
al-
jadid al-ashlah (memilihara tradisi lama yang masih relevan
dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik) (Abuddin, 2005:
366).
B. Metode Tafsir al-Misbah
Adapun metode penyusunan Tafsir Al-Mishbah adalah
menggunakan metode tahlily. Dalam menggunakan metode tahlily,
M.
Quraish Shihab terkesan menutupi kelemahan-kelemahan metode
tahlily
dengan menggunakan metode maudhu‟I di dalamnya, yang
kemudian
menjadi kelebihan tersendiri bagi ” Tafsir Al-Mishbah”. Hal ini
terlihat
dari caranya membahas setiap surat atau ayat, di mana ia
selalu
melakukan pengelompokan atas ayat-ayat dalam surat dimaksud
sesuai
dengan tema pokoknya. Misalnya Surah Waqi’ah, ayat-ayat dalam
surah
ini dikelompokkannya kedalam VI (enam) kelompok, yang jumlah
ayat di
masing-masing kelompok tidak sama, tergantung pada sub topik
yang
dikandungnya (Junaidi, 2011: 63). Sedangkan coraknya, Tafsir
Al-
Mishbah dapat dipahami sebagai tafsir yang bercorak Adabi
Ijtima‟i,
yaitu corak sastra/bahasa dan kemasyarakatan. Yang demikian
karena
aspek-aspek tersebutlah yang cukup menonjol (Junaidi, 2011:
65).
-
38
C. Pemikiran tentang Pernikahan Beda Agama menurut M.
Quraish
Shihab
1. Surat Al Baqarah ayat 221 dan penafsiran dalam kitab al-
Misbah:
ٌر ِمْن ُمْشرَِكٍة َوَلْو َأْعَجَبْتُكْم َوال َوال تَ ْنِكُحوا
اْلُمْشرَِكاِت َحَّتَّ يُ ْؤِمنَّ َوألَمٌة ُمْؤِمَنٌة َخي ٌْر ِمنْ
ُمْشرٍِك َوَلْو أَْعَجَبُكْم أُولَِئَك تُ ْنِكُحوا اْلُمْشرِِكَْي
َحَّتَّ يُ ْؤِمُنوا َوَلَعْبٌد ُمْؤِمٌن َخي ْ
ُ آيَاتِِو لِلنَّاِس َلَعلَّ ُهْم يَْدُعوَن ِإََل النَّاِر
َواللَُّو يَْدُعو ِإََل اْْلَنَِّة َواْلَمْغِفرَِة بِِإْذنِِو َويُ
بَ ْيِّ
ُرونَ (۲۲۱) يَ َتذَكَّ Artinya:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak
yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun Dia
menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya)
kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”.
(QS. Al Baqarah: 221)
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa pemilihan pasangan adalah
batu
pertama pondasi bangunan rumah tangga. Ia harus sangat kukuh,
karena
kalau tidak, bangunan tersebut akan roboh kendati hanya dengan
sedikit
goncangan, apalagi jika beban yang ditampungnya semakin berat
dengan
kelahiran anak-anak. Pondasi kokoh tersebut bukanlah kecantikan
dan
ketampanan, karena keduanya bersifat relatif, sekaligus cepat
pudar,
bukan juga harta benda, karena harta mudah didapat sekaligus
mudah
lenyap, bukan pula status sosial atau kebangsawanan karena ini
pun
-
39
sementara, bahkan dapat lenyap seketika. Pondasi yang kokoh
yang
dimaksud adalah yang bersandar pada iman kepada Yang Maha
Esa
(Shihab, 2002: 472).
Untuk itu, setiap pemilihan pasangan haruslah yang
berdasarkan
agama, keimanan yang kuat serta berlandaskan al qur’an supaya
dalam
mengarungi bahtera rumah tangga bisa berjalan lurus sesuai
ajaran islam.
Karena itu wajar jika dalam Tafsir Al-Mishbah pesan pertama
kepada
mereka yang bermaksud membina rumah tangga adalah: Dan
janganlah
kamu, wahai pria-pria muslim, menikahi, yakni menjalin
ikatan
perkawinan, dengan wanita-wanita musyrik, walaupun dia, yakni
wanita-
wanita musyrik itu, menarik hati kamu, karena ia cantik,
bangsawan,
kaya, dan lain-lain. Dan janganlah kamu, wahai para wali,
menikahkan
orang-orang musyrik para penyembah berhala, dengan
wanita-wanita
mukmin sebelum mereka beriman dengan iman yang benar.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang
musyrik
walaupun dia menarik hati kamu karena ia gagah, bangsawan atau
kaya
dan lain-lain (Shihab, 2002: 473).
Jadi menurut penjelasan Tafsir Al-Mishbah bahwa larangan
pernikahan antara pria maupun wanita yang beragama islam dengan
pria
atau wanita yang beragama selain islam. Dalam kitab tafsir Ibnu
Katsir
juga dijelaskan bahwa Allah mengharamkan atas orang-orang
mukmin
menikahi wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah
berhala.
kemudian jika makna yang dimaksud bersifat umum, berarti
termasuk ke
-
40
dalam pengertian setiap wanita musyrik kitabiyah dan wasaniyah.
hal
yang sama juga dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu
Jubair Mak-
hul, Al Hasan, Ad Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar Rabi' ibnu Anas,
dan
lain-lainnya. Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud
oleh
ayat ini adalah orang-orang musyrik dari kalangan penyembah
berhala,
bukan Ahli Kitab secara keseluruhan.
Makna pendapat ini berdekatan dengan pendapat yang pertama
tadi (Ad Dimasyqi, 2004: 418) Dalam penjelasan tafsir diatas
dijelaskan
mengenai syirik. Sebagaimana dalam penjelas M. Quraish Shihab
yang
dimaksud dengan syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan
sesuatu. Dalam pandangan agama, seorang musyrik adalah siapa
yang
percaya bahwa ada Tuhan bersama Allah, atau siapa yang melakukan
satu
aktivitas yang bertujuan utama ganda, pertama kepada Allah, dan
kedua
kepada selain- Nya. Dengan demikian, semua yang
mempersekutukan-
Nya dari sudut pandang tinjauan ini, adalah musyrik (Shihab,
2002: 473).
Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas, adalah
musyrik, dari
sudut pandang di atas. Namun demikian, pakar-pakar al-Qur'an
yang
kemudian melahirkan pandangan hukum, mempunyai pandangan
lain.
Menurut pengamatan mereka, kata musyrik atau musyrikin dan
musyrikat, digunakan al-Qur'an untuk kelompok tertentu yang
mempersekutukan Allah. Mereka adalah para penyembah berhala,
yang
ketika turunnya al-Qur'an masih cukup banyak, khususnya yang
bertempat tinggal di Mekah. Dengan demikian, istilah al-Qur'an
berbeda
-
41
dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama
Kristen
percaya kepada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak, namun al Qur'an
tidak
menamai mereka orang-orang musyrik, tetapi menamai mereka Ahl
al-
Kitab. Perhatikan antara lain firman-firman Allah berikut:
ِمْن َخرْيٍ ِمْن َربُِّكْم َما يَ َودُّ الَِّذيَن َكَفُروا ِمْن
أَْىِل اْلِكَتاِب َوال اْلُمْشرِِكَْي َأْن يُ نَ زََّل
َعَلْيُكمْ
(۱۰٥) َواللَُّو ََيَْتصُّ ِبَرْْحَِتِو َمْن َيَشاُء َواللَُّو
ُذو اْلَفْضِل اْلَعِظيمِ Artinya:
“Orang-orang kafir dari Ahl al-Kitab dan orang-orang
musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan
kepadamu dari Tuhanmu” (QS. al-Baqarah [2]: 105).
َنةُ َْي َحَّتَّ تَْأتِيَ ُهُم اْلبَ ي ِّ َفكِّ (۱) ََلْ َيُكِن
الَِّذيَن َكَفُروا ِمْن أَْىِل اْلِكَتاِب َواْلُمْشرِِكَْي ُمن
ْ
Artinya:
“Orang-orang kafir, yakni Ahl al-Kitab dan orang-orang
musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka
buktiyang nyata”. (QS. al-Bayyinah [98]: 1).
Dari bacaan diatas orang kafir ada dua macam. Pertama, Ahl
al-
Kitab dan kedua, orang-orang musyrik. Itu istilah yang digunakan
al
Qur'an untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran dengan
dua nama
yang berbeda yaitu Ahl al-Kitab dan al-musyrikun. Ini lebih
kurang sama
dengan kata korupsi dan mencuri. Walau substansi keduanya sama,
yakni
mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi dalam
penggunaan,
biasanya bila pegawai mengambil yang bukan haknya maka ia
adalah
koruptor, dan bila orang biasa bukan pegawai maka ia dinamai
pencuri
(Shihab, 2002: 474).
-
42
Perbedaan kata ini menjadi sangat perlu karena diayat lain
dalam
al Qur'an ditemukan izin bagi pria muslim untuk mengawini
wanita-
wanita Ahl al Kitab (QS. al-Ma'idah [5]: 5). Mereka yang
memahami kata
musyrik, mencakup Ahl al Kitab, menilai bahwa ayat al Ma'idah
itu telah
dihapus hukumnya oleh ayat al Baqarah di atas. Tetapi pendapat
itu
sangat sulit diterima, karena ayat al-Baqarah lebih dahulu turun
dari ayat
al Ma'idah, dan tentu saja tidak logis jika sesuatu yang datang
terlebih
dahulu menghapus hukum sesuatu yang belum datang atau yang
datang
sesudahnya. Ini akan lebih sulit lagi bagi yang berpendapat
bahwa tidak
ada ayat-ayat yang batal hukumnya. Belum lagi dengan
riwayat-riwayat
yang mengatakan bahwa sekian banyak sahabat Nabi saw. dan
tabi'in
yang menikah dengan Ahl al-Kitab. Khalifah Utsman Ibn 'Affan
misalnya
kawin dengan wanita Kristen, walau kemudian istrinya memeluk
Islam;
Thalhah dan Zubair, dua orang sahabat Nabi saw. terkemuka juga
kawin
dengan wanita Yahudi (Shihab, 2002: 474).
Kalau penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim,
maka penggalan ayat kedua ditujukan kepada para wali. Para
wali
dilarang mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan
orang-orang
musyrik. Paling tidak ada dua hal yang perlu digaris bawahi di
sini.
Pertama, ditujukannya penggalan kedua tersebut kepada wali,
memberi
isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam
perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di
bawah
perwaliannya. Peranan tersebut dibahas oleh para ulama dan
-
43
menghasilkan aneka pendapat. Ada yang berpendapat sangat
ketat,
sampai mensyaratkan persetujuan dan izin yang bersifat pasti
dari para
wali dalam penentuan calon suami putrinya. Tidak sah perkawinan
dalam
pandangan ini tanpa persetujuan itu. Tetapi ada juga yang hanya
memberi
sekadar hak untuk mengajukan tuntutan pembatalan jika
perkawinan
berlangsung tanpa restunya. Menurut penganut pandangan ini,
tuntunan
tersebut pun tidak serta merta dapat dibenarkan, kecuali
setelah
memenuhi sejumlah syarat. Bukan di sini tempatnya diuraikan
(Shihab,
2002: 475).
Meskipun demikian, perlu diingat, bahwa perkawinan yang
dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalin hubungan
yang
harmonis antar suami istri, sekaligus antar keluaraga, bukan
saja keluarga
masing- masing, tetapi juga antar keluarga kedua mempelai. Dari
sini,
perananan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting,
baik
dengan member wewenang besar kepada orang tua, maupun hanya
sekadar restu. Karena itu, walau Rasul saw. memerintahkan orang
tua
untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolok ukur
anak
tidak jarang berbeda dengan tolok ukur orang tua, maka tolok
ukur anak,
ibu dan bapak, harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan
perkawinan.
Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan
orang orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama
tidak
memasukkan Ahl al Kitab dalam kelompok yang dinamai musyrik,
tetapi
-
44
muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas, berlanjut
hingga
mereka beriman, sedang Ahl al Kitab, tidak dinilai beriman,
dengan iman
yang dibenarkan Islam. Bukankah mereka walau tidak dinamai
musyrik
tetapi dimasukkan dalam kelompok kafir? Apalagi dari ayat lain
dipahami
bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan juga mengawini
atau
dikawinkan dengan pria Ahl al-Kitab, sebagaimana yang secara
tegas
dinyatakan oleh QS. al Mumtahanah [60]: 10, “ Mereka,
wanita-wanita
muslimah, tiada halal bagi orang-orang kafir, dan orang-orang
kafir itu
tiada halal pula bagi mereka."
Ayat ini, walaupun tidak menyebut kata Ahl al Kitab, tetapi
istilah
yang digunakannya adalah “orang-orang kafir”, dan seperti
dikemukakan
di atas, Ahl al Kitab adalah salah satu dari kelompok
orang-orang kafir.
Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak secara langsung
menyebut Ahl
al-Kitab, namun ketidak halalan tersebut tercakup dalam kata
"orang-
orang kafir". Alasan utama perkawinan beda agama adalah
perbedaan
iman, hal inilah yang menjadi dasar utama larangan tersebut.
Perkawinan
dimaksudkan agar terjalin hubungan yang harmonis, minimal
antara
pasangan suami istri dan anak-anaknya. Bagaimana mungkin
keharmonisan tercapai jika nilai-nilai yang dianut oleh suami
berbeda,
apalagi bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh istri?
Nilai-nilai
mewarnai pikiran dan tingkah laku seseorang. Dalam pandangan
Islam,
nilai Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai tertinggi, yang
bagaimana
pun tidak boleh dikorbankan. Ia harus dilestarikan dan
diteruskan ke anak
-
45
cucu. Kalau nilai ini tidak dipercayai oleh salah satu pasangan,
maka
bagaimana ia dapat diteruskan kepada anak cucu? Di sisi lain,
kalau
pandangan hidup ini tidak diwujudkan dalam kehidupan nyata,
maka
apakah masih ada nilai lain yang akan diwujudkan dan
dipraktekkan?
Dapatkah seseorang mentoleransi inti kepercayaan atau bahkan
mengorbankannya atas nama cinta, atau karena kekaguman pada
kecantikan atau ketampanan, harta dan status sosial? Semua
yang
dikagumi itu tidak langgeng. Sedang perkawinan diharapkan
langgeng.
Yang langgeng dan dibawa mati adalah keyakinan, karena itu
untuk
langgengnya perkawinan, maka sesuatu yang langgeng harus
menjadi
landasannya. Itu pula sebabnya ayat di atas berpesan: Wanita
yang status
sosialnya rendah, tetapi beriman, lebih baik daripada wanita
yang status
sosialnya tinggi, cantik dan kaya, tetapi tanpa iman. Pernyataan
ini Allah
sampaikan dengan menggunakan redaksi pengukuhan sesungguhnya
(Shihab, 2002: 476). Sementara sejumlah ulama menggaris bawahi
ada
faktor lain yang berkaitan dengan larangan perkawinan muslimah
dengan
non-muslim, yakni faktor anak. Menurut Mutawalli asy-Sya'rawi,
dalam
uraiannya tentang ayat ini menggaris bawahi, bahwa anak manusia
adalah
anak yang paling panjang masa kanak- kanaknya. Berbeda dengan
lalat
yang hanya membutuhkan dua jam, atau binatang lain yang
hanya
membutuhkan sekitar sebulan. Anak membutuhkan bimbingan hingga
ia
mencapai usia remaja. Orang tualah yang berkewajiban
membimbing
anak tersebut hingga ia dewasa. Nah, berapa tahun ia akan
dibimbing oleh
-
46
orang tua yang tidak memiliki nilai-nilai ketuhanan, jika ibu
atau
bapaknya musyrik? Kalau pun sang anak kemudian beriman,
dapat
diduga bahwa imannya memiliki kekeruhan akibat pendidikan
orang
tuanya di masa kecil. Karena itu, Islam melarang perkawinan
tersebut
(Shihab, 2002: 476).
Setelah menjelaskan larangan di atas, ayat ini melanjutkan
uraian
dengan menjelaskan lebih jauh sebab larangan itu, yakni karena
Mereka
mangajak kamu, dan anak-anak kamu yang lahir dari buah
perkawinan,
ke neraka dengan ucapan atau perbuatan dan keteladanan mereka,
sedang
Allah mengajak kamu dan siapa pun menuju amalan-amalan yang
dapat
mengantar ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.
Penggalan ayat ini memberi kesan, bahwa semua yang mengajak
ke neraka adalah orang-orang yang tidak wajar dijadikan pasangan
hidup.
Sementara pemikir muslim dewasa ini cenderung memasukkan
semua
non- muslim termasuk Ahl al Kitab dalam kelompok yang mengajak
ke
neraka, dan pada dasarnya mereka cenderung mempersamakan Ahl
al
Kitab dengan musyrik. Hemat penulis, mempersamakan mereka
dengan
musyrik bukan pada tempatnya, setelah al Qur'an membedakan
mereka.
Memang, kita harus membedakan mereka dengan kaum musyrikin,
atau
orang-orang komunis, karena paling sedikit Ahl al Kitab Yahudi
dan
Nasrani memiliki kitab suci dengan norma-norma akhlak, serta
ketentuan-
ketentuan yang bila mereka indahkan dapat mengantar kepada
terciptanya
satu perkawinan yang tidak otomatis buruk. Nilai kepercayaan
kepada
-
47
Tuhan, mempunyai nilai yang sangat penting dalam mengarahkan
seseorang menuju nilai-nilai moral. Ini tidak ditemukan pada
penyembah
berhala, apalagi di kalangan atheis. Namun demikian,
kecenderungan
melarang perkawinan seorang muslim dengan wanita Ahl al Kitab
atas
dasar kemaslahatan, bukan atas dasar teks al Qur'an, adalah
pada
tempatnya, sehingga paling tidak perkawinan tersebut dalam
sudut
pandangan hukum Islam adalah makruh. Sekali lagi digaris bawahi,
ini
adalah antar pria muslin dengan wanita Ahl al Kitab, bukan
wanita
muslimah dengan pria Ahl al Kitab, yang secara tegas dan pasti
telah
terlarang dan haram hukumnya. Ayat ini ditutup dengan
firman-Nya:
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, yakni tuntunan-tuntunan-Nya
kepada
manusia. Itu dijelaskan- Nya supaya kamu dapat mengingat,
yakni
mengambil pelajaran. Memang sungguh banyak pelajaran dari
tuntunan di
atas (Shihab, 2002: 477).
2. Surat Al Maidah: 5
اْلِكَتاَب ِحلٌّ َلُكْم َوَطَعاُمُكْم ِحلٌّ اْليَ ْوَم أُِحلَّ
َلُكُم الطَّيَِّباُت َوَطَعاُم الَِّذيَن أُوتُوا َواْلُمْحَصَناُت
ِمَن الَِّذيَن أُوتُوا اْلِكَتاَب ِمْن ََلُْم َواْلُمْحَصَناُت ِمَن
اْلُمْؤِمَناتِ
َأْخَداٍن َوَمْن َر ُمَساِفِحَْي َوال ُمتَِّخِذيقَ ْبِلُكْم
ِإَذا آتَ ْيُتُموُىنَّ ُأُجوَرُىنَّ ُُمِْصِنَْي َغي ْ (٥) َيْكُفْر
بِاإلميَاِن فَ َقْد َحِبَط َعَمُلُو َوُىَو ِف اآلِخرَِة ِمَن
اْْلَاِسرِينَ
Artinya:
“Pada hari ini Dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan
diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas
-
48
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-
gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak
menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya
dan ia di hari kiamat Termasuk orang-orang merugi”. (Q.S.
Al Maidah: 5)
Ayat diatas, sekali Iagi Allah mengulangi pernyataan ayat
lalu
dan menambahkan bahwa penggalan arti dari ayat Pada hari ini
dihalalkan bagi kamu, maksudnya bahwa kaum muslimin
diperbolehkan memakan binatang sembelihan orang-orang non
muslim yang telah diberi kitab. Sebagaimana penjelasan M.
Quraish
Shihab dalam tafsirnya, halal sembelihan orang-orang yang diberi
al
Kitab itu halal bagi kamu memakannya dan makanan kamu halal
pula bagi mereka, sehingga kamu tidak berdosa bila
memberinya
kepada mereka. Dan dihalalkan juga bagi kamu menikahi
wanita-
wanita yang menjaga kebormatan di antara wanita- wanita yang
beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi al-Kitab, yakni orang-orang Yahudi
dan
Nasrani sebelum kamu, bila kamu telah membayar imbalan,
yakni
mas kawin mereka, yakni telah melangsungkan akad nikah
secara
sah, pembayaran dengan maksud memelihara kesucian diri kamu,
yakni menikahi sesuai tuntunan Allah, tidak dengan maksud
berwarna dan tidak pula menjadikannya pasangan-pasangan yang
dirahasiakan atau gundik-gundik. Dihalalkan kepada kamu
pernikahan itu, sambil kiranya kamu mengingat bahwa barang
siapa
yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya. Jika
-
49
kekafiran tersebut dibawa mati dan ia di hari akhirat termasuk
orang-
orang merugi (Shihab, 2002: 29).
Dalam Tafsir Al-Mishbah kata tha'am atau makanan yang
dimaksud oleh ayat di atas adalah sembelihan, karena sebelum
ini
telah ditegaskan hal-hal yang diharamkan, sehingga selainnya
otomatis halal, baik sebelum maupun setelah dimiliki Ahl al
Kitab.
Juga karena, sebelum ini terdapat uraian tentang penyembelihan
dan
perburuan, sehingga kedua hal inilah yang menjadi pokok
masalah.
Ada juga yang memahami kata makanan dalam arti buah- buahan,
biji-bijian, dan semacamnya. Namun pendapat ini sangat
lemah.
Meskipun demikian, hendaknya perlu diingat bahwa tidak
otomatis semua makanan Ahl al Kitab menjadi halal. Karena
bias
dimungkinkan makanan yang mereka hidangkan, telah bercampur
dengan bahan-bahan haram, misalnya minyak babi atau minuman
keras, dan bias juga adanya bahan yang najis tercampur
didalamnya.
Dalam konteks ini Sayyid Muhammad Tanthawi, mantan Mufti
Mesir
dan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, menukil pendapat sementara
ulama bermazhab Malik yang mengharamkan keju dan sebangsanya
yang diproduksi di negara non-Muslim, dengan alasan bahwa
kenajisannya hampir dapat dipastikan. Namun setelah menukil
pendapat ini, Tanthawi menegaskan bahwa mayoritas ulama
tidak
berpendapat demikian, dan bahwa memakan keju dan semacamnya
yang diproduksi di negeri-negeri non-Muslim dapat
dibenarkan,
-
50