PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH
SKRIPSIDIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT GUNA
MEMPEROLEH GELAR SARJANA DALAM ILMU HUKUM ISLAM OLEH: BENNY HASAN
NIM: 99373479 DI BAWAH BIMBINGAN 1. SITI FATIMAH, SH. M.HUM DRS.
ABDUL MADJID AS
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2004
i
Siti Fatimah, SH, M. Hum. Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga
NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth : Dekan
fakultas Syariah UIN Sunan kalijaga Di Yogyakarta
Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengoreksi dan
menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi
saudara: Nama NIM : Benny Hasan : 9937 3479
Judul : Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh
gelar sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syariah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bersama ini kami ajukan skripsi
tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera
dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli
2004 Pembimbing I
Siti Fatimah, S.H, M. Hum NIP: 150 260 463
Drs. Abdul Madjid AS Dosen Fakultas Syariah
ii
UIN Sunan Kalijaga
NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth : Dekan
Fakultas Syariah UIN Sunan kalijaga Di Yogyakarta Assalamualaikum
Wr. Wb. Setelah membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan
seperlunya, maka menurut kami skripsi saudara: Nama NIM : Benny
Hasan : 9937 3479
Judul : Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh
gelar sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syariah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bersama ini kami ajukan skripsi
tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera
dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli
2004 Pembimbing II
Drs. Abdul Madjid AS NIP: 150 192 830
PENGESAHAN Skripsi berjudul
iii
Perjanjian Ekstradisi Dalam Perspektif Fiqih Siyasah yang
disusun oleh BENNY HASAN NIM: 9937 3479 Telah dimunaqosyahkan di
depan sidang muaqosyah pada tanggal 26 Juni 2004/8 Jumadil Tsaniyah
1425 H dan dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu
syarat guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam.
Yogyakarta, 15 Jumadil Tsaniyah 1425 H 2 Agustus 2004 Dekan
Fakultas Syariah
Drs. H. Malik Madany, MA NIP: 150 182 698 Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dr. Khoiruddin Nasution, MA NIP: 150 246 195 Pembimbing I
Drs. Muh. Rizal Qosim, M.Si NIP: 150 256 649 Pembimbing II
Siti Fatimah, SH, M. Hum NIP: 150 260 463 Penguji I
Drs. Abdul Madjid, AS NIP: 150 192 830 Penguji II
Siti Fatimah, SH, M. Hum NIP: 150 260 463
Drs. Ocktoberrinsyah, M. Ag NIP: 150 289 435
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATIN
iv
Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan
skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:
158/1987 dan 0543b/U/1987
Konsonan TunggalHuruf Arab Nama Huruf Latin tidak dilambangkan b
t S j h kh d Z r z s sy S d t Z g f q k l m n w h ` y N a m a
Alif b t s| jim h kh dl zl r zai sin syin Shd dhd th zh ain gain
f qf kf lm mim nn wa h hamzah y
tidak dilambangkan be te es (dengan titik di atas) je ha (dengan
titik di bawah) ka dan ha de zet (dengan titik di atas) er zet es
es dan ye es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te
(dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah) koma terbalik
di atas ge ef qi ka `el `em `en w ha apostrof ye
v
I.
Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap ditulis ditulis
muta`addidah `iddah
II. 1.
Ta marbut}ah di akhir kata Bila dimatikan ditulis h ditulis
ditulis h}ikmah `illah
(Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah
terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan
sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
2.
Bila diikuti dengan kata sandang al serta bacaan kedua itu
terpisah, maka ditulis dengan h. ditulis karmah al-aliy`
Bila ta marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan
dammah ditulis t atau h. ditulis zakh al-fitri
III.
Vokal Pendek ___ ___ ___ dammah kasrah fathah ditulis ditulis
ditulis ditulis ditulis ditulis a faala i zukira u yazhabu
Vokal Panjang
vi
1 2 3 4
fathah + alif fathah + y mati kasrah + y mati dammah + wa
mati
ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis
ditulis
jhiliyyah tans i karm furdl
Vokal Rangkap 1 fathah + y mati 2 fathah + wa mati ditulis
ditulis ditulis ditulis ai bainakum a qal
IV.
Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof ditulis ditulis ditulis Aantum uiddat lain syakartum
V.
Kata Sandang Alif + Lam
1.
Bila diikuti huruf Qomariyyah ditulis dengan menggunakan huruf
l.
ditulis ditulis
al-Qur`n al-Qiys
2.
Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el)
nya.
vii
VI.
ditulis ditulis
as-Sam` asy-Syams
Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat Ditulis menurut
penulisannya. ditulis ditulis zawi al-furdl ahl as-sunnah
KATA PENGANTAR
viii
. Selesainya penyusunan skripsi ini, yang bagi penyusun
merupakan beban yang sangat berat, karena menguras banyak tenaga
dan pikiran, memberikan kebahagiaan yang tak ternilai bagi
penyusun. Oleh karena itu, sebuah hal yang sangat wajar apabila
penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk lebih rincinya penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak. Drs. H. A. Malik
Madany, MA, sebagai Dekan Fakultas Syariah. 2. Ibu. Siti Fatimah,
S.H, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I, atas semua waktunya untuk
membimbing dan memberi dorongan, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. 3. Bapak. Drs. Abdul Madjid AS, selaku Dosen
Pembimbing II dan selaku Penasehat Akademik, atas segala bimbingan
baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini. 4. Kedua
Orang Tua, (Abah) H. Imron Romly, BA (Alm) dan (Ibu) Hj. Hikmah
Rosmalena. Dan kakak-kakakku, Ahmad Muzakky, SH beserta istri
Yuliatin, Amd. Serta Nelly Hikmiyah, SP. Atas dukungannya baik doa,
moril, maupun materiil. 5. Teman-temanku, Yus Afni A, ST, Gesang
Setyo Aji, S.H.I, Wahyuni Ernawati, Imam, teman-teman KKN Kelompok
Glagah 6, dan teman-temanku yang lain yang tidak dapat kami
sebutkan satu-persatu atas bantuannya dan dukungannya.
ix
6. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu atas
bantuannya dan dukungannya, penyusun hanya dapat membalas dengan
doa, semoga perbuatan baik tersebut diterima Allah SWT dan mendapat
balasan yang berlipat ganda. Penyusun menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, segala kritik maupun saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan dan akan kami terima dengan kerendahan hati
guna memperbaiki tugas kami selanjutnya Harapan kami adalah semoga
skripsi ini dapat menambah wawasan keilmuan dan bermanfaat bagi
kita semua, khususnya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya.
Amin.
Yogyakarta, 3 Jumadil Ula 1425 H 21 Juni 2004 Penyusun
Benny Hasan NIM. 9937 3479
ABSTRAKSkripsi ini dibuat disebabkan adanya suatu permasalahan
yang menurut penulis cukup menarik. Permasalahan yang ada adalah
adanya perjanjian ekstradisi sekarang ini yang diadakan antar
negara, disebabkan adalah karena semakin
x
berkembangnya zaman. Sekarang ini orang berbuat tindak pidana
tidak takut lagi untuk melarikan diri ke negara lain. Untuk itu
perlu diadakan perjanjian ekstradisi antar negara. Sesuai dengan
bidang keilmuan yang ditekuni oleh penulis yaitu Jinayah Siyasah,
maka dalam hal ini penulis akan mengkaji dari segi Fiqih Siyasah.
Bagaimanakah pandangan dari Fiqih Siyasah mengenai perjanjian
ekstradisi ini. Jadi dalam hal ini bagaimanakah konsep perjanjian
ekstradisi sekarang ini menurut Fiqih Siyasah. Apakah sudah sesuai
atau belum. Dan juga mengenai prinsip-prinsip umum dari perjanjian
ekstradisi itu sendiri, sudah sesuai dengan Fiqih Siyasah atau
belum. Maka akan dilihat dari contoh perjanjian ekstradisi dengan
negara lain, yang akan dilihat materi, konsep dari perjanjian
tersebut menurut Fiqih Siyasah. Dan juga perjanjian ekstradisi itu
sendiri dari segi pengertian, konsep dan lain-lainnya, sudah sesuai
dengan Fiqih Siyasah atau tidak. Dan hasilnya adalah setelah
dikaji, ada hal-hal yang sudah sesuai. Bahwa ternyata dalam Fiqih
Siyasah sendiri telah mengenal adanya perjanijian ekstradisi.
Mengenai prinsip-prinsip umum yang ada banyak yang telah sesuai
secara substansial. Ada ketidak sesuaian, yaitu mengenai
negara-negara yang dapat melakukan perjanjian ekstradisi. Dalam
Fiqih Siyasah negara yang dapat mengadakan perjanjian ekstradisi
adalah negara-negara yang termasuk dalam negara Darus Salam,
sedangkan yang termasuk dalam Darul Kuffar tidak dapat mengadakan
perjanjian ekstradisi dengan negara yang termasuk dalam Darus
Salam. Selain itu dapat disimpulkan ada hal-hal yang kurang sesuai
dengan Fiqih Siyasah, yaitu mengenai pelaku tindak kejahatan, yang
mana dalam Fiqih Siyasah itu diperjelas mengenai apakah orang
tersebut muslim, atau dzimmi. Sementara dalam perjanjian ekstradisi
pada umumnya tidak secara jelas menyebutkan tentang pelaku
kejahatan apakah dia itu muslim atau dzimmi.
DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL
.................................................................................................
.....................................................................................................................................
i
xi
NOTA DINAS
...........................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN
...................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
...................................................... KATA
PENGANTAR
...............................................................................................
ii iv v ix
ABSTRAK..................................................................................................................
xi DAFTAR ISI
..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
...................................................................
B. Rumusan Masalah
.............................................................................
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
...................................................... D. Telaah
Pustaka
..................................................................................
E. Kerangka Teoritik
.............................................................................
1 7 7 8 10 xi
F. Metode Penelitian
.............................................................................
14 G. Sistematika
Pembahasan....................................................................
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN EKSTRADISI A. Pengertian Perjanjian
Ekstradisi dan Latar Belakang Lahirnya Perjanjian Ekstradisi
.........................................................................
B. Asas Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian Ekstradisi
...........................................................................................
C. Praktek Perjanjian Ekstradisi di Indonesia
....................................... 26 32 18 16
BAB III
PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM FIQIH SIYASAH A. Pengertian
Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian
xii
Ekstradisi
...........................................................................................
37
B. Konsep Fiqih Siyasah tentang Perjanjian Ekstradisi
........................ 40 C. Praktek Perjanjian Ekstradisi dalam
Fiqih Siyasah .......................... BAB IV ANALISIS FIQIH
SIYASAH TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI Prinsip-prinsip Umum dalam
Perjanjian Ekstradisi menurut Perspektif Fiqih Siyasah. 49 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
........................................................................................
69 B. Saran-saran
........................................................................................
70 45
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................
71 LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN I TERJEMAHAN AYAT
..................................................................
I
LAMPIRAN II BIOGRAFI ULAMA DAN
TOKOH.............................................. III LAMPIRAN
III UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1976 TENTANG PERJANJIAN EKSTRADISI
ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA
............................ V
LAMPIRAN III CURRICULUM VITAE
.............................................................
XXIII
PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PERSPEKTIF FIQIH SIYASAH
xiii
SKRIPSIDIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN SYARAT GUNA
MEMPEROLEH GELAR SARJANA DALAM ILMU HUKUM ISLAM OLEH: BENNY HASAN
NIM: 99373479 DI BAWAH BIMBINGAN 2. SITI FATIMAH, SH. M.HUM DRS.
ABDUL MADJID AS
JURUSAN JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2004 Siti Fatimah, SH, M. Hum.
Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga
NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth :
xiv
Dekan fakultas Syariah UIN Sunan kalijaga Di Yogyakarta
Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah membaca, mengoreksi dan
menyarankan perbaikan seperlunya, maka menurut kami skripsi
saudara: Nama NIM : Benny Hasan : 9937 3479
Judul : Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh
gelar sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syariah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bersama ini kami ajukan skripsi
tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera
dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli
2004 Pembimbing I
Siti Fatimah, S.H, M. Hum NIP: 150 260 463
Drs. Abdul Madjid AS Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan
Kalijaga
NOTA DINASHal : Skripsi Saudara Benny Hasan Kepada Yth : Dekan
Fakultas Syariah
xv
UIN Sunan kalijaga Di Yogyakarta Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah
membaca, mengoreksi dan menyarankan perbaikan seperlunya, maka
menurut kami skripsi saudara: Nama NIM : Benny Hasan : 9937
3479
Judul : Perjanjian Ekstradisi Dalam perspektif Fiqih Siyasah
Sudah dapat diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh
gelar sarjana strata satu dalam Jinayah Siyasah Fakultas Syariah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bersama ini kami ajukan skripsi
tersebut untuk diterima selayaknya dan mengharap agar segera
dimunaqosyahkan. Untuk itu kami ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb. Yogyakarta, 16 Jumadil Ula 1425 H 5 Juli
2004 Pembimbing II
Drs. Abdul Madjid AS NIP: 150 192 830
PENGESAHAN Skripsi berjudul Perjanjian Ekstradisi Dalam
Perspektif Fiqih Siyasah yang disusun oleh BENNY HASAN NIM: 9937
3479
xvi
Telah dimunaqosyahkan di depan sidang muaqosyah pada tanggal 26
Juni 2004/8 Jumadil Tsaniyah 1425 H dan dinyatakan telah dapat
diterima sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana
dalam Ilmu Hukum Islam. Yogyakarta, 15 Jumadil Tsaniyah 1425 H 2
Agustus 2004 Dekan Fakultas Syariah
Drs. H. Malik Madany, MA NIP: 150 182 698 Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Dr. Khoiruddin Nasution, MA NIP: 150 246 195 Pembimbing I
Drs. Muh. Rizal Qosim, M.Si NIP: 150 256 649 Pembimbing II
Siti Fatimah, SH, M. Hum NIP: 150 260 463 Penguji I
Drs. Abdul Madjid, AS NIP: 150 192 830 Penguji II
Siti Fatimah, SH, M. Hum NIP: 150 260 463
Drs. Ocktoberrinsyah, M. Ag NIP: 150 289 435
SISTEM TRANSLITERASI ARAB-LATINTransliterasi kata-kata Arab yang
dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat
Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 158/1987 dan 0543b/U/1987
xvii
Konsonan TunggalHuruf Arab Nama Huruf Latin tidak dilambangkan b
t S j h kh d Z r z s sy S d t Z g f q k l m n w h ` y N a m a
Alif b t s| jim h kh dl zl r zai sin syin Shd dhd th zh ain gain
f qf kf lm mim nn wa h hamzah y
tidak dilambangkan be te es (dengan titik di atas) je ha (dengan
titik di bawah) ka dan ha de zet (dengan titik di atas) er zet es
es dan ye es (dengan titik di bawah) de (dengan titik di bawah) te
(dengan titik di bawah) zet (dengan titik di bawah) koma terbalik
di atas ge ef qi ka `el `em `en w ha apostrof ye
VII.
Konsonan Rangkap Karena Syaddah ditulis rangkap ditulis
muta`addidah
xviii
ditulis
`iddah
VIII. 3.
Ta marbut}ah di akhir kata Bila dimatikan ditulis h ditulis
ditulis h}ikmah `illah
(Ketentuan ini tidak diperlukan bagi kata-kata Arab yang sudah
terserap dalam bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan
sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).
4.
Bila diikuti dengan kata sandang al serta bacaan kedua itu
terpisah, maka ditulis dengan h. ditulis karmah al-aliy`
Bila ta marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah dan
dammah ditulis t atau h. ditulis zakh al-fitri
IX.
Vokal Pendek ___ ___ ___ dammah kasrah fathah ditulis ditulis
ditulis ditulis ditulis ditulis a faala i zukira u yazhabu
Vokal Panjang
xix
1 2 3 4
fathah + alif fathah + y mati kasrah + y mati dammah + wa
mati
ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis ditulis
ditulis
jhiliyyah tans i karm furdl
Vokal Rangkap 1 fathah + y mati 2 fathah + wa mati ditulis
ditulis ditulis ditulis ai bainakum a qal
X.
Vokal Pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan
apostrof ditulis ditulis ditulis Aantum uiddat lain syakartum
XI.
Kata Sandang Alif + Lam
3.
Bila diikuti huruf Qomariyyah ditulis dengan menggunakan huruf
l.
ditulis ditulis
al-Qur`n al-Qiys
4.
Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan menggunakan huruf
Syamsiyyah yang mengikutinya, dengan menghilangkan huruf l (el)
nya.
xx
XII.
ditulis ditulis
as-Sam` asy-Syams
Penulisan kata-kata dalam rangkaian kalimat Ditulis menurut
penulisannya. ditulis ditulis zawi al-furdl ahl as-sunnah
KATA PENGANTAR
xxi
. Selesainya penyusunan skripsi ini, yang bagi penyusun
merupakan beban yang sangat berat, karena menguras banyak tenaga
dan pikiran, memberikan kebahagiaan yang tak ternilai bagi
penyusun. Oleh karena itu, sebuah hal yang sangat wajar apabila
penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Untuk lebih rincinya penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada: 7. Bapak. Drs. H. A. Malik
Madany, MA, sebagai Dekan Fakultas Syariah. 8. Ibu. Siti Fatimah,
S.H, M. Hum, selaku Dosen Pembimbing I, atas semua waktunya untuk
membimbing dan memberi dorongan, sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. 9. Bapak. Drs. Abdul Madjid AS, selaku Dosen
Pembimbing II dan selaku Penasehat Akademik, atas segala bimbingan
baik selama kuliah maupun dalam penyelesaian skripsi ini. 10. Kedua
Orang Tua, (Abah) H. Imron Romly, BA (Alm) dan (Ibu) Hj. Hikmah
Rosmalena. Dan kakak-kakakku, Ahmad Muzakky, SH beserta istri
Yuliatin, Amd. Serta Nelly Hikmiyah, SP. Atas dukungannya baik doa,
moril, maupun materiil. 11. Teman-temanku, Yus Afni A, ST, Gesang
Setyo Aji, S.H.I, Wahyuni Ernawati, Imam, teman-teman KKN Kelompok
Glagah 6, dan teman-temanku yang lain yang tidak dapat kami
sebutkan satu-persatu atas bantuannya dan dukungannya.
xxii
12. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu atas
bantuannya dan dukungannya, penyusun hanya dapat membalas dengan
doa, semoga perbuatan baik tersebut diterima Allah SWT dan mendapat
balasan yang berlipat ganda. Penyusun menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, segala kritik maupun saran yang bersifat membangun
sangat kami harapkan dan akan kami terima dengan kerendahan hati
guna memperbaiki tugas kami selanjutnya Harapan kami adalah semoga
skripsi ini dapat menambah wawasan keilmuan dan bermanfaat bagi
kita semua, khususnya bagi penyusun dan pembaca pada umumnya.
Amin.
Yogyakarta, 3 Jumadil Ula 1425 H 21 Juni 2004 Penyusun
Benny Hasan NIM. 9937 3479
ABSTRAKSkripsi ini dibuat disebabkan adanya suatu permasalahan
yang menurut penulis cukup menarik. Permasalahan yang ada adalah
adanya perjanjian ekstradisi sekarang ini yang diadakan antar
negara, disebabkan adalah karena semakin
xxiii
berkembangnya zaman. Sekarang ini orang berbuat tindak pidana
tidak takut lagi untuk melarikan diri ke negara lain. Untuk itu
perlu diadakan perjanjian ekstradisi antar negara. Sesuai dengan
bidang keilmuan yang ditekuni oleh penulis yaitu Jinayah Siyasah,
maka dalam hal ini penulis akan mengkaji dari segi Fiqih Siyasah.
Bagaimanakah pandangan dari Fiqih Siyasah mengenai perjanjian
ekstradisi ini. Jadi dalam hal ini bagaimanakah konsep perjanjian
ekstradisi sekarang ini menurut Fiqih Siyasah. Apakah sudah sesuai
atau belum. Dan juga mengenai prinsip-prinsip umum dari perjanjian
ekstradisi itu sendiri, sudah sesuai dengan Fiqih Siyasah atau
belum. Maka akan dilihat dari contoh perjanjian ekstradisi dengan
negara lain, yang akan dilihat materi, konsep dari perjanjian
tersebut menurut Fiqih Siyasah. Dan juga perjanjian ekstradisi itu
sendiri dari segi pengertian, konsep dan lain-lainnya, sudah sesuai
dengan Fiqih Siyasah atau tidak. Dan hasilnya adalah setelah
dikaji, ada hal-hal yang sudah sesuai. Bahwa ternyata dalam Fiqih
Siyasah sendiri telah mengenal adanya perjanijian ekstradisi.
Mengenai prinsip-prinsip umum yang ada banyak yang telah sesuai
secara substansial. Ada ketidak sesuaian, yaitu mengenai
negara-negara yang dapat melakukan perjanjian ekstradisi. Dalam
Fiqih Siyasah negara yang dapat mengadakan perjanjian ekstradisi
adalah negara-negara yang termasuk dalam negara Darus Salam,
sedangkan yang termasuk dalam Darul Kuffar tidak dapat mengadakan
perjanjian ekstradisi dengan negara yang termasuk dalam Darus
Salam. Selain itu dapat disimpulkan ada hal-hal yang kurang sesuai
dengan Fiqih Siyasah, yaitu mengenai pelaku tindak kejahatan, yang
mana dalam Fiqih Siyasah itu diperjelas mengenai apakah orang
tersebut muslim, atau dzimmi. Sementara dalam perjanjian ekstradisi
pada umumnya tidak secara jelas menyebutkan tentang pelaku
kejahatan apakah dia itu muslim atau dzimmi.
DAFTAR ISIHALAMAN JUDUL
.................................................................................................
.....................................................................................................................................
i
xxiv
NOTA DINAS
...........................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN
...................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
...................................................... KATA
PENGANTAR
...............................................................................................
ii iv v ix
ABSTRAK..................................................................................................................
xi DAFTAR ISI
..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Masalah
...................................................................
I. Rumusan Masalah
.............................................................................
J. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
...................................................... K. Telaah
Pustaka
..................................................................................
L. Kerangka Teoritik
.............................................................................
1 7 7 8 10 xi
M. Metode Penelitian
.............................................................................
14 N. Sistematika
Pembahasan....................................................................
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN EKSTRADISI D. Pengertian Perjanjian
Ekstradisi dan Latar Belakang Lahirnya Perjanjian Ekstradisi
.........................................................................
E. Asas Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian Ekstradisi
...........................................................................................
F. Praktek Perjanjian Ekstradisi di Indonesia
....................................... 26 32 18 16
BAB III
PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM FIQIH SIYASAH D. Pengertian
Perjanjian Ekstradisi dan Dasar Hukum Perjanjian
xxv
Ekstradisi
...........................................................................................
37
E. Konsep Fiqih Siyasah tentang Perjanjian Ekstradisi
........................ 40 F. Praktek Perjanjian Ekstradisi dalam
Fiqih Siyasah .......................... BAB IV ANALISIS FIQIH
SIYASAH TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI Prinsip-prinsip Umum dalam
Perjanjian Ekstradisi menurut Perspektif Fiqih Siyasah. 49 BAB V
PENUTUP C. Kesimpulan
........................................................................................
69 D. Saran-saran
........................................................................................
70 45
DAFTAR PUSTAKA
................................................................................................
71 LAMPIRAN-LAMPIRAN LAMPIRAN I TERJEMAHAN AYAT
..................................................................
I
LAMPIRAN II BIOGRAFI ULAMA DAN
TOKOH.............................................. III LAMPIRAN
III UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1976 TENTANG PERJANJIAN EKSTRADISI
ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA
............................ V
LAMPIRAN III CURRICULUM VITAE
.............................................................
XXIII
BAB IIIPERJANJIAN EKSTRADISI DALAM FIQIH SIYASAH
xxvi
Pengertian Perjanjian Ekstradisi Dan Dasar Hukum Perjanjian
EkstradisiDalam Fiqih Siyasah dikenal adanya hubungan internasional
yang memerlukan adanya sebuah perjanjian antar negara dan antar
bangsa dalam menjalani hubungan antar bangsa dan antar negara.
Apalagi dalam hal penegakan hukum di dalamnya. Berdasarkan
kenyataan bahwa semua orang tidaklah mau menerima, apalagi mentaati
hukum Islam itu sebagai hukum Internasional. Dalam menjalani
hubungan internasional dan untuk mentaati hukum internasional
diperlukan adanya sebuah perjanjian antar negara. Perjanjian
(treaty) dalam hukum internasional ialah persetujuan antara dua
negara atau lebih guna mengatur hubungan-hubungan hukum dan
hubungan-hubungan internasional dan meletakkan dasar yang harus
dipatuhi. 1 Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa hukum
internasional yang berlaku sekarang lahir dari kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku antara negara dan dari perjanjian-perjanjian yang
mengikat negara-negara itu. Adapun hukum Islam internasional,
mengambil kekuatannya dari dasar (prinsip-prinsip) kemanusiaan umum
yang telah kita bentangkan di atas itu, termasuk di dalamnya
memenuhi janji. 2 Pada mulanya perkataan perjanjian (muahadah) itu
dipakai bagi persetujuanpersetujuan internasional yang
penting-penting dan yang berbentuk politik, seperti
perjanjian-perjanjian damai atau persekutuan. Adapun
perjanjian-perjanjian yang tidak1 Ali-Ali Mansur, Syariat Islam dan
Hukum internasional Umum, (Jakarta: Bulan Binatang, 1979), hlm.107.
2
Ibid., hlm. 107
xxvii
bercorak politik disebut persetujuan, ittifaqiyah (convention)
atau persepakatan ittifaq (record). 3 Dipandang dari sudut masa,
perjanjian-perjanjian internasional itu ada yang bersifat sementara
dan ada pula yang abadi. Sedang dipandang dari sudut kesahannya, ia
itu boleh jadi sah dan boleh pula tidak sah. Adapun melihat
persoalannya, ia itu terkadang perjanjian politik atau sosial.
Sebenarnya perjanjian itu bermacam-macam dan ditentukan oleh sifat
perjanjian itu sendiri. 4 Hukum internasional tidak melarang
mengadakan perjanjian itu secara lisan saja. Tetapi telah menjadi
tradisi bahwa setiap perjanjian dibuat dengan tertulis, sehingga
mungkin menyampaikan pada kekuasaan-kekuasaan yang bersangkutan
untuk disahkan. Terkadang penulisan itu dibuat dalam beberapa
naskah dan terkadang pula didaftarkan dalam daftar internasional,
seperti pada sekretariat Liga Bangsabangsa dahulu dan sekretariat
Perserikatan Bangsa-bangsa sekarang. 5 Dilihat dari berbagai
pendapat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian
adalah suatu kesepakatan yang dilakukan oleh antar bangsa dan antar
negara dalam hal politik atau hukum dalam keadaan damai. Yang
ditujukan untuk keadaan yang lebih baik. Sementara itu Ekstradisi
adalah mempunyai kata lain yaitu penyerahan penjahat. Setiap negara
Islam dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi Islam di dalam
menjalankan syariat Islam. Karena itu apabila seorang Indonesia,
melakukan tindak pidana di Indonesia, maka dia dapat diperkarakan
di Mesir.63
M. Abu Zahrah, Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang), Ali-Ali Mansur, Syariat Islam,
hlm.107
hlm. 914
Ibid., hlm.109 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan
Dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm.6
5
xxviii
Ada pendapat yang mengatakan tentang ektradisi tidak secara
jelas tapi menyatakan bahwa setiap negara yang termasuk Darus Salam
dipandang sebagai wakil yang mutlak bagi negara yang lain untuk
menjalankan hukum Islam. 7 Dari beberapa pendapat di atas maka
dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Ekstradisi menurut Fiqih Siyasah
adalah perjanjian antara dua negara di bidang hukum dalam hal
penyerahan penjahat antara negara Darus Salam. Mengenai dasar hukum
dari perjanjian ekstradisi dalam Al-Quran tidak menyebutkan secara
pasti mengenai aturan yang jelas dari Al-Quran. Dalam buku dari T.
M. Hasby Ash-Shiddieqy atau buku yang lain hanya menyebutkan satu
ayat yang mungkin dianggap mirip, yaitu sebuah ayat, Allah SWT
berfirman:8
A. Konsep Fiqih Siyasah tentang Perjanjian Ekstradisi
Perbincangan mengenai apakah Fiqih Siyasah mempunyai konsep tentang
perjanjian Ekstradisi atau tidak, tampaknya menjadi topik yang
menarik untuk dibicarakan. Para ilmuwan dan aktivis dalam dekade
terakhir ini termasuk ilmuwan Indonesia terutama sekali
7 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 31 8
Al-Mumtahanah (60) : 10
xxix
intelektual kampus sering membicarakannya. Bermacam pendapat
telah muncul dalam rangka menganalisis teori tentang perjanjian
Ekstradisi dalam Fiqih Siyasah. Mengingat teori Islam, dunia ini
dibagi dua, yaitu : Darul Islam dan Darul Harbi. Maka boleh jadi
sebagian orang menyangka, bahwa hal ini mengharuskan supaya semua
negara-negara Islam itu, diperintah suatu pemerintah saja. Ini
adalah suatu persangkaan yang tidak bersendi kenyataan. Teori-teori
Islam tidak dibuat atas dasar supaya negara-negara Islam diperintah
oleh suatu pemerintah saja. Hanya dibuat atas dasar yang
dikehendaki oleh Islam. Islam menghendaki supaya segenap umat Islam
di seluruh dunia merupakan satu tangan menghadap ke arah yang satu,
dibimbing oleh satu politik. Untuk mewujudkan maksud ini memang
mudah sekali apabila semua negara Islam dikuasai oleh pemerintah
yang satu. Akan tetapi bukan jalan ini jalan satusatunya untuk
mewujudkan tujuan-tujuan Islam. Dapat juga dilaksanakan dengan
adanya beberapa negara di Darul Islam, selama negara-negara itu
menuju ke satu jurusan, berjalan di satu politik. Dan Islam tidak
berlawanan dengan tata aturan yang berlaku di Amerika Serikat,
tidak pula berlawanan dengan tata aturan Inggris, dan juga tidak
berlawanan dengan adanya suatu Djamiah Islamiyah yang terdiri dari
segenap pemerintahan Islam yang berusaha mengawasi pemerintahan
itu. Dan berusaha menyatukan maksudmaksudnya dan tujuan-tujuannya
serta menghilangkan sengketaan-sengketaan yang terjadi di dalam
negeri masing-masing. Bahkan tidak berlawanan dengan satu tata
aturan lain selama tata aturan itu dapat mewujudkan tujuan Islam.
Tujuan Islam adalah supaya segenap para muslimin
xxx
merupakan satu tangan terhadap orang yang selain mereka dan
supaya tujuan mereka satu dan politik mereka satu pula. Berkaitan
dengan perjanjian ekstradisi, maka dengan adanya negara-negara yang
termasuk dalam Darul Islam. Menurut teori Fiqih Siyasah setiap
negara yang termasuk Darus Salam dipandang sebagai wakil yang
mutlak bagi negara yang lain untuk menjalankan hukum Islam. Dalam
teori Fiqih Siyasah tidak ada halangan antar negara-negara Darus
Salam untuk menyerahkan penjahat yang melakukan satu tindak
kejahatan, baik penjahat yang diserahkan itu seorang muslim atau
seorang zimmi atau seorang mustamin yang melakukan suatu tindak
kejahatan di salah satu daerah negara-negara Darus Salam itu,
asalkan negara yang bersangkutan belum menjatuhkan hukuman terhadap
tindak kejahatan itu sesuai dengan ketentuan hukum Islam yang
berlaku sesuai perundangundangan. 9 Bahwasannya menghadapkan si
penjahat ke hadapan hakim terhadap jarimahnya di tempat terjadinya
jarimah adalah lebih utama dari menyeretnya ke hadapan hakim
terhadap jarimahnya di tempat yang bukan tempat terjadinya jarimah;
dan lebih dapat terjamin terwujudnya keadilan. Karena pengadilan
tempat dimana terjadinya jarimah, mudah mencari keterangan dan
membahasnya lantaran adanya saksi-saksi dan mungkin menyaksikan
bekas jarimah, serta mempelajari situasisituasinya, sebagaimana
menghukum seorang penjahat terhadap jarimahnya ditempat terjadinya
jarimah memberikan nilai yang sempurna bagi hukuman itu. 10
9
L. Amin Widodo, Fiqih Siasah, hlm. 33 Ibid., hlm. 36
10
xxxi
Akan tetapi dapat juga kita mengatakan bahwa menyerahkan
penjahat yang menjadi warga dari suatu negara kepada negara lain
waktu menghukumnya terhadap satu jarimah yang dikerjakan di daerah
daulat yang lain itu, menyebabkan si penjahat tidak dapat membela
dirinya diantara orang-orang yang tidak dikenal, dan tidak ada pula
hubungan kebangsaan ataupun bahasa dan mungkin penyerahan itu
menimbulkan kemudlaratan baginya. 11 Apabila sudah dijatuhi hukuman
terhadap si pelaku kejahatan, negara yang telah menjatuhi hukuman
tersebut tidak boleh lagi menyerahkannya ke negara lain, sebab
menurut kaedah hukum Islam suatu tindak kejahatan tidak boleh
dijatuhi hukuman dua kali. Namun apabila hukuman yang telah
dijatuhkan atau atas pemeriksaan perkara yang dilakukan itu
menyalahi ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka tidak boleh menolak
bagi suatu negara yang diminta atau diserahi penjahat itu untuk
memeriksa sekali lagi atau menjatuhi hukuman yang sesuai dengan
ketentuanketentuan hukum Islam. 12 Keputusan hukuman yang telah
dijatuhkan atas si penjahat yang tidak sesuai dengan ketentuan
hukum Islam dipandang tidak ada atau tidak sah. Demikian halnya
atas pemeriksaansuatu perkara oleh satu mahkamah Islam yang tidak
berdasarkan kepada nash-nash yang diakui oleh hukum Islam, maka
hasil keputusannya dipandang tidak sah juga. Hal ini dengan
sendirinya berkisar hanya mengenai tindak kejahatan
11
T.M. Hasbi Ash-Shuddieqy, Hukum Antar, hlm. 36
12 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 33
xxxii
hudud dan qisas yang sudah ditetapkan hukumnya secara rinci
dalam nash-nash qatu addalalah. 13 Setelah kita kupas bagaimana
konsep Fiqih Siyasah dalam perjanjian Ekstradisi ketika berhubungan
dengan negara-negara yang termasuk dalam Darul Islam. Lalu
bagaimanakah konsep Fiqih Siyasah ketika berhubungan dengan
negaranegara Darul Kuffar atau Darul Harbi ? Syariat Islam tidak
membolehkan bagi suatu pemerintah Islam menyerahkan rakyatnya yang
muslim atau yang dzimmi untuk diperiksa perkaranya di Darul Harbi
tentang jarimah-jarimah yang dilakukan di negara itu. Dan tidak
boleh negara Islam menyerahkan rakyat-rakyat suatu negara Islam
yang lain kepada negara yang bukan Islam; karena mereka ini, dari
segi syara, dihukum rakyatnya juga. 14 Dan syariat Islam, tidak
membolehkan bagi pemerintah Islam menyerahkan muslim yang menjadi
warga negara bagi negara musuh (yang sedang bermusuhan dengan
negara Islam) apabila si muslim itu berhijrah dari Darul Harbi ke
Darul Islam, walaupun dimintakan oleh negara yang dia bermukim di
daerahnya, selama belum ada persetujuan (perjanjian yang dibuat
terlebih dahulu untuk menyerahkan warga negaranya). Jika telah ada
perjanjian, wajiblah perjanjian itu dipenuhi, terkecuali
syarat-syarat yang batal daripadanya. Dan dipandang persetujuan itu
batal, apabila yang dimaksudkan menyerahkan orang-orang Islam yang
pergi ke Darul Islam sebelum adanya perjanjian itu. Dan dipandang
pula batal segala syarat yang mengharuskan kita menyerahkan wanita
Islam yang berlindung ke Darul Islam, baik dia berlindung itu
sebelum terjadi persetujuan,13
Ibid., hlm. 33 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar, hlm.
38
14
xxxiii
ataupun sesudahnya. Wanita Islam, tidak boleh diserahkannya
dalam keadaan bagaimanapun, kepada negara yang bukan Islam,
walaupun wanita itu dari rakyatnya, dan walaupun ada suami, anak
dan keluarga yang memintanya kembali ke Darul Harbi itu. 15 Allah
berfirman dalam Al-Quran :16
Mengenai penyerahan laki-laki muslim kepada pihak negeri musuh
sebagai salah satu syarat isi perjanjian, para ulama berbeda
pendapat. Imam Malik dan Imam Ahmad berpendapat bahwa syarat itu
wajib dipenuhi setelah terjadi perjanjian. Imam Abu Hanifah dan
sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa menyerahkan laki-laki
muslim sebagai salah satu syarat isi perjanjian tidak diterima dan
perjanjian batal, sebab dalam keadaan apapun, kita tidak dibolehkan
memberikan kekuasaan kepada pihak non-muslim untuk menyelesaikan
urusan orang Islam. 17 Mengenai hal ini Ulama Syafiiyah membedakan
antara menyerahkan laki-laki muslim yang punya keluarga di Darul
Kuffar dengan laki-laki muslim yang tidak ada keluarga di Darul
Kuffar. Bagi yang pertama kita boleh menyerahkan mereka
kepada15
Ibid., hlm. 38 Al-Mumtahanah (60): 10
16
17 L. Amin Widodo, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 34
xxxiv
pihak penguasa musuh dengan harapan dia dapat dilindungi oleh
keluarganya. Akan tetapi bagi yang kedua tidak boleh. Dasar tidak
membolehkannya penyerahan itu adalah dikhawatirkan akan terjadinya
penekanan-penekanan dari pihak penguasa musuh atas diri orang yang
diserahkan itu. 18 Penguasa negeri Darus Salam tidak boleh
menyerahkan mustamin untuk keperluan penyelesaian suatu tindak
kejahatan yang dilakukan dari salah satu negeri Darul Kuffar. Sebab
hal ini berlawanan dengan prinsip jaminan keamanan yang telah
diberikan antara penguasa negeri Darus Salam dengan penguasa negara
lain (Darul Kuffar), kecuali yang meminta itu telah ada persetujuan
yang menghendaki penyerahan itu.19 Dari konsep Fiqih Siyasah yang
sudah dibahas sebelumnya mengenai perjanjian ekstradisi. Sesuai
dengan prinsip atau asas dasar yang dikemukakan, yang ada
hubungannya dengan hubungan internasional. Yaitu Tauhid, konsep
dasar dan ideologi Islam berasal dari konsep Tauhid. Tauhid adalah
visualisasi hidup manusia, dimana ini menyangkut hubungan langsung
antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dimana hidup seperti test
dari keungulan dan nilai. Asas lainnya adalah Keadilan (Adl),
kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan,
walaupun dengan musuh sekalipun. Sejak konsep keadilan menjadi asas
dasar di dalam Islam, Islam memberikan tanggung jawab dan komitmen
untuk kejujuran dan keadilan di dalam semua hubungan luar.20
Selanjutnya adalah Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama, dimana
ini adalah syarat minimum untuk Muslim di dalam hubungan
internasional. Asas selanjutnya adalah Jihad (self18
Ibid., hlm. 35 Ibid., hlm.35
19
20 Abdul Hamid A. AbuSulayman, Towards an Islamic Theory of
International Relations: New Directions for Methodology and
Thought, (Grove St. Herndon: International Insititute of Islamic
Thought, 1993), hlm. 128-129
xxxv
exertion), untuk manusia sebagai penjaga atau wakil Allah SWT di
bumi, dengan sukarela menggunakan usaha sepenuhnya untuk membawa
perilaku mereka yang dipandu Al-Quran dan Sunnah untuk umat
manusia. Asas yang terakhir adalah Menghormati dan memenuhi
Komitmen, asas ini adalah perluasan dai asas Tauhid, rasa tanggung
jawab manusia dan keutuhan dan persamaan manusia membutuhkan
pendirian kewajiban moral Muslim, baik individu maupun semuanya
untuk memenuhi baik komitmen perorangan, nasioal, dan
internasional.21
B. Praktek Perjanjian Ekstradisi Dalam Fiqih Siyasah Yang akan
dibahas dalam sub bab ini adalah peranan perjanjian ekstradisi
dalam Fiqih Siyasah. Dalam Fiqih Siyasah, perjanjian ekstradisi
termasuk dalam kajian Fiqih Dualy Am atau Siasah Kharijiyah As Syar
iyyah yang titik berat pembicaraannya ialah sekitar hubungan antara
negara dan orang-orang yang tercakup dalam hukum internasional.
Hubungan ini melahirkan dua aturan hukum yaitu hukum publik
internasional dan hukum perdata internasional. Hukum publik
internasional mengatur hubungan antara negara-negara Darus Salam
dengan negara lain yakni Darul Kuffar atau antara Negara Darus
Salam dengan warga negara dari negara lain, yang bukan termasuk
dalam lapangan hukum perdata Internasional.22 Berarti peranan Fiqih
Siyasah dalam hal ini adalah mengatur bagaimana hubungan antar
negara. Hubungan dalam hal ini berarti hubungan internasional,
disini maksudnya adalah hubungan antara suatu negara dengan negara
lainnya. Hubungan antar negara bagaimanapun tidak dapat dihindari
dalam kehidupan pergaulan dunia.21 22
Ibid., hlm. 129, 135, dan 137 Ibid., hlm, 1
xxxvi
Bermacam kebutuhan antara satu negara dengan negara lainnya yang
mengakibatkan mereka harus selalu berhubungan antara satu negara
dengan negara lainnya. Mulai dari kebutuhan primer manusia sendiri
sebagai rakyat di suatu negara seperti sandang dan pangan sampai
pada masalah sosial lainnya seperti hubungan kebudayaan dan politik
termasuk masalah keagamaan. Seperti terlihat dalam kenyataan
kehidupan negaranegara yang ada di belahan bumi, antara satu negara
dengan negara lainnya selalu saling membutuhkan bantuan termasuk
dalam mendapat jaminan keamanan warga negaranya ketika beraktivitas
di negara tetangganya, baik dalam kegiatan sosial budaya, ekonomi
maupun politik. Karena itu untuk mengatur agar teraturnya hubungan
ini diperlukan hukum internasional. Hukum internasional adalah
hukum yang membicarakan masalah tata hukum dengan
ketentuan-ketentuan yang mengatur pergaulan antar negara, dalam
rangka itu pula ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan
diantaranya.23 Hubungan internasional dibagi menjadi dua kelompok
yaitu : a. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Dar al-Salam, dan
b. Hubungan antar bangsa dan negara dalam Dar al-Kuffar. Yang
dimaksud dengan Dar al-Salam adalah negara yang di dalamnya berlaku
hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan atau negara yang
berpenduduk beragama Islam dan dapat menegakkan hukum Islam sebagai
hukum perundangundangan atau hukum positif. Negara-negara yang
semua atau mayoritas penduduknya terdiri dari umat Islam
digolongkan kepada Dar al-Salam, walaupun pemerintahannya bukan
pemerintahan Islam, akan tetapi orang-orang Islam penduduk negeri
dapat23
Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Paramita, 1972), hlm. 48
xxxvii
dengan leluasa menegakkan hukum Islam sebagai hukum
perundang-undangan. Sementara yang dimaksud dengan Dar al-Kuffar
adalah negara yang tidak berada di bawah kekuasaan umat Islam, atau
negara yang tidak dapat atau tidak tampak berlakunya
ketentuan-ketentuan hukum Islam, baik terhadap penduduknya yang
beragama Islam maupun penduduk beragama lain. Selama orang-orang
Islam dimana mereka bermukim secara tetap dan tidak mampu
melahirkan hukum Islam sebagai hukum perundang-undangan negara,
negara tersebut dapat dikategorikan sebagai negara Dar al-Kuffar.
24 Disanalah letak peranan Fiqih Siyasah dalam membentuk suatu
perjanjian ekstradisi, dimana lebih berperan dalam mengatur
hubungan internasional. Dan diterapkan ketika timbulnya kejahatan
antar negara, baik Dar al-Salam maupun Dar al-Kuffar. Apakah hukum
Islam itu dapat diterapkan atas semua penduduk negeri yang berada
di lingkungan yurisdiksi hukum Darus Salam atau hanya atas orang
Islam, atau hanya atas sebagian saja dari mereka dan tidak atas
yang lain. Dan apabila hanya dapat diterapkan atas perbuatan tindak
pidana (jarimah) yang terjadi dalam yurisdiksi hukum Darus Salam,
apakah hukum Islam itu dapat diterapkan atas semua penduduk negeri
Darus Salam ia melakukan perbuatan tindak pidana dalam lingkungan
yurisdiksi hukum Darul Kuffar. Pada asasnya hukum Islam berlaku
bagi segenap penduduk negeri yang berada dalam lingkungan
yurisdiksi hukum Darus Salam meskipun bentuk dan corak
pemerintahannya berlainan.
M. Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam menurut Fazlur Rahman,
(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm, 141.
24
xxxviii
Prinsip hukum Islam berlaku atas semua penduduk tanpa melihat
kepada adanya perbedaan-perbedaan agama, bahasa dan kebangsaan,
maka dari itu yang bermukim dalam yurisdiksi hukum Darus Salam
berkewajiban untuk melaksanakan hukum Islam, atas segala perbuatan
pidana (jarimah), baik yang dilakukan di Darus Salam, atau di Darul
Kuffar atas siapa saja yang melakukannya dan dimana saja. BAB IV
ANALISIS FIQIH SIYASAH TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI
Prinsip-Prinsip Umum dalam Perjanjian Ekstradisi menurut
Perspektif Fiqih Siyasah Salah satu kewajiban dalam agama yang
terbesar adalah urusan memimpin orang banyak, karena agama tidak
akan bisa tegak tanpa adanya pemimpin itu. Karena kemaslahatan
manusia tidak bisa sempurna kecuali dengan bermasyarakat, setiap
orang membutuhkan orang lain, sedangkan dalam sebuah masyarakat
haruslah ada seorang pemimpin. Dengan semakin majunya peradaban,
maka negara-negara modern mulai memisahkan kekuasaan negara menjadi
tiga kekuasaan, yaitu kekuasaan legislative sebagai pembuat
undang-undang, eksekutif sebagai pelaksana dan yudikatif sebagai
kekuasaan peradilan. Indonesia menganut tiga pemisahan kekuasaan
ini, meskipun pembagian ini tidak sama dengan pembagian kekuasaan
menurut ajaran trias politika. Karena Undang-undang Dasar 1945
memiliki system pembagian kekuasaan sendiri.1
Dalam pembagian kekuasaan ini setiap lembaga negara telah
memiliki tugas tertentu, namun dalam system ini dimungkinkan adanya
kerjasama antar lembaga negara. Mah Kusnardi dan Bintan R. Saragih,
Susunan Pembagian Kekuasaan menurut Sistem Undang-Undang Dasar
1945, cet. 7(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 35.
1
xxxix
Sebagai negara hukum, Indonesia menganut asas peradilan bebas
yang dijamin Undang-undang. Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan
jaminan khusus bagi kebebasan kekuasaan kehakiman, terlepas dari
pengaruh kekuasaan eksekutif. Dari sistem kekuasaan tersebut maka
lahirlah undang-undang. Dan undangundang merupakan sebuah produk
yang dibuat selalu berdasarkan keputusan politik, walaupun
undang-undang tersebut masuk dalam wilayah hukum, tetapi tetap
selalu ada kaitan dan mata rantai terhadap hal itu, dalam bahasa
yang dipakai adalah politik hukum. Asumsi dasar yang digunakan
dalam hal ini adalah bahwa hukum merupakan produk politik, sehingga
karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai
oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya.
Asumsi lainnya bahwa setiap produk hukum dapat dilihat berdasarkan
kenyataan setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik
sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran
politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.2 Perjanjian
Ekstradisi inipun merupakan salah satu produk politik yang
digunakan sebagai kerangka acuan dasar bagi proses pelaksanaan
peradilan di Indonesia. Sejarah singkatnya bahwa perjanjian ini
timbul ke permukaan merupakan sebagai penguat dan petunjuk bagi
kekuasaan kehakiman sebagai lembaga peradilan untuk dapat
menuntaskan pelanggaran-pelanggaran atau peristiwa-peristiwa yang
pernah terjadi sebelumnya.
Moh. Mahfud. MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
(Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 4.
2
xl
Hanya saja realitas yang terjadi di lapangan adalah adanya
hambatan-hambatan dan kendala-kendala dalam melakukan investigasi
terhadap setiap pelanggaran. Apalagi pelanggaran itu dilakukan oleh
oknum-oknum pejabat
pemerintahan dan oknum-oknum lainnya yang masih mempunyai
pengaruh cukup besar terhadap setiap kebijakan politiknya dalam
pengambilan keputusan suatu hukum. Hukum dalam arti umum hanya
diperlukan bila ada kepentingan hukum manusia. Kepentingan di luar
manusia seakan tidak diurus oleh hukum. Oleh sebab itu, tidak salah
bila dipahami hukum itu diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.
Atau, dengan kata lain hukum baru ada bila ada lebih dari seorang.
Telah tegas disebut, bahwa berdasarkan Tap MPRS/XX/1966, ditetapkan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Telah tegas pula
disepakati bahwa bangsa dan negara merdeka bukan hanya atas jasa
dan perjuangan manusia, melainkan yang menentukan, ialah Allah Yang
Maha Kuasa.3 Bagi umat Islam, kenyataan demikian tidak berdiri
sendiri, tetapi ada yang menetunkan, Allah SWT. Wajib dibaca dan
diambil hikmahnya. Berdasarkan keadaan itulah, menurut Islam, yang
menjadi bangsa Indonesia itu tidak akan ingkar janji. Berbicara
tentang hukum, dalam hal ini dari pemahaman ajaran Islam, hukum itu
difahami sebagai syariat, perintah yang diturunkan oleh Allah SWT
berupa wahyu yang diturunkan melalui para Rasulnya dan Rasul yang
terakhir Muhammad saw.Bismar Siregar, Hukum Islam di Indonesia,
Pemikiran dan Praktek, cet. Ke-2, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
1994), hlm. 163.3
xli
Kecuali hukum syariat berupa wahyu, diterima pula segabai
hukum/syariat dari sikap dan tindak laku, disebut sunnah Nabi.
Jadi, ada dua sumber hukum. Yang pertama, mutlak kebenarannya. Yang
kedua, perlu penelitian riwayatnya. Keduanya diakui sebagai sumber
hukum. Hukum Allah terkandung pada Kitab Suci Al-Quran, mengatur
bagaimana makhluk-Nya diberi amanah sebagai khalifah bertindak dan
berlaku mengelola alam semesta, sebagai wakilnya. Sejauh manakah si
manusia sadar dan tahu, bahwa ia wakil Allah, tidak difahami sama
dalam kehidupan antar manusia. Walau berasal sama, Adam dan Hawa,
tetapi dalam perjalanan sejarah manusia beraneka ragam.4 Kata hukum
berasal dari bahasa Arab, Ahkam. Tetapi hukum yang aslinya berasal
dari yang Arab itu, sebenarnya berbeda dengan hukum yang sudah
membumi di negara ini. Hukum Islam tidaklah sesempit makna dan arti
hukum yang dipergunakan sehari-hari.5 Menjadi pertanyaan, telah
adakah hukum Islam dalam kehidupan hukum di negara ini? Pertanyaan
itu layak dipikirkan. Tidak perlu malu bila jawabannya mengambang
dan belum ada ketegasan. Dengan pengamatan demikian, sebagai umat
kita terpanggil untuk bersama melakukan perjanjian sejauh mana
ilmu-ilmu Islam itu, termasuk hukum Islam dapat mengahadapi dan
menjawab berbagai tantangan hidup masa kini. Hukum Islam bersifat
Ijabi dan Salbi, artinya hukum Islam itu memerintahkan, mendorong,
dan menganjurkan melakukan perbuatan makruf (baik) serta
melarang4
Bismar Siregar, Islam dan Hukum, cet, ke-3, (Jakarta: PT.
Grafikatama Jaya, 1992), hlm. Ibid., hlm. 166
166.5
xlii
perbuatan munkar dan segala macam kemudaratan. Berbeda hukum
wadi, aspek ijabi dalam hukum Islam lebih dominan. Hal ini
mengingat bahwa tujuan utama pensyariatan hukum Islam adalah
mendatangkan, menciptakan, dan memelihara kemaslahatan bagi umat
manusia. Sedangkan aspek salbi, yang bertujuan menghindari
kemudaratan dan kerusakan, sebenarnya telah tercakup di dalamnya.
Perlu pula dikemukakan bahwa kemaslahatan individu bukan sekedar
tujuan sampingan, yang hanya diperhatikan jika membawa kemaslahatan
bagi masyarakat.6 Berkaitan dengan perjanjian ekstradisi, persoalan
Fiqih Siyasah yang juga termasuk dalam bagian hukum Islam. Banyak
persoalan yang dari Fiqih Siyasah yang tidak terdapat dalam
perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh pemerintah tersebut. Dalam
pembuatan perjanjian ekstradisi harus diperhatikan adanya
prinsip-prinsip umum yang harus diperhatikan dalam pembuatannya,
yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, diantaranya: Asas
kejahatan rangkap (double criminality), yaitu bahwa perbuatan yang
dilakukan baik oleh negara peminta maupun oleh negara yang diminta
dianggap sebagai kejahatan. (Pasal 4). Asas jika suatu kejahatan
tertentu oleh negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan
politik maka permintaan ekstradisi ditolak (Pasal 5). Asas bahwa
negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan warga
negaranya sendiri (Pasal 7).
6 Ibrahim Hosen, Fungsi dan Karakteristik Hukum Islam dalam
Kehidupan Umat Islam, dalam Amrullah Ahmad, SF, dkk, (ed), Dimensi
Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Mengenang 65 tahun Prof.
Dr. Busthanul Arifin, SH cet. Ke-1(Jakarta: Gema Insani Press,
1996), hlm. 88
xliii
Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau
sebagian di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam
yurisdiksi negara yang diminta, maka negara ini dapat menolak
permintaan ekstradisi (Pasal 8). Asas bahwa suatu permintaan
ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang berwenang dari negara
yang diminta sedang mengadakan pemeriksaan terhadap orang yang
bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya
(Pasal 9). Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu,
telah dijatuhi putusan Pengadilan yang berwenang dari negara yang
diminta dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang
pasti, maka permintaan ekstradisi ditolak (non bis in idem) (Pasal
10). Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut,
dipidana atau ditahan untuk kejahatan apapun yang dilakukan sebelum
yang bersangkutan
diekstradisikan selain daripada untuk kejahatan untuk mana ia
diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan
orang itu menyetujuinya (Pasal 15).7 Asas yang lain yang telah
diakui oleh hukum internasional yaitu asas spesialitas (rule of
speciality) atau asas kekhususan. Asas ini menentukan bahwa
seseorang yang diekstradisikan itu tidak boleh diadili dan dipidana
melainkan atas kejahatan-kejahatan yang semata-mata dimintakan
ekstradisinya.8 Non bis in idem, yaitu bahwa seseorang tidak boleh
diadili untuk kedua kalinya atas kejahatan yang sama.9 Juga diakui
oleh hukum internasional dan asas ini biasanya7
Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, Bab II,
Azas-Azas Ekstradisi M. Budiarto, Masalah Ekstradisi, hlm. 17
8
Malik Fatoni, Tinjauan Hukum Islam Atas Undang-Undang No. 39
tahun 1999 tentang HAM, skripsi sarjana IAIN Sunan Kalijaga (2003),
hlm. 119.
9
xliv
dimasukkan dalam undang-undang nasional dan
perjanjian-perjanjian ekstradisi. Sehingga banyak menimbulkan
akibat terhadap pelaku kejahatan tersebut.
Bahwa undang-undang dari segi ide dan maknanya, adalah nyata
bahwa masyarakat tak boleh lari dari undang-undang. Dan hajat
manusia di dunia ini membutuhkan padanya. Maka dengan undang-undang
dapat mengatur masyarakat, mencegah kezaliman-kezaliman dan
menjamin hak-hak asasi manusia, membagi-bagi keadilan dan menuntun
bangsa. Dalam pembuatan perjanjian ekstradisi setelah melihat
asasnya baru bisa diterapkan ke dalam masyaakatnya. Sedangkan dalam
Fiqih siyasah sendiri ada prinsip atau asas-asas yang sesuai dengan
hal tersebut di atas. Diantaranya: Dari konsep Fiqih Siyasah yang
sudah dibahas sebelumnya mengenai perjanjian ekstradisi. Sesuai
dengan prinsip atau asas dasar yang dikemukakan, yang ada
hubungannya dengan hubungan internasional. Yaitu Tauhid, konsep
dasar dan ideologi Islam berasal dari konsep Tauhid. Tauhid adalah
visualisasi hidup manusia, dimana ini menyangkut hubungan langsung
antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, dimana hidup seperti test
dari keungulan dan nilai. Asas lainnya adalah Keadilan (Adl),
kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan,
walaupun dengan musuh sekalipun. Sejak konsep keadilan menjadi asas
dasar di dalam Islam, Islam memberikan tanggung jawab dan komitmen
untuk kejujuran dan keadilan di dalam semua hubungan luar.10Abdul
Hamid A. AbuSulayman, Towards an Islamic Theory of International
Relations: New Directions for Methodology and Thought, (Grove St.
Herndon: International Insititute of Islamic Thought, 1993), hlm.
128-12910
xlv
Selanjutnya adalah Perdamaian, Saling Bantu dan Kerjasama,
dimana ini adalah syarat minimum untuk Muslim di dalam hubungan
internasional. Asas selanjutnya adalah Jihad (self-exertion), untuk
manusia sebagai penjaga atau wakil Allah SWT di bumi, dengan
sukarela menggunakan usaha sepenuhnya untuk membawa perilaku mereka
yang dipandu Al-Quran dan Sunnah untuk umat manusia. Asas yang
terakhir adalah Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah
perluasan dai asas Tauhid, rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan
dan persamaan manusia membutuhkan pendirian kewajiban moral Muslim,
baik individu maupun semuanya untuk memenuhi baik komitmen
perorangan, nasioal, dan internasional.11 Sesuai dengan corak
siyasah yang dikenal dengan istilah Siyasah Syariah atau Fiqih
Siyasah (dua istilah yang berbeda tapi mengandung pengertian yang
sama) yaitu Siyasah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia yang
berlandaskan etika agama dan moral dengan memperhatikan
prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup
bermasyarakat dan bernegara.12 Jadi dalam bermasyarakat dan
bdernegara tetap memperhatikan etika, agama, dan moral, sebab hal
itu sangat diperlukan untuk dapat menuntun kemana arah dalam
kehidupan bernegara. Dalam hubungan itu, Abdul Wahhab Khallaf
menyatakan bahwa definisi Siyasaah Syariyah (atau Fiqih Siyasah)
adalah pengelolaan masalah umum bagi11
Ibid., hlm. 129, 135, dan 137
Suyuthi Pulungan,Fiqih Siyasah, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
cet. Ke-3 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 24.
12
xlvi
negara bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan
dan terhindar dari kemudaratan dengan tidak melanggar ketentuan
syariat dan prinsip-prinsip syariat yang umum meskipun tidak sesuai
dengan pendapat-pendapat para imam mujtahid. Yang dimaksud dengan
masalah umum bagi negara, menurut Khallaf, adalah setiap urusan
yang memerlukan pengaturan baik mengenai perundang-undangan negara,
kebijakan dalam harta benda dan keuangan, penetapan hukum,
peradilan, kebijaksanaan pelaksanaannya maupun mengenai urusan
dalam dan luar negeri.13 Dari pernyataan tersebut di atas
menegaskan bahwa wewenang membuat segala bentuk hukum, peraturan
dan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pengaturan kepentingan
negara dan urusan umat guna mewujudkan kemaslahatan umum terletak
pada pemegang kekuasaan bersifat mengikat. Ia wajib ditaati oleh
masyarakat selama semua produk itu secara substansial tidak
bertentangan dengan jiwa syariat. Karena ulil amri telah diberi hak
oleh Allah SWT untuk dipatuhi. Sekalipun semua produk itu
bertentangan dengan pendapat para mujtahid. Karena pendapat
mujtahid hanya wajib diamalkan oleh mujtahid itu sendiri dan
masyarakat tidak wajib mengikutinya. Allah berfirman dalam Al-Quran
:14
.
13
Ibid., hlm. 25. An-Nisa (4) : 59
14
xlvii
Yang jadi persoalan adalah bagaimanakah pembuat undang-undang
(pemerintah) memperhatikan sebagian dari masyarakat atau warga
negaranya untuk dijadikan bahan pertimbangan. Walaupun dalam hal
ini negara mempunyai kewenangan tertentu dalam hal
perundang-undangan. Dalam suatu masyarakat domestik yang tertata
dengan baik, terdapat suatu sistem perundang-undangan, yang
kompleks dengan organ-organ tertentu untuk membuat, mengatur, dan
memaksakan hukum. Negara memiliki kewenangan memaksa
individu-individu menyesuaikan tingkah laku mereka terhadap hukum.
Hukum dibuat atas nama mereka; mereka dapat diajukan ke pengadilan
meskipun itu tidak mereka kehendaki; dan peraturan perundangan,
suka atau tidak, dipaksakan pada mereka.15 Berarti dalam penerapan
hukum ada suatu sanksi di dalamnya untuk dapat diterapkan. Setiap
bentuk hukum memiliki berbagai sanksi normative, utilitarian
(sanksi untuk menjamin manfaat bersama) dan koersif (paksaan).
Negara tuduk pada aturan hukum, lebih didasarkan pada maksud-maksud
normative dan utilitarian.16 Dalam kaitannya dengan perjanjian
ekstradisi, yang merupakan produk hukum dari pemerintah Indonesia,
Fiqih Siyasah sebagai bagian dari Hukum Islam memiliki daya
kemampuan mumpuni melayani kepentingan dunia Internasional. Hukum
Islam disamping mengatur soal-soal agama, mengatur juga
persoalanpersoalan dunia. Artinya disamping sebagai dasar-dasar
peribadatan, berfungsi pula sebagai dasar-dasar hukum dan akhlak
yang mengaturWaler S. Jones, Logika Hubungan Iternasional,
Kekuasaan, Ekonomi, Politik Internasional, dan Tatanan Dunia 2,
alih bahasa Budiana Kusumadiamidjojo, (Jakarta: P.T. Gramedia
Pustaka Utama, 1993), hlm. 333.16 15
Ibid., hlm.333
xlviii
hubungan antar sesama manusia. Dan memperhatikan prinsip-prinsip
umumnya, sehingga sesuai dengan yang diatur dalam perjanjian itu.
Melihat prinsip-prinsip yang ada dapat diartikan bahwa dapat
dilihat antara perjanjian ekstradisi yang umum dengan Fiqih Siyasah
banyak terdapat kesamaan, akan dianalisa lebih jauh. Dalam
Prinsip-prinsip umum yang ada, pada intinya banyak kesesuaian
dengan prinsip-prinsip umum yang dimiliki oleh Fiqih Siyasah,
seperti halnya pada asas keadilan yang dimiliki pada Fiqih Siyasah
ada kesesuaian dengan asas Non bis in idem, yaitu bahwa seseorang
tidak boleh diadili untuk kedua kalinya atas kejahatan yang sama.
Dengan melihat asas-asas yang ada, dapat dikatakan bahwa antara
prinsip-prinsip yang ada antara Fiqih Siyasah dengan
prinsip-prinsip umum sebenarnya sesuai dan mengandung hal yang sama
apa yang dimaksudkan dalam pembuatan perjanjian ekstradisi. Secara
substansial prinsip tersebut mengandung hal yang sama yaitu untuk
melindungi harkat dan martabat manusia dalam melakukan hubungan
internasional apalgi dalam melakukan perjanjian ekstradisi. Hukum
Islam melangkah lebih jauh. Ia menyerukan agar seluruh umat manusia
yang berlainan asal kebangsaan, warna kulit, dan agamanya,
menegakkan persaudaraan kemanusiaan secara menyeluruh, sehingga
humanisme benar benar terwujud dalam alam kehidupan. Allah
berfirman dalam Al-Quran :7777
Al-Hujurat (49) :13
xlix
Persoalan Fiqih Siyasah dalam perjanjian ekstradisi adalah
ketika
menyerahkan penjahat dari negara Darus Salam ke negara yang
bukan Darus Salam (Darul Kuffar). Ini adalah salah satu prinsip
yang lain yang sebenarnya ada alam Fiqih Siyasah. Hukum Islam tidak
membenarkan bagi penguasa negara Darus Salam menyerahkan rakyatnya,
baik muslim atau dzimmi untuk diperiksa perkaranya di Darul Kuffar
mengenai tindak kejahatan yang telah dilakukan di negara itu, dan
demikian juga halnya tidak diperbolehkan bagi penguasa darus salam
menyerahkan rakyatnya yang bersembunyi di negara Darus Salam yang
lain kepada penguasa Darul Kuffar untuk diperiksa perkaranya, hanya
karena mereka ini dipandang dari segi kaedah hukum Islam wajib
dihukum sebagai rakyatnya sendiri.18 Jadi dalam hal ini Hukum Islam
tidak membenarkan adanya penyerahan warganegaranya yang merupakan
pelaku tindak kejahatan untuk diserahkan ke negara yang bukan
Negara Islam atau Negara yang tidak termasuk dalam Darus Salam atau
yang lebih tepat disebut sebagai negara Darul Kuffar. Sebenarnya
hal ini sudah tidak tepat untuk dialakukan atau diterapkan dalam
masa sekarang, dengan melihat kerangka modern dinamis Islam yang
cenderung telah meninggalkan kerangka tradisional, yang masih
menerapkan Darus Salam dan darul Kuffar. Penulis hanya memasukkan
sebagai salah satuL. Amin Widodo, Fiqih Siyasah dalam Hubungan
Internasional, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), hlm. 34.18
l
prinsip yang saat ini sudah tidak sesuai lagi dengan teori yang
diterapkan. Sebab kerangka tradisional yang masih menerapkan
pemisahan itu, akan menimbulkan perpecahan antara negara yang satu
dengan. Begitu juga masalah yang berkait dengan masalah tentang
apakah pelaku tindak kejahatan tersebut, beragama Islam atau tidak.
Dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat dengan negara manapun, hal
tersebut tidak diatur. Berbeda dengan konsep Fiqih Siyasah yang
secara tegas mengatur dan menyebutkan tentang Muslim atau Dzimmi.
Dan syariat Islam, tidak membolehkan bagi pemerintah Islam
menyerahkan muslim yang menjadi warga negara bagi negara musuh
(yang sedang bermusuhan dengan negara Islam) apabila si muslim itu
berhijrah dari Darul Harbi ke Darul Islam, walaupun dimintakan oleh
negara yang dia bermukim di daerahnya, selama belum ada persetujuan
(perjanjian yang dibuat terlebih dahulu untuk menyerahkan warga
negaranya). Jika telah ada perjanjian, wajiblah perjanjian itu
dipenuhi, terkecuali syarat-syarat yang batal daripadanya. Dan
dipandang persetujuan itu batal, apabila yang dimaksudkan
menyerahkan orang-orang Islam yang pergi ke Darul Islam sebelum
adanya perjanjian itu. Dan dipandang pula batal segala syarat yang
mengharuskan kita menyerahkan wanita-wanita Islam (muslim) yang
berlindung ke Darul Islam, baik dia berlindung itu sebelum terjadi
persetujuan ataupun sesudahnya.19 Jadi berkaitan dengan
undang-undang tersebut, berarti harus ada perjanjian antara
negara-negara yang termasuk di dalam Darus Salam dengan Darul
Kuffar tetap harus ada perjanjian yang harus diatur dengan
sebaik-baiknya.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum Antar Golongan dalam
Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), hlm. 38.19
li
Dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh pemerinah, tidak
diatur tentang adanya perjanjian antara Negara Islam dengan yang
bukan Islam. Ini terbukti dengan adanya perjanjian antara Negara
Republik Indonesia dengan negara yang bukan Islam atau negara yang
Islam. Seperti dengan Malaysia, Filipina, dan dengan Thailand, atau
bahkan negara seperti Amerika Serikat. Sebagai contoh adalah
Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 10 Pebruari 1976,
mengadakan perjanjian ekstradisi dengan pemerintah Philipina, yang
ditandatangani di Jakarta. Kemudian dengan Pemerintah Kerajaan
Thailand, pada tanggal 29 Juni 1976, yang ditandatngani di
Bangkok.20 Begitu juga dengan masalah daftar kejahatan yang
pelakunya dapat diekstradisi yang terdapat dalam perjanjian
ekstradisi dimana di situ disebutkan tentang daftar kejahatan yang
bisa diekstradisikan, tidak diatur dalam ekstradisi menurut Fiqih
Siyasah, sehngga cukup menyulitkan ketika ingin melihat apa saja
kejahatan menurut Fiqih Siyasah. Berikut ini adalah daftar
kejahatan yang pelakunya dapat diekstardisi yang diatur oleh
perjanjian ekstradisi yang dilakukan dengan Philipina sebagai
contoh : 1. Pembunuhan. 2. Pembunuhan yang direncanakan. 3.
Penganiayaan yang berakibat luka-luka berat atau matinya orang,
penganiayaan yang direncanakan dan penganiayaan berat. 4.
Perkosaan, perbuatan cabul dengan kekerasan.M. Budiarto, Masalah
Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Asasi Manusia,
(Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm. 12.20
lii
5. Persetubuhan dengan seorang wanita di luar perkawinan atau
perbuatan-perbuatan cabul dengan dengan seseorang padahal
diketahui, bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya atau orang
itu belum berumur 15 tahun atau belum mampu kawin.21 Dan
seterusnya, untuk lebih lengkapnya bisa dibaca di lampiran. Itulah
sekelumit persoalan-persoalan yang terdapat dalam Fiqih Siayasah,
dalam hubungannya dengan perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh
pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam hal ini
sebagai contoh adalah perjanjian ekstradisi dengan pemerintah
Republik Indonesia.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Setelah menguraikan dan menjelaskan dalam bab-bab
sebelumnya mengenai Perjanjian Ekstradisi Dalam Perspektif Fiqih
Siyasah, dapat diambil kesimpulan bahwa :Undang-Undang Nomor. 10
Tahun 1976, Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan
Philipina, Pasal II21
liii
1. Prinsip-prinsip umum dalam Perjanjian Ekstradisi pada intinya
telah
sesuai secara substanisal dengan apa yang terdapat dalam
prinsipprinsip umum yang terdapat dalam Fiqih Siyasah yaitu ingin
melindungi harkat dan martabat manusia, prinsip-prinsip yang dari
prinsip-prinsip umum dari Fiqih Siyasah itu diantaranya adalah
:Tauhid, konsep dasar dan ideologi Islam berasal dari konsep
Tauhid. Tauhid adalah visualisasi hidup manusia, dimana ini
menyangkut hubungan langsung antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya,
dimana hidup seperti test dari keungulan dan nilai. Keadilan (Adl),
kejujuran dan keadilan diperintahkan dalam semua persetujuan,
walaupun dengan musuh sekalipun. Perdamaian, Saling Bantu dan
Kerjasama, dimana ini adalah syarat minimum untuk Muslim di dalam
hubungan internasional Asas selanjutnya adalah Jihad
(self-exertion), untuk manusia sebagai penjaga atau wakil Allah SWT
di bumi, dengan sukarela menggunakan usaha sepenuhnya untuk membawa
perilaku mereka yang dipandu Al-Quran dan Sunnah untuk umat
manusia. Menghormati dan memenuhi Komitmen, asas ini adalah
perluasan dai asas Tauhid, rasa tanggung jawab manusia dan keutuhan
dan persamaan manusia membutuhkan pendirian kewajiban moral Muslim,
baik individu maupun semuanya untuk memenuhi baik komitmen
perorangan, nasioal, dan internasional.
liv
B. Saran-saran
Setelah menguraikan, menjelaskan serta menyimpulkan tentang
skripsi yang berjudul Perjanjian Ekstradisi dalam Perspektif Fiqih
Siyasah. Maka dapat diberi saran-saran, antara lain :1. Dalam
melakukan perjanjian ekstradisi hendaknya memperhatikan
dengan negara mana melakukan perjanjian. Apakah dengan
negaranegara Islam atau negara-negara yang bukan Islam.2. Agar
lebih diperjelas tentang pelaku kejahatan itu sendiri dalam
perjanjian ekstradisi tersebut, apakah pelaku kejahatan tersebut
seorang Muslim atau seorang non-Muslim.3. Dan lebih memperhatikan
prinsip-prinsip yang ada baik dari Fiqih
Siyasah maupun dengan prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam
Perjanjian Ekstradisi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran
lv
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya,
Bandung: Gema Risalah Press, 1989. Kumpulan Buku Fiqh/Ushul Fiqh
Amin Widodo, L, Fiqih Siasah dalam Hubungan Internasional,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994 Ash-Shiddieqy, T.M. Abu Zahrah,
Muhammad, Hubungan-Hubungan Internasional dalam Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, t.t. Hasbi, Hukum Antar Golongan Dalam Fiqih Islam,
Jakarta: Bulan Bintang, 1971. Audah, Abdul Kadir, Al-Islam wa
Audhaunul Qanuniyah, diterjemahkan oleh H. Firdaus, A.N, Islam dan
Perundang-Undangan, Jakarta: Bulan Bintang, t.t. Qardhawi, Yusuf,
al, Min Fiqhid-Daulah fil Islam, diterjemakan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Khatur Suhaidi, Fiqih Daulah dalam Perspektif
Al-Quran dan Sunnah, cet. Ke-3, Jakarta: Pusaka AlKautsar, 1998.
Kumpulan Buku Lain-lainAbuSulayman, Abdulhamid A. Towards an
Islamic Theory of International Relations: New Directions for
Methodology and Thought, Grove St. Herndon: International
Insititute of Islamic Thought, 1993.
Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam Hukum, Jakarta: Rajawali,
1991. Ahmad SF, Amrullah, dkk, (ed), Dimensi Hukum Islam dalam
Sistem Hukum Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. Busthanul
Arifin, SH, cet. Ke-1, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Amiruddin,
M. Hasbi, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, Yogyakarta:
UII Press, 2000.
lvi
Azra, Azyumardi, dkk, Indonesia dalam Transisi Menuju Demokrasi,
Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), 1999. Budiarto,
M, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Asasi
Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980. Echols, John. M dan
Hassan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: P.T. Gramedia,
1992. Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 5, Jakarta: P.T. Cipta
Adi Pustaka, 1989. Fatoni, Malik, Tinjauan Hukum Islam Atas
Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM, skripsi sarjana IAIN
Sunan Kalijaga, 2003. Gelar Imam Radjo Mulano, Martias, Pembahasan
Hukum, Penjelasan Istilah-Istilah Hukum Belanda-Indonesia, cet.
Ke-1, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982. Hadi, Sutrisnao, Metodologi
Research, Yogyakarta: Penerbit andi, 2000. Hartanto, Pius A dan M.
Dahlan Al-Bary, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, t.t. Jones,
Walter S, Logika Hubungan Internasional, Kekuasaan, Ekonomi,
Politik Internasional, dan Tatanan Dunia 2, diterjemahkan oleh
Budiana Kusumadiamidjojo, Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama,
1993. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta, t.t. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989 Kuntowijoyo,
Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994. Kusnardi,
Muhammmad dan Bintan R. Saragih, Susunan pembagian Kekuasaan
Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, cet. Ke7, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1994.
lvii
Mahfud MD, Muhammmad, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia,
Yogyakarta: Gama Media, 1999. Mansur Ali Ali, Syariat Islam dan
Hukum Internasional Umum, Jakarta: Bulan Bintang, 1973.
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty, 1999. Siregar, Bismar, Hukum Islam di Indonesia, Pemikiran
dan Praktek, cet. Ke-2, Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya, 1994.
Siregar, Bismar, Islam dan Hukum, cet. Ke-3, Jakarta: P.T.
Grafikatama Jaya, 1992. Subekti, Kamus Hukum, Jakarta: Paramita,
1972. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 1972. Pulungan, Suyuthi, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,
cet. Ke-3, Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1997. Undang-Undang
No. 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi Undang-Undang No. 10 Tahun 1976
tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dengan Philipina.
LAMPIRAN 1 TERJEMAH AYATNo Bab Halaman Footnote Terjemahan
lviii
1
III
(39),(44)
(8),(15)
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu
perempuanperempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan)
mereka. Allah lebih mengetahui tenang keimanan mereka; maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal pula bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan
berikanlah kepada (suamisuami) mereka mahar yang elah mereka bayar.
Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali
(perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu
minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hokum Allah yang
ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana. Hai orang-orang ang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
2
IV
(55)
(9)
3
IV
(57)
(12)
benar beriman kepada Allah dan hari
lix
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbansa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
lx
LAMPIRAN II
BIOGRAFI ULAMA DAN TOKOH T. M. Hasbi Ash ShiddieqyLahir di
Lhokseumawe, Aceh utara 10 Maret 1904 di tengah keluarga ulama
pejabat. Dalam tubuhnya mengalir darah campuran Arab. Dari
silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ketiga puluh tujuh
dari Abu Bakar Ash-Shiddieq. Anak dari pasangan Teungku Amrah dan
Al-Hajj Tengku Muhammad Husen ibn Muhammad masud. Ketika berusia 8
tahun, Hasbi mendayang (nyantri) dari dayah (pesantren) satu ke
dayah lain yang berada di bekas pusat kerajaan Pasai tempo dulu.
Semasa hidupnya, Muhammad Hasbi telah menulis 72 judul buku dan 50
artikel di bidang tafsir, hadits, fiqih dan pedoman ibadah umum.
Dalam karir akademiknya, menjelang wafat, memperoleh gelar Doctor
Honoris Causa karena jasajasanya terhadap perkembangan Perguruan
Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di
Indonesia. Satu diperoleh dari Universitas Islam Bandung (UNISBA)
pada tanggal 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga pada
tanggal 29 Oktober 1975. Pada tanggal 9 Desember 1975, setelah
beberapa hari memasuki karantina haji, dalam rangka menunaikan
ibadah haji, beliau berpulang ke Rahmatullah dan dimakamkan di
pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta. Naskah terakhir yang
beliau selesaikan adalah Pedoman Haji.
L. Amin WidodoLahir di Ambarwinangun, ambal, Kutowinangun,
Kebumen Jawa Tengah 8 November 1937. Lulus SRN di Amabarwinangun
pada tahun 1950, lulus PGAPN Magelang pada tahun 1955, lulus PHIN
Yogyakarta pada tahun 1958, dan lulus IAIN Sunan Kalijaga pada
tahun 1966. Beliau pernah menjadi dosen di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Beliau pernah menjadi dosen luar biasa di Fakultas
Syariah UII dan di Universitas Cokroaminoto, pada tahun
1967-sekarang. Fakultas Syariah Unissula di Semarang, pada tahun
1970-1972. Dosen Luar Biasa Pendidikan Agama Islam IKIP Karang
Malang, pada tahun 1986-sekarang. Karya tulis yang dibuat banyak
yang mengenai Hukum Islam, diantaranya Karakteristik dan Azas-azas
Pokok Hukum Islam (1975), Pengantar Fiqih Ibadah (1977),
Kepribadian dan Ciri-ciri Khas Syariat Islam (1976), Azas-azas
Hukum Perdata Islam (diktat) (1984), Siasah Syariyah dalam Masalah
Pemilihan Kepala Negara (1985), dan masih banyak karya beliau
lannya.
lxi
Abdul Qadir AudahBeliau adalah seorang ulama terkenal alumnus
Fakultas Hukum Unversitas Al-Azhar, Kairo pada tahun 1930 dan
sebagai mahasiswa terbaik. Beliau adalah tokoh ulama dalam gerakan
Ikhwanul Muslimin dan sebagai hakim yang disegani rakyat. Beliau
turut mengambil bagian dalam memutuskan revolusi Mesir yang
berhasil gemilang pada tahun 1952 yang dipelopori oleh Jendral M.
Najib dan Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasir. Beliau mengakhiri di
tiang gantungan sebagai akibat fitnahan dari lawan politiknya pada
tanggal 8 Desember 1954, bersama lima orang lainnya. Diantara hasil
karyanya adalah: kitab at-Tasyri al-Jinai al-Islami dan al-Islam wa
Auda al-Islami.
LAMPIRAN III
lxii
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 10 Tahun 1976 Tentang
PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI Antara REPUBLIK INDONESIA dan
REPUBLIK PHILIPINA SERTA PROTOKOL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Bahwa untuk mengadakan
kerjasama yang lebih efektif dalam memberantas kejahatan terutama
mengatur dan meningkatkan hubungan antara Indonesia dan Philipina
dalam masalah ekstradisi, maka perlu diadakan perjanjian mengenai
ekstradisi; Bahwa pada tanggal 10 Pebruari 1976 di Jakarta telah
ditandatangani perjanjian ekstradisi anatara Republik Indonesia dan
Repunlik Philipina dengan disertai Protokol; Bahwa Perjanjian serta
Protokol tersebut perlu disahkan dengan undang-undang. Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor. V/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan
Negara; Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, MEMUTUSKAN: Menetapkan :
lxiii
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA
REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA SERTA PROTOKOL.
Pasal 1Mengsahkan Perjanjian Ekstradisi antara Republik
Indonesia dan Republik Philipina serta Protokol tertanggal 10
Pebruari 1976, yang salinan naskahnya dilampirkan pada
undang-undang ini.
Pasal 2Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerinahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta Pada tanggal 26 Juli
1976. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ttd S OEHARTO Diundangkan di
Jakarta Pada tanggal 26 juli 1976 MENTERI / SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA Ttd SUDHARMONO, SH
lxiv
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1976 NOMOR 38
Penjelasan Atas UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 10 tahun
1976 Tentang PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI Antara REPUBLIK
INDONESIA dan REPUBLIK PHILIPINA
lxv
SERTA PROTOKOL UMUM Untuk mengembangkan kerjasama yang efektif
dalam penegakan hokum dan pelaksanaan peradilan dalam rangka
pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi, perlu
diadakan kerjasama dengan negara tetangga, agar orang yang dicari
atau yang telah dipidana dan melarikan diri ke luar negeri tidak
dapat meloloskan diri dari hukuman yang seharusnya diterima.
Kerjasama yang efektif itu hanya dapat dilakukan dengan mengadakan
perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu
perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan
(administration of justice) yang baik. Hal ini perlu terutama dalam
masa pembangunan nasional dewasa ini, karena kejahatan itu ada
hubungannya dengan ekonomi dan keuangan, maka akibat dari kejahatan
tersebut besar pengaruhnya terhadap pembangunan nasional tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka Pemerintah Indonesia
telah mengadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Pemerintah Malaysia,
yang merupakan perjanjian yang pertama bagi Indonesia. Di samping
itu juga telah mengadakan pembicaraan/perundingan dengan beberapa
negara, khususnya negara-negara ASEAN mengenai kemungkinan untuk
mengadakan perjanjian ekstradisi. Selain dengan Negara-negara ASEAN
juga akan diadakan Perjanjian Ekstradisi dengan Negara-negara
lain.
lxvi
Bagi Pemerintah Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dengan
Philipina ini merupakan perjanjian ekstrasdisi yang kedua. Dalam
Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini sudah dimasukkan
asas-asas umum yang telah diakui dan biasa dilakukan dalam hukum
Internasional mengenai ekstradisi seperti : 1. Asas bahwa tindak
pidana yang bersangkutan merupakan tindak pidana baik menurut
sisten hukum Indonesia maupun system hukum Philipina (Double
Criminality); 2. Kejahatan politik tidak diserahkan; 3. Hak untuk
tidak menyerahkan warganegara sendiri, dan lain-lainnya. Di samping
itu di dalam daftar tindak pidana yang dapat diekstradisikan
ditetapkan pula, bahwa kejahatan penerbangan merupakan tindak
pidana yang dapat diekstradisikan. Prosedur penangkapan, penahanan,
dan penyerahan akan tuduk semata-mata pada hukum nasioonal
masing-masing negara. Perjanjian Ekstradisi dengan Philipina ini
disertai dengan Protokol yang mana ditegaskan bahwa Republik
Indonesia adalah pemilik tunggal dari pulau yang dikenal Las Palmas
(P. Miangas) sebagai hasil dari putusan perwasitantertanggal 4
April 1928 yang menyelesaikan sengketa antara Amerika Serkat dan
Negeri Belanda. Penegasan ini perlu untuk menghindari penafsiran
yang berlainan atau bagian dari Perjanjian Ekstradisi ini yang
mengenai wilayah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal
2
lxvii
Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
3087.
PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK
PHILIPINA
REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK PHILIPINA: Berhasrat untuk
menaakan kerjasama yang lebih efektif antara kedua negara dalam
memberantas kejahatan dan, terutama, mengatur dan meningkatkan
hubungan antara mereka dalam masalah ekstradisi, Telah mencapai
persetujuan sebagai berikut :
lxviii
Pasal I KEWAJIBAN UNTUK MELAKUKAN EKSTRADISI Masing-masing Pihak
yang mengadakan Perjanjian bersepakat untuk saling menyerahkan,
dalam hal-hal dan sesuai dengan syaratsyarat yang tercantum dalam
perjanjian ini, orang-orang yang diketemukan dalam wilayahnya yang
didakwa, dituntut atau dinyatakan bersalah atau dihukum karena
melakukan salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam Pasal II
Perjanjian yang dilakukan dalam wilayah Pihak lainnya atau di luar
wilayah tersebut menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal
IV. Pasal II KEJAHATAN YANG DAPAT DIEKSTRADISIKAN A. Orangorang
yang diserahkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Perjanjian ini
adalah mereka yang didakwa, dituntut atau dihukum karena melakukan
salah satu kejahatan yang tersebut di bawah ini, dengan ketentuan
bahwa kejahatan itu mneurut hukum kedua Pihak yang mengadakan
perjanjian dapat dihukum dengan hukuman mati atau perampasan
kemerdekaan dengan jangka waktu di atas satu tahun :
lxix
1. Pembunuhan berencana, pembunuhan bapak atau ibu sendiri,
pembunuhan anak, dan pembunuhan; 2. Perkosaan, perbuatan cabul
dengan kekerasan, persetubuhan yang tidak sah dengan atau terhadap
wanita di bawah umur yang ditentukan oleh hukum pidana dari
masing-masing Pihak yang mengadakan Perjanjian. 3. Penculikan,
Penculikan anak. 4. Penganiayaan penganiayaan, berat yang
mengakibatkan berencana yang cacat gagal badan, atau
pembunuhan
pembunuhan yang gagal. 5. Penahanan secara melawan hokum atau
sewenang-wenang. 6. Perbudakan, perhambaan. 7. Perampokan,
pencurian. 8. Penggelapan, penipuan. 9. Pemerasan, ancaman,
paksaan. 10. Penyuapan, korupsi. 11. Pemalsuan dokumen; sumpah
palsu. 12. Pemalsuan barang; pemalsuan uang. 13. Penyelundupan. 14.
menimbulkan kebakaran; pengruskan barang.
lxx
15. Pembajakan udara; pembajakan laut; pemberontakan di kapal.
16. Kejahatan yang bersangkutan dengan narkotika, obat-obat
berbahaya atau terlarang atau bahan-bahan kimia terlarang. 17.
Kejahatan yang bersangkutan dengan senjata api, bahan-bahan peledak
atau bahan-bahan yang menimbulkan kebakaran. B. Penyerahan juga
akan dilakukan untuk peyertaan dalam salah satu kejahatan yang
disebutkan dalam Pasal ini, tidak saja sebagai pelaku utama atau
peserta, melainkan juga sebagai pembantu, demikian juga hanya
dengan percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan salah satu
kejahatan tersebut di atas, bila penyertaan, percobaan atau
permufakatan jahat itu dapat dihukum menurut hokum kedua Pihak yang
mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan
kemerdekaan da atas satu tahun. C. Peyerahan dapat juga
dilakukan atas kebijaksanaan Pihak yang dimintai terhadap sesuatu
kejahatan lainnya, yang dapat diserahkan sesuai dengan hokum kedua
Pihak yang mengadakan Perjanjian. D. Jika penyerahan diminta untuk
suatu kejahatan yang tercantum dalam ayat A, B, atau C Pasal ini
dan kejahatan itu dapat dihukum menurut hukum kedua Pihak yang
mengadakan Perjanjian dengan hukuman perampasan kemerdekaan di atas
satu tahun, kejahatan tersebut dapat
lxxi
diserahkan menurut ketentuan-ketentuan Perjanjian ini tidak
perduli apakah hukum kedua Pihak yang mengadakan Perjanjian
menempatkan kejahatan itu dalam penggolongan kejahatan yang sama
atau menamakannya dengan istilah yang sama, asal saja unsurunsurnya
sesuai dengan salah satu kejahatan-kejahatan atau lebih yang
disebutkan dalam Pasal ini menurut hukum kedua Pihak yang megadakan
Perjanjian ini. Pasal III TEMPAT DILAKUKANNYA KEJAHATAN Pihak yang
diminta dapat menolak penyerahan orang yang diminta untuk kejahatan
yang menurut hukum Pihak yang diminta, dilakukan seluruhnya atau
sebagian dalam wilayahnya atau di tempat yang diperlakukan sebagai
wilayahnya. Pasal IV WILAYAH Dalam perjanjian ini, yang dimaksud
wilayah dari Pihak yang mengadakan perjanjian, ialah semua wilayah
di bawah yurisdiksi Pihak yang mengadakan perjanjian itu, meliputi
ruang angkasa, wilayah air dan landas kontinen, kendaraan-kendaraan
air dan pesawat udara yang terdaftar di negara Pihak yang
mengadakan Perjanjian, bila pesawat
lxxii
udara itu sedang dalam penerbangan atau bila kendaraan air itu
berada di laut bebas waktu kejahatan dilakukan. Menurut Perjanjian
ini, sebuah pesawat udara akan dianggap ada dalam penerbangan pada
saat ketika semua pintunya ditutup untuk disembarkasi sampai saat
ketika pintu itu dibuka untuk disembarkasi. Bila kejahatan yang
dimintakan penyerahannya itu dilakukan di luar wilayah Negara
peminta, Pejabat Pelaksana dari Negara yang diminta berwenang untuk
melakukan penyerahan jika menurut hukum dari Negara yang diminta,
kejahatan yang dilakukan itu dalam keadaan yang sama juga diancam
dengan hukuman. Penentuan wilayah Pihak yang diminta diatur menurut
ketentuanketentuan hukum nasionalnya. Pasal V KEJAHATAN POLITIK A.
Penyerahan tidak akan dilakukan jika kejahatan yang dimintakan
penyerahan itu dianggap oleh Pihak yang diminta sebagai
kejahata