Page 1
i
“PERJALANAN COKEKAN”
(Sebuah Film Dokumenter tentang kehidupan grup Cokekan di Kota Surakarta dan kondisi kesenian Cokekan saat ini )
Tugas Akhir Video Dokumenter
Disusun Oleh :
Fathoni Nurkholis
D0202049
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
Page 2
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Tugas Akhir ini telah disetujui untuk dipertahankan
Dihadapan Panitia Ujian Tugas Akhir Jurusan Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pembimbing Tugas Akhir
Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D NIP. 197102170 199802 1 001
Page 3
iii
PENGESAHAN
Tugas Akhir ini telah diuji dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hari : Jumat
Tanggal : 29 April 2010
Panitia Ujian
Ketua : Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D
NIP. 19600813 198702 2 001 ( )
Sekretaris : Drs. Hamid Arifin, M.Si
NIP. 19600517 198803 1 002 ( )
Penguji : Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D
NIP. 19710217 199802 1 001 ( )
Mengetahui
Dekan FISIP UNS
Drs. Supriyadi, SU
NIP. 19530128 198101 1 001
Page 4
iv
MOTTO
....Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali mereka
mau berusaha mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri...
(Al-Qur’an, Surat Ar-Ra’d :11)
Sangat mudah membunuh waktu
Dan lebih mudah lagi bagi waktu untuk membunuh kita
You are what you think
(Walt Disney)
There are no gains without pains
(Benjamin Franklin)
Page 5
v
PERSEMBAHAN
Karya Tugas Akhir ini saya persembahkan untuk Ibu Hj. Sukarjati dan Alm Bp. H.
Fadjar Nugroho
Untuk kakak-kakakku tercinta, keponakan-keponakanku, dan
Apriliani Laras Shinta
Serta seluruh pemain Cokekan
Page 6
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah. Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah
memberi rahmat dan hidayah hingga tugas akhir ini akhirnya dapat terselesaikan
melalui perjuangan panjang selama satu tahun lebih. Dalam film “Perjalanan Sang
Pemetik Siter” ini, penulis mencoba menggambarkan kehidupan para pengamen
Cokekan di Kota Solo pada khususnya.
Penulis berharap dengan film ini mampu memberi ruang lebih bagi para
pengamen Cokekan untuk mempertontonkan kemampuan yang mereka punya. Selain
itu, penulis juga berharap agar kesenian-kesenian seperti karawitan dan Cokekan pada
khususnya bias mendapat apresiasi yang lebih di mata masyarakat, khusunya di
kalangan generasi muda.
Penulis menyadari bahwa karya ini jauh dari sempurna. Karena kesempurnaan
hanya milik Allah semata. Namun tanpa adanya bantuan-bantuan dari berbagai pihak,
akan lebih besar kesalahan-kesalahan terdapat pada karya ini. Untuk itu ijinkanlah
penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu terwujudnya karya ini. Terima kasih penulis haturkan kepada:
1. Allah SWT, atas limpahan karunia dan rahmat-Nya hingga tugas akhir
ini dapat terselesaikan.
2. Kedua orang tuaku, Ibu Hj. Sukarjati, dan Alm. Bp. H. Fadjar Nugroho
atas semua pengorbanan, kesabaran, dukungan, kasih sayang dan
pengertiannya.
3. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D, selaku Ketua Jurusan Ilmu
Komunikasi serta Pembimbing Akademis pengganti bagi Penulis.
4. Bapak Sri Hastjarjo, S.Sos, PhD selaku Pembimbing Tugas Akhir yang
telah banyak mebantu penulis baik secara teknis maupun non-teknis.
5. Pak Tarno, Bu Kariyem, Pak Tukimin, dan Bu Ragini serta keluarga
besar Cokekan Pringgading, Bp. Dr. Drajat Tri Kartono dosen
Sosiologi FISIP UNS, Bp. Suraji ketua jrurusan Karawitan ISI Solo,
dan Mas Gembong Staf Dinas Pariwisata Solo atas kesediannya
menjadi nara sumber.
Page 7
vii
6. Kakak-kakakku tercinta Farichah Nurhayati, Khoirul Murod, Fauzi
Nurhadi, Ani Puspita, Fadhilah Nurhadiyati, dan Dicky Tupanisdiarto,
serta keponakan-keponakanku Fakhriyah Fatin, Arik Akhdan, Khayla
Nashita, dan Irfan Gerrard yang selalu memberikan motivasi dan
pengertian serta kesabarannya.
7. Apriliani Laras Shinta, atas semua pengorbanan, kesabaran, dukungan
yang tak kenal lelah, dan kasih sayang.
8. Teman-teman seperjuangan, Bayu, Nicky, Agus, Fida, Lies, Gathi, Tia.
9. M. Chrisnawardani, Aris, Ichi, Andri, Ade, Bambang, dan anak-anak
keluarga besar Psikopat.
10. Keluarga besar Komunikasi 2002 unggul.
11. Keluarga besar Futsal For Fun.
12. Keluarga besar Kine Klub FISIP UNS.
13. Teman-teman terbaik, Andy Rahman, Tom Udin, Aris Supriyanto,
Chory Chamdany, Soka Salena, Anang, Gita Pitaloka, Sofie, Bayu
Ciptadi, Yanuar Budi, Mustofa Salya, Heri Irwinanto, Liestria
Permana.
Serta semua pihak yang belum sempat kami sebutkan satu persatu
dalam tulisan ini, penulis ucapkan terima kasih.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Surakarta, 26 Januari 2010
FATHONI NURKHOLIS
Page 8
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL………………………………………………………………………………. i
LEMBAR PERSETUJUAN………………………………………………………... ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………………………... iii
MOTTO……………………………………………………………………………. iv
PERSEMBAHAN…………………………………………………………………... v
KATA PENGANTAR……………………………………………………………... vi
DAFTAR ISI………………………………………………………………………viii
SINOPSIS…………………………………………………………………………... x
BAB I : LATAR BELAKANG...................................................................................1
BAB II : KERANGKA PEMIKIRAN........................................................................ 8
BAB III : VISI, MISI dan TUJUAN PENGGARAPAN.......................................... 19
BAB IV : FILM DOKUMENTER........................................................................... 20
BAB V : KESIMPULAN & SARAN…………………………………………....... 34
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 36
LAMPIRAN
Treatment.................................................................................................................. 37
Naskah………………………………………………………………………..…….42
Photo Board.............................................................................................................. 45
Shooting Script..........................................................................................................53
Shooting Breakdown................................................................................................. 56
Shot List.................................................................................................................... 58
Page 9
ix
Editing Script............................................................................................................ 60
Transkrip Pertanyaan Wawancara............................................................................ 65
Shooting Equipment..................................................................................................76
Tim Produksi............................................................................................................. 77
Budgeting.................................................................................................................. 78
Page 10
x
SINOPSIS
Fathoni Nurkholis, NIM D0202049, “Perjalanan Cokekan” (Sebuah Film
Dokumenter tentang tentang kehidupan grup Cokekan di Kota Surakarta dan kondisi
kesenian Cokekan saat ini), Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2010
Film dengan genre dokumenter mengisahakan betapa sulitnya grup Cokekan
saat ini untuk mencari nafkah, sementara hanya pengalaman dan kemampuan bermain
Cokekan yang mereka miliki. Mereka terbentur oleh selera masyarakat yang berubah
seiring dengan arus perkembangan jaman. Ketika kultur-kultur feodal yang menopang
kesenian ini telah jatuh, maka komunitas Cokekan ini tidak lagi mampu bersaing
dengan kesenian-kesenian yang ada saat ini.
Semakin tergerusnya Cokekan, ditambah lagi dengan faktor usia para
pemainnya yang rata-rata sudah lanjut, membuat suatu kekhawatiran kalau suatu saat
musik atau kesenian ini akan punah. Film ini mencoba menggambarkan bahwa
Cokekan merupakan suatu kesenian yang layak untuk dipertahankan. Karena Cokekan
menawarkan sesuatu yang tidak terdapat pada kesenian lain, yaitu sajian musik yang
mampu membuat hati terasa damai, tenang, atau yang sering kita sebut klangenan ati.
Page 11
xi
SYNOPSIS
Fathoni Nurkholis, NIM D0202049, “Perjalanan Sang Pemetik Siter” ( A Documentary About A siter Player In Surakarta), Majoring on mass communication, Faculty of Politics and Socials Science, Sebelas Maret University,2010. A film with documentary genre tries to expose the journey of a group of cokekakan player in Surakarta. Mr. Tarno, A cokekakan player comes from Ngawi, East Java. Try to look for his fortune with his wife in Surakarta. Any kind of job he has tried until he became a cokekan player. Highly motivated to preserve to the original culture of Java, all at once because of his lack of capital, and with his ability to play kendang and siter, Mr. Tarno goes to a restaurant to another in Surakarta. Because the taste of people that always changed, cokekan missed its fans, especially for youngster, and the domination of popular culture. It’s hard for cokekan to enter the music industry with its entire limit.
BAB I
LATAR BELAKANG Indonesia merupakan bangsa multikultural. Oleh karena itu setiap daerah
memiliki budaya dan kebudayaannya masing-masing. Menurut E.B Tylor (1871)
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan
oleh manusia sebagai anggota masyarakat.1
Kesenian merupakan salah satu bentuk kebudayaan, seperti yang ada di
Indonesia kesenian yang berkembang adalah kesenian tradisional. Kesenian memiliki
berbagai bentuk salah satunya adalah seni musik. Mulai dari alat musik sampai
dengan irama lagu yang berbeda-beda dengan ciri khas masing-masing di tiap-tiap
daerah. Di tanah Jawa sendiri beragam kesenian bermunculan, salah satunya adalah
seni karawitan. Karawitan adalah jenis karya estetik musikal yang menggunakan
tangga nada pentatonik.2
1 Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar.Rajawali Pers,1990,Halaman 172 2jogjanews.com/2009/11/02/kesenian-pakem-vs-kesenian-kontemporer/
Page 12
xii
Dalam jagat seni musik tradisional Jawa, seni karawitan pun mengalami
nasib yang hampir sama. Tragisnya, di dunia seni karawitan itu sendiri terjadi
perbenturan antara yang beraliran klasik dengan yang cenderung "ngepop", mungkin
berbeda dengan nasib seni karawitan gaya Cianjuran, Jaipongan atau Goyang
Karawang, yang merupakan ikon kekhasan Jawa Barat dan seakan tak pernah
berbenturan.
Seni karawitan di Jawa memakai seperangkat alat musik yang biasa di
sebut gamelan. Gamelan jelas bukan alat musik yang asing bagi peminat kesenian.
Popularitasnya telah merambah berbagai benua dan telah memunculkan paduan musik
baru jazz-gamelan, melahirkan institusi sebagai ruang belajar dan ekspresi musik
gamelan, hingga menghasilkan pemusik gamelan ternama.
Gamelan Jawa merupakan sebuah bentuk gamelan yang berbeda dengan
Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih
lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan Gamelan Sunda
yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan itu wajar,
karena Jawa memiliki pandangan hidup tersendiri yang diungkapkan dalam irama
musik gamelannya.
Pandangan hidup Jawa yang diungkapkan dalam musik gamelannya adalah
keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, keselarasan dalam berbicara dan bertindak
sehingga tidak memunculkan ekspresi yang meledak-ledak serta mewujudkan
toleransi antar sesama. Wujud nyata dalam musiknya adalah tarikan tali rebab yang
sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara
gong pada setiap penutup irama 3.
3 http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-cultural-performance/gamelan-show/
Page 13
xiii
Untuk menata segala kehidupan menjadi selaras dalam kehidupan duniawi
dan rohani/ batin adalah pandangan hidup dan kesehari-harian masyarakat jawa pada
umumnya, misalnya cara berbusana yang serasi (tidak kontras, tidak seronok, tidak
selalu mencari perhatian), keselarasan dalam berbicara meskipun sedang dalam emosi
batin yang meledak-ledak tetap berusaha santun dalam mengungkapkan isi hatinya.
Ngono ya ngono nanging aja ngono (begitu ya begitu tapi jangan begitu) adalah
peribahasa jawa dalam mengungkapkan keselarasan dapat menahan emosi 4.
Keselarasan berarti dirinya dapat mengatur keseimbangan emosi dan
menata perilaku yang laras, harmonis dan tidak menimbulkan kegoncangan. Saling
menjaga diri, saling menjaga cipta, rasa, karsa dan perilaku, adalah pandangan hidup
dan realitas hidupnya walau terjadi ritme-ritme karena dinamika kehidupan
masyarakat. Dari sini maka irama Gendhing atau musik dari Gamelan termasuk
tembang jawa itu disusun dan dibuat.
Boleh jadi perkembangannya dimulai dari kenthongan, tepukan tangan,
pukulan ke mulut, gesekan pada tali atau bambu tipis, dsb. Lalu alat musik jawa itu
berkembang dalam bentuk bilahan kayu, bambu atau lempengan besi, lembaran kulit
dan bambu yang dilubangi. Setelah menjadi seperangkat alat musik kemudian
dinamai Gamelan, mula-mula untuk mengiringi tarian, dan semakin semarak karena
di dukung lagu (tembang) oleh penyanyi (swarawati/wiraswara). Kemudian berfungsi
pula untuk menyemarakkan upacara-upacara Namun yang paling intensif ialah untuk
mengiringi pagelaran wayang atau tari dan seni panggung (kethoprak atau sendratari).
Seperangkat gamelan terdiri dari beberapa alat musik, diantaranya satu set
alat musik serupa drum yang disebut kendang, rebab dan celempung, gambang, gong
dan seruling bambu. Komponen utama yang menyusun alat-alat musik gamelan
4 http://semarasanta.wordpress.com/2007/09/12/gamelan-simponi-musik-jawa-bercita-rasa-keselarasan-hidup/
Page 14
xiv
adalah bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam
pagelaran musik gamelan, misalnya gong berperan menutup sebuah irama musik yang
panjang dan memberi keseimbangan setelah sebelumnya musik dihiasi oleh irama
gending 5.
Di Solo misalnya, upacara Kirab Gunungan Sekaten pada bulan Maulid
untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad SAW, dari Karaton Kasunanan
Surakarta ke Mesjid Agung di Alun-alun Utara juga diiringi irama Gendhing
Carabalen dari perangkat Gamelan yang terdiri dari saron, centhe, keprak, kenong.
Selama sepekan, maka Gamelan yang terdiri dari Kyai Guntursaroi dan Gunturmadu
dikumandangkan oleh para niyaga (penabuh/pemusik) Karaton dari Bangsal
Pradangga di halaman Masjid Agung.
Citra sebagai kota budaya sudah melekat cukup lama di kota Solo. Citra
ini tidak terlepas dari keberadaan dua lembaga adat budaya Jawa yang hingga kini
masih bertahan, yakni Keraton Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Hampir tiap tahun kedua lembaga ini menggelar perhelatan adat tahunan. Mulai dari
Grebeg Besar, Kirab pusaka Kebo Bule ”Kiai Slamet”, Jumenengan Sinuhun Paku
Buwono, Malam Selikuran, serta Syawalan. Ditambah dengan kegiatan-kegiatan rutin
lainnya seperti latihan tari, sinden dan sebagainya. Selain itu Kota Solo telah
memunculkan banyak nama seniman-seniman kondang, seperti Gesang, Waldjinah,
Slamet Gundono, Eko Supriyanto, Anom Suroto, dan sebagainya.
Akan tetapi seiring dengan perkembangan jaman, Kota Solo seakan-akan
kehilangan ”roh budaya”. Apabila dilihat dari keberadaannya di masa lampau sebagai
pusat budaya Jawa, orang Solo tak lagi berbudaya Jawa. Pemaknaan budaya Jawa
berarti menggunakan bahasa Jawa, menulis dengan aksara Jawa, dan berpakaian
5 http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-cultural-performance/gamelan-show/
Page 15
xv
Jawa. Berbudaya Jawa juga berarti berperilaku menurut budaya Jawa. Hal ini hanya
terlihat dalam acara-acara adat.
Menurut pemerhati budaya di Kota Solo, Winarso Kalinggo, orang Solo
tidak lagi berperilaku Jawa karena pemandangan di hadapan mereka saat ini adalah
pemandangan modern, bukan lagi pemandangan yang identik dengan budaya Jawa.
Bukan berarti menolak modernitas, misalnya saja bangunan mal di Solo bukan tidak
mustahi dibuat dengan arsitektur Jawa, menampilkan tulisan Jawa, dan menghadirkan
suasana mal dengan alunan gendhing Jawa.
Sujamto dalam bukunya Otonomi, Birokrasi, dan Partisipasi, menyebutkan
esensi budaya Jawa adalah religius, nondoktriner atau nondogmatis, toleran,
akomodatif, dan optimistis. Jadi etos orang Jawa lebih beroientasi pada kesempurnaan
batin ketimbang segi-segi lahiriah ataupun materiil. Ini tercermin dari sebagian
falsafah yang dianut orang Jawa, yakni Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake,
dan sugih tanpa banda.
Terkikisnya kesenian-kesenian tradisional Jawa tidak luput juga karena
minimnya ruang untuk berapresiasi. Kesenian tradisional terkesan sulit, harus
memenuhi pakem, sehingga kecenderungan budaya Jawa lebih ke arah kontemporer
dimana seniman lebih bebas berkarya tanpa batasan pakem dan ruang apresiasi publik
terhadap seni budaya kontemporer lebih luas. Dalam hal ini terjadi perubahan pola
hidup ke arah matrealistis dan praktis.
Perubahan pola hidup ini berdampak pada perkembangan seni karawitan.
Di jaman yang serba cepat dan praktis ini, semakin sulit bagi para seniman karawitan
untuk mencari nafkah untuk memnuhi kebutuhan hidup. Mereka tidak bisa berdiam
diri, menunggu orang menyewa mereka untuk acara perkawinan misalnya. Terlebih
Page 16
xvi
dengan munculnya organ tunggal atau campur sari, seni karawitan semakin
ditinggalkan.
Para seniman karawitan harus turun ke jalan, mengamen dari satu warung
ke warung yang lain untuk menyambung hidup. Namun tidak mungkin bagi mereka
membawa seperangkat alat gamelan komplit karena tidak efisien. Mereka hanya
bermodalkan siter, kendang, dan gong tiup yang terbuat dari bambu, untuk
memainkan musik, mengiringi sinden yang bernyanyi. Disinilah lahir sebuah kesenian
baru, mereka sering disebut dengan Siteran atau Cokekan.
Karena kepraktisan dan toleransinya dalam memainkan lagu (tidak hanya
lagu Jawa), selain itu karena harga yang lebih murah daripada menyewa seperangkat
gamelan komplit, Cokekan masih mendapat tempat dalam publik. Cokekan masih
sering diapakai untuk malam tirakatan, acara sunatan, bahkan mengisi di suatu hotel.
Pada perjalanan selanjutnya Cokekan dikenal sebagai seni barangan (ngamen).
Di Kota Solo, mayoritas para pemain Cokekan ini berasal dari daerah
Ngawi. Di Solo mereka menyewa sebuah kamar kos untuk menyimpan alat sekaligus
tempat menginap. Pada siang hari, mereka biasa mengamen di warung-warung
terkemuka di kota Solo. Sedangkan kalau malam hari mereka berkumpul mengamen
di selatan Keraton Mangkunegaran.
Cokekan pernah ditafsirkan sebagai musik Cina yang menyusup ke dalam
karawitan. Kesalahpahaman itu terjadi karena kesenian Cokekan disamakan dengan
Seni Cokek. Padahal keduanya adalah kesenian yang berbeda. Cokek adalah seni
musik yang berasal dari Betawi. Pada jaman itu Cokek difungsikan untuk menyambut
tahun baru Cina atau hari-hari padusan Cina. Pada kesempatan itu, orang-orang Cina
menyediakan instrumennya, sedangkan orang Jawa yang memainkannya. Instumen itu
terdiri dari 4 alat musik, yakni sebuah slompret dengan empat lubang, rebab Cina,
Page 17
xvii
thing-thong berjumlah empat buah, dan kendang kecil berfungsi sebagai pengatur
irama.
Anggapan tersebut timbul karena adanya akulturasi budaya, dimana pada
zaman dahulu orang-orang tionghoa merupakan pedagang yang berlayar dari satu
negara ke negara lain. Bukti dari adanya akulturasi budaya pada gamelan adalah
adanya ukiran naga ( liong ) yang merupakan ciri khas dari bangsa cina pada
perangkat gamelan.6
Dalam karya ini penulis ingin memberikan kajian bahwa nasib para
pencokek saat ini mulai tidak jelas, diakibatkan oleh perubahan yang merupakan
pengaruh dari media yang kemudian menimbulkan budaya massa dan budaya pop.
Cerita para pencokek dan unsur yang mempengaruhi perubahan kebudayaan akan
dikaji dan disajikan lewat sebuah karya film dokumenter sebagai pembuka cakrawala
penulis pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
BAB II
DASAR PEMIKIRAN
2.1 Kebudayaan
Menurut Herakleitos, filsuf dari Yunani, ruang dan waktu adalah bingkai,
didalamnya seluruh realitas kehidupan kita jalani. Kita tidak bisa mengerti benda-
benda nyata apapun tanpa meletakkannya pada bingkai ruang waktu (Cassirer, 1987 :
63).
Lingkungan tempat manusia hidup sangat terbatas. Dan ruang itu dipenuhi
dengan hal-hal yang ditemui dan dialami oleh manusia. Selain hal tersebut, ada juga
unsur dan wujud yang diwarisi dan dipelajari dari peninggalan nenek moyang.
6 Hasil wawancara dengan Bapak Suraji
Page 18
xviii
Peradaban manusia selalu dinamis dan mudah bereaksi pada kegiatan dalam suatu
lingkungan pada waktu tertentu. Individu atau suatu kelompok manusia
menginterpretasikan suatu peristiwa berbeda dengan individu atau kelompok manusia
dengan latar belakang yang berbeda. Dengan kata lain kita hidup dalam suatu
lingkungan yang membentuk sikap individu, kebudayaan masyarakat, dan lingkungan
alam.
Kebudayaan ibarat sebuah tenda yang menaungi berbagai aspek kehidupan
manusia. Semakin tinggi dan luas tenda, semakin sehat aspek-aspek kehidupan yang
berada di bawahnya, karena terbuka ruang lapang untuk mudah bergerak. Sebaliknya
semakin sempit dan rendah tenda yang menaungi membuat berbagai aspek yang
dalam naungannya semakin sempit, pengap dan tidak ada ruang gerak. Hal ini berlaku
untuk semua aspek kebudayaan seperti sistem kepercayaan dan religiusitas, kesenian,
bahasa, organisasi sosial politik, sistem pengetahuan, teknologi, ekonomi dan
matapencaharian, dan pendidikan.
Pada hakekatnya bahwa budaya tidak akan terlepas dari perilaku manusia.
Budaya berkenaan dengan berbagai macam sistem tindakan manusia, segala sesuatu
yang dikerjakan manusia dan segala sesuatu yang dibuat oleh manusia. Seluruh
perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia itu
dibesarkan. Apa yang orang-orang lakukan, bagaimana mereka bertindak, bagaimana
mereka hidup dan berkomunikasi merupakan respon terhadap budaya mereka.
Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan, keduanya saling berkaitan.
Budaya merupakan landasan komunikasi dan komunikasi terikat oleh budaya 7.
Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa dan tentang apa, tetapi
budaya juga menentukan bagaimana komunikasi berlangsung, bagaimana orang
7 Jalaludin Rahkmat dan Dedy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005. hal 56
Page 19
xix
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisi untuk
mengirim, memperhatikan, dan menafsirkan pesan. Sebaliknya dengan komunikasi,
cara-cara kita berkomunikasi, keadaan komunikasi kita, bahasa dan gaya bahasa yang
kita pergunakan dan perilaku-perilaku nonverbal kita semua itu merupakan respon
terhadap budaya kita.
Bronislaw Malinowski mengajukan unsur pokok kebudayaan yang
meliputi (a) sistem normatif yaitu sistem norma-norma yang memungkinkan
kerjasama antara para anggota masyatakat agar dapat menguasai alam di
sekelilingnya, (b) organisasi ekonomi, (c) mechanism and agencies of education yaitu
alat-alat dan lembaga-lembaga atau petugas untuk pendidikan dan keluarga
merupakan lembaga pendidikan yang utama, (d) organisasi kekuatan ( the
organization of force) 8.
Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat beberapa pengikisan suatu
budaya oleh budaya lain. Walter Benjamin, seorang kritikus sastra dan kebudayaan,
mengkritik budaya kapitalisme, yang dimaksud adalah bahwa reproduksi budaya
secara massal dalam masyarakat industri kapitalisme telah menghilangkan kekuatan
”aura” seni dan kedalaman estetis dari hal-hal yang diproduksi. ”Aura” ini lenyap
karena kegiatan reproduksi dimaknai dengan kegiatan teknis belaka untuk mengejar
tujuan-tujuan ekonomis-kapitalis. Padahal, adanya ”aura” itu memberi makna yang
dalam terhadap suatu produk yang dihasilkan 9.
Dalam History dan Class Consciousness, Lukacs menguraikan bahwa
kapitalisme menguasai seluruh dimensi kehidupan masyarakat sehingga interaksi
dalam kehidupan masyarakat ini selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup yang
autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan dalam masyarakat
8 Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-teori Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 2005 9 ibid
Page 20
xx
yang mampu memaknai kebebasan dirinya kemudian diganti oleh adanya aktivitas
pertukaran nilai uang yang secara objektif menimbulakan keterasingan hidup. Proses
ini disebut komodifikasi. Hal ini terkait erat dengan proses reifikasi, yaitu proses
mmerosotnya dimensi manusia yang utuh menjadi benda belaka: manusia kehilangan
jati dirinya sebagai subjek pelaku bagi dirinya sendiri karena lenyapnya kreativitas.
Proses ini berujung pada fetisisme komoditas, yaitu pemberhalaan hidup manusia pada
barang-barang hasil industri. Dengan fenomena ini, jati diri masyarakat menjadi
terfragmentasi kedalam sistem sosial yang dibingkai oleh kepentingan ekonomis
belaka 10.
2.2 Budaya Massa
Komunikasi dan informasi menjadi asset yang sangat berharga untuk
melakukan kontak sosial tanpa batas. Desa global adalah kata yang paling tepat untuk
mendeskripsikan berkah kemajuan di bidang transportasi dan teknologi
telekomunikasi tersebut. Dunia terintegrasi dalam sebuah cyberspace seolah-olah
berdekatan dan tidak saling tercerai berai. Berkah desa global telah menciptakan apa
yang disebut dengan gaya hidup global. Gaya hidup merupakan sarana untuk
mengekspresikan diri kita.11 Menurut Toffler suatu gaya hidup adalah suatu siasat
yang melawan tekanan pilihan yang banyak. Dalam kehidupan yang terintegrasi dalm
dunia siber manusia diseragamkan oleh produk budaya global. Dalam waktu yang
bersamaan globalisasi juga melahirkan budaya populer yang baru. Dalam proses
produksi ekonomi, seni dan budaya. Kecepatan produk, kuantitas dan kecanggihan
produk, telah membawa era modernisasi menuju ke arah postmodernisme. Orang
10 ibid 11 Andrik Purwasito,Komunikasi Multikultural, Muhammadiyah University press, Surakarta, 2003.
Page 21
xxi
tidak ingin hidup yang biasa-biasa saja. Mereka mengekpresikan pola kehidupan
dengan gaya hidup yang sesuai dengan semangat zamannya.12
Globalisasi informasi yang dibentuk oleh media massa memang sangat
terasa cepat dirasakan dalam masyarakat. Kecenderungan pesan mengalir dari arus
budaya utama ( mainstream ), yakni budaya yang dibangun dari wilayah pusat (
centrum ) yang bertempat di belahan bumi utara yaitu budaya barat ke masyarakat
yang sering dianggap lemah, yang pada umunya wilayah pinggiran ( pheriperique ),
yang pada umunya berada pada bumi bagian selatan.13
Kata pengaruh sering didefinisikan di masyarakat jawa sebagai suatu efek
yang negatif. Media secara massif memang melipatgandakan peristiwa dengan
caranya yang khas. Media massa mempengaruhi masyarakat karena perannya yang
lembut menularkan pesan-pesan ”bebas” kepada masyarakat tanpa pandang bulu.14
Dalam komunikasi hasil dari tindakan komunikasi menghasilkan apa yang
disebut sebagai efek media massa. Media massa tetap merupakan kebutuhan ”pokok”
bagi perubahan sosial. Media massa dipercaya mempunyai kekuatan atas
efeknyamempengaruhi masyarakat tanpa henti-henti.
Dengan alat-alat ( sarana ) komunikasi, seperti televisi, buku-buku, dan
lain-lain. Maka pada gilirannya akan tampak perubahan –perubahan besar di dalam
masyarakat. Budaya massa pada saat ini lebih banyak menghasilkan seni yang ringan
dan hal-hal yang tak mungkin. Akibatnya orang cenderung menyukai karya-karya
yang ringan. Hal ini berakibat timbul penggolongan budaya tinggi dan budaya rendah.
Peran media massa dalam hal ini sangat besar, ditunjang pula dengan adanya
publisitas, iklan dan reportase.
12 ibid 13 ibid 14 ibid
Page 22
xxii
Industri media sangat erat kaitannya dengan tumbuhnya semangat
kapitalisme. Industri media yang dibangun dengan semangat kapitalisme tentu akan
menghasilkan pesan atau produk media yang berorientasi pada bertambahnya modal.
Sebagian besar isi media tidal secara eksplisit menunjukan keberpihakannya. Tetapi
secara halus pesan-pesan kapitalisme yang menuntun masyarakat untuk berperilaku
konsumtif.
2.3 Musik Pop
Musik pop ada dimana-mana. Ia telah kian menjadi bagian yang tidak
terelakkan dari kehidupan kita.Tidak disangsikan lagi bahwa industri musik memiliki
kekuatan ekonomi dan budaya yang sangat besar. Penting kiranya membedakan
antara kekuatan budaya industri dan kekuatan pengaruhnya.
Menurut Stuart Hall dan Paddy Whannel (1964) budaya musik pop membantu
memperlihatkan pemahaman akan identitas dikalangan kaum muda; budaya yang
disediakan oleh pasar hiburan komersialmemainkan peranan penting. Ia
mencerminkan sikap dan sentimen yang telah ada di sana, pada saat bersamaan
menyediakan wilayah yang penuh ekspresi serta sederet simbol yang melalui simbol
itu sikap tersebut dapat diproyeksikan. Budaya remaja merupakan sebuah panduan
kontradiktif antara yang autentik dan yang dimanufaktur. Ia adalah area ekspresi diri
bagi kaum muda dan padang rumput yang subur bagi provider komersial.(276)15
Selain itu, lagu-lagu pop merefleksikan kesulitan remaja dalam menghadapi
kekusutan persoalan emosional dan seksual. Lagu-lagu pop menyerukan kebutuhan
untuk menjalani kehidupan secara langsung dan intens. Lagu-lagu itu
mengekspresikan dorongan akan keamanan di dunia emosional yang tidak pasti dan
15 John Storey, Cultural studies dan kajian budaya pop, Jalasutra,Yogyakarta,2007.
Page 23
xxiii
berubah-rubah. Fakta bahwa lagu-lagu itu diproduksi bagi pasar komersial berarti
bahwa lagu dan setting itu kekurangan autentisitas. Kendati demikian, lagu-lagu itu
mendramatisasi perasaan-perasaan autentik. Lagu-lagu itu mengekspresikan dilema
emosional remaja dengan gamblang.(280)16
Mengonsumsi musik tertentu menjadi sebuah cara menunjukan diri pada dunia
( way of being ). Konsusmsi musik ditunjukkan sebagai tanda yang dengannya kaum
muda menilai dan dinilai oleh orang lain.
Dengan kata lain, lagu-lagu pop memiliki kekuatan untuk menjadikan bahasa
biasa menjadi intens dan vital; kata-kata itu selanjutnya beresonansi - kata-kata
tersebut membawa sentuhan fantasi ke dalam penggunaan biasa kita atas kata-kata itu.
Lagu-lagu pop bekerja dengan tepat sepanjang lagu-lagu itu bukan sajak. Kadangkala
lagu po dimunculkan orang, secara umum, tidak menjelaskan melainkan mendorong:
mereka memberi pemerataan emosional terhadap frasa-frasa yang lazim yang dimiliki
hampir semua orang untuk mengekspresikan perhatian/keprihatinan mereka sehari-
hari. Bahasa yang mengepung kita tiba-tiba tampak terbuka lagu-lagu pop memberi
kita cara untuk meolak kerutinan. 17
2.4 Gamelan Jawa
Seni musik sebagai bagian dari kebudayaan tidak terlepas dari pengaruh
kapitalisme, dimana selera publik yang menentukan. Tidak seperti yang sering
dikatakan banyak orang, sebenarnya musik bukan bahasa universal. Makna musikal
tidak dapat menyeberang lintas budaya. Jika ingin dimengerti, kita harus berbicara
dengan menggunakan bahasa musik dari budaya setempat 18.
16 ibid 17 ibid 18 http://www.mail-archive.com/[email protected] /msg03540.html
Page 24
xxiv
Setiap kebudayaan di dunia, memiliki dua komponen utama, yaitu bahasa
dan musik mereka sendiri. Dalam kebanyakan budaya, baik bahasa maupun musik
dipakai untuk berkomunikasi. Bahasa memakai kata-kata sebagai media untuk
membagikan pemikiran dan ide. Musik memakai kombinasi kata (biasanya dalam
bentuk puisi) dan komponen ritmis melodis untuk berkomunikasi. Seperti bahasa,
musik dapat mengomunikasikan pemikiran dan ide. Bahkan kadangkala musik dapat
dipakai untuk tingkatan-tingkatan komunikasi yang lebih mendalam yang
mengungkapkan hal-hal yang tak dapat dikatakan secara langsung. Musik, melalui
puisi dan bunyi, fungsinya dapat menjadi amat penting dalam menyampaikan
ungkapan-ungkapan dalam kehidupan sehari-hari 19.
Gamelan Jawa adalah musik dengan nada pentatonis. Satu permainan
gamelan komplit terdiri dari dua putaran, yaitu slendro dan pelog. Slendro memiliki 5
nada per oktaf, yaitu 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil. Pelog
memiliki 7 nada per oktaf, yaitu 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan
interval yang besar. Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan,
yaitu terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta
melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada 20.
Gamelan bisa dilihat sebagai sebuah pertunjukan musik tersendiri maupun
sebagai pengiring tarian atau seni pertunjukan seperti wayang kulit dan ketoprak.
Sebagai sebuah pertunjukan tersendiri, musik gamelan biasanya dipadukan dengan
suara para penyanyi Jawa (penyanyi pria disebut wiraswara dan penyanyi wanita
disebut waranggana). Pertunjukan musik gamelan yang digelar kini bisa merupakan
gamelan klasik ataupun kontemporer. Salah satu bentuk gamelan kontemporer adalah
19 ibid 20http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-cultural-performance/gamelan-show/
Page 25
xxv
jazz-gamelan yang merupakan paduan paduan musik bernada pentatonis dan diatonis
21.
2.5 Sejarah Cokekan
Cokekan muncul sejak adanya budaya Jawa, terutama pada masa
priyayi. Selain menjadi wujud kebudayaan, pada zaman perang cokekan dapat
digunakan sebagai alat penyamaran. Pada mulanaya para pencokek tidak mengamen
di jalan-jalan melainkan mendapat tanggapan ( diundang untuk mengisi acara),
cokekan . Para seniman karawitan harus turun ke jalan, mengamen dari satu warung
ke warung yang lain untuk menyambung hidup. Namun tidak mungkin bagi mereka
membawa seperangkat alat gamelan komplit karena tidak efisien. Mereka hanya
bermodalkan siter, kendang, dan gong tiup yang terbuat dari bambu, untuk
memainkan musik, mengiringi sinden yang bernyanyi. Disinilah lahir sebuah kesenian
baru, mereka sering disebut dengan Siteran atau Cokekan.
Karena kepraktisan dan toleransinya dalam memainkan lagu (tidak hanya
lagu Jawa), selain itu karena harga yang lebih murah daripada menyewa seperangkat
gamelan komplit, Cokekan masih mendapat tempat dalam publik. Cokekan masih
sering diapakai untuk malam tirakatan, acara sunatan, bahkan mengisi di suatu hotel.
Pada perjalanan selanjutnya Cokekan dikenal sebagai seni barangan (ngamen).
Di Kota Solo, mayoritas para pemain Cokekan ini berasal dari daerah
Ngawi. Di Solo mereka menyewa sebuah kamar kos untuk menyimpan alat sekaligus
tempat menginap. Pada siang hari, mereka biasa mengamen di warung-warung
terkemuka di kota Solo. Sedangkan kalau malam hari mereka berkumpul mengamen
di selatan Keraton Mangkunegaran.
21 ibid
Page 26
xxvi
Cokekan pernah ditafsirkan sebagai musik Cina yang menyusup ke dalam
karawitan. Kesalahpahaman itu terjadi karena kesenian Cokekan disamakan dengan
Seni Cokek. Padahal keduanya adalah kesenian yang berbeda. Cokek adalah seni
musik yang berasal dari Betawi. Pada jaman itu Cokek difungsikan untuk menyambut
tahun baru Cina atau hari-hari padusan Cina. Pada kesempatan itu, orang-orang Cina
menyediakan instrumennya, sedangkan orang Jawa yang memainkannya. Instumen itu
terdiri dari 4 alat musik, yakni sebuah slompret dengan empat lubang, rebab Cina,
thing-thong berjumlah empat buah, dan kendang kecil berfungsi sebagai pengatur
irama.
Anggapan tersebut timbul karena adanya akulturasi budaya, dimana pada
zaman dahulu orang-orang tionghoa merupakan pedagang yang berlayar dari satu
negara ke negara lain. Bukti dari adanya akulturasi budaya pada gamelan adalah
adanya ukiran naga ( liong ) yang merupakan ciri khas dari bangsa cina pada
perangkat gamelan.22
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman, daya tarik cokekan sudah
mulai berkurang tergantikan oleh hasil dari budaya populer.
2.6 Cokekakan VS Musik Pop
Pada saat ini jenis musik yang mendominasi adalah musik pop. Selain kata-
katanya yang mudah diingat, nadanya yang enak didengar. Cokekan menjadi musik
kelas bawah. Hanya segelintir orang yang masih mengapresiasi keberadaan cokekan.
Musik keraton pun berubah menjadi musik jalanan.
Musik tradisional tidak akan beratahan terutama dalam masyarakat yang selalu
berubah. Kesenian daerah harus dapat berkembang sesuai dengan zaman. Contohnya
22 Hasil wawancara dengan Bapak Suraji
Page 27
xxvii
saja lagu- lagu dangdut berusaha mengikuti trend pasar, oleh karena itu musik
dangdut masih dapat bertahan sampai sekarang.
BAB III
VISI, MISI, DAN TUJUAN
A. VISI
Film Dokumenter ini mempunyai visi ingin memberikan pandangan
lain dalam melihat Cokekan, tidak hanya sebagai pengamen jalanan, akan tetapi
juga sebagai musisi tradisional yang secara langsung juga berperan dalam
pelestarian kebudayaan Jawa.
B. MISI
Misi dalam pembuatan film dokumenter ini adalah memberikan
panggung yang lebih besar kepada para pemain Cokekan agar mampu bertahan
dan mendapat apresiasi yang lebih di mata masyarakat.
C. TUJUAN
1. Mencoba menggali potensi lain Cokekan sebagai ikon budaya Kota Solo.
2. Memaparkan satu contoh kebudayaan yang mulai tersisihkan.
3. Sebagai syarat kelulusan program kesarjanaan Strata satu, berupa tugas
pengganti non skripsi.
BAB IV
FILM DOKUMENTER
Page 28
xxviii
Film dokumenter merupakan media komunikasi yang berbentuk audio
visual, dimana produksi audio visual adalah suatu proses kreatif yang melibatkan
penggunaan peralatan-peralatan yang rumit dan koordinasi sekelompok individu yang
mempunyai kepekaan estetis dan kemampuan teknis untuk mengkomunikasikan
pikiran dan perasaan kepada penonton. Film dokumenter tak pernah lepas dari tujuan
penyebaran informasi, pendidikan dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu.
Namun pada intinya, film dokumenter tetap berpihak pada hal senyata mungkin 23.
Film dokumenter mempunyai peranan yang cukup luas, tidak hanya di
dunia perfilman, namun juga merambah sektor-sektor lain seperti pendidikan, politik,
dsb. Film dokumenter bisa dikatakan sebagai induk dari perkembangan seni
perfilman, selain sebagai wahana dokumentasi, dan penyebaran informasi. Lebih jauh
lagi, film dokumenter juga menjadi sarana bagi perkembangan eksplorasi dan
penelitian, baik ilmu-ilmu alam, maupun ilmu-ilmu sosial. Di bidang ilmu
pengetahuan alam, film dokumenter memberikan kontribusi besar dan terpercaya,
misalnya penelitian flora, fauna, dan geografi. Dalam dunia ilmu pengetahuan sosial,
film dokumenter dapat dijadikan sarana bagi kajian-kajian etnografis, dan
kesejarahan, selain terutama menjadi bagian terpenting bidang jurnalistik.
Film dokumenter termasuk dalam kategori film non cerita, Pada mulanya
ada dua tipe film non cerita yaitu yang termasuk dalam film dokumenter dan film
faktual. Film faktual, umumnya menampilkan fakta. Kamera sekedar merekam
peristiwa. Film ini hadir dalam bentuk film berita (newsreel) dan film dokumentasi.
Film berita, titik beratnya pada segi pemberitaan atau suatu kejadian aktual,
23 Heru Effendy, Mari Membuat Film, Panduan, Yogyakarta, 2002, hal 12
Page 29
xxix
sedangkan film dokumentasi hanya merekam kejadian tanpa diolah lagi, misalnya
dokumentasi peristiwa perang atau upacara kemerdekaan 24.
Dalam membuat film dokumenter, Shanty Harmayn mengatakan ada tiga
elemen penting yang akan kita lalui sebelum masuk dan mengerjakan tahapan-
tahapan produksi dari film dokumenter itu. Ketiga elemen itu antara lain:
1. Organizing logic (point of view, make a case, present an argument)
2. Evidentiary editing
3. Prominent role of speech 25
Organizing logic (menyusun kerangka berpikir) tentang ide film kita,
dimulai dengan menentukan dari mana kita mengambil point of view (sudut pandang)
tentang suatu fakta yang akan kita buat menjadi film dokumenter. Penentuan point of
view ini sangat penting, karena akan menentukan bagaimana penuturan film kita
nantinya. Apakah film kita itu akan bertutur dari ‘kacamata’ orang pertama, orang ke
dua, atau pun orang ke tiga. Dari hal itu juga dapat diketahui berada di pihak manakah
si film maker dalam film itu. Lalu kita menentukan permasalahan atau fakta apa yang
menarik (make a case) kita untuk membuatnya menjadi sebuah film. Yang tak kalah
penting adalah film kita tersebut nantinya dapat mengungkapkan argumentasi yang
didasari fakta yang riil, tentang bagai mana kita memandang serta menilai suatu fakta
yang kita filmkan itu. Karena film dokumenter juga dapat disajikan sebagai sarana
pengungkapan ide, gagasan, argumentasi, atau pun solusi terhadap sebuah fakta sosial
yang terjadi (present an argument).
Setelah melalui tahap organizing logic, maka telah jelas apa yang akan
ingin kita kemukakan dalam film dokumenter yang kita buat. Elemen penting
24 Marselli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996, hal 13
25 Metro-TV, dan in-docs, loc. cit.
Page 30
xxx
selanjutnya yang harus dilakukan adalah evidentiary editing, yaitu mengumpulkan
bukti-bukti nyata yang mendukung argumentasi yang akan kita kemukakan. Bukti
atau fakta ini harus terfokus kepada masalah apa yang akan kita ungkap. Harus dapat
dipilah, mana saja fakta yang berkaitan dengan permasalahan utama dari subyek film
yang akan kita ungkap.
Dalam pembuatan film dokumenter, kejelian adalah hal yang pokok.
Sehingga diperlukan suatu pemikiran dan proses teknis yang matang. Suatu produksi
program film memerlukan tahapan proses perencanaan, proses produksi, hingga hasil
akhir produksi. Tahapan tersebut sering dikenal dengan Standard Operation Procedure
(SOP), yang terdiri dari:
1. Pra Produksi (ide, perencanaan, persiapan)
2. Produksi (pelaksanaan)
3. Pasca Produksi (Penyelesaian dan Penayangan)
I. Pra Produksi
Merupakan tahap awal dari proses produksi, termasuk didalamnya adalah
penemuan ide, pengumpulan bahan berupa data-data untuk mendukung fakta atau
subyek yang dipilih. Tahap pra produksi ini sangat penting karena merupakan
landasan untuk melaksanakan produksi dan harus dilakukan dengan dengan rinci dan
telliti sehingga akan membantu kelancaran proses produksi. Jika tahap ini telah
dilaksanakan secara rinci dan baik, sebagian dari produksi yang direncanakan sudah
beres 26. Kegiatan ini meliputi :
1. Memilih Subyek Film Dokumenter (choosing a subject)
26 Fred Wibowo, Dasar-dasar Produksi Program Televisi, Grasindo, Jakarta, 1997, hal 20
Page 31
xxxi
Ada beberapa kemungkinan yang menjadi dasar untuk memilih
subyek. Subyek film dokumenter bisa berhubungan dengan sejarah, mitos atau
legenda, sosial budaya, sosial ekonomi, atau yang lainnya. Pertimbangan
dipilihnya suatu subyek bukan hanya karena kebetulan semata tetapi melalui
proses panjang, melalui penelitian dan memiliki dasar pemikiran yang kuat.
Dalam sebuah film dokumenter, apa yang disajikan mengandung subyektivitas
pembuatnya, dalam arti sikap atau opini pembuat film terhadap realita yang
didokumentasikannya.
Tugas akhir ini mengangkat tentang pengamen Cokekan di Kota Solo. Subyek
ini dipilih karena kesan pertama yang dilihat penulis tentang kesenian ini
adalah keunikan mereka. Mereka sebisa mungkin tetap menjaga identitas jawa
mereka meskipun jarang ada orang yang memperhatikan.
2. Riset (Research)
Riset (penelitian) adalah salah satu bagian terpenting sebelum
pembuatan film dokumenter. Riset digunakan untuk mendukung fakta-fakta
tentang subyek yang telah dipilih. Riset dilakukan untuk mendapatkan data-
data yang bisa diperoleh melalui wawancara dengan tokoh ahli, kepustakaan,
media massa, internet, dokumen mapun sumber lain.
Menurut Garin Nugroho, riset juga berhubungan dengan tema film.
Riset tema film berhubungan dengan penguasaan pada wacana yang
menyangkut disiplin ilmu dan kebutuhan mendiskripsikannya ke bentuk
visual. Pendampingan kepustakaan dan ahli lokal juga penting dan harus
dilakukan.
Penelitian untuk tugas akhir ini diawali pada bulan Agustus 2007
dengan mencari informasi langsung dari para pengamen Cokekan di sekitar
Page 32
xxxii
Kota Solo. Dari puluhan orang yang tergabung di dalam grup Cokekan
Pringgading (lokasi dimana tempat mereka menyewa rumah kontrakan),
penulis memilih Pak Tarno sebagai perwakilan dari grup ini, karena Pak Tarno
sangat terbuka dan bekerja sama, dan apa yang di utarakan Pak Tarno selama
masa riset sudah mewakili grup Cokekan ini.
Kemudian penulis mencari berbagai referensi, mulai dari buku di
perpustakan Mangkunegaran dan ISI Solo. Selain itu penulis juga mencari
nara sumber yang menguasai bidangnya masing-masing. Dan pada akhirnya
penulis meminta bantuan kepada Bp. Suraji, S.Kar sebagai ahli karawitan, Bp.
Dr. Drajat Tri Kartono sebagai sosiolog, dan Bp. Gembong Hadi Wibowo,
S.Psi, M.Si sebagai wakil dari pemerintahan dalam hal ini Dinas Pariwisata
Kota Solo.
3. Mempersiapkan Detail Produksi
Mempersiapkan detail berarti menyiapkan segala hal yang diperlukan
agar proses produksi dapat berjalan lancar. Persiapan-persiapan tersebut antara
lain:
a. Data Teknis
b. Sinopsis atau tulisan ringkas mengenai garis besar cerita, meliputi
adegan adegan poko dan garis besar pengembangan cerita 27.
c. Treatment, dapat dijabarkan sebagai perlakuan tentang hal-hal yang
dijabarkan dalam sinopsis. Sebuah uraian mengenai segala urutan
kejadian yang akan tampak di layar TV atau Video. Uraian itu bersifat
naratif, tanpa menggunakan istilah teknis 28.
27 Marselli Sumarno, Opcit, hal 117 28 PCS. Sutisno, Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video, Grasindo, Jakarta, 1993. hal 46
Page 33
xxxiii
d. Naskah atau skenario, yaitu cerita dalam bentuk rangkaian sekuen dan
adegan-adegan yang siap digunakan untuk titik tolak produksi film,
tetapi belum terperinci.
e. Shooting Script adalah naskah versi siap produksi yang berisi sudut
pengambilan gambar atau angle dan bagian-bagian kegiatan secara
rinci dan spesifik.
f. Timetable Shooting atau penjadwalan Shooting yang berbentuk
Shooting Breakdown dan Shooting Schedule.
II. Produksi
Tahap ini merupakan kegiatan pengambilan gambar atau shooting.
Pengambilan gambar dilakukan berdasarkan shooting script dan shooting breakdown
dengan pengaturan jadwal seperti yang tercantum dalam shooting schedule. Saat
pengambilan stock shot maupun proses editing, ada beberapa istilah serapan dari
bahasa asing yang lazim digunakan. Sekedar penambah pengetahuan kita, berikut ini
adalah istilah-istilah yang sering dipakai :
1. Angle, sudut pengambilan gambar yang berhubungan dengan peletakan atau
posisi kamera, yang terdiri dari low angle (sudut rendah), high angle (sudut
tinggi), eye level (sejajar mata obyek).
2. Close up, gambar yang diambil dengan kamera berada dekat dengan subjek,
atau tampak dekat dengan subyek, kadang wajah mannusia memenuhi ruang,
Juga biasa disebut, close shot, disingkat CS, atau CU 29.
3. Continuity, kesinambungan mood gambar.
4. Composition, pengaturan letak subyek film dalam frame kamera
29 Heru Effendi, op. cit. hal 132
Page 34
xxxiv
5. Cut, transisi instan dari suatu gambar ke ganbar lainnya 30.
6. Dissolve, efek optis antara dua pengambilan gambar, dengan gambar kedua
mulai muncul ketika gambar pertama perlahan-lahan menghilang 31.
7. Extreme close up, sebuah close up yang sangat besar, biasanya bagian yang
diperbesar dari sebuah benda atau bagian tubuh. Misalnya hanya hidung, mata
telinga sesorang 32.
8. Extreme long shot, shot yang diambil dari jarak yang sangat jauh, mulai kira-
kira 200 meter sampai ke yang lebih jauh lagi 33.
9. Fade out, fade in, efek berupa berupa perubahan gambar perlahan-lahan hilang
menjadi gelap (fade out), atau gambar yang muncul perlahan-lahan dari
kegelapan. Digunakan untuk menekankan berakhirnya waktu atau akhir dari
adegan atau cerita 34.
10. Follow focus, perubahan fokus kamera selama adegan untuk memperthankan
fokus pada aktor yang bergerak mendekati atau menjauhi kamera 35.
11. Follow shot, pengambilan gambar dengan kamera bergerak berputar untuk
mengikuti pergerakan pemeran dalam adegan 36.
12. Head room, ruang antara bagian atas suatu obyek dalam gambar dengan
bagian atas frame 37.
13. Long shot, shot pengambilan gambar yang objek tujuannya jauh atau tampak
jauh dari kamera, sering disingkat LS 38.
30 Ibid. hal 133 31 Ibid. hal 134
32 Marselli Sumarno, op. cit. hal 113.
33 Ibid 34 Heru Effendi, op. cit. hal 136 35 Ibid. hal 138 36 Ibid 37 Ibid. hal 139
Page 35
xxxv
14. Medium long shot, gambar dengan subjek berada diantara , medium shot dan
long shot. Biasa disingkat MLS 39.
15. Medium shot, memunculkan gambar orang dengan keseluruhan atau hampir
keseluruhan tingginya. Biasa disingkat MS 40.
16. Moving shot, merekam film dari objek yang bergerak 41.
17. N. G. ,singkatan dari not good (tidak baik). Istilah ini dipakai sebagai
komentar terhadap penampilan atau perekaman gambar yang tidak baik pada
laporan kamera dan suara, misalnya N. G. sound, N. G. action 42.
18. Pan, menggerakkan kamera ke kanan atau ke kiri pada poros horizontal nya
43.
19. Scenario, naskah yang siap untuk titik tolak produksi film 44.
20. Scene, adegan 45.
21. Sequence, babak atau kumpulan adegan 46.
22. Shot, Sebuah unit visual terkecil berupa potngan film, berapapun panjang atau
pendeknya 47.
38 Ibid. hal 141 39 Ibid. hal 143 40 Ibid 41 Ibid 42 Marselli Sumarno, op. cit. hal 114. 43 Ibid. hal 115 44 Ibid. hal 116 45 Ibid 46 Ibid 47 Ibid
Page 36
xxxvi
23. Stock footage, materi siap pakai: mulai dari news release, dokumenter, dan
fitur film, yang dipandang berguna untuk film lainnya. Tujuan penggunaan
stock footage dari perpustakaan mungkin untuk otentisitas historis atau untuk
menghemat biaya 48.
24. Swish pan, gerakan panning secara cepat, menyebabkan gambar film menjadi
kabur, untuk memunculkan kesan gerakan gerakan mata secara cepat dari sisi
satu ke sisi lainnya 49.
25. Synopsis, versi sangat pendek dari sebuah cerita, tanpa adanya detil, Hanya
garis besar 50.
26. Teaser, adegan pertama dari keseluruhan cerita atau potongan gambar dari
cerita-biasanya adegan paling menarik yang digunakan untuk memancing
penonton untuk melihat keseluruhannya 51.
27. Tilt, gerakan kamera menunduk dan mendongak pada poros vertikalnya 52.
28. Treatment, presentasi detil dari cerita sebuah film, namun belum dalam bentuk
naskah 53.
29. Two shot, pengambilan gambar yang terditidari dua kharakter, biasanya dekat
dengan kamera. Three shot berisi tiga kharakter dan seterusnya 54.
30. Voice over, suara di luar kamera, bisa berupa narasi atau penutran seorang
tokoh. Biasa disingkat VO 55.
48 Heru Effendi, op. cit , Yogyakarta, 2002. hal 152 49 Ibid 50 Ibid 51 Ibid. hal 153 52 Marselli Sumarno, op. cit. hal 117. 53 Heru Effendi, op. cit . hal 154 54 Ibid 55 Ibid. hal 155
Page 37
xxxvii
31. Working title, penamaan dalam bentuk apapun terhadap film atau serial
televisi dengan tujuan diidentifikasi, dan dapat pula diubah ketika dipasarkan
56.
Dalam karya ini, penulis melakukan produksi dalam kurang lebih 10 hari.
Pengambilan gambar grup Cokekan dilakukan di lokasi antara lain warung wongso
lemu Keprabon, warung bambu Mangkunegaran, bakso rusuk Palur, Manahan, hotel
Lor In, warung di sekitar jembatan bacem Sukoharjo, dan taman balekambang Solo.
Untuk pengambilan wawancara Bp. Suraji, S.Kar dilakukan di ruang karawitan ISI
Solo, wawancara Bp. Dr. Drajat Tri Kartono dilakukan di ruang Lab UCYD kampus
FISIP UNS Solo, dan wawancara Bp. Gembong Hadi Wibowo, S.Psi, M.Si dilakukan
di taman Balekambang Solo.
III. Pasca Produksi
Pasca produksi bisa dikatakan sebagai tahap akhir dari keseluruhan proses
produksi. Tahap ini dilaksanakan setelah semua pengambilan gambar selesai. Tahap
pasca produksi ini meliputi logging, editing, dan mixing.
Logging merupakan kegiatan pencatatan timecode hasil shooting, setelah
logging, dilakukan penyusunan gambar sesuai skenario atau shooting script melalui
editing. Setelah editing selesai dilakukan mixing gambar dengan suara. Suara dapat
berupa atmosfir, suara asli, background musik, atau narasi. Untuk lebih rinci, ketiga
tahapan ini akan diuraikan melalui data teknis yang terlampir.
Usai melakukan tahapan eksekusi produksi atau shooting, proses
selanjutnya dalam sebuah produksi film adalah tahap proses editing. Sekalipun
proses editing dilakukan pada tahap pasca produksi, namun sekali lagi perlu
56 Ibid. hal 156
Page 38
xxxviii
ditekankan, bahwa seluruh proses ini harus dipersiapkan dan diracang semenjak
tahap pra produksi agar dapat mempermudah dalam mengerjakan tahapan ini.
Hal ini bisa dilakukan melelui diskusi antara editor dengan sutradara. Editor
kemudian merancang tahapan editing untuk kemuduian diserahkan kepada
produser dan sutradara dan didiskusikan lagi untuk mencari kemungkinan
terbaik dari film yang diproduksi 57.
Secara sederhana proses urutan editing dapat diilustrasikan dengan
bagan sebabai berikut 58:
Hasil akhir dari proses shooting yang berupa stock shot dikumpulkan
untuk selanjutnya dicatat time code nya dalam log book, proses ini disebut
logging. Setelah mengetahui letak time code gambar yang akan diambil dalam
57 Ibid. hal 111 58 Lianto, Tonny, op. cit. hari ke empat
Logging
Final Off Line
Loading/Capturing/Digitalizing
Rough Cut
Final On Line
Assembling
Materi Shooting/Stock Shot
Page 39
xxxix
stock shot, proses yang dilakukan selanjutnya adalah proses memilih dan
memasukkan gambar mana yang akan digunakan yang biasa disebut capturing
atau loading. Di era digital, tahap ini juga disertai dengan pengunahan format
analog menjadi digital, khususnya yang masih menggunakan sarana pita
megnetik. Prosesnya biasa dikenal dengan digitalizing.
Gambar-gambar yang sudah di capture tadi kemudian ditata atau
diurutkan baik audio maupun video nya dalam sebuah time line. Prosesnya
dikenal dengan sebutan assembling. Setelah dicopy hasil proses capturing ini
biasa disebut rough cut. Karena rouhg cut ini masih bersifat kasar, maka perlu
di‘haluskan’ lagi, khususnya lebih terkonsentrasi pada struktur ceritanya dalam
proses final off line. Untuk hasil yang lebih maksimal dan perfect dari film,
alangkah lebih baik jika setelah tahapan final off line, masih dilakukan
sentuhan akhir atau finishing touch terutama pada tampilan gambar maupun
suara agar lebih terkesan dramatis dan estetis sehingga mampu membawa mood
penonton masuk dalam cerita film. Tahap ini biasa dikenal dengan final on line.
Akhirnya setelah melalui semua tahapan tersebut, film dapat dilepas ke
publik. Media agar film itu dapat sampai kepada ke publik pun bisa di pilih,
mulai dari forum diskusi kampus, festival, televisi, sampai bioskop sesuai
keinginan Sang film maker maupun tujuan dari pembuatan film dokumenter
tersebut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Page 40
xl
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa kesimpulan dalam tugas akhir
ini, yaitu:
· Sebuah kesenian khususnya seni musik membutuhkan suatu komunitas
agar tetap eksis. Dalam hal ini, penopang Cokekan atau musik-musik
karawitan pada jaman dahulu adalah Keraton. Ketika Keraton tidak lagi
aktif, maka kesenian-kesenian tersebut harus berjalan sendiri. Selain itu
juga dibutuhkan regenerasi.
· Faktor-faktor yang menyebabkan Cokekan tidak bisa berkembang antara
lain:
1. Perubahan selera masyarakat pada jenis musik. Cokekan
berhadapan dengan budaya kapitalis dimana musik menjadi
sebuah industri, tidak sekedar hiburan.
2. Para pemain Cokekan tidak mampu mengikuti selera masyarakat
saat ini. Mereka tidak mampu untuk memainkan musik-musik
yang sedang populer untuk saat ini.
B. SARAN
Ada beberapa saran yang ingin disampaikan penulis dalan karya tugas akhir
ini, yaitu:
Page 41
xli
· Bagi para pemain Cokekan diharapkan belajar untuk dapat mengikuti
selera masyarakat saat ini. Misalnya belajar memainkan musik-musik
yang sedang populer saat ini namun tetap dengan aransemen Cokekan.
· Mengadakan acara-acara rutin, misalnya lomba atau festival-festival
kebudayaan yang mampu memotivasi kreatifitas para pelaku seni agar
semakin berkembang. Selain itu juga sebagai sarana hiburan untuk
masyarakat.
· Dibutuhkan suatu keselarasan antara pemerintah, masyarakat dan
komunitas suatu kesenian, dalam hal ini Cokekan agar dapat
mempertahankan eksistensi dari suatu kesenian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Burton, Graeme. Yang Tersembunyi Di Balik Media. Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1990.
Nugroho, Fajar. Cara Pinter Bikin Film Dokumenter. Yogyakarta: Galang Press,
2007.
Pratista, Himawan. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008.
Purwasito, Andrik. Komunikasi Multikultural. Surakarta: Muhammadiyah
University Press, 2003.
Rahkmat, Jalaludhin dan Dedy Mulyana. Komunikasi Antar Budaya. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005.
Storey, John. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra,
2007.
Page 42
xlii
Sumarno, Marselli. Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, 1996.
Sutisno, PCS. Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video. Jakarta:
Grasindo, 1993.
Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta:
Kanisius, 2005.
Wibowo, Fred. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: Grasindo, 1997.
LAMPIRAN
TREATMENT
Judul : “Perjalanan Cokekan”
Durasi : 27 menit
Oleh : Fathoni Nurkholis
TEMA
Kehidupan grup Cokekan di Kota Solo dan kondisi kesenian Cokekan saat ini
IDE DASAR
Mengetahui bagaimanakah suka duka grup Cokekan di Kota Solo dan bagaimana
kesenian Cokekan menghadapi perubahan jaman saat ini.
FILM STATEMENT
Menggambarkan Cokekan sebagai salah satu kebudayaan yang patut untuk
dipertahankan.
PERMASALAHAN
Page 43
xliii
Cokekan di kota Solo dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok yang pertama
adalah grup Cokekan yang tergabung dalam suatu sanggar seni. Grup ini hanya akan
tampil ketika ada orderan atau tanggapan. Sedangkan kelompok yang kedua adalah
grup Cokekan jalanan. Mereka setiap hari ada di warung-warung di sekitar Kota Solo
untuk mengamen. Grup Cokekan kedua ini sangat menggantungkan hidupnya pada
Cokekan. Namun karena beberapa faktor, Cokekan saat ini tidak lagi diminati seperti
dahulu kala. Sehingga pendapatan yang mereka terima setiap harinya pas-pasan.
Selain itu, muncul kekhawatiran bahwa kesenian ini akan punah suatu saat, karena
tidak ada regenerasi atau karena tidak ada lagi peminat dari kesenian ini.
TESIS
Banyak faktor yang mempengaruhi Cokakekan saat ini sehingga tidak bisa
berkembang. Di antaranya karena adanya perubahan selera masyarakat. Dimana
musik yang disukai saat ini adalah musik-musik high culture, yaitu sajian musik yang
digarap dengan aransemen yang megah, panggung-panggung yang besar dengan tata
lampu yang gemerlap. Selain itu karena jatuhnya penopang komunitas Cokekan ini.
BAHAN DASAR
Mencari data-data tertulis lewat artikel, maupun internet. Wawancara dengan
beberapa pemain Cokekan dan nara sumber ahli serta melakukan riset lapangan dan
visual.
JUDUL FILM
“Perjalanan Cokekan”
ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Page 44
xliv
Judul ini mencoba menceritakan perjalanan Cokekan dan pelakunya dalam
menghadapi arus kapitalisme yang ada saat ini.
AUDIENS
Kalangan Akademis, Masyarakat Umum, khususnya generasi muda.
LOKASI
Warung-warung makan di Solo.
RINGKASAN SAJIAN
Film dengan genre dokumenter mengisahakan betapa sulitnya grup Cokekan
saat ini untuk mencari nafkah, sementara hanya pengalaman dan kemampuan bermain
Cokekan yang mereka miliki. Mereka terbentur oleh selera masyarakat yang berubah
seiring dengan arus perkembangan jaman. Ketika kultur-kultur feodal yang menopang
kesenian ini telah jatuh, maka komunitas Cokekan ini tidak lagi mampu bersaing
dengan kesenian-kesenian yang ada saat ini.
Semakin tergerusnya Cokekan, ditambah lagi dengan faktor usia para pemainnya
yang rata-rata sudah lanjut, membuat suatu kekhawatiran kalau suatu saat musik atau
kesenian ini akan punah. Film ini mencoba menggambarkan bahwa Cokekan
merupakan suatu kesenian yang layak untuk dipertahankan. Karena Cokekan
menawarkan sesuatu yang tidak terdapat pada kesenian lain, yaitu sajian musik yang
mampu membuat hati terasa damai, tenang, atau yang sering kita sebut klangenan ati.
Story Line
Ø Opening
Film ini akan dibuka dengan penampilan grup Cokekan yang terdiri
dari penabuh siter, kendang dan 2 orang pesinden di Taman Balekambang
Solo.
Page 45
xlv
Shot-shot penting:
· Penampilan grup Cokekan
Ø Content
· Sekuen I
Pada sekuen pertama film ini akan sedikit menjelaskan tentang sejarah
Cokekan dan gambaran tentang kehidupan yang dialami para pelaku Cokekan
di Kota Solo.
Shot-shot penting
- Grup Cokekan sedang mengamen di warung-warung
- Para pengamen Cokekan sedang beristirahat
- Situasi kos-kosan yang dihuni para pengamen Cokekan
- Wawancara pengamen Cokekan
- Wawancara ahli karawitan
· Sekuen II
Sekuen ke dua lebih terfokus pada pembahasan faktor apa saja yang
membuat kesenian ini sulit untuk berkembang. Diantaranya karena pengaruh
selera masyarakat, dan peran pemerintah dalam menangani kesenian-kesnian
di Kota Solo.
Shot-shot penting
- Wawancara ahli karawitan
- Wawancara sosiolog
- Wawancara staf Departemen Pariwisata Solo
- Para pengamen Cokekan yang sedang beraksi
· Sekuen III
Page 46
xlvi
Di sekuen ke tiga ini membahas tentang alasan-alasan apa saja yang
membuat Cokekan mampu bertahan sampai sekarang.
Shot-shot penting
- Wawancara ahli karawitan
- Wawancara sosiolog
- Wawancara pengamen Cokekan
- Cokekan yang sedang ngamen
Ø Closing
Video ini ditutup dengan penampilan grup Cokekan yang
membawakan tembang Sri Uning di Taman Balekambang Solo.
Shot-shot penting
- Penampilan grup Cokekan
- Credit Title