Perilaku delinkuensi berdasarkan atas, Identitas, Usia, Jenis kelamin khususnya laki-laki, Pengaruh teman sebaya berikut Keinginan meniru dan ingin konfrom dengan lingkungannya, jadi tidak ada motivasi, kecemasan, atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. Proses keluarga, pada umumnya berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal. Dalam hal pola asuh menjadi bagian penting dari suatu terjadinya penyimpangan pada anak remaja. Dimana masa remaja ini masih membutuhkan perhatian yang besar dari lingkungan keluarga untuk mendapatkan kasih sayang, pendidikan agama maupun norma-norma yang berlaku dilingkungan masyarakat. Keberhasilan remaja dalam membentuk tingkah laku secara tepat di masyarakat adalah ditentukan oleh peranan lingkungan. keluarga khususnya orang tua dalam mengarahkan serta mengembangkan kemampuan anak membentuk tingkah lakunya. Mengenai hal ini Hurlock (1999) mengemukakan bahwa pengertian mengenai nilai-nilai tingkah laku serta kemampuan anak untuk membentuk tingkah laku dikembangkan dalam lingkungan.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Perilaku delinkuensi berdasarkan atas, Identitas, Usia, Jenis kelamin khususnya laki-laki,
Pengaruh teman sebaya berikut Keinginan meniru dan ingin konfrom dengan lingkungannya,
jadi tidak ada motivasi, kecemasan, atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan. Proses
keluarga, pada umumnya berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis, dan mengalami
banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja memuaskan semua kebutuhan dasarnya di
tengah lingkungan kriminal. Dalam hal pola asuh menjadi bagian penting dari suatu terjadinya
penyimpangan pada anak remaja. Dimana masa remaja ini masih membutuhkan perhatian yang
besar dari lingkungan keluarga untuk mendapatkan kasih sayang, pendidikan agama maupun
norma-norma yang berlaku dilingkungan masyarakat. Keberhasilan remaja dalam membentuk
tingkah laku secara tepat di masyarakat adalah ditentukan oleh peranan lingkungan. keluarga
khususnya orang tua dalam mengarahkan serta mengembangkan kemampuan anak membentuk
tingkah lakunya. Mengenai hal ini Hurlock (1999) mengemukakan bahwa pengertian mengenai
nilai-nilai tingkah laku serta kemampuan anak untuk membentuk tingkah laku dikembangkan
dalam lingkungan.
Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada anak yang
bersifat relatif dan konsisten dari waktu kewaktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak
dari segi negatif maupun positif. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan dengan seluruh cara
perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses
Interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mancakup perawatan seperti dari
mencukupi kebutuhan makan. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola
pengasuhan dalam Interaksinya dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara
tertentu yang dianggap paling baik bagi dirinya. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua kepada
anaknya umumnya dilakukan melalui pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh
dialogis. Pola asuh otoriter dicirikan dengan orang tua yang cenderung menetapkan standart yang
mutlak harus dituruti, biasanya bersamaan dengan ancaman-ancaman. Anak akan mengalami
suatu penyimpangan apabila anak tersebut tidak merasa nyaman dalam keluarga sehingga anak
tersebut harus melampiaskannya di luar rumah dengan mengikuti hal-hal atau kegiatan yang
menjurus ke arah kenakalan remaja. Maka daripada itu, menghubungkan antara pola asuh dengan
terjadinya tingkat Delinqency (kenakalan pada remaja). Sejauh mana pola asuh orang tua dapat
mempengaruhi delinquency. Pola asuh yang dilakukan oleh orangtua kepada anaknya umumnya
dilakukan melalui pola asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh dialogis. Masing-
masing pola asuh ini mempunyai karakter yang berbeda yang tentu akan membawa pengaruh
yang berbeda pula terhadap pembentukan perilaku anak. Karena pembentukan perilaku ini terjadi
melalui proses interaksi antar anggota keluarga dalam proses pengasuhan dengan demikian
buruknya perilaku anak juga tergantung dari cara dan norma atau nilai yang
ditanamkan/dikenalkan oleh orangtua kepada anak-anaknya. Remaja adalah sosok yang unik
dengan karakter yang khas, yang labil dan masih tergantung kepada orangtua sangat berbeda
dengan orang dewasa. Perbedaan tersebut mengandung konsekuensi pada perbedaan tanggung
jawab. Maka masa remaja adalah masa transisi dimana seorang remaja akan mencari identitas
diri (siapa aku?), kurangnya perhatian dan kurang tepatnya pengasuhan dapat membuat sang
remaja kurangnya dalam mengontrol diri. Sehingga rendahnya kontrol diri remaja yang dapat
menyebabkan juga remaja jadi lebih sering ikut-ikutan dengan teman sebayanya.
perilaku delinkuensi adalah perilaku yang dipelajari secara negatif, berarti perilaku
tersebut tidak diwarisi. Perilaku delinkuensi ini dipelajari dalam interaksi dengan orang lain,
khususnya orang-orang dari kelompok terdekat seperti orang tua, saudara kandung, sanak
saudara atau masyarakat di sekitar tempat tinggal. Keluarga sebagai unit sosial yang memberi
pengaruh besar terhadap perkembangan anak, seperti interaksi negatif antar saudara kandung
dapat menjadi dasar munculnya perilaku negatif pada anak.
Faktor pribadi, seperti faktor bawaan yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah,
hiperaktif, dan lain-lain), cacat tubuh, serta ketidakmampuan menyesuaikan diri. Santrock
(2003), berdasarkan teori perkembangan identitas Erikson mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku delinkuensi pada remaja yaitu pengaruh orang tua dan keluarga.
Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana orang tua menerapkan pola
disiplin secara tidak efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-
anaknya sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain
hubungan dengan saudara kandung dan sanak saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara
kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial ketika
berada di luar rumah. Pola asuh orang tua adalah pola perilaku orang tua yang diterapkan pada
anak yang bersifat relatif dan konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan
oleh anak dari segi negatif maupun positif.
Tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua serta pengalaman sangat berpengaruh
dalam mengasuh anak. Peranan orangtua atau pendidik amatlah besar dalam memberikan
alternatif jawaban dari hal – hal yang dipertanyakan oleh putra-putri remajanya. Orangtua yang
bijak akan memberikan lebih dari satu jawaban dan alternatif supaya remaja itu bisa berpikir
lebih jauh dan memilih yang terbaik. Sebaliknya orangtua yang tidak mampu memberikan
penjelasan dengan bijak dan bersikap kaku akan membuat remaja tambah bingung. Remaja
tersebut akan mencari jawaban di luar lingkaran orangtua dan nilai yang dianutnya. Ini bisa
menjadi berbahaya jika “lingkungan baru” memberi jawaban yang tidak diinginkan atau
bertentangan dengan yang diberikan oleh orangtua. Konflik dengan orangtua mungkin akan
terjadi dan semakin buruk.
C.Remaja
2.8 Definisi Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa.
Istilah adolensence mempunyai arti yang luas lagi yang mencakup kematangan mental,
emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Pada masa ini sebenarnya tidak mempunyai tempat
yang jelas karena tidak termasuk golongan anak tetapi juga golongan dewasa atau tua.
Hurlock dalam bukunya Psikologi Perkembangan mendefinisikan masa remaja sebagai masa
penuh kegoncangan, taraf mencari identitas diri dan merupakan periode yang paling berat
(Hurlock, 1993). Masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa. Dalam masa ini anak
mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan
psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir atau bertindak,
tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Masa remaja merupakan masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa
yang umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia belasan tahun atau
awal dua puluhan tahun. Hurlock (1990) membagi masa remaja awal dari 13 tahun – 16 tahun
atau 17 tahun, dan masa remaja akhir dari 17 tahun atau 18 tahun – 20 tahun. Masa remaja awal
dan akhir dibedakan oleh hurlock karena pada masa remaja akhir telah mencapai transisi
perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
2.9 Perkembangan Masa Remaja
2.9.1 Perkembangan fisik
Yang dimaksud dengan perkembangan fisik adalah perubahan-perubahan pada tubuh, otak,
kapasitas sensoris dan ketrampilan motorik (Papalia & Olds, 2001). Perubahan pada tubuh
ditandai dengan pertambahan tinggi dan berat tubuh, pertumbuhan tulang dan otot, dan
kematangan organ seksual dan fungsi reproduksi. Tubuh remaja mulai beralih dari tubuh kanak-
kanak yang cirinya adalah pertumbuhan menjadi tubuh orang dewasa yang cirinya adalah
kematangan. Perubahan fisik otak sehingga strukturnya semakin sempurna meningkatkan
kemampuan kognitif (Piaget dalam Papalia dan Olds, 2001).
2.9.2 Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk memahami dunia
karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam pandangan Piaget, remaja secara aktif
membangun dunia kognitif mereka, di mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima
begitu saja ke dalam skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal
atau ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga menghubungkan ide-ide
tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa yang dialami dan diamati, tetapi
remaja mampu mengolah cara berpikir mereka sehingga memunculkan suatu ide baru.
Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar, memori, menalar,
berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001) mengemukakan bahwa pada masa
remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu interaksi dari struktur otak yang telah sempurna dan
lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi memungkinkan remaja untuk berpikir
abstrak. Piaget menyebut tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam
Papalia & Olds, 2001).
Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah mampu berpikir secara
abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal yang aktual, serta pengalaman yang
benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap operasi formal remaja dapat berpikir dengan
fleksibel dan kompleks. Seorang remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan
tentang suatu hal. Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang
hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini memungkinkan remaja
berpikir secara hipotetis. Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa
rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa tindakan yang
dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan datang. Dengan demikian,
seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi dari tindakannya, termasuk adanya
kemungkinan yang dapat membahayakan dirinya.
Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang sesuatu, dimana mereka
sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di masa depan. Perkembangan kognitif
yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih
logis. Remaja sudah mulai mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu
membuat suatu perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).
Pendapat Elkind bahwa remaja memiliki semacam perasaan invulnerability yaitu keyakinan
bahwa diri mereka tidak mungkin mengalami kejadian yang membahayakan diri, merupakan
kutipan yang populer dalam penjelasan berkaitan perilaku berisiko yang dilakukan remaja
(Beyth-Marom, dkk., 1993). Umumnya dikemukakan bahwa remaja biasanya dipandang
memiliki keyakinan yang tidak realistis yaitu bahwa mereka dapat melakukan perilaku yang
dipandang berbahaya tanpa kemungkinan mengalami bahaya itu.
Beyth-Marom, dkk (1993) kemudian membuktikan bahwa ternyata baik remaja maupun orang
dewasa memiliki kemungkinan yang sama untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang
berisiko merusak diri (self-destructive). Mereka juga mengemukakan adanya derajat yang sama
antara remaja dan orang dewasa dalam mempersepsi self-invulnerability. Dengan demikian,
kecenderungan melakukan perilaku berisiko dan kecenderungan mempersepsi diri invulnerable
menurut Beyth-Marom, dkk., pada remaja dan orang dewasa adalah sama.
2.9.3 Perkembangan kepribadian dan sosial
Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara individu berhubungan
dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik; sedangkan perkembangan sosial berarti
perubahan dalam berhubungan dengan orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan
kepribadian yang penting pada masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud
dengan pencarian identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang
penting dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).
Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman sebaya dibanding
orang tua (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding pada masa kanak-kanak, remaja
lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan
bermain dengan teman (Conger, 1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa
remaja peran kelompok teman sebaya adalah besar.
Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun
remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan
tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh
tekanan dari kelompok teman sebaya (Conger, 1991).
Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang
remaja tentang perilakunya (Beyth-Marom, et al., 1993; Conger, 1991; Deaux, et al, 1993;
Papalia & Olds, 2001). Conger (1991) dan Papalia & Olds (2001) mengemukakan bahwa
kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan
sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi
misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus,
dan sebagainya (Conger, 1991).
2.10 Ciri-ciri Masa Remaja
Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik
secara fisik, maupun psikologis. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.
2.10.1 Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal
dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan
fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan
emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa
sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya
mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri
dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan terbentuk seiring berjalannya
waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.
2.10.2 Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang
perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri.
Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi,
pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan,
dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.
2.10.2 Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain.
Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak
digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya
tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat
mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam
hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis
kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.
2.10.3 Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak
menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.
2.10.4 Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi.
Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung
jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk
memikul tanggung jawab tersebut.
2.11 Tugas perkembangan remaja
Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa
dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan.
Memperoleh peranan sosial.
Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif.
o Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya.
o Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri.
Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja
adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap
perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk
mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense
of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa
perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya
menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap,
nilai, serta minat yang dimilikinya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif sifatnya non-ekperimental, karena peneliti tidak
memberi perlakuan (kontrol) terhadap sampel penelitian. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan Karlinger (dalam Arikunto 2006) bahwa penelitian non-eksperimental dilakukan
ketika variable bebasnya tidak dapat dikontrol secara langsung. Hakikat variable tersebut
menutup kemungkinan untuk dimanipulasi. Berdasarkan tujuan penelitian, penelitian ini
termasuk dalam penelitian korelasional, karena ingin mengetahui hubungan antar variable, yaitu
antara variable pola asuh dan variable delinquency pada remaja yang mengikuti tawuran di
SMA-X Jakarta Barat.
3.1 Variable Penelitian
Terdapat dua variable dalam penelitian ini yaitu variable Pola Asuh dan Variable delinquency
pada remaja yang mengikuti tawuran.
1. Pola Asuh
Definisi konseptual dari pola asuh adalah perilaku yang patut dicontoh menurut Baumrind (1997)
memberikan arti setiap perilakunya tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus
didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniruan dan identifikasi
bagi anak-anaknya. Sementara itu kesadaran diri orangtua juga harus ditularkan pada anak-
anaknya dengan mendorong mereka agar perilaku kesehatannya taat kepada nilai-nilai moral.
Oleh karena itu, orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri
melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku. Tidak kalah
pentingnya yang perlu disiapkan oleh orangtua menurut Baumrind (1997) adalah pola
komunikasi orangtua, dimana komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-
anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan
masalahnya. Pendidikan dalam keluarga memiliki nilai strategis dalam pembentukan kepribadian
anak. Semua sikap dan perilaku anak yang telah dipolesi dengan sifat/pola asuh dari orang tua
akan mempengaruhi perkembangan jiwa anaknya. Pola asuh orang tua berhubungan dengan
masalah tipe kepimpinan orang tua dalam keluarga. Tipe kepimpinan orang tua dalam keluarga
itu bermacam-macam, sehingga pola asuh orang tua bersifat demokratis / otoriter. Pada sisi lain,
bersifat campuran antara demokratis & otoriter.
Definisi operasional pola asuh merupakan skor total yang didapat dari pengukuran indikator pola
asuh pada variasi asuh otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh dialogis. Semakin tinggi
skor pada dimensi berarti pola asuh yang sangat mempengaruhi delinquency pada remaja yang
mengikuti tawuran.
1. Delinquency
Definisi konseptual dari delinquency adalah “Perilaku delinkuensi merupakan suatu bentuk
perilaku ilegal yang mencerminkan peran kenakalan yang terus-menerus, dimana perilaku
tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan yang sangat serius. Perilaku
menyimpang tersebut diartikan oleh orang lain sebagai ancaman terhadap norma legitimasi
masyarakat.”(Bynum & Thompson, 1996) .
Definisi operasional dari delinquency adalah Definisi operasional Delinquency ini ialah
merupakan skor total yang didapat dari pengukuran indikator delinquency pada dimensi status
offenses dan index offenses. yang menunjukan semakin tinggi skor maka terlihat delinquency
yang negatif. Sebaliknya, semakin rendah skor maka semakin positif delinquencynya.
3.3 Sampel Penelitian
1. Populasi Penelitian
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. (Sugiyono, 2009). Penelitian ini akan meneliti mengenaik hubungan
antara pola asuh dengan delinquency pada remaja yang mengikuti tawuran di SMA-X Jakarta
barat. Oleh karena itu, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa SMA-X Jakarta Barat.
1. Karakteristik Sampel
Adapun yang menjadi kriteria sampel dalam penelitian ini adalah remaja yang berstatus siswa
SMA-X Jakarta Barat Kelas XI dan XII. Remaja laki-laki yang masuk dalam kategori remaja
tengah (13-17 tahun).
1. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sample yang dilakukan adalah menggunakan Probability Sampling dengan
teknik Simple Random Sampling. Simple Random Sampling adalah teknik pengambilan sampel
secara acak dari anggota populasi untuk dijadikan sample penelitian tanpa memperhatikan strata
(sugiyono,2009). Sample yang digunakan dalam penelitian adalah seluruh siswa SMA-X di
Jakarta Barat.
3.4 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat duaalat ukur, yaitu alat ukur pola asuh dan alat ukur delinquency
remaja yang mengikuti tawuran.
1. Pola Asuh
Metode pengumpulan data yang digunakan berbentuk kuestioner. Kuestioner merupakan teknik
pengumpulan data yang efisiensi bila peneliti tahu dengan pasti variable yang diukur dan tahu
apa yang bisa diharapkan dari responden (Sugiyono,2009). Pada pola asuh alat ukurnya
menggunakan teori dari Baumrind (1997) berdasarkan skala likert. Kuestioner ini berisi 108
item, terdiri dari 54 item favorable dan 54 item unfavorable.
Item-item tersebut berisikan pernyataan-pernyataan berdasarkan empat variasi yaitu asuh
otoriter, demokratis, permisif, dan pola asuh dialogis.
1. Teknik Skoring Skala Pola Asuh
Dalam pengukuran pola asuh pada penelitian ini menggunakan skala pola asuh dari likert, yaitu
jawaban setiap item instrumen mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat negatif,
yang dapat berupa kata-kata sangat sesuai, sesui,ragu-ragu,tidak sesuai sampai sangat tidak
sesuai (Sugiyono,2009).
Rentang penilaian disetiap pernyataan, disediakan sejumlah alternatif tanggapan yang berjenjang
atau bertingkat. Namun dalam penelitian ini skala yang digunakan tidak menggunakan pilihan
jawaban yang bersifat ragu-ragu, dengan maksud untuk menghindari kecendenrungan untuk
memilih pilihan yang berada ditengah-tengah atau netral.
Terdapat empat pilihan alternatif jawaban dalam setiap pernyataan, yaitu: sangat sesuai (SS),
sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai dengan diri anda (STS). Jawaban Sangat
Sesuai (SS) dipilih bila subyek sepenuhnya mengalami dan merasakan isi pernyataan serta
menggambarkan keadaan dirinya. Jawaban Sesuai (S) dipilih bila mengalami dan merasakan
sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Tidak Sesuai (TS) bila tidak mengalami dan merasakan
sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) bila sepenuhnya tidak
mengalami dan tidak merasakan isi pernyataan tersebut serta tidak menggambarkan keadaan
dirinya.
Penilaian terhadap item favorable adalah SS (Sangat Sesuai) = 4, S (Sesuai) = 3, TS (Tidak
Sesuai) = 2, STS (Sangat Tidak Sesuai) = 1. Penilaian terhadap item unfavorable adalah SS
(Sangat Sesuai) = 1, S (Sesuai) = 2, TS (Tidak Sesuai) = 3, STS (Sangat Tidak Sesuai = 4. Skor
pola asuh adalah skor total dari seluruh dimensi pola asuh. Semakin tinggi skornya berarti subjek
tersebut memiliki pola asuh yang positif. Sebaliknya, semakin rendah skornya berarti subyek
memiliki pola asuh yang negatif. Skoring skala pola asuh dapat dilihat pada tabel 3.1 berikut
ini :
Tabel 3. 1 Skoring Skala Pola Asuh
Respon Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai 4 1
Sesuai 3 2
Tidak Sesuai 2 3
Sangat Tidak Sesuai 1 4
2. Kisi-Kisi Skala Pola Asuh
Skala Pola Asuh berisi 108 item yang terdiri dari 54 item favorable yang menunjukkan
pernyataan positif dan 54 item unfavorable yang menunjukkan pernyataan negatif. Berikut ini
kisi-kisi skala pola asuh pada tabel 3.2.
Tabel.3.2 Kisi-kisi Skala Pola Asuh
Variasi Aspek Deskriptor Fav Unfav Total
Otoriter -Tuntutan
terhadap tingkah
laku yang
matang.
-Kendali dari
orang tua.
-Menentukan
tingkah laku yang
harus dilakukan
anak
-Orangtua yang
ketat dalam
1,2,3
29,30,31
6
–Komunikasi
antara orang tua
dan anak.
-Cara
pengasuhan atas
pemeliharaan
orang tua
terhadap anak
mengontrol anak
-Menggunakan
hukuman dalam
membentuk
perilaku anak.
-Komunikasi
berpusat pada
orangtua
-Orang tua
cenderung menjaga
jarak dengan anak.
-Orang tua kurang
responsif terhadap
kebutuhan anak.
4,5
6,7
8,9,10
11,12
13,14
32,33
34,35
36,37,38
39,40
41,42
4
4
6
4
4
Demokrati
s
-Tuntutan
terhadap tingkah
laku yang
matang.
-Kendali dari
orang tua.
-Menghargai
keputusan anak
untuk mandiri dan
mengharapkan
anak bertingkah
laku yang
bertanggung
jawab.
-Membuat aturan
yang jelas,
konsisten disertai
penjelasan.
-Orang tua
mendorong,
mengawasi anak
untuk mematuhi
peraturan yang
telah ditetapkan
15,16,17
18,19
20,21
43,44,45
46,47
48,49
6
4
4
-Komunikasi
antara orang tua
dan anak.
-Cara
pengasuhan atau
pemeliharaan
orang tua
terhadap anak.
bersama.
-Orang tua
mendengar
pendapat anak dan
mengikutsertakan
anak dalam
diskusi.
- Orang tua
mendukung minat
dan kegiatan anak.
- Pendekatan pada
anak untuk
memilih dan
melakukan suatu
pendekatan pada
anak bersifat
hangat.
22,23,24
25,26
27,28
50,51,52
53,54
55,56
6
4
4
Permisif -Tuntutan
terhadap tingkah
laku yang
matang.
-Kendali dari
orang tua
-Komunikasi
-Orang tua tidak
menuntut anak
untuk
menampilkan
perilaku tertentu
dan anak dibiarkan
menentukan sendiri
apa yang
dianggapnya baik.
-Toleran terhadap
perilaku dan
kehendak anak
-Orangtua
menuruti kehendak
dan perilaku anak.
-komunikasi lebih
berpusat pada
anak.
57,58,59
60,61
62,63
83,84,85
86,87
88,89
6
4
4
6
antar orang tua
dan anak
-Cara
pengasuhan atau
pemeliharaan
orang tua
terhadap anak.
-Orang tua
menerima anak apa
adanya.
-Orang tua kurang
berminat pada
aktivitas dan
pengalaman anak.
64,65,66
67,68
69,70
90,91,92
93,94
95,96
4
4
Dialogis -Tuntutan
terhadap tingkah
laku yang
matang
-Menghargai
keputusan anak
dan melatih anak
untuk
71,72,73
97,98,99
6
-Kendali orang
tua.
-Komunikasi
antara orang
tuadan anak.
-Cara
pengasuhan atau
pemeliharaan
orang tua
terhadap anak.
menyelesaikan
persoalan.
-Orang tua ikut
serta meyelesaikan
persoalan dalam
kehidupan anak.
-Orang tua saling
berdialog dengan
anak.
-orang tua
mengajak anak
agar terbiasa
menerima
konsekuensi secara
logis dalam setiap
tindakannya.
-orang tua melatih
anak untuk dapat
menyelesaikan
persoalan .
74,75,76
77,78,79
80,81,82
100,101,
102
103,104,
105
106,107,
108
6
6
6
Jumlah 54 54 108
1. Delinquency
Metode pengumpulan data yang digunakan berbentuk kuestioner. Metode pengumpulan data
yang digunakan berbentuk kuestioner. Kuestioner merupakan teknik pengumpulan data yang
efisiensi bila peneliti tahu dengan pasti variable yang diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan
dari responden (Sugiyono,2009). Pada delinquency alat ukurnya menggunakan teori
dari .”(Bynum & Thompson, 1996) berdasarkan skala likert. Kuestioner ini berisi 60 item, terdiri
dari 30 item favorable dan 30 item unfavorable.
Item-item tersebut berisi pertanyaan-pertanyaan berdasarkan Variable delinquency terdiri dua
dimensi yaitu Index Offenses dan Status Offensis, memiliki lima aspek yaitu Violen
Offenses,Property Crimes, Drug/ liquor and Public, Runaway and Truancy, dan
Ungovernability, underage liquor Violations and Miscellaneous category.
1. Teknik Skoring Skala Delinquency
Dalam pengukuran Delinquency pada penelitian ini menggunakan skala Delinquency dari likert,
yaitu jawaban setiap item instrumen mempunyai gradasi dari sangat positif sampai sangat
negatif, yang dapat berupa kata-kata sangat sesuai, sesui,ragu-ragu,tidak sesuai sampai sangat
tidak sesuai (Sugiyono,2009).
Rentang penilaian disetiap pernyataan, disediakan sejumlah alternatif tanggapan yang berjenjang
atau bertingkat. Namun dalam penelitian ini skala yang digunakan tidak menggunakan pilihan
jawaban yang bersifat ragu-ragu, dengan maksud untuk menghindari kecendenrungan untuk
memilih pilihan yang berada ditengah-tengah atau netral.
Terdapat empat pilihan alternatif jawaban dalam setiap pernyataan, yaitu: sangat sesuai (SS),
sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak sesuai dengan diri anda (STS). Jawaban Sangat
Sesuai (SS) dipilih bila subyek sepenuhnya mengalami dan merasakan isi pernyataan serta
menggambarkan keadaan dirinya. Jawaban Sesuai (S) dipilih bila mengalami dan merasakan
sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Tidak Sesuai (TS) bila tidak mengalami dan merasakan
sebagian besar isi pernyataan. Jawaban Sangat Tidak Sesuai (STS) bila sepenuhnya tidak
mengalami dan tidak merasakan isi pernyataan tersebut serta tidak menggambarkan keadaan
dirinya.
Penilaian terhadap item favorable adalah SS (Sangat Sesuai) = 4, S (Sesuai) = 3, TS (Tidak
Sesuai) = 2, STS (Sangat Tidak Sesuai) = 1. Penilaian terhadap item unfavorable adalah SS
(Sangat Sesuai) = 1, S (Sesuai) = 2, TS (Tidak Sesuai) = 3, STS (Sangat Tidak Sesuai = 4. Skor
Delinquency adalah skor total dari seluruh dimensi Delinquency. Semakin tinggi skornya berarti
subjek tersebut memiliki Delinquency yang positif. Sebaliknya, semakin rendah skornya berarti
subyek memiliki pola asuh yang negatif. Skoring skala delinquency dapat dilihat pada tabel 3.3
berikut ini :
Tabel 3. 3 Skoring Skala Delinquency
Respon Favorable Unfavorable
Sangat Sesuai 4 1
Sesuai 3 2
Tidak Sesuai 2 3
Sangat Tidak Sesuai 1 4
1. Kisi-Kisi Skala Delinquency
Skala delinquency berisi 60 item yang terdiri dari 30 item favorable yang menunjukkan
pernyataan positif dan 30 item unfavorable yang menunjukkan pernyataan negatif. Berikut ini