Top Banner
PERILA DALAM U DI KAWAS FAKUL PASCASA Unive UNIVERSITAS INDONESIA AKU ADAPTASI KOMUNITAS LOK UPAYA KONSERVASI KARBON H PASCA DA REDD+ SAN TAMAN NASIONAL MERU B KABUPATEN JEMBER TESIS NOVITA RINI WARDANI 1206298380 LTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLIT ARJANA ILMU KESEJAHTERAAN SOS DEPOK JUNI 2014 ersitas Indonesia KAL HUTAN BETIRI, TIK SIAL
248

PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Jul 19, 2015

Download

Science

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

PERILAKU ADAPTASIDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

PERILAKU ADAPTASI KOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN

PASCA DA REDD+DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,

KABUPATEN JEMBER

TESIS

NOVITA RINI WARDANI1206298380

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

DEPOKJUNI 2014

Universitas Indonesia

KOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

Page 2: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

PERILAKU ADAPTASIDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA

PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KEMISKINAN, DANTANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Universitas Indonesia

UNIVERSITAS INDONESIA

PERILAKU ADAPTASIKOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN

PASCA DA REDD+DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,

KABUPATEN JEMBER

TESISDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Kesejahteraan Sosial

NOVITA RINI WARDANI1206298380

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KEMISKINAN, DANTANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

DEPOKJUNI 2014

Universitas Indonesia

KOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KEMISKINAN, DANTANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

Page 3: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

ii

Universitas Indonesia

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Novita Rini Wardani

NPM : 1206298380

Tanda Tangan :

Tanggal : 19 Juni 2014

ii

Page 4: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER
Page 5: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

iv

Universitas Indonesia

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang, yang tiada henti memberi limpahan rahmat dan hidayat-Nya sehingga

penulisan tesis yang berjudul “Perilaku Adaptasi Komunitas Lokaldalam Upaya

Konservasi Karbon Hutan Pasca DA REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru

Betiri, Kabupaten Jember”dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan tesis ini

disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan S2 pada Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan awal wujud kecintaan

saya dengan hutan sebagai kekayaan alam Indonesia dan masyarakat menjadi

bagian pentingnya.

Pada kesempatan ini tidak lupa ucapan terima kasih dihaturkan kepada

Bapak Sofyan Cholid, S.Sos.,M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberi

pengarahan dan bimbingan demi kelancaran dan kesempurnaan penulisan tesis ini

sehingga menginspirasi saya. Tidak lupa ucapan terima kasih juga dihaturkan

kepada :

1. Ayahanda (Sitrin Suhartono, S.Sos., M.Si.) dan ibunda (Siti Hafifa), adikku

tersayang Dinda Mukarromah, serta eyang putriyang selalu memberiku

semangat dan kekuatan doa,serta keluarga di Jember terutama Om Joni

Dharmawan yang selalu setia menemani pengumpulan data penelitian;

2. Dra. Triyanti Anugrahini, M.Si, selaku penguji ahli yang telah menyediakan

waktu untuk menguji, membimbing, dan memberi masukan dalam

memperbaiki penelitian dan penulisan tesis ini;

3. Dra. Wisni Bantarti, M.Kes,selaku penguji ahli yang telah bersedia

meluangkan waktu untuk memberi masukan dan perbaikan dalam penelitian

tesis;

4. Arief Wibowo, S.Sos, S.Hum, M. Hum, selaku penguji ahli yang telah

meluangkan waktu dan kecermatannya dalam memastikan ketepatan teknis

penulisan tesis;

5. Ir. Ari Wibowo, M.Sc, selaku koordinator Project DA REDD+ Kawasan

TNMB – Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan

iv

Page 6: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

v

Universitas Indonesia

Kebijakan, Kementerian Kehutanan yang telah bersedia memberikan waktu

untuk berdiskusi dan memberi pengarahan mengenai kegiatan DA REDD+;

6. Segenap Staf Balai TNMB yang telah mengijinkan saya melakukan penelitian

dan memberi kemudahan dalam pengurusan administrasi, beserta cerita

pengalaman di lapangan;

7. NGO KAIL dan LATIN (Bogor) yang telah bersedia meluangkan waktu dan

memberikan banyak ilmu tentang praktik pemberdayaan masyarakat di

TNMB;

8. Dr. Jatna Supriatna (Chairman of RCCC UI) dan CEES-Collumbia University

yang telah memberi saya kesempatan beasiswa untuk mengikuti short course

Innovation Financial Mechanism to Conserve Indonesia’s Forest yang begitu

bermanfaat untuk penelitian ini;

9. Muhammad Farid (Asisten Deputi Operasional REDD+ / BP REDD+) yang

sudah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi banyak hal tentang

REDD+ dan memberi masukan untuk penelitian ini;

10. Feri Johana (ICRAF) yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk

memberi masukan mengenai penelitian ini;

11. Bapak Wahyu Giri yang telah memberikan saya pengenalan lebih jauh soal

TNMB beserta kekayaan keanekaragaman hayati, harimau jawa, serta buku

yang telah diberikan kepada saya yangbegitu bermanfaat;

12. Segenap keluarga Divisi Kimtaru, PT. Virama Karya yang telah memberi ijin

dan kelonggaran waktu untuk saya pribadi melanjutkan studi S2;

13. Rekan-rekan S2 Kessos UI angkatan 2012 yang selalu memberi dukungan

moril dan motivasi, spesial untuk kakak-kakakku Alita, Andreas, Eko, dan

Teja yang selalu jadi penghibur, penyelamat dan penyemangatku, sukses

untuk kita semua;

14. Keluarga lantai 8,5 (Mbak Epoy, Mbak Titin, Pak Galih, Mbak Luluk, Arif,

Mas Yayat, Pak Lukman, Mbak Diana dan Ozi) yang sudah memberi saya

kepercayaan diri, semangat untuk selalu maju serta pelajaran mengenai hutan

dan masyarakat, bangga mengenal kalian;

15. Mas Yunus Helmi, terima kasih spesial untuk dukungan moril, tenaga, waktu

dan doanya;

v

Page 7: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

vi

Universitas Indonesia

16. Sahabat kecilku yang selalu ada dan mendukungku, Eky, Kunthi, Femmy,

dan Yayik, bersyukur sekali memiliki kalian;

17. Bapak Desy Suyamto dan Ery Nugraha yang telah menginspirasi saya untuk

mengenal hutan dan REDD+, terima kasih atas kesempatannya telah

mempercayai saya untuk bergabungdalam SG Consulting Korindo Group dan

memberi saya kepercayaan baru untuk coba mengenal hutan;

18. Kelompok masyarakat desa penyangga TNMB di Desa Curahnongko, Desa

Andongrejo, dan Desa Wonoasri; Pemerintahan Desa; dan Petugas Resort

atas kesediaan untuk meluangkan waktu membantu kelancaran penelitian ini

serta sambutan hangat;

19. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial beserta Staf

Administrasi yang telah memberi kemudahan dan kelancaran dalam

pengurusan administrasi;

20. Serta pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah

membantu proses kelancaranpenelitian ini.

Menyadari bahwa penulisan tesis ini belum sempurna, oleh karena itu

penulis mengharap masukan berupa saran dan kritik dari rekan-rekan pembaca

agar penulisan tesis ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi perkembangan

ilmu pengetahuan.

Depok, Juni 2014

Penulis

vi

Page 8: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER
Page 9: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

viii

Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Novita Rini WardaniNPM : 1206298380Program Studi : Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial

Kekhususan Pengembangan Masyarakat, Kemiskinan, danTanggung Jawab Sosial Perusahaan

Judul Tesis : Perilaku Adaptasi Komunitas Lokal dalam UpayaKonservasi Karbon Hutan Pasca DA REDD+ di KawasanTaman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Jember

Penelitian ini membahas tentang perilaku adaptasikomunitas lokal di 3

desa penyangga kawasan Taman Nasional Meru Betiri setelah kegiatan DA

REDD+ yang difokuskan pada dampak perilaku adaptif dan aksi adaptasi.

Pendekatan penelitian mempergunakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Hasil

menunjukkan bahwa adanya intervensi sosial pada Desa Curahnongko dan

Andongrejo melalui program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh

LSM lokal mampu meningkatkan perilaku adaptif dan aksi adaptasi komunitas

lokal dalam upaya konservasi karbon hutan. Berbeda dengan Desa Wonoasri yang

tidak mendapat intervensi sosial dari LSM lokal yang kegiatan pemberdayaan

masyarakatnya tidak berjalan optimal.

Kata Kunci : Perilaku adaptif, Adaptasi, DA REDD+, Konservasi, Intervensi

sosial

viii

Page 10: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

ix

Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Novita Rini WardaniProgramm : Master Degree of Social Welfare Science

Community Development, Poverty, and Corporate SocialResponsibility

Tittle : The Local Adaptation Behaviourin Forest Carbon ConservationFollowing the DA REDD+ Implementation in Meru BetiriNational Park, District of Jember

This research is to describe the local adaption behavior in 3 villagesbuffering in Meru Betiri National Park following the DA REDD+ implementationwhich is concern on adaptive behavior impact and adaptation action. This researchuses a qualitative approach with descriptive type. The result shows theeffectiveness of social intervention by local NGO in Curahnongko andAndongrejo through the community development program can empower theadaptive behavior and local adaptation action to the forest carbon conservation.Different with Wonoasri which has no social intervention through the communitydevelopment program from the local NGO not optimal implemented.

Keywords :Adaptive Behaviour, Adaptation, DA REDD+, Conservation, SocialIntervention

ix

Page 11: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

x

Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii

UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ vii

ABSTRAK .......................................................................................................... viii

ABSTRACT.......................................................................................................... ix

DAFTAR ISI.......................................................................................................... x

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Permasalahan...................................................................................... 6

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 10

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 10

1.5 Metode Penelitian............................................................................. 11

1.5.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................. 11

1.5.2 Lokasi Penelitian..................................................................... 12

1.5.3 Teknik Pemilihan Informan .................................................... 13

1.5.5 Teknik Pengumpulan Data...................................................... 17

1.5.6 Teknik Analisis Data............................................................... 19

BAB 2 PEMBANGUNAN HUTAN BERKELANJUTAN, KONSERVASI,

DAN KEMAMPUAN ADAPTIF......................................................... 21

2.1 Pembangunan Hutan Berkelanjutan................................................. 21

2.1.1 REDD+.................................................................................... 22

2.2 Kegiatan Konservasi Hutan.............................................................. 31

2.2.1 Pengertian Kawasan Konservasi ............................................. 31

2.2.2 Peran Kawasan Konservasi dalam Kesejahteraan Masyarakat32

2.3 Kemampuan Adaptif (Adaptive Capacity)....................................... 36

Page 12: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

xi

Universitas Indonesia

2.3.1 Pemahaman Kemampuan Adaptif .......................................... 36

2.3.2 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)............................. 42

2.4 Konsep Pemikiran ............................................................................ 49

BAB 3 KEGIATAN DEMONSTRATION ACTIVITY (DA) REDD+ DI

KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI ......................... 52

3.1 Gambaran Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri .............. 52

3.1.1 Sejarah Kawasan Taman Nasional Meru Betiri ...................... 52

3.1.2 Keadaan Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri ........ 53

3.2 Kegiatan DA REDD+ di Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru

Betiri ................................................................................................ 63

3.2.1 Peraturan Perundangan untuk Kegiatan di Kawasan Konservasi

............................................................................................... 63

3.2.2 Pelaksanaan Kegiatan DA REDD+ di TNMB........................ 65

3.2.3 Manfaat Kegiatan DA REDD+ DI TNMB ............................. 76

BAB 4 PERILAKU ADAPTASIKOMUNITAS LOKAL DALAM UPAYA

KONSERVASI KARBON HUTANPASCA DA REDD+ DI

KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI KABUPATEN

JEMBER............................................................................................... 79

4.1Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA

REDD+ ............................................................................................ 79

4.1.1 Asset Base (Aset Dasar) .......................................................... 80

4.1.2Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi) ..... 89

4.1.3 Innovation (Inovasi) ................................................................ 98

4.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan

Persamaan Hak)................................................................... 105

4.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And

Governance (Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan

Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan) ...................... 110

4.2Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+

....................................................................................................... 119

4.2.1 Kelompok petani rehabilitasi ................................................ 123

4.2.2 Kelompok wanita .................................................................. 127

4.2.3 Aparatur desa ........................................................................ 128

4.2.4 LSM KAIL............................................................................ 130

4.2.5 Polisi hutan/resort ................................................................. 132

Page 13: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

xii

Universitas Indonesia

4.2.6 Balai TNMB.......................................................................... 132

BAB 5 PEMBAHASAN ................................................................................. 135

5.1 Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA

REDD+ .......................................................................................... 137

5.1.1 Asset Base (Aset Dasar) ........................................................ 137

5.1.2 Knowledge And Information (Pengetahuan Dan Informasi). 144

5.1.3 Innovation (Inovasi) .............................................................. 148

5.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan

Persamaan Hak)................................................................... 151

5.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And

Governance (Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan

Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan) ...................... 153

5.2 Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+

....................................................................................................... 156

5.2.1 Kelompok petani rehabilitasi ................................................ 158

5.2.2 Kelompok wanita .................................................................. 159

5.2.3 Aparatur Desa........................................................................ 160

5.2.4 LSM KAIL............................................................................ 160

5.2.5 Polisi Hutan/Resort ............................................................... 162

5.2.6 Balai TNMB.......................................................................... 162

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 164

6.1 Kesimpulan .................................................................................... 164

6.2 Saran............................................................................................... 167

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 168

LAMPIRAN

Page 14: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

xiii

Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Rata-Rata Deforestasi dari Tahun 1997-2007 untuk Total PerubahanTutupan Hutan di Taman Nasional Meru Betiri ................................ 8

Tabel 1.2 Pemilihan Informan.......................................................................... 14

Tabel 4. 1 Ringkasan Kemampuan Adaptif Komunitas Lokal Desa PenyanggaPasca DA REDD+.......................................................................... 113

Tabel 4. 2 Ringkasan Kemampuan Adaptif Kelompok LSM, PolisiHutan/Resort dan Balai TNMB...................................................... 117

xiii

Page 15: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

xiv

Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia................. 3Gambar 1.2 Klasifikasi Analisis Penutup Lahan Kawasan Taman Nasional

Meru Betiri ...................................................................................... 7

Gambar 2.1 Skema Strategi REDD+ di Indonesia............................................ 24Gambar 2.2 Safeguard dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di

Indonesia ....................................................................................... 35Gambar 2.3 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)................................... 42

Gambar 3.1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Curahnongko ......................... 57Gambar 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Desa Andongrejo............................ 59Gambar 3.3 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Wonoasri............................. 61

Gambar 4. 1 Lahan rehabilitasi di Desa Curahnongko ...................................... 80

Gambar 4. 2 Perkebunan Karet sebelum memasuki Lahan Rehabilitasi di Desa

Wonoasri........................................................................................ 81

Gambar 4.3 Lahan Rehabilitasi di Desa Wonoasri ........................................... 82

Gambar 4.4 Tanaman peje yang banyak dikembangkan oleh petani rehabilitasi .

..................................................................................................... 101

Gambar 4.5 Pendataan masyarakat yang memiliki lahan berbatasan langsung

dengan Zona Rimba..................................................................... 104

Gambar 4.6 Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa

Andongrejo .................................................................................. 108

Gambar 4.7 Lahan Demplot 7 Ha di Desa Curahnongko................................ 131

Gambar 5.1 Hubungan keterkaitan asset base, information and knowledge, daninnovation dalam membentuk kemampuan adaptif .................... 148

Gambar 5.2 Komponen penting dalam Aksi Adaptasi ................................... 163

xiv

Page 16: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Universitas Indonesia

BAB 1PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Globalisasi dan liberalisasi pasar seiring perkembangannya telah

membawa hutan ke dalam pasar dan investasi global. Dampak nyata telah

dirasakan oleh Indonesia sebagai salah satu negara pemilik hutan tropis terbesar

ketiga di dunia yaitu ditandai dengan meningkatnya laju deforestasi1 dan

degradasi2 hutan. Menurut Data World Resources Institute (WRI) pada tahun 2003

menunjukkan bahwa deforestasi berkontribusi sekitar 18% emisi global, 75% nya

berada di negara berkembang, dan diperkirakan akan terus meningkat bila tidak

ada intervensi kebijakan baik nasional maupun internasional (Masripatin, 2012).

Hal ini berkaitan erat dengan posisi negara Indoensia yang berada dalam tahap

pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang cukup signifikan. Sehingga hutan

menjadi salah satu sumberdaya potensial yang dapat menjamin keberlangsungan

perekonomian untuk terus maju, tumbuh dan berkembang.

Di sisi lain, keberadaan hutan memiliki peran penting terutama dalam

menjaga kestabilan iklim dunia. Sejumlah klaim menyebutkan bahwa terjadinya

perubahan iklim akibat pemanasan global, salah satunya dipicu oleh tingginya

emisiCO2akibat deforestasi dan degradasi hutan. Di tingkat global, menurut Stern

(2007) dalam Wibowo (2012) menyebutkan bahwa kontribusi sektor perubahan

penutupan lahan dan kehutanan (Land-Use, Land-Use Change, and

ForestrySector/LULUCF) menyumbang emisi sebesar 18%, sedangkan di

1Menurut Kementerian Kehutanan, deforestasi didefinisikan sebagai akibat langsung dari

pengaruh manusia dengan mengkonversi lahan berhutan menjadi lahan yang tidak berhutan,dimana penyebab deforestasi terjadi secara terencana (lahan hutan konversi dan arealpenggunaan lain (APL) diubah menjadi penggunaan lahan yang lain misalnya pembangunankelapa sawit) dan tidak direncanakan (kebakaran, penyerobotan lahan, penebangan liar danpenebangan yang tidak mengikuti prinsip-prinsip kelestarian).2Menurut Mahmudin (2009) dalam Iskandar (2011), deforestasi yang tidak direncanakan

termasuk ke dalam degradasi hutan. Dimana penyebab utama degaradasi hutan hujan tropisadalah manusia. Aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu,penambangan di wilayah hutan, agrikultur, konstruksi jalan raya, perkampungan, danpeternakan.

1

Page 17: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

2

Universitas Indonesia

Indonesia sendiri sektor LULUCF adalah penyumbang emisi terbesar yaitu 48%

dari total emisi nasional (KLH, 2009).

Pada Tahun 2007 tepatnya pada Agenda Conferences of Parties (COP) ke-

13di Indonesia, yaitu Bali Action Plan yang merupakan asal mula dari tercetusnya

Reducing Emission from Deforestation and Degradation/REDD, yang kemudian

pada Tahun 2010 dalam COP-16 di Cancun, Meksiko telah melahirkan sebuah

kepercayaan baru sejumlah negara untuk kembali bekerja dan berpartisipasi dalam

upaya mengatasi perubahan iklim global yang telah terjadi. Perjanjian Cancun

menjadi titik tolak bagi masuknya kesepakatan bahwa hutan tropis menjadi bagian

penting sekaligus agenda utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim global

melalui skema REDD+.

Beberapa negara dan masyarakat internasional telah mengupayakan

pembangunan dan penerapan mekanisme REDD+ untuk mencegah,

memperlambat, menghentikan dan memulihkan kondisi tutupan hutan agar

terhindarkan dari deforestasi dan degradasi yang berkontribusi nyata pada jumlah

emisi karbon yang dikeluarkan. Di dalam negara‑negara ini, pihak‑pihak yang

telah menderita kerugian ekonomi (mantan pengguna dan penerima manfaat

hutan) dan pelindung atau pelestari hutan saat ini bisa diberi kompensasi atas

kehilangan yang dideritanya atau menerima imbalan atas tindakan yang

dilakukannya. Pembayaran kompensasi atau imbalan dapat berasal dari

sumber‑sumber internasional atau nasional dan akan disalurkanmelalui

lembaga‑lembaga nasional. Pendanaan dari sektor swasta juga dapat langsung

disampaikan kepada penerima manfaat melalui mekanisme berbasiskan pasar

(Streck & Parker, 2013). Dalam skema ini keterlibatan negara maju dan negara

berkembang sangat diperlukan dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.

Negara maju sebagai emitter Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari kegiatan

industri, diwajibkan untuk memberi insentif bagi negara berkembang yang

berupaya menjaga dan melindungi kawasan hutan untuk menjamin penyerapan

emisi karbon yang terjadi di dunia. Sehingga, dalam perundingan iklim

internasional, REDD+ menjadi bagian dari Aksi Mitigasi Nasional yang Tepat

(Nationally Appropriate Mitigation Actions/NAMAs) yang diharapkan dapat

Page 18: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

mendorong pembangunan

dianggap sebagai celah khususnya bagi negara berkembang untuk berkontribusi

aktif dalam perlindungan kawasan hutan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang peduli terhadap upaya

mitigasi perubahan iklim glob

Kaca. Dengan dikeluarkannya

Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

yaitudalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada

Conferences of Parties

Climate Change (UNFCCC) dan hasil COP

Cancun serta memenuhi komitmen Pemerintah Ind

di Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha

sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020

dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (

disusun langkah-langkah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.

Gambar 1.1 Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia

Sumber : Kementerian Kehutanan, 2011

Peraturan tersebut merupakan suatu wujud komitmen Pemerintah

Indonesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Diawali oleh

Penandatanganan Letter of Intent

Pemerintah Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010 mengenai upaya pengurangan

Universitas Indonesia

mendorong pembangunan berkarbon rendah. Adanya skema REDD+ kemudian

dianggap sebagai celah khususnya bagi negara berkembang untuk berkontribusi

aktif dalam perlindungan kawasan hutan.

Indonesia merupakan salah satu negara yang peduli terhadap upaya

mitigasi perubahan iklim global melalui usaha pengurangan emisi Gas Rumah

Kaca. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61

Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada

Conferences of Parties (COP) ke-13 United Nations Frameworks Convention on

(UNFCCC) dan hasil COP-15 di Copenhagen dan COP

Cancun serta memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam pertemuan G

di Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha

sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020

dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (Bussines As Usual/BAU), maka perlu

langkah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.

Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia

Kementerian Kehutanan, 2011

Peraturan tersebut merupakan suatu wujud komitmen Pemerintah

nesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Diawali oleh

Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010 mengenai upaya pengurangan

3

Universitas Indonesia

berkarbon rendah. Adanya skema REDD+ kemudian

dianggap sebagai celah khususnya bagi negara berkembang untuk berkontribusi

Indonesia merupakan salah satu negara yang peduli terhadap upaya

al melalui usaha pengurangan emisi Gas Rumah

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61

Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada The

United Nations Frameworks Convention on

15 di Copenhagen dan COP-16 di

onesia dalam pertemuan G-20

di Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha

sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020

/BAU), maka perlu

langkah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.

Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia

Peraturan tersebut merupakan suatu wujud komitmen Pemerintah

nesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Diawali oleh

(LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010 mengenai upaya pengurangan

Page 19: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

4

Universitas Indonesia

emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan serta konversi lahan

gambut. Setelah penandatanganan tersebut, kemudian Pemerintah Indonesia

membuat program persiapan REDD+ di beberapa kawasan hutan yang memiliki

potensial cadangan karbon tinggi.

Salah satu agenda Pemerintah sebagai wujud kontribusi aktif dan

komitmen pemerintah mengurangi emisi karbon adalah dengan menunjuk

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai salah satu pilot

projectDemonstration Activity (DA) REDD+ khususnya untuk kawasan hutan

konservasi di Pulau Jawa.Kegiatan DA merupakan komponen penting dalam

menciptakan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat khususnya terkait

dengan strategi Readiness Phase di Indonesia. Khusus untuk DA REDD+ di

kawasan TNMB dilaksanakan sebagai wujud mendukung kontribusi pengurangan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon

hutan melalui peningkatan stok karbon hutan dan partisipasi masyarakat dalam

konservasi serta pengelolaan kawasan hutan. TerselenggaranyaDA REDD+ di

Taman Nasional Meru Betiri dilakukan atas kerjasama Pemerintah Indonesia

(Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan

serta Balai Taman Nasional Meru Betiri dan Lembaga Alam Tropika

Indonesia/LATIN) yang dibiayai oleh International Tropical

TimberOrganization/ITTO (PD 519/08 Rev 1 (F) dengan kontribusi dari

Perusahaan Jepang yaitu Seven and I Holding Company.

Berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 277/Kpts-

VI/1997, tanggal 23 Mei 1997, kawasan Meru Betiri ditetapkan sebagai Taman

Nasional, dimana dengan statusnya sebagai Taman Nasional akses masyarakat

terhadap hutan menjadi terlarang. Dengan demikian, akses masyarakat yang

tinggal disekitar kawasan desa penyangga semakin terbatas. Hutan TNMB sebagai

“state property” atau “milik negara” dimana pemerintah menguasai dan mengatur

sumberdaya alam dalam arti yang seluas-luasnya. Negara menjadi aktor paling

ekstensif dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam karena sifatnya

sebagai badan publik yang melingkupi seluruh warga negaranya(Arizona, 2008).

Dengan demikian, hutan menjadi milik eksklusif dan bukan menjadi milik umum.

Page 20: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

5

Universitas Indonesia

Artinya masyarakat dilarang untuk mengakses segala sumberdaya hutan yang ada

di dalam kawasan TNMB.

Namun, sejak terjadinya perambahan besar-besaran terhadap area hutan

jati yang terjadi pada tahun 1997/1998, maka kemudian tahun 1999 pihak

manajemen TNMB menjadikan area tersebut sebagai zona rehabilitasi.Di dalam

zona rehabilitasi, dilakukan pemulihan tutupan hutan dimana melibatkan peran

serta masyarakat sekitar dalam proses rehabilitasi kawasan seluas 4.000 Ha.

Adanya lahan rehabilitasi dianggap dapat memberi keuntungan bagi pihak

pemerintah selaku penanggungjawab kawasan serta masyarakat melalui

pengembangan sistem agroforestry.Pengelolaan hutan melalui partisipasi

masyarakat menjadi solusi optimum terhadap pengelolaan sumberdaya hutan

(Arizona, 2008). Dimana Lynch dan Talbott (1995) dalam Arizona (2008)

menyebutkan bahwa mempromosikan sejumlah kunci untuk manajemen hutan

berkelanjutan yang disebut community based tenuremenjadi slaah satu kunci

untuk menghidupkan peran masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan.

Sejak itulah kemudian, pengelolaan TNMB mengakui masyarakat sebagai bagian

dari upaya kegiatan pelestarian hutan.

TNMB dipandang sebagai kawasan representatif untuk kawasan

konservasi yang memiliki banyak tantangan dalam upaya pengurangan emisi dan

peningkatan karbon stok dimana hal tersebut sangat berkaitan erat dengan upaya

menjamin kesejahteraan masyarakat khususnya yang tinggal disekitar desa

penyangga. Masyarakat desa penyangga TNMB memiliki ketergantungan

terhadap sumberdaya hutan. Akses yang diberikan oleh pihak manajemen TNMB

kepada masyarakat untuk mengelola lahan rehabilitasi menjadi hal penting dalam

pengelolaan hutan melalui strategi pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.

Upaya ini sebagian dapat diimplementasikan melalui program intervensi

DA REDD+, dimanadalam praktiknyaturut melibatkan partisipasi masyarakat

khususnya yang tinggal disekitar desa penyangga. Hal ini diupayakan dapat

meningkatkan peran serta masyarakat dalam konservasi karbon hutan melalui aksi

nyata pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi serta meningkatkan

cadangan karbon hutankhususnya di zona rehabilitasi.Hakikatnya keberhasilan

Page 21: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

6

Universitas Indonesia

DA REDD+ akan berjalan sesuai harapan jika ide-ide konservasi sejalan dan

selaras dengan partisipasi masyarakat dan strategi pemberdayaan masyarakat.

Sehingga, upaya mitigasi global untuk menanggulangi perubahan iklim dapat

terwujud dengan baik bila disertai upaya adaptasi seluruh komponen masyarakat

baik secara langsung maupun tidak langsung yang memiliki hubungan keterkaitan

dengan hutan.

1.2 Permasalahan

Hutan memiliki peran penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim

global, salah satunya melalui penguranganemisi dan peningkatan kapasitas

serapan Gas Rumah Kaca. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer

kebiosfer daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan akan sangat

menentukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau

pengemisi karbon (source of emission)(Wibowo, Ari, 2010). Sebagai langkah

awal sebelum tahap pengimplementasian REDD+ pasca 2012, pemerintah telah

menyusun agenda dalam strategi nasional penerapan DA REDD+ dalam

Readiness Phase dimana kegiatan ini berlangsung dari Tahun 2009 hingga 2012

di sejumlah kawasan hutan yang potensial untuk meningkatkan kapasitas

penyerapan karbon dan pengurangan emisi. Strategi ini dimaksudkan untuk

memberikan petunjuk (guidance) kepada seluruh stakeholder yang terlibat baik

langsung maupun tidak langsung dalam upaya mengurangi dan menangani

penyebab deforestasi dan degradasi hutan sebagai langkah untuk menjaga dan

meningkatkan stok karbon.

Taman Nasional Meru Betiri menjadi salah satu kawasan yang termasuk

dalam DA REDD+ melaluikegiatan “Konservasi Hutan TropisUntuk Pengurangan

Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Peningkatan Stok Karbon”

khususnya untuk kawasan konservasi yang potensial di wilayah Pulau Jawa.

Kawasan ini memiliki sejarah yang cukup unik terkait dengan kejadian deforestasi

dan degradasi hutan yang pernah ada. Sejak ditetapkannya status Meru Betiri

sebagai Kawasan Taman Nasional melalui diterbitkannya Keputusan Menteri

Kehutanan No. 277/Kpts/DJ-V/1997 tanggal 23 Mei 1997, hal ini berarti

pengelolaankawasan Taman Nasional Meru Betiri diarahkan pada fungsi

Page 22: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

7

Universitas Indonesia

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatannya secara lestari.

Sebelumkegiatan DA REDD+ berlangsung Tahun 2010-2013, telah

dilakukan analisis mengenai kegiatan deforestasi dan degradasi hutan.

Berdasarkan hasil analisis perbandingan data penginderaan jauh Tahun 1997-

2010 khususnya dari perubahan penggunaan lahan (Gambar 1.1), potensi

deforestasi di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri menujukkan bahwa laju

deforestasi cukup rendah dengan laju rata-rata per tahunnya mencapai 0,065%

(Tabel 1.1) dengan laju deforestasi paling tinggi terjadi pada tahun 1997 – 2001

yaitu sebesar 0,30%.Laju deforestasi pada tahun 2001 – 2005 sebesar 0,07% dan

semakin berkurang pada tahun 2005 – 2007 (-0,08%); dan tahun 2007 – 2010 (-

0,03%).Laju deforestasi ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan

kegiatan degradasi hutan yang cenderung lebih intensif. Kecenderungan terjadinya

degradasi hutan sebelum adanya kegiatan DA REDD+ tergolong sangat tinggi, hal

ini juga seringkali dikaitkan dengan keberadaan masyarakat yang tinggal di

sekitar kawasan hutan baik yang berinteraksi langsung maupun tidak langsung

dengan hutan.

Klasifikasi tutupan lahan TNMB, citra SPOT 1997(Irawan dan Purnomosiddy, Universitas Jember,2010)

Klasifikasi tutupan lahan TNMB, citra ALOS 2007(Irawan dan Purnomosiddy, Universitas Jember,2010)

Gambar 1.2 Klasifikasi Analisis Penutup Lahan Kawasan Taman Nasional Meru Betiri

Sumber : Arifanti, Bainnaura, & Ginoga, 2010

Page 23: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

8

Universitas Indonesia

Tabel 1.1 Rata-Rata Deforestasi dari Tahun 1997-2007 untuk Total PerubahanTutupan Hutan di Taman Nasional Meru Betiri

Periode Laju rata-rata deforestasi(%)

1997-2001 0,30

2001-2005 0,07

2005-2007 -0,08

2007-2010 -0,03

Total rata-rata deforestasi 0,065

Sumber : Arifanti, Bainnaura, dan Ginoga, 2010

Kegiatan DA REDD+ dikembangkan menjadi salah satu bentuk intervensi

dalam upaya perlindungan hutan TNMB sebagai kawasan konservasi. Selama ini,

hubungan masyarakat desa penyangga dengan hutan TNMB memiliki hubungan

yang erat dimana sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada

hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Oleh karena itu, kegiatan DA REDD+

diimplementasikan sebagai bentuk upaya meningkatkan kemampuan adaptif dan

aksi adaptasi masyarakat terkait bagaimana memanfaatkan hasil hutan dengan

bijak tanpa melakukan pengrusakan sekaligus kesejahteraan masyarakat terjamin.

Namun, pasca DA REDD+ berlangsung kegiatan degradasi yang

dilakukan oleh masyarakat masih saja ditemui di kawasan hutan TNMB.

Sejumlah peristiwa illegal logging dalam skala besarmasih sering ditemui.

Menurut pemberitaan daam situs resmi TNMB, pada Bulan Februari, setelah

diadakan operasi gabungan tertutup, Polhut TNMB telah berhasil mengamankan

sebuah truk yang berisi muatan kayu olahan yang diduga berasal dari Resort

Andongrejo SPTN Wilayahah II Ambulu sebanyak 351 batang dengan berbagai

jenis kayu serta mengamankan pelaku yang terlibat langsung dalam kegiatan

tersebut. Operasi ini dilakukan secara tertutup untuk memutus mata rantai illegal

logging.

Berbagai cerita dari masyarakat setempat juga mengemukakan bahwa

kejadian illegal logging masih saja sering terjadi khususnya di kawasan zona

rimba. Pelakunya adalah kelompok masyarakat yang tinggal disekitar desa

Page 24: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

9

Universitas Indonesia

penyangga maupun di luar desa penyangga yang memiliki kesadaran dan

kepedulian rendah terhadap kelestarian hutan. Motif melakukan illegal logging

tidak lain adalah karena materi. TNMB memiliki keanekaragaman flora yang

beraneka ragam dengan pepohonan tua berkualitas tinggi. Dimana setiap satu

pohonnya memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan bagi keuntungan ekonomi

masyarakat. Hal ini dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai sumber ekonomi

strategis yang menjanjikan.

Namun, masyarakat yang tinggal di sekitar desa penyangga tidak

kesemuanya terlibat dalam kegiatan illegal logging, sebagian masyarakat juga

sudah menyadari peran dan fungsi hutan seiring dengan kegiatan DA REDD+

yang telah dilakukan sepanjang tahun 2010 hingga 2013. Masyarakat mulai

menyadari peran dan fungsi hutan sehingga secara tidak langsung tertanam pada

jiwa masyarakat bahwa hutan telah menjadi bagian penting dalam menjaga

keseimbangan ekosistem lingkungan yang mereka huni. Begitu pula sebaliknya,

masyarakat juga menyadari bahwa perannya begitu penting dalam menjaga

kelestarian hutan demi kesejahteraan masyarakat desa penyangga dan

pembangunan hutan yang berkelanjutan. Manfaat yang dirasakan mungkin tidak

dapat dirasakan secara langsung, namun secara tidak langsung masyarakat sudah

mulai merasakan mengenai perubahan yang terjadi pada kondisi di lingkungan

sekitar tempat tinggalnya ketika pepohonan di hutan semakin gundul.

Kegiatan DA REDD+ yang dilakukan di TNMB melibatkan multi

stakeholder dengan harapan bahwa semakin beragamnya komponen masyarakat

yang terlibat, maka semakin besar efek positif yang akan diperoleh dari rangkaian

kegiatan DA REDD+ maka upaya mewujudkan kelestarian kawasan hutan TNMB

dapat berhasil dengan baik.Permasalahan umum yang ingin diteliti adalah

mengenai dampak kegiatan DA REDD+. Secara khusus penelitian ini akan

difokuskan pada dua pertanyaan penelitian yaitu :

1. Bagaimana kemampuan adaptif komunitas lokal desa penyangga pasca DA

REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi

karbon hutan?

Page 25: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

10

Universitas Indonesia

2. Bagaimana aksi adaptasi komunitas lokaldesa penyangga pasca DA REDD+

di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon

hutan?

1.3 Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini, memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui

dampak kegiatan DA REDD+ di TNMB yang kemudian akan dijabarkan dalam

tujuan khusus secara detail yaitu:

1. Mengetahui kemampuan adaptifkomunitas lokal desa penyangga pasca DA

REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi

karbon hutan

2. Mengetahui aksi adaptasi komunitas lokaldesa penyangga pasca DA REDD+

di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon

hutan

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini yaitu :

1. Manfaat terhadap ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan upaya

pendekatan dan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan hutan

berkelanjutan melalui skema REDD+ serta dapat digunakan sebagai dasar

bagi penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak pengelola Taman

Nasional Meru Betiri danPusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim

dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian

Kehutanan (sebagai pelaksana DA REDD+) sebagai bahan evaluasi

penyelenggaraan kegiatan DA REDD+ di kawasan konservasi sehingga dapat

digunakan sebagai masukan untuk menentukan kebijakan pengelolaan karbon

Page 26: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

11

Universitas Indonesia

hutan dalam rangka mendukung pembangunan hutan berkelanjutan dengan

melibatkan partisipasi masyarakat khususnya di desa penyangga.

1.5 Metode Penelitian

1.5.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif melalui

pendekatan kualitatif.

“Qualitative reserachers see most areas of social life as instrinsically

qualitative. To them, qualitative data are not imprecise or deficient; they

are highly meningful. Instead of trying to convert social life into variables

or numbers, qualitative researchers borrow ideas from the people they

study and place them within the context of natural setting. (Neuman,

2006)”.

Dalam penelitian kualitattif, seorang peneliti harus terlibat dalam interaksi

dengan realitas yang diteliti. Menurut Somantri (2005), keterlibatan dan interaksi

peneliti kualitatif dengan realitas yang diamatinya merupakan salah satu ciri

mendasar dari metode penelitian kualitatif. Jary dan Jary (1991) dalam Somantri

(2005) mendefinisikan qualitative research techniques sebagai setiap penelitian

dimana ilmuwan sosial mencurahkan kemampuan sebagai pewawancara atau

pengamat empatis dalam rangka mengumpulkan data yang unik mengenai

permasalahan yang ia investigasi.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang banyak digunakan untuk

hal yang berkaitan dengan fenomena sosial yang tersaji dalam balutan instrinsik.

Data yang diperoleh melalui penelitian kualitatif bersifat natural dan sifatnya

dalam serta peneliti dapat mempelajari dan turut larut dalam kondisi yang dialami

oleh informan secara alami apa adanya. Sehingga peneliti dapat memperoleh

informasi yang akurat melalui wawancara mendalam dengan informan terpilih.

Melalui sudut pandang orang ketiga, penelitian ini diharapkan dapat

menggali dan memahami serangakain proses, peristiwa yang disajikan oleh

informan. Keterlibatan peneliti dalam berinteraksi dengan informan akan

membantu proses konstruksi realitas sehingga dapat memahami makna yang

Page 27: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

12

Universitas Indonesia

terdapat dalam serangkaian proses, peristiwa dan otensitas dari tujuan penelitian

yang diharapkan.

Dalam penelitian ini, tidak digunakan hipotesis karena pada dasarnya

penelitian kualittatif diawali dengan pengumpulan data melalui hasil wawancara

mendalam yang berupa cerita rinci pada sejumlah stakeholder terkait. Sehingga

kemudian,rangkaian cerita rinci dapat dirangkaikan menjadi sebuah konsep baru.

1.5.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di 3 (tiga) wilayah desa penyangga yang berada di

sekitar Kawasan Taman Nasional Meru Betiri, Propinsi Jawa Timur khususnya

yang berada dalam batas administratif Kabupaten Jember. Wilayah desa tersebut

terdiri dari Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, dan Desa Wonoasri. Hal ini

didasarkan bahwa Kabupaten Jember (37.585 Ha)memiliki luas wilayah lebih

besar yang termasuk ke dalam Kawasan Taman Nasional Meru Betiri jika

dibandingkan dengan luas wilayah pada Kabupaten Banyuwangi(20.415 Ha).

Adapaun alasan yang menyertai pemilihan lokasi penelitian di 3 (tiga)

wilayah desa penyangga di sekitar Kawasan Taman Nasional Meru Betiri, antara

lain :

a. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri memiliki tingkat degradasi hutan yang

lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat deforestasinya, dimana degaradasi

terjadi sebagai akibat adanya interaksi penduduk yang tinggal di sekitar hutan

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Keberadaan hutan TNMB memiliki

peran penting dalam mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat desa

di sekitar kawasan hutan, dimana kawasan ini berperan sebagai social

safeguards bagi keberlangsungan kehidupanmasyarakat khususnya desa

penyangga.

b. Terselenggaranya DA REDD+ yang melibatkan masyarakat desa penyangga di

sekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri bertujuan untuk mendapatkan

manfaat karbon sebanyak mungkin serta upaya peningkatan stok karbon

melalui konsep pemberdayaan masyarakat. Dimana telah dibentuk sistem

zonasi (khususnya zona rehabilitasi seluas 4.000 Ha) sebagai area yang

Page 28: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

13

Universitas Indonesia

dimungkinkan untuk peningkatan serapan karbon melalui pembangunan sistem

agroforestri.

c. Telah terbentuknya Nota Kesepahaman antara masyarakat desa penyangga dan

pihak Balai Taman Nasional Meru Betiri selaku penanggungjawab pengelolaan

kawasan konservasi sebagai bentuk kemitraan yang menggiring komitmen

penuh masyarakat khususnya dalam upaya memanfaatkan lahan untuk

pertanian atau produksi hasil hutan non kayu (NTFP) serta upaya

mempertahankan pohon sebagai konservasi untuk meningkatkan serapan

karbon.

d. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri menjadi bagian dari kegiatan

percontohan dalam Readiness Phase melalui DA REDD+, dimana

pendanaannya berasal dari dana CSR Perusahaan besar di Jepang yaitu Seven

and I Holding yang disalurkan melalui ITTO. DA REDD+ di TNMB

merupakan sarana pembelajaran dan oembangunan komitmen serta sinergi

yang terbentuk antara pihak donor, pemerintah daerah, LSM lokal serta

masyarakat desa penyangga.

1.5.3 Teknik Pemilihan Informan

Penelitian mengenai “Perilaku Adaptasi Komunitas Lokal dalam Upaya

Konservasi Karbon Hutan Pasca DA REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru

Betiri, Kabupaten Jember”, informan penelitian ditentukan melalui Purposive

Sampling. Dalam Purposive Sampling informan yang akan terlibat dalam

penelitian merupakan subyek yang memiliki informasi mendalam terkait dengan

kajian yang ingin dilakukan dan memiliki keterlibatan langsung dengan beberapa

rangkaian kegiatan DA REDD+.

Menurut Silalahi (2009), Menentukan subyek atau orang-orang terpilih

harus sesuai dengan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh sampel itu. Mereka dipilih

karena dipercaya mewakili satu populasi tertentu.Berikut beberapa kriteria

informan dalam peneltian ini yaitu :

a. Informan yang memiliki pengetahuan tentang gambaran kegiatan DA REDD+

b. Informan yangterlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+

c. Informan yang tidakterlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+

Page 29: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

14

Universitas Indonesia

Kriteria penetapan informan berdasarkan analisa stakeholder engagement

dalam pelaksanaan DA REDD+ Tahun 2010-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Kriteria penentuan informan tersebut berdasarkan analisis mengenai informasi paa

yang ingin diperoleh dari informan-informan terkait.

Tabel 1.2 Pemilihan Informan

No. Informasi yang ingin dicari InformanJumlah

Informan

1. a. Hubungan masyarakat dengan

hutan TNMB

b. Peran masyarakat dalam

pengelolaan TNMB

c. Pemahaman terhadap REDD+

d. Tanggapan terhadap kegiatan

REDD+

e. Dampak dan manfaat dari kegiatan

REDD+

f. Hak dan kewajiban kelompok

masyarakat terhadap pengelolaan

kawasan rehabilitasi setelah

adanya REDD+

g. Peran pemerintah/LSM dalam

mendukung kegiatan REDD+

h. Upaya yang dilakukan

individu/kelompok dalam

konservasi karbon hutan

Masyarakat

yang terlibat

langsung

Petani

rehabilitasi

4

Kelompok

wanita

3

Masyarakat

yang tidak

terlibat

langsung

Petani

rehabilitasi

7

Kelompok

wanita

2

2. a. Hubungan masyarakat dengan

hutan TNMB

b. Peran masyarakat dalam

pengelolaan TNMB

c. Pemahaman terhadap REDD+

d. Tanggapan terhadap kegiatan

REDD+

e. Dampak dan manfaat dari kegiatan

REDD+

f. Hak dan kewajiban kelompok

masyarakat terhadap pengelolaan

kawasan rehabilitasi setelah

adanya REDD+

Aparatur Desa 5

Page 30: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

15

Universitas Indonesia

No. Informasi yang ingin dicari InformanJumlah

Informan

g. Peran pemerintah/LSM dalam

mendukung kegiatan REDD+

h. Upaya yang dilakukan

individu/kelompok dalam

konservasi karbon hutan

3. a. Hubungan masyarakat dengan

hutan TNMB

b. Peran masyarakat dalam

pengelolaan TNMB

c. Pemahaman terhadap REDD+

d. Tanggapan terhadap kegiatan

REDD+

e. Hak dan kewajiban kelompok

masyarakat terhadap pengelolaan

kawasan rehabilitasi setelah

adanya REDD+

f. Peran pemerintah/LSM dalam

mendukung kegiatan REDD+

g. Hukum yang berlaku di kawasan

taman nasional setelah kegiatan

DA REDD+

h. Upaya yang dilakukan

individu/kelompok upaya

konservasi karbon hutan

Polisi Hutan 4

4. a. Hubungan masyarakat dengan

hutan TNMB

b. Peran masyarakat dalam

pengelolaan TNMB

c. Pemahaman terhadap REDD+

d. Tanggapan terhadap kegiatan

REDD+

e. Peran pemerintah/NGO dalam DA

REDD+

f. Manfaat yang diperoleh dari

kegiatan REDD+ dari segi 1)

pengetahuan, informasi, dan

keterampilan; 2) inovasi

pengelolaan hutan; 3) dalam

NGO lokal (KAIL) 1

Page 31: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

16

Universitas Indonesia

No. Informasi yang ingin dicari InformanJumlah

Informan

pengambilan keputusan di tingkat

lokal masyarakat

g. Hukum yang berlaku di kawasan

taman nasional setelah kegiatan

DA REDD+

h. Upaya yang dilakukan

individu/kelompok dalam upaya

konservasi karbon hutan

5. a. Hubungan masyarakat dengan

hutan TNMB

b. Peran masyarakat dalam

pengelolaan TNMB

c. Pemahaman terhadap REDD+

d. Tanggapan terhadap kegiatan

REDD+

e. Peran pemerintah/NGO dalam DA

REDD+

f. Manfaat yang diperoleh dari

kegiatan REDD+ dari segi 1)

pengetahuan, informasi, dan

keterampilan; 2) inovasi

pengelolaan hutan; 3) dalam

pengambilan keputusan di tingkat

lokal masyarakat

g. Hukum yang berlaku di kawasan

taman nasional setelah kegiatan

DA REDD+

h. Upaya yang dilakukan

individu/kelompok dalam upaya

konservasi karbon hutan

Balai Taman Nasional

Meru Betiri

4

6. a. Alasan DA REDD+

diselenggarakan di TNMB

b. Bagaimana pelaksanaan

PADIATAPA di TNMB

c. Rangakain kegiatan DA REDD+

d. Siapa yang terlibat dalam kegiatan

DA REDD+

e. Peran pemerintah lokal dan NGO

dalam kegiatan DA REDD+

Koordinator Proyek DA

REDD+ (Puspijak Litbang

Kementerian Kehutanan)

1

Page 32: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

17

Universitas Indonesia

1.5.5 Teknik Pengumpulan Data

Data menjadi bagian penting dalam menjawab sebuah pertanyaan dan

hipotesis penelitian, sehingga diperlukan kajian yang detail mengenai kualitas

data yang akan diinginkan. Pengumpulan data didefiniskan oleh Silalahi (2009)

sebagai suatu proses mendapatkan data empiris melalu responden dengan

menggunakan metode tertentu.

Dalam metode kualitatif, pengumpulan data digunakan dengan bantuan

instrumen penelitian berupa pedoman wawancara sebagai alat bantu untuk

melakukan penelitian. Kualitas instrumen penelitian akan menentukan kualitas

dan kuantitas data yang diperoleh sehingga emudahkan untuk proses analisa data

dan interpretasi.

Dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data

antara lain :

a. Studi Pustaka

Pengumpulan data melalui studi pustaka dilakukan dengan mempelajari

beberapa literatur yang berkaitan dengan penelitian baik berupa dokumen, buku

bacaan, serta penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang dapat digunakan

sebagai data sekunder yang bersifat sebagai penunjang penelitian.

Secara umum studi pustaka dilakukan sebagai pedoman dan panduan awal

peneliti untuk mengetahui kajian antara lain mengenai karakteristik masyarakat

yang hidup di sekitar kawasan hutan, pola interaksi masyarakat kaitannya dengan

pemanfaatan sumberdaya hutan, praktik DA REDD+ khususnya di Kawasan

Taman Nasional Meru Betiri serta bagaimana bentuk adaptasi dan kapasitas

adaptif masyarakat melalui upaya konservasi dan peningkatan stok karbon hutan.

b. Studi Lapangan

Pengumpulan data melalui studi lapangan merupakan bagian dari

pengumpulan data primer, dimana pengumpulan data dilakukan dengan

mengujungi lokasi penelitian secara langsung, melalui beberapa langkah-langkah

yaitu :

1) Observasi

Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang

tersusun dari pelbagai proses biologic dan psikologik. Dua diantaranya yang

Page 33: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

18

Universitas Indonesia

terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan (Hadi, 1986 b). Teknik

observasi yang dilakukan yaitu observasi sistematik atau observasi berkerangka.

Dalam melakukan observasi sistematik, peneliti akan membuat kerangka yang

memuat faktor-faktor bagaimana kapasitas adaptif masyarakat dapat terbentuk.

Menurut Hadi (1986 a), beberapa hal yang menjadi perhatian dalam observasi

sitematik yaitu :

a. Materi observasi

Dalam kegiatan observasi sistematik, materi observasi terbatas hanya pada

tujuan penelitian yang ingin dicapai. Sehingga, kegiatan observasi yang dilakukan

lebih terfokus pada permasalahan-permasalahan yang dikaji lebih mendalam.

b. Cara-cara pencatatan

Hal yang perlu dicatat lebih menitikberatkan pada fokus permasalahan

yang telah diformulasikan sehingga jawaban, tanggapan dan reaksi yang ingin

diperoleh dapat dicatat secara teliti. Dalam proses pencatatan, peneliti

menggunakan alat pencatat mekanik (kamera, alat perekam) untuk memudahkan

pengumpulan informasi dan analisa lebih lanjut. Proses penelitian observasi

sistematik ini, peneliti hanya membutuhkan waktu yang singkat dengan

melibatkan beberapa informan terpilih guna mensinkronkan hasil observasi dan

perolehan sajian informasi yang lengkap dan luas.

2) Wawancara (Indepth Interview)

Metode wawancara merupakan metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data atau keterangan lisan dari seseorang melalui suatu

percakapan yang sistematis dan terorganisasi. Wawancara dilakukan dengan

individu tertentu untuk mendapatkan data atau informasi tentang masalah yang

berhubungan dengan satu subyek tertentu atau orang lain. Individu sebagai

sasaran wawancara sering disebut sebagai informan, yaitu orang yang memiliki

keahlian atau pemahaman yang terbaik mengenai suatu hal yang ingin diketahui

(Silalahi, 2009). Sebelum melakukan wawancara, peneliti telah menentukan key

informan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar tujuan penelitian dapat tercapai

dengan baik.

Dalam melakukan wawancara digunakan instrumen berupa pedoman

wawancara yang berisi panduan pertanyaan, namunwawancara yang dilakukan

Page 34: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

19

Universitas Indonesia

bersifat terbuka. Hal ini ditujukan untuk memberi kesempatan pada informan

untuk menyampaikan hal-hal yang diketahui berdasarkan pengetahuan,

pengalaman, maupun pandangannya atas subyek yang ingin diteliti. Dengan

demikian, diharapkan perolehan informasi dapat lebih mendalam terutama pada

hal yang berkaitan dengan proses interpretasi situasi dan fenomena di lapangan

yang sebelumnya tidak dapat diperoleh dari kegiatan observasi.

3) Diskusi kelompok

Diskusi kelompok dilakukan untuk memperoleh data secara cepat,

informatif dan beragam untuk menggali tujuan penelitian lebih dalam. Diskusi

kelompok dilakukan secara tidak formal untuk menghindari kekauan komunikasi

dan menjalin hubungan kedekatan personal yang baik antara peneliti dan

informan. Diskusi ini dilakukan denga kelompok petani rehabilitasi yang tidak

mengikuti kegiatan DA REDD+, dengan mendatangi langsung kelompok petani di

lahan rehabilitasi.

1.5.6 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dalam peenlitian kualitatif umumnya berwujud

kumpulan kata-kata yang penyajiannya harus diproses terlebih dahulu sebelum

disajikan. Menurut Miles dan Huberman dalam Silalahi (2009), kegiatan analisis

data terdiri dari 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi

data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.

a. Reduksi data

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Tahapan reduksi terdiri dari membuat

ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus, membuat partisi dan

menulis memo. Reduksi data menjadi bagian dalam kegiatan analisis yang

fungsinya menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak

perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa hingga kesimpulan-

kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Silalahi, 2009).

Page 35: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

20

Universitas Indonesia

b. Penyajian data

Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Melalui data yang disajikan, peneliti dapat melihat dan memahami apa yang

sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh lagi menganalisis ataukah

mengambil tindakan, berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-

penyajian tersebut. Penyajian data dalam penelitian kualitatif umumnya berupa

teks naratif, matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Hal ini bertujuan untuk

menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan

mudah diraih (Silalahi, 2009).

c. Penarikan kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif hanya akan dapat diperoleh setelah

pengumpulan data berakhir. Hal ini bergantung pada banyaknya kumpulan

catatan-catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian

ulang yang digunakan, kecakapan peneliti. Kesimpulan-kesimpulan yang

sebelumnya telah ada bersifat sementara sehingga kemudian diperlukan verifikasi

yang dilakukan selama penelitian berlangsung. Verifikasi dilakukan oleh seorang

peneliti dengan meninjau ulang catatan-catatan lapangan sebagai bagian dari uji

validitas dalam penelitian kualitatif.

Page 36: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

21

Universitas Indonesia

BAB 2PEMBANGUNAN HUTAN BERKELANJUTAN, KONSERVASI, DAN

KEMAMPUAN ADAPTIF

Dalam Bab 2 dibahas mengenai beberapa konsep penting yang menjadi landasan

penelitian. Konsep ini menjadi pengantar dari rangkaian kegiatan penelitian

dimana peneliti maupun pembaca akan dengan mudah memahami konsep dasar

penelitian secara menyeluruh.

2.1 Pembangunan Hutan Berkelanjutan

Hutan memegang peranan penting dalam siklus karbon global hutan yang

merupakan sumber cadangan karbon sehingga dikenal berperan dalam mengatur

perubahan iklim (regulate climate change) yaitu mampu menyerap karbon sekitar

2,6 GT/tahun skaligus menyimpan karbon sebanyak 1.650 GT atau kurang lebih

sama dengan 2 (dua) kali besarnya karbon di atmosfir. Namun sebaliknya, hutan

dapat pula sebagai sumber emisi apabila pengurasannya salah, misalnya terjadinya

deforestasi dan degradasi. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama ini

diperkirakan melepaskan jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 17-20

persen total emisi gas rumah kaca dunia, atau lebih besar dari pada emisi sektor

transportasi global. Namun, hutan yang sehat menyerap karbon dioksida dari

atmosfer untuk membantu proses fotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa lebih dari 15% dari 32 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan setiap

tahun oleh kegiatan manusia diserap oleh hutan. (Badan Penelitian dan

Pengembangan Khutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim

dan Kebijakan (PUSPIJAK), “Perubahan Iklim, REDD+ dan Komitmen Nasional

Indonesia”).

Oleh karena itu upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan

dianggap cara yang manjur menurunkan emisi. Argumentasi tersebut di perkuat

oleh Pacala dan Socolow pakar Universitas Princeton dan Prof. Nicholas Stern

bahwa dari 15 cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang paling utama

dan effektif adalah 6 menurunkan deforestasi dan melakukan reforestasi 300 juta

ha tanaman hutan baru . Review Stern telah mempengaruhi secara signifikan dan

21

Page 37: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

22

Universitas Indonesia

menjadi isu yang luas yang didikusikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim

saat ini dengan skema REDD+ (Santosa & Silalahi, 2011).

2.1.1 REDD+

Indonesia termasuk negara yang cukup agresif dan responsif dengan isu

REDD+. Indonesia ikut ambil bagian dalam pertemuan internasional bahkan

menjadi tuan rumah COP 13 UNFCCC di Bali. Presiden RI membentuk DNPI

berdasarkan PP No.46/2008. DNPI memiliki 5 mandat tugas untuk membuat

strategi perubahan iklim, mengkoordinasikan semua kegiatan mitigasi dan

adaptasi perubahan iklim termasuk pendanaan, monitoring dan evalusi, serta

sebagai focal poin negosiasi. Berbagai kebijakan REDD telah dikembangkan

dalam kerangka mendorong pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi.

Kebijakan tersebut didukung oleh komitment Presiden RI (Susilo Bambang

Yudhoyono) pada pertemuan G-20 di Duisberg-USA tahun 2009 bahwa Indonesia

akan mengurangi emisi sebanyak 21 % dengan dana sendiri dan 41 % jika ada

dukungan dan bantuan dari luar negeri. Di Indonesia sektor hutan merupakan

penyumbang emisi terbesar dibandingkan 10sektor lain. Oleh karena itu sektor

kehutanan mendapat perhatian khusus dan dapat menurunkan emisi secara

signifikan (Santosa & Silalahi, 2011).

2.1.1.1 Kebijakan REDD+ Nasional Indonesia

Kelompok Kerja Pengarusutamaan REDD+ pada Perencanaan Nasional

Pada dasarnya, Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan REDD+ ke dalam

Sistem Perencanaan Nasional, atau lebih mudah disebut Pokja Mainstreaming,

dirancang untuk memastikan Strategi Nasional REDD+ terintegrasi ke dalam

perencanaan nasional. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan

program-program REDD+ sebagai bagian dari pembangunan kehutanan dengan

tata kelola yang lebih berkelanjutan. Prinsip ini mengandung implikasi bahwa

Pokja ini bekerjasama dengan kementerian lain dan pemerintah daerah untuk

mengembangkan kegiatan-kegiatan baru dengan sumberdaya keuangan yang

tepat.

Page 38: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

23

Universitas Indonesia

Seperti diamanatkan oleh Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi

Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), RAN GRK ini

merupakan dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang

secara langsung atau tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai

target pembangunan nasional. Kegiatan RAN GRK meliputi bidang pertanian,

kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan

limbah.

Isu REDD+ merupakan bagian dari RAN GRK terutama sektor kehutanan

dan lahan gambut. Strategi Nasional REDD+ bersifat mengikat dan

diarusutamakan dalam dokumen perencanaan nasional. Strategi yang merupakan

produk administrator negara ini mengatur dan mengikat instansi setingkat dan di

bawahnya. Seperti diketahui, ada lima pilar utama dalam Strategi Nasional

REDD+, yaitu kelembagaan dan proses; kerangka hukum dan peraturan; program

strategis pengelolaan lanskap berkelanjutan, sistem pemanfaatan sumber daya

alam lestari berikut konservasi dan rehabilitasi; perubahan paradigma dan budaya

kerja; dan, pelibatan para pihak. Kelima pilar pokok tersebut diuraijelaskan dan

dimasukkan ke dalam terminologi rencana aksi operasional Rencana Aksi

Nasional REDD+ dengan lokasi dan volume kegiatan yang jelas. Baru kemudian

proses selanjutnya adalah memasukkan Rencana Aksi Nasional REDD+ tersebut

ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013, Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan Master Plan Percepatan dan

Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (REDD, 2010).

2.1.1.2 Perumusan Strategi Nasional REDD+

Strategi Nasional REDD+ Indonesia ini dirancang sebagai sebuah arahan

yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan mengacu kepada

prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan dilaksanakan melalui

strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan

komprehensif (multi aspek). Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini

merupakan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu:

1. Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi bertanggung jawab.

2. Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis.

Page 39: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

24

Universitas Indonesia

3. Keadilan antar generasi.

Menurut Bappenas (2010), kerangka pelaksanaan pengurangan emisi

melalui REDD+ meliputi :

1) Penurunan emisi dari deforestasi,

2) Penurunan emisi dari degradasi hutan,

3) Penguatan peran konservasi,

4) Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, dan

5) Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi. Kelima tema

penting tersebut akan didekati dengan pendekatan pengurangan sumber emisi

(source) dan meningkatkan simpanan (sink) karbon. (Bappenas, 2010)

Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang ada maka strategi

nasional REDD+ Indonesia terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu :

(1) pemenuhan prasyarat penerapan REDD+,

(2) peningkatan dan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions), serta

(3) reformasi pembangunan sektor, terutama sektor kehutanan (hutan produksi,

hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor pengguna lahan lainnya

(perkebunan dan pertanian, pertambangan, serta infrastuktur) (Bappenas,

2010).

Gambar 2. 1Skema Strategi REDD+ di Indonesia

Sumber : Bappenas, 2010

Penurunan Emisi dariKegiatan REDD+

Penurunan emisidari Deforestasi

Penurunan emisidari Degradasi

HutanPeran Konservasi

PengelolaanBerkelanjutanterhadap SDH

Peningkatan StokKarbon

Penurunan emisi dariCarbon Source

Pemeliharaan danPeningkatan Serapan Carbon

Strategi Penurunan Emisi dariDeforetasi dan Degradasi Hutan Plus

RENCANA AKSINASIONAL

Page 40: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

25

Universitas Indonesia

2.1.1.3 Tahap Pelaksanaan REDD+ di Indonesia

Menurut Kementerian Kehutanan (2011), Pemerintah Indonesia telah

berusaha mengimplementasikan REDD+ di tingkat nasional melalui 3 (tiga) tahap

(phased approach) yang terdiri dari :

a. Tahap 1 (Tahap Persiapan) yang melipuri identifikasi status IPTEK dan

kebijakan terkait dalam kurun waktu tahun 2007-2008

b. Tahap 2 (Readiness Phase) yang merupakan tahap penyiapan perangkat

metodologi dan kebijakan REDD+ dalam kurun waktu 2009-2012. Readiness

phase di Indonesia dilakukan melalui penerapan Demonstration Activity (DA)

REDD+ di sejumlah kawasan hutan potensial penyimpanan stok karbon

sebagai upaya persiapan sebelum masa full implementaton diberlakukan

melalui hasil kesepakatan internasional.

c. Tahap 3 (Full Implementation) yang merupakan tahap implementasi penuh

sesuai aturan COP pada saat REDD menjadi bagian dari skema UNFCCC

pasca 2012. Mengenai tahapan full implementation, perdagangan karbon dalam

skema REDD+ terutama yang berkaitan dengan insentif karbon belum dapat

diputuskan untuk tingkat internasional.

Dalam kurun waktu 2009 hingga 2013, pemerintah Indoensia telah

menerapkan Demonstration Activity (DA) REDD+ di sejumlah kawasan hutan

potensial. Beberapa kebijakan Undang-Undang dikeluarkan sebagai pedoman

untuk pelaksanaan DA REDD+ antara lain Peraturan Menteri Kehutanan

P.68/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan DA REDD dan P.30/2009; Peraturan

Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menhut-II/2012 tentang

Penyelenggaraan Karbon Hutan; menindaklanjuti P.20/2012, Direktorat Jenderal

PHKA telah mengeluarkan Peraturan Dirjen PHKA No. P.7/IV-Set/2012 tentang

tata cara permohonan dan penilaian registrasi serta penyelenggaraan DA REDD+

di hutan konservasi.

2.1.1.4 Penyelenggaraan Demonstration Activity (DA) REDD+

Dalam dunia internasional, mekanisme penerapan REDD+ belum

memperoleh kesepakatan yang pasti, tahap negosisasi yang cukup panjang masih

terjadi dan diperdebatkan dalam sejumlah perundingan COP (Conference of

Page 41: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

26

Universitas Indonesia

Parties). Sehingga kemudian pemerintah Indonesia, berupaya untuk mengadopsi

dan mempersiapkan secara dini tentang pengaturan kegiatan REDD+ di tingkat

nasional. Untuk mengakomodir dan mendukung Readiness Phase REDD+ terkait

dengan Demonstration Activity (DA), maka dikeluarkan Peraturan Menteri

Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menhut-II/2012 tentang

Penyelenggaraan Karbon Hutan yang dikeluarkan pada tanggal 23 April 2012.

Dalam PerMen tersebut menyebutkan prinsip dasar penyelenggaraan karbon hutan

serta beberapa kriteria yang mendukung penyelenggaraan praktik DA REDD+ di

Indonesia.

Di dalam Bab III Prinsip Dasar Bagian kesatu tentang Penyelenggaraan

Karbon hutan Pasal 3 menyebutkan secara umum mengenai beberapa kegiatan

penyelenggaraan karbon hutan dapat dilakukan dibeberapa jenis hutan yang ada di

Indonesia dengan melibatkan beberapa pihak terkait baik pemerintah, swasta

maupun masyarakat dalam upaya mendorong peningkatan pemberdayaan

masyarakat. Sedangkan bagian kedua mengenai Kriteria Kegiatan Demostration

Activities. Dimana dalam penyelenggaraan kegiatan DA, harus mengacu pada

beberapa pedoman pelaksanaan yang merupakan porsedur yang harus dilalui

sebelum kegiatan DA diimplementasikan kepada masyarakat. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada penjabaran pasal berikut.

Bab III : Prinsip Dasar

Bagian Kesatu : Penyelenggaraan Karbon Hutan

Pasal 3

(1) Penyelenggaraan karbon hutan meliputi :

a. Demostration Activities;

b. Implementasi (pelaksanaan) kegiatan karbon hutan

(2) Kegiatan karbon hutan dapat berupa penyimpanan dan/atau penyerapan

karbon, yang terdiri atas :

a. Pembibitan, penanaman, pemeliharaan hutan dan lahan dan pemanenan

hutan yang menerapkan prinsip pengelolaan lestari;

b. Perpanjangan siklus tebangan pada dan/atau penanaman oengayaan

izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu;

Page 42: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

27

Universitas Indonesia

c. Perlindungan, pengamanan pada areal izin usaha pemanfaatan hasil

hutan kayu;

d. Perlindungan keanekaragaman hayati;

e. Pengelolaan hutan lindung lestari;

f. Pengelolaan hutan konservasi;

(3) Penyelenggaraan karbon hutan dapat dilaksanakan pada :

a. Hutan negara dengan fungsi sebagai berikut : 1. Hutan produksi, 2.

Hutan lindung, 3. Hutan konservasi;

b. Hutan hak/hutan rakyat

(4) Penyelenggaraan karbon hutan adalah : a. Pemerintah; b. Badan Usaha

Milik Negara/Daerah/Swasta; c. Koperasi; d. Masyarakat.

(5) Penyelenggaraan karbon hutan juga diutamakan untuk mendorong

peningkatan keberdayaan masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan.

Bagian Kedua : Kriteria Kegiatan Demostration Activities

Pasal 4

(1) Kriteria kegiatan Demonstration Activities adalah sebagai berikut :

a. Membangun proses-proses pembuatan atau penyempurnaan standar

teknis pengukuran, implementasi standara, serta pelaporan hasil

pengukuran

b. Fasilitasi yaitu pendampingan untuk proses-proses pembuatan atau

penyempurnaan standar teknis pengukuran, implementasi standar, serta

pelaporan hasil pengukuran

c. Kegiatan karbon hutan harus dapat diterapkan (workable), replikatif

dalam skala yang lebih luas, dan berkesinambungan setelah

Demonstration Activities berakhir.

(2) Pemrakarsa mengajukan permohonan tertulis pelaksanaan Demonstration

Activities kepada menteri, dengan melampirkan :

a. Rancangan Demonstration Activities yang materinya antara lain status

dan lokasi berikut peta lokasi calon areal, bentuk dan jangka waktu

kerjasama, perkiraan nilai kegiatan, dan manajemen resiko

b. Dalam hal pemrakarsa adalah perorangan yang pembiayannya

bersumber dari dana sendiri (swadana), maka pemrakarsa wajib

Page 43: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

28

Universitas Indonesia

melampirkan surat pernyataan kesediaan untuk membiayai

pelaksanaan Demonstration Activities

c. Dalam hal pemrakarsa bekerja sama dengan mitra dan seluruh atau

sebagian pembiayaannya bersumber dari mitra, maka pemrakrsa wajib

melampirkan dokumen kerjasama

(3) Menteri menugaskan Direktur Jenderal terkait untuk melakukan penilaian

terhadap permohonan Demonstration Activities sebagaimana dimaksud

pada ayat (2)

(4) Penilaian terhadap permohonan Demonstration Activities sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dikoordinasikan oleh Ketua Kelompok Lerja

Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan

(5) Pemrakarsa Demonstration Activities melakukan pengukuran, pemantauan,

pelaporan dan evaluasi, dan melaporkan secara berkala kepada Menteri

melalui Sekretaris Jenderal.

Selain itu juga terdapat Standar Nasional Indonesia (SNI) 7848:2013

tentang Penyelenggaraan Demonstration Activity (DA) REDD+ yang merupakan

standar baru sebagai pedoman penyelenggaraan DA REDD+ dalam rangka

implementasi mitigasi perubahan iklim terkait penggunaan lahan, perubahan

penggunaan lahan dan kehutanan di Indonesia. Standar ini juga dapat digunakan

sebagai pedoman bagi pemerintah dan pihak lain untuk melakukan penilaian

kinerja penyelenggaraan DA REDD+. Acuan normatif yang digunakan adalah

IPCC Good Practice Guidance for Landuse, Landuse Change and Forestry, IPCC

Guideline for National Greenhouse Gas Inventories serta SNI lain yaitu SNI 7645

tentang Klasifikasi penutupan lahan serta SNI 7724 dan 7725 tentang pengukuran

cadangan karbon hutan dan penyusunan alometrik(FORDA, 2013).

Secara umum FORDA (2013) menjelaskan beberapa kegiatan

penyelenggaraan DA REDD+ sesuai dengan pedoman SNI 7848:2013yaitu :

1. Searah dan mendukung strategi nasional REDD+ dan kebijakan kehutanan

serta RAN GRK

2. Adanya kepastian batas wilayah penyelenggaraan DA REDD+

3. Penyelenggaraan DA REDD+ dapat diterapkan pada areal sebagai kategori

hutan atau areal yang akan menjadi hutan

Page 44: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

29

Universitas Indonesia

4. Memiliki rencana pendanaan atau investasi yang jelas dan memadai

5. Adanya kegiatan penyiapan perangkat DA REDD+ (metodologi, teknologi,

institusi dan peningkatan kapasitas

6. Adanya implementasi kegiatan di lapangan terkait REDD+

7. Adanya mekanisme pembagian manfaat dan resiko

Dalam SNI 7848:2013 tentang Penyelenggaraan DA REDD+ menurut

FORDA (2013), juga memuat persyaratan khusus mengenai persyaratan

administrasi dan teknis. Persyaratan administrasi bahwa pemrakarsa harus

mendapatkan persetujuan untuk menyelenggarakan DA REDD+ dari instansi

berwenang dengan menyertakan dokumen legalitas sesuai dengan peraturan yang

berlaku. Berikut beberapa persayaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain :

1. Penentuan batas wilayah penyelenggaraan DA REDD+

2. Penentuan periode kegiatan atau jangka waktu penyelenggaraan DA REDD+

yaitu DA REDD pembelajaran ditentukan maksimal 5 tahun sedangkan DA

REDD+ berbasis hasil minimal selama 20 tahun

3. DA pembelajaran ini selanjutnya bisa ditingkatkan menjadi DA REDD+

berbasis hasil dengan meningkatkan cakupan wilayah serta kegiatannya

4. Penentuan tingkat emisi acuan (RL) yang dinyatakan dalam ton CO2-e per

tahun; mempertimbangkan lima sumber karbon, emisi historis dan skenario

ke depan serta memperbaharui RL secara periodik

2.1.1.5Sistem Informasi Pelaksanaan Safeguards REDD+

Program REDD+ selain terjaganya keanekaragaman hayati dan

pembangunan berkelanjutan serta pengurangan kemiskinan juga mendukung

untuk penguatan hak-hak masyarakat adat/lokal. Jika dirancang dengan benar

REDD+ akan dapat memberikan 3 keuntungan dari sisi iklim, keanekaragaman

hayati dan pembangunan berkelanjutan (UN-REDD Programme Indonesia ,

2012). Dengan berpedoman pada keputusan COP – 16 yang mengamanatkan

pembangunan Sistem Informasi Pelaksanaan Safeguards REDD+ (SIS REDD+)

yang terdiri dari 7 elemen kerangka pengaman yang harus diselenggarakan oleh

negara pihak yang akan melaksanakan aksi REDD+, maka dalam pelaksanaan DA

REDD+ di TNMB berpedoman pada beberapa elemen dasar berikut :

Page 45: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

30

Universitas Indonesia

1) Melengkapi atau konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional,

2) Tata kelola kehutanan nasional yang transparan dan efektif,

3) Menghormati pengetahuan dan hak “Indigenous People” dan masyarakat lokal,

4) Partisipasi stakeholder secara penuh,

5) Konsisten dengan konservasi hutan,

6) Mencegah resiko balik (reversal),

7) Adanya aksi mengurangi pengalihan emisi.

Tujuan diterapkannya pengaman (safeguards) lingkungan dan sosial dalam

implementasi REDD+ adalah untuk mencegah agar kegiatan REDD+ tidak

mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan dan masyarakat yang ada di

sekitarnya seawal mungkin pada tahap perencanaan. Minimal sistem pengaman

REDD+ dapat mengidentifikasi dampak potensial kegiatan REDD+ dan dapat

dilakukan tindakan untuk mengurangi dampak negatif tersebut (Wibowo,

Maryani, & Partiani, 2012).

Di Indonesia, sosial and environmental safeguard diperlukan mengingat

setiap proses pembangunan, selain dpaat meningkatkan pertumbuhan ekonomi

juga akan membawa perubahan sosial dan lingkungan yang dapat mengancam

keberlangsungan pembangunan jangka panjang. Untuk itu di Indonesia telah

dipersiapkan SIS (Sistem Informasi Safeguards) yang menjadi referensi dalam

pelaksanaan safeguards di Indonesia. Dalam konteks REDD+, sosial and

environmental safeguard dimaksudkan untuk meminimalkan dampak resiko dari

kebijakan REDD+ serta mengoptimalkan adanya keuntungan tambahan dengan

diberlakukannya kebijakan. Hal ini terutama dilakukan melalui konsultasi dan

penilaian dampak yang berkelanjutan selama proses persiapan hingga

implementasi proyek REDD+ (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

Sebagai upaya untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan upaya

konservasi karbon hutan, masyarakat diberi wewenang untuk turut berpartisipasi

dalam memanfaatkan sumberdaya hasil hutan serta menjaga hutan. Hal ini terlihat

dari keberadaan zona rehabilitasi dalam kawasan TNMB yang dikelola secara

bersama antara pihak Balai Taman Nasional Meru Betiri dengan masyarakat yang

tinggal disekitar kawasan desa penyanga. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin

terciptanya kehutanan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat yang

terbungkus dalam skema Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Beberapa hal penting

Page 46: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

31

Universitas Indonesia

yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan seluruh stakeholder terkait yaitu upaya

untuk menghindari deforestasi dan degradasi hutan, serta menjaga dan

meningkatkan stok karbon hutan (Gambar 2.4). Dengan demikian, masyarakat

akan merasa menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan pembangunan

hutan yang berkelanjutan. Keterlibatan/partisipasi masyarakat lokal sangat

dibutuhkan terutama untuk persetujuan mengenai rangkaian kegiatan proyek yang

diperbolehkan dan disetujui serta dapat disepakati bersama.

2.2 Kegiatan Konservasi Hutan

2.2.1 Pengertian Kawasan Konservasi

Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the

wise use of nature resources (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).

Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana

konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam

untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi

sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.Apabila merujuk

pada pengertiannya, konservasi menurut Soemarno (2011) didefinisikan dalam

beberapa batasan, sebagai berikut :

1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi

keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama

(American Dictionary).

2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang

optimal secara sosial (Randall, 1982).

3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme

hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia

yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai,

penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan

(IUCN, 1968).

4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga

dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat

diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS,

1980)(Soemarno, 2011)

Page 47: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

32

Universitas Indonesia

Konservasi selanjutnya akan diwujudkan dalam kegiatan di kawasan

khusus konservasi dimana dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang

Kehutanan disebutkan bahwa kawasan hutan di Indonesia terbagi ke dalam

kelompok hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pengertian

mengenai hutan konservasi sendiri dijelaskan dalam Undang-Undang sebagai

kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok

pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

Pengkategorisasian hutan konservasi di Indonesia mencakup dua kelompok besar

yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan

Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dijelaskan

mengenai pengertian tentang keduanya. Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah

kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang

mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah

sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka Alam dapat berupa Cagar Alam

(CA) dan Suaka Margasatwa (SM).

Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas

tertentu, baik daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok

perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya. Kawasan Pelestarian Alam berupa Taman Nasional (TN), Taman

Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA) serta Taman Buru.

2.2.2 Peran Kawasan Konservasi dalam Kesejahteraan Masyarakat

Hutan merupakan salah satu Sumber Daya Alam yang sangat bermanfaat

bagi kehidupan manusia. Keberadaan hutan yang selama ini diibaratkan sebagai

paru-paru dunia, diharapkan bisa memberi manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi.

Mengingat fungsi hutan yang banyak tersebut, maka hutan harus dilestarikan demi

kesejahteraan umat manusia (Sulistyaningsih, 2013). Hutan Indonesia yang

terkenal sebagai hutan tropis memiliki keanekaragaman flora dan fauna serta

Page 48: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

33

Universitas Indonesia

bernilai ekonomis tinggi. Selama ini, perhatian terhadap hutan hanya terpusat

pada manfaat ekonomi hutan. Bahkan hutan merupakan salah satu Sumber Daya

Alam yang diharapkan sebagai leading sector bagi pembangunan, yang bertumpu

pada economic growth (Sulistyaningsih, 2013). Hal ini tidak terlepas dari

pardigma mengenai hutan yang merupakan hal esensial bagi kehidupan manusia,

dimana hutan mampu menyediakan barang dan jasa sebagai material dasar untuk

pembangunan(Awang, San Afri, 2004).

Kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintaah dalam upaya pelestarian

hutan perlu memperhatikan keberadaan penduduk yang tinggal dalam hutan

maupun di sekitar hutan. Penduduk telah memanfaatkan segala sumber

penghidupan yang ada di dalam hutan untuk mempertahankan eksistensi

kelompoknya dan sumber penghidupannya. Oleh karena itu masyarakat lokal

perlu berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi hutan. Hal ini

dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kerusakan kawasan hutan

lindung dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan konservasi.

Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dijelaskan bahwa

pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi

kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga

kelestariannya. Berlandaskan hal tersebut, maka Balai Taman Nasional Meru

Betiri memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk turut berpartisipasi

dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi yaitu dengan memberikan akses

kepada kelompok petani rehabilitasi dengan harapan kegiatan tersebut dapat

mengurangi berbagai macam tindakan yang dapat merusak ekosistem di dalam

kawasan hutan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

melalui sistem pelestarian hutan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan

yang rendah karbon.

Sesuai dengan visi Balai Taman Nasional Meru Betiri yaitu “Terwujudnya

pengelolaan TNMB secara optimal, lestari dan berkeadilan yang bermanfaat bagi

kesejahteraan masyarakat”, diwujudkan dalam keempat misi yaitu (1) melindungi

dan mempertahankan keutuhan kawasan beserta potensi Sumberdaya Alam Hayati

dan Ekosistemnya (SDAHE); (2) memanfaatkan potensi Sumberdaya Alam

Page 49: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

34

Universitas Indonesia

Hayati dan Ekosistemnya (SDAHE) secara berkelanjutan; (3) meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan melalui pola kemitraan; (4)

meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu pihak

pengelola Balai Taman Nasional Meru Betiri menerapkan pendekatan partisipatif

dalam pengelolaan kawasan hutan secara bersama melalui Model Desa

Konservasi. Desa konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang

memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi

untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi. Model ini juga

memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat akses yang aman untuk

pemanfaatan kawasan sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang

mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan (Soemarno, 2011).

Sebagaimana hutan menyediakan sumberdaya alam yang dapat

dimanfaatkan oleh manusia, begitu pula manusia akan bergantung pada

sumberdaya hutan untuk mendukung sumber penghidupannya. Untuk menjamin

keberlangsungan tersebut diperlukan kerjasama yang baik antara seluruh

stakeholder yang berkaitan erat dengan kawasan hutan. Kelestarian hutan akan

lebih mudah dicapai kalau masyarakat disekitar hutan dapat merasakan

keuntungan adanya hutan. Untuk itu perlu meningkatkan manfaat Hasil Hutan

Bukan Kayu (HHBK) di mana masyarakat dapat ikut memanfaatkannya dan

penanaman pohon secara intensif. Dengan usaha seperti itu maka masyarakat akan

merasa ikut memiliki hutan dan akan ikut menjaga kelestariannya (Kementerian

Negara Lingkungan Hidup, 2009).

Page 50: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Universitas Indonesia

Menghindarideforestasi

Menghindaridegradasi hutan

Menjaga stokkarbon di

kawasan hutan

Meningkatkankarbon stok

Sustainable ForestManajemen/SFM

(Pengelolaan HutanBerkelanjutan)

(1) Sustainable forest

(2) Communitywelfare

SAFEGUARD

SFM Plus,Netsink/balance

Mengurangi emisi

Meningkatkankapasitas karbon

Menambah serapankarbon dan kapasitaspenyimpanan

(1) Sustainable forest;(2) Community

welfare;(3) Emission reduction

Biodiversity+ PES +Economicgrowth

+

YES

NO

Gambar 2.2 Safeguard dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Indonesia

Sumber : Pusat Standarisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan, 2011

Page 51: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

36

Universitas Indonesia

2.3 Kemampuan Adaptif (Adaptive Capacity)

2.3.1 Pemahaman Kemampuan Adaptif

Kemampuan adaptif merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan

kesadaran individu maupun kelompok masyarakat dalam mengantisipasi

perubahan iklim yang diwujudkan dalam implementasi perubahan perilaku aksi

adaptasi, dimana hal ini diperlukan untuk mempersiapkan diri terhadap segala

kemungkinan perubahan di masa mendatang. “An intervention’s aim falls within

this adaptation dimension if it seeks to improve the quality and availability of

resources needed to adapt, or if it addresses the capability to use those resources

effectively.” (Tujuan intervensi dalam dimensi adaptasi seolah mencari bagaimana

meningkatkan kualitas dan ketersediaan kebutuhan sumberdaya untuk diadaptasi,

atau bagaimana mengolah kemampuan untuk menggunakan sumberdaya secara

efektif) (Spearman & McGray, 2011). Suatu intervensi dikatakan memiliki

dimensi aksi adaptasi apabila kemampuan adaptif diterapkan dalam bentuk

keputusan dan tindakan spesifik untuk mengatasi risiko iklim spesifik, yang secara

langsung mereduksi atau mengelola dampak biofisik dari perubahan iklim, atau

mengelola faktor-faktor non-iklim yang berkontribusi pada kerentanan. Tindakan

adaptif mampu memberi manfaat sosial ekonomi dan biofisik yang jelas (Impron

dkk, 2012).

“Adaptive capacity refers to the potential, capability, or ability of a system

to adapt to climate change stimuli or their effects or impacts. Adaptive capacity

greatly influences the vulnerability of communities and regions to climate change

effects and hazards.” (Kemampuan adaptif mengacu pada potensi, kapasitas,

maupun kemampuan sebuah sistem untuk beradaptasi dengan stimulus perubahan

iklim atau efek maupun dampaknya. Kemampuan adaptif sangat mempengaruhi

kerentanan masyarakat dan daerah terhadap dampak dan bahaya perubahan iklim

yang ditimbulkan) (Bohle et al., 1994; Downing et al., 1999; Kelly and Adger,

1999; Mileti, 1999; Kates, 2000 dalam IPCC, 2001). Sedangkan Smit dan Wandel

menekankan kemampuan adaptif sebagai sebuah potensi yang dimiliki komunitas

untuk beradaptasi terhadap perubahan ketika dan saat dibutuhkan dimana

kemampuan adaptif cenderung berbeda-beda antara tempat yang satu dengan

Page 52: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

37

Universitas Indonesia

lainnya maupun antarkomunitas satu dengan komunitas lainnya serta antarwaktu

yang berbeda pula.

“Adaptive capacity refers to the potential to adapt, as and when needed,

and not necessarily the act of adapting, or its outcome. Adaptive capacity

is multidimensional and the elements that make up an individual’s

adaptive capacity are not entirely agreed. It essentially relates to whether

people have the right tools and the necessary enabling environmrnt to

allow them to adapt successfully over the long term. Also important to

bear in mind is that adaptive capacity is context specific and varies from

country to country, community to community, between social groups and

individuals, and over time.” (Smit dan Wandel, 2006 dalam Ludi, dkk

2011)

(Kemampuan adaptif mengacu pada potensi untuk beradaptasi, saat dan

ketika diperlukan, serta tentu otomatis bertindak adaptasi, atau hasilnya.

Kemampuan adaptif cenderung multidimensional dan unsur-unsur yang

membentuk kapasitas adaptasi pada individu tidak sepenuhnya disetujui.

Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan apakah masyarakat

mempergunakan alat yang tepat dan lingkungan yang kondusif diperlukan

untuk mendukung masyarakat beradaptasi dalam jangka panjang. Hal

penting untuk diingat bahwa kemampuan adaptif merupakan konteks yang

spesifik dan cenderung bervariasi antara negara satu dengan negara

lainnya, masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, antara kelompok-

kelompok sosial dan individu, yang terjadi dari waktu ke waktu) (Smit dan

Wandel, 2006 dalam Ludi dkk, 2011)

Kemampuan adaptif merupakan suatu kemampuan sistem mengubah

perilaku komunitas lokaluntuk mengetahui potensi maupun dampak negatif dari

fenomena alam terkait dengan upaya aksi adaptasi terhadap konservasi karbon

hutan dan pendekatan untuk mengantisipasi dampak negatif deforestasi dan

degradasi.

Page 53: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

38

Universitas Indonesia

“Adaptive capacity is the property of a system to adjust its

characteristics or behavior, in order to expand its coping range under

existing climate variability or future change conditions. The expression of

adaptive capacity as actions that lead to adaptation can serve to enhance

a system’s coping capacity and increase its coping range thereby

reducing its vulnerability to climate hazards. The adaptive capacity

inherent in a system represents the set of resources available for

adaptation, as well as the ability or capacity of that system to use these

resources effectively in the pursuit of adaptation. It is possible to

differentiate between adaptive potential, a theoretical upper boundary of

responses based on global expertise and anticipated developments within

the planning horizon of the assessment, and adaptive capacity that is

constrained by existing information, technology and resources of the

system under consideration.” (UNDP, 2005 dalam Levina dan Tirpak,

2006)

(Kemampuan adaptif adalah kemampuan sebuah sistem untuk mengubah

karakteristik atau perilaku, dalam rangka memperluas jangkauan coping

variabilitas iklim eksisting atau perubahan kondisi iklim di masa

mendatang. Kemampuan adaptif diungkapkan sebagai tindakan yang

mengawali adaptasi melaui cara meningkatkan kapasitas penanganan

sistem dan meningkatkan jangkauan coping yang sehingga mengurangi

kerentanan terhadap bahaya iklim. Kemampuan adaptif yang melekat

dalam sebuah sistem merupakan seperangkat sumberdaya yang tersedia

untuk adaptasi, serta kemampuan ataukapasitas dari sistem tersebut untuk

menggunakan sumberdaya secara efektif dalam praktik adaptasi yang

sesuai. Hal ini dimungkinkan untuk membedakan antara potensi adaptif,

batas teoritis atas tanggapan berdasarkan keahlian global dan

mengantisipasi perkembangan dalam horizon perencanaan penilaian dan

kemampuan adaptif dibatasi oleh informasi yang ada, teknologi dan

sumberdaya sistem yang dipertimbangkan) (UNDP, 2005 dalam Levina

dan Tirpak, 2006)

Page 54: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

39

Universitas Indonesia

“Adaptive capacity is the ability of a system to adjust, modify or change its

characteristics or actions to moderate potential damage, take advantage of

opportunities or cope with the consequences of shock or stress.”(Kemampuan

adaptif adalah kemampuan sistem untuk menyesuaikan, memodifikasi atau

mengubah karakteristik atau tindakan moderat terhadap potensi kerusakan,

memanfaatkan peluang atau mengatasi konsekuensi dari guncangan atau tekanan)

(Brooks, 2005 dalam Graham, 2012). Kemampuan adaptif akan terbentuk setelah

komunitas local mendapat bekal pengetahuan melalui partisipasi langsung

maupun tidak langsung dalam serangkaian kegiatan DA REDD+. Dengan

demikian, partisipasi komunitas local menjadi bagian penting dalam menciptakan

aksi adaptasi. Dimana upaya adaptasi perlu didukung oleh semua komponen

masyarakat. “Adaptation is made up of actions throughout society, by individuals,

groups, and governments.” (Adaptasi perlu didukung oleh semua komponen

masyarakat, baik individu, kelompok-kelompok, dan pemerintah) (Smitt et al,

2000 dalam Adger, Arnell, & Tompkins, 2005). Kelembagaan yang berkaitan

dengan adaptasi melibatkan kelembagaan formal (pemerintah) dan non formal

(LSM). Atribut dari kapasitas kepemerintahan dan individu, organisasi atau

komunitas untuk beradaptasi menentukan keberhasilan adaptasi terhadap

perubahan iklim (Pelling dan High 2005 dalam Locatelli 2009).

Dalam melakukan adaptasi, semua komponen masyarakat perlu

menyesuaikan dengan sistem yang ada. Dimana adaptasi yang terbentuk dapat

bersifat sebagai penjaring “Adjustment in natural or human systems in response

to actual or expected climatic stimuli or their effects, which moderates harm or

exploits beneficial opportunities.” (Penyesuaian sistem alam maupun manusia

dalam menanggapi stimulus iklim aktual atau yang akan datang atau efek yang

ditimbulkan, dengan mengontrol kerusakan atau mengeksploitasi peluang yang

menguntungkan) (IPCC TAR, 2001). Manusia tidak dapat melepaskan

interaksinya dengan alam karena alam memiliki potensi sumberdaya yang

melimpah. Oleh karena itu manusia perlu menyesuaikan diri dengan melakukan

adaptasi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan di masa mendatang.

Page 55: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

40

Universitas Indonesia

“A suitable enabling environment is needed to ensure that individuals and

societies are capable of making the changes necessary to respond to climate

change and other changes. (Kondisi lingkungan yang mendukung diperlukan

untuk memastikan bahwa individu maupun kelompok komunitas mampu

membuat perubahan yang diperlukan untuk menanggapi perubahan iklim serta

perubahan lain yang mungkin ditimbulkan) (Levine, Ludi, dan Jones, 2011).

Dengan dukungan dari lembaga pemerintah maupun LSM, kemampuan yang

semakin berkembang seiring dengan pengetahuan yang bertambah, diharapakan

akan membentuk keinginan sebagai wujud kesadaran pribadi maupun komunitas

terutama terkait dengan upaya konservasi karbon hutan melalui pelestarian hutan

dan kekayaan sumberdaya hayati yang ada di Taman Nasional Meru Betiri.

Adaptasi dalam implementasinya melibatkan 3 (tiga) komponen yang

terangkai dalam sebuah sistem yang berkembang untuk saling mendukung.

Sebagaimana IPCC TAR (2001) mengungkapkan, Adaptation as an adjustment in

ecological, social or economic systems in response to observed or expected

changes in climatic stimuli and their effects and impacts in order to alleviate

adverse impacts of change or take advantage of new opportunities. (Adaptasi

sebagai sebuah bentuk penyesuaian dalam sistem ekologi, sosial atau ekonomi

untuk menanggapi perubahan yang tampak atau yang diharapkan dalam

rangsangan iklim serta efek dan dampak untuk mengurangi dampak negatif dari

perubahan atau mengambil keuntungan dari peluang baru). Adaptasi merupakan

penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang akan meningkatkan

kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal (Brooks, 2003 dalam

Bappenas, 2012) atau penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap sebuah

lingkungan baru atau sebuah lingkungan yang berubah (IPCC TAR, 2001 dalam

Bappenas, 2012). Keberhasilan praktik adaptasi membutuhkan rangkaian proses

yang panjang. “Adaptation does not occur instantaneously a person or community

requires agency, ability, and willingness to realise their adaptive capacity and

adapt succesfully.” (Perilaku adaptasi individu maupun kelompok tidak dapat

tercipta secara instant dimana dibutuhkan peran kelembagaan, kemampuan, dan

keinginan untuk mewujudkan kemampuan adaptif dan upaya adaptasinya

berhasil) (Adger et al, 2004 dalam Levine, Ludi, dan Jones, 2011).

Page 56: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

41

Universitas Indonesia

Dalam melakukan aksi adaptasi diperlukan kemampuan adaptif yang turut

menunjang bagi pelaksanaan aksi adaptasi. “Adaptive capacity means having the

skills, resources, and flexibility to adjust a course of action and prevail in light of

changing conditions. In the context of climate change, adaptive capacity

objectives seek to improve the quality of readiness for dealing with both known

and uncertain effects of climate variability and climate change. Adaptive capacity

fosters forward thinking, planning, and laying the groundwork to avoid harm and

capitalize on opportunity.” (Kemampuan adaptif diartikan sebagai kemampuan

yang dimiliki, sumberdaya dan fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan tindakan

dan perbuatan untuk merubah suatu kondisi. Dalam konteks perubahan iklim,

tujuan pencarian kemampuan adaptif untuk meningkatkan kualitas persiapan yang

berkaitan dengan perihal yang diketahu serta efek yang tidak pasti dari variabilitas

iklim maupun perubahan iklim. Kemampuan adaptif mendorong gagasan ke

depan, perencanaan, dan meletakkan dasar untuk menghindari kerusakan dan

kapitalisasi peluang) (Spearman & McGray, 2011).

Dalam praktiknya, untuk meningkatkan kemampuan adaptif masyarakat

perlu dilakukan sebuah intervensi dimana perannya adalah untuk meningkatkan

dan memberdayakan potensi masyarakat yang belum dikembangkan dengan baik.

Suatu intervensidapat meningkatkan kualitasdan ketersediaan sumberdaya

masyarakat untuk beradaptasi, atau memperbaiki kemampuan untuk

memanfaatkan sumberdaya secara efektif. “Building the capacity for a population

to adapt provides a foundation for anticipating and adjusting to climate

conditions that will continue to change over a long period of time.” (Membangun

kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dapat mendukung dasar untuk

antisipasi dan menyesuaikan dengan kondisi iklim yang akan berlanjut pada

perubahan dalam jangka panjang (Spearman & McGray, 2011)

Adanya kegiatan DA REDD+ merupakan bagian dari adanya bentuk

intervensi pembangunan hutan berkelanjutan, dimana masyarakat memiliki peran

penting dalam sebuah sistem yang ada. “Intervention help people and

communities to adapt to new configuration of their natural, socio-economic and

political environment, and the relationship between them.” (Intervensi dinilai

Page 57: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

42

Universitas Indonesia

membantu masyarakat maupun komunitas untuk beradaptasi kepada pola baru

yang terbentuk dari lingkungan alam, sosial ekonomi dan politik serta hubungan

diantara ketiga komponen tersebut) (Levine, Ludi, & Jones, 2011). Intervensi

pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan karbon

hutan (REDD+) dapat membantu masyarakat dan hutan untuk beradaptasi dengan

perubahan iklim melalui melestarikan dan menguatkan jasa keanekaragaman

hayati dan ekosistem hutan (Pramova, Locatelli, Mench, Marbyanto, Kartika, &

Prihatmaja, 2013).

2.3.2 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)

Kemampuan adaptif masyarakat akan diidentifikasi lebih lanjut oleh

peneliti dengan menggunakan kerangka Local Adaptive Capacity (LAC) yang

dikembangkan oleh ACCRA (Africa Climate Change Reilience Alliance). LAC

difokuskan kepada komunitas lokal dan dikembangkan untuk mengetahui

karaktersitik kemampuan adaptif masyarakat setelah masa DA REDD+ di Taman

Nasional Meru Betiri. Identifikasi kemampuan adaptif masyarakat menggunakan

5 (lima) komponen karaktersitik yang berbeda tetapi sifatnya saling berkaitan satu

dengan lainnya dan saling mempengaruhi (Gambar 2.3), yaitu terdiri dari :

Gambar 2.3 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)

Sumber : ACCRA

Page 58: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

43

Universitas Indonesia

a. Asset Base (Aset dasar)

Dulal (2008) dalam Levine, Ludi, dan Jones (2011) menyebutkan bahwa

penilaian dalam pembentukan kemampuan adaptif yang terjadi di komunitas lokal

difokuskan pada indikator aset dan kapital yang dimiliki.“A community’s ability

to respond to change is strongly influenced by the types of assets it holds, and

access to and control over those assets.”(Kemampuan masyarakat dalam

merespon sebuah perubahan dipengaruhi oleh aset yang dimiliki, serta bagaimana

mengakses dan mengontrol semua aset yang ada) (Daze et al., 2009; Prowse dan

Scott, 2008 dalam Graham, 2012). Aset yang dimaksud antara lain terdiri dari

natural capital, physical capital, financial capital, human capital, dan sosial

capital. Kelima aset tersebut mampu menggambarkan bagaimana kondisi

kehidupan komunitas lokal terutama berkaitan dengan sikap penerimaan dan

kesadaran untuk berperilaku adaptif terutama dalam menghadapi fase setelah

masa DA REDD+ berakhir. Semakin baik dan beragamnya aset dasar yang

dimiliki, maka akan meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal.

DFID (1999) dalam Graham (2012) mengemukakan mengenai 5 asset

base yang terdiri dari :

a. Natural capital adalah kekayaan sumberdaya alam yang mencukupi

kebutuhan sumberdaya dan menyediakan jasa ekosistem untuk mendukung

livelihood masyarakat.

b. Physical capital merupakan infrastruktur dasar, alat dan peralatan

yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berfungsi lebih produktif

untuk mendukung mata pencaharian masyarakat. Physical capital

terdiri dari unsur-unsur seperti transportasi yang terjangkau, tempat

tinggal yang aman dan bangunan, penyediaan air dan sanitasi yang

bersih, energi yang terjangkau dan akses ke layanan komunikasi.

c. Financial capital adalah sumber daya keuangan yang digunakan

masyarakat untuk mengadopsi strategi mata pencaharian yang berbeda.

d. Human capital berupa keterampilan, pengetahuan, kemampuan bekerja dan

kesehatan yang baik yang secara bersama mendukung masyarakat untuk

mengejar strategi penghidupan yang berbeda. Human capital dinilai sebagai

Page 59: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

44

Universitas Indonesia

komponen pokok dan sangaat berharga dan mendukung bagi keempat asset

lainnya.

e. Social capital adalah sumber daya sosial yang dimanfaatkan untuk

mendukung tujuan peningkatan livelihood masyarakat. Sumber daya

sosial dikembangkan melalui jaringan informal dan koneksi,

keanggotaan kelompok formal dan hubungan kepercayaan dan saling

menguntungkan yang memfasilitasi kerjasama serta dapat memberikan

jaring pengaman informal bagi masyarakat miskin. Jejaring, aksi kolektif

dan social capital yang melekat juga merupakan kunci penentu untuk

menanggapi perubahan dan untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam

yang berkelanjutan (Adger 2003; Tompkins dan Adger 2004; Pelling dan

High 2005 dalam Locatelli dkk 2009).

b. Institutions and Entitlements (Kelembagaan dan Persamaan Pengakuan Hak)

Pada lembaga tingkat masyarakat biasanya secara informal akan

menentukan hak dan akses terhadap sumber daya, transfer pengetahuan dan akses

untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Masyarakat akan

mengembangkan dan mendefinisikan lembaga sosial dengan baik serta mampu

merespon perubahan lingkungan lebih baik dibandingkan dengan pengaturan

kelembagaan kurang efektif (Jones et al, 2010 dalam Graham, 2012). Dimana

dalam hal ini lembaga memiliki peran penting dalam mendukung kemampuan

adaptif komunitas lokal. Lembaga merupakan kontrol dari sistem regulasi dan

struktur organisasi yang ada (Ostrom, 2005 dalam Graham, 2012). Lembaga

lebih ditekankan pada lembaga yang bersifat formal (pemerintah) maupun

lembaga yang bersifat non formal (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM).

Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan

mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang

mendukung kemampuan adaptif masyarakat untuk menjaga hutan. “...These

include rules such as land tenure rules like claims to common property resources;

cultural beliefs and practices concerningthe rights and roles of women; and

family, clan and church networks through which assets are shared.” (…termasuk

aturan seperti aturan kepemilikan lahan seperti klaim untuk sumberdaya milik

Page 60: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

45

Universitas Indonesia

bersama; keyakinan dan praktik budaya tentang hak dan peran perempuan; dan

keluarga, klien) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012). Oleh karena itu,

partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan pada level komunitas

dinilai penting karena terkait dengan bagaimana sebuah lembaga memberdayakan

atau tidak memberdayakan individu maupun kelompok (Jones et al, 2010 dalam

Graham, 2012).

“The adaptability and flexibility of institutions to respond to climate

change impacts will also influence how well communities are able to adapt.”

(Kemampuan adaptasi dan fleksibilitas sebuah institusi dalam menanggapi

dampak perubahan iklim akan mempengaruhi kelompok masyarakat dalam

beradaptasi) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012). Kemampuan adaptasi dan

fleksibilitas sebuah institusi dalam menanggapi dan mempersiapkan DA REDD+

akan mempengaruhi kemampuan komunitas lokaldalam beradaptasi terhadap

upaya konservasi karbon hutan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana eksistensi

peran lembaga dalam mengatur dan menciptakan partisipasi komunitas

lokaldalam upaya perwujudan konservasi karbon di Taman Nasional Meru Betiri.

c. Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

Pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas lokal serta informasi yang

didapat melalui kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan

adaptif masyarakat. Semakin banyak pengetahun dan informasi yang diperoleh,

serta pemahaman dari setiap rangkaian kegiatan dan tujuan DA REDD+

komunitas lokalakan memiliki banyak pilihan dan menentukan sikap sebagai

bentuk kesadarannya dalam menjaga eksistensi kawasan hutan dan kesejahteraan

hidupnya baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. “Appropriate

knowledge about the future threats of climate change, methods to adapt to these

and the support available to do so is likely to contribute to adaptive capacity of

communities.” (Pengetahuan yang memadai tentangan ancaman di masa

mendatang terkait perubahan iklim, metode adaptasi dan ketersediaan dukungan

untuk melakukan adaptasi akan berkontribusi terhadap kemampuan adaptif

masyarakat) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012).Pembekalan mengenai

Page 61: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

46

Universitas Indonesia

pengetahun dan informasi mutlak diperlukan sebagai bagian dari upaya

peningkatan kesadaran yang akan mengubah perilaku kehidupan komunitas

lokalsehari-hari.

“The way in which informations is generated, collected, analysed, and

disseminated will be important in determining community level adaptive

capacity as well as the adaptive capacity of groups within communities.

This is obviously closely linked to institutions, and communities will need

systems to optimise informal knowledge generation and sharing as well as

best utilise more formal kinds of knowledge (Frankhauser and Tol, 1997

dalam Graham, 2012). The ability to assess the adaptation options

available, given longer term development pressures and changing

community needs, as well as the capacity to implement them is also

required for communities to be able to use knowledge and information in a

way that will contribute to adaptive capacity.”(Jones et al, 2010 dalam

Graham, 2012)

(Langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis

dam disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan

adaptasi masyarakat. Hal ini jelas berkaitan erat dengan keberadaan

lembaga-lembaga, dan masyarakat yang akan membutuhkan sistem untuk

mengoptimalkan generasi pengetahuan informal dan berbagi serta terbaik

memanfaatkan jenis pengetahuan yang lebih formal) (Frankhauser and

Tol, 1997 dalam Graham, 2012).Kemampuan untuk menilai ketersediaan

pilihan adaptasi, telah memberi tekanan pembangunan jangka panjang dan

kebutuhan perubahan pada masyarakat,sebagaimana kemampuan untuk

mengimplementasikannya juga dibutuhkan peran masyarakat untuk

menggunakan pengetahuannya dan informasinya sehingga akan

berkontribusi dalam kemampuan adaptifnya (Jones et al, 2010 dalam

Graham 2012).

Pentingnya pengetahuan, pembelajaran dan pemikiran dianggap sebagai

kunci bagi kemampuan adaptif diamini oleh hasil kerja yang lebih luas dalam hal

perubahan di luar perdebatan perubahan iklim, misalnya di literatur mengenai

Page 62: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

47

Universitas Indonesia

pengelolaan bersama yang adaptif untuk hutan (Colfer 2005; Armitage 2008

dalam Locatelli, dkk 2009).

d. Innovation (Inovasi)

Masyarakat membutuhkan suatu inovasi untuk meningkatkan kemampuan

adaptifnya,sehingga akan mendukung perilaku adaptif terhadap upaya konservasi

karbon hutan. Dimana inovasi berkaitan erat dengan ketersediaan asset,

fleksibilitas lembaga, serta akses informasi yang diperoleh masyarakat.

“Innovation closely linked to knowledge and information sharing as individuals

analyse how best to take advantage of opportunities or response to threats

presented by the climate change. It is also closely linked to the assets base, which

determined people’s economics ability to take risks and invest in innovation.”

(Inovasi berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi tambahan yang

diperoleh individu untuk menganalisis bagaimana mengambil peluang atau

menanggapi ancaman dari perubahan iklim. Dimana inovasi juga juga terkait erat

dengan aset dasar yang mencerminkan kondisi ekonomi seseorang dalam

mengambil resiko maupun mengembangkan investasi dalam inovasi)(Ludi et al,

2011 dalam Graham, 2012).

Inovasi antar individu maupun kelompok cenderung berbeda sesuai dengan

pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini menggambarkan bahwa

semakin banyak seseorang maupun kelompok terlibat dalam rangakain kegiatan

DA REDD+, maka inovasinya akan lebih baik. Banyak hal baru yang akan

dilakukan dalam upaya mempraktikkan dan mengembangkan pengetahuan yang

dimiliki. “The ability of a system to support new practices and foster innovation is

a key characteristic of adaptive capacity (Smith et al., 2003 dalam Graham, 2012).

This will be required as social and environmental conditions change and existing

practices and behaviours need to be altered in response, and in some cases totally

changed. Experimentation, innovation and adoption are key features that enable a

system to do this.”(Kemampuan sebuah sistem dalam mendukung praktik baru dan

meningkatkan inovasi menjadi kunci utama dalam menentukan karakteristik

kemampuan adaptif. Hal ini tentunya dibutuhkan perubahan kondisi sosial dan

lingkungan dan praktik-praktik yang ada dan perubahan perilaku diperlukan untuk

Page 63: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

48

Universitas Indonesia

menanggapi respon, dan dibeberapa kasus telah terjadi perubahan total. Percobaan,

inovasi, dan adopsi merupakan kunci yang dapat mendukung sebuah sistem untuk

beradaptasi) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012).

Sistem yang dimaksud adalah seluruh pihak yang terlibat dan

bertanggungjawab dalam menciptakan keharmonisan di alam, yaitu manusia

(yang terdiri dari masyarakat lokal maupun peran sebuah institusi). Inovasi yang

dibutuhkan tidak hanya terkonsentrasi pada inovasi berteknologi tinggi ataupun

ide-ide berskala besar, tetapi akan lebih terpusat pada inovasi pada level mikro.

Komunitas lokalbagian dari sebuah sistem mikro dimana kemampuan serta

pengetahuannya berbagi informasi akan menjadi sebuah solusi dalam

menciptakan peluang dan merespon upaya konservasi karbon hutan.

Inovasi yang berkembang di dalam individu maupun kelompok, secara

tidak langsung akan mendapat pengaruh dari luar yang cukup kuat. Dalam

kegiatan DA REDD+ yang didukung oleh pihak Manajemen Taman Nasional

Meru Betiri dan LSM Lokal yang mendampingi kegiatan pemberdayaan

masyarakat dinilai akan berdampak positif bagi timbulnya inovasi individu

maupun kelompok.

e. Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Keterbukaan

dan orientasi ke depan, pengambilan keputusan, dan tata kelola

organisasi/pemerintahan)

Dalam sebuah sistem yang bekerja diperlukan keterlibatan secara bersama

untuk menciptakan sebuah komponen utuh yang saling bekerjasama untuk

mengatasi dampak perubahan iklim. Kemampuan adaptif individu akan

dipengaruhi oleh setiap keputusan yang telah dibuat. Hal ini tentunya tidak

terlepas dari kepentingan yang ada, apakah keputusan tersebut dapat menjadi

gambaran mengenai keadaan komunitas lokalyang sesungguhnya, bagaimana

hubungan kekuasaan dalam komunitas lokalyang dipengaruhi oleh faktor sosial

dan budaya.

“The ability of a system to anticipate change, incorporate relevant

information and integrate relevant initiatives into future planning and

governance is an important aspect of adaptive capacity. Key features of

Page 64: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

49

Universitas Indonesia

adaptive governance include transparency, prioritisation, collaboration

and the use of relevant information in the decision-making process. This

type of governance and decision-making is likely to be more responsive,

adaptable and better able to cope with changing circumstances.”(Jones et

al., 2010 dalam Graham, 2012)

(Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan,

menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam

perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan

aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif. Hal ini terutama

berkaitan dengan peran pemerintah. Pemerintah juga diharuskan untuk

adaptif dalam pengimplementasian perencanaan pengurangan dampak

perubahan iklim yang diwujudkan dalam bentuk transparansi,

memprioritaskan kerjasama, dan menggunakan informasi yang relevan

dalam proses pengambilan kebijakan. Tata kelola dan pengambilan

keputusan yang demikian cenderung lebih responsif, dan dapat

meningkatkan kemampuan beradaptasi untuk mengatasi perubahan iklim

dan menciptakan pembangunan hutan berkelanjutan) (Jones et al., 2010

dalam Graham, 2012)

Dalam praktiknya, penentuan kemampuan adaptif masyarakat tidak dapat

terlepas dari kondisi-kondisi mendasar seperti tingkat penghasilan dan pendidikan,

kapasitas tata kelola, serta akses terhadap informasi dan teknologi (Burton et al,

2006 dalam Bappenas, 2012).Tata kepemerintahan dengan struktur, mekanisme

dan institusi-institusinya adalah kunci penentu bagi kemampuan adaptif (Adger et

al 2004;Brooks et al 2005 dalam Locatelli, dkk, 2009) karena ia menentukan

kerangka dimana adaptasi terjadi atau dimana adaptasi dibutuhkan (Locatelli, dkk

2009).

2.4 Konsep Pemikiran

Kawasan Hutan TNMB merupakan merupakan kawasan hutan konservasi

dimana hutan adalah milik negara, sejak diberlakukannyaKeputusan Menteri

Kehutanan Nomor: 277/Kpts-VI/1997 terhadap penetapan Meru Betiri sebagai

Taman Nasional. Secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan pengelolaan

Page 65: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

50

Universitas Indonesia

kawasan, dimana akses masyarakat menjadi tertutup dalam pemanfaatan hasil

hutan. Padahal sebagian besar masyarakat desa penyangga khususnya memiliki

ketergantungan penuh pada hasil hutan TNMB. Namun, kegiatan deforestasi

maupun degradasi hutan masih sering terjadi di kawasan TNMB. Sehingga, untuk

mengurangi tingginya deforestasi dan degradasi hutan, maka diputuskanlah

pengelolaan hutan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat melalui

pengelolaan kawasan hutan khususnya dengan diberlakukannya zona rehabilitasi.

Zona rehabilitasi merupakan zona yang diperuntukkan bagi masyarakat untuk

mengelola hutan dan lahan pertanian dengan sistem agroforestry dimana kegiatan

ini pada dasarnya ditujukan untuk menghijaukan kembali lahan hutan yang dulu

pernah ada.

Isu REDD+ menjadi semakin hangat diperbincangkan di kalangan

internasional dimana upaya pengurangan emisi karbon melalu sektor kehutanan

menjadi slaah satu kuncinya. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis ketiga

terbesar di dunia,menyatakan turut berpartisipasi dalam penanggulangan

perubahan iklim melalui sector kehutanan yaitu dengan mengurangi kegiatan

deforestasi dan degradasi hutan. Wujud nyata partisipasi tersebut telah

ditindaklanjuti ke dalam beberapa program DA REDD+ di Indonesia, salah

satunya di kawasan hutan konservasi yaitu Taman Nasional Meru Betiri. Pelibatan

TNMB ke dalam DA REDD+ merupakan bagian dari intervensi pemerintah yang

dilakukan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan di masa mendatang. Melalui

beberapa kegiatan yang dilakukan baik yang berkaitan dengan perhitungan karbon

maupun pelibatan masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan menjadikan nilai

penting bagi masyarakat dengan diakuinya eksistensi mereka dalam pelestarian

hutan.

Rangkaian kegiatan DA REDD+ dinilai dpaat memberikan dampak positif

bagi peningkatan kemampuan adaptif masyarakat yang diwujukan dalam

perubahan perilaku adaptif serta aksi adaptasi dalam kontribusinya pada

konservasi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan adaptif

masyarakat akan diidentifikasi dalam 5 komponen karakteristik yang

dikemukakan oleh ACCRA yang terdiri dariAsset Base; Institutions and

Page 66: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

51

Universitas Indonesia

Entitlements;Knowledge and Information;Innovation; dan Flexible and forward

thinking, decision making, and governance.Kemampuan adaptif yang terbentuk

dalam masyarakat akan mempengaruhi aksi adaptasinya.Adaptasi diperlukan

untuk mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan dimana tercipta hutan

yang lestari melalui konservasi hutan tanpa mengabaikan kesejahteraan

masyarakat. Untuk lebih jelasnya, konsep pemikiran dalam penelitian ini dapat

dilihat dari bagan konsep berikut :

Kegiatan DA REDD+

Intervensi

KEGIATAN TERKAIT KARBON

Mengurangi emisi karbondari deforestasi dandegradasi

Meningkatkan stok karbon

PARTISIPASI MASYARAKAT

Meningkatkan kesadarandan partisipasi masyarakatuntuk konservasi hutan

Meningkatkan matapencaharian masyarakat

KawasanHutan TNMB

Kondisi Eksisting

Keputusan MenteriKehutanan Nomor :277/Kpts-VI/1997

Meru Betiri sebagai TamanNasional – hutan milik

negara

Zona rehabilitasi untukmengakomodir kebutuhan

penduduk di desapenyangga

KemampuanAdaptif

Perlindungan sumberdayaalam hayati dan ekosistemhutan (konservasi hutan)

MeningkatkanKesejahteraan masyarakat

Aksi Adaptasi

PEMBANGUNAN HUTAN

BERKELANJUTAN

Dampak DA REDD+

Page 67: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

52

Universitas Indonesia

BAB 3KEGIATAN DEMONSTRATION ACTIVITY (DA) REDD+

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI

3.1 Gambaran Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri

Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan salah satu kawasan

pelestarian alam yang memiliki potensi flora, fauna dan ekosistem serta gejala dan

keunikan alam yang khas. TNMB merupakan hutan hujan tropis Indonesia dengan

formasi hutan bervariasi yang unik dengan 5 macam vegetasi yaitu vegetasi hutan

pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte

dan vegetasi hutan hujan dataran rendah. Kawasan ini juga memiliki keunikan

khas flora dan fauna perwakilan hutan hujan tropis dataran rendah (Balai Taman

Nasional Meru Betiri, 2012).

3.1.1 Sejarah Kawasan Taman Nasional Meru Betiri

Berdasarkan sejarah perkembangannya (Proyek TNMB, 1995), pada tahun

1931 kawasan hutan Meru Betiri telah ditetapkan sebagai hutan lindung melaui

Besluit Van Den Directur van Landbouw Nederheiden Handel Nomor : 7347/B

tanggal 29 Juli 1931, serta Besluit Directur van Economiche Zaken Nomor : 5751

tanggal 28 April 1938. Pada tahun 1967 kawasan Meru Betiri ditunjuk sebagai

calon Suaka Alam, dan kemudian pada tahun 1972 dengan /keputusan Menteri

Pertanian Nomor : 276/Kpts/Um/6/1972 tanggal 6 Juni 1972 ditetapkan sebagai

Suaka Margasatwa, seluas 50.000 Ha, dengan tujuan utama perlindungan terhadap

jenis harimau jawa (Phantera tigris sondaica). Wilayah Suaka Margasatwa Meru

Betiri kemudian diperluas menjadi 58.000 Ha melalui Keputusan Menteri

Pertanian Nomor 529/Kpts/Um/7/1982 Tanggal 21 Juni 1982. Perluasan ini

meliputi wilayah Perkebunan Bandealit dan Sukamade seluas 2.155 Ha dan

kawasan perairan laut seluas 845 Ha yang membentang sepanjang pantai selatan

Samudera Hindia. Bersamaan dengan Kongres Taman Nasional se Dunia III di

Denpasar, Bali, Suaka Margastawa Meru Betiri ditetapkan sebagai (calon) Taman

Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 736/Mentan/X/1982,

52

Page 68: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

53

Universitas Indonesia

tanggal 14 Oktober 1982. Akhirnya melalui Keputusan Menteri Kehutanan

Nomor: 277/Kpts-VI/1997, tanggal 23 Mei 1997, kawasan Meru Betiri ditetapkan

sebagai Taman Nasional. Luas yang disepakati adalah 58.000 Ha yang terdiri dari

luas daratan 57.155 Ha dan luas lautan 845 Ha meliputi dua wilayah Kabupaten

yaitu Jember dan Banyuwangi (Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS WIBB,

2003).

Sumber : Balai Taman Nasional Meru Betiri

3.1.2 Keadaan Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri

3.1.2.1 Kondisi Geografis

Secara geografis Taman Nasional Meru Betiri terletak antara 8020’48” –

8033’48” LS dan 113038’48” – 113058’30 BT. Kawasan TNMB mencakup luasan

58.000 Ha yang terbagi dua wilayah yaitu 37.585 Ha di Kabupaten Jember dan

20.415 Ha di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Kawasan TNMB berbatasan

dengan :

sebelah utara berbatasan dengan Sungai Sanen dan Perkebunan Malangsari,

sebelah timur, perkebunan Sumberjambe dan Perkebunan Treblasala,

sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia,

sebelah barat, Desa Curahnongko, Curahtakir, dan Perkebunan Kota Blater

Balai Taman Nasioanl Meru Betiri selaku pihak yang diberi kewenangan

atas pengelolaan kawasan membagi zonasi berdasarkan Keputusan Direktur

Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.101/IV-SET/2011

tanggal 20 Mei 2011 dengan pembagian zonasi sebagai berikut :

HutanLindung

Penunjukan CalonSuaka Alam

Penetapan SMMeru Betiri

Perluasan SMMeru Betiri

Calon TamanNasional

Meru Betiri

29 Juli 193128 April 1938 Tahun 1967 6 Juni 1972 21 Juni 1982 14 Oktober 1982

Jaman kolonialBelanda

50.000 Ha 58.000 Ha23 Mei 1997

Penunjukan TN Meru Betiri

Page 69: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

54

Universitas Indonesia

a. Zona Inti, terletak di bagian timur dan sebagian bagian barat kawasan Taman

Nasional Meru Betiri; dimana pada zona ini mutlak dilindungi, di dalamnya

tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.

Kegiatan yang diperbolehkan pada zona ini hanya yang berhubungan dengan

ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.

b. Zona Rimba, tersebar mengelilingi zona inti, namun sebagian besar terletak di

bagian barat laut dan sebagian kecil terletak di bagian selatan kawasan Taman

Nasional Meru Betiri, dimana pada zona ini dapat dilakukan kegiatan

sebagaimana kegiatan pada zona inti dan kegiatan wisata alam yang terbatas.

c. Zona Perlindungan Bahari, merupakan zona rimba yang berada di wilayah

perairan laut memanjang di sebelah selatan Resort Wonoasri hingga Resort

Rajegwesi.

d. Zona Pemanfaatan, terletak pada empat lokasi terpisah, yaitu di Pantai

Nanggelan, Pantai Bandealit, Pantai Sukamade, dan Pantai Rajegwesi

kawasan Taman Nasional Meru Betiri, dimana pada zona ini dapat dilakukan

kegiatan sebagaimana pada zona inti dan zona rimba, dan diperuntukkan bagi

pusat pembangunan sarana/prasarana dalam rangka pengembangan

kepariwisataan alam dan rekreasi.

e. Zona Rehabilitasi, terletak di dua lokasi terpisah, disebelah barat dan sebagian

kecil bagian tenggara kawasan Taman Nasional Meru Betiri, dimana pada

zona ini dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi kawasan yang sudah rusak

akibat perambahan.

f. Zona Tradisional, secara sporadik di bagian barat kawasan Taman Nasional

Meru Betiri. Zona ini merupakan bagian taman nasional yang ditetapkan untuk

kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena

kesejarahannya mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.

g. Zona Khusus, terletak di sebelah tenggara (Rajegwesi) dan sebagian kecil di

sebelah barat laut (Bandealit). Zona ini adalah bagian dari taman nasional

karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan terdapat kelompok masyarakat

dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut

ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas

transportasi dan listrik.

Page 70: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

55

Universitas Indonesia

3.1.2.2 Kondisi Topografi

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri memiliki topografi yang beragam

yaitu berbukit dan dataran rendah pantai. Kawasan TNMB bagian utara relatif

berbukit dengan kisaran elevasi mulai dari tepi laut hingga ketinggian 1.223 m

dari permukaan laut (dpl) di puncak Gunung Betiri. Gunung yang terdapat di

Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu adalah Gunung Rika (535 m dpl), Gunung

Guci (329 m dpl), Gunung Alit (534 m dpl), Gunung Gamping (538 m dpl),

Gunung Sanen (437 m dpl), Gunung Butak (609 m dpl), Gunung Mandilis (844 m

dpl) dan Gunung Meru (344 m dpl). Sedangkan gunung yang terdapat di Seksi

Konservasi Wilayah I Sarongan adalah Gunung. Betiri (1.223 m dpl) yang

merupakan gunung tertinggi, Gunung Gendong (840 m dpl), Gunung Sukamade

(806 m dpl), Gunung Sumberpacet (760 m dpl), Gunung Permisan (568 m dpl),

Gunung Sumberdadung (520 m dpl) dan Gunung Rajegwesi (160 m dpl).

Sedangkan kawasan TNMB bagian selatan sepanjang pantai berbukit-bukit

sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Sedangkan pantai datar

yang berpasir hanya sebagian kecil, dari Timur ke Barat adalah Pantai Rajegwesi,

Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Sungai-

sungai yang berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri antara lain Sungai

Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang

mengalir dan bermuara di pantai selatan Pulau Jawa.

3.1.2.3 Kondisi Iklim

Kawasan TNMB memiliki dua tipe iklim yang berbeda berdasarkan tipe

iklim Schmidt dan Ferguson yaitu untuk kawasan Taman Nasional yang berada di

bagian utara dan tengah termasuk ke dalam klasifikasi tipe iklim B yang

bercirikan tidak memiliki musim kering dan hutan hujan tropika yang selalu hijau,

dan dibagian lainnya termasuk ke dalam tipe iklim C dimana daerah ini memiliki

iklim kering nyata dan merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim.

Page 71: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

56

Universitas Indonesia

3.1.2.4 Kondisi Hidrogeologi

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri memiliki air tanah dan

produktivitas akifer yaitu a) akifer bercelah atau berarang, produktifitasnya kecil

dan daerah air tanah langka. Daerah air langka ini terdapat di sebagian besar

kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Akifer produktif kecil berarti umumnya

keterusan air sangat rendah, air tanah setempat dangkal dalam jumlah terbatas

dapat diperoleh pada zona pelapukan dari batuan padu; b) Akifer dengan aliran

melalui ruang antar butir. Terdapat di daerah dataran pantai, cekungan antar

gunung dan kaki gunung api.

3.1.2.5 Kondisi Sosial Ekonomi

Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dikelilingi oleh 12 desa penyangga,

dimana 8 desa penyangga termasuk dalam wilayah Kabupaten Jember, dan 4 desa

penyangga termasuk dalam wilayah Kabupaten Banyuwangi.Penelitian ini

dilakukan di 3 (tiga) wilayah desa penyangga yang berada di sekitar Kawasan

Taman Nasional Meru Betiri, Propinsi Jawa Timur khususnya yang berada dalam

batas administratif Kabupaten Jember. Wilayah desa tersebut terdiri dari Desa

Curahnongko, Desa Andongrejo, dan Desa Wonoasri.

a. Desa Curahnongko

Desa Curahnongko secara administratif termasuk di dalam Kecamatan

Tempurejo, Kabupaten Jember. Desa Curahnongko berbatasan di sebelah utara

dengan Perkebunan PTPN XII Kalisanen, sebelah timur berbatasan dengan Desa

Andongrejo, sebelah selatan berbatasan dengan kawasan hutan TNMB, dan

sebelah barat berbatasan dengan Desa Wonoasri.Aksesibilitas menuju Desa

Curahnongko tidak ditunjang dengan kondisi jalan yang cukup memadai. Untuk

menuju wilayah desanya, terlebih dahulu melewati kawasan perkebunan Karet

Kotablater milik PTPN.

Kondisi demografis Desa Curahnongko dapat digambarkan bahwa

sebagian besar penduduknya bekerja di sector pertanian, yaitu sebagai buruh tani

(470 jiwa) dan petani pemilik (142 jiwa) (Gambar 3.1). Petani di Desa

Page 72: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Curahnongko dikarakteristikkan sebagai

rehabilitasi dan buruh tani perkebunan

mencukupi secara keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian

penduduk,sehingga sebagian ada yang bekerja di lahan perkebunan karet milik

PTPN dan sebagai petani rehabilitasi

hak pengelolaan atas lahan di zona rehabilitasi

kewajiban untuk menjaga dan menanam tanaman tegakan yang merupakan

tanaman pokok yang harus ditanam seba

bersama melalui sistem agroforestry.

Gambar 3.1

Sumber : MoF, DGFPNC, 2010

Desa Curahnongko merupakan desa percontohan rehabilitasi hutan melalui

intervensi komunitas

kawasan lahan hutan seluas 7 Ha yang ditanami oleh beberapa

pokok yaitu kemiri, kedawung, serta

merupakan species khas TNMB

itu, kegiatan pendampingan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lebih

banyak digalakkan di Desa Curahnongko, sehingga

masyarakatnya lebih unggul dan mandiri dibandingkan dengan dua desa lainnya.

Kelompok petani rehabilitasi memiliki peran yang cukup strategis dalam

menghidupkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi yang ada di desa

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Pemilik Buruh tani

Universitas Indonesia

Curahnongko dikarakteristikkan sebagai petani yang khusunya mengelola lahan

dan buruh tani perkebunan. Ketersediaan lahan sawah tidak dapat

mencukupi secara keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian

,sehingga sebagian ada yang bekerja di lahan perkebunan karet milik

an sebagai petani rehabilitasi. Masyarakat Desa Curahnongko

hak pengelolaan atas lahan di zona rehabilitasi, dimana petani rehabilitasi diberi

kewajiban untuk menjaga dan menanam tanaman tegakan yang merupakan

tanaman pokok yang harus ditanam sebagai salah satu strategi pengelolaan hutan

bersama melalui sistem agroforestry.

1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Curahnongko

Sumber : MoF, DGFPNC, 2010

Desa Curahnongko merupakan desa percontohan rehabilitasi hutan melalui

intervensi komunitas dengan pendampingan LSM lokal yaitu dalam pengelolaan

kawasan lahan hutan seluas 7 Ha yang ditanami oleh beberapa

pokok yaitu kemiri, kedawung, serta berbagai jenis tanaman obat

merupakan species khas TNMB yang telah berlangsung sejak tahun 1993

itu, kegiatan pendampingan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lebih

n di Desa Curahnongko, sehingga secara kapasita

masyarakatnya lebih unggul dan mandiri dibandingkan dengan dua desa lainnya.

Kelompok petani rehabilitasi memiliki peran yang cukup strategis dalam

menghidupkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi yang ada di desa

Buruh tani

57

Universitas Indonesia

petani yang khusunya mengelola lahan

Ketersediaan lahan sawah tidak dapat

mencukupi secara keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian

,sehingga sebagian ada yang bekerja di lahan perkebunan karet milik

Desa Curahnongko memiliki

, dimana petani rehabilitasi diberi

kewajiban untuk menjaga dan menanam tanaman tegakan yang merupakan

tegi pengelolaan hutan

Mata Pencaharian Penduduk Desa Curahnongko

Desa Curahnongko merupakan desa percontohan rehabilitasi hutan melalui

dalam pengelolaan

kawasan lahan hutan seluas 7 Ha yang ditanami oleh beberapa jenis tanaman

berbagai jenis tanaman obat-obatan yang

yang telah berlangsung sejak tahun 1993. Selain

itu, kegiatan pendampingan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lebih

secara kapasitas

masyarakatnya lebih unggul dan mandiri dibandingkan dengan dua desa lainnya.

Kelompok petani rehabilitasi memiliki peran yang cukup strategis dalam

menghidupkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi yang ada di desa

Page 73: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

58

Universitas Indonesia

b. Desa Andongrejo

Desa Andongrejo merupakan desa hasil pemekaran Desa Curahnongko.

Secara administratif, Desa Andongrejo sebelah utara berbatasan dengan PTPN XII

Kalisanen dan kawasan hutan TNMB, sebelah timur dan selatan berbatasan

dengan kawasan hutan TNMB, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa

Curahnongko dan PTPN XII Kalisanen. Aksesibilitas menuju Desa Andongrejo

tidak ditunjang dengan kondisi jalan yang cukup memadai. Untuk menuju wilayah

desanya, terlebih dahulu melewati kawasan perkebunan Karet Kotablater milik

PTPN dan Desa Curahnongko.

Kondisi demografis pendudukDesa Andongrejomemliki karakteristik

agraris, ditandai dengan tingginya mata pencaharian petani baik buruh tani (561

jiwa) dan petani pemilik (163 jiwa) (Gambar 3.2). Petani di Desa Andongrejo

dikarakteristikkan sebagai petani yang khusunya mengelola lahan rehabilitasi dan

buruh tani perkebunan. Ketersediaan lahan sawah tidak dapat mencukupi secara

keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian penduduk,sehingga sebagian ada

yang bekerja di lahan perkebunan karet milik PTPN dan sebagai petani

rehabilitasi. Masyarakat Desa Andongrejo juga diberi hak pengelolaan atas lahan

rehabilitasi, seperti halnya di Desa Curhnongko. Masyarakat yang diberi hak

pengelolaan lahan rehablitasi, diwajibkan untuk menanam tanaman pokok yang

hasilnya boleh dimanfaatkan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan

syarat tidak menebang tanaman pokoknya. Di bawah tanaman tegakan,

diperbolehkan untuk ditanami tanaman palawija. Konsep tersebut menjadi bagian

dari penerapan sistem agroforestry.

Jika melihat kondisi geografisnya yang relatif berdekatan dengan kawasan

hutan TNMB, mengindikasikan bahwa ketergantungan masyarakat sangat tinggi

akan sumberdaya hutan. Aksesibilitas keluar wilayah yang relatif berjauhan

dengan kawasan pusat kecamatan memungkinkan bahwa alternatif mata

pencaharian terbatas. Hal ini terlihat dari Gambar 3.2, keberagaman mata

pencaharian sehingga ketergantungannya tinggi terhadap hasil pertanian maupun

hutan.

Page 74: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Gambar 3.

Sumber : MoF, DGFPNC, 2010

Desa Andongrejo merupakan salah satu desa yang juga mendapat

pendampingan dari LSM lokal khususnya untuk

kelompok ibu-ibu budidaya pengelolaan jamu tradisional.

pendampingan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat

inovasi kegiatan ekonomi agar tidak terlalu bergantung dengan

sertakepedulian terhadap konservasi hutan.

Dalam kegiatan DA REDD+ di TNMB, Desa Curahnongko da

Andongrejo merupakan desa yang mendapat intervensi kegiatan pemberdayaan

masyarakat dimana proses pendampingannya dilakukan langsung oleh LSM lokal

yaitu KAIL. Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk

meningkatkan partisipasinya konser

kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya kegiatan DA REDD+ lebih

diupayakan kepada kegiatan pemberdayaan yang bersifat penguatan.

ini akan menjadi contoh dalam praktik keberhasilan pengelolaan hutan bersa

masyarakat, yang kemudian nanti dapat direplikasikan pada desa penyangga

lainnya.

0

100

200

300

400

500

600

Pemilik Buruh tani

Universitas Indonesia

Gambar 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Desa Andongrejo

Sumber : MoF, DGFPNC, 2010

Desa Andongrejo merupakan salah satu desa yang juga mendapat

pendampingan dari LSM lokal khususnya untuk kelompok petani rehabilitasi dan

ibu budidaya pengelolaan jamu tradisional.

pendampingan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat

inovasi kegiatan ekonomi agar tidak terlalu bergantung dengan

kepedulian terhadap konservasi hutan.

Dalam kegiatan DA REDD+ di TNMB, Desa Curahnongko da

Andongrejo merupakan desa yang mendapat intervensi kegiatan pemberdayaan

masyarakat dimana proses pendampingannya dilakukan langsung oleh LSM lokal

Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk

meningkatkan partisipasinya konservasi karbon hutan telah dilakukan sebelum

kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya kegiatan DA REDD+ lebih

diupayakan kepada kegiatan pemberdayaan yang bersifat penguatan.

ini akan menjadi contoh dalam praktik keberhasilan pengelolaan hutan bersa

masyarakat, yang kemudian nanti dapat direplikasikan pada desa penyangga

Buruh tani

59

Universitas Indonesia

rian Penduduk Desa Andongrejo

Desa Andongrejo merupakan salah satu desa yang juga mendapat

kelompok petani rehabilitasi dan

ibu budidaya pengelolaan jamu tradisional. Kegiatan

pendampingan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal

inovasi kegiatan ekonomi agar tidak terlalu bergantung dengan hasil hutan

Dalam kegiatan DA REDD+ di TNMB, Desa Curahnongko dan

Andongrejo merupakan desa yang mendapat intervensi kegiatan pemberdayaan

masyarakat dimana proses pendampingannya dilakukan langsung oleh LSM lokal

Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk

vasi karbon hutan telah dilakukan sebelum

kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya kegiatan DA REDD+ lebih

diupayakan kepada kegiatan pemberdayaan yang bersifat penguatan. Kedua Desa

ini akan menjadi contoh dalam praktik keberhasilan pengelolaan hutan bersama

masyarakat, yang kemudian nanti dapat direplikasikan pada desa penyangga

Page 75: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

60

Universitas Indonesia

c. Desa Wonoasri

Desa Wonoasri secara administratif terletak di Kecamatan Tempurejo,

Kabupaten Jember. Desa Wonoasri sebelah utara berbatasan dengan PTPN XII

Kalisanen; sebelah timur berbatasan dengan PTPN XII Kalisanen dan Desa

Curahnongko; sebelah selatan berbatasan dengan PTPN XII Kotablater dan

kawasan hutan TNMB; dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Ambulu

(Kecamatan Ambulu). Letak Desa Wonoasri relatif berdekatan dengan pusat Ibu

Kota Kecamatan Ambulu sehingga aksesibilitas masuk dan keluar wilayahnya

cukup tinggi.

Kondisi demografis Desa Wonoasri digambarkan bahwa sebagian besar

penduduknya sebagai petani yaitu petani pemilik sawah (3.166 jiwa) dan buruh

tani (2.177 jiwa) (Gambar 3.3). Sebagian besar masyarakat Desa Wonoasri

memiliki lahan pertanian sawah, karena secara topografi kondisi wilayahnya

relatif datar dan penggunaan lahannya sebagian besar berupa sawah tadah hujan

sawah irigasi. Sedangkan buruh tani merupakan buruh tani yang bekerja di

perkebunan karet yang dikelola PTPN.

Desa Wonoasri merupakan salah satu desa penyangga di kawasan TNMB

dimana dalam kegaitan DA REDD+ hanya dilakukan upaya peningkatan

pengetahuan dan kesadaran melalui penyuluhan tentang manfaat dan fungsi hutan,

perubahan iklim, dan REDD+ yang ditujukan untuk meningkatkan konservasi

karbon hutan. Sedangkan, untuk kegiatan pemberdayaan masyarakatnya terkait

dengan kegiatan DA REDD+ tidak dilakukan.

Page 76: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Gambar 3.

Sumber : MoF, DGFPNC, 2010

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

Pemilik Buruh tani

Petani

Universitas Indonesia

Gambar 3.3 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Wonoasri

Sumber : MoF, DGFPNC, 2010

Buruh tani

Pedagang PNS Konstruksi Nelayan Jasa

61

Universitas Indonesia

Mata Pencaharian Masyarakat Desa Wonoasri

Wiraswasta

Page 77: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

62

Universitas Indonesia

Lokasi Penelitian : Desa Curahnongko,Desa Andongrejo, dan Desa Wonoasri

Page 78: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

63

Universitas Indonesia

3.2 Kegiatan DA REDD+ di Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru

Betiri

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis

terluas ketiga di dunia, serta luasan hutan konservasi yang mencapai 26,8 juta Ha

yang terdiri dari Taman Nasional, Cagar Alam, dan Hutan Rekreasi berpotensi

untuk turut berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dan

peningkatan stok karbon hutan melalui skema REDD+.

Dalam fase persiapan sebelum implementasi REDD+, Indonesia telah

mengadakan kegiatan Demonstration Activity (DA) di kawasan konservasi, yang

salah satunya di Taman Nasional Meru Betiri. Kawasan Taman Nasional Meru

Betiri memiliki keanekaragaman tipe vegetasi yang tinggi yang terbentang dari

pegunungan hingga daerah pesisir, dimana kekayaan ini memberikan dampak

positif dan negative dalam mendukung kelestarian hutan seiring dengan

keberadaan masyarakat yang tinggal relatif berdekatan dengan kawasan hutan

konservasi.

Penyelenggaran kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri

dilakukan atas kerjasama Pemerintah Indonesia (Badan Litbang Kehutanan

melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan serta Balai Taman Nasional

Meru Betiri dan Lembaga Alam Tropika Indonesia/LATIN) yang dibiayai oleh

International Tropical TimberOrganization/ITTO (PD 519/08 Rev 1 (F) dengan

kontribusi dari Perusahaan Jepang yaitu Seven and I Holdings Company, dengan

nilai kegiatan (hibah) sebesar US $ 814.590. Tujuan terselenggaranya DA

REDD+ ini yaitu untuk memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi dari

deforestasi dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon hutan

melalui peningkatan stok karbon hutan dan partisipasi masyarakat dalam

konservasi serta pengelolaan kawasan hutan.

3.2.1 Peraturan Perundangan untuk Kegiatan di Kawasan Konservasi

Dalam Permenhut No. 20/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan

menyebutkan kawasan konservasi layak (eligible) untuk kegiatan REDD. Dalam

pelaksanaannya, kegiatan REDD akan melibatkan masyarakat, oleh sebab itu

Page 79: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

64

Universitas Indonesia

perlu diketahui peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan kawasan

konservasi, terutama menyangkut keterlibatan masyarakat dalam kegiatan di

kawasan konservasi. Berbagai peraturan perundangan yang telah dikeluarkan

yaitu :

a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya,

b. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengganti UU Pokok

Kehutanan No. 5 Tahun 1967,

c. Undang-Undang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman

Hayati No. 5 Tahun 1994,

d. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997,

e. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan

Kawasan Pelestarian Alam,

f. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004

tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan

Pelestarian alam,

g. Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Panduan Zonasi Taman Nasional

Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan

(Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang kolaborasi Pengelolaan

Kawasan Suaka alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memungkinkan

keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam

Taman Nasional. Didukung pula dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang

memungkinkan penataan ruang (zonasi) Taman Nasional, termasuk penetapan

ruang atau zona khusus untuk masyarakat yang berada di dalam Taman Nasional

(Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

Dalam Permenhut Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi

Taman Nasional dijelaskan bahwa zonasi Taman Nasional adalah suatu proses

pengaturan ruang dalam Taman Nasional menjadi zona-zona. Zona Taman

Nasional adalah adalah wilayah di dalam kawasan Taman nasional yang

dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya

Page 80: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

65

Universitas Indonesia

masyarakat. Zona Taman Nasional bisa terdiri dari zona inti, zona rimba, zona

perlindungan bahari untuk wilayah perairan, zona pemanfaatan dan zona lain,

misal zona zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, zona budaya dan sejarah

serta zona khusus (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

Zona khusus diartikan sebagai zona untuk mengakomodasi kelompok

masyarakat yang telah tinggal di kawasan Taman Nasional sebelum ditetapkan

dan atau mengkomodasi sarana/prasarana, seperti telekomunikasi, transportasi,

dan listrik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kondisi wilayah potensial zona

khusus berbeda-beda di setiap Taman Nasional. Batasan zona khsuus dna kriteria

penetapannya seharusnya beragam, sesuai deengan kondisi setempat dan

kesepakatan para pihak. Zona khusus diharapkan menjadi sarana mengatasi

konflik antara masyarakat dengan Taman Nasional. Zona khusus ini menawarkan

ruang negosiasi yang hasilnya diharapkan berupa kesepakatan mengenai

pengelolaan bersama (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

3.2.2 Pelaksanaan Kegiatan DA REDD+ di TNMB

Kegiatan DA REDD+ di TNMB telah berlangsung sejak Januari 2010

yang diresmikan oleh Kementerian Kehutanan. Kegiatan ini diselenggarakan

sebagai wujud dari komitmen pemrintah untuk berpartisipasi dalam upaya

pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 dari sektor kehutanan.

Kegiatan DA REDD+ di TNMB 6telah diselenggarakan selama 4 tahun dari 2010

hingga 2013 dengan executing agency Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat

Litbang Perubahan Iklim dan Kebiajakn yang bekerjasama dengan Balai Taman

Nasional Meru Betiri dan LATIN. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan

partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, dan kegiatan yang mendukung

tercapainya peningkatan kapasitas dalam persediaan sumberdaya dasar dan

akuntansi karbon dalam terukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi (MRV).

Dalam pelaksanaan kegiatan DA REDD+ selama Tahun 2010 – 2013, terdapat 3

macam kegiatan yang terdiri dari :

Page 81: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

66

Universitas Indonesia

a. Kegiatan terkait karbon

Kegiatan DA REDD+ merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan

iklim yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang melibatkan

sektor kehutanan. Kegiatan DA REDD+ terkait dengan karbon ditujukan untuk

memperoleh pembeljaran dalam rangka pengembangan metodologi terkait

estimasi cadangan karbon dan potensi lokasi dalam penyerapan karbon serta

upaya konservasinya (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012). Beberapa kegiatan

DA REDD+ yang terkait karbon menurut pedoman teknis kegiatan di TNMB

antara lain :

1) Meninjau metodologi eksisting tentang perhitungan karbon

Dalam penghitungan karbon digunakan metode Intergovernmental Panel

Climate Change (IPCC) dan Verified Carbon Standard (VCS). Metode IPCC

yang diperlukan untuk inventory terdiri dari dua elemen yaitu (1) data

kegiatan, data yang menunjukkan besarnya kegiatan manusia dalam

penurunan atau peningkatan emisi pada periode tertentu, (2) faktor emisi

suatu koefisien yang menunjukkan tingkat emisi atau serapan per unit

kegiatan. Faktor emisi umumnya didasarkan pada perhitungan emisi atau

serapan data rata-rata sampel kegiatan per periode. Data kegiatan

dikelompokkan dalam enam kategori lahan yaitu lahan hutan, lahan pertanian,

padang rumput, lahan basah, permukiman, dan lahan lainnya.

Untuk Verified Carbon Standard (VCS) pada pertanian, kehutanan dan

peruabhan penggunaan lahan (AFOLU), dalam Wibowo, Maryani, &

Partiani(2012) proses untuk MRV terdiri dari beberapa tahap yaitu :

a. Identifikasi ruang lingkup (scope) kegiatan termasuk menentukan batasan

geografispelaksanaan kegaitan, tipe gas rumah kaca yang akan diukur

(CO2, N2O, CH4) dan pool perhitungan emisi dan serapan

b. Menentukan baseline termasuk memperkirakan unit voluntary carbon

yang akan dihasilkan

c. Membuktikan adanya penambahan atau additionality, termasuk validasi

dari metodolgi, yang merupakan urutan bagaimana meperkirakan emisi

atau serapan

Page 82: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

67

Universitas Indonesia

d. Menelaah dan mengelola resiko untuk ketidakpastian atau kehilangan

karena kebocoran

e. Memperkirakan dan memantau perbedaan bersih emisi atau serapan

dibandingkan dengan tingkat baseline

f. Mengidentifikasi dampak potensi negatif terhadap lingkungan dan sosial

ekonomi serta upaya untuk menguranginya.

2) Mengembangkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pengukuran

lapangan

Standar Operasioanl Prosedur untuk pelaksanaan pengukuran karbon di

lapangan menggunakan metodologi yang diterapkan IPCC guideline 2006

yang membagi cadangan karbon ke dlaam lima bagian yaitu biomassa di atas

taanh, biomassa di bawah taanh, serasah, sisa kayu dan taanh. Pengukuran

lapanagn karbon juga disesuaikan dengan zonasi dan jenis vegetasi yang ada

di kawasan taman nasional yaitu dengan menerapkan desain stratified

sampling.

3) Mengorganisasi dan melakukan pelatihan workshop untuk perhitungan

karbon bagi stakeholder terkait

Pelatihan penghitungan karbon dilakukan bekerjasama dengan Universitas

Brawijaya dengan 2 tahap yaitu tahaap pertama dilakukan di Kabupaten

Jember dan tahap kedua di Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Dimana setiapa

tahapan kegiatan meliputi diskusi dan berbagi pengalaman anatara peserta

dan nara sumber yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam;

kunjungan lapangan dna mengukur biomassa pohon di lahan kering; dan

menganalisis dan menafsirkan data.

Namun, sebelum dilakuakn pelatihan para peserta dibekali denga pengukuran

dan akuntansi stok karbon dilapangan, para peserta diberi beberapa materi

yang berkaitan dengan MRV yaitu definisi perubahan iklim, penyebab dan

efeknya; definisi emisi, karantina, adaptasi, mitigasi, perubahan lahan,

penggunaan lahan, REDD, dan REDD+; serta MRV kegiatan dan

penghitungan karbon menggunakan RaCSA (Carbon Stok Appraisal secara

cepat) (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

4) Melakukan analisis penginderaan jauh

Page 83: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

68

Universitas Indonesia

Salah satu pendekatan perhitungan karbon hutan yang paling mungkin yaitu

menggunakan interpretasi data spasial melalui analisis perubahan penggunaan

lahan dan gas rumah kaca dengan tingkat tertinggi (Tier 3) yang berpedoman

pada IPCC guideline 2006. Analisis citra satelit menggunakan data SPOT 4

(1997 dan 2005), Landsat 7 ETM+ (1997,1999, 2001,2002,2003,2007, dan

2010), ALOS AVNIR-2 (2007 dan 2009), serta topografi (2000).

5) Menentukan batasan wilayah proyek untuk memfasilitasi pengukuran dan

pemantauan perubahan karbon stok

Hasil dari kegiatan ini telah menetapkan batas proyek DA REDD yang

meliputi seluruh kawasan Taman Nasional Meru Betiri yaitu seluas 58.000

Ha. Dalam kajian spasial menggunakan GIS, dihasilkan peta batas proyek dan

penentuan 40 petak contoh permanen (Permanent Sample Plots/PSP) untuk

memfasilitasi pengukuran karbon. Beberapa informasi yang dibutuhkan

mencakup peta penutupan lahan, peta vegetasi, peta DAS, topografi, geologi

dan permukaan bumi. Berdasarkan rencana pengelolaan, TNMB dibagi

kedalam beberapa zona yaitu zona inti, zona rimba, zona rehabilitasi, zona

pemanfaatan khusus, dan zona pemanfaatan intensif. Sedangkan menurut tipe

hutan, TNMB terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan

hujan tropik dan hutan bambu (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

6) Mengembangkan SOP untuk pengukuran biodiversitas

Kegiatan REDD+ memiliki peran penting juga dalam menjaga

keanekaragaman hayati (biodiversitas) sehingga dalam kegaitan DA REDD+

mencoba untuk membuat standar yang mendukung penilaian kenekaragaman

hayati di kawasan konservasi TNMB.

7) Melakukan analisis perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan dan

menghitung perubahan stok karbon untuk menentukan baseline proyek

Penyiapan abseline estimasi emisi di TNMB dilakukan dengan beberapa

langkah yaitu :

Melakukan analisa perubahan penutupan lahan dengan menggunakan citra

satelit. Menyiapkan matriks perubahan penutupan lahan (LCM) untuk

periode 1997-2010 yang menjadi 6 kategori penutupan lahan menurut

Page 84: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

69

Universitas Indonesia

IPCC Guideline 2006 yaitu lahan hutan, lahan pertanian, padang rumput,

lahan basah, permukiman dan lahan lainnya.

Melakukan estimasi tingkat deforestasi tahunan untuk periode 1997-2010

Mengumpulkan data kerusakan hutan yang disebabkan oleh degradasi

(pembalakan liar, kebakaran hutan dan perambahan lahan)

Menghitung biomassa dan karbon dari masing-masing tipe hutan

(Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

8) Meninjau metodologi REDD+ dan menyiapakan Dokumen Desain Proyek

sesuai standar yang ditentukan

Dalam pelaksanaan DA REDD+ di TNMB menggunakan metode VM-0015

yang dikembangkan oleh VCS yaitu pengurangan emisi dari pencegahan

deforestasi dan degradasi yang tidak terencana (avoided uplanned

deforestation).

9) Mempersiapkan sistem kelembagaan untuk memantau stok karbon hutan di

TNMB

Kegiatan ini ditujukan untuk memudahkan akses informasi mengenai stok

karbon di TNMB melalui platform web. Sistem kelembagaan yang

mendukung pemantauan stok karbon membutuhkan sumberdaya yang dapat

menjadi hambatan. Sistem ini juga dapat digunakan untuk tujuan lain tidak

hanya karbon, tetapi juha informasi tentang masyarakat, perlindungan hutan

dan keanekaragaman hayati. Pemantauan juga didukung dengan melibatkan

masyarakat dimana kegiatan ini dapat menjadi andalan dan lebih murah dari

segi pembiayaan untuk pemantauan sumberdaya alam. Sistem pemantauan

karbon stok juga secara umum mendukung keberlanjutan keseluruhan

kawasan konservasi TNMB. Platform web juga perlu dikembangkan agar

dapat digunakan oleh pihak lain dan mendukung MRV di tingkat provinsi

serta nasional (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

10) Mengidentifikasi pengukuran untuk meningkatkan pengurangan emisi yang

berkelanjutan dan meningkatkan stok karbon di TNMB

Taman Nasional Meru Betiri sebagaimana telah ditetapkan sebagai Kawasan

Konservasi melalaui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 277/Kpts-

VI/1997, tanggal 23 Mei 1997 maka kegiatan deforestasi tidak terlalu tinggi,

Page 85: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

70

Universitas Indonesia

berbeda halnya dengan degradasi hutan. Semakin tingginya populasi

penduduk di sekitar kawasan hutan menjadi ancaman bagi TNMB. Dalam

Wibowo, Maryani, & Partiani (2012), penelitian ini kemudian ditujukan

untuk mengidentifikasi langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon dan

peningkatan stok karbon hutan, melalui beberapa kegiatan yaitu :

Menghindari deforestasi, jumlah emisi yang dapat dikurangi dengan

menghentikan praktik deforestasi selama periode kredit adalah sekitar

295.036 ton CO2e.

Menghindari degradasi,degradasi hutan merupakan sumber potensial

emisi dari LULUCF. Di TNMB, kegiatan menghindari degradasi termasuk

pengendalian pengambilan kayu bakar, penebangan liar, perambahan

hutan, dan pengendalian kebakaran.

Konservasi, luas kawasan hutan TNMB adalah 47.771 Ha. Dengan asumsi

pertumbuhan alam sebesar 0,25 ton/ha/tahun, akan ada peningkatan stok

karbon sebesar 0,25 x 148,7 ton/ha/tahun = 37.175 ton/ha/tahun. Atau

peningkatan karbon sebesar 47.771 x 37.175 = 1.775.515 ton C/ tahun atau

5.580.191 ton CO2e/tahun.

Meningkatkan stok karbon, kondisi saat ini memiliki kerapatan pohon

sekitar 124 pohon/ha. Jumlah penyerapan GRK melalui penanaman pohon

dengan skenario 160 pohon/ha adalah 1.020.966 t CO2e, 200 pohon/ha

sekitar 1.189.387 t CO2e dan 300 pohon/ha sekitar 1.610.441 t CO2e.

b. Kegiatan terkait pelibatan masyarakat

Pelatihan masyarakat dalam kegiatan teknis DA REDD+ bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitar Taman Nasional

Meru Betiri. Masyarakat menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan

keberhasilan implementasi kegiatan DA REDD+. Beberapa kegiatan tersebut

antara lain :

1) Meninjau skema eksisting dan pembelajaran dari wilayah sekitar proyek

Beberapa kegiatan yang bertujuan untuk upaya konservasi hutan telah

dilakukan melalui kerjasama yang telah ada dengan melibatkan partisipasi

masyarakat khususnya di sektor pertanian dan penanaman disekitar kawasan

Page 86: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

71

Universitas Indonesia

hutan misalnya penanaman di zona rehabilitasi, penanaman tanamn obat

keluarga, dan pemeliharaan ternak. Kegiatan ini tentunya perlu melibatkan

beberapa stakeholder terkait khusunya dari partisipasi masyarakat yang

didalamnya diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan kehutanan dan

kesejahteraan masyarakat serta partisipasi dalam upaya konservasi hutan.

Dalam hal ini masyarakat menjadi subyek sekaligus obyek dalam kegiatan

dimana pemberian bekal pengetahuan menjadi penting misalnya terkait

dengan pemberian informasi/sosialisasi tentang pendidikan konservasi, sistem

agroforestry, proses dan pemasaran hasil pertanian, eowisata dan teknologi

alternatif yang aplikatif.

2) Melaksankaan pertemuan stakeholder untuk mengidentifikasi skema yang

paling layak untuk TNMB

Kegiatan FGD maupun diskusi langsung yang melibatkan beberapa

stakeholder yang meliputi masyarakat lokal, manajemen Taman Nasional

Meru Betiri, LSM lokal, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak

swasta menghasilkan bahwa selama ini telah terjalin berbagai kerjasama

dengan masyarakat lokal dan stakeholder terkait khususnya untuk beberapa

hal misalnya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan TNMB maupun

upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Hasil konsultasi menyebutkan bahwa partisipasi masyarakt tidak dapat

diharapkan keberlangsunganya, apabila tujuan peningkatan kesejahteraan

masyarakat berbasis konservasi tidak terwujud. Berkaitan dengan upaya

mitigasi perubahan iklim, partisipasi masyarakat sekarang belum dapat

menjamin terhentinya perambahan dan kebarakan hutan, karena itu partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan TNMB perlu ditingkatkan, antara lain dengan

penguatan kepastian hukum dalam partisipasi, konsistensi aturan

pembangunan mekanisme komunikasi, peningkatan penggunaan lahan yang

optimal dan dukungan dari peemrintah lokal dan swasta dalam peningkatan

produkticitas, teknologi, dan pasar (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

3) Melakukan program kegiatan penyadaran

Program peningkatan kesadaran ditujukan untuk meningkatkan pemahaman

masyarakt tentang isu perubahan iklim, peran hutan, REDD+ dan pada

Page 87: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

72

Universitas Indonesia

akhirnya mengurangi penebangan liar dan perambahan hutan melalui

peningkatan kesadaran tentang pentingnya menjaga fungsi ekosistem

(Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

4) Melakukan pelatihan khusus untuk ketua kelompok masyarakat, pilisi, dan

staf pemerintahan daerah

Pelatihan yang dilakukan memilih tema mengenai pengamanan hutan dan

pencegahan kebakaran hutan dengan melibatkan tokoh masyaraakt, pihak

kepolisian, staf pemerintah daerah, dan fasilitator. Tujuannya untuk melatih

sikap yang harus diambil oleh masyarakat dan para pihak yang terkait

penyimpangan dan gangguan yang dilakukan di dalam dan sekitar TNMB

(seperti pencurian kayu, perambahan hutan, pemburuan satwa, dan gangguan

lainnya); dan melatih sikap penanganan terhadap kebakaran hutan agar dapat

menghentikan penyebaran api dan meminimalisir dampak kerusakannya.

5) Meningkatkan potensi kegiatan ekonomi melalui Program Kerjasama

Kehutanan Masyarakat

Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung peningkatan sosial ekonomi

masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi emisi dan meningkatkan

stok karbon. Masyarakat diarahkan untuk menuju pola pemanfaatan lahan

agroforestry yang optimal. Telah diidentifikasi pola pemanfaatan lahan yang

optimum terkait nilai ekonomi dan stok karbon, yatiu 6 jenis agroforestry di

Desa Curahnongko. Selain itu difasilitasi adanya kemitraan di enam desa

lainnya. Kegaitan ini ditunjang pula dengan kegiatan pemetaan yang

dilakuakn melalui kerjasama masyarakat, LSM dan petugas TNMB, dimana

kegiatan pemetaan meliputi jenis agroforestry di zona rehabilitasi TNMB

yang dikelola oleh kelompok tani Desa Curahnongko. Dalam Wibowo,

Maryani, & Partiani(2012), kegiatan pemetaan batas agroforestry yang

dikelola oleh kelompok tani atau individu memiliki 3 manfaat, yaitu :

a. Hasil pemetaan menjelaskan semua lokasi lahan masing-masing individu

secara rinci termasuk batas, jenis, dan jumlah pohon di lahan tertentu.

Oleh karena itu hasil pemetaan otomatis akan menggambarkan distribusi

jenis agroforestry dan pemiliknya.

Page 88: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

73

Universitas Indonesia

b. Hasil pemetaan berguna sebagai sumber untuk studi ekonomi dan ekologi

dari setiap jenis agroforestry

c. Hasil pemetaan diguanakn sebagai pelengkap perjanjian kerjasama antara

petani dan pengelolaan TNMB. Kegiatan telah menghasilkan hasil data

primer dan sekunder dalam bentuk peta dengan skala 1 :75.000.

6) Meningkatkan peran kelembagaan lokal untuk upaya mengurangi illegal

logging dan pemberdayaan

Kegiatan penyuluhan mengenai aspek hukum terkait kehutanan, peran

penting TNMB, dan sanksi hukum bagi mereka yang melakukan gangguan

hutan seperti kebakaran, penebangan liar dan perambahan hutan. Output dari

kegiatan selama 3 tahun akan mencakup ketersediaan data gangguan hutan

(illegal logging, perambahan hutan, dan lain-lain), peningkatan kapasitas

kelembagaan SPKP di desa-desa penyangga TNMB untuk mendukung

kelestarian hutan. serta pelatihan yang diberikan kepada masyarakat dan

bantuan peralatan untuk mengembangkan jamur tiram (Wibowo, Maryani, &

Partiani, 2012).

7) Mengorganisir dan melakukan pelatihan workshop untuk inventarisasi

sumberdaya yang melibatkan stakeholder terkait

Pelatihan dilakukan dengan melibatkan petani agar dpaat melakukan

inventarisasi aset/tanaman yang ada di lahannya. Kegiatan tersebutdiawali

dengan menentukan lokasi lahan yang akan diinventarisasi, memetakan, dan

menghitung nilai ekonomi dan nilai kandungan karbon di dalam areal lahan

miliknya.

8) Meningkatkan skala pembelajaran dan praktik yang baik dan

mendiseminasikannya

Tujuannya adalah untuk mendiseminasikan ke skala yang lebih luas

pembelajaran dari pelaksanaan DA REDD+ di TNMB terkait pelibatan

masyarakat dan MRV dalam perhitungan karbon serta mencari masukan guna

mengatasi berbagai masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan kegiatan di

lapangan. workshop yang dilakukan menyajikan beberapa topik terkait yaitu

1) Kemajuan pelaksanaan DA REDD+ di TNMB, 2) Penyiapan Project

Design Document/PDD, 3) MRV dalam perhitungan karbon, 4) Pelaksanaan

Page 89: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

74

Universitas Indonesia

REDD+ di kawasan konservasi, 5) Pemberdayaan masyarakat, 6) Kesiapan

Balai TNMB dalam pelaksanaan REDD+, 7) Pelatihan kepada masyarakat,

dan 8) Pembelajaran dari pelaksanaan DA di TN Berbak (Wibowo, Maryani,

& Partiani, 2012).

9) Meningkatkan stok karbon di zona rehabilitasi melalui keterlibatan

masyarakat

Rehabilitasi hutan atau penanaman pohon di kawasan hutan TNMB pada

zona rehabilitasi adalah cara untuk meningkatkan stok karbon dlaam konteks

REDD+. Kegiatan ini melibatkan masyarakat lokal secara keseluruhan

termasuk mahasiswa. Tidak hanya dari proyek REDD+, keterlibatan

masyarakat lokal dalam rehabilitasi hutan juga harus didukung oleh berbagai

pihak. Para pihak seperti RECOFT telah mendukung kegiatan melalui studi

adaptasi, serta kemitraan dengan SOFEDEV serta bantuan dari peserta study

tour dari Kamboja untuk mendukung program PINTAR. Program PINTAR

adalah program yang diinisiasi oleh LSM yang memberikan insentif kepada

masyarakat yang menjaga kelestarian hutan dan melakukan penanaman

tanaman kehutanan. Program ini juga diperkenalkan untuk mendapatkan

dukungan dari perusahaan swasta seperti Sampoerna Foundation, Unilever,

Koran Tempo, Jarum, Pertamina, dan lainnya (Wibowo, Maryani, & Partiani,

2012).

10) Kunjungan lapangan

Kunjungan lapangan biasanya dilakukan ke Taman Nasional Meru Betiri

sebelum pertemuan PSC. Kunjungan yang diikuti oleh anggota PSC dan

perwakilan dari ITTO dan Seven and i Holdings Company dimaksudkan

untuk melihat progress pelaksanaan di lapangan dan hambatan yang ditemui.

Pada berbagai kesempatan kunjungan lapangan, difokuskan kepada

kunjungan dan diskusi dengan berbagai elemen masyarakat misalnya

kelompok tani, kelompok kerajinan masyarakat, sekolah dasar dan sekolah

menengah, serta kelompok ibu-ibu pengusaha industri rumah tangga.

Berbagai kegiatan dilaksanakan misalnya pertemuan kelompok tani untuk

membahas MoU, diskusi terbuka, penanaman serta pelaksanaan

Page 90: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

75

Universitas Indonesia

kompetisi/lomba menggambar dan pembacaan puisi yang bertemakan

lingkungan (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

Kegiatan DA REDD+ dilakukan didalam kawasan TNMB dengan prioritas

kegiatan di zona rehabilitasi. Zona rehabilitasi merupakan zona yang khusus

diperuntukkan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan desa penyangga untuk

mengurangi interaksi negatif masyarakat terhadapzona inti kawasan TNMB.

Menurut sejarahnya, pada awal tahun 1997 terjadi perambahan besar-besaran

terhadap areal yang dulunya merupakan perkebunan jati oleh sejumlah pihak yang

tidak bertanggungjawab. Sehingga kemudian, pihak TNMB memberikan hibah

lahan untuk masyarakat dengan ditetapkannya zona rehabilitasi.

Program rehabilitasi sudah dilaksanakan sejak tahun 1999 secara swadaya

dengan tujuan awal agar lahan terbuka dapat segera tertutup. Sejak tahun 2002

program rehabilitasi mulai dilakukan secara intensif mulai dari pembentukan

kelompok tai mitra rehabilitasi (Ketan Merah), pendampingan-pendampingan,

penyediaan bibit, monitoring dan evaluasi. Prinsip dasar program rehabilitasi

adalah mengembalikan fungsi hutan seperti semula dengan melibatkan peran aktif

masyarakat sekitar kawasan dengan azas yang saling menguntungkan diserai

dengan kesepakatan tertulis. Bagi pihak balai TNMB mendapatakan keuntungan

dari tertanamnya tanaman pokok yang telah ditentukan sedangkan bagi

masyarakat adalah memperoleh keuntungan melalui pemanfaatan lahan untuk

tanaman umpangsari (semusim) serta buah (berkhasiat obat seperti kedawung,

kluwek, kemiri, dll) dari tanaman pokok. Sampai dengan tahun 2009 lahan

terbuka dari 2500 Ha yang ditanami seluas 1375 Ha dengan melibatkan 5242 KK

masyarakat yang dibagi menjadi 116 kelompok tani yang tersebar di 4 resort dan

akan dilakukan penanaman hingga mencapai 2500 Ha (Taman Nasional Meru

Betiri, 2010).

c. Kegiatan di tingkat pusat

1) Pertemuan PSC (Project Steering Committee)

Project Steering Committeeyang diketuai oleh Kepala Badan Litbang

Kehutanan secara rutin melaksanakan pertemuannya yang dihadiri oleh

Page 91: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

76

Universitas Indonesia

para anggota (dari berbagai eselon 1 terkait dan Pemerintah Daerah) dan

perwakilan dari Kedutaan Besar Jepang, wakil dari ITTO, wakil dari

Seven and i Holdings Company dan para kontributor. PSC meeting telah

dilaksanakan sebanyak lima kali. Pertemuan PSC dilaksanakan dengan

mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan memberikan arahan pelaksanaan

kegiatan (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

2) Proses registrasi

Peraturan Direktorat Jenderal PHKA No. P.7/IV-Set/2012 tentang tata cara

permohonan dan penilaian registrasi serta penyelenggaraan DA REDD+ di

hutan konservasi dikeluarkan pada tanggal 31 Oktober 2012, berisi 12

pasal, sebagai acuan bagi pemrakarsa, mitra dan pemerintah dalam

pengajuan registrasi dan penyelenggaraan DA REDD+ di kawasan

konservasi. DA REDD+ di TNMB telah mengajukan proposal registrasi

bersama-sama dengan DA REDD+ di Taman Nasional lainnya yaitu

Berbak, Tesso Nilo, dan Sebangau. Pada prinsipnya proses registrasi telah

disetujui oleh Dirjen PHKA melalui Surat Nomor S-25/IV-

PJLKKHL/2012/2012 tanggal 22 Januari 2013 (Wibowo, Maryani, &

Partiani, 2012).

3) Seminar/workshop

Berbagai seminar dan workshop telah dilaksanakan sebagai sarana untuk

tukar menukar informasi terkait pelaksanaan DA di berbagai tempat di

Indonesiaselain itu, berbagai pertemuan dilakukan Dirjen PHKA untuk

mendukung upaya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi

secara alami (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).

3.2.3 Manfaat Kegiatan DA REDD+ DI TNMB

Sebagaimana dijelaskan dalam tujuan Penyelenggaraan DA REDD+ di

TNMB yaitu memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi dari deforestasi

dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon hutan melalui

peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan Taman

Nasional Meru Betiri tertuang dalam berbagai bentuk kegiatan. Rangkaian

kegiataan DA REDD+ tersebut menjadi salah satu konsep pembelajaran untuk

Page 92: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

penerapan mekanisme REDD di kawasan hutan konservasi sebelum

diimplementasikan secara

Konservasi hutan menjadi tujuan utama dimana didalamnya mencakup

upaya perbaikan fungsi ekosistem hutan. Hutan TNMB dikenal sebagai salah satu

hutan yang memiliki nilai biodiversitas tinggi untuk kekayaan flora dan fauna.

Berbagai jenis tipe hutan

mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. Di dalamnya tumbuh

aneka flora seperti bunga Rafflesia (

sp.), Api-api (Avicennia sp.), waru (

inophyllum), Rengas (

(Alstonia scholaris), Bendo (

obat. Selain itu, kawasan TNMB merupakan habitat dari beberapa satwa yan

dilindungi termasuk 29 jenis mamalia, 180 jenis burung, dan 3 jenis penyu (penyu

belimbing, penyu sisik, dan penyu hijau).

Upaya konservasi hutan dan pelestarian ekosistem akan berjalan dengan

baik seiring dengan meningkatnya kesadaran dan partisip

kegiatan konservasi akan berjalan dengan baik jika masyarakat dilibatkan secara

langsung dalam rangakain kegiatan proyek. Masyarakat adalah aktor utama yang

Kerjasamakelembagaan

dan kemitraan

Universitas Indonesia

penerapan mekanisme REDD di kawasan hutan konservasi sebelum

diimplementasikan secara penuh.

Konservasi hutan menjadi tujuan utama dimana didalamnya mencakup

upaya perbaikan fungsi ekosistem hutan. Hutan TNMB dikenal sebagai salah satu

hutan yang memiliki nilai biodiversitas tinggi untuk kekayaan flora dan fauna.

Berbagai jenis tipe hutan yang terdapat di kawasan TNMB antara lain hutan

mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. Di dalamnya tumbuh

aneka flora seperti bunga Rafflesia (Rafflesia zollingeriana), bakau (

api (Avicennia sp.), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (

), Rengas (Gluta renghas), Bungur (Lagerstroemia speciosa

), Bendo (Artocarpus elasticus), serta berbagai jenis tanaman

obat. Selain itu, kawasan TNMB merupakan habitat dari beberapa satwa yan

dilindungi termasuk 29 jenis mamalia, 180 jenis burung, dan 3 jenis penyu (penyu

belimbing, penyu sisik, dan penyu hijau).

Upaya konservasi hutan dan pelestarian ekosistem akan berjalan dengan

baik seiring dengan meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Setiap

kegiatan konservasi akan berjalan dengan baik jika masyarakat dilibatkan secara

langsung dalam rangakain kegiatan proyek. Masyarakat adalah aktor utama yang

ManfaatDA REDD+

TNMB

KonservasiHutan

Peningkatanpartisipasi

masyarakat

PeningkatanKesejahteraan

Masyarakat

Kerjasamakelembagaan

dan kemitraan

77

Universitas Indonesia

penerapan mekanisme REDD di kawasan hutan konservasi sebelum

Konservasi hutan menjadi tujuan utama dimana didalamnya mencakup

upaya perbaikan fungsi ekosistem hutan. Hutan TNMB dikenal sebagai salah satu

hutan yang memiliki nilai biodiversitas tinggi untuk kekayaan flora dan fauna.

yang terdapat di kawasan TNMB antara lain hutan

mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. Di dalamnya tumbuh

), bakau (Rhizophora

), nyamplung (Calophyllum

Lagerstroemia speciosa), Pulai

), serta berbagai jenis tanaman

obat. Selain itu, kawasan TNMB merupakan habitat dari beberapa satwa yang

dilindungi termasuk 29 jenis mamalia, 180 jenis burung, dan 3 jenis penyu (penyu

Upaya konservasi hutan dan pelestarian ekosistem akan berjalan dengan

asi masyarakat. Setiap

kegiatan konservasi akan berjalan dengan baik jika masyarakat dilibatkan secara

langsung dalam rangakain kegiatan proyek. Masyarakat adalah aktor utama yang

Peningkatanpartisipasi

masyarakat

Page 93: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

78

Universitas Indonesia

memiliki hubungan emosional dan interakasi langsung dengan eksistensi kawasan

TNMB. Beberapa metodologi yang dikembangkan dalam kegiatan pelibatan

masyarakat yaitu peningkatan kapasitas (capacity building), penyadaran

(awareness rising) dan peningkatan pendapatan.

Peningkatan kapasitas ditujukan untuk meningkatkan keterlibatan

masyarakat dalam tahapan implementasi proyek yaitu pada kegiatan yang

berkaitan dengan MRV, dimana masyarakat dilatih dan diberi pengetahuan yang

berkaitan dengan upaya mengurangi aktivitas yang dapat mereduksi cadangan

karbon hutan serta di sisi lain meningkatkan stok karbonnya (Wibowo, Partiani, &

Rachmawati, Demostration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru

Betiri, 2013). Peningkatan kapasitas juga dimaksudkan untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan kunci pokok untuk mengurangi

interaksi negatif masyarakat terhadap TNMB seperti pembalakan liar dan

perambahan hutan. Beberapa upaya alternatif sumber pendapatan masyarakat

yang termasuk dalam desa penyangga mulai digalakkan dengan difasilitasi oleh

LSM lokal melalui pemberdayaan secara optimal terkait sumberdaya wilayah

yang ada.

Kegiatan DA REDD+ menjadi salah satu gerbang pembuka untuk

melibatkan sejumlah pihak turut berpartisipasi dan menyadarkan fungsi serta

perannya masing-masing dalam upaya konservasi hutan. Peningkatan kapasitas

kelembagaan dan sumberdaya manusia melalui pengembangan metode

inventarisasi kawasan hutan konservasi, perhitungan karbon dan pengelolaan basis

data dinilai dapat memberikan kontribusi signifikan pada upaya mitigasi

perubahan iklim. Selain itu, kegiatan ini dianggap sebagai pelopor pendekatan

kemitraan antara pihak TNMB dan masyarakat sekitar desa penyangga (Wibowo,

Partiani, & Rachmawati, Demostration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional

Meru Betiri, 2013).

Page 94: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

79

Universitas Indonesia

BAB 4PERILAKU ADAPTASIKOMUNITAS LOKAL DALAM UPAYA

KONSERVASI KARBON HUTANPASCA DA REDD+

DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI KABUPATEN

JEMBER

Bab ini merupakan uraian temuan lapangan dari studi kasus mengenai

dampak kegiatan DA REDD+ yang ditinjau dari sisi kemampuan adaptif beserta

aksi adaptasikomunitas lokalpasca pelaksanaan DA REDD+ di 3 desa penyangga

Taman Nasional Meru Betiri yaitu Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko

(Resort Andongrejo); dan Desa Wonoasri (Resort Wonoasri).

4.1Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA REDD+

Kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri yang bertujuan

untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta meningkatkan

cadangan karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam

konservasi dan pengelolaan kawasan hutan diimplementasikan melalui beberapa

kegiatan yang berkaitan dengan karbon dan pelibatan komunitas lokal. Dari

rangkaian kegiatan tersebut kemudian penelitian ini difokuskan pada dampak

yang ditimbulkan dari kegiatan DA REDD+ khususnya kemampuan adaptif

komunitas lokal. Dalam pengidentifikasiankemampuan adaptif, peneliti

menggunakan kerangka yang dikemukakan oleh ACCRA yang terdiri atas 5

karakteristik.

Berdasarkan pengenalan dasar mengenai pemahaman ini selanjutnya

akan diidentifikasi kemampuan adaptif dari komunitas lokal di 3 desa penyangga

Kawasan TNMB.Hal ini digunakan untuk mengetahui lebih jauh konsep

kepemahaman dapat menjadi bagian dari perwujudan kemampuan adaptif

komunitas lokaldalam upaya konservasi hutan TNMB.

79

Page 95: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

4.1.1 Asset Base (Ase

Aset dasar yang dimiliki

yaitu :

a. Natural Capital

Sebagai status desa penyangga, masyarakat sekitar TNMB berhak

menerima lahan rehabilitasi sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan

masyarakat dalam m

perambahan di zona rimba. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pihak manajemen

Balai TNMB.“Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan adanya lahan

rehabilitasi. Dengan harapan masyarakat itu tidak ak

kayu maupun non kayu.” (Ngh, Mei 2014)

Natural capital

oleh semua informan.

rehabilitasi yang merupakan pemberian dari pihak manajemen TNMB

status ijin pengelolaan saja bukan merupakan hak milik

Andongrejo dan Curahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90% mas

sini punya lahan di rehab.” (Skw, Mei, 2014)

Gambar 4.

Sumber : Dokumen Penelitian

Hal yang sama diungkapan oleh Sjt

kehidupan sekitar desa penyangga itu sudah sejahtera, tidak terlalu bergantung

sama hutan.” Seperti halnya Sjt, Sri pun mengungkapkan hal yang sama. “Adanya

Universitas Indonesia

(Aset Dasar)

Aset dasar yang dimiliki komunitas lokaldibedakan menjadi

Sebagai status desa penyangga, masyarakat sekitar TNMB berhak

menerima lahan rehabilitasi sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan

masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonominya serta tidak melakukan

perambahan di zona rimba. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pihak manajemen

Balai TNMB.“Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan adanya lahan

rehabilitasi. Dengan harapan masyarakat itu tidak akan merambah hasil hutan baik

kayu maupun non kayu.” (Ngh, Mei 2014)

Natural capital yang merupakan salah satu aset dasar yang hampir dimiliki

eh semua informan. Natural capital berkaitan dengan aset lahan di zona

rehabilitasi yang merupakan pemberian dari pihak manajemen TNMB

status ijin pengelolaan saja bukan merupakan hak milik. “Mayoritas masyarakat di

urahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90% mas

sini punya lahan di rehab.” (Skw, Mei, 2014)

Gambar 4. 1 Lahan rehabilitasi di Desa Curahnongko

Sumber : Dokumen Penelitian

Hal yang sama diungkapan oleh Sjt (2014), “Adanya lahan rehab itu taraf

desa penyangga itu sudah sejahtera, tidak terlalu bergantung

Seperti halnya Sjt, Sri pun mengungkapkan hal yang sama. “Adanya

80

Universitas Indonesia

dibedakan menjadi 4 kelompok

Sebagai status desa penyangga, masyarakat sekitar TNMB berhak

menerima lahan rehabilitasi sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan

emenuhi kebutuhan ekonominya serta tidak melakukan

perambahan di zona rimba. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pihak manajemen

Balai TNMB.“Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan adanya lahan

an merambah hasil hutan baik

yang merupakan salah satu aset dasar yang hampir dimiliki

berkaitan dengan aset lahan di zona

rehabilitasi yang merupakan pemberian dari pihak manajemen TNMB dengan

. “Mayoritas masyarakat di

urahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90% masyarakat

Lahan rehabilitasi di Desa Curahnongko

Adanya lahan rehab itu taraf

desa penyangga itu sudah sejahtera, tidak terlalu bergantung

Seperti halnya Sjt, Sri pun mengungkapkan hal yang sama. “Adanya

Page 96: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

rehab itu lebih banyak kemajuan. Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita

mencari kayu, sekarang kan nggak perl

menambah penghasilan.” (Sri, Mei 2014)

Namun, bagi kedua desa yaitu Curahnongko dan Andongrejo, keberadaan

lahan di rehabilitasi menjadi sangat penting utamanya untuk mendukung kegiatan

perekonomiannya dalam mencukupi

berlaku di Desa Wonoasri, yang sebagian besar masyarakatnya tidak terlalu

menggantungkan pad

Bagi masyarakat Wonoasri, hasil dari lahan rehab hanya meru

sampingan.“Sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu bergantung sama lahan

rehab, tapi kebanyakan masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti kalau

sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa

selalu diandalkan hasilnya, apalagi kayak sekarang lagi

kemarau).” (Ssw, Mei 2014).

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pnm (Mei, 2014),

sambilan aja mbak, nungguin lahan punya orang.

tidak dapat diandalkan sepenuhnya, karena cenderung bergantung dengan musim,

musim penghujan akan lebih menguntungkan bagi petani untuk mengolah lahan

jika dibandingkan dengan musim kemarau. Tanaman sulit untuk tumbuh, hanya

jenis tanaman tertentu yang bis atumbuh dengan baik. Selain itu, bekerja sebagai

buruh di kebun juga menjadi alasan mengapa penduduk Wonoasri hanya

menjadikan lahan rehab sebagai sampingan.

Gambar 4. 2 Perkebunan Karet sebelu

Sumber : Dokumen Penelitian

Universitas Indonesia

rehab itu lebih banyak kemajuan. Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita

mencari kayu, sekarang kan nggak perlu lagi. Adanya lahan rehab sudah bisa

menambah penghasilan.” (Sri, Mei 2014)

Namun, bagi kedua desa yaitu Curahnongko dan Andongrejo, keberadaan

lahan di rehabilitasi menjadi sangat penting utamanya untuk mendukung kegiatan

perekonomiannya dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun hal ini tidak

aku di Desa Wonoasri, yang sebagian besar masyarakatnya tidak terlalu

da hasil dari sistem pengelolaan agroforestri lahan rehabilitasi.

Bagi masyarakat Wonoasri, hasil dari lahan rehab hanya merupakan penghasilan

sampingan.“Sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu bergantung sama lahan

rehab, tapi kebanyakan masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti kalau

sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa

elalu diandalkan hasilnya, apalagi kayak sekarang lagi mangsa ketiga

kemarau).” (Ssw, Mei 2014).

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pnm (Mei, 2014),

sambilan aja mbak, nungguin lahan punya orang.” Keberadaan lahan rehabilitasi

tidak dapat diandalkan sepenuhnya, karena cenderung bergantung dengan musim,

musim penghujan akan lebih menguntungkan bagi petani untuk mengolah lahan

jika dibandingkan dengan musim kemarau. Tanaman sulit untuk tumbuh, hanya

jenis tanaman tertentu yang bis atumbuh dengan baik. Selain itu, bekerja sebagai

buruh di kebun juga menjadi alasan mengapa penduduk Wonoasri hanya

menjadikan lahan rehab sebagai sampingan.

Perkebunan Karet sebelum memasuki Lahan Rehabilitasi di Desa

Wonoasri

Penelitian

81

Universitas Indonesia

rehab itu lebih banyak kemajuan. Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita

u lagi. Adanya lahan rehab sudah bisa

Namun, bagi kedua desa yaitu Curahnongko dan Andongrejo, keberadaan

lahan di rehabilitasi menjadi sangat penting utamanya untuk mendukung kegiatan

kebutuhan hidupnya. Namun hal ini tidak

aku di Desa Wonoasri, yang sebagian besar masyarakatnya tidak terlalu

lahan rehabilitasi.

pakan penghasilan

sampingan.“Sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu bergantung sama lahan

rehab, tapi kebanyakan masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti kalau

sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa

mangsa ketiga (musim

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pnm (Mei, 2014), “Disini cuma

Keberadaan lahan rehabilitasi

tidak dapat diandalkan sepenuhnya, karena cenderung bergantung dengan musim,

musim penghujan akan lebih menguntungkan bagi petani untuk mengolah lahan

jika dibandingkan dengan musim kemarau. Tanaman sulit untuk tumbuh, hanya

jenis tanaman tertentu yang bis atumbuh dengan baik. Selain itu, bekerja sebagai

buruh di kebun juga menjadi alasan mengapa penduduk Wonoasri hanya

m memasuki Lahan Rehabilitasi di Desa

Page 97: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Gambar 4.

Sumber : Dokumen Penelitian

b. Human Capital

Human capital

perannya sangat penting dalam mengetahui karakteristik dan potensi individu

dalam upaya konservasi.

peran individu maupun kelompok memiliki pengaruh yang

petani rehabilitasi di Desa Curahnongko memiliki

khususnya terkait dengan kesadaran individu maupun beberapa kelompok petani

rehabilitasi. Seperti penuturan

itu bagus, tapi ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau kelompok saya masih

bisa dikatakan mereka peduli dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah

yang sadar, kalau yang enggak ya susah diajak kerjasama menjaga hutan.

Keasadaran yang dimiliki petani reha

Universitas Indonesia

Gambar 4.3 Lahan Rehabilitasi di Desa Wonoasri

Penelitian

Human capital merupakan asset dasar yang dimiliki individu dimana

perannya sangat penting dalam mengetahui karakteristik dan potensi individu

dalam upaya konservasi. Dalam upaya peningkatan konservasi karbon hutan,

peran individu maupun kelompok memiliki pengaruh yang besar.

rehabilitasi di Desa Curahnongko memiliki human capital

khususnya terkait dengan kesadaran individu maupun beberapa kelompok petani

Seperti penuturan Pnm (2014), “Individu masyarakat Curahnongko

tapi ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau kelompok saya masih

bisa dikatakan mereka peduli dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah

yang sadar, kalau yang enggak ya susah diajak kerjasama menjaga hutan.

Keasadaran yang dimiliki petani rehabilitasi di Desa Curahnongko relatif tidak

82

Universitas Indonesia

Lahan Rehabilitasi di Desa Wonoasri

merupakan asset dasar yang dimiliki individu dimana

perannya sangat penting dalam mengetahui karakteristik dan potensi individu

Dalam upaya peningkatan konservasi karbon hutan,

besar. Kelompok

human capital yang baik,

khususnya terkait dengan kesadaran individu maupun beberapa kelompok petani

Individu masyarakat Curahnongko

tapi ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau kelompok saya masih

bisa dikatakan mereka peduli dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah, itu kalau

yang sadar, kalau yang enggak ya susah diajak kerjasama menjaga hutan.”

bilitasi di Desa Curahnongko relatif tidak

Page 98: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

83

Universitas Indonesia

sama, karena setiap individu memiliki tingkat kepedulian dan kesadaran yang

berbeda terkait upaya konservasi karbon hutan TNMB.

Human capital yang dimiliki kelompok wanita di Desa Curahnongko

nampaknya belum memiliki motivasi yang kuat dalam meningkatkan upaya

konservasi hutan. Dapat digambarkan bahwa hanya sebagian kelompok wanita

saja terutama ketua kelompok pengajian yang cukup memiliki semangat dan

kepedulian tinggi terhadap hutan. “Susah kalau semua ibu-ibu itu bisa mau terima

yang disarankan. Kan tergantung sama orangnya, niatnya apa sama hutan.” (Syh,

Mei 2014). Sejumlah upaya penyadaran ke kelompok wanita anggota pengajian,

nampaknya tidak memiliki pengaruh yang besar untuk mengajak kaum lelaki

khususnya yang terlibat langsung dalam pengelolaan lahan rehabilitasi. Kaum

lelaki memiliki pengaruh kuat dalam membentuk kondisi human capital

kelompok wanita. Lelaki terkesan mendominasi dalam kehidupan keluarga dan

bermasyarakat, mengingat bahwa peran agama cukup kuat mempengaruhi stigma

kelompok wanita bahwa lelaki adalah kepala keluarga yang memegang kekuasaan

tertinggi dalam kehidupan berumah tangga dan sebagai penentu pengambilan

keputusan keluarga.

Lain halnya dengan human capital yang tergambarkan di Desa

Andongrejo, khususnya pada kelompok petani rehabilitasi. Kesadaran masing-

masing kelompok petani rehabilitasi cenderung beragam. Namun, masih banyak

dijumpai kelompok petani yang kurang sadar dengan upaya konservasi hutan.

Kelompok petani tidak secara general mengetahui apa manfaat hutan,

kecenderungannya adalah tidak berhasilnya reforestasi di lahan rehabilitasi.

Motivasi dari dalam individu maupun kelompok petani masih kurang, karena

tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai serta tingkat kepedulian terhadap

konservasi hutan yang rendah.

Human capital yang dimiliki kelompok wanita relatif baik jika ditinjau

dari tingkat pengetahuan dan kesadaran dalam upaya konservasi hutan yang juga

terwujud dalam tindakan nyata untuk turut serta menjaga kelestarian hutan. Hal

ini tergambarkan dari pernyataan kelompok wanita TOGA di Andongrejo yang

mengungkapkan bahwa, “Kalau dari kelompok TOGA itu semangatnya tinggi

Page 99: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

84

Universitas Indonesia

untuk menjaga hutan, soalnya kalau hutannya gundul TOGA ikut merasakan...”

(Mn, Mei 2014). Kesadaran yang dimiliki masyarakat menjadi modal awal untuk

pelibatan partisipatif kelompok wanita dalam upaya konservasi hutan.Kesadaran

itu timbul karena secara tidak langsung kondisi hutan di lahan rehabilitasi akan

mempengaruhi hasil TOGA. Jika hutannya gundul, siklus hidup tanaman empon-

empon akan terganggu, sehingga tanaman pokok hutan perlu dijaga agar empon-

empon dapat tumbuh dengan baik.

Kelompok petani rehabilitasi di Wonoasri, human capital yang dimiliki

masing-masing individu sudah relatif baik terkait kesadaran dan kemauan untuk

turut serta menjaga hutan. menurut Tmn (2014), yang merupakan salah satu ketua

kelompok tani menyatakan bahwa,“Masyarakat Wonoasri, Alhamdulillah sudah

hampir 70% ada tanaman pokoknya, artinya masyarakat sudah sadar untuk

melestarikan hutan. Beda dengan desa lainnya seperti Curahnongko, Andongrejo.

Masyarakat sini lebih nurut dan pangerten (pengertian).” (Tmn, Mei 2014).Hal ini

juga diperkuat dengan pernyataan Mst (2014), “Orang Wonoasri mudah dibina,

masyarakatnya cenderung nurut. Beda dengan masyarakat desa lainnya.”

Masyarakat Wonoasri memiliki karakteristik yang mudah untuk diajak

berkomunikasi dan bekerjasama khususnya untukmenjaga tanaman pokok di lahan

rehabilitasi.

Human capital kelompok wanita di Desa Wonoasri tidak dapat

digambarkan secara jelas, karena pengaruh dan perannnya dalam upaya

konservasi hutan relatif kecil. Kepedulian terhadap lahan rehabilitasi tidak begitu

menonjol, hal ini dikarenakan pola kehidupan kelompok wanita lebih banyak

bekerja di perkebunan karet milik PTPN dan mengurus rumah tangga. Interaksi

dengan lahan rehabilitasi tidak dilakukan secara intens. Selain itu, terlihat bahwa

kurangnya inisiatif dan kemampuan dari individu maupun kelompok untuk

berinovasi melalui pengelolaan hasil hutan.

c. Social Capital

Karakteristik social capital masyarakat di 3 desa cenderung beragam. Ada

yang menggambarakan hubungan antarkelompok terjalin begitu kuat. Sehingga ini

menjadi modal untuk menggerakkan masyarakat melalui partisipasi dalam upaya

Page 100: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

85

Universitas Indonesia

konservasi karbon hutan. Gambaran social capital Desa Curahnongko yang

terjalin baik yaitu kelompok petani rehabilitasi dan kelompok wanita (jamaah

muslimatan/tibakan). “Kelompok petani disini mudah digerakkan (Jaketresi), pagi

pagi pun kalau disuru kumpul ya kumpul, setiap tahun saya sering merayakan

ulang tahunnya Jaketresi, biasanya ada acara selamatan nanti mengundang TN. Ya

ini sebagai bentuk kearifan lokal lah.” (Prm, Mei 2014). Seperti juga yang

dikemukakan oleh Sri (2014), “Curahnongko itu orangnya kompak Mbak dari

dulu, kalau ada acara kumpul kumpul kita selalu kompak dateng. Sampai sekarang

itu. Disitu nanti ada omong-omong dari ketua kelompoknya, kalau habis ikut

pelatihan, ya disampaikanlah disitu.” Kondisi social capital digambarkan dari

loyalitas anggota kelompok tani untuk bersama-sama menjaga kelestarian hutan.

Peran ketua kelompok tani merupakan kunci kekuatan bagi terbentuknya social

capital yang terbentuk di kelompok petani rehabilitasi.

Pihak Manajemen TNMB memperkuat dukungan bahwa social capital

yang dimiliki kelompok tani Curahnongko tidak dimiliki kelompok tani di desa

lainnya.“Kalau di Curahnongko - Jaketresi pasti setiap bulan ada pertemuan

kelompok. Tapi kalau yang lain sepertinya enggak.” (Ngh, 2014). Pertemuan rutin

tersebut menjadi upaya dari ketua kelompok tani untuk mempererat hubungan

antaranggota. Pertemuan tidak hanya dilakukan dalam acara formal, tetapi juga

informal misalnya ketika sedang bercocok tanam di lahan rehabilitasi. Hal ini

menjadi modal sekaligus potensi yang dapat dikembangkan untuk melibatkan

kelompok petani rehabilitasi dalam upaya konservasi karbon hutan.

Peran pendampingan yang dilakukan oleh LSM KAIL menjadi pendorong

yang mampu memotivasi kelompok petani. Masyarakat dianggap sebagai modal

yang dapat dimanfaatkan untuk diajak bekerjasama dalam menjaga kelestarian

hutan. Adanya pengembangan pola kemitraan dalam pengelolaan hutan TNMB di

lahan rehabilitasi, dinilai menjadi hal penting dalam meningkatkan social capital

kelompok petani rehabilitasi. Kelompok petani di Desa Curahnongko menjadi

salah satu model pengelolaan hutan dalam kerangka kemitraan. “Masyarakat

makin tentrem, adem oh berarti inisiatif kami yang dahulunya dianggap sebagai

pelanggaran, sekarang justru dijadikan model bagaimana masyarakat bisa

Page 101: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

86

Universitas Indonesia

mengelola kawasan dalam kerangka kemitraan. Sedangkan lokasi-lokasi lain

belum tentu ada yang seperti ini. Bagaimana masyarakat mengembangkan

kemitraan dalam pengelolaan lahan.” (Nrh, Mei 2014)

Kelompok wanitadi Desa Curahnongkotergambarkan kondisi social

capital-nyaterbentukdari hubungan kedekatan kumpulan ibu-ibu dalam.kegiatan

pengajian rutin mingguan. Kumpulan pengajian ini dipandang sebagai bentuk

organisasi semi formal yang memiliki peran strategis dalam melibatkan dan

meningkatkan peran kelompok wanita dalam upaya konservasi. “Kumpulan

jamaah muslimatan itu rajin setiap minggu, ibu-ibu disini kompak kalau ada

pengajian gitu. Banyak kelompoknya, biasanya selain pengajian juga ada omong-

omong pelestarian hutan.Tapi ya gitu Mbak, susah kalau semua ibu-ibu itu bisa

mau terima yang disarankan. Kan tergantung sama orangnya, niatnya apa sama

hutan”(Syh, Mei 2014).

Social capital di Desa Andongrejo dapat digambarkan pada kelompok

petani rehabilitasi menunjukkan hubungan yang tidak terlalu baik. Hal ini dinilai

dari kurang aktifnya kepengurusan kelompok petani rehabilitasi. Menurut Skr

(2014), “Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif.” Begitu pula hal yang sama

dikemukakan Sjt (2014), “SPKP nggak jalan, pengurusnya itu sudah nggak terlalu

minat buat ngurusi kegiatan yang nggak ada penghasilannya”. Kelompok petani

memiliki peran penting dalam upaya konservasi karbon hutan. Kelompok petani

merupakan aktor utama yang kesehariannya terlibat langsung dengan kegiatan di

lahan rehabilitasi. Peran ketua kelompok tani tidak cukup strategis untuk

menggerakkan anggota kelompok tani lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

social capital kelompok tani rehabilitasi yang digambarkan di Desa Andongrejo

tidak menunjukkan hasil yang positif. Peran social capital dalam kelompok petani

rehabilitasi tidak dapat dijadikan sebagai kunci pelibatan partisipasi masyarakat

dalam upaya konservasi karbon hutan.

Lain halnya dengan kelompok wanita di Desa Andongrejo yang cenderung

lebih aktif dan terkesan hidup. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi kelompok

wanita jamu tradisional Sumber Waras yang terbentuk sejak tahun 1993 hingga

saat ini masih tetap eksis. “Dibentuk kelompok untuk pembuatan jamu, untuk

mempermudah koordinasi. Kelompok itu dipilih yang berdekatan. Setiap

Page 102: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

87

Universitas Indonesia

kelompok punya tugas membuat jamu yang beda-beda, tapi itu nanti bergilir.”

(Ktm, Mei 2014).

Kekompakan yang dimiliki kelompok wanita ini menjadi salah satu potensi

dalam upaya pelibatan peran wanita dalam kegiatan konservasi karbon hutan.

Kelompok ini menjadi salah satu sasaran dalam kegiatan pemberdayaan

masyarakat terkait implementasi program kegiatan DA REDD+. kegiatan yang

dilakukan yaitu budidaya tanaman empon-empon di lahan rehabilitasi untuk

kemudian diolah menjadi ramuan jamu tradisional. Jaringan dalam kelompok

wanita ini, memiliki peran strategis untuk menggerakkan peran wanita lainnya di

Desa Andongrejo terutama untuk menjaga tanaman pokok di lahan rehabilitasi

serta budidaya empon-empon. Tidak terlepas dari pendampingan yang dilakukan

oleh LSM KAIL sehingga eksistensinya cukup tampak nyata dalam sejumlah

kegiatan ekonomi produktif.

Social capital di Desa Wonoasri pada kelompok petani rehabilitasi yang

cukup strategis. Pertemuan antarkelompok petani rehabilitasi juga sering

dilakukan dimana kegiatan ini merupakan fasilitasi untuk mengakomodir

kepentingan petani terutama jika ditemui permasalahan di lahan rehabilitasi

sehingga kemudian akan diberikan solusi pemecahan hasil diskusi bersama.

Jaringan kelompok petani rehabilitasi di Desa Wonoasri menjadi kunci penentu

dalam upaya konservasi hutan, dimana keterlibatan kelompok wanita tidak cukup

memiliki peran strategis. Kesadaran yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi

untuk menjaga kelestarian hutan dapat menjadi penggerak utama untuk mengubah

perilaku positif ke arah konservasi hutan walaupun tanpa pendampingan LSM.

Menurut penuturan Mst (2014), “Kelompok tani sebagai prasarana untuk

menampung hal yang menjadi kebutuhan setiap kelompok tani, dibentuk ini biar

nggak semrawut, jadi biar nggak masing-masing petani tidak membuat usul

sendiri-sendiri. Kelompok petani disini bagus hubungannya. Perannya ke

kelompok tani juga mendukung dan memfasilitasi.”

d. Financial Capital

Financial capital dari kegiatan DA REDD+ dapat dipahami bahwa

terdapatalternatif mata pencaharian serta upaya peningkatan pendapatan yang telah

dilakukan melalui sejumlah kegiatan DA REDD+ misalnya Budidaya Jamur

Page 103: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

88

Universitas Indonesia

Tiram. Menurut penuturan salah satu staf TNMB,“Tujuan DA REDD+ sendiri itu

untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program peningkatan

kesejahteraan melalui DA REDD+ baik peningkatan penghasilan. Salah satunya

dari budidaya jamur tiram.” (Ngh, Mei 2014)

Adanya kegiatan DA REDD+ dinilai dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat, hal itu didukung oleh penuturan beberapa informan yang dinilai

memberikan gambaran kondisi komunitas lokal dari kondisi financial capital dari

kegiatan DA REDD+ melalui budidaya jamur tiram. “Waktu itu saya ikut

pelatihan budidaya bibit jamur tiram di Malang, dan saya juga sudah praktek di

rumah sampai sekarang Alhamdulillah lumayan hasilnya, per kilo harganya Rp.

10.000.” (Prm, Mei 2014). Selain itu, kegiatan budidaya jamur tiram juga mampu

mengurangi ketergantungan individu terhadap hasil hutan. “Budidaya jamur tiram

bantuan dari TN itu kan tujuannya supaya bisa menambah pendapatan. Contohnya

sehari saya dapat sepuluh ribu, 5 ribu dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan

artinya nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa mengurangi sekian

persennya ketergantungan terhadap hutan.” (Skw, Mei 2014)

Dampak dari finanacial capital dari kegiatan DA REDD+, menurut

pengamatan salah satu aparat Desa Curahnongko, menyebutkan bahwa budidaya

jamur itu hanya dirasakan oleh individu saja, tidak sampai merata pada semua

kelompok masyarakat yang ada.“Kalau dari segi ekonomi nampaknya belum bisa

dikatakan baik, karena hanya sebagian kecil saja yang menerima dampak dari

kegiatan ekonomi (budidaya jamur), kecuali nanti sudah ada mekanisme

pembagian kredit karbon dari penerapan REDD+. Mungkin masyarakat bisa

merasakan dampak dari segi ekonominya. Budidaya jamur yang ada itu hanya

beberapa orang saja, bukan kelompok disini yang saya lihat.” (Abh, Mei 2014).

Pada dasarnya, budidaya jamur tiram diberikan pada kelompok namun untuk

pengembangannya dilimpahkan pada perorangan, dengan tujuan agar jika

pengelolaan perorangan berhasil akan dapat ditiru dan dikembangkan dengan

kelompok lainnya. Tetapi nyatanya proses itu tidak cukup berhasil untuk

dikembangkan secara turun temurun dalam anggota kelompok petani lainnya.

Selain budidaya jamur, upaya peningkatan kesejahteraan komunitas lokal

menyasar pada kelompok wanita melalui budidaya jamu tradisional. “Kalau dari

Page 104: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

89

Universitas Indonesia

kelompok TOGA penambahan bertambah, di lahan rehab ditanami jamu jamuan,

diolah dijual dan kluarnya ya mahal”( Mn, Mei 2014). Pendapatan tersebut dinilai

bertambah setelah terbentuk kesadaran penduduk untuk menjaga tanaman pokok,

sehingga produktivitas empon-empon tidak terganggu. “Pendapatan meningkat

walaupun tidak langsung, secara bertahap, karena kesadaran petani untuk

menanami pohon (tanaman pokok) dan peje misalnya. Tanaman dibawahnya jadi

subur. Yang dibawah kan saya tanami empon-empon.” (Ktm, Mei 2014).

Beberapa kegiatan diatas, dipandang sebagai financial capital yang

dimiliki kelompok komunitas lokal untuk menciptakan strategi baru mata

pencaharian yang berbeda. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan

komunitas lokal dan mengurangi ketergantungan pada hasil hutan di lahan

rehabilitasi maupun di zona inti.

4.1.2Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

Kegiatan DA REDD+ di Kawasan TNMB tidak secara langsung

melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada, tetapi dalam kegiatannya

hanya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dan peran

penting dalam komunitas lokal. Pihak Manajemen Balai TNMB menerangkan

bahwa tidak ada pemilihan khusus untuk melibatkan partisipasi komunitas lokal di

desa penyangga. Namun, demi terlaksananya transferability pengetahuan

mengenai REDD+secara baik dan menyeluruh, maka keterlibatan tokoh sentral

dalam suatu komunitas diangap penting karena memiliki pengaruh yang dapat

mengubah perilaku komunitas maupun kelopok tertentu dalam menwujudkan

konservasi karbon hutan.

Peneliti melakukan identifikasi pemahaman komunitas lokal mengenai

REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus) dengan

tujuan untuk mengetahui pemahaman komunitas lokal terhadap definisi REDD+

yang secara tidak langsung mampu merekonstruksi hasil informasi dan

pengetahun ke dalam tindakan/perilaku nyata sehingga mampu meningkatkan

kemampuan adaptif komunitas lokal.. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan,

komunitas lokal yang mengikuti kegiatan DA REDD+ maupun yang tidak

mengikuti memiliki perbedaan dalam pemahaman mengenai konsep REDD+.

Page 105: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

90

Universitas Indonesia

Secara umum, komunitas lokal lebih menekankan pengertian REDD+ pada upaya

pelestarian hutan. Berikut hasil identifikasi pemahaman komunitas lokal mengenai

REDD+ yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) konsep yaitu :

(1) sebagai konsep upaya pelestarian hutan;

Komunitas lokal yang mengikuti kegiatan DA REDD+ mendefinisikan

REDD+ sebagai bagian dari konsep upaya pelestarian karbon. “REDD+ itu kan

tujuan intinya penghijauan, pengembalian fungsi hutan yang ada. Hutan berjalan

mengembangkan penghijauan, di daerah perdesaan tanah tanah kosong

dikembangkan juga penghijauan” (Skw, Mei 2014). Pernyataan tersebut seiring

dengan yang diungkapkan oleh petani di Wonoasri. “REDD+ itu seingat saya

tentang karbon, karbon hutan dari pohon di hutan. jadi, kita itu wajib menjaga

pohon di hutan utamanya lahan rehab. Intinya kegiatan itu tentang pelestarian

hutan. kita diberi pelatihan-pelatihan.” (Tmn, Mei, 2014)

Seperti halnya kelompok wanita berpendapat REDD+ merupakan bagian

dari upaya pelestarian hutan. “Yang diajarkan bagaimana cara melestraikan hutan

kembali. Tanaman boleh ditebang tapi harus ditanami lagi, kalau enggak nanti es

di kutub utara bisa meleleh karena hutan gundul.jadi kita juga ikut menjaga,

antisipasi dengan hutan jangan dibiarkan” (Ktm, Mei 2014). Pemahaman

mengenai REDD+ diperoleh dari pelatihan yang diadakan oleh LSM Lokal

dimana konsep yang dipahami juga menjadi bagian upaya pelestarian hutan.

“REDD+ itu kayak pelestarian hutan Mbak. Saya pernah ikut pelatihannya sama

KAIL. Masyarakat itu disuru menjaga hutan, pohon jangan ditebang.” (Syh, Mei,

2014)

Kelompok aparat desa yang memaknai REDD+ sebagai konsep

pelestarian hutan dituturkan oleh Abr, “REDD+ itu kan semacam program

penghijauan di lahan rehabilitasi. Pernyataan ini dikuatkan oleh pernyataan aparat

Desa Curahnongko. “Masyarakat diminta sumbangsih untuk melestarikan

hutan,ini sudah ada sejak dulu dimana notabene masyarakat wajib menjaga

hutannya. Masyarakat belum paham betul mengenai mekanisme REDD+ dan

karbon, yang mereka pahami hanya sebatas menjaga hutan.” (Abh, Mei 2014)

Tidak hanya kelompok komunitas yang mengikuti kegiatan REDD+ yang

memaknai REDD+ sebagai upaya pelestarian hutan. Kelompok yang tidak

Page 106: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

91

Universitas Indonesia

mengikuti kegiatan DA REDD+juga memperoleh pemahaman yang sama

mengenai REDD+ dari pertemuan kelompok tani rehabilitasi. Pemahaman yang

diperoleh tentang REDD+ sebagai konsep pelestarian hutan diutarakan “REDD+

itu penanaman kembali dan melestarikan hutan lagi, setelah hutan itu ada

tegakannya dan menghasilkan oksigen” (Sjt, Mei 2014). “...yang saya ingat ya

tentang usaha melestarikan hutan, utamanya di lahan rehab. Kita disuru menjaga

taneman pokok, jangan ada yang ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet

disulam” (Sri, Mei 2014).

Konsep REDD+ terkait dengan upaya pelestarian hutan merupakan

konsep yang banyak dipahami oleh komunitas lokal yang ada di 3 wilayah desa

penelitian.

(2) sebagai akibat dari pemanasan global;

Pemahaman mengenai pemanasan global sebagai akibat dari hutan gundul

dipahami sebagai bagian dari REDD+.

“Lha disitulah orang-orang itu sadar kalau hutan gundul itu bisa

menyebabkan pemanasan global, itu ada istilah musim yang ndak

menentu dengan adanya rusaknya hutan. nah sekarang dgn adanya hutan

yg gundul terus sudah agak rimbun, hawanya agak dingin. Kalau dulu

waktu hutan hutan gundul itu, jam 9 itu panas, sudah nggak kuat kalau

mau ke lahan, tapi sekarang sudah agak rimbun” (Prm, Mei 2014)”

Pernyataan diperkuat oleh Ktm (2014), “Semua merasakan hawa panas

nggak karuan, karena hutan gundul. Pernyataan mengenai REDD+ sebagai bagian

dari pemanasan global yang menyebabkan bencana banjir dikemukakan oleh Mn

(2014), “Hutan perlu dijaga biar nggak banjir yang disekitarnya. Kemarin setahun

itu banjir berapa kali disini dari atas hutan itu. “

(3) sebagai bagian dari emisi yang dikeluarkan oleh hutan.

Pendapat bahwa REDD+ berkaitan dengan emisi yang dikeluarkan oleh

tumbuhan dikemukakan oleh Skw (2014), “REDD+ itu kan hubungan juga

dengan CO2, karbon apa itu kalau bahasa kampus. Jadi kalau pohon ditebang nanti

mengeluarkan emisi, dibakar juga akan mengeluarkan emisi.”Pernyataan itu

Page 107: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

92

Universitas Indonesia

didukung dengan pernyataan Sjt mengenai pemahaman REDD+ dalam konteks

emisi yang dikeluarkan oleh hutan. Sjt mengetahui REDD+ sebagai sumber emisi

karbon berasal dari informasi teman-teman kelompok tani yang pernah mengikuti

kegiatan DA REDD+. “Kalau dari temen-temen yang sudah ikut REDD+, seperti

membakar hutan itu mengeluarkan emisi dan mengeluarkan racun. Pengetahuan

saya seperti itu. Degradasi kan mengeluarkan emisi termasuk mengeluarkan

racun, kalau menanam kan kita mendapat karbon dan mengeluarkan oksigen.”

(Sjt, Mei 2014).

Pemahaman yang diperoleh komunitas kelompok petani rehabilitasi dan

kelompok wanita diperoleh dari adanya transferability yang dilakukan oleh ketua

kelompok tani yang terlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+ kepada anggota

kelompok tani yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+. Hal ini

juga terjadi pada kelompok wanita. Karena tidak semua dilibatkan langsung dalam

kegiatan DA REDD+, maka kelompok wanita yang terlibat langsung dalam

kegiatan REDD+ berkewajiban menyampaiakan hasil yang diperoleh dari DA

REDD+ kepada kelompok wanita lainnya.

Proses transferability ini sangat dipengaruhi oleh peran aktif ketua

kelompok tani. Seperti halnya yang dilakukan oleh ketua kelompok petani

rehabilitasi di Curahnongko kepada anggota kelompok taninya. “Menyampaikan

ke masyarakat bisa di rumah dengan mengumpulkan masyarakat sewaktu ada

kegiatan kumpul-kumpul rutin, kadang juga sewaktu di lahan. Kalau di lahan

memberi masukan ke masyarakat itu lebih mudah. Kalau di rumah kan kadang-

kadang ngundang orang sepuluh, yang datang cuma 5-2 orang kalau langsung

terjun di lahan kan enak bisa sambil santai, orang lebih ngerti.” (Prm, Mei 2014).

Seperti halnya yang terjadi dikalangan kelompok wanita pengajian

muslimatan Desa Curahnongko, penyampaian dilakukan sewaktu kumpul

mingguan, “Pengajian tibakan itu ketuanya pernah menyampaikan soal pelestarian

hutan, ada ayat-ayatnya juga di Al-Qur’an kan. Ibu ketuanya yang nyampaikan”

(Sra, Mei 2014).Keterlibatan kelompok wanita pengajian merupakan bagian dari

melibatkan peran wanita dimana diharapkan terjadi internalisasi upaya konservasi

hutan melaui pendekatan agama, sebagaimana diturukan oleh manajemen LSM

Page 108: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

93

Universitas Indonesia

KAIL. “…menghubungkan aspek keagamaan dalam konteks kehutanan. Jadi nanti

diperkenalkan ayat ayat mengenai konservasi, perlindungan hutan, jadi agama

tidak hanya berbicara mengenai ibdh maghda, tetapi juga dengan lingkungan

dimana menjadi bagian dari perintah agama, mengapa kemudian kita mengajak

ibu ibu pengajian. Ini kita anggap sebagai bentuk kearifan lokal yang diambil dari

dimensi keagaman, nilai etik yang diambil dari Quran.” (Nrh, Mei 2014).

Kelompok petani di Desa Andongrejo memperoleh pemahaman mengenai

DA REDD+ dari perkumpulan dengan kelompok petani di Desa Curahnongko.

“Saya itu tau info-info kalau pas lagi kumpul-kumpul sama petani petani, baik

yang dari Andongrejo maupun Curahnongko.” (Sjt, Mei 2014).

Pendekatan pada kelompok wanita di Desa Andongrejo, selain melalui

kegiatan kelompok pengajian juga pada kelompok wanita pengelola budidaya

jamu tradisional. Penyampaiannya pun sama seperti yang dilakukan di Desa

Curahnongko melalui pengajian muslimatan. “Penyampaian lewat muslimatan

juga bisa, kelompok muslimatan itu saya juga ketuanya. Sekaligus dari perwakilan

kelompok TOGA.” (Ktm, Mei 2014). Cara penyampaian ketua kelompok jamu

Sumber Waras cenderung unik. Agar penyampaian mudah dimengerti oleh

masyarakat, REDD+ lebih dipahamkan dengan konsep “pelestarian hutan”.

Beberapa hal yang disampaikan waktu itu berkenaan dengan upaya pelestarian

hutan. “Ketua kelompoknya itu menyampaikan ke ibu ibu yang lain, cara

melestarikan hutan. Misalnya hutan itu harus dijaga, pohonnya jangan sampai

ditebang, biar nggak panas, banjir. Nanti kalau banjir kita sendiri juga yang rugi.”

(Msr, Mei 2014)

Berbeda dengan Desa Wonoasri, transferability mengenai REDD+

cenderung tidak merata, anggota kelompok tani tidak semuanya paham dengan

REDD+ dan lingkup kegiatannya. Hal ini terlihat dari tanggapan dari kelompok

petani rehabilitasi ketika peneliti bertanya mengenai REDD+. “Saya nggak pernah

denger mbak apa itu. Jangan tanya saya kalau soal itu, saya nggak tahu apa-apa.”

(Srs, Mei 2014). Pernyataan ini diperkuat dengan Pnm (2014) yang menyatakan

“Nggak pernah tau itu mbak. Saya juga jarang ikut kumpul-kumpul.”

Page 109: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

94

Universitas Indonesia

Tidak semua pihak yang mengikuti kegiatan pelatihan DA REDD+

menyampaikan hasil kegiatannya kepada kelompok petani maupun masyarakat

lainnya. “Nanti hasil dari pelatihan disampaikan ke kelompok tani, tapi

nyampaikannya nggak ke semua, kalau yang kebetulan ketemu saja misalnya dari

pertemuan yang diadakan rutin dari kelompok tani sendiri. Tapi nyampaikannya

bukan REDD+, ya pelestarian hutanlah Mbak biar mereka ngerti.” (Tmn, Mei

2014)

Hal ini diperkuat dengan pernyataan ketua kelompok tani lainnya yang

menyatakan, “Tidak semua orang tau apa itu REDD+, cuma orang tertentu saja

yang mungkin tahu, utamanya yang ikut pelatihan itu. Kalau REDD+ sendiri ya

tidak disampaikan ke petani lainnya.” (Dsr, Mei 2014). Seperti halnya pihak

manajemen Balai TNMB yang menyatakan bahwa istilah mengenai REDD+

maupun kegiatan DA REDD+ tidak diketahui oleh semua masyarakat Wonoasri

karena tidak adanya peran LSM lokal yang bergerak untuk melakukan

pemberdayaan masyarakat. “Kalau kelompok tani di Wonoasri itu tidak semuanya

tahu mungkin kegiatan REDD+, yang tahu mungkin hanya ketua kelompok tani

yang dulu pernah ikut kegiatan di hotel. Karena apa, karena tidak dimasuki oleh

LSM” (Adi, Mei 2014).

Selain dari transferability mengenai pemahaman REDD+ dan rangkaian

kegiatannya, untuk kelompok masyarakat yang memahami konsep REDD+

terbentuk suatu kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh tersebut. Hal ini dapat

digambarkan dari perilaku kelompok petani rehabilitasi maupun kelompok wanita

(ibu-ibu pengelolaan budidaya jamu tradisional dan kelompok ibu-ibu pengajian

muslimatan). Sejumlah tanggapan yang berbeda muncul untuk menanggapi

REDD+ dan praktiknya yang terjadi di komunitas lokal selama ini.

Di Desa Curahnongko, pemahaman bagi kelompok petani rehabilitasi yang

mengikuti kegiatan DA REDD+ dari informasi yang diperoleh kemudian

berdampak pada pengetahuan yang dimiliki oleh petani, sehingga mempengaruhi

kemampuan adaptif kelompok petani khususnya terkait dengan upaya menjaga

hutan.

Page 110: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

95

Universitas Indonesia

“Kita semua kan punya lahan rehab, kita kan sudah merasakan udara

sekarang dan dulu itu lain, yang kedua itu masalah mata air. Dulunya itu

kalau musim tembakau kan membuat peresemaaian dibelakang rumah itu

ada hutan bambu, mata air nggak pernah kering walaupun bulan berapa,

ternyata setelah hutan itu gundul sumber airnya habis. Jangankan mau buat

persemaian tembakau, buat minum aja susah. Nah sekarang walaupun

hutan belum 100% normal kembali lagi. Air sudah agak normal lah.”

(Prm, Mei 2014).

Pemahaman dari kelompok petani rehabilitasi jika hutan gundul gangguan

terhadap perubahan iklim akan semakin nyata dirasakan. Pergantian musim yang

sulit untuk diprediksi berdampak langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan

ekonomi petani.

“Sebelum ada perubahan iklim, hutannya masih lebat. Musim itu kalau

dulu bisa ditentukan, kalau bulan januari – hujan sehari hari, desember –

gede gedenya sumber itu masih tepat, oktober – bulan mongso songo,

jangan coba-coba menanam apaun yg ada di lahan, nggak tumbuh nanti.

Tapi sekarang cuaca sudah tidak bisa diprediksi lagi. Biasanya bulan 12-2

itu musim hujan, masuk bulan 3-4 masih mengurangi, 6 bulan positif

kemarau, kalau sekrang sudah nggak bisa. Bulan 6-7 hujan terus. Sekarang

ini bisa merasakan perubahan iklim.” (Skw, Mei 2014)

Manfaat dari kegiatan DA REDD+ secara tidak langsung juga diperoleh

kelompok petani yang tidak mengikuti DA REDD+, “Kalau saya sendiri, saya

jadi tahu yang namanya fungsi hutan itu. Dulu saya nggak pernah mikir, apalagi

kepikiran, yang penting ya ambil saja, saya bisa hidup, bisa makan dari hasil

hutan. sekarang saya sadar kalau hutan gundul itu jadi lebih panas. Sekarang aja

panasnya kayak gini.” (Sri, Mei 2014)

Menurut beberapa tokoh masyarakat di Desa Curahnongko

mengungkapkan kesadaran masyarakat bertambah seiring dengan bentuk beberapa

kegiatan raising awareness, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan

pembalakan liar maupun pencurian kayu masih saja dapat ditemukan di

Page 111: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

96

Universitas Indonesia

masyarakat. “Adanya REDD memberi tambahan pengetahuan bagi masyarakat

sekitar khususnya terkait pemahaman dan perilaku untuk menjaga dan

melestarikan hutan walaupun sebenarnya dari dulu kesadaran masyarakat sudah

ada.” (Abh, Mei 2014). Meskipun masyarakat itu sadar akan pentingnya

pelestarian hutan, tetapi kegiatan illegal logging juga masih sering ditemukan di

kawasan TNMB. “Dengan adanya rehabilitasi masyarakat sudah sadar tentang

pelestarian hutan kembali. Cuman kadang ada beberapa warga yang masih

melakukan illegal logging.”(Srs, Mei 2014)

Hal tersebut juga ditunjang dengan pendapat kelompok wanita. Secara

pribadi, sebenarnya komunitas lokal memiliki kesadaran untuk menjaga hutan.

Melalui berbagai upaya penyadaran baik dari penyuluhan maupun pelatihan

tentang REDD+ dan pelestarian hutan. Namun, kegiatan tersebut tidak bisa

diterima langsung olehsemua komunitas lokal.Salah satu informan yang

merupakan ketua kelompok pengajian muslimatan mengungkapkan bahwa,

“Banyak kegiatan yang diperkenalkan ke masyarakat, penyuluhan juga, tapi ya

gitu saya rasa hutannya malah nggak bisa lestari. Masyarakat juga susah dibilangin

gitu itu.” (Syh, Mei 2014)

Salah satu tokoh masyarakat di Desa Andongrejo beranggapan bahwa

adanya kegiatan pelatihan REDD+ itu memberi dampak positif dalam upaya

peningkatan kesadaran peran dan fungsi hutan. “Adanya REDD+ memberi

tambahan pengetahuan bagi masyarakat sekitar khususnya terkait pemahaman dan

perilaku untuk menjaga dan melestarikan hutan walaupun sebenarnya dari dulu

kesadaran masyarakat sudah ada.” (Abh, Mei 2014).

Kemampuan adaptif yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi dan

kelompok wanita khususnya pasa DA REDD+ tidak dapat digeneralisir pada

semua anggota kelompok lainnya terlait dengan kesadaran dan kepedulian pada

upaya konservasi karbon. Hanya elemen tertentu dalam kelompok komunitas yang

memiliki kemampuan adaptif yang diwujudkan dalam kesadaran untuk berperilaku

positif terhadap upaya pengelolaan lahan rehabilitasi dan hutan di zona inti.

Page 112: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

97

Universitas Indonesia

Karakteristik kelompok petani rehabilitasi yang tidak mengikuti DA

REDD+ di Desa Andongrejo digambarkan kesadaran kelompok petani yang

diusahakan untuk menjaga pohon tegakan di hutan. “...jadi kita nggak boleh

nebang pohon yang ada di dalam hutan sembarangan, termasuk di rehab. Karena

hutan itu harus kita jaga biar lestari, tetap hijau, lingkungan nggak panas.” (Skr,

Mei 2014). Kesadaran setiap individu cenderung berbeda walaupun sebelum

maupun setelah diperkenalkannya REDD+. “Sebenernya kalau dikatakan sadar, ya

sadar masyarakat sini Mbak. Tapi kan nggak semuanya sadar buat nanem menjaga

pohon, itu tergantung orangnya. Sebelum REDD+ juga sudah sadar.” (Sjt, Mei

2014)

Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh terkait dengan manfaat hutan

bila kelestariannya terjaga. Hal positif sejalan digambarkan oleh kelompok ibu-ibu

pengelola budidaya jamu tradisional. “...Kalau hutannya gundul, TOGA juga ikut

merasakan. Soalnya tanah juga nggak subur lagi, terlalu panas. Kalau dulu hutan

itu belum gundul, nanem apa saja bisa tumbuh, tapi kalau hutan gundul susah.”

(Mn, Mei 2014). Hal ini juga didukung dengan pernyataan “Orang orang semangat

mau nanam, berarti kan dia juga diberi kesadaran dan merasakan buktinya mereka

mau nanem pohon. Kalau dibiarkan hutan tanaman habis, bagaimana nanti yang

diandalkan oleh orang sini kalo nggak mau nanem. Petani kelompok rehab tidak

merasa ogah-ogahan untuk menanam.” (Ktm, Mei 2014)

Seperti halnya yang terjadi di Desa Curahnongko, hal yang sama juga

tergambarkan di Desa Andongrejo. Menurut penuturan slaah satu aparatur desa,

pasca kegiatan DA REDD+, kesadaran masyarakat dalam upaya konservasi tidak

sepenuhnya berhasil ditanamkan. Kegiatan perambahan hutan masih banyak

ditemui di kawasan TNMB. “Banyaknya kegiatan penyuluhan belum berdampak

optimal pada perubahan perilaku masyarakat utamanya dalam kasus kegiatan

perambahan. Hal ini susah dijelaskan, masyarakat tidak peduli atau sok tidak

peduli.” (Ryd, Mei 2014). Setiap elemen pada kelompok komunitas memiliki

motivasi dan kepentingan politik terhadap hutan baik di lahan rehabilitasi maupun

di zona inti.

Page 113: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

98

Universitas Indonesia

Dengan adanya pendampingan LSM KAIL di Desa Curahnongko dan Desa

Andongrejo, harapan bahwa kemampuan adaptif komunitas lokal pasca DA

REDD+ khususnya dari segi informasi dan pengetahuan yang diperoleh dapat

berkontribusi positif pada aksi nyata untuk menjaga tanaman pokok di lahan

rehabilitasi serta tidak melakukan perambahan di zona inti. Sebagaimana dengan

pola pelibatan komunitas lokal dalam pengelolaan hutan TNMB yang sudah sejak

lama dilakukan, maka kemudian pihak LSM KAIL tidak hanya berbicara REDD+

dalam konteks perdagangan karbon, tetapi hal yang paling mendasar yaitu upaya

menghasilkan kemitraan dengan masyarakat dalam kegiatan konservasi.

“Kita berusaha bahwa dalam REDD+ tidak hanya berkutat dari karbon

tetapi juga penangana hasil panen, tetapi juga mengkapitalisasi apa yang

dimiliki oleh masyarakat supaya berdampak pada ekonomi dan konservasi

juga kita dorong.Sehingga REDD+ tidak hanya berbicara soal

perdagangan karbon, tetapi kita mendorong supaya ada upaya-upaya

meghasilkan kemitraan dengan masyarakat yang dihasilkan dari kegaitan

konservasi itu menjadi bagian yang tumbuh dari masyarakat.” (Nrh, Mei

2014)

4.1.3 Innovation (Inovasi)

Setelah mendapatkan pengetahuan mengenai pemahaman REDD+,

rangkaian kegiatan DA REDD+ serta fungsi dan peran hutan, inovasi akan

muncul sebagai gambaran kemampuan adaptif yang dimiliki pasca DA REDD+

dalam komunitas lokal. Inovasi akan digolongkan ke dalam 3 komponen yang

tergambarkan pada kemampuan adaptif yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi

dan kelompok wanita pada level komunitas lokal, serta dukungan dari LSM

Lokal, dan Pemerintah.

1. Inovasi budidaya tanaman

Lahan rehabilitasi merupakan bagian dari hutan kawasan TNMB, dimana

diperlukan rehabilitasi kawasan agar menjadi hutan kembali. Oleh karena itu,

penanaman sejumlah tanaman pokok merupakan kewajiban yang harus dilakukan

oleh kelompok petani rehabilitasi selaku pengelola. Jenis tanaman pokok yang

Page 114: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

99

Universitas Indonesia

ditanam pun diharapkan memiliki nilai karbon tinggi tetapi juga memiliki nilai

ekonomis. Dalam penentuannya melibatkan partisipasi kelompok petani agar turut

menjaga tanaman pokoknya.

“Selain itu juga ada penanaman tanaman yang memiliki serapan karbon

tinggi tetapi juga memiliki nilai ekonomi misalnya tanaman kedawung,

kemiri. Pemilihan pohon berdasarkan diskusi dengan masyarakat, hal ini

secara tidak langsung diharapkan dapat mendorong masyarakat. Memilih

tanaman bersama masyarakat, pengelolaanya bersama masyarakat maka

diharapkan masyarakat juga akan timbul kesadaran.” (Nrh, Mei 2014)

Melalui penerapan metode Multi Purpose Trees Species (MPTS), tanaman

yang dipilih tidak untuk ditebang karena nantinya akan diperuntukkan bagi upaya

pelestarian hutan.“MPTS itu memadukan tanaman yang bernilai konservasi

dengan tanaman yang memiliki nilai ekonomi. Ada aspek konservasi juga

memberikan income dari buah yang ada di pohon itu. Hal ini juga ditujukan untuk

mengakomodir kepentingan masyarakat juga,karena mereka memiliki

ketergantungan terhadap hutan di TN.” (Nrh, Mei 2014)

Sejumlah inovasi muncul dari kelompok petani rehabilitasi terkait dengan

pengelolaan lahan rehabilitasi. Inovasi yang tumbuh umumnya terkait dengan

inovasi budidaya tanaman dengan berbagai macam jenis. Kelompok petani

rehabilitasi di 3 desa memiliki karakteristik inovasi penanaman jenis tanaman

yang hampir sama seperti sengon laut, peje, empon-empon, lombok serta tanaman

palawija. Di Desa Curahnongko, kelompok petani rehabilitasi melakukan alternatif

penanaman tumbuhan di bawah tegakan tanaman pokok. “Sebenernya penanaman

sengon laut itu sudah sejak 10 tahun yang lalu, Cuma baru serentak dan banyak

yang mulai nanem lagi ya setelah adanya REDD+ itu.” (Skw, Mei 2014). Selain

sengon laut, penanaman tanaman peje banyak dilakukan oleh petani rehabilitasi di

3 desa penelitian. “Peje itu mbak tanaman rambat di hutan, tumbuhnya ya gitu

dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak, menjalar kemana mana, bijinya kecil-

kecil. Kalau sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli. Tanemannya tahan

panas, terus bisa itu mencegah tanah longsor kalau pas hujan.” (Sri, Mei 2014).

Page 115: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

100

Universitas Indonesia

Tanaman peje memiliki manfaat ganda selain dari segi ekonomis, juga memiliki

manfaat untuk menjaga kesuburan tanah di hutan.

Kelompok wanita di Desa Curahnongko juga melakukan penanaman jenis

tanaman peje. “Tanah di lahan rehab itu nggak diolah, tapi ditanami peje.

Sekarang ditanami nangka, pete, kedawung, kemiri, pisang. Nanti setelah hasil

dari peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami lainnya” (Syh, Mei 2014).

Kondisi tanah di lahan rehabilitasi tidak selalu dapat diandalkan. Hanya beberapa

jenis tanaman tertentu yang bisa tumbuh dengan baik. Tanaman peje banyak

ditanam oleh petani ketika memasuki musim kemarau. “Lahan saya sekarang

ditanami peje, mau musim kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas cuma

peje” (Sra, Mei 2014). Setelah musim kemarau berakhir dan memeasuki musim

penghujan, maka petani akan mengganti tanaman peje dengan tanaman lainnya

yang juga bernilai ekonomis.

Kelompok petani rehabilitasi di Desa Andongrejo juga melakukan

penanaman tumbuhan alternatif di bawah tegakan tanaman pokok baik empon-

empon maupun peje. Kedua tanaman ini memiliki ketahanan yang cukup baik

dengan kondisi naungan di lahan rehabilitasi yang cukup rindang. “Lahan rehab

juga saya tanami peje sama empon-empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per

kilonya mahal Mbak, kalau empon-empon itu kan bisa dijual juga ke tengkulak.”

(Sjt, Mei 2014).

Beberapa tanaman palawija juga pernah ditanam oleh sejumlah petani

rehabilitasi di Desa Wonoasri, tetapi seiring dengan pemanfaatan lahan yang

intensif tingkat kesuburannya akan mempengaruhi produktivitas pertanian di

masa sekarang. Kesuburan tanah semakin menurun, sehingga produktivitasnya

juga menurun, sehingga diperlukan alternatif penanaman tumbuhan lain. “Petani

sini kreatif, dulu ada yang nanem peje terus hasilnya kalau dijual mahal, akhirnya

banyak yang ikut-ikut. Termasuk saya. dulu peje itu per kilo Rp 110.000 per kilo,

tapi sekarang sudah turun jadi Rp. 25.000. Tapi ya tetep tanaman pokok tetap

dijaga, biar hutannya nggak rusak, itu juga wajib bagi lahan rehabilitasi” (Tmn,

Mei 2014).

Page 116: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

101

Universitas Indonesia

Inovasi penanaman tanaman juga dilakukan oleh petani yang tidak

mengikuti kegiatan DA REDD+. “Setiap musim itu ganti-ganti Mbak, sekarang

saya lagi nanem kacang hijau, nanti pas puasa bisa dipanen. Ganti-ganti itu

tujuannya tergantung sama musim, kan palawija udah nggak bagus lagi hasilnya.”

(Pnm, Mei 2014). Pergantian musim yang tidak menentu serta menurunnya

kesuburan tanah di hutan mengharuskan petani lebih kreatif untuk mengolah

lahannya dan bercocok tanam dengan spesies flora yang baru agar memperoleh

nilai ekonomis. Sejumlah tanaman musiman juga ditanam demi menghasilkan

nilai ekonomis. Petani mencoba menanam tanaman alternatif seperti lombok.

“Saya lagi nanem lombok, masih disemai sekarang. Kalau palawija kayak padi,

jagung gitu sudah nggak terlalu bagus hasilnya, beda dengan dulu.” (Ssw, Mei

2014). Hal yang sama juga dilakukan oleh Sur dengan menanam kacang-

kacangan. “Kacang ijo, lumayan nanti bisa dipanen pas bulan puasa. Taneman

pokoknya itu nangka, ada yang mati tapi. Daunnya sudah agak berkurang.” (Sur,

Mei 2014).

Inovasi yang dilakukan kelompok petani rehabilitasi yang tidak mengikuti

kegiatan DA REDD+ di Desa Wonoasri berasal dari inisiatif pribadi, berawal dari

mengenali karaketeristik lahan rehabilitasi baik dari segi kondisi tanah serta jenis

tanaman yang tahan dengan kondisi tanah yang tidak membutuhkan banyak air.

Gambar 4. 4 Tanaman peje yang banyak dikembangkan oleh petani

rehabilitasi

Sumber : Dokumen penelitian

Page 117: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

102

Universitas Indonesia

2. Inovasi untuk meningkatkan pendapatan

Kegiatan DA REDD+ khususnya terkait dengan pemberdayaan pada

dasarnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Agar masyarakat tidak lagi

terlalu bergantung dengan hutan serta memperoleh penghasilan tambahan. Hal ini

seperti dikemukakan oleh pihak manajemen Balai TNMB, “Sekarang juga

berkembang kegiatan peningkatan kapasitas untuk peningkatan penghasilan.

Tadinya mereka yang bergantung sama hutan setidaknya bisa dikurangi lah, tetapi

masih ada juga masyarakat yang tetap bergantung dengan hutan, karena hutan itu

dianggap sesuatu yg menarik.” (Adi, Mei 2014)

Inovasi yang diterapkan di lahan rehabilitasi melalui pengelolaan hutan

dengan sistem agroforestry, dimana penanaman pohon di bawah tegakan tanaman

pokok boleh ditanami tanaman palawija maupun jenis tanmaan lainnya yang tidak

mengganggu tanaman pokok. Halini menjadi upaya untuk memberikan kontribusi

peningkatan pendapatan. Misalnya yang diperkenalkan kepada kelompok wanita

di Desa Andongrejo melalui penanaman empon-empon. “...Dari sisi ekonomi, ada

kegiatan yang bersifat intangible melalui pemberdayaan masyarakat, ada TOGA.”

(Nrh, Mei 2014).

Inovasi ini dapat dilihat dari kelompok wanita datang dari kelompok ibu-

ibu budidaya pengolahan jamu tradisional Sumber Waras di Desa Andongrejo.

“Lahan di rehab saya tanami empon-empon, kalau mau butuh buat ramuan jamu

tinggal ambil saja.” (Ktm, Mei 2014). Dengan kondisi kerapatan tutupan hutan

yang semakin teduh, salah satu strategi dengan menanam empon-empon bisa

menjadi alternatif pendapatan khususnya bagi kelompok wanita.

Sedangkan inovasi untuk peningkatan pendapatan melalui usaha budidaya

jamur juga dilakukan oleh kelompok tani rehabilitasi di Desa Curahnongko,

dimana pemberian bibitnya diberikan kepada kelompok tani sedangkan

pengelolaannya diserahkan pada individu. “Budidaya jamur tiram bantuan dari

TN itu kan tujuannya supaya bisa menambah pendapatan. Contohnya sehari saya

dapat sepuluh ribu, 5 ribu dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan artinya

Page 118: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

103

Universitas Indonesia

nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa mengurangi sekian

persennya ketergantungan terhadap hutan.” (Skw, Mei 2014)

Inovasi yang dilakukan kelompok petani rehabilitasi maupun kelompok

wanita di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo, terbentuk dari informasi dan

pengetahuan yang diperoleh pasca DA REDD+ melalui kegiatan pendampingan

yang dilakukan LSM KAIL. Dengan adanya pendampingan LSM yang menyasar

pada kegiaatn pemberdayaan masyarakat, inovasi yang dilakukan kelompok petani

maupun kelompok wanita dapat meningkatkan kemampuan adaptifnya terutama

dalam upaya mensinergikan antara kegiatan konservasi karbon hutan dan

kesejahteraan masyarakat desa penyangga khususnya.

Gambaran yang didapatkan dari kegiatan inovasi yang diperoleh dari

kelompok petani rehabilitas di Desa Wonoasri yaitu adanya inovasi penanaman

tumbuhan yang mulai dikembangkan, dirasa dapat meningkatkan pendapatan

petani. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang erat dan bersifat saling

mendukung. “Dulu kan petani masih sangat bergantung dengan padi, jagung,

tetapi sekarang masyarakat lebih diperkenalkan dengan jenis tanaman baru seperti

empon empon (cabe jawa, jahe merah) ini semakin meningkatkan ekonomi

masyarakat, penghasilan meningkat” (Dsr, Mei 2014).

3. Inovasi pengelolaan lahan rehabilitasi

Inovasi pengelolaan lahan rehabilitasi diinisiasi oleh LSM KAIL

melaluiupaya meningkatkan motivasi konservasi hutan kelompok petani

rehabilitasi diwujudkan melalui program PINTAR. Program PINTAR merupakan

bentuk apresiasi kepada petani rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di

lahan rehabilitasi sesuai dengan skema sistem klasifikasi lahan berdasarkan

jumlah tanaman pokok yang ada. Program ini baru diterapkan di Desa

Curahnongko dan Andongrejo. “Kita memberikan suatu program yang namanya

program PINTAR (Program Intensif Petani Rehabilitas) kepada masyarakat yang

termasuk dalam klasifikasi 5 dan 6, program ini dikhususkan bagi masyarakat

yang memiliki tanaman 150 ke atas, sebagai apresiasi kepada petani yang sangup

menjaga tanamannya sejumlah 150 ke atas.” (Nrh, Mei 2014)

Page 119: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

104

Universitas Indonesia

Selain itu, ada pemetaan tanaman pokok di lahan rehabilitasi di Desa

Curahnongko yang dilakukan dengan pendataan jumlah pohon. “Melakukan

identifikasi tentang yang ada di kawasan. Kegiatan rehabilitasi sudah ada sejak

1999 sudah berjalan tanaman tegakan sudah tumbuh, lalu kita bikin sampel di

Curahnongko, kita hitung tanaman/pohon yang ada di lahan rehabilitasi.” (Nrh,

Mei 2014)

Serta upaya untuk menghitung kerapatan tanaman dengan mendata jumlah

pohon yang berbatasan dengan zona diatasnya, dimana hal ini ditujukan untuk

melibatkan tanggungjawab komunitas terhadap kawasan rehabilitasinya dan

jumlah tegakan pohon. “Setiap lahan rehabilitasi nanti akan dihitung kerapatan

tanamannya, pendataan masyarakat dilakukan dipinggir zona rehablitasi, data

masyarakat yang ada di pinggir ini ditujukan untuk masyarakat menjaga tanaman

yang ada di atasnya agar tidak terjadi pencurian kayu. Setelah mendata, kemudian

dikumpulkan dengan TN, pihak polisi, ini ditujukan juga untuk menyertakan

masyarakat dalam pengelolaan hutan, sebagai salah satu upaya untuk melibatkan

masyarakat dalam pola pengawasan.” (Nrh, Mei 2014)

Gambar 4.5 Pendataan masyarakat yang memiliki lahan berbatasan

langsung dengan Zona Rimba

Sumber : Dokumentasi penelitian

Page 120: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

105

Universitas Indonesia

Beberapa program yang dirancang dan dikembangkan oleh LSM KAIL

ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi kelompok petani

rehabilitasi dalam upaya konservasi karbon hutan. Dari beberapa program tersebut

telah terwujud sebagian dalam kesadaran kelompok petani rehabilitasi sehingga

dapat disimpulkan bahwa kemampuan adaptif kelompok petani terbentuk melalui

sejumlah inovasi baik dari segi inovasi budidaya tanaman maupun alternatif

peningkatan pendapatan. Gambaran ini dapat secara nyata terlihat di Desa

Curahnongko dan Andongrejo, dimana kegiatan pemberdayaan dalam rangkaian

kegiatan DA REDD+ lebih intensif diperkenalkan dan dikembangkan.

4.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak)

Dukungan kelembagaan dan persamaan hak merupakan salah satu hal

yang terbentuk atas dukungan baik dari pemerintah maupun LSM lokal yang

memiliki peran dalam upaya menggiatkan komunitas local dalam upaya

konservasi karbon. Contoh nyata yang ada yaitu terbentuknya kelembagaan SPKP

(Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan) yang merupakan himpunan kelompok

tani rehabilitasi hasil bentukan dari Manajemen TNMB yang terbentuk di setiap

desa penyangga. Sedangkan kelompok tani rehabilitasi yang merupakan bentukan

LSM KAIL memiliki nama yang berbeda di tiap desa.

Kelembagaan yang berada di bawah binaan LSM KAIL sudah terbentuk

sebelum adanya kegiatan DA REDD+.Namun, sejak berlangsungnya kegiatan DA

REDD+ keberadaan lembaga diperkuat dengan mengajak kelompok petani

rehabilitasi secara bersama dalam sejumlah kegiatan misalnya penghitungan

karbon, inventarisasi tanaman pokok di masing-masing lahan rehabilitasi untuk

dipetakan bersama. “Terbentuknya kelompok tani rehabilitasi sudah sejak tahun

2000, sebelum REDD dikenalkan. Masing-masing desa memiliki kelompok petani

rehabilitasi yang telah terbentuk jaringan. Kalau di Curahnongko-Jaketresi

diketuai Pak Parman, himpunan dari 17 kelompok-kelompok tani rehab, di

Andongrejo-Permataresi.” (Nrh, Mei 2014).Upaya ini dianggap sebagai

penggerak komunitas lokal khususnya di tingkat kelompok petani rehabilitasi

untuk lebih peduli dalam menghutankan kembali lahan rehabilitasi dengan

menjaga tanaman pokoknya.

Page 121: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

106

Universitas Indonesia

Setelah dilakukan tinjauan lapangan, hasil yang sama juga diperoleh

bahwa keberadaan LSM hanya berada di 2 desa wilayah penelitian yaitu Desa

Andongrejo dan Curahnongko. “Kalau di Curahnongko itu Jaketresi (lembaga yg

murni mengendalikan lahan di rehab-KAIL) sedangkan dari mitra TN dibentuk

lembaga SPKP-TN, tapi misinya sama, pengurusnya juga sama. Beberapa

kegiatan kita didampingi oleh KAIL.” (Skw, Mei 2014). Serta pernyataan Pkn

(2014), “Ada Jaketresi sama SPKP mbak, aktif kalau disini. Pertemuan bulanan

itu bisa dibilang rutin. Walaupun kadang di lahan, pas kita lagi santai.”

Sedangkan di Andongrejo ada Permataresi yang juga merupakan bentukan

KAIL, namun eksistensinya tidak terlalu bagus jika dilihat dari eksistensi

kelompok dalam keaktifan membina sesama anggota kelompok tani. Menurut

beberapa kelompok tani mengungkapkan bahwa, “... dari KAIL ada permataresi,

kalau dari TN-SPKP nya jalan di tempat, pengurusnya kehidupannya sudah di atas

rata rata jadi untuk usaha seperti ini kurang peduli.” (Skr, Mei 2014). Kurang

aktifnya kelompok tani Permataresi dikarenakan petaninya lebih berorientasi

kepada materi. Ketua kelompok tani hanya mau berpartisipasi dalam suatu

kegiatan ataupun mengadakan kegiatan juga dirasa petani akan memperoleh

keuntungan sebanding dengan penghasilannya sehari. “SPKP maupun Permataresi

nggak jalan, pengurusnya itu sudah nggak terlalu minat buat ngurusi kegiatan

yang nggak ada penghasilannya.“ (Sjt, Mei 2014).

Dalam upaya meningkatkan partisipasi kelompok wanita, LSM KAIL di

Desa Curahnongko dan Andongrejo melakukan pendekatan kepada ibu-ibu

pengajian.

“REDD melibatkan ibu-ibu pengajian menghubungkan aspek keagamaan

dalam konteks kehutanan. Jadi nanti diperkenalkan ayat-ayat mengenai

konservasi, perlindungan hutan, jadi agama tidak hanya berbicara

mengenai ibadah maghdha, tetapi juga dengan lingkungan dimana menjadi

bagian dari perintah agama, mengapa kemudian kita mengajak ibu-ibu

pengajian. Ini kita anggap sebagai bentuk kearifan lokal yang diambil dari

dimensi keagaman, nilai etik yang diambil dari Quran.” (Nrh, Mei 2014)

Page 122: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

107

Universitas Indonesia

Jika di Desa Curahnongko pendekatan murni pada kegiatan pengajian

kelompok wanita, karena merupakan salah satu kumpulan semi formal yang dapat

diajak bersama untuk upaya melestarikan hutan. Dahulu sebelum adanya kegiatan

DA REDD+, juga pernah dibentuk kelompok wanita budidaya jamu tradisional,

tetapi hingga saat ini kelompok tersebut sudah bubar. Berbeda halnya dengan di

Desa Andongrejo. Terbentuknya kelompok wanita pengelola budidaya jamu

tradisional Sumber Waras sejak tahun 1993, hingga saat ini masih cukup eksis

dianggap sebagai peluang untuk mengajak dan mengembangkan upaya konservasi

karbon. “Pembentukan kelompok ibu-ibu budidaya jamu Sumber Waras di

Andongrejo, juga upaya kami meningkatkan peran partisipasi wanita dalam

kegiatan DA REDD+” (Nrh, Mei 2014). Sebagaimana ketua kelompok jamu

tradisional juga menyatakan hal yang sama. “Kelompok Jamu Sumber Waras, itu

bentukan LATIN sejak tahun 1993 – 1997, kemudian dilepas, untuk

memberdayakan ibu-ibu. Sudah terbentuk lama, tapi sekarang masih ada dan

masih didampingi. Ibu ibu kelompok Sumber Waras juga sering diundang sebagai

nara sumber di beberapa kota misalnya NTT, Kuningan, Ujung Kulon, Bogor,

atau ada pameran kadang dari desa Andongrejo juga diundang.” (Ktm, Mei 2014).

Secara tidak langsung, kelompok wanita memiliki keterkaitan penting

dengan upaya konservasi karbon hutan di lahan rehabilitasi. Keterlibatan

kelompok wanita dalam kegiatan DA REDD+ juga dinilai menjadi potensi untuk

menggiatkan konservasi hutan melalui budidaya tanaman empon-empon.

Intervensi kegiatan DA REDD+ dengan bantuan pendampingan LSM lokal dinilai

dapat membantu komunitas lokal untuk merespon perubahan lingkungan secara

lebih baik serta dapaat menyikapi dengan bijak terhadap kegiatan DA REDD+

untuk upaya konservasi karbon hutan.

Page 123: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Gambar 4. 6 Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa

Sumber : Dokumen Penelitian

Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan

mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang

mendukung kemampuan

terbentuknya kelembagaan di tingkat lokal bai

KAIL, peran dari polisi hutan/resort juga tidak dapat dilepaskan dalam kerangka

mendukung kemampuan

bertanggungjawab dalam kegiatan pengawasan langsung pada hutan

upaya-upaya yang mendukung peran tupoksi

pelestarian kawasan hutan.

hutan/resort yaitu dengan meningkatkan pendekatan pada komunitas lokal.

Menyatu dengan masyarakat tidaklah mudah, perlu strategi khusus dalam

praktiknya.Tidak dengan cara kekerasan, namun dengan cara pendekatan personal

melalui sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat baik formal

maupun informal. “Pendekatan info

sering ketemu, semakin masyarakat itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau

menebang hutan.” (Jum, Mei 2014)

Selama ini petugas Resort Andongrejo telah berupaya untuk melakukan

pendekatan personal maupun kelompok

santai dan tidak kaku

masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat itu nggak bisa kita secara

formal saja, tapi informal juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi n

Universitas Indonesia

Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa

Andongrejo

Sumber : Dokumen Penelitian

Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan

mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang

kemampuan adaptif masyarakat untuk upaya konservasi hutan. Selain

terbentuknya kelembagaan di tingkat lokal baik dari pemerintah maupun LSM

, peran dari polisi hutan/resort juga tidak dapat dilepaskan dalam kerangka

mendukung kemampuan adaptif komunitas lokal. Sebagai pihak yang

bertanggungjawab dalam kegiatan pengawasan langsung pada hutan

aya yang mendukung peran tupoksi polisi hutan dalam perlindungan dan

pelestarian kawasan hutan. Beberapa upaya yang telah dilakukan polisi

hutan/resort yaitu dengan meningkatkan pendekatan pada komunitas lokal.

Menyatu dengan masyarakat tidaklah mudah, perlu strategi khusus dalam

praktiknya.Tidak dengan cara kekerasan, namun dengan cara pendekatan personal

melalui sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat baik formal

Pendekatan informal lebih cenderung efektif. Semakin kita

sering ketemu, semakin masyarakat itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau

(Jum, Mei 2014).

Selama ini petugas Resort Andongrejo telah berupaya untuk melakukan

personal maupun kelompok melalui penyuluhan yang sifatnya lebih

santai dan tidak kaku.“Penyuluhan dari resort juga ada, door to door

masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat itu nggak bisa kita secara

formal saja, tapi informal juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi n

108

Universitas Indonesia

Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa

Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan

mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang

upaya konservasi hutan. Selain

k dari pemerintah maupun LSM

, peran dari polisi hutan/resort juga tidak dapat dilepaskan dalam kerangka

adaptif komunitas lokal. Sebagai pihak yang

bertanggungjawab dalam kegiatan pengawasan langsung pada hutan, diperlukan

polisi hutan dalam perlindungan dan

Beberapa upaya yang telah dilakukan polisi

hutan/resort yaitu dengan meningkatkan pendekatan pada komunitas lokal.

Menyatu dengan masyarakat tidaklah mudah, perlu strategi khusus dalam

praktiknya.Tidak dengan cara kekerasan, namun dengan cara pendekatan personal

melalui sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat baik formal

rmal lebih cenderung efektif. Semakin kita

sering ketemu, semakin masyarakat itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau

Selama ini petugas Resort Andongrejo telah berupaya untuk melakukan

elalui penyuluhan yang sifatnya lebih

door to door ke

masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat itu nggak bisa kita secara

formal saja, tapi informal juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi ngumpul-

Page 124: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

109

Universitas Indonesia

ngumpul nanti kita datangi, hey..kamu nggak boleh begini sama hutan. Tapi

keberhasilan ini juga tidak bisa kita nilai efektif, seperti kalau dalam kelas tidak

mungkin semua murid itu paham dengan 1+1 = 2, jadi itu tergantung individunya

juga.” (Ads, Mei 2014). Upaya yang dilakukan polisi hutan/resort tidak

selamanya bisa diterima oleh individu maupun kelompok, karena ada dasarnya

komunitas tersebut sudah memiliki pandangan tersendiri terkait dengna

pengelolaan hutan dan keberadaan hutan TNMB.

Kelembagaan di Desa Wonoasri dibentuk oleh pihak TNMB yaitu

padakelompok petani rehabilitasi (SPKP), OPR (Organisasi Petani Rehabilitasi),

dan LMDHK (Lembaga Masyarakat Desa Hutan Konservasi) Wonomulyo, tetapi

tidak ada kelompok petani rehabilitasi bentukan LSM KAIL karena tidak ada

peran pendampingan dari LSM KAIL khusus di Desa Wonoasri. LMDHK

merupakan motor penggerak dalam upaya konservasi karbon hutan di Wonoasri.

“Kelompok tani yang ada disini itu Wonomulyo, Ketuanya Pak Kasiyo.

Kelompok ini aktif bergerak ke petani-petani di sini.”(Mst, Mei 2014). Hal ini

diperkuat dengan pernyataan yang mengemukakan keaktifan kelompok tani

Wonomulyo.“Ada kelompok tani Wonomulyo, nanti dibagi bagi jadi beberapa

koordinator untuk bertanggungjawab dengan lahan rehab. Karena tempatnya

nggak sama dan berjauhan. Di Wonoasri ada 4 koordinator, 26 kelompok tani.”

(Tmn, Mei 2014).

Dengan tidak adanya peran pendampingan dari LSM lokal di Desa

Wonoasri, menunjukkan bahwa peran wanita kurang dilibatkan dalam upaya

konservasi karbon. Tidak adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat

mengakibatkan kemampuan adaptif kelompok wanita menjadi rendah jika dilihat

dari keterlibatan kelompok wanita.

Tidak adanya pendampingan LSM Lokal di Desa Wonoasri, disebabkan

oleh sejumlah permasalahan yang pernah terjadi antara komunitas lokal

khususnya petani rehabilitasi dengan LSM khsusunya dalam hal pengelolaan dan

transparansi. “Disini tidak ada LSM, karena kita semua nggak mau. Kita bisa kok

nanganin sendiri...”(Tmn, Mei 2014). Keberadaan LSM dianggap tidak terlalu

penting karena permasalahan keuangan yang tidak transparan. “LSM di Wonoasri

Page 125: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

110

Universitas Indonesia

terkesan tidak ada hasilnya, karena persoalan uang yang tidak transparan.” (Dsr,

2014).

Oleh karena itu, dalam rangkaian meningkatkan kemampuan adaptif

kelompok petani rehabilitasi khususnya, peran dari pemerintah yang ditingkat

lokal menjadi bagian dari tanggungjawab polisi hutan/resort serta dukungan Balai

TNMB.Petugas Resort Andongrejo, hal yang sama juga dilakukan oleh petugas

Resort Wonoasri. “Masyarakat sekarang tidak bisa dicegah menggunakan

kekerasan, karena jika dikerasi masyarakat akan cenderung mengerahkan massa.

Teknisnya sekarang lebih cenderung ke pertemanan. Kalau ketemu pelaku, diajak

omong-omongan baik-baik aja. Jangan sampai nanti ketika kita ketemu pelaku di

hutan langsung diborgol, nanti akan malah membahayakan petugas. Jadi lebih

cenderung ke pendekatan personal.” (Mst, Mei 2014). Selain itu, upaya melalui

pendekatan dalam sejumlah kegiatan kemasyarakat juga dilakukan sebagai bentuk

menjalin hubungan kedekatan yang lebih intensif. “Pendekatan yang dilakukan

oleh petugas yaitu jika masyarakat mengadakan pertemuan, petugas akan ikut

menghadiri. Petugas bisa membaur bersama masyarakat, karena mendekati orang

desa itu harus seperti itu.” (Mst, Mei 2014)

4.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And Governance

(Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola

Pemerintahan)

Karakteristik kemampuan adaptif yang terkait dengan fleksibel dan

orientasi ke depan, pengambilan keputusan serta tata kelola pemerintahan lebih

dikaitkan erat dengan bentuk peran pemerintah lokal maupun LSM dalam

melibatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi

karbon hutan pasca DA REDD+. Di dalam temuan lapangan, peneliti

mengklasifikasikanke dalam 2 hal penting yaitu terkait dengan transparency

(transparansi) dan collaboration (upaya kerjasama).

Dalam hal transparency ditemuakan fakta mengenai upaya pihak

manajemen Balai TNMB dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakat terkait

dengan land use regulation yaitu dengan adanya zona rehabilitasi, yaitu

Page 126: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

111

Universitas Indonesia

pemberian hak pengelolaan atas zona rehabilitasi. Sejumlah masyarakat di 3 desa

menyatakan hal yang sama terkait dengan hak masyarakat atas pengelolaan di

zona rehabilitasi. Seperti halnya dikemukakan oleh salah satu staf TNMB

mengenai zona rehabilitasi. “Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan

adanya lahan rehabilitasi. Dengan harapan masyarakat itu tidak akan merambah

hasil hutan baik kayu maupun non kayu.” (Ngh, Mei 2014).

Hal ini diperkuat dengan pernyataan komunitas lokal yang tinggal di

kawasan desa penyangga. “Masyarakat difasilitasi lahan di zona rehabilitasi agar

tidak merambah hasil hutan yang di zona rimba.” (Ryd, Mei 2014). Hak

pengelolaan diberikan sebagai upaya pelibatan partisipasi komunitas lokal dalam

pelestarian hutan.“Oleh TN, masyarakat diberi peluang untuk memanfaatkan

hutan melalui lahan rehab itu, tapi dengan syarat kalo harus ditanami tanaman

pokok. TN menyediakan bibit, suruh tanam petani, tanahnya suru mengelola,

hasilnya juga suruh ambil. Ini berlaku sejak 1999.” (Dsr, Mei 2014).

Sejak adanya lahan rehabilitasi, komunitas lokal merasa bersyukur telah

diberi kepercayaan oleh TN untuk mengelola dan menjaga hutan sehingga dapat

menghidupi keluarganya. “Kalau sekarang enggak, sudah ada lahan rehab, pihak

TN sudah merestui bahwa masyarakat boleh beraktivitas di wilayah TN tetapi

harus ada kesepakatan konkrit, diantaranya masyarakat boleh menanam palawija,

tapi TN minta masyarakat mematuhi aturan TN yang menyebutkan bahwa

masyarakat harus mengembalikan lahan hutan yang sudah gundul dgn menanam

tanaman tegakan/keras supaya lahan rehab bisa dihutankan kembali.” (Skw, Mei

2014). Hak pengelolaan juga mewajibkan masyarakat untuk menjaga tanaman

pokok di hutan dengan tujuan untuk menghijaukan kembali lahan hutan, dimana

bantuan berupa bibit juga sering didatangkan oleh TN untuk mendukung upaya

konservasi hutan. “Kita dikasi lahan rehabilitasi dari TN, ini kan artinya

pemerintah sudah mau memberi kita kesempatan untuk memanfaatkan lahan. Kita

dikasi lahan, dikasi bibit suru nanem, hasilnya buat kita, TN nggak minta apa-apa

lagi.” (Sri, Mei 2014).

Adanya kegiatan DA REDD+ di kawasan TNMB dinilai semakin

memperkuat posisi masyarakat dalam zona rehabilitasi. “Dengan adanya REDD,

Page 127: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

112

Universitas Indonesia

intensitas penegakan hukumnya lebih baik, tetapi tidak semua hal tidak boleh,

tetap boleh tetapi lebih memperhatikan konsep konservasi itu sendiri.” (Abh, Mei

2014). Seperti halnya yang dikemukakan oleh Ketua LSM KAIL,

“Di Curahnongko sudah ada MoU antara TN dan masyarakat sebagai

contoh. General agreement dimana masyarakat terlibat dalam

merehabilitasi kawasan, melestarikan kawasan secara keseluruhan. Dari

sisi formal, ada MoU (Curahnongko), pengakuan semakin kuat dari

pemerintah terhadap kegiatan rehablitasi dalam kawasan meskipun tidak

diwujudkan dalam tulisan tetapi dalam bentuk penunjukkan sebagai lokasi

DA REDD dengan pengakuan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan

kawasan memperkuat, inisiatif pengelolaan masyarakat di lahan

rehabilitasi diakui.” (Nrh, Mei 2014)

Selain dalam hal transparansi, pihak manajemen Balai TNMB juga

mengajak masyarakat turut serta dalam upaya menjaga hutan melalui

pembentukan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). MMP biasaya dipilih dari

kelompok petani rehabilitasi yang cukup memiliki peran penting dalam struktur

kelompok dan aktif dalam setiap kegiatan. Sebagaimana telah dikemukakan oleh

pihak manajemen Balai TNMB. “Masyarakat juga dilibatkan dalam kegiatan

MMP (Masyarakat Mitra Polhut). Sebagai upaya dari pihak TN mengikut sertakan

masyarakat dalam perlindungan hutan.” (Adi, Mei 2014)

Hal ini juga diperkuat pernyataan dari Mst (2014), “Selain itu juga kita

melibatkan komunitas lokal/petani lainnya untuk membantu mengawasi hutan.

Alasan lain yang menyertai pelibatan komunitas lokal itu adalah kurangnya

personil pengaman resort yang dirasa kurang memadai dalam melakukan

pengawasan dengan luasan hutan TNMB yang mencapai 58.000 Ha.”

Dalam hal decision making, pihak resort selaku penanggungjawab

pengawasan Kawasan hutan TNMB dalam menindaklanjuti kasus-kasus pencurian

dan pembalakan liar menurut informan masih memiliki toleransi penegakan

hukum. “Sebenarnya tidak boleh masyarakat mengambil kayu atau apapun yang

ada di hutan, tetapi kita tidak bisa langsung sekeras itu, kita punya toleransi apa

Page 128: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

113

Universitas Indonesia

yang boleh dilakukan masyarakat terhadap hutan.” (Feb, Mei 2014). Sanksi yang

diberikan kepada masyarakat yang tertangkap mencuri kayu rambahan di hutan

misalnya ranting pohon, masih tergolong ringan. Petugas tidak langsung

menghakimi tersangka, tetapi dengan diberi peringatan terlebih dahulu. “Untuk

beberapa kasus pencurian hutan, petugas tidak berniat semena mena menghakimi

tersangka. Kadang mereka ditangkap untuk diinterogasi di pos, kita tidak langsung

menangkap tetapi bertanya dulu sudah berapa kali, ambil apa saja disana. Pertama

kali kami peringatkan dulu, dua kali, tiga kali. Setelah itu baru ada tindak lanjut

kalau mereka ketahuan lagi mencuri di hutan.” (Mst, Mei 2014)

Secara singkat uraian mengenai kemampuan adaptif kelompok masyarakat

di 3 wilayah desa penyangga dapat digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 4. 1 Ringkasan Kemampuan Adaptif Komunitas Lokal Desa PenyanggaPasca DA REDD+

KemampuanAdaptif

Resort Andongrejo Resort Wonoasri

Curahnongko Andongrejo Wonoasri

Asset base (Aset dasar)

a. NaturalCapital

Lahan rehabilitasi - komunitas lokal desa penyangga memperoleh hakpengelolaan terhadap lahan rehabilitasi dengan beberapa ketentuan yaitumenjaga tanaman pokok serta diperbolehkan mengambil hasil manfaatdengan tidak menebang tanaman pokok; melakukan penyulaman jikatanaman pokok mati/roboh; tidak melakukan perambahan pada zona intiyang bersebelahan dengan zona rehabilitasi.

Khusus di Desa Curahnongko sudah ada MoU antara TN dan masyarakatdalam pengakuan keterlibatan masyarakat terkait pengelolaan lahanrehabilitasi.

b. HumanCapital

Kesadaran individu/kelompok petani cukupbaik dalam upayamenjaga tanaman pokokdi lahan rehabilitasi,walaupun tidak dapatdigeneralisir padaseluruh elemenkelompok petanirehabilitasi

Kesadaran individu/kelompok petani cukupbaik dalam upayamenjaga tanamanpokok di lahanrehabilitasi, walaupuntidak dapatdigambarkan padaseluruh elemenkelompok petanirehabilitasi serta upayamenjaga kelestarianhutan

Kesadaran individu/kelompok petanicukup baik dalamupaya menjagatanaman pokok dilahan rehabilitasi

Page 129: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

114

Universitas Indonesia

KemampuanAdaptif

Resort Andongrejo Resort Wonoasri

Curahnongko Andongrejo Wonoasri

Kesadaran kelompokwanita cukup tinggidalam konservasikarbon, namun perannyadalam komunitas masihtergolong rendah terkaitupaya konservasi karbonhutan.

Pengetahuan dankesadaran yang dimilikikelompok wanitaterwujud dalamsemangatnya yangtinggi untuk menjagatanaman pokok di lahanrehabilitasi

Peran wanita tidakcukup dominandalam kegiatankonservasi karbonhutan. Kesadarankelompok wanitacukup rendah padaupaya pelestarianhutan, karena kurangpedulinya

c. SocialCapital

Perkumpulan rutinkelompok petanirehabilitasi; loyalitasanggota kelompok taniyang tinggi - kelompokpetani rehabilitasimenjadi modelpengelolaan hutan dalamkerangka kemitraan

Kelompok petanirehabilitasi tidak bisadijadikan sebaagipenggerak upayakonservasi hutankarena pada levelkomunitas, kelompokini tidak cukupdominan dan berperandalam kegiatankonservasi. Kelompokpetani cenderung pasif.

Kelompok petanirehabilitasi memilikiperan strategis dalamkonservasi karbonkarena hubungankeeratan yangdimiliki kelompokserta kesadaranbersama untukmenjaga kelestarianhtan agar tidakmenimbulkandampak negatif darikondisi hutan yanggundul

Kelompok wanitapengajian sebagianpeduli dengankonservasi hutan, tetapipengaruhnya tidakcukup besar dalammengadvokasi upayakonservasi danpelestarian hutan baik dilahan rehabilitasimaupun zona intikepada komunitas lokal

Kelompok wanitakhsusunya pengelolabudidaya jamutradisional SumberWaras cukup memilikipengaruh dalam upayakonservasi karbonhutan di lahanrehabilitasi, khususnyaperannya dalammengajak ibu-ibupengajian

Peran wanita tidakcukup dominandalam kegiatankonservasi karbonhutan, kelompokwanita cenderungpasif

Page 130: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

115

Universitas Indonesia

KemampuanAdaptif

Resort Andongrejo Resort Wonoasri

Curahnongko Andongrejo Wonoasri

d. FinancialCapital

Alternatif peningkatanpendapatan melaluibudidaya jamur tiramyang dilakukan olehkelompok petanirehabilitasi secaraperseorangan

Alternatif peningkatanpendapatan melaluibudidaya jamutradisional yangdilakukan olehkelompok wanita yangdikelola secarakelompok yangterorganisir

Tidak ada upayapeningkatanpendapatan daridampak pascakegiatan DA REDD+- karena fokuskegiatanpemberdayaan untukpeningkatankesejahteraanmasyarakat hanyapada DesaCurahnongko danAndongrejo

Knowledge And Informastion (Pengetahuan Dan Informasi)

Transferabilitypengetahuan danpemahaman terkaitREDD+ pada kelompokpetani rehabilitasi cukupefektif dalammemberikanpemahaman danpengetahuan padaanggota kelompokpetani dalam pertemuanformal maupuninformal.

Transferabilitypengetahuan danpemahaman terkaitREDD+ padakelompok petanirehabilitasi diperolehmelalui perkumpulaninformal dengankelompok petanirehabilitasi di DesaCurahnongko, karenakelompok petanirehabilitasi diAndongrejo tidakcukup efektif dalamkegiatan kelompok,inisiatif dari ketuakelompok rendahdalam upayamengumpulkan anggotakelompok tani

Tidak semua anggotakelompok tanimengetahui danmemahamipemaknaan terhadapREDD+, krenaprosest transferabilitytidak terjadi antaraketua kelompok tanidengan anggotakelompok tani

Page 131: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

116

Universitas Indonesia

KemampuanAdaptif

Resort Andongrejo Resort Wonoasri

Curahnongko Andongrejo Wonoasri

Transferability padakelompok wanitadilakukan oleh ketuakelompok pengajianmelalui internalisasiagama (kandungan Al-Qur'an) yang diakitkandengan upaya konservasihutan

Transferability padakelompok wanitadilakukan oleh ketuakelompok pengajianyang sekaligus ketuakelompok budidayajamu tradisional yaitumelalui pengajian rutinserta memotivasikelompok wanita untuklebih aktif dalamkegiatan konservasiterutama melaluibudidaya empon-empon agar dapatmemperoleh manfaatganda dimana hutanlestari serta pendapatanmeningkat

Kelompok wanitatidak mengetahui danmemahami REDD+selain dari tidakadanya transferabilityjuga tidak adanyaperan pendampingandari LSM lokal

Innovation (Inovasi)

Inovasi budidaya tanaman dilakukan oleh kelompok petani rehabilitasidengan menanam tanaman yang tidak membutuhkan panas mataharilangsung mengingat bahwa tegakan tanaman pokok yang semakin rindang,sehingga sejumlah alternatif penanaman tanaman dilakukan misalnya peje,empon-empon, dll. Selain bermanfaat untuk menjaga erosi di hutan danmenyuburkan tanah di lahan rehabilitasi, tumbuhan tersebut dapatmemeberikan nilai ekonomis.

Inovasi terbentuk dari adanya kegiatanpendampingan yang dilakukan oleh LSM KAILkhususnya dalam upaya peningkatan pendapatanagar tidak terlalu bergantung pada hasil hutan danmengurangi ketergantungan dengan hasil hutan. DiDesa Curahnongko, menyasar pada kelompokpetani rehabilitasi melalui budidaya jamur tiram;sedangkan di Desa Andongrejo menyasar padakelompok wanita melalui pengelolaan budidayajamu tradisional

Tidak ada dampakyang dirasakan padapeningkatanpendpaatan jikamelihat inovasi yangterbentuk padakomunitas lokal dariadanya kegiatanpasca DA REDD+karena tidak adaperan pendampinganLSM pada kegaiatanpemberdayaanmasyarakat

Berkaitan dengan kegiatan DA REDD+ yang melibatkan beberapa

stakeholder terkait, maka kemudian dapat disimpulkan ke dalam ringkasan tabel

Page 132: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

117

Universitas Indonesia

mengenai pemahaman kemampuan adaptif selain dari kelompokpetani rehabilitasi

dan kelompok wanita.

Tabel 4. 2 Ringkasan Kemampuan Adaptif Kelompok LSM, Polisi Hutan/Resortdan Balai TNMB

KemampuanAdaptif

Resort Andongrejo Resort Wonoasri

Curahnongko Andongrejo Wonoasri

Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak)

LSM KAIL Penguatan Kelembagaan Jaketresi (Curahnongko)dan Permataresi (Andongrejo) - kelompok petanirehabilitasi sebagai penggerak di tingkat lokaldalam upaya konservasi karbon

Tidak ada kegiatanpendampingan yangdilakukan oleh LSMKAIL karena fokus

kegiatanpemberdayaan

masyarakat padarangkaian kegiataanDA REDD+ hanya

pada DesaCurahnongko dan

Andongrejo.

Melibatkan kelompokwanita khususnya ibu-ibu pengajian dalamkegiatan konservasihutan melaluiinternalisasi agama. Halini dianggap sebagaibentuk kearifan lokaldimana agama menjadidasar pendekatan untukmenanamkan nilai-nilaihubungan keterkaitananatara amal perbuatandi dunia dengan alamakhirat.

Melibatkan kelompokwanita khususnya ibu-ibu pengajian dalamkegiatan konservasihutan melaluiinternalisasi agama. Halini dianggap sebagaibentuk kearifan lokaldimana agama menjadidasar pendekatan untukmenanamkan nilai-nilaihubungan keterkaitananatara amal perbuatandi dunia dengan alamakhirat. di DesaAndongrejo jugaditunjang dengankegiatan pendampinganpengelolaan budidayajamu tradisional yangmemaanfaatkantumbuhan khas yangbanyak ditemukan dikawasan hutan TNMBuntuk kemudiandibudidayakan di lahanrehabilitasi.

Page 133: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

118

Universitas Indonesia

KemampuanAdaptif

Resort Andongrejo Resort Wonoasri

Curahnongko Andongrejo Wonoasri

Polisihutan/Resort

Melakukan pendekatan personal maupunkelompok melalui penyuluhan yang sifatnya lebihsantai dan tidak kaku. Tetapi cara ini belum bisadikatakan efektif karena tergantung dengankesadaran komunitas karena pada dasarnya setiapindividu maupun kelompok memiliki carapandang tersendiri dalam upaya pengelolaanhutan dan kegiatan konservasi hutan

Meningkatkanpengawasan melaluipatroli hutankhususnya diperbatasan zonarehabilitasi denganzona inti maupunzona rehabilitasisendiri; Melakukanpendekatan padakomunitas lokal baiksecara personalmaupun kelompokdengan terlibatlangsung dalamkegiatan perkumpulawarga

Balai TNMB Terkait dengan kegiatan pemberdayaanmasyarakat dalam kegaitan DA REDD+ menjaditanggungjawab KAIL, pihak TNMB hanya dalamteknis perhitungan karbon

Penguatankelembagaan SPKP,OPR, dan LMDHKWonomulyo

Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And Governance (Fleksibel danOrientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan)

LSM KAIL Adanya DA REDD+ semakin memperkuat posisimasyarakat dalam zona rehabilitasi. Khusus diDesa Curahnongko sudah ada MoU antara TN danmasyarakat dalam pengakuan keterlibatanmasyarakat terkait pengelolaan lahan rehabilitasi

Tidak ada kegiatanpendampingan yangdilakukan oleh LSMKAIL karena fokuskegiatanpemberdayaanmasyarakat padarangkaian kegiataanDA REDD+ hanyapada DesaCurahnongko danAndongrejo.

Polisihutan/Resort

Penguatan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dimana melibatkan kelompokpetani rehabilitasi. Penunjukan beberapa orang petani rehabilitasididasarakan pada peran yang dimiliki dalam struktur kelompok petanirehabilitasi serta keaktifannya dalam kegiatan konservasi hutan; sertamenindaklanjuti kasus-kasus illegal logging

Page 134: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

119

Universitas Indonesia

KemampuanAdaptif

Resort Andongrejo Resort Wonoasri

Curahnongko Andongrejo Wonoasri

Balai TNMB Balai TNMB memfasilitasi kebutuhan komunitas terhadap kebutuhanlahan melalui penerapan land use regulation dengan wujud penetapanzona rehabilitasi dimana komunitas desa penyangga diberi hakpengelolaan dengan sejumlah kewajiban yang diberlakukan. Hal inibertujuan untuk mengurangi interaksi komunitas lokal dengan zona intiTNMB.

4.2Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+

Upaya mengidentifikasi aksi adaptasi komunitas lokalsekitar TNMB di 3

(tiga) wilayah desa penyangga, peneliti terlebih dulu akan menjelaskan rangkaian

hubungan komunitas lokal dengan kawasan hutan TNMB. Sebagaimana

komunitas lokalmemaknai hubungannya dengan hutan, secara tidak langsung

dapat menjadi dasar bagi pembentukan perilaku aksi adaptasi yang terbentuk

selain ditunjang dari kemampuan adaptif yang dimiliki setelah memperoleh

pemahaman mengenai REDD+.

Berdasarkan hasil identifikasi wawancara, hubungan komunitas lokal

dengan hutan kawasan TNMB dibedakan menjadi 5 konsep pemaknaan yang

berbeda yaitu :

(1) Komunitas lokal bertanggungjawab atas upaya pelestarian hutan

Beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep komunitas lokal

bertanggungjawab penuh atas upaya pelestarian hutan.Menurut pendapat Ketua

LSM KAIL mengemukakan bahwa,“Petani/masyarakat menjadi ujung tombak

dalam upaya konservasi. Seperti tanaman pohon jika kesadaran masyarakat

kurang untuk menjaga tanaman pohonnya, maka tidak bisa hidup. Jadi sebenarnya

masyarakat adalah ujung tombak dari semua program.” (Nrh, Mei 2014). Petani

memiliki peran penting dalam upaya konservasi, dimana petani turut

bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian hutan di TNMB khususnya.

Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNMB tidak dapat dilepaskan

begitu saja. Hutan memiliki makna tersendiri bagi petani rehabilitasi. “Hutan itu

Page 135: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

120

Universitas Indonesia

sumber kehidupan baik untuk manusianya, untuk keanakeragaman hayati, visi dari

meru betiri itu kan hutan lestari masyarakat sejahtera” (Sjt, Mei 2014). Sejalan

dengan pernyataan Dsr (2014), “Bagaikan anak dengan orang tua saling

membutuhkan, kalau kita memerlukan alam itu/hutan, tapi kalau kita mau hidup

dengan hutan itu, kita juga harus memberi hidup hutan itu. Jadi kita juga turut

melestarikan hutan. Jadi hutan yang ada sekarang juga akn bisa dinikmati oleh

anak cucu kita di masa mendatang. Kita juga harus menjaga hutan, kalau hutan

gundul nanti banjir kita juga yang merugi.”

(2) Hutan sebagai sumber mata pencaharian

Hutan dengan segala keanekaragaman hayati di dalamnya menyediakan

sebagian besar sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh komunitas lokal yang

tinggal disekitar kawasan hutan TNMB khususnya. Pemanfaatan sumberdaya

hutan bagi komunitas local yang tinggal disekitarnya merupakan suatu kewajaran,

tetapi bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya itulah yang menjadi tindakan

yang mencerminkan kecintaan dan kesadarannya kepada hutan. Hutan

memberikan dampak langsung dan tidak langsung bagi keberlangsungan

masyarakat yang hidup disekitarnya. Hal ini dikemukakan dalam beberapa

pernyataan informan.

“Kalau dulu, hutan itu jadi andalan banget mbak, kan banyak hasil hutan

itu kayak madu, kayu rambahan nanti bisa dijual, bambu untuk gedek.

Kalau sekarang kan sudah nggak boleh, sudah dikasi lahan rehab sama

TN. Dulu itu sering juga ada illegal logging, tapi biasanya dari masyarakat

luar. Kalau orang sini aja butuhnya mungkin kayak cuma bikin rumah,

itupun seumur hidup sekali aja.” (Sra, Mei 2014)

Hutan menjadi anadalan bagi komunitas lokal khususnya desa penyangga

terutama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyarakat secara alami

memiliki hubungan batin yang dekat dengan hutan walaupun mereka juga

mengambil hasil hutan, tetapi tidak sampai merusak hutan. Kesadaran ini

tertanam pada sebagian komunitas lokal yang memiliki kepedulian tinggi

terhadap hutan. “Masalahnya kan kita tinggal dipinggir hutan, hubungan kita itu

erat sekali. Hutan itu sumber mata pencaharian kalau buat masyarakat sini. Tapi

Page 136: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

121

Universitas Indonesia

bagaimanapun saja arahnya bagi yang peduli dengan hutan akan cenderung

menjaga hutan. Kalau yang nggak peduli ya masih nebangi hutan. Masyarakat

juga sebenarnya nanti akan rugi sendiri kalau hutannya rusak.” (Syh, Mei 2014)

Hutan dianggap sebagai lahan bisnis bagi komunitas lokal tertentu dimana

keuntungan akan diperoleh seiring dengan semakin banyaknya hasil kayu yang

diperoleh dari hasil hutan TNMB. “Masyarakat sangat besar sekali

ketergantungannya dengan hutan. penghasilan masyarakat dari hutan yg tanpa

merusak hutan. Ini kan di lahan rehab. Orang yang tidak bisnis, akan

memanfaatkan hasil lahan rehab. Tapi kalau masyarakat yang bisnis, cenderung

melakukan pembalakan.” (Srs, Mei 2014). Banyaknya kasus illegal logging yang

terjadi di kawasan TNMB, memberikan pandangan yang menilai bahwa,

perbuatan illegal logging hanya merupakan bentuk ketidakpuasan manusia atas

apa yang belum termiliki. “Kalau masalah illegal logging itu bukan urusan perut

lapar, tapi keserakahan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Bukan urusan

perut lapar lalu nebang kayu itu endak” (Sjt, Mei 2014).

Hutan sebagai pendukung untuk kegiatan budidaya pertanian empon-

empon dimana value added diperoleh dari pengelolaan jamu tradisional. “Hutan

itu penting buat masyarakat sini, apalagi saperti saya ini yang juga budidaya

empon-empon, nanemnya kan di hutan, ngambilnya juga dari hutan, kalau hutan

gundul, tanemannya mati.” (Mn, Mei 2014)

Balai TNMB berpendapat bahwa pelestarian hutan berkaitan erat dengan

kesejahteraan masyarakat sebagaimana tercantum dalam visi dan misi Balai

TNMB seperti yang dikemukakan berikut.

“Pelestarian hutan dan kesejahteraaan masyarakat sesuai dengan visi dan

misi kita. Kalau interkasi antar hutan dan masyarakat sangat intens.

Terutama dengan masyarakat yang dekat dengan kawasan itu sangat intens

karena sebagian besar masyarakat itu bergantung dengan alam (hutan),

tetapi kesadarannya rendah, terutama ketergantungan. Hidupnya masih

tergantung dengan hutan. sedangkan TN konsepnya ke 3P – Perlindungan,

Page 137: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

122

Universitas Indonesia

Pengawetan, dan Pemanfaatan tapi sekarang 4P ditambah dengan

Pemberdayaan.” (Ngh, Mei 2014)

(3) Hutan sebagai sumber alternatif mata pencaharian

Keberadaan hutan TNMB tidak selamanya menjadi sumber mata

pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk di kawasan TNMB, hal ini

ditunjukkan khususnya bagi masyarakat yang tinggal di Desa Wonoasri, dimana

kedekatan geografis dengan hutan tidak memiliki pengaruh besar dalam upaya

pemanfaatan hutan sebagai pendukung kegiatan ekonomi. “Kalau tergantung

sepenuhnya enggak, karena masyarakat sini masih bekerja di perkebunan. Tapi

hutan itu cukup memberikan hasil buat masyarakat sini. Kita juga tidak boleh

merambah hutan yg bagian dalem, bolehnya ya Cuma di lahan rehab saja” (Ssw,

Mei 2014). Masyarakat Wonoasri juga memiliki lahan pertanian sawah, sehingga

tidak speenuhnya bergantung dengan lahan rehabilitasi. “Masyarakat disini

kebanyakan petani biasanya lari ke lahan desa milik sendiri (sawah di dataran

rendah) atau kebun. Lahan rehab itu hanya sampingan aja. Tidak sepenuhnya

dicurahkan disitu.” (Tmn, Mei 2014)

(4) Keterbatasan sumberdaya lahan di sekitar kawasan TNMB

Bagi sejumlah informan, menilai bahwa hutan menjadi salah satu

sumberdaya lahan yang bisa diandalakan ketika lahan yang tersedia di wilayah

desa tidak dapat mengakomodir kebutuhan seluruh penduduk yang ada. tetapi

kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan masih dimiliki dalam pribadi

informan. “Letak geografis disini itu, jumlah penduduk dengan lahan pertaniannya

nggak imbang, jadi sangat tergantung sekali dengan hutan, dalam artian tidak

merusak hutan”. (Skr, Mei 2014). Penyataan tersebut didukung oleh Skw (2014),

“Petani yang nggak punya lahan pertanian di sawah ya mengandalkan lahan di

rehab. Kan nggak mungkin orang sebanyak ini semuanya punya lahan disawah,

sementara sawah yang ada itu cuma sedikit, ya otomatis mengandalkan lahan di

rehab. Misalnya begini ada masyarakat yang mencari joho, kemiri di hutan.”

(5) Hutan memiliki manfaat bagi ekosistem lingkungan

Page 138: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

123

Universitas Indonesia

Hutan memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam.

Pemahaman ini dirasakan oleh sejumlah informan. “Sebelum 2010, masyarakat

sendiri sudah memiliki tanggungjawab penuh dan merasa menjadi bagian dari

hutan, melestarikan secara bersama. Hutan sebagai tata guna air, penghasil

oksigen, dan mendukung sumber penghidupan lainnya bagi masyarakat shg

mereka juga turut menjaga hutannya.” (Abh, Mei 2014)

Ekosistem hutan yang terganggu akan menimbulkan dampak pada

lingkungan sekitar. Misalnya bencana banjir. Jika pohon di hutan semakin

gundul, maka wilayah lain disekitarnya akan terkena banjir karena limpasan air

hujan akan lagsung jatuh ke tanah tanpa ditahan oleh tutupan vegetasi. “TNMB

berdekatan langsung dengan wonoasri, memiliki hubungan yang saling

membutuhkan. Manfaat hutan juga banyak untuk Wonoasri, jika terjadi hujan

pasti air yang dari andong, Curahtakir, Curahnongko bermuara di Wonoasri.

Sehingga banjir juga bisa dirsakan oleh masyarakat Wonoasri.” (Abr, Mei 2014)

Hubungan masyarakat dengan kawasan hutan TNMB akan menjadi

pendukung untuk mendalami aksi adaptasi komunitas lokal selain melalui

gambaran kemampuan adaptif.Aksi adaptasi komunitas lokal selanjutnya

dikelompokkankedalam dua jenis yaitu kelompok petani rehabilitasi dan

kelompok wanita baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam

kegiatan DA REDD+. Berikut hasil temuan lapangan dari identifikasi aksi adaptasi

yang dilakukan dua kelompok tersebut.

4.2.1 Kelompok petani rehabilitasi

Aksi adaptasi kelompok masyarakat cenderung berbeda sesuai dengan

kemampuan adaptif yang dimiliki sertakesadaran akan perannya dalam menjaga

ekosistem. Aksi adaptasi kelompok petani rehabilitasi baik di Curahnongko,

Andongrejo maupun Wonoasri lebih kepada upaya inovasi untuk menambah

alternatif mata pencaharian, dan alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi dengan

menjaga tanaman pokok.

a. Aksi adaptasi untuk menambah alternatif mata pencaharian

Page 139: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

124

Universitas Indonesia

Kelompok petani rehabilitasi Desa Curahnongkobaik yang mengikuti

kegiatan DA REDD+ maupun tidak mewujudkan aksi adaptasinya melalui upaya

melakukan alternatif kegiatan ekonomi dengan alternatif budidaya jamur tiram,

peje dan penanaman pohon buah. “Saya mencoba budidaya jamur tiram. Lahan di

rehab kan nggak bisa ditungguin terus. Ada musimnya.” (Prm, Mei 2014). Selain

itu juga petani banyak menanam tanaman peje yang dirasa mudah ditanaam tetapi

menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. “Peje itu mbak tanaman rambat di hutan,

tumbuhnya ya gitu dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak, menjalar kemana-

mana, bijinya kecil-kecil. Kalau sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli.

Tanemannya tahan panas, terus bisa itu mencegah tanah longsor kalau pas hujan.”

(Sri, Mei 2014). Beberapa petani juga berinisiatf menanam tanaman buah-buahan.

“Kalau nggak boleh manen kayu, lahan saya saya kasi taneman buah. Sirsak,

Alpukat. Buahnya bisa diambil, nanti dijual.” (Skw, Mei 2014)

Selain itu, aksi adaptasi kelompok petani di Desa Andongrejo juga

diwujudkan dengan mengembangkan alternatif mata pencaharian agar tidak

bergantung pada hasil hutan di TNMB khususnya kayu. Upaya ini dilakukan

dengan melakukan penanaman eberapa jenis tanaman di bawah naungan tanaman

pokok seperti peje, empon-empon. “Lahan rehab juga saya tanami peje sama

empon-empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per kilonya mahal Mbak, kalau

empon-empon itu kan bisa dijual juga ke tengkulak.” (Sjt, Mei 2014).

b. Aksi adaptasi melalui pengelolaan lahan rehabilitasi

Aksi adaptasi nyata juga dilakukan oleh petani rehabilitasi yang tidak

terlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+ di Desa Curahnongkodiwujudkan

melalui upaya menjaga tanaman pokok yang ada di lahan rehabilitasinya. Seperti

penuturan, Sri (2014), “Kalau kita menjaga hutan, usaha melestarikan hutan,

utamanya di lahan rehab. Kita disuru menjaga taneman pokok, jangan ada yang

ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet disulam.” Aksi adaptasi ini juga

didukung oleh pendampingan yang dilakukan LSM KAIL. “Dari pelatihan KAIL,

kita kan disuru mengawasi tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya itu kita

jaga bersama-sama kelompok” (Sri, Mei 2014).

Page 140: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

125

Universitas Indonesia

Aksi adaptasi di Desa Andongrejo dan Curahnongko, tidak terlepas dari

adanya peran LSM KAIL yang turut menyertakan masyarakat menjaga secara

bersama zona rimba yang berbatasan dengan zona rehabilitasi agar timbul

kesadaran adaptasi dan upaya degradasi hutan dapat terhindarkan. “Dari pelatihan

KAIL, kita kan disuru mengawasi tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya

itu kita jaga bersama-sama kelompok” (Skw, Mei 2014).

Kelompok petani rehabilitasi di Desa Andongrejo yang tidak mengikuti

kegiatan DA REDD+ mewujudkan aksi adaptasi salah satunya melalui kegiatan

alternatif pengelolaan lahanrehabilitasi yaitu dengan melakukan penyulaman

tanaman pokok yang telah mati. “Saya pribadi menyadari kalau di lahan rehab ada

tanaman yang mati/rusak biasanya saya sulam. Bibitnya ya nanti saya sendiri,

swadayalah Mbak” (Sjt, Mei 2014). Penyulaman itu tidak lain karena kesadaran

yang dimiliki, hal ini dibuktikan dengan kesukarelaan petani untuk menanam

tanaman pokok secara swadaya walaupun terkadang juga mendapat bantuan bibit

dari Balai TNMB. “Nyulam lahan rehab itu swadaya mbak, masing-masing petani,

tapi kalau ada bantuan bibit dari TN juga disulam lagi”(Skr, Mei 2014).

Aksi adaptasi juga diwujudkan dalam upaya perlindungan lahan

rehabilitasi dari kebakaran hutan, yaitu dengan tidak membakar sampah yang ada

di hutan. “Seperti membakar sampah di hutan itu nanti mengeluarkan racun ke

udara. Jadi saya nggak pernah membakar lagi” (Sjt, Mei 2014). Hal ini menjadi

salah satu bukti bahwa petani memiliki kepedulian nyata untuk menjaga hutan.

Hasil emisi dari pembakaran hutan akan mencemari udara dan membuat gas

rumah kaca di atmosfer bumi semakin tinggi.

Seperti halnya di dua desa lainnya, Desa Wonoasri aksi adaptasi juga

diwujudkan melalui alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi dengan menjaga

tanaman pokok. Penyulaman yang dilakukan sebagai upaya untuk menjaga

tanaman pokok. “Petani biasanya menyulami sendiri tanaman tegakan yang mati

atau roboh, atau kadang juga bibit itu dikasi dari TN untuk penyulaman. Jadi

kadang TN ada pembagian bibit.” (Tmn, Mei 2014). Penanaman bibit yang

diberikan oleh TN dimaksudkan untuk mengajak kelompok komunitas lokal secara

bersama melakukan penanaman. “Nanem bibit yang dikasi TN itu bagian dari

Page 141: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

126

Universitas Indonesia

usaha petani untuk menjaga hutan. dari situ pengennya hutan hijau lagi,

masyarakat ikut berpartisipasi menjaga pohonnya.” (Dsr, Mei 2014).

Kelompok petani rehabilitasi mengungkapkan bahwa sebenarnya

kemampuan masyarakat beradaptasi itu sudah dimilki sejak dulu dengan kesadaran

yang dimiliki melalui upaya menjaga hutan. Hal ini dapat dilihat dari perilaku

masyarakat yang dituturkanDsr (2014),“Kemampuan adaptasi itu ada kok dari

dulu sudah terbentuk di masyarakat. Mereka itu tau kalau hutannya gundul, banjir

yang akan datang dari atas sana. Jadi, kalau buat yang punya lahan yang miring

diatas, mereka tanami peje. Biar air hujan yang turun tidak langsung jatuh ke lahan

yang bawah.”

Seperti halnya kelompok petani rehabilitasi yang mengikuti kegiatan DA

REDD+, petani yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+ juga memiliki

kesadaran yang sama seperti diungkapkan Sis (2014), “Kalau di lahan yang

miring, susah buat diolah. Jadi bisa ditanami peje, biar kalau hujan nggak langsung

jatuh airnya, ada yang nahan.” Aksi adaptasi ini menjadi bagian dalam upaya

alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi.

Aksi adaptasi tidak hanya dirasakan oleh kelompok petani Wonoasri yang

mengikuti DA REDD+, namun juga diikuti dengan petani yang tidak mengikuti

kegiatan DA REDD+. Berdasarkan temuan lapangan, aksi adaptasi yang dilakukan

kelompok tani patut ditiru. Aksi adaptasi nyata langsung dilakukan dengan

melakukan penanaman pada tanaman tegakan yang telah mati atau roboh. “Petani

sini baik-baik orangnya, sudah sadar sendiri kalau ada yang mati atau roboh

disulam sendiri” (Pnm, Mei 2014). Keterlibatan petani dalam aksi adaptasi

menentukan keberhasilan upaya konservasi hutan. Adaptasi akan berjalan secara

kontinyu jika kesadaran timbul dari dalam diri masing-masing individu.“Kita yang

punya lahan di rehab, wajib menjaga tegakan pohon. Kalau ada yang mati, cepet-

cepet disulam.” (Ssw, Mei 2014). Hal yang sama juga dilakukan oleh Srs (2014),

“Walaupun nggak ada yang nyuruh, sulam tanaman itu pasti dilakukan sama

petani.”

Page 142: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

127

Universitas Indonesia

4.2.2 Kelompok wanita

Seperti halnya kelompok petani rehabilitasi, kelompok wanitadi Desa

Curahnongko juga melakukan hal yang sama dalam upaya mewujudkan aksi

adaptasinyauntuk menjaga kelestarian hutan melalui alternatif pengelolaan lahan

rehabilitasi dengan menjaga tanaman pokok. “Tanah di lahan rehab itu nggak

diolah, tapi ditanami peje. Sekarangg ditanami nangka, pete, kedawung, kemiri,

pisang. Nanti setelah hasil dari peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami

lainnya.” (Syh, Mei 2014). Tidak hanya Syh yang menanm peje sebagai alternatif

pengelolaan lahan rehabilitasi, hal ini juga dinyatakan oleh Sra (2014), Lahan saya

sekarang ditanami peje, mau musim kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas

cuma peje.

Sedangkan aksi adaptasi kelompok wanita di Desa Andongrejo dilakukan

melalui alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi dengan menanam tanaman

palawija dan empon-empondibawah tanaman pokok. “Tanaman pokok yang

besar-besar, dibawahnya ditanami palawija seperti jagung, padi, dan empon-

empon. Jadi petaninya juga untuk dimakan ada, untuk menjaga hutan juga ada.

Untuk kebutuhan ekonomi, bisa dijual empon empon, padi, peje.” (Katemi, 2014).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Mn (2014), “Empon-empon juga tidak hanya

ditanam di lahan rehab, sebagian ibu-ibu yang punya lahan di rumahnya, ditanami

empon-empon juga.”

Aksi adaptasi yang dilakukan kelompok wanita pengelola budidaya jamu,

salah satunya karena kesadaran dan semangat yang timbul dari dalam pribadinya.

“Hutan gundul perlu dilestarikan, karena jika hutan gundul akan menimpa ke

manusianya juga, jadi TOGA akan ikut prihatin kalu hutannya gundul. Jadi juga

semangat untuk mengembalikan kelestarian hutan.” (Ktm, Mei 2014).Hal ini

diwujudkan dengan menjaga tanaman pokok, yaitu dengan tidak menebanginya.

Jika hutan gundul, maka pertumbuhan empon-empon akan terganggu karena

kerapatan vegetasi yang rendah sehingga panas matahari akan langsung menyinari

tumbuhan yang membuat tumbuhan akan mati karena radiasi matahari terlalu kuat

diterima.

Page 143: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

128

Universitas Indonesia

Keinginan untuk menghijaukan hutan kembali juga didukung oleh salah

satu ibu kelompok TOGA, namun untuk menyadarkan dan melibatkan seluruh

masyarakat dalam aksi adaptasi agaknya terkendala dengan karakter individu.

Tidak semua orang berkeinginan dan beraksi nyata untuk melestarikan hutan.

“Ingin hutannya hijau lagi kayak dulu. Tapi ya susah ngasitau masyarakat itu suru

nanem. Padahal sering ada kegiatan pelatihan, di kumpulan tibakan juga sering

disampaikan. Tergantung orangnya Mbak. Orang kan beda-beda maunya.” (Mn,

Mei 2014)

Sedangkan aksi adaptasi kelompok wanita di Desa Wonoasri terhadap

upaya konservasi karbon hutan khususnya di lahan rehabilitasi tidak cukup

berperan besar. Tidak adanya kegiatan pendampingan LSM yang mampu

memotivasi kelompok wanita untuk berbuat nyata dalam aksi adaptasi untuk

konservasi karbon hutan.

Selain dua kelompok tersebut, aksi adaptasi juga perlu mendapat dukungan

dari aparatur desa, polisi hutan/resort, LSM lokal, serta pihak pemerintah yang

dalam hal ini yaitu Balai TNMB.

4.2.3 Aparatur desa

Aparatur desa yang dilibatkan dalam penelitian ini meliputi kepala desa,

sekretaris desadan KAUR desa. Menurut penuturan aparatur desa Curahnongko

masyarakat lokal sebenarnya memiliki local knowledge sendiri untuk

mempraktikkan kemampuannya dalam beradaptasi.

“Kalau saya bilang, masyarakat itu punya local knowledge sendiri tentang

bagaimana dia menjaga hutan, beradaptasi. Tapi masalahnya ya itu Mbak,

masyarakat itu kan pikirannya beda-beda, kemampuan buat berbuat itu

juga beda, maunya aja beda. Kalau mau kita kan masyarakat itu boleh

mengambil hasil hutan, tapi tidak merusak pohonnya. Katakanlah ambil

madu, buah, ya ambil hasilnya, tapi pohonnya nggak usah ditebang. Biar

aja seperti itu, biar nanti bisa dapat ngambl madu atau buahnya tadi.”

(Abh, Mei 2014)

Page 144: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

129

Universitas Indonesia

Untuk meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakatsejumlah upaya dari

pemerintah Desa Curahnongko telah dilakukan yaitu dengan mengadakan

pelatihan yang digalakkan sebelum adanya kegiatan DA REDD+ maupun setelah

kegiatan DA REDD+.“Kalau untuk pemerintah desa sudah rasanya ndak kurang-

kurang melakukan penyuluhan ke masyarakat, biasanya kersama dengan TN, itu

gunanya untuk menyadarkan masyarakat, mengajak ikut sama-sama menjaga

hutannya.” (Srs, Mei 2014). Hal ini dipandang sebagai upaya peningkatan

kemampuan adaptif komunitas lokal dan meningkatkan peran pemerintah sebagai

salah satu institusi lokal yang memiliki pengaruh penting dalam konservasi hutan

Sejumlah upaya melalui kegiatan penyuluhan baik pra maupun pasca DA

REDD+ telah dilakukan untuk menyadarkan komunitas lokal dalam menjaga

kelestarian hutan. “Kita berusaha memberi penyuluhan ke masyarakat.

Penyuluhan itu sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum REDD+ ada. Itu tugas kita

untuk membentuk kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan” (Ryd, Mei

2014). Bahkan, kegiatan penyuluhan tidak hanya dilakukan oleh aparatur desa,

tetapi juga didukung oleh Balai TNMB maupun LSM. Namun efektifitas dari

kegiatan penyuluhan dalam mengubah dan menyadarkan perilaku komunitas lokal

untuk menjaga kelestarian hutan nampaknya belum efektif. “Ada, penyuluhan dari

desa, TN, LSM itu sering ke masyarakat. Tapi kan nanti akhirnya kembali ke

pribadinya lagi. Penyuluhan itu sifatnya membantu, mendorong dan mengajak

masyarakat untuk ikut dalam menjaga dan melestarikan hutan. Kalau dari

masyarakat sendiri saya kira ada beberapa yang ingin hutannya hijau lagi. Tapi itu

cuma sedikit saja. Nyatanya penanaman belum berhasil baik untuk menghijaukan

kembali hutan” (Ryd, Mei 2014).

Lain halnya dengan penilaian aparatur Desa Wonoasri. Dari pihak

pemerintah desa, upaya menyadarkan komunitas lokal dilakukan melalui kegiatan

penyuluhan maupun pendekatan personal maupun kelompok dengan turut hadir

dalam sejumlah kegiatan perkumpulan rutin yang diadakan. Melalui beberapa

kegiatan tersebut, pengetahuan komunitas lokal menjadi bertambah khususnya

terkait dengan manfaat hutan. “Masyarakat disini mampu beradaptasi, buktinya

Wonoasri bagus hutannya. Sering-sering kegiatan penyuluhan itu menambah

Page 145: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

manfaat buat masyarakat sini, jadi lama

apa yang nggak boleh dilakukan dengan hutan

masyarakat di Desa Wonoasri yang mudah untuk diajak bekerjasama dan lebih

terbuka, menjadi nilai penting dalam upaya pelibatan konservasi.

Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya, contohnya kalau ada tanaman yang rusak,

dilakukan penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya mereka beradaptasi

(Abr, Mei 2014). Hal ini didukung

semangat dari petani itu besar untuk meghijaukan kembali hutan di lahan rehab.

“Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga mau semangat menanam.

Menjaga pohonnya. Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah deng

pencurian kayu yang dilakukan masyarakat asli

masyarakat sini” (Pai, Mei 2014)

4.2.4 LSM KAIL

Seperti halnya peran pemerintah dalam mengatur regulasi pengeloaan

kawasan hutan TNMB. Peran LSM

berkaitan dengan peran

upaya perlindungan hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh LATIN.

KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun 2001. Nah selama kurun waktu itu kita

melakukan kegiatan pelestar

pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun 1999 terjadi penjarahan massal, ketika

LATIN bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan masyarakat untuk

menghijaukan lahan kawasan Meru Betiri kembali (Nrh, Mei 2

Universitas Indonesia

manfaat buat masyarakat sini, jadi lama-lama masyarakat itu paham fungsi hutan,

apa yang nggak boleh dilakukan dengan hutan” (Abr, Mei 2014).

masyarakat di Desa Wonoasri yang mudah untuk diajak bekerjasama dan lebih

menjadi nilai penting dalam upaya pelibatan konservasi.

Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya, contohnya kalau ada tanaman yang rusak,

dilakukan penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya mereka beradaptasi

Hal ini didukung oleh pernyataan yang mengemukakan bahwa

semangat dari petani itu besar untuk meghijaukan kembali hutan di lahan rehab.

Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga mau semangat menanam.

Menjaga pohonnya. Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah deng

yang dilakukan masyarakat asli. Kebanyakan dari luar dan bukan

(Pai, Mei 2014)

Seperti halnya peran pemerintah dalam mengatur regulasi pengeloaan

kawasan hutan TNMB. Peran LSM KAIL juga memiliki peran

berkaitan dengan peran pemberdayaan masyarakat. “KAIL sudah melakukan

upaya perlindungan hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh LATIN.

KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun 2001. Nah selama kurun waktu itu kita

melakukan kegiatan pelestarian kawasan di zona rehabilitasi yang diawali dengan

pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun 1999 terjadi penjarahan massal, ketika

LATIN bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan masyarakat untuk

menghijaukan lahan kawasan Meru Betiri kembali (Nrh, Mei 2014).

130

Universitas Indonesia

lama masyarakat itu paham fungsi hutan,

(Abr, Mei 2014).Karakteristik

masyarakat di Desa Wonoasri yang mudah untuk diajak bekerjasama dan lebih

menjadi nilai penting dalam upaya pelibatan konservasi. “Masyarakat

Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya, contohnya kalau ada tanaman yang rusak,

dilakukan penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya mereka beradaptasi.”

oleh pernyataan yang mengemukakan bahwa

semangat dari petani itu besar untuk meghijaukan kembali hutan di lahan rehab.

Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga mau semangat menanam.

Menjaga pohonnya. Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah denger ada

Kebanyakan dari luar dan bukan

Seperti halnya peran pemerintah dalam mengatur regulasi pengeloaan

juga memiliki peran utamanya

AIL sudah melakukan

upaya perlindungan hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh LATIN.

KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun 2001. Nah selama kurun waktu itu kita

di zona rehabilitasi yang diawali dengan

pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun 1999 terjadi penjarahan massal, ketika

LATIN bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan masyarakat untuk

014).

Page 146: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Gambar 4.7

Sumber : Dokumen pribadi

Kegiatan yang dilakukan LSM KAIL dalam upaya

untuk bersama menciptakan kelestarian hutan telah berlangsung sejak sebelum

terlaksananya DA REDD+. Kepercayaan LSM KAIL bahwa masyarakat

merupakan komponen penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan DA

REDD+ dalam upaya konservasi

“Masyarakat itu mampu kalau didorong dan difasilitasi. Mereka memiliki

knowledge yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya kita berhasil

mengembangkan tanaman TOGA di lahan 7 Ha dengan melibatkan masy

Itu jadi pengukuran karbon kemarin.” (Nrh, Mei 2014)

Keberhasilan

Curahnongko akan menjadi contoh bagi individu maupun kelompok masyarakat

lainnya untuk meningkatkan upaya dalam mendukung kesada

hutan. Optimisme LSM KAIL terhadap potensi masyarakat lokal menjadi

motivasi internal yang akan dapat ditanamkan dalam kelompok petani Desa

Curahnongko.“Curahnongko yang jadi

bisa jadi contoh untuk upaya konservasi hutan di desa penyangga lainnya, melalui

pemberdayaan petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau masyarakat itu bisa

diajak kerjasama dengan pemerintah dan sama

2014). Masyarakat memiliki peran penting dalam konservasi hutan, dimana untuk

meningkatkan kesadarannya diperlukan pendekatan dan pendampingan dari LSM.

Dukungan kelembagaan baik dari organisasi pemerintah maupun LSM

Lokal sudah berlangsung sejak sebelum

Universitas Indonesia

7 Lahan Demplot 7 Ha di Desa Curahnongko

Sumber : Dokumen pribadi

Kegiatan yang dilakukan LSM KAIL dalam upaya merangkul masyarakat

untuk bersama menciptakan kelestarian hutan telah berlangsung sejak sebelum

terlaksananya DA REDD+. Kepercayaan LSM KAIL bahwa masyarakat

merupakan komponen penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan DA

REDD+ dalam upaya konservasi hutan. Aksi adaptasi masyarakat diungkapkan,

Masyarakat itu mampu kalau didorong dan difasilitasi. Mereka memiliki

yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya kita berhasil

mengembangkan tanaman TOGA di lahan 7 Ha dengan melibatkan masy

Itu jadi pengukuran karbon kemarin.” (Nrh, Mei 2014)

partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan di

Curahnongko akan menjadi contoh bagi individu maupun kelompok masyarakat

lainnya untuk meningkatkan upaya dalam mendukung kesada

hutan. Optimisme LSM KAIL terhadap potensi masyarakat lokal menjadi

motivasi internal yang akan dapat ditanamkan dalam kelompok petani Desa

Curahnongko yang jadi sample demplot percontohan, diharapkan

bisa jadi contoh untuk upaya konservasi hutan di desa penyangga lainnya, melalui

pemberdayaan petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau masyarakat itu bisa

diajak kerjasama dengan pemerintah dan sama-sama menjaga hutan.” (Nrh, Me

Masyarakat memiliki peran penting dalam konservasi hutan, dimana untuk

meningkatkan kesadarannya diperlukan pendekatan dan pendampingan dari LSM.

Dukungan kelembagaan baik dari organisasi pemerintah maupun LSM

Lokal sudah berlangsung sejak sebelum dilaksanakannya kegiatan DA REDD+,

131

Universitas Indonesia

merangkul masyarakat

untuk bersama menciptakan kelestarian hutan telah berlangsung sejak sebelum

terlaksananya DA REDD+. Kepercayaan LSM KAIL bahwa masyarakat

merupakan komponen penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan DA

adaptasi masyarakat diungkapkan,

Masyarakat itu mampu kalau didorong dan difasilitasi. Mereka memiliki local

yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya kita berhasil

mengembangkan tanaman TOGA di lahan 7 Ha dengan melibatkan masyarakat.

partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan di

Curahnongko akan menjadi contoh bagi individu maupun kelompok masyarakat

lainnya untuk meningkatkan upaya dalam mendukung kesadaran konservasi

hutan. Optimisme LSM KAIL terhadap potensi masyarakat lokal menjadi

motivasi internal yang akan dapat ditanamkan dalam kelompok petani Desa

percontohan, diharapkan

bisa jadi contoh untuk upaya konservasi hutan di desa penyangga lainnya, melalui

pemberdayaan petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau masyarakat itu bisa

sama menjaga hutan.” (Nrh, Mei

Masyarakat memiliki peran penting dalam konservasi hutan, dimana untuk

meningkatkan kesadarannya diperlukan pendekatan dan pendampingan dari LSM.

Dukungan kelembagaan baik dari organisasi pemerintah maupun LSM

dilaksanakannya kegiatan DA REDD+,

Page 147: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

132

Universitas Indonesia

tetapi dukungan tersebut lebih diperkuat sejak kegaitan DA REDD+ berlangsung.

Dukungan tersebut terlihat dalam bentuk penguatan kelembagaan dan partisipasi

komunitas lokal dalam upaya konservasi hutan.

4.2.5 Polisi hutan/resort

Aksi adaptasi tidak hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dan petani

rehabilitasi, melainkan juga dari staf resort yang memiliki tugas dalam

perlindungan dan pelestarian hutan. Keinginan untuk mewujudkan aksi adaptasi

lebih ditekankan pada peningkatan pengawasan terhadap hutan. “Kalau keinginan

itu ada mungkin, tapi nggak semua masyarakat. Pemikirannya kan beda-beda.

Kalau yang peduli sama hutan, ya nggak menebang pohon. Menjaga tanaman

pokoknya. Itu kalau dari sisi masyarakatnya. Kalau dari kita sebagai petugas, ya

kita meningkatkan pengawasan saja. Hutan ini kan milik negara, bersama juga,

jadi masyarakat yang nyuri kayu itu bisa sadarlah. Sama-sama peduli jaga

hutannya.” (Jum, Mei 2014).

Selain itu, aksi adaptasi yang dilakukan oleh petugas resort diwujudkan

dalam meningkatkan kemampuan petugas dalam menjalin hubungan kedekatan

dengan komunitas lokal. Menurut penuturan salah satu staf Resort Andongrejo,

Patroli dilakukan dengan dibantu dan mengajak MMP. Serta didukung dengan

upaya pendektaan partisipatif seperti,“Menjalin hubungan dekat dengan

masyaraakat agar masyarakat sadar dan tidak lagi melakukan perambahan.” (Jum,

Mei 2014)Hal yang dilakukan staf Resort Wonoasri yang bertanggungjawab

dalam pengamanan dijelaskan sebagai berikut.“Menindaklanjuti oknum yang

melakukan pencurian hutan. tergantung pada tingkat kegiaatnnya. Meningkatkan

pengawasan pada kawasan hutan juga.” (Mst, Mei 2014).

4.2.6 Balai TNMB

Salah satu bentuk aksi adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu

dengan pengaturan kelembagaan dimana telah terbentuk kelembagan di tingkat

desa yang berfokus pada kegiatan pemberdayaan (SPKP) dan keamanan hutan

(MMP). Berdasarkan penuturan staf resort Andongsari dan Wonoasri menjelaskan

Page 148: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

133

Universitas Indonesia

bahwa, “Ada lembaga KAIL sama SPKP bentukan TN. Ini untuk mengkoordinir

petani rehab. Kumpulan kelompok di Curahnongko yang aktif, sering ngumpul-

ngumpul.” (Jum, Mei 2014). Hal yang sama juga terjadi di Wonoasri, “Di

Wonoasri itu ada SPKP, MMP, OPR. Itu lembaga beda-beda fungsinya. SPKP

sama OPR itu fungsinya untuk mengkoordinir petani. Perkumpulan kelompok

buat ngomong-ngomong, diskusi masalah pertanian. Kalau MMP itu pelibatan

masyarakat untuk menjaga hutan, pemantauan. Kan kemarin waktu REDD+ itu

kita diikutkan. Fungsi kita adalah untuk meningkatkan pengawasan kawasan

hutan Meru Betiri.” (Mst, Mei 2014).

Aksi adaptasi yang dilakukan bersama oleh seluruh komponen masyarakat

maupun pemerintah menjadi bagian dari wujud kesadaran dan kepedulian dengan

hutan. Peran resort, tidak dapat berdiri sendiri tanpa dibantu dengan masyarakat,

pembangunan hutan berkelanjutan tidak akan tercapai. Seperti yang dikemukakan

oleh Feb (2014),“Hutan terlindungi, masyarakat juga baik kehidupan ekonominya.

Dan masyarakat ngertilah tugas kita sebagai penjaga juga manusia. Kalau hutan

rusak, yang rugi juga kita, jadi minimal masyarakat itu menjagalah pohon di lahan

nya (lahan rehabilitasi).”

Pemerintah khususnya Manajemen Balai TNMB, memiliki kekuatan

penuh dalam pengawasan dan pelaksanaan fungsi untuk meningkatkan aksi

adaptasi komunitas lokal dalam rangka meningkatkan stok karbon hutan sebagai

bagian dari salah satu tujuan dari terselenggaranya DA REDD+ dengan

melakukan pengaturan kelembagaan. Hal ini dibuktikan dengan penguatan

kelembagaan MMP di tingkat lokal. MMP dalam pelaksanaan tugas pengawasan

melibatkan komunitas lokal dan lebih diperkuat untuk menjaga wilayah

hutan.“Ada kegiatan penguatan kelembagaan di tingkat petani (pertemuan

kelmpok-kelompok, OPR) terkait dengan pemberdayaan, ada juga SPKP” (Ngh,

Mei 2014).

Selan itu upaya pendekatan partisipatif kepada komunitas lokal juga

dilakukan. Dalam proses pendekatan kepada komunitas tentunya tidak

membutuhkan waktu yang singkat. Butuh mengenalinya secara mendalam untuk

bisa melebur dan mendapat kepercayaan dari komunitas. Hal ini tidak mudah

Page 149: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

134

Universitas Indonesia

dilakukan karena diperlukan strategi khusus. “…dalam pendekatan ke masyarakat

itu harus tau latar belakang maysarakat seperti apa, orangnya wataknya seperti

apa, keluarganya seperti apa, kemudian di masyarakat apakah jd tokoh atau tidk.

Itulah yang kita lihat. Setelah dari lihat itu, kita ambil titik lemahnya dia, titik

lemah bukan brarti kekurangan, maksudnya kita bisa masuk ke masyarakat itu

seperti apa” (Msf, Mei 2014)

Page 150: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

135

Universitas Indonesia

BAB 5PEMBAHASAN

Meningkatnya fokus perhatian dunia terkait dengan peran hutan dalam

upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi suatu peluang dan ancaman

khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar maupun di dalam kawasan

hutan, khususnya di Taman Nasional Meru Betiri. Turut berpartisipasinya

Indonesia dalam upaya pengurangan karbon sebesar 26% dengan skema business

as usual dan 41% dengan bantuan dana Internasional, membawa sejumlah

tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkan kontribusi aktif pengurangan emisi

dari deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini tidak dapat terlepas dari peran

masyarakat dimana masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek yang memiliki

keterkaitan langsung utamanya untuk mengakses sumberdaya yang disediakan

oleh hutan baik berupa kayu maupun non kayu.

Pelibatan masyarakat menjadi penting dalam setiap implementasi kegiatan

di TNMB dimana masyarakat merupakan aktor lokal yang secara langsung

memiliki hubungan keterkaitan tinggi dengan keberadaan sumberdaya hutan yang

disediakan oleh TNMB. Melalui berbagai macam kegiatan yang diselenggarakan

dengan kerjasama berbagai pihak baik pemerintah pusat, pemerintah lokal

maupun masyarakat diupayakan dapat menciptakan pembentukan karakter

masyarakat yang tangguh dan peduli terhadap upaya perlindungan kelestarian

hutan dan keanekaragaman hayati.

Sebagaimana tergambarkan kondisi geografis kawasan TNMB yang relatif

berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk dipandang sebagai bentuk

ancaman sekaligus potensi dalam upaya perlindungan dan pelestarian hutan.

Keanekaragaman hayati dan kekayaan sumberdaya ekosistem hutan yang dimiliki

oleh TNMB menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk baik yang

tinggal di kawasan desa penyangga maupun sekitar kawasan TNMB. Mengingat

bahwa TNMB merupakan kawasan konservasi dimana di dalam Undang-Undang

No. 41/1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan

hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan

135

Page 151: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

136

Universitas Indonesia

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Berdasarkan definisi

tersebut, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa masyarakat tidak memiliki

hak dalam mengakses sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu beserta

ekosistem yang ada di dalamnya.

Dalam implementasinya, kawasan TNMB tidak dapat diproteksi dari

aktivitas masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal disekitar kawasan desa

penyangga. Pihak Balai Taman Nasional Meru Betiri berupaya untuk

memfasilitasi kepentingan masyarakat dalam upaya menjamin kesejahteraannya

sekaligus upaya perlindungan dan pelestarian kawasan hutan dengan melibatkan

partisipasi masyarakat melalui penetapan Zona Rehabilitasi. Sebagaimana sejarah

membentuk penetapan Zona Rehabilitasi sebagai zona yang ditujukan untuk

mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar TNMB agar tidak melakukan

perambahan di Zona Inti kawasan.

Taman Nasional Meru Betiri yang merupaakan salah satu kawasan hutan

konservasi yang termasuk dalam kegiatan Demonstration Activity (DA) REDD+

di Indonesia. Serangkaian kegiatan DA REDD+ yang dilaksanakan memiliki

tujuan umum yaitu memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi dari

deforestasi dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon hutan

melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi hutan dan

pengelolaan TNMB dan tujuan khusus yaitu (1) meningkatkan peran, kesadaran,

dan mata pencaharian masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar areal

TNMB melalui partisipasi dalam menghindari deforestasi, degradasi, dan

hilangnya keanekaragaman hayati; serta (2) mengembangkan sistem estimasi

cadangan karbon yang kredibel, dapat diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (MRV)

untuk memantau kegiatan REDD+ di TNMB. Sejumlah kegiatan (Bab 3 Hal 80)

yang telah dilakukan, diuapayakan dapat memberikan dampak positif bagi

eksistensi kawasan TNMB dan perlindungan kesejahteraan masyarakat.

Dalam penelitian ini akan dikaji secara mendalam mengenai dampak

kegiatan DA REDD+ terhadapkemampuan adaptif serta aksi adaptasi komunitas

lokal.

Page 152: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

137

Universitas Indonesia

5.1 Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA

REDD+

Kegiatan DA REDD+ merupakan salah satu bentuk intervensi komunitas

yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan hutan, meningkatkan stok

karbon hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya

pengembangan masyarakat lokal. Dengan adanya kegiatan DA REDD+

diharapkan masyarakat dapat meningkatkan kemamuan adaptifnya. Jika merujuk

pada pemahaman kemamuan adaptif yang dikemukakan oleh UNDP (Bab 2, Hal.

38), bahwa kemampuan adaptif diungkapkan sebagai tindakan awal aksi adaptasi

yang dilakukan oleh komunitas lokal, dimana dalam praktiknya dipergunakan

pengelolaan sumberdaya secara efektif dengan segenap pengetahuan dan

informasi yang dimiliki serta teknologi yang mendukung. Dengan demikian,

ketika masyarakat memahami makna, secara tidak langsung akan terbentuk dalam

pemikirannya sebagai refleksi dari fenomena alam yang harus dihadapi dan segera

diatasi.

Kegiatan DA REDD+ dianggap sebagai strategi pembangunan efektif

untuk mengurangi dampak perubahan iklim dimana didalamnya terdapat 3

tuntutan (triple wins) yaitu menjaga emisi karbon hutan agar tetap rendah,

membangun ketahanan komunitas lokal terutama untuk menghadapi perubahan

iklim dan mendorong pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dalam suatu

rangkaian yang sejalan. Untuk selanjutnya kemudian dianalisis kedalam 5

karakteristikkemampuan adaptif komunitas lokalyang diwujudkan setelah masa

kegiatan DA REDD+ berakhir tahun 2013 melalui kerangka LAC yang diterapkan

oleh ACCRA.

5.1.1 Asset Base (Aset Dasar)

a. Natural capital

Natural capital merupakan kekayaan sumber daya alam yang digunakan

untuk mencukupi kebutuhan sumberdaya untuk mendukung livelihood masyarakat

(Bab 2, Hal. 43). Menurut Caravani dan Graham (2011) dalam Graham (2012),

menyebutkan bahwa,Dengan mengintegrasikan penggunaan asset alam yang

Page 153: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

138

Universitas Indonesia

dimiliki oleh masyarakat dalam desain REDD+, maka biaya peluang yang

dikeluarkan oleh masyarakat dapat diminimalisir, dan masyarakat juga akan

bersedia berpartisipasi dalam REDD+.

TNMB merupakan kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, Kawasan Meru

Betiri ditetapkan sebagai Taman Nasionaldimana hutan TNMB menjadi milik

negara. Hak tenurial lahan hutan menjadi penuh milik negara dan masyarakat

tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun termasuk memanfaatkan segala

sumberdaya hutan yang berupa kayu maupun non kayu. Sejak penetapan itu hak

tenurial komunitas lokal atas sumberdaya hutan menjadi terbatas. Sehingga

kemudian, terjadi perambahan besar-besaran sewaktu peralihan orde baru menuju

reformasi, dimana terjadi perambahan hutan secara besar-besaran. Sebagai upaya

mengantisipasi semakin maraknya perambahan, maka kemudian ditetapkanlah

zona rehabilitasi dimana komunitas lokal diberi kewenangan untuk pengelolaan

lahan dengan tujuan rehabilitasi kawasan.Pihak Manajemen Balai TNMB juga

beraharap dengan adanya lahan rehabilitasi, dapat mengakomodir kepentingan

kegiatan ekonomi komunitas lokal desa penyangga agar tidak melakukan

pengrusakan dan perambahan terhadap hutan di zona inti TNMB.

Aset berupa lahan rehabilitasi (Lihat Peta Zonasi Kawasan TNMB)

kemudian dibagikan kepada komunitas lokal desa penyangga dengan luasan

perorangan berkisar 0,25 Ha. Hal ini menjadi bagian dari upaya pemberian hak

tenurial lahan hutan dimana komunitas lokal desa penyangga diakui

kewenangannya dan terlibat langsung dalam kegiatan rehabilitasi hutan, serta

boleh memanfaatkan, mengelola dan menggunakan sumberdaya yang ada di

masing-masing laahn rehabilitasi yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi.

Dengan adanya pengakuan hak tenurial lahan terutama pada lahan

rehabilitasi, maka kegiatan deforestasi dan degradasi dapat diminimalisir. Hal ini

sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Caravani dan Graham (2011). Jika

akses terhadap lahan terpenuhi, maka ketahanan komunitas lokal dalam upaya

mendukung terciptanya hutan yang lestari dapat terpenuhi seiring dengan

kemampuan adaptif yang dimiliki oleh komunitas lokal.

Page 154: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

139

Universitas Indonesia

Hak tenurial yang diberikan TNMB pada komunitas lokal desa penyangga

bertujuan untuk upaya konservasi karbon hutan. Dalam hal ini, pelaksanaannya

menggunakan metode partisipatif, artinya secara bersama pemerintah maupun

komunitas lokal berperan dan turut terlibat dalam proses rehabilitasi hutan.

Ketentuan yang diterapkan adalah petani berkewajiban menanam tanaman pokok

di masing-masing lahan rehabilitasi, namun dengan menerapkan sistem

agroforestry. Menurut King dan Chandler (1968) dalam Rianse dan Abdi (2010),

Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan berkelanjutan dan mampu

meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan, merupakan kombinasi produksi

tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan) dengan tanaman hutan dan/atau

hewan/ternak baik secara bersama atau bergiliran, dilaksanakan pada suatu bidang

lahan dengan menerapkan teknik pengelolaan praktis sesuai dengan budaya

masyarakat setempat.

Dalam praktik kegiatan DA REDD+, lahan rehabilitasi menjadi salah satu

plot kegiatan penghutanan kembali kawasan hutan yang melibatkan peran serta

masyarakat dalam upaya peningkatan stok karbon. Aset berupa lahan rehabilitasi

menjadi jaminan (safeguards) bagi komunitas lokal untuk meningkatkan

kesejahteraannya sehingga kemampuan adaptif komunitas lokal dalam

menghadapi pasca DA REDD+ dapat terus terlaksana dan pembangunan hutan

berkelanjutan dapat terwujud secara berkesinambungan.

Page 155: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

140

Universitas Indonesia

Page 156: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

141

Universitas Indonesia

b. Human capital

Human capital diidentifikasi sebagai keterampilan, pengetahuan,

kemampuan bekerja dan kesehatan yang baik yang secara bersama mendukung

masyarakat untuk mengejar strategi penghidupan yang berbeda. Human capital

yang dimiliki individu maupun kelompok untuk menyadarkan perannya dalam

peningkatan konservasi karbon hutan. Karaktersitik human capital yang dimiliki

oleh kelompok masyarakat di 3 desa wilayah penelitian memiliki tingkatan human

capital yang berbeda.

Desa Curahnongko, kelompok petani rehabilitasi memiliki human capital

yang bagus dalam kaitannya denan kesadaran yang dimiliki untuk berpartisipasi

dalam upaya konservasi hutan, tetapi hal ini tidak bisa digeneralisir pada semua

individu kelompok tani. Hanya individu kelompok tani yang aktif dan dekat

dengan petugas saja yang memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga

hutannya.Sedangkan pada kelompok wanita, human capital yang dimiliki terkait

dengan kesadaran dalam upaya konservasi hutan dimiliki oleh tokoh-tokoh

wanita, namun perannya dalam mengadvokasi kelompok wanita untuk

berpartisipasi menjaga kelestarian hutan masih rendah.

Sedangkan di Andongrejo human capital yang bagus dimiliki oleh

kelompok wanita yaitu ibu-ibu pengelola budidaya jamu tradisional. Hal ini dapat

dilihat dari kemampuan dan pengetahuan kelompok wanita yang dimiliki tentang

ramuan tradisional untuk berbagai macam penyakit dengan memanfaatkan apotik

hidup yang merupakan kekayaan hayati TNMB. Kelompok wanita pengelola

budidaya jamu tradisonal menjadi andalan bagi Desa Andongrejo untuk

menggiatkan dan mengajak kelompok wanita lainnya dalam upaya konservasi

karbon hutan. Hal ini tidak lain dari motivasi yang dimiliki individu untuk lebih

maju dan berkembang dalam upaya meningkatkan kapasitas pribadinya serta

dukungan dari pendampingan LSM KAILyang berpengaruh dalam menjamin

keberlangsungan kegiatan budidaya jamu tradisional yang dilakukan oleh wanita.

Warisan ini dimiliki oleh kelompok wanita yang kemudian diupayakan

disebarkan melalui tetangga, rekan, maupun keluarganya. Keinginan untuk

memajukan kelompok wanita dan upaya untuk menjaga hutan khususnya di zona

rehabilitasi sangat besar. Kemampuan adaptif kelompok wanita sangat baik

Page 157: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

142

Universitas Indonesia

dengan keikutsertaannya peduli pada upaya pelestarian hutan dan konservasi

karbon dengan tetap menjaga tanaman pokok di lahan rehabilitasi.

Berbeda halnya dengan kelompok wanita yang ada di Desa Wonoasri.

Kelompok wanita tidak terlalu berperan aktif dalam mewujudkan kegiatan

REDD+ khususnya di TNMB. Hal ini dikarenakan, peran pendampingan hanya

terfokus pada Desa Andongrejo dan Curahnongko, yang digagas sebagai pilot

project untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam implementasi kegiatan

DA REDD+ serta kurangnya motivasi dari individu masing-masing. Berbeda

halnya dengan kelompok petani rehabilitasi di Wonoasri yang memiliki tingkat

human capital yang cukup baik dalam kaitannya dengan kepedualian untuk upaya

konservasi karbon, ditandai dengan kesadaran yang dimiliki oleh individu untuk

menjaga hutannya serta perannya secara bersama dengan pihak-pihak terkait

untuk menjaga kelestarian hutan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan informan

mengenai keberhasilan rehabilitasi hutanmelalui partisipasi komunitas lokal pada

lahan rehabilitasi mencapai70% di Desa Wonoasri.

Potensi human capital yang dimiliki masing-masing kelompok akan

berpengaruh pada kemampuan adaptif terutama dalam upaya konservasi karbon.

Semakin banyak pengetahun yang dimiliki kelompok tani, maka semakin terampil

mereka dalam melakukan inovasi-inovasi untuk mengelola lahan dan bersikap

bijak pada pengelolaan hutan TNMB.

c. Social Capital

Social capital digambarkan sebagai sumber daya sosial yang

dimanfaatkan untuk mendukung tujuan peningkatan livelihood masyarakat

(DFID, 1999 dalam Graham, 2012). Dalam social capital bentuk hubungan

antarindividu maupun antarkelompok yang terjalin untuk saling menguatkan satu

dengan lainnya. Hal ini menjadi modal utama untuk meningkatkan partisipasi

komunitas lokal serta meningkatkan kemampuan adaptifnya baik yang dimiliki

individu maupun komunitas dalam mendukung upaya konservasi karbon hutan.

Karaketeristik social capital kelompok masyarakat TNMB cenderung berbeda

dimana hal ini akan berpengaruh pada implementasi kegiatan khususnya yang

terkait dengan upaya pelestarian hutan.

Page 158: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

143

Universitas Indonesia

Desa Curahnongko memiliki social capital yang bagus yang terjalin

antarindividu maupun antarkelompok, dimana terlihat bahwa peran seorang ketua

kelompok petani rehabilitasi sangat mempengaruhi anggota kelompok tani

lainnya. Keaktifan dan keluwesan ketua kelompok dalam melakukan pendekatan

kepada warga serta merangkul warganya menjadi kunci untuk menghidupkan

peran kelompok dalam meningkatkan kemampuan adaptifnya. Tingginya social

capitaldapat dilihat dari loyalitas individu untuk berkumpul dalam acara-acara

yang diselenggarakan formal maupun informal oleh ketua kelompok tani.

Social capital di kelompok ibu-ibu pengajian di Desa Curahnongko pada

dasarnya memiliki hubungan yangkuat,. Intensitas dari pertemuan mingguan dan

kekompakan ibu-ibu menjadi salah satu sasaran untuk mendekati kelompok

wanita dalam upaya peningkatakan kemampuan adaptif yang salah satunya

diinisiasi oleh LSM KAIL. Keinginan melibatkan kelompok pengajian didasari

pada keinginan untuk menginternalisasi upaya konservasi dalam nilai-nilai agama

dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sehingga hal ini tidak hanya

dipahami sebagai bentuk kegiatan saja tapi diharapkan dapat menjadi kemasan

langkah ibadah dan menanam kebaikan. Stigma yang ditanamkan adalah dengan

upaya melestarikan hutan akan memberi manfaat tidak hanya bagi manusia

sendiri, tetapi bagi makhluk ciptaan Tuhan lainnya seperti hewan tumbuhan juga

menjadi bagian dari ladang amal. Menciptakan kehidupan harmonis antara alam

dengan manusia adalah menjadi peran utama manusia sebagai khalifah di bumi.

Sedangkan di Andongrejo social capital yang bagus dimiliki oleh

kelompok ibu-ibu pengelola budidaya jamu tradisional Sumber Waras. Kelompok

ini aktif untuk mengembangkan ramuan jamu untu mengobati beberapa penyakit

serta aktif dalam perkumpulan pengajian mingguan.kelompok ini sudah terbentuk

sejak tahun 1993 oleh LATIN (Bogor). Social capital dalam kelompok ini

menjadi salah satu potensi dalam upaya melibatkan partisipasi masyarakat

khususnya kelompok wanita untuk turut serta dalam meningkatkan konservasi

karbon. Kesadaran dan peran pentingnya dalam menjaga hutan diharapkan dapat

menjadi kunci untuk bersama meningkatkan kepedulian terhadap hutan demi

kelestarian hutan dan terjaminnya kesejahteraan komunitas lokal.

Page 159: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

144

Universitas Indonesia

Desa Wonoasri merupakan desa yang tidak mendapat pendampingan

langsung dari LSM KAIL, namun peransocial capital yang dimiliki antarindividu

maupun antarkelompok petani dalam upaya konservasi karbon hutan cukup besar.

Tidak hanya peran kelompok tani tetapi peran aparatur desa cukup menjadi faktor

penentu dalam mempengaruhi perilaku warganya. Menurut staf Balai TNMB,

kegiatan masyarakat untuk peduli kepada kegiatan konservasi sangat dipengaruhi

oleh pimpinan yaitu kepala desa.

Aset yang dimiliki oleh masyarakat merupakan modal utama dan penting

bagi upaya meningkatkan kemampuan adaptif masyarakat dalam upaya

konservasi karbon khususnya pasca kegiatan DA REDD+

berlangsung.Kemampuan adaptif komunitas lokaldi 3 kawasan desa penyangga

yaitu Desa Curahnongko, Andongrejo dan Wonoasri memiliki kemampuan

adaptif yang dimiliki. Komunitas lokal akan cenderung merespon sebuah

perubahan untuk beradaptasi ketika aset yang dimiliki dapat terpenuhi.

d. Financial capital

Financial capital dipandang sebagai sumber daya keuangan yang

digunakan masyarakat untuk mengadopsi strategi mata pencaharian yang

berbeda (DFID, 1999). Berkaitan dengan kondisi financial capital yang

dimiliki oleh komunitas lokal desa penyangga terkait dengan kemampuan

yang dimiliki komunitas untuk mengalihkan mata pencaharian alternatif

untuk mengurangi interaksi dan ketergantungan terhadap hasil hutan di

kawasan TNMB. Dengan demikian, kemampuan adaptif komunitas lokal

dalam upaya konservasi karbon dapat terwujud melalui strategi

pengembangan mata pencaharian alternatif, dimana komunitas lokal desa

penyangga tidak mengandalkan kehidupannya pada hasil hutan berupa kayu

saja melainkan dengan melakukan budidaya dari hasil hutan berupa non

kayu untuk diolah agar memberikan nilai tambah.

5.1.2 Knowledge And Information (Pengetahuan Dan Informasi)

Menurut Frankhauser dan Tol, 1997 (Bab 2, Hal. 46) mengemukakan

bahwa langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis

dam disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan

Page 160: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

145

Universitas Indonesia

adaptifkelompok masyarakat. Hal ini jelas berkaitan erat dengan keberadaan

lembaga-lembaga, dan masyarakat yang akan membutuhkan sistem untuk

mengoptimalkan generasi pengetahuan informal dan berbagi serta terbaik

memanfaatkan jenis pengetahuan yang lebih formal.

Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat serta informasi yang didapat

melalui kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan adaptif

komunitas lokal. Semakin banyak pengetahun dan informasi yang diperoleh, serta

pemahaman dari rangkaian kegiatan dan tujuan DA REDD+, komunitas

lokaldapat membangun kesadarannya sertamemiliki banyak pilihanuntuk

menentukan aksi adaptasi dalam upaya konservasi karbon hutan demi menjamin

kesejahteraan hidup masyarakat masa sekarang maupun di masa yang akan

datang.

Dalam kegiatan DA REDD+ tidak semua komponen dalam komunitas

dilibatkan, tetapi hanya tokoh-tokoh tertentu yang memiliki peran dan posisi

strategis dan penting dalam komunitas masyarakat lokal, misalnya ketua

kelompok tani, ketua kelompok wanita, aparat desa, petugas resort. Hal ini

tentunya akan membentuk suatu wacana mengenai bagaimana kemampuan adaptif

yang akan terbentuk berbeda antara kelompok yang aktif dilibatkan dalam

kegiatan DA REDD+ maupun yang tidak aktif, karena akan terjadi proses

transferability pengetahuan yang berbeda pada setiap elemen kelompok

masyarakat sehingga kesadaran yang terbangun dalam diri individu maupun

kelompok akan berbeda khususnya dalam menanggapi upaya konservasi karbon

hutan.

Dalam proses transferability, akan diperoleh informasi dan pengetahuan

yang dimiliki komunitas lokal baik pada kelompok petani rehabilitasi maupun

kelompok wanita. Rekonstruksi pemahaman informan pada kedua kelompok

terkait dengan REDD+ merupakan salah satu upaya untuk mengidentifikasi

kemampuan adaptif komunitas lokal pascakegiatan DA REDD+. Kemampuan

adaptif komunitas lokal cenderung memiliki karakteristik yang berbeda

antarkelompok dan antardesa di wilayah penelitian. Sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Wandel dan Smit (Bab 2, Hal. 36), dimana kemampuan

Page 161: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

146

Universitas Indonesia

adaptif yang dimiliki komunitas lokal untuk mengatasi perubahan ketika dan di

saat dibutuhkan cenderung berbeda antara tempat yang satu dengan lainnya

maupun antrakomunitas satu dengan lainnya, serta antarwaktu yang berbeda pula.

Memahami konteks REDD+ sebagai upaya pelestarian dan perlindungan

hutan dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan, dimana plus di dalamnya

mencakup 3 aspek yaitu peningkatan stok karbon, keanekaragaman biodiversitas,

dan partisipasi masyarakat. Namun di dalam suatu komunitas, konteks

pemahaman REDD+ lebih mudah dipahami sebagai salah satu upaya pelestarian

hutan khususnya di lahan rehabilitasi yang dilakukan dengan cara menjaga

tanaman pokok sebagai penghasil karbon. Istilah REDD+ sendiri bukan

merupakan istilah yang mudah dimengerti bagi kelompok masyarakat. Istilah ini

terlalu berat untuk dipahami mengingat tingkat pendidikan mereka yang relatif

rendah. Dari ketiga konstruksi pemahaman mengenai REDD+ (Bab 4, Hal.85)

komunitas lokal lebih lazim dengan istilah “Upaya Pelestarian Hutan”.

Konsep ini juga dipahami oleh kelompok petani rehabilitasi yang tidak

mengikuti kegiatan DA REDD+sebagai upaya pelestarian hutan kembali yang

mewajibkan petani rehabilitasi untuk menanam dan menjaga tanaman pokok.

Pandangan masyarakat mengenai REDD+ sebagai akibat dari pemanasan global

sebenarnya lebih tepat merefleksikan bahwa rusaknya hutan akan menyebabkan

pemanasan global dimana secara ilmiah kegiatan deforestasi maupun degradasi

akan menghasilkan emisi CO2 yang terlepas ke atmosfer.

Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, ditemui sejumlah fenomena

menarik. Pemahaman REDD+ ternyata lebih dipahami oleh kelompok komunitas

lokalyang tinggal di Desa Andongrejo dan Curahnongko. Rata-rata masyarakatnya

memahami REDD+ sebagai upaya pelestarian hutan. Kesadaran dan kepedulian

untuk pelestarian hutan di Desa Curahnongko dan Andongrejo tidak dapat

digeneralisir bahwa masyarakat menyadari dan bertindak menghijaukan hutan.

Masih terdapat kelompok masyarakat yang tidak memiliki kesadaran penuh atas

peran dan fungsi hutan. Tetapi cenderung lebih mementingkan kegiatan ekonomi

dan sibuk mensejahterakan pribadinya dengan tindakan yang melanggar hukum.

Page 162: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

147

Universitas Indonesia

Lain halnya dengan di Desa Wonoasri, dimana kelompok masyarakat

khususnya petani yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+ tidak memahami

apa yang dimaksud dengan REDD+. REDD+ hanya dipahami oleh sebagian

kelompok tani yang mengikuti kegiatan REDD+ dan petugas resort

Wonoasri.Keberadaan LSM Lokal sepertinya memiliki peran besar dalam hal

proses transferability mengenai pemahaman konsep REDD+ itu seperti apa.

Sedangkan untuk peran kelompok tani sendiri tidak begitu besar untuk

menyatakan bahwa mereka benar-benar melakukan transferability tersebut kepada

anggota kelompok tani lainnya. Namun uniknya adalah lahan rehabilitasi yang

dimiliki oleh petani di Desa Wonoasri memiliki tingkat kerapatan tanaman yang

lebih baik jika dibandingkan dengan dua desa lainnya. Hal ini dikarenakan

kesadaran komunitas local sendiri untuk ikut serta menjaga hutan di lahan

rehabilitasi yang dimiliki petani.Walaupun pengetahuan tidak diperoleh secara

merata pada elemen kelompok masyarakat, tingkat kesadaran dan kepeduliannya

untuk menjaga hutan masih relatif bagus jika dibandingkan dengan 2 desa lainnya.

Namun untuk tingkat keberhasilan dalam upaya transferability pengetahun terkait

dengan kegiatan DA REDD+ tidak dapat berjalan optimal.

Tetapi nilai pentingnya adalah kesadaran individu maupun kelompok

dalam upaya konservasi karbon hutan cenderung baik. Hal ini berkorelasi dengan

hubungan yang terbentuk antara komunitas lokal dengan hutan tidak memiliki

keterkaitan langsung, artinya dalam hal ekonomi, komunitas lokal Desa Wonoasri

tidak bergantung sepenuhnya pada hutan, karena sebagian besar masyarakat lebih

mengandalkan bekerja sebagai buruh perkebunan yang banyak mengelilingi

kawasan TNMB. Kegiatannya di lahan rehabilitasi hanya sebagai sampingan saja.

Tetapi kesadaran untuk tetap menjaga hutannya disadari cukup baik.

Berdasarkan pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa

transferability akan berpengaruh pada tingkat kesadaran dari pengetahuan yang

diperoleh dimana akan mempengaruhi kemampuan adaptif komunitas lokal

dapat mempraktikan upaya konservasi karbon hutan.

Page 163: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

148

Universitas Indonesia

5.1.3 Innovation (Inovasi)

Seperti pada teori Ludi (2011) dalam Graham (2012) (Bab 2 Hal 47),

menyebutkan bahwa inovasi berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi

tambahan yang diperoleh individu untuk menganalisis bagaimana mengambil

peluang atau menanggapi ancaman dari perubahan iklim. Dimana inovasi juga

juga terkait erat dengan aset dasar yang mencerminkan kondisi ekonomi

seseorang dalam mengambil resiko maupunmengembangkan investasi dalam

inovasi.Inovasi antarindividu maupun antarkelompok cenderung berbeda sesuai

dengan pengetahuan dan informasi yang diperoleh serta kesadaran yang dimiliki.

Dalam hal ini menggambarkan bahwa semakin banyak individu maupun

kelompok terlibat dalam rangakain kegiatan DA REDD+ semakin banyak

informasi dan pengetahuan yang dimiliki sehingga inovasinya akan semakin baik.

Banyak hal baru yang akan dilakukan (inovasi) dalam upaya mempraktikkan dan

mengembangkan pengetahuan yang dimiliki sebaagi bentuk wujud kemampuan

adaptif (Gambar 5.1).

Gambar 5. 1 Hubungan keterkaitan asset base, information and knowledge, dan

innovation dalam membentuk kemampuan adaptif

Kemampuan sebuah sistem dalam mendukung praktik baru dan

meningkatkan inovasi menjadi kunci utama dalam menentukan karakteristik

Asset base

Information

and KnowledgeInnovation

Intervention Intervention

Adaptive capacity

Opportunity

Threathness

Page 164: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

149

Universitas Indonesia

perilaku adaptif. Sistem yang dimaksud adalah seluruh pihak yang terlibat dan

bertanggungjawab dalam menciptakan keharmonisan di alam, yaitu manusia

(yang terdiri dari komunitas lokal maupun peran institusi). Berdasarkan hasil

temuan lapangan inovasi akan dikelompokkan menjadi 3 yaitu (1) Inovasi

budidaya tanaman; (2) Inovasi untuk meningkatkan pendapatan; dan (3) Inovasi

pengelolaan lahan rehabilitasi.

Inovasi pertama, melalui budidaya tanaman yang dilakukan oleh

kelompok petani rehablitasi dengan menanam tanaman yang memiliki kandungan

karbonnya tinggi serta menguntungkan dari segi ekonomis, dan tahan terhadap

naungan yang teduh sehingga pertumbuhannya tidak terganggu.Untuk

mewujudkan inovasi pertanam, dilakukan dengan metode MPTS (Multi Purpose

Trees Species). Hal ini juga ditujukan untuk mengakomodir kepentingan

masyarakat karena pada dasarnya masyarakat memiliki ketergantungan tinggi

terhadap hasil hutan.

Inovasi kedua, diterapkan untuk mendukung upaya peningkatan

pendapatan masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini

beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan tanaman empon-

empon untuk budidaya pengelolaan jamu tradisional dengan sistem agroforestry

serta pembudidayaan jamur tiram. Hal ini menjadi upaya untuk memberikan

kontribusi alternatif peningkatan pendapatan ketika rapatan tegakan hutan

semakin tinggi, sehingga tercipta kreasi baru dari petani untuk menanam tanaman

yang lain dan bernilai ekonomis. Salah satu penerapannya dilakukan di Desa

Andongrejo yang menyasar pada kelompok wanita pengelola budidaya jamu

tradisional.

Inovasi ketiga, Inovasi untuk meningkatkan motivasi konservasi hutan

diwujudkan melalui program PINTAR. Program PINTAR merupakan bentuk

apresiasi kepada petani rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di lahan

rehabilitasi sesuai dengan skema sistem pengeklasan lahan berdasarkan jumlah

tanaman pokok/tegakan yang ada. program ini baru diterapkan di Desa

Curahnongko dan Andongrejo. Program ini diinisiasi oleh LSM KAIL untuk

meningkatkan dan membangun partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi

Page 165: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

150

Universitas Indonesia

karbon hutan. Dimana penerapannya diberlakukan pada petani yang memiliki

nilai kelas lahan pada peringkat 5 dan 6 dengan kondisi bahwa kerapatan tanaman

di rehabilitasi sudah mencapai anatara 100 hingga 150 pohon. Petani tersebut

kemudian akan diberikan fasilitas pemotongan harga sembilan bahan pokok

dengan pemotongan Rp 3.000,- pada setiap pembelian di toko yang telah

disediakan, dengan maksimal jumlah pemotongan satu tahan sebesar Rp 150.000,-

Serta pelibatan partisipasi masyarakat untuk menjaga kawasan hutan TNMB

khsusunya yang berbatasan langsung dengan zona rimba pada lahan rehabilitasi.

Pemetaan partisipatif telah dibentuk sebaagi bentuk pertanggungjawaban,

komitmen dan kesadaran individu untuk tidak melakukan perambahan di hutan

(Bab 4., Hal 117). Hal ini sayangnya masih hanya terjadi di Desa Curahnongko

saja, dan belum dpaat diimplementasikan ke wilayah desa lainnya karena

keterbatasan pembiayaan program.

Menurut Smith et al (2003) dalam Graham (2011), kemampuan sebuah

sistem dalam mendukung praktik baru dan meningkatkan inovasi menjadi kunci

utama dalam menentukan karakteristik kapasitas adaptif. Hal ini tentunya

dibutuhkan perubahan kondisi sosial dan lingkungan dan praktik-praktik.

Beberapa inovasi tersebut telah diwujukan oleh LSM KAIL khususnya di

kelompok masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko.Berpedoman

padaTeori Smith, dengan pengamatan yang dilakukan di 2 Desa yaitu

Curahnongko dan Andongrejo jika dikaitkan antara dukungan kelembagaan LSM

cukup efektif untuk mengubah perilaku adaptif kelompok masyarakat untuk upaya

konservasi hutan. Namun, hal ini tidak dapat digeneralisisr kepada semua

komponen kelompok petani maupun masyarakat karena beberapa kasus terkait

illegal logging masih saja ditemukan di kawasan Resort Andongrejo yang

meliputi dua Desa tersebut. Inovasi terbentuk karena adanya intervensi LSM

dalam bidang pengembangan masyarakat lokal terkait dengan peningkatan

livelihoodnya. Inovasi pada level mikro akan cenderung lebih efektif dan menjadi

solusi dalam menciptakan peluang serta merespon upaya konservasi karbon hutan.

Page 166: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

151

Universitas Indonesia

5.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak)

Kelembagaan memiliki peran penting dalam mendukung pola perilaku

adaptif. Menurut Ostrom, 2005 (Bab 2, Hal. 44), lembaga merupakan kontrol dari

sistem regulasi dan struktur organisasi yang ada, dimana lembaga tersebut dapat

bersifat formal (lembaga pemerintahan) maupun non formal (Lembaga Swadaya

Masyarakat/LSM). Peran kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan

mengakui eksistensi komunitas sebagai aktor utama yang mendukung

keberhasilan upaya konservasi hutan pasca DA REDD+ dimana dapat

meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal desa penyanggan. Dukungan

kelembagaan dan persamaan hak baik dari pemerintah maupun LSM lokal yang

memiliki peran untuk menggiatkan kelompok dalam komunitas lokal untuk upaya

konservasi karbon. Contoh nyata yang ada yaitu terbentuknya kelembagaan SPKP

(Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan) yang merupakan himpunan kelompok

tani rehabilitasi hasil bentukan dari Manajemen TNMB yang terbentuk di setiap

desa penyangga. Sedangkan kelompok tani rehabilitasi yang merupakan bentukan

LSM KAIL memiliki nama yang berbeda di tiap desa namun fungsinya adalah

sama yaitu sebagai wadah untuk mengakomodir kegiatan pengembangan

masyarakat lokal.

Dukungan kelembagaan memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan

kemamampuan adaptif sebagaimana dijelaskan dalam teori yang dikemukakan

oleh Jones (2010). Adaptabilitas dan fleksibilitas suatu lembaga akan

mempengaruhi peran komunitas dalam menentukan kapasitas adaptifnya. Kondisi

ini tidak terlepas dari eksistensi peran lembaga dalam mengatur dan menciptakan

partisipasi kelompok masyarakat dalam upaya perwujudan konservasi karbon di

TNMB. Dukungan kelembagaan dalam hal ini lebih menitikberatkan pada

penguatan karena lembaga di tingkat lokal sudah terbentuk sejak sebelum

diselenggarakannya DA REDD+, sehingga dalam masa periode kegiatan DA

REDD+ eksistensi lembaga ini lebih diperkuat perannya khususnya di tingkat

lokal.

Dukungan kelembagaan yang berasal dari kegiatan pendampingan LSM

KAIL lebih dipusatkan pada dua desa yaitu Desa Curahnongko dan Andongrejo.

Page 167: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

152

Universitas Indonesia

Melalui dukungan kelembagaan pada kelompok petani rehabilitasi dan kelompok

wanita tersebut, tingkat ketahanan dalam membentuk kapasitas adaptif dalam

konservasi karbon dirasa memliki potensi besar dalam upaya melibatkan

partisipasi komunitas lokal. Dukungan pada kelompok petani rehabilitasi

dilakukan melalui pembentukan kelembagaan semi formal antar anggota

kelompok tani rehabilitasi serta beberapa usaha budidaya untuk mengurangi

kebergantungan kelompok petani rehabilitasi pada hasil hutan serta dapat

meningkatkan pendapatannya. Sedangkan pada kelompok wanita, upaya yang

dilakukan yaitu melalui budidaya pengelolaan jamu tradisional, dimana penguatan

kelembagan menjadi salah satu bekal untuk mewujudkan eksistensi kelompok

wanita. Perannya begitu penting dalam melakukan advokasi terhadap anggota

kelompok wanita lainnya untuk kegiatan rehabilitasi hutan. Peran kelompok

wanita ini dapat dilihat di Desa Andongrejo. Sedangkan di Desa Curahnongko,

penguatan kelompok wanita pada kelembagaan semi formal yaitu perkumpulan

ibu-ibu pengajian menjadi andalan bagi upaya penyadaran kelompok wanita yang

ditanamkan melalui elemen agama dan budaya.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh Ostrom (2005) bahwalembaga

merupakan kontrol dari sistem regulasi dan struktur organisasi yang ada.Dalam

hal ini berkaitan dengan peran LSM dimana memiliki peran strategis untuk

mendukung keberhasilan program kegiatan DA REDD+ khususnya pasca

pelaksanaan DA REDD+ dalam mengupayakan tingkat ketahanan komunitas

lokal.

Jika dibandingkan dengan kelompok petani rehabilitasi di Desa Wonoasri,

bila dilihat dari tingkat kesadaran mereka memiliki tingkat kesadaran yang tinggi

pada upaya rehabilitasi hutan. Kelompok petani rehabilitasi di Desa Wonoasri

cenderung lebih sadar untuk upaya kegiatan konservasi lahan rehabilitasi. Dimana

hampir 70% wilayah hutannya sudah akan menjadi hijau kembali. Peran

kelompok tani Wonomulyo begitu besar dalam dalam menggiatkan penghijauan di

kelompok petani rehabilitasi, serta dukungan dari aparatur desa setempat yang

melakukan berbagai pendekatan dengan komunitas lokal. Lain halnya dengan

kelompok wanita yang tidak memiliki kesadaran tinggi pada upaya rehabilitasi

Page 168: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

153

Universitas Indonesia

hutan karena interaksinya terhadap hutan di lahan rehabilitasi relatif rendah.

Kelompok wanita tidak memiliki tingkat ketahanan yang baik karena tidak adanya

pendamppingan dari LSM yang dapat membantu meningkatkan motivasi dalam

menggiatkan kegiatan ekonomi melalui budidaya pengelolaan hasil hutan.

Selain dukungan LSM, peran pemerintah juga penting dalam upaya

meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dengan

adanya peningkatan kapasitas kelembagaan misalnya SPKP, dan MMP, serta

peran resort. Pemerintah telah berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam

upaya pengawasan dan perlindungan hutan dengan adanya MMP (Masyarakat

Mitra Polhut). Dengan adanya hal ini diharapkan partisipasi aktif kelompok

masyarakat dalam MMP menjadi bagian dari wujud kemampuan adaptif dari

terselenggaranya kegiatan DA REDD+.

5.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And Governance

(Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola

Pemerintahan)

Menurut Jones et al. (2010) dalam Graham (2011), kemampuan sebuah

sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan informasi yang relevan

serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa mendatang dan mengatur

tata kelolanya merupakan aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif.

Hal ini terutama berkaitan dengan peran pemerintah dan LSM lokal terkait.Dalam

sebuah sistem yang bekerja diperlukan keterlibatan secara bersama untuk

menciptakan sebuah komponen utuh yang saling bekerjasama mengatasi dampak

perubahan iklim.

Kemampuan adaptif individu akan dipengaruhi oleh setiap keputusan yang

telah dibuat. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan yang ada, apakah

keputusan tersebut dapat menjadi gambaran mengenai keadaan kelompok

komunitas yang sesungguhnya, bagaimana hubungan kekuasaan dalam kelompok

komunitasyang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.

Karakteristik kemampuan adaptif yang terkait dengan fleksibel dan

orientasi ke depan, pengambilan keputusan serta tata kelola pemerintahan lebih

Page 169: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

154

Universitas Indonesia

dikaitkan erat dengan peran pemerintah lokal maupun LSM dalam melibatkan

peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi karbon. Di

dalam temuan lapangan, peneliti mengklasifikasikan ke dalam 2 (dua) hal penting

yaitu terkait dengan transparency (transparan) dan collaboration (upaya

kerjasama).

Dalam hal transparency ditemuakan fakta mengenai upaya pihak

manajemen Balai TNMB dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakat terkait

dengan land regulation di zona rehabilitasi, yaitu pemberian hak pengelolaan atas

lahan rehabilitasi. Komunitas lokal di 3 desa penyangga mendapat hak atas

pengelolaan lahan di zona rehabilitasi. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci

untuk meningkatkan kesadaran yang terbentuk dalam upaya konservasi hutan.

Pasca kegiatan DA REDD+, telah terbentuk MoU yang didalamnya terkandung

pernyataan mengenai pengakuan keterlibatan komunitas lokal desa penyangga

khususnya di Desa Curahnongko. Hal ini secara tidak langsung menjadi bagian

dalam memperkuat posisi komunitas lokal dalam keterlibatan pengelolaan lahan

rehabilitasi. Pengakuan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan

memperkuat kedudukan masyarakat sebagai pengelola lahan rehabilitasi sehingga

inisiatif pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat dapat diwujudkan melalui

perilaku adaptifnya. Desa Curahnongko menjadi model desa percontohan dalam

perwujudan MoU, dimana tingkat keberhasilan program rehabilitasi telah berhasil

di sebagian lahan yang ada dengan partisipasi komunitas lokal tentunya.

Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran pendampingan LSM lokal dalam

membina kelompok petani rehabilitasi.

Sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Jones (2010) yang

menyebutkan kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan,

menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam

perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek

penting dalam menentukan kemampuan adaptif komunitas lokal. Jika memandang

sebuah keberhasilan program kegiatan DA REDD+ dimana hanya diberlakukan

pada satu Desa, agaknya kurang dapat mewakili pemerataan konsep pembangunan

dan keadilan sosial. Kawasan TNMB yang memiliki 12 desa penyangga

Page 170: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

155

Universitas Indonesia

seharusnya terlibat secara bersama dalam upaya konservasi karbon hutan dan

menerima program pemberdayaan masyarakat. Keberadaan komunitas lokal desa

penyangga dengan hutan TNMB tidak dapat terpisahkan, bagaimanapun

hubungan antara keduanya saling mempengaruhi. Komunitas lokal juga memiliki

peran tanggungawab dalam mengelola dan memnfaatkan hutan secara lestari dan

berkelanjutan, sementara hutan TNMB sebagai penyedia sumberdaya yang dapat

membantu memenuhi kebutuhan komunitas lokal baik dari segi ekonomi maupun

segi lingkungan.

Pihak manajemen Balai TNMB telah berupaya melibatkan partisipasi

komunitas dalam upaya menjaga hutan melalui pembentukan Masyarakat Mitra

Polhut (MMP). Setiap desa penyangga memiliki MMP yang biasanya dipilih dari

kelompok petani rehabilitasi yang cukup memiliki peran penting dalam struktur

kelompok dan aktif dalam setiap kegiatan.Tata kepemerintahan dengan struktur,

mekanisme dan institusi-institusinya adalah kunci penentu bagi kemampuan

adaptif (Adger et al 2004; Brooks et al 2005 dalam Locatelli, dkk, 2009) karena ia

menentukan kerangka dimana adaptasi terjadi atau dimana adaptasi dibutuhkan

(Locatelli, dkk 2009).

Selain upaya perlindungan terhadap hak tenurial atas masyarakat desa

penyangga, diperlukan sistem hukum yang tegas terhadap sejumlah aksi illegal

logging yang dinilai cukup merugikan. Keberanian institusi pemerintah untuk

menerapkan hukuman yang tegas bagi pelaku illegal logging sangat menentukan

bagi keberlangsungan kelestarian hutan TNMB. Pada dasarnya kegiatan illegal

logging tidak hanya merugikan bagi pihak pemerintah saja, melainkan juga bagi

komunitas desa penyangga sendiri dimana dampaknya akan dirasakan ketika

hutan semakin gundul dapat menyebabkan bencana yang tidak dapat diprediksi

datangnya.

Ketersediaan polisi hutan yang masih belum mencukupi untuk menjaga

dan mengawasi kawasan hutan TNMB yang mencapai 58.000 Ha, sebaiknya perlu

dievaluasi. Hal ini menjadi titik kelemahan bagi pemerintah dan menjadi peluang

bagi pelaku illegal logging. Sehingga secara tidak langsung komponen pemerintah

yang bersinergi dengan LSM dan komunitas lokal akan dapat meningkatkan

Page 171: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

156

Universitas Indonesia

kemampuan adaptif kelompok komunitas dalam menghadapi dan beradaptasi

dalam upaya konservasi arbon hutan.

5.2 Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+

Adaptasi merupakan penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang

akan meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal

(Brooks, 2003 dalam Bappenas, 2012) atau penyesuaian sistem alam atau manusia

terhadap sebuah lingkungan baru atau sebuah lingkungan yang berubah (IPCC

TAR, 2001 dalam Bappenas, 2012). Proses pembangunan aksi adaptasidiawali

dengan pembangunan kemampuan adaptif melalui intervensi sosial dimana tujuan

intervensi adalah mencari cara bagaimana meningkatkan kualitas dan ketersediaan

kebutuhan sumberdaya untuk diadaptasi, atau bagaimana mengolah kemampuan

untuk menggunakan sumberdaya secara efektif.

Pengidentifikasian perilaku aksi adaptasi yang dilakukan oleh kelompok

komunitas lokal terlebih dulu akan ditinjau mengenai keterkaitan hubungan

komunitas lokal desa penyangga dengan keberadaan TNMB. Hubungan ini

menjadi dasar bagi pembentukan upaya adaptasi selain didukung dari gambaran

dampak yang ditimbulkan pada perilaku adaptifkomunitas lokal. Konsep

pemaknaan hubungan yang terjalin antara komunitas lokal dengan

hutantergambarkan ke dalam 5 konsep (Bab 4, Hal. 119) yang terdiri dari (1)

Masyarakat bertanggungjawab atas upaya pelestarian hutan; (2) Hutan sebagai

Sumber mata penchaarian; (3) Hutan sebagaialternatif mata pencaharian; (4)

Keterbatasan sumberdayalahan di sekitar kawasan TNMB; dan (5) Hutan

memiliki manfaat bagi ekosistem lingkungan.

Secara umum pemaknaan tersebut bergantung pada hal. kedekatan lokasi

geografis kawasan yang mempengaruhi hubungan keterkaitan. Seperti yang

tergambar dalam masyarakat Wonoasri yang tercermin dalam pernyataan (Bab 4

hal 122), lokasi Desa Wonoasri yang tidak berbatasan langsung dengan Kawasan

hutan TNMB mengindikasikan hubungan interaksi yang rendah terhadap kawasan

hutan. Lain halnya dengan 2 desa lainnya yang relatif sangat berdekatan dengan

Page 172: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

157

Universitas Indonesia

kawasan hutan TNMB mengindikasikan bahwa hutan menjadi sumber mata

pencaharain utama (Bab 4 Hal 120).

Hubungan masyarakat dengan hutan mengisyaratkan bahwa masyarakat

memiliki tanggungjawab penuh terhadap upaya pelestarian hutan. Komunitas lokal

desa penyangga merupakan ujung tombak bagi upaya konservasi hutan maupun

semua keberlangsungan program kegiatan DA REDD+ di TNMB.Komunitas local

merupakan aktor kunci dalam upaya perwujudan kegiatan konservasi hutan,

dimana masyaraakt merupakan subyek sekaligus obyek yang dikenai program

kegiatan. Hak-hak komunitas lokal atas hutan harus terpenuhi walaupun

sebenranya secara hukum mereka tidak memiliki hak yang utuh jika melihat pada

Undang-Undang yang menyatakan hutan konservasi sebagai hutan yang dikuasai

oleh negara. Tetapi terlepas dari itu, bagaimanapun komunitas lokal telah ada

sebelum penetapan Undang-Undang itu dibentuk, jadi hak-hak mereka semestinya

sudah harus terpenuhi untuk menjamin keberlengsungan hidup dan kelestarian

hutan TNMB secara berkelanjutan.

Keterbatasn sumberdaya lahan menjadikan hutan sebagai tumpuan hidup

bagi sejumlah masyarakat yang tinggal di desa penyangga. Namun, masyarakat

menyadari perannya sebaagi manusia, tidak boleh melakukan ekploitasi yang

berlebihan terhadap sumberdaya hutan. Adaptasi terhadap hutan akan sangat

penting untuk mendorong upaya mengatur stok karbon dalam jangka panjang,

meskipun di banyak wilayah struktur dan fungsi hutan telah berubah sejak lama

(Noss, 2001 dalam Graham, 2012). Perubahan dapat dimimalisir dengan

melakukan adaptasi sebagai upaya mitigasi kerusakan hutan. Dengan mengetahui

pandangan masyarakat terhadap hutan TNMB dan pemahaman yang tercipta atas

konstruksi kegiatan DA REDD+ dapat menjadi kontiribusi penting bagi upaya

penerapan aksi adaptasi yang dilakukan setelah kegiatan DA REDD+

berlangsung.

Aksi adaptasi perlu didukung oleh semua komponen komunitas lokal ,

baik individu, kelompok-kelompok formal/informal, maupun pemerintah dimana

dalam keberhasilannya diperlukan waktu yang tidak singkat karena di dalamnya

membutuhkan proses penyadaran dan pemahaman atas sesuatu hal yang baru dan

Page 173: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

158

Universitas Indonesia

memerlukan pembiasaan. Peran aktif kelembagaan baik pemerintah maupun non

pemerintah, kemampuan serta keinginan seluruh komponen untuk bekerjasama

membangun sebuah aksi adaptasi sangat diperlukan untuk mewujudkan aksi

adaptasi komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon.

5.2.1 Kelompok petani rehabilitasi

Kegiatan DA REDD+ merupakan bagian dari adanya bentuk intervensi

pembangunan hutan berkelanjutan, dimana komunitas lokal memiliki peran

penting dalam sebuah sistem yang ada. Intervensi ini dinilai membantu

masyarakat maupun komunitas untuk beradaptasi.Intervensi DA REDD+ dengan

pendampingan LSM lokal di 2 desa yaitu Desa Andongrejo dan Desa

Curahnongko, dimana desa ini menjadi contoh penerapan keberhasilan upaya

pengembangan masyarakat melalui intervensi sosial yang diharapkan dapat

menjadi contoh bagi desa penyangga lainnya. Kemampuan adaptif komunitas

lokal untuk melakukan sejumlah inovasi terkait dengan upaya pengurangan

kebergantungan terhadap hutan dilakukan dengan melakukan pengelolaan lahan

rehabilitasi dimana dalam implementasinya melalui penanaman sejumlah

tanaman yang memilki nilai ekonomis namun tidak merusak ekosistem hutan.

Berbeda dengan di lahan rehabilitasi di Desa Andongrejo dan

Curahnongko, secara kemampuan adaptasi, hanya kelompok masyarakat tertentu

yang memiliki kesadaran akan konservasi hutan, yaitu kelompok petani

rehabilitasi. Dimana dalam kelompok mendapat intervensi sosial dari LSM lokal

yaitu KAIL untuk melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Jika aksi

adaptasi yang dilakukan kelompok komunitas lokal khususnya petani rehabilitasi

dan kelompok wanita di Andongrejo dan Curahnongko terbentuk berdasarkan

binaan LSM. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi,

dan Jones (2011), bahwa intervensi dinilai membantu masyarakat maupun

komunitas untuk beradaptasi kepada pola baru yang terbentuk dari lingkungan

alam, sosial ekonomi dan politik serta hubungan diantara ketiga komponen

tersebut.

Page 174: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

159

Universitas Indonesia

Lain halnya dengan aksi adaptasi terhadap upaya konservasi karbon yang

tergambarkan di Desa Wonoasri tanpa pendampingan LSM. Kesadaran komunitas

lokal menjadi bagian penting dalam upaya rehabilitasi hutan.Tanpa pendampingan

pun, kelompok petani rehabilitasi secara mandiri mampu melakukan aksi

adaptasinya yang terwujud ke dalam upaya menjaga tanaman pokok di masing-

masing lahan rehabilitasi. Namun, teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi, dan

Jones (2011), mengenai peran intervensi dalam keberhasilan aksi adptasi tidak

sepenuhnya dibenarkan dalam fenomena yang terjadi di Desa Wonoasri. Sebelum

adanya kegiatan DA REDD+, komunitas lokal Desa Wonoasri sudah memiliki

kesadaran untuk menjaga hutan dan lahan rehabilitasinya. Hal ini tidak lain

karena, kesadaran yang dimiliki serta rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap

komitmen yang telah disepakati bersama antara pemerintah dengan kelompok

petani rehabilitasi.

5.2.2 Kelompok wanita

Kelompok wanita memiliki peran dan kedudukan penting dalam

mendukung terciptanya aksi adaptasi, dimana keterlibatannya menjadi sangat

diperhitungkan khususnya bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan

masyarakat. Di Desa Andongrejo contohnya, pelibatan kelompok wanita lebih

menyasar pada kegiatan yang berdampak langsung pada ekonomi, dimana

perannya cukup strategis dalam mendukung keberhasilan program rehabilitasi

lahan hutan. Jika hutan terganggu, maka kegiatan ekonominya akan terganggung

pula, sehingga secara tidak langsung kesadaran untuk mejaga hutan akan

terbentuk melalui aksi adaptasi dan persuasif pada kelompok wanita lainnya.

Sedangkan di Desa Curahnongko, internalisasi agama dan wujud

pengetahuan menjadi bekal utama dalam membentuk stigma upaya konservasi

karbon hutan di kalangan kelompok wanita. Agama menjadi dasar kuat bagi

sebagian besar komunitas lokal di desa penyangga, dimana karakteristik

masyarakat Jember secara umum dipandang sebagai karakter masyarakat yang

agamis. Peran kelompok wanita di Desa Wonoasri berbeda dengan gambaran di

Desa Andongrejo dan Curahnongko. Peran kelompok wanita tidak nampak pada

Desa Wonoasri, dimana kelompok wanita cenderung pasif. Kelompok wanita

Page 175: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

160

Universitas Indonesia

tidak memiliki pengaruh penting dalam sistem sosial yang berkembang di

masyarakat. Selain itu, tidak adanya peran pendampingan LSM lokal dalam upaya

pemberdayaan wanita membuat kepedulian kelompok wanita dalam upaya

konservasi hutan tidak cukup menonjol.

Dalam melakukan adaptasi, semua komponen masyarakat perlu

menyesuaikan dengan sistem yang ada.Penyesuaian sistem alam maupun

manusia dalam menanggapi stimulus iklim aktual atau yang akan datang atau efek

yang ditimbulkan, dengan mengontrol kerusakan atau mengeksploitasi peluang

yang menguntungkan) (IPCC TAR, 2001). Manusia tidak dapat melepaskan

interaksinya dengan alam karena alam memiliki potensi sumberdaya yang

melimpah. Oleh karena itu manusia perlu menyesuaikan diri dengan melakukan

adaptasi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan di masa mendatang.

5.2.3 Aparatur Desa

Dukungan aparatur desa akan mempengaruhi kemampuan (abilitiy)

kelompok masyarakat untuk melakukan aksi adaptasi nyata terhadap konservasi

karbon hutan TNMB. Sejumlah upaya telah dilakukan pihak pemerintah desa

yang bekerjasama dengan Balai TNMB, Polisi hutan dan LSM lokal untuk

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran komunitas lokal pada perlindungan

hutan. Pada dasarnya setiap komponen kelompok masyarakat memiliki local

knowledge tentang adaptasi terhadap hutan, namun terkadang terdapat motivasi-

motivasi yang timbul untuk melakukan dan berbuat sesuatu yang lebih demi

keuntungan yang ingin diraih.

5.2.4 LSM KAIL

Dalam mendukung aksi adaptasi tidak terlepas dari peran dukungan

pemerintah maupun LSM lokal yang membantu meningkatkan kemampuan

adaptif komunitas lokal untuk melakukan aksi adaptasinya terutama untuk

mendukung konservasi karbon hutan. Sejak berlangsungnya kegiatan DA

REDD+, dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan melibatkan

peran aktif masyarakat sebagai pelaku utama yang memiliki keterkaitan langsung

dengan keberadaan hutan TNMB, kegiatan konservasi dan DA REDD+.

Page 176: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

161

Universitas Indonesia

Dukungan kelembagaan memiliki peran penting dalam upaya aksi adaptasi yang

dilakukan oleh komunitas lokal.

Sejumlah kelembagaan yang diinisiasi oleh pemerintah maupun LSM

KAIL telah terbentuk sebelum kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya

kegiatan DA REDD+ peran kelembagaan lebih ditingkatkan dengan penguatan

kapasitas serta pelibatan aktif komunitas lokal. Segala bentuk lembaga yang ada

pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai wadah untuk

memfasilitasi hubungan pemerintah dengan komunitas lokal; LSM dengan

komunitas lokal, serta LSM dengan pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari fungsi

lembaga dimana keberadaanya mampu menjadi penyeimbang dan kontrol dalam

mewujudkan kesadaran komunitas lokal untuk beradaptasi dalam upaya

konservasi karbon hutan.

Upaya pelibatan masyarakat dalam membentuk aksi adaptasi yang

dilakukan oleh LSM KAIL dengan mengajaknya ikut serta dalam

mengembangkan tanaamn TOGA di lahan 7 Ha salah satunya. Hal ini sudah lama

dilakukan yaitu sejak 1993, namun keberadaan DA REDD+ menjadi pendorong

bagi upaya peningkatan komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon. Sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi, dan Jones (2011), yang

menyebutkan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung diperlukan untuk

memastikan bahwa individu maupun kelompok komunitas mampu membuat

perubahan yang diperlukan untuk menanggapi perubahan iklim serta perubahan

lain yang mungkin ditimbulkan. Dengan diterapkannya pola pendampingan

pemberdayaan masyarakat di Desa Andongrejo dan Curahnongko, kelompok

petani rehabilitasi maupun kelompok wanita memliki ketahanan untuk

menanggapi kebijakan dari dari DA REDD+ dimana perolehan hak tenurial sudah

diakui oleh pemerintah. Komunitas lokal desa penyangga dilibatkan langsung

dalam upaya konservasi karbon hutan khususnya di lahan rehabilitasi.

Dengan pendampingan yang dilakukan LSM lokal, kelompok komunitas

lebih mampu berinovasi dan kreatif untuk melakukan diversifikasi usaha,

sehingga kecenderungannya adalah lebih aktif dalam sejumlah kegiatan ekonomi

baru yang memungkinkan untuk mengurangi kebergantungannya pada hasil hutan.

Page 177: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

162

Universitas Indonesia

Hal ini dapat dipertahankan dan terus dikembangkan untuk menjamin

keberlangsungan peningkatan kesejahteraan komunitas lokal desa penyangga serta

upaya menciptakan hutan yang lestari dpaat tercapai.

5.2.5 Polisi Hutan/Resort

Sedangkan dari resort aksi adaptasi diwujudkan melalui kegiatan

pengawasan dan perlindungan kawasan hutan sesuai dengan tupoksinya. Resort

bertanggungjawab dalam menjaga keamanan kawasan hutan TNMB dengan

upaya mendekatkan diri dengan masyarakat sebagai bagian dari bentuk

pendekatan partisipastif. Kemampuan resort untuk menjaga hutan tidak bisa

terlepas dari peran keterlibatan komunitas lokal. Kedua komponen ini pada

dasarnya memiliki sifat saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagaimana

Smit (2000) mengemukakan bahwa adaptasi perlu didukung oleh semua

komponen masyarakat, baik individu, kelompok-kelompok, dan pemerintah.

Kebersamaan untuk saling mendukung antar komponen stakeholder dalam

mewujudkan aksi adaptasi memiliki pengaruh yang besar. Masyarakat tidak dapat

dilepas sendiri tanpa dilakukan pendampingan baik dari pemerintah maupun LSM

lokal yang ada, karena potensi dan kemampuan yang dimiliki jauh akan lebih

berkembang dengan pendampingan yang dilakukan. Sehingga secara mandiri akan

terbentuk dalam pribadi individu maupun kelompok dimana keadaan yang

kondusif mampu tercipta.

5.2.6 Balai TNMB

Pemerintah khususnya Manajemen Balai TNMB, memiliki kekuatan

penuh dalam pengawasan dan pelaksanaan fungsi untuk meningkatkan aksi

adaptasi komunitas lokal dalam rangka meningkatkan stok karbon hutan sebagai

bagian dari salah satu tujuan dari terselenggaranya DA REDD+ salah satunya

dengan melakukan pengaturan kelembagaan. Membangun kelembagaan di tingkat

lokal komunitas dapat menciptakan hubungan kedekatan antara pemerintah

dengan komunitas lokal. Keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan

pembangunan hutan yang berkelanjutan tidak dapat terlepas dari aksi adaptasi

seluruh komponen yang ada baik yang berkaitan langsung dengan hutan maupun

Page 178: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

163

Universitas Indonesia

tidak langsung. Atribut dari kapasitas kepemerintahan dan individu, organisasi

atau komunitas untuk beradaptasi menentukan keberhasilan adaptasi terhadap

perubahan iklim (Pelling dan High 2005 dalam Locatelli 2009).

Adanya kegiatan DA REDD+ merupakan bagian dari adanya bentuk

intervensi pembangunan hutan berkelanjutan, dimana masyarakat memiliki peran

penting dalam sebuah sistem yang ada. Aksi adaptasi yang dilakukan bersama

oleh seluruh komponen masyarakat maupun pemerintah menjadi bagian dari

wujud kesadaran dan kepedulian dengan hutan. Pemerintah harus menjamin

keberadaan masyarakat bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai potensi yang

dapat dibina secara bersama untuk membantu mewujudkan kelestarian hutan dan

tujuan DA REDD+.

Gambar 5. 2 Komponen penting dalam Aksi Adaptasi

Pemerintah

Komunitas lokalLSM

AKSI ADAPTASIKONSERVASI

KARBON HUTAN

Page 179: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

164

Universitas Indonesia

BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak dari adanya kegiatan DA

REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri yang telah diselenggarakan selama 4

tahun di 3 (tiga) desa penyangga (Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, dan

Desa Wonoasri), maka dapat diperoleh kesimpulan penelitian yaitu :

1. Aset dasar yang dimiliki oleh kelompok masyarakat terdiri dari (1) Natural

capital, hutan sebagai common property sebenarnya terdapat hak komunitas

lokal untuk turut serta mengelolanya dan mengambil manfaatnya dengan bijak.

Jika akses kebutuhan terhadaplahan dapat terpenuhi, maka kerelaan komunitas

lokal untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi hutan akan terpenuhi.

Aset lahan menjadi penting bagi komunitas lokal dalam upaya menjaga

kesejahteraannya; (2) Human Capital,potensi dan kemampuan yang dimiliki

kelompok masyarakat yang mengikuti kegiatan DA REDD+ maupun tidak

cenderung berbeda. Kelompok komunitas lokal yang mengikuti kegiatan DA

REDD+ kapasitas human capitalnya lebih baik dan terasah. Hal ini terlihat dari

eksistensi kelompok wanita pengelolaan budidaya jamu tradisonal Desa

Andongrejo untuk menggiatkan dan mengajak kelompok wanita lainnya dalam

upaya konservasi karbon hutan serta kelompok petani rehabilitasi di Desa

Wonoasri yang memiliki kesadaran tinggi dalam penyulaman tanaman pokok

di lahan rehabilitasi; dan (3) Social capital, terlihat dari hubungan keeratan

yang terbentuk pada kelompok tani Desa Curahnongko terlihat dari

kekompakan dan loyalitas anggota kelompok. Peran Lembaga bentukan LSM

KAIL – Jaketresi dan bentukan TN - SPKP menjadi lembaga yang memliki

peran aktif dalam konservasi karbon hutan.

2. Dukungan kelembagaan memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan

kemampuan adaptif dimana peran lembagasebagaikontrol dari sistem regulasi

dan struktur organisasi memberikan nilai positif bagi upaya pengembangan

164

Page 180: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

165

Universitas Indonesia

pemberdayaan masyarakat.Keberadaan LSM di Curahnongko dan Andongrejo

mampu membentuk kemampuan adaptif komunitas lokaldalam upaya

konservasi hutan, namun tingkat keberhasilannya belum optimal karena belum

merata pada seluruh lapisan komunitas lokal. Hanya sebagian komunitas lokal

tertentu saja yang menyadari peran perilaku adaptif dalam menjaga kelestarian

hutan.

3. Langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis dam

disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan adaptaif

kelompok masyarakat. Proses transferability berkaitan erat dengan dukungan

LSM dimana pendekatan yang dilakukan lebih bersifat informal namun

memiliki hubungan yang kuat dalam membangun karakter personal maupun

kelompok dalam upaya penyadaran kepedualian terhadap konservasi hutan di

TNMB.Pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas lokalserta informasi yang

didapat melalui kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan

adaptif yang dimiliki komunitas lokal. Hal ini dapat terlihat dari perilaku

adaptif komunitas lokal di Desa Andongrejo dan Curahnongko.

4. Inovasi antar individu maupun kelompok cenderung berbeda sesuai dengan

pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini menggambarkan

bahwa semakin banyak seseorang maupun kelompok terlibat dalam rangakain

kegiatan DA REDD+, maka inovasinya akan lebih baik. Inovasi berdasarkan

analisa temuan lapangan, diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu

(1) Inovasi untuk meningkatkan motivasi konservasi hutan, untuk

meningkatkan motivasi konservasi hutan diwujudkan melalui program

PINTAR. Program PINTAR merupakan bentuk apresiasi kepada petani

rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di lahan rehabilitasi sesuai

dengan skema sistem pengkelasan lahan berdasarkan jumlah tanaman

pokok/tegakan yang ada. program ini baru diterapkan di Desa Curahnongko

dan Andongrejo

(2) Inovasi untuk budidaya tanaman, penanaman tanaman yang memiliki

nilai karbon tinggi tetapi juga bersifat ekonomis. Dalam penentuannya

Page 181: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

166

Universitas Indonesia

melibatkan partisipasi kelompok petani agar turut menjaga tegakan

pohonnya.

(3) Inovasi untuk meningkatkan pendapatan, untuk mendukung upaya

peningkatan pendapatan masyarakat melalui pengelolaan hutan dengan

sistem agroforestry, dimana penanaman pohon di bawah tegakan tanaman

pokok boleh menanam tanaman palawija..

5. Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan

informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa

mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek penting dalam

menentukan kemampuan adaptif komunitas lokal. Hal ini terutama berkaitan

dengan peran pemerintah dan LSM lokal terkait

6. Membangun kapasitas komunitas lokal untuk adaptasi dapat mendukung dasar

untuk antisipasi dan menyesuaikan dengan kondisi iklim yang akan berlanjut

pada perubahan dalam jangka panjang. Proses pembangunan aksi adaptasi

perlu dilakukan melalui intervensi sosial salah satunya melalui kegiatan DA

REDD+. Dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan

melibatkan peran aktif masyarakat sebagai pelaku yang memiliki keterkaitan

langsung dengan kegiatan konservasi beserta peningkatan kelembagaan yang

telah ada baik yang dibentuk oleh LSM KAIL maupun pemerintah.

7. Dukungan kelembagaan akan mempengaruhi kemampuan komunitas

lokaluntuk melakukan aksi adaptasi nyata terhadap konservasi karbon.

Kemampuan kelompok masyarakat dalam membentuk perilaku adaptasi

bergantung pada peran yang dimiliki. Sebagai kelompok petani rehabilitasi

maupun kelompok wanita di 3 desa wilayah penelitian cenderung pada upaya

inovasi untuk menambah alternatif kegiatan ekonomi agar tidak terlalu

bergantung pada hasil hutan.

Page 182: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

167

Universitas Indonesia

6.2 Saran

Pelaksanaan kegiatan DA REDD+ di TNMB khususnya terkait dengan

pemberdayaan masyarakat padakomunitas lokal di 3 (tiga) desa penyangga

menunjukkan bahwa kemempuan adaptifnya cenderung beragam. Intervensi

melalui pendampingan LSM pada Desa Andongrejo dan Curahnongko cenderung

lebih efektif dalam menunjang keberhasilan program DA REDD+ sebagai upaya

konservasi karbon hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan

pendampingan yang selama ini hanya terfokus pada dua desa penyangga dari 12

total desa penyangga yang ada, terkesan timpang. Oleh karena itu, dalam praktik

selanjutnya diperlukan peran pendampingan LSM dalam upayapemberdayaan

masyarakat. Hal ini secara tidak langsung akan berkorelasi pada karakter

kemampuan adaptif yang dimliki oleh komunitas lokal setempat dalam

menanggapi DA REDD+. Gambaran ini menjadi masukan bagi pihak Litbang

Kehutanan sebagai Koordinator Project DA REDD+ di Kawasan TNMB.

Page 183: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

168

Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Adger, W. N., Arnell, N. W., & Tompkins, E. L. (2005). Succesful Adaptation toClimate Change Across Scales. Science Direct, 77-86.

Aliadi, A. (2010). Stakeholder Consultation to Determine the Most Viable Schemeof Community and Other Stakeholders to be Applied at Meru BetiriNational Park. Bogor: Forestry Research and Development Agency,Ministry of Forestry Indonesia.

Angelsen , Arid; Brockhaus, Maria. (2012). Melihat REDD+ melalui 4I : SebuahKerangka Kerja Ekonomi Politis. Dalam A. Angelsen, M. Brockhaus, W.D. Sunderlin, & L. V. Verchot, Menganalisi REDD+ : SejumlahTantangan dan Pilihan (hal. 17). Bogor: CIFOR.

Angelsen , Arild. (2010). Pengantar : Pemikiran tentang REDD+ Berhadapandengan Kenyataan. Dalam M. Brockhaus, M. Kanninen, E. Sills, W. D.Sunderlin, & S. W. Kanounnikoff, Mewujudkan REDD+ : StrategiNasional dan Berbagai Pilihan Kebijakan (hal. 2). Bogor: CIFOR.

Angelsen, A., & Kanounnikoff, S. W. (2009). Kerangka REDD+ di TingkatGlobal dan Nasional : Memadukan Kelembagaan dan Tindakan. Dalam M.Brockhaus, M. Kanninen, E. Sills, W. D. Snderlin, & S. W. Kanounnikoff,Mewujudkan REDD+ : Strategi nasional dan Berbagai Pilihan Kebijakan(hal. 13). Bogor: CIFOR.

Arifanti, V. B., Bainnaura, A., & Ginoga, K. L. (2010). Landcover ChangeAnalysis Using Remote Sensing and GIS : Initial Phase of MeasuringCarbon Sequestration for REDD+ in Meru Betiri National Park,Indonesia. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan KementerianKehutanan.

Arizona, Y. (2008). Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam : KajianKritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi HakMasyarakat terkait Pengelolaan Hutan . Jakarta: HuMa.

Awang, San Afri. (2004). Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat danKeadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS WIBB. (2003). Laporan : KajianKriteria dan Indikator Penetapan Zonas Taman Nasional Meru Betiri -Jember i . Surakarta: Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan .

Balai Taman Nasional Meru Betiri. (2012). Buku Informasi KegiatanPemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri. Jember: BalaiTaman Nasional Meru Betiri.

Bappenas. (2010). Draft 1 : Strategi Nasional REDD+. Jakarta: Bappenas.

Page 184: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

169

Universitas Indonesia

Bappenas. (2012). Buku 1 Strategi Pengarusutamaan Adaptasi ke DalamPerencanaan Pembangunan Nasional : Kerangka Integrasi . Jakarta:Kementerian Bappenas.

Bappenas. (2014). Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) .Jakarta : Kementerian Bappenas.

Diop, C., Hess, J., Lempert, R., Li, J., Wood, R. M., & Myeong, S. (2012).Section III Climate Change : New Dimensions in Disaster Risk, Exposure,Vulnerability, and Resilience. Dalam A. Lavell, & M. Oppenheimer,Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance ClimateChange Adaptation : Special Report of the Intergovernmental Panel onClimate Change (hal. 34). Cambridge: Cambridge University Press.

FORDA. (2013, Agustus). Standar Nasional Indonesia (SNI) 7848:2013 tentangPenyelenggaraan Demonstratin Activity (DA) REDD+ . Brief Info No. 42,hal. 1.

Graham, Kristy. (2012). REDD+ and Adaptation : Will REDD+ Contribute toAdaptive Capacity at The Local Level. Overseas Development Institute.

Hadi, Sutrisno. (1986 a). Metode Observasi. Yogyakarta: Yayasan PeenrbitanFakultas Psikologi, UGM.

Hadi, Sutrisno. (1986 b). Metodologi Research 2 : Untuk Penulisan Paper,Skripsi, Thesis dan Disertasi. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan FakultasPsikologi, UGM.

Heriyanto, N M; Garsetiasih, R; Subiandono, Endro. (2006). PemanfaatanSumberdaya Hutan oleh Masyarakat Lokal di Taman NAsional MeruBetiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VolumeIII Nomor 2 , 297-308.

Iklim (hal. 4). Jakarta: Pusat Standardisasi dan Lingkungan, KementerianKehutanan.

Impron; Bassar, Emilia; Sugiarto, Yon; Muhammad, Ari; Fahmi, Selma F;Andaru, Ben; Yuliantri, A. Rachmi; Aryoseno, Ardiyanto. (2012).Adaptasi Perubahan Iklim : Informasi, Sinergi dan Efektifitas KegiatanAdaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.

IPCC. (2001). Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation and Vulnerability .Geneva: World Meteorological Organisation.

IPCC. (2012). Managing The Risks of Extreme Events and Disasters To AdvanceClimate Change Adaptation : Special Report of The IntergovernmentalPanel on Climate Change. New York, USA: Cambridge University Press.

Iskandar, Nur. (2011). Peran Pengusaha Hutan di dalam REDD di Indonesia.Identification of Deforestation and Forest Degradation Drivers andActivities that Result in Reduced Emissions, Increased Removals, and

Page 185: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

170

Universitas Indonesia

Stabilization of Forest Carbon Stocks (hal. 9-14). Balikpapan: PusatStandarisasi dan Lingkungan, Kemenhut dan Forest Carbon PartnershipFacility-World Bank.

Jurgens, Emile; Kornexl, Werner; Oliver, Chloe; Gumartini, Tini. (2013).Integrating Communities into REDD+ in Indonesia. Amerika Serikat :ProFor.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2009). Buku Panduan KajianKerentanan dan Dampak Perubahan Iklim untuk Pemerintah Daerah.Jakarta: JICA.

Kementerian Kehutanan. (2011). Mengelola Peran Kehutanan dalam TargetPengurangan Emisi 26%. Komunikasi Stakeholder tentang PenangananIsu Perubahan Iklim (hal. 1). Jakarta: Pusat Standardisasi dan LingkunganKementerian Kehutanan.

Kementerian Kehutanan. (2012). System for Information Provision on REDD+Safeguards/SIS REDD+ Development in Indonesia. Jakarta: PusatStandardisasi Lingkungan dan Perubahan Iklim.

Kementerian Kehutanan. (2012). Memahami Konsep Ekonomi Hijau danKontribusi Sektor Kehutanan dalam Implementasinya di Indonesia.Prosiding Pertemuan Stakeholder tentang Penanganan Isu Perubahan

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2009). Buku Panduan KajianKerentanan dan Dampak Perubahan Iklim untuk Pemerintah Daerah.Jakarta: JICA.

Krantz, Lasse. (2001). The Sustainable Livelihood Approach to Poverty Reduction: An Introduction. Stockholm: SWEDISH INTERNATIONALDEVELOPMENT COOPERATION AGENCY

Levina, E., & Tirpak, D. (2006). Adaptation to Climate Change : Key Terms.France: OECD.

Locatelli, B., Kanninen, M., Brochaus, M., Colfer, C. P., Murdiyarso, D., &Santoso, H. (2009). Menghadapi Masa Depan yang Tak Pasti :Bagaimana Hutan dan Manusia Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim .Bogor: CIFOR.

Levine, Simon; Ludi, Eva; Lindsay Jones. 2011. Rethinking Support for AdaptiveCapacity to Climate Change : Role of Development Interventions. Ethiopia: ODI

Ludi, E., Getnet, M., Wilson, K., Tesfaye, K., Shimelis, B., Levine , S., et al.(2011). Preparing for The Future? Understanding the Influence ofDevelopment Interventions on Adaptive Capacity at Local Level inEthiopia. Addis Ababa: ACCRA.

Page 186: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

171

Universitas Indonesia

Lugina, Mega; Zuhud, Ervizal A.M.; Ginoga, Kirsfianti. (2010). Review : ExistingSchemes and Lesson Learned from The Surrounding Areas. Bogor:Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry

Masripatin, N. (2012). Penanganan Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutandalam Implementasi REDD+ : Mandat Internasional dan KepentinganNasional. Identification of Deforestation and Forest Degradation Driversand Activities that Result in Reduced Emissions, Increased Removals, andStabilization of Forest Carbon Stocks (hal. 17). Ambon dan Banjarmasin:Pusat Standarisasi dan Lingkungan, Kemenhut dan Forest CarbonPartnership Facility-World Bank.

Oktavia. (2012, Februari 2). SIS REDD+ sebagai Instrumen Pelayanan Informasidari Implementasi Aksi REDD+. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.

Praturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan SuakaAlam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)

Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan EmisiGas Rumah Kaca

Pramova, E., Locatelli, B., Mench, A., Marbyanto, E., Kartika, K., & Prihatmaja,H. (2013). Mengintegrasikan Adaptasi ke Dalam REDD+ : DampakPotensial dan Rentabilitas Sosial di Setulang, Kabupaten Malinau,Indonesia. Bogor: CIFOR.

Puspijak, Balitbang Kehutanan. (2012). Perubahan Iklim, REDD+ dan KomitmenNasional. Bogor: Puspijak .

REDD, S. (2010). REDD+ dan Satgas Keseimbangan REDD+ : SebuahPengantar. Jakarta: Satgas REDD+.

Rianse, U., & Abdi. (2010). Agroforestri : Solusi Sosial dan EkonomiPengelolaan Sumberdaya Hutan. Bandung: Alfabeta Bandung.

Sakuntaladewi, Niken. (2013). Teknik Survey Sosial Ekonomi. Dalam N.Sakuntaladewi, Y. Rochmayanto, I. S. Dharmawan, M. Gultom , & T.Butarbutar, Modul Capacity Building untuk Kerangka KErja REDD+ diKPH (hal. 73). Bogor: Puspijak dan Forest Carbon Partnership Facility .

Santosa, A., & Silalahi, M. (2011). Laporan Kajian Kebijakan KehutananMasyarakat dan Kesiapan dalam REDD+. Forum Komunikasi KehutananMasyarakat.

Saragih , Sebastian ; Lassa, Jonatan ; Ramli , Afan. (2007). KerangkaPenghidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihood Framework ).http://www.zef.de/module/register/media/2390_SL-Chapter1.pdf.

Sasmitaningdyah, S. (2009). Kajian Kerusakan Lingkungan Zona RehabilitasiTaman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur. Yogyakarta: ProgramPascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Page 187: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

172

Universitas Indonesia

Satgas REDD. (2010). REDD+ dan Satgas Keseimbangan REDD+ : SebuahPengantar . Jakarta: Satgas REDD+.

Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rafika Aditama.

Soemarno. (2011). Model Desa Konservasi. Dipetik Januari 3, 2014, darihttp://marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/MODEL-DESA-KONSERVASI.docx

Soemarno. (2011). Model Desa Konservasi. Malang, Jawa Timur, Indoensia.

Somantri, Gumilar Rusliwa. (2005). Memahami Metode Kualitatif. Makara,Sosial Humaniora Volume 09 No. 02, 57-65.

Spearman, M., & McGray, H. (2011). Making Adaptation Count : Concepts andOptions for Monitoring and Evaluation of Climate Change Adaptation.Germany: GIZ.

Streck, C., & Parker, C. (2013). Pendanaan REDD+. Dalam A. Angelsen , W.Brockhaus, W. D. Sunderlin, & L. V. Verchot, Menganalisis REDD+ :Strategi Tantangan dan Pilihan (hal. 129). Bogor: CIFOR.

Sukadri, D. S. (2012, April 3). Progress Towards Establishment of NationalREDD+ SIS in Indonesia. Nairobi, Kenya.

Sulistyaningsih. (2013). Perlawanan Petani Hutan : Studi Atas ResistensiBerbasis Pengetahuan Lokal. Bantul: Kreasi Wacana.

Sumarhani. (2003). Implementasi Social Forestry di Zona Rehabilitasi TamanNasional Meru Betiri, Jawa Timur. Bogor: Balitbang Kehutanan, PusatPenelitian dan Pengembangan HUtan dan Konservasi Alam.

Sumarhani. (2005). Kajian secara Partisipatif Kawasan Penyangga TamanNasional Meru Betiri, Jawa Timur. Bogor: Balitbang Kehutanan, PusatPenelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam .

Sumaryanto. (2013). Strategi Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani TanamanPangan Menghadapi Perubahan Iklim. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi danKebijakan Pertanian.

Taman Nasional Meru Betiri. (2010). Laporan Tahunan Balai Taman NasionalMeru Betiri Tahun 2009. Jember: Departemen Kehutanan DirektoratJenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai TNMB.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

UN-REDD Programme Indonesia . (2012). Penerapan Padiatapa : ProsesPembelajaran dan Uji Coba untuk Membangun Kesepakatan denganWarga di Desa Lembah Mukti, Kecamatan Damsol, Kabupaten Donggala,Sulawesi Tengah. Jakarta: UN-REDD Programme Indonesia.

Page 188: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

173

Universitas Indonesia

Wibowo, Ari. (2012). Demostration Activity (DA) REDD+ di Taman NasionalMEru Betiri, Jawa TImur ITTO PD 519/08 REV (1). Prosiding WorkshopKerjasama Internasional (hal. 3-12). Jakarta: Balitbang PUSPIJAKKemenhut.

Wibowo, Ari; Maryani, Retno; Hariyanto; Supriyanto, Bambang. (2012).Informasi Teknis Pelaksanaan Kegiatan DA REDD+ di KawasanKonservasi. Bogor: Puspijak Balitbang Kehutanan, Kemenhut dan ITTO.

Wibowo, A., Maryani, R., & Partiani, T. (2012). Infromasi Teknis : PelaksanaanKegiatan Demostration Activity (DA) REDD+ di Kawasan Konservasi.Bogor: Puspijak, Balitbang, Kemenhut RI.

Wibowo, A., Partiani, T., & Rachmawati, M. (2013). Demostration Activity (DA)REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri. Bogor: Puspijak BalitbangKemen Kehutanan dan ITTO.

Wibowo, Ari. (2010). Measurable, Reportable, and Verifiable (MRV) untuk EmisiGas Rumah Kaca dari Kegiatan Kehutanan. Dalam W. Ari, G. Kirsfianti,F. Nurfatriani, Indartik, H. Dwiprabowo, S. Ekawati, et al., REDD+ andForest Governance (hal. 3). Bogor: Pusat Penelitian dan PengembanganPerubahan Iklim dan Kebijakan.

Page 189: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

LAMPIRAN 1

Pedoman Pertanyaan Penelitian

Tujuan 1 :

Mengetahui kemampuan adaptif komunitas lokal desa penyangga pasca DA REDD+ di Kawasan

Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon hutan

No. Informan Pertanyaan

1. Petani rehabilitasi (yang

terlibat langsung

maupun yang tidak

terlibat langsung dalam

kegiatan DA REDD+);

Kelompok wanita;

Tokoh Masyarakat;

a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?

b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?

c. Bagaimana pemahaman terhadap REDD+?

d. Bagaimana tanggapan terhadap kegiatan REDD+?

e. Apakah dampak dan manfaat dari kegiatan REDD+ bagi

petani dari segi pendapatan, pengetahuan, dan pola

pengelolaan hutan?

f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk

menciptakan strategi penghidupan yang baru?

g. Bagaimana keberlangsungan strategi penghidupan yang baru

tersebut?

h. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional

setelah kegiatan DA REDD+?

i. Apakah masyarakat memperoleh akses untu pengelolaan

hutan?

j. Apakah ada upaya kegiatan REDD+ mendukung dan

memperkuat organisasi kelompok tani?

k. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani

rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi setelah

adanya REDD+ di TNMB ? apakah ada perbedaan dengan

sebelum REDD+?

l. Bagaimanakah peran pemerintah dalam mendukung kegiatan

REDD+?

2. Polisi Hutan/Petugas

Resort

a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?

b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?

c. Bagaimana tanggapan terhadap kegiatan REDD+?

d. Bagaimanakan peran pemerintah dan NGO lokal dalam

mendukung kegiatan REDD+?

e. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi

lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan

peran dalam upaya konservasi karbon?

f. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau

mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi

lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi

karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?

g. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional

Page 190: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

setelah kegiatan DA REDD+?

h. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani

rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi setelah

adanya DA REDD+ di TNMB ?

i. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?

Bagaimana perilaku masyarakat setelah diperkenalkan DA

REDD+?

3. NGO lokal (KAIL) a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?

b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?

c. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap REDD+?

d. Apakah peran NGO dalam DA REDD+?

e. Apa saja manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD+ dari

segi 1) pengetahuan, informasi, dan keterampilan; 2) inovasi

pengelolaan hutan; 3) dalam pengambilan keputusan di tingkat

lokal masyarakat?

f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk

menciptakan strategi penghidupan yang baru?

g. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi

lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan

peran dalam upaya konservasi karbon?

h. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau

mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi

lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi

karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?

i. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional

setelah kegiatan DA REDD+?

j. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani

rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi di

TNMB?

k. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?

l. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu mendukung inovasi

aset, institusi, atau kebijakan untuk upaya pengelolaan hutan

(pengurangan deforestasi dan degradasi hutan)?

4. Manajemen Balai

Taman Nasional Meru

Betiri

a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?

b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?

c. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap REDD+?

d. Apakah peran Balai TNMB dalam kegiatan DA REDD+?

e. Apa saja manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD+ dari

segi 1) pengetahuan, informasi, dan keterampilan; 2) inovasi

pengelolaan hutan; 3) dalam pengambilan keputusan di tingkat

lokal masyarakat?

f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk

menciptakan strategi penghidupan yang baru?

g. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi

lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan

Page 191: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

peran dalam upaya konservasi karbon?

h. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau

mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi

lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi

karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?

i. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional

setelah kegiatan DA REDD+?

j. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani

rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi di

TNMB?

k. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?

l. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu mendukung inovasi

aset, institusi, atau kebijakan untuk upaya pengelolaan hutan

(pengurangan deforestasi dan degradasi hutan)?

8. Koordinator Proyek DA

REDD+ (Puspijak

Litbang Kementerian

Kehutanan)

a. Apa yang menjadi alasan kegiatan DA REDD+

diselenggarakan di TNMB?

b. Bagaimana pelaksanaan PADIATAPA di TNMB?

c. Kegiatan apa saja yang menjadi rangakain kegiatan DA

REDD+?

d. Siapa sajakah yang terlibat dalam kegiatan DA REDD+?

e. Bagaimana peran pemerintah lokal dan NGO dalam kegiatan

DA REDD+?

f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk

menciptakan strategi penghidupan yang baru?

g. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi

lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan

peran dalam upaya konservasi karbon?

h. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau

mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi

lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi

karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?

i. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional

setelah kegiatan DA REDD+?

j. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani

rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi di

TNMB?

k. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan

emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?

Tujuan 2 :

Mengetahui aksi adaptasi komunitas lokal desa penyangga pasca DA REDD+ di Kawasan Taman Nasional

Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon hutan

No Informan Pertanyaan

1. Petani rehabilitasi (yang a. Bagaimana peran pemerintah dan NGO dalam mendukung

Page 192: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

terlibat langsung

maupun yang tidak

terlibat langsung dalam

kegiatan DA REDD+);

Kelompok wanita;

Tokoh Masyarakat;

Polisi Hutan/Petugas

Resort; NGO lokal

(KAIL); Manajemen

Balai Taman Nasional

Meru Betiri.

upaya konservasi karbon hutan?

b. Bagaimana tanggapan anda terhadap upaya konservasi karbon

hutan?

c. Apa upaya yang dilakukan individu/kelompok dalam upaya

konservasi karbon hutan?

Page 193: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

LAMPIRAN 2

Profil Informan

No Kelompok

masyarakat Nama Keterangan

DESA CURAHNONGKO

1. Petani rehabilitasi Prm Ketua kelompok tani Jaketresi, yang mengikuti kegiatan DA

REDD+. selain itu Prm juga sebagai ketua RW dan anggota

MMP. Bapak Prm cukup aktif untuk menggerakkan masyarakat

dalam upaya menjaga hutan. beliau salah satu tokoh penting di

Desa Curahnongko terlihat dari perannya yang begitu banyak

dan cukup berpengaruh bagi masyarakat maupun petani

rehabilitasi.

Skw Bendahara kelompok tani Jaketresi, yang mengikuti kegiatan DA

REDD+. Beliau juga cukup memiliki pengaruh untuk mengajak

masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya konservasi hutan.

Sri Anggota kelompok tani dari Bapak Prm yang belum pernah

mengikuti kegiatan DA REDD+.

Pai Anggota kelompok tani dari Bapak Prm yang belum pernah

mengikuti kegiatan DA REDD+

2 Kelompok Wanita Syh Merupakan ibu ketua kelompok pengajian yang pernah

mengikuti penyuluhan dari KAIL. Ibu Syh ditunjuk untuk

mengikuti kegiatan dengan harapan bahwa hasil dari

penyuluhannya akan disampaikan dalam kegiatan pengajian

dengan melibatkan ibu-ibu dalam kegiatan konservasi.

Sra Anggota kelompok pengajian, yang tidak mengikuti kegiatan

penyuluhan REDD+ dan memiliki lahan rehabilitasi

3 Aparat Desa Srs Sekretaris Desa Curahnongko

Abh KAUR Desa Curahnongko dan juga terlibat dalam LSM KAIL

DESA ANDONGREJO

1 Kelompok petani Sjt Ketua kelompok tani yang tidak pernah mengikuti kegiatan

penyuluhan REDD+

Skr Anggota kelompok tani, yang memperoleh informasi REDD+

dari ketua kelompok tani

2 Kelompok wanita Ktm Ketua kelompok budidaya pengelolaan jamu tradisional Sumber

Waras yang mengikuti kegiatan penyuluhan REDD+

Mn Anggota kelompok budidaya pengelolaan jamu tradisional

Sumber Waras

Msr Kelompok masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan REDD+

tetapi mendapat pengetahuan dari REDD+ ketika ikut dalam

kelompok pengajian

3 Aparat Desa Ryd Sekretaris Desa Andongrejo

DESA WONOASRI

1 Kelompok petani Tmn Ketua kelompok tani dan MMP di Resort Wonoasri, pernah

mengikuti kegiatan DA REDD+

Dsr Anggota kelompok tani yang merupakan putra dari Ketua

Kelompok LMDHK Wonomulyo, sering mewakili kegiatan

Bapak ketua untuk ikut kegiatan DA REDD+

Ssw Anggota kelompok tani yang memiliki lahan rehabilitasi,

Page 194: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

No Kelompok

masyarakat Nama Keterangan

sekaligus bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan tidak

pernah mengikuti kegiatan DA REDD+

Sur Anggota kelompok tani yang memiliki lahan rehabilitasi,

sekaligus bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan tidak

pernah mengikuti kegiatan DA REDD+

Pnm Anggota kelompok tani yang memiliki lahan rehabilitasi,

sekaligus bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan tidak

pernah mengikuti kegiatan DA REDD+

2 Aparat Desa Abr Kepala Desa Wonoasri, cukup peduli dengan kegiatan

pelestarian hutan di Wonoasri

Pai Pamong tani

Son Aparatur desa yang juga mendapat bantuan untuk kegiatan

budidaya empon-empon (halaman rumahnya)

PETUGAS RESORT

1 Andongrejo Feb Staf Resort Andongrejo

Jum Staf Resort Andongrejo

Ads Staf resort Bandealit

2 Wonoasri Mst Staf Resort Wonoasri (MMP), Ketua OPR kelompok tani

rehabilitasi Wonoasri

LSM KAIL

1 LSM lokal Nrh Ketua LSM KAIL

Manajemen Balai TNMB

1 Staf TNMB Ngh Staf TNMB yang bertanggungjawab pada kegiatan Teknis

Pelaksanaan kegiatan DA REDD+ di TNMB

Adi Staf TNMB

Mus Staf TNMB

Page 195: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

LAMPIRAN 3

Transkrip wawancara Kelompok Masyarakat

A. DESA CURAHNONGKO

PETANI REHABILITASI (yang mengikuti kegiatan DA REDD+)

DESA CURAHNONGKO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Keterbatasan Sumberdaya Lahan

Masyarakat yang tinggal di sekitar desa penyangga

ini kan tidak semua memiliki lahan sawah,

penduduknya berapa sawahnya berapa, jadi nggak

cukup semua penduduk (Prm, Mei 2014).

Petani yang nggak punya lahan pertanian di sawah

ya mengandalkan lahan di rehab. Kan nggak

mungkin orang sebanyak ini semuanya punya lahan

disawah, sementara sawah yang ada itu Cuma

sedikit, ya otomatis mengandalkan lahan di rehab.

Misalnya begini ada masyarakat yang mencari

joho, kemiri, di hutan (Skw, Mei 2014)

B Pemahaman terhadap REDD

1 Upaya pelestarian hutan

REDD+ itu intinya kan melestarikan hutan,

walaupun kesana kemari itu intinya. Hutan yang

sudah gundul gundul, petani itu harus menanam

lagi (Prm, Mei 2014)

REDD+ itu kan tujuan intinya penghijauan,

pengembalian fungsi hutan yang ada. Hutan

berjalan mengembangkan penghijauan, di daerah

perdesaan tanah tanah kosong dikembangkan juga

penghijauan (Skw, Mei 2014).

2 Dampak Pemanasan global

Lha disitulah orang orang itu sadar kalau hutan

gundul itu bisa menyebabkan pemanasan global,

itu ada istilah musim yang ndak menentu dengan

adanya rusaknya hutan. nah sekarang dgn adanya

hutan yg gundul terus sudah agak rimbun, hawanya

agak dingin. Kalau dulu waktu hutan hutan gundul

itu, jam 9 itu panas, sudah nggak kuat kalau mau ke

lahan, tapi sekarang sudah agak rimbun (Prm, Mei

2014).

3 Emisi yang dikeluarkan oleh hutan

REDD+ itu kan hubungan juga dengan CO2,

Karbon apa itu kalau bahasa kampus. Kalau pohon

ditebang nanti mengeluarkan emisi, dibakar juga

mengeluarkan emisi (Skw, Mei 2014)

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a. Social Capital

Kelompok petani disini mudah digerakkan

(Jaketresi), pagi pagipun kalau disuru kumpul ya sebagai modal

untuk

Page 196: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

kumpul, setiap tahun saya sering merayakan ulang

tahunnya Jaketresi, biasanya ada acara selamatan

nanti mengundang TN. Ya ini sebagai bentuk

kearifan lokal lah (Prm, Mei 2014).

meningkatkan

upaya konservasi

hutan – alasan

mengapa

Curahnongko

menjadi

percontohan untuk

sample plot 7 ha –

konservasi karbon

b. Financial Capital

waktu itu saya ikut pelatihan budidaya bibit jamur

tiram di Malang, dan saya juga sudah praktek di

rumah sampai sekarang Alhamdulillah lumayan

hasilnya, per kilo harganya Rp. 10.000 (Prm, Mei

2014).

Budidaya jamur tiram bantuan dari TN itu kan

tujuannya uspaya bisa menambah pendapaatan.

Contohnya sehari saya dapat sepuluh ribu, 5 ribu

dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan artinya

nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa

mengurangi sekian persennya ketergantungan trhdp

hutan (Skw, Mei 2014)

c. Natural capital

kita dapat bantuan bibit tanaman untuk ditanam di

rehabilitasi seperti nangka, sukun, pete, kedawung,

alpukat waktu 2010. Hasilnya lumayan untuk dijual

(Prm, Mei 2014).

Mayoritas masyarakat di andongrejo dan

curahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90%

punya lahan di rehab, sedangkan di tanah

pemajekan (pertanian sawah) itu cuma 10%.

Alhamdulillah sejak th 98, bisa merasakan

perbedaannya, kalau dulu itu ketergantungan kita

kepala rumah tangga harus kerja keras, kalau nggak

dandangnya miring (susah untuk mencari sumber

nafkah) (Skw, Mei 2014)

bantuan bibit itu

salah satunya untuk

upaya konservasi

hutan di lahan

rehabilitasi agar

menjadi hutan

kembali serta

masyarakat juga

dapat memperoleh

hasil ekonomi dari

kegiatan panen.

d Human Capital

Individu masyarakat Curahnongko itu bagus, tapi

ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau

kelompok saya masih bisa dikatakan mereka peduli

dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah.. itu

kalau yang sadar, kalau yang enggak ya susah

diajak kerjasama menjaga hutan (Prm, Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Ada lembaga Jaketresi disini bentukan KAIL sama

SPKP bentukan TN. Orang-orangnya sama yang

mengelola, jadi nggak susah untuk koordinasi. Itu

lembaga yang untuk masalah-masalah hutan. ada

lagi Pamswakarsa, sekarang namanua MMP

(Masyarakat Mitra Polhut). (Prm, Mei 2014).

Kalau di curahnongko itu Jaketresi (lembaga yg

murni mengendalikan lahan di rehab-KAIL)

sedangkan dari mitra TN dibentuk lembaga SPKP-

TN, tapi misinya sama, pengurusnya juga sama.

Beberapa kegiatan kita didampingi oleh KAIL.

(Skw, Mei 2014)

Kelembagaan ini

sudah dibentuk

sebelum adanya

kegiatan DA

REDD+, namun

perannya lebih

ditingkatkan

kembali setelah

adanya kegiatan

DA REDD+ -

penggerak di

tingkat lokal pada

kelompok petani

rehabilitasi

Page 197: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a. Transferability pengetahuan

Menyampaikan ke masyarakat bisa di rumah

dengan mengumpulkan masyarakat sewaktu ada

kegiatan kumpul kumpul rutin, kadang juga

sewaktu di lahan. Kalau di lahan memberi masukan

ke masyarakat itu lebih mudah. Kalau di rumah kan

kadang-kadang ngundang orang sepuluh, yang

datang cuma 5-2 orang kalau langsung terjun di

lahan kan enak bisa sambil santai, orang lebih

ngerti (Prm, Mei 2014).

Penyampaiannya lisan sambil Ngobrol Ngobrol

(Skw, Mei 2014)

b. Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh

Kita semua kan punya lahan rehab, kita kan sudah

merasakan udara sekarang dan dulu itu lain, yang

kedua itu masalah mata air. Dulunya itu kalau

musim tembakau kan membuat peresemaaian

dibelakang rumah itu ada hutan bambu, mata air

nggak pernah kering walaupun bulan berapa,

ternyata setelah hutan itu gundul sumber airnya

habis. Jangankan mau buat persemaian tembakau,

buat minum aja susah. Nah sekarang walaupun

hutan belum 100% normal kembali lagi. Air sudah

agak normal lah (Prm, Mei 2014).

Sebelum ada perubahan iklim, hutannya masih

lebat. Musim itu kalau dulu bisa ditentukan, kalau

bulan januari – hujan sehari hari, desember – gede

gedenya sumber itu masih tepat, oktober – bulan

mongso songo, jangan coba-coba menanam apaun

yg ada di lahan, nggak tumbuh nanti. Tapi sekarang

cuaca sudah tidak bisa diprediksi lagi. Biasanya

bulan 12-2 itu musim hujan, masuk bulan 3-4

masih mengurangi, 6 bulan positif kemarau, kalau

sekrang sudah nggak bisa. Bulan 6-7 hujan terus.

Sekarang ini bisa merasakan perubahan iklim

(Skw, Mei 2014).

Kalau kata bahasa kampus, CO2 di udara itu tebal.

CO2 yang turun ke bumi, naik ke atas lalu kembali

lagi. Kalau siang itu wajar panasnya seperti itu,

wong ada matahari, lha kalau malem panas nya

apa, matahari aja nggak ada. Tapi panas sekali,

pakai baju aja nggak betah. (Skw, Mei 2014)

Pelatihan-pelatihan itu sebenernya memberi

manfaat buat kita, misalnya kita bisa tahu gimana

caranya budidaya, manfaat hutan lebih banyak

(Skw, Mei 2014)

Pengetahuan

mengenai manfaat

hutan

4 Innovation (Inovasi)

a. Inovasi Budidaya Tanaman

Sebenernya penanaman sengon laut itu sudah sejak

10 tahun yang lalu, Cuma baru serentak dan

banyak yang mulai nanem lagi ya setelah adanya

REDD+ itu (Skw, Mei 2014)

Sengon laut itu ada oksigennya, sekarang itu

sengon jadi tanaman pokok. (Skw, Mei 2014)

Inisiatif untuk

menanam seNGOn

laut yang timbul

setelah adanya

REDD+ - selain

bernilai ekonomis,

serapan karbonnya

juga tinggi

Page 198: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Nanem panen, nanem lagi, panen nanti kayunya

dijual.nanem lagi, 3 tahun sudah bisa panen.

Sebelumnya tidak ada yang nanem sengon laut dan

jabon. Kalau sekarang kan kita sudah tahu, selain

menambah oksigen, menambah karbon, dan

menambah pendapatan. Tebang kayu, kayunya

dijual laku. Jadi kesinambungannya ada (Skw, Mei

2014)

Tanaman yang banyak serapan karbonnya itu

trembesi. Pohonnya rindang sekali. Saya nanem

itu. (Prm, Mei 2014)

b. Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan

Waktu itu saya ikut pelatihan budidaya jamur tiram

di Malang, dan saya juga sudah praktek di rumah

sampai sekarang . Lumayan hasilnya buat tambah

tambah penghasilan, selain di rehab (Prm, Mei

2014).

Budidaya jamur tiram bantuan dari TN itu kan

tujuannya uspaya bisa menambah pendapaatan.

Contohnya sehari saya dapat sepuluh ribu, 5 ribu

dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan artinya

nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa

mengurangi sekian persennya ketergantungan trhdp

hutan (Skw, Mei 2014)

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a. Transparency (Transparansi)

Kalau sekarang enggak, sudah ada lahan rehab,

pihak TN sudah merestui bahwa masyarakat boleh

beraktivitas di wilayah TN tetapi harus ada

kesepakatan konkrit, diantaranya masyarakat boleh

menanam palawija, tapi TN minta masyarakat

mematuhi aturan TN yang menyebutkan bahwa

masyarakat harus mengembalikan lahan hutan yang

sudah gundul dgn menanam tanaman tegakan/keras

supaya lahan rehab bisa dihutankan kembali. (Skw,

Mei 2014)

b. Collaboration (Kerjasama)

Jadi sekarang itu hubungan TN dan masyarakat itu

bisa dikatakan sinergi, masyarakat beribu kali

mengucapkan terima kasih ke pihak TN. Jadi pihak

TN tidak ragu-ragu untuk bermitra dengan

masyarakat penyangga Skw, Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Ada lembaga Jaketresi disini bentukan KAIL sama

SPKP bentukan TN. Orang-orangnya sama yang

mengelola, jadi nggak susah untuk koordinasi. Itu

lembaga yang untuk masalah-masalah hutan. ada

lagi Pamswakarsa, sekarang namanya MMP

(Masyarakat Mitra Polhut). Kelembagaan ini

melibatkan masyarakat terpilih, khususnya yang

peduli. (Prm, Mei 2014).

Bentukan

pemerintah dan

LSM

2 Alternatif Mata Pencaharian

Saya mencoba budidaya jamur tiram. Lahan di

rehab kan nggak bisa ditungguin terus. Ada

musmnya (Prm, Mei 2014).

Kalau nggak boleh manen kayu, lahan saya saya

kasi taneman buah. Sirsak, Alpukat. Buahnya bisa

Page 199: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

diambil, nanti dijual (Skw, Mei 2014)

3 Upaya pendampingan untuk menyadarkan komunitas lokal

Dari pelatihan KAIL, kita kan disuru mengawasi

tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya itu

kita jaga bersama-sama kelompok (Skw, Mei

2014).

PETANI REHABILITASI (yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+)

DESA CURAHNONGKO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Sumber Mata Pencaharian

Saya pribadi itu tergantung sekali sama hutan,

hampir tiap hari keluar masuk hutan cari bambu.

Saya kan dulu membuat gedek. Tapi sejak ada

lahan rehab, saya nggak ke hutan lagi, Cuma di

lahan rehab saja (Sri, Mei 2014).

Dulu sebelum 97/98 masyarakat itu takut mau

masuk hutan, lalu ada kejadian perambahan besar-

besaran tahun 97/98 itu, pas jamannya Gus Dur,

hutan jadi milik perhutani itu gundul. Lalu diambil

alih sama TN, dijadikan lahan rehabilitasi. Kesini-

sini malah banyak illegal logging walaupun ada

lahan rehab (Pai, Mei 2014).

2 Alternatif Sumber Mata Pencaharian

Adanya rehab itu lebih banyak kemajuan.

Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita

mencari kayu, sekarang kan nggak perlu lagi.

Adanya lahan rehab sudah bisa menambah

penghasilan, kita tidak perlu merambah hutan (Pai,

Mei 2014)

B Pemahaman terhadap REDD

1 Pelestarian Hutan

kalau kata Pak Parman yang pernah ikut kegiatan

itu ( DA REDD+), yang saya ingat ya tentang

usaha melestarikan hutan, utamanya di lahan rehab.

Kita disuru menjaga taneman pokok, jangan ada

yang ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet

disulam (Sri, Mei 2014)

REDD+ itu kayak penghijauan, buat melestarikan

hutan yang gundul di lahan rehab utamanya (Pai,

Mei 2014).

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Social capital

Curahnongko itu orangnya kompak mbak dari

dulu, kalau ada acara kumpul kumpul kita selalu

Page 200: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

kompak dateng. Sampai sekarang itu. Disitu nanti

ada omong-omong dari ketua kelompoknya, kalau

habis ikut pelatihan, ya disampaikanlah disitu (Sri,

Mei 2014)

b Natural capital

Hutan meru betiri itu kan kaya sekali, banyak hasil

hutannya mulai dari kayu kayuan, bambu, taneman

obat macem-macem, bunga itu mbak yang besar

(rafflesia), madu, macem-macem burung, harimau

jawa (Sri, Mei 2014)

Adanya rehab itu lebih banyak kemajuan.

Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita

mencari kayu, sekarang kan nggak perlu lagi.

Adanya lahan rehab sudah bisa menambah

penghasilan (Sri, Mei 2014)

Bersifat Positif

Kalau dulu, lahan rehabilitasi itu hasilnya lumayan

Mbak, tapi kalau sekarang ya hasilnya nggak

terlalu bagus. Tanahnya kurang subur, pohonnya

juga sudah besar-besar. Hasilnya yang diandalkan

ya dari peje, empon-empon itu, apalgi sekarang

sudah mangsa ketiga (musim kemarau) (Pai, Mei

2014)

Bersifat Negatif

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

ada mbak disini, ada Jaketresi – ketuanya Pak

Parman, ada SPKP juga. Kalau jaketresi itu

bentukan KAIL, kalau SPKP itu bentukan TN (Sri,

Mei 2014).

NGO KAIL juga ada, kita dibina. Yang sering ikut

juga Pak Parman itu. Ada lahan 7 Ha di sana,

sekarang sudah bagus, sudah lebat, jadi hutan lagi

(Sri, Mei 2014)

Ada Jaketresi sama SPKP mbak, aktif kalau disini.

Pertemuan bulanan itu bisa dibilang rutin.

Walaupun kadang di lahan, pas kita lagi santai (Pai,

Mei 2014).

Kelembagaan di

tingkat lokal

masyarakat

bentukan NGO

KAIL dan TNMB,

serta peran NGO

besar di

Curahnongko

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Transferability pengetahuan

iya, itu sini ketua kelompoknya aktif. Selalu ikut

kalau ada pelatihan-pelatihan. Nanti hasilnya

diceritain ke yang lain (Pai, Mei 2014)

Penambahan

pengetahuan dari

ketua kelompok

tani

b Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh

kalau saya sendiri, saya jadi tahu yang namanya

fungsi hutan itu. Dulu saya nggak pernah mikir,

apalagi kepikiran, yang penting ya ambil saja, saya

bisa hidup, bisa makan dari hasil hutan. sekarang

saya sadar kalau hutan gundul itu jadi lebih panas.

Sekarang aja panasnya kayak gini (Sri, Mei 2014)

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi budidaya tanaman

Peje itu mbak tanaman rambat di hutan, tumbuhnya

ya gitu dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak,

menjalar kemana mana, bijinya kecil-kecil. Kalau

sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli.

Ini bentuk inovasi

yang didapat

sebelum ada

kegiatan DA

Page 201: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Tanemannya tahan panas, terus bisa itu mencegah

tanah longsor kalau pas hujan (Sri, Mei 2014)

dulu saya yang pertama kali nanem peje disini, lalu

hasilnya waktu dijual per kilo bisa sampai Rp

110.000 – Rp 150.000, lumayan mbak saya untung

waktu itu. Belum ada yang nanem juga, sekarang

sudah banyak yang ikut nanem. (Sri, Mei 2014)

saya juga lagi coba nanem sirsak, lumayan

buahnya bisa dijual. Kemarin alpukat, gagal. (Sri,

Mei 2014)

REDD+, tetapi

secara tidak

langsung inovasi ini

berdampak pada

upaya pelestarian

hutan – mencegah

tanah longsor, dan

menjaga kesuburan

tanah (peje) dan

alternatif tanaman

musim kemarau.

...dari empon-empon yang di lahan rehab itu ada

pembuatan jamu, kalau dulu disini ada. Tapi

sekarang Cuma di Andongrejo yang masih jalan

(Pai, Mei 2014)

Empon-empon

merupakan bahan

baku dari jamu

yang sudah

dikembangkan dari

dulu, tetapi setelah

adanya kegiatan

DA REDD+

pembuatan jamu

tradisional hanya

mampu optimal

berkembang di

Andongrejo

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi)

Kita dikasi lahan rehabilitasi dari TN, ini kan

artinya pemerintah sudah mau memberi kita

kesempatan untuk memanfaatkan lahan. Kita dikasi

lahan, dikasi bibit suru nanem, hasilnya buat kita,

TN nggak minta apa-apa lagi (Sri, Mei 2014).

Sebagian orang sini punya lahan di rehab, jadi

kepedualian orang sini juga tinggi untuk

mengikutsertakan masyarakat dikegiatan

penanaman TN, pemberian bibit dari TN (Pai, Mei

2014)

Regulasi

pemerintah terkait

upaya pelibatan

masyarakat dalam

pengelolaan hutan

konservasi

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

ada Jaketresi – ketuanya Pak Parman, ada SPKP

juga. Kalau jaketresi itu bentukan KAIL, kalau

SPKP itu bentukan TN. Fungsinya buat tukar

pikiran kalau kita lagi ada masalah di lahan. (Sri,

Mei 2014).

Ada Jaketresi sama SPKP mbak, aktif kalau disini.

Pertemuan bulanan itu bisa dibilang rutin.

Walaupun kadang di lahan, pas kita lagi santai (Pai,

Mei 2014).

2 Alternatif mata pencaharian

Peje itu mbak tanaman rambat di hutan, tumbuhnya

ya gitu dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak,

menjalar kemana mana, bijinya kecil-kecil. Kalau

Page 202: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli.

Tanemannya tahan panas, terus bisa itu mencegah

tanah longsor kalau pas hujan (Sri, Mei 2014)

dulu saya yang pertama kali nanem peje disini, lalu

hasilnya waktu dijual per kilo bisa sampai Rp

110.000 – Rp 150.000, lumayan mbak saya untung

waktu itu. Belum ada yang nanem juga, sekarang

sudah banyak yang ikut nanem. (Sri, Mei 2014)

saya juga lagi coba nanem sirsak, lumayan

buahnya bisa dijual. Kemarin alpukat, gagal. (Sri,

Mei 2014)

3 Menjaga Tanaman Pokok

Dari pelatihan KAIL, kita kan disuru mengawasi

tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya itu

kita jaga bersama-sama kelompok (Sri, Mei 2014).

Sadar Mbak, kalau kita menjaga hutan, usaha

melestarikan hutan, utamanya di lahan rehab. Kita

disuru menjaga taneman pokok, jangan ada yang

ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet disulam

(Sri, Mei 2014)

KELOMPOK WANITA

DESA CURAHNONGKO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Sumber Mata Pencaharian

Kalau dulu, hutan itu jadi andalan banget mbak,

kan banyak hasil hutan itu kayak madu, kayu

rambahan nanti bisa dijual, bambu untuk gedek.

Kalau sekarang kan sudah nggak boleh, sudah

dikasi lahan rehab sama TN. Dulu itu sering juga

ada illegal logging, tapi biasanya dari masyarakat

luar. Kalau orang sini aja butuhnya mungkin kayak

cuma bikin rumah, itupun seumur hidup sekali aja

(Sra, Mei 2014)

Masalahnya kan kita tinggal dipinggir hutan,

hubungan kita itu erat sekali. Hutan itu sumber

mata pencaharian kalau buat masyarakat sini. Tapi

bagaimanapun saja arahnya bagi yang peduli dgn

hutan akan cenderung menjaga hutan. kalau yang

nggak peduli ya masih nebangi hutan. Masyarakat

juga sebenarnya nanti akan rugi sendiri kalau

hutannay rusak (Syh, Mei 2014).

B Pemahaman terhadap REDD

1 Pelestarian Hutan

REDD+ itu yang saya tau dari kumpul-kumpul ya

tentang gimana kita melestarikan hutan gundul.

Kalau disini ya gimana kita menjaga tanaman

Page 203: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

pokok di rehab (Sra, Mei 2014).

REDD+ itu kayak pelestarian hutan Mbak. Saya

pernah ikut pelatihannya sama KAIL. Masyarakt

itu disuru menjaga hutan, pohon jangan ditebang

(Syh, Mei 2014).

2 Dampak Pemanasan Global

Dulu nggak sepanas ini, waktu perambahan besar

besaran, air itu kalau kemarau kering. Selain itu

kalau panas, pakai kipas angin saja itu nggak kerasa

(Sra, Mei 2014).

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Natural capital

orang sini itu kalau yang nggak punya sawah,

punya lahan di rehab. Tapi banyakan rehab sih

Mbak. Itu dulu di kasi TN tahun 1999 (Syh, Mei

2014)

b Social Capital

Kumpulan jamaah muslimatan itu rajin setiap

minggu, ibu-ibu disini kompak kalau ada pengajian

gitu. Banyak kelompoknya, biasanya selain

pengajian juga ada omong-omong pelestarian

hutan. Tapi ya gitu Mbak, susah kalau semua ibu-

ibu itu bisa mau terima yang disarankan. Kan

tergantung sama orangnya, niatnya apa sama hutan.

(Syh, Mei 2014)

c Human Capital

Susah kalau semua ibu-ibu itu bisa mau terima

yang disarankan. Kan tergantung sama orangnya,

niatnya apa sama hutan. (Syh, Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Persamaan hak (Peran Pemberdayaan Wanita)

Kelompok wanita sini kurang aktif, susah Mbak

kalau ngajak ibu-ibu itu. Ada bantuan juga belum

tentu mau, untungnya nggak seberapa bilangnya.

Yang jalan kegiatannya itu kebanyakan bapak-

bapak. Yang bagus sini itu kelompok tibakan ibu-

ibu, semacam kumpulan kelompok pengajian

mingguan (Sra, Mei 2014)

Ibu-ibu muslimatan itu diajakin pelatihan kegiatan

REDD+ sama KAIL, kelompok muslimatannya sini

itu banyak Mbak. Katanya biar ibu ibu juga bisa

ikut kegiatan melestarikan hutan (Syh, Mei 2014).

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Transferability Pengetahuan

Kalau untuk ibu-ibu sendiri saya menyarankan,

untuk mengingatkan bagi yang merambah hutan

mbok ya diingatkan bpknya, setelah bapaknya

diingatkan, bilangnya gini, katanya bu syahadat

nggak boleh menebangi hutan apa bu syahadat

ngasi makan kalo nggak boleh menebangi hutan?

(Syh, Mei 2014)

Page 204: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Pengajian tibakan itu ketuanya pernah

menyampaikan soal pelestarian hutan, ada ayat-

ayatnya juga di Al-Qur’an kan. Ibu ketuanya yang

nyampaikan. (Sra, Mei 2014)

b Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh

Banyak kegiatan yang diperkenalkan ke

masyarakat, penyuluhan juga, tapi ya gitu saya rasa

hutannya malah nggak bisa lestari. Masyarakat juga

susah dibilangin gitu itu (Syh, Mei 2014)

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi Budidaya tanaman

Tanah di lahan rehab itu nggak diolah, tapi

ditanami peje. Skrg ditanami nangka, pete,

kedawung, kemiri, pisang. Nanti setelah hasil dari

peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami

lainnya (Syh, Mei 2014)

Lahan saya sekarang ditanami peje, mau musim

kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas cuma

peje (Sra, Mei 2014)

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi)

“Itu (lahan rehabilitasi) dulu di kasi TN tahun

1999. Dikasi gratis, biar masyarakat nggak

menjarah hutan lagi, tapi sampai sekarang masih

ada aja yang merambah hutan (Syh, Mei 2014)

b Collaboration (Kerjasama)

“Pamswakarsa, sekarang jadi MMP itu kan

bentukan resort, biar masyarakat ikut menjaga

hutan. ada perwakilan dari tiap desa, setiap resort

ada kalau nggak salah itu. (Sra, Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Resortnya itu kurang mengawasi dan tegas

sepertinya. Lha itu buktinya masih ada yang nebang

kayu. Kalau siang-siang itu kedengeran senso dari

sana (Syh, Mei 2014)

“Pamswakarsa, sekarang jadi MMP itu kan

bentukan resort, biar masyarakat ikut menjaga

hutan. ada perwakilan dari tiap desa, setiap resort

ada kalau nggak salah itu. (Sra, Mei 2014)

2 Alternatif Pengelolaan Lahan Rehabilitasi

Tanah di lahan rehab itu nggak diolah, tapi

ditanami peje. Sekarangg ditanami nangka, pete,

kedawung, kemiri, pisang. Nanti setelah hasil dari

peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami

lainnya (Syh, Mei 2014)

Lahan saya sekarang ditanami peje, mau musim

kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas cuma

peje (Sra, Mei 2014)

Hutan bisa hijau lah, warga itu sadar untuk tidak

merambah hutan, kalau mau ambil hasil hutan ya

nggak usah nebang kayunya lah. Biar aja pohonnya

Page 205: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

tetap hidup. Di lahan saya sendiri, saya tanami

pisang, nangka, jahe merah, peje, empon-empon.

Yang penting saya jaga punya saya dulu (Syh, Mei

2014)

3 Menjaga Tanaman Pokok

Nanti kalau kita nebang pohon, takutnya dibawa

resort. Jadi ya kita jaga pohonnya jangan sampe ada

yang mati atau rusak (Sra, Mei 2014)

TOKOH MASYARAKAT

DESA CURAHNONGKO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Pelestarian hutan

Hutan lestari masy sejahtera. Hutan lestari bisa

digambarakan bagus jika tidak ada kontaminasi

tangan tangan jahil. Tapi ukuran masy sejahtera

saya masih belum bisa memahami secara benar.

Hutan tidak rusak, tetapi masy bisa mengambil

hasil hutan tanpa merusak hutan itu sendiri. Contoh

masy bisa mengambil madu, mengambil hasil buah

di hutan tapi ini tentu saja tanpa merusak hutan.

(Abh, Mei 2014)

Saya punya kriteria sendiri ttg makna sejahtera.

Kalau menurut saya, ukuran sejahtera menurut saya

bisa makan 4 sehat syukur bisa 5 sempurna. Kalau

masy sini saya kira sdh masuk sejahtera, rata rata

mereka punya kendaraan sendiri, (Abh, Mei 2014)

2 Manfaat hutan

Sebelum 2010, masyarakat sendiri sudah memiliki

tanggungjwb penuh dan merasa menjadi bagian

dari hutan, melestarikan secara bersama. Hutan

sebagai tata guna air, penghasil oksigen, dan

mendukung sumber penghidupan lainnya bagi

masyarakat shg mereka juga turut menjaga

hutannya. (Abh, Mei 2014)

3 Sumber mata pencaharian

Masyarakat sangat besar sekali ketergantungannya

dgn hutan. penghasilan masyarakat dari hutan yg

tanpa meruska hutan. ini kan di lahan rehab. Orang

yang tidak bisnis, akan memanfaatkan hasil lahan

rehab. Tapi kalau masyarakat yg bisnis, cenderung

melakukan pembalakan. (Srs, Mei 2014)

Sebelum 2010, adaptasi masy thdp hutan lebih

baik. Masyarakat lbh bertanggungjwb, penghasilan

mrk dgn hutan menjadi sesuatu yg cukup bagus.

Terlepas dari bantuan dr TN maupun kail.

Tetapi setelah 2010 ke atas, kondisinya tidak

sebaik sekarang. (Abh, Mei 2014)

Bentuk adapatasi

masyarakat

Page 206: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Pemahaman masy lebih bagus sekarang, misalnya

penyuluhan lebih ditingkatkan untuk

mensosialisakan pelestarian hutan. seminggu bisa

beberapa kali, jika dibanding dulu. Upaya

penyadaran ini akan mempengaruhi pola masy scr

tidak langsung dalam upaya pelestarian hutan.

(Abh, Mei 2014)

Akan menciptakan

pola adaptasi bagi

masyarakat

B Pemahaman terhadap REDD

1 Peran masyarakat dalam REDD+

Mekanisme REDD itu tidak mudah untuk

diterapkan. Perlu banyak kajian-kajian lagi (Abh,

Mei 2014)

Mekanisme penerapan REDD di masy perlu

penataan yang baik. Hal ini terkait dengan

keberadaan masy juga, bagaimana upaya mereka

untuk menjaga pohon yang ada. Bagaimana

menyelamtkan kawasan. Kalau masy hanya

sekedar tahu bgmn REDD itu seperti apa, ada nilai

karbonnya. Masy jg harus tahu brp kandungan

karbon yang ada dari setiap pohon yg mereka

tanam, berapa nilai jualnya, apa yang akan

diperoleh oleh masy dr menjaga pohonnya itu

(Abh, Mei 2014).

2 Benefit sharing

Tetapi ketika kita bicara soal nominal karbon, perlu

kajian lebih mendalam. Kalau tidak dikhawatrikan

ada kerajaan dalam kerajaan. Bagaimana benefit

sharing dari penjualan karbon, dimana posisi TN

mendapat titah langsung dari pusat, tetapi seacara

geografis wil TNMB berada di kab jember lalu apa

yg akan diperoleh pem kab sendiri (Abh, Mei

2014).

3 Pelestarian hutan

Selama ini ada pelatihan mengenai REDD tetapi

masy blm dipahamkan dgn mekanisme nilai jual

karbon dalam skema REDD (Abh, Mei 2014).

Masyarakat diminta sumbangsih untuk

melestarikan hutan,ini sudah ada sejak dulu dimana

notabene masy wajib menjaga hutannya. Masy

belum paham betul mengenai mekanisme REDD+

dan karbon, yang mereka pahami hanya sebatas

menjaga hutan. (Abh, Mei 2014)

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Financial capital

Kalau dari segi ekonomi nampaknya belum bisa

dikatakan baik, karena hanya sebagian kecil saja

yang menerima dampak dari kegiatan ekonomi

(budidaya jamur), kecuali nanti sudah ada

mekanisme pembagian kredit karbon dari

penerapan REDD+. Mungkin masyarakat bisa

merasakan dampak dari segi ekonominya.

Budidaya jamur yang ada itu hanya beberapa orang

saja, bukan kelompok disini yang saya lihat (Abh,

Mei 2014).

Page 207: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

untuk empon empon itu sudah ada sejak dahulu,

tetapi sejak adanya REDD+ ada peningkatan

pemahaman, dan ada intensitas penambahan

kegiatan dari budidaya empon-empon itu sendiri.

(Abh, Mei 2014).

b Natural capital

beberapa petani punya lahan di rehabilitasi dan itu

sudah diakui oleh pihak TN dan itu bersertifikat.

Tapi bukan sertifikat hak milik, Cuma untuk

mengetahui ibaratnya siapa yang

bertanggungjawab atas lahan itu (Srs, Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan kelembagaan

Masy melaporkan jika ada sesuatu masalah di

hutan, itu bagian dari bentuk keterlibatan masy dan

kepedulian masy untuk menjaga hutan (Abh, Mei

2014).

Disini dibentuk MMP (Masyarakat Mitra Polhut) ,

yang dlibatkan itu petani rehabilitasi yang peduli

dengan hutan. tugasnya ikut menjaga hutan, kalau

ada pencurian kayu atau penebangan pohon,

mereka nanti lapor ke resort. Kan nggak mungkin

mengandalkan cuma beberapa orang resort,

sementara hutannya luas sekali (Srs, Mei 2014)

Curahnongko ini didampingi oleh KAIL (NGO

lokal) untuk kegiatan pemberdayaan sejak dulu

hingga sekarang waktu REDD+ berlangsung.

Karena disini dijadikan percontohan kegiatan,

kalau sukses nanti bisa di diterapkan ke desa lain

(Abh, Mei 2014)

Ada pembentukan

MMP walaupun

dulu juga sudah

ada, tetapi ada

upaya penguatan

fungsi kelembagaan

Pendampingan

NGO

b Persamaan hak (Peran Pemberdayaan Perempuan)

REDD dgn melibatkan ibu-ibu yg tergabung dalam

jamaah tibakan, diharapkan nanti mereka akan

menyampaikan kepada kelompok ibu ibu lainnya

yang terlibat dalam pengajian itu. Ibu2 yg kita ajak

waktu itu cukup memiliki peran penting dalam

kelompok, dan disegani oleh masy (Abh, Mei

2014).

Hanya orang tertentu, artinya tidak semua masy

disini dilibatkan. Untuk kriterianya tidak ada, tetapi

umumnya kelompok yg memiliki lahan di

rehabilitasi, tetapi juga kelompok muslimatan ibu-

ibu (ketua kelompok). Ibu-ibu juga terlibat dalam

kegiatan di lahan rehab (Abh, Mei 2014).

Keterlibatan

perempuan dan

petani rehabilitasi

khususnya

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh

Adanya REDD memberi tambahan pengetahuan

bagi masyarakat sekitar khususnya terkait

pemahaman dan perilaku untuk menjaga dan

melestarikan hutan walaupun sebenarnya dari dulu

kesadaran masyarakat sudah ada. Tidak semua

orang bisa dibilang baik, kalau dalam konteks ini

Tambahan

pengetahuan dan

pemahaman

akan berkorelasi

dengan tingkat

kesadaran

Page 208: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

setelah masy mengenal hutan. masy bisa dibilang

sudah 70-80% sdh sadar unuk melestarikan hutan

(Abh, Mei 2014).

Dengan adanya rehabilitasi masyarakat sudah sadar

tentang pelestarian hutan kembali. Cuman kadang

ada beberapa warga yang masih melakukan illegal

logging (Srs, Mei 2014)

b Transferability Pengetahuan

Selama ini ada pelatihan mengenai REDD+ (Srs,

Mei 2014).

Pemahaman masy lebih bagus sekarang, misalnya

penyuluhan lebih ditingkatkan untuk

mensosialisakan pelestarian hutan. seminggu bisa

beberapa kali, jika dibanding dulu. Upaya

penyadaran ini akan mempengaruhi pola masy scr

tidak langsung dalam upaya pelestarian hutan.

(Abh, Mei 2014)

Penyuluhan

dilakukan tidak

hanya ketika ada

REDD, namun dari

pihak TN juga ada

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi budidaya tanaman

Masyarakat menginovasi – secara bersama mrk

menanam peje, harga jualnya mahal. Setelah

ditanam peje, akan menambah kesuburan ke tanah,

soalnya tanahnya jadi gembur, humusnya tinggi

(Abh, Mei 2014).

Inovasi tanaman

peje untuk

mencegah longsor

dan kesuburan

tanah

b Inovasi untuk meningkatkan pendapatan

Kelompok ibu ibu di curahnongko tidak terlalu

aktif, karena pengurusnya sudah pindah. Kalau

dulu sempat aktif, tapi sudah lama nggak aktif lagi.

Bu ekonya pindah ke ambulu, jadinya nggak ada

lagi. (Srs, Mei 2014)

Budidaya jamur dikelola oleh kelompok tani, tetapi

sepertinya tidak berjalan cukup baik. Karena

kelompok petaninya juga susah, biasanya yg gerak

cuma yg punya lahan hutan saja (Srs, Mei 2014).

Kalau tidak ada

penggerak,

masyarakatnya

agak susah untuk

memotivasi diri

sendiri

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi) Dengan adanya REDD, intensitas penegakan

hukumnya lebih baik, tetapi tidak semua hal tidak

boleh, tetapi boleh tetapi lebih memperhatikan

konsep konservasi itu sendiri (Abh, Mei 2014).

Adanya MoU

antara masyaraakt

dan pemerintah -

Eksistensi

masyarakat di

lahan rehabilitasi

diakui oleh TN

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan Disini dibentuk MMP (Masyarakat Mitra Polhut) ,

yang dlibatkan itu petani rehabilitasi yang peduli

dengan hutan. tugasnya ikut menjaga hutan, kalau

ada pencurian kayu atau penebangan pohon,

mereka nanti lapor ke resort. Kan nggak mungkin

mengandalkan cuma beberapa orang resort,

sementara hutannya luas sekali (Srs, Mei 2014)

Curahnongko ini didampingi oleh KAIL (NGO

Page 209: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

lokal) untuk kegiatan pemberdayaan sejak dulu

hingga sekarang waktu REDD+ berlangsung.

Karena disini dijadikan percontohan kegiatan,

kalau sukses nanti bisa di diterapkan ke desa lain

(Abh, Mei 2014)

2 Alternatif Pengelolaan lahan rehabilitasi

Masyarakat menginovasi – secara bersama mereka

menanam peje, harga jualnya mahal. Setelah

ditanam peje, akan menambah kesuburan ke tanah,

soalnya tanahnya jadi gembur, humusnya tinggi

(Abh, Mei 2014)

3 Upaya pendampingan untuk menyadarkan komunitas lokal

Pendampingan dari luar itu kan diupayakan untuk

meningkatkankesadaran masyarakat supaya ikut

menjaga hutan. ada masyarakat yang nurut, tapi ya

juga ada yang nggak nurut. Kalau yang masih

nebang itu kan dia pasti punya kepentingan lain

(Abh, Mei 2014)

Page 210: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

B. DESA ANDONGREJO

PETANI REHABILITASI (yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+)

DESA ANDONGREJO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Pelestarian hutan

Hutan itu sumber kehidupan baik untuk

manusianya, untuk keenakeragaman hayati, visi

dari meru betiri itu kan hutan lestari masyarakat

sejahtera (Sjt, Mei 2014)

Hutan sebagai

sumber kehidupan

yang harus tetap

dijaga

kelestariannya,

ketersediaan lahan

persawahan yang

sedikit tidak bisa

mencukupi

kebutuhan seluruh

penduduk jadi

salah satu sumber

mata pencaharian

andalan dari hutan

2 Sumber mata pencaharian

Letak geografis disini itu, jumlah penduduk dgn

lahan pertaniannya nggak imbang, jadi sangat

tergantung sekali dengan hutan, dalam artian tidak

merusak hutan (Skr, Mei 2014)

Kalau masalah illegal logging itu bukan urusan

perut lapar, tapi keserakahan orang-orang yang

tidak bertanggungjawab. Bukan urusan perut lapar

lalu nebang kayu itu endak (Sjt, Mei 2014)

Di wilayah desa penyangga besar sekali,

kehidupannya sangat menggantungkan terhadap

hasil hutan. dalam artian tidak merusak hutan (Skr,

Mei 2014)

3 Alternatif Sumber mata pencaharian

kalau sekarang sudah agak berkurang hubungannya

dengan hutan, kan kita sudah dikasi lahan

rehabilitasi mbak. Jadi ya nggak ke hutan lagi (Sjt,

Mei 2014)

Interaksi dengan

hutan berkurang

sejak ada lahan

rehabilitasi

B Pemahaman terhadap REDD

1 Upaya Pelestarian Hutan

REDD+ itu penanaman kembali dan melestarikan

hutan lagi, setelah hutan itu ada tegakannya dan

menghasilkan oksigen (Sjt, Mei 2014) .

Saya sangat setuju dgn REDD+, sekarang

katakanlah suhu yang dekat hutan aja seperti ini,

apalagi yg di kota seperti apa. Jam sekian sudah

panas seperti ini, (Sjt, Mei 2014).

Pemahaman

REDD+

dikelompokkan

menjadi 2 yaitu

tentang konsep

pelestarian hutan

dan dampak

perubahan suhu

yang dirasakan

Page 211: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

REDD+ itu kalau yang saya tau tentang

penghijauan, biar hutan kembali hijau selebihnya

saya nggak tau (Skr, Mei 2014)

2 Emisi yang dikeluarkan oleh hutan

Kalau dari temen-temen yang sudah ikut REDD+,

seperti membakar hutan itu mengeluarkan emisi

dan mengeluarkan racun. Pengetahuan saya seperti

itu. Degradasi kan mengeluarkan emisi termasuk

mengeluarkan racun, kalau menanam kan kita

mendapat karbon dan mengeluarkan oksigen.

Seperti membakar hutan itu nanti mengeluarkan

racun ke udara. (Sjt, Mei 2014)

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Natural capital

Adanya lahan rehab itu taraf kehidupan sekitar

desa penyangga itu sudah sejahtera. Tidak terlalu

bergantung sama hutan. bibitnya juga dikasi TN,

hasilnya kita yang ngambil. Kita nggak keluar apa-

apa, tapi terima hasilnya (Sjt, Mei 2014)

...saya juga punya lahan di rehab, tapi kalau cuma

mengandalkan rehab ya nggak bisa, rehab itu

Cuma bisa hasil kalau lagi musim hujan, kalau

kemarau itu nggak terlalu bagus (Skr, Mei 2014)

b Social capital

Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif (Skr,

Mei 2014)

SPKP nggak jalan, pengurusnya itu sudah nggak

terlalu minat buat ngurusi kegiatan yang nggak ada

penghasilannya (Sjt, Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Andongrejo, dari KAIL ada permataresi, kalau dari

TN-SPKP nya jalan di tempat, pengurusnya

kehidupannya sudah di atas rata rata jadi untuk

usaha seperti ini kurang peduli (Skr, Mei 2014).

Pamswakarsa yang dari resort itu juga tugasnya

ngawasi hutan, patroli. (Skr, Mei 2014).

Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif, kalau

nggak ada undangan dari KAIL atau TN nggak

akan ada acara kumpul-kumpul (Sjt, Mei 2014).

SPKP juga nggak jalan, pengurusnya itu sudah

nggak terlalu minat buat ngurusi kegiatan yang

nggak ada penghasilannya. Kan dia bisa dikatakan

ekonominya diatas rata-rata, jadi ya nggak terlalu

peduli, susah digerakinnya (Sjt, Mei 2014)

Kelembagaan di

tingkat masyarakat

lokal kurang bagus

dan orientasinya

pada kegiatan yang

bersifat

memberikan

materi, inisiatif dari

pribadi warga

masih kurang

b Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Perempuan)

yang jalan disini itu, pengolahan jamu tradisional

Mbak. Jamu Sumber Waras, ketuanya Ibu Katemi.

TOGA -.

Upaya untuk

Page 212: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

(Sjt, Mei 2014)

ibu-ibu kelompok Jamu Sumber Waras Mbak, itu

bahan-bahannya bisa ambil dari lahan rehab.

Sampai sekarang masih ada (Skr, Mei 2014)

mengajak peran

wanita untuk peduli

dengan hutan dan

konservasi.

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Transferability Pengetahuan

Saya itu tau info-info kalau pas lagi kumpul-

kumpul sama petani petani, baik yang dari

Andongrejo maupun Curahnongko (Sjt, Mei 2014)

Saya tau dari ketua kelompok, kalau yang sering

ikut kegiatan itu kan ketua kelompok (Skr, Mei

2014).

b Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh

..jadi kita nggak boleh nebang pohon yang ada di

dalam hutan sembarangan, termasuk di rehab.

Karena hutan itu harus kita jaga biar lestari, tetap

hijau, lingkungan nggak panas (Skr, Mei 2014)

sebenernya kalau dikatakan sadar, ya sadar

masyarakat sini Mbak. Tapi kan nggak semuanya

sadar buat nanem menjaga pohon, itu tergantung

orangnya. Sebelum REDD+ juga sudah sadar (Sjt,

Mei 2014)

Lahan di Andongrejo ini nggak semuanya hijau,

masih ada aja yang gundul. Walaupun ada

REDD+. Kan nggak semua masyarakat setuju

kalau hutannya penuh lagi, jadi rimbun, susah

ditanami yang dibawahnya (Sjt, Mei 2014)

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi Budidaya tanaman

Saya pribadi menyadari kalau di lahan rehab ada

tanaman yang mati/rusak biasanya saya sulam.

Bibitnya ya nanti saya sendiri, swadayalah Mbak.

(Sjt, Mei 2014).

Lahan rehab juga saya tanami peje sama empon-

empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per

kilonya mahal Mbak, kalau empon-empon itu kan

bisa dijual juga ke tengkulak (Sjt, Mei 2014).

Nyulam lahan rehab itu swadaya mbak, masing-

masing petani, tapi kalau ada bantuan bibit dari

TN juga disulam lagi (Skr, Mei 2014)

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparancy (Transparansi)

Dengan adanya lahan rehab ini, pihak TN

merespon kebutuhan masyarakat boleh ditanami

tumpangsari, dengan catatan mengembalikan lagi

hutan yang gundul itu dengan ditanami tanaman

pokok. Itu kewajiban, sementara tanamannnya

belum tegak, masyarakat boleh menanami dgn

Page 213: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

tanaman tumpangsari, agar masyarakat juga bisa

menikmati hasil dari hutan utnuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-harinya (Sjt, Mei 2014)

b Collaboration (Kerjasama)

Anggota masyarakat sini juga ada yang jadi

petugas di resort, ikut bantu-bantu kalau patroli.

Kan petugas resort itu nggak cukup kalau ngawasi

hutan seluas ini (Sjt, Mei 2014)

Ada Mbak, Pamswakarsa itu, 2 orang kalau nggak

salah dari Andongrejo, dari Curahnongko juga ada

2 orang. Mereka ikut patroli ke lahan biasanya

(Skr, Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Andongrejo, dari KAIL ada permataresi, kalau dari

TN-SPKP nya jalan di tempat, pengurusnya

kehidupannya sudah di atas rata rata jadi untuk

usaha seperti ini kurang peduli (Sukarto, 2014).

Pamswakarsa yang dari resort itu juga tugasnya

ngawasi hutan, patroli. (Skr, Mei 2014).

Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif, kalau

nggak ada undangan dari KAIL atau TN nggak

akan ada acara kumpul-kumpul (Sjt, Mei 2014).

SPKP juga nggak jalan, pengurusnya itu sudah

nggak terlalu minat buat ngurusi kegiatan yang

nggak ada penghasilannya. Kan dia bisa dikatakan

ekonominya diatas rata-rata, jadi ya nggak terlalu

peduli, susah digerakinnya (Sjt, Mei 2014)

2 Alternatif Pengelolaan Lahan rehabilitasi

Saya pribadi menyadari kalau di lahan rehab ada

tanaman yang mati/rusak biasanya saya sulam.

Bibitnya ya nanti saya sendiri, swadayalah Mbak.

(Sjt, Mei 2014).

Nyulam lahan rehab itu swadaya mbak, masing-

masing petani, tapi kalau ada bantuan bibit dari

TN juga disulam lagi (Skr, Mei 2014)

3 Alternatif mata pencaharian

Lahan rehab juga saya tanami peje sama empon-

empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per

kilonya mahal Mbak, kalau empon-empon itu kan

bisa dijual juga ke tengkulak (Sjt, Mei 2014).

4 Upaya menjaga hutan

Seperti membakar sampah di hutan itu nanti

mengeluarkan racun ke udara. Jadi saya nggak

pernah membakar lagi. (Sjt, Mei 2014)

Page 214: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

KELOMPOK WANITA

DESA ANDONGREJO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Sumber Mata Pencaharian

Kalau masyarakat sini sudah jarang yang masuk

hutan ambil ambil hasil gitu, banyaknya

masyarakat bukan dari sini. Kalau masyarakat sini

sudah cukup dari lahan rehab aja (Ktm, Mei 2014)

Hutan itu penting buat masyarakat sini, apalagi

saperti saya ini yang juga budidaya empon-empon,

nanemnya kan di hutan, ngambilnya juga dari

hutan, kalau hutan gundul, tanemannya mati (Mn,

Mei 2014)

Orang-orang itu masih sering cari nafkah di hutan,

sebenernya nggak boleh, tapi Cuma cari rumput,

ramban, tapi ada juga yang nebang pohon (Msr,

Mei 2014)

B Pemahaman terhadap REDD

1 Pelestarian Hutan

Yang diajarkan bagaimna cara melestraikan hutan

kembali. Tanaman boleh ditebang tapi harus

ditanami lagi, kalau enggak nanti es di kutub utara

bisa meleleh karena hutan gundul.jadi kita juga

ikut menjaga, antisipasi dengan hutan jangan

dibiarkan (Ktm, Mei 2014).

upaya melestarikan hutan, utamanya yang disuru

itu di lahan rehabilitasi. Dulu kan rusak, sekarang

sudah agak lumayan (Mn, Mei 2014)

kalau Ngomong ke masyarakat itu saya biasanya

bukan REDD+, tapi gimana melestarikan hutan

(Ktm, Mei 2014)

Pelestarian hutan, ya ikut menjaga hutan. Pohon di

rehab itu dijaga, taneman pokoknya jangan

ditebang (Msr, Mei 2014)

2 Pemanasan Global

Semua merasakan hawa panas nggak karuan,

karena hutan gundul. (Ktm, Mei 2014)

Dulu aja sungai itu mengalirnya terus berangsur,

tapi sekarang enggak. Besar besar tapi kalau habis

ya habis. Tapi sekarang enggak ada seperti dulu

waktu pertama di rehab hutan itu gundul. (Ktm,

Mei 2014)

Page 215: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Hutan perlu dijaga biar nggak banjir yang

disekitarnya. Kemarin setahun itu banjir berapa

kali disini dari atas hutan itu. (Mn, Mei 2014).

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Social capital

Dibentuk kelompok untuk pembuatan jamu, untuk

mempermudah koordinasi. Kelompok itu dipilih

yang berdekatan. Setiap kelompok punya tugas

membuat jamu yang beda-beda, tapi itu nanti

bergilir (Ktm, Mei 2014)

– terbentuk sejak

tahun 1993 dengan

dampingan LATIN,

dan saat kegiatan

REDD+ kelompok ini

dianggap memiliki

pengaruh dalam upaya

rehabilitasi lahan juga

khususnya budidaya

empon-empon

b Human capital Kalau dari kelompok TOGA itu semangatnya

tinggi untuk menjaga hutan, soalnya kalau

hutannya gundul TOGA ikut merasakan. Kita itu

semangat soalnya bisa menyembuhkan orang sakit,

walaupun nggak bisa langsung sembuh (Mn, Mei

2014)

c Natural Capital Lahan rehabilitasi yang sudah tidak subur sekarang

ini ditanami empon-empon, peje. Hasilnya

lumayan untuk bahan ramuan jamu dari kelompok

TOGA (Ktm, Mei 2014)

Adanya lahan rehabilitasi dapat membantu

perekonomian keluarganya, walaupun penebangan

kayu masih tinggi tapi tidak separah dahulu

sewaktu tahun 97/98. Sekarang sudah banyak yang

ditanami tanaman pokok yang diwajibkan TN.

(Msr, Mei 2014).

d Financial Capital

Kalau dari kelompok TOGA penambahan

bertambah, di lahan rehab ditanami jamu jamuan,

diolah dijual dan kluarnya ya mahal.( Mn, Mei

2014)

Pendapatan meningkat walaupun tidak langsung,

secara bertahap, karena kesadaran petani untuk

menanami pohon (tanaman pokok) dan peje

misalnya. Tanaman dibawahnya jadi subur. Yang

dibawah kan saya tanami empon-empon. (Ktm,

Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Kelompok Jamu Sumber Waras, itu bentukan

LATIN sejak tahun 1993 – 1997, kemudian

dilepas, untuk memberdayakan ibu-ibu. Sudah

terbentuk lama, tapi sekarang masih ada dan masih

didampingi. Ibu ibu kelompok Sumber Waras juga

sering diundang sebagai nara sumber di beberapa

kota misalnya NTT, Kuningan, Ujung Kulon,

Bogor, atau ada pameran kadang dari desa

Andongrejo juga diundang. (Ktm, Mei 2014)

Kelembagaan –

terbentuk

kelompok TOGA

Persamaan hak -

Pemberdayaan

perempuan

Page 216: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Kelompok jamu Sumber Waras itu satu-satunya

yang masih ada di Andongrejo, di Curahnongko

sudah nggak ada (Mn, Mei 2014).

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh

...Kalau hutannya gundul, TOGA juga ikut

merasakan. Soalnya tanah juga nggak subur lagi,

terlalu panas. Kalau dulu hutan itu belum gundul,

nanem apa saja bisa tumbuh, tapi kalau hutan

gundul susah (Mn, Mei 2014).

Hutan gundul perlu dilestarikan, karena jika hutan

gundul akan menimpa ke manusianya juga, jadi

TOGA akan ikut prihatin kalu hutannya gundul.

Jadi juga semangat untuk mengembalikan

kelestarian hutan (Ktm, Mei 2014).

Orang orang semangat mau nanam, berarti kan dia

juga diberi kesadaran dan merasakan buktinya

mereka mau nanem pohon. Kalau dibiarkan hutan

tanaman habis, bagaimana nanti yang diandalkan

oleh orang sini Kalo nggak mau nanem. Petani

kelompok rehab tidak merasa ogah ogahan untuk

menanam (Ktm, Mei 2014)

Secara tidak

langsung terlibat

dalam upaya

pelestarian hutan di

lahan rehabilitasi

b Transferability pengetahuan

Tidak semua orang yang diikutkan di kegiatan

REDD, jadi cuma perwakilan. Nah, nanti akan

disampaikan hasilnya di pertemuan kelompok yang

diadakan sebulan dua kali. Harapannya ibu ibu itu

nanti akan diomongkan ke suaminya. (Mona, 2014)

Penyampaian lewat muslimatan juga bisa,

kelompok muslimatan itu ibu ketuanya. Kalau saya

dari kelompok TOGA (Ktm, Mei 2014).

Ketua kelompoknya itu menyampaikan ke ibu ibu

yang lain, cara melestarikan hutan. Misalnya hutan

itu harus dijaga, pohonnya jangan sampai ditebang,

biar nggak panas, banjir. Nanti kalau banjir kita

sendiri juga yang rugi. (Msr, Mei 2014)

kalau ada kumpul-kumpul kelompok jamu itu,

nanti NGOmong-NGOmong soal bahan ramuan

untuk penyakit ini apa cocoknya (Msr, Mei 2014)

Kita itu semangat soalnya bisa menyembuhkan

orang sakit, walaupun nggak bisa langsung sembuh

(Mn, Mei 2014)

Pengetahuan

mengenai potensi

tanaman TOGA tidak

hanya disampaikan ke

masyarakat sekitar,

tetapi ibu ibu juga

sering diundang

sebagai nara sumber

di beberapa kota

misalnya NTT,

Kuningan, Ujung

Kulon, Bogor, atau

ada pameran kadang

dari desa Andongrejo

juga diundang. info

tambahan

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi Budidaya Tanaman

tanaman pokok yang besar-besar, dibawahnya

ditanami palawija sperti jagung, padi, dan empon-

Sistem pertanian

agroforestry –

Page 217: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

empon. Jadi petaninya juga untuk dimakan ada,

untuk menjaga hutan juga ada. Untuk kebutuhan

ekonomi, bisa dijual empon empon, padi, peje

(Ktm, Mei 2014)

empon-empon juga tidak hanya ditanam di lahan

rehab, sebagian ibu-ibu yang punya lahan di

rumahnya, ditanami empon-empon juga (Mn, Mei

2014)

dari empon-empon itu, kita nanti bikin racikan

jamu, misalnya kayak kanker tumor itu racikannya

umbi dewa, telo umpat, kunyit pepet; kalau untuk

asam urat itu karena sumbatan-peredaran darah

nggak lancar diberi jahe, sumbatannya yang

menghancurkan sumbatan diberi lidah ayam,

meniran untuk mengeluarkan racun di dalam tubuh,

persendian kaku diberi daun wungu untuk

melemaskan; kesemutan diberi murbay atau

besaran. Nanti bahan itu dikumpulkan jadi satu,

ditumbuk, diperes, kalau sudah mengendap baru

diminum. Kalau asam urat nggak bisa tidur

ditambah lagi pala (Ktm, Mei 2014).

Setiap hari kita butuh temulawak, untuk menjaga

kekebalan tubuh, jadi untuk menjaga

keseimbangan kita, bisa diberi itu. (Mn, Mei 2014).

diperkenalkan oleh

pihak TN, dan

masyarakat sudah

cukup kreatif untuk

mengelola lahan

rehabilitasi

Menanam di lahan

rumahnya

Local knowledge yang

berkembang di

kelompok wanita

tidak berkembang

secara instan, tapi

butuh proses dan

pendampingan dari

LATIN/KAIL –

sehingga ini menjadi

potensi untuk

meningkatkan peran

wanita dalam upaya

konservasi hutan

b Inovasi untuk Pendapatan

Lahan di rehab saya tanami empon-empon, kalau

mau butuh buat ramuan jamu tinggal ambil saja

(Ktm, Mei 2014)

Ibu ibu kelompok Sumber Waras juga sering

diundang sebagai nara sumber di beberapa kota

misalnya NTT, Kuningan, Ujung Kulon, Bogor,

atau ada pameran kadang dari desa Andongrejo

juga diundang. (Ktm, Mei 2014)

kalau ada acara pameran di Jember, kadang kadang

kita diajak, kita bawa ramuan jamunya. Biar orang-

orang itu tahu disini ada kelompok budidaya jamu

tradisonal (Mn, Mei 2014)

Upaya KAIL untuk

menggerakkan

kelompok wanita –

menghidupkan

potensi alam

kekayaan hutan

TNMB dengan

memanfaatkan

pengetahuan warga

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi) ... masyarakat sini sudah cukup dari lahan rehab

aja. Lahan itu diolah, ditanami, hasilnya juga bisa

dijual. Itu dikasi TN dulu Mbak. (Msr, Mei 2014)

Kita dikasi lahan di rehabilitasi, disuru nanem.

Saya juga nanem empon-empon disana, selain

tanaman wajib (Mn, Mei 2014)

Lahan rehabilitasi dulu dikasi TN, buat masyarakat

sini biar nggak ngerusak hutan yang dalemnya.

Page 218: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Soalnya dulu pernah perambahan besar-besaran,

jati yang diambil Mbak (Ktm, Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Kelompok Jamu Sumber Waras, itu bentukan

LATIN sejak tahun 1993 – 1997, kemudian

dilepas, untuk memberdayakan ibu-ibu. Sudah

terbentuk lama, tapi sekarang masih ada dan masih

didampingi (Ktm, Mei 2014)

Kelompok jamu Sumber Waras itu satu-satunya

yang masih ada di Andongrejo, di Curahnongko

sudah nggak ada (Mn, Mei 2014).

2 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi

Tanaman pokok yang besar-besar, dibawahnya

ditanami palawija seperti jagung, padi, dan empon-

empon. Jadi petaninya juga untuk dimakan ada,

untuk menjaga hutan juga ada. Untuk kebutuhan

ekonomi, bisa dijual empon empon, padi, peje

(Katemi, 2014)

Empon-empon juga tidak hanya ditanam di lahan

rehab, sebagian ibu-ibu yang punya lahan di

rumahnya, ditanami empon-empon juga (Mn, Mei

2014)

3 Upaya Menjaga hutan

Hutan gundul perlu dilestarikan, karena jika hutan

gundul akan menimpa ke manusianya juga, jadi

TOGA akan ikut prihatin kalu hutannya gundul.

Jadi juga semangat untuk mengembalikan

kelestarian hutan (Ktm, Mei 2014).

4 Menjaga tanaman pokok

Sekarang sudah banyak yang ditanami tanaman

pokok yang diwajibkan TN. Petani wajib nanem,

menjaga pokoknya jangan ditebang pohonnya.

Kalau ditebang nanti dilaporkan ke petugas (Msr,

Mei 2014).

TOKOH MASYARAKAT

DESA ANDONGREJO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Manfaat Hutan

TNMB merupakan salah satu hutan yang masih ada

di Jawa, dan itu perlu dijaga. Ini juga menjadi

tanggungjawab Balai TN, tetapi juga perlu

didukung oleh masyarakat (Ryd, Mei 2014)

B Pemahaman terhadap REDD

1 Emisi yang dikeluarkan oleh hutan

REDD+ sendiri yang dibutuhkan kan karbon

terjaga, oksigen banyak, otomatis kan yang

Page 219: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

dibutuhkan tanaman yang banyak, pohon yg

rindang (Ryd, Mei 2014)

Dalam usaha untuk mengurangi karbon terkait

dengan REDD+ dirasa belum tampak nyata, belum

ada kegiatan nyata yang tampak yang bisa

mengurangi karbon. Selama ini kegiatan yang ada

hanya sebatas workshop, pelatihan. Jadi ini Cuma

semacam wacana-wacana saja kalau saya

menilainya (Ryd, Mei 2014).

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Natural Capital Kalau dilihat dari ketersediaan lahan, terus terang

tidak bisa mencukupi semua kebutuhan masyarakat

disini. Masyarakat disini kan banyak, sementara

lahan pertanian yang tersedia sedikit, jadi kemudian

keberadaan lahan rehabilitasi itu sangat dibutuhkan

masyarakat (Ryd, Mei 2014).

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Perbuatan jelek itu kalau terkoordinir akan

mengalahkan usaha yang bagus, nanti kita jadi

kuwalahan. Sudah coba diingatkan, tetapi ya susah

juga untuk mengatasi perambahan itu (Ryd, Mei

2014).

Perambahan yang terjadi sebenarnya kalau dilihat

kasat mata tidak dipengaruhi oleh kondisi sosial

ekonomi, itu hanya oknum oknum tertentu yang

ingin mempercepat kaya. Mereka cenderung tidak

peduli dengan hutan (Ryd, Mei 2014).

Organisasi

terstruktur –

terkait kegiatan

illegal logging

b Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Perempuan)

Industri jamu itu sudah ada sejak 97, dulu didirikan

oleh LATIN bogor kalau sekarang dengan KAIL.

Sampai sekarang pun masih ada di Andongrejo, itu

khusus kelompok ibu-ibu (Ryd, Mei 2014)

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a. Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh

Banyaknya kegiatan penyuluhan belum berdampak

optimal pada perubahan perilaku masy utamanya

dalam kasus kegiatan perambahan. Hal ini susah

dijelaskan, masyarakat tidak peduli atau sok tidak

peduli (Ryd, Mei 2014)

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi Budidaya Tanaman

Peje itu Mbak, denger denger masyarakat sini

banyak yang nanem peje, harga jualnya mahal. Jadi

banyak yang ikut ikutan nanem peje. Nggak Cuma

itu, ada buah-buahan juga. Masyarakat tahu kalau

lahan rehab itu nggak bisa diandalkan terus,

tergantung musim, jadi cukup pintar untuk

menanami aneka tumbuhan (Ryd, Mei 2014)

b Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan

Page 220: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Ada kegiatan budidaya jamur tiram, TOGA. TOGA

itu kan bahan ramuannya sebagian diambil dari

lahan rehabilitasi, kalau diolah dijadikan jamu nanti

masyarakat mendapat nilai tambah dari olahan itu

(Ryd, Mei 2014).

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Collaboration (Kerjasama) dan orientasi

ke depan, pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi) Masyarakat difasilitasi lahan di zona rehabilitasi

agar tidak merambah hasil hutan yang di zona

rimba (Ryd, Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

MMP itu melibatkan masyarakat. Kalau masyarakat

dilibatkan kan jadi ada kesadaran masyarakat sendir

untuk mengawasi hutan, menjaga hutan (Ryd, Mei

2014).

2 Meingkatkan kesadaan

masyarakat

Kita berusaha memberi penyuluhan ke masyarakat.

Penyuluhan itu sudah ada sejak dulu, bahkan

sebelum REDD+ ada. Itu tugas kita untuk

membentuk kesadaran masyarakat tentang

pentingnya hutan (Ryd, Mei 2014).

Ada, penyuluhan dari desa, TN, LSM itu sering ke

masyarakat. Tapi kan nanti akhirnya kembali ke

pribadinya lagi. Penyuluhan itu sifatnya membantu,

mendorong dan mengajak masyarakat untuk ikut

dalam menjaga dan melestarikan hutan. Kalau dari

masyarakat sendiri saya kira ada beberapa yang

ingin hutannya hijau lagi. Tapi itu cuma sedikit

saja. Nyatanya penanaman belum berhasil baik

untuk menghijaukan kembali hutan (Ryd, Mei

2014).

Page 221: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

C. DESA WONOASRI

PETANI REHABILITASI (yang mengikuti kegiatan DA REDD+)

DESA WONOASRI

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Alternatif Sumber Mata Pencaharian

kalau disini kan penduduk itu tidak langsung dekat

dengan hutan, dari rumah penduduk masih ada

perkebunan PTP itu, jadi hutan disini masih

mending dibanding curahnongko, andongrejo,

sama sanenrejo (Tmn, Mei 2014).

Masyarakat disni kebanyakan petani biasanya lari

ke lahan desa milik sendiri (sawah di dataran

rendah) atau kebun. Lahan rehab itu hanya

sampingan aja. Tidak sepenuhnya dicurahkan

disitu. Seperti saya ini lebih banyak di sawah,

soalnya di lahan rehab itu tanaman keras kan nggak

bisa diandalakan sepenuhnya. Punya saya ditanami

peje, empon empon dibawahnya (Tmn, Mei 2014).

Masyarakat tidak

terlalu tergantung

dengan hutan

karena ada

alternatif mata

pencaharian

2 Pelestarian hutan

Bagaikan anak dgn orang tua saling membutuhkan,

kalau kita memerlukan alam itu/hutan, tapi kalau

kita mau hidup dengan hutan itu, kita juga harus

memberi hidup hutan itu. Jadi kita juga turut

melestarikan hutan. Jadi hutan yang ada sekarang

juga akn bisa dinikmati oleh anak cucu kita di masa

mendatang. Kita juga harus menjaga hutan, kalau

hutan gundul nanti banjir kita juga yang merugi

(Dsr, Mei 2014).

Hutan memiliki

peran penting bagi

masyarakat, begitu

pula sebaliknya

B Pemahaman terhadap REDD

1 Upaya pelestarian hutan

Saya pernah ikut kegiatan REDD+, karena saya

kelompok tani disini. REDD+ itu seingat saya

tentang karbon, karbon hutan dari pohon di hutan.

jadi, kita itu wajib menjaga pohon di hutan

utamanya lahan rehab. Intinya kegiatan itu tentang

pelestarian hutan. kita diberi pelatihan-pelatihan

(Tmn, Mei 2014)

REDD+ itu kegiatan pelestarian hutan kan mbak,

sama kayak itu. Kaitannya sama lahan rehab, kita

nggak boleh nebang pohon, harus dijaga, kalau

mati ya di sulam (Dsr, Mei 2014)

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Human capital

Masyarakat Wonoasri, alhamdulillah sudah hampir

70% ada tanaman pokoknya, artinya masyarakat

sudah sadar untuk melestarikan hutan. Beda

dengan desa lainnya seperti curahnongko,

kesadaran

masyarakat untuk

melestarikan hutan

telah terbentuk

Page 222: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

andongrejo. Masyarakat sini lebih nurut dan

pangerten (pengertian) (Tmn, Mei 2014).

Masyarakat itu sudah sadar kewajibannya sama

menanam pohon, sebelum ada kegiatan REDD+

juga TN sering ada kegiatan pelatihan. Jadi

masalah nanam menanam itu sudah kesadaran

masyarakat sendiri (Dsr, Mei 2014)

Kalau di desa wonoasri, cenderung lebih gampang

masyarakatnya. Tingkat SDM nya lain, karena

lebih mudah diajak komunikasi orang sini. Beda

dengan sanen, curahnongko, atau andong yang

notabene adalah masy suku Madura. Mereka lebih

susah untuk diatur. Beda dengan sini yang adat

jawa (Dsr, Mei 2014)

b Financial capital

budidaya jamur tiram itu sejak sekitar tahun 2010,

mulanya bibit jamur itu dikasi ke kelompok tani,

lalu dikembangkan di 4 titik, disini itu Pak Kasiyo,

Pak Wagiman, Pak Ruslan, dan saya (Tmn, Mei

2014).

C Social capital

semua tokoh masyarakat ikut memberi penyuluhan

kepada petani kalau ada kegiatan pengajian.

Buktinya disini nggak ada perambahan hutan.

masyarakat disini ini nggak susah dikasitau

masyarakatnya, kebanyakan sudah sadar kaalu

nggak boleh nebang pohon di hutan (Tmn, Mei

2014).

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

ada kelompok tani wonomulyo, nanti dibagi bagi

jadi beberapa koordinator untuk bertanggungjawab

dengan lahan rehab. Karena tempatnya nggak sama

dan berjauhan. Di Wonoasri ada 4 koordinator, 26

kelompok tani (Tmn, Mei 2014)

Disini tidak ada LSM, karena kita semua nggak

mau. Kita bisa kok nanganin sendiri, dulu pernah

ada, tapi masyarakt banyak yang nggak mau,

akhirnya sampai sekarang nggak ada (Tmn, Mei

2014)

Biasanya kelompok tani itu mendiskusikan

masalahnya dgn kelompoknya atau ketuanya, nanti

dicari pemecahan permasalahannya gimana (Dsr,

Mei 2014).

LSM di wonoasri terkesan tidak ada hasilnya,

karena persoalan uang. Tidak transparan (Dsr, Mei

2014).

Peran kelompok

tani di Wonoasri

lebih solid . Tidak

ada peran NGO

yang mendukung

upaya

pemberdayaan

masyarakat, yang

ada hanya dari

pihak TN sama

kelompok tani.

B Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Wanita)

Wanita disini nggak terlalu berperan besar, ada

kelompok wanita ketuanya Bu Ndoni sama istrinya

Kultur

patrialinisme masih

Page 223: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Pak Tamin, tapi ya nggak jalan sepertinya. Malah

disini itu Bapak-bapaknya yang perannya besar.

(Dsr, Mei 2014)

begitu kuat di

wilayah perdesaan

– perempuan tidak

terlalu dominan

dan perannya kecil

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a. Transferability pengetahuan

Kalau yang ikut pelatihan itu biasaynya ketua

kelompok tani, sekretaris. Nanti hasil dari pelatihan

disampaikan ke kelompok tani, tapi

nyampaiakannya nggak ke semua, kalau yang

kebetulan ketemu saja misalnya dari pertemuan

yang diadakan rutin dari kelompok tani sendiri.

Tapi nyampaikannya bukan REDD+, ya pelestarian

hutanlah mbak biar mereka ngerti. (Tmn, Mei

2014)

4 Innovation (Inovasi)

a. Inovasi Budidaya Tanaman

petani sini kreatif, dulu ada yang nanem peje terus

hasilnya kalau dijual mahal, akhirnya banyak yang

ikut ikut. Termasuk saya. dulu peje tu per kilo Rp

110.000 per kilo, tapi sekarang sudah turun jadi

Rp. 25.000. Tapi ya tetep tanaman pokok tetap

dijaga, biar hutannya nggak rusak, itu juga wajib

bagi lahan rehabilitasi (Tmn, Mei 2014)

petani biasanya menyulami sendiri tanaman

tegakan yang mati atau roboh, atau kadang juga

bibit itu dikasi dari TN untuk penyulaman. Jadi

kadang TN ada pembagian bibit (Tmn, Mei 2014)

Dulu kan petani masih sangat bergantung dengan

padi, jagung, tetapi sekarang masyarakat lebih

diperkenalkan dengan jenis tanaman baru seperti

empon empon (cabe jawa, jahe merah) ini semakin

meningkatkan ekonomi masyarakat, penghasilan

meningkat (Dsr, Mei 2014).

Menambah sumber

pendapatan

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a. Transparency (Transparansi)

Oleh TN, masyarakat diberi peluang untuk

memanfaatkan hutan melalui lahan rehab itu, tapi

dengan syarat kalo harus ditanami tanaman pokok.

TN menyediakan bibit, suruh tanam petani,

tanahnya suru mengelola, hasilnya juga suruh

ambil. Ini berlaku sejak 1999 (Dsr, Mei 2014).

Setiap orang memiliki lahan rehab yang berbeda-

beda, tergantung seberapa kuat dia dulu membabat

hutan. Rata rata sih ¼ ha (Dsr, Mei 2014)..

b. Collaboration (Kerjasama)

Masyarakat dilibatkan dalam kegiatan patroli,

walaupun itu sudah ada sejak dulu. Namanya

MMP. Nanti kita juga diajak patroli sama Resort,

ikut ke lahan (Tmn, Mei 2014).

Pelibatan

masyarakat dalam

kegiatan DA

REDD+

Page 224: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Yang dilibatkan di kegiatan REDD+ itu nggak

semua mbak, Cuma beberapa saja, kayak saya

ketua kelompok tani, pak Mistar, Pak Kasiyo itu

(Tmn, Mei 2014).

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Resort itu juga cukup aktif Mbak buat mantau

lahan, hampir tiap hari ada nanti yang jalan-jalan

ngelihat taneman di lahan. Kalau ada pelaku yang

ngerambah hutan, nanti dibawa ke pos atau

ditanya-tanyain di lahan itu (Dsr, Mei 2014).

Ada kelompok tani wonomulyo, nanti dibagi bagi

jadi beberapa koordinator untuk bertanggungjawab

dengan lahan rehab. Karena tempatnya nggak sama

dan berjauhan. Di Wonoasri ada 4 koordinator, 26

kelompok tani (Tmn, Mei 2014)

Kelembagaan kuat

hanya di level

pemerintah yang

diwakili oleh resort

selaku

penanggungjawab

keamanan dan

perlindungan hutan

2 Upaya menjaga hutan

Saya rasa kalau kemampuan itu masih sama,

masyarakat itu sudah mampu untuk menjaga hutan.

ini kalau bicara masyarakat Wonoasri loh Mbak.

masyarakat sudah sadar, ya walaupun nggak

semua. Itu kan bentuk adaptasi gimana petani itu

menjaga hutan (Tmn, Mei 2014).

Kemampuan adaptasi itu ada kok dari dulu sudah

terbentuk di masyarakat. Mereka itu tau kalau

hutannya gundul, banjir yang akan datang dari atas

sana. Jadi, kalau buat yang punya lahan yang

miring diatas, mereka tanami peje. Biar air hujan

yang turun tidak langsung jatuh ke lahan yang

bawah. (Dsr, Mei 2014).

3 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi

petani biasanya menyulami sendiri tanaman

tegakan yang mati atau roboh, atau kadang juga

bibit itu dikasi dari TN untuk penyulaman. Jadi

kadang TN ada pembagian bibit (Tmn, Mei 2014)

ada juga pohon yang hasil nyulam sendiri. Kita

usaha sendiri biar taneman pokoknya tetap ada

(Dsr, Mei 2014)

4 Menjaga tanaman pokok

Nanem bibit yang dikasi TN itu bagian dari usaha

petani untuk menjaga hutan. dari situ pengennya

hutan hijau lagi, masyarakat ikut berpartisipasi

menjaga pohonnya (Dsr, Mei 2014)

PETANI REHABILITASI (yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+)

DESA WONOASRI

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Alternatif Mata Pencaharian

Page 225: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Kalau tergantung sepenuhnya enggak, karena

masyarakat sini masih bekerja di perkebunan. Tapi

hutan itu cukup memberikan hasil buat masyarakat

sini. Kita juga tidak boleh merambah hutan yg

bagian dalem, bolehnya ya Cuma di lahan rehab

saja. (Ssw, Mei 2014)

Kan nggak boleh mbak masyarakat itu masuk hutan

ngambilin kayunya, nanti bisa ditangkep sama

resortnya. Kita takut Mbak. Orang-orang sini juga

sudah banyak yang kerja di perkebunan itu, jadi ya

nggak ke hutan. Biasanya ke hutan kalau butuh

buat cari makan kambing (Sur, Mei 2014)

Sebelum ada pembukaan lahan untuk rehab dulu

bekerja di perkebunan. Lahan rehab ini kan dibuka

sejak tahun 1999, jamannya Gusdur kalau nggak

salah. Tapi masyarakat Wonoasri sudah banyak

yang bekerja di kebun, jadi nggak terlalu pengaruh

hutan itu. Tapi kita dikasi bagian lahan rehab juga

sama TN (Pnm, Mei 2014).

Masyarakat

Wonoasri tidak

mengandalkan

hutan sebagai

sumber mata

pencaharian,

karena mereka

rata-rata bekerja di

perkebunan. Sejak

dibukanya lahan

rehab baru

masyarakat sini

banyak ke lahan

rehab

B Pemahaman terhadap REDD

1 Transferability Pengetahuan

tidak semua orang tau apa itu REDD+, cuma

orang tertentu saja mungkin yang tahu, utamanya

yang ikut pelatihan itu. Kalau REDD+ sendiri ya

tidak disampaikan ke petani lainnya, yang

disampaikan cuma pelestarian hutan saja (Dsr,

Mei 2014) – Anak dari Ketua Kelompok Tani

Wonomulyo

saya nggak pernah denger mbak apa itu. Jangan

tanya saya kalau soal itu, saya nggak tahu apa-apa

(Sur, Mei 2014)

nggak pernah tau itu mbak. Saya juga jarang ikut

kumpul-kumpul (Pnm, Mei 2014).

wah..apa itu mbak? Saya nggak tau. .... Oh sama

kayak pelestarian hutan gitu? saya pernah tahu dari

Pak Kasiyo itu (Ssw, Mei 2014).

REDD+ tidak

disampaikan

kepada kelompok

tani di wonoasri,

yang tahu mengenai

REDD+ hanya yang

ikut

REDD+ dipahami

sebagai upaya

pelestarian hutan

pelatihan saja

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Natural capital

sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu

bergantung sama lahan rehab, tapi kebanyakan

masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti

kalau sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan

rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa selalu

diandalkan hasilnya, apalagi kayak sekarang lagi

mangsa ketiga (musim kemarau) (Ssw, Mei 2014).

lahan sini cuma buat tambahan aja untuk anak

Page 226: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

sekolah. Kalau Cuma ngandalkan dari hasil rehab

tidak bisa, lha wong tanahnya sudah tidak subur

lagi sekarang (Sur, Mei 2014)

Saya sama suami sama-sama kerja di perkebunan

Blater, ya walaupun Cuma buruh lumayan untuk

biaya hidup, anak sekolah. Disini cuma sambilan

aja mbak, nungguin lahan punya orang Pnm, Mei

2014).

b Social Capital

kumpul kelompok ya ada, kelompok tani yang

sering ikut itu bapaknya Kalau saya nggak aktif itu

disana. Bapak-Bapak sih yang sering kumpul, kalau

ibunya kan cuma bantu aja di lahan (Sur, Mei

2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Tidak ada pendampingan NGO di Wonoasri jadi untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait

kegiatan DA REDD+ hanya sebatas raising awareness saja.

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Transferability pengetahuan

Saya nggak pernah denger mbak apa itu. Jangan

tanya saya kalau soal itu, saya nggak tahu apa-apa

(Sur, Mei 2014)

Nggak pernah tau itu mbak. Saya juga jarang ikut

kumpul-kumpul (Pnm, Mei 2014).

wah..apa itu mbak? Saya nggak tau. .... Oh sama

kayak pelestarian hutan gitu? saya pernah tahu dari

Pak Kasiyo itu. Pak Kasiyo itu ketua Tani

Wonomulyo (Ssw, Mei 2014).

Transefrability soal

pengetahuan baik

tentang REDD+,

perubahan iklim,

fungsi dan manfaat

hutan tidak diperoleh

secara merata, ada

yang mengetahui,

tetapi ada yang tidak

mengetahui. Hal ini

karena stakeholder

yang dilibatkan

dalam kegiatan

pelatihan DA

REDD+ hanya

stakeholder yang

memiliki peran kunci

dalam kegiatan

kehutanan desa, dan

nilai

transferabilitynya

rendah

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi Budidaya Tanaman

Setiap musim itu ganti-ganti Mbak, sekarang saya

lagi nanem kacang hijau, nanti pas puasa bisa

dipanen. Ganti-ganti itu tujuannya tergantung sama

musim, kan palawija udah nggak bagus lagi

hasilnya (Pnm, Mei 2014)

Saya lagi nanem lombok, masih disemai sekarang.

Kalau palawija kayak padi, jagung gitu sudah

nggak terlalu bagus hasilnya, beda dengan dulu.

Inovasi budidaya

tanaman mereka

dapat dari

perkumpulan

kelompok tani,

bukan dari

kegiatan DA

REDD+.

Page 227: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

(Ssw, Mei 2014)

Kacang ijo, lumayan nanti bisa dipanen pas bulan

puasa. Taneman pokoknya itu nangka, ada yang

mati tapi. Daunnya sudah agak berkurang (Sur, Mei

2014)

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi)

TN itu sudah baik, masyarakat disini dikasi lahan,

tapi ya untuk ditanami lagi biar jadi hutan nantinya

(Ssw, Mei 2014).

Dulu kan kita nggak punya lahan rehab, jadi

tergantung sama kebun. Tapi saya dapat waktu itu

dari pemerintah lahan rehab (Sur, Mei 2014)

b Collaboration (Kerjasama)

Resortnya itu sering patroli ke lahan, ada juga

masyarakat kelompok tani yang dilibatkan, seperti

Pak Mistar itu, sama Pak Tamin. Mereka itu

pamswakarsa. (Pnm, Mei 2014)

kalau ada pelaku yang mencuri di hutan kadang

kita lapor, kadang enggak juga. Kalau lapor nanti

kita yang kena juga, bisa-bisa lahan kita dirusak.

Paling kalau lapor Cuma, ―Pak, itu tadi ada

ngambil kayu di hutan?‖ kalau ditanya siapa, ya

kita jawab nggak tahu, pokoknya ada (Ssw, Mei

2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Tidak ada pendampingan NGO di Wonoasri jadi

untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait

kegiatan DA REDD+ hanya sebatas raising

awareness saja.

Informasi

tambahan

2 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi

Kalau di lahan yang miring, susah buat diolah. Jadi

bisa ditanami peje, biar kalau hujan nggak langsung

jatuh airnya, ada yang nahan (Srs, Mei 2014).

Petani sini baik-baik orangnya, sudah sadar sendiri

kalau ada yang mati atau roboh disulam sendiri

(Pnm, Mei 2014)

Walaupun nggak ada yang nyuruh, sulam tanaman

itu pasti dilakukan sama petani (Srs, Mei 2014).

Kemampuan

dimiliki dari

kegiatan kelompok

petani

Keinginan untuk

berpartisipasi

dalam menjaga

hutan diwujudkan

secara sadar dari

kelompok tani

3 Menjaga tanaman pokok

Kita yang punya lahan di rehab, wajib menjaga

tegakan pohon. Kalau ada yang mati, cepet-cepet

disulam (Ssw, Mei 2014)

Page 228: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

TOKOH MASYARAKAT

DESA WONOASRI

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Upaya Pelestarian hutan

Desa wonoasri sebagai desa penyangga, memiliki

keterkaitan langsung dengan fungsi TNMB.

Beberapa kegiatan penghijauan yang dilibatkan

oleh TNMB melibatkan masy wonoasri Karena

secara tidak langsung jika terjadi kerusakan hutan,

dampak banjir juga dirasakan oleh masyarakat

wonoasri. Penanaman itu difokuskan di wonoasri

(Abr, Mei 2014)

Pelibatan

masyarakat dalam

kegiatan

penghijauan

2 Manfaat hutan

TNMB berdekatan langsung dengan wonoasri,

memiliki hubungan yang saling membutuhkan.

Manfaat hutan juga banyak untuk wonoasri, jika

terjadi hujan pasti air yang dari andong, Curahtakir,

Curahnongko bermuara di Wonoasri. Sehingga

banjir juga bisa dirsakan oleh masyarakat Wonoasri

(Abr, Mei 2014).

Masyarakat

Wonoasri secara

tidak langsung

memiliki hubungan

pengaruh yang

kuat jika terjadi

bencana.

3 Sumber mata pencaharian

Hutan bagi masyarakat wonoasri penting mengingat

bahwa lokasi sekitar kita berdekatan dengan hutan,

banyak hasil hutan yang dimanfaatkan oleh

masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya sehari-hari. Kalau masyarakat sendiri

sekarang tidak bisa selamanya bergantung degnan

hutan, sekarang sudah tidak terlalu subur lagi.

Masyarakat juga tidak sepenuhnya

menggantungkan diri dengan hutan, mereka juga

bekerja sebagai buruh perkebunan. Kalau musim

kemarau, lahan rehab tidak bisa diandalkan (Pai,

Mei 2014)

B Pemahaman terhadap REDD

1 Upaya pelestarian hutan

REDD+ itu kan semacam program penghijauan di

lahan rehabilitasi (Abr, Mei 2014)

Peraturan dari dulu, masyarakat tidak boleh

menebang hutan sembarangan. Kalau memotong

satu pohon, masyarakat harus mengganti dengan

pohon. Seiring dengan sosialisasi yang sudah sering

dilakukan, dan penghijauan masyarakat lebih sadar

untuk menjaga hutannya (Abr, Mei 2014)

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Human capital

Masyarakat sudah sadar dan menyadarkan diri,

petani itu diberi leluasa di lahan rehab untuk

mengelola tanah di TN sduah selain tanaman pokok

juga sudah dipenuhi masyarakat boleh menanami

palawija seperti padi, jagung. Menanam tanaman

keras harus ada, sedangkan tanaamn di bawahnya

Page 229: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

boleh palawija itu (Pai, Mei 2014)

b Natural capital

Lahan pertanian tidak mencukupi kebutuhan

penduduk yang ada di wonoasri, sawah masih

terbatas, tetapi setelah dibuka lahan rehab yang

dikhususkan untuk masyarakat petani bisa

memperoleh tambahan lahan yang dapat membantu

masy untuk memperoleh pendapatan (Son, Mei

2014)

Lahan yang sudah rusak diberikan ke petani, suruh

ambil hasilnya, dari TN pun tidak mengambil

hasilnya, diberi bibit berupa tanaman pokok,

tanaman pokoknya ya nangka, mengkudu (Son, Mei

2014).

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan kelembagaan

Dibentuk MMP dengan pelibatan masyarakat

khususnya petani rehabilitasi yang memiliki power

disini, dalam artian disegani masyarakat (Abr, Mei

2014)

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Transferability pengetahuan

Tidak semua penduduk desa mengikuti keg REDD,

pertemuan itu diupayakan dapat menjangkau

seluruh masy desa agar dapat meningkatkan

kesadaran kegiatan penyuluhan dilakukan oleh

aparat desa bekerjasama dengan TN dan resort

(Abr, Mei 2014).

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi budidaya tanaman

Penanaman empon empon juga dilakukan di rehab

untuk menciptakan pendapatan baru artinya

mengurangi ketergantungan terhadap tanaman

palawija, sekarang kan sudah susah palawija kalo

tumbuh berkembang. Pohonnya sudah besar besar,

jadi matahari nggak bisa langsung ketutupan pohon

(Son, Mei 2014)

Tapi ini bukan

menjadi bagian

dari kegiatan DA

REDD+

kegiatan ini murni

bantuan dari TN

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Collaboration (Kerjasama)

Masyarakat desa dilibatkan dalam upaya

pengawasan.Pembagian kelompok kelompok tani

dilakukan untuk mendukung pelestarian hutan.

Setiap kelompok sudah memiliki kekuasaan atas

lahan yang sudah menjadi bagiannya, dengan tidak

boleh merambah hutan rimba. Dalam kelompok tani

ada koordinator meliputi keseluruhan kelompok

tani dimana juga berfungsi untuk mengawasi – jika

ada kelompok tani yang mengetahui kegiatan

perambahan, maka kel tani akan melaporkan ke

coordinator (Son, Mei 2014).

Masyarakat kelompok tani juga dilibatkan dalam

pamswakarsa (sekarang MMP) (Son, Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

Page 230: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

1 Pengaturan Kelembagaan

Dibentuk MMP dengan pelibatan masyarakat

khususnya petani rehabilitasi yang memiliki power

disini, dalam artian disegani masyarakat (Abr, Mei

2014)

Bentukan

pemerintah

2 Meningkatkan kesadaran masyarakat

Masyarakat disini mampu beradaptasi, buktinya

Wonoasri bagus hutannya. Sering-sering kegiatan

penyuluhan itu menambah manfaat buat masyarakat

sini, jadi lama-lama masyarakat itu paham fungsi

hutan, apa yang nggak boleh dilakukan dengan

hutan (Abr, Mei 2014).

3 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi

Masyarakat Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya,

contohnya kalau ada tanaman yang rusak, dilakukan

penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya

mereka beradaptasi (Abr, Mei 2014).

Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga

mau semangat menanam. Menjaga pohonnya.

Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah denger

ada pencurian kayu yang dilakukan masyarakat asli.

Kebanyakan dari luar dan bukan masyarakat sini

(Pai, Mei 2014)

Page 231: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

LAMPIRAN 4

Transkrip wawancara dengan Manajemen Resort

RESORT ANDONGREJO

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Sumber Mata Pencaharian

Dulu tahun 1997 era reformasi identik dengan

pengrusakan, hutan jati kita 3000 ha dirusak

masyarakat. Dan tanahnya juga mau dijarah juga,

dengan kesigapan TN mereka dibilang silahkan

lahan itu digarap tapi dibebani dgn tanaman pokok

seperti pakem, kemiri, kedawung. (Ads, Mei 2014)

B Pemahaman terhadap REDD

1 Praktik Kegiatan REDD+

REDD+ sendiri itu ada beberapa kegiatan yaitu

pengukuran karbon di lapangan secara fisik, dan

juga kegiatan yang berhubungan dgn masy. Kalau

TN itu secara fisik, sedangkan untuk yang hub

dengan masyarakat itu dgn KAIL (Ads, Mei 2014).

2 Stakeholder yang terlibat

Tidak semuanya terlibat dalam kegiatan REDD+,

biasanya yang terlibat itu ketua kelompoknya.

Karena kalau ketua kelompok akan lebih mudah

untuk menyampaikan ke anggota kelompoknya. Itu

lebih efektif, kalau yang dilibatkan itu anggota

kelompoknya, itu akan lebih susah (Ads, Mei 2014)

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Human capital Masyarakat sini bisa dikatakan 50% mudah untuk

diberi penyadaran, 50% lainnya juga susah untuk

diberi penyadaran (Ads, Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan Ada upaya pelibatan partisipasi masyarakat, MMP

(masyarakat mitra polhut) dulunya Pamswakarsa,

disini ada 4 orang curahnongko 2, andongrejo 2.

(Feb, Mei 2014)

Pemilihan MMP paling nggak mereka peduli

dengan hutan. dan termasuk sebagai petani rehab

(Ads, Mei 2014).

Jumlah personil di andongrejo yang 8 orang itu

masih sangat kurang, dibandingkan dengan luas

hutan meru betiri yang sebesar ini (Jum, Mei 2014).

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Transferability Pengetahuan

Pembinaan-pembinaan itu sudah sering dilakukan,

penyuluhan, pelatihan apapun bahkan sebelum ada

kegiatan REDD+ maupun setelah REDD+ (Ads,

Mei 2014)

Page 232: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Penyuluhan dari resort juga ada, door to door ke

masyarakat (Jum, Mei 2014).

4 Innovation (Inovasi)

a Strategi Pendekatan Partisipatif

Penyuluhan dari resort juga ada, door to door ke

masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat

itu nggak bisa kita secara formal saja, tapi informal

juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi

ngumpul-ngumpul nanti kita datangi, hey..kamu

nggak boleh begini sama hutan. Tapi keberhasilan

ini juga tidak bisa kita nilai efektif, seperti kalau

dalam kelas tidak mungkin semua muris itu paham

dengan 1+1 = 2, jadi itu tergantung individunya

juga (Ads, Mei 2014)

Pendekatan informal lebih cenderung efektif.

Semakin kita sering ketemu, semakin masyarakat

itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau menebang

hutan (Jum, Mei 2014).

Cara pendektaan kita

itu bisa

menyesuaikan

dengan karakter

orangnya.

Tingkat

keberhasilan

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan

a Decission Making

Sebenarnya tidak boleh masyarakat mengambil

kayu atau apapun yang ada di hutan, tetapi kita

tidak bisa langsung sekeras itu, kita punya toleransi

apa yang boleh dilakukan masyarakat terhadap

hutan (Feb, Mei 2014).

MMP nanti tugasnya mencatat kalau ada kayu

roboh di hutan, itu sebagai bentuk

pertanggungjawaban. Kemudian dilaporkan ke

resort, lalu ditindaklanjuti oleh kepala resort.

Didatangi pemiliknya, kenapa kayu ini roboh.

Nanti kemudian petani wajib menyulam pohon

yang tumbang (Jum, 2014).

b Collaboration (kerjasam)

―Mereka sangat membantu, kalau kita patroli

mereka juga ikut. Kalau kita melakukan

penyuluhan mereka juga ikut (Jum., Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Ada lembaga KAIL sama SPKP bentukan TN. Ini

untuk mengkoordinir petani rehab. Kumpulan

kelompok di Curahnongko yang aktif, sering

ngumpul-ngumpul (Jum, Mei 2014)

Ada upaya pelibatan partisipasi masyarakat, MMP

(masyarakat mitra polhut) dulunya Pamswakarsa,

disini ada 4 orang curahnongko 2, andongrejo 2

(Feb, Mei 2014).

2 Pendekatan partisipatif

Menjalin hubungan dekat dengan masyaraakat agar

masyarakat sadar dan tidak lagi melakukan

perambahan (Jum, Mei 2014).

Page 233: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Patroli dilakukan dengan dibantu dan mengajak

MMP (Feb, Mei 2014)

3 Meningkatkan pengawasan

Kalau keinginan itu ada mungkin, tapi nggak

semua masyarakat. Pemikirannya kan beda-beda.

kalau yang peduli sama hutan, ya nggak menebang

pohon. Menjaga tanaman pokoknya. Itu kalau dari

sisi masyarakatnya. Kalau dari kita sebagai

petugas, ya kita meningkatkan pengawasan saja.

Hutan ini kan milik negara, bersama juga, jadi

masyarakat yang nyuri kayu itu bisa sadarlah.

Sama-sama peduli jaga hutannya (Jum, Mei 2014)

Hutan terlindungi, masyarakat juga baik kehidupan

ekonominya. Dan masyarakat ngertilah tugas kita

sebagai penjaga juga manusia. Kalau hutan rusak,

yang rugi juga kita, jadi minimal masyarakat itu

menjagalah pohon di lahan nya (lahan rehabilitasi)

(Feb, Mei 2014)

RESORT WONOASRI

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

hutan berdampingan dengan masyarakat, kalau di

masyarakat wonoasri sendiri baik baik, tetapi tetap

ya pencurinya ada, sehingga pelanggaran

pelanggaran itu juga ada (Mst, Mei 2014)

Contoh kecil cari ramban di kawasan tetelan, cari

daun mengkudu, daun nangka sering dicari orang

untuk makan kambing, yang kedua mencari kayu

bakar sebenarnya cari kayu bakar dari kayu yang

sudah kering seperti kayu gupon, kalisono, itu

nggak boleh (Mst, Mei 2014).

Pembalakan liar juga masih tinggi – pelakunya ya

kurang lebih masyarakat (Mst, Mei 2014)

Masyarakat belum teralu peduli dengan hutan.

Hutan itu milik kita, per orang. Masyarakat nggak

tahu fungsinya apa, tapi lama kelamaan masy juga

sadar seiring dengan kegiatan penyuluhan yang

diberikan. Hutan itu milik semua, memliki dalam

artian ikut melestarikan dan menjaga hutan.

Adanya anggpaan bahwa hutan itu milik masy tatpi

masy beda memaknainya. (Mst, Mei 2014)

Sejak Gus dur mengungkapkan hutan ini milik

masy – masy menjadi salah kaprah dalam

memaknainya. Jadi sejak itu kemudian maarak

penggundulan hutan jati. (Mst, Mei 2014)

B Pemahaman terhadap REDD

1 Pelestarian hutan

REDD+ itu bagian dari upaya menjaga hutan,

masyarakat terlibat dalam menjaga hutan agar

Page 234: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

karbon itu tetap terjaga, oksigen banyak yang

dihasilkan sehingga nafaspun rasanya jadi mudah

(Mst, Mei 2014)

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Social capital

Kelompok tani sebagai prasarana untuk

menampung hal yang menjadi kebutuhan setiap

kelompok tani, dibentuk ini biar nggak semrawut,

jadi biar nggak masing-masing petani tidak

membuat usul sendiri-sendiri . Kelompok petani

disini bagus Mbak hubungannya. Perannya ke

kelompok tani juga mendukung dan memfasilitasi

(Mst, Mei 2014).

b Human Capital

Orang wonoasri mudah dibina, masyarakatnya

cenderung nurut. Beda dengan masyarakat desa

lainnya (Mst, Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Petani beranggapan pendamping LSM hanya

bersifat memberdayakan masyarakat/diperalat

(LSM Cuma cari duit, bkin proposal untuk bantuan

ini itu, nanti setelah turun yang dibuat laporan

petani, yang dapet duit LSM), cenderung

memanfaatkan masy. Kelompok petani

beranggapan bahwa LSM cenderung minteri, jadi

kita sebaiknya sendiri saja. Kita juga sudah ada

kelompok tani. Kelompok tani lebih berperan

penting, ketua kelompok/coordinator bisa diajak

berkomunikasi bersama (Mst, Mei 2014).

Kelompok tani lebih berperan penting dalam

koordinasi kegiatan (ketua kelompok tani, anggota

kelompok tani, OPR (org petani rehab),

koordintaor) – susunan kerjasamanya, petani

memiliki ketua kelompok, ketua kelompok

membawahi beberap org petani, nanti jika ketua

kelompok punya keperluan apapun dari petani,

misalnya musim ini petani butuh bibit, pupuk –

nanti disampaikan ke ketua kelompok, lalu ke

coordinator (dipilih oleh petani juga) – diadakan

pertemuan kelompok tani untuk mengorganisir

kelompok (Mst, Mei 2014)

Di wonoasri tidak

ada NGO

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh

Perubahan itu ada, tadinya seperti orang itu

melanggar setelah diikutkan dengan kegiatan orang

jadi tahu fungsinya hutan ini, fungsinya kayu ini.

Orang yang awalnya tidak tahu menjadi lebih tahu.

Petugas harus pandai menyelami masyarakat (Mst,

Mei 2014).

Pada dasarnya,

masyarakat sendiri

terkadang belum

mengetahui persis

apa itu fungsi

hutan, bagaimana

menjaga hutan

4 Innovation (Inovasi)

Page 235: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

a Strategi Pendekatan Partisipatif

Masyarakat sekarang tidak bisa dicegah

menggunakan kekerasan, Karena jika dikerasi

masyarakat akan cenderung mengerahkan massa.

teknisnya sekarang lebih cenderung ke pertemanan.

Kalau ketemu pelaku, diajak omong omongan baik

baik aja. Jangan sampai nanti ketika kita ketemu

pelaku di hutan langsung diborgol, nanti akan

malah membahayakan petugas. Jadi lebih

cenderung ke pendekatan personal (Mst, Mei

2014).

Pendekatan yang dilakukan oleh petugas yaitu jika

masyarakat mengadakan pertemuan, petugas akan

ikut menghadiri. Petugas bisa membaur bersama

masyarakat, karena mendekati orang desa itu harus

seperti itu (Mst, Mei 2014).

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi)

Arahan bagi petani rehab 1) petani rehab juga sdh

dikasi lahan menanam apa saja yang tidak di larang

(coklat,kopi/tanaman perkebunan dll); petani rehab

menanam tan pokok yang ada manfaatnya, jangan

asal tanam kalau idak bisa dimanfaatkan buahnya.

Misalnya nagka kan memiliki nilai ekonomis bisa

dijual nangkanya, tewelnya; duren bisa dijual

buahnya. 3) petai diberi tanggungjawab tanaman

hutan; tan pokok dijaga kesuburannya, petani juga

wajib mengganti tan pokok yang mati (karena ada

standar minimal jumlah pohon – ¼ ha minimal ada

100 pohon, jadi jika kurang dari 100 petani harus

berinisiatif untuk menambah tanamannya ((Mst,

Mei 2014)).

b Decision Making

bukum yang berlaku cenderung tetap saja seperti

dahulu. Hal yang boleh dan tidak boleh masih tetap

berlaku, kita menyesuaikan dengan faktanya, apa

yang dilakukan oleh masyarakat ((Mst, Mei 2014)).

Peringatan yang dilakukan oleh petugas untuk

pencurian kayu, juga tidak bisa dilakukan semena

mena. Tergantung dengan tingkat pencurian

kayunya, masing masing punya tingkatan ((Mst,

Mei 2014)).

Untuk beberapa kasus pencurian hutan, petugas

tidak berniat smeena mena menghakimi tersangka.

Kadang mereka ditangkap untuk diinterogasi di

pos, kita tidak langsung menangkap tetapi bertanya

dulu sudah berapa kali, ambil apa saja disana.

Pertama kali kami peringatkan dulu, dua kali, tiga

kali. Setelah itu baru ada tindak lanjut kalau mereka

ketahuan lagi mencuri di hutan ((Mst, Mei 2014)).

Penerapan hukum

Page 236: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Selain itu, juga kita melibatkan masyarakat/petani

lainnya untuk membantu mengawasi hutan. Kalau

mengandalkan petugas saja terus terang kita tidak

mampu, petugas disini hanya 5 orang kalau suruh

ngawasi hutan yang segitu luasnya ya nggak

mampu. Jadi kita juga punya orang di lahan, nanti

membantu ngawasi, caranya kita juga memberi

fasilitas alat komunikasi misalnya hp dan pulsa

((Mst, Mei 2014)).

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Di wonoasri itu ada SPKP, MMP, OPR. Itu

lembaga beda-beda fungsinya. SPKP sama OPR itu

fungsinya untuk mengkoordinir petani.

Perkumpulan kelompok buat ngomong—ngomong,

diskusi masalah pertanian. Kalau MMP itu

pelibatan masyarakat untuk menjaga hutan,

pemantauan. Kan kemarin waktu REDD+ itu kita

diikutkan (Mst, Mei 2014).

2 Pemberlakuan sanksi tegas

Menindaklanjuti oknum yang melakukan pencurian

hutan. tergantung pada tingkat kegiaatnnya.

Meningkatkan pengawasan pada kawasan hutan

juga (Mst, Mei 2014).

3 Pendekatan partisipatif

Aparat desa, TN itu mau melakukan pendekatan ke

pelaku yang mencuri kayu dan masyarakat.

Penyuluhan juga penting, tapi kayak kita datang

ikut ngempul ngumpul itu sepertinya lebih bagus

buat membangun kedekatan. Kalau mereka itu

kenal kita dan kita dekat dengan mereka, mereka

akan sungkan kalau mau nyuri di hutan (Mst, Mei

2014)

Page 237: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

LAMPIRAN 5

Transkrip Wawancara dengan NGO Lokal

NGO lokal

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Pelestarian hutan

Petani/masyarakat menjadi ujung tombak

dalam upaya konservasi. Seperti tanaman

pohon jika kesadaran masyarakat kurang

untuk menjaga tanaman pohonnya, maka tidak

bisa hidup. Jadi sebenarnya masyarakat adalah

ujung tombak dari semua program (Nrh, Mei

2014).

2 Sumber Mata Pencaharian

Masyarakat memiliki ketrgantungan tinggi

terhadap lahan hutan di TN, jika tidak

diakomodir dan dikelola dengan baik maka

lahan hutan di TN akan rusak. Sementara basic

need masyarakat dapat terpenuhi dari hasil

hutan. Sehingga adanya lahan rehabilitasi

dianggap sebagai solusi untuk mengakomodir

kebutuhan masyarakat dan kepentingan

pemerintah (Nrh, Mei 2014).

B Pemahaman terhadap REDD

1 Pelestarian hutan

REDD – Reducing Emission From

Deforestation And Degradation – ada aspek

perlindungan hutan bagaimana upaya kita

melindungi hutan yang rusak menjadi hijau

kembali. Yang real dilakukan bersama

masyarakat (Nrh, Mei 2014).

Upaya perlindungan

hutan

DA REDD+ untuk semuanya TNMB, tetapi

focus KAIL di lahan rehabilitasi untuk aplikasi

kegiatan DA REDD+ yang sudah sejak 1993

(rintisan), 1995 demplot 7 ha, 1999 mulai

lahan ..ha. 4023 ha, lahan rehabilitasi

merupakan perluasan dari TN yang merupakan

pemberian dari perhutani. Dimana terlibat

4000 kk (Nrh, Mei 2014).

Kegiatan REDD+ lebih difokuskan ke

curahnongko disana ada sampel demplot

(contoh) tetapi untuk pendataan semua

andongrejo, memang ada beberapa kegiatan

yang harus dibikin contoh sehingga nanti bisa

dikembangkan oleh pihak TN, karena kita

sendiri keterbatasan pembiayaan tidak

memungkinkan untuk semuanya teratasi. NGO

hanya membikin model. Tetapi di kelompok

lain juga disampaikan soal REDD terkait

pendataan (Nrh, Mei 2014).

Pengimplementasian DA

REDD+ pilot project

Page 238: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

dalam konteks REDD, tidak semua program

yang ada dapat menangani semua

permasalahan yang ada di desa, sememntr ini

program REDD hanaya difokuskan untuk

ekonomi, informasi perubahan iklim, adaptasi

dan mitigasi, pelatihan yang dilakukan oleh

latin (Nrh, Mei 2014).

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Human capital

Kalau masyarakat terpenuhi kegiatan

ekonominya, secara tidak langsung akan

memunculkan kesadaran masyarakat untuk

menjaga kawasan termasuk pohon yang dia

tanam. Jika dia merasa bahwa pohon yang dia

tanam dapat menghasilkan nilai ekonomi dari

buah yang dia tanamn, maka dia akan

menjaga, sedangkan jika tidak ada manfaat

yang diberikan dari segi ekonomi masyarakat

cenderung ogah-ogahan untuk menjaga

tanamannya (Nrh, Mei 2014).

Kita tidak selalu mejanjikan kepada

masyarakat jika kita punya pohon akan

mendapatkan uang sekian dari perdagangan

karbon. Kita mengkreasi bagaimana supaya

potensi yang ada bisa dikapitalisasi untuk

kepentingan konservasi, ekonomi, dan sosial

masyarakat. Kita mendidik juga masyarakat

khsusunya ke arah enterpreunership dalam

bidang kehutanan. Ketika bicara perdagangan

karbon yang datang nggak datang, yang mau

dibeli juga nggak nampak (Nrh, Mei 2014).

b Social Capital

Masyarakat makin tentrem, adem oh berarti

inisiatif kami yang dahuunya dianggap sebagai

pelanggaran, sekarang justru dijadikan model

bagaimana masyarakat bisa mengelola

kawasan dalam kerangka kemitraan.

Sedangkan lokasi-lokasi lain belum tentu ada

yang seperti ini. Bagaimana masyarakat

mengembangkan kemitraan dalam

pengelolaan lahan (Nrh, Mei 2014)..

Pembentukan kelompok ibu-ibu budidaya

jamu sumber Waras di Andongrejo, juga

upaya kami meningkatkan peran partisipasi

wanita dalam kegiatan DA REDD+ (Nrh, Mei

2014)

Beda dengan taman

nasional lainnya, susah

untuk membangun

kerjasama antar masy

dengan pihak TN

c Natural capital

Masyarakat disekitar kawasan cenderung

miskin lahan, sehingga adanya rehabilitasi

dianggap sebagai salah satu cara

menyelesaikan masalah kebutuhan lahan

sehingga jika tidak dikelola dengan baik akan

merusak hutan (Nrh, Mei 2014).

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Page 239: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Kelembagaannya – terbentuknya kelompok

tani rehabilitasi sudah sejak tahun 2000,

sebelum REDD dikenalkan. Masing-masing

desa memiliki kelompok petani rehabilitasi

yang telah terbentuk jaringan. Kalau di

Curahnongko-Jaketresi diketuai Pak Parman,

himpunan dari 17 kelompok-kelompok tani

rehab. Di Andongrejo-Permataresi, Sanennrejo

- Jangkar (jaringan kelompok tani krajan) itu

wujud dari penguatan kelembagaan di tingkat

petani. Sewaktu ada kegiatan REDD,

kelompok ini kemudian dikuatkan dengan

posisinya sebagai penggerak di tingkat

kelompok petani rehabilitasi. Di tingkat

kabupaten juga ada jaringan yang terbentuk

sebagai bentuk komunikasi dengan para pihak.

Kegiatan ini tidak hanya bisa dilakukan oleh

satu pihak saja, tetapi perlu keterlibatan semua

sektor (Nrh, Mei 2014).

Kalau di Wonoasri, tidak ada campur tangan

dari KAIL. Dulu pernah diminta oleh TN

untuk ditangani sebagai wujud praktik TN

dalam upaya pemberdayaan masyarakat (Nrh,

Mei 2014)

Dan apa yang kita lakukan tidak bisa

mengkover semua masalah yang ada di

seluruh kawasan. Pada workshop 8-9 januari

kami membentuk pokja REDD di tingkat kab

yang sifatnya masih informal, belum ada SK

dimana itu menjadi bagian dari kesadaran dari

peserta untuk mengatasi masalahREDD+

dimana masalah REDD+ tidak hanya menjadi

masalah TN tetapi melibatkan pemerintah

kabupaten dan juga pemerintah desa, petani,

masyarakat, disperindag, pelatihan dari puslit

bogor yang memberikan pelatihan (Nrh, Mei

2014).

Koperasi menjadi raw model dari pengelolaan

REDD tidak hanya tanam menanam, tetapi

berbicara masalah enterpreunership

bagaimana menghubungkan dengan pasar dari

hasil yang sudah ditanam oleh masyarakat

(Nrh, Mei 2014)..

Dengan adanya kegiatan REDD dan

pernyataan dari berbagai pihak dari orang-

orang yang punya pengetahuan konservasi

yang menyatakan peran masyarakat sangat

signifikan dan vital dalam konteks pelestarian

kawasan, pengkayaan karbon, dsb sehingga

memperkuat akses mereka terhadap lahan

walaupun belum teralisasi dalam bentuk

formal (Nrh, Mei 2014)..

Kegiatan rehabilitasi dianggap sebagai upaya

yang kraetif dalam merangkul masyarakat dan

pemerintah untuk melakukan pengelolaan

Inisiatif pembentukan

koperasi – bukan dari

kegiatan DA REDD+,

tapi LSM KAIL

berusaha untuk

menindaklanjuti

kegiatan setelah adanya

DA REDD+

Page 240: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

hutan secara bersama. Waktu itu terjadi

ketakutan akan kegaitan rehabilitasi tersebut,

dikarenakan tidak ada paying hukum yang

mendasari (Nrh, Mei 2014).

KAIL sudah melakukan upaya perlindungan

hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh

LATIN. KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun

2001. Nah selama kurun waktu itu kita

melakukan kegiatan pelestarian kawasan di

zona rehabilitasi yang diawali dengan

pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun

1999 terjadi penjarahan massal, ketika LATIN

bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan

masyarakat untuk menghijaukan lahan

kawasan meru betiri kembali (Nrh, Mei 2014).

Tambahan informasi

b Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Wanita)

REDD melibatkan ibu ibu pengajian

menghubungkan aspek keagamaan dalam

konteks kehutanan. jadi nanti diperkenalkan

ayat ayat menegnai konservasi, perlindungan

hutan, jadi agama tidak hanya berbicara

mengenai ibadah maghdha, tetapi juga dengan

lingkungan dimana menjadi bagian dari

perintah agama, mengapa kemudian kita

mengajak ibu ibu pengajian. Ini kita anggap

sebagai bentuk kearifan lokal yang diambil

dari dimensi keagaman, nilai etik yang diambil

dari Quran (Nrh, Mei 2014)..

Di dalamnya terkandung perintah dan

motivasi, misalnya barangsiapa yang

menanam pohon,maka dia akan berpahala

sepanjang pohon itu masih hidup – salah satu

motivasi yang digunakan untuk menyadarkan

masyarakat . barang siapa yang menanam

pohon, lalu hasilnya dimakan oleh burung

binatang manusia, maka yang menanam pohon

nanti akan mendapat pahala. Ini menjadi slaah

satu wisdom yang ada di amsyarakat yang kita

coba untuk internalisasikan dalam kesdaran

agama. (Nrh, Mei 2014).

Keterlibatan wanita

dalam upaya konservasi

internalisasi

pengetahuan melalui

budaya

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh

Kita berusaha bahwa dalam REDD+ tidak

hanya berkutat dari karbon tetapi juga

penangana hasil panen, tetapi juga

mengkapitalisasi apa yang dimiliki oleh

masyarakat supaya berdampak pada ekonomi

dan konservasi juga kita dorong. Sehingga

REDD+ tidak hanya berbicara soal

perdagangan karbon, tetapi kita mendorong

supaya ada upaya-upaya meghasilkan

kemitraan dengan masyarakat yang dihasilkan

dari kegaitan konservasi itu menjadi bagian

yang tumbuh dari masyarakat (Nrh, Mei

Page 241: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

2014)..

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan

Dari sisi kehutanannya kita melakukan upaya

penghijauan lahan yang dulu rusak kembali

baik dari sisi swadaya, juga melibatkan

pemerintah dan pihak terkait. Dari sisi

ekonomi , ada kegiatan yang bersifat

intangible melalui pemberdayaan masyarakat

ada TOGA, koperasi multi usaha lestari yang

membidangi pengolahan keripik nangka dan

penjualan hasil hutan yaitu pisang. Sedangkan

untuk pengelolaan lahannya kita menggunakan

sistem agroforestry yang selain ditanamai

taaman pokok pertanian, masyarakat boleh

menanam tanaman padi kedelai jagung yang

memmberikan kontribusi bagi peningkatan

pendapatan masyarakat (Nrh, Mei 2014).

Selain itu disana juga ada tanaman peje, yang

menutupi lahan sebagai penyubur. Tanamna

itu sebagai salah satu kreasi masyarakat ketika

tanaman pokok sudah tidak bisa menghasilkan

nilai ekonomi lagi, beberapa kawasan masih

juga ada yang gundul (Nrh, Mei 2014)..

Inovasi dari KAIL di

bidang budidaya dan

kegiatan ekonomi

b Inovasi untuk Meningkatkan Motivasi Konservasi Hutan

Kita memberikan apresiasi kepada petani

rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya

di lahan rehabilitasi terkait dengan sistem

pengkelasan lahan berdasarkan jumlah

tanaman pokok/tegakan. Kita memberikan

suatu program yang namanya program

PINTAR (program intensif petani

rehabilitas)kepada masyarakat yang termasuk

dalam klasifikasi 5 dan 6, program ini

dikhususkan bagi masyarakat yang memiliki

tanaman 150 ke atas, sebagai apresiasi kepada

petani yang sangup menjaga tanamannya

sejumlah 150 ke atas. Intensif dari PINTAR

ada 4 yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi,

dan konservasi. Namun, terkendala dengan

dana yang keberlanjutan jadi focus kami hanya

di bidang ekonomi dengan memilih 50 orang

dengan bentuknya tidak kita kasih cash tetapi

terpusat pada satu toko dengan sistem 50

petani yang memilki jumlah tanaman bagus

tersebut akan mendapat diskon untuk membeli

sembako (gula, dll) satu minggu 3000,

misalnya beli gula 11000 nanti dapet diskon

3000, pembiayaan dicarikan dari sumber lain.

Wilayahnya tidak hanya di curahnongko,

tetapi petani juga di andongrejo. Selain itu hal

ini juga ditujukan untuk memacu petani

lainnya, agar mau berpartispasi menghijaukan

lahannya dengan menanami tanaman (Nrh,

Mei 2014)..

Melakukan identifikasi tentang yang ada di

Inovasi yang

meningkatkan motivasi

penduduk untuk giat

menanam, tetapi ini

masih diterapkan di

Desa Curahnongko dan

Andongrejo saja –

wilayahnya relatif

berdekatan, dan

termasuk dalam

kegiatan pilot project

Page 242: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

kawasan. Kegiatan rehabilitasi sudah ada sejak

1999 sudah berjalan tanaman tegakan sudah

tumbuh, lalu kita bikin sampel di

curahnongko, kita hitung tanaman/pohon yang

ada di lahan rehabilitasi. Ada berapa pohon

yang sudah dihitung. 8000 pohon hasilnya,

dari situ kita memaksa petani secara tidak

langsung untuk giat menanam. Kita

melakukan pengkelasan di setiap lahan

rehabilitasi terhadap jumlah pohon yang ada

(Nrh, Mei 2014)..

Setiap lahan rehabilitasi nanti akan dihitung

kerapatan atanmannya, pendataan masyarakat

dilakukan dipinggir zona rehablitasi, data

masyarakat yang ada di pinggir ini ditujukan

untuk masyarakat menjaga tanaman yang ada

di atasnya agar tidak terjadi pencurian kayu.

Setelah mendata, kemudan dikumpulkan

dengan TN,pihak polisi, ini ditujukan juga

untuk menyertakan masyarakat dalam

pengelolaan hutan, sebagai salah satu upaya

untuk melibatkan masyarakat dalam pola

pengawasan, karena jumlah tenaga TNMB

sendiri tidak akan mampu mengatasi dan

mengawasi TN yang jumlahnya luas tersebut

dimana petugas yang ada hanya 5-6 orang.

Untuk memberikan semanagt, kita memberi

gelar Masyarakat yang ikut berpartisipasi

menjaga hutan kita anggap sebagai pahlawan

hidup, jadi pahlawan itu tidak hanya orang

yang memegang senajat di medan perang

tetapi menjaga hutan juga bagian dari

pahlawan. Membangun swakarsa

masyarakat. (Nrh, Mei 2014).

Inovasi untuk

meningkatkan

partisipasi masyarakat

dalam upaya konservasi

c Inovasi budidaya tanaman

Selain itu juga ada penanaman tanaman yang

memiliki serapan karbon tinggi tetapi juga

memiliki nilai ekonomi misalnya tanaman

kedawung, kemiri. Pemilihan pohon

berdasarkan diskusi dengan masyarakat, hal

ini secara tidak langsung diharapkan dapat

mendorong masyarakat. Memilih tanaman

bersama masyarakat, pengelolaanya bersama

masyarakat maka diharapkan masyarakat juga

akan timbul kesadaran (Nrh, Mei 2014)..

Pohon yang dipilih yaitu tanaman-tanaman

yang tidak untuk ditebang yaitu untuk

pelestarian dan dapat dimanfaatkan untuk

ekonomi masyarakat . tanaman yang

digunakan yiatu multi purpose trees species

(MPTS) memadukan tanaman yang bernilai

konservasi dengan tanaman yang memiliki

nilai ekonomi. Ada aspek konservasi juga

memberikan income dari buah yang ada di

Page 243: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

pohon itu. Hal ini juga ditujukan untuk

mengakomodir kepentingan masyarakat juga,

karnea mereka memiliki ketergantungan

terhadap hutan di TN (Nrh, Mei 2014).

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Transparency (Transparansi)

Hal yang unik ketika perubahan itu muncul

dari inisiatif sebelumnya, saya ditanya berapa

lama, mengenai keamanan masyarakat dalam

jangka panjang, pokoknya kita buktikan

masyarakat dapat mengelola hutan secara baik

sehingga masyarakat mau menjaga hutan.

Perubahan tidak bisa dilakukan secara tiba

tiba, harus ada inisiatif yang mendahului.

Jika kita bisa buktikan masyarakat dapat

mengelola kawasan dengan baik, masyarakat

dapat berpartisipasi optimal dalam

pengelolaan kawasan, hal ini dpaat dijadikan

contoh bahwa masyarakat bukan merupakan

ancaman tetapi sebagai potensi yang

didayagunakan untuk mnjg hutan yang

terdegradasi dan terdeforetasi untuk didorong

sebagai probem solver bukan part of problem

(Nrh, Mei 2014).

TN ada zonasi, kalau bisa didorong lahan

rehabilitasi yang bagus bisa diamnfaatkan

untuk zona pemanfaatan tradisional artinya

masyarakat bisa selaamanya mengelola disitu.

masyarakat diakui untuk memanfaatkan lahan

itu. Memiliki payung hukum yang jelas tanpa

ada batas waktunya, yang penting ada

pelestarian, pemanfaatan secara lestari (Nrh,

Mei 2014).

Di Curahnongko sudah ada MoU antara TN

dan masyarakat sebagai contoh. General

agreement dimana masyarakat terlibat dalam

merehabilitasi kawasan, melestarikan kawasan

secara keseluruhan. Ada payung nanti

diturunkan lagi dengan perjanjian yang

spesifik terkait pengelolaan misalnya terkait

jangka panajang pengelolaan lahan rehabilitasi

spesifik misalnya berapa lama. Hal ini menjadi

panduan sebagai pertimbangan untuk

mendukung perjanjian, misalnya bibit yang

tertanam sekian, petani A memiliki lahan 1 ha

dengan 100 pohon, sedangkan idealnya 400

pohon, sehingga kurangnya 300 pohon, jadi

diperlukan penambahan bibit pohon. Hal ini

dapat dijadikan dasar/materi untuk usulan

penambahan bibit (Nrh, Mei 2014).

Dari sisi formal, ada MoU (curahnongko),

pengakuan semakin kuat dari pemerintah

terhadap kegiatan rehablitasi dalam kawasan

meskipun tidak diwujudkan dalam tulisan

tetapi dalam bentuk penunjukkan sebagai

Bentuk pengakuan

keberadaan masyarakat

untuk pelibatan dalam

upaya pengelolaan

hutan; Pengakuan hak

masyarakat untuk

dilibatkan dalam upaya

konservasi

Page 244: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

lokasi DA REDD dengan pengakuan

keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan

kawasan memperkuat, inisiatif pengelolaan

masyarakat di laahan rehabilitasi diakui (Nrh,

Mei 2014).

b Collaboration (Kerjasama)

Kita LSM sebagai pendamping sebagai

stimulus sehingga kreasi yang ada di

masyarakat harus dikembangkan. Dahulu kita

berbicara hanya tentang menanam saja, ketika

sudah mulai panen maka muncul bagaimana

menangani pemasarannya. Sehingga kemudian

muncul kreasi kreasi pemasarannya (Nrh, Mei

2014)..

Peran NGO dalam

upaya Pemberdayaan

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

KAIL sudah melakukan upaya perlindungan

hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh

LATIN. KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun

2001. Nah selama kurun waktu itu kita

melakukan kegiatan pelestarian kawasan di

zona rehabilitasi yang diawali dengan

pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun

1999 terjadi penjarahan massal, ketika LATIN

bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan

masyarakat untuk menghijaukan lahan

kawasan meru betiri kembali (Nrh, Mei 2014).

Kelembagaannya – terbentuknya kelompok

tani rehabilitasi sudah sejak tahun 2000,

sebelum REDD dikenalkan. Masing-masing

desa memiliki kelompok petani rehabilitasi

yang telah terbentuk jaringan. Kalau di

Curahnongko-Jaketresi diketuai Pak Parman,

himpunan dari 17 kelompok-kelompok tani

rehab. Di Andongrejo-Permataresi, Sanennrejo

- Jangkar (jaringan kelompok tani krajan) itu

wujud dari penguatan kelembagaan di tingkat

petani. Sewaktu ada kegiatan REDD,

kelompok ini kemudian dikuatkan dengan

posisinya sebagai penggerak di tingkat

kelompok petani rehabilitasi (Nrh, Mei 2014).

2 Alternatif mata pencaharian

Masyarakat itu mampu kalau didorong dan

difasilitasi. Mereka memiliki local knowledge

yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya

kita berhasil mengembangkan tanaman TOGA

di lahan 7 Ha dengan melibatkan masyarakat.

Itu jadi pengukuran karbon kemarin (Nrh, Mei

2014)

3 Upaya pendampingan untuk menyadarkan komunitas lokal

Curahnongko yang jadi sample demplot

percontohan, diharapkan bisa jadi contoh

untuk upaya konservasi hutan di desa

penyangga lainnya, melalui pemberdayaan

petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau

masyarakat itu bisa diajak kerjasama dengan

pemerintah dan sama-sama menjaga hutan

(Nrh, Mei 2014).

Page 245: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

LAMPIRAN 6

Transkrip Wawancara dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri

Balai Taman Nasional Meru Betiri

No Pointer Verbatim Keterangan

A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB

1 Sumber mata pencaharian

Pelestarian hutan dan kesejahteraaan masyarakat

sesuai dgn visi dan misi kita. Kalau interkasi antar

hutan dan masy sangat intens. Terutama dengan

masyarakat yang dekat dengan kawasan itu sangat

intens karena sebagian besar masyarakat itu

bergantung dengan alam (hutan), tetapi

kesadarannya rendah, terutama ketergantungan.

Hidupnya masih tergantung dengan hutan.

sedangkan TN konsepnya ke 3P – Perlindungan,

Pengawetan, dan pemanfaatan tapi sekarang 4P

ditambah dengan Pemberdayaan (Ngh, Mei 2014).

B Tentang Program REDD

Tujuan DA REDD+ sendiri itu untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat melalui program

peningkatan kesejahteraan melalui DA REDD+

baik peningkatan penghasilan (Ngh, Mei 2014).

Tujuan DA REDD+

Kegiatan REDD+ di lapangan itu ada 3 yaitu

penelitian, pengelolaan, dan pemberdayaan. Untuk

epenlitian dari Puspijak Bogor, kalau Pengelolaan

itu balai, sednagkan pemberdayaan dilakukan oleh

KAIL/LATIN. Ini pun tidak dilakukan di 12 desa

penyangga, hanya di Sanenrejo, andongrejo, dan

Curahnongko (Ngh, Mei 2014).

Kegiatan DA

REDD+

Kalau tugas kita itu menyiapkan semua data terkait

yang dibutuhkan untuk implementasi REDD+,

misalnya deforestasinya berapa, melalui kegiatan

ini kita bisa masuk ke masyarakat untuk melakukan

awareness raising bagaimana memanfaatkan dan

melestarikan hutan. setelah itu ada pembuatan

PDD, untuk kemudian hasilnya dikaji apakah

REDD+ tersebut hanya lesson learned atau result

based untuk implementasi REDD+ (Ngh, Mei

2014).

Tugas TNMB

dalam kegiatan DA

REDD+

Peningkatan stok karbon ada dari masyarakat

melalui rehabilitasi, jadi mereka menanam tanaman

pokok itu salah satu upaya untuk meningkatkan

stok karbon dan dikasi kesempatan menanam

tanaman semusim. Jadi untuk keterlibtn masyarakat

itu di zona rehab. Masyarakat terlibat hanya untuk

perhitungan karbon (Ngh, Mei 2014).

Keberhasilannya ini relatif rendah, karena rata rata

masyarakat menanam tanaman pokoknya di tepi

tepi. Di tengahnya masih kosong, biar bisa ditanami

(Ngh, Mei 2014)

Upaya peningkatan

stok karbon di

lahan rehabilitasi

Adanya rehabilitasi, sebenarnya masyarakat

mengambil buah di zona rehabilitasi itu tidak boleh,

Page 246: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

bolehnya hanya di zona tradisional. Mau ada DA

REDD+ atau enggak tetap nggak boleh. Cuma

adanya rehabilitasi itu kan upaya untuk

mengakomodir kepentingan masyarakat agar tidak

merusak hutan rimbanya (Ngh, Mei 2014).

C Karakteristik kapasitas adaptif

1 Asset base (Aset Dasar)

a Natural Capital

Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan

adanya lahan rehabilitasi. Dengan harapan

masyarakat itu tidak akan merambah hasil hutan

baik kayu maupun non kayu (Ngh, Mei 2014).

b Social Capital

Kalau di Curahnongko - jaketresi pasti setiap bulan

ada pertemuan kelompok. Tapi kalau yang lain

sepertinya enggak (Ngh, Mei 2014)

c Financial Capital

Tujuan DA REDD+ sendiri itu untuk peningkatan

kesejahteraan masyarakat melalui program

peningkatan kesejahteraan melalui DA REDD+

baik peningkatan penghasilan. Salah satunya dari

budidaya jamur tiram (Ngh, Mei 2014)

2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)

a Penguatan Kelembagaan

Sudah pengelolaan kawasan - ada kegiatan

penguatan kelembagaan di tingkat petani

(pertemmuan kelmpok-kelompok, OPR) terkait

dengan pemberdayaan, ada juga SPKP (Ngh, Mei

2014)

Upaya untuk menjaga rehabilitasi – kalau dari sisi

polhut permasalahan disana itu sangat kompleks,

kita dalam satu resot ditugasi sangat banyak tidak

hanya 3 pilar. Rata-rata kita di resrot itu

membawahi sekian ratus ha zona rehabilitasi yang

notabene permasalahannya cukup kompleks, dan

diluar itu kita juga menangani permasalahan tindak

pidana kehutanan secara umum, seperti perburuhan

dan pencurian kayu, sedangkan kondisi disana

sudah tau sendiri seperti apa keadaannya ya

memang tenaganya tidak cukup. Kalau secara detail

melakukan pembinaan, masy itu sudah lain orang

lain kemauan disitu, lain motivasinya dan artinya

kita harus bisa menampung itu semua (Msf, Mei

2014)

Ketidakmampuan

pengawasan untuk

3P di TNMB

karena

keterbatasan

anggota polhut dan

banyak kasus yang

harus ditangani

3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)

a Transferability Pengetahuan

Kalau kelompok tani di wonoasri itu tidak

semuanya tahu mungkin kegiatan REDD+, yang

tahu mungkin hanya ketua ketua kelompok tani

yang di pernah ikut kegiatan di hotel. Karena apa,

karena tidak dimasuki oleh LSM. Adanya kegiatan

budidaya jamur misalnya, petani wonoasri taunya

itu kegiatan TN bukan bagian dari REDD+ (Adi,

Mei 2014)

Sebaran

pengetahuan tidak

merata

Page 247: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

Kalau di curahnongko - jaketresi pasti setiap bulan

ada pertemuan kelompok. Tapi kalau yang lain

sepertinya enggak. Transferability tentang DA

REDD+ yang berhasil itu di Curahnongko (Ngh,

Mei 2014)

.

Mereka punya kelompok tani, biasanya pertemuan

kelompok itu tidak selalu di rumah, kadang di

lahan. Nggak selalu formal mereka itu. Kadang kan

mereka nggak mau dategn ke pertemuan yang

nggak ada apa-apanya. Biasanya sambil di lahan

sambil menanam. Tidak semua mentransfer apa

yang diketahui dari pelatihan, wong kadang mereka

itu Cuma ikut-ikutan aja. (Adi, Mei 2014)

b Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh

Perubahan itu ada walaupun kecil, perubahan ke

pengetahuan itu jelas. Tapi itu nggak berlaku semua

(Ngh, Mei 2014).

Secara umum masyarakat itu pada dasarnya sadar

untuk menjaga hutannya, tetapi kalau dilihat dari

tingkat keberhasilan rehabilitasi di 3 desa

anongrejo, curahnongko, dan wonoasri yang bagus

ya wonoasri (Adi, Mei 2014).

4 Innovation (Inovasi)

a Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan

Kegiatan Pemberdayaan Budidaya jamur itu sudah

ada sebelum REDD+, jadi kegiatan REDD+ (Ngh,

Mei 2014)

Sekarang juga berkembang kegiatan peningkatan

kapasitas untuk peningkatan penghasilan. Tadinya

mereka yg bergantung sama hutan setidaknya bisa

dikurangi lah, tetapi masih ada juga masyarakat

yang tetap bergantung dengan hutan, karena hutan

itu dianggap sesuatu yg menarik. Kalau kerja di

sawah atau di kebun itu cuma dapat berapa, di

kebun 17000 seminggu paling nggak 3-4 kali (Adi,

Mei 2014)

Motivasi mereka (petani rehab) karena keterbatasan

lahan dikasi lahan, ya akan selamanya dia akan

disitu, dan bisa ditanami tanaman semusim,

sementara pihak TN motivasinya beda, ketika nanti

lahan rehab itu sudah penuh pohonnya, lahan itu

kemudian akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan

tradisonal (Msf, Mei 2014)

5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Kerjasama dan orientasi ke depan,

pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)

a Collaboration (Kerjasama)

Tidak ada pemilihan khusus masyarakat,

sebenernya kita pengennya semua, tapi dari segi

waktu, tempat itu nggak mungkin. Jadi kita

milihnya ya tokoh-tokoh yang punya peran di

masyarakat, harapannya nanti merkea bisa

menyampaikan hasil kegiatan ke kelompok yang

lain (Ngh, Mei 2014)

Masyarakat juga dilibatkan dalam kegiatan MMP

Page 248: PERILAKU ADAPTASI DALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, KOMUNITAS LOKAL PASCA DA REDD+ KABUPATEN JEMBER

(Masyarakat Mitra Polhut). Sebagai upaya dari

pihak TN mengiuktsertakan masyarakat dalam

perlindungan hutan (Adi, Mei 2014)

D Aksi Adaptasi

1 Pengaturan Kelembagaan

Sudah pengelolaan kawasan - ada kegiatan

penguatan kelembagaan di tingkat petani

(pertemmuan kelmpok-kelompok, OPR) terkait

dengan pemberdayaan, ada juga SPKP (Ngh, Mei

2014).

Kalau di curahnongko - jaketresi pasti setiap bulan

ada pertemuan kelompok. Tapi kalau yang lain

sepertinya enggak. Transferability tentang DA

REDD+ yang berhasil itu di Curahnongko (Ngh,

Mei 2014)

2 Pendekatan partisipatif

Kebetulan saya juga keliling ke perbatasan zona

rimba. Tantangannya berat. Kalau kita tidak kenal

ya memang banyak musuhnya, kalau kita dekati si

A si B ... ya Cuma butuh waktu, tidak cukup waktu

1,2 bulan, karena apa kita dalam pendekatan ke

masyarakat itu harus tau latar belakang maysarakat

seperti apa, orangnya wataknya seperti apa,

keluarganya seperti apa, kemudian di masyarakat

apakah jd tokoh atau tidk. Itulah yang kita lihat.

Setelah dari lihat itu, kita ambil titik lemahnya dia,

titik lemah bukan brarti kekurangan, maksudnya

kita bisa masuk ke masyarakat itu seperti apa (Msf,

Mei 2014).

Kemampuan

adaptasi yang

dilakukan Polhut