PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA KE MASA Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Disusun Oleh: Saukatudin NIM: 1113034000088 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2020 M
70
Embed
PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA KE MASArepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/51990...dari Masa ke Masa ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA
KE MASA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Saukatudin
NIM: 1113034000088
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
PERGESERAN MAKNA AHL AL-KITᾹB DARI MASA
KE MASA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh:
Saukatudin
1113034000088
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H /2020 M
dc
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH
Skripsi yang berjudul PERGESERAN MAKNA AHL-AL KITAB DARI MASA KE MASA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juli 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 07 Agustus 2020
Sidang Munaqasyah Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Sebagai salah satu tuntunan pedoman hidup yang dikirimkan oleh Allah
SWT kepada seluruh umat manusia, pembicaraan al-Qur’an terhadap suatu
masalah sangatlah unik. Al-Qur’an tidak tersusun secara sistematis seperti
halnya buku ataupun karya ilmiah yang dibuat oleh manusia. Selain itu, al-
Qur’an juga jarang menyajikan suatu masalah secara terperinci serta
mendetail. Al-Qur’an biasanya berbicara terhadap suatu masalah yang pada
umumnya bersifat global, parsial, dan seringkali menampilkan suatu
masalah hanya dalam prinsip pokok-pokoknya saja.1
Dengan sifat unik yang dimiliki oleh al-Qur’an inilah, kajian terhadap
al-Qur’an tidak pernah kering baik dari para sarjana muslim maupun non-
muslim. Sehingga, al-Qur’an adalah kitab yang menjawab persoalan umat
hingga hari ini meskipun sudah diturunkan lebih dari 14 abad yang lalu.
Akan tetapi, yang harus menjadi perhatian bahwa al-Qur’an tidak akan
menjadi Ḥudan li al-Nās jika umat Islam tidak mau mengungkap rahasia
yang terdapat dibalik ayat-ayat al-Qur’an tersebut dengan menggunakan
penafsiran. Penafsiran sangat dibutuhkan dalam memahami kandungan al-
Qur’an, banyak sekali metode yang digunakan oleh para mufassir di dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Dalam perkembangannya,
muncul gagasan untuk mengungkap petunjuk al-Qur’an terhadap suatu
masalah tertentu dengan cara menghimpun seluruh atau sebagian ayat dari
beberapa surat yang berbicara tentang topik yang sama (tafsir maudhu’î)2,
1 Baca Hafifuddin Ciwadu, Konsep Kufur dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis
dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang 1991), 5. 2 Pengertian di atas adalah pengertian terhadap tafsir maudhu’ī atau biasa disebut
dengan tafsir tematik. Tafsir maudhu’ī merupakan metode penafsiran yang terakhir
2
sehingga dapat diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut
menurut petunjuk al-Qur’an.3
Salah satu kajian yang bisa diteliti dengan menggunakan metode tafsir
maudhu’ī tersebut adalah term atau kata ahl al-kitāb. Gambaran umum yang
diperlihatkan oleh al-Qur’an terhadap kata ahl al-kitāb ini hanya merujuk
kepada komunitas kaum Yahudi dan Nasrani. Dua komunitas ini, secara
jelas memiliki kesamaan akidah dengan kaum muslimin. Bahkan, Allah
sendiri menegaskan bahwa al-Qur’an datang untuk memberikan
pembenaran terhadap sebagian ajaran Taurat (kitab suci agama Yahudi) dan
Injil (kitab suci agama Nasrani) serta mengkoreksi sebagian lainnya.4
Jika dilihat dari aspek sejarah dan sosial, hubungan antara umat muslim
dengan ahl al-kitāb sudah terjalin semenjak Nabi Muhammad Saw.,
diangkat menjadi rasul. Akan tetapi, komunikasi baru terjalin secara lebih
dekat semenjak Nabi hijrah ke kota Madinah. Bahkan sejak saat itu, Nabi
Muhammad Saw., juga menggalang persatuan dan perjanjian untuk
mengatur kehidupan antar komunitas agama di Madinah, perjanjian itu
dikenal dengan Piagam Madinah.5
Pada perkembangan selanjutnya, makna serta konsep terkait ahl al-kitāb
semakin meluas, maka tidak heran jika ‘ulama tafsir dan fiqh masih
muncul, akan tetapi penafsiran ini yang banyak digunakan oleh para mufassir dalam
menafsirkan al-Qur’an. Tafsir maudhu’ī hanya membahas ayat-ayat yang memiliki topik
yang sama kemudian mengkompromikan antara ‘am dan khas, mutlaq dan muqayyad, serta
mengsingkronkan ayat-ayat yang terlihat bertentangan tanpa adanya pemaksaan terhadap
makna-makna yang sebenarnya kurang tepat. Baca Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul Qur’an
(Yogyakarta: ITQAN Publishing: 2013), 282. 3 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992), 114. 4 Lihat QS. Ali Imran (3): 3; QS. Al Maidah (5): 48; QS. Al-An’am (6): 92, Baca
juga Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb; Makna dan Cakupannya dalam al-Qur’an
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), 18. 5 Untuk lebih lengkap terkait dengan isi dari perjanjian Piagam Madinah tersebut
bisa langsung dilihat dalam Ibnu Hisyam, Al-Sīrah al-Nabawīyah (Kairo: Mushthafā al-
Bāb al-Ḥalabi, 1955), 501-502.
3
memperdebatkannya. Predikat ahl al-kitāb pada historinya ternyata tidak
hanya terbatas kepada kaum Yahudi dan Nasrani saja, tetapi juga mencakup
semua pemeluk agama yang kitab sucinya berasal dari Allah.6
Imam al-Shāfi’ī (w. 204 H) misalnya, dinukil dari kitabnya al-Umm,
dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Atha’ berkata: “Orang Kristen
Arab bukan termasuk ke dalam ahl al-kitāb. Kaum yang disebut ahl al-kitāb
adalah kaum Israel (Bani Israil), yakni orang-orang yang diturunkan kepada
mereka kitab Taurat dan Injil.”7 Berbeda dengan al-Shāfi’ī dalam memaknai
ahl al-kitāb, Al-Thabari ( w. 310 H) di dalam kitab tafsirnya menegaskan
bahwa ahl al-kitāb adalah pemeluk agama Yahudi dan Nasrani dari
keturunan manapun dan siapapun mereka, baik dari keturunan Israel
maupun bukan.8
Selain dua ‘ulama di atas dalam menafsirkan term ahl al-kitāb, ada pula
‘ulama abad pertengahan yaitu al-Syahrastānī (w. 548 H) yang
mengklasifikasikan ahl al-kitāb ke dalam dua golongan. Pertama,
komunitas agama Yahudi dan Nasrani yang digambarkan secara jelas oleh
al-Qur’an bahwa mereka adalah pemilik resmi kitab suci yang muhaqqaq
(sempurna). Oleh sebab itu, dua komunitas ini disebut dengan ahl al-kitāb.
Kedua, komunitas agama yang memiliki kitab suci serupa (shibh) namun
mereka tidak termasuk ke dalam golongan ahl al-kitāb, akan tetapi disebut
sebagai shibh ahl al-kitāb.9
Lebih jauh melangkah, mufassir kontemporer Rashid Ridha (w. 1935 M)
memaknai term ahl al-kitāb dengan makna yang lebih umum serta tidak
6 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb; Makna dan Cakupannya dalam al-Qur’an, 23. 7 Muhammad bin Idris al-Shāfi’ī, Al-Umm, Vol. 4 (Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1973),
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka pokok permasalahan yang
akan diteliti adalah “Bagaimana Perkembangan makna ahl al-kitāb yang
ditawarkan oleh para ‘ulama klasik, pertengahan serta kontemporer?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan:
1. Mengungkap penafsiran dan makna ahl al-kitāb yang ditafsirkan
oleh ‘ulama klasik, pertengahan serta kontemporer.
2. Mengungkap pergeseran makna ahl al-kitāb mulai dari abad klasik,
pertengahan hingga kontemporer.
Kemudian, penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
kepada bidang akademik maupun sosial masyarakat. Kontribusi terhadap
akademis yang dimaksud adalah penelitian terhadap kata ahl al-kitāb ini
menjadi kontributor serta pengembangan makan ahl al-kitāb pada generasi
selanjutnya, serta menjadikannya sebagai referensi, perbandingan serta
tolak ukur untuk penelitian berikutnya, terlebih khusus kepada kajian yang
bertemakan ahl al-kitāb.
Sedangkan manfaat praktisnya, penelitian ini diharapkan mampu
memberikan serta menambah khazanah bagi kajian terhadap makna ahl al-
kitāb di dalam al-Qur’an. Khususnya kepada jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
masyarakat muslim pada umumnya yang berminat serta menkaji tentang
problematika di atas.
D. Kajian Pustaka
Di dalam mengkaji perkembangan penafsiran terhadap term ahl al-kitāb,
penulis bukanlah orang pertama yang melakukan penelitian tersebut.
Sebelumnya telah banyak para scholar muslim yang melakukan penelitian,
baik di dalam artikel, jurnal ilmiah, makalah, skripsi, thesis, dan disertasi.
6
Oleh sebab itu, untuk melihat lebih jelas posisi penelitian serta
membedakannya dengan kajian yang sudah ada sebelumnya, maka berikut
dapat diterangkan beberapa kajian yang telah dilakukan oleh scholar
muslim yang berkenaan dengan pemahaman terhadap term ahl al-kitāb.
Muhammad Galib M telah menulis buku tentang masalah ini dengan
judul ahl al-kitāb: Makna dan Cakupannya dalam al-Qur’an11. Sebelum
kemudian diterbitkan menjadi buku, karya ilmiah ini awalnya merupakan
hasil disertasi Muhammad Galib pada program Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Di dalam bukunya ini
Muhammad Galib dimulai dengan menjelaskan tentang term-term yang
menunjuk tidak langsung kepada ahl al-kitāb, selain itu juga beliau
melakukan perbandingan antara ahl al-kitāb, kafir, dan musyrik.
Selanjutnya Muhammad Galib menjelaskan tentang sikap dan perilaku ahl
al-kitāb baik terhadap agamanya, sesamanya serta terhadap umat muslim.
Terakhir, ia menjelaskan tentang pandangan al-Qur’an terhadap ahl al-kitāb
serta sikap al-Qur’an terkait dengan interaksi sosial dengan ahl al-kitāb. Di
dalam karya nya ini, tampaknya Galib hanya terfokus terhadap makna ahl
al-kitāb serta bagaimana cara bersikap sosial terhadap ahl al-kitāb. Sedikit
sekali informasi yang berkaitan dengan penafsiran kata ahl al-kitāb yang
dicantumkan di dalam buku ini baik dari ‘ulama klasik sampai ke
kontemporer.
Kajian penafsiran term ahl al-kitāb juga dilakukan oleh Mahmud
Rifaanudin dengan judul Konsep ahl al-kitāb dalam Tafsîr al-Manār Karya
Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Ridha12. Sesuai dengan
judulnya, isi tesis ini berfokus kepada bagaimana Muhammad Abduh dan
11 Diterbitkan oleh IRCiSoD, Yogyakarta, pada tahun 2016. 12 Diterbitkan oleh Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel,
Surabaya, pada tahun 2018.
7
Rashid Ridha memiliki penafsiran tersendiri terhadap makna, konsep,
golongan, serta status ahl al-kitāb.
Sementara itu, Siti Robikah di dalam skripsinya Aplikasi Hermeneutika
Double Movement Fazlur Rahman Terhadap Pemahaman Ahli Kitab dalam
Al-Qur’an13, fokus penelitian yang dilakukan oleh Siti Robikah adalah
aplikasi hermeneutika double movement yang ditawarkan oleh Fazlur
Rahman dalam rangka memahami makna ahl al-kitāb. Siti Robikah juga
mencoba merelevansikan aplikasi double movement tersebut terhadap
pemaknaan ahl al-kitāb dalam konteks keindonesiaan.
Selanjutnya, Lailatul Fitriani dalam skripsinya yang berjudul Otoritas
Ahl Al-Kitab dalam Perspektif M. Quraish Shihab14. Penelitian di dalam
skripsi ini dimulai dengan definisi, istilah, term, sikap dan interaksi sosial
kepada ahl al-kitāb. Berikutnya, Fitriani menjelaskan bagaimana penafsiran
ayat-ayat ahl al-kitāb yang dipahami oleh M. Quraish Shihab, terakhir ia
mencoba melakukan relevansi penafsiran M. Quraish Shihab tersebut
terhadap ahl al-kitāb pada konteks masa sekarang. Di dalam skripsi ini
sangat jelas Fitriani hanya terfokus kepada salah satu mufassir dan tidak
melakukan perbandingan penafsiran dengan ‘ulama sebelumnya.
Berikutnya yang berkaitan dengan penelitian ahl al-kitāb adalah
Mujiburrahman di dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul Ahli Kitab dan
Konteks Politik di Indonesia15. Di dalam karya ilmiahnya tersebut, fokus
Mujiburrahman lebih kepada konteks hukum sosial Indonesia terhadap ahl
al-kitāb seperti pernikahan beda agama dan lain sebagainya, serta berbicara
tentang agama-agama yang diakui oleh Pancasila. Mujiburrahman tidak
13 Diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Institut Agama Islam
(IAIN), Salatiga, pada tahun 2018. 14 Diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Ampel, Surabaya, pada tahun 2019. 15 Jurnal ini diterbitkan oleh AL-FIKR, Volume 20 Nomer 1 pada tahun 2016.
8
bersinggungan dengan pergeseran makna ahl al-kitāb dari masa ke masa,
akan tetapi ia mengutip pernyataan Nurcholis Madjid sebagai titik acuan
dalam menafsirkan term ahl al-kitāb.
Mohd Faizal Abdul Khir juga berbicara mengenai konsep ahl al-kitāb,
judul jurnal ilmiahnya adalah Konsep Ahli Kitab Menurut Ibn Hazm dan al-
Shahrastānî16. Dengan judul yang sama, maka fokus penelitian Abdul Khir
disini adalah terkait dengan konsep ahl al-kitāb yang dikemukakan oleh Ibn
Hizam dan al-Shasrastānî. Pemilihan terhadap dua tokoh ini juga dijelaskan
dengan rinci, bahwa kedua tokoh ini diteliti karena memiliki pemahaman
serta kredibilitas mereka di dalam bidang agama.
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Andi Eka Putra dalam jurnalnya
dengan judul Konsep Ahlul al-Kitab dalam Al-Qur’an menurut Penafsiran
Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid (Sebuah Telaah
Perbandingan)17. Sama seperti yang dilakukan oleh Mohd Faizal Abdul
Khir di atas, melakukan penafsiran menggunakan dua mufassir. Bedanya,
kajian yang dilakukan oleh Andi Eka Putra melakukan telaah perbandingan
(studi komparasi) atas dua mufassir di atas.
Sejauh ini, dalam lingkup pengetahuan penulis, sudah banyak kajian
yang menjelaskan terkait term ahl al-kitāb di dalam al-Qur’an. Akan tetapi,
kajian-kajian yang sudah ada ini, masih banyak didominasi terkait hukum,
sosial-masyarakat, perilaku dan sikap, serta hal lainnya.
E. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan di dalam menyelesaikan skripsi
ini dilakukan dalam tiga langkah, yaitu: (1) Pendekatan Penelitian, (2)
Metode Pembahasan, (3) Metode Penulisan.
16 Jurnal ini diterbitkan oleh Ushuluddin, pada bulan Januari-Juni, pada tahun 2011. 17 Jurnal ini diterbitkan oleh Al-Dzikra, Volume X No. 1 pada bulan Januari-Juni,
pada tahun 2016.
9
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam melakukan pendekatan adalah
metode kepustakaan (library research), yang merupakan literatur-literatur
terkait penafsiran ahl al-kitab dari mufassir klasik hingga kontemporer.
Dalam hal ini, penulis merujuk kepada dua sumber, yakni sumber utama
(primary resource), yakni berupa kitab suci al-Qur’an dan kitab hadis, serta
kitab-kitab tafsir dari masa klasik hingga kontemporer. Sedangkan sumber
kedua atau biasa disebut dengan sumber pendukung (secondary resource)
adalah buku-buku, media cetak, jurnal ilmiah yang berbicara dan
bertemakan tentang ahl al-kitāb serta sumber informasi lainnya.
2. Metode Pembahasan
Metode pembahasan yang digunakan di dalam penulisan penelitian ini
adalah deskriptif-analisis (descriptive analysis). Pendekatan deskriptif-
analisis diharapkan dapat menjelaskan secara jelas dan terperinci serta
objektif apa yang terkait dan apa yang dimaksud oleh teks dengan cara
membahasakannya dengan bahasa penulis. Metode ini bertujuan untuk
memahami makna ahl al-kitāb secara luas.
3. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan di dalam menyelesaikan skripsi ini
mengacu kepada buku Pedoman Akademik tahun 2013/2014 yang
dikeluarkan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran serta pemahaman yang terstruktur dan
sistematis terhadap isi dari penelitian ini, maka pembahasan di dalam
skripsi ini akan disusun dalam sebuah sistematika penulisan sebagai
berikut:
10
Bab pertama berisikan pendahuluan yang menjelaskan serta
menguraikan pemikiran di dalam latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian serta
sistematika penulisan. Bab pertama ini merupakan rumusan awal terkait
hasil dari laporan hasil penelitian ini.
Bab kedua berisikan tentang landasan pertama yang memetakan serta
mendeskripsikan tentang pengertian tafsir, sejarah penafsiran al-Qur’an,
hingga sampai kepada ragam metode tafsir. Bab ini penting untuk
dijelaskan, karena terdapat metode penafsiran yang akan menjelaskan
tentang metode tafsir maudhu’ī yang sangat berkaitan dengan hasil
penelitian dari skripsi ini.
Penelitian ini kemudian dilanjutkan ke bab ketiga yang menjelaskan
tentang ahl al-kitāb secara umum dimulai dari menggambarkan definisi ahl
al-kitāb, polemik dan status ahl al-kitāb antara kafir atau musyrik, serta
interaksi sosial dengan ahl al-kitāb. Bab ketiga ini diharapkan mampu
menjawab persoalan terkait dengan pengertian ahl al-kitāb sampai kepada
perbedaannya dengan term serupa di dalam al-Qur’an.
Bab keempat berisi tentang kerangka penafsiran para ‘ulama klasik,
pertengahan hingga modern/kontemporer terhadap makna ahl al-kitāb.
Kajian di bab ini diawali dengan menjelaskan sejarah perkembangan
penafsiran secara singkat, lalu kemudian mengklasifikasikan penafsiran
kata ahl al-kitāb itu mulai dari ‘ulama klasik, pertengahan hingga
kontemporer. Bahkan hingga penafsiran ‘ulama Nusantara terhadap term
ahl al-kitāb.
Bab kelima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
Kesimpulan diperlukan sebagai jawaban atas masalah pokok yang diajukan.
Sedangkan saran ditulis sebagai rekomendasi untuk penelitian selanjutnya.
11
BAB II
URGENSI SERTA SEJARAH PENAFSIRAN AL-QUR’AN
A. Definisi Tafsir serta Urgensinya
Secara bahasa (etomologi), kata tafsīr diperoleh dari kata fassara-
yufassiru-tafsīrān yang biasa diartikan sebagai keterangan atau uraian.1
Sedangkan pengertian tafsir biasa diartikan sebaga menyingkap (al-kasyaf)
dan menjelaskan (al-bayān).2 Kata tafsir sendiri disebutkan di dalam surat
al-Furqān ayat 33:
نك بمٱلق م وأحس ئ ثل إملا جم تونك بميرا ول ي ٣٣ن ت فسم
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang
ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang
paling baik penjelasannya.”
Sedangkan secara istilah (terminologi), seperti yang didefinisikan oleh
al-Zarkasyī, Al-Aṣbahānī, ataupun Abū Hayyān yaitu ilmu yang membahas
terkait cara pengucapan lafadz al-Qur’an, tentang petunjuk yang ada di
dalamnya, hukum-hukum baik yang berdiri sendiri ataupun yang tersusun,
makna-makna yang dimungkinkan baginya tersusun serta hal-hal yang
melengkapinya.3
Menurut Lisan al-Arab, tafsir ialah membuka dan menjelaskan maksud
yang sulit dari suatu lafal atau biasa yang disebut kasyf al-mugaththa
(membuka sesuatu yang tertutup). Selain itu, para ‘ulama tafsir juga banyak
yang mencoba mendefinisikan terkait tafsir, diantaranya adalah Tengku
Muhammad Hasbi al-Shiddieqy yang menjelaskan bahwa tafsir merupakan
1 Rosihan Anwar, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h. 209. 2 Baca Khalid Ibn Utsmān, Qawā’id al-Tafsīr, Vol. 1 (Dār Ibn ‘Affān: t.tth, 1421
3. Adanya kata atau kalimat yang mengandung majaz, isytirak dan
dilalah iltizam.8
Selain itu, di dalam al-Qur’an juga terdapat ayat-ayat yang muhkam
(terang dan jelas artinya) serta ayat mutasyabihat (kurang jelas arti dan
maknanya). Oleh sebab itu, urgensi terhadap penafsiran dirasa perlu agar
mendapatkan pemahaman mendalam terhadap ayat yang dimaksud serta
menjawab persoalan zaman yang semakin berkembang.
B. Sejarah Penafsiran al-Qur’an
Untuk memahami isi kandungan yang terdapat di dalam al-Qur’an secara
benar dan tepat, sejarah tentang turunnya al-Qur’an (ilmu asbāb al-nuzūl)
sebagai sesuatu yang penting bagi setiap orang yang ingin mengkaji serta
memahaminya. Al-Qur’an itu sendiri diturunkan dalam dua periode,
pertama; periode Mekkah yaitu pada saat Nabi Muhammad Saw.,
bermukim di Mekkah (610-622 M) sampai pada saat Nabi melakukan
hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode ini, dijelaskan oleh para ‘ulama
tafsir disebut ayat-ayat Makkiyah.9 Kedua, merupakan periode Madinah,
yakni masa dimana Nabi hijrah ke Madinah (622-632 M), ayat-ayat yang
turun di fase ini dinamakan dengan ayat-ayat Madaniyyah.
Karena sejarah turunnya al-Qur’an terbagi menjadi dua periode, tentu hal
ini sangat memudahkan untuk para pengkaji al-Qur’an agar dapat
memahami secara utuh dan jelas petunjuk serta tujuan-tujuan pokok dalam
al-Qur’an. Tercatat bahwa pada masa awal al-Qur’an turun (baik ayat-ayat
Makiyyah maupun Madaniyyah), Nabi Saw., merupakan mubayyin
(pemberi penjelasan), serta menerangkan kepada para sahabatnya tentang
maksud, arti serta kandungan dari isi al-Qur’an tersebut, khususnya
8 Mochammad Asrukin, “Tafsir Al-Qur’an: Sebuah Tinjauan Pustaka”, t.th, 4. 9 Abdul Rouf, “Al-Qur’an dalam Sejarah (Diskursus Seputar Sejarah Penafsiran al-
Qur’an)”, Jurnal Mumtaz, Vol. 1 No. 1, Tahun 2017, 5.
14
terhadap ayat-ayat yang sulit untuk dipahami. Hal itu, sebagaimana yang
termaktub di dalam firman Allah surat al-Nahl ayat 44:
م ولعلا أنزلنا إمليك ٱلذ مكر لم بمٱلب ي منتم وٱلزبرم و لملنااسم ما ن ز مل إمليهم ٤٤هم ي ت فكارون ت ب ي م“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan
kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Namun setelah Nabi Muhammad Saw., wafat, para sahabat banyak
dihadapkan dengan sejumlah permasalahan yang kompleks. Sehingga, pada
masa itu, para sahabat harus memecahkan permasalahan tersebut secara
mandiri. Maka, ijtihad dan penafsiran menjadi sebuah alternatif.10
Sejarah penafsiran al-Qur’an dimulai dari metode menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadis Nabi, atau pendapat para sahabat maupun tabi’īn.
Penafsiran ini berkembang sangat cepat, sehingga disadari atau tidak
bercampurlah antara hadis dan isra’iliyyāt. Selain itu, para sahabat di dalam
menghimpun data, banyak bertanya terkait sejarah Nabi-Nabi dan kisah-
kisah yang tercantum dalam al-Qur’an kepada ahli kitab yang memeluk
agama Islam seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar, hal inilah yang
mencetus lahirnya isra’iliyyāt.11
Kebutuhan akan penafsiran sejatinya mengandung banyak manfaat
dalam mengungkap makna yang terkandung di dalam al-Qur’an. petunjuk
yang berada di dalam al-Qur’an menjamin kebahagiaan manusia di dunia
sehingga sangat penting mengingat redaksinya yang sangat beragam. Oleh
sebab itu, penting sekali penafsiran yang bertendensi bukan hanya pada
seseorang atau satu generasi saja. Karena ayat al-Qur’an yang selalu terbuka
untuk diinterpretasikan dan tidak pernah tertutup dalam interpretasi tunggal.
10 Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir
dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Jurnal Hermeneutik, Vol. 8 No. 2,
Desember 2014, 209. 11 Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik”.
15
Maka, keberagaman interpretasi ini sesuai dan sangat cocok dengan
penafsiran ayat al-Qur’an.12
Realitas sejarah membuktikan bahwa interpretasi khususnya para ‘ulama
dan umumnya umat Islam terhadap kitab sucinya (al-Qur’an) terus
mengalami perkembangan seiring dengan berkembangnya zaman dan
tekhnologi. Jika dilihat sedikit ke belakang, maka adanya perkembangan
penafsiran dari masa klasik hingga kontemporer ini tidak terlepas dari akar
sejarah dimana al-Qur’an yang dipahami oleh generasi Islam awal. Al-
Qur’an dengan corak tafsīr bi al-ma’tsūr inilah yang menjadi landasan awal
munculnya tafsir-tafsir generasi berikutnya.
C. Metodologi Tafsir
Secara etimologi kata Metode berasal dari bahasa Yunani yakni
methodos, kata ini terdiri dari meta yang diartikan menuju, melalui,
mengikuti, sesudah; serta kata modos, yang diartikan sebagai jalan,
perjalanan, cara dan arah. Di dalam bahasa Inggris, kata methods sendiri
diartikan sebagai penelitian, metode ilmiah, hipotesa atau uraian ilmiah.13
Di dalam bahasa Arab, Metode diterjemahkan dengan istilah manhaj dan
thariqah. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata tersebut berarti sebagai
cara yang teratur dan berpikir baik-baik untuk mencapai maksud dan tujuan
atau juga diartikan sebagai sistem cara kerja agar memudahkan pelaksanaan
suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang disepakati.14
Kaitannya dengan studi al-Qur’an, maka istilah metode dapat diartikan
sebagai cara yang teratur, serta terpikir baik-baik dalam rangka mencapai
pemahaman yang benar terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sedangkan
12 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1997), h. 16. 13 Supriana dan M. Karman, Ulumul Qur’an dan Pengenalan Metodologi Tafsir
Kata Maudhū’i ini dinisbahkan kepada kata al-mawdhū’i yang artinya
adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara
semantik. Jadi tafsir maudhū’i adalah tafsir ayat al-Qur’an yang
berdasarkan kepada tema atau topik tertentu. Semua ayat yang berkaitan
dihimpun, lalu dikaji secara mendalam serta tuntas dari berbagai aspek yang
terkait dengannya, seperti asbāb al-nuzūl, kosakata dan lain sebagainya.26
Tafsir ayat al-Qur’an menggunakan metode ini memiliki dua bentuk.
Pertama, menafsirkan satu surat dalam al-Qur’an secara menyeluruh dan
utuh dengan menjelaskan tujuannya yang bersifat umum dan khusus, serta
menjelaskan korelasi antara persoalan-persoalan yang beragam dalam surat
tersebut, sehingga satu surat tersebut dengan berbagai masalahnya
merupakan satu kesatuan yang utuh. Kedua, menafsirkan dengan cara
menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang membahas satu masalah tertentu
dari berbagai ayat dan surat al-Qur’an yang diurut sesuai dengan urutan
turunnya, kemudian menjelaskan pengertian secara menyeluruh dari ayat-
ayat tersebut untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an secara utuh dan
menyeluruh dari masalah yang dibahas.27
Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan metode ini, ada beberapa
langkah yang harus dilewati oleh para mufassir, diantaranya yaitu: a).
Menghimpun ayat-ayat yang terkait dengan judul, sesuai dengan kronologi
urutan turunnya ayat tersebut. Langkah ini diperlukan guna mengetahui
kemungkinan adanya ayat al-Qur’an yang mansukh; b). Menelusuri latar
belakang turunnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah dihimpun; c). Meneliti
dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut,
26 al-Farmawī, al-Bidayāh fī ‘ala Tafsīr al-maudhū’i..., 52. 27 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”..., 252.
20
terutama adalah kosa kata yang menjadi pokok permasalahan; d). Mengkaji
pemahaman ayat-ayat dari penafsiran berbagai aliran, para mufassir, baik
klasik maupun kontemporer; e). Mengkaji semua ayat secara tuntas dan
seksama menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah tafsir serta
didukung oleh fakta-fakta sejarah.28
Adapun kelebihan metode ini adalah dapat menjawab semua persoalan
masyarakat sesuai dengan kondisinya, praktis dan sistematis, sangat
dinamis serta menafsirkan ayat al-Qur’an dengan lebih utuh. Sedangkan
kekurangannya adalah memenggal ayat al-Qur’an serta membatasi
pemahaman ayat.29 Contoh kitab tafsir yang lahir dari metode ini
diantaranya adalah Tafsīr al-Qur’ān al-Karīm, Nahwa Tafsīr al-Maudhū’i
li Suwar al-Qur’ān al-Karīm, al-Futūhāt al-Rabbāniyyah fī al-Tafsīr al-
Maudhū’i li al-āyāt al-Qur’āniyyah.30
28 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”. 29 Sasa Suanrsa, “Teori Tafsir (Kajian Tentang Metode dan Corak Tafsir Al-
Qur’an)”. 30 Amin Suma, Ulumul Qur’an..., 394.
21
BAB III
AHL AL-KITĀB DALAM WAWASAN AL-QUR’AN
A. Definisi Ahl al-kitāb
Untuk mendapatkan definisi yang jelas mengenai ahl al-kitāb dan
pengungkapannya menurut wawasan al-Qur’an, perlu dijelaskan secara
epistimologi kata dari ahl al-kitāb tersebut. Ahl al-kitāb terdiri dari dua suku
kata, yaitu ahl dan Kitāb. Kata ahl itu sendiri sudah terserap ke dalam
bahasa Indonesia yang bermakna beberapa pengertian, yakni: 1). Orang
yang mahir, paham sekali dalam suatu ilmu (pengetahuan); 2). Kaum,
keluarga, sanak-saudara serta orang-orang di dalam suatu golongan.1
Ahl di dalam bahasa Arab terdiri atas huruf alif, hā dan lā m yang secara
literal mengandung pengertian ramah, senang, atau suka.2 Kata ini juga bisa
diartikan sebagai orang yang tinggal bersama dalam suatu tempat tertentu.3
Kata Ahl kemudian digunakan untuk menunjuk kepada sesuatu yang
memiliki hubungan yang sangat dekat. Contohnya adalah ahl al-Rajul, yaitu
orang yang mempersatukan mereka, baik karena ada hubungan nasab,
agama, serta hal-hal yang setara dengannya, seperti profesi, etnis, serta
komunitas.4 Bahkan, kata ahl juga digunakan menunjuk hubungan yang
didasarkan atas ikatan agama, seperti ungkapan ahl al-Islām untuk
menunjuk penganut agama Islam.
1 Baca Tim Penyususn Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 11. 2 Louis Ma’lūf, Al-Munjid fī al-Lughah wa al-A’lā m (Dār al-Syurūq, 1986), 20. 3 G. Vadjda, “Ahl al-Kitab”, dalam Ensiklopedia of Islam (Leiden: E.J. Brill, 1960),
257. 4 Untuk penjelasan yang lebih rinci, baca Ibrahīm al-Abyā rī, Al-Maw’ūsah al-
Kata ahl yang terdapat di dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 125
kali.5 Kata ahl tersebut penggunaannya ditemukan sangat bervariasi.
Misalnya kata ahl yang menunjuk kepada suatu kelompok tertentu, seperti
ahl al-bayt (QS. Al-Aḥzā b [33]: 33), selain itu menunjuk kepada suatu
penduduk (QS. Al-Qaṣaṣ [28]: 45, menunjuk kepada keluarga (QS. Hūd
[11]: 40), serta menunjuk kepada pemilik ajaran tertentu (QS. Al-Baqarah
[2]: 105).6
Sedangkan kata al-Kitāb berarti menghimpun sesuatu dengan sesuatu
yang lain. Menurut istilah kata al-kitāb diartikan sebagai tulisan, karena
tulisan itu sendiri rangkaian dari beberapa huruf. Termaksud juga firman
Allah yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya disebut al-kitāb karena
ia merupakan himpunan dari beberapa lafadz.7
Kata al-kitāb di dalam al-Qur’an ditemukan sebanyak 319 kali, dengan
pengertian yang bervariasi, yaitu tulisan, kitab, ketentuan serta kewajiban.8
Dengan demikian, ahl al-kitāb bisa diartikan kepada suatu kominitas atau
kelompok pemeluk agama yang memiliki kitab suci yang diwahyukan oleh
Allah kepada Nabi dan Rasul-Nya.
B. Posisi Ahl al-kitāb: Antara Kafir dan Musyrik
Pembahasan mengenai kata ahl al-kitāb memang tidak akan pernah habis
untuk diperdebatkan, salah satunya mengenai posisi ahl al-kitāb ini sendiri.
Di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang keimanan
sebagian ahl al-kitāb ini kepada Allah, seperti yang dijelaskan dalam surat
Ali Imrān ayat 199.
5 Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Bā qī, Al-Mu’jam Mufahras li Alfādz al-Qur’ān al-
Karīm (Beirut: Dā r al-Fikr, 1987), 95-97. 6 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb: Makna dan Cakupannya dalam Al-Qur’an
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2016), 41. 7 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb..., 42. 8 Muhammad Galib M, Ahl al-kitāb.
23
شعين لل ل وإن من أهل ٱلكتب لمن ي ؤمن بٱلل وما أنزل إل يكم وما أنزل إليهم خ سريع ٱلساب ن ايت ٱلل ث رون ب يشت أولئك لم أجرهم عند ربم إن ٱلل ١٩٩ا قليلا
“Dan sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan
kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak
menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka
memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat
perhitungan-Nya.”
Ada pula yang mendustainya, seperti yang digambarkan di dalam surat
al-Mā ’idah ayat 68.
نجيل وما أنزل إليكم م هل ٱلكتب لستم على شيء حت تقيموا ٱلت ورىة وٱل بكم ن ر قل يهم ما أنزل إليك من ربك وليزيدن كثي ن فرين ر وكف ا ن طغي ا م س على ٱلقوم ٱلك
ا فل ت
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun
hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan
kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih
hati terhadap orang-orang yang kafir itu”.
Uraian terkait kaitan antara ahl al-kitāb dalam posisi dan status apakah
mereka kafir atau musyrik menjadi perlu untuk dibahas. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kedudukan komunitas
tersebut, terutama dalam pandangan ‘ulama-ulama Islam.
Jika kita telusuri, mayoritas ‘ulama berpendapat bahwa ahl al-kitāb
termasuk ke dalam golongan orang-orang kafir. Seperti yang telah
diinfokan oleh al-Qur’an, seperti yang digambarkan dalam surat al-
Bayyinah [98]: 1.
تي هم ٱلب ينة ل يك ١ن ٱلذين كفروا من أهل ٱلكتب وٱلمشركين منفكين حت ت
“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan
bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang
kepada mereka bukti yang nyata.”
Selain argumentasi al-Qur’an di atas, batasan dan pengertian juga
diberikan secara umum oleh para ‘ulama. Bahwa ahl al-kitāb adalah orang-
24
orang yang mengingkari dan menolak kenabian Muhammad Saw., dan
ajaran-ajaran yang dibawanya.9 Hal senada juga diungkapkan oleh al-
Ghazali yang menyatakan bahwa kekafiran terlihat di dalam keyakinan ahl
al-kitāb karena terdapat sikap mendustakan Nabi Muhammad Saw. tentang
hal yang disampaikannya. Menurut al-Ghazali, orang Yahudi dan Nasrani
adalah kafir karena mendustakan Nabi Saw.10
Selain kata kafir yang melekat kepada ahl al-kitāb, Perdebatan mengenai
mereka termasuk ke dalam kelompok musyrik juga terjadi. Karena di dalam
posisi ini, ada perbedaan yang mendalam antara kafir dan musyrik. Al-
Thabathaba’i mengatakan, term syirik terbagi ke dalam dua jenis, yaitu:
syirikzahir dan syirik khafi. Pembagian term syirik ini berdasarkan kepada
tingkat kejelasan terhadap perilaku syirik itu sendiri.11
Syirik zhahir adalah mereka yang menganggap Tuhan itu berbilang,
menjadikan patung dan berhala sebagai sesembahan, sedangkan syirik khafi
adalah perilaku ahl al-kitāb yang mengingkari kenabian, terutama karena
menganggap Isa al-Masih sebagai anak Tuhan.12
Berhubung al-Qur’an sendiri tidak mengungkapkan secara jelas tentang
kemusyrikan ahl al-kitāb, maka wajar para ‘ulama berselisih pendapat
tentang posisi ahl al-kitāb sebagai kelompok musyrik atau tidak. Sebagian
‘ulama ada yang berpendapat mereka musyrik, tetapi mayoritas ‘ulama
mengatakan bahwa kata musyrik mencakup juga orang-orang kafir dari
kalangan ahl al-kitāb. Pendapat yang terakhir dipahami oleh Fahr al-Dīn al-
9 Nasrullah, “Ahli Kitab dalam Perdebatan: Kajian Survei Beberapa Literaratur
Tafsir al-Qur’an”, Jurnal Syahadah, Volume III, No. 2, Oktober 2015, 74. 10 Nurcholis Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994),
162. 11 Muhammad Ḥusein al-Thabathaba’i, al-Mīzā n fī Tafsīr al-Qur’ā n (Beirut:
Muassasah al-‘Alami li al-Matbbu’ā h, 1983), Jilid II, 202. 12 Muhammad Ḥusein al-Thabathaba’i, al-Mīzā n fī Tafsīr al-Qur’ā n.
25
Rā zī, bahwa kata musyrik mencakup juga orang-orang kafir dari kalangan
ahl al-kitāb.13
Argumentasi al-Rāzī tersebut didasarkan kepada firman Allah dalam
surat al-Taubah [9]: 30-31. Berbeda dengan al-Rā zī yang menyatakan
bahwa ahl al-kitāb termasuk ke dalam kelompok kafir dan musyrik, Rasyīd
Ridhā menilai hal sebaliknya. Menurutnya, pengertian musyrik yang paling
jelas di dalam al-Qur’an adalah orang-orang musyrik Arab yang tidak
memiliki kitab suci atau “semacam” kitab suci (shibh). Oleh karena itu,
mereka disebut dengan “ummiyyun”, yakni orang-orang yang belum pernah
mengenal kitab suci yang berasal dari Allah.14
Pendapat Rasyīd Ridhā ini didasarkan kepada fiirman Allah seperti surat
al-Baqarah [2]: 105; al-Bayyinah [98]: 1; al-Ḥajj [22]:17; yang
menyebutkan bahwa istilah al-musyrikūn berdampingan dengan ahl al-
kitāb atau kelompok Yahudi, Nasrani, Majusi dan Shā bi’īn. Argumentasi
al-Qur’an di dalam surat al-Taubah [9]: 31 menyatakan bahwa kaum ahl al-
kitāb memiliki sifat kemusyrikan karena menjadikan rahib-rahib mereka
sebagai Tuhan, menurut Rasyīd Ridhā hal ini tidak menjadikan ahl al-kitāb
sebagai kelompok musyrik.15
Selain Rasyīd Ridhā , Sayyid Quṭb juga memberikan pendapat bahwa
ahl al-kitāb dari kalangan Yahudi dan Nasrani merupakan orang-orang
musyrik. Menurutnya, orang–orang Yahudi dan Nasrani hampir sama
dengan orang musyrik Arab yang mempercayai mitos-mitos serta
menganggap Allah memiliki anak. Menurut Sayyid Quṭb, orang musyrik
Arab pada awalnya sama dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
menganggap dan menjadikan malaikat sebagai anak-anak perempuan Allah,
13 Fahr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr al-Kabīr (Beirut: Dār al-Fikr, 1985), Jilid IV, 59. 14 Muhammad Rasyīd Ridhā , Tafsīr al-Manā r (Kairo: Dār al-Manār, 1947), Jilid
II, 349. 15 Rasyīd Ridhā , Tafsīr al-Manār.
26
serta membuat patung-patung untuk disembah dan diberi nama-nama
seperti latta, uzza dan manat, dengan tujuan agar lebih mendekatkan diri
kepada Allah.16
Demikianlah penjelasan terkait status ahl al-kitāb menurut para ‘ulama.
Dari uraian di atas dapat dicermati bahwa secara garis besar pendapat para
‘ulama terbagi ke dalam dua kelompok. Pertama, pendapat yang
menyatakan bahwa ahl al-kitāb masuk ke dalam kelompok kafir dan
musyrik. Kedua, pendapat yang menganggap bahwa ahl al-kitāb tidak
termasuk ke dalam kelompok kafir dan musyrik.
C. Interaksi Sosial kepada Ahl al-kitāb
Di dalam interaksi sosial, agama Islam tidak pernah
mendeskriminalisasikan seseorang ataupun kelompok karena agamanya.
Hal ini dijelaskan di dalam al-Qur’an surat Mumtahanah ayat 8-9.
تلوكم ف هىكم ٱلل عن ٱلذين ل ي ق رجو ل ي ن ن ت ب روهم وت قسطوا كم من ديركم أ ٱلدين ول يا ي ن ٨إليهم إن ٱلل يب ٱلمقسطين ت لوكم ف إن عن ٱلذين ق ن هىكم ٱلل ٱلدين وأخرجوكم م
م فأولئك هم ٱلظل م ديركم وظهروا على إخراجكم أن ت ولوه ٩مون ومن ي ت ول“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil [9]. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena
agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Ayat di atas, bisa dipahami bahwa al-Qur’an tidak menjadikan
perbedaan latar belakang agama sebagai alasan untuk tidak berinteraksi
sosial, menjalin hubungan kerja sama, apalagi sampai mengambil sikap
III, 258. 30 Muhammad Jamal al-Dīn al-Qāsimī, Tafsīr al-Qāsimī (Kairo: Isa al-Babi al-
Halabi, 1958), Jilid 4, 1863.
41
kepada komunitas Yahudi dan Nasrani, bahkan lebih jauh Sayyid Qutbh
menambahkan bahwa ahl al-kitāb itu orang-orang yang menganut agama
Yahudi dan Nasrani dari dulu sampai sekarang, dari masa kapan pun dan
dari suku bangsa manapun.31 Pendapat yang dikemukakan oleh Sayyid
Qutbh ini juga dipegang oleh M. Quraish Shihab, hal ini didasarkan kepada
istilah ahl al-kitāb yang hanya terbatas pada dua komunitas Yahudi dan
Nasrani sebagai golongan yang ada di Arab pada masa itu.32
Terakhir terdapat pendapat Muhammad Arkoun (w. 2010 M/1331 H)
yang juga ikut berpartisipasi di dalam menafsirkan kata ahl al-kitāb.
Arkoun mencoba memberikan pandangan yang segar mengenai ahl al-kitāb
serta memunculkan polemik, ketika mencetuskan gagasan Masyarakat
Kitab. Menurut Arkoun, ahl al-kitāb selama ini dianggap dengan orang-
orang yang tersesat dan dipakai untuk menguatkan keunikan serta otentitas
wahyu yang baru. Citra baru mengenai wahyu tersebut memberikan kesan
bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani melakukan perubahan pada naskah
dan penyelewengan maknanya.33
Untuk menemukan konsep ahl al-kitāb yang pas, Arkoun menggunakan
pendekatan dekonstruksi (pembongkaran) atas konsep lama yang sering
dipahami secara sempit oleh para mufassir al-Qur’an terdahulu. Lebih lanjut
Arkoun menjelaskan:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang harus dihadapi Muhammad
Saw. di Mekkah dan Madinah. Mereka disebut dalam al-Qur’an sebagai
polemik wahyu yang lebih awal, orang-orang beriman yang dikasihi Allah
31 Sayyid Qutbh, Tafsīr fī Zhilal al-Qur’ān (Dār al-‘Arabiyah, t.th), Jilid I, h. 135;
Muhammad Ḥusien al-Thabathaba’i, al-Mīzān fī Tafsīr al-Qur’ān (Beirut: Muassasah al-
‘Alami al-Matbu’āh, 1983), Jilid III, 306-307. 32 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., 368. 33 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an menurut Penafsiran
Muhammad Arkoun dan Nurcholis Madjid (Sebuah telaah perbandingan), Jurnal Al-
Dzikra, Volume X, No. 1, Januari-Juni 2016, 56.
42
sama dengan orang-orang muslim, yang telah menerima wahyu yang baru.
Ibrahim bukan Yahudi atau Nasrani melainkan muslim murni, seorang
beriman yang sepenuhnya mengabdi kepada Allah. Perspektif sejarah
spiritual ini, atau sejarah penyelamatan, sangat jelas dalam al-Qur’an, dan
merupakan dimensi penting dalam teologi modern tentang wahyu.”34
Pendekatan dekonstruksi yang ditawarkan oleh Arkoun memang sangat
kontroversial. Karena ia memang membongkar habis istilah ahl al-kitāb
dengan istilah yang baru yaitu, Masyarakat Kitab. Bagi Arkoun, selama ini
umat Islam kebanyakan memahami konsep ahl al-kitāb sebatas kepada
komunitas Yahudi dan Nasrani saja. Bahkan ada juga yang menambahkan
komunitas Majusi dan Shābi’īn.
Bahasa ahl al-kitāb yang berada di dalam al-Qur’an, menurut Arkoun
menunjuk kepada komunitas yang berkitab di luar Islam. Namun
sayangnya, istilah tersebut sudah menjadi kenyataan umum dikalangan
umat Islam bahwa komunitas Yahudi dan Nasrani saja yang pantas
digolongkan ahl al-kitāb.35
Menurut Arkoun, istilah Masyarakat Arab lebih tepat karena
mengandung makna dan klasifikasi yang lebih luas, yaitu seluruh komunitas
masyarakat yang memiliki kitab, terlepas bagaimana kemudian kitab suci
mereka dipahami sebagai sesuatu yang menyimpang.36
Pandangan Arkoun terkait Masyarakat Kitab tersebut telah membawa
pada tafsiran baru mengenai konsep ahl al-kitāb di dalam al-Qur’an.
Arkoun juga menganjurkan, dalam memahami realitas kemajemukan
masyarakat perlu adanya pendekatan dan pemahaman baru terhadap agama
itu sendiri.
34 Muhammad Arkoun, “Pemikiran Tentang Wahyu: Dari Ahlul Kitab hingga
Masyarakat Kitab”, Jurnal Ulumul Qur’an, Volume IV, No. 2, Tahun 1999, 46. 35 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an.., 60-61. 36 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an.
43
C. Ahl al-Kitāb: Maknanya dalam Perspektif ‘Ulama Nusantara
Di atas sudah banyak diterangkan mengenai argumentasi penafsiran
‘ulama mulai dari klasik, pertengahan ataupun kontemporer mengenai kata
ahl al-kitāb. Banyak sekali ditemukan perbedaan penafsiran mengenai kata
tersebut. Selain ketiga periode ‘ulama di atas, dalam menafsirkan kata ahl
al-kitāb, skripsi ini juga menawarkan konsep ‘ulama nusantara mengenai
kata tersebut. Perspektif ini tentunya sangat penting untuk dipaparkan agar
adanya sudut pandang lain terkait kata ahl al-kitāb dalam konteks
keindonesian.
Nurcholis Madjid, ‘ulama atau scholar Muslim Indonesia pada masa
kontemporer yang juga menawarkan konsep serta makna kata ahl al-kitāb.
Nurcholis Madjid memang ikut larut dalam perdebatan terhadap dua
pandangan mengenai kata ahl al-kitāb, yaitu pandangan yang mengatakan
bahwa Yahudi dan Nasrani adalah golongan ahl al-kitāb seperti yang
digambarkan di dalam al-Qur’an. Sedangkan pendapat yang lain, ingin
menunjukan adanya semangat al-Qur’an yang prulalis dalam memandang
komunitas (agama) yang lain, selain Yahudi dan Nasrani, seperti Majusi,
Shābi’īn, Budha, Hindu, dan Kong Hucu.37
Terkait dengan ayat-ayat simpatik terhadap ahl al-kitāb, menurut
Nurcholis Madjid, masih ada di kalangan ‘ulama tafsir yang menganggap
mereka itu bukan lagi ahl al-kitāb, melainkan sudah Muslim. Akan tetapi
ada juga yang beranggapan bahwa mereka tetap mengingkari karasulan
Muhammad Saw. dan kitab suci al-Qur’an.38 Berikut pernyataan Nurcholis
Madjid:
“Karena di dalam ayat-ayat itu tidak disebutkan bahwa mereka beriman
kepada Rasulullah Saw. meskipun mereka percaya kepada Allah dan hari
37 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an..., 49. 38 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi
Doktrin Islam dalam Sejarah (Paramadina: Jakarta, 1995), 77.
44
kemudian (sebagaimana agama-agama mereka) maka mereka secara
langsung ataupun tidak termasuk mereka yang “menentang” Nabi, jadi
bukan golongan Muslim. Namun, karena sikap mereka yang positif kepada
Nabi dan kaum Muslimin, maka perlakuan kepada mereka oleh kaum
Muslimin juga dipesan untuk bersikap positif dan adil, yaitu selama mereka
tidak memusuhi dan tidak pula merampas harta kaum Muslimin itu. Oleh
karena itu, meskipun al-Qur’an melarang kaum Muslimin untuk berselisih
dan berdebat dengan ahli kitab, khususnya berkenaan dengan masalah
agama, namun terhadap yang zalim dari kalangan mereka, kaum Muslimin
dibenarkan untuk membalas hal serupa. Ini wajar, dan sesuai dengan prinsip
universal pergaulan antar sesama manusia.”39
Pernyataan dari N. Madjid di atas, menggambarkan sikap sosial yang
ingin ditunjukkan di dalam kehidupan bermasyarakat. Kalau sikap ahl al-
kitāb adil dan positif kepada kaum Muslimin, maka dilarang untuk
berselisih dan berdebat, bahkan kaum Muslimin diperintahkan untuk
bersikap yang sama. Akan tetapi, jika sikap ahl al-kitāb itu zalim, maka
diperbolehkan untuk membalas hal yang setimpal pula.
Keterangan di atas juga mempertegas bahwa ahl al-kitāb juga
mendapatkan perilaku positif dan simpatik dalam al-Qur’an, dan tidak harus
dimaknai secara sempit. Bagi N. Madjid, ahl al-kitāb tidak hanya mencakup
mereka yang telah menerima seruan Nabi Muhammad Saw. tetapi juga
mencakup semua ahl al-kitāb yang memiliki sikap dan perilaku
sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an.40
Nurcholis Madjid di dalam argumentasinya mengenai ahl al-kitāb sangat
menyetujui penafsiran yang dikemukakan oleh Rasyīd Ridhā41, bahwa ahl
al-kitāb tidak hanya tertuju kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja,
akan tetapi juga meliputi Majusi, Shābi’īn, Hindu, Budha, serta Kong
39 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban. 40 Andi Eka Putra, “Konsep Ahlul al-Kitab dalam al-Qur’an..., 52. 41 Terdapat penjelasan mengenai ahl al-kitāb dalam perspektif Muhammad Rasyīd
Ridhā di dalam skripsi ini.
45
Hucu.42 Lebih jauh, memang pandangan Nurcholis Madjid terhadap ahl al-
kitāb ini sangat dipengaruhi oleh Rasyīd Ridhā.
Selain Nurcholis Madjid, terdapat Muhammad Qurasih Shihab salah satu
‘ulama kontemporer Indonesia yang juga ikut dalam meramaikan
penafsiran kata ahl al-kitāb. Qurasih shihab mengemukakan
kecendrungannya dalam memahami ahl al-kitāb sebagai semua penganut
agama Yahudi dan Nasrani, kapan pun, dimana pun, serta dari keturunan
siapapun mereka.43 Pendapatnya ini berdasarkan kepada penggunaan al-
Qur’an terhadap istilah tersebut terbatas kepada kedua komunitas (Yahudi
dan Nasrani).
Demikianlah pendapat ‘ulama Nusantara mengenai kata ahl al-kitāb.
Nurcholis Madjid mengemukakan bahwa kata ahl al-kitāb di dalam al-
Qur’an tersebut menggambarkan semua komunitas agama termasuk selain
Yahudi dan Nasrani. Sedangkan bagi Qurasih Shihab, makna itu hanya
tertuju kepada keturunan Yahudi dan Nasrani kapan pun, dimana pun serta
keturunan siapapun mereka. Hal ini karena Nurcholis Madjid banyak
mengutip pendapat dari Rasyīd Ridhā, sedangkan Quraish Shihab bertahan
pada argumentasi yang didukung oleh firman Allah surat al-An’ām ayat 156
yang artinya, “(Kami turunkan al-Qur’an itu) agar kamu (tidak
mengatakan), bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan saja
sebelum kami, dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang
mereka baca”.
D. Analisis Pergeseran Makna Ahl al-Kitāb dari Masa ke Masa
Setelah mendapatkan penjelasan serta penafsiran mengenai makna ahl
al-kitāb dari berbagai ‘ulama klasik hingga kontemporer, dapatlah diketahui
bahwa terdapat pergeseran makna serta berbagai macam pengertian yang
42 Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban..., 81. 43 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an.
46
muncul. Pergeseran makna ini dihasilkan akibat adanya perbedaan di dalam
memahami teks al-Qur’an terkait ahl al-kitāb tersebut.
Untuk menyajikan penganalisaan yang memadai, maka perlu dibuatnya
tabel pendukung agar memudahkan melihat perkembangan dari masa klasik
ke kontemporer. Berikut ini hasil pergeseran makna ahl al-kitāb serta
relevansinya dengan karateristik tafsir.
Tabel 4.1
Analisis Pergeseran Makna Ahl al-Kitab
No Klasik Pertengahan Kontemporer
Tah
un/P
erio
de
Mulai Tahun 650 M
(29 H/30 H) hingga
400 H
Mulai Tahun 400
H/ 401 H hingga
1214 H
Mulai tahun 1801 M
(1216 H/ 1217 H)
47
Met
ode/
Pen
dek
atan
1. Pendekatan
Linguistik
2. Pendekatan
berbasis Logika
3. Pendekatan
Berbasis Tasawuf
4. Pendekatan
Berbasis Tradisi
1. Pendekatan
Linguistik
2. Pendekatan
Teologis
3. Pendekatan
Falsafi dan Ilmi
4. Pendekatan
Sufistik
1. Pendekatan
Ilmiah
2. Pendekatan
Semantik
3. Pendekatan
Hermeneutik
4. Pendekatan Ilmu-
ilmu sosial
5. Pendekatan yang
bersifat mengarah
kepada
kebebasan
penulis
6. Pendekatan
Pluralisme
Agama
Kar
akte
rist
ik T
afsi
r
1. Bersumber dari
kutipan-kutipan
yang shahih
2. Menggunakan
ijtihad yang
didasarkan kepada
kaidah-kaidah
penafsiran yang
benar.
3.Pemaksaan
Gagasan
Eksternal Al-
Qur’an
4.Bersifat
Ideologis
5.Bersifat Repetitif
6.Bersifat Parsial
1. Bersifat
Kontekstual
2. Mengacu Kepada
Spirit Agama
3. Menggunakan
pendekatan
historis,
sosiologis
48
Rel
asi
Pada periode ini ahl
al-kitāb masih
dimaknai dengan
kaum Yahudi dan
Nasrani saja.
Meskipun terdapat
perselisihan
pendapat, akan tetapi
banyak penafsiran
‘ulama klasik ini
yang menjelaskan
bahwa ahl al-kitāb
ini tertuju kepada
komunitas Yahudi
dan Nasrani
Pada periode ini
makna ahl al-kitāb
lebih diperluas
maknanya. Bahkan
terdapat salah satu
‘ulama yang
mengklasifikasikan
makna ahl al-kitāb
ke dalam dua
golongan, yaitu
komunitas yang
memiliki kitab suci
yang muhaqqaq
dan komunitas
yang memiliki
kitab yang serupa
Makna ahl al-kitāb
pada masa ini
mengalami banyak
pergeseran. Bahkan
terdapat seorang
pemikir
kontemporer yang
membongkar ulang
makna ahl al-kitāb
tersebut dan
menggantinya
dengan nama
masyarakat kitab.
Dari tabel di atas menunjukan bahwa pergeseran terhadap makna ahl al-
kitāb ini telah terjadi baik menurut ‘ulama klasik, pertengahan dan
kontemporer. Perbedaan ini dapat dilihat karena adanya perbedaan
karakteristik tafsir yang berada dimasing-masing periode. Perbedaan
semakin jelas terlihat jika menilai dari karakteristik serta pendekatan tafsir
yang digunakan oleh para ‘ulama pada periode masing-masing. Dan yang
lebih penting adalah hasil penafsiran yang didapatkan membentuk pola nya
tersendiri, pada masa klasik lebih cenderung kepada pencarian makna
asal/asli, sedangkan kontemporer lebih kepada membongkar makna asli
agar mendapatkan penafsiran yang tepat dan dapat diaplikasikan dalam
kehidupan saat ini.
49
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bagian akhir ini merupakan kesimpulan dari semua pembahasan
penelitian berdasarkan pokok masalah yang dikemas di dalam pembatasan
dan rumusan masalah di dalam Bab pertama. Kesimpulan dari penelitian ini
menegaskan beberapa hal, diantaranya adalah:
Pertama, penafsiran terhadap kata ahl al-kitāb dari periode ke periode
mengalami perkembangan penafsiran. Meskipun perdebatan juga terjadi
pada setiap zamannya. Misalnya mufassir periode klasik tidak menemukan
kata sepakat terkait makna ahl al-kitāb, begitupun masa pertengahan
bahkan sampai kepada mufassir kontemporer.
Kedua, perkembangan terhadap penafsiran itu sendiri diakibatkan karena
semakin berkembangnya ilmu tafsir. Bahkan lebih jauh, penafsiran setelah
masa sahabat banyak didominasi oleh aliran pemikiran, pengaruh madzhab,
dan serta lingkungan sosial yang mengakibatkan antara daerah satu dengan
yang lainnya berbeda dalam memahami konteks ayat tersebut.
Ketiga, jika dilihat dari historisnya, penafsiran kata ahl al-kitāb pada
masa klasik menunjuk kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja,
kemudian pada masa pertengahan mulai terjadi perluasan makna bahwa ahl
al-kitāb bukan hanya terpaku kepada komunitas Yahudi dan Nasrani saja,
akan tetapi termasuk juga komunitas Majusi. Bahkan pada masa ini sampai
kepada pengklasifikasian ahl al-kitāb yang dijelaskan oleh al-Syahrastānī.
Sedangkan pada masa kontemporer/ modern, penafsiran menjadi lebih luas,
bahkan sampai menimbulkan kontroversi. Ahl al-kitāb pada masa ini
dimaknai lebih luas, Rasyīd Ridhā misalnya memaknai kata ahl al-kitāb
bukan hanya mencakup Yahudi, Nasrani, Majusi dan Shābi’īn seperti yang
50
dijelaskan oleh al-Qur’an. Ia menjelaskan bahwa makna ini mencakup
makna yang lebih umum, yaitu mencakup komunitas lain seperti (Hindu,
Budha, Khong Hucu, dan lainnya). Meskipun terdapat pula penafsiran yang
mengutip pendapat ‘ulama terdahulu.
Keempat, ahl al-kitāb dalam konteks ‘ulama Nusantara tidak terlalu
berbeda jauh dengan penafsiran yang sudah ada sebelumnya. Nurcholis
Madjid misalnya sangat setuju dengan pendapat Rasyīd Ridhā mengenai
konsep ahl al-kitāb, sedangkan M. Quraish Shihab lebih condong kepada
penafsiran Sayyid Quṭb meskipun tidak mengakuinya secara eksplisit.
B. Saran-saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut:
1. Kaum Muslimin diharapkan untuk memahami, ikut andil, serta terus
menggali pemikiran para ‘ulama tafsir (mufassir), khususnya ayat-ayat
yang bersinggungan dengan sosial-masyarakat, hubungan antar komunitas
(agama, suku, ras dan etnis) agar dapat menambah wawasan, kajian serta
ikut meramaikan penelitian terkait al-Qur’an dan sunnah agar dapat
diterapkan di dalam kehidupan.
2. Karya ilmiah ini tidak luput dari kekurangan, sehingga penulis
berharap adanya kajian lanjutan mengenai tema ahl al-kitāb.
51
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Muhammad. Tafsī r al-Qur’ān al-Karīm Juz ‘Ammā. Kairo: Dār wa