-
1
TEKNOLOGI PEMBELAJARAN
PERENCANAAN PEMBELAJARAN
BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER
Disusun Oleh :
Dedi Kurniawan (K2513014)
Faqih Bahrudin (K2513022)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi
pembelajaran
yang diampu oleh Bapak Dr. H. Roemintoyo S.T., M.Pd.
PENDIDIKAN TEKNIK MESIN
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK KEJURUAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2014
-
2
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasca reformasi 1998 bangsa Indonesia menunjukkan indikasi
terjadinya
krisis karakter yang cukup memprihatikan. Demoralisasi mulai
merambah ke
dunia pendidikan yang belum memberi ruang untuk berperilaku
jujur karena
proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan
budi pekerti
sebatas pengetahuan yang tertulis dalam teks dan kurang
mempersiapkan siswa
untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif.
Fenomena
maraknya praktik korupsi bisa juga berawal dari kelemahan dunia
pendidikan
dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi yang turut
bertanggung jawab
membenahi moralitas anak bangsa, ditemukannya beberapa bukti
seperti
tingginya angka kebocoran di institusi pendidikan, pengkatrolan
nilai oleh guru,
plagiatisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya
nyontek para
siswa, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya telah menunjukkan
betapa telah
terjadi reduksi moralitas dan nurani sebagian dari kalangan
pendidik dan peserta
didik, di sisi lain, praktik pendidikan Indonesia yang cenderung
terfokus pada
pengembangan aspek kognitif dan sedikit mengabaikan aspek soft
skils sebagai
unsur utama pendidikan karakter, membuat nilai-nilai positif
pendidikan belum
optimal dicapai.
Budaya korupsi yang menghancurkan moralitas bangsa Indonesia
memang
masih terus terjadi. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
mengurangi bahkan
menghancurkan praktik yang merugikan kehidupan bangsa ini.
Pembentukan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Koordinasi Pemberantasan
Tindak
Pidana Korupsi Presiden (Inpres No.5/2004 tentang Percepatan
Pemberantasan
Korupsi) merupakan sebagian jawaban dalam upaya memberantas
budaya
koruptif. Upaya penanggulangan dan pemberantasannya senyatanya
telah
dilakukan dengan cara yang lebih canggih, bahkan para penegak
hukum, terutama
KPK telah menggunakan semua kekuatan yang dimilikinya. Namun,
praktik ini
masih terus berlangsung dengan modus yang lebih canggih.
-
3
Korupsi merupakan salah satu bentuk krisis karakter yang sangat
dampaknya
buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama
kemajuan
ekonomi, dan pada akhirnya korupsi menjadi sumber dari
berkembangnya
kemiskinan di Indonesia. Posisi Indonesia dalam kancah pergaulan
internasional,
sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah
menyebabkan bangsa ini
kehilangan martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa lain.
Korupsi terjadi
karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama
sekali kejujuran,
pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab
sosial.
Fenomena sosial yang terjadi pada akhir-akhir ini, budaya
korupsi sudah
merambah di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
BUMN. Kasus kasus
Bank Century, kasus suap pada anggota DPR, Markus (makelar
kasus) ala
Gayus Tambunan, korupsi perpajakan lainnya, mafia pengadilan,
dan lain-lain
adalah fenomena korupsi yang sering kita dengar dan tonton di
mass madia.
Kasus tersebut mengambarkan bahwa aktivitas kelembagaan, semakin
lama
semakin terjebak kepada budaya koruptif bahkan mengacu budaya
yang pragmatis
materialistik, padahal budaya kelembagaan haruslah jauh dari
kepentingan
pragmatis materialistik dan harus mengacu pada nilai-nilai
pendidikan
spiritualitas, sebagaimana yang mereka cita-citakan. Budaya
kelembagaan
mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat seperti jujur,
tegas, hati-hati,
percaya diri, penuh pertimbangan, berani, sopan, bersemangat,
lembut, dan halus,
sikap ramah, moderat dan bijaksana, rendah hati, adil,
mengamalkan kebaikan,
menabur kasih sayang, hidup sederhana, taat dan patuh, sabar
menjaga
kedamaian, dapat mempercayai dan dipercaya.
Memudarnya karakter anak bangsa juga ditunjukkan oleh
meningkatnya
aksi-aksi yang berdampak pada rusaknya diri bangsa kita sendiri,
seperti tawuran,
vandalism, saling caci-maki, perkelahiran antarsporter,
pembunuhan,
pemerkosaan, penipuan, dan sejenisnya, ketika bangsa-bangsa lain
bekerja keras
mengerahkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing
negaranya,
sebagian dari anak bangsa justru terjebak pada perilaku yang
tidak produktif dan
merugikan masyarakat sendiri. Penyelesaian perbedaan pendapat
dengan meng-
gunakan kekerasan dan mengarah pada konflik horizontal bahkan
SARA,
-
4
sebagaimana yang sering dipertontonkan media massa, menunjukkan
semakin
memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan dalam negara
yang berbhineka
tunggal ika.
Kalangan anak muda, yang notabene generasi penerus bangsa juga
muncul
perilaku-perilaku menyimpang dan menyedihkan. Maraknya geng
motor, seks
bebas, keterlibatan dalam narkoba, tawuran, perilaku santai,
ugal-ugalan di jalan
dan sebagainya merupakan beberapa kasus yang mewarnai kehidupan
mereka dan
tak layak untuk diteladani.
Krisis karakter memang menjadi masalah kita bersama. krisis
karakter
merupakan sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa
diperoleh secara
mudah, tanpa kerja keras, dan bisa dicapai dengan menadahkan
tangan ataupun
dengan menuntut ke kiri dan ke kanan. Kebiasaan menimpakan
kesalahan kepada
orang lain juga merupakan salah satu karakter yang menghambat
kemajuan
bangsa ini. Banyaknya orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia
mencapai
kemajuan sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda
merupakan
salah satu contoh betapa kita cara pandang menyalahkan orang
lain masih saja
terpelihara dalam kehidupan bangsa ini. Penyebab rusaknya
ekonomi Indonesia
sering mengambinghitamkan konspirasi Amerika Serikat, IMF, World
Bank,
aaupun akibat dominasi golongan minoritas, dalam konteks ini,
kita memang
terlalu mudah menyalahkan orang/bangsa lain, tanpa kita
menginstropeksi diri.
Krisis karakter sudah waktunya diatasi secara struktural oleh
bangsa
Indonesia, karena itu penanganan krisis karakter haruslah
dimulai dari
pemahaman akan penyebab krisis di Indonesia sehingga solusi
terhadap masalah
krisis karakter didasarkan pada sumber masalah. Peran lembaga
pendidikan juga
diharapkan lebih proaktif, kreatif dan inovatif dalam merancang
proses
pembelajaran yang benar-benar mampu memberikan kontribusi
bagi
pembangunan pendidikan karakter. Dalam hal inilah proses
pendidikan karakter
perlu dirancang dalam perspektif holistik dan kontekstual
sehingga mampu
membangun pemikiran yang dialogis-kritis dalam membentuk manusia
yang
berkarakter, dalam semua level masyarakat yakni keluarga,
sekolah, masyarakat
dan negara.
-
5
Mengurai persoalan krisis karakter bukanlah pekerjaan yang mudah
karena
penyebab krisis Indonesia sudah bersifat struktural dalam
dinamika kehidupan
masyarakat. Bahkan, dalam dimensi sosiologis, krisis karakter
sudah terjadi pada
unsur-unsur masyarakat yang telah berkembang secara sistemik
sehingga efek
sosialnya mulai dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.
Penyebab sebenarnya yang menjadi pemicu krisis karakter yang
terus
bekelanjutan hingga kini tersebut di atas adalah sikap terlena
oleh sumber daya
alam yang melimpah. Setiap pikiran orang Indonesia sejak puluhan
tahun
ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya
raya. Sumber
daya alamnya melimpah, hal ini dijadikan salah satu unsur
kebanggaan bangsa
kita. Memang memiliki sumber daya alam melimpah perlu disyukuri,
namun
dipihak lain, hal itu juga bisa membawa permasalahan
tersendiri.
Dijelaskan dalam analisis ESQ adanya tujuh krisis moral yang
terjadi di
tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain adalah krisis
kejujuran, krisis
tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin,
krisis kebersamaan,
krisis keadilan. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan
bahwa penyebab
krisis karakter bersifat multidimensional, sehingga solusi
terhadap masalah krisis
karakter harus diatasi secara struktural.(Ginanjar : 2002)
Pendekatan struktural memberikan efek perubahan pada dimensi
struktur dan
proses sosial dalam masyarakat, sehingga pembentukan karakter
lebih dinamis.
Hal ini bisa terjadi karena dimensi struktur terkait dengan
pranata dan peran yang
ada dalam masyarakat, sedangkan dimensi proses menekankan pada
interaksi
sosial yang terjadi antarperan dalam kehidupan masyarakat. Lebih
khusus lagi,
peran pendidikan sangat diharapkan menjadi kekuatan yang mampu
memberikan
kontribusi bagi pembangunan karakter di Indonesia.
Pendidikan dalam era globalisasi harus menjadi the power in
building
character karena pendidikan memberi bekal kepada peserta didik
untuk memilah
mana yang baik dan mana yang kurang/tidak baik berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang logis dan kritis. Pendidikan juga
bisa menjadi
penopang bagi perubahan masyarakat. Pendidikan yang dimaksud
adalah
pendidikan karakter dengan mengembangkan energi pembelajaran
secara optimal.
-
6
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sbb :
1. Memaparkan teori-teori Perencanaan pembelajaran berbasis
pendidikan
karakter menurut para ahli.
2. Memaparkan konsep pendidikan karakter
3. Memaparkan pentingnya Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran
4. Memaparkan encana pembelajaran berbasis pendidikan
karakter.
C. Manfaat Penulisan
1. Mengetahui teori-teori Perencanaan pembelajaran berbasis
pendidikan
karakter menurut para ahli.
2. Mengetahui konsep pendidikan karakter
3. Mengetahui pentingnya Pendidikan Karakter dalam
Pembelajaran
4. Mengetahui rencana pembelajaran berbasis pendidikan
karakter.
-
7
BAB 2
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Perencanaan
Perencanaan adalah menyusun langkah-langkah yang akan
dilaksanakan
untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan
tersebut dapat disusun
berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
keinginan
pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan
yang dibuat
harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran.
Perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan.
Perencanaan
mengandung rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan
penjelasan-penjelasan
dari tujuan, penentuan kebijakan, penentuan program, penentuan
metode-metode
dan prosedur tertentu dan penentuan kegiatan berdasarkan jadwal
sehari-hari.
Perencanaan mencakup rangkaian kegiatan untuk menentukan tujuan
umum
(goal) dan tujuan khusus (objektivitas) suatu organisasi atau
lembaga
penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan dukungan informasi yang
lengkap.
Setelah tujuan ditetapkan perencanaan berkaitan dengan
penyusunan pola,
rangakaian, dan proses kegiatan yang akan dilakukan untuk
mencapai tujuan
tersebut. Kesimpulannya, efektifitas perencanaan berkaitan
dengan penyusunan
rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan, dapat diukur dengan
terpenuhinya
faktor kerjasama perumusan perencanaan, program kerja madrasah,
dan upaya
implementasi program kerja dalam mencapai tujuan.
B. Pengertian pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh para guru
dalam
membimbing, membantu, dan mengarahkan peserta didik untuk
memiliki
pengalaman belajar. Pengajaran adalah suatu cara bagaimana
mempersiapkan
-
8
pengalaman belajar bagi peserta didik. (Jones at. Al dalam
Mulyani Sumantri,
1988:95).
C. Pengertian Pendidikan
Secara etimologi kata pendidikan berasal dari kata "didik"
yang
mendapat awalan "pe" dan akhiran "an" , maka menjadi kata
pendidikan. Dari
Bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata pedagogi yaitu kata
paid yang
artinya anak dan agogos yang artinya membimbing, sehingga
pedagogi dapat
diartikan sebagai ilmu dan seni membimbing anak.
UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional,
pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat,
bangsa dan Negara.
Menurut epistimologi para ahli mengemukakan berbagai arti
tentang
pendidikan Prof. Zahara Idris, M.A. misalnya, mengatakan bahwa
Pendidikan
ialah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara
manusia dewasa
dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan
media dalam
rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak
seutuhnya.
Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa Pendidikan adalah bimbingan
atau
pimpinan secara sadar oleh pendidik terdapat perkembangan
jasmani dan rohani
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu, yang
merupakan
pengulangan yang perlahan tetapi pasti dan terus-menerus
sehingga sampai pada
bentuk yang diinginkan.
Kesimpulannya bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana
untuk
-
9
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau
pelatihan agar peserta
didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya
memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri,
kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya dan
masyarakat.
Konsep yang lebih jelas dituangkan adalah pendidikan yang
dirumuskan
dalam UU RI No 2 th 1989. Bab 1, pasal 1. butir 1 : Pendidikan
ialah usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran
dan atau latihan bagi peranan masa yang akan datang.
Istilah pendidikan dalam perkembangannya berarti bimbingan
atau
pertolongan yang diberikan secara sengaja terhadap anak didik
oleh orang dewasa
agar anak didik menjadi dewasa, dalam perkembangan selanjutnya,
pendidikan
berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok
orang untuk
mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa
atau
mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam
arti mental,
dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa
dalam pergaulan
dengan anak-anak untuk memimpin perkembanagan jasmani dan
rohaninya
kearah kedewasaan.
D. Pengertian Perencanaan Pendidikan
Perencanaan Pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan
seperangkat
keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa depan yang di arahkan
untuk mencapai
tujuan-tujuan dengan cara-cara optimal untuk pembangunan ekonomi
dan social
secara menyeluruh dari suatu Negara.
Perencanaan adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat
kegiatan
dapat berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah
yang antisipatif guna
memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut
mencapai
-
10
tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan yang dimaksud
pembelajaran memiliki
hakikat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya
untuk
membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak
hanya
berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar,
tetapi mungkin
berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai
untuk mencapai
tujuan pembelajaran yang diinginkan. Pembelajaran memusatkan
perhatian pada
bagaimana membelajarkan siswa, dan bukan pada apa yangdipelajari
siswa.
Adapun perhatian terhadap apa yang dipelajari siswa merupakan
bidang
kajian dari kurikulum, yakni mengenai apa isi pembelajaran yang
harus dipelajari
siswa agar dapat tercapainya tujuan. Pembelajaran lebih
menekankan pada
bagaimana cara agar tercapai tujuan tersebut. Kaitan ini hal-hal
yang tidak bisa
dilupakan untuk mencapai tujuan adalah bagaimana cara menata
interaksi antara
sumber-sumber belajar yang ada agar dapat berfungsi secara
optimal.
Mengacu konteks pengajaran, perencanaan dapat diartikan sebagai
proses
penyusunan materi pelajaran, penggunaan media, pendekatan dan
metode
pembelajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan
dilaksanakan
pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
Secara terminologi, perencanaan pembelajaran terdiri atas dua
kata, yakni
kata perencanaan dan kata pembelajaran. Pertama, perencanaan
berasal dari kata
rencana yaitu pengambilan keputusan tentang apa yang harus
dilakukan untuk
mencapai tujuan. Setiap perencanaan minimal harus memiliki empat
unsur
sebagai berikut :
1. Adanya tujuan yang harus dicapai.
2. Adanya strategi untuk mencapai tujuan.
3. Sumber daya yang dapat mendukung.
4. Implementasi setiap keputusan.
Tujuan merupakan arah yang harus dicapai. Tujuan perlu
dirumuskan dalam
-
11
bentuk sasaran yang jelas dan terukur agar perencanaan dapat
disusun dan
ditentukan dengan baik. Dengan adanya sasaran yang jelas maka
ada target yang
harus dicapai. Target itulah yang selanjutnya menjadi fokus
dalam menentukan
langkah-langkah selanjutnya.
Strategi berkaitan dengan penetapan keputusan yang harus
dilakukan oleh
seorang perencana, misalnya keputusan tentang waktu pelaksanaan
dan jumlah
waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Penetapan sumber
daya diperlukan
untuk mencapai tujuan yang meliputi penetapan sarana dan
prasarana yang
diperlukan, anggaran biaya dan sumber lainnya. Implementasi
adalah pelaksanaan
dari strategi dan penetapan sumber daya. Implementasi merupakan
unsur penting
dalam proses perencanaan karena dapat digunakan untuk menilai
efektivitas suatu
perencanaan.
Kedua, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerjasama
antara guru
dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber daya yang
ada baik
yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat,
bakat dan
kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun
potensi yang ada
di luar diri siswa seperti lingkungan sebagai upaya untuk
mencapai tujuan belajar
tertentu.
Berdasarkan dua makna tentang konsep perencanaan dan konsep
pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan
pembelajaran adalah
proses pengambilan keputusan hasil berpikir secara rasional
tentang sasaran dan
tujuan pembelajaran tertentu, yakni perubahan perilaku serta
rangkaian kegiatan
yang harus dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut
dengan
memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada. Hasil
akhir dari proses
pengambilan keputusan tersebut adalah tersusunnya dokumen yang
berisi tentang
hal-hal di atas, sehingga selanjutnya dokumen tersebut dapat
dijadikan sebagai
acuan dan pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran
-
12
Definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari
beberapa pendapat
tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan
dalam
menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan
keputusan
yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat azas) internal
yang berhubungan
secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam
bidang-bidang itu
sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan
tidak ada batas
waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu
kegiatan mendahului
dan didahului oleh kegiatan lain.
Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat
ditentukan
oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga
nampaknya dalam hal
ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya.
Adapun
komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :
1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil
keputusan
dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan
nasional
dalam bidang pendidikan.
2. Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan
(policy) secara
operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari
perencanaan
pendidikan. Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan
pendidikan.
Dalam penentuan kebijakan sampai kepada palaksanaan
perencanaan
pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
siapa yang memegang
kekuasaan, siapa yang menentukan keputusan, dan faktor-faktor
apa saja yang
perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Terutama dalam
hal pemegang
kekuasaan sebagai sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh
perhatian,
misalnya mengenai system kenegaraan yang merupakan bentuk dan
system
manajemennya, bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan
tugas-tugas
yang terkandung dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot untuk
jaminan dapat
terlaksananya perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui
melalui output atau
-
13
hasil system dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu
sendiri, yaitu dokumen
rencana pendidikan.
Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat
dimaklumi
bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan
suatu konsep
keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian,
perencanaan
pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai
secara cepat, tapi
memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau
bidang
pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut
kepentingan nasional.
E. Pengertian Karakter
Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani, yaitu to mark yang
artinya
menandai. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah
laku. Ada dua
pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan
bagaimana seseorang
bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur,
kejam, ataupun rakus,
tentulah orang tersebut dianggap memiliki perilaku buruk.
Sebaliknya, apabila
seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang
tersebut dianggap
memiliki karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya
dengan
personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter,
apabila
tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap
bahwa karakter
lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam
bersikap atau
melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam dirinya.
Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Karakter
adalah
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,
personalitas, sifat, tabiat,
temperamen, watak. Sementara berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku,
bersifat, bertabiat dan berwatak.
Dengan demikian, karakter mulia, berarti individu itu memiliki
pengetahuan
tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai
seperti reflektif, percaya
-
14
diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif,
mandiri, hidup sehat,
bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani,
dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu
berbuat salah, pemaaf,
berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti,
berinisiatif, berpikir
positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja,
bersemangat, dinamis,
hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif,
pengendalian diri,
produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah,
terbuka, tertib. Individu
juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun
unggul. Selain itu,
individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan
kesadarannya tersebut.
Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai
individu (intelektual,
emosional, sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang
yang
berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, dirinya,
sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia
internasional pada
umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan
disertai
dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Dalam merumuskan hakikat karakter, Simon Philips (2008:235)
berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang
menuju pada suatu
sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang
ditampilkan.
Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama
dengan
kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau
karakteristik, atau gaya,
atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari
bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa
kecil dan juga
bawaan seseorang sejak lahir.
Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu
berkaitan dengan
kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi, orang
berkarakter
adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif.
Dengan demikian,
-
15
pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti
membangun
sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan
dimensi moral yang
positif, bukan yang negatif. Gagasan dikaitkan secara langsung
character
strength dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai
unsur-unsur
psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama
dari character
strength adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar
dalam mewujudkan
sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun
kehidupan yang
baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian
seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang
diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan
terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma. Wujudnya berupa
sikap jujur, berani
bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain.
Interaksi seseorang
dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa.
Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat
dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena
manusia hidup
dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan
karakter
individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial
dan budaya
yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter
bangsa hanya
dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak
melepaskan peserta
didik dari lingkungan.
-
16
BAB 3
RUMUSAN MASALAH
Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran tentu memerhatikan
aspek
aspek yang menentukan kesuksesan pendidikan itu sendiri, salah
satunya dalah
peran karakter. Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan
transfer of
knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau
character building
dan perilaku. Isu pendidikan karakter menjadi mengedepan
disebabkan oleh
keprihatinan kita terhadap praksis pendidikan yang semakin hari
semakin tidak
jelas arah dan hasilnya.
Pendidikan yang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta
bertanggung jawab (pasal 3). Hanya dalam kenyatan, justru banyak
warga negara
yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan
narkoba, dan
kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab,
dan kasus lain
yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.
Untuk itu perlunya pendidikan berkarakter , baik dengan
terintregrasi dengan
mata pelajaran atau lewat pendidikan secara khusus. Agar
terlaksana kita harus
tahu bagaimana merencanakan pembelajaran dengan terintegrasi
dengan
character buiding. Dengan kasus demikian maka rumusan masalah
dapat
disimpulkan Bagaimana menentukan perencanaan pembelajaran
berbasis
karakter?.
-
17
BAB 4
PEMBAHASAN
A. Konsep Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri
seseorang dan
masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab.
Pendidikan
bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi
lebih luas lagi,
pendidikan merupakan sarana pembudayaan dan penyaluran nilai
(enkulturisasi
dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang
menyentuh dimensi
dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup
sekurang-kurangnya tiga
hal paling mendasar, yaitu:
1. Afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan,
akhlak mulia
termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan
kompetensi estetis;
2. Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya
intelektualitas untuk
menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi;
3. Psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan
keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi
kinestetis.
Menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara
individu dan
kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya
yaitu dasar dan
ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal
biologis (genetik) atau
hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme),
sedangkan ajar
adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan
atau perubahan
yang direncanakan atau diprogram.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem
Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan
pendidikan
nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya
pendidikan di
Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, Pendidikan nasional
berfungsi
-
18
mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk
berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Tujuan
pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas
manusia Indonesia
yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh
karena itu,
rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam
pengembangan karakter
bangsa.
Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan karakter
sangat strategis
bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang.
Pengembangan
itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan
yang sesuai, dan
metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan
sifat suatu nilai,
pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama
sekolah; oleh
karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan
pemimpin
sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang
tak terpisahkan
dari budaya sekolah.
Di sinilah, pendidikan karakter menjadi suatu sistem penanaman
nilai-nilai
karakter warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Pendidikan
karakter juga dapat dimaknai sebagai the deliberate use of all
dimensions of school
life to foster optimal character development. Dalam pendidikan
karakter di
sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan,
termasuk
komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum,
proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata
pelajaran,
pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
ko-kurikuler,
pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja
seluruh warga
-
19
sekolah. Di samping itu, pendidikan karakter juga dapat dimaknai
sebagai suatu
perilaku yang harus dilakukan warga sekolah untuk
menyelenggarakan pendidikan
yang berkarakter.
Pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: character
education is the
deliberate effort to help people understand, care about, and act
upon core ethical
values. When we think about the kind of character we want for
our children, it is
clear that we want them to be able to judge what is right, care
deeply about what is
right, and then do what they believe to be right, even in the
face of pressure from
without and temptation from within. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa pendidikan
karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu
mempengaruhi
karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta
didik. Hal ini
mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru
berbicara atau
menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai
hal terkait
lainnya.
Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan
pendidikan
moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi
anak, supaya
menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara
yang baik.
Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik
dan warga negara
yang baik bagi suatu masyarakat dan bangsa, secara umum adalah
nilai-nilai sosial
tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya. Oleh
karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia
adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang
bersumber dari
budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina
kepribadian generasi
muda.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang
bersumber dari
nilai moral universal (bersifat absolut) sebagai pengejawantahan
nilai-nilai agama
yang biasa disebut the golden rule. Pendidikan karakter dapat
memiliki tujuan yang
-
20
pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar
tersebut. Menurut para ahli
psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta
kepada Allah dan
ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat
dan santun, kasih
sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras,
pantang menyerah,
keadilan kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai
dan cinta
persatuan.
Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri
dari: dapat
dipercaya, rasa hormat, perhatian, peduli, jujur, tanggung
jawab, tulus, berani,
tekun, disiplin, visioner, adil, dan integritas. Atas dasar
itulah, penyelenggaraan
pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai
karakter dasar yang
selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak
atau lebih tinggi
(yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai
dengan kebutuhan, kondisi
dan lingkungan sekolah itu sendiri.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan
kualitas
pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal.
Tuntutan
tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni
meningkatnya
kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal
dan berbagai kasus
dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu,
gejala tersebut telah
sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan
formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan
dapat
meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta
didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya
upaya
peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal.
Namun demikian,
ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang
pendekatan dan
modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian
pakar
menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral
yang
-
21
dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan
perkembangan moral
kognitif, pendekatan analisis nilai dan pendekatan klarifikasi
nilai. Sebagian yang
lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni
melalui penanaman
nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.
Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas,
secara
psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri
individu merupakan
fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif,
konatif, dan
psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam
keluarga, sekolah,
dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi
karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut
dapat
dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional
development) , Olah
Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik
(Physical and kinestetic
development) dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity
development)
yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.
OLAH HATI
OLAH PIKIR
OLAH RASA/KARSA
OLAH RAGA
beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung
jawab,
berempati, berani mengambil resiko,
pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa
patriotik
ramah, saling menghargai, toleran,
peduli, suka menolong, gotong royong,
nasionalis, kosmopolit , mengutamakan
kepentingan umum, bangga menggunakan
bahasa dan produk Indonesia, dinamis,
kerja keras, dan beretos kerja
bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya
tahan,
bersahabat, kooperatif,
determinatif, kompetitif, ceria,
dan gigih
cerdas, kritis, kreatif, inovatif,
ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi
Ipteks,
dan reflektif
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KARAKTER
Gambar 1.1 Ruang lingkup Pendidikan Karakter
-
22
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan
moral,
diantara berbagai teori yang berkembang, ada lima teori yang
banyak digunakan;
yaitu: 1) pendekatan pengembangan rasional, 2) pendekatan
pertimbangan, 3)
pendekatan klarifikasi nilai, 4) pendekatan pengembangan moral
kognitif, dan 5)
pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut,
Elias (1989)
mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga,
yakni: 1)
pendekatan kognitif, 2) pendekatan afektif, dan 3) pendekatan
perilaku. Klasifikasi
didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan
kajian psikologi,
yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan
karakter
merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara
sistematis untuk
membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia
yang berhu-
bungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan,
kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan dan perbuat-
an berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan
adat istiadat.
B. Pentingnya Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran
Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
pada Pasal 3,menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta
bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa
pendidikan
di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna
mencapai tujuan
-
23
tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter
peserta didik
sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan
berinteraksi
dengan masyarakat.
Pendidikan karakter merupakan perpaduan yang seimbang diantara
empat
hal yaitu, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah
hati bermakna
berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir, cerdas
yang selalu merasa
membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita
luhur, dan olah
raga maknanya menjaga kesehatan seraya menggapai cita-cita
tersebut. Dengan
memadukan secara seimbang keempat anasir kepribadian itu,
peserta didik akan
mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan
karakter.
Banyak yang beranggapan kesuksesan seseorang banyak ditentukan
oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. Sesungguhnya
tidaklah
benar bila ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis
semata, tetapi
lebih dominan ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang
lain (soft
skill). Kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard
skill dan sisanya
80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada
hard skill. Hal
ini mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter sangat penting
untuk
dikembangkan.
Berbicara masalah pendidikan karakter, tentu tidak terlepas dari
pengertian
karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku
manusia yang
berhubungan dengan Sang Pencipta, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan,
dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
perkataan, dan
perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama,
budaya, dan adat
istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula
dimaknai sebagai suatu
sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi
komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai
-
24
tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Penerapan pendidikan karakter dalam konteks keindonesiaan,
merupakan
kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra putri
bangsa telah
banyak pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains
internasional.
Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bagian
implementasi
pendidikan karakter. Namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat
moral seperti
siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba,
plagiatisme dalam
ujian, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah
media. Bukan
hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan
maupun instansi
pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang
gelar
akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.
Realitas mencengangkan tersebut dapat dianalogikan sebagai
sebuah
tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang
tadinya
diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun
karsa, dan tut
wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru
kencing berdiri,
murid kencing berlari.
"Ketidaksehatan" lingkungan pendidikan inilah yang akhirnya
mendorong
munculnya tren homeschooling dan pendidikan virtual. Model
pendidikan baru ini
kian membuat sistem pendidikan formal tersisih. Tak sedikit
keluarga peserta
didik yang lantas mengalihkan anaknya untuk mengikuti program
homeschooling
karena khawatir akan pengaruh lingkungan sekolah yang tak lagi
steril.
Penyebab lain, tak jarang peserta didik mengalami tekanan
psikologis di sekolah
non-virtual disebabkan interaksi dengan guru yang terlalu kaku
dan otoriter, plus
tekanan pergaulan antarsiswa. Naasnya, pendidikan virtual
bukannya memberikan
solusi, malah membuat peserta didik semakin tercabut dari
persinggungan realitas
sosialnya.
-
25
Berbagai fenomena di atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji
ulang.
Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran
belum
sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri,
yaitu
membentuk generasi cerdas komprehensif. Oleh karena itu,
diperlukan reformasi
pendidikan, demi memulihkan kesenjangan antara kualitas
intelektual dengan
nilai-nilai moral etika, budaya dan karakter.
Proses pendidikan di samping sebagai transfer pengetahuan,
seharusnya
menjadi alat transformasi nilai-nilai moral dan character
building.Semakin
terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana
jalan yang benar
dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan kualitas
akademis yang
didapatkan tidak disalahgunakan.
Pendidikan karakter berupaya menjawab berbagai problema
pendidikan
dewasa ini. Pendidikan tersebut adalah sebuah konsep pendidikan
integratif
yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif
peserta didik
semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan
spritual.
Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata
pelajaran
baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap
mata pelajaran.
Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun
silabus dan RPP
dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks
kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya
pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan
nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya
dengan
mengambangkan pembelajaran kontekstual.
Pendidikan karakter mengantarkan siswa untuk belajar memaknai
kearifan.
Meski secara fisiologis dan psikologis, siswa belum mengerti
tentang hal itu,
namun bila melihat bahwa esensi pendidikan pada hakikatnya
adalah peniruan dan
pembiasaan, maka kearifan patut dikenalkan sejak dini.
-
26
C. Landasan Utama Pendidikan Berbasis Karakter
Landasan utama pengembangan model pendidikan karakter ini
adalah: (1)
pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter, (2)
pembelajaran
terintegrasi, dan (3) pengembangan kultur.
1. Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Karakter
Kondisi masa kini sangat berbeda dengan kondisi masa lalu.
Pendekatan
pendidikan karakter yang dahulu cukup efektif, tidak sesuai lagi
untuk
membangun generasi sekarang dan yang akan datang. Bagi generasi
masa lalu,
pendidikan karakter yang bersifat indoktrinatif sudah cukup
memadai untuk
membendung terjadinya perilaku yang menyimpang dari
norma-norma
kemasyarakatan, meskipun hal itu tidak mungkin dapat
membentuk
pribadi-pribadi yang memiliki kemandirian. Sebagai gantinya,
diperlukan
pendekatan pendidikan karakter yang memungkinkan subjek didik
mampu
mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai-nilai
yang saling
bertentangan, seperti yang terjadi dalam kehidupan pada saat
ini. Strategi tunggal
tampaknya sudah tidak cocok lagi, apalagi yang bernuansa
indoktrinasi.
Pemberian teladan saja juga kurang efektif, karena sulitnya
menentukan yang
paling tepat untuk dijadikan teladan. Dengan kata lain,
diperlukan
multipendekatan atau yang oleh Kirschenbaum (1995) disebut
pendekatan
komprehensif.
Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter
mencakup
berbagai aspek. Pertama, isinya harus komprehensif, meliputi
semua
permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang
bersifat pribadi
sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum.
Kedua, metodenya harus komprehensif. Termasuk di dalamnya
inkulkasi
(penanaman) nilai, pemberian teladan, penyiapan generasi muda
agar dapat
mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan
moral
-
27
secara bertanggung jawab, dan berbagai keterampilan hidup (soft
skills).
Generasi muda perlu memeroleh penanaman nilai-nilai tradisional
dari orang
dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota
keluarga,
pendidik, dan pemuka masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan
dari orang
dewasa mengenai integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup.
Demikian juga
mereka perlu difasilitasi untuk berlatih memecahkan masalah,
serta mempelajari
keterampilan-keterampilan (soft skills) yang diperlukan supaya
sukses dalam
kehidupan.
Ketiga, pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan
proses
pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam
proses bimbingan dan
penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan
semua aspek
kehidupan. Beberapa contoh mengenai hal ini misalnya kegiatan
belajar kelompok,
penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik- topik tulisan mengenai
1)kebaikan, 2)
pemberian teladan ,3) tidak merokok, 4)tidak korup, 5)tidak
munafik,
6)dermawan, 7)menyayangi sesama makhluk Tuhan, dan
sebagainya.
Keempat, pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan
dalam
masyarakat. Orang tua, ulama, penegak hukum, polisi, dan
organisasi
kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan
karakter.
Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan karakter
mempengaruhi
karakter generasi muda.
Selanjutnya akan diuraikan beberapa hal terkait dengan
pendekatan
komprehensif dalam pendidikan karakter.
a. Metode Komprehensif
Metode komprehensif meliputi dua metode tradisional, yaitu
inkulkasi
(penanaman) nilai dan pemberian teladan serta dua metode
kontemporer, yaitu
fasilitasi nilai dan pengembangan keterampilan hidup (soft
skills).
Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri berikut ini:
-
28
1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang
mendasarinya;
2) memperlakukan orang lain secara adil;
3) menghargai pandangan orang lain;
4) mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya
disertai dengan
alasan dan dengan rasa hormat;
5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan
kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah
kemungkinan
penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki;
6) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai
nilai-nilai yang
dikehendaki, tidak secara ekstrem;
7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan
konsekuensi
disertai alasan;
8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju;
dan
9) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda,
apabila
sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk
memberikan
kemungkinan berubah.
Pendidikan karakter seharusnya tidak menggunakan metode
indoktrinasi yang
memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi
seperti tersebut di atas.
Dalam pendidikan karakter, pemberian teladan merupakan metode
yang biasa
digunakan. Untuk dapat menggunakan metode ini, ada dua syarat
yang harus
dipenuhi. Pertama, pendidik atau orang tua harus berperan
sebagai model atau
pemberi teladan yang baik bagi peserta didik atau anak-anak.
Kedua, anak-anak
harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia,
terutama Nabi
Muhammad saw. bagi yang beragama Islam dan para nabi yang lain
bagi yang
beragama selain Islam (non-Muslim). Cara guru dan orang tua
menyelesaikan
masalah secara adil, menghargai pendapat anak, dan mengritik
orang lain secara
santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan teladan
oleh anak-anak.
-
29
Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilaku yang
sebaliknya,
anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena
itu, para guru dan
orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak,
supaya tidak
tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak.
Guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan
keterampilan
menyimak. Kedua keterampilan ini sangat diperlukan untuk
menjalin hubungan
antarpribadi dan antarkelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan
contoh bagi
anak-anak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan
pendapat
secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan
orang lain.
Keterampilan menyimak ialah keterampilan mendengarkan dengan
penuh
pemahaman dan secara kritis. Kedua keterampilan ini oleh Bolton
(Darmiyati
Zuchdi, 2010: 177) digambarkan sebagai yin dan yang. Keduanya
harus
dikembangkan secara seimbang karena merupakan komponen vital
dalam
berkomunikasi.
Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik
cara yang
terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi
nilai melatih
subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang
terpenting dalam
metode fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek
didik.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam
pelaksanaan metode
fasilitasi nilai membawa dampak positif pada perkembangan
kepribadian.
Metode yang terakhir, pengembangan keterampilan hidup (soft
skills). Ada
berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat
mengamalkan
nilai-nilai yang dianut, sehingga berperilaku konstruktif dan
bermoral dalam
masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain: berpikir kritis,
berpikir kreatif,
berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan
menemukan resolusi
konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan
keterampilan
sosial.
-
30
b. Evaluasi Komprehensif
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Oleh
karena itu,
perlu dibahas lebih dulu secara ringkas tujuan pendidikan
karakter. Secara
lengkap, tujuan pendidikan karakter harus meliputi tiga kawasan
yakni
pemikiran/penalaran, perasaan, dan perilaku.
Supaya tujuan pendidikan karakter yang berujud perilaku yang
baik dapat
tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan
berpikir/bernalar dalam
permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara
mandiri dalam
menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini
Kohlberg, berdasarkan penelitian longitudinal, telah berhasil
meredefinisi
pemikiran Dewey mengenai reflective thinking dan memvalidasi
karya Piaget
mengenai perkembangan berpikir, kemudian menyusun
tingkat-tingkat
perkembangan moral Kohlberg menemukan tiga tingkat penalaran
mengenai
permasalahan (issue) moral dan dalam setiap tingkat ada dua
tahap sehingga
seluruhnya ada enam tahap penalaran moral. Tiga tingkat tersebut
adalah
prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional (Darmiyati
Zuchdi, 2009).
Tingkat prakonvensional ditandai oleh keyakinan bahwa berarti
mengikuti
aturan konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku yang
benar adalah
yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan penguasa.
Pada tingkat
konvensional, berarti memenuhi harapan masyarakat. Keinginan
bertindak sesuai
dengan harapan masyarakat mengarahkan seseorang untuk
berperilaku yang baik.
Pandangan sosial, loyalitas, dan persetujuan oleh pihak lain
merupakan perhatian
utama orang yang penalarannya pada tingkat konvensional. Yang
terakhir, tingkat
pascakonvensional atau berprinsip ditandai oleh kebenaran,
nilai, atau
prinsip-prinsip yang bersifat umum atau universal yang menjadi
tanggung jawab,
baik individu maupun masyarakat untuk mendukungnya (Arbuthnot,
lewat
Darmiyati Zuchdi, 1988: 29).
-
31
Untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam tahap
perkembangan
penalaran moral di atas, Kohlberg menggunakan dilema moral. Dari
keputusan
moral seseorang dalam menghadapi dilema tersebut, disertai
alasan yang
mendasari keputusan tersebut, dapat ditentukan pada tahap yang
mana seseorang
berada.
Namun diskusi dilema moral hanya dapat meningkatkan pemikiran
moral
seseorang, belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral
dan tindakan
moral. Oleh karena itu, evaluasi yang dapat menggambarkan
tingkat dan tahap
penalaran moral tersebut harus dilengkapi dengan evaluasi
terhadap tingkat
perkembangan afektif yang terkait dengan permasalahan
nilai/moral.
Sebagai halnya Kohlberg yang telah menghasilkan temuan
tentang
perkembangan moral dalam ranah kognitif, Dupont (Darmiyati
Zuchdi, 2009:27)
telah menemukan tahap-tahap perkembangan afektif sebagai
berikut:
1) Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya.
2) Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal.
3) Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral.
4) Psychological-Personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain
atau komitmen
pada sesuatu yang ideal.
5) Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi.
6) Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri
secara sadar.
Untuk menentukan seseorang berada pada tahap perkembangan
afektif yang
mana, Dupont menggunakan instrumen yang menuntut adanya respons
yang
melibatkan perasaan. Di samping cara tersebut, dapat juga
dilakukan pengukuran
dengan menggunakan skala sikap, seperti yang dikembangkan oleh
Likert atau
Guttman, semantic differential yang dikembangkan oleh Nuci, atau
cara yang lain.
Meskipun namanya skala sikap, karakteristik afektif yang
dievaluasi dapat pula
minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri, dan
nilai.
-
32
Perilaku moral atau tindakan moral (moral action) hanya mungkin
dievaluasi
secara akurat dengan melakukan pengamatan dalam jangka waktu
yang relatif
lama, secara terus-menerus. Dengan demikian, dapat ditarik
kesimpulan apakah
perilaku orang yang diamati sudah menunjukkan karakter atau
kualitas akhlak
yang akan dievaluasi, misalnya, apakah orang tersebut
benar-benar jujur, adil,
disiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, dsb. Pengamat harus
orang yang
sudah mengenal orang-orang yang diamatii agar penafsirannya
terhadap perilaku
yang muncul tidak salah.
2. Pembelajaran Terintegrasi
Pembelajaran terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang
bermakna
kepada peserta didik, karena mereka memahami konsep-konsep,
keterampilan-keterampilan dan nilai-nilai yang mereka pelajari
dengan
menghubungkannya dengan konsep dan keterampilan lain yang sudah
mereka
pahami. Konsep dan keterampilan tersebut dapat berasal dari satu
bidang studi
(intrabidang studi), dapat pula dari beberapa bidang studi
(antarbidang studi).
Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan, mengingat
masalah yang
dihadapi hanya mungkin dapat diatasi secara tuntas dengan
memanfaatkan
berbagai bidang ilmu secara interdisipliner atau
multidisipliner.
Pembelajaran terpadu beranjak dari suatu tema sebagai pusat
perhatian, yang
digunakan untuk menguasai berbagai konsep dan keterampilan. Hal
ini dapat
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan secara simultan.
Dengan
menggabungkan sejumlah konsep dan keterampilan, diharapkan
peserta didik
akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.
Ada berbagai model pembelajaran terpadu, tiga di antaranya
adalah model
terhubung (connected), model jaring laba-laba (webbed), dan
model terintegrasi
(integrated). Model terhubung adalah model pembelajaran yang
menghubungkan
secara eksplisit suatu topik dengan topik berikutnya, suatu
konsep dengan konsep
-
33
lain, suatu keterampilan dengan keterampilan lain, atau suatu
tugas dengan tugas
berikutnya, dalam satu bidang studi. Berikutnya model jaring
laba-laba
merupakan model pembelajaran yang menggunakan pendekatan tematik
untuk
mengintegrasikan beberapa beberapa bidang studi. Yang terakhir,
model
terintegrasi ialah model pembelajaran yang menggabungkan
berbagai bidang studi
dengan mene-mukan konsep, keterampilan, dan sikap yang saling
tumpah tindih.
Di antara ketiga model tersebut, yang paling sering digunakan
adalah model
yang kedua, yakni model yang menggunakan pendekatan tematik.
Tema-tema
yang digunakan untuk pendidikan karakter dengan pendekatan
komprehensif,
yang diintegrasikan dalam perkuliahan dan pengembangan kultur
universitas pada
program implementasi tahun pertama (2010), antara lain: ketaatan
beribadah,
kejujuran, tanggung jawab, kedisplinan, kerja sama, kepedulian,
dan hormat pada
orang lain.
3. Pengembangan Kultur
Guna menciptakan kultur yang bermoral perlu diciptakan
lingkungan sosial
yang dapat mendorong subjek didik memiliki moralitas yang
baik/karakter yang
terpuji. Sebagai contoh, apabila suatu perguruan tinggi memiliki
iklim demokratis,
para mahasiswa terdorong untuk bertindak demokratis. Sebaliknya
apabila suatu
perguruan tinggi terbiasa memraktikkan tindakan-tindakan
otoriter, sulit bagi
mahasiswa untuk dididik menjadi pribadi-pribadi yang
demokratis.
Demikian juga apabila perguruan tinggi dapat menciptakan
lingkungan sosial
yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa tanggung jawab maka
lebih mudah
bagi para mahasiswa untuk berkembang menjadi pribadi-pribadi
yang jujur dan
bertanggung jawab. Namun, masyarakat secara umum juga perlu
memiliki kultur
yang senada dengan yang dikembangkan di lembaga pendidikan.
Berikut ini enam elemen kultur lembaga pendidikan yang baik
:
a. Pimpinan lembaga pendidikan memiliki kepemimpinan moral dan
akademik.
-
34
b. Disiplin ditegakkan di lembaga pendidikan secara
menyeluruh.
c. Masyarakat kampus memiliki rasa persaudaraan.
d. Organisasi siswa / mahasiswa menerapkan kepemimpinan
demokratis dan
menumbuhkan rasa bertanggung jawab bagi para mahasiswa untuk
menjadikan
perguruan tinggi mereka menjadi perguruan tinggi yang
terbaik.
e. Hubungan semua warga kampus bersifat saling menghargai, adil,
dan
bergotong royong.
f. Perguruan tinggi / sekolah meningkatkan perhatian terhadap
moralitas
dengan menggunakan waktu tertentu untuk mengatasi
masalah-masalah moral.
D. Tujuan, Fungsi, dan Media Pendidikan karakter
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang
tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong
royong, berjiwa
patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan
teknologi yang
semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
berdasarkan
Pancasila.
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar
agar berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan
membangun
perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban
bangsa yang
kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan
melalui
berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat sipil,
masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media
massa.
E. Nilai-nilai Pembentuk Karakter
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter
telah
teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila,
budaya dan tujuan
pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3)
Toleransi, (4) Disiplin, (5)
-
35
Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa
Ingin Tahu, (10)
Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai
Prestasi, (13)
Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca,
(16) Peduli
Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung.
F. Menentukan Perencanaan Pembelajaran berbasis Pendidikan
Karakter
Beredar anggapan bahwa sesungguhnya pendidikan karakter
sudah
ditanamkan semenjak dulu. Namun kenapa sekarang dihadirkan
kembali dalam
ranah pembelajaran? Ini tak lepas dari tuntutan dunia pendidikan
modern yang
mensyaratkan adanya perencanaan, proses hingga penilaian
pembelajaran yang
dapat diukur dengan jelas oleh siapapun dan kapanpun. Salah satu
caranya adalah
dengan penyedian perangkat pembelajaran berbasis pendidikan
karakter. Menurut
Kemdikbud, beberapa langkah yang harus dilakukan guru dalam
persiapan
pembelajaran, yaitu:
1) Merumuskan tujuan pembelajaran, dalam pelaksanaan KTSP
diwujudkan
dalam bentuk indikator. Indikator pencapaian kompetensi
dikembangkan oleh
sekolah, disesuaikan dengan lingkungan setempat, dan media serta
lingkungan
belajar yang ada di sekolah.
2) Merumuskan alat evaluasi/asesmen, baik bentuk, cara, waktu,
dan model
evaluasi yang akan dilakukan. Evaluasi ini bisa berupa formatif
(evaluasi untuk
memperbaiki pembelajaran) maupun sumatif (evaluasi untuk melihat
keberhasilan
belajar siswa).
3) Memilih materi pelajaran yang esensial untuk dikuasai dan
dikembangkan
dalam strategi pembelajaran. Materi pelajaran yang dipilih
terutama berkaitan
dengan prinsip, yang berisi sejumlah konsep dan konten yang
menjadi alat untuk
mendidik dan mengembangkan kemampuan siswa.
-
36
4) Berdasarkan karakterisktik materi (bahan ajar) maka guru
memilih strategi
pembelajaran sebagai proses pengalaman belajar siswa. Pada tahap
ini guru harus
menentukan metode, pendekatan, model, dan media pembelajaran,
serta teknik
pengelolaan kelas (laboratorium).
Perencanaan persiapan pembelajaran tidak hanya mempertimbangkan
hal-hal
yang berpengaruh terhadap komponen pembelajaran seperti
strategi, media dan
metode yang digunakan. Namun dalam mempersiapkan pembelajaran
juga harus
ditimbang keadaan internal di sekitar ruang yang akan digunakan
dalam kegiatan
belajar mengajar. Misalnya saja tentang bagaimana kondisi sosial
siswa dan orang
tuanya, kesadaran untuk terus belajar. Hal ini dilakukan agar
perencanaan
pembelajaran yang disusun, tidak hanya dapat dicerna siswa saat
berada di dalam
kelas, melainkan pula siswa sudah memiliki persiapan dan modal
awal untuk
mempraktikkanya ketika mereka sudah kembali ke rumahnya
masing-masing.
Penulis buku kependidikan, Kusrini menegaskan ada beberapa
faktor yang
berkaitan dengan persiapan pembelajaran yakni:
1) Guru perlu menelaah analisis hari efektif dan analisis
Program Pembelajaran.
Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah hari efektif dan
hari libur tiap
pekan atau tiap bulan sehingga memudahkan penyusunan program
pembelajaran
selama satu semester.
2) Guru perlu membuat program tahunan, program semester dan
program
tagihan. Hal ini dilakukan agar keutuhan dan kesinambungan
program
pembelajaran atau topik pembelajaran yang akan dilaksanakan
dalam dua
semester tetap terjaga.
3) Guru perlu menyusun silabus. Ini dilakukan agar garis besar,
ringkasan,
ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran mampu
mengantarkan siswa
mencapai standar pembelajaran yang dituju.
-
37
4) Guru perlu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran. Hal ini
dilakukan
agar proses pelaksanaan pembelajaran terarah dan dapat
berlangsung sesuai
harapan.
5) Guru perlu melakukan penilaian pembelajaran. Hal ini
dilakukan agar proses
pembelajaran yang berlangsung dapat ditentukan keberhasilan atau
kegagalannya
dalam skala nilai. (Kusrini, 2005: 135-139)
Perencanaan pembelajaran merupakan hal baru yang dilakukan oleh
guru.
Dikatakan demikian, karena sebagian guru merasa aneh dan
kesulitan dalam
membuat perencanaan pembelajaran. Hal ini terjadi karena guru
yang
bersangkutan belum memahami sepenuhnya tentang hubungan
pembelajaran
dengan efektifitas kegiatan belajar mengajar. Di samping itu,
sebagian guru juga
memiliki persepsi dan pandangan yang berbeda tentang
perencanaan
pembelajaran. Di satu sisi, perencanaan pembelajaran membantu
guru untuk
mempermudah dalam proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar,
namun di sisi
lain, penyusunan perencanaan pembelajaran yang rumit dan
melelahkan
menjadikan guru agak malas untuk membuatnya. Ini yang menjadikan
ada
sebagian guru ada yang mengusulkan agar kewajiban untuk membuat
perencanaan
pembelajaran dihapuskan saja.
Dalam pandangan mereka, sebaiknya guru dituntut untuk mengadopsi
saja
perencanaan pembelajaran dengan situasi dan kondisi tempat
mereka mengajar.
Hal inilah yang akan memperingan beban tugas guru dalam kegiatan
belajar
mengajar.
G. Peran Guru dalam Perencanaan Pembelajaran Berbasis
Pendidikan
Karakter
Kecenderungan guru untuk kurang terbiasa dalam membuat
perencanaan
pembelajaran dikarenakan rendahnya budaya tulis menulis. Hal
inilah yang
menyebabkan pembuatan perencaan pembelajaran sebagai sesuatu
yang
-
38
melelahkan. Bila ditelisik, dalam menyusun perencanaan
pembelajaran, terdapat
beberapa hal yang harus dilakukan guru di dalam kelas. Hal itu
tersaji dalam tabel
berikut ini:
Tugas Peran dalam Pembelajaran
Pertama Analis dan pengembang kurikulum. Pada konteks ini,
aktivitas yang dilakukan adalah menganalisis isi kurikulum
dan mengembangkannya menjadi suatu perangkat yang
fokus ke arah implementasi di depan kelas.
Kedua Analis klinis potensi siswa. Pada konteks ini,
aktivitas
yang dilakukan adalah mengidentifikasi, dan
mengembangkan potensi fisik dan psikologis siswa yang
menjadi tanggungjawabnya melalui pelayanan,
pembimbingan, pembelajaran dan pelatihan.
Ketiga Manajer kelas, dalam konteks ini, aktivitas yang
dilakukan adalah; merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi pembimbingan pembelajaran dan pelatihan.
Keempat Fasilitator yakni melakukan tindakan memfasilitasi
siswa, hal ini fokus pada penyiapan perangkat dan
sumber-sumber belajar di sekolah/madrasah.
Tabel 1.1 Peran Guru dalam Pembelajaran (Disdik Jabar, t.t:
2)
Berdasarkan tabel di atas, peran guru begitu beragam dalam
pembelajaran. Di
satu sisi ia memerankan diri sebagai manajer kelas, namun di
sisi lain ia bagaikan
seorang dokter yang mendiagnosis beberapa keluhan siswa mengapa
mereka
-
39
begitu sulit mencerna pembelajaran yang diterimanya. Maka dari
itu, langkah
pembelajaran yang harus disusun oleh guru, dilakukan secara
berurutan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Penentuan urutan langkah
pembelajaran sangat
penting artinya bagi materi-materi yang memerlukan prasyarat
tertentu. Selain itu,
pendekatan pembelajaran yang bersifat spiral (mudah ke sukar;
konkret ke abstrak;
dekat ke jauh) juga memerlukan urutan pembelajaran yang
terstruktur. Rumusan
pernyataan dalam langkah pembelajaran minimal mengandung dua
unsur yang
mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa, yaitu:
kegiatan siswa dan
materi.
Tabel 1.2 Contoh Pernyataan pembelajaran
Ditetapkannya kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai
kurikulum
standar yang dipergunakan di sekolah/madrasah memacu guru untuk
lebih giat
lagi dalam mengelola pembelajaran. Kini, untuk dapat mengampu
mata pelajaran,
guru pun dituntut mampu memperhitungkan apa yang akan
diajarkannya kepada
siswa. Bagaimana strategi yang digunakan hingga pada penilaian
seperti apa yang
mampu memotret kemampuan siswanya. Menjadi guru di era modern
tak jauh
bedanya dengan seorang manajer. Segala sesuatunya harus
tersistem. Dengan
-
40
adanya desain pembelajaran maka guru akan mendapatkan
rancangan/gambaran
mengenai segala sesuatu yang dilakukannya dalam merencanakan,
melaksanakan
hingga menilai kegiatan belajar mengajar yang diampunya.
Pada tahap perencanaan pembelajaran, guru mulai memperhitungkan
mana
konsep pembelajaran yang abstrak dan sulit diterjemahkan dalam
ranah praksis,
serta mana pembelajaran yang dapat diperluas konteks strategi
maupun materi
yang ingin disampaikan kepada siswa.
Perencanaan pembelajaran pendidikan karakter disusun dengan
desain yang
menggambarkan: Apa yang akan diajarkan kepada siswa (what),
bagaimana cara
pembelajaran yang dilakukan (how), mengapa pembelajaran tersebut
perlu
ditanamkan (why), kapan seharusnya pembelajaran tersebut
dilaksanakan (when),
dimana tempat paling sesuai dengan proses pembelajaran tersebut
(where), dan
media apa yang paling tempat digunakan dalam pembelajaran
tersebut (which).
Melalui kegiatan penyusunan perencanaan pembelajaran, guru akan
memiliki
keunggulan dengan persiapan yang matang dan terpola dalam
membangun sistem
pembelajaran efektif. Perencanaan pembelajaran yang baik
merupakan tahap awal
dalam mendesain pembelajaran pendidikan karakter
berkualitas.
Pembelajaran merupakan perubahan tingkah laku seseorang
melalui
pengalaman yang diulang-ulang. Hal tersebut bukanlah respon
pembawaan yang
dibawa seseorang, serta bukan sekedar proses kematangan yang
bersifat
sementara. Dengan begitu, perencanaan pembelajaran pendidikan
karakter dapat
dikatakan sebagai konsep pembelajaran yang akan diberikan kepada
siswa
berkenaan dengan materi pendidikan karakter. Lalu apa sebenarnya
yang
dimaksud dengan perencanaan pembelajaran pendidikan karakter
yang bermutu?
Paling tidak sebuah pembelajaran dikatakan memiliki nilai-nilai
pendidikan
karakter dan bermutu jika dalam diri siswa nampak adanya
perubahan. Dari yang
tidak tahu menjadi tahu, dari yang belum bisa menjadi bisa.
Thontowi menyebut
-
41
bahwa tujuan pembelajaran mengarah kepada pengembangan tiga hal
dalam setiap
diri siswa yakni pertama, pengetahuan (knowledge).
Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak mengetahui
menjadi
mengetahui, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan
sebagainya. Kedua,
keterampilan (skill); Perubahan yang diharapkan adalah dari
tidak bias membuat,
melakukan, membentuk dan sebagainya berubah bisa membuat,
melakukan,
membentuk sesuatu, dan sebagainya. Ketiga, sikap (attitude);
Perubahan yang
diharapkan adalah dari sikap negatif menjadi sikap positif, dari
sikap salah
menjadi sikap baik dan sebagainya.(Thontowi, t.t: 100).
Pengetahuan, keterampilan dan sikap merupakan komponen utama
dalam
membangun manusia berkarakter. Untuk itu, ketiga domain dalam
pembelajaran
ini tidak boleh tertinggal. Semuanya saling terkait satu sama
lain. Jika semuanya
dapat saling terkait maka akan terbentuk manusia yang memiliki
karakter dan
memiliki nilai lebih di mata orang lain,
H. Pemetaaan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam
Perencanaan
Pembelajaran
Pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap sudah semestinya
dilakukan
secara terorganisir dan disesuaikan dengan keadaan di
masing-masing
sekolah/madrasah.
Inilah alasan utama mengapa pendidikan karakter perlu
diintegrasikan dalam
seluruh aspek pembelajaran. Semua mata pelajaran mengusung
pendidikan
karakter sebagai salah satu subtansi pengetahuan dan nilai yang
ingin ditanamkan
kepada siswa.
Berikut disajikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam setiap
mata pelajaran
mata peajaran sebagaimana dilansir oleh Kementrian Pendidikan
dan
Kebudayaan yaitu sebagai berikut :
-
42
No. Mata Pelajaran Nilai Utama
1 Pendidikan
Agama
Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, santun, disiplin, bertanggung jawab,
cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai
keberagaman, patuh pada aturan sosial, bergaya
hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja
keras
2 PKn Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, nasionalis, patuh pada aturan sosial,
menghargai keberagaman, sadar akan hak dan
kewajiban diri dan orang lain
3 Bahasa Indonesia Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, berpikir logis, kritis, kreatif dan
inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin
tahu, santun, nasionalis
4 Matematika Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, berpikir logis, kritis, kerja keras, ingin
tahu, mandiri, percaya diri
5 IPS Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, nasionalis, menghargai keberagaman,
berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli
sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, kerja
keras
6 IPA Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif,
dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya
diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri,
-
43
bertanggung jawab, cinta ilmu.
7 Bahasa Inggris Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, menghargai keberagaman, santun,
percaya diri, mandiri, bekerjasama, patuh pada
aturan sosial
8 Seni Budaya Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, menghargai keberagaman, nasionalis,
dan menghargai karya orang lain, ingin tahu,
disiplin.
9 Penjasorkes Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, bergaya hidup sehat, kerja keras,
disiplin, percaya diri, mandiri, menghargai karya
dan prestasi orang lain
10 TIK/Ketrampilan Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, berpikir logis, kritis, kreatif, dan
inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan
menghargai karya orang lain
11 Muatan Lokal Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,
demokratis, menghargai keberagaman, menghargai
karya orang lain, nasionalis
Tabel 1.3 Nilai utama tiap mata pelajaran
Pemetaan nilai-nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran
merupakan
kerangka kerja konseptual dalam membantu guru merencanakan
sekaligus
melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang berbasis pendidikan
karakter.
Banyak alasan yang mengemuka untuk menjawab problem tersebut:
pertama,
dikatakan bahwa jam pelajaran pendidikan karakter hanya terselip
dalam semua
-
44
pembelajaran. Hal ini menyebabkan penanaman pengetahuan dan
nilai (transfer of
knowledge and values) yang diberikan menjadi kurang maksimal.
Kedua, guru
terlalu sibuk untuk membuat desain penilaian yang bersifat
kognitif. Demikian
pula dengan siswanya yang termotivasi mengikuti mata pelajara
berbasis
pendidikan karakter, hanya untuk sekedar mendapat nilai baik di
rapor. Ketiga,
pembelajaran pendidikan karakter tidak membekas dalam kehidupan
di sekolah
apalagi masyarakat karena pembelajarannya tidak dapat menggugah
siswa untuk
menerapkannya.
Meski terkendala waktu pertemuan yang sempit, bukan berarti
pendidikan
karakter hanya menjadi penghias, pelengkap, dan penderita dari
mapel yang ada.
Justru dengan keadaan demikian, pendidikan karakter harus mampu
mendarah
daging di kehidupan sekolah dan diwujudkan tidak hanya dari segi
pengetahuan,
tetapi juga menjadi budaya keseharian sekolah. Untuk itulah,
aspek terpenting dari
pembelajaran pendidikan karakter tidak terletak dari materi
pelajaran yang
disajikan. Namun terpusat pada sisi implementasi dan
keteladanan. Sebab
pendidikan karakter sesungguhnya adalah materi dan nilai dari
pembelajaran
moralitas dan spiritualitas yang terus berkembang. Untuk itu,
pendidikan karakter
yang ada di sekolah/madrasah merupakan akar dalam memberikan
pembekalan
nilai-nilai luhur dalam bermasyarakat dan simbolisasi budaya
religius dimanapun
seseorang tersebut berada. Dengan kata lain, pendidikan karakter
seyogyanya
tidak hanya menjadi refleksi dari pemahaman hidup agamis di
dunia namun juga
berarti menjadi cerminan kepribadian siswa dan guru dalam
menjalani hidup
dalam dua kehidupan (dunia dan akhirat).
Fokus pembelajaran pendidikan karakter yang masih tersandera
pada aspek
akademik belaka, perlu dibebaskan. Meski sebagian guru
mengetahui bahwa bila
pendidikan karakter hanya diajarkan dengan menitikberatkan pada
aspek kognitif,
namun kenyataannya memang sebagian besar penilaian pembelajaran
ini juga
-
45
lebih mengkedepankan penilaian sisi itu. Siswa pun hanya
termotivasi
mempelajari pendidikan karakter untuk sekedar selamat dan
prestasi di atas kertas
rapor atau lembar hasil belajar siswa. Namun kurang begitu
tertarik dan tertantang
untuk menjelmakannya dalam kehidupan pribadinya, antar teman
sepergaulan,
orang tua apalagi masyarakat.
Adanya perubahan orientasi penilaian pendidikan karakter
merupakan
keniscayaan. Sudah saatnya titik konsentrasi pendidikan karakter
tertuju kepada
penilaian afektif. Sebab bagaimanapun untuk anak sekolah,
tingkat kognisi
pendidikan karakter yang diajarkan tidak sedalam siswa madrasah
maupun
pesantren. Jadikan saja bahwa penilaian afektif sangat
mempengaruhi terhadap
kenaikan kelas siswa melebihi dari balutan angka yang terkadang
hanya
menggambarkan sisi pengamalan pendidikan karakter di permukaan
namun tidak
akurat bila dijadikan penilaian yang sesungguhnya.
Ini yang akan memaksa siswa untuk menyerap pendidikan karakter
sebagai
jalan kehidupan di kehidupan sekolah daripada menargetkan
mendapatkan nilai
10 di kelas. Apalagi banyak fakta yang memperlihatkan setiap
ganti tahun
ajaran baru, sejumlah siswa mengalami lupa atau sulit mengingat
kembali materi
dan nilai-nilai pendidikan karakter yang diberikan. Hal ini
dikarenakan karena
daya serap siswa terhadap materi dan nilai-nilai pendidikan
karakter masih pada
short term memory (memori jangka pendek). Adanya kecenderungan
ini bisa jadi
disebabkan : pertama, gaya pengajaran yang diberikan guru
terlihat kurang
menginspirasi siswa. Kedua, siswa tidak termotivasi atau
mendapatkan impian
untuk menerapkan pendidikan karakter di kehidupannya sehingga
mapel
pendidikan karakter tidak membekas dalam kehidupannya. Agar
pendidikan
karakter dapat teringat dan terinspirasi selalu dalam kehidupan
siswa (long term
memory), mapel ini harus disajikan dengan contoh yang ada
sangkut pautnya
dengan kehidupan siswa. Penyajian pendidikan karakter yang
banyak bersentuhan
-
46
dengan persoalan yang menukik dengan keseharian siswa akan
menjadikan siswa
tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan belajar mengajar
tersebut, tetapi juga
karena mereka merasa butuh. Persoalan kehidupan siswa yang dapat
diangkat
guru untuk disajikan ke dalam pembelajaran pendidikan karakter
antara lain:
narkoba, pacaran, jati diri remaja, jihad dalam belajar, pola
berbakti kepada orang
tua dan sebagainya.
Titik tolakan inilah yang akan mengubah pola pandang siswa
dalam
memahami pendidikan karakter, dari sekedar materi pembelajaran
yang penuh
dengan normatif untuk mengembangkan menjadi pendidikan ilmu
kehidupan di
dunia dan di akhirat. Inilah sebuah langkah mendasar (backbone)
dalam
membentuk siswa berkarakter melalui pembumian nilai-nilai
pendidikan karakter
dari kehidupan paling terdekat siswa.
I. Aktivitas Guru dalam Penyusunan Perencanaan Pembelajaran
Kesuksesan suatu lembaga pendidikan dipengaruhi oleh kualitas
gurunya.
Jika lembaga pendidikan tersebut dipenuhi dengan guru yang
berkualitas, maka
output yang dihasilkan pun akan lebih terjamin dan maksimal.
Begitu pula
sebaliknya, jika lembaga pendidikan tersebut banyak dihuni oleh
guru yang
kualitasnya jauh dari unsur kemutuan, maka output yang
dikeluarkannya menjadi
kurang maksimal dan bisa jadi malah tidak bisa menyamai standar
pembelajaran
yang diharapkan.
Terus tumbuhnya kesadaran baru dalam menyajikan mata pelajaran
yang
menyentuh semua aspek siswa menjadi dorongan bagi guru untuk
terus
meningkatkan kemampuan mengajarnya. Seiring dengan itu,
benih-benih
kesadaran guru untuk terus memperbaiki kualitas pengajarannya
pun terus
menggeliat. Ini menjadi semacam modal dasar dalam merancang
pembelajaran
dan pendidikan karakter yang multi makna.
-
47
Ketuntasan dan keefektifan pembelajaran tidak hanya ditentukan
strategi dan
materi yang diajarkan. Melainkan pula dipengaruhi juga oleh
faktor guru. Sebuah
kaidah pembelajaran dari Arab menyatakan al- thariqoh ahammu min
al-maddah,
wa lakin al-mudarris ahammu min al-thariqah. Kaidah tersebut
mengandung
pengertian bahwa metode (pembelajaran) lebih penting daripada
materi (belajar),
akan tetapi eksistensi guru (dalam proses belajar mengajar) jauh
lebih penting
daripada metode pembelajaran itu sendiri. Untuk itulah, mengampu
pembelajaran
dan pendidikan karakter tidak boleh diajarkan kepada guru
amatir. Proses
penanaman pendidikan karakter tidak hanya bertumpu kepada
sekedar
pemindahan (transfer) materi-materi, tetapi
transformasi/pengubahan
(transformation); baik itu pengetahuan, keterampilan, maupun
nilai. (Berkson dan
Wettersten, 2003: V).
Menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter memerlukan sosok
dengan
kecakapan keilmuan yang kompleks. Apalagi, pendidikan karakter
sesungguhnya
mempunyai kedekatan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Proses
interaksi
antara orang tua dan anak, proses jual beli di toko kelontong
dekat rumah, sejarah
candi-candi di sekitar tempat tinggalnya merupakan contoh
kehidupan yang
didalamnya penuh dengan muatan pendidikan karakter. Oleh karena
itu, dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran, apa yang semua yang terjadi,
tergelar dan
berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan
alam semesta
dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan (alam taka