Top Banner
PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA Orasi Ilmiah Disampaikan pada Sidang Universitas Airlangga dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas Airlangga ke-59 di Surabaya pada hari Senin Tanggal 11 November 2013 Oleh PURNAWAN BASUNDORO Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
46

PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Feb 06, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DANMASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Orasi Ilmiah

Disampaikan pada Sidang Universitas Airlangga dalam rangka peringatan Dies Natalis Universitas

Airlangga ke-59di Surabaya pada hari Senin Tanggal 11 November 2013

Oleh

PURNAWAN BASUNDORO

Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Airlangga

Page 2: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Assalamu alaikum Wr.Wb.Yang terhormat:Ketua dan Sekretaris beserta Anggota Senat AkademikUniversitas AirlanggaRektor dan Para Wakil Rektor Universitas AirlanggaDekan dan Wakil Dekan Fakultas di Universitas AirlanggaPara Guru Besar Universitas AirlanggaPara Guru Besar Tamu,Rekan Dosen, Tenaga Kependidikan, serta Civitas Akademika Universitas Airlangga.

Dan seluruh undangan yang saya muliakan,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukurkehadiran Allah SWT, karena sampai detik ini kita masihdiberi kenikmatan kesehatan dan kesempatan, sehinggakita bisa hadir dalam forum yang sangat mulia ini.Selanjutnya saya mengucapkan Dirgahayu UniversitasAirlangga, semoga almamater kita tetap menjadiuniversitas yang Excellent With Morality (universitas yangterkemuka berlandaskan pada moralitas yang tinggi)menuju World Class University (universitas bertarafinternasional).Saya mengucapkan terima kasih kepada Panitia DiesNatalis Universitas Airlangga ke-59 karena telahmemberikan kehormatan yang amat tinggi kepada sayauntuk memberikan orasi ilmiah dalam Rapat SenatAkademik Universitas Airlangga kali ini.

Page 3: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Hadirin yang saya muliakan,Selanjutnya, perkenankan saya untuk menyampaikan orasiilmiah pada mimbar akademik yang mulia ini dengan judul

“Perebutan Ruang Kota: Problem Masa Lalu, Masa Kini,dan Masa Depan Perkotaan di Indonesia ”

Orasi ilmiah akan saya awali dengan sebuah ilustrasiyang merupakan pengalaman pribadi saya ketika awalkuliah di Yogyakarta duapuluh tiga tahun yang lalu.Pada tahun 1991, tanpa sebuah kesalahan apapun, sayabersama beberapa teman “diusir” dari kost saya diTerban (Yogyakarta) oleh pemilik kost, dengan alasanbahwa tempat tersebut akan direnovasi. Tempat kost yangsangat sederhana, yang hanya berdinding gedhek, yangsudah saya tempati selama satu tahun pun akhirnya sayatinggalkan. Pada sore hari setelah maghrib, dengandiangkut dua buah becak, saya pindahan ke kost baru diBlimbingsari. Sebagai seorang pendatang yang belumbegitu paham dengan seluk-beluk dan kondisi kotaYogyakarta, saya memilih pindah ke kampungBlimbingsari, yang berjarak sekitar satu kilometer darikampus tempat saya kuliah di Fakultas Sastra,Universitas Gadjah Mada. Pilihan untuk tinggal diBlimbingsari semata-mata karena jarak ke kampus tidakterlalu jauh, sehingga tidak memerlukan ongkos tambahanuntuk naik angkutan kota. Cukup berjalan kaki sekitarlima belas menit, sudah sampai di kampus. Maklum, uangsaku bulanan sangat terbatas.

Beberapa saat sesudah saya tinggal diBlimbingsari, suatu sore saya duduk-duduk denganbeberapa kawan di depan kamar kost. Tempat yangdigunakan untuk duduk-duduk adalah sebuah tempat dudukmemanjang yang terbuat dari beton cor. Semula sayamengira bahwa yang saya duduki benar-benar dibuat untuk

Page 4: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

tempat duduk-duduk santai. Namun, beberapa saatkemudian saya mulai curiga karena tempat duduk tersebutsalah satu ujungnya membentuk lengkungan, persisseperti makam untuk orang Tionghoa. Kecurigaan saya punakhirnya terjawab, ketika pada suatu kesempatan sayabertanya kepada teman-teman yang lebih dahulu tinggaldi tempat tersebut. Mereka menjawab bahwa tempat yangkami gunakan untuk duduk-duduk memang sebuah bangunanmakam Tionghoa. Saya baru sadar, bahwa kampungBlimbingsari adalah bekas makam Tionghoa yangdiakuisisi oleh para pendatang ilegal untuk dijadikantempat tinggal. Makam Tionghoa tersebut kemudianberkembang menjadi perkampungan di sebelah baratUniversitas Gadjah Mada, dan banyak berdiri tempat kostuntuk mahasiswa.1

Beberapa tahun kemudian, setelah saya intensifmempelajari ruang-ruang perkotaan dari perspektifsejarah, saya baru paham bahwa terbentuknya kampungBlimbingsari merupakan hasil dari sebuah perebutanruang. Walaupun kawasan Blimbingsari pada awalnyaadalah sebuah makam, bukan berarti perebutan ruang yangterjadi di kawasan tersebut adalah antara yang telahmati dengan yang telah hidup. Blimbingsari adalah hasildari sebuah pertarungan antara para pewaris dari yangtelah dimakamkan, dengan para pendatang yangmembutuhkan tempat tinggal. Kekalahan para pewaristelah menyebabkan leluhur mereka merana di dalam makam,karena di atas mereka telah muncul kehidupan baru yangtidak layak muncul di tempat tersebut.

Hadirin yang saya hormati,

1 Kisah ini sudah saya tulis dan dimuat dalam PurnawanBasundoro, “Status Sosial-Ekonomi sebagai Basis Pembagian RuangKota,” dalam Budi Mulyono (ed.), Ruang Kota, (Yogyakarta: EkspresiBuku, 2011), hlm. 205-206

Page 5: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Ilustrasi yang agak berbeda terjadi pula di KotaSurabaya. Pada tahun 1970-an untuk keperluan pembuatanfilm yang berjudul Marabunta, yang mengambil lokasi dikota Surabaya, diperlukan sebuah adegan perkelahian disebuah makam yang sepi dan terkesan angker. Tanpasebuah pengamatan terlebih dahulu pada siang hari, krupembuatan film tersebut pada suatu malam mendatangisebuah makam terbesar di kota tersebut yaitu makamKembang Kuning. Mereka berharap akan menemukan sebuahsuasana yang menyeramkan sesuai dengan tuntutanskenario, serta agar proses pengambilan gambar tidakdiganggu oleh orang-orang yang tinggal di sekitarmakam. Dalam bayangan kru pembuat film makam KembangKuning adalah sebuah lokasi yang sepi karena jauh dariperkampungan.

Ketika semua persiapan pengambilan gambar sudahsiap, lampu-lampu penyorot dinyalakan, dan sutradaramengambil aba-aba agar adegan perkelahian dimulai,tiba-tiba dari balik nisan muncul “manusia-manusiakuburan” yang kaget karena ketenangan mereka dalamberistirahat terganggu dengan adanya aktivitaspengambilan gambar tersebut. Alih-alih akan mendapatkansebuah suasana kuburan yang sepi dan menyeramkan,ternyata proses pengambilan adegan perkelahian justrumenjadi tontonan para penghuni kuburan Kembang Kuning.2

Manusia-manusia kuburan yang kaget karenaketenangan mereka terusik bukanlah makhluk halus atauroh yang tinggal dibalik batu nisan makam KembangKuning. Mereka adalah kelompok penduduk miskin kotayang tersisih dari kehidupan yang wajar dan tidakmemperoleh ruang yang layak di kota Surabaya sehinggaakhirnya menjadi gelandangan yang tidak memiliki rumah.Dengan kata lain, mereka adalah kelompok masyarakatyang kalah ketika memperebutkan ruang-ruang yang layak

2 Akhudiat, Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya Kilas Balik,(Surabaya: Henk Publica, 2008), hlm. 32

Page 6: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

dan manusiawi di belantara kota. Ketika mereka tidakmampu mengalahkan manusia yang hidup maka jalan satu-satunya adalah mencoba mengalahkan manusia yang telahmati, yang tidak mungkin melakukan perlawanan.

Realitas yang terjadi di makam Blimbingsari(Yogyakarta) dan makam Kembang Kuning (Surabaya) adalahcontoh betapa proses perebutan ruang di kota besarsudah melembaga sedemikian keras, sehingga makam yangmestinya menjadi tempat yang tenang untuk tempatberistirahat orang-orang yang sudah pergi ke “alamsana” masih harus terganggu dengan kehadiran manusia-manusia kuburan. Bisa jadi mereka yang tengah istirahatdi alam lain tidak lagi RIP dalam arti rest in peace(istirahat dalam kedamaian), tetapi rest in panic(istirahat dalam kepanikan) karena ruang merekatergusur oleh pendatang lain, yaitu para gelandangan.Blimbingsari dan Kembang Kuning adalah contoh perebutanruang yang sudah mencapai taraf excessive (keterlaluan)karena sudah melewati batas-batas kewajaran moralsecara umum jika dipandang melalui kacamata orang-orangyang bisa memperoleh ruang yang wajar, baik dari segitempat maupun dari segi kelayakan.3

3 Baik para penganut agama maupun para pengemban tradisiyang berakar dari kesukuan, makam biasanya dianggap sebagai tempatyang keramat dan harus dihormati karena di tempat tersebutberbaring makhluk sejenis yang akan menghadap Sang Pencipta. Dalamagama Islam misalnya terdapat petunjuk, aturan sopan-santun,perilaku, atau adab di makam, antara lain dilarang duduk-duduk diatas makam. Terdapat hadist nabi yang mengatakan bahwa melompatiatau menduduki makam adalah perbuatan yang tidak disukai ataumakruh. Masyarakat penganut tradisi Jawa sangat percaya bahwamakam adalah salah satu tempat keramat yaitu tempat tinggal roh-roh nenek moyang, sehingga pada hari-hari tertentu harusdibersihkan serta dibacakan doa-doa. Anak-anak yang tiba-tibasakit sering dikait-kaitkan dengan para “penunggu” di makam-makamkeramat. Makam adalah salah satu tempat yang harus dihormatiselain masjid. Lihat A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maraam BerikutKeterangan dan Penjelasannya, (Bangil: Pustaka Tamam, 2001), hlm. 261.Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta:Pustaka Jaya, 1989), hlm. 91-103

Page 7: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Hadirin yang terhormat,

Berubahnya makam Blimbingsari dan Kembang Kuningmenjadi pemukiman yang terjadi secara paksa merupakanbagian dari kenyataan ketika kota-kota berkembang tidakterkendali, akibat kenaikan jumlah penduduk yangterjadi secara simultan dan tidak dibarengi dengankebijakan untuk membagi dan menata ruang secara adiloleh pemegang otoritas kota.4 Ketika para penghuni kotaatau orang-orang yang tertarik untuk tinggal di kotadibiarkan untuk bersaing secara bebas, maka akanterjadi proses dimana ruang-ruang kota yang masihterbuka diperebutkan secara bebas pula.5 Bahkan tidakjarang ruang kosong yang sudah memiliki legalitasklaim, yang mestinya bukan lagi ruang kosong secarahukum, karena sudah ada otoritas di tempat itu,diabaikan begitu saja oleh individu atau kelompok yangmerasa memiliki kekuatan untuk menduduki ruangtersebut.6

Menilik kenyatan tersebut maka sejatinya antarakenaikan jumlah penduduk yang tidak terkendali yangberujung pada kebutuhan akan ruang, ruang kota yangterbatas, dan kekuatan (powers) yang dimiliki olehkelompok maupun individu penghuni kota, memiliki

4 Sebagian besar bagian ini diambil dari buku PurnawanBasundoro, Pengantar Sejarah Kota, (Yogyakarta: Ombak, 2012), Bab VIII

5 Sejak merdeka, Indonesia belum memiliki undang-undang yangsecara khusus mengatur penggunaan tanah di perkotaan. Undang-undang pertanahan yang telah ada beserta peraturan di bawahnyasangat dipengaruhi oleh semangat pengaturan tanah untuk pertanian,bukan pengaturan tanah untuk tempat bermukim di perkotaan.Akibatnya pada setiap masa selalu muncul kasus-kasus pertanahan diperkotaan yang selalu berakhir dengan konflik antar individu ataukelompok yang memperebutkan tanah tersebut.

6 Legalitas klaim atas tanah biasanya dibuktikan dengankepemilikan sertifikat, pethok D, letter C, dan lain-lain. Namunlegalitas yang paling kuat dibuktikan dengan kepemilikansertifikat tanah. Sarjita, Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalamEra Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka, 2005)

Page 8: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

keterkaitan yang erat yang berujung pada klaim terhadapruang kota. Jika klaim dilawan oleh klaim yang lain,maka sebuah proses perebutan ruang kota tengah terjadi.Proses semacam ini hampir melanda semua kota di duniadimana kenaikan jumlah penduduk kota tidak terkendali,dan tidak diikuti kebijakan untuk membagi ruang kotasecara adil dan legal. Pembagian ruang kota secara adilmustahil dilakukan manakala kota hanya memiliki ruangyang amat terbatas sementara ruang tersebut tidakubahnya sebagai sebuah komoditi.7 Dalam hukum komoditimaka siapa yang memiliki modal yang lebih besar danlebih baik, apapun bentuknya, maka dialah yang akanberhasil menguasai ruang tersebut.

Konsentrasi penduduk di kota-kota besar di negara-negara Dunia Ketiga sudah sejak awal abad ke-20 terjadidengan kecepatan yang sangat tinggi, seiring denganpertumbuhan kota-kota tersebut menjadi kota industri.Sayangnya, pertumbuhan penduduk yang besar tidaksebanding dengan pertumbuhan industrialisasi. Para ahlimenyebut fenomena tersebut sebagai “urbanisasiberlebih” (over-urbanization), “urbanisasi semu” (pseudo-urbanization), atau “hiper-urbanisasi” (hyper-urbanization).8

Kondisi semacam itu, menurut Gilbert dan Gugler telah

7 Dalam kasus Indonesia berbagai kebijakan yang memilikimuatan untuk membagi ruang secara fisik hanya bisa diberlakukandi daerah pedesaan karena konteks pembagian ruang tersebut lebihbernuansa agraris. Beberapa undang-undang yang mengatur pembagianruang secara fisik (tanah) yang cukup monumental antara lainAgrarisch Wet 1870 dan Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Bahkanaturan tentang pembagian tanah (landreform) yang digariskan dalamUUPA 1960 tidak pernah bisa dijalankan lagi secara wajar, walaupundi pedesaan, sejak undang-undang tersebut diundangkan. Artinya,terdapat problem yang mendasar berkaitan dengan proses pembagianruang secara fisik, sekalipun di desa yang masih memiliki ruangyang relatif luas. Lihat Andi Achdian, Tanah Bagi yang Tak Bertanah:Landreform pada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965, (Bogor: Kekal Press,2009).

8 Lihat Alan Gilbert dan Josef Gugler, Urbanisasi dan Kemiskinandi Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996)

Page 9: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

melahirkan pengangguran, setengah pengangguran, danpekerjaan keliru. Mereka adalah orang-orang miskin diperkotaan yang kemudian menjadi beban dari kotatersebut, terutama berkaitan dengan bagaimana dan dimana mereka harus hidup.9

Rakyat miskin adalah kelompok yang memiliki modalyang amat minimal. Di kota-kota yang dikembangkandengan mengedepankan ide-ide liberal dan kapitalis makaorang miskin adalah beban bagi sebuah kota. Tidak adatempat yang layak bagi orang miskin untuk menempatiruang kota. Jika kenyataannya sampai saat ini merekamasih bisa mempertahankan diri untuk tinggal di kota,maka hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama,kota telah menjadi tempat yang nyaman untuk hidup danbertempat tinggal dibandingkan dengan kawasan lain,katakanlah desa. Kedua, tidak ada pilihan lain selainbertahan di kota dengan segala resiko yang harus terus-menerus dihadapi, yaitu bertahan atau melawan.Eksistensi rakyat miskin di kota merupakan bagian dariparadoks kota. Pada satu sisi kota dianggapmenghasilkan dan menjadi sumber dari peradaban, tetapipada saat yang bersamaan kota juga melahirkanmasyarakat yang “kurang beradab”. Kenyataan semacam inibukanlah kenyataan sesaat tetapi lahir melalui prosessejarah yang amat panjang melalui persaingan antarayang “beradab” dan yang “tidak beradab”. Dalam prosessejarah yang panjang itulah proses bertahan dan melawandalam rangka memperoleh ruang untuk hidup terus-menerusdilakukan. Perjuangan rakyat miskin kota dalam rangkamemperoleh ruang untuk hidup muncul dalam bentuk yangamat beragam, terutama di negara-negara dunia ketiga,dimana kemampuan negara untuk mengelola rakyat miskindi perkotaan masih amat terbatas, serta tingginya angkaurbanisasi di kota-kota besar. Kasus-kasus semacam ini

9 Ibid., hlm. 84

Page 10: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

banyak muncul di Amerika Latin, Asia Selatan, AsiaTenggara, serta di Afrika.10

Hadirin yang saya muliakan,

Kota-kota di Jawa mulai mengalami berbagaipersoalan ketika terjadi perubahan yang amat drastis,dari kota tradisional menuju ke kota modern. Menurutseorang sosiolog dari Belanda, W.F. Wertheim, kota-kotadi Indonesia mengalami loncatan perubahan yang mendasarsetelah tahun 1870. Liberalisasi ekonomi yang dimulaisetelah diundangkannya Undang-Undang Agraria danUndang-Undang Gula, telah meningkatkan perdagangan danindustri, memperluas administrasi sipil, danmengakibatkan kenaikan cepat jumlah penduduk perkotaandi Jawa.11 Sensus penduduk tahun 1920 mencatat bahwa6,63 persen penduduk Jawa tinggal di kota, dan padasensus penduduk tahun 1930 penduduk yang tinggal dikota melonjak menjadi 8,7 persen. Dari jumlah tersebut,3,8 persen tinggal di kota-kota yang berpenduduk lebihdari 100.000 jiwa.12

10. Lihat Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi tersembunyidi Negara Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991),Petrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata, (Jakarta:Gramedia, 1986), terutama Bab IV.

11 W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi PerubahanSosial, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. 138.

12 Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel, Volkstelling1930, Java en Madoera, (Batavia Centrum: Landsdrukkerij, 1931). W.Brand dalam salah satu artikelnya menyodorkan data yang cukup luassebagai perbandingan. Pada tahun 1930 jumlah penduduk Indonesiayang tinggal di kota mencapai 3,8 persen, dari jumlah tersebutpenduduk yang tinggal di kota-kota di Jawa dan Madura mencapai 4,7persen dan di kota-kota pulau-pulau lain hanya 2 persen.Prosentase tersebut meningkat tajam pada tahun 1961. Pada tahuntersebut penduduk Indonesia yang tinggal di kota mencapai 14,8persen, khusus kota-kota di Jawa dan Madura dihuni oleh 15,6persen dan di kota-kota pulau pulau lain melonjak sampai 13,3persen. W. Brand, “Some Statistical Data on Indonesia,” dalamBijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.

Page 11: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Tingginya pertumbuhan penduduk kota sebelumIndonesia merdeka disebabkan karena tingginya arusmigrasi dari desa ke kota. Penghitungan penduduk tahun1940 mencatat, bahwa lebih dari setengah penduduk kotaBandung, Batavia, dan Surabaya dilahirkan di luar bataskota tersebut, namun mayoritas dilahirkan di propinsidi mana kota tersebut terletak.13 Melonjaknyakedatangan orang-orang Eropa ke kota-kota di Indonesiabisa jadi merupakan faktor penentu yang melahirkanmodernisasi kota. Keputusan mereka untuk memilihtinggal di sebagian besar kota-kota di Indonesia telahmelahirkan tuntutan adanya otonomi kota yangdirealisasikan dengan dibentuknya pemerintahan kotayang otonom (gemeente) yang didasarkan pada Undang-Undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet) 1903 yang mulaidilaksanakan pada tahun 1905.14 Modernisasi kota-kotaitulah yang pada akhirnya memancing proses migrasi yanglebih besar. Orang-orang dari desa berbondong-bondongdatang ke kota untuk mencari penghidupan baru yanglebih menjanjikan, sekaligus menikmati kota yang telahmelahirkan imajinasi-imajinasi baru bagi kaumpendatang.

Hadirin yang terhormat,

Uraian di atas menunjukkan bahwa sudah sejaksebelum perang jumlah penduduk di kota-kota besar diIndonesia sudah sangat tinggi. Sebagai contoh, sejakawal abad ke-20 penduduk Kota Surabaya terus-menerusmengalami kenaikan, dsebagaimana terlihat pada tabel dibawah ini:

13 Ibid., hlm. 259; Graeme J. Hugo, “Population Movements inIndonesia during the Colonial Period,” dalam J.J. Fox et al.(ed.), Indonesia: Australian Perspectives, (Canbera: Research School ofPasific Studies, ANU, 1980), hlm. 95-136.

14 F.W.M. Kerchman, 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-1950, (Semarang: Vereeniging voor Locale Belangen, 1930)

Page 12: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Penduduk Kota SurabayaTahun 1906-1940

Tahun Eropa Cina Arab TimurAsing

Bumiputra Jumlah

1906 8.063 14.843 2.482 327 124.473 150.1881913 8.063 16.685 2.693 374 105.817 133.6321920 18.714 18.020 2.593 165 148.411 187.9031921 19.524 23.206 3.155 363 146.810 193.0581922 20.105 27.595 3.410 504 148.000 199.6141923 20.855 30.653 3.639 644 149.000 204.7911924 22.153 32.005 3.818 847 150.000 208.8231925 23.314 32.868 3.922 870 196.825 257.7991926 24.372 33.370 4.040 981 188.977 251.7401927 23.782 35.077 4.078 1.008 188.977 252.9221928 24.625 36.850 4.208 1.039 188.977 255.6991929 25.346 38.389 4.610 1.167 188.977 258.4891930 26.502 42.768 4.994 1.303 265.872 341.4931931 27.628 43.288 5.298 1.384 265.872 343.4701932 26.411 40.781 5.634 1.444 274.000 352.1291933 26.882 39.792 5.227 1.521 280.000 357.3621934 27.297 40.533 5.175 1.519 286.000 365.5241935 27.599 41.749 5.209 1.152 290.000 370.7091936 28.548 43.650 4.998 900 294.000 377.0961937 29.783 46.219 4.961 890 294.000 380.8531938 30.687 43.779 4.921 929 294.000 390.9891939 32.601 45.767 5.148 968 300.000 390.3941940 34.576 47.884 5.242 1.027 308.000 396.720

Sumber:G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’svoornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931, (Surabaya: Boekhandel en Drukkerij, 1936); Verslagder Gemeente Soerabaja over het Jaar 1940; Bureau van StatistiekSoerabaja, Statistische berichten der Gemeente Soerabajajaarnummer 1931, (‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1932),hlm. 1

Namun perubahan yang amat drastis terjadi setelahIndonesia berhasil keluar dari peperangan pascaproklamasi kemerdekaan. Selama periode perang penduduk

Page 13: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

di beberapa kota besar di Indonesia dengan terpaksaharus keluar dari kota mereka ke daerah-daerahpengungsian. Beberapa peristiwa yang menyebabkanpenduduk di beberapa kota besar harus keluar dari kotamereka antara lain, pertama, ketika kota Surabayadiserang oleh pasukan Sekutu selama bulan Oktober danNopember tahun 1945. Perang besar yang berkobar di kotaini telah menyebabkan ribuan penduduk harusmenyelamatkan diri ke daerah yang lebih aman di luarkota. Bahkan pemerintahan kota dan propinsi yangberkedudukan di kota Surabaya juga harus mengungsi.15

Kedua, sebagai konsekuensi dari perjanjian Renville,tentara yang masih berada di luar wilayah RepublikIndonesia harus keluar dari wilayah tersebut menuju kekantong-kantong republik. Akibatnya, kota Jakarta danBandung ditinggalkan oleh sebagian besar tentara dariDivisi Siliwangi beserta keluarga-keluarga mereka dalamjumlah yang cukup besar (hijrah).16

Namun, setelah perang berakhir gerakan untukmemasuki kota berlangsung kembali bahkan dalam jumlahyang jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlahpenduduk kota yang keluar ketika terjadi pengungsian.Ketika kota-kota mulai aman dan aktivitas perekonomianmulai bergerak kembali, kota menjadi salah satu tujuandari masyarakat pedesaan untuk mengadu dan mengubahnasib. Kondisi ini telah menyebabkan jumlah penduduk dikota besar terutama di Jawa mengalami lonjakan yangcukup tajam.17

Penduduk Kota Surabaya Tahun 1945-1958

15. Lihat Roeslan Abdulgani, Api Revolusi di Surabaja, (Surabaja:Ksatrya, 1964), hlm. 43, Kementrian Penerangan, Djawa Timur,(Djakarta: Kementrian Penerangan, 1952).

16 Himawan Soetanto, Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor versus Jenderal Sudirman, (Jakarta: Gramedia, 2006), Bab 4

17 W. Brand, “Some Statistical Data on Indonesia,” dalamBijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125, 1969, hlm. 308.

Page 14: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Tahun Eropa Cina Arab TimurAsing

Bumiputra Jumlah

1945 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. 618.3691946 n.a. n.a. n.a. n.a. n.a. 171.7151951 32.392 109.55

17.811

2.660 703.477 855.891

1955 24.568 110.336

7.691

2.584 783.624 928.803

1956 18.701 114.649

8.057

2.136 821.662 960.126

1957 17.556 118.285

8.189

2.137 866.436 1.012.617

1958 16.482 120.096

8.302

2.281 896.122 1.043.283

Sumber:“Kantor voor Bevolkingszaken Soerabaja, 23 Agustus1946,” dalam Procureur-General bij het hooggerechtshofNederlandsch-Indie 1945-1950. Koleksi Nationaal Archief DenHaag No. Inventaris 1135;Perdamaian, 4 Januari 1951; Perdamaian, 28 April 1955; Perdamaian, 7 Nopember 1956; Suara Rakjat, 26 Agustus 1957; Harian Umum, 21 Januari 1958

Sejak jaman kolonial sampai awal kemerdekaan, baikpemerintah kolonial Belanda maupun pemerintahIndonesia, tidak pernah mengantisipasi kenaikan jumlahpenduduk di perkotaan yang sangat cepat tersebut, baikyang bersifat preventif dengan cara membatasi jumlahkelahiran dan mengurangi arus migrasi, maupun dengancara menaikan daya dukung kota. Padahal kenaikan jumlahpenduduk tersebut berakibat cukup fatal pada kondisikesejahteraan masyarakat terutama masyarakat kelasbawah. Kenaikan jumlah penduduk yang tidak diikutidengan daya dukung kota yang memadai akan memicutimbulnya kemiskinan. H.F. Tillema seorang apoteker di

Page 15: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

kota Semarang pada awal abad ke-20 amat tertegun ketikamenyaksikan kota-kota di Indonesia ternyata dihuni olehsebagian besar penduduk pribumi yang amat miskin.Kemiskinan mereka terlihat dengan jelas pada kondisipemukiman-pemukiman pribumi di berbagai kota diIndonesia, terutama di kota Surabaya dan Semarang.18

Beberapa kota besar di Indonesia harus menanggungbeban yang lebih berat akibat kenaikan pendudukterutama yang disebabkan oleh arus migrasi. Hal inidisebabkan karena pada periode kolonial sampai awalkemerdekaan ketika kota yang berkembang baru sedikit,arus migrasi hanya menuju ke sedikit kota besarsehingga terjadi penumpukan orang-orang miskin di kota-kota tersebut.19 Penelitian demografis yang dilakukandi beberapa kota seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung,Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan Makassar setelahperang mengungkapkan keadaan yang bahkan lebih burukdibandingkan dengan kondisi di Jakarta (Batavia) padatahun 1930-an.20 Kondisi ini terjadi karena kota-kota

18 H.F. Tillema, Kromoblanda: Over ‘t Vraagstuk van “het Wonen” inKromo’s Grote Land, 6 Jilid, (’s-Gravenhage: uden Masman, De Atlasdan Adi Poestaka, 1915-1923).

19 Lihat Gavin Jones, ”Demografi dalam Kemiskinan di Kota,”dalam Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (peny.), Kemiskinan di Indonesia,(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 38-56

20 Lihat misalnya studi dari The Siauw Giap,”Urbanisatieproblemen in Indonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Deel 115, 1959, untuk melihat kondisi perkotaan diJawa. Untuk penelitian terhadap kondisi demografi di Makassarsetelah periode perang lihat R. Soemitro, “Zuigelingensterfte teMakassar,” Vol. III, 1950. Untuk kondisi Jakarta setelah peranglihat H.J. Heeren, ”The Urbanisation of Djakarta,” dalam Ekonomidan Keuangan Indonesia, Vol. VIII (1955). Pada tahun 1930-an J.H. deHaas melakukan penelitian demografi di Jakarta (Batavia). Iamenemukan kondisi yang amat buruk bagi penduduk pribumi di kotatersebut, dan menemukan korelasi positif antara kondisi pemukimandengan kondisi kesehatan para penghuninya. Penduduk pribumi yangrata-rata miskin dan tinggal di pemukiman-pemukiman miskin pulamemiliki resiko kematian paling tinggi diantara penduduk Eropa,Tionghoa, dan pribumi. Lihat J.H. de Haas, ”Sterfte naarleeftijdsgroepen in Batavia in het bijzonder op den

Page 16: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

di Indonesia sebenarnya tidak pernah dirancang untukmenampung lonjakan penduduk dalam jumlah yang demikiantinggi. Pada awal abad ke-20 misalnya, para perancangkota bahkan merancang dan mengangankan kota Bataviahanya untuk 900.000 orang.21 Pada kenyataannya apayang diangankan oleh perancang kota tersebut tidakpernah terwujud. Kota Batavia, yang kemudian berubahnama menjadi Jakarta, pada perkembangannya menjadi kotayang mendapat tekanan jumlah penduduk paling kuat. Padatahun 1954 kota ini telah berpenduduk 1.800.000 orang,dan pada tahun 1980 penduduk kota Jakarta telahmelonjak menjadi 6.500.000 orang.22 Bahkan saat ini,berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pendudukJakarta sudah mencapai 9.604.329 orang.

Kecilnya jumlah penduduk yang diharapkan tinggaldi kota-kota di Jawa terkait erat dengan keterbatasanjumlah lahan yang bisa diakses sebagai tempat tinggalyang layak. Akibatnya, ketika tekanan penduduk semakintinggi maka problem utama yang timbul di kota-kotabesar di Jawa adalah masalah pemukiman. Penduduk asliyang tidak mampu membangun pemukiman yang layak maupunpara pendatang yang tidak bisa ditampung dalam rumah-rumah yang memadai, akhirnya harus rela tinggal dipemukiman-pemukiman miskin (low cost housing) dengan bahanseadanya dan sebagian lagi bahkan harus rela hiduptanpa pemukiman sama sekali (pavement dwellers). Kondisiini telah mengakibatkan tumbuhnya kantong-kantongkemiskinan di berbagai kota di Indonesia yang nyaristidak bisa diatasi sampai saat ini.

Hadirin yang saya muliakan,konderleeftijd,” dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol.VI, 1939.

21 Adolf Heuken dan Grace Pamungkas, Menteng: Kota Taman Pertamadi Indonesia, (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2001).

22 Lihat Susan Abeyasekere, Jakarta: A History, (Singapore: OxfordUniversity Press, 1987), hlm. 245

Page 17: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Keberadaan pemukiman-pemukiman miskin di kotakemudian berkembang menjadi salah satu simpul dariproblem perkotaan yang lebih luas yang tidak hanyamencakup permasalahan pemukiman itu sendiri tetapi jugamencakup banyak dimensi yang menurut Hernando de Sotobersifat informal.23 Hal itu terjadi karena pemukimanmiskin di perkotaan secara umum akan menciptakanpersebaran kemiskinan dalam bentuk-bentuk yang beranekaragam seperti sistem ekonomi perkotaan yang bersifatinformal berskala kecil dalam bentuk pedagang asongan,pemulung, tukang rombeng, pedagang kaki lima, tukangsayur keliling, tukang minyak, tukang reparasi sepeda,dan sebagainya. Pemukiman miskin juga menghasilkansistem transportasi yang bersifat informal sepertitukang becak, tukang ojek, taksi gelap, dan sebagainya.Keberadaan sektor informal di kalangan masyarakatmiskin perkotaan disebabkan karena rendahnyaketrampilan yang dimiliki oleh para pendatang sertajumlah mereka yang tidak sebanding dengan ketersediaanlapangan kerja di kota.24

Munculnya berbagai dimensi yang bersifat informaldi perkotaan mengindikasikan bahwa sistem yang adatidak dirancang untuk menerima para pendatang dalamskala besar karena ruang kota memang terbatas.Terbatasnya ruang kota membawa konsekuensi bahwapenggunaan ruang yang berlangsung secara terus-menerusakan melibatkan ketegangan di antara sejumlah kelompokkepentingan karena tingginya permintaan akan ruang baikoleh perorangan maupun oleh kelompok tertentu. Olehkarena itu konflik yang menyangkut penggunaan suatu

23 Hernando de Soto, Masih ada Jalan Lain: Revolusi Tersembunyi diNegara Dunia Ketiga, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), bab 2sampai 4.

24 Lea Jellinek, Seperti Roda Berputar: Perubahan Sosial Sebuah Kampungdi Jakarta, (Jakarta: LP3ES, 1994), terutama pada bab 3.

Page 18: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

lokasi tertentu dapat timbul dengan mudah. FreekColombijn, antropolog dari Vrije UniversiteitAmsterdam, mengemukakan bahwa persaingan untukmendapatkan ruang di sini dianggap sebagai suatuperlombaan dan hadiahnya adalah ruang tersebut. Tidaksemua pemain atau tim dalam perlombaan ini samapentingnya, kelompok-kelompok yang paling strategisadalah yang paling berpengaruh, sedangkan sebagianbesar anggota masyarakat yang lainnya harusmenyesuaikan diri dengan keadaan supaya mereka dapatmenemukan ruang (niche) untuk mereka.25

Persaingan untuk mendapatkan ruang di kotabiasanya melibatkan hampir semua unsur yangmenginginkan atau berkepentingan atas ruang tersebut.Menurut Ramlan Surbakti, untuk kasus-kasus kontemporer,sebagian besar perebutan ruang kota secara umumbiasanya terjadi antara pemerintah kota denganmasyarakat, yang polanya cukup beragam. Dalam kasus diIndonesia, ia mengelompokan pola perebutan ruang kotamenjadi delapan kategori umum, yaitu:

1. Pemerintah kota dengan warga yang timbul karenaperubahan peruntukan tanah yang tidak transparan;

2. Pemerintah kota dengan perusahaan swasta akibattindakan swasta menyerobot tanah milik pemerintahkota;

3. Warga dengan investor; 4. Pemerintah kota dengan warga karena pembangunan

fasilitas umum; 5. Pemerintah kota dengan legislatif karena

pengalihan lahan tanpa persetujuan kedua belahpihak;

25 Freek Colombijn, Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah Sebuah Kota diIndonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota, (Yogyakarta: Ombak,2006), hlm. 3

Page 19: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

6. Warga, investor, dan pemerintah kota (berdimensisegi tiga);

7. Warga dengan developer berkaitan denganpembangunan fasilitas umum di pemukiman;

8. Perebutan ruang karena prosedur administrasi yangsalah.26

Dalam konteks persaingan inilah kelompokmasyarakat miskin di kota juga harus ikut berkompetisiuntuk mendapatkan ruang terutama untuk memenuhikebutuhan primer mereka, yaitu tempat bermukim danmencari penghidupan.

Salah satu kota di Indonesia yang menjadi ajangperebutan ruang yang masif adalah kota Surabaya.Surabaya merupakan kota terbesar di Indonesia padaakhir abad ke-19 yang menjadi pusat ekonomi yang palingdinamis, karena memiliki kawasan hinterland yang subur,dan juga telah tumbuh menjadi kota industri terkemukadi Indonesia. Sebagai kota yang tumbuh dinamis dansebagai kota industri, Surabaya sejak lama telahmenjadi tujuan utama kaum pendatang dari pedesaan diwilayah-wilayah sekitar.27 Akibatnya, baik mereka yangsudah lama menetap maupun para pendatang, di kotaSurabaya menghadapi permasalahan yang sama, yaitutempat tinggal. Penduduk yang telah lama menetap,terutama dari kelas bawah, tidak memiliki sumber daya

26 Ramlan Surbakti, ”Perebutan Ruang di Perkotaan danPembenarannya,” PRISMA No. 9, 1996. Menurut Patrick McAuslan, polaperebutan ruang kota secara garis besar hanya melibatkan sedikitkelompok kepentingan, antara lain pemerintah kota, investor,rakyat. Patrick McAuslan, Tanah Perkotaan dan Perlindungan Rakyat Jelata,(Jakarta: Gramedia, 1986), Bab IV dan Bab IX

27 John Ingleson misalnya menemukan bahwa pada periodeantara tahun 1910 sampai tahun 1920-an sebagian besar tenagakerja, dari sekitar 10.000 tenaga kerja di pelabuhan Surabaya,adalah para pendatang dari Madura. John Ingleson, Tangan dan KakiTerikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial, (Jakarta:Komunitas Bambu, 2004). hlm. 6

Page 20: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

yang memadai untuk membangun pemukiman yang layak, baikdari segi kesehatan maupun estetika. Rumah-rumah tampakseadanya, bahkan Von Faber, dalam publikasinya yangterbit tahun 1936, menyebut rumah-rumah tersebut hanyalayak untuk kandang ternak.28 Para pendatang yang lebihbelakangan, terutama dari kalangan Bumiputra,menghadapi masalah yang lebih berat lagi. Mereka rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomirendah sehingga tidak mampu mengakses tempat tinggalyang layak. Akibatnya, mereka harus rela tinggal diberbagai tempat dengan kondisi yang menyedihkan, bahkansebagian besar tinggal di tempat-tempat dengan statusilegal, menggelandang atau menjadi jembel. 29

Ingleson memberi gambaran bahwa di salah satukampung di kota Surabaya terdapat satu rumah yangdihuni oleh 23 pekerja pendatang Bumiputra, padahalrumah tersebut hanya memiliki lebar 3 meter dan panjang8 meter, serta tinggi 1,7 meter. Rumah tersebutdibangun dari bambu dengan lantai tanah yang amatkotor. Tempat tinggal itu dikelilingi oleh rumah-rumahdengan kondisi serupa, baik yang ditempati oleh orang-orang yang sudah lama menetap di kota itu, maupun parapendatang yang bersifat temporer. Sebuah catatanperjalanan yang dibuat oleh salah seorang wargaSemarang ketika berkunjung ke kota Surabaya menyebutkanbahwa kota Surabaya merupakan kota tercantik di HindiaBelanda, namun ia menyayangkan bahwa di banyak tempatterdapat orang-orang miskin yang tidak memiliki tempattinggal, yang hanya membangun ”rumah” manakala mataharitenggelam dan membongkarnya kembali manakala matahari

28 G.H. von Faber, Nieuw Soerabaia: De geschiedenis van Indie’svoornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hare instelling 1906-1931,(Soerabaia: N.V. Boekhandel en Drukkerij, 1936), bab 3.

29 Ingleson, op. cit., hlm. 8.

Page 21: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

terbit. Mereka itulah orang-orang yang tidak beruntungketika mengadu nasib di kota besar.30

Penambahan pemukiman-pemukiman miskin di kotaSurabaya diperkirakan terjadi sejalan dengan kenaikanjumlah penduduk.31 Secara teoretik, penambahanpemukiman memiliki konsekuensi terhadap ruangperkotaan, karena ruang perkotaan tidak akan pernahbisa bertambah sejalan dengan karakteristik tanah yangtidak bisa tumbuh melebar. Akibatnya, terjadi perebutanruang yang terus-menerus antara berbagai pihak yangjuga memiliki kepentingan serupa terhadap tanah diperkotaan. 32 Pada hakekatnya perebutan ruang diperkotaan adalah perebutan ruang untuk hidup. Beranjakdari pemukiman-pemukiman miskin, perebutan ruang-ruangperkotaan biasanya akan merambah pada ruang lebih luas.Uraian sebelumnya mengemukakan bahwa pemukiman miskinakan menciptakan persebaran kemiskinan dalam berbagaibentuk aktivitas yang berkaitan dengan sektor informalyang juga membutuhkan ruang untuk kegiatan di sektortersebut. Pengasong, pedagang kaki lima, tukangreparasi, tukang becak, tukang ojek semuanyamembutuhkan ruang untuk aktivitas mereka.

Upaya orang-orang miskin di kota Surabaya untukmembangun tempat tinggal yang layak terkendala denganketidakmampuan mereka untuk mendapatkan ruang yangmemadai dan legal, serta ketidakmampuan mereka untukmembangun tempat yang akan mereka huni dengan bahan-

30 Si Tjerdik Jr, Melantjong ka Soerabaia (Semarang: BoekhandelKamadjoean, 1931), hlm. 33

31 Kecenderungan semacam itu hampir selalu terjadi di kota-kota di negara berkembang. Lihat J.P. Dickenson et al., A Geography ofthe Third World, (New York: Methuen & Co., 1986), Chapter 7.

32 Salah satu studi kontemporer tentang perebutan ruang kotaoleh para pelaku ekonomi informal di perkotaan adalah yangdilakukan oleh Alisjahbana, Sisi Gelap Perkembangan Kota: Resistensi SektorInformal dalam Perspektif Sosiologis, (Yogyakarta: LaksBang PRESSindo,2005).

Page 22: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

bahan yang memenuhi syarat.33 Oleh karena itu, jika disudut-sudut kota Surabaya ditemukan area pemukiman yangterbuat dari bahan apa adanya dan berdiri di tempat-tempat yang tidak lazim, maka hal tersebut merupakankonsekuensi dari ketidakmampuan orang miskin di kotatersebut untuk membangun tempat tinggal secara normal.

Kawasan semacam itu belum tentu merupakan hasilakhir dari sebuah jalan panjang rakyat miskin di kotaSurabaya dalam memperjuangkan tempat hidup mereka,karena pemukiman-pemukiman miskin non-permanen selalubersifat sementara dan rentan terhadap pengusiran olehkekuatan lain. Hal itu menjadi gambaran paling umum dikota Surabaya, dimana rakyat miskin di kota tersebutsering berada dalam bayang-bayang perebutan ruang dariwaktu ke waktu baik antar pendatang dengan penduduksetempat, antara pendatang dengan pendatang, antararakyat miskin dengan institusi negara, serta antararakyat miskin dengan kelompok-kelompok lain.

Kasus-kasus Kontemporer dan Masa Depan Ruang PerkotaanSetelah saya meninjau kasus-kasus perebutan ruang

perkotaan di masa lampau, marilah kita meninjauperebutan ruang kota pada periode kontemporer.Perebutan ruang kota pada periode kontemporer atau padaperiode masa kini tidak kalah sengitnya dengan yangtelah terjadi pada masa lalu. Beberapa tahun yang lalubahkan Universitas Airlangga juga terlibat dalam aksi-aksi perebutan ruang perkotaan yang melibatkan parapedagang kaki lima. Pada awal tahun 2000-an disepanjang trotoar Jalan Airlangga (di depan kantorrektorat lama di kampus B) bercokol puluhan pedagangmakanan yang menggelar dagangannya di kawasan tersebut.

33 Gejala semacam ini di kota Surabaya mengalami peningkatanyang amat tajam setelah Indonesia merdeka. Sjamsu Koesmen danPangestu B.W., Buku Petundjuk Kota Besar Surabaja, (Surabaya: DjawatanPenerangan Kota Besar Surabaja, 1957)

Page 23: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Beberapa kali keberadaan pedagang tersebut diusir,beberapa kali pula mereka kembali berjualan di tempattersebut. Pihak Universitas Airlangga kemudian memagarkawasan di sepanjang trotoar, namun di beberapa tempatpagarnya malah dijebol dan pedagang kembali lagi ketempat tersebut. Pihak Universitas Airlangga kemudianberinisiatif memasang plang bertuliskan ”Di larangberjualan di depan kantor.” Beruntung para pedagangtidak membalas dengan memasang tulisan ”Di larangberkantor di belakang orang jualan.” Dengan pendekatanpersuasif para pedagang di sepanjang trotoar JalanAirlangga akhirnya dapat dipindahkan, walaupun saat iniada tanda-tanda mereka datang lagi.

Di Jakarta, beberapa waktu yang lalu dua orangjanda mantan istri pejuang dan pensiunan pegawai PT PosIndonesia harus duduk di meja pesakitan karena dituduhmenempati secara tidak sah rumah dinas mereka, padahallembaga tempat suaminya pernah bekerja membutuhkantanah tempat berdirinya rumah tersebut untukpengembangan kantor. Di Surabaya, beberapa waktu yanglalu pula, ratusan penghuni stren kali di JagirWonokromo sisi selatan digusur secara paksa oleh SatuanPolisi Pamongpraja Kota Surabaya karena dianggapmenempati lahan yang bukan lahan hunian secara tidaksah. Kasus-kasus serupa maupun yang mirip juga munculdi berbagai kota besar di Indonesia.

Kasus di trotoar di sepanjang Jalan Airlangga yangmelibatkan pihak Universitas Airlangga dengan pedagangkaki lima menunjukkan bahwa trotoar tersebut merupakansepenggal ruang kota yang diperebutkan. Kasus serupaterjadi di banyak tempat baik di Kota Surabaya maupundi kota-kota lain. Penggusuran pemukiman kawasan DanauSunter dan Danau Rio-Rio di Jakarta maupun tarik ulurantara Gubernur Jakarta, Joko Widodo, dengan parapedagang kaki lima yang berjualan di jalan-jalan di

Page 24: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

kawasan Pasar Tanah Abang menunjukkan bahwa betapamahalnya harga ruang di perkotaan, sehingga ruang-ruangperkotaan akan senantiasa berada dalam ketegangankarena diperebutkan oleh berbagai pihak yangberkepentingan atas ruang tersebut. Eksekusi sebuahlahan di Kota Makassar pada tanggal 21 Oktober 2013juga berakhir ricuh karena ratusan warga yang telahpuluhan tahun mendiami lahan tersebut menolak eksekusi.Mereka melawan proses eksekusi dengan cara melemparipetugas dengan bom molotov dan panah.34 Di Batam,sengketa perkampungan padat di kawasan Kampung Tua,Tanjung Uma malah berkembang menjadi konflik dengankekerasan dan mengarah pada isu bentrok antar suku yangmengkhawatirkan.35 Jika trend kenaikan penduduk diperkotaan terus terjadi, dan tidak ada solusi untukmengatasinya terkait dengan aksesibilitas ruang kotaoleh semua penduduk secara merata, maka kasus-kasusserupa akan terus terjadi.

Mengapa hal tersebut terjadi? Prins dan Nas dalamartikelnya yang berjudul “The Struggle for The ThirdWorld City” mengemukakan bahwa semua kegiatan manusiaharus menggunakan ruang. Hubungan-hubungan sosialdibangun di atas landasan struktur ruang (spatial structure),dan hubungan-hubungan ini, demikian juga strukturruang, selalu dilanda ketegangan.36 Pemikiran tersebutmenjadi landasan dasar dalam menganalisis penggunaanruang-ruang perkotaan. Semakin banyak individu ataukelompok ingin mengakses ruang yang sama, maka semakintinggi ketegangan yang melanda kawasan ruang tersebut.Jika kota diasumsikan sebagai ruang yang paling banyak

34 “Sengketa Lahan: Warga bentrok di Kampar dan Makassar,”Kompas, 22 Oktober 2013.

35 “Sengketa Lahan: Warga Kampung Tua Akan Aksi Damai,”Kompas, 23 Oktober 2013.

36 Wil J.M. Prins and Peter J.M. Nas, “The Struggle for TheThird World City” dalam G. Ansari and P.J.M. Nas (ed.), Town-Talk:The Dynamics of Urban Antropology, (Leiden: Brill, 1983), hlm. 158-167

Page 25: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

diminati oleh manusia maka ketegangan di kota jauhlebih besar dan lebih intensif jika dibandingkan dengantempat lain.37

McKenzi mengistilahkan proses perebutan ruang kotasebagai invasi atas ruang. Menurutnya proses invasidibagi dalam tiga tingkatan, yaitu initial stage (tahappermulaan), secondary stage (tahap lanjutan), dan climaxstage (tahap klimaks). Proses permulaan invasi ditandaiadanya gejala ekspansi geografis dari satu grup sosialdan kemudian menemui tantangan dari penduduk yang adapada daerah yang terkena ekspansi. Pada tahapanlanjutan persaingan semakin seru yang kemudian diikutiproses displacement (perpindahan), selection (seleksi), danassimilation (asimilasi). Intensitas proses displacement,selection, assimilation sangat ditentukan oleh sifat yangmengekspansi maupun yang diekspansi. Kelompok-kelompokyang terpaksa kalah bersaing akan menempati/mengadakanekspansi ke wilayah lain yang lebih lemah dan kemudianakan diikuti oleh suksesi baru. Pada saat terakhirtersebut akan tercapai tahapan klimaks.38 Tahapanklimaks dapat dicapai setelah tercapai equilibrium(keseimbangan) antar kelompok-kelompok yang salingbersaing untuk mendapatkan ruang tersebut. Equilibriumdapat tercapai ketika semua kelompok sudah mendapatkanbagiannya masing-masing dari ruang yang diperebutkantersebut, walaupun hal tersebut sangat sulit terwujud.

Hadirin yang sangat saya muliakan,

Pada masa-masa mendatang konflik-konflik terkaitperebutan ruang perkotaan pasti akan mengalami

37 Ibid.38 R.D. McKenzie, “The Ecological Approach to the Study of

the Human Community.” dalam R.E. Park, E.W, Burges, dan R.D.Mckenzie, The City, (Chicago: University of Chicago Press, 1967)

Page 26: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

peningkatan. Hal tersebut terkait erat dengan, pertama,jumlah penduduk kota-kota besar di Indonesia dari tahunke tahun mengalami peningkatan tajam. Kenaikan pendudukini selain dipicu oleh kenaikan penduduk alamiah(natalitas berbanding mortalitas) juga karena tekananurbanisasi. Setiap hari peristiwa kelahiran terus-menerus terjadi di perkotaan. Rumah sakit bersalin dandokter kandungan laris-manis di berbagai kota diIndonesia. Pada saat yang sama jumlah orang-orang desayang ingin mengadu nasib di kota-kota besar juga terusmengalami peningkatan. Arus urbanisasi mengalamipeningkatan drastis biasanya pasca Hari Raya IdulFitri. Ketika kaum urban kembali ke kota, tidak jarangmereka membawa sanak keluarga dengan harapan merekadapat bekerja di kota untuk memperbaiki nasib.

Kota-kota besar mengalami lonjakan penduduk yangluar biasa. Kota Jakarta yang pada tahun 2000berpenduduk 8.347.083 orang, sepuluh tahun kemudian(2010) melonjak menjadi 9.604.329 orang. Bahkan padasiang hari bisa melonjak sampai 12-13 juta orang,karena ditambah jumlah penduduk ulang-alik yangbertempat tinggal di kawasan seputar Jakarta (hinterland)namun mencari penghidupan di Kota Jakarta. KotaSurabaya yang pada tahun 2000 berjumlah 2.444.976 orangsaat ini (2013) melonjak menjadi 3.186.595 orang. Danjika siang hari melonjak sampai 5 juta orang karenamasuknya orang-orang dari daerah sekitar ke KotaSurabaya untuk mencari sesuap nasi. Kita bisa saksikandan bisa rasakan bahwa kota kita semakin penuh sesak.Di banyak ruas jalan, trotoar diakuisisi untukberjualan oleh para pedagang yang ingin mengais rezekidari kota.

Kenaikan jumlah penduduk di dua kota terbesar diIndonesia yang drastis tersebut (dan di kota-kota besarlainnya) tentu saja membawa dampak yang serius bagi

Page 27: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

ruang kota, karena setiap pertambahan penduduk pastimemerlukan penambahan ruang untuk hidup mereka.Padahal, ruang tidak pernah bisa ditambah secaradrastis karena bumi tidak pernah bisa memperluasdirinya. Konsekuensi lebih lanjut dari kondisi tersebutadalah, jatah setiap orang akan ruang kota akan semakinmengecil. Jika dulu ketika penduduk kota masih jarangjalanan di kota tampak lengang, sehingga masing-masingpengguna jalan memperoleh ruang yang cukup longgar,maka saat ini jalanan menjadi begitu padat dan jatahorang akan ruang jalan menjadi menyempit. Lahan-lahanparkir menyempit yang memaksa pemerintah kotamemberlakukan kebijakan ekstrem, misalnya denganmenggembosi roda kendaraan bermotor yang parkirsembarangan. Kita bisa saksikan dan bisa rasakan jugadi kampus kita tercinta, terutama di Kampus B.Penambahan jumlah mahasiswa yang cukup tinggi telahberakibat penuhnya lahan-lahan parkir di kawasantersebut. Jika siang hari mencari tempat untuk parkirterasa susah, sehingga kita harus berebut denganpengguna parkir lainnya.

Persaingan untuk memperebutkan ruang kota akansemakin ketat dan semakin keras yang ditandai dengankonflik-konflik yang tajam antar orang-orang yangberkepentingan terhadap ruang kota. Di Jakarta, untukmempertahankan tanah yang dimiliki agar tidak diserobotorang lain, maka disewalah preman untuk menjaganya.Kondisi tersebut tidak jarang mendorong terjadinya”perang antar preman” pembeking tanah milik orang kaya.Untuk mengurangi benturan antar kelompok dan individuyang berkepentingan terhadap ruang kota, maka perlu adapembagian ruang kota yang berkeadilan dan tentu sajaharus ada regulasi yang memadai yang mengatur ruangkota.

Page 28: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Hadirin yang saya hormati,

Apakah perebutan ruang kota dapat diakhiri?Sebagaimana telah saya utarakan pada bagian sebelumnyabahwa ketegangan-ketegangan akibat perebutan ruang kotaakan berakhir jika sudah mencapai tahap klimaks.Tahapan klimaks dapat dicapai setelah tercapaiequilibrium (keseimbangan) antar kelompok-kelompok yangsaling bersaing untuk mendapatkan ruang tersebut.Equilibrium dapat tercapai ketika semua kelompok sudahmendapatkan bagiannya masing-masing dari ruang yangdiperebutkan tersebut, walaupun hal tersebut sangatsulit terwujud. Pertanyaannya adalah, mungkinkah semuakelompok akan memperoleh ruang yang cukup dan layak diperkotaan? Pada kenyataannya jumlah penduduk kota terusdan terus bertambah tanpa bisa dikendalikan samasekali, apalagi dihentikan. Kondisi ini tentu sajamenjadi amat mustahil untuk menjadikan kota berada padaposisi equilibrium dalam hal keruangan. Namun demikianlangkah ke arah tersebut harus terus diupayakan.

Beberapa pemimpin kota di Indonesia saat inisedang berupaya menyeimbangkan ruang kota dengan caramereka masing-masing. Hal tersebut didasari pemikiranbahwa kota adalah ruang publik, sehingga siapapunmemiliki hak untuk mengakses ruang tersebut.39 Di KotaJakarta upaya untuk memindahkan orang-orang yangmenempati ruang publik secara tidak sah terusdilakukan. Hal ini merupakan salah satu upaya agarruang kota bisa terbagi secara proporsional sesuaidengan peruntukannya. Hal yang sama juga sedangdilakukan oleh Walikota Surabaya dalam menata kotaSurabaya. Tamanisasi yang indah, rencana pemindahan

39 Paulus Haryono, Sosiologi Kota untuk Arsitek, (Jakarta: BumiAksara, 2007), hlm. 133; Ali Madanipour, Design of Urban Space: AnInquiry into a Social-Spatial Process, (New York: John Wiley & Son, 1996),hlm. 167

Page 29: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

lokalisasi Dolly dan pembangunan jalan-jalan barumerupakan upaya serius agar kota bisa dinikmati olehsemua golongan dengan nyaman.

Jika yang dilakukan oleh pemangku Kota Jakarta danKota Surabaya diikuti oleh para pemangku kota-kotalain, niscaya kota-kota di Indonesia akan berkembangmenjadi kota yang manusiawi karena ruang kota terbagisecara proporsional. Orang kaya dan orang miskin bisamenikmati ruang kota secara adil tanpa perkecualian.Namun upaya pembagian ruang kota secara proporsionalhendaknya diikuti dengan dijalankannya peraturanperundangan tentang pemanfaatan ruang kota secaraketat. Jika tidak, niscaya gejala perebutan ruang kotasecara masif akan terus terjadi yang tentu sajaberdampak terhadap kurang nyamannya kehidupan diperkotaan.

Demikianlah sedikit pemikiran dari saya, semogayang sedikit ini bermanfaat secara akademis, terutamadalam bidang sejarah perkotaan, sosiologi perkotaan,maupun ilmu-ilmu sosial yang lain. Dan saya jugaberharap, semoga sedikit pemikiran ini juga bermanfaatsecara pragmatis, terutama sebagai landasan pembangunankota-kota di Indonesia mendatang.

Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepadahadirin sekalian, yang dengan penuh kesabaran telahmendengarkan orasi saya.

Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.

Page 30: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Daftar Pustaka

Abdulgani, Roeslan. 1964. Api Revolusi di Surabaja. Surabaja:Ksatrya

Abeyasekere, Susan. 1987. Jakarta: A History. Singapore: Oxford University Press

Achdian, Andi. 2009. Tanah Bagi yang Tak Bertanah: Landreformpada Masa Demokrasi Terpimpin 1960-1965. Bogor: KekalPress

Akhudiat. 2008. Masuk Kampung Keluar Kampung: Surabaya KilasBalik. Surabaya: Henk Publica

Alisjahbana. 2005. Sisi Gelap Perkembangan Kota: ResistensiSektor Informal dalam Perspektif Sosiologis. Yogyakarta:LaksBang PRESSindo

Basundoro, Purnawan. 2011. “Status Sosial-Ekonomisebagai Basis Pembagian Ruang Kota.” dalam BudiMulyono (ed.). Ruang Kota. Yogyakarta: Ekspresi Buku

Basundoro, Purnawan. 2012. Pengantar Sejarah Kota.Yogyakarta: Ombak, 2012

Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi RakyatMiskin Kota Surabaya 1900-1960an. Jakarta: Marjin Kiri

Brand, W. 1969. “Some Statistical Data on Indonesia.”dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 125

Page 31: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Colombijn, Freek. 2006. Paco-Paco (Kota) Padang: Sejarah SebuahKota di Indonesia pada Abad ke-20 dan Penggunaan Ruang Kota.Yogyakarta: Ombak

De Haas, J.H. 1939. ”Sterfte naar leeftijdsgroepen inBatavia in het bijzonder op den konderleeftijd,”dalam Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, Vol.VI

Departement van Landbouw, Nijverheid en Handel.1931.Volkstelling 1930, Java en Madoera. Batavia Centrum:Landsdrukkerij

De Soto, Hernando.1991. Masih ada Jalan Lain: Revolusitersembunyi di Negara Dunia Ketiga. Jakarta: Yayasan OborIndonesia

Dickenson, J.P. et al.1986. A Geography of the Third World. NewYork: Methuen & Co.

Geertz, Clifford. 1989. Abangan, Santri, Priyayi dalamMasyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989

Giap, The Siauw. 1959. ”Urbanisatieproblemen inIndonesia”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- enVolkenkunde, Deel 115

Gilbert, Alan dan Josef Gugler. 1996. Urbanisasi danKemiskinan di Dunia Ketiga. Yogyakarta: Tiara Wacana

Haryono, Paulus. 2007. Sosiologi Kota untuk Arsitek. Jakarta:Bumi Aksara

Hassan, A. 2001. Tarjamah Bulughul Maraam Berikut Keterangan danPenjelasannya. Bangil: Pustaka Tamam

Heeren, H.J. 1955. ”The Urbanisation of Djakarta.”dalam Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Vol. VIII

Page 32: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Heuken, Adolf dan Grace Pamungkas. 2001. Menteng: KotaTaman Pertama di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta LokaCaraka

Hugo, Graeme J. 1980. “Population Movements inIndonesia during the Colonial Period,” dalam J.J.Fox et al. (ed.), Indonesia: Australian Perspectives,(Canbera: Research School of Pasific Studies, ANU

Ingleson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh,Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial. Jakarta:Komunitas Bambu

Jellinek, Lea. 1994. Seperti Roda Berputar: Perubahan SosialSebuah Kampung di Jakarta. Jakarta: LP3ES

Jones, Gavin. 1986. ”Demografi dalam Kemiskinan diKota.” dalam Dorodjatun Kuntjoro-Jakti (peny.),Kemiskinan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Kementrian Penerangan. 1952. Djawa Timur. Djakarta:Kementrian Penerangan

Kerchman, F.W.M. 1930. 25 Jaren Decentralitatie in Nederlandsch-Indie 1905-1950. Semarang: Vereeniging voor LocaleBelangen

Koesmen, Sjamsu dan Pangestu B.W. 1957. Buku PetundjukKota Besar Surabaja. Surabaya: Djawatan PeneranganKota Besar Surabaja

Lombard, Denys. 2000. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batasPembaratan. Jakarta: Gramedia

Madanipour, Ali. 1996. Design of Urban Space: An Inquiry into aSocial-Spatial Process. New York: John Wiley & Son

McAuslan, Patrick. 1986. Tanah Perkotaan dan PerlindunganRakyat Jelata. Jakarta: Gramedia

McKenzie, R.D. 1967. “The Ecological Approach to theStudy of the Human Community.” dalam R.E. Park,

Page 33: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

E.W, Burges, dan R.D. Mckenzie. The City. Chicago:University of Chicago Press

Prins, Wil J.M. and Peter J.M. Nas. 1983. “The Strugglefor The Third World City” dalam G. Ansari andP.J.M. Nas (ed.). Town-Talk: The Dynamics of UrbanAntropology. Leiden: Brill

Sarjita. 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan dalam EraOtonomi Daerah. Yogyakarta: Tugu Jogja Pustaka

“Sengketa Lahan: Warga Bentrok di Kampar dan Makassar,”Kompas, 22 Oktober 2013.

“Sengketa Lahan: Warga Kampung Tua Akan Aksi Damai,”Kompas, 23 Oktober 2013.

Si Tjerdik Jr. 1931. Melantjong ka Soerabaia. Semarang:Boekhandel Kamadjoean

Soemitro, R. 1950. “Zuigelingensterfte te Makassar,”Vol. III,

Soetanto, Himawan. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor versus Jenderal Sudirman. Jakarta: Gramedia

Surbakti, Ramlan. 1996. ”Perebutan Ruang di Perkotaandan Pembenarannya,” PRISMA No. 9

Taylor, Jean Gelman. 2009. Kehidupan Sosial di Batavia.Jakarta: Masup Jakarta

Tillema, H.F.1915-1923. Kromoblanda: Over ‘t Vraagstuk van “hetWonen” in Kromo’s Grote Land, 6 Jilid. ’s-Gravenhage:uden Masman, De Atlas dan Adi Poestaka

Von Faber, G.H. 1936. Nieuw Soerabaia: De geschiedenis vanIndie’s voornaamste koopstad in de eerste kwarteeuw sedert hareinstelling 1906-1931. Soerabaia: N.V. Boekhandel enDrukkerij

Page 34: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Wertheim,W.F. 1999. Masyarakat Indonesia dalam Transisi: StudiPerubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Dr. Purnawan Basundoro, S.S., M.Hum.

NIP : 197105271999031001Tempat/Tanggallahir

: Banjarnegara, 27 Mei 1971

Agama : IslamPekerjaan : Dosen Departemen Ilmu Sejarah,

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga

Pangkat/Golongan

: Pembina Tingkat I / IV A

Jabatan : Lektor KepalaAlamat Rumah : Surya Asri 2 Blok F 1 No. 2,

SidoarjoAlamat Pekerjaan

: Departemen Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya

Riwayat Pendidikan

1. Pendidikan Dasar dan Menengah

Tahun 1984

: Tamat Sekolah Dasar Negeri 3 Karangsari, Punggelan

Page 35: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Tahun 1987

: Tamat Sekolah Menengah Pertama Negeri 1, Punggelan, Banjarnegara

Tahun 1990

: Tamat Sekolah Menengah Atas Negeri 1, Banjarnegara

2. Pendidikan Tinggi

Tahun 1996

: Lulus Sarjana Sastra (Jurusan Sejarah), Fakultas Satra, Universitas Gadjah Mada

Tahun 1999

: Lulus Pascasarjana S2 Program StudiSejarah, Universitas Gadjah Mada

Tahun 2011

: Lulus Pascasarjana S3 Program StudiSejarah, Universitas Gadjah Mada (Cum Laude)

3. Pendidikan Tambahan

Tahun 2000

: Mengikuti Pelatihan Metode BelajarMengajar (Applied Approach Method),Universitas Airlangga

Tahun 2004

: Workshop on Street Image UniversitasGadjah Mada-Universitas Leiden

Tahun 209-2010

: Sandwich-Like Program, Vrije UniversityAmsterdam, Belanda

Riwayat Jabatan

Tahun 2003-2005

: Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya

Tahun 2005-2007

: Ketua Jurusan Ilmu Sejarah, Fakultas ilmu Budaya

Tahun 2012-sekarang

: Ketua Unit Penelitian, Penerbitan, dan Dokumentasi (UP2D) Fakultas Ilmu Budaya

Sejak Tahun 2013

Sejak Tahun

:

:

Ketua Departemen Ilmu Sejarah,Fakultas Ilmu BudayaAnggota Tim PendampingKemahasiswaan Universitas

Page 36: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

2013 (TPKU)

Pekerjaan Lain

Tahun 2004-sekarang

: Tim Penilai Buku Teks dan Non-teks Pelajaran Sejarah, PusatKurikulum dan Perbukuan,Balitbang Kementrian Pendidikandan Kebudayaan

Sejak Tahun 2013

: Tim Pengembang Penilaian BukuTeks Pelajaran Sejarah, PusatKurikulum dan Perbukuan,Balitbang Kementrian Pendidikandan Kebudayaan

Kegiatan Pendidikan dan Pengajaran

Tahun 1999-sekarang

: Dosen Tetap pada Departemen Ilmu SejarahFakultas Ilmu BudayaUniversitas Airlangga

Kegiatan Pengelolaan Majalah Ilmiah Tahun 2012-sekarang

: Pemimpin Redaksi Jurnal Mozaik,Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Tahun 2011-sekarang

: Mitra Bestari Jurnal Humaniora,Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Tahun 2012-sekarang

: Mitra Bestari Jurnal Paramita, Jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Semarang

Kegiatan Lainnya

Tahun 2000-sekarang

: Peneliti tidak tetap pada Lembaga Studi Pengembangan Etika Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia) Jakarta

Page 37: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Karya Ilmiah

Buku:

Purnawan Basundoro dan Sutekad Mujiraharjo, Mengawal Lembah Serayu: Polres dan Kapolres Banjarnegara sampai Tahun 2007, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)

Purnawan Basundoro, Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan MalangSejak Kolonial sampai Kemerdekaan, (Yogyakarta: Ombak, 2009)

Purnawan Basundoro, Imam Akhmad, dan Kholid Novianto,Melayani Rakyat Menjaga Negara: Sejarah Sosial, Politik dan Ekonomi PTPos Indonesia (Persero), (Jakarta: PT Pos Indonesia dan LSPEUIndonesia, 2011)

Purnawan Basundoro, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta:Ombak, 2012)

Purnawan Basundoro, Sejarah Pemerintah Kota Surabaya Sejak MasaKolonial sampai Masa Reformasi (1906-2012), (Surabaya:Departemen Ilmu Sejarah Unair dan Badan Arsip danPerpustakaan Kota Surabaya, 2012)

Purnawan Basundoro, Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin KotaSurabaya 1900-1960an, (Jakarta: Marjin Kiri, 2013)

Jurnal, Editor, dan Kontributor Buku:

1. “ Pengaruh Modernisasi Transportasi terhadap Pola Perkembangan Kota-kota di Karesidenan Banyumas,” Jurnal Penelitian Dinamika Sosial, Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Vol. 2 No. 2, 2001

2. “Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Respon Masyarakat: Studi Kasus Kota Gresik,” Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Vol. XIII, No. 2, 2001

Page 38: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

3. “Industrialisasi, Perkembangan Kota, dan Perubahan Sosial Masyarakat Kota Gresik,” Jurnal Studi Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Terbuka, Vol. 12, No. 2, September 2002.

4. “Reaksi terhadap Kedatangan Sekutu: Pemogokan Etnis Tionghoa di Surabaya Tahun 1946,” Jurnal Mozaik, Komunitas Kajian Kebudayaan dan Masyarakat Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Vol.1, No.1, Januari 2003.

5. “Problem Pemukiman Pascarevolusi Kemedekaan: Studi tentang Pemukiman Liar di Kota Surabaya 1945-1960,” Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume 16, Nomor 3, Oktober 2004.

6. “Menjadi Tu(h)an di Rumah Sendiri: Pancaroba Usaha Pertambangan Minyak di Indonesia 1945-1960,” LEMBARAN SEJARAH, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Vol.7, No.1, 2004

7. “Problem Pemukiman Pasca Revolusi Kemerdekaan: Studitentang Pemukiman Liar di Kota Surabaya 1945-1960” dalam Freek Colombijn, Martine Barwegen, Purnawan Basundoro, Johny Alfian Khusairi (ed.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Yogyakarta: Ombak dan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, 2005

8. Editor Buku, Sejarah Ekonomi Kota Surabaya, Surabaya: Intelektual, 2005

9. Editor Buku, Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Yogyakarta: Ombak dan Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, 2005 (Bersama Freek Colombijn, Martine Barwegen, Johny Alfian Khusairi)

10. “Kereta Api Lembah Serayu pada Masa Kolonial,”dalam Purnawan Basundoro dkk, Tempo Doeloe SelaloeAktoeal, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)

Page 39: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

11. Editor Buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2007)

12. “Menggagas Historiografi (Indonesia) yangDemokratis,” MOZAIK Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora, Vol. 1 No.1 Januari-Juni 2007

13. “Ekonomi Kota Malang pada Awal Kemerdekaan sampaiTahun 1950-an,” Jurnal Kependidikan dan Kebudayaan, Jilid25, No. 1, April 2007

14. “Gerakan Protes Rakyat Miskin di Kota Surabayapada Awal Abad Ke-20,” dalam M. Nursam dkk (ed.),Sejarah yang Memihak: Mengenang Sartono Kartodirdjo,(Yogyakarta: OMBAK, 2008)

15. “Dinamika Pengangkutan di Banyumas pada EraModernisasi Transportasi pada Awal Abad ke-20,”Jurnal HUMANIORA Fakultas Ilmu Budaya UniversitasGadjah Mada, Volume 20, Nomor 1, Februari 2008.

16. “Pemanfaatan Sungai Serayu pada Abad ke-19,”DIAKRONIK Jurnal Pemikiran dan Penelitian SejarahVol. 3 No. 1, Januari 2008, Jurusan Ilmu SejarahFakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas SebelasMaret Surakarta

17. “Antara Eupseong Hanyang (Seoul) Dengan BetengKeraton Yogyakarta: Sebuah Perbandingan Historis”Korean Studies in Indonesia, Vol. 1 No. 1, 2009

18. “Dari Listrik Kolonial ke Listrik Nasional: StudiAwal tentang NV. ANIEM Surabaya,” INDIKATOR Vol. IXNo. 1, Maret 2009, Universitas Flores, NTT

19. “Memerahkan Kota Pahlawan: Pergulatan PartaiKomunis Indonesia di Kota Surabaya 1955-1965,” dalamSri Margana dan M. Nursam (ed.), Kota-kota di Jawa:Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, (Yogyakarta:Ombak, 2010)

Page 40: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

20. “Penduduk dan Hubungan antar Etnis di KotaSurabaya pada Masa Kolonial,” INDIKATOR Vol. XII No.2, September 2010, Universitas Flores, NTT

21. “Dari Kampung Desa ke Kampung Kota: PerubahanEkologi Kota Surabaya dalam Perspektif Permukimanpada Masa Kolonial,” Jantra Vol. V, No. 10, Desember2010

22. “Status Sosial-Ekonomi Warga sebagai BasisPembagian Ruang Kota,” Epilog dalam Anna NurlailaKurniasari dkk, Ruang Kota, (Yogyakarta: EkspresiBuku, 2011)

23. “Kisah Hidup Mantan Tahanan Politik Pulau Buru diPedesaan Kabupaten Banjarnegara Tahun 1979-2004,”dalam Agus Suwignyo, Abdul Wahid, Widya FitriaNingsih (ed.), Sejarah Sosial (di) Indonesia: Perkembangan danKekuatan, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2011)

24. “Situs Industri Kota Surabaya: Warisan dari MasaKolonial sampai Awal Kemerdekaan,” dalam Sri Marganadan Heri Priyatmoko, Kolonialisme. Kebudayaan, dan WarisanSejarah, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah UGM, 2011)

25. “Antara Baju Loreng dan Baju Rombeng: KontrolTentara terhadap Rakyat Miskin di Kota SurabayaTahun 1950-an,” MASYARAKAT, KEBUDAYAAN DAN POLITIK,Vol. 24, Nomor 4, Oktober-Desember 2011, FISIPUniversitas Airlangga

26. “A.R. Baswedan: dari Ampel ke Indonesia,” LAKONVol. 1 No. 1, Juli 2012, Magister Kajian Sastra danBudaya, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga

Page 41: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

27. Editor Buku Potret Tatanan: Ruang Publik, Ekopolitik, danBudaya Jawa Timur, (Surabaya: UK2JT FIB Unair danElmatera, 2012)

28. “Penguasaan Tanah di Kota Surabaya sejak MasaKolonial sampai Awal Kemerdekaan,” dalam PurnawanBasundoro dan Johny a. Khusyairi (ed.), Potret Tatanan:Ruang Publik, Ekopolitik, dan Budaya Jawa Timur, (Surabaya:UK2JT FIB Unair dan Elmatera, 2012)

29. “Rakyat Miskin dan Perebutan Ruang Kota diSurabaya Tahun 1900-1960-an.” MASYARAKAT INDONESIAMAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL Vo. 38, No. 2, Desember2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)Jakarta

30. “Prolog: Mengintip Dinamika Keseharian MasyarakatSurabaya,” dalam Arya W. Wirayuda dan Bachtiar RidhoE (ed.), Mengeja Keseharian: Sejarah KehidupanMasyarakat Kota Surabaya, (Surabaya: Departemen IlmuSejarah Universitas Airlangga, 2013)

Artikel di Surat Kabar dan Majalah:

1. “Analisis tentang Kerusuhan Sosial,” Yogya Post, 24-25Oktober 1997

2. “Menanggapi Mundurnya Amien Rais ICMI,” Yogya Post, 12Februari 1998

3. “Radikalisme Masa Pinggiran,” Jawa Pos, 8 November 1999

4. ”Menjadikan Guru sebagai Peneliti,” Kompas Jatim, 19 September 2004

5. ”Valentine’s Day dan Ancaman Seks Bebas,” Jawa Pos Metropolis, 13 Februari 2006

6. “Menjelang Lapindo Lempar Handuk,” Jawa Pos Metropolis, 24 Agustus 2006

7. “Laundry,” Kompas Yogya, 3 Oktober 2007

Page 42: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

8. “Strategi Menghidupkan Museum,” Kompas Yogya, 4 Maret 2008

9. ”Tan Malaka: Spesialis Bawah Tanah,” Intisari, Mei 200910. ”Bung Hatta: Proklamator Sederhana Nyaris Jadi

Ulama,” Intisari, Juli 200911. ”Kemerdekaan: Semangat Perubahan untuk Indonesia

yang Lebih Baik,” Gapura, Vol. XLIV, No. 54, September 2011

12. ”Sumbangsih PUSURA (Putra Surabaya) Bagi Perjuangan Bangsa Indonesia,” Pusar, No. 1 Vol. 1 Tahun 2011

13. ”Banjarnegara dari Waktu ke Waktu,” Derap Serayu, Edisi Khusus hari Jadi Ke-181 Kabupaten Banjarnegara, 2012

14. ”Madhege Kabupaten Banjarnegara,” Ancas, Februari 2013

Karya Ilmiah Lain dan Penelitian Terakhir:

1. “Pembangunan Kota dan Perebutan Ruang: Studi tentangPemukiman Liar di Kota Surabaya 1930-1960.” Penelitian Bersama dengan Freek Colombijn dari KITLV, Leiden Belanda, 2003. Dipresentasikan dalam forum “The First International Conference on Urban History,” Surabaya 23-25 Agustus, 2004.

2. “Perempuan dan Parlemen: Kajian Tentang Posisi Dan Peran Perempuan Dalam Politik Lokal Jawa Timur.” Dibiayai oleh DP3M Dirjen Dikti , Departemen Pendidikan Nasional, 2004

3. “Menghadirkan Imajinasi (Rakyat) dalam Ruang Publik:Makna Simbolik Alun-alun Kota Malang 1930-1960.” Dibiayai oleh NIOD, Belanda, 2004-2005

4. “Nasionalisasi dengan Jalan Damai: Indonesianisasi Usaha Pertambangan Minyak di Indonesia.” Dipresentasikan pada “Workshop on the Economic Sideof Decolonization,” Yogyakarta, 18-19 Agustus 2004

Page 43: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

5. “Kehidupan Mantan Tahanan Politik G 30 S/PKI Di Pedesaan Kabupaten Banjarnegara Pada Masa Orde Baru Dan Masa Reformasi (1979-2002).” Dibiayai oleh DP3M Dirjen Dikti , Departemen Pendidikan Nasional, 2005

6. “Kajian Strategi Dan Kemungkinan Implementasi Pengamanan Swakarsa (Pamswakarsa) Dalam Menangkal Aksi Terorisme Di Propinsi Jawa Timur.” Penelitian Kerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) Propinsi Jawa Timur, 2006

7. “From State Alun-Alun To Public Place: Seizing ForTwo Alun-Aluns In Malang City 1930 – 1960”dipresentasikan pada The conference on The Decolonisation ofthe Indonesian city (1930-1960) in (Asian and African) ComparativePerspective, Leiden 27-28 April 2006

8. “Kebijakan Pemerintah Terhadap Kinerja PemerintahanDesa Di Jawa Timur.” Penelitian Kerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Propinsi Jawa Timur, 2006

9. “Perencanaan Penanganan Urbanist di Jawa Timur.” Penelitian Kerjasama dengan Dinas Kependudukan Propinsi Jawa Timur, 2006-2007

10. ”Sejarah Wakaf di Kota Surabaya dalam Dimensi Sosial-Ekonomi.” Penelitian Kerjasama dengan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2007

11. “Antara Mitos dan Realitas Masa lalu diSepanjang Sungai Brantas.” Penelitian untuk PenulisanPerubahan Lingkungan DAS Brantas dalam Perspektif Sejarah,dengan Direktorat Geografi Sejarah, DirektoratJenderal Sejarah dan Purbakala, DepartemenKebudayaan dan Pariwisata, Jakarta 2007

12. “Dari Listrik Kolonial Ke Listrik Nasional: StudiAwal Tentang NV. Aniem Surabaya”. Makalahdipresentasikan pada Para-konferensi “Ekonomi,

Page 44: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Identitas Kultural dan Demokrasi Politik diIndonesia, 1945-1960an”. Yogyakarta, 11 Agustus2008.

13. ”Pilar Simbolik Penopang Kekuasaan Suharto”.Makalah untuk diskusi buku karya Katharine E.McGregor, Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militerdalam Menyusun Sejarah Indonesia, (Yogyakarta: Syarikat,2008), yang diselanggarakan oleh Fakultas IlmuBudaya, Universitas Airlangga, Surabaya, 6 Nopember2008

14. ”Tan Malaka, Persatoean Perdjoeangan, danHistoriografi Indonesia Kontemporer.” Makalah untukdiskusi buku karya Harry A. Poeze, Tan Malaka, GerakanKiri, dan Revolusi Indonesia Jilid I, (Jakarta: Yayasan OborIndonesia dan KITLV Jakarta, 2008), yangdiselengggarakan oleh Himpunan Mahasiswa IlmuPolitik, FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya, 18Nopember 2008

15. ”Ibnu Sutowo: Bidan Perusahaan Minyak Nasional,”Makalah untuk Diskusi Buku karya Ramadhan KH, IbnuSutowo: Saatnya Saya Bercerita, (Jakarta: National PressClub, 2008), diselenggarakan oleh FakultasKedokteran Universitas Airlangga bekerja sama denganNational Press Club, Surabaya, 12 Mei 2009

16. ”Pemukiman Miskin dan Perebutan Ruang di KotaSurabaya 1920-1970-an,” Penelitian Hibah Doktor,Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada MasyarakatUniversitas Gadjah Mada 2009

17. ”Sejarah Dinas Peternakan Propinsi Jawa Timur,”Penelitian Kerjasama Departemen Ilmu SejarahUniversitas Airlangga dengan Dinas PeternakanPropinsi Jawa Timur, 2012

Page 45: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

18. ”Sejarah Pemerintah Kota Surabaya sejak MasaKolonial sampai Masa Reformasi,” PenelitianKerjasama Departemen Ilmu Sejarah dengan Badan Arsipdan Perpustakaan Kota Surabaya, 2012

Konferensi:

No. Nama Konferensi Judul Makalah WaktuPelaksanaa

n1 Konferensi

Nasional Sejarah IX

Penduduk dan Hubungan antar Etnis di Kota Surabaya pada Masa Kolonial

5-7 Juli 2011, MSI dan DirektoratJenderal KebudayaanJakarta

2 The 3rd International Graduate Student Conference on Indonesia

Poor People and the Struggle for Urban Spacein Surabaya 1900-1960s

8-9 November 2011, UGM Yogyakarta

3 Conference on Urban History

History of Surabaya City 21-22 Oktober 2012, Nagoya University, Jepang

Pengalaman Pengabdian kepada Masyarakat:

No. Tahun Judul Pengabdian

Masyarakat1. 2012 Ceramah Nilai-nilai

Kepahlawanan di Dinas Sosial Kota Surabaya

2 2013 Ceramah Jurnalistik Onlinedi SMA St Carolus Surabaya

3 2013 Tim Juri Lawatan Sejarah

Page 46: PEREBUTAN RUANG KOTA: PROBLEM MASA LALU, MASA KINI, DAN MASA DEPAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur

4. 2011-sekarang

Tim juri lomba penulisan naskah kesejarahan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Jawa Timur