Top Banner
1 Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah IRMA RUSLIYANI Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya Malang [email protected] ABSTRACT This study was aimed to determine the difference of emotional stability between married career-women and single career-women. This quantitative study was conducted with quesioner method. The subjects who participated on this study were 50 married career women anda 50 single career-women. The emotional stability scale from Chaturvedi and Chander was used for data collection on this study. The result was analysed by using independent-sample t-tes. The result showed that score t=1.776, p=0.79,p>0.05, which showing no significant difference exists between married career- women and single career-women. The extended analysis was conducted about ration among dimensions. It is found that there was significant ratio of tolerance between married career-women and single women-career t=2.272, p=0.025, <p=0.05. therefore, married career-women has higher tolerance than single career-women. There was no significant ratio among the rest dimensions. Keyword : Emotional Stability, Career Women, Status Married and Single. ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Subjek yang terlibat dalam penelitian ini adalah perempuan karir yang sudah menikah sebnayak 50 orang dan yang belum menikah sebanyak 50 orang. Alat pengumpulan data berupa skala stabilitas emosi dari Chaturverdi dan Chander. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik uji beda atau independent sample t-tes. Hasil analisi menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan stabilitas emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah t=1.776, p=0.79, p<0.05. Peneliti melakukan analisis tambahan berupa perbandingan skor tiap dimensi stabilitas emosi ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi toleransi antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah t=2.272, p=0.025, p<0.05. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa perempuan karir yang sudah menikah mempunyai sikap toleransi yang lebih tinggi dari sikap toleransi perempuan karir yang belum menikah. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi lainnya. Kunci: Stabilitas emosi, Perempuan karir, Status Menikah dan Belum Menikah.
17

Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

Jan 28, 2023

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

1

Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan

Perempuan Karir yang Belum Menikah

IRMA RUSLIYANI

Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya Malang

[email protected]

ABSTRACT

This study was aimed to determine the difference of emotional stability between

married career-women and single career-women. This quantitative study was conducted

with quesioner method. The subjects who participated on this study were 50 married

career women anda 50 single career-women. The emotional stability scale from

Chaturvedi and Chander was used for data collection on this study. The result was

analysed by using independent-sample t-tes. The result showed that score t=1.776,

p=0.79,p>0.05, which showing no significant difference exists between married career-

women and single career-women. The extended analysis was conducted about ration

among dimensions. It is found that there was significant ratio of tolerance between

married career-women and single women-career t=2.272, p=0.025, <p=0.05. therefore,

married career-women has higher tolerance than single career-women. There was no

significant ratio among the rest dimensions.

Keyword : Emotional Stability, Career Women, Status Married and Single.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stabilitas emosi pada

perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah. Jenis penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Subjek yang terlibat dalam

penelitian ini adalah perempuan karir yang sudah menikah sebnayak 50 orang dan yang

belum menikah sebanyak 50 orang. Alat pengumpulan data berupa skala stabilitas

emosi dari Chaturverdi dan Chander. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik uji

beda atau independent –sample t-tes. Hasil analisi menunjukkan bahwa tidak ada

perbedaan stabilitas emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah

dan perempuan karir yang belum menikah t=1.776, p=0.79, p<0.05. Peneliti melakukan

analisis tambahan berupa perbandingan skor tiap dimensi stabilitas emosi ditemukan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi toleransi antara perempuan

karir yang sudah menikah dan belum menikah t=2.272, p=0.025, p<0.05. Dengan

demikian, dapat dipahami bahwa perempuan karir yang sudah menikah mempunyai

sikap toleransi yang lebih tinggi dari sikap toleransi perempuan karir yang belum

menikah. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi lainnya.

Kunci: Stabilitas emosi, Perempuan karir, Status Menikah dan Belum Menikah.

Page 2: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

2

PENDAHULUAN

Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satunya

adalah rentang hidup yang dijalani oleh setiap individu adalah pada masa dewasa.

Menurut Hurlock (1999) masa dewasa merupakan waktu yang paling lama dialami

setiap manusia dalam rentang kehidupan. Pada masa dewasa ini individu memiliki rasa

tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Menurut Papalia (2009) bahwa pada

usia dewasa merupakan usia yang paling sulit untuk dilalui oleh individu karena usia ini

ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam serta dituntut peran dan

tanggung jawab sebagai orang yang menjalankan rumah tangga, departemen maupun

perusahaan, merawat orang tua, membesarkan anak, dan mulai menata karir. Salah satu

tuntutan dan tanggung jawab pada usia dewasa adalah pernikahan. Menurut Mulder

(dalam Putri, 2010) setiap orang dihadapkan pada keharusan untuk menikah dan

tekanan pada perempuan untuk menikah sangat tinggi. Pada usia dewasa ini pernikahan

sangatlah penting dan menjadi salah satu harapan masyarakat yang harus di penuhi,

namun tidak semua perempuan memenuhi harapan dari masyarakat dan masih hidup

melajang walaupun batas usia untuk siap menikah sudah melebihi batas yang telah

ditetapkan untuk menikah.

Menurut Hurlock (1999) pernikahan merupakan pola yang normal dalam kehidupan

orang dewasa. Pada umumnya perempuan dewasa memiliki dua pilihan untuk meniti

karir atau membina rumah tangga. Dengan berkembangnya era globalisasi

mengakibatkan seseorang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan. Dunia kerja

menuntut kualifikasi profesionalitas untuk meraih kesempatan kerja. Kaum perempuan

mempunyai hak yang sama dengan pria dalam memasuki dunia kerja. Persamaan hak antara

pria dan perempuan khususnya di Indonesia, belum semuanya terwujud (dalam Siwi, 2005).

Menurut Indriana, Indrawati dan Ayuningsih (2007) kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta gerakan emansipasi perempuan inilah yang diduga telah melahirkan

perubahan peran perempuan. Perempuan sudah mempunyai hak dan kewajiban serta

kesempatan yang setara dengan pria untuk berpartisipasi dalam segala bidang

pembangunan, hal ini terlihat jelas pada peningkatan angka kerja kaum perempuan dari

tahun ketahun. Menurut Kartono (2007) emansipasi berasal dari kata “emanci patio”

yang artinya kebebasan. Emansipasi perempuan, kebanyakan kaum perempuan sekarang

ini memilih untuk menghabiskan masa mudanya untuk menuntut ilmu, bekerja dan

bersosialisasi, sehingga pada era global ini membuat kedudukan antara pria dan

perempuan sama, perempuan pun dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri. Menurut

Kaunang dan Lovihan (2010) perempuan yang sudah menikah adalah perempuan yang

membina sebuah keluarga dan menjalankan salah satu dari tugas perkembangan pada

usia yang sudah siap untuk menikah. Seiring dengan berjalannya waktu pada saat ini

banyak perempuan yang menikah meniti karir atau memilih untuk peran ganda.

Menurut Pardani (2010), peran ganda sebagai pekerja maupun ibu rumah tangga

mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap perempuan, karena terkadang

para perempuan menghabiskan waktu tiga kali lipat dalam mengurus rumah tangga

dibandingkan dengan pasangannya yang bekerja pula. Penyeimbangan tanggung jawab

ini cenderung lebih memberikan tekanan hidup bagi perempuan bekerja karena selain

menghabiskan banyak waktu dan energi, tanggung jawab ini memiliki tingkat kesulitan

pengelolaan yang tinggi.

Page 3: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

3

Konsekuensinya, jika perempuan kehabisan energi maka keseimbangan mentalnya

terganggu sehingga dapat menimbulkan stres. Menurut Pardani (2010) mengungkapkan

bahwa para perempuan yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres

lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal itu dapat disebabkan karena perempuan

bekerja menghadapi konflik peran sebagai perempuan karir sekaligus ibu rumah tangga.

Stres yang dimaksud disini adalah stres yang menyebabkan ketegangan/penderitaan

psikis sehingga menimbulkan kecemasan. Tuntutan pada perempuan karir yang sudah

menikah pada umumnya adalah bagaimana membagi antara pekerjaan dan rumah

tangga (peran ganda). Perempuan karir yang sudah menikah harus memiliki kemampuan

untuk mengontrol emosinya dengan baik ketika ia mengalami masalah di tempat

kerjanya maka dia harus bersifat professional atau tidak membawa masalah di pekerjaan

ke rumah. Hurlock (1999) perempuan yang memiliki peran ganda harus pandai

menyesuaikan diri antara pekerjaan dan mengurus rumah tangga. Dari tuntutan peran

ganda ini akan menimbulkan konflik dalam kehidupannya.

Perempuan dewasa belum menikah adalah perempuan yang belum menjalani

kehidupan rumah tangga. Pada umumnya perempuan dewasa yang belum menikah yang

bekerja banyak yang masih melajang. Alasannya adalah karena masih melajang atau

belum menikah. Alasan perempuan dewasa yang belum menikah salah satunya adalah

karir atau belum mendapatkan pasangan. Menurut Dariyo (dalam Indriana, Indrawati &

Ayuningsih, 2007) alasan yang menyebabkan perempuan yang belum menikah salah

satunya adalah sudah terlanjur meniti karir, ingin menjalani hidup secara bebas, selain

itu perempuan yang belum menikah atau melajang, dengan jenjang karir dan gaji yang

tinggi akan menentukan kriteria yang tinggi untuk pria yang akan menjadi pasangan

hidupnya dan akan menolak lawan jenisnya

Perempuan karir yang belum menikah memiliki tuntutan dalam masyarakat yaitu

untuk menikah (dalam Hurlock, 1999). Perempuan karir yang belum menikah dalam

penelitian ini termasuk dalam katagori dewasa dini, dimana pertikahan termasuk dalam

salah satu tugas perkembangan. Sebagai upaya pemenuhan tugas –tugas perkembangan

tersebut dilakukan oleh perempuan karir salah satunya melalui menjalin hubungan

dengan laki-laki atau perempuan (pacaran). Selain itu tuntutan atau tanggunga jawab ini

untuk memenuhi tugas perkembangan pada usia dewasa dini. Menurut Lakoy (2009)

perempuan bekerja yang belum menikah pada usia rata-rata usia 20 sampai dengan 34

tahun, memiliki tuntutan yang harus di penuhi yaitu, tuntutan untuk menikah. Hal ini

sesuai dengan teori Mangkuprawira (dalam Yuniati, 2013) berbagai tuntutan mendorong

mereka untuk berkarir, terutama bagi perempuan yang telah menginjak usia dewasa

dini. Sesuai dengan usia perkembangannya, mereka memiliki tugas yang harus

diselesaikan yaitu mulai bekerja dan menikah

Berdasarkan dari tuntutan ini, apakah akan mempengaruhi stabilitas emosi pada

perempuan karir yang belum menikah. Perempuan karir yang belum menikah

kebanyakan memilih meniti karir terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pendapat

Indriana, Indrawati dan Ayuningsih (2010) perempuan karir yang belum menikah dan

terlanjur meniti karir di pekerjaan ingin menjalani kehidupan bebas. Statusnyan tidak

menikah ini akan berpengaruh pada Stabilitas emosi ketika individu menghadapi

cemooh dari teman-temannya (dalam Hurlock, 1999).

Peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui tentang perbedaan

stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang

Page 4: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

4

belum menikah. Stabilitas emosi menurut penulis sangat menarik terutama bagi

perempuan karir karena perempuan karir tidak hanya memiliki peran sebagai

perempuan bekerja dan ibu rumah tangga. Masing- masing peran tersebut memiliki

tanggung jawab dan tuntutan sendiri, untuk membagi peran antara karir dan keluarga,

sedangkan perempuan karir yang belum menikah memiliki tuntutan dalam masyarakat

yaitu untuk menikah dan tuntutan untuk memenuhi dalam salah satu tugas

perkembangannya. Berdasarkan tuntutan yang harus mereka penuhi ini apakah akan

mempengaruhi stabilitas emosinya.

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang

berjudul Stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan

karir yang belum menikah.

A. Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang

sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

B. Tujuan penelitian

Mengetahui perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah

menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

C. Manfaat penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan yang

berarti bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya pada dibidang psikologi

terutama berkenaan dengan perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir

yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

2. Manfaat praktis

a. Bagi peneliti

Memperoleh pengetahuan tentang perbedaan stabilitas emosi pada

perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum

menikah.

b. Bagi Akademik

Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan dapat

menjadi landasan atau sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya

yang berhubungan dengan perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir

yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.

c. Bagi Instansi

Memberikan informasi mengenai perbedaan stabilitas emosi pada

perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum

menikah.

KAJIAN PUSTAKA

1. a. Pernikahan

Menurut Faizah (2012) pernikahan ialah suatu ikatan lahir batin antara

seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai sepasang suami-istri

dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga (keluarga) tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Page 5: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

5

ketuhanan yang maha esa. Menurut Dariyo (2005) perkawinan merupakan

ikatan yang syah antara laki-laki dengan perempuan dewasa untuk

menjalani kehidupan rumah tangga bersama, setelah individu melalui proses

pacaran atau tunangan, masing-masing individu telah sepakat untuk

meninggalkan kedua orangtuanya dan menjadi satu dengan pasangan

hidupnya untuk jangka waktu selama-lamanya.

b. Perubahan terjadi setelah pernikahan

Beberapa perubahan yang mungkin terjadi setelah pernikahan yaitu :

1. Status sosial

Menurut Hurlock (1999) status sosial yang terjadi setelah pernikahan

adalah dewasa yang sudah berumah tangga, bekerja dan memiliki anak,

hubungan dengan teman-temannya akan menjadi renggang. Perempuan

yang sudah berkeluarga akan lebih mencurahkan waktunya dengan

keluarga.

2. Finansial

Menurut Simon (dalam Alteza & Hidayati, 2010) perempuan yang

sudah menikah akan tanggung jawab pada tugas rumah tangga, dan

memikirkan mencari materi untuk kebutuhan keluargannya. Menurut

White dan Rogers (2000) perempuan yang telah bekerja sebelum

menikah biasanya akan terus bekerja, karena konstribusi perempuan

dalam hal pendapatan keluarga menjadi hal penting yang dapat

meningkatkan keutuhan rumah tangga.

3. Tanggung jawab / peran

Perempuan yang sudah menikah memiliki tanggung jawab kepada

keluarga dan anak-anaknya. Menurut Mauthner (dalam Chandara, 2011)

bahwa, pria maupun perempuan telah meningkatkan komitmennya

terhadap pekerjaan atau perawatan terhadap anak, situasi pekerjaan dan

pemenuhan kebutuhan keluarganya.

4. Biologis

Menurut Papalia (2009) setelah menikah kebutuhan biologis sangat

diperlukan untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. Menurut

Walgito (2000) faktor-faktor biologis pada perkawinan, yaitu :

1. Kesehatan

Keadaan kesehatan seseorang adalah salah satu faktor penting

dalam

perkawinan dan merupakan faktor esensial dalam perkawinan.

2. Keturunan

Keturunan merupakan persoalan yang sangat penting dalam

pernikahan, karena dalam pernikahan pasangan suami istri

menginginkan keturunan yang baik, oleh karena itu keturunan

merupakan faktor yang sangat penting dalam pernikahan.

3. Sexsual Fitnes

Berkaitan dengan apakah individu dapat memlakukan hubungan

seksual secara wajar atau tidak.

2. Pengertian Emosi

Page 6: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

6

Emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang

terjadi dalam tubuh sebagai respon terhadap berbagai rangsangan yang datang

dari luar. Menurut Tavris dan Wade (2007) emosi adalah situasi stimulus

seseorang yang melibatkan perubahan pada tubuh, wajah, aktivitas pada otak,

penilaian kognitif, perasaan subjektif dan kecenderungan melakukan tindakan

yang dibentuk oleh peraturan-peraturan yang terdapat di suatu kebudayaan.

Menurut Feldman (2012) fungsi-fungsi yang penting dari emosi :

a) Mempersiapkan kita untuk bertindak.

Emosi bertindak merupakan runtutan antara kejadian yang terjadi di

lingkungan dan bagaimana respon yang keluar dari dalam diri kita.

b) Membentuk perilaku di masa depan.

Emosi adalah pembelajaran yang menfasilitasi diri kita dan membantu

kita dalam membuat respons yang sesuai di masa depan.

c) Membantu kita berinteraksi secara efektif dengan orang lain.

Emosi yang dapat dirasakan untuk berkomunikasi melalui perilaku verbal

dan non-verbal, sehingga emosi kita dapat dilihat oleh orang lain.

Perilaku tersebuat bisa menjadi pertanda bagi orang lain, sehingga

mereka mengerti apa yang sedang dialami individu dan membantu

mereka memprediksikan perilaku individu tersebut di masa depan.

3. Teori-teori Emosi Menurut Sobur (2003) teori-teori emosi menurut para ahli psikologi,

yaitu:

a. Menurut Schachter dan Singer.

Emosi merupakan fungsi dari reaksi didalam tubuh tertentu,

dalam teori ini menyatakan bahwa tiap emosi yang dirasakan

individu dapat dirasakan dari kondisi dalam tubuhnya dan individu

akan memberikan interprestasinya.

b. Menurut James-Lange.

Emosi merupakan akibat dari persepsi seseorang terhadap

perubahan-perubahan yang terjadi didalam tubuh sebagai respons

terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar, misalnya jika

seseorang melihat harimau maka denyut jantungnya berdebar dengan

kencang, respons-respon dalam tubuh ini kemudian akan

dipersepsikan dan menimbulkan rasa takut.

c. Menurut Cannon-Bard.

Emosi akan timbul bersama-sama dengan reaksi fisiologi (hati

berdebar, tekanan darah naik, nafas semakin cepat) tetapi emosi akan

timbul tergantung pada aktivitas otak atau aktivitas sentral dalam

tubuh.

4. Stabilitas emosi

1. Pengertian Stabilitas Emosi

Menurut Hurlock (1999) stabilitas emosi memiliki beberapa kriteria

yaitu emosi yang dapat diterima di dalam lingkungan sosial, emosi

terhadap pemahaman diri dan emosi dalam penggunaan kecerdasan

mental seseorang, yaitu:

a. Emosi secara sosial yang dapat diterima di lingkungan sosial.

Page 7: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

7

Individu yang dapat mengontrol ekspresi yang tidak sesuai

dengan nilai-nilai sosial yang dimiliki di dalam dirinya yang dapat

diterima di lingkungan sosial.

b. Emosi terhadap pemahaman diri.

Individu yang emosinya stabil mampu belajar dan mengontrol

emosi sesuai dengan kebutuhan serta menyesuaian diri di lingkungan

sosial.

c. Emosi dalam penggunaan kecerdasan mental.

Individu yang emosinya stabil mampu menilai situasi secara

cermat sebelum memberikan respon secara emosional di

lingkungannya.

Menurut Thorndike dan Hagen (dalam Chaturvedi & Chander,

2010) stabilitas emosi adalah karakteristik individu yang

mencerminkan tentang keadaan suasanan hati, niat, minat, optimis,

keceriaan, ketenangan, perasaan keadaan yang baik, tidak merasa

bersalah, khawatir atau kesepian, bebas dari rasa bersedih. Sedangkan

menurut Simon stabilitas emosi adalah proses kepribadian seseorang

untuk menunjukkan rasa emosional yang baik antara psikis maupun

pribadi, bagaimana seseorang dapat mengembangkan dan memahami

setiap masalah-masalah dalam kehidupan, mengembangkan pemikiran

yang berorientasi pada realitas yang membantu dalam memahami

realitas kehidupan.

2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Stabilitas Emosi

Menurut Hurlock (1999) faktor yang mempengaruhi stabilitas emosi adalah:

a. Fisik

Seseorang dalam kondisi sehat secara jasmani cenderung untuk

tidak mudah marah dan cepat tersinggung. Individu akan merasa

nyaman dan tentram dalam kondisi jasmaniahnya yang sehat, tapi

individu menjadi cepat marah dan cepat tersinggung apabila ada

salah satu anggota kondisi kurang sehat secara medis. Hal ini yang

dapat menimbulkan individu cepat marah karena merasa ada

sesuatu yang membuat dirinya tidak nyaman.

b. Kondisi lingkungan.

Kondisi lingkungan tempat individu yang dapat menerima di

lingkungan tersebut akan membuat individu mengalami stabilan

dalam emosi, namun apabila lingkungan tidak dapat menerima

kehadiran individu maka individu merasa tidak dianggap oleh

lingkungan dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak

berhargai.

c. Faktor pengalaman.

Berdasarkan dari pengalaman individu bisa mengetahui

bagaiman anggapan orang lain dalam berbagai macam ungkapan

tentang emosi. Individu akan mempelajari bagaimana cara

mengungkapkan emosi yang dapat diterima di lingkungan sosial

dan bagaimana emosi yang tidak dapat diterima di lingkungan

sosial. Hal ini berkaitan dengan kondisi norma budaya yang ada

Page 8: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

8

dilingkungan tempat tinggal individu. Individu mampu mempelajari

kondisi lingkungan di tempat tinggal, antar satu daerah dengan

daerah yang lain.

3. Stabilitas Emosi pada Pernikahan dan Pekerjaan

Perempuan karir yang sudah menikah terutama pada perempuan yang

memiliki peran ganda harus dapat menontrol emosinya dengan baik.

Menurut Tanganing dan Hapsariyanti (2009) pada perkawinan, peran

emosi sangatlah penting, karena jika dapat mengontrol emosi dengan

baik, maka pasangan akan dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan

pasangannya. Perempuan yang sudah menikah di dalam pekerjaannya,

perempuan professional diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat

berkomitmen dalam pekerjaan, sedangkan di rumah, perempuan sering

kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi, dan menjaga suami

dan anaknya (dalam Alteza & Hidayati, 2010).

Menurut Miler (dalam Lovihan & Kaunang) perempuan yang menikah

memiliki peran ganda antara pekerjaan dan mengurus keluarga. Stabilitas

emosi dalam pekerjaan adalah bagaimana individu mengontrol emosinya

ketika ditempat kerjanya dan bagaimana pada saat mendapatkan konflik,

agar tidak membawa permasalahan kedalam pekerjaan, selain itu individu

harus memiliki kecerdasan emosional berarti kemampuan seseorang

mendeteksi atau mengontrol emosi dengan baik ditempat kerjanya (dalam

Chandra, 2011).

Perempuan karir yang belum menikah juga harus dapat mengontrol

emosinya dengan baik. Menurut Putri (2010) perempuan karir yang single

atau belum menikah harus dapat mengontrol emosi dengan baik terhadap

kehidupan lingungan sosialnya, seperti masyarakat yang memandang lain

tentang statusnya yang belum menikah dan mengontrol emosi ketika

menghadapi permasalahan dilingkungan sosial terutama ketika dicemooh

atau di pandang lain oleh masyarakat terkait dengan statusnya. Hal ini

sependapat dengan Halim dkk (2011) perempuan karir harus dapat

mengontrol emosi dangan baik ketika dihadapi permasalahan di

lingkungan sosial dan ditempat kerjanya terkait dengan statusnya.

4. Ciri-ciri Stabilitas Emosi

Menurut Wahlroos (dalam Andriani, 2007) ciri-ciri stabilitas emosi adalah

:

a. Tidak melukai diri sendiri atau orang lain dengan tindakan atau

perkataan baik sadar atau tidak sadar, sebaliknya akan membantu

orang lain atau dirinya sendiri dengan perkatanya.

b. Individu yang memiliki emosi yang baik mempunyai kebiasan untuk

memilih.

c. Orang yang memiliki emosional yang sehat mempunyai konsep diri

yang positif.

d. Dapat menunda pemenuhan kebutuhan.

e. Mampu mengevaluasi kenyataan emosional dan memahami

perasaannya sendiri dan orang lain.

Page 9: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

9

f. Dapat menjalin hubungan emosional yang mendalam dan tahan

lama.

g. Fleksibel dan luas dan mau belajara dari pengalaman.

h. Memiliki antusiasme dan memiliki minat pada aspek kehidupan

yang konstruktif dan menantang

i. Menerima dengan sesama dan mengidentifikasikan diri dengan

semua umat manusia.

j. Terikat pada dirinya sendiri.

5. Pengertian Perempuan Karir

Menurut Rissdy (dalam Kaunang & Lovihan, 2010) perempuan karir

adalah mereka yang bekerja, tetapi ia juga mengejar atau

mempertahankan suatu posisi dan sosial (akualitas diri), dan cenderung

menomerduakan keluarga.

Menurut Martlin (2003) perempuan karir dibedakan menjadi dua katagori

yaitu:

1. Employed women (perempuan karir) seseorang perempuan yang

berkarir untuk mendapatkan bayaran, baik mendapat gaji dari orang

lain atau berkakir untuk dirinya sendiri.

2. Nonemployed (Perempuan non karir) seseorang perempuan yang

bekerja tidak untuk mendapatkan bayaran, seperti bekerja untuk

keluarganya sendiri atau menjadi sukarelawan pada suatu

organisasi. Individu dalam hal ini, tidak menerima gaji dari jasa

yang telah diberikan.

6. Pengertian Perempuan Karir yang Belum Menikah

Menurut Jayantini (dalam Lovihan & Kaunang, 2010) ciri-ciri

perempuan karir menurut seseorang penulis inggris adalah mereka tidak

suka berumah tangga, tidak suka berfungsi sebagai ibu, emosinya

berbeda dengan perempuan non karir dan biasanya menjadi perempuan

yang melankolis.

7. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Perempuan Karir belum

menikah

Menurut Hurlock (1999) faktor-faktor yang penyebab perempuan karir

belum menikah, yaitu:

a. Rasa takut untuk menikah (membentuk suatu hubungan keluarga

baru)

Karena menyadari bahwa usianya yang telah setengah baya.

Hurlock menyatakan bahwa semakin mendekati usia, periode usia

madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh

kehidupan manusia.

b. Usia dewasa madya merupakan usia yang berbahaya

Masa dewasa madya merupakan masa yang sulit bagi seseorang dan

mengalami kesusahan fisik akibat bekerja yang berlebihan sehingga

kurang memperhatikan pernikahan di usia yang sudah masuk usia

madya.

c. Masa Workaholic

Page 10: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

10

Masa dimana seseorang lebih banyak menghabiskan waktu untuk

bekerja tanpa memperhatikan hal lain yaitu seperti pernikahan.

d. Masa berprestasi dalam pekerjaan atau sukses.

Hal yang menyebabkan perempuan karir tidak memikirkan

penikahan salah satunya apabila perempuan tersebut merupakan

perempuan yang berhasil dalam hal pekerjaan, maka perempuan

tersebut akan berambisi lebih maju lagi dalam pekerjaan, sehingga

melupakan pernikahan.

e. Pernikahan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan.

Hal lain yang menyebabkan perempuan karir belum menikah

mendengar dari temanya tentang penceraian, sehingga mereka takut

untuk menikah.

8. Perempuan Karir Yang Sudah Menikah

Menurut Djuniarti dan Imanoviani (dalam Sulastrie & Abas, 2012)

status pernikahan adalah keadaan suatu kondisi yang menjelaskan

apakah seseorang individu telah bersatu dalam membangun sistem

keluarga secara keseluruhan yang disebut dengan menikah, sedangkan

belum menikah adalah belum bersatu dalam membangun sistem keluarga

disebut sebagai single.

9. Perbedaan Stabilitas Emosi Pada Perempuan Karir yang

Sudah menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

Perempuan karir yang sudah menikah adalah perempuan yang bekerja

dan sudah menjalin suatu pernikahan. Perempuan yang memiliki peran

ganda seringkali dihadapai dengan konfik. Seperti pendapat teori

Santrock (2002) Perempuan dengan peran ganda dapat memiliki

keuntungan dan kerugian bagi individu, perempuan dengan peran ganda

dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan

istri dan meningkatkan rasa harga diri bagi perempuan. Di antara

kerugian yang mungkin terjadi pada perempuan dengan peran ganda

adalah tuntutan adanya waktu dan tenaga tambahan, konflik antara peran

pekerjaan dan peran keluarga, persaingan kompetitif antara suami dan

istri, serta tentang pemenuhan kebutuhan anak. Perempuan karir yang

sudah menikah harus memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi

dengan professional agar tidak membawa permasalahan di pekerjaan ke

dalam kehidupan rumah tangganya dan dukungan dari keluarga sangat

penting bagi perempuan karir yang sudah menikah yang memiliki

tuntutan peran ganda.

Perempuan yang belum menikah ini memiliki tuntutan dalam

masyarakatnya yaitu pernikahan, pernikahan adalah merupakan salah

satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal yang harus di penui.

Seperti yang dikemukakan oleh lakoy (2009) perempuan karir yang

belum menikah memiliki tuntutan yaitu untuk menikah. Menurut

Hurlock (1999) perempuan karir yang belum menikah pada masa

dewasa awal dikatakan juga sebagai masa-masa yang sulit dan

bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan

Page 11: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

11

penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia

tidak bisa mengatasinya, maka akan menimbulkan masalah.

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif.

Metode kuantitatif adalah data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan

statistik (dalam Sugiyono, 2011). Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelirian

ini bersifat komparatif (perbandingan). Populasi dalam penelitian ini adalah

perempuan karir yang belum menikah dan perempuan karir yang sudah menikah.

Jumlah sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 untuk Try Out dan

100 untuk penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik jenis penarikan sampel,

purposive sampling, dikarenakan penentuan sampel dengan menggunakan

kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria dalam menentukan sampel ini yaitu:

a.Perempuan yang bekerja: Jenis pekerjaan : karyawan, pengajar/dosen dan

manajer. b.Perempuan karir pada masa / tahap perkembangan dewasa awal dan

madya usia 20 sampai dengan 45 tahun dan c. berdomisili di wilayah kota

Malang. Instrumens dalam penelitian ini menggunakan 1 skala yaitu skala

Chaturvedi dan Chader (2010) : 1. Pesimis VS Optimis, 2. Apatis VS Empati, 3.

Dependence VS Autonom, 4. Anxiety VS Calm, 5. Agresi VS Toleransi. Tersusun

dalam 35 butir soal dengan bentuk skala Likert dan diperoleh nilai Cronbach

Alpha sebesar 0.904.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan uji asumsi dan

uji hipotesis. Uji asumsi terdiri dari: uji normalitas dan uji homogenitas kemudian

uji hipotesis mengunakan independent- sample t-test.

Hasil

Berdasarkan perrhitungan yang dilakukan menggunakan SPSS 17.0 for windows,

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perbedaan stabilitas emosi yang

signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, nilai

(p=0.79, p>0,05). Berdasarkan hasil uji normalitas, diperoleh Hasil uji normalitas

menunjukkan bahwa skor stabilitas emosi, baik pada kelompok subjek perempuan karir

yang sudah menikah (p=0.2, p>0.05) dan perempuan karir yang belum menikah (p= 0.2,

p>0.05) terdistribusi secara normal. dari hasil uji Homogenitas Hasil uji homogenitas

terhadap skor stabilitas emosi pada dua kelompok subjek menggunakan Levene’s test

menunjukkan bahwa varians skor stabilitas emosi pada dua kelompok subjek bersifat

setara (F=0.575, p=0.450, p> 0.05). hasil dari penelitian tambahan berupa perbandingan

skor toleransi pada perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, terdapat

perbedaan skor toleransi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah

dan perempuan yang belum menikah. (p=0.025, p<0.05). Sementara itu, tidak terdapat

perbedaan yang signifikan pada dimensi lainnya.

DISKUSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan stabilitas

emosi pada perempuan karir berstatus menikah dan berstatus single. Menurut

Cattel dan Goldberg (dalam Halim dkk, 2011) stabilitas emosi digunakan untuk

mengukur kemampuan individu dalam mengendalikan stres, kecemasan, depresi

dan bagaimana cara individu dalam menghadapi masalah. Sedangkan menurut

Thorndike dan Hagen (dalam Chaturvedi & Chander, 2010) stabilitas emosi

Page 12: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

12

seseorang ditandai oleh suasanan hati yang tidak buruk, niat, minat, optimis,

keceriaan, ketenangan, perasaan keadaan yang baik, bebas dari rasa bersalah,

khawatir atau kesepian, bebas dari khayalan dan suasana hati. Sedangkan menurut

Simon stabilitas emosi adalah sebuah proses di mana kepribadian seseorang untuk

menunjukkan rasa emosional yang baik antara psikis maupun pribadi, bagaimana

seseorang dapat mengembangkan dan memahami setiap masalah-masalah dalam

kehidupan, mengembangkan pemikiran yang berorientasi pada realitas yang

membantu dalam memahami realitas kehidupan (dalam Chaturvedi & Chander,

2010).

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perbedaan stabilitas

emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum

menikah, nilai (p=0.79, p>0,05). tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

perempuan karir yang sudah dan belum menikah memiliki tuntutan peran yang

berbeda-beda. Tuntutan pada perempuan karir yang sudah menikah adalah

tuntutan memiliki peran ganda, yaitu harus mampu membagi peran antara

keluarga dan pekerjaan. Menurut Lakoy (2009) perempuan yang bekerja dengan

status menikah, dihadapkan pada tuntutan multi peran (sebagai isteri, ibu dan

sebagai pekerja) dimana masing-masing peran memerlukan waktu dan tenaga

ekstra. Perempuan karir yang sudah menikah yang memiki peran ganda hasus

pintar dalam mengelola emosi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Kartini (1994) perempuan yang memiliki peran ganda atau perempuan dalam dua

karir, yaitu perempuan yang harus pintar dalam mengatur tugas pekerjaannya

dengan rumah tangganya.

Sedangkan tuntutan pada perempuan karir yang belum menikah yaitu tuntutan

untuk menikah. Perempuan karir yang belum menikah, memiliki tuntutan-tuntutan

yang harus di penuhi yaitu tuntutan untuk menikah dan membina keluarga.

Perempuan karir yang belum menikah pada usia 20 sampai dengan 34 memiliki

tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu tuntutan untuk menikah. Hal ini

sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lakoy (2009) perempuan bekerja

yang belum menikah pada usia rata-rata 25 sampai dengan 40 tahun selalu

dihadapkan pada tuntutan akan tugas perkembangan dan juga tuntutan masyarakat

yang sepatutnya dipenuhi oleh setiap perempuan usia dewasa yaitu tuntutan untuk

menikah. Oleh karena itu dapat disimpulkan berdasarkan dari hasil penelitian

stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir

yang belum menikah memiliki stabilitas emosi yang sama karena hal ini sebabkan

mereka merupakan usia mereka berada pada usia dewasa. Hal ini sesuai dengan

teori Yanti (2010) ketika sudah berumur 30-an, seseorang akan cenderung stabil

dan tenang dalam emosi.

Menurut Lovihan dan Kaunang (2010) perempuan karir yang belum menikah

harus bisa mengontrol emosi dengan baik, yang dimaksud mengontrol emosi

yaitu menghadapi permasalahan di lingkungan mengenai statusnya. Hal ini sesuai

dengan teori yang dikemukakan oleh Halim dkk (2011) perempuan karir harus

dapat mengontrol emosi dangan baik ketika dihapai permasalahan di lingkungan

sosial mengenai statusnya. Dalam penelitian ini terdapat subjek berusia dewasa

awal 20 sampai 30 tahun dan dewasa madya. Setiap individu dalam mengontrol

Page 13: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

13

emosi diantara kedua status tersebut juga pasti berbeda (dalam Kamasanthi,

2008).

Menurut Papalia et.al., (1995) sejak usia 20 tahun (dewasa awal) individu

memiliki kepribadian dan gaya hidup yang relatif stabil dan mulai mengambil

peran baru sebagai pekerja. Selain itu muncul pula keinginan untuk membina

hubungan intim yang mengarah pada pernikahan sehingga pada umumnya di usia

ini individu menikah dan menjadi orang tua. Tahap perkembangan dalam

penelitian ini terdapat dua tahap perkembanga yaitu pada masa dewasa awal(20

sampai dengan 40) dan dewasa madya (35 tahun keatas). Tugas perkembanga

pada dewasa awal menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) memiliki calon

suami, belajar menjadi suami dan istri, mulai berumah tangga,belajar mengurus

anak, mulai bekerja dan bertanggung jawab. Menurut Santrock (2007) orang

dewasa muda termasuk dalam masa transisi, baik transisi secara fisik (physically

role trantition), transisi secara intelektual (cognitive transtition), serta transisi

peran sosial (social role transtition).

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) tugas perkembangan dewasa

madya meliputi: tugas yang berkaitan dengan perkembangan fisik, tugas yang

berkaitan dengan perubahan minat, tugas yang berkaitan dengan penyesuaian

kejurusan dan tugas yang berkaiatan dengan kehidupan keluarga. Perempuan karir

dalam penelitian ini terdapat dua kategori yaitu perempuan karir yang sudah

menikah dan perempuan karir yang belum menikah. Perempuan karir yang sudah

menikah adalah perempuan yang menjalin sebuah pernikahan dan bekerja atau

perempuan yang memiliki dual karir. Menurut Kamasanthi (2008) perempuan

karir yang berstatus peran ganda, membutuhkan komitmen yang tinggi baik

sebagai pekerja maupun sebagai ibu rumah tangga. Apabila berada di rumah,

seorang pekerja akan dituntut komitmennya untuk memberikan perhatian pada

anggota keluarganya yang lain, seperti suami dan anak. Di tempat kerja, mereka

pun harus mempunyai komitmen dan tanggung jawab atas pekerjaan yang

dipercayakan. Sedangkan perempuan karir yang belum menikah dapat

dikategorikan sebagai kategori perempuan yang tidak terikat dalam pernikahan.

Perempuan karir yang belum menikah lebih bebas dalam mengembangkan karir

untuk mencapai kaemajuan karir yang lebih besar di bandingkan perempuan karir

yang sudah menikah. Hal ini sesuai dengan penelitian Lovihan dan Kaunang

(2010) perempuan karir yang belum menikah atau belum pernah menjadi suami

atau istri lebih berpeluangb untuk mencapai kemajuan karir yang lebih besar.

Jabatan dalam penelitian ini yaitu jabatan responden dibagi menjadi 3

tingkatan manajer, karyawan dan duru/ dosen. Menurut penelitian Harahap (2010)

usia, jenis kelamin dan jabatan mempengaruhi kinerja seseorang, dimana kinerja

ini berpengaruh pada stabilitas emosi, dukungan keluarga, motivasi kerja

seseorang. Jabatan dalam penelitian ini adalah karyawan pada perempuan dewasa

awal usia 20 sampai dengan 30 tahun sebanyak 75%. Menurut penelitian

Kamasanthi (2008) karyawan Apabila karyawati telah memiliki sikap yang negatif

terhadap persoalan yang dihadapi, maka ia akan cenderung mempunyai

motivasiyang rendah untuk melakukan kewajiban dan rutinitasnya sebagai

karyawati dan juga ibu rumah tangga karena mereka akan mudah untuk tidak

konsentrasi, pasif, yang pada akhirnya mereka akan mudah menyerah pada

Page 14: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

14

keadaan dan juga pada lingkungannya. Jika sudah demikian maka karyawati akan

memiliki komitmen yang rendah terhadap perusahaan.

Berikut ini adalah hasil diskusi berdasarkan analisis tambahan berupa

perbandingan dimensi yang diketahui bahwa terdapat perbedaan pada aspek

toleransi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum

menikah, dimana perempuan karir yang sudah menikah memiliki sikap toleransi

yang lebih tinggi dibandingkan perempuan karir yang belum menikah. Perempuan

karir yang sudah menikah memiliki peran ganda, yang mana mereka dituntut

untuk memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi, karena kematangan emosi

yang baik akan menunjukkan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini sejalan dengan

penelitian oleh Marlina (2013) bahwa perempuan yang sudah menikah harus

dapat mengontrol emosinya dengan baik, secara psikologis individu yang

memiliki kematangan emosi yang stabil membuat individu dapat berpikir secara

matang kemudian menimbulkan sikap toleransi yang tinggi. Perempuan karir

yang sudah menikah memiliki tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu tuntutan untuk

mampu membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Hal ini diperlukan untuk

menghindari terjadinya konflik. Menurut Rahmatika (2012) berpendapat bahwa,

pasangan yang sama-sama bekerja harus saling belajar untuk saling bertoleransi

dan memahami sehingga pasangan semakin menyayangi dan merasakan kepuasan

dalam hubungan, rasa puas ini adalah hal yang sangat penting dalam perkawinan

pada perempuan karir yang bekerja agar dalam perkawinannya tidak terjadi

konfik.

Hal ini sesuai dengan penelitian Septiana (2011) perempuan yang bekerja yang

sudah menikah memiliki sikap toleransi yang tinggi dibanding perempuan yang

bekerja belum menikah, karena perempuan yang bekerja dapat menjalankan tugas

sebagai ibu rumah tangga dan memiliki karir. Perempuan karir yang belum

menikah pada penelitian ini sikap toleransi lebih rendah dibandingkan perempuan

karir yang sudah menikah. Perempuan karir yanng belum menikah memiliki

tingkat toleransi yang lebih rendah dibandingkan dengan perempuan karir yang

sudah menikah karena perempuan karir yang belum menikah tidak memiliki

tuntutan seperti pada perempuan karir yang sudah menikah yang harus memiliki

tanggung jawab antara pekerjaan dan rumah tangga, selain mereka harus bisa

menghadapi permasalahan di tempat kerja dengan baik, mereka juga harus

menghadapi konflik peran sosial yang ada di masyarakat dimana seharusnya

perempuan memiliki kodrat sebagai seorang istri dan ibu. Sedangkan perempuan

karir yang belum menikah memiliki toleransi yang rendah berdasarkan dengan

lingkungan sosialnya, apabila lingkungan sosial menerima statusnya yaitu belum

menikah, maka akan menimbulkan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini sesuai

dengan Putri (2010) menyatakan bahwa, perempuan karir yang belum menikah

menghadapi berbagai permasalahan dilingkungan sosial terutama ketika dicemooh

atau dipandang lain oleh masyarakat terkait tentang statusnya. Menurut

Santianawati (2007) menyatakan bahwa lingkungan dengan penerimaan sosial

yang baik akan dapat membantu individu untuk menyesuaikan dirinya dengan

lebih baik. Perempuan karir yang belum menikah dan berada pada lingkungan

penerimaan sosial baik dan tidak mempersoalkan statusnya yang belum menikah

akan membuat perempuan karir yang belum menikah lebih bisa menerima diri apa

Page 15: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

15

adanya dan dapat berbaur dengan lebih baik dengan lingkungan sosialnya.

Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, penuh penerimaan, penuh

pengertian dan lingkungan yang mampu membantu proses penyesuaian diri dan

bertanggung jawab serta otoritas. Dampak positif dari penerimaan lingkungan

yang baik bagi perempuan karir yang belum menikah adala munculnya pikiran

positif, rasa empati dan bersikap toleransi terhadap kelemahan-kelemahan yang

dimilikinya (dalam Santianawati, 2007).

Perempuan karir yang belum menikah pada masa dewasa awal jika merasa

terisolasi di lingkungan sosialnya maka sikap toleransi terhadap lingkungan sosial

rendah. Hal ini sependapat dengan teori Menurut Heralita (2009) Sementara itu,

dipihak lain jika perempuan dewasa yang belum menikah pada usia dewasa awal

yang belum menikah merasa terisolasi karena mereka cenderung takut untuk

terlibat dalam keintiman dengan pasangan, karena mereka tidak percaya diri

akbibatnya mereka akan menghindar dan menutup diri dari pergaulan. Hal ini

akan membuat sikap toleransi pada perempuan karir yang belum menikah rendah.

Menurut Yanti(2010) permpuan karir yang belum menikah merupakan masa

keterasingan sosial dimana mereka mengalami “Krisis Isolasi” mereka merasa

tersinggir dari kelompok sosial.

Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dimensi dan

indikator milik Chturvedi dan Chader (2010). Skala stabilitas emosi memiliki 5

dimensi, yaitu 1. Pesimis vs Optimis, 2. Apatis vs Empati, 3. Dependence vs

Autonomy, 4. Anxiety vs Calm dan 5. Agresi vs Toleransi.

Daftar Pustaka

Chaturvedi, M., & Chander, R. (2010). Development Of Emotional Stability

Scale. Journal

Industrial Psychiatry of India, Vol 19 No 1, 37-40. Sumber:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov.

Diunduh Pada Tanggal 20 Febuari 2013.

Dariyo, A. (2005). Memahami Bimbingan, Konseling dan Terapi Perkawinan

untuk

Pemecahan Masalah Perkawinan. Jurnal Psikologi, Vol 03 No 2. 70-78

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan Suatu pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.

Papalia, D. E. (2009). Perkembangan Manusia (Hutman Development). Buku kedua.

Jakarta:Salemba Humanika.

Putri, O.S. (2010). Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja.

Fakultas

Psikologi Universitas Sumatra Utara. Skripsi: Tidak diterbitkan

Page 16: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

16

Siwi, T. (2005). Pengaruh Komitmen Profesi, Partisipasi Anggaran, Dan Self-Efficacy

Terhadap Konflik Peran(Studi Empiris Pada Wanita Karir Di Yogjakarta). Skripsi :

Tidak Diterbitkan

Santrock, J.W. (2002). Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Jilid II.

Edisi

kelima. Jakarta : Erlangga.

Kartini. (1994). Pemimpin & Kepemimpinan : apakah Pemimpin Abnormal itu?. Edisi

ke 2.

Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Pardani, N . (2010). Analisis Tingkat Stress wanita Karir Dalam Peran Gandanya

Dengan

Regresi Logistik Ordinal (Studi Kasus Pada Tenaga Kerja Wanita di Rs. Mardi

Rahayu

Kudus). Skripsi Tidak Diterbitkan.

Yanti. (2010). Perkembangan Sosial-Emosional Pada Masa Dewasa. Artikel.

Feldman, R.S. (2012). Pengantar Psikologi. Buku II. Edisi kesepuluh. Penerbit Jakarta

:

Salemba Humanika

Faizah (2012). Nikah Siri dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan. Journal ilmu

hukum, vol 02 No 02, 1-12.

Herlita. (2009). Teori Ericson- Keintiman vs Isolasi. Artikel

Harahap. (2010). Pengaruh Kinerja Karyawan yang Belum Menikah dan yang Sudah

Menikah. Universitas Sumatra Utara. Skripsi : tidak diterbitkan

Halim W.F, Zainal A, Khairudin, Shahrazad W., Nasir & Fatimah. (2011). Emotional

Stability And Conscientiousness As Predictors Towards Job Performance. Jurnal

School

Of Psychology and Human Development,Faculty Of social Sciences And

Humanities, Vol

19 No. 0128-7702

Page 17: Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah

17

Ivancevich, M.J., Konopaske R., & Matteson T.M. (2006). Perilaku dan Manajmen

Organisasi. Edisi ketujuh. Jakarta: Erlangga.

Santianawati, G.(2007). Penyesuaian diri Wanita Bekerja Yang Belum Menikah

Ditinjau

Dari Persepsi Terhadap Perrimaan sosial. Universitas Katolik Soegijapranata

Semarang.

Skripsi : Tidak diterbitkan

Septianingsih, L. 2011. Analisis perbandingan kemampuan entrepreneurship antara

pengusaha wanita dan pria pada usaha kecil dan menengah di Kecamatan Kota

Kudus.

Skripsi: Tidak diterbitkan

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

AlfaBeta.

Marlina, N. (2013) Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orangtua Dan Kematangan

Emosi

Dengan Kecenderungan Menikah Dini. Jurnal Psikologi Universitas Ahmad

Dahlan, Vol

- No -. 01-16. Sumber : uad-journal.com. Diunduh pada Tanggal 08 April 2014.

Kaunang, W.O.R., & Lovihan K.A.M. (2010). Perbedaan Perilaku Asertif pada Wanita

Karier yang Sudah Menikah Dengan yang Belum Menikah Di Minahasa. Jurnal

Psikologi

Universitas Negri Manado dan Universitas Negri Gorontalo, Vol 7 No 4.

1693-9034.

Kamasanthi, T. (2008). Hubungan Locus of Contrl Dengan Komitmen Organisasi Pada

Karyawati yang Belum Berumah Tangga Di PT X Tanggerang. Jurnal psikologi.

Lakoy, S. F. (2009) Psychological Well-Being Perempuan Bekerja dengan Status

Menikah dan Belum Menikah. Jurnal Psikologi Vol 7, No2