Page 1
1
PERBEDAAN PERSONAL DISTRESS PADA MAHASISWA BARU
FPPsi UNIVERSITAS NEGERI MALANG YANG BERTEMPAT
TINGGAL DI RUMAH KOST DITINJAU DARI JENIS KELAMIN DAN
STATUS IDENTITAS
Dian Sudiono Putri
Universitas Negeri Malang
E-mail: [email protected]
ABSTRAK:Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) keadaanpersonal distress yang
dialami mahasiswa baru, 2) status identitas mahasiswa baru, 3) status identitas mahasiswa
baru ditinjau dari jenis kelamin, 4) perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau dari
jenis kelamin, 5) perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau status identitas, dan 6)
perbedaan personal distress mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan penelitian deskriptif
dan komparatif. Analisis komparatif menggunakan two way anova.Subjek penelitian ini
adalah seluruh mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang
yang bertempat tinggal di rumah kost, sebanyak 66 orang(12 orang laki-laki dan 54 orang
perempuan). Instrumen penelitian yang digunakan adalah skala personal distress
(α=0,778)dan skala status identitas (α=0,721). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)14
orang subjek memiliki tingkat personal distress sangat rendah dan 52 orang subjek memiliki
tingkat personal distress rendah, 2) 22 orang subjek memiliki identity achievement, 5 orang
subjek memiliki identity moratorium, dan 39 orang subjek memiliki identity foreclosure, 3)
12 subjek laki-laki (4 orang dengan identityachievement, 4 orang dengan identitymoratorium,
dan 4 orang dengan identityforeclosure) dan 54 subjek perempuan (15 orang dengan
identityachievement, 1 orang yang dengan identitymoratorium, dan 36 orang dengan
identityforeclosure), 4) Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru ditinjau
dari jenis kelamin (sig.0,124), 5) Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa
baru ditinjau dari status identitas (sig.0,399), 6) Tidak ada perbedaan personal distress antara
mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas (sig.0,075).
Kata Kunci: personal distress, jenis kelamin, status identitas
ABSTRACT: This study aimed to determine: 1) the state of personal distress experienced by
new students, 2) identity status of new students, 3) identity status of new students in terms of
gender, 4) differences personal distress of new students in terms of gender, 5) differences
personal distress of new students status in terms of identity, and 6) differences personal
distress of new students in terms of gender and identity status. This study uses a quantitative
approach to descriptive and comparative research design. Comparative analysis using two-
way anova. The subjects were all new students of the Faculty of Educational Psychology,
State University of Malang who reside in boarding houses, as many as 66 people (12 men and
54 women). The research instrument used was personal distress scale (α = 0.778) and the
identity status scale (α = 0.721). The results showed that: 1) 14 subjects had very low levels
of personal distress and 52 subjects had low levels of personal distress, 2) 22 people have
Page 2
2
identity achievement subjects, 5 subjects had identity moratorium, and 39 subjects had a
foreclosure identity, 3) 12 male subjects (4 men with identity achievement, 4 people with
identity moratorium, and 4 people with identity foreclosure) and 54 female subjects (15
people with identity achievement, 1 person with identity moratorium, and 36 people with
identity foreclosure), 4) There is no difference between the new students in personal distress
in terms of gender (sig.0, 124), 5) There is no difference between the new students in
personal distress in terms of identity status (sig.0, 399), 6) There is no difference in personal
distress Among the new students in terms of gender and identity status (sig.0, 075).
Keyword: personal distress, sex, identity status
Page 3
3
Mahasiswa merupakan sekumpulan individu yang menuntut ilmu pada jenjang
perkuliahan. Menjadi mahasiswa merupakan sebuah masa di mana seseorang sudah dituntut
untuk dapat mandiri. Setelah lulus dari tingkat pendidikan sekolah menengah, mereka akan
menimba pendidikan di tingkat yang lebih tinggi, yaitu perguruan tinggi sebagai bekal
kehidupan mereka di masa depan. Menjadi mahasiswa baru tentunya memerlukan banyak
persiapan yang harus dilakukan, terutama dalam proses adaptasi dengan lingkungan di
perguruan tinggi. Bagi sebagian orang, adaptasi bukanlah proses yang mudah. Terkadang
seseorang memerlukan waktu yang lama untuk dapat menyesuaikan diri di tempat yang baru
bagi mereka.
Pada mahasiswa baru, kehidupan awal di jenjang perkuliahan adalah masa yang
sangat penting. Pada masa ini, mereka akan bertemu dengan banyak orang baru yang belum
mereka kenal. Pergaulan dengan lingkungan yang baru secara intensif akan menimbulkan
kedekatan satu sama lain. Proses perkenalan dan proses sosialisasi akan terjadi untuk mencari
teman dekat yang dapat mereka percaya, yang nantinya akan menjadi teman untuk bergaul
dan berbagi permasalahan. Adanya kedekatan yang telah terjalin, akan membuat timbulnya
empatikepada masalah yang dialami oleh teman dekat. Namun, jika kedekatan yang terjalin
sudah begitu dalam, tak jarang yang terjadi adalah kondisi yang disebut personal distress.
Kondisi empati yang berlebihan juga dapat menjadikan konflik batin pada diri seseorang
yang disebut sebagai kondisi personal distress (Eisenberg, 2000).
Personal distress merupakan pengalaman dari emosi negatif yang merupakan hasil
dari kesulitan yang dialami oleh orang lain dan secara spesifik melibatkan fokus individu
yang memutar fokus mereka dalam batin (baik secara perhatian maupun emosi), yang
kemudian memindahkan fokusnya dari seseorang yang mengalami kesulitan tersebut
(Schroeder dkk,1988; Eisenberg dkk, 1989, 1998b). Fokus dari keadaan personal distress
adalah kepedulian terhadap ketidaknyamanan diri sendiri dalam menghadapi kesulitan yang
dialami orang lain, dan motivasi diri untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut dengan
menarik diri dari lingkungan.
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Thomas (2012) menyebutkan bahwa kondisi
personal distress berpengaruh pada bagaimana seseorang memandang kualitas hidupnya.
Kualitas hidup yang dimaksud adalah kualitas dalam memberi kasih sayang atau perhatian
kepada orang lain, yang diindikasikan dengan kepuasan kasih sayang, kejenuhan, dan belas
kasihan yang melelahkan. Seseorang yang mengalami personal ditress, menunjukkan bahwa
orang tersebut memiliki kesadaran untuk meyayangi orang lain, terutama dalam membantu
mereka untuk menyelesaikan masalahnya. Seperti yang kita ketahui, kondisi personal distress
Page 4
4
merupakan sebuah kondisi di mana faktor emosional merupakan hal yang sangat penting.
Seseorang tidak akan mengalami kondisi ini jika orang tersebut tidak terlibat secara
emosional pada permasalahan yang dialami oleh orang lain.
Selain itu, Grynberg dkk (2010) menjelaskan bahwa personal distress merupakan
faktor utama dalam terjadinya sebuah kondisi yang bernama Alexithymia, yang merupakan
ketidakmampuan dalam pengekspresian emosi pada pasien psikosomatik. Kondisi tersebut
memiliki karakteristik berupa kesulitan dalam mengidentifikasi masalah dan kesulitan
mengungkapkan masalah. Sedangkan pada penderita sindrom Asperger, yang merupakan
salah satu gejala autisme, penderitanya sangat rentan terhadap goncangan empatik. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Smith (2009) menunjukkan bahwa penderita sindrom
Asperger memiliki tingkat personal distress yang lebih tinggi dibandingkan penderita
autisme, karena mereka memiliki kecenderungan untuk menjadi cemas dan mungkin hal
tersebut memberi pengaruh pada kondisi personal distress.
Laurent dan Hodges (2008) juga melakukan penelitian mengenai peran gender dalam
kaitannya dengan empati. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat empati,
termasuk di dalamnya tingkat personal distress perempuan lebih besar dari pada laki-laki.
Jenis kelamin merupakan hal yang dapat dijadikan tolok ukur emosi seseorang. Berbeda
dengan laki-laki, mereka yang berjenis kelamin perempuan akan cenderung mampu
mengungkapkan emosinya. Sedangkan mereka yang berjenis kelamin laki-laki cenderung
untuk menutupi emosinya. Dengan demikian, jenis kelamin bisa dikatakan faktor yang dapat
memprediksi terjadinya kondisi personal distress (Cassels dkk, 2010).
Keadaan personal distress yang dialami seseorang tentunya dapat dialami oleh
individu yang sudah menjalin kedekatan dengan orang lain, terutama pada mahasiswa yang
masih berada pada usia remaja. Pada usia remaja, seseorang umumnya semakin mampu
mengungkapkan emosinya sendiri, dan juga mampu memahami perasaan orang lain. Pada
masa ini, mereka juga sedang dalam proses perkembangan identitas diri. Pembentukan dan
perkembangan identitas diri bukanlah suatu proses yang cepat, karena proses tersebut
sangatlah kompleks. Proses pembentukan dan perkembangan identitas diri seseorang,
tentunya berkembang dari masa kecil hingga dewasa. Marcia (1993) juga mengungkapkan
bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan melalui status identitas berdasarkan ada
tidaknya eksplorasi (krisis) dan komitmen.
Permasalahan yang menyangkut ada tidaknya eksplorasi dan komitmen yang dihadapi
setiap orang tentunya berbeda-beda. Pada mahasiswa baru yang hidup di rumah kost,
kemungkinan timbulnya masalah dan krisis akan lebih besar. Banyaknya tuntutan untuk dapat
Page 5
5
hidup mandiri, tentunya akan membuat mereka membutuhkan kemampuan eksplorasi dan
komitmen yang juga lebih besar, dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak tinggal di
rumah kost. Hal ini terjadi karena banyak hal yang harus dipersiapkan untuk hidup sendiri,
jauh dari orang tua maupun keluarga.
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah.
1. Untuk mengetahui keadaan personal distress yang dialami mahasiswa baru FPPsi yang
bertempat tinggal di rumah kost.
2. Untuk mengetahui status identitas mahasiswa baru FPPsi yang bertempat tinggal di rumah
kost.
3. Untuk mengetahui status identitas mahasiswa baru ditinjau dari jenis kelamin.
4. Untuk mengetahui perbedaan personal distress mahasiswa baru FPPsi yang bertempat
tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin.
5. Untuk mengetahui perbedaan personal distress mahasiswa baru FPPsi yang bertempat
tinggal di rumah kost ditinjau status identitas.
6. Untuk mengetahui perbedaan personal distress mahasiswa baru FPPsi yang bertempat
tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas.
Feshbach, 1976 dan Iannotti, 1979 (dalam Davis, 1980) mengemukakan bahwa
empati menekankan pada beberapa aspek spesifik dari proses empati tersebut, serta
mempertimbangkan aspek kognitif dan aspek emosional. Ada 4 kondisi yang
dideskripsikan dalam empati yaitu.
a. Fantasy yaitu kecenderungan seseorang untuk melibatkan perasaan dan perilakunya
kedalam karakter dalam novel, film, permainan, dan karakter fiksi lainnya.
b. Perspective-taking yaitu kecenderungan seseorang untuk mengambil sudut pandang orang
lain dalam melihat sesuatu secara spontan.
c. Empathic concern yaitu perasaan simpati, kasihan, dan prihatin terhadap orang lain.
d. Personal distress yaitu perasaan seseorang pada kecemasan dan ketidaknyamanan yang
berasal dari pengalaman negatif yang dialami oleh orang lain.
Dari keempat kelompok tersebut, empati dibagi menjadi 2 aspek, yaitu aspek kognitif dan
aspek emosional. Di mana kondisi fantasy dan perspective-taking termasuk dalam aspek
kognitif. Sedangkan kondisi empathic concern dan personal distresstermasuk dalam aspek
emosi.
Menurut Batson, Krebs, dan Stotland (dalam Batson, Fultz, dan Schoenrade) setiap
individu tentunya memiliki perbedaan dalam menanggapi situasi emosional yang ada dalam
dirinya. Perbedaan tersebut dapat terjadi akibat beberapa faktor berikut.
Page 6
6
a. Perbedaan pengalaman pada situasi yang dihadapi.
b. Perbedaan persepsi dalam kaitannya dengan fokus terhadap situasi yang dihadapi.
c. Perbedaan hubungan dengan orang yang berkaitan dalam situasi yang dihadapi.
d. Perbedaan kemampuan dan kesiapan seseorang untuk mengalami empati atas
permasalahan yang dihadapi orang lain.
Personal distress merupakan pengalaman dari emosi negatif sebagai hasil dari
kesulitan yang dialami oleh orang lain yang secara spesifik melibatkan fokus mereka (baik
secara perhatian maupun emosi), yang kemudian mengalihkan perhatian mereka dari
seseorang yang mengalami kesulitan tersebut. Personal distress juga dipandang sebagai
bendungan dari emosi orang lain, yang dikonseptualisasikan sebagai konsep diri, dengan
reaksi emosional yang seoalah mengalami kondisi yang dialami orang lain, misalnya
kecemasan dan ketidaknyamanan dengan motivasi egoistik untuk membuat diri merasa lebih
baik (Batson, 1991; Eisenberg, Shea, Carlo, & Knight, 1991). Sedangkan Batson (1991)
mendefinisikan personal distress sebagai sebuah respon cerminan diri dari kondisi negatif yang
dialami oleh orang lain. Kondisi personal distress umumnya juga disebut sebagai emphatic
distress atau psychological distress.
Bisa dikatakan bahwa personal distress melibatkan gairah empatik yang terlalu tinggi
yang mengakibatkan individu cenderung berfokus pada penderitaan mereka sendiri daripada
penderitaan yang dialami oleh orang lain. Perbedaan penting antara empati dan personal
distress adalah pada perilaku prososial. Perilaku prososial sering didefinisikan sebagai
tindakan sukarela atau perilaku yang menguntungkan untuk membantu yang lain. Menurut
Batson (1998), empati dikaitkan dengan motivasi menolong orang lain, sedangkan personal
distress dikaitkan dengan motif untuk mengurangi ketidaknyamanan perasaan diri sendiri.
Dengan demikian, empati dipandang sebagai emosi yang berorientasi moral yang mendorong
altruisme. Sebaliknya, personal distress dipandang menyebabkan perilaku prososial hanya
ketika itu adalah cara termudah untuk mengurangi ketidaknyamanan perasaan diri sendiri
(misalnya dalam situasi di mana seseorang tidak dapat melarikan diri berhadapan dengan
orang yang menyebabkan distress). Dengan demikian, empati dipandang sebagai emosi
moral, sedangkan personal distress diyakini menghasilkan perilaku egoistik.
Kondisi personal distress yang dialami oleh seseorang juga akan melibatkan reaksi
fisiologis dan reaksi negatif dalam menanggapi kondisi tersebut. Reaksi- reaksi tersebut
adalah.
a. Khawatir, yang terindikasi dari adanya perasaan cemas dan pikiran buruk.
b. Marah, yang terindikasi dari adanya tindak agresi fisik dan agresi verbal.
Page 7
7
c. Terganggu, yang terindikasi dari adanya perhatian yang berlebihan dan perasaan sedih.
d. Tertekan, yang terindikasi dari adanya kondisi pendiam dan menyendiri.
e. Gelisah, yang terindikasi dari adanya perasaan gugup dan tubuh yang terasa tidak nyaman.
James Marcia menganalisis teori perkembangan identitas Erikson dan
menyimpulkan bahwa ada 4 status identitas. Di mana pengklasifikasian status identitas
tersebut berdasar pada ada tidaknya komitmen dan krisis yang ada pada diri remaja tersebut.
Keempat status identitas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Identity Achievement (Capaian Identitas)
Merupakan sebuah istilah yang menggambarkan remaja yang telah mengalami suatu krisis
dan sudah membuat suatu komitemen. Ditandai oleh komitmen untuk menjalani berbagai
pilihan yang dibuat setelah krisis, periode yang dijalani dengan mengeksplorasi pilihan-
pilihan.
b. Identity Moraturium (Penundaan Identitas)
Istilah ini merupakan penggambaran remaja yang sedang berada di tengah-tengah krisis,
tetapi komitmen mereka tidak ada, atau hanya didefinisikan secara samar. Saat seseorang
mempertimbangkan berbagai alternatif (dalam krisis) dan tampaknya akan menjalankan
komitmen.
c. Identity Foreclosure (Pencabuatan Identitas)
Merupakan sebuah istilah yang menggambarkan remaja yang telah membuat suatu
komitmen tetapi belum mengalami krisis. Pada status ini, seorang individu akan
menghabiskan waktunya untuk mempertimbangkan berbagai alternatif (yang tidak pernah
berada dalam krisis) dan berkomitmen untuk menjalani rencana orang lain untuk hidupnya
sendiri.
d. Identity Diffusion (Penyebaran Identitas)
Merupakan sebuah istilah yang menggambarkan remaja yang belum mengalami krisis,
yaitu belum menjajaki pilihan-pilihan yang bermakna atau membuat komitmen apapun.
Ditandai oleh ketiadaan komitemen dan kurangnya pertimbangan serius terhadap berbagai
alternatif.
Dalam hal ini, krisis merupakan sebuah istilah yang diungkapkan Marcia untuk
pembuatan keputusan secara sadar berkaitan dengan pembentukan identitas. Sedangkan
komitmen merupakan istilah untuk keterlibatan pribadi dalam pekerjaan atau sistem
keyakinan. Ada tidaknya eksplorasi dan komitmen pada masing-masing status identitas dapat
digambarkan melalui tabel berikut.
Page 8
8
Identity
Achievement
Identity
Moratorium
Identity
Foreclosure
Identity
Diffusion
Krisis
(eksplorasi) Ada Ada Tidak ada Tidak ada
Komitmen Ada Tidak ada Ada Tidak ada
Berdasar teori Marcia (dalam Dariyo, 2004) para peneliti telah menemukan bahwa
orang tua dan kepribadian diri remaja akan menentukan pembentukan status identitasnya.
Penjelasan tersebut dapat digambarkan pada tabel berikut.
Status Identitas Keluarga Kepribadian
Identity
Achievement
Orang tua suportif,
perhatian, mempercayai
anak.
Anak punya kekuatan ego,
kemandirian, kontrol diri
internal, akrab, percaya
diri, inisiatif, kreatif, dan
berprestasi.
Identity
Moratorium
Orang tua tidak punya
aturan jelas. Anak bingung
terhadap otoritas orang
tua.
Anak cemas, takut gagal,
egois, kurang percaya diri,
harga diri atau konsep diri
rendah.
Identity
Foreclosure
Orang tua tidak terima
sikap atau perasaan anak.
Tidak mendengarkan
keluhan atau kehendak
anak.
Anak tergantung, kontrol
diri eksternal, cemas, tidak
percaya diri.
Identity
Diffusion
Orang tua permisif, tidak
berwibawa, dan tidak
memberi arahan dan
bimbingan dengan baik.
Perkembangan konsep diri
anak lambat, kemampuan
kognitif tidak berfungsi
baik, ragu-ragu, pasif,
tidak inisiatif.
Personal distress merupakan sebuah kondisi yang sangat berkaitan dengan masalah
emosional. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang menentukan kecenderungan
seseorang dalam mengolah emosinya, terutama pada kondisi personal distress. Jenis kelamin
laki-laki dan perempuan pada kenyataannya turut menentukan bagaimana perbedaan kondisi
personal distress yang dialami oleh seseorang. Lazimnya, terdapat perbedaan yang signifikan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal pengaturan emosi dalam menghadapi masalah-
masalah orang lain (Miville dkk, 2006).
Page 9
9
Orang-orang yang berjenis kelamin perempuan memiliki kecenderungan untuk
mengungkapkan emosinya. Pada praktiknya, perempuan memiliki empati yang baik terhadap
permasalahan yang dialami oleh orang lain. Dapat dikatakan bahwa mereka memiliki
kecenderungan personal distress yang tinggi. Sebaliknya, orang-orang yang berjenis kelamin
laki-laki justru memiliki kecenderungan untuk menutupi atau menahan emosinya. Hal
tersebut akan membuat mereka kesulitan dalam berempati pada permasalahan orang lain,
karena mereka tidak akan merefleksikan keadaan emosional orang lain pada diri mereka. Hal
inilah yang membuat orang-orang yang berjenis kelamin laki-laki memilki kecenderungan
personal distress yang rendah.
Dalam kaitan antara personal distress dengan status identitas, status identitas bisa saja
menjadi salah satu hal yang memungkinkan seseorang mengalami atau berada dalam kondisi
personal distress. Jenis dari identitas diri, yang dibedakan kedalam 4 status identitas,
menggambarkan bagaimana seseorang dalam pengelolaan eksplorasi (krisis) dan komitmen.
Marcia (dalam Dariyo, 2004) menyatakan bahwa krisis dan komitmen yang akan membentuk
status identitas seseorang, tentunya dipengaruhi oleh lingkungan dan kepribadian orang
tersebut. Hal ini tentunya juga berpengaruh kepada bagaimana seseorang bisa mengalami
personal distress, karena terjadinya personal distress juga dikarenakan akibat seseorang tidak
mampu mengelola krisis yang terjadi pada dirinya dengan baik.
METODE
Partisipan
Penelitian ini menggunakan teknik penelitian populasi dengan mengambil seluruh
mahasiswa baru Fakultas Pendidikan Psikologi yang bertempat tinggal di rumah kost sebagai
subjek penelitian. Subjek penelitian berjumlah 66 orang yang terdiri dari 12 laki-laki dan 54
perempuan. Dikarenakan jumlah populasi penelitian yang tidak terlalu banyak, maka
penelitian ini menggunakan penelitian populasi. Teknik sampling penelitian populasi juga
disebut sebagai sampling jenuh.
Desain Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
deskriptif dan komparatif. Deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena personal
distress dengan apa adanya, tanpa adanya perlakuan tertentu terhadap subjek penelitian
sedangkan komparatif membandingkan dua atau tiga kejadian dengan melihat penyebab-
penyebab (Arikunto, 2010), dalam penelitian ini perbedaan personal distress ditinjau dari
jenis kelamin dan status identitas. Dalam penelitian ini terdapat 3 variabel, yaitu variabel
Page 10
10
personal distress (Y), variabel jenis kelamin (X1), dan variabel status identitas (X2). Variabel
personal distress akan dibedakan berdasarkan jenis kelamin dan status identitas. Hubungan
antar variabel-variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan adalah skala personal distress dan skala status identitas.
Data yang dikumpulkan dari kedua skala adalah sebagai berikut.
1. Skala personal distress
Contoh:
No. Pernyataan SS S E TS STS
10 Saya sering menangis jika mengingat teman
yang mengalami masalah yang rumit
2. Skala status identitas
Contoh:
No. Pernyataan SS S E TS STS
9 Saya selalu ragu-ragu dalam berkomitmen
dengan orang lain
Kedua skala pada penelitian ini menggunakan penskalaan model Likert. Skala
personal distress dan skala status identitas diuji reliabilitasnya menggunakan pendekatan
konsistensi internal. Perhitungan reliabilitas kedua skala ini menggunakan analisis statistik
Cronbach Alpha dengan bantuan program SPSS Statistcs 17.0. Hasil dari perhitungan
reliabilitas skala personal distress adalah (α=0,778) dan reliabilitas skala status identitas
adalah (α=0,721).
Personal Distress
Status Identitas Disffusion
Laki-laki
Perempuan
Status Identitas Foreclosure
Laki-laki
Perempuan
Status Identitas Moraturium
Laki-laki
Perempuan
Status Identitas Achievement
Laki-laki
Perempuan
Page 11
11
Prosedur Penelitian
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Menyusun skala personal distress dan skala status identitas.
2. Melakukan uji coba instrumen kepada subjek yang memiliki karakteristik yang sama
dengan subjek penelitian.
3. Menghitung validitas dan reliabilitas instrument penelitian.
4. Menyusun kembali instrumen penelitian.
5. Menyebarkan instrumen yang valid kepada subjek penelitian.
6. Menghitung hasil dari pengisian instrumen penelitian oleh subjek penelitian.
Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis analisis
yaitu analisis deskriptif menggunakan penilaian aboslut dan komparatif menggunakan
analisis two way anova yang dilakukan menggunakan bantuan SPSS 16 for Windows.
Analisis ini dipilih karena dengan analisis ini sebuah fenomena dapat ditinjau dari 2 hal.
Hasil dari analisis ini tentunya juga mampu menunjukkan perbedaan tingkat personal distress
jika ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas.
HASIL
1. Keadaan personal distress yang dialami oleh mahasiswa baru FPPsi yang bertempat
tinggal di rumah kost adalah sebagai berikut.
a. Subjek yang memiliki tingkat personal distress sangat rendah berjumlah 14 orang.
b. Subjek yang memiliki tingkat personal distress rendah berjumlah 52 orang.
2. Status identitas mahasiswa baru FPPsi yang bertempat tinggal di rumah kost adalah
sebagai berikut.
a. Subjek yang memiliki identity achievement berjumlah 22 orang
b. Subjek yang memiliki identity moratorium berjumlah 5 orang
c. Subjek yang memiliki identity foreclosure berjumlah 39 orang
3. Status identitas mahasiswa baru FPPsi yang bertempat tinggal di rumah kost ditinjau dari
jenis kelamin adalah sebagai berikut.
a. 12 orang subjek yang berjenis kelamin laki-laki terdiri dari 4 orang yang memiliki
status identitas achievement, 4 orang yang memiliki status identitas moratorium, dan 4
orang yang memiliki status identitas foreclosure.
Page 12
12
b. 54 orang subjek penelitian yang berjenis kelamin perempuan terdiri dari 18 orang yang
memiliki status identitas achievement, 1 orang yang memiliki status identitas
moratorium, dan 36 orang yang memiliki status identitas foreclosure.
4. Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri
Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin, yang ditunjukkan dengan
nilai signifikansi sebesar 0,124 (>0,05).
5. Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri
Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari status identitas, yang ditunjukkan dengan
nilai signifikansi 0,399(>0,05).
6. Tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri
Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas, yang
ditunjukkan dengan nilai signifikansi 0,075 (>0,05).
DISKUSI
Uji hipotesis 1 yang telah dilakukan untuk mengetahui adanya perbedaan personal
distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri Malang yang tinggal di rumah kost
ditinjau dari jenis kelamin, ditolak. Hal ini dibuktikan dengan adanya nilai signifikansi 0,124
(> 0,05). Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki jenis kelamin laki-laki
memiliki tingkat personal distress yang sama dengan orang-orang yang memiliki jenis
kelamin perempuan. Hal tersebut membuktikan bahwa personal distress yang dialami
seseorang, tidak berpengaruh pada jenis kelamin yang dimilikinya.
Uji hipotesis kedua yang bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan personal
distress jika ditinjau dari status identitas, ditolak. Korelasi antar variabel yang bernilai 0,399
(> 0,05) menunjukkan tidak adanya perbedaan personal distress antara mahasiswa baru
FPPsi Universitas Negeri Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari status identitas.
Uji hipotesis ketiga bertujuan untuk membuktikan adanya perbedaan personal
distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri Malang yang tinggal di rumah kost
ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas. Analisis yang telah dilakukan membuktikan
bahwa tidak ada perbedaan personal distress antara mahasiswa baru FPPsi Universitas
Negeri Malang yang tinggal di rumah kost ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas,
karena nilai signifikansinya bernilai 0,075 (> 0,05). Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua
variabel bebas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Hasil dari
analisis anova menunjukkan bahwa jenis kelamin dan status identitas secara bersamaan juga
Page 13
13
tidak memberikan pengaruh terhadap perbedaan personal distress yang terjadi pada
mahasiswa baru FPPsi Universitas Negeri Malang.
Analisis yang dilakukan sebelumnya, untuk melihat perbedaan personal distress
baik ditinjau dari jenis kelamin, maupun ditinjau dari status identitas telah menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan personal distress yang terlihat pada subjek penelitian. Hal
tersebut tentunya juga memberi kontribusi yang sangat besar jika perbedaan personal distress
ditinjau dari jenis kelamin dan status identitas secara bersama-sama, karena hasilnya juga
menunjukkan tidak adanya perbedaan personal distress ditinjau dari jenis kelamin dan status
identitas .
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Laurent dan Hodges (2008) yang menyatakan
bahwa perempuan memiliki tingkat personal distress yang tinggi daripada laki-laki, ternyata
bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahman (2010) yang justru
menunjukkan bahwa laki-laki memiliki tingkat personal distress yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan. Hal tersebut terjadi karena laki-laki tampak memiliki
kejujuran (ketulusan) yang tinggi dibandingkan dengan perempuan dalam hal kecenderungan
menolong orang lain. Kejujuran tersebut justru membuat mereka merefleksikan permasalahan
yang dialami oleh orang lain kepada diri mereka sendiri. Kedua hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa kondisi personal distress tidak bisa ditentukan dari jenis kelamin. Baik
laki-laki maupun perempuan memiliki kecenderungan tingkat personal distress yang sama.
Personal distress yang merupakan empati dalam aspek emosional, sehingga faktor emosional
merupakan penentu utama. Baik laki-laki maupun perempuan memiliki kapasistas emosional
yang sama untuk mengalami keadaan personal distress.
Penelitian yang dilakukan oleh Gynberg dkk (2010) mengenai personal distress
pada penderita Alexithymia menunjukkan hasil bahwa personal distress merupakan faktor
utama timbulnya sindrom Alexithymia dari segi emosionalnya. Alexithymia merupakan
gangguan dalam berkomunikasi karena tidak mampu memahami emosi orang lain. Dari hasil
penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan seseorang dalam memahami
perasaan orang lain dapat menimbulkan terjadinya kondisi personal distress. Baik ditinjau
dari jenis kelamin maupun status identitas, jika seseorang tidak mampu memahami perasaan
orang lain, maka orang tersebut tetap memiliki peluang untuk mengalami personal distress.
Teori mengenai peran gender juga mampu menjelaskan tidak adanya perbedaan
personal distress jika ditinjau dari jenis kelamin. Penelitian yang dilakukan oleh beberapa
peneliti pada tahun 1960-an dan 1970-an, menemukan adanya dukungan teori Erikson
mengenai perbedaan-perbedaan identitas gender. LaVoie (dalam Santrock, 1995)
Page 14
14
menyebutkan bahwa pada saat itu, kaum laki-laki lebih terpusat pada pekerjaan, dan kaum
perempuan lebih terpusat pada proses afiliasi. Akan tetapi, dewasa terakhir ini perbedaan
tersebut berbalik menjadi sebuah persamaan, di mana kaum perempuan juga
mengembangkan minat pekerjaan yang lebih kuat.
Seperti yang telah dijelaskan, minat kaum perempuan yang tidak lagi terpusat pada
afiliasi, hal inilah yang mungkin saja menyebabkan tidak adanya perbedaan personal distress
jika ditinjau dari jenis kelamin. Peran gender yang tidak lagi berbeda antara laki-laki dan
perempuan, membuat peran gender tersebut seolah samar dan hampir sama saat ini.
Perempuan yang memiliki kecenderungan untuk dapat mengungkapkan emosinya, mungkin
saja sudah memiliki peran gender yang sama seperti laki-laki.
Salah satu faktor penyebab yang mengapa ketiga hipotesis ditolak adalah karena
jumlah subjek yang tidak merata. Dilihat dari jumlah subjek penelitian berdasarkan jenis
kelamin, sudah terjadi perbedaan yang besar. Di mana jumlah mahasiswa laki-laki hanya 12
orang, sedangkan jumlah mahasiswa perempuan berjumlah 54 orang. Perbedaan yang terlihat
ini, bisa saja membuat penelitian ini tidak seimbang dalam hal jumlah subjek penelitiannya.
Selain jenis kelamin, jumlah dari subjek penelitian jika dilihat dari identitas diri juga
menunjukkan perbedaan yang jelas. Jumlah subjek pada tiap-tiap status identitas yang tidak
merata, juga memungkinkan terjadinya ketidakakuratan penelitian. Apalagi dari keempat
jenis status identitas, ada 1 status identitas yang tidak memiliki wakil subjek penelitian.
Kekosongan data pada status identitas ini, tentunya berpengaruh pada hasil penelitian.
Sehingga data yang didapatkan juga bisa dikatakan kurang.
Aitem skala status identitas yang tidak seimbang pada salah satu indikator juga turut
memberikan kontribusi pada ditolaknya hipotesis penelitian. Skala status identitas yang
disusun oleh peneliti merupakan skala yang terdiri dari 4 sub variabel, dimana sub variabel
tersebut adalah keempat status identitas berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Marcia.
Setiap sub variabel diwakili oleh 10 aitem, sehingga jumlah aitemnya adalah 40. Skala ini
kemudian diujicobakan kepada subjek diluar subjek penelitian yang sebenarnya. Dari hasil uji
coba skala identitas diri yang dilakukan, hasil aitem yang valid tiap-tiap sub variabel tidak
merata. Ada yang terwakili oleh 2 aitem, 5 aitem, 6 aitem, dan 7 aitem.
Dari hasil tersebut, terlihat adanya perbedaan yang cukup besar, karena ada 1 sub
variabel yang hanya terwakili oleh 2 aitem. Perbedaan ini tentunya berpengaruh pada hasil
penelitian, sehingga akhirnya peneliti mengambil keputusan untuk memasukkan 3 aitem
unfavorable pada sub variabel lain yang bisa memberikan kontribusi dalam penilaiannya.
Sistem penilaian yang disusun oleh peneliti membuat sub variabel terwakili oleh 5 aitem.
Page 15
15
Keputusan yang diambil peneliti dalam melakukan sistem penilaian yang baru, mungkin saja
juga memberikan pengaruh pada penelitian ini, terutama sebagai alasan ditolaknya hipotesis 2
dan 3, mengingat dalam kedua hipotesis tersebut menyangkut juga variabel identitas diri yang
diukur menggunakan skala identitas diri yang disusun oleh peneliti.
Page 16
16
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta.
Batson, Daniel, dkk. Tanpa tahun.Distress and Empathy: Two Qualitatively Distinct
Vicarious Emotions with Different Motivational Consequences. Kansas. Tidak
diterbitkan.
Cassels, Tracy, dkk. 2010. The Role of Culture in Affective Empathy: Cultural and Bicultural
Differences. Vancouver: Journal of Cognition and Culture 10 (2010) 309–326.
Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor: Ghalia Indonesia.
Davis, Mark. 1980. A Multidimensional Approach to Individual Differences in Empathy.
Texas: JSAS Catalog of Selected Documents in Psychology, 1980, 10, p. 85.
Eisenberg, Nancy. 2000. Emotion, Regulation, and Moral Development. Arizona: annu. Rev.
Psychol. 2000. 51:665–697.
Grynberg, Delphine dkk. 2010. Alexithymia in the interpersonal domain: A general deficit of
empathy?: Personality and Individual Differences 49 (2010) 845–850.
Laurent, Sean dan Hodges, Sara. 2008. Gender Roles and Empathic Accuracy: The Role of
Communion in Reading Minds. Oregon: Tidak diterbitkan.
Marcia, J. E et al. 1993. Ego Identity: A Handbook For Psychology Research. New York:
Springer Verlag.
Miville, M. L., Carlozzi, A. F., Gushue, G. V., Schara, S. L. & Ueda, M. 2006. Mental Health
Counselor Qualities for a Diverse Clientele: Linking Empathy, Universal-Diverse
Orientation, and Emotional Intelligence.Journal of Mental Health Counseling, April
2006, 28(2), p. 151-165.
Rahman, Fathur. 2010. Kualitas Empati dan Intensi Prososial sebagai Dasar Kepribadian
Konselor. Yogyakarta: Tidak diterbitkan.
Santrock, John. 1995. Life-Span Development Jilid 2: Jakarta: Erlangga.