Page 1
PERBEDAAN NILAI APTT DAN PT PADA PASIEN DEMAM BERDARAH
DENGUE DERAJAT KLINIS I DAN DERAJAT KLINIS II DI RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH PRINGSEWU
Skripsi
Oleh
FEBRINA HALIMATUNISA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Page 2
PERBEDAAN NILAI APTT DAN PT PADA PASIEN DEMAM
BERDARAH DENGUE DERAJAT KLINIS I DAN DERAJAT KLINIS II
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRINGSEWU
Oleh
FEBRINA HALIMATUNISA
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
Page 3
ABSTRACT
DIFFERENCES IN APTT AND PT VALUE IN BLOODY FEVER
PATIENTS WITH CLINICAL I DEGREE AND CLINICAL DEGREES II
IN PRINGSEWU LAMPUNG HOSPITAL
By
FEBRINA HALIMATUNISA
Background: DHF is an infectious disease caused by dengue virus and
transmitted by Aedes aegypti mosquito, which is characterized by sudden fever 2
to 7 days without obvious causes, weakness/lethargy, anxiety, heartburn,
accompanied by signs of bleeding on the skin in the form of bleeding spots
(petechiae), bruising (echymosis) or rash (purpura). has 4 types of serotypes,
namely: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.
Objective: purpose of this study was to determine the difference in APTT and PT
values in patients with clinical I dengue hemorrhagic fever and clinical degrees II
Method: This study was a retrospective analytic type with a cross sectional
design. This research was carried out in the inpatient installation section at
Pringsewu General Hospital Lampung which will be conducted in July 2018. The
sample size used was consecutive sampling of 42 samples. Examination of APTT
and PT values was carried out using laboratory analysis.
Results: The results of the average APTT score in patients with dengue fever in
clinical degree I were 31.87 seconds and clinical degree II 33.83 seconds while
the difference in mean values at PT clinical level I was 11.21 seconds while
clinical degree II was 12.02 seconds. Statistical tests showed no difference in the
mean values of APTT and PT in patients with clinical I dengue hemorrhagic fever
and clinical degrees II
Conclusion: There is no difference in the value of APTT and PT in patients with
clinical I dengue haemorrhagic fever and clinical degree II
Keywords: APTT, DBD, PT
Page 4
ABSTRAK
PERBEDAAN NILAI APTT DAN PT PADA PASIEN DEMAM
BERDARAH DENGUE DERAJAT KLINIS I DAN DERAJAT KLINIS II
DI RSUD PRINGSEWU LAMPUNG
Oleh
FEBRINA HALIMATUNISA
Latar belakang: Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai dengan
demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas, lemah/lesu,
gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan
(petechiae), lebam (echymosis) atau ruam (purpura). mempunyai 4 jenis serotipe,
yaitu: DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan nilai APTT
dan PT pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan derajat klinis II
Metode: Penelitian ini berjenis analitik retrospektif dengan rancangan cross
sectional. Penelitian ini dilaksanakan di bagian instalasi rawat inap di RSUD
Pringsewu Lampung yang akan dilakukan pada bulan juli 2018. Besar sampel
penelitian menggunakan menggunakan consecutive sampling sebesar 42 sampel.
Pemeriksaan nilai APTT dan PT dilakukan menggunakan analsisi laboratorium.
Hasil: Didapatkan hasil nilai rerata APTT pada pasien demam berdarah derajat
klinis I yaitu 31.87 detik dan derajat klinis II 33.83 detik sedanglan perbedaan
nilai rerata pada PT derajat klinis I yaitu 11.21 detik sedangkan derajat klinis II
12.02 detik. Uji statistik menunjukan tidak terdapat perbedaan nilai rerata APTT
dan PT pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan derajat klinis II
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan nilai APTT dan PT pada pasien demam
berdarah dengue derajat klinis I dan derajat klinis II.
Kata kunci: APTT, DBD, PT
Page 8
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada 01 Februari 1996, sebagai anak pertama dari
dua bersaudara, dari Bapak Suwardi dan Ibu Wahyu widiyana.
Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di Sekolah Ar-rahim bekasi
utara pada tahun 2002, Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) diselesaikan di
Sekolah dasar islam terpadu Gema Nurani Bekasi utara pada tahun 2008, Sekolah
Menengah Pertama (SMP) di SMPN 03 Pringsewu diselesaikan pada tahun 2011,
dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA 02 Pringsewu diselesaikan pada
tahun 2014.
Pada tahun 2014, penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung (FK Unila).
Page 9
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kehadirat Allah SWT,
Sebuah Persembahan Sederhana Untuk
Ayah dan Mama Tercinta
Serta Adikku Tersayang
Terimakasih Untuk Cinta, Kasih Sayang Serta Dukungan
yang Kalian Berikan Selama Ini
Ya Allah, Sesungguhnya Engkau mengetahui hati-hati ini telah
berhimpun atas dasar cinta kepada-Mu, telah bersatu dalam dakwah-
Mu, telah berpadu dalam membela syariat-Mu. Maka teguhkanlah ya
Allah ikatannya. Kekalkanlah kasih sayangnya. Tunjukillah jalan-jalan -
Nya. Penuhilah hati-hati kami dengan cahaya- Mu yang tidak pernah
sirna. Lapangkanlah dada-dada kami dengan kelimpahan iman
kepada-Mu dan indahnya bertawakal kepada-Mu. Hidupkanlah kami
dengan ma’rifat-Mu dan matikanlah kami dalam keadaan syahid di
jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik Pelindung dan sebaik-
baik Penolong.
(doa Rabitah)
Page 10
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala kasih,
karunia, dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perbedaan nilai APTT dan PT pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan
demam berdarah derajat klinis II di RSUD Pringsewu Lampung”.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat masukan, bantuan, dorongan,
saran, bimbingan dan kritik dari berbagai pihak. Maka dengan segenap kerendahan hati
penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar- besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas Lampung.
2. Ibu Dr. Dyah Wulan S.R.W., SKM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
3. Ibu dr. Agustyas Tjptaningrum Sp.PK selaku Pembimbing Utama atas
ketersediannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
4. Ibu dr. Rasmi Zakiah Oktarlina M. Farm selaku Pembimbing Kedua atas
ketersediannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam
penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak dr Waluyo Rudianto M.Kes selaku Penguji Utama pada ujian skripsi;
terimakasih atas waktu, ilmu dan saran saran yang telah diberikan.
Page 11
6. Bapak dr. Jhons Fatriyadi Suwandi M.Kes selaku Pembimbing Akademik atas
ketersediannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses
pembelajaran ini.
7. Orang tua (Ayah dan Ibu) yang sangat saya cintai dan sayangi atas cinta, kasih
sayang, perhatian, dukungan dan doa yang selalu mengalir setiap saat. Terima
kasih untuk perjuangan kalian memberikan pendidikan yang terbaik untukku, baik
pendidikan akademis maupun nonakademis yang dapat digunakan sebagai bekal
dimasa depan.
8. Adik ku Syifa Nadila Putri yang selalu mensupport selama ini.
9. Keluarga Atmorejo yang selalu mendukung dan membantu ku dalam penelitian
skripsi ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
10. Sahabat, Saudara tak sedarahku, Annisa shafira pramono, Ayu wulandari, Dini
mardiana usman, Nadia rosmalia dewi terimakasih untuk kecerian, kebahagian,
kasih sayang, ketulusan, doa serta dukungannya selama ini.
11. Teman tersayang yang selalu memberikan kebahagian, keceriaan selama ini ayu
septia, fauzia, sari, ine, rahmanindya.
12. Teman Sepermainan rena, ani, bela, rani yang selalu menghibur.
13. Seluruh dokter,petugas laboratorium,rekam medik di RSUD Pringsewu selama
proses penelitian terimakasih bule tyas, mba wulan,bu puji,pak temi,mba anis
RSU wisma rini pringsewu yang sangat membantu ku dalam perskripsian ini.
14. Seluruh staf Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk ilmu yang
telah diberikan kepada penulis sehingga menambah wawasan dan menjadi
landasan untuk menggapai cita-cita.
Page 12
15. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan pegawai
yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Terimakasih atas dukungan dan bantuannya.
16. Teman-teman angkatan 2014 CRAN14L yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Terima kasih telah memberi makna atas kebersamaan yang terjalin.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis yang telah
membantu dan menyumbangkan pemikirannya dalam pembuatan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat
dan pengetahuan baru kepada setiap orang yang membacanya. Terima kasih.
Bandar Lampung,
Penulis
FEBRINA HALIMATUNISA
Page 13
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
DAFTAR TABEL ................................................................................................ iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 3
1.4.1 Keilmuan Kesehatan .............................................................. 3
1.4.2 Manfaat penelitian bagi RSUD Pringsewu ............................ 4
1.4.3 Mahasiswa .............................................................................. 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue ............................................................... 5
2.1.1 Definisi ................................................................................... 5
2.1.2 Etiologi ................................................................................... 5
2.1.3 Epidemiologi .......................................................................... 6
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi................................................. 6
2.1.5 Manifestasi Klinis .................................................................. 8
2.1.6 Penatalaksanaan ................................................................... 11
2.2 Hemostasis ..................................................................................... 12
2.2.1 Faktor pembekuan darah ...................................................... 13
2.2.2 Mekanisme pembekuan darah .............................................. 19
2.3 Hubungan disfungsi endotel dengan demam berdarah dengue ..... 22
2.4 Kerangka Teori .............................................................................. 24
2.5 Kerangka Konsep .......................................................................... 25
2.6 Hipotesis ........................................................................................ 25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ........................................................................... 26
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................... 26
3.2.1 Waktu Penelitian .................................................................. 26
3.2.2 Tempat Penelitian ................................................................ 26
3.3 Populasi dan Sampel...................................................................... 26
Page 14
ii
3.3.1 Populasi Penelitian ............................................................... 26
3.3.2 Perhitungan besar sampel..................................................... 27
3.4 Kriteria Inklusi dan Eklusi............................................................. 28
3.4.1 Kriteria Inklusi ..................................................................... 28
3.4.2 Kriteria Ekslusi .................................................................... 28
3.5 Variabel Penelitian ........................................................................ 28
3.6 Definisi Operasional ...................................................................... 29
3.7 Prosedur Penelitian ........................................................................ 30
3.8 Pengumpulan data ......................................................................... 31
3.9 Pengolahan dan Analisis Data ....................................................... 31
3.9.1 Analisis Univariat ................................................................ 31
3.9.2 Analisis Bivariat ................................................................... 31
3.10 Aspek Etik Penelitian .................................................................. 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Penelitian ......................................................... 33
4.2 Hasil Penelitian .............................................................................. 34
4.2.1 Karakteristik Responden ...................................................... 34
4.2.2 Analisis Univariat ................................................................ 34
4.3 Analisis Bivariat ............................................................................ 35
4.4 Pembahasan ................................................................................... 38
4.4.1 Karesteristik Responden ...................................................... 38
4.4.2 Analisis Univariat ................................................................ 39
4.4.3 Analisis Bivariat ................................................................... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................... 50
5.2 Saran .............................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Page 15
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Derajat klinis Demam Berdarah Dengue (WHO, 2016) ................................. 11
2. Definisi Operasional........................................................................................ 29
3. Karakteristik Responden ................................................................................. 34
4. Nilai rerata APTT pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan II
di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung ..................................... 34
5. Rata-rata PT pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan II di
Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung ......................................... 35
6. Perbedaan Nilai APTT Pada pasien demam berdarah dengue derajat
klinis I dan II di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung .............. 35
7. Perbedaan Nilai PT Pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I
dan II di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung........................... 37
Page 16
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Patogenesis demam berdarah,demam berdarah dengue,dan sindrom
renjatan dengue . ............................................................................................... 8
2. Kerangka Konsep ............................................................................................ 25
3. Prosedur Penelitian.......................................................................................... 30
4. Grafik APTT pasien demam berdarah dengue derajat Klinis I ....................... 36
5. Grafik APTT pasien demam berdarah dengue derajat Klinis I ....................... 37
6. Grafik PT pasien demam berdarah dengue derajat klinis I ............................ 38
7. Grafik PT pasien demam berdarah dengue derajat klinis II ........................... 38
Page 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di daerah tropis dan sub-
tropis. Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak
tahun 1968 hingga tahun 2009, World Health Organization (WHO) mencatat
Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara
(Hartoyo, 2008).
Penyakit DBD masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang utama di Indonesia. Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya
semakin bertambah seiring dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan
penduduk. Di Indonesia Demam Berdarah pertama kali ditemukan di kota
Surabaya pada tahun 1968, dimana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang
diantaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK) : 41,3 %). Dan sejak
saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia (Hartoyo, 2008).
Host alami Demam berdarah dengue adalah manusia, agentnya adalah virus
dengue yang termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus,
terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1, Den-2, Den3 dan Den -41, ditularkan ke
manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes
Page 18
2
aegypti dan Ae. albopictus yang terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia (Candra, 2010).
Derajat penyakit infeksi dengue dapat bermanifestasi ringan yaitu demam
dengue (DD), bermanifestasi berat yaitu (DBD), hingga mengalami syndrome
00shock dengue (SSD). Kebocoran plasma dan aktivasi sistem koagulasi
merupakan petanda patologis DBD akibat disfungsi endotel pembuluh
darah.Parameter laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui
kebocoran plasma adalah konsentrasi hematokrit, jumlah trombosit,
konsentrasi albumin, dan konsentrasi serum aspartate transaminase (AST).
Keempat parameter laboratorium tersebut dapat juga digunakan untuk
mengetahui kelompok yang berisiko mengalami infeksi dengue yang
berat.Aktivasi sistem koagulasi pada DBD dapat terjadi saat fase demam
yang ditandai dengan nilai activated partial thromboplastin time (APTT),
prothrombin time (PT) yang sedikit memanjang (Suwarto et al., 2018).
Activated partial thromboplastin time (APTT) adalah ukuran integritas dari
intrinsik dan jalur umum akhir dari kaskade koagulasi. Pengukuran APTT
mencerminkan waktu pembekuan plasma dalam detik setelah penambahan
fosfolipid, aktivator jalur intrinsik, dan kalsium. Prothrombin time (PT)
adalah ukuran integritas dari jalur umum ekstrinsik dan akhir dari
prokoagulan. Pengukuran ini mencerminkan waktu pembekuan dalam detik
setelah penambahan kalsium dan aktivator jalur ekstrinsik (tromboplastin)
(Kamal et al., 2007).
Page 19
3
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mencari perbedaan nilai
APTT dan PT pada pasien derajat klinis I dan derajat klinis II, sehingga hal
ini dapat dijadikan sebagai indikator yang berguna dalam meningkatkan
kewaspadaan terhadap luaran yang buruk pada infeksi dengue.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,maka dapat dirumuskan permasalah dalam
penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat perbedaan APTT pada pasien DBD derajat klinis I dan
derajat klinis II di RSUD Pringsewu Lampung
2. Apakah terdapat perbedaan PT pada pasien DBD derajat klinis I dan
derajat klinis II di RSUD Pringsewu Lampung.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata nilai APTT pada pasien
demam berdarah dengue derajat klinis I dan derajat klinis II.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan rerata nilai PT pada pasien
demam berdarah dengue derajat klinis I dan derajat klinis II.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Keilmuan Kesehatan
1. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk
melanjutkan studi terhadap masalah yang terkait dengan gangguan
hemostasis pada pasien dbd di wilayah lainnya.
Page 20
4
2. Sebagai masukan atau bahan pertimbangan kepada pengelola
program pemberatasan penyakit demam berdarah dengue (DBD).
1.4.2 Manfaat penelitian bagi RSUD Pringsewu
Membantu petugas kesehatan dalam mengetahui perbedaan nilai APTT
dan PPT pada pasien demam berdarah dengue dengan derajat klinis I
dan derajat klinis II.
1.4.3 Mahasiswa
1. Penelitian ini dapat melatih mahasiswa dalam memecahkan masalah
kesehatan.
2. Menambah wawasan dan pengalaman mahasiswa dalam
menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah.
Page 21
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue
2.1.1 Definisi
Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai
dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang
jelas, lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di
kulit berupa bintik perdarahan (petechiae), lebam (echymosis) atau
ruam (purpura). Terkadang terdapat epistaksis, BAB berdarah, muntah
darah, kesadaran menurun atau renjatan (Shock) (Candra, 2010).
2.1.2 Etiologi
Penyakit demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue dari
genus Flavivirus, famili Flaviviridae. DBD ditularkan ke manusia
melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi virus dengue. Virus
Dengue penyebab Demam Dengue (DD), Demam Berdarah Dengue
(DBD) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) termasuk dalam kelompok
B Arthropod virus Arbovirosis yang sekarang dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu:
DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4 (Achmadi, et al., 2010)
Page 22
6
2.1.3 Epidemiologi
Pada tahun pertama diketahui infeksi dengue di Indonesia, dilaporkan
58 kasus di DKI Jakarta dan Surabaya (termasuk 24 kasus yang
meninggal). Pada tahun 1970, 24 kasus dengue diidentifikasi diantara
48 kasus anak tersangka dengue di Yogyakarta. Selanjutnya, 8 kasus
diklasifikasikan DBD dan 2 kasus berkembang menjadi SSD. Pada
tahun 1997, 2004 dan 2005 Depkes melaporkan angka kematian
dengue berurutan adalah 15,2 per 100.000 orang, 30 per 100.000 orang
dan 13,7 per 100.000 orang. Pada tahun terakhir, penyakit dengue
mengakibatkan lebih dari 400 kematian setiap tahun di Indonesia dan
tahun 1998 angka ini meningkat mencapai 1414. Jika terapi cairan
adekuat, maka angka kematian di negara Asia bisa menurun berkisar
antara 0,5% dan 3,5%. Sejak tahun 1968-2008 kasus demam berdarah
dengue meningkat terus.Terdapat jumlah kasus demam berdarah dengue
yang memuncak setiap 10 tahun sekali, yaitu pada tahun 1988, 1998
dan 2008. Pada tahun 2008 data dari Departemen Kesehatan
menunjukkan jumlah kasus demam berdarah dengue mencapai 133,402
kasus dengan angka kesakitan (incidence rate) 58,85/100.000 penduduk
(Karyanti et al., 2009).
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Pemeriksaan mikroskopik patologi 100 kasus Dengue yang fatal
menemukan 2 hal utama,yakni perdarahan mukosa yang tersebar
danedema membran serosa, selain perdarahan diberbagai organ, edema
perivaskuler dan jaringan interstisiel, infiltrasi sel mononuklir pada
Page 23
7
perivaskuler, dan piknosis sel endotel. Antigen Dengue ditemukan di
berbagai sel, termasuk monosit, upffer, makrofag alveoli, limfosit darah
tepi dan limpa, juga sel endotel di hepar dan paru-
paru.Monosit/makrofagdan limfosit merupakan sel-sel utama yang di-
infeksi oleh virus Dengue. Infeksi Dengue terhadap sel-sel monosit,
makrofag, dan dendritik menyebabkan produksi mediator-mediator
yang mempengaruhi fungsi sel endotel. Monosit yang terinfeksi
menginduksi perubahan permeabilitas sel-sel endotel umbilikus
manusia karena terkait dengan pengaruh TNF-α. Infeksi Dengue dapat
menginduksi maturasi dendritic cell. Dendritic cell dapat memicu
ekspresi enzim matrixmetallo proteinase yaitu MMP-2 dan MMP-9,
sehingga meningkatkan permeabilitas yangberakibat kebocoran plasma
dan perdarahan. Perlakuan sel-sel endotel umbilikus manusia dengan
pembiakan sel-sel dendritik yang terinfeksi juga menunjukkan ke-
naikan permeabilitas, berkaitan dengan turunnya respon Platelet
Endothelial Cell Adhesion Molecule-1, ekspresi VE-cadherin, dan
reorganisasi dari F-actin. Isolasi jaringan kulit menunjukkan bahwa sel
dendrit dapat pula terinfeksi lokal oleh inokulasi virus Dengue.
Aktivitas sel T helper 1 lebih tinggi pada DBD dibanding pada demam
Dengue menunjukkan bahwa pada infeksi sekunder sel T CD8+ spesifik
berjumlah lebih banyak dari infeksi sebelumnya. Sitokin dan kemokin
yang diinduksi oleh sel-sel T berdampak pada permeabilitas vaskuler
sebagai penyebab kebocoran plasma DBD (Rizal, 2011).
Page 24
8
Gambar 1. Patogenesis demam berdarah,demam berdarah dengue,dan
sindrom renjatan dengue (Martina et al., 2009).
2.1.5 Manifestasi Klinis
1. Demam
Demam dengue dan DBD didahului dengan demam tinggi
mendadak, terus-menerus selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas dan
hampir tidak ada perbaikan dengan menggunakan antipiretik (hanya
turun sedikit, lalu kembali naik). Peningkatan suhu yang mencapai
Page 25
9
400C dan dijumpai kejang demam. Seringkali demam ini di dahului
dengan gejala-gejala seperti sakit kepala, lemah, nafsu makan
berkurang, muntah, nyeri pada otot tulang, dan persendian. Akhir
fase ini merupakan fase kritis pada DHF, yaitu fase yang dapat
berubah menjadi kesembuhan ataupun sebaliknya menjadi syok. Bila
tidak terjadi syok, maka panas umumnya akan segera turun dan
penderita sembuh sendiri (Dalugama et al., 2017)
2. Perdarahan
Pada fase awal penyakit (hari ke-1 sampai ke-4) penurunan produksi
trombosit merupakan penyebab trombositopenia. Sumsum tulang
tampak hiposeluler ringan dan megakariosit meningkat dalam bentuk
fase maturase. Virus tampaknya secara langsung menyerang mieloid
dan megakariosit. Sedangkan pada hari ke-5 sampai hari ke-8
trombositopenia terjadi dan disebabkan oleh penghancuran trombosit
dalam sirkulasi. Terjadinya kompleks imun yang melekat pada
permukaan trombosit mempermudah penghancuran trombosit oleh
sistem retikuloendotelial dalam hati dan limpa, sehingga
menyebabkan trombositopenia. Penghancuran trombosit ini dapat
pula disebabkan oleh kerusakan endotel, antibodi trombosit spesifik,
atau koagulasi intravaskular diseminata (Hartoyo, 2008)
3. Syok
Syok ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tak teraba,
takanan nadi menurun sampai 20 mmHg atau sampai nol, tekanan
Page 26
10
darah menurun menjadi 110/90 mmHg atau hipotensi, disertai kulit
yang teraba lembab dan dingin, terutama pada ujung jari tangan, kaki
dan hidung, penderita menjadi lemah, gelisah sampai menurunnya
kesadaran dan timbul sianosis disekitar mulut. Syok merupakan
tanda kegawatan yang harus mendapat perhatian serius, oleh karena
bila tidak diatasi sebaik-baiknya dan secepatnya dapat menyebabkan
kematian. Pasien dapat dengan cepat masuk dalam fase kritis yaitu
syok berat, pada saat itu tekanan darah dan nadi tidak dapat terukur
lagi. Syok dapat terjadi dalam waktu yang sangat singkat, pasien
dapat meninggal dalam waktu 12-24 jam atau sembuh cepat setelah
mendapat penggantian cairan yang memadai (Annisa et al., 2015).
4. Hepatomegali
Hepatomegali merupakan salah satu manifestasi klinis yang
ditemukan pada infeksi dengue. Hepatomegali terjadi karena pada
infeksi dengue dipengaruhi oleh aktivasi sel limfosit T yang dapat
merusak hepatoseluler. Hepatomegali dapat ditemukan setelah
beberapa hari terjadi demam. Hepar membesar sehingga dapat teraba
pada fase awal demam dan dapat teraba sampai 2-4 cm di bawah
arcus costae. Walaupun ukuran hepar tidak berkorelasi dengan
beratnya sakit, tetapi pembesaran hepar ditemukan lebih sering pada
keadaan syok dibandingkan dengan kasus tanpa syok (Annisa et al.,
2015).
Page 27
11
Tabel 1. Derajat klinis Demam Berdarah Dengue (World Health
Organization, 2016)
DBD Gejala Laboratorium
Derajat 1 Demam yang disertai
gejala klinis tidak khas,
satu-satunya gejala
perdarahan adalah hasil
ujitourniquet yang positif
6.8 × - 9.1 ×
Derajat 2 Gejala yang timbul pada
DBD derajat I ditambah
perdarahan spontan
biasanya dalam bentuk
perdarahan kulit dan atau
bentuk perdarahan
lainnya.
5.9 × - 8.7 ×
Derajat 3 kegagalan sirkulasi yang
ditandai dengan denyut
nadi yang cepat dan
lemah. Menyempitnya
tekanan nadi 20mmHg
atau kurang atau
hipotensi, ditandai
dengan kulit dingin dan
lembab serta pasien
menjadi gelisah
6.9 × - 1.0 ×
Derajat 4 Syok berat dengan tidak
terabanya denyut nadi
maupun tekanan darah
4.1 × - 1.0 ×
2.1.6 Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting
yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun
laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia
pada umum nya terjadi antara hari ke empat hingga hari ke enam sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke
intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap
Page 28
12
dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan
sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan
terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites
yang masih perlu selalu diwaspadai (Zein, 2014).
Terapi non farmakologi yang diberikan meliputi tirah baring (pada
trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-
an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang
mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan
antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi
keluhan dispepsia. Pemberian aspirin atau obat anti inflamasi non
steroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada
saluran cerna bagian atas (Satari et al., 2012).
2.2 Hemostasis
Hemostasis adalah proses dinamis yang diatur oleh beberapa mekanisme
untuk mencegah pendarahan dan mencakup dua proses:
1. hemostasis primer yang melibatkan penyempitan pembuluh darah,
trombositaktivasi, dan agregasi.
2. hemostasis sekunder yang melibatkanaktivasi mekanisme koagulasi,
pembentukan bekuan darah,dan pembubaran selanjutnya oleh fibrinolisis.
Darahkoagulasi dimulai oleh paparan membranterikat Tissue Factor (TF),
yang secara konstitutif diekspresikan padapermukaan sel di sekitar
pembuluh darah (fibroblast dansel otot), untuk membentuk amplop
hemostatik yang mencegahperdarahan berlebih setelah cedera vaskular.
Page 29
13
Monocytesdan sel-sel endotel tidak mengekspresikan TF tetapi
mengekspresikannyaselama kondisi patologis dan setelah terpaparuntuk
sitokin inflamasi seperti TNF-𝛼 dan IL1-𝛽 (Azeredo et al., 2015).
Hemostasis ini merupakan suatu rangkaian respons terhadap adanya
kerusakan jaringan dalam rangka untuk menghentikan perdarahan.
Apabila pembuluh darah mengalami kerusakan atau luka, maka
mekanisme hemostasis bekerja secara spontan dan cepat untuk
menghentikan perdarahan tersebut melalui beberapa mekanisme seperti:
spasme vascular, pembentukan sumbat trombosit dan koagulasi. Spasme
vascular lebih diinisiasi oleh kerusakan otot polos, substansi yang
dikeluarkan oleh trombosit teraktivasi dan oleh reflex yang diinisiasi oleh
reseptor trombosit. Pembentukan sumbat trombosit dilalui melalui proses
adhesi trombosit pada sel endotel yang rusak, diikuti oleh reaksi
pengeluaran trombosit dibantu oleh ADP dan tromboksan A2 dan diakhiri
dengan agregasi trombosit. Sementara koaguasi didapatkan melalui
beberapatahap/kaskade koagulasi (Durachim et al., 2018).
2.2.1 Faktor pembekuan darah
Faktor Pembekuan (clotting faktor) adalah sejumlah protein yang
berkaitan dengan reaksi penggumpalan darah. Hasil akhir dari proses
pembekuan adalah terbentuknya hemostatic plug, luka tertutup dan
darah tidak keluar lagi. Faktor pembekuan (faktor koagulasi) adalah
protein (misalnya, fibrinogen, protrombin,Faktor VIII) yang diperlukan
untuk pembekuan darah normal. Beberapa faktor pembekuan disintesis
Page 30
14
oleh hati dan produksinya dapat terganggu bila hati rusak. Orang yang
kekurangan faktor pembekuan kemungkinanbesar akan mengalami
perdarahan berkepanjangan dan mudah memar (Durachim et al., 2018).
Untuk menghentikan terjadinya perdarahan selain diperankan oleh
vaskuler dan trombosit, faktor-faktor pembekuan darah memegang
peran yang sangat penting untuk menutup luka. Terdapat tiga belas
faktor pembekuan di dalam tubuh manusia diantaranya, yaitu :
1. Faktor I (Fibrinogen) fibrinogen merupakan salah satu pembekuan
darah atau koagulasi yang melibatkan protein plasma sehingga
dapat berubah menjadi benang fibrin melalui proses yang
diperankan oleh trombin. Seseorang yang mengalami kekurangan
fibriogen disebut afibrinogenemia atau yang lebih dikenal dengan
hypofibrinogenemia. Gejala kekurangan fibrinogen ini yaitu
terjadinya perdarahan yang memanjang. Fungsi fibrinogen sebagai
komponen penting dalam protein plasma hasil dari sintesisdalam
hati dan diubah menjadi fibrin.
2. Faktor II (prothrombin) fungsi sebagai protein plasma dan akan
dikonversi menjadi bentuk yang aktif berupa trombin (faktor IIa)
melalui pembelahan dengan aktivasi faktor X (Xa) di jalur umum
dari pembekuan. Fibrinogen trombin kemudian memotong ke
bentuk aktif fibrin. Kekurangan protrombin dapat mengakibatkan
hypoprothrombinemia.
3. Faktor III (Thromboplastin, Tissue Thromboplastin) Factor III atau
thromboplastin jaringan berperan sebagai aktivasi faktor VII untuk
Page 31
15
membentuk trombin.Jaringan Tromboplastin koagulasi faktor yang
berasal dari beberapa sumber yang berbeda dalam tubuh, seperti
otak dan paru-paru. Jaringan Tromboplastin penting dalam
pembentukan prothrombin ekstrinsik yang mengkonversi prinsip di
Jalur koagulasi ekstrinsik.
4. Faktor IV (Ion Calcium) (Font: Calibri, size 12) Ion Kalsium adalah
ion Ca 2+, yang mempunyai bilangan oksidasi 2 dan termasuk
logam alkali. Dalam system periodic unsur-unsur Kalsium termasuk
dalam gol. II A. Ion Kalsium bisa berikatan dengan ion OH-
membentuk senyawa Ca(OH)2 atau calsium hidroksida. Dalam
tubuh ion Kalsium terdapat di dalam system pembekuan darah,
yang termasuk faktor pembekuan faktor IV, yang ada di dalam
darah dan jaringan berbentuk ion bebas yang suatu saat bisa
berikatan dengan ion lainnya. Factor IV atau ion kalsium adalah
sejenis ion yang fungsinya digunakan disemua proses Faktor V
(Proakselerin) factor pembekuan faktor V atau Proakselerin
merupakan salah satu faktor pembekuan.
5. darah atau koagulasi dalam menyimpan panas, yang ada didalam
plasma, memiliki fungsi intrinsik dan ekstrinsik yang berada di
dalam jalur koagulasi. Proaccelerin melakukan katalisis atau
pembelahan prothrombin trombin yang masih aktif. pembekuan
darah pada setiap jalur pembekuan.Kalsium ini merupakan sebuah
faktor koagulasi yang diperlukan dalam fase pembekuan darah jalur
pembekuan intrinsic, jalur pembekuan ekstrinsik dan pada jalur
Page 32
16
pembekuan bersama dan berbentuk ion yang setiap saat akan mudah
berikatan dengan bentuk ion yang lain.
6. Faktor VI (unknown) Factor pembekuan faktor VI atau faktor yang
belum diketahui (unknown), Faktor ini sudah tidak dipakai lagi
karena fungsinya sama seperti faktor V. Sebuah faktor koagulasi
sebelumnya dianggap suatu bentuk aktif faktor V, tetapi tidak lagi
dianggap dalam skema hemostasis.
7. Faktor VII (Prokonvertin, Stabil Factor). Faktor pembekuan faktor
VII atau prokonvertin berfungsi sebagai sistem yang bekerja di
dalam jalur intrinsik. Proconvertin ini merupakan sebuah faktor
koagulasi penyimpanan yang relatif stabildan panas dan
berpartisipasi dalam Jalur koagulasi ekstrinsik. Hal ini diaktifkan
oleh kontak dengan kalsium, dan bersama dengan mengaktifkan
faktor III itu faktor X. Defisiensi faktor Proconvertin, yang mungkin
herediter (autosomal resesif) atau diperoleh (yang berhubungan
dengan kekurangan vitamin K), hasil dalam kecenderungan
perdarahan. Disebut juga serum prothrombin konversi faktor
akselerator dan stabil Proconvertin.
8. Faktor VIII (Faktor Antihemophilia, Anti Hemophilic Globulin).
Factor pembekuan faktor VIII atau antihemophilic faktor, faktor
antihemofilia A, globulin antihemofilia/ AHG). berfungsi sebagai
sistem ekstrinsik.Antihemophilic faktor, sebuah faktor koagulasi
penyimpanan yang relatif labil dan berpartisipasi dalam jalur
intrinsik dari koagulasi, bertindak sebagai kofaktor dalam aktivasi
Page 33
17
faktor X. Defisiensi, sebuah resesif terkait-X sifat, penyebab
hemofilia A. Disebut juga antihemophilic globulin dan faktor
antihemophilic A.
9. Faktor IX (Komponen Tromboplastik Plasma, Chrismas Factor).
Faktor pembekuan faktor IX atau Krismas faktor berfungsi sebagai
sistem ekstrinsik.Tromboplastin plasma komponen, sebuah faktor
koagulasi penyimpanan yang relatif stabil dan terlibat dalam jalur
intrinsik dari pembekuan. Setelah aktivasi diaktifkan oleh faktor X.
hasil di hemofilia B. Disebut juga faktor Natal dan faktor
antihemophilic B. Tromboplastin Plasma komponen, merupakan
salah satu faktor pembekuan darah atau koagulasi penyimpanan
yang stabil sera melibatkan diri dalam jalur intrinsik dari
pembekuan darah atau koagulasi. Setelah proses aktivasi diaktifkan,
defisiensi dari faktor X merupakan hasil pada hemofilia B yang
disebut juga dengan sebutan faktor Natal serta faktor antihemophilic
B.
10. Faktor X (faktor stuart-prower)
Factor pembekuan faktor X atau Stuart faktor berfungsi sebagai
sistem intrinstik dan ekstrinsik.Stuart faktor, sebuah faktor
koagulasi penyimpanan yang relatif stabil dan berpartisipasi dalam
baik intrinsik dan ekstrinsik jalur koagulasi, menyatukan mereka
untuk memulai jalur umum dari pembekuan. Setelah diaktifkan,
membentuk kompleks dengan kalsium, fosfolipid, dan faktor V,
yang disebut prothrombinase; hal ini dapat membelah dan
Page 34
18
mengaktifkan prothrombin untuk trombin. Kekurangan faktor ini
dapat menyebabkan gangguan koagulasi sistemik. Disebut juga
Prower Stuart-faktor. Bentuk yang diaktifkan disebut juga
thrombokinase.
11. Faktor XI
Faktor pembekuan faktor XI atau plasma Thromboplastin
Antecedant atau antihemophilic C berfungsi sebagai sistem
intrinsik.Tromboplastin plasma yang di atas, faktor koagulasi yang
stabil yang terlibat dalam jalur intrinsik dari koagulasi; sekali
diaktifkan, itu mengaktifkan faktor IX.Kondisi dengan kekurangan
faktor XI, disebut juga faktor antihemophi;ic C.
12. Faktor XII (Faktor Hageman)
Faktor pembekuan faktor XII atau Hageman faktor berfungsi
sebagai sistem intrinsik.Hageman faktor faktor koagulasi yang
stabil yang diaktifkan oleh kontak dengan kaca atau permukaan
asing lainnya dan memulai jalur intrinsik dari koagulasi dengan
mengaktifkan faktor XI. Kekurangan faktor ini menghasilkan
kecenderungan trombosis.
13. Faktor XIII (Faktor Stabilisasi Fibrin, Fibrinase)
Faktor pembekuan faktor XIII atau yang disebut faktor stabilisasi
fibrin atau fibrinasi berfungsi sebagai penghubung silang filamen
fibril. Fibrin-yang menstabilkan sebuah faktor koagulasi yang
merubah fibrin monomer untuk polimer sehingga mereka menjadi
stabil dan tidak larut di dalam, fibrin yang memungkinkan untuk
Page 35
19
membentuk pembekuan darah. Kekurangan faktor pembekuan ini
memberikan kecenderungan seseorang hemorrhagic. Disebut juga
fibrinase dan protransglutaminase. Bentuk yang diaktifkan juga
disebut transglutaminase (Durachim et al., 2018).
2.2.2 Mekanisme pembekuan darah
Mekanisme pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu sistem intrinsik dan
sistem ekstrinsik.Reaksi awal pada sistem intrinsik adalah konversi
faktor XII inaktif menjadi faktor XII aktif (XIIa).Aktivasi ini dikatalisis
oleh kininogen HMW dan kalikrein.Faktor XII aktif kemudian
mengaktifkan faktor XI, dan faktor XI aktif mengaktifkan faktor
IX.Faktor IX yang aktif membentuk suatu kompleks dengan faktor VIII
aktif. Kompleks IXa dan VIIIa mengaktifkan faktor X. Fosfolipid dari
trombosit dan Ca2+ diperlukan untuk mengaktifkan faktor X secara
sempurna. Sementara sistem ekstrinsik dipicu oleh pelepasan faktor III
(tromboplastin) dari jaringan yang mengaktifkan faktor VII. Faktor III
dan faktor VIIa mengaktifkan faktor IX dan X. Dengan adanya
fosfolipid, Ca2+, dan faktor V, maka faktor X akan mengkatalisis
konversi protrombin menjadi trombin (Suliarni, 2003). Selanjutnya
trombin mengkatalisis konversi fibrinogen menjadi fibrin.
Mekanisme pembekuan darah
1. Jalur ekstrinsik
Disebut ekstrinsik karena tromboplastin jaringan (tissue faktor)
berasal dari luar darah.Lintasan ekstrinsik melibatkan faktor
jaringan, faktor VII,X serta Ca2+ dan menghasilkan faktor Xa.
Page 36
20
Produksi faktor Xa dimulai pada tempat cedera jaringan dengan
ekspresi faktor jaringan pada sel endotel. Factor jaringan berinteraksi
dengan faktor VII dan mengaktifkannya; faktor VII merupakan
glikoprotein yang mengandung Gla, beredar dalam darah dan
disintesis di hati. Factor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk
faktor VIIa dengan menggalakkan aktivitas enzimatik untuk
mengaktifkan faktor X. faktor VII memutuskan ikatan Arg-Ile yang
sama dalam faktor X yang dipotong oleh kompleks tenase pada
lintasan intrinsic. Aktivasi faktor X menciptakan hubungan yang
penting antara lintasan intrinsic dan ekstrinsik Interaksi yang penting
lainnya antara lintasan ekstrinsik dan intrinsic adalah bahwa
kompleks faktor jaringan dengan faktor VIIa juga mengaktifkan
faktor IX dalam lintasan intrinsic. Sebenarna, pembentukan
kompleks antara faktor jaringan dan faktor VIIa kini dipandang
sebagai proses penting yang terlibat dalam memulai pembekuan
darah secara in vivo. Makna fisiologik tahap awal lintasan intrinsic,
yang turut melibatkan faktor XII, prekalikrein dan kininogen dengan
berat molekul besar.Sebenarnya lintasan intrinsik bisa lebih penting
dari fibrinolisis dibandingkan dalam koagulasi, karena kalikrein,
faktor XIIa dan Xia dapat memotong plasminogen, dan kalikrein
dapat mengaktifkanurokinase rantai-tunggal. Inhibitor lintasan faktor
jaringan (TFPI: tissue faktor pathway inhibitior) merupakan inhibitor
fisiologik utama yang menghambat koagulasi. Inhibitor ini berupa
protein yang beredar didalam darah dan terikat lipoprotein. TFPI
Page 37
21
menghambat langsung faktor Xa dengan terikat pada enzim tersebut
didekat tapak aktifnya.Kemudian kompleks faktor Xa-TFPI ini
manghambat kompleks faktor VIIa-faktor jaringan.
2. Jalur Intrinsik.
Lintasan intinsik melibatkan faktor XII, XI, IX, VIII dan X,
prekalikrein, kininogen dengan berat molekul tinggi/ High Molecular
Weight Kininogen (HMWK), ion Ca2+ dan fosfolipid trombosit.
Lintasan ini membentuk faktor Xa (aktif).Lintasan ini dimulai
dengan “fase kontak” dengan prekalikrein, kininogen dengan berat
molekul tinggi, faktor XII dan XI terpajan pada permukaan pengaktif
yang bermuatan negatif. Secara in vivo, kemungkinan protein
tersebut teraktif pada permukaan sel endotel. Kalau komponen dalam
fase kontak terakit pada permukaan pengaktif, faktor XII akan
diaktifkan menjadi faktor XIIa pada saat proteolisis oleh kalikrein.
Factor XIIa ini akan menyerang prekalikrein untuk menghasilkan
lebih banyak kalikrein lagi dengan menimbulkan aktivasi timbale
balik. Begitu terbentuk, faktor xiia mengaktifkan faktor XI menjadi
XIa, dan juga melepaskan bradikinin(vasodilator) dari kininogen
dengan berat molekul tinggi Dengan adanya Ca2+, faktor XIa
mengaktifasi faktor IX menjadi faktor IXa, dan faktor IXa
mengaktifasi faktor X menjadi Xa.
3. Jalur Bersama
Pada lintasan terakhir yang sama, faktor Xa yang dihasilkan oleh
lintasan intrinsic dan ekstrinsik, akan mengaktifkan protrombin (II)
menjadi thrombin (IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen
Page 38
22
menjadi fibrin. Pengaktifan protrombin terjadi pada permukaan
trombosit aktif dan memerlukan perakitan kompelks protrombinase
yang terdiri atas fosfolipid anionic platelet, Ca2+, faktor Va, faktor
Xa dan protrombin. Factor V yang disintesis dihati, limpa serta
ginjal dan ditemukan didalam trombosit serta plasma berfungsi
sebagai kofaktor dng kerja mirip faktor VIII dalam kompleks tenase.
Ketika aktif menjadi Va oleh sejumlah kecil thrombin, unsure ini
terikat dengan reseptor spesifik pada membrane trombosit dan
membentuk suatu kompleks dengan faktor Xa serta protrombin.
Selanjutnya kompleks ini di inaktifkan oleh kerja thrombin lebih
lanjut, dengan demikian akan menghasilkan sarana untuk membatasi
pengaktifan protrombin menjadi thrombin. Protrombin (72 kDa)
merupakan glikoprotein rantai-tunggal yang disintesis di hati.
Region terminal-amino pada protrombin mengandung sepeuluh
residu Gla, dan tempat protease aktif yang bergantung pada serin
berada dalam region-termina lkarboksil molekul tersebut (Durachim,
et al., 2018)
2.3 Hubungan disfungsi endotel dengan demam berdarah dengue
Mekanisme terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dan perdarahan
pada DBD belum diketahui dengan jelas.Pada otopsi kasus DBD tidak
dijumpai adanya infeksi virus dengue pada sel endotel kapiler. Pada
percobaan in vitrodengan kultur sel endotel, ternyata sel endotel akan
mengalami aktivasi jika terpapar dengan monosit yang terinfeksi virus
dengue, setelah virus dengue berikatan dengan antibodi maka komplek ini
Page 39
23
akan melekat pada monositkarena monosit mempunyai Fc receptor 3,4. Oleh
karena antibodi bersifat heterolog, maka virus tidak dinetralkan sehingga
bebas melakukan replikasi di dalam monosit. Monosit akan menghasilkan
sitokin yang akan menyebabkan selendotel teraktivasi sehingga
mengekspresikan molekul adhesi seperti vascular cell adhesion molecule-1
(VCAM-1) dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Pada infeksi
yang berat ekspresi VCAM-1 pada sel endotel berlebihan sehingga
dilepaskan ke dalam sirkulasi dalam bentuk terlarut (soluble VCAM-1). Jadi
molekul adhesi terlarut merupakan petanda aktivasi atau kerusakan endotel
Sitokin juga dapat menimbulkan berbagai perubahan pada fungsi sel endotel
yaitu peningkatan sekresi faktor von Willebrand (vWF), tissue factor (TF),
platelet activating factor (PAF), plasminogen activator inhibitor (PAI)
prostasiklin (PGI2), dan nitricoxide (NO) serta penurunan tissue plasminogen
activator (tPA) dan trombomodulin 13,14. Oleh karena itu pada disfungsi
endotel terjadi peningkatan permeabilitas vaskular dan aktivasi sistem
koagulasi. Salah satu petanda aktivasi.sistem koagulasi adalah peningkatan
kadar D-dimer yang merupakan hasil degradasi fibrin oleh plasmin (Dharma,
et al., 2006).
Page 40
24
2.4 Kerangka Teori
Gambar 3. Kerangka Teori
Sel endotel
infeksi virus
dengue
Sumsumtulang makrofag hepar
Disfungsi
endotel Penurunan
hematopoiesis Sitokin pro
inflamasi Gangguan
fungsi hati
Permeabilitas &
fragilitas
pembuluh darah
trombositopenia
Ekstravasas i
cairan plasma
PGE,IL-1,TNF-α
Pemanjangan APTT dan PT
hemokonsentrasi
demam
Peningkatan hemotokrit
Derajat penyakit
Demam dengue
DBD derajat klinis I
DBD derajat klinis II
DBD derajat klinis III
DBD derajat klinis IV
Koagulopati
Manifestasi
perdarahan
Produksi faktor
pembekuan
Page 41
25
2.5 Kerangka Konsep
DBD Koagulapati
Gambar 2. Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
H0: Tidak terdapat perbedaan nilai APTT dan PT pada pasien demam
berdarah dengue derajat klinis I dan II di RSUD Pringsewu Provinsi
Lampung.
H1: Terdapat perbedaan nilai APTT dan PT pada pasien demam berdarah
dengue derajat klinis I dan II di RSUD Pringsewu Provinsi Lampung.
Pemanjang
an APTT
dan PT
DBD
derajat
klinis I
DBD
derajat
klinis II
Variabel bebas Variabel terikat
Page 42
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah analitik observasional yang bersifat analitik
retrospektif dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian retrospektif
merupakan pengumpulan data yang dimulai dari efek atau akibat yang telah
terjadi kemudian dari efek tersebut ditelusuri ke belakang tentang
penyebabnya yang mempengaruhi akibat tersebut. Cross sectional merupakan
dimana data yang menyangkut variabel bebas dan terikat dikumpulkan dalam
waktu yang bersamaan (Notoatmodjo, 2014).
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan juli 2018 sampai dengan bulan
november 2018.
3.2.2 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh data rekam medis pasien DBD
dengan derajat klinis I & II di RSUD Pringsewu.
Page 43
27
3.3.2 Perhitungan besar sampel
Besar sampel dihitung berdasarkan perkiraan beda rata-rata populasi,
dengan rumus sebagai berikut :
(( 𝛼 𝛽)
)
Zα = 1,64 ; dengan α = 0,05
Zβ = 1,28 ; dengan β = 0,010
X1 - X2 = perbedaan klinis yang diinginkan
Diketahui rata-rata nilai APTT pada penderita demam berdarah dengue
adalah 86,2 detik dengan simpang baku penderita demam berdarah
dengue sebesar 3.nilai PT pada penderita demam berdarah dengue
adalah 22,4 detik,sehingga jumlah sampel dapat dihitung sebagai
berikut
(( )
)
= 42
Dengan demikian,besar sampel adalah 42 orang (pasien demam
berdarah derajat klinis I sebanyak 21 orang dan pasien demam berdarah
derajat klinis II 21 orang).
Adapun teknik pengumpulan sampel dalam penelitian ini adalah
consecutive sampling. Pada teknik sampel ini,pasien yang memenuhi
kriteria penelitian dijadikan subjek penelitian dan pengambilan sampel
berhenti dilakukan sampai jumlah sampel terpenuhi (Notoatmodjo,
2014).
Page 44
28
3.4 Kriteria Inklusi dan Eklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Semua catatan rekam medis yang tidak cacat dan robek pada pasien
DBD derajat klinis I dan II
2. Semua catatan rekam medis yang datanya lengkap meliputi data
demografi sampai terapi pasien DBD derajat klinis I dan II
3. Pasien umur lebih dari 17 tahun
3.4.2 Kriteria Ekslusi
1. Demam berdarah dengue dengan kegagalan sirkulasi yaitu nadi
cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang)
2. Demam berdarah dengue dengan syok berat, nadi tidak dapat
diraba dan tekanan darah tidak terukur
3.5 Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini menggunakan variabel bebas yaitu Derajat klinis
demam berdarah dengue I dan II dan variabel terikat yaitu PT dan APTT
skala numerik.
Page 45
29
3.6 Definisi Operasional
Tabel 2. Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional Alat Ukur
Cara
pengukuran
Hasil
pengukuran Skala Ukur
1 Derajat
penyakit
infeksi
demam
berdarah
dengue
Derajat
penyakit yang
disebabkan oleh
infeksi virus
dengue sesuai
kriteria WHO
2016
Rekam
Medik
observasi 0 : Derajat
Klinis I
1 : Derajat
Klinis II
2 APTT Alat
koagulasi
darah
GM-
LCAMO7
Numerik
3 PT Alat
koagulasi
darah
GM-
LCAMO7
Numerik
Page 46
30
3.7 Prosedur Penelitian
Dalam melakukan pelaksanaan penelitian terdapat prosedur yang harus
dilakukan. Adapun prosedur tersebut adalah sebagai berikut
Gambar 3. Prosedur Penelitian.
Pasien DBD di instalasi rawat inap RSUD
Pringsewu tahun 2018 sesuai dengan kriteria
inklusi dan eklusi
Pemeriksaan pasien untuk menentukan
derajat penyakit
Pengelompokan pasien DBD dengan
derajat klinis I dan II
Pengambilan sampel darah
menggunakan reagen PT dan APTT
dan lihat hasil laboratorium
Page 47
31
3.8 Pengumpulan data
Pengumpulan data menggunakan data sekunder. Data diperoleh dengan
mengumpulkan semua rekam medik pasien demam berdarah dengue dengan
derajat klinis I dan II di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu.
3.9 Pengolahan dan Analisis Data
Semua data yang telah didapatkan dalam penelitian ini, kemudian
dikumpulkan dan dilakukan pemaparan pada setiap variabel yang diperoleh.
setelah itu disusun serta dikelompokan.Hasil penelitian disajikan serta
dijabarkan dalam bentuk tabel dan grafik. Analisa yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
3.9.1 Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan suatu distribusi frekuensi
setiap variabel penelitian.Variabel yang dianalisis adalah Perbedaan PT
dan APTT pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan II di
Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu.
3.9.2 Analisis Bivariat
Analisis ini digunakan dalam menganalisis perbedaan PT dan APTT
pada pasien Demam Berdarah Dengue dengan derajat klinis I dan II di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Analisa
yang digunakan adalah analisis menggunakan uji t, dependen dengan
berdasarkan nila signifikan interpretasi :
a) Bila Probabilitas>0.05, maka H0 diterima
b) Bila Probabilitas≤0.05, maka H0 ditolak
Page 48
32
3.10 Aspek Etik Penelitian
Standar etik dalam penelitian kesehatan melibatkan subyek manusia dengan
mendapatkan informasi data subjek dari data sekunder berupa data rekam
medik. Standar ini diperkuat dalam Deklarasi Helsinki 1964,yang beberapa
kali diperbaharui, dan terakhir pada tahun 2008 di seoul. Standar
internasional mensyaratkan adanya kajian ilmiah dan etik terhadap
penelitian biomedik dan perilaku dalam melibatkan manusia sebagai subjek
penelitian untuk menjaga tegaknya etika serta terpeliharanya rasa hormat
dan perlindungan terhadap subyek penelitian (World Medical Association
Declaration of Helsinki,2013).
Page 49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Penelitian
Penelitian ini Berjudul “Perbedaan Nilai Rerata APTT dan PT pada pasien
demam berdarah derajat klinis I dan demam berdarah derajat klinis II di
Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu” yang telah dilakukan pada juli
sampai november 2018 terhadap pasien yang menjalani perawatan dan
terdiagnosis demam berdarah derajat klinis I dan demam berdarah derajat
klinis II di RSUD Pringsewu. Sampel penelitian ini adalah 42 sampel yang
terdiri dari 21 sampel demam berdarah derajat klinis I dan 21 sampel demam
berdarah derajat klinis II yang masuk ke dalam kriteria inklusi. Penelitian ini
menggunakan data sekunder yakni dengan menggunakan rekam medis pasien
periode juli 2018 sampai november 2018 yang didapatkan di bagian rekam
medis RSUD Pringsewu. Data yang telah diperoleh tersebut kemudian
dianalisis menggunakan analisis univariat, analisi bivariat .
Page 50
34
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Karakteristik Responden
Tabel 3. Karakteristik Responden
Karakteristik Responden N %
Usia (tahun)
<20 13 31.0
21-30 3 7.1
31-40 4 9.5
>40 22 52.4
Jumlah 42 100.0
Berdasarkan tabel 3. didapatkan bahwa karakteristik responden usia
maximal >40 tahun sebanyak 22 orang (52.4 %), dan usia minimal 21-
30 tahun sebesar 3 orang (7.1%).
4.2.2 Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan suatu distribusi frekuensi
setiap variabel penelitian.Variabel yang dianalisis adalah mengetahui
rata-rata PT dan APTT pasien demam berdarah dengue derajat klinis I
dan II di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung.
Nilai Rerata APTT pada pasien Demam Berdarah Dengue
Tabel 4. Nilai rerata APTT pasien demam berdarah dengue derajat
klinis I dan II di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu
Lampung
Variabel APTT Minimal
(detik)
Maksimal
(detik) Rerata
DBD derajat klinis I 20 41 31,87
DBD derajat klinis II 25 50 33,83
Page 51
35
Berdasarkan Tabel 4 diatas diketahui bahwa nilai rerata APTT pasien
demam berdarah dengue derajat klinis I sebesar 31.87 dan demam
berdarah dengue derajat II sebesar 33.83
Nilai Rerata PT pada pasien Demam Berdarah Dengue
Tabel 5. Rata-rata PT pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan II di
Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung
Variabel PT Minimal
(detik)
Maksimal
(detik) Rerata
DBD derajat klinis I 9.2 17.3 11,21
DBD derajat klinis II 8.7 18.1 12,02
Berdasarkan Tabel 5 diatas diketahui bahwa rata-rata PT pasien demam
berdarah dengue derajat klinis I di Rumah Sakit Umum Daerah
Pringsewu Lampung adalah 11.21, PT pasien demam berdarah dengue
derajat klinis I paling besar adalah 17.3 dan yang paling rendah adalah
9.2, rata-rata PT pasien demam berdarah dengue derajat klinis II di
Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung adalah 12,02 PT
pasien demam berdarah dengue derajat klinis II paling besar adalah
18,1 dan yang paling rendah adalah 8,7.
4.3 Analisis Bivariat
1. Perbedaan Nilai APTT Pada Pasien Demam Berdarah Dengue
Derajat Klinis I Dan Derajat Klinis II
Tabel 6. Perbedaan Nilai APTT Pada pasien demam berdarah dengue derajat
klinis I dan II di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung
Rerata Demam Berdarah Dengue P
Derajat Klinis I Derajat Klinis II
APTT
(detik)
31.87 33.83 0,161
Page 52
36
Berdasarkan tabel 6 diatas diperoleh rata-rata APTT pasien demam
berdarah dengue derajat klinis I di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu
Lampung adalah 31.87 dan derajat klinis II adalah 33.83. Hasil uji
levene terlihat nilai P adalah sebesar = 0,018 berarti bahwa varian kedua
kelompok adalah tidak sama, karena nilai Pv < alpha. Jadi, uji t yang
dipakai adalah pada varian yang tidak sama (equal variances not
assumed). Hasil penelitian diatas didapat nilai P=0,0161, yang berarti
bahwa pada alpha 5% (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan nilai APTT pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I
dan II di RSUD Pringsewu Lampung. Selengkapnya dapat pula dilihat
pada diagram dibawah ini:
Gambar 4. Grafik APTT pasien demam berdarah dengue derajat Klinis I
Page 53
37
Gambar 5. Grafik APTT pasien demam berdarah dengue derajat Klinis I
2. Perbedaan Nilai PT Pada Pasien Demam Berdarah Dengue Derajat
Klinis I Dan Derajat Klinis II
Tabel 7. Perbedaan Nilai PT Pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I
dan II di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu Lampung
Rerata Demam Berdarah Dengue P
Derajat Klinis I Derajat Klinis II
PT
(detik)
11.21 12.02 0,391
Berdasarkan tabel 7 diatas diperoleh rata-rata PT pasien demam berdarah
dengue derajat klinis I di Rumah Sakit Umum Daerah Pringsewu
Lampung adalah 11.17 dan derajat klinis II adalah 12.02. Hasil uji
levene terlihat nilai Pvalue untuk F lavene adalah sebesar=0,911 berarti
bahwa varian kedua kelompok adalah sama, karena nilai Pv>alpha. Jadi,
uji t yang dipakai adalah pada varian yang tidak sama (equal variances
assumed). Hasil penelitian diatas didapat nilai Pv=0,391, yang berarti
bahwa pada alpha 5% (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan nilai PT pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I
Page 54
38
dan II di RSUD Pringsewu Lampung. Selengkapnya dapat pula dilihat
pada diagram dibawah ini:
Gambar 6. Grafik PT pasien demam berdarah dengue derajat klinis I
Gambar 7. Grafik PT pasien demam berdarah dengue derajat klinis II
4.4 Pembahasan
4.4.1 Karesteristik Responden
Infeksi dengue merupakan suatu penyakit sistemik yang mempunyai
spektrum klinis yang luas. Beberapa faktor resiko terjadinya infeksi
dengue diantaranya adalah usia, jenis kelamin, genetika, strain virus
dan faktor lingkungan (Artawan et al, 2016). Pada awal terjadinya
Page 55
39
wabah di suatu negara distribusi usia memperlihatkan jumlah penderita
terbanyak dari golongan anak berusia kurang dari 15 tahun. Namun
pada wabah-wabah selanjutnya, jumlah penderita yang digolongkan
usia dewasa muda dan dewasa meningkat (suseno & Nasronuddin,
2015). Pada penelitian ini didapatkan bahwa karakteristik responden
pasien demam berdarah dengue > 40 tahun.
4.4.2 Analisis Univariat
1. Distribusi Frekuensi Nilai Rerata APTT pada demam berdarah
derajat klinis I dan II
Pada penelitian ini didapatkan hasil nilai rerata APTT pada pasien
demam berdarah dengue derajat klinis I adalah 31.87 dan demam
berdarah dengue derajat klinis II sebesar 33,83 sedangkan hasil
rerata nilai PT pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I
dan derajat klinis II sebesar 10,78.
2. Nilai Rerata PT pasien demam berdarah derajat klinis I dan
derajat klinis II
Pada penelitian ini didaptkan hasil bahwa rerata PT pasien demam
berdarah derajat klinis I adalah 11.21 dan demam berdarah dengue
derajat II adalah 12.02 dan sehingga dapat disimpulkan nilai rerata
PT pada pasien demam berdarah derajat klinis I lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai PT pada pasien demam berdarah derajat
klinis II.
Page 56
40
4.4.3 Analisis Bivariat
1. Perbedaan nilai rerata APTT dan PT pada pasien demam
berdarah derajat klinis I dan derajat klinis II
Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa rerata APTT pasien
demam berdarah derajat klinis I adalah 31.87 dan derajat klinis II
sebesar 33.83 Hasil uji levene terlihat nilai Pvalue untuk F lavene
adalah sebesar=0,890 berarti bahwa varian kedua kelompok adalah k
sama, karena nilai Pv>alpha. Jadi, uji t yang dipakai adalah pada
varian yang sama (equal variances assumed). Hasil penelitian diatas
didapat nilai Pv=0,269, yang berarti bahwa pada alpha 5% (0,05)
maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan nilai APTT
pada pasien demam berdarah dengue derajat klinis I dan II di RSUD
Pringsewu Lampung. Selengkapnya dapat pula dilihat pada diagram
dibawah ini:
Rerata PT pada pasien demam berdarah derajat klinis I dan II 10,78,
sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai rerata APTT lebih tinggi
dibandingkan rerata PT pada pasien demam berdarah derajat klinis I
dan II. .
Secara umum, kelainan yang terjadi pada penyakit DBD akibat adanya
kebocoran plasma yang disebabkan oleh Virus dengue. Hal ini
disebabkan oleh Virus dengue yang dapat menyebabkan kerusakan
pada kapiler sehingga dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan penurunan volume plasma. Akibatnya,
plasma akan keluar ke ekstravaskular (ruang interstisial dan rongga
Page 57
41
serosa). Sedangkan pada intravaskular akan terjadi peningkatan
konsentrasi plasma (hematrokrit/HT meningkat, trombosit menurun,
dan leukosit menurun). Selain itu, akibat virus dengue menginfeksi
endotel dan menyebabkan gangguan fungsi dari endotel maka
pembuluh darah tidak berfungsi dengan baik dan mengakibatkan
kebocoran darah. Apabila kebocoran ini terjadi pada pembuluh darah
kulit akan tampak bercak-cak kemerahan pada kulit yang disebut
petekiae. Sedangkan bila terjadi kebocoran pada saluran pencernaan
akan menyebabkan perdarahan yang terus menerus (Syumarta, et al.,
2014)
Virus dengue masuk kedalam tubuh inang kemudian mencapai sel
target yaitu makrofag. Sebelum mencapai sel target maka respon imun
non-spesifik dan spesifik tubuh akan berusaha menghalanginya.
Aktivitas komplemen pada infeksi virus dengue diketahui meningkat
seperti C3a dan C5a mediator-mediator ini menyebabkan terjadinya
kenaikan permeabilitas kapiler celah endotel melebar lagi. Akibat
kejadian ini maka terjadi ekstravasasi cairan dari intravaskuler ke
extravaskuler dan menyebabkan terjadinya tanda kebocoran plasma
seperti hemokonsentrasi, hipoproteinemia, efusi pleura, asites,
penebalan dinding vesica fellea dan syok hipovolemik. Kenaikan
permeabilitas kapiler ini berimbas pada terjadinya hemokonsentrasi,
tekanan nadi menurun dan tanda syok lainnya merupakan salah satu
patofisiologi yang terjadi pada DBD (Lam, et al., 2017)
Page 58
42
Patofisiologi utama dari DBD adalah manifestasi perdarahan dan
kegagalan sirkulasi. Perdarahan biasanya disebabkan oleh
trombositopaty dan trombositopenia, karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan trombosit. Peningkatan hematokrit dan hemoglobin
menunjukkan derajat hemokonsentrasi, sehingga penting dalam
menilai perembesan plasma. Adanya nilai yang pasti dari pemeriksaan
trombosit, hematokrit dan hemoglobin untuk setiap derajat klinik
DBD diharapkan sangat membantu petugas medis agar lebih mudah
untuk membuat diagnosis dan menentukan prognosis dari DBD
(Karyanti, et al., 2009).
Pada hari pertama sakit, penderita panas mendadak secara terus-
menerus dan badan terasa lemah atau lesu. Pada hari kedua atau ketiga
akan timbul bintik- bintik perdarahan, lembam atau ruam pada kulit di
muka, dada, lengan atau kaki dan nyeri ulu hati serta kadang-kadang
mimisan, berak darah atau muntah. Antara hari ketiga sampai ketujuh,
panas turun secara tiba-tiba. Kemungkinan yang selanjutnya adalah
penderita sembuh atau keadaan memburuk yang ditandai dengan
gelisah, ujung tangan dan kaki dingin dan banyak mengeluarkan
keringat. Bila keadaan berlanjut, akan terjadi renjatan (lemah lunglai,
denyut nadi lemah atau tidak teraba) kadang kesadarannya menurun.
Prothrombin time (PT) adalah uji lama waktu pembekuan darah di
jalur ekstrinsik dan jalur bersama (common pathway). Uji ini
dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan perdarahan dan untuk
menilai pengobatan yang dilakukan untuk mencegah perdarahan.
Page 59
43
Activated prothrombin thromboplastin time (APTT) adalah uji lama
waktu pembekuan darah di alur dasar (intrinsic pathway) dan jalur
bersama (common pathway).
PT abnormal menunjukkan koagulosi yang abnormal. Terlihat lebih
banyak dalam kasus dengue yang muncul dengan kegagalan fungsi
hati, DIC, syok dan hepatic encephalopathy. Dalam kasus demam
hemorragic fever karena kerusakan sel hati yang meningkat telah
menyebabkan penurunan produksi faktor pembekuan sehingga
mengakibatkan PT memanjang. APTT juga merupakan penanda
penting dari profil koagulasi (Bandyopadhay, et al., 2016).
2. Perbedaan Nilai APTT Dan PT Pada Pasien Demam Berdarah
Dengue Derajat Klinis I Dan Derajat Klinis II
Hasil penelitian diatas didapat nilai Pv=0,0161, yang berarti bahwa
pada alpha 5% (0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
perbedaan nilai APTT dan PT pada pasien demam berdarah dengue
derajat klinis I dan II di RSUD Pringsewu Lampung.
Demam berdarah (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) adalah 2
manifestasi klinis ternyata berbeda infeksi virus dengue, dan masing-
masing mungkin disebabkan oleh salah satu dari 4 serotipe virus
dengue yang terkait antigen. DF adalah klasik yang, penyakit
nonspesifik membatasi diri ditandai dengan demam, sakit kepala,
mialgia, dan gejala konstitusional (Wills, et al., 2002).
Page 60
44
Penelitian Bhancet menunjukkan bahwa gangguan koagulasi berperan
menyebabakan perdarahan pada DBD. Tatty (2004) melaporkan
bahwa APTT > 60 detik pada semua kasus dan PT memanjang pada
22% kasus. PT > 20 detik mempunyai risiko terjadinya perdarahan
saluran cerna 0,9 kali dan PTT > 60 detik 1,25 kali. PTT memanjang
54,6% dan PT memanjang pada 33,3%. Rejeki dan Hadinegoro (1998)
melaporkan bahwa kelainan faktor koagulasi pada fase aktif (hari ke-3
sakit dan hari ke-7 sakit), 50% kasus menunjukkan pemanjangan PTT
dan PT sebanyak 30%. Penelitian terhadap 119 anak dengan SSD di
Vietnam menunjukkan bahwa PT dan APTT pada hari ke-2 hanya
sedikit memanjang dibandingkan dengan hari ke-1, tetapi secara
bermakna lebih memanjang daripada hari ke-30 dan kadarnya masih
dalam batas normal (Wills, et al., 2002).
Kadar fibrinogen dan trombosit mempunyai peranan besar. Keduanya
diperlukan dalam proses hemostasis primer dan sekunder. Pada infeksi
virus dengue terjadi jejas dan disfungsi endotel sehingga terjadi
aktivasi dan agregasi trombosit, dan fibrinogen menjadi jembatan
sehingga trombosit dapat menempel pada subendotel (Setiati, et al.,
2005)
Penurunan fibrinogen sejak awal fase demam, berkorelasi positif
dengan berat penyakit dan mencapai kadar normal pada fase
konvalesens. Pada fase konvalesens terjadi perbaikan pada fungsi
system imun dan kembali normalnya sistem komplemen. Hal tersebut
Page 61
45
menyebabkan penurunan mediator proinflamasi dan pulihnya jejas
endotel yang akan diikuti oleh normalnya sistem koagulasi dan fungsi
pembuluh darah. Kembali normalnya waktu PT, APTT dan kadar
fibrinogen pada fase konvalesen mencerminkan kembali normalnya
system koagulasi (Setiati, et al., 2005).
Selanjutnya fibrinogen dan trombosit dipakai untuk proses koagulasi
pada hemostasis sekunder. Pada DBD terjadi gangguan fungsi hati
yang akan menghambat pembentukan fibrinogen. Fibrinogen selalu
rendah sejak awal pada DBD dan berhubungan dengan beratnya
gejala.
Penelitian pujiati (Pujiati, 2009) tentang Kinetika Gangguan
Koagulasi pada Penderita Demam Berdarah Dengue di bangsal
penyakit anak atau di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RS Dr.
Kariadi, Semarang. Hasil penelitian menyimpulkan Gangguan
koagulasi pada penderita DBD yang berupa: manifestasi perdarahan,
PT, APTT, dan kadar fibrinogen serum antara penderita SSD dan Non
SSD memiliki kinetika yang berbeda. Perbedaan kinetika gangguan
koagulasi dijumpai pada hari perawatan ke- 0 dan hari ke-1,
sedangkan pada hari ke-2 mulai membaik dan menjadi normal pada
hari ke-7.
Dapat disimpulkan bahwa Defek sistem pembekuan darah pada
penderita DBD dapat terlihat pada pemanjangan prothrombin time (
PT ), activated partial thromboplastin time ( APTT ), dan thrombin
Page 62
46
time ( TT ). Selain itu terjadi penurunan aktivitas faktor pembekuan
darah seperti fibrinogen yang derajat penurunannya berkorelasi
dengan beratnya penyakit. Pada DBD terjadi aktivasi sistem
fibrinolisis sehingga didapatkan D-dimer positif. Makin tinggi D-
dimer, makin berat disseminated intravascular coagulation ( DIC )
yang terjadi pada penelitian ini diketahui bahwa pada kelompok SSD
dijumpai adanya pemanjangan waktu PT dan APTT serta penurunan
kadar fibrinogen pada fase akut infeksi dengue (hari perawatan ke-0, 1
dan 2) yang lebih besar dibanding kelompok DBD tanpa syok. Waktu
PT dan APTT serta kadar fibrinogen kelompok SSD akan menurun
hingga kurang lebih sama dengan kelompok DBD tanpa syok pada
saat konvalesens (hari ke-7perawatan), dimana pada saat tersebut
nilainya sudah mencapai rentang nilai normal. Hasil yang sama juga
dilaporkan oleh Wilis (2002), dimana terjadi pemanjangan waktu
APTT dan PT serta penurunan kadar fibrinogen pada anak dengan
SSD pada hari ke-1 dan2, serta kembali menjadi normal setelah 1
bulan perawatan di rumah sakit. Akan tetapi,pada penelitian ini nilai
APTT, PT dan fibrinogen sudah kembali mencapai rentang
nilainormal pada hari ke-7 perawatan. Krishnamurti (2001)juga
melaporkan adanya pemanjangan waktu APTT dan TT serta
penurunan kadar fibrinogen yang bermakna pada penderita SSD pada
fase akut dibanding fase pemulihan, dimana pada fase pemulihan
nilainya sudah mencapai normal. Lum (2002) menyatakan bahwa
pemanjangan waktu APTT dan PT merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya terjadinya SSD.
Page 63
47
Pemanjangan APTT dan PT secara tidak langsung menunjukkan
adanya proses koagulasi intrinsik dan ekstrinsik. APTT lebih
memanjang daripada PT. Pada SSD APTT lebih memanjang dari pada
non SSD. APTT lebih mempunyai peranan dalam memprediksi syok
daripada PT. Beberapa penelitian mengenai PT dan APTT pada
DBD/SSD menunjukkan hasil berbeda dan tidak dapat disimpulkan.
APTT merupakan gambaran dari defisiensi semua faktor koagulasi,
kecuali faktor VII dan XIII. Faktor VIII dan IX 20% dapat dideteksi
secara sensitif oleh tes APTT. Funuhara et al. (1983) menunjukkan
rata-rata faktor VIII rendah yaitu 9,6%. Hasil penelitian ini sejalan
dengan laporan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa TF
merupakan jalur utama aktivasi kaskade koagulasi pada DBD seperti
halnya pada sepsis. Setelah terjadi pembentukan faktor Xa akan terjadi
penghambatan aktivitas TF dan pembentukan trombin, selanjutnya
akan tergantung pada faktor intrinsik melalui mekanisme umpan balik
positif trombin yang akan mengaktifkan faktor V, VIII dan XI. Selain
itu, kompleks faktor VIIa dan TF akan bereaksi dengan sitokin akan
mengaktifkan faktor IX (Lum et al., 1993). Penurunan kadar
fibrinogen pada SSD diperkirakan sebagai akibat aktifitas fibrinolisis.
Proses fibrinolisis dapat terjadi secara primer. Peningkatan TNF pada
DBD akan memacu terjadi fibrinolisis yang akan diikuti oleh proses
koagulasi, dimana proses koagulasi akan memicu proses fibrinolisis
sekunder (Setiati, et al., 2005).
Page 64
48
Koagulopati pada DBD sudah banyak diteliti sejak dahulu.
Abnormalitas tes koagulasi dapat terlihat dalam bentuk
memanjangnya masa protrombin (Protrombin Time =PT) pada 60%
penderita, dan masa tromboplastin parsial (Activated Partial
Tromboplastin Time = APTT) memanjang pada 30% penderita (Green
et al., 1997). Pemeriksaan faktor II, V, VII, VIII, IX, X, dan XII
menunjukkan penurunan ringan dan sedang. Menurunnya fibrinogen
disertai peningkatan Fibrin Degradation Product (FDP =D-Dimer)
didapatkan pada semua derajat DBD.
Menurunnya kadar faktor koagulasi dalam plasma pada DBD
disebabkan karena peningkatan pemakaiannya, akibat jejas endotel
atau penurunan sintesis faktor koagulasi. Peningkatan pemakaian
faktor koagulasi terjadi pada PIM, sedangkan penurunan sintesis
terjadi karena disfungsi hepar sebagai organ yang berfungsi untuk
sintesis faktor koagulasi (Wills, et al., 2002). Penelitian Bhancet
menunjukkan bahwa gangguan koagulasi berperan menyebabakan
perdarahan pada DBD. Tatty (2004) melaporkan bahwa APTT > 60
detik pada semua kasus dan PT memanjang pada 22% kasus. PT > 20
detik mempunyai risiko terjadinya perdarahan saluran cerna 0,9 kali
dan PTT > 60 detik 1,25 kali. PTT memanjang 54,6% dan PT
memanjang pada 33,3%. Rejeki dan Hadinegoro (1998) melaporkan
bahwa kelainan faktor koagulasi pada fase aktif (hari ke-3 sakit dan
hari ke-7 sakit), 50% kasus menunjukkan pemanjangan PTT dan PT
Page 65
49
sebanyak 30%. Penelitian terhadap 119 anak dengan SSD di Vietnam
menunjukkan bahwa PT dan APTT pada hari ke-2 hanya sedikit
memanjang dibandingkan dengan hari ke-1, tetapi secara bermakna
lebih memanjang daripada hari ke-30 dan kadarnya masih dalam batas
normal (Wills, et al., 2002).
Page 66
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan tentang perbedaan nilai APTT dan
PT pada pasien Demam Berdarah Dengue derajat klinis I dan derajat klinis II
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tidak terdapat perbedaan nilai APTT pada pasien demam berdarah dengue
derajat klinis I dan II di RSUD Pringsewu Lampung.
2. Tidak terdapat perbedaan nilai PT pada pasien demam berdarah dengue
derajat klinis I dan II di RSUD Pringsewu Lampung.
5.2 Saran
1. Bagi RSUD Pringsewu lampung
Membantu petugas kesehatan dalam mengetahui peredaan nilai APTT dan
PPT pada pasien demam berdarah dengue dengan derajat klinis I dan
derajat klinis II.
2. Bagi peneliti selanjutnya
a. Sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan penelitian dengan
metode yang berbeda seperti konsensus.
b. Dapat menggunakan variabel kualitatif sehingga menyempurnakan
hasil penelitian yang telah dilakukan.
Page 67
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi,U. F.Sudjana ,P., Sukowati S., Wahyono T. M. Haryanto, B., Mulyono,
S., et al. (2010). Demam Berdarah Dengue. Jakarta, Indonesia:
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/bu
letin-dbd.
Annisa D. R., Hapsari, M, & Farhanah, N. 2015. Perbedaan profil klinis penyakit
demam berdarah dengue pada anak dan dewasa. Media Medika Muda , 4
(4).
Bandyopadhay, D, Chattaraj, S., Hajra, A., Mukhopadyay, S., & Ganesan, V.
(2016). A Study on Spectrum of Hepatobiliary Dysfunctions and Pattern
of Liver Involvement in Dengue Infection. Journal of Clinical and
Diagnostic Research , 10 (5), OC21-OC26.
Candra, A. 2010. Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan , 2 (2), 110-119.
Dalugama, C., & Gawarammana, I. B. 2017. Dengue hemorrhagic fever
complicated with acute liver failure: a case report. University of
Paradeniya, Department of medicine. Paradeniya: Biomed central.
Dharma, R., Hadinegoro, S. R., & Priatni, I. 2006. Disfungsi endotel pada demam
berdarah dengue. Makara Kesehatan , 10 (1), 17-23.
Durachim, A., & Astuti, D. 2018. Bahan ajar teknologi laboratorium medik.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Hartoyo, E. 2008. Spektrum Klinis Demam Berdarah Dengue pada Anak. Sari
Pediatri , 10 (3), 145- 150.
Kamal, A., Tefferi, A., & Pruth, R. K. 2007. How to Interpret and Pursue an
Abnormal Prothrombin Time, Activated Partial Thromboplastin Time,
and Bleeding Time in Adults. Mayo Clinic Proceedings , 82 (7), 865-866.
Karyanti, M. R., & Hadinegoro, S. R. 2009. Perubahan Epidemiologi Demam
Berdarah Dengue Di Indonesia. Sari Pediatri , 10 (6), 424-432.
Page 68
52
Lam, P. K., Ngoc, T. V., Thuy, T. T., & Van, N. T. 2017. The value of daily
platelet counts for predicting dengue shock syndrome: Results from a
prospective observational study of 2301 Vietnamese children with
dengue. PLoS Neglected Tropical Diseases , 11 (4).
Martina, B. E., Koraka, P., & Osterhaus, A. D. 2009. Dengue Virus Pathogenesis.
Clinical Microbiology review , 22 (4), 572.
Notoatmodjo, S. 2014. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka cipta.
Pujiati. 2009. Kinetika gangguan koagulasi pada penderita Demam Berdarah
Dengue. 1 (2), 121- 131.
Rizal. 2011. Kebocoran plasma pada Demam Berdarah Dengue. Kalbemed , 38
(2), 93.
Satari, H. I., & Karyanti, M. R. 2012. Pitfalls pada diagnosis dan tata laksana
infeksi dengue (Vol. 63). Jakarta: Update Management of Infectious
Disease and Gastrointestinal Disorder.
Setiati, T. E., Retnaningsih, A., Supriatna, M., & Soemantri, A. 2005. Skor
kebocoran vaskuler sebagai prediktor awal syok. 21.
Suliarni. 2003. Aktivitas faktor VII pada Sepsis. Patologi Klinik - Universitas
Sumatera Utara , 1-41.
Suwarto, S., Diahtantri, R. A., & Hudiya, E. 2018. Hubungan antara Konsentrasi
D-Dimer dengan Parameter Laboratorium Kebocoran Plasma pada Infeksi
Dengue. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia , 5 (3), 110-115.
Syumarta, Y., Hanif, M. A., & Rustam, E.2014. Hubungan jumlah trombosit,
hematokrit dan hemoglobin dengan derajat klinik demam berdarah dengue
pada pasien dewasa di RSUP. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas , 3 (3).
Widyanti, N. N. 2016. Hubungan jumlah hematokrit dan trombosit dengan tingkat
keparahan pasien demam berdarah dengue di Rumah Sakit Sanglah tahun
2013-2014. E-Jurnal Medika , 5 (8), 1-7.
Wills, B. A., Oragui, E. E., Stephen, A. C., & Daramola, O. A. 2002. Coagulation
abnormalities in dengue hemorrhagic Fever :Serial investigations in 167
vietnams children with dengue shock syndrome. Major Article , 35 (3),
277-85.
World Health Organization. 2016. 2016 Dengue. Dengue Bulletin , 39 (12), 44.
Zein, U. 2014. Pedoman Penatalaksanaan “One Day Care” Penderita Demam
Berdarah Dengue Dewasa. Universitas sumatera utara, Fakultas
Kedokteran, Medan.