Top Banner
PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP, RUU KUHP, DAN HUKUM PIDANA ISLAM Tugas Mata Kuliah JINAYAT Dosen Pengampu : Mahrus Ali, S.H., M.H. Disusun Oleh: KELOMPOK 1 FATHIR HEKSMAYAR (07410330) DIMAS ARTIKA RAKHMAN (09410254) ADHIKA YOGISWARA (09410536) SUTRISNO SAPUTRA (09410360) ROMAN ZULKARNAIN (08410129) FAKULTAS HUKUM
32

PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Jan 18, 2023

Download

Documents

Trias Setiawati
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP, RUUKUHP, DAN HUKUM PIDANA ISLAM

Tugas Mata KuliahJINAYAT

Dosen Pengampu : Mahrus Ali, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1

FATHIR HEKSMAYAR (07410330)DIMAS ARTIKA RAKHMAN (09410254)

ADHIKA YOGISWARA (09410536)SUTRISNO SAPUTRA (09410360)ROMAN ZULKARNAIN (08410129)

FAKULTAS HUKUM

Page 2: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIAYOGYAKARTA

2013

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI......................................i

I. PENDAHULUAN.....................................1

Sejarah Munculnya Asas Legalitas................1

II. PEMBAHASAN......................................4

A. Tinjauan Umum Asas Legalitas.................4

B. Asas Legalitas Menurut KUHP..................8

C. Asas Legalitas Menurut RUU KUHP .............9

D. Asas Legalitas Menurut Hukum Pidana Islam

.............................................

13

III. PENUTUP

................................................

16

A. Kesimpulan

.............................................

16

i

Page 3: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

B. Saran

.............................................

16

IV. DAFTAR PUSTAKA

................................................

17

V. LAMPIRAN

................................................

18

i

Page 4: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

I. PENDAHULUAN

Sejarah Munculnya Asas Legalitas

Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah

criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan

yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum

Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat,

istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini

kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk

bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan

yang dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam

undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris

pada 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap

praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini

adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan

memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya

penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya

telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci

agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya

penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000

tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani

Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya

juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan

terhadap hak-hak asasi manusia.1

1 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, PositionPaper Advokasi RUU KUHP Seri #1, ELSAM (Lembaga Studi Dan Advokasi

1

Page 5: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana

modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan

yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari

perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang

Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski

tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera

kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah

perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya,

hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen

penting perlindungan kemerdekaan individu saat

berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang

disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi

otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan

terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya

dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni

dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan

raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal

dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris,

yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari

penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan

dikeluarkannya seseorang dari perlindungan

hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang

sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di

Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap

diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna

Masyarakat), hlm. 5

2

Page 6: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan

kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas

hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum

tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum

(rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di

Inggris adalah John Locke (1760).2

Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian

berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk

perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV,

dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan

raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis

dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad

Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean

Jacques Rousseau (1712-1778). Montesquieu lewat bukunya

L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contrat

Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan

pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan

terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja

Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut

perkembangan asas legalitas di Perancis juga

dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat

George Washington, yang membawa pemikiran asas

legalitas dari Amerika ke Perancis. Di Amerika,

ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam

2 Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 68-69.

3

Page 7: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada

seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain

dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam,

peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas

kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam

Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789).

Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal

Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte

(1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada

sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan

dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.”3 Beccaria,

dalam “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764)

juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari

perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat

suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus

mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi

petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana. 4

Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang

sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla

poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada

pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini

terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts

3 Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 24.

4 Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.

4

Page 8: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

(1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach

mengandung tiga pengertian:5

1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum

diatur dalam undang-undang.

2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak

boleh digunakan analogi.

3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut

(non retroaktif).

Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh

konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan

dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of

attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh

Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen

1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-

negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental

kepastian hukum dijunjung tinggi.

II. PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Asas Legalitas

Hans Kelsen Mengatakan makna dari sebuah Keadilah

adalah legalitas6, dimana suatu peraturan umum adalah

adil apabila diterapkan sesuai dengan aturan tertulis

yang mengaturnya, dan sama penerapannya pada semua

5 Moeljatno, op.cit, hal. 25.6 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, 2011, Nusa

Media, Bandung, hlm. 17

5

Page 9: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

kasus serupa. Asas legalitas dibangun dengan dengan

tujuan meligitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah

agar tercipta Negara Hukum di mana pengertiannya adalah

negara berdasarkan hukum; hukum menjamin keadilan dan

perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah

negara yang bersangkutan. Segala kegiatan negara

berdasarkan hukum7 atau dalam konteks Negara Hukum

Indonesia yaitu Negara Berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar yang menjunjung tinggi hak asasi

manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahahan dan

wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan

tidak ada kecuali8

Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara

untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan

lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang

dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi

diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi, yaitu

norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya,

berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus) di

samping menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting

untuk menetapkan tanggung jawab pidana. Bila suatu

tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang,

7 BN Marbun, Kamus Politik, 2007, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 332

8 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum, 2007, WIPRESS, Jakarta, hlm.312

6

Page 10: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan

tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut

ke muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait

tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada

ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa

tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah

yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteitbeginsel

atau Principle of Legality.9

Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai

nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya:

tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh

ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun

menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-

muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum

Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh juris dari

Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti

dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus

dipandang sebagai ajaran klasik. Dalam bukunya yang

berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach

mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa

(Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa

suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif

terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah

mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena

9 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm. 5

7

Page 11: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan

hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.10

Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa

ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus

dituliskan terlebih dahulu. maka salah satu instrumen

penting dari asas legalitas adalah hukum tertulis,

Satjipto Raharjo mengatkan bahwa hukum tertulis adalah

ciri dari hukum modern11 di mana asas legalitas ini

dikembangkan. Hukum tertulis dalam hal ini perundang-

undangan menjadi salah satu elemen penting dalam negara

hukum seperti yang dikemukakan oleh A. V. Dicey.12 Dalam

tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas

yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan

perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex

certa, dan analogi.13 Mengenai keempat aspek ini, menurut

Roelof H Haveman, though it might be said that not every aspect is

that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more

true meaning to principle of legality.14

Lex Scripta

10 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, Op. Cit. hlm. 2511 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2000, Citra Aditya Bakti,

Bandung, hlm.7212 Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar

Demokrasi, 2011, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 13013 Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern

Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm 50. Yang dukitip kembali pada Fajrimei A. Gofar, Op. Cit, hlm.6

14 Ibid.

8

Page 12: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah

penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan

kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-

undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku

(perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pdana. Tanpa

undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang

dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan

sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa

kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum

seseorang. Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar

penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak

mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting

dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam

tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang

tersebut.

Lex Certa

Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis,

pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan

secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut

dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah

yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot.

Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas

tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga

tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang

dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak

9

Page 13: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan

ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya

penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat

membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu

tidak berguna sebagai pedoman perilaku.11 Namun

demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat

undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak

jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih

lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat

apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan.

Non-retroaktif

Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan

peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak

pidana tidak dapat diberlakukan secara surut

(retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu

kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi

manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar

undangundang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam

prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat

penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom

Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur,

dan kasus Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus tersebut,

asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas

retroaktif. Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas

retroaktif ini dikarenakan karakteristik kejahatan-

10

Page 14: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda

dengan jenis kejahatan biasa. Sejalan dengan itu,

menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum

nonretroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana

biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan

pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-

retroaktif tidak bisa dipergunakan.15

Analogi

Seperti disebutkan di muka, asas legalitas

membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja

yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam

penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk

dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan

perbuatan yang dilarang tersebut.14 Dalam ilmu hukum

pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran,

yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal,

penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran

historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,

penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran

memperluas, dan penafsiran analogi.

B. Asas Legalitas Menurut KUHP16

15 Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”. Yang dikutip kebali pada Yang dukitip kembalipada Ibid., hlm.7

16 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.11

11

Page 15: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini

diatur dengan jelas dalam KUHP yang berlaku sekarang

(Wetboek van Straftrecht)). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang

menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas

kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,

sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini,

secara rinci, berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu

tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam

peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-

undangan harus ada sebelum terjadinya tindak pidana

(tidak berlaku surut).17

Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan

dapat dinyatakan sebagai tindak pidana apabila terlebih

dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa

perbuatan itu sebagai tindak pidana. Oleh karenanya,

asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara

surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang

menjadi landasan penegakan hukum pidana di Indonesia,

terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.

Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat

(1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di

depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.

Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas

17 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.3

12

Page 16: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara

tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal

28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup,

… dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula dalam

Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan

melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip

negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak

asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam

perundang-undangan.”

C. Asas Legalitas Menurut RUU KUHP18

Asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara

berbeda dengan KUHP (Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu

antara lain bahwa dalam RKUHP analogi telah secara

eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan

memberi peluang berlakunya ‘hukum yang hidup dalam

masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun demikian,

makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP

tidak berbeda seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu:

asas legalitas. Dalam Pasal 1 RKUHP disebutkan bahwa:

1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan

tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah

18 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.17-20

13

Page 17: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan

perundang-undangan yang berlaku pada saat

perbuatan itu dilakukan.

2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang

menggunakan analogi.

3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam

masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut

dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur

dalam peraturan perundang-undangan.

4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang

sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau

prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh

masyarakat bangsabangsa.

Penjelasannya:

Ayat (1)

Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini

menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan

tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau

didasarkan pada undangundang. Dipergunakannya asas

tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas

pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan

perundang-undangan pidana atau yang mengandung

ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana

14

Page 18: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana

tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan

penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang

yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.

Ayat (2)

Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam

menetapkan adanya tindak pidana merupakan

konsekuensi dari penggunaan asas legalitas.

Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu

perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan

suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan

ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana

lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama,

karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog

satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan

penggunaan analogi, maka perbedaan pendapat yang

timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.

Ayat (3)

Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah

tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum

yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan

berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang

demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana,

yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana

15

Page 19: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap

mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal

tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam

Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan

dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas

bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan

perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat

tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang

hidup di dalam masyarakat tertentu.

Ayat (4)

Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau

rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil

(hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat

dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas

materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi pada

nilai nasional dan internasional.

Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan

dapat dibaca: ‘hukum pidana Indonesia berdasarkan asas

legalitas yang diperkuat dengan larangan menggunakan

penafsiran analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat

dikecualikan dengan memberlakukan ‘hukum yang hidup

dalam masyarakat’ yang menganggap suatu perbuatan

adalah perbuatan dilarang. ‘Hukum yang hidup dalam

masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan

pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan

16

Page 20: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum

umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa

Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru

dibandingkan KUHP, di antaranya adalah: (i) adanya

penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana;51

(ii) penggunaan frase “peraturan perundang-undangan”

yang berarti bukan hanya undang-undang;52 (iii)

larangan penggunaan analogi;53 dan (iv) berlakunya

“hukum yang hidup dalam masyarakat”.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat

dua hal penting mengenai berlakunya hukum pidana,

yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus dirumuskan dulu

dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan

perundang-undangan tersebut harus lebih dulu ada pada

saat terjadinya perbuatan dimaksud. Dari hal yang

pertama, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan

seseorang yang tidak tercantum dalam peraturan

perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana tidak

dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini

hukum tidak tertulis tidak dapat diterapkan. Dengan

kata lain, hanya perundang-undangan dalam formal yang

dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.

Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud

dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP tidak lain menunjuk pada

semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa

17

Page 21: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

tindak pidana akan dirumuskan secara legitimit.54

Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-

undangan di antaranya: (i) Undang-Undang Dasar 1945;

(ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv)

Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan daerah. Dengan

demikian, peraturan perundangan-undangan yang dimaksud

dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan

perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah provinsi

maupun kabupaten/kota.

Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui

undang-undang tidak lain sebagai wujud dari kewajiban

pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan

pidana secara terinci atau secermat mungkin.55

Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau terlalu

rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan

menghalangi keberhasilan upaya penuntutan karena warga

selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-

ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman

berlaku.56

Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa

peraturan seperti yang dimaksud harus ada sebelum

perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum pidana

tidak diperbolehkan berlaku surut. Asas legalitas ini

18

Page 22: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

pada prinsipnya mengandaikan bahwa setiap individu

mempunyai kebebasan. Melalui asas legalitas inilah

individu mempunyai jaminan terhadap perlakuan sewenang-

wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian

hukum.

Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini

dapat diketahui bahwa hanya perbuatan yang diatur

secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-undangan

saja yang dapat dikenakan tindak pidana atau tindakan.

Selain itu, tidak bisa, termasuk perbuatan-perbuatan

yang kiranya patut dipidana, jika undang-undang tidak

menentukan bahwa perbuatan tersebut adalah tindak

pidana, maka kepada pelakunya tidak dapat dimintakan

pertanggungjawaban.

Arti penting asas legalitas yang diatur dalam

Pasal 1 ayat (1) RKUHP diperkuat lagi pengaturan ayat

(2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud dari bunyi

Pasal 1 ayat (2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki

tidak adanya pengenaan sanksi terhadap perbuatan-

perbuatan yang dilakukan seseorang secara berlebihan.

Dengan kata lain, menghendaki bahwa perumusan delik

diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege stricta: ‘tiada

ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara

sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan’.

Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan

19

Page 23: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

larangan analogi adalah agar semua asas umum hukum

pidana dimuat dalam ketentuan umum hukum pidana Buku I

RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat

dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat

penegakkan hukum pidana. Oleh sebab itu, larangan

analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai

bentuk penguatan doktrin hukum pidana yang diterima

oleh para ahli hukum tersebut.

D. Asas Legalitas Menurut Hukum Pidana Islam19

Asas legalitas dalam perspektif hukum pidana islam

mempunyai arti sesuatu perbuatan atau sikap tidak

berbuat tidak dipandang sebagai jarimah kecuali karena

ada nash yang jelas melarang perbuatan dan sikap tidak

berbuat itu. Apabila tidak ada nash yang demikian maka

tidak ada tuntutan atau hukuman terhadap pelakunya.

Karena suatu perbuatan dan sikap tak berbuat tidak

dapat dipandang senagai jarimah hanya karena ada

larangan saja melainkan harus ada ancaman hukumannya,

maka kesimpulannya tidak ada jarimah dan tak ada

hukuman kecuali dengan suatu nash.

Asas legalitas pada hukum Islam sudah ada sejak

Al-Quran diturunkan, jauh lebih dulu dari hukum positif

19 Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 1988, Penerbit Pepustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 69-76

20

Page 24: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

yang baru mengenal akhir-akhir abad ke delapan belas,

yaitu sesudah revolusi Perancis.

Hukum islam menerapkan asas legalitas ini pada

semua macam jarimah hanya cara menerapkannya berbeda-

beda menurut macamnya jarimah. Seperti pada jarimah

hudud, jarimah qisos dan jarimah ma’siat asas legalitas

ini diterapkan dengan tegas dan jelas, yaitu setiap

macam jarimah/ma’siat disebutkan nash yang melarangnya

dan hukumannya sekali. Sumbernya bukan hanya nash Al-

Quran saja tetapi dari Hadist Nabi.

Tetapi terhadap jarimah ta’zir, asas legalitas ini

diterapkan bersifat longgar. Jarimah ta’zir ini ada dua

macam yaitu, jarimah yang sudah ditentukan oleh nash

tetapi hukumannya diserahkan kepada hakim, dan baik

jarimah dan hukumannya sekali diserahkan kepada hakim

sedang nash(Al-Quran dan Hadist) hanya menunjukan garis

besarnya saja. Pada jarimah ta’zir yang menggangu

kemaslahatan umum dalam hal ini hakim (penguasa) boleh

menciptakan aturannya dan menghukumnya sekali, tetapi

sekali-sekali tidak boleh bertentangan dengan kemauan-

kemauan nash Al-Quran maupun Hadits. Contohnya :

a) Menahan orang yang disangka mencuri.

b) Menahan orang yang diperkirakan akan membuat

fitnah.

c) Mengajar anak untuk melakukan solat dan bersuci.

21

Page 25: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

d) Manahan orang gila biar tidak bergaul dengan

masyarakat.

e) Menahan orang yang sekiranya akan membuat onar

Pada mukholafah (pelanggaran) tidak diterapkan

asas legalitas, semua diserahkan keputusannya kepada

penguasa (hakim). Pada dasarnya perbuatan mukholafah

ini tidak dapat dihukum, kecuali perbuatan tersebut

dilakukan berulang-ulang maka akan dikategorikan

sebagai ta’zir yang kemudian hukumannya diserahkan

kepada hakim sepenuhnya.

Maka dapat disimpulkan pada jarimah hudud dan

qisos-diyat, asas legalitas diterapkan dengan teliti,

baik mengenal macamnya jarimah maupun macam hukumnya

sudah ditentukan dengan pasti. Sedangkan pada jarimah

ta’zir biasa, macamnya jarimah sudah ditentukan oleh

nash sedang hukumnya diserahkan kepada hakim untuk

memilih mana yang sesuai, sedang syara hanya

menyediakan beberapa macam hukuman untuk dipilihnya.

Dan pada jarimah yang demi menjaga kemaslahatan umum,

baik penetapannya diserahkan kepada hakim, syara hanya

menyediakan beberapa macam hukuman untuk dipilih yang

sesuai. Begitu pula terhadap perbuatan mukholafah.

Ternyata apa yang diajarkan oleh hukum Islam ini lebih

luas menjangkau segala macam jarimah ta’zir dan tidak

menyulitkan bagi hakim dalam menyelesaikan tugasnya.

22

Page 26: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan

pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah SWT..

Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam

hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat yang

menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT. tidak

akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan

meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya

penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.3 Demikian

juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia

adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang

dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup di kerjakan. Dasar

hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:

Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15 yang artinya: “... dan

Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang

Rasul.”

Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59 yang artinya: “Dan

tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia

mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-

ayat Kami kepada mereka; ...”

Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang

asas legalitas yaitu QS al-Nisa: 16, QS al-‘An’am:19,

QS al-Baqarah:286, dan QS al-Anfal:38.

Semua ayat al-Qur’an ini berbicara tentang asas

legalitas. Kekuatan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz

23

Page 27: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

yang qath’i, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang

mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada

bayan yang disampaikan Allah SWT. melalui Rasul-Nya.4

Selain itu, manusia juga ditanggungi sesuai dengan

kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum rukhsah

bagi mereka yang berada di bawah kemampuannya.20

20 Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah, Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013, hlm.3

24

Page 28: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kosep Asas Legalitas dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana tertuang secara jelas, dan

melegitimasi hukum itu sendiri juga memberikan

kepastian hukum, namun dalam perkembangannya

dimana dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia

asas ini begitu sulit diterapkan mengingat KUHP

ini sendiri sejatinya hukum yang dibawa oleh

bangsa eropa yang tidak sepenuhnya sesuai dengan

kultur bangsa Indonesia meskipun kemudian banyak

poenyesuaian-penyesuaian yang dilakukan dalam

KUHP.

Dalam RUU KUHP wacana yang dibawa adalah bahwa

Hukum Pidana di Indonesia memeberikan ruang untuk

hukum tidak tertulis agar dapat diterapkan,

melalui rumusan Pasal 1 RUU KUHP ini dalam

pemidanaan dapat melihat dari hukum yang hidup

dalam masyarakat, meskipun kemudian permasalahan

yang timbul adalah bahwa kepastian hukum itu

sendiri tidak dapat terukus secara pasti.

Jauh sebelum hukum modern memunculkan ide mengenai

konsep asas legalitas, konsep ini telah lahir

dalam hukum pidana islam, yang termuat dalam kitab

suci al-Qur’an tentang bagaimana kita sebagai

manusia seharusnya menjaga hak-hak tiap manusia

25

Page 29: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

agar hak tersebut tidak dilanggar dan ada batasan

yang jelas mengenai sesuati perbuatan dapat

dikatakan sebagai perbuatan yang terlarang.

B. Saran

Bagaimanapun tujuan dari hukum, asas legalitas

merupakan bagian paling penting dalam penegakan

hukum itu sendiri demi menjamin kepastian hukum

dalam kehidupan masyarakat, alangkah baiknya

apabila peraturan umum terutama Hukum Pidana dalam

hal ini RUU KUHP memaparkan secara jelas asas

legalitas dalam penerapannya dan adanya tlak ukur

mengenai penerapannya.

26

Page 30: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

IV. DAFTAR PUSTAKA

Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

BN Marbun, Kamus Politik, 2007, Sinar Harapan, Jakarta.

Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah,

Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan

Gunung Djati, Bandung, 2013.

Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP,

Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #1, ELSAM

(Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat).

Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, 2011,

Nusa Media, Bandung.

Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar

Demokrasi, 2011, Sinar Grafika, Jakarta.

Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 1988, Penerbit

Pepustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia, Yogyakarta.

Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, Rineka Cipta,

Jakarta.

______Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, Bumi

Aksara, Jakarta.

27

Page 31: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2000, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Soesilo Prajogo, Kamus Hukum, 2007, WIPRESS, Jakarta.

28

Page 32: PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP

V. LAMPIRAN

29