Page 1
PERBANDINGAN ASAS LEGALITAS MENURUT KUHP, RUUKUHP, DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Tugas Mata KuliahJINAYAT
Dosen Pengampu : Mahrus Ali, S.H., M.H.
Disusun Oleh:
KELOMPOK 1
FATHIR HEKSMAYAR (07410330)DIMAS ARTIKA RAKHMAN (09410254)
ADHIKA YOGISWARA (09410536)SUTRISNO SAPUTRA (09410360)ROMAN ZULKARNAIN (08410129)
FAKULTAS HUKUM
Page 2
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIAYOGYAKARTA
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................i
I. PENDAHULUAN.....................................1
Sejarah Munculnya Asas Legalitas................1
II. PEMBAHASAN......................................4
A. Tinjauan Umum Asas Legalitas.................4
B. Asas Legalitas Menurut KUHP..................8
C. Asas Legalitas Menurut RUU KUHP .............9
D. Asas Legalitas Menurut Hukum Pidana Islam
.............................................
13
III. PENUTUP
................................................
16
A. Kesimpulan
.............................................
16
i
Page 3
B. Saran
.............................................
16
IV. DAFTAR PUSTAKA
................................................
17
V. LAMPIRAN
................................................
18
i
Page 4
I. PENDAHULUAN
Sejarah Munculnya Asas Legalitas
Pada Jaman Romawi Kuno dikenal adanya istilah
criminal extra ordinaria, yang berarti kejahatan-kejahatan
yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Ketika hukum
Romawi kuno diterima oleh raja-raja Eropa Barat,
istilah criminal extra ordinaria diterima pula. Kondisi ini
kemudian memungkinkan raja-raja yang berkuasa untuk
bertindak sewenang-wenang terhadap perbuatan-perbuatan
yang dikatakan jahat, namun belum diatur di dalam
undang-undang. Lahirnya Magna Charta Libertatum di Inggris
pada 1215 merupakan salah bentuk reaksi terhadap
praktik kesewenang-wenangan raja di masa itu. Ini
adalah fase pertama ketika manusia mulai memikirkan dan
memperjuangkan hak-haknya sebagai manusia. Upaya
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia sebenarnya
telah ada sebelum lahirnya Magna Charta. Kitab suci
agama Hindu, Veda, telah membicarakan perlunya
penghormatan atas hak-hak asasi manusia sejak 3000
tahun yang lalu. Piagam Madinah yang ditandatangani
Nabi Muhammad SAW pada abad ke 6 Masehi, sebenarnya
juga merupakan deklarasi kesepakatan penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia.1
1 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, PositionPaper Advokasi RUU KUHP Seri #1, ELSAM (Lembaga Studi Dan Advokasi
1
Page 5
Asas legalitas yang dikenal dalam hukum pidana
modern muncul dari lingkup sosiologis Abad Pencerahan
yang mengagungkan doktrin perlindungan rakyat dari
perlakuan sewenang-wenang kekuasaan. Sebelum datang
Abad Pencerahan, kekuasaan dapat menghukum orang meski
tanpa ada peraturan terlebih dulu. Saat itu, selera
kekuasaanlah yang paling berhak menentukan apakah
perbuatan dapat dihukum atau tidak. Untuk menangkalnya,
hadirlah asas legalitas yang merupakan instrumen
penting perlindungan kemerdekaan individu saat
berhadapan dengan negara. Dengan demikian, apa yang
disebut dengan perbuatan yang dapat dihukum menjadi
otoritas peraturan, bukan kekuasaan. Perlindungan
terhadap hak-hak rakyat banyak yang pada mulanya
dilakukan melalui perjuangan dengan asas politik, yakni
dengan menghadapkan kepentingan rakyat vis a vis kekuasaan
raja yang absolut. Akar gagasan asas legalitas berasal
dari ketentuan Pasal 39 Magna Charta (1215) di Inggris,
yang menjamin adanya perlindungan rakyat dari
penangkapan, penahanan, penyitaan, pembuangan, dan
dikeluarkannya seseorang dari perlindungan
hukum/undang-undang, kecuali ada putusan peradilan yang
sah. Ketentuan ini diikuti Habeas Corpus Act (1679) di
Inggris yang mengharuskan seseorang yang ditangkap
diperiksa dalam waktu singkat. Pasca lahirnya Magna
Masyarakat), hlm. 5
2
Page 6
Charta dan Habeas Corpus Act, jaminan atas hak dan
kewajiban rakyat kemudian berubah menjadi asas-asas
hukum. Asas-asas hukum ini dirumuskan dalam hukum
tertulis, agar memiliki jamian kepastian hukum
(rechtszekerheid). Pelopor perjuangan politik dan hukum di
Inggris adalah John Locke (1760).2
Perjuangan rakyat Inggris tersebut kemudian
berkembang hingga ke Perancis, sebagai bentuk
perlawanan atas kesewenag-wenangan raja Louis XIV,
dengan simbol Penjara Bastille sebagai simbol kekuasaan
raja yang despotis. Perjuangan rakyat Perancis
dipengaruhi oleh dua orang filsuf paling terkemuka Abad
Pencerahan, Charles Montesquieu (1689-1755) dan Jean
Jacques Rousseau (1712-1778). Montesquieu lewat bukunya
L’esprit des Lois (1748) dan bukunya Rousseau “Dus Contrat
Social, ou principes du droit politique” (1762) memperkenalkan
pemikiran asas legalitas, sebagai bentuk perlawanan
terhadap konsep Let’s ces moi, yang didengungkan Raja
Louis. Selain dipengaruhi oleh kedua filsuf tersebut
perkembangan asas legalitas di Perancis juga
dipengaruhi oleh Marquis de Lafayette, seorang sahabat
George Washington, yang membawa pemikiran asas
legalitas dari Amerika ke Perancis. Di Amerika,
ketentuan asas legalitas sudah dicantumkan dalam
2 Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 68-69.
3
Page 7
Declaration of Independence 1776, di sana disebutkan tiada
seorang pun boleh dituntut atau ditangkap selain
dengan, dan karena tindakan-tindakan yang diatur dalam,
peraturan perundang-undangan. Pemikiran asas legalitas
kemudian diimplementasikan sebagai undang-undang dalam
Pasal 8 Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789).
Asas ini kemudian dimasukkan dalam Pasal 4 Code Penal
Perancis pada masa pemerintahan Napoleon Bonaparte
(1801). Bunyi ketentuan ini adalah bahwa “ Tidak ada
sesuatu yang boleh dipidana selain karena suatu wet yang ditetapkan
dalam undang-undang dan diundangkan secara sah.”3 Beccaria,
dalam “Dei delitti e drllee pene” (Over misdaden en straffen 1764)
juga menyatakan bahwa individu harus dilindungi dari
perbuatan sewenang-wenang. Oleh karenanya perlu dibuat
suatu hukum sebelum delik itu terjadi. Hukum itu harus
mengatur dengan jelas dan tegas, sehingga bisa memberi
petunjuk dalam menjalankan peradilan pidana. 4
Perjalanan selanjutnya, Von Feuerbach seorang
sarjana Jerman, merumuskan adagium “Nullum delictum, nulla
poena sine praevia lege poenali.” Bahwa tidak delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan lebih dahulu. Adagium ini
terkandung dalam bukunya Lehrbuch des peinlichen Rechts
3 Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 24.
4 Bambang Purnomo, op.cit, hal. 69.
4
Page 8
(1801). Asas legalitas yang dikemukakan oleh Feuerbach
mengandung tiga pengertian:5
1. Tidak ada perbuatan dapat dipidana, apabila belum
diatur dalam undang-undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak
boleh digunakan analogi.
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
(non retroaktif).
Ketentuan asas legalitas diakui pertama kali oleh
konstitusi Amerika Serikat tahun 1783, dicantumkan
dalam Article I Section 9 yang berbunyi: “No bill of
attainder or ex post pacto law shall be passed”. Lalu diikuti oleh
Perancis di dalam Declaration des droits de L’homme et du citoyen
1789. Selanjutnya ketentuan ini diikuti oleh negara-
negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental
kepastian hukum dijunjung tinggi.
II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Asas Legalitas
Hans Kelsen Mengatakan makna dari sebuah Keadilah
adalah legalitas6, dimana suatu peraturan umum adalah
adil apabila diterapkan sesuai dengan aturan tertulis
yang mengaturnya, dan sama penerapannya pada semua
5 Moeljatno, op.cit, hal. 25.6 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, 2011, Nusa
Media, Bandung, hlm. 17
5
Page 9
kasus serupa. Asas legalitas dibangun dengan dengan
tujuan meligitimasi hukum dalam kekuasaan pemerintah
agar tercipta Negara Hukum di mana pengertiannya adalah
negara berdasarkan hukum; hukum menjamin keadilan dan
perlindungan bagi semua orang yang ada dalam wilayah
negara yang bersangkutan. Segala kegiatan negara
berdasarkan hukum7 atau dalam konteks Negara Hukum
Indonesia yaitu Negara Berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar yang menjunjung tinggi hak asasi
manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecuali8
Menurut Jan Remmelink, agar dipenuhinya hak negara
untuk menegakkan ketentuan pidana (jus puniendi), diperlukan
lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang
dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi
diperlukan lagi norma lain yang harus dipenuhi, yaitu
norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di antaranya,
berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus) di
samping menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting
untuk menetapkan tanggung jawab pidana. Bila suatu
tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang,
7 BN Marbun, Kamus Politik, 2007, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 332
8 Soesilo Prajogo, Kamus Hukum, 2007, WIPRESS, Jakarta, hlm.312
6
Page 10
tetapi ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan
tersebut, tindakan itu bukan saja tidak dapat dituntut
ke muka persidangan, tetapi juga pihak yang terkait
tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada
ketentuannya terlebih dahulu yang menentukan bahwa
tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah
yang disebut sebagai asas legalitas atau legaliteitbeginsel
atau Principle of Legality.9
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai
nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya:
tiada delik, tiada pidana, tanpa didahului oleh
ketentuan pidana dalam perundang-undangan. Walaupun
menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-
muasal adagium di atas bukanlah berasal dari hukum
Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh juris dari
Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti
dikembangkan pada abad ke-19 dan oleh karenanya harus
dipandang sebagai ajaran klasik. Dalam bukunya yang
berjudul Lehrbuch des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach
mengemukakan teorinya mengenai tekanan jiwa
(Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach beranggapan bahwa
suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif
terjadinya tindak pidana. Apabila orang telah
mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam pidana karena
9 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm. 5
7
Page 11
melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan
hasratnya untuk melakukan perbuatan tersebut.10
Dengan demikian, asas legalitas menghendaki bahwa
ketentuan yang memuat perbuatan dilarang harus
dituliskan terlebih dahulu. maka salah satu instrumen
penting dari asas legalitas adalah hukum tertulis,
Satjipto Raharjo mengatkan bahwa hukum tertulis adalah
ciri dari hukum modern11 di mana asas legalitas ini
dikembangkan. Hukum tertulis dalam hal ini perundang-
undangan menjadi salah satu elemen penting dalam negara
hukum seperti yang dikemukakan oleh A. V. Dicey.12 Dalam
tradisi sistem civil law, ada empat aspek asas legalitas
yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan
perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex
certa, dan analogi.13 Mengenai keempat aspek ini, menurut
Roelof H Haveman, though it might be said that not every aspect is
that strong on its own, the combination of the four aspects gives a more
true meaning to principle of legality.14
Lex Scripta
10 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, Op. Cit. hlm. 2511 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2000, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm.7212 Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar
Demokrasi, 2011, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 13013 Roelof H. Heveman, The Legality of Adat Criminal Law in Modern
Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, 2002, hlm 50. Yang dukitip kembali pada Fajrimei A. Gofar, Op. Cit, hlm.6
14 Ibid.
8
Page 12
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah
penghukuman harus didasarkan pada undang-undang, dengan
kata lain berdasarkan hukum yang tertulis. Undang-
undang (statutory, law) harus mengatur mengenai tingkah laku
(perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pdana. Tanpa
undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang
dilarang, maka perbuatan tersebut tidak bisa dikatakan
sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa
kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum
seseorang. Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar
penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut tidak
mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting
dalam menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam
tindak pidana yang dirumuskan oleh undangundang
tersebut.
Lex Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis,
pembuat undang-undang (legislatif) harus merumuskan
secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut
dengan tindak pidana (kejahatan, crimes). Hal inilah
yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot.
Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas
tanpa samar-samar (nullum crimen sine lege stricta), sehingga
tidak ada perumusan yang ambigu mengenai perbuatan yang
dilarang dan diberikan sanksi. Perumusan yang tidak
9
Page 13
jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya
penuntutan (pidana) karena warga selalu akan dapat
membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu
tidak berguna sebagai pedoman perilaku.11 Namun
demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat
undang-undang dapat memenuhi persyaratan di atas. Tidak
jarang perumusan undang-undang diterjemahkan lebih
lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat
apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan.
Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan yang merumuskan tindak
pidana tidak dapat diberlakukan secara surut
(retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu
kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi
manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar
undangundang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam
prakteknya penerapan asas legalitas ini terdapat
penyimpangan-penyimpangan. Sebagai contoh, kasus Bom
Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur,
dan kasus Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus tersebut,
asas legalitas disimpangi dengan memberlakukan asas
retroaktif. Jika ditinjau lebih jauh, penerapan asas
retroaktif ini dikarenakan karakteristik kejahatan-
10
Page 14
kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda
dengan jenis kejahatan biasa. Sejalan dengan itu,
menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum
nonretroaktif tersebut berlaku untuk pelanggaran pidana
biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia bukan
pelanggaran biasa, oleh karenannya prinsip non-
retroaktif tidak bisa dipergunakan.15
Analogi
Seperti disebutkan di muka, asas legalitas
membatasi secara rinci dan cermat tindakan apa saja
yang dapat dipidana. Namun demikian, dalam
penerapannya, ilmu hukum memberi peluang untuk
dilakukan interpretasi terhadap rumusan-rumusan
perbuatan yang dilarang tersebut.14 Dalam ilmu hukum
pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran,
yaitu: penafsiran tata bahasa atau gramatikal,
penafsiran logis, penafsiran sistematis, penafsiran
historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran
memperluas, dan penafsiran analogi.
B. Asas Legalitas Menurut KUHP16
15 Kompas, Jumat 18 Agustus 2000, “Demi Keadilan, Penerapan Asas Retroaktif Bisa Diterima”. Yang dikutip kebali pada Yang dukitip kembalipada Ibid., hlm.7
16 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.11
11
Page 15
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas ini
diatur dengan jelas dalam KUHP yang berlaku sekarang
(Wetboek van Straftrecht)). Pasal 1 ayat (1) KUHP yang
menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada,
sebelum perbuatan dilakukan. Bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP ini,
secara rinci, berisi dua hal penting, yaitu: (i) suatu
tindak pidana harus dirumuskan terlebih dahulu dalam
peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan perundang-
undangan harus ada sebelum terjadinya tindak pidana
(tidak berlaku surut).17
Asas legalitas menghendaki bahwa suatu perbuatan
dapat dinyatakan sebagai tindak pidana apabila terlebih
dahulu ada undang-undang yang menyatakan bahwa
perbuatan itu sebagai tindak pidana. Oleh karenanya,
asas legalitas melarang penerapan hukum pidana secara
surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP inilah yang
menjadi landasan penegakan hukum pidana di Indonesia,
terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum.
Asas legalitas ini diatur pula dalam Pasal 6 ayat
(1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di
depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
Bunyi pasal ini memperkuatkan kembali kehendak asas
17 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, Bumi Aksara, Jakarta, hlm.3
12
Page 16
legalitas terhadap hukum pidana yang dibuat secara
tertulis. Begitu juga dalam UUD 1945 Amandemen II Pasal
28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Hak untuk hidup,
… dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.” Begitu pula dalam
Amandemen IV disebutkan bahwa “Untuk menegakkan dan
melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip
negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam
perundang-undangan.”
C. Asas Legalitas Menurut RUU KUHP18
Asas legalitas dalam RKUHP telah diatur secara
berbeda dengan KUHP (Wetboek van Strafrecht). Perbedaan itu
antara lain bahwa dalam RKUHP analogi telah secara
eksplisit dilarang digunakan (Pasal 1 ayat (2)) dan
memberi peluang berlakunya ‘hukum yang hidup dalam
masyarakat’ (Pasal 1 ayat (3)). Walaupun demikian,
makna yang dikandung dalam Pasal 1 ayat (1) dalam RKUHP
tidak berbeda seperti yang diatur dalam KUHP, yaitu:
asas legalitas. Dalam Pasal 1 RKUHP disebutkan bahwa:
1) Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan
tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah
18 Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP, Op. Cit. Hlm.17-20
13
Page 17
ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat
perbuatan itu dilakukan.
2) Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang
menggunakan analogi.
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
4) Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau
prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsabangsa.
Penjelasannya:
Ayat (1)
Ayat ini mengandung asas legalitas. Asas ini
menentukan bahwa suatu perbuatan hanya merupakan
tindak pidana apabila ditentukan demikian oleh atau
didasarkan pada undangundang. Dipergunakannya asas
tersebut, oleh karena asas legalitas merupakan asas
pokok dalam hukum pidana. Oleh karena itu, peraturan
perundang-undangan pidana atau yang mengandung
ancaman pidana harus sudah ada sebelum tindak pidana
14
Page 18
dilakukan. Hal ini berarti bahwa ketentuan pidana
tidak berlaku surut demi mencegah kesewenangwenangan
penegak hukum dalam menuntut dan mengadili seseorang
yang dituduh melakukan suatu tindak pidana.
Ayat (2)
Larangan penggunaan penafsiran analogi dalam
menetapkan adanya tindak pidana merupakan
konsekuensi dari penggunaan asas legalitas.
Penafsiran analogi berarti bahwa terhadap suatu
perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan
suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan
ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana
lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama,
karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog
satu dengan yang lain. Dengan ditegaskannya larangan
penggunaan analogi, maka perbedaan pendapat yang
timbul dalam praktek selama ini dapat dihilangkan.
Ayat (3)
Adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah
tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum
yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan
berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang
demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana,
yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana
15
Page 19
adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap
mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal
tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam
Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini. Ketentuan
dalam ayat ini merupakan pengecualian dari asas
bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat
tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat tertentu.
Ayat (4)
Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau
rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil
(hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat
dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas
materiil). Pedoman dalam ayat ini berorientasi pada
nilai nasional dan internasional.
Bunyi Pasal 1 RKUHP di atas secara keseluruhan
dapat dibaca: ‘hukum pidana Indonesia berdasarkan asas
legalitas yang diperkuat dengan larangan menggunakan
penafsiran analogi’. Tetapi, asas legalitas dapat
dikecualikan dengan memberlakukan ‘hukum yang hidup
dalam masyarakat’ yang menganggap suatu perbuatan
adalah perbuatan dilarang. ‘Hukum yang hidup dalam
masyarakat’ ini diberlakukan secara limitatif dengan
pembatasan-pembatasan tertentu, yaitu sesuai dengan
16
Page 20
nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum
umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa
Dalam Pasal 1 RKUHP diatur hal-hal yang baru
dibandingkan KUHP, di antaranya adalah: (i) adanya
penjatuhan “tindakan” kepada pelanggar hukum pidana;51
(ii) penggunaan frase “peraturan perundang-undangan”
yang berarti bukan hanya undang-undang;52 (iii)
larangan penggunaan analogi;53 dan (iv) berlakunya
“hukum yang hidup dalam masyarakat”.
Berdasarkan bunyi Pasal 1 ayat (1) RKUHP, terdapat
dua hal penting mengenai berlakunya hukum pidana,
yaitu: (i) bahwa suatu perbuatan harus dirumuskan dulu
dalam peraturan perundang-undangan; (ii) peraturan
perundang-undangan tersebut harus lebih dulu ada pada
saat terjadinya perbuatan dimaksud. Dari hal yang
pertama, konsekuensinya adalah bahwa perbuatan
seseorang yang tidak tercantum dalam peraturan
perundang-undangan sebagai suatu tindak pidana tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban. Melalui asas ini
hukum tidak tertulis tidak dapat diterapkan. Dengan
kata lain, hanya perundang-undangan dalam formal yang
dapat memberikan pengaturan di bidang pemidanaan.
Kata peraturan perundang-undangan yang dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP tidak lain menunjuk pada
semua produk legislatif yang mencakup pemahaman bahwa
17
Page 21
tindak pidana akan dirumuskan secara legitimit.54
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, tata urutan perundang-
undangan di antaranya: (i) Undang-Undang Dasar 1945;
(ii) Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang; (iii) Peraturan Pemerintah; (iv)
Peraturan Presiden; dan (v) Peraturan daerah. Dengan
demikian, peraturan perundangan-undangan yang dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) RKUHP termasuk juga peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah provinsi
maupun kabupaten/kota.
Pentingnya tindak pidana yang dirumuskan melalui
undang-undang tidak lain sebagai wujud dari kewajiban
pembentuk undang-undang untuk merumuskan ketentuan
pidana secara terinci atau secermat mungkin.55
Perumusan tindak pidana yang tidak jelas atau terlalu
rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan
menghalangi keberhasilan upaya penuntutan karena warga
selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-
ketentuan seperti itu tidak berguna sebagai pedoman
berlaku.56
Dari hal kedua yang disebutkan di atas, bahwa
peraturan seperti yang dimaksud harus ada sebelum
perbuatan dilakukan. Ini artinya ketentuan hukum pidana
tidak diperbolehkan berlaku surut. Asas legalitas ini
18
Page 22
pada prinsipnya mengandaikan bahwa setiap individu
mempunyai kebebasan. Melalui asas legalitas inilah
individu mempunyai jaminan terhadap perlakuan sewenang-
wenang negara terhadapnya sehingga terjadi kepastian
hukum.
Melalui pengaturan Pasal 1 ayat (1) RKUHP ini
dapat diketahui bahwa hanya perbuatan yang diatur
secara rinci/tegas dalam peraturan perundang-undangan
saja yang dapat dikenakan tindak pidana atau tindakan.
Selain itu, tidak bisa, termasuk perbuatan-perbuatan
yang kiranya patut dipidana, jika undang-undang tidak
menentukan bahwa perbuatan tersebut adalah tindak
pidana, maka kepada pelakunya tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban.
Arti penting asas legalitas yang diatur dalam
Pasal 1 ayat (1) RKUHP diperkuat lagi pengaturan ayat
(2) yang melarang penggunaan analogi. Maksud dari bunyi
Pasal 1 ayat (2) RKUHP sebenarnya adalah menghendaki
tidak adanya pengenaan sanksi terhadap perbuatan-
perbuatan yang dilakukan seseorang secara berlebihan.
Dengan kata lain, menghendaki bahwa perumusan delik
diterapkan secara ketat (nullum crimen sine lege stricta: ‘tiada
ketentuan pidana terkecuali dirumuskan secara
sempit/ketat di dalam peraturan perundang-undangan’.
Menurut Mudzakkir, alasan dicantumkannya pengaturan
19
Page 23
larangan analogi adalah agar semua asas umum hukum
pidana dimuat dalam ketentuan umum hukum pidana Buku I
RUU KUHP dan selanjutnya mengurangi perbedaan pendapat
dalam menafsirkan hukum yang dapat menghambat
penegakkan hukum pidana. Oleh sebab itu, larangan
analogi dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) sebagai
bentuk penguatan doktrin hukum pidana yang diterima
oleh para ahli hukum tersebut.
D. Asas Legalitas Menurut Hukum Pidana Islam19
Asas legalitas dalam perspektif hukum pidana islam
mempunyai arti sesuatu perbuatan atau sikap tidak
berbuat tidak dipandang sebagai jarimah kecuali karena
ada nash yang jelas melarang perbuatan dan sikap tidak
berbuat itu. Apabila tidak ada nash yang demikian maka
tidak ada tuntutan atau hukuman terhadap pelakunya.
Karena suatu perbuatan dan sikap tak berbuat tidak
dapat dipandang senagai jarimah hanya karena ada
larangan saja melainkan harus ada ancaman hukumannya,
maka kesimpulannya tidak ada jarimah dan tak ada
hukuman kecuali dengan suatu nash.
Asas legalitas pada hukum Islam sudah ada sejak
Al-Quran diturunkan, jauh lebih dulu dari hukum positif
19 Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 1988, Penerbit Pepustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 69-76
20
Page 24
yang baru mengenal akhir-akhir abad ke delapan belas,
yaitu sesudah revolusi Perancis.
Hukum islam menerapkan asas legalitas ini pada
semua macam jarimah hanya cara menerapkannya berbeda-
beda menurut macamnya jarimah. Seperti pada jarimah
hudud, jarimah qisos dan jarimah ma’siat asas legalitas
ini diterapkan dengan tegas dan jelas, yaitu setiap
macam jarimah/ma’siat disebutkan nash yang melarangnya
dan hukumannya sekali. Sumbernya bukan hanya nash Al-
Quran saja tetapi dari Hadist Nabi.
Tetapi terhadap jarimah ta’zir, asas legalitas ini
diterapkan bersifat longgar. Jarimah ta’zir ini ada dua
macam yaitu, jarimah yang sudah ditentukan oleh nash
tetapi hukumannya diserahkan kepada hakim, dan baik
jarimah dan hukumannya sekali diserahkan kepada hakim
sedang nash(Al-Quran dan Hadist) hanya menunjukan garis
besarnya saja. Pada jarimah ta’zir yang menggangu
kemaslahatan umum dalam hal ini hakim (penguasa) boleh
menciptakan aturannya dan menghukumnya sekali, tetapi
sekali-sekali tidak boleh bertentangan dengan kemauan-
kemauan nash Al-Quran maupun Hadits. Contohnya :
a) Menahan orang yang disangka mencuri.
b) Menahan orang yang diperkirakan akan membuat
fitnah.
c) Mengajar anak untuk melakukan solat dan bersuci.
21
Page 25
d) Manahan orang gila biar tidak bergaul dengan
masyarakat.
e) Menahan orang yang sekiranya akan membuat onar
Pada mukholafah (pelanggaran) tidak diterapkan
asas legalitas, semua diserahkan keputusannya kepada
penguasa (hakim). Pada dasarnya perbuatan mukholafah
ini tidak dapat dihukum, kecuali perbuatan tersebut
dilakukan berulang-ulang maka akan dikategorikan
sebagai ta’zir yang kemudian hukumannya diserahkan
kepada hakim sepenuhnya.
Maka dapat disimpulkan pada jarimah hudud dan
qisos-diyat, asas legalitas diterapkan dengan teliti,
baik mengenal macamnya jarimah maupun macam hukumnya
sudah ditentukan dengan pasti. Sedangkan pada jarimah
ta’zir biasa, macamnya jarimah sudah ditentukan oleh
nash sedang hukumnya diserahkan kepada hakim untuk
memilih mana yang sesuai, sedang syara hanya
menyediakan beberapa macam hukuman untuk dipilihnya.
Dan pada jarimah yang demi menjaga kemaslahatan umum,
baik penetapannya diserahkan kepada hakim, syara hanya
menyediakan beberapa macam hukuman untuk dipilih yang
sesuai. Begitu pula terhadap perbuatan mukholafah.
Ternyata apa yang diajarkan oleh hukum Islam ini lebih
luas menjangkau segala macam jarimah ta’zir dan tidak
menyulitkan bagi hakim dalam menyelesaikan tugasnya.
22
Page 26
Asas legalitas dalam hukum Islam bukan berdasarkan
pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Allah SWT..
Sedangkan asas legalitas secara jelas dianut dalam
hukum Islam, terbukti adanya beberapa ayat yang
menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah SWT. tidak
akan menjatuhkan hukuman pada manusia dan tidak akan
meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya
penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya.3 Demikian
juga kewajiban yang harus diemban oleh umat manusia
adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang
dimiliki, yaitu taklifi yang sanggup di kerjakan. Dasar
hukum asas legalitas dalam Islam antara lain:
Al-Qur'an surat Al-Isra’: 15 yang artinya: “... dan
Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang
Rasul.”
Al-Qur'an surat Al-Qashash: 59 yang artinya: “Dan
tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia
mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-
ayat Kami kepada mereka; ...”
Ayat al-Qur’an yang lainnya yang berbicara tentang
asas legalitas yaitu QS al-Nisa: 16, QS al-‘An’am:19,
QS al-Baqarah:286, dan QS al-Anfal:38.
Semua ayat al-Qur’an ini berbicara tentang asas
legalitas. Kekuatan lafadz-lafadz ini termasuk lafadz
23
Page 27
yang qath’i, yang berarti wajib untuk diamalkan. Yang
mengandung arti bahwa tidak ada pidana sebelum ada
bayan yang disampaikan Allah SWT. melalui Rasul-Nya.4
Selain itu, manusia juga ditanggungi sesuai dengan
kekuatannya, yang berarti disini berlaku hukum rukhsah
bagi mereka yang berada di bawah kemampuannya.20
20 Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah, Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, 2013, hlm.3
24
Page 28
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kosep Asas Legalitas dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana tertuang secara jelas, dan
melegitimasi hukum itu sendiri juga memberikan
kepastian hukum, namun dalam perkembangannya
dimana dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia
asas ini begitu sulit diterapkan mengingat KUHP
ini sendiri sejatinya hukum yang dibawa oleh
bangsa eropa yang tidak sepenuhnya sesuai dengan
kultur bangsa Indonesia meskipun kemudian banyak
poenyesuaian-penyesuaian yang dilakukan dalam
KUHP.
Dalam RUU KUHP wacana yang dibawa adalah bahwa
Hukum Pidana di Indonesia memeberikan ruang untuk
hukum tidak tertulis agar dapat diterapkan,
melalui rumusan Pasal 1 RUU KUHP ini dalam
pemidanaan dapat melihat dari hukum yang hidup
dalam masyarakat, meskipun kemudian permasalahan
yang timbul adalah bahwa kepastian hukum itu
sendiri tidak dapat terukus secara pasti.
Jauh sebelum hukum modern memunculkan ide mengenai
konsep asas legalitas, konsep ini telah lahir
dalam hukum pidana islam, yang termuat dalam kitab
suci al-Qur’an tentang bagaimana kita sebagai
manusia seharusnya menjaga hak-hak tiap manusia
25
Page 29
agar hak tersebut tidak dilanggar dan ada batasan
yang jelas mengenai sesuati perbuatan dapat
dikatakan sebagai perbuatan yang terlarang.
B. Saran
Bagaimanapun tujuan dari hukum, asas legalitas
merupakan bagian paling penting dalam penegakan
hukum itu sendiri demi menjamin kepastian hukum
dalam kehidupan masyarakat, alangkah baiknya
apabila peraturan umum terutama Hukum Pidana dalam
hal ini RUU KUHP memaparkan secara jelas asas
legalitas dalam penerapannya dan adanya tlak ukur
mengenai penerapannya.
26
Page 30
IV. DAFTAR PUSTAKA
Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, 1994, Ghalia
Indonesia, Jakarta.
BN Marbun, Kamus Politik, 2007, Sinar Harapan, Jakarta.
Encep Abdul Rojak, Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, Makalah,
Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati, Bandung, 2013.
Fajrimei A. Gofar, Asas Legalitas Dalam Rancangan KUHP,
Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #1, ELSAM
(Lembaga Studi Dan Advokasi Masyarakat).
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, 2011,
Nusa Media, Bandung.
Jimly Assiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar
Demokrasi, 2011, Sinar Grafika, Jakarta.
Marsum, Jinayat (Hukum Pidana Islam), 1988, Penerbit
Pepustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta.
Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana, 2002, Rineka Cipta,
Jakarta.
______Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2008, Bumi
Aksara, Jakarta.
27
Page 31
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, 2000, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Soesilo Prajogo, Kamus Hukum, 2007, WIPRESS, Jakarta.
28