BAB I PENDAHULUAN A. KASUS POSISI Pihak-pihak yang bersengketa dalam perkara pada Putusan Nomor: 187/G/2006/PT.TUN.JKT antara lain Wajirin yang selanjutnya disebut sebagai Penggugat melawan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat. Objek Gugatannya yaitu Surat Keputusan Tergugat yang ditandatangani oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian tertanggal 12 – 10 – 2005 Nomor : 058/KPTS/BAPEK/2005 dalam hal tentang penguatan Hukuman Disiplin Atas Nama Wajirin. Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian tertanggal 12 – 10 – 2005 Nomor : 058/KPTS/BAPEK/2005 yang berisikan tentang Penguatan Hukuman Disiplin Atas Nama Wajirin Nip.: 150217943 melalui Kepala Bagian Pemberhentian Pegawai Departemen Agama pada tanggal, 24 April 2006 sangatlah merugikan pihak Tergugat. Sehingga Tergugat mengajukan 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
A. KASUS POSISI
Pihak-pihak yang bersengketa dalam perkara pada Putusan Nomor:
187/G/2006/PT.TUN.JKT antara lain Wajirin yang selanjutnya disebut sebagai
Penggugat melawan Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK) yang selanjutnya
disebut sebagai Tergugat. Objek Gugatannya yaitu Surat Keputusan Tergugat yang
ditandatangani oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian tertanggal 12 – 10 – 2005
Nomor : 058/KPTS/BAPEK/2005 dalam hal tentang penguatan Hukuman Disiplin
Atas Nama Wajirin.
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian
tertanggal 12 – 10 – 2005 Nomor : 058/KPTS/BAPEK/2005 yang berisikan tentang
Penguatan Hukuman Disiplin Atas Nama Wajirin Nip.: 150217943 melalui Kepala
Bagian Pemberhentian Pegawai Departemen Agama pada tanggal, 24 April 2006
sangatlah merugikan pihak Tergugat. Sehingga Tergugat mengajukan gugatan atas
penolakan surat keputusan tersebut ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN)
Provinsi Jakarta pada tanggal 27 Juni 2006 dan diperbaiki tanggal 31 Juni 2006,
dengan Nomor registrasi perkara: 187/G/2006/PT.TUN.JKT.
1
Penggugat merasa bahwa haknya telah dirugikan oleh surat keputusan yang
dikeluarkan oleh Badan Pertimbangan Kepegawaian tersebut, dalam hal ini Wajirin
berkedudukan sebagai pegawai negri sipil Universitas Islam Negri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang, Banten. Keputusan Tergugat No.
058/KPTS/BAPEK/2005 Tanggal, 12 Oktober 2005 telah memenuhi ketentuan Pasal 1
butir 3 Undang-undang Nomer : 5 Tahun 1986, yaitu ditetapkan oleh Pejabat Tata
Usaha Negara (Badan Pertimbangan Kepegawaian/BAPEK), bersifat konkrit,
individual, dan final serta menimbulkan akibat hukum bagi Penggugat, dikeluarkan
secara sewenang-wenang dan tidak cermat dimana keputusan Tergugat telah
bertentangan dengan Azas-azas Umum Pemerintahan yang baik, karena Tergugat telah
mengabaikan kepentingan Penggugat sebagai Pegawai Negri Sipil, sehingga keputusan
Tergugat tersebut tidak memenuhi rasa keadilan bagi Penggugat, yaitu sebagai berikut :
1) Penggugat yang seharusnya menerima hak-haknya sebagai Pegawai Negri Sipil
seperti kenaikan Pangkat/Golongan Reguler atau kenaikan gaji berkala (KGB),
tetapi hal ini tidak diberikan kepada Penggugat.
2) Dalam Surat Keputusan Mentri Agama Nomor : B.II/4/PDH/03176 tanggal, 28
Agustus 2001 terdapat kesalahan pada penulisan Nomor Induk Pegawai (Nip.)
Penggugat. Tercetak/tertulis dalam surat Keputusan Mentri Agama Nip.:
150217493, padahal Nomor Induk Pegawai (Nip.) Penggugat yang benar adalah
Nip.: 150217943
3) Menghambat Penggugat untuk mendapatkan kepastian hukum, karena terlambatnya
Terguggat menyampaikan Surat Keputusan. Tergugat menetapkan keputusan
tanggal, 12 Oktober 2005, tetapi baru Penggugat terima tanggal, 24 April 2006
2
kurang lebih 7 (tujuh) bulan lamanya Penggugat menunggu Surat Keputusan
tersebut, sedangkan lokasi Tergugat dan Penggugat sama-sama di Jakarta.
Penggugat mengakui telah melakukan kesalahan melanggar Disiplin Pegawai Negri
Sipil, yaitu melanggar Peraturan Pemerintah Nomor : 30 tahun 1980 Pasal 2 huruf
b,c,d,f,g,h,w,x Pasal 3 ayat (1) huruf a dan f serta Surat Edaran BKN Nomor :
10/SE/1981 dengan menggunakan Ijazah Palsu untuk penyesuaian kenaikan
pangkat/golongan dari Pengatur Tk.I (II/d) menjadi Penata Muda (III/a) terhitung mulai
1 Oktober 1999.
Keputusan Tergugat merupakan Keputusan Bandina Administratif terhadap
keberatan Penggugat atas Keputusan Mentri Agama Nomor : B.II/4/PDH/03176
tanggal, 28 Agustus 2001, sehingga sesuai Pasal 48 jo Pasal 51 ayat (3) Undang-
undang Nomor : 5 Tahun 1986, maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta
berwenang untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan gugatan Penggugat
dalam perkara ini.
B. INTISARI PUTUSAN
Pada surat gugatan penggugat memohon putusan sebagai berikut :
(1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya
(2) Menyatakan batal/tidak sah surat keputusan Badan Pertimbangan
Kepegawainan (Tergugat) Nomer : 058/KPTS/BAPEK/2005 tanggal, 12
Oktober 2005 tentang Penguatan Hukuman Disiplin Pegawai berupa
pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai
Pegawai Negri Sipil atas Nama : Wajirin Nip.: 150217943.
3
(3) Memerintahkan kepada pihak Tergugat untuk menerbitkan surat
keputusan yang berisi :
(a) Membatalkan Surat Keputusan Mentri Agama No.:
B.II/4/PDH/03176 Tanggal, 28 Agustus 2001.
(b) Perintahkan kepada Mentri Agama untuk menertibkan surat
keputusan yang baru yang isinya :
”Mengangkat kembali Penggugat sebagai Pegawai Negri Sipil pada
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan
menurunkan pangkat dan golongan setingkat lebih rendah (dari
Penata Muda Golongan (III/a) menjadi Pengatur Tk.I (II/d) selama 1
Tahun”.
(4) Menghukum Tergugat untuk membayar biaya dalam perkara ini.
Pertimbangan hukum hakim yang memeriksa perkara ini antara lain sebagai
berikut:
1. Menimbang bahwa yang menjadi objek sengketa yakni keputusan
Badan Pertimbangan Kepegawaian Nomer : 058/KPTS/BAPEK/2005
tanggal 12 Oktober 2005 tentang Penguatan Hukuman Disiplin atas
nama Wajirin Nip : 150217943, apakah telah diterbitkan sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Azas-azas Umum
Permerintahan yang Baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat 2
huruf a dan b Undang-undang No.5 Tahun 1986 Jo Undang-undang
No.9 Tahun 2004.
4
2. Tentang pelanggaran disiplin Pegawai Negri Sipil menggunakan Ijazah
palsu tidak dibantah oleh Penggugat berdasarkan bukti yang diberikan.
Sehingga mengacu kepada Surat Edaran Kepala BAKN No. 10/SE/1981
tanggal 07 Juli 1981 tentang penggunaan Ijazah Palsu untuk
kepentingan kenaikan pangkat dan Surat Keputusan Mentri Agama
menurut Majelis sudah sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku.
3. Pengadilan mempertanyakan Keputusan Tergugat yang jadi objek
sengketa yang bersifat memperkuat Keputusan Mentri Agama justru
bukan memperkuat tapi merubah dan memperberat Hukuman Disiplin
yang dijatuhkan kepada Pengugat, dengan menetapkan bahwa kepada
Pengugat tidak diberikan hak pensiun karena tidak memenuhi syarat-
syarat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Maka dalam Putusan Akhir Hakim dalam perkara ini, Hakim Mengadili :
1. Mengabulkan gugatan sebagian ;
2. Menyatakan batal Keputusan Tergugat Pertimbangan Kepegawaian
Nomor :058/KPTS/BAPEK/2005 tanggal 12 Oktober 2005 tentang
Penguatan Hukuman Disiplin atas nama Wajirin, Nip : 150217943, yang
menjadi objek sengketa ;
3. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut kembali keputusan yang
dinyatakan batal diatas;
5
4. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara yang hingga Putusan
diucapkan berjumlah Rp.188.00,- (Seratus delapan puluh delapan ribu
rupiah) ;
5. Menolak gugatan Penggugat yang lain dan selebihnya;
C. RUMUSAN MASALAH
Apakah Putusan Nomor 187/G/2006/PT.TUN.JKT telah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia ?
6
BAB II
ANALISA PUTUSAN HAKIM
A. TEORI DAN DASAR HUKUM ATAU ATURAN YANG DIGUNAKAN
UNTUK MENGANALISIS KASUS
1. Teori yang Digunakan untuk Menganalisis Kasus
Teori yang digunakan untuk menganalisis kasus yang terdapat di dalam Putusan
Nomor: 187/G/2006/PT.TUN.JKT antara lain teori mengenai Badan Peradilan Tata
Usaha Negara, prinsip-prinsip dasar Peradilan Tata Usaha Negara, pengertian dasar
dalam Tata Usaha Negara, sengketa Tata Usaha Negara, Dasar-dasar untuk menguji
Keputusan Tata Usaha Negara, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB),
dan Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
meliputi Badan Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. “Peradilan Tata Usaha Negara
yang dimaksud berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan1”.
Dasar hukum yang mengatur Peradilan Tata Usaha Negara yaitu Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dasar hukum yang mengatur akan dijelaskan
1 Pasal 25 ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
7
lebih lanjut di dalam sub bab berikutnya mengenai dasar hukum atau aturan yang
digunakan untuk menganalisis kasus.
DASAR-DASAR PERADILAN TATA USAHA NEGARA
Hukum Acara PTUN adalah: seperangkat peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka pengadilan, serta cara
pengadilanbertindak satu sama lain untuk menegakkan peraturan HAN (materiil).
Hukum Acara PTUN dapat pula disebut dengan Hukum Acara Peradilan Administrasi
Negara. Scahran Basah menyebut matakuilah ini sebagai Hukum Acara Peradilan di
Lingkungan Administrasi.2
Tujuan dan Fungsi Peradilan Tata Usaha Negara
Tujuan pembentukan suatu Peradilan Administrasi selalu terkait dengan
falsafah negara yang dianutnya. Negara yang menganut faham demokrasi liberal, maka
tujuan dibentuknya Peradilan Administrasi tidak jauh dari falsafah liberalnya, yaitu
dalam rangka perlindungan hukum kepada rakyat yang menitikberatkan pada
kepentingan individu dalam suatu masyarakat. Berbeda dengan Negara Hukum
Pancasila (demokrasi Pancasila) yang memberikan porsi yang seimbang antara
kepentingan individu disatu sisi dan kepentingan bersama dalam masyarakat disisi
yang lain. Tujuan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara menurut keterangan
3 Abdullah, Rozali, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Raja GrafindoPersada
8
i) memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari
hak-hak individu;
ii) memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut. (keterangan) pemerintah pada Sidang Paripurna DPR RI.
mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986). Menurut Sjahran Basah
(1985;154), tujuan peradilan administrasi adalah untuk memberikan
pengayoman hukum dan kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi
admiistrasi negara dalam arti terjaganya keseimbangan kepentingan
masyarakat dan kepentingan individu. Dari sudut pandang yang berbeda, SF
Marbun menyoroti tujuan peadilan administrasi secara preventif dan secara
represif. Tujun Peradilan Administrasi negara secara preventif adalah
mencegah tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan
hukum atau merugikan rakyat, sedangkan secara represif ditujukan terhadap
tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum
dan merugikan rakyat, perlu dan harus dijatuhi sanksi. Fungsi Peradilan
Tata Usaha Negara adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik
yang timbul antara pemerintah (Badan/Pejabat TUN) dengan rakyat (orang
perorang/badan hukum perdata). Konflik disini adalah sengketa tata usaha
negara akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara.
9
Untuk lebih mendalami urgensi eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara dilihat
dari tujuan dan fungsinya dapat dilihat dari beberapa pendekatan, yaitu pendekatan dari
segi filsafat, segi teori, segi historis dan segi sistem terhadap peradilan administrasi.
Pengertian-Pengartian dalam Hukum Acara PTUN
Peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara
menegakkan hukum dan keadilan. Peradilan Administrasi Negara adalah suatu badan
yang mengatur tata cara penyelesaian persengketaan antara sesama instansi
administrasi Negara dan warga masyarakat, atau dapat pula dirumuskan sebagai
persengketaan intern administrasi dan persengketaan ekstern administrasi Negara.
Secara normatif, Pasal 4 UU NO. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004,
mengartikan Peradilan Tata Usaha Negara adalah sebagai salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha
Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara, baik di pusat maupun di daerah sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata
Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (Pasal 1 angka 4 UU PTUN). Istilah Peradilan Tata Usaha
Negara dapat disebut juga dengan Peradilan Administrasi Negara, hal ini dapat kita
temukan dasar hukumnya dalam Pasal 144 UU PTUN. Pengertian-Pengertian Dasar
dalam UU PTUN (Pasal 1) Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah;4
4 Abdullah, Rozali, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Raja GrafindoPersada.
10
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata; Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa
yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata
dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah,
sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; Gugatan
adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan putusan; Tergugat adalah
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh
orang atau badan hukum perdata; Pemahaman tehadap Peradilan Adminstrasi akan
lebih mudah jika terlebih dahulu dimengerti unsur-unsur yang melengkapinya.,
setidaknya terdapat lima unsur dalam Peradilan Adminstrasi, yaitu5 :
a) adanya suatu instansi atau badan yang netral dan dibentuk berdasarkan
peraturan perundang-undangan, sehingga mempunyai kewenangan untuk
memberikan putusan. Dalam hal ini adalah adanya Pengadilan Tata Usaha
Negara (dibentuk dengan Kepres), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
(dibentuk dengan UU.) dan Berpuncak pada Mahkamah Agung yang diatur
tersendiri Dalam UUMA.
5 Abdullah, Rozali, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Raja GrafindoPersada.
11
b) terdapatnya suatu peristiwa hukum konkret yang memerlukan kepastian
hukum. Peristiwa hukum konkret disini adalah adanya Sengketa Tata Usaha
Negara akibatdikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara oleh pejabat
TUN.
c) terdapatnya suatu peristiwa hukum yang abstrak dan mengikat umum.
Aturan hukum tersebut terletak di lingkungan Hukum Administrasi Negara.
d) adanya sekurang-kurangnya dua pihak. Sesuai dengan ketentuan hukum
positif, yakni Pasal 1 angka 4 UU PTUN. dua pihak disini adalah Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang selalu sebagai Tergugat dan rakyat
pencari keadilan (orang perorang atau badan hukum privat)
e) adanya hukum formal. Hukum formal disini adalah Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 juncto Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara dan peraturan-peraturan lainnya.Dasar Hukum
Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 10 UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara (UU No.14 Tahun
1970 diperbaharui dengan UU No.4 Tahun 2004).
TAP MPR Nomor : IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar
Haluan Negara menjamin eksistensi PTUN;
12
UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
diundangkan (UU No.5 Tahun 1986 diubah dengan UU No.9
Tahun 2004);
UU No.10 Tahun 1990 dan Kepres No.52 Tahun 1990
(tentang pembentukan pengadilan tinggi dan pengadilan tata
usaha negara);
PP No.7 Tahun 1991 tentang Penerapan UU No.5 Tahun
1986.
Azas-Azas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
Ciri khas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara terletak pada asas-asas
yang melandasinya, yaitu6 :
i) Asas praduga rechtmatig (vermoeden van rechtmatigheid : presumptio
iustea causa), asas ini menganggap bahwa setiap tindakan penguasa selalu
harus dianggap rechtmatige sampai ada pembatalan. Dalam asas ini gugatan
tidak menunda pelaksanaan KTUN yang digugat (Pasal 67 ayat (1) UU
No.5 tahun 1986);
ii) Asas pembuktian bebas. Hakim yang menetapkan beban pembuktian. Hal
ini berbeda dengan ketentuan 1865 BW. Asas ini dianut oleh Pasal 101 UU
No.5 tahun 1986, hanya saja masih dibatasi ketentun Pasal 100;
6 Indroharto, 2003, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan
13
iii) Asas keaktifan hakim (dominus litis). Keaktifan hakim dimaksudkan untuk
mengimbangi kedudukan para pihak karena Tergugat adalah Pejabat Tata
Usaha Negara sedangkan Penggugat adalah orang atau badan hukum
perdata. Penerapan asas ini antara lain terdapat dalam ketentuan Pasal 58,
63, ayat (1) dan (2), Pasal 80 dan Pasal 85;
iv) Asas putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat “erga omnes”.
Sengketa TUN adalah sengketa hukum publik. Dengan demikian putusan
pengadilan berlaku bagi siapa saja-tidak hanya bagi para pihak yang
bersengketa. Dalam rangka ini kiranya ketentuan Pasal 83 tentang
intervensi bertentangan dengan asas erga omnes (P.M Hadjon dalam
Riawan 2005:9). Selain empat asas tersebut, Zairin Harahap menambahkan
asas-asas yang lainnya, yang menurut hemat penulis adalah asas yang juga
berlaku di Peradilan lainnya. Berikut ini asas-asas tersebut setelah penulis
kurangi asas-asas yang dikemukakan Philipus M. Hadjon, sebagai berikut:
“Asas para pihak harus didengar (audi et alteram partem)´, para
pihak mempunyai kedudukanyang sama;
“Asas kesatuan beracara” (dalam perkara yang sejenis);
“Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang bebas”
(Pasal 24 UUD 1945 Jo.Pasal 1 UU No. 4 2004);
“Asas sidang terbuka untuk umum” putusan mempunyai
kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum (Pasal 70 UU PTUN); Asas pengadilan berjenjang”
14
(tingkat pertama (PTUN), banding (PT TUN), dan Kasasi
(MA),dimungkinkan pula PK (MA);
“Asas pengadilan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium)”,
sengketa sedapat mungkin diselesaikan melalui upaya
administrasi (musyawarah mufakat), jika belum puas, maka
ditempuh upaya peradilan (Pasal 48 UU PTUN);
“Asas obyektivitas”, lihat Pasal 78 dan 79 UU PTUN). Asas
peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik
Diantara azas-azas tertulis terdapat azas-azas tidak tertulis yang digunakan dalam
pengadilan tata usaha negara yaitu 7:
1. Kecermatan formal, Asas ini menghendaki bahwa semua fakta-fakta dan
masalah–masalah yang relevan diinventarisasi dan diperiksa, untuk
dipertimbangkan dalam mengambil keputusannya. Asas ini dapat dilanggar
dengan berbagai cara ialah :
a. Pihak-pihak yang berkepentingan tidak didengar dengan cara yang tidak
benar.
b. Fakta-fakta tidak diperiksa dengan cermat.
c. Advis-advis dipergunakan dengan tidak cermat.
2. Fair play, Warga masyarakat harus diberi segala kesempatan untuk
mempertahankan kepentingannya. Juga harus dihindari kesan seolah-olah
penguasa yang bersangkutan berpihak. Asas ini juga menekankan pentingnya
7 Hadjon P.M., 1992, Pengantar Hukum Administrasi
15
kejujuran dan keterbukaan dalam proses penyelesaian sengketa tata usaha
negara. Asas ini penting dalam peradilan administrasi negara karena terdapat
perbedaan kedudukan antara pihak penggugat dengan tergugat. Pejabat selaku
pihak tergugat secara politis memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan
dengan kedudukan penggugat.
3. Larangan Detournement de procedure, Jika suatu tujuan dapat dicapai dengan 2
cara, ialah melalui jalan yang sederhana, tetapi juga melalui suatu prosedur
yang lebih rumit, namun yang mengandung lebih banyak jaminan untuk warga
masyarakat, dipilihnya jalan yang lebih sederhana itu merupakan deturnement
procedure.
4. Keharusan adanya pertimbangan, Jika Undang-undang yang bersangkutan
sendiri tidak mengatakan sesuatu tentang kewajiban ini, dituntut bahwa suatu
keputusan dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan yang tegas.
Pertimbangan yang cukup memadai, asas ini terdiri dari 2 unsur yaitu :
a. Pertimbangan-pertimbangan harus didasarkan atas fakta-fakta yang
benar sebagaimana dalam kenyataannya.
b. Pertimbangan-pertimbangan itu harus mendukung keputusan yang
diambil, dimana kesimpulan-kesimpulan sebagaimana tercantum dalam
pertimbangan-pertimbangan itu harus logis serta tepat secara yuridis.
5. Terdapat beberapa pengecualian yang membolehkan keputusan Beschikking
atas permohonan tidak dilengkapi pertimbangan ialah kalau undang-undang itu
tidak mengharuskannya dalam hal :
16
a. Keputusan itu tidak menyangkut pihak ketiga.
b. Kalau menurut kebiasaan pada keputusan demikian tidak dilekati
dengan syarat-syarat/pembatasan-pembatasan tertentu.
6. Asas Kepastian hukum, asas kepastian hukum memiliki dua aspek yang satu
lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material
terkait erat dengan asas kepercayaan. Asas ini ini menghendaki dihotmatinya
hak yang telah diperoleh seseorang berdasarakan suatu keputusan pemerintah,
meskipun itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang telah
dikeluarkan oleh pemrintah tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan
sebaliknya dalam proses peradilan. Adapun aspek yang bersifat formal dari asas
kepastian hukum membawa serta ketetapan yang memberatkan dan ketentuan
yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang mengunytungkan, harus disusun
dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberikan hak kepada
yang berkepentingan untuk mengetahui memberikan hak kepada yang
berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki
daripadanya. Asas ini berkaitan dengan prinsip dalam hukum administrasi
Negara, yaitu asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea
causa, yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang
dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan
sebaliknya atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan
hukum oleh hakim administrasi.
7. Larangan Detournement de Pouvoir, Prinsip negara hukum bermaksud untuk
melindungi warga masyarakat dari kesewenang-wenangan dari pihak
17
penyelenggara pemerintahan. Posisi hukum seseorang harus kuat, aman dan
tidak dapat diganggu secara mengagetkan, tidak dapat diperhitungkan. Warga
masyarakat harus dapat mempercayai bahwa keputusan-keputusan yang
mengatur mereka akan bertahan lama, bahwa penyelenggara pemerintahan akan
menepati janji-janji yang telah diberikan serta melaksanakan harapan yang
ditimbulkan olehnya. Warga masyarakat itu harus dapat mempercayai suatu
garis kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang telah berulang kali
dilakukan mengenai hal-hal atau keadaan-keadaan yang serupa.
8. Asas kepastian hukum (materiil) terutama berarti bahwa hukum yang berlaku
harus dilaksanakan, serta bahwa keputusan-keputusan tidak diubah dengan
berlaku surut untuk kerugian warga masyarakat yang bersangkutan.
9. Larangan berbuat sewenang-wenang.
10. Kepercayaan.
11. Persamaan perlakuan, asas ini menghendaki agar kasus yang sama seharusnya
memperoleh perlakuan yang serupa. Asas ini megandung juga larangan
diskriminasi, ialah membeda-bedakan suatu /beberapa golongan penduduk
berdasarkan hal-hal yang khusus dimiliki masing-masing golongan itu.
12. Kecermatan materiil, Asas ini menghendaki agar perbuatan-perbuatan
penyelenggara pemerintahan sesedikit mungkin menyebabkan kerugian.
Kadang-kadang tidak dapat dihindari bahwa ada kepentingan-kepentingan yang
18
dirugikan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu demi kepentingan umum.
Dalam hal itu kerugian harus sebanyak mungkin dibatasi, dalam hal-hal tertentu
dengan memberi sejumlah ganti rugi.
13. Keseimbangan, asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman
jabatan dan kelalaian atau kealpaan pegawai dan adanya kriteria yang jelas
mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan.
14. Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan, asas ini menghendaki badan
pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dalam arti tidak bertentangan)
atas kasus-kasus yang faktanya sama. Asas ini memaksa pemerintah untuk
menjalankan kebijaksanaan. Aturan kebijaksanaan, memberi arah pada
pelaksanaan wewenang bebas. Asas ini menghendaki adanya keseimbangan
antara hukuman jabatan dan kelalaian atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini
menghendaki pula adanya kriteria yang jelas mengenai jenis-jenis atau
kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang dilakukan seseorang sehingga
memudahkan penerapannya dalam setiap kasus yang ada seiring dengan
persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian hukum. Artinya terhadap
pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang yang berbeda akan
dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan criteria yang ada dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
15. Asas Motivasi untuk Keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus
mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan
ketetapan. Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat
19
mungkin tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat
mengajukan banding dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan
hakim administrasi untuk menilai ketetapan yang disengketakan.
16. Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan, di mana pejabat Tata Usaha
Negara memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam perat perundang-
undangan (baik dari segi materi, wilayah, waktu) untuk melakukan tindakan
hukum dalam rangka melayani/mengatur warga negara. Asas ini menghendaki
agar pejabat Tata Usaha Negara tidak menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau
menggunakan wewenang yang melampaui batas.
2. Dasar Hukum Atau Aturan Yang Digunakan Untuk Menganalisis Kasus
Dasar Hukum atau aturan yang digunakan untuk menganalisis kasus yang
terdapat di dalam Putusan Nomor: 187/G/2006/PT.TUN.JKT yaitu Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Ketentuan-ketentuan di dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang dijadikan dasar
untuk menganalisis kasus antara lain :
a. Pasal 1 angka 3:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
20
b. Pasal 53 ayat (2) sub a,b,c
“Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan adalah:a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.”
c. Pasal 55:
“Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.”
d. Pasal 83
(1) Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai :
a. pihak yang membela haknya; ataub. peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara sidang.
Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding
terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
21
B. ANALISIS HUKUM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PADA PUTUSAN
NOMOR 187/G/2006/PT.TUN.JKT
Analisa Pertimbangan Hukum terhadap Objek Sengketa
Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta mempertimbangkan Keputusan
Tergugat yang jadi objek sengketa yakni Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian
No. 058/KPTS/BAPEK/2005 tanggal 12 Oktober 2005, tentang Penguatan Hukuman
Dipsiplin atas nama Wajirin NIP : 150217943, apakah telah ditertibkan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku atau Azas-Azas Umum Pemerintahan
yang baik, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 ayat 2 huruf a dan b Undang-undang
No.5 tahun 1986 Jo Undang-undang no.9 tahun 2004.
Pertimbangan hakim yang terdapat di dalam Putusan Nomor No.
058/KPTS/BAPEK/2005 terhadap objek guggatan yang diajukan Badan Pertimbangan
Kepegawaian tersebut di atas, menurut kelompok penulis benar dan sesuai. karena
Tergugat menghambat Penggugat untuk mendapatkan kepastian hukum, karena
terlambatnya Terguggat menyampaikan Surat Keputusan. Tergugat menetapkan
keputusan tanggal, 12 Oktober 2005, tetapi baru Penggugat terima tanggal, 24 April
2006 kurang lebih 7 (tujuh) bulan lamanya Penggugat menunggu Surat Keputusan
tersebut, sedangkan lokasi Tergugat dan Penggugat sama-sama di Jakarta. Tergugat
mengajukan gugatan atas penolakan surat keputusan tersebut ke Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara (PTTUN) Provinsi Jakarta pada tanggal 27 Juni 2006 sehingga
tidak melanggar ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No.5 tahun 1986 yang berisikan
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung
22
sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara. Sehingga penggugat mempunyai dasar hukum sesuai dengan Pasal 53 ayat 2
Undang-undang No.5 tahun 1986 no.9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Pasal 53
(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Surat Keputusan yang dijadikan objek sengketa oleh tergugat apabila
diperhatikan dengan seksama, bisa dikatakan bahwa selain melanggar kepastian hukum
tergugat surat keputusan tersebut juga bertentangan dengan azas-azas umum
pemerintahan yang baik khususnya azas motivasi (Motivering beginselen), yaitu :
23
Asas Motivasi untuk Keputusan, asas ini menghendaki setiap ketetapan harus
mempunyai motivasi/alasan yang cukup sebagai dasar dalam menerbitkan ketetapan.
Alasan harus jelas, terang, benar, obyektif, dan adil. Alasan sedapat mungkin
tercantum dalam ketetapan sehingga yang tidak puas dapat mengajukan banding
dengan menggunakan alasan tersebut. Alasan digunakan hakim administrasi untuk
menilai ketetapan yang disengketakan
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali, 1996, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Raja
GrafindoPersada.
Indroharto, 1999, Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
24
Indroharto, 2003, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, Jakarta; Pustaka Sinar Harapan.
Hadjon P.M., 1992, Pengantar Hukum Administrasi,
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas KKN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara