1 Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015 Perang Gerilya Politik Wacana Baru Membentuk Negara Islam “Mendirikan sebuah negara sebelum terpenuhinya sarana dan prasarana sering kali mengaborsi hasil amal jihad.” (Usamah bin Ladin) Salah seorang pengamat, peneliti, dan pemikir gerakan jihad, Abdullah bin Muhammad, meluncurkan sebuah wacana baru mengenai langkah politik bagi gerakan jihad untuk mendirikan sebuah negara pada Maret 2015 lalu. Wacana baru tersebut ia istilahkan dengan Perang Gerilya Politik. DAFTAR ISI Perang Gerilya Politik 1 Memahami Konflik Libya 19 ____________________________ Tentang Kami Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian SYAMINA (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitik- beratkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis. Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami, kirimkan e-mail ke: [email protected]. Seluruh laporan kami bisa diunduh di website: www.syamina.org
29
Embed
Perang Gerilya Politik - Syamina.orgsyamina.org/uploads/Reguler Mei-Juni 2015_final.pdf · Namun, dari penjelasannya dalam ... berbagai macam cara. ... kemiskinan, dan kemarahan rakyat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Perang Gerilya Politik
Wacana Baru Membentuk Negara Islam
“Mendirikan sebuah negara sebelum terpenuhinya sarana dan
prasarana sering kali mengaborsi hasil amal jihad.”
(Usamah bin Ladin)
Salah seorang pengamat, peneliti, dan pemikir gerakan jihad, Abdullah
bin Muhammad, meluncurkan sebuah wacana baru mengenai langkah
politik bagi gerakan jihad untuk mendirikan sebuah negara pada
Maret 2015 lalu. Wacana baru tersebut ia istilahkan dengan Perang
persetujuan dari PBB agar diterima oleh negara lain
sehingga bisa membuka kedutaan di negara lain
dan diakui kedaulatannya oleh negara lain. Jika ada
sebuah negara yang menyerang negara lain maka
Dewan Keamanan PBB akan mengeluarkan izin
bagi dunia internasional untuk menghukum negara
tersebut secara militer. Sebagaimana yang terjadi
di Irak saat menyerang Kuwait, Perang Kosovo, dan
perang-perang lainnya.
Negara manapun yang berusaha meraih nuklir atau
membantu terorisme maka akan diembargo secara
ekonomi hingga nantinya tunduk kepada Bank
Dunia seperti yang terjadi pada Iran dan Korea
Utara. Pada kondisi tertentu mata uang mereka
bisa saja dieliminasi nilainya oleh IMF.12
Bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet pada
akhir dekade ‘80-an maka berakhir pula Perang
Dingin I sehingga jadilah AS sebagai satu-satunya
negara adidaya di dunia yang menjadikan AS
memiliki 700 peleton pasukan militer di seluruh
wilayah dunia. Akan tetapi, hal itu tidak
berlangsung lama. Amerika terkuras energinya
dalam perang melawan Al-Qaidah di Afghanistan
dan Irak dekade yang lalu. Perang ini mampu
12 Ibid.
menggetarkan kewibawaan politik dan militer
Amerika.
Kekalahan Amerika ini menjadi sebab utama krisis
moneter yang menimpanya. Hal ini berbarengan
dengan meningkatnya perekonomian Cina dan
Rusia yang mulai menggeliat. Fenomena ini seolah
mengembalikan keseimbangan kekuatan dunia
yang dengannya berakhirlah dominasi Amerika
yang hanya mampu bertahan selama 20 tahun.
Rusia kembali menggunakan hak vetonya melawan
berbagai kebijakan AS di Dewan Keamanan.
Padahal, dalam rentang waktu 20 tahun yang
lalu—pasca runtuhnya Uni Soviet—ketika masih
lemah, Rusia sama sekali tidak mampu melawan
kehendak AS. Namun, sekarang Angkatan Laut
Rusia sudah kembali mengarungi berbagai
samudera.
Rusia kembali bersikap laksana kekuatan
superpower seperti sebelumnya yang menjadikan
Rusia semakin menjalin kekuatan dengan sekutu-
sekutunya seperti Iran, Suriah, Ukraina, dan Serbia.
Keadaan ini menandakan bahwa secara resmi
dunia telah memasuki Perang Dingin II.
Perkembangan sains yang pesat pada abad lalu
membuat fungsi dan tugas negara-negara berubah,
baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dahulu
negara hanya bertanggung jawab menjaga
keamanan rakyatnya, keamanan negara,
memutuskan sengketa, dan mengambil pajak.
Adapun hari ini negara bertanggung jawab atas
semua hal. Bisa kita lihat bagaimana tingginya
10
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
tingkat pengangguran di negara-negara Eropa
dibebankan kepada negara. Kondisi ini tentunya
berbeda di antara negara-negara Eropa tergantung
perkembangan sain dan tabiat hukum yang berlaku
di negara yang bersangkutan. Poinnya adalah tugas
pemerintah berbeda antara dulu dan sekarang
dikarenakan perubahan yang terjadi pada
kebutuhan-kebutuhan rakyat. Makanan, obat-
obatan, senjata, listrik, bahan bangunan, dan
bahan bakar merupakan komoditi pokok yang
untuk mendapatkannya harus menjalin
kesepakatan dengan negara-negara lainnya.
Kesepakatan-kesepakatan ini tergantung kepada
kemampuan suatu pemerintahan dalam mengatur
kesepakatan tersebut agar tidak bertentangan
dengan kepentingan negara-negara besar yang
menguasai Bank Dunia, IMF dan WTO (World Trade
Organization). Ketersediaan kekayaan alam seperti
minyak dan barang tambang pada sebuah negara
bukanlah jaminan suatu negara menjadi makmur
dan pemerintahnya sukses. Karena dominasi
negara-negara Barat terhadap hukum internasional
membuat mereka mampu membuat negara yang
kaya akan hasil alam menjadi miskin dan terus
berada dalam permasalahan ekonomi dan politik,
sebagaimana yang mereka lakukan kepada Sudan.
Sudan memiliki sumber minyak, dialiri Sungai Nil,
berada di sepanjang laut, memiliki lahan-lahan
pertanian, dan berbagai kekayaan lainnya yang
mampu membuat Sudan lebih maju. Namun,
karena diperintah oleh kubu islamis akhirnya Barat
memberikan sanksi ekonomi kepada Sudan.
Dengan alasan Sudan menampung Usamah bin
Ladin dan Aiman Azh-Zhawahiri mensponsori
perang saudara dan mendukung pemisahan Sudan
Selatan. Oleh karena itu, sampai saat ini Sudan
masih berada dalam krisis.
Hal yang sama juga terjadi pada Irak, Kuba, Iran,
dan Korea Utara. Pada setiap negara tersebut,
Barat senantiasa menghalangi kesuksesan mereka
agar Barat bisa menundukkan negara-negara
tersebut. Dan perlawanan yang dilakukan oleh
negara-negara tadi berbeda sesuai dengan kondisi
politik internasional. Saat dunia masih dikuasai dua
negara adidaya, negara-negara tadi mampu
bertahan dengan baik. Akan tetapi, setelah AS
mendominasi, keadaan negara-negara tadi menjadi
semakin sulit. Maka kita bisa saksikan bagaimana
Goerge W. Bush dengan pongahnya berkata,
“Bersama kami atau bersama teroris” dan dengan
seenaknya dia melancarkan perang tanpa
persetujuan Dewan Keamanan PBB karena dia tahu
tidak akan ada negara yang mampu menentang
kebijakan mereka.
Pasca runtuhnya dominasi AS dan kembalinya
keseimbangan kekuatan dunia dan penolakan
pemerintah AS untuk turun perang lagi pasca
terkurasnya energi mereka melawan Al Qaida,
serta ditambah efek krisis moneter yang menimpa
AS membuat mereka tidak mampu bergerak
(perang) sendirian. Dengan begitu kestabilan
negara-negara yang menjadi musuh AS meningkat.
Tentunya peningkatan ini sesuai keadaan masing-
masing.
11
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Diskusi Perang Gerilya Politik: Kritik dan Apresiasi
Ide Perang Gerilya Politik yang disampaikan
Abdullah bin Muhammad dengan bahasa yang jelas
dan gamblang tersebut menjadikannya sebagai
bahan diskusi dan perdebatan antara banyak
pemikir, terkhusus ulama jihadis.
a. Tanggapan dan Kritik Abu Qatadah Al-
Filishthini (Ideolog Jihadi Terkemuka)
Abu Qatadah Al-Filishthini misalnya. Hanya
berselang satu hari setelah diutarakannya wacana
tersebut oleh Abdullah bin Muhammad, ia
langsung memberikan tanggapan dan kritik yang
lumayan panjang atas ide Perang Gerilya Politik
tersebut. Umumnya, Abu Qatadah sependapat
dengan Abdullah bin Muhammad mengenai
adanya perubahan drastis politik tatanan dunia
mengenai pendirian dan pendeklarasian negara
modern. Di mana sebuah negara tidak mungkin
bisa terlepas dari tatanan dan hukum tersebut.
Abu Qatadah juga sepakat bahwa perang
merupakan bagian dari politik dan tidak
semestinya gerakan jihad hanya terfokus pada
perlawanan militer tanpa pernah memperhatikan
perlawanan politik. Namun, pemikir jihadi tersebut
tidak sependapat dengan Abdullah bin Muhammad
bahwa para komandan gerakan jihad dewasa ini
mengabaikan peran politik tersebut. Menurutnya,
anggapan bahwa sikap gerakan jihad dewasa ini
terhadap politik tidak jauh berbeda dengan sikap
gerakan jihad terdahulu adalah sebuah kekeliruan.
Gerakan jihad Al-Qaidah pasca-Perang Afghanistan,
misalnya, telah berusaha dengan segenap daya dan
upaya yang mereka miliki untuk sampai pada
tujuan mereka, yang salah satunya adalah dengan
mengadakan aliansi dengan Taliban.13
Kritik utama Abu Qatadah terhadap wacana
Abdullah bin Muhammad terletak pada aspek
aplikasi dari teori Perang Gerilya Politik, bukan
pada tataran konsep dan teorinya. Untuk itu, poin
pertama berkaitan landasan teori (ta’shil) yang
disebutkan oleh Abu Qatadah untuk wacana dan
ide apa pun adalah kemungkinan wacana atau ide
tersebut untuk diaplikasikan, bukan sekadar
wacana dan ide yang muluk dan indah, namun
tidak mungkin diaplikasikan di lapangan. Atas dasar
ini, Abu Qatadah menilai bahwa mendirikan
sebuah negara—meski dengan mendeklarasikan
secara resmi bahwa syariat Islam sebagai satu-satu
sumber hukum melalui jalan demokrasi (partai dan
pemilu)—merupakan sesuatu yang hampir
mustahil untuk terealisasi. Ini karena demokrasi
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem hegemoni tatanan internasional, yang ia
istilahkan dengan Manzhumah Hukm Al-Jahiliyyah
Al-Kulli (tatanan hukum jahiliyyah yang
universal).
14
Poin kritik Abu Qatadah berikutnya adalah
mengenai eksperimen jihadi Libya yang dijadikan
sebagai model aplikasi teori Abdullah bin
Muhammad. Bagi Abu Qatadah, sebelum
13 Baca Abu Qatadah Al-Filishthini, Ta’qib Asy-Syaikh Abi Qatadah ‘ala Maqal Hurub Al-‘Ishabat As-Siyasiyyah, dapat diakses di www.justpaste.it/jvw0 14 Ibid.
celah-celah politik di wilayah yang di sana mereka
unggul dalam aspek militer dengan strategi perang
gerilya mereka. Wacana dan ide itu hadir setelah
adanya usaha Barat menyerang secara gerilya
melalui drone di wilayah-wilayah yang dikuasai
oleh jihadis setelah mereka mengumumkan
berdirinya sebuah negara, sehingga menimbulkan
banyak korban dari mereka. Meski perlu
dimatangkan terlebih dahulu, tak dipungkiri
bahwa, konsep Perang Gerilya Politik telah
memberikan tambahan pembendaharaan dan
strategi alternatif bagi tatanan pemikiran, strategi,
dan poltik bagi gerakan-gerakan jihad. Jadi, jika
konsep tersebut bisa dimatangkan kemudian
ditetapkan dan diaplikasikan dalam setiap proses
pembuatan keputusan gerakan jihad, maka akan
terwujudlah keharmonisan dan sinergi aktifitas
jihad di dunia yang tampak pada kedinamisan baru
dalam perubahan dan manuver mereka. Namun
untuk menuju ke arah itu diperlukan suatu proses.
Lama tidaknya proses tersebut tergantung sejauh
mana gerakan jihad mampu mensinergikan antara
Sunnah Syar’iyyah dan Sunnah Kauniyyah menjadi
kerangka dalam seluruh pemikiran dan aktifitas
mereka.
Rasulullah telah menjanjikan akan kembalinya fase
Khilafah ‘ala Manhaj An-Nubuwwah bagi umatnya,
setelah ia hilang tergantikan oleh fase-fase lain. Hal
itu merupakan fase di mana akan kembalinya Islam
sebagai sistem yang menghegemoni dunia
sebagaimana yang terjadi pada era Khulafa`
Rasyidin. Sebagaimana diketahui bahwa Khilafah
‘ala Manhaj An-Nubuwwah pertama merupakan
hasil dari kesepakatan dan persatuan umat Islam
pada saat itu yang berdasarkan prinsip-prinsip
Islam yang baku. Lantas, apakah dengan adanya
wacana dan ide Perang Gerilya Politik merupakan
di antara proses untuk lahirnya wacana dan ide
baru yang mampu mempersatukan umat Islam
tanpa terkecuali? Wallahu A’lam. (Ali Sadikin)
19
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Memahami Konflik Libya
Ansharusy Syariah sebagai Pemain Kunci
Konflik Libya—yang diistilahkan oleh beberapa
media sebagai perang saudara (civil war)—
adalah konflik bersenjata yang sedang
berlangsung antara kubu islamis Libya dan
lawan-lawan politik mereka dari kubu sekuler
sejak 2014. Dari sisi politik, golongan penerus
rezim Qadzafi bisa dibedakan menjadi dua
kelompok utama: golongan nasionalis yang
ingin menjadikan Libya sebagai negara sekuler
dan golongan islamis yang ingin mengubah
negara menjadi negara yang berbasis Syariah.
Kedua golongan ini masing-masingnya juga
bisa dibedakan lagi menjadi golongan sentralis
(yang menginginkan agar pemerintah pusat
memiliki kontrol kuat ke daerah) dan golongan
federalis (yang menginginkan otonomi luas di
daerah).
Faktor politik bukanlah faktor satu-satunya yang
menyebabkan perpecahan antargolongan di Libya.
Faktor sentimen kesukuan dan kedaerahan juga
menjadi penyebab lain dari perpecahan di mana
ketika terjadi sengketa dan konflik, maka pihak-
pihak yang terlibat di dalamnya cenderung
menempatkan kepentingan suku dan daerahnya
sendiri sebagai prioritas. Dikombinasikan dengan
begitu bebasnya peredaran senjata di Libya dan
masih lemahnya penegakan hukum dan
pemerintahan sipil yang efektif di Libya pasca
perang penggulingan Qadzafi (2011). Libya pun
menjadi negara yang dipenuhi oleh kelompok
bersenjata sehingga situasi keamanan di sana
menjadi tidak menentu.
Tahun 2012, Libya sempat berhasil menyusun
pemerintahan usai digelarnya pemilu parlemen
pada bulan Juli di tahun yang sama. Parlemen hasil
pemilu tersebut oleh media-media asing dikenal
dengan nama Kongres Nasional Umum (GNC;
General National Congress) dan keanggotaannya
didominasi oleh golongan Islamis. Namun, selama
GNC berkuasa, muncul rasa tidak puas dari kubu
militer Libya karena GNC dituduh lebih memilih
untuk mempersenjatai kelompok-kelompok milisi
Islamis daripada memperbarui alutsista dan
meningkatkan kesejahteraan tentara. Rasa tidak
suka terhadap gaya pemerintahan GNC juga
muncul dari golongan sekuler karena GNC
mencoba menerapkan syariat Islam ke seantero
Libya.
20
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Masa kerja GNC seharusnya berakhir pada tanggal
7 Februari 2014. Namun, dengan alasan GNC
belum berhasil merumuskan UUD/konstitusi baru
Libya akibat konflik antargolongan di parlemen,
GNC pun mengajukan perpanjangan masa tugas.
Gagasan ini pun menuai aksi protes dari golongan
non-Islamis, termasuk Khalifah Haftar selaku salah
satu mantan petinggi militer Libya. Kubu militer
pun menganggap lawan politiknya gagal
mempertahankan otoritas mereka sebelum
mandat berakhir. Pada tanggal 14 Februari 2014,
Jenderal Khalifah Haftar memerintahkan
pembubaran GNC dan pembentukan komite
pemerintahan sementara untuk mengawasi
pemilihan umum yang baru. GNC menolak perintah
ini.
Konflik dimulai dua bulan kemudian, pada tanggal
16 Mei, ketika tentara yang setia kepada Jenderal
Haftar melancarkan serangan darat dan udara
besar-besaran (dengan nama kode Operasi
Martabat; Operation Dignity; 'Amaliyyah Al-
Karamah) terhadap kubu Islamis di Benghazi.
Haftar dan pendukungnya menjelaskan bahwa
Operasi Martabat adalah "pembenaran menuju
jalan revolusi" dan "perang terhadap terorisme".
Dua hari kemudian, pasukan Haftar berupaya
untuk membubarkan GNC di Tripoli supaya pemilu
yang baru bisa segera digelar. Tindakan ini oleh
kubu Islamis GNC dianggap sebagai upaya kudeta.
Ekskalasi konflik menghalangi upaya kelompok
islamis di GNC yang sejak awal menolak pemilu
baru. Pada tanggal 25 Juni 2014 terselenggara
pemilu yang bertujuan untuk mengangkat Dewan
Perwakilan Rakyat sebagai pengganti GNC. Karena
pemaksaan agenda dan dominasi kubu sekuler,
kelompok islamis pun dipinggirkan dalam pemilu
tersebut kubu sekuler berhasil keluar sebagai
pemenang.
Namun, perlu diperhatikan bahwa pemilu tersebut
hanya diikuti oleh kurang dari 20% rakyat Libya
sebagai akibat dari kacaunya situasi keamanan dan
menurunnya antusiasme rakyat untuk
berpartisipasi. Lepas dari hal tersebut, pemilu
tetap disahkan secara sepihak serta para
pemenang diangkat menjadi anggota parlemen
yang baru sebulan sesudahnya. Parlemen inilah
yang diakui negara-negara Barat sebagai
pemerintahan sah Libya dan parlemen ini juga
mendapat dukungan dari kubu Haftar dan
pengikutnya.
Dibentuknya parlemen Libya yang baru tidak
disambut dengan baik oleh semua pihak. Kubu
Islamis di GNC menganggap pemilu yang menjadi
dasar pembentukan parlemen terbaru tidak sah
karena pemilu tersebut harusnya tidak digelar jika
pasukan pendukung Haftar tidak membubarkan
GNC secara paksa. Maka, golongan Islamis pun
membentuk parlemen tandingan dengan nama
New General National Congress (NGNC).
Untuk menggulingkan paksa parlemen baru Libya
lewat jalur militer, NGNC lalu menggelar operasi
militer tandingan dengan nama sandi Operasi Fajar
(Operation Dawn) pada 13 Juli 2014, di mana
kelompok-kelompok milisi islamis yang sehaluan
dengan NGNC menjadi ujung tombaknya. Konflik
21
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
semakin memuncak setelah pasukan islamis
melancarkan operasi yang berupaya menguasai
Bandara Internasional Tripoli. Gagal
mempertahankan bandara, mereka
menghancurkan sejumlah pesawat di landasan dan
membuatnya tidak bisa dioperasikan.
Sementara itu di Benghazi (kota terbesar di Libya
timur), operasi militer yang dilakukan pasukan
Haftar dimaknai sebagai perang melawan agama
oleh kelompok islamis. Maka, kelompok-kelompok
Islamis di Benghazi pun membentuk organisasi
koalisi baru yang bernama "Shura Council of
Benghazi Revolutionaries" (SCBR; Dewan Syura
Revolusioner Benghazi) pada bulan Juni 2014.
Dewan ini mendorong pembentukan pemerintahan
islami di Benghazi. Salah satu kelompok penyusun
SCBR adalah kelompok Ansharusy Syariah, di mana
kelompok tersebut tidak mengakui GNC karena
Ansharusy Syariah menolak paham demokrasi.
Kelompok inilah yang dituduh Amerika Serikat (AS)
sebagai jaringan Al-Qaidah dan terlibat dalam
serangan Benghazi 2012.
Perang Libya 2014–2015 banyak mengambil
tempat di pantai utara Libya karena di sanalah
kota-kota penting dan kilang minyak Libya
terkonsentrasi. Berikut ini peta yang
menggambarkan persebaran pengaruh dan kontrol
dari masing-masing pihak yang bertikai, menurut
tiga kategori kubu utama:
- kubu nasionalis sekuler;
- kubu Islamis pendukung parlemen NGNC;
- kubu Islamis lain yang mencakup Ansharusy
Syariah dan sekutunya.28
Sekilas rincian dari kubu-kubu yang bertikai adalah
sebagai berikut:
A. Pemerintah Sekuler Libya dan Para
Pendukungnya
Kubu ini menginginkan Libya menjadi negara
dengan sistem pemerintahan sekuler & memiliki
parlemennya sendiri di mana parlemennya baru
terbentuk pada bulan Agustus 2014 lalu. Sekarang
parlemen nasionalis bermarkas di Tobruk, timur
Libya, karena ibukota Tripoli dikuasai oleh kubu
islamis.
1. Libyan National Armed Forces (LNA) atau
Tentara Nasional Libya, baik dari elemen
angkatan darat, laut, dan udara. Sebagian
elemennya adalah mantan tentara yang
masih loyal kepada Qadzafi. Menurut data
bulan Oktober 2013, kekuatan angkatan 28 “Daftar Kelompok Bersenjata dalam Perang Libya 2014”, http://www.re-tawon.com/2014/11/daftar-kelompok-bersenjata-dalam-perang.html
22
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
bersenjata sempat mencapai 35.000
personel, tetapi kini diperkirakan hanya
mencapai 20.000 personel dengan
pengalaman tempur rendah. Sisanya
diperkirakan memihak rival dari kubu
islamis. Selaku KSAD adalah Kolonel
Abdurrazzaq Nadhuri, sedangkan KSAU
adalah Jenderal Shaqr Al-Jarusyi. Pasukan
ini mendapat dukungan penuh dari kubu
Khalifah Haftar. Mereka menjadi motor
utama Operasi Martabat.
2. The Petroleum Facilities Guard (PFG) atau
Pasukan Penjaga Instalasi Minyak Libya.
Sesuai namanya, pasukan ini melindungi
instalasi minyak yang dimiliki Libya.
Kekuatan tempur yang dimiliki 18.000–
21.000 orang, di mana 2.000 dari mereka
adalah militer terlatih. Pemimpin PFG
wilayah Timur adalah Kolonel Idris Abu
Khamada, yang juga bersekutu dengan
Pasukan Cyrenaica. Pasukan ini selain
memainkan peran sebagai penjaga instalasi
minyak Libya, juga mengatur ekspor impor
minyak ke luar Libya, di samping menghalau
para Islamis yang ingin merebut ladang
minyak.
3. Cyrenaica Self-Defence Force (CSDF) atau
Pasukan Bela Diri Cyrenaica di timur Libya.
Mereka memberikan loyalitasnya kepada
Jenderal Haftar dan ingin mendirikan
daerah otonomi federal di wilayah timur
Libya. Mereka memiliki dua divisi pasukan,
pasukan tempur dan pasukan penjaga
keamanan. Memiliki dewan transisi
pimpinan Ahmad Zubair As-Sanusi dan Biro
Politik pimpinan Ibrahim Jadhran, mantan
komandan PFG. Sedangkan pasukan
penjaga keamanannya dipimpin oleh
Kolonel Najib Al-Hassi. Berdasarkan data
bulan Oktober 2013, kekuatan CSDF
mencapai 17.500 personil.
4. Thunderbolt Special Force atau Pasukan
Khusus Ash-Sha’iqah. Merupakan unit
pasukan khusus yang berjumlah sekitar
3.000–5.000 personel yang dipimpin
Kolonel Wanis Boukhamda. Brigade ini
ditugaskan pemerintah Libya untuk
menjaga keamanan di Bengazhi pada era
GNC. Brigade ini terlibat pertempuran
dengan kelompok Ansharusy Syariah pada
akhir Juli 2014 dan gagal mempertahankan
wilayah Bengazhi.
5. Al-Zintan Revolutionaries' Military Council
(ZRMC) atau Brigade-Brigade Zintan.
Ideologi kelompok ini bercampur antara
nasionalisme dan kesukuan. Kelompok ini
terbagi menjadi tiga kekuatan tempur
utama:
a. Brigade Ash-Shawa’iq dengan kekuatan
mencapai 2.000 personil yang berseragam
sama dengan AD Libya dan dibekali dengan
senjata-senjata berat. Brigade ini berdiri
tahun 2011 dalam rangka memberi
perlindungan keamanan bagi para pejabat
pemerintah transisi dan lembaga di Tripoli.
23
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Pimpinannya adalah Isham Ath-Tharabulusi.
Sebagian besar elemennya berasal dari
suku Zintan yang berbasis di Tripoli.
b. Brigade Al-Qa’qa. Pasukan ini juga berdiri
di tahun 2011 dalam rangka menggulingkan
Qadzafi. Mereka mengklaim sebagai
brigade yang paling terorganisir dan terbaik
dengan sekitar 18.000 tentara. Brigade
pimpinan Utsman Mulayqitah ini
berideologi Nasionalis. Awalnya, dalam
konflik ini mereka berugas menjaga
keamanan pemerintah Libya. Namun,
dalam perjalanannya, mereka juga turut
bertempur melawan pasukan islamis,
termasuk dugaan penculikan para anggota
GNC.
c. Brigade Al-Madani. Brigade ini dipimpin
oleh Muhammad Ali Al-Madani di tengah-
tengah suasana konflik. Diperkirakan
kekuatannya sekitar 4.000 personil
sehingga membentuk total kekuatan
Brigade-Brigade Zintan hingga 24.000
pasukan.
6. Pihak Luar Negeri. Peran Mesir dan UEA
dalam konflik Libya tidak boleh diabaikan.
Saat pertempuran terjadi di Tripoli,
angkatan udara kedua negara tersebut
diduga kuat turut menyerang pejuang
islamis. Alasannya adalah dalam rangka
memerangi kelompok teroris di Libya.
B. Kelompok Islamis Pro NGNC dan Koalisinya
Kubu ini ingin mengubah Libya menjadi negara
Islam dan dianggap sebagai sayap militer tidak
resmi dari parlemen islamis NGNC yang sekarang
bermarkas di Tripoli. Selain dengan nama NGNC,
parlemen yang bersangkutan juga menyebut
dirinya dengan nama National Salvation
(Keselamatan Nasional).
1. LROR (The Libya Revolusioner Operation
Room). Kelompok ini menjadi backing bagi
pemerintah GNC yang berhasil digeser oleh
pemerintah Libya saat ini. Mereka berada di
bawah kendali Komandan Sya’ban Hadiyah
dan Adil Gharyani. Saat lengser, pemerintah
Libya menuding bahwa pasukan ini masuk
dalam daftar organisasi teroris. Pasukan ini
dibentuk dalam rangka menjaga ketertiban
dan keamanan wilayah Tripoli. Dalam
perjalanannya, mereka tidak hanya
beroperasi di Tripoli, namun meluas ke
daerah-daerah lain di Libya, termasuk
Bengazhi.
2. LSF (Libya Shield Force) atau Pasukan Perisai
Libya. Kelompok ini dianggap sebagai salah
satu yang terkuat di Libya. Pasukannya
terdiri dari 12.000 pejuang terlatih dan
1.200 kendaraan militer. Di samping itu,
kelompok ini juga aktif dalam misi sosial
dan dakwah. Mereka bekerja sama dengan
suku Misrata dalam Operasi Fajar untuk
menyerang Bandara Tripoli. Daerah operasi
kelompok ini meliputi Libya bagian barat,
tengah, dan timur. Libya Shield Force 1
(Pasukan Pertahanan Libya 1) adalah
24
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
cabang dari Libya Shield Force yang
tergabung dalam Majelis Syura
Revolusioner Benghazi (SCBR).
3. Brigade Misrata. Kelompok ini termasuk
yang terkuat di Libya berdasarkan jumlah
anggota dan stok persenjataannya. Pasukan
Misrata aslinya merupakan gabungan dari
236 kelompok milisi setempat yang
bermunculan saat perang sipil Libya masih
berlangsung. Menurut data bulan Oktober
2013, jumlah anggota Pasukan Misrata
adalah sekitar 40.000 personil. Bukan hanya
itu, Pasukan Misrata juga menyimpan stok
persenjataan yang terdiri dari 800 buah
tank, 2.000 buah kendaraan militer, dan
30.000 pucuk senjata api. Daerah operasi
Brigade Misrata terkonsentrasi di Libya
bagian tengah dan barat.
4. Pihak Luar Negeri seperti Qatar, Sudan, dan
Turki. Anggota pemerintah sekuler Libya,
salah satunya Ahmad Al-Hirati, menuding
Qatar telah mendukung kelompok-
kelompok militan Islam. Qatar dinilai
memanfaatkan dukungan ini untuk
menambah pundi-pundi ekonomi mereka
dengan dikirimnya minyak dan gas alam
dari Bandara Tripoli setelah berhasil
dikuasai.
C. Kelompok Jihadis
Kubu yang juga ingin menjadikan Libya sebagai
negara Islam. Kelompok paling dominan dalam
kubu ini adalah Ansharusy Syariah, di mana
kelompok yang bersangkutan menolak
demokrasi sehingga secara otomatis kelompok
tersebut tidak terlibat langsung dengan
keberadaan NGNC dan parlemen nasionalis
Libya. Namun, di kota Benghazi Ansharusy
Syariah bekerja sama kelompok-kelompok
Islamis lainnya tergabung dalam SCBR (Shura
Council of Benghazi Revolutionaries) sebagai
wadah perjuangan bersama.
1. Ansharusy Syariah Libya (ASL). Kelompok ini
bertujuan untuk menegakkan syariat Islam
di Libya. Pada mulanya dipimpin oleh
Muhammad Az-Zahawi dan setelah ia gugur
digantikan oleh Abu Khalid Al-Madani. Pada
2012, AS menuding kelompok ini
bertanggung jawab atas pengeboman
Kantor Konsulat AS di Bengazhi 2012 dan
menawaskan duta besarnya, Christopher
Stevens. Dari sinilah AS menempatkannya
termasuk dalam kelompok teroris yang
terkait Al-Qaidah. ASL memiliki pejuang
yang loyal dan berpengalaman sekitar 5.000
personil, sebagian dari mereka adalah
veteran Perang Afghanistan.
2. Brigade Syuhada 17 Februari. Kelompok ini
dianggap sebagai kelompok terkuat,
terbaik, dan terlengkap dari sisi
persenjataan di wilayah timur Libya.
Anggotanya berkisar 3.500 pejuang.
Namun, sumber lain menyatakan
jumlahnya mencapai 12.000 pejuang.
25
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
3. Brigade Rafallah Al-Sahati. Mereka adalah
pecahan dari Brigade Syuhada 17 Februari
yang dipimpin oleh Ismail Ash-Shallabi.
Berdasarkan data Oktober 2013, jumlah
pasukannya berkisar 1.000 orang dan
memiliki daerah operasi di Libya Timur dan
Kufra. Bersama dengan LSF dan Brigade 17,
pemerintah pusat Libya pada era GNC
sempat mengakui peran Pasukan Rafallah
sebagai penjaga keamanan resmi di wilayah
timur.
4. ISL (the Islamic State in Libya) atau Daulah
Islamiyah Wilayah Libya. Kelompok ini
merupakan pendukung ISIS yang sudah
mulai menampakkan eksistensinya, di
antaranya di Derna. Mereka memiliki
agenda sendiri dan menyatakan sumpah
setia kepada Abu Bakar Al-Baghdadi.
Mereka sudah mempersiapkan administrasi
semi-pemerintahan di daerah yang mereka
kontrol dan upaya penegakkan hudud.
Namun, kelompok ini terlibat dalam
sejumlah insiden berdarah. Di antaranya
pemenggalan warga Koptik yang memicu
respons serangan dari militer Mesir.
Kelompok ini juga terlibat konflik bersenjata
dengan Majelis Syura Mujahidin Derna
sehingga terusir dari sana (Juni 2015).
Di lapangan, kelompok islamis dan jihadis—
selain ISL—bekerja sama melawan kubu Haftar
di bawah naungan Majelis Syura Revolusi Libya.
Wadah ini merupakan aliansi gabungan dari
beberapa brigade yang terbentuk bulan Juni
2014 sebagai respons atas Operasi Martabat
yang dilancarkan kubu Haftar. Pada tanggal 14
Juli 2014, aliansi ini berhasil mengambil alih
Barrack 319, salah satu barak militer terbesar di
Libya Timur. Pada akhir Juli 2014, lima barak
militer di Bengazhi berhasil dikuasai, termasuk
markas Pasukan Khusus Ash-Sha’iqah. Secara
khusus, kemunculan dan kiprah ASL sebagai
pemain kunci dan representasi kelompok
jihadis akan diuraikan lebih lanjut.
Kemunculan Ansharusy Syariah Libya (ASL)
Selama dua tahun terakhir, perhatian global
banyak bergeser ke Suriah dan Irak dengan
munculnya Jabhatun Nushrah (JN) dan kembalinya
Daulah Islamiyah Irak dan Syam atau the Islamic
State of Iraq and Sham (ISIS). Namun, hampir
seribu mil ke barat, Ansharusy Syariah di Libya
(ASL) terus bekerja memfasilitasi sebuah embrio
daulah islamiyah masa depan sejak serangan
spektakuler di Konsulat Jenderal AS di Benghazi
pada 11 September 2012.
Awalnya, ASL meluncurkan program dakwah yang
sangat mengesankan, termasuk penyediaan
pelayanan sosial baik di dalam dan di luar Libya. Ini
telah memberikan dengan sebuah jalan untuk
dukungan lokal. Namun, karena kubu Jenderal
Khalifah Haftar mengumumkan Operasi Martabat
terhadap kelompok bersenjata islamis di Libya
timur sejak Mei 2014, aktivitas ASL menjadi lebih
difokuskan terutama pada aksi militer.
26
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
Dalam banyak hal, ASL mengikuti model Ansharusy
Syariah di Tunisia (AST), melihat jangkauan dan
layanan sosial kampanye sebagai bagian penting
dari penggalangan dukungan. Juga, pembangunan
bukan hanya masyarakat Islam, tapi daulah
islamiyah (negara Islam), yang nantinya akan diatur
oleh Syariah (hukum Islam). Berbeda dengan
pemerintah Libya, yang sering korup, tidak
kompeten, atau ekstraktif, ASL bekerja untuk
meyakinkan penduduk setempat akan kompetensi
dan kebajikan sendiri. Ini membantunya
memenangkan dukungan publik yang lebih besar.
Selain jangkauan ASL di seluruh Libya—dari
Benghazi, Tripoli, Sirte, Ajdabiya, Derna, dan Teluk
Sidra—pada tingkat lokal yang lebih kecil lainnya
ASL juga beroperasi dan memiliki jaringan di luar
negeri. ASL juga telah mengirimkan bantuan dan
kerja sama untuk Suriah, Sudan, dan Gaza untuk
membantu dalam upaya bantuan kemanusiaan.
Aktivitas ini telah menambah lapisan baru bagi
pemaknaan jihad global dan bagaimana berbagai
kelompok mencoba untuk terlibat pada populasi
dan kegiatan di luar teritorial operasi mereka.
ASL telah menikmati sejumlah identitas sebagai
sebuah organisasi: Di satu sisi, ASL telah menjadi
organisasi amal, layanan keamanan, layanan
kesehatan, dan penyedia tarbiyah diniyah; di sisi
lain, juga merupakan milisi; sebuah organisasi jihad
dan potensi basis pelatihan bagi para pejuang
asing.
Pada dasarnya, ASL muncul ke permukaan sebagai
dampak dari Musim Semi Arab (Arab Spring), yang
secara spesifik merujuk pada negara-negara Afrika
Utara, yaitu Mesir, Libya, dan Tunisia. Kondisinya
adalah rezim sepenuhnya digulingkan dan ruang
publik terbuka. Negara-negara ini juga mewakili
sebuah awal baru dan laboratorium untuk
kampanye jihad baru, sebagai pengganti dari
eksperimen yang pernah dilakukan oleh Al-Qaidah
di Irak (AQI). Melalui payung Daulah Islamiyah
Irak/ISI (the Islamic State of Iraq), mereka
mengalami kegagalan dalam mengendalikan
wilayah dan melembagakan pemerintahan yang
stabil pada satu dekade terakhir, sampai kemudian
bertransformasi menjadi ISIS.
Strategi ASL: Memulai dengan Dakwah
Pembentukan ASL seiring dengan organisasi sejenis
di Tunisia (AST) dan Mesir (ASE) dipandang sebagai
pemaknaan logis dan implementasi gagasan Azh-
Zawahiri dan Al-Maqdisi. Pemimpin Al-Qaidah Dr.
Aiman Azh-Zawahiri berpikir bahwa lingkungan
baru seperti Libya memberikan kesempatan "untuk
27
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
dakwah dan menjelaskan ... Hanya Allah yang tahu
berapa lama mereka [pemerintah daerah dan
Barat] akan berlanjut, sehingga orang-orang Islam
dan jihad mengambil manfaat dari mereka dan
mengeksploitasi mereka."
Dalam pesan audio yang sama, Azh-Zhawahiri juga
menekankan keunggulan Syariah atas semua
sistem hukum lainnya. Ia juga mendukung
pembebasan negeri Islam, menentang normalisasi
hubungan dengan Israel, dan menggarisbawahi
pentingnya "membersihkan negeri" dari korupsi
keuangan dan sosial.29
Sementara, pada tahun 2004, ideolog jihad
terkemuka yang hidup hari ini, yaitu Abu
Muhammad Al-Maqdisi, menulis Waqafat ma’a
Tsamarat Al-Jihad (Renungan bersama Buah-Buah
Jihad) dalam upaya untuk mengarahkan gerakan
jihad jauh dari kesalahan. Buku ini dilatarbelakangi
oleh koreksinya terhadap saudara-saudara
seperjuanganya di AQI yang dipimpin oleh murid
sekaligus sahabatnya, Abu Mush’ab Az-Zarqawi.
30
Dalam buku tersebut, Al-Maqdisi meneliti
perbedaan antara apa yang disebutnya sebagai
qital an-nikayah (berjuang untuk menyakiti atau
merusak musuh) dan qital at-tamkin (berjuang
untuk mengkonsolidasikan kekuasaan seseorang).
Al-Maqdisi berpendapat bahwa mantan hanya
menyediakan jangka pendek kemenangan taktis
sedangkan yang terakhir menyediakan kerangka
kerja untuk mengkonsolidasikan negara Islam.
29 Aaron Y. Zelin, "Know Your Ansar al-Sharia," Foreign Policy, September 21, 2012. 30 Aaron Y. Zelin, "Maqdisi's disciples in Libya and Tunisia," Foreign Policy's Middle East Channel, November 14, 2012.
Implisit adalah penekanan Maqdisi tentang
pentingnya perencanaan, organisasi, tarbiyah, dan
dakwah.31
Pada puncak kampanye dakwahnya sebelum
meletus civil war, ASL mampu melakukan kontrol
Singkatnya, ASL adalah jamaah yang
memprioritaskan strategi dakwah dulu, bukan jihad
dulu. Konsekuensinya, salah satu pendekatan
utama—yang mana ASL mengalami kemajuan
pesat—adalah program pelayanan sosial. Tren
tersebut menunjukkan bahwa gerakan jihadi
melakukan pendekatan dengan menggalang
dukungan dan pengikut secara luas. Ini berbeda
dengan banyak organisasi perjuangan yang telah
terlibat dalam eksperimen jihad dalam kapasitas
lokal, regional, atau global selama 30 tahun
terakhir. Cara ini pun dipandang sebagai
pendekatan baru untuk mengonsolidasikan
“Negara Islam” pada masa depan.
Pendekatan dakwah yang disponsori ASL lebih
terkait dengan layanan sosial seperti pembagian
daging dan makanan untuk fakir-miskin dan selama
Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha, terutama pada
musim panas dan musim gugur 2014. ASL juga
menyediakan layanan yang langsung bisa dirasakan
masyarakat seperti membuka klinik medis untuk
perempuan dan anak-anak, sebuah Islamic Center
khusus untuk wanita, sebuah ruang UGD, dan
sebuah ma’had yang bernama Markaz Al-Imam Al-
Bukhari li Al-‘Ulum Asy-Syar’iyyah. ASL juga
menjamin keamanan di RSU Al-Jala 'di Benghazi.
31 Dipublikasikan di situs Minbar At-Tauhid wa Al-Jihad, https://www.tawhed.ws/r?i=5yj8ssez
28
Laporan Bulanan SYAMINA Edisi XIX/Mei-Juni 2015
jaringan secara luas untuk pelayanan sosial baik di
dalam maupun luar Libya. Bahkan, itu terlibat
dalam kegiatan mulai dari kampanye anti-narkoba,
donor darah, dan distribusi makanan (termasuk
pemotongan hewan ketika liburan bagi fakir-
miskin), musabaqah Qur’ani untuk anak-anak,
proyek perumahan bagi kaum miskin, pembersihan
sekolah, pembuangan sampah, dan perbaikan
jembatan.
Pada awalnya, pendekatan “dakwah dan
pelayanan” di atas tampak sukses untuk prospek
ke depan bagi gerakan jihad. Ini terlihat dari
banyaknya individu yang bergabung dengan ASL
dan AST dalam jumlah yang belum pernah tercapai
sebelumnya. Namun, dalam kurun dua tahun
terakhir antara tahun 2012–2014, pendekatan
dakwah terbuka ini menghadapi tantangan baru
yang juga terbuka.
Di Mesir, misalnya, dalam waktu satu bulan sejak
Abdul Fattah As-Sisi melakukan kudeta di Mesir,
pada awal Juli 2013 semua anggota kunci dari
Ansharusy Syariah Mesir (ASE) telah ditangkap atau
dijerat dengan delik terorisme dan dikaitkan
dengan Anshar Bait Al-Maqdis (ABM), kelompok
jihadis di Sinai Utara, yang disebut-sebut terkait IS
dan berubah nama menjadi IS Wilayah Sinai.
Dampaknya, aktivis ASE banyak yang berhijrah ke
Suriah untuk berjihad melawan rezim Basyar Al-
Asad atau melakukan perlawanan bersenjata
dalam wadah jihad baru, yaitu Ajnad Mishr.
Sementara itu, kurang dari dua bulan kemudian,
pada akhir Agustus 2013, pemerintah Tunisia
melabeli AST sebagai organisasi teroris dan
melanjutkannya dengan operasi untuk
membongkar jaringan dan penangkapan
anggotanya secara luas. Akibatnya, beberapa
aktivis jihadis Tunisia berangkat ke Libya dan
bergabung dengan ASL, sementara yang lain pergi
ke Suriah dan ditengarai banyak yang bergabung
dengan ISIS.32
Sejak Haftar melancarkan perang terhadap ASL,
sebagian besar kegiatan dakwah reguler pun turut
terhenti. Itu tampak dari publikasi ASL jadi lebih
banyak yang berhubungan dengan pertempuran
dengan pasukan Haftar.
33
Prospek ASL ini sempat menurun drastis, yang
tampak melemah seiring dengan meninggalnya
pemimpinnya, Muhammad Az-Zahawi, yang
dikonfirmasi pada bulan Januari 2015. Kemudian
ada intensifikasi dari pendukung ISIS yang memiliki
agenda politik independen untuk memperluas
teritorial organisasinya sejak November 2014. Ini
Sementara ASL masih
melakukan kaderisasi anggota di kota-kota lain,
sebagian besar operasi militernya masih terfokus di
Benghazi. ASL memang tidak sampai kocar-kacir
seperti halnya ASE atau AST, tetapi kapasitas
pelayanannya memang menurun. Di sinilah ISIS
melihat peluang masuk dengan pembukaan
“cabang” pada musim gugur 2014.
Kesimpulan
32 Aaron Y. Zelin, "The Rise and Decline of Ansar al-Sharia," Hudson Institute, April 6, 2015. 33 Hingga tulisan ini diturunkan (24/6/2015), alamat resmi publikasi ASL adalah akun Twitter: @Ansarelshariaa