Page 1
PERANCANGAN JALAN LINTAS BARAT RUAS JALAN NASIONAL
BATAS KOTA SIBOLGA – BATANG TORU ( STA 5 + 400 – STA 6+900 )
TUGAS AKHIR
Ditulis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Sains Terapan
oleh
DENOV WESLEY EDONADO GEA
NIM: 1205131017
PROGRAM STUDI TEKNIK PERANCANGAN JALAN DAN JEMBATAN
JURUSAN TEKNIK SIPIL
POLITEKNIK NEGERI MEDAN
MEDAN
2016
Page 2
LEMBAR PERSETUJUAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Dosen Pembimbing Tugas Akhir
menyatakan bahwa Laporan Tugas Akhir dari Mahasiswa:
Nama Mahasiswa : DENOV WESLEY EDONADO GEA
NIM : 1205131017
dengan judul:
PERANCANGAN JALAN LINTAS BARAT RUAS JALAN NASIONAL
BATAS KOTA SIBOLGA – BATANG TORU (STA 5 + 400 – STA 6 + 900)
telah selesai diperiksa dan dinyatakan selesai, serta dapat diajukan dalam Sidang
Pertanggung jawaban Tugas Akhir ini.
Medan, Agustus 2016
Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing,
Drs.Widayanto, M.T.
NIP. 19590202 198603 1 003
Page 3
LEMBAR PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, Dosen Pembimbing Tugas Akhir,
Ketua Penguji dan Ketua Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri Medan,
menyatakan bahwa Tugas Akhir dari Mahasiswa :
Nama Mahasiswa : DENOV WESLEY EDONADO GEA
NIM : 1205131017
dengan judul :
PERANCANGAN JALAN LINTAS BARAT RUAS JALAN NASIONAL
BATAS KOTA SIBOLGA – BATANG TORU ( STA 5 + 400 – STA 6 + 900)
telah selesai diperiksa dan dinilai oleh Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji
Tugas Akhir.
Medan, Agustus 2016
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
Drs. Widayanto, M.T.
NIP. 19590202 198603 1 003
Ketua Penguji, Ketua Jurusan Teknik Sipil,
Sutrisno Rembeng, S.S.T.,M.T. Ir. Samsudin Silaen, M.T.
NIP. 19590929 199003 1 002 NIP. 19620204 198903 1 002
Page 4
i
ABSTRAK
Tugas akhir ini mengambil lokasi tinjauan pada Jalan Lintas Barat Ruas Jalan
Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5+400 – Sta 6+900). Jalan yang
sudah mengalami banyak kerusakan di beberapa stasiun serta lalu lintas yang
semakin meningkat tiap tahunnya menjadi alasan utama penulis memilih lokasi
ini. Penulis akan melakukan perhitungan ulang terhadap desain geometrik serta
akan merancang kebutuhan pelebaran jalan mulai dari tebal perkerasan, drainase
hingga kebutuhan biaya dalam proyek pelebaran tersebut.
Perhitungan kapasitas jalan dimana kondisi existing jalan memiliki lebar 4,5 dan
lebar bahu 1,5 m dilakukan guna memastikan bahwa jalan yang ditinjau sudah
tidak dapat menampung arus lalu lintas yang semakin meningkat hingga akhir
umur rencana. Perhitungan ulang terhadap desain geometrik jalan dilakukan guna
mengetahui kebutuhan pelebaran jalan pada tikungan berdasarkan data long
section yang didapat dari PU. Dengan menggunakan data CBR lapangan maka
dapat dilakukan perhitungan tebal lapis perkerasan yang akan dipakai pada
pelebaran jalan. Data curah hujan akan dianalisis untuk mendapatkan dimensi luas
tangkapan air pada drainase serta perhitungan rencana anggaran biaya akan
menggunakan pedoman analisa harga satuan PU.
Tingkat pelayanan jalan kondisi existing adalah E s/d F mulai tahun 2016 hingga
akhir umur rencana sehingga harus dilakukan pelebaran jalan dengan lebar 7,0
meter dan lebar bahu 1,5 m, dengan opsi pada tahun 2023 jalan tersebut harus
mengalami pelebaran kembali akibat lalu lintas yang semakin meningkat.
Perhitungan ulang terhadap desain geometrik menghasilkan 8 tikungan FC pada
alinyemen horizontal serta 34 alinyemen vertikal yang terdiri dari 24 lengkung
(11 lengkung cembung, 13 lengkung cekung) dan 10 datar. Hasil analisa
kebutuhan pelebaran jalan, didapat konstruksi tebal perkerasan pelebaran jalan
yaitu, Laston (AC-WC) setebal 4 cm, Laston (AC-BC) setebal 6 cm, Lapis
Pondasi Atas (Batu Pecah Kelas “A”) setebal 20 cm, Lapis Pondasi Bawah
(Sirtu/Pitrun Kelas “A”) setebal 28 cm, dan Timbunan Pilihan setebal 20 cm.
Hasil analisa data curah hujan maka didapat dimensi luas tangkapan air dengan
lebar 0,74 m, tinggi permukaan air rencana 0,37 m dan tinggi jagaan 0,43 m dan
total anggaran biaya yang diperlukan untuk mengerjakan seluruh proyek
pelebaran beserta drainase sepanjang 1500 m adalah sebesar Rp.5.887.081.000,--
dan dengan memperhatikan jarak jalan eksisting dengan pemukiman yang
berkisar antara 10-15 meter dibeberapa titik stasiun maka perancangan pelebaran
jalan pada ruas jalan yang ditinjau dianggap layak untuk dilaksanakan.
Kata kunci : kapasitas jalan, desain geometrik, tebal perkerasan, dimensi
drainase rencana, rencana anggaran biaya.
Page 5
ii
ABSTRACT
The Final Project take place on West Highway National Roads Limits of Sibolga
City – Batang Toru (Sta 5+400 – Sta 6+900). The road that has suffered a lot of
damage in some of the sta as well as the traffic is increasing each year as the
main reason the author chose this location. The author will do a re-calculation of
the geometric design and will design a road widening needs ranging from thick
pavement, drainage to the cost requirements in the widening project.
Calculation capacity of the road where the existing condition of the road has a
width of 4.5 and 1.5 m wide shoulders do to ensure that the roads were reviewed
already can not accommodate the traffic flow is increased until the end of the
design life. Recalculation of the geometric design of roads conducted to determine
the need for widening the road on a bend long section based on data obtained
from public work department. Using CBR field data then it can be calculated
pavement thickness that will be used on road widening. Rainfall data will be
analyzed to get the dimensions of the drainage catchment area and calculation of
the budget plan will use the guidelines public work department unit price
analysis.
Level of service existing condition is E s / d F began in 2016 until the end of the
design life and should be done widening the road with a width of 7.0 meters and a
width of 1.5 m shoulder, at the option of the year 2023 the road had experienced a
widening back due to traffic increases. Recalculation of the geometric design
produces 8 twists FC on 34 horizontal alignment and vertical alignment
consisting of 24 curved (11 curved convex, 13 curved concave ) and 10 flat. The
result of the analysis of road widening, obtained construction pavement thickness
widening of the road is, Laston (AC-WC) 4 cm, Laston (AC-BC) 6 cm, Base
course (Broken Stone Class “A”) 20 cm, Subbase course (Sirtu/Pitrun Class
“A”) 28 cm and Selected Fill 20 cm. Results of analysis of rainfall data it
obtained broad dimensions of the catchment with a width of 0.74 m, a water level
plan of 0.37 m and a height of 0.43 m surveillance and the total budget required
to perform the entire widening project along the drainage along the 1500 m
amounted Rp.5.887.081.000,-- and with regard to the settlement within the
existing road which ranges between 10-15 m in some stations, the design of the
road widenong on roads that are reviewed are considered feasible.
Keyword : road capacity, geometric design, pavement thicness, dimensions
drainage plans, budget plans.
Page 6
iii
PEDOMAN PENGGUNAAN TUGAS AKHIR
Tugas Akhir DIPLOMA IV yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di
Perpustakaan Politeknik Negeri Medan, dan terbuka untuk umum dengan
ketentuan bahwa hak cipta ada pada pengarang dengan mengikuti aturan HaKI
yang berlaku di Politeknik Negeri Medan. Referensi kepustakaan diperkenankan
dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin
pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan
sumbernya.
Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh Tugas Akhir haruslah
seizin Direktur Politeknik Negeri Medan.
Page 7
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas
Akhir ini dengan baik dan tepat pada waktunya.
Tugas Akhir yang berjudul “PERANCANGAN JALAN LINTAS
BARAT RUAS JALAN NASIONAL BATAS KOTA SIBOLGA – BATANG
TORU ( STA 5 + 400 – STA 6 + 900)” ini merupakan satu syarat yang harus
dilaksanakan untuk meraih gelar Sarjana Sains Terapan, Pendidikan Program
Studi Teknik Perancangan Jalan dan Jembatan Diploma IV Jurusan Teknik Sipil
Politeknik Negeri Medan.
Dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini, penulis menghadapi berbagai
kendala, namun berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, maka Tugas
Akhir ini dapat diselesaikan dengan baik.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Orang Tua saya yang tercinta ;
2. Bapak M. Syahrudin, S.T., M.T., selaku Direktur Politeknik Negeri Medan;
3. Bapak Ir. Samsudin Silaen, M.T., selaku Ketua Jurusan Teknik Sipil
Politeknik Negeri Medan;
4. Bapak Amrizal, S.T., M.T., selaku Kepala Program Studi D-IV TPJJ;
5. Bapak Sopar Parulian, S.T., M.T., selaku Dosen Wali Kelas TPJJ-8A;
6. Bapak Drs.Widayanto, M.T., Selaku Dosen Pembimbing Tugas Akhir;
7. Seluruh Dosen dan Staff Pengajar Jurusan Teknik Sipil Politeknik Negeri
Medan yang telah banyak membantu penyusunan dalam menyelesaikan
Laporan Tugas Akhir ini;
8. Bapak Bonar Lumsa Mungkur, Amd ;
9. Pimpinan dan staf PPK’12 Sibolga,Cs;
10. Seluruh rekan-rekan seperjuangan TPJJ Angkatan 2012 Politeknik Negeri
Medan;
Page 8
v
11. Seluruh adik – adik mahasiswa TPJJ Angkatan 2013, 2014 dan 2015 atas
kerjasama dan dukungan semangatnya yang telah diberikan kepada penulis
dalam pelaksanaan Tugas Akhir.
Penulis sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyusun dan
menyelesaikan Tugas Akhir ini. Namun, penulis menyadari bahwa Tugas Akhir
ini kemungkinan belum sempurna. Untuk itu, penulis menerima dengan terbuka
segala masukan-masukan, kritik, saran, dan pendapat yang bersifat membangun
guna memperbaiki Tugas Akhir ini.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga Tugas Akhir
ini berguna dan bermanfaat bagi siapa saja yang membaca.
Medan, Agustus 2016
penulis,
Denov Wesley Edonado Gea
NIM : 1205131017
Page 9
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK ................................................................................................................ i
ABSTRACT .............................................................................................................. ii
PEDOMAN PENGGUNAAN TUGAS AKHIR .................................................... iii
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xviii
DAFTAR NOTASI ................................................................................................... xx
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ I-1
I.1. Latar Belakang ........................................................................................... I-1
I.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... I-2
I.3. Batasan Masalah ........................................................................................ I-2
I.4. Tujuan Pembahasan ................................................................................... I-3
I.5. Manfaat ...................................................................................................... I-3
I.6. Metodologi ................................................................................................ I-4
I.7. Sistematika Penulisan ................................................................................ I-4
Page 10
vii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. II-1
II.1. Umum ....................................................................................................... II-1
II.2. Lalu Lintas ............................................................................................... II-2
II.2.1. Klasifikasi Jalan ........................................................................... II-2
II.2.2. Persyaratan Ruang Jalan .............................................................. II-7
II.2.3. Lalu Lintas Harian Rata-Rata ...................................................... II-8
II.2.4. Volume Jam Rencana .................................................................. II-9
II.2.6. Ekivalen Mobil Penumpang (emp) .............................................. II-10
II.2.7. Kapasitas Jalan ............................................................................ II-12
II.2.8. Derajat Kejenuhan ....................................................................... II-16
II.3. Geometrik ................................................................................................. II-18
II.3.1. Parameter Perencanaan Geometrik Jalan .................................... II-18
II.3.1.1. Kendaraan Rencana .................................................... II-18
II.3.1.2. Kajian Lalu Lintas ...................................................... II-21
II.3.2. Alinyemen Jalan (Horizontal) ..................................................... II-28
II.3.2.1. Superelevasi (e) ........................................................... II-28
II.3.2.1. Jari-Jari Tikungan ....................................................... II-28
II.3.2.3. Panjang Bagian Lurus ................................................. II-29
II.3.2.4. Lengkung Peralihan .................................................... II-30
II.3.2.5. Tikungan ..................................................................... II-33
II.3.2.6. Pelebaran Perkerasan Pada Lengkung Horizontal ...... II-38
Page 11
viii
II.3.3. Alinyemen Jalan (Vertikal) ......................................................... II-41
II.4. Metode Analisa Komponen (SKBI 1987) ................................................ II-46
II.4.1. Umur Rencana ............................................................................. II-46
II.4.2. Jumlah Jalur Rencana .................................................................. II-46
II.4.3. Koefisien Distribusi Kendaraan................................................... II-47
II.4.4. Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E) ........................... II-47
II.4.5. Lalu Lintas Harian Rata-rata dan Rumus-Rumus Lintas
Ekivalen ....................................................................................... II-48
II.4.6. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan California Bearing
Ratio (CBR) ................................................................................. II-50
II.4.7. Faktor Regional (FR) ................................................................... II-52
II.4.8. Indeks Permukaan (IP) ................................................................ II-53
II.4.9. Indeks Tebal Perkerasan .............................................................. II-55
II.4.10.Koefisien Kekuatan Relatif ......................................................... II-55
II.4.11.Batas-batas Minimum Tebal Lapis Perkerasan ........................... II-57
II.5. Drainase ................................................................................................... II-58
II.5.1. Sistem Drainase ........................................................................... II-58
II.5.2. Drainase Permukaan (Sub Surface Drainage) ............................. II-59
II.5.3. Faktor Yang Mempengaruhi Drainase Permukaan ..................... II-59
II.5.3.1. Aspek Hidrologi .......................................................... II-59
II.5.3.2 Aspek Hidrolika .......................................................... II-60
II.5.4. Perencanaan Dimensi Drainase ................................................... II-60
II.5.5. Analisa Curah Hujan Maksimum ................................................ II-61
Page 12
ix
II.5.6. Periode Ulang .............................................................................. II-63
II.5.7. Lamanya Curah Hujan ................................................................. II-63
II.5.8. Intensitas Curah Hujan (I) ........................................................... II-63
II.5.9. Perkiraan Debit Banjir Rencana .................................................. II-64
II.5.10. Koefisien Pengaliran (C) ............................................................. II-65
II.5.11. Waktu Konsentrasi (Tc) ............................................................... II-65
II.5.12. Catchment Area ........................................................................... II-66
II.5.13. Kriteria Perencanaan Saluran Samping ....................................... II-67
II.5.14.Kemiringan Melintang Perkerasan .............................................. II-68
II.5.15.Penampang Saluran Rencana....................................................... II-69
II.6. Rencana Anggaran Biaya ......................................................................... II-70
BAB III METODOLOGI ........................................................................................ III-1
III.1. Persiapan ................................................................................................ III-1
III.2. Tahap Penyusunan Tugas Akhir ............................................................. III-1
III.3. Identifikasi Masalah ................................................................................ III-3
III.4. Pengamatan Pendahuluan ....................................................................... III-3
III.5. Perumusan Masalah ................................................................................ III-3
III.6. Pengumpulan Data .................................................................................. III.3
III.7. Analisis Data ........................................................................................... III-5
III.8. Evaluasi Kondisi Eksisting Terhadap Kondisi Ideal .............................. III-6
III.9. Perancangan Teknis ................................................................................ III-6
III.10.Hasil Akhir Perancangan ........................................................................ III-7
Page 13
x
III.11.Bagan Alir ............................................................................................... III-8
III.11.1. Perancangan Geometrik .......................................................... III-8
III.11.1.1. Alinyemen Horizontal ........................................... III-8
III.11.1.2. Alinyemen Vertikal ............................................... III-9
III.11.2. Perkerasan ............................................................................... III-10
III.11.3. Drainase .................................................................................. III-11
III.11.4. Rencana Anggaran Biaya (RAB) ............................................ III-12
BAB IV HASIL PERANCANGAN DAN PEMBAHASAN ................................. IV-1
IV.1. Perancangan Kapasitas Jalan ................................................................. IV-1
IV.1.1. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) ....................................... IV-1
IV.1.2. Prediksi Pertumbuhan Lalu Lintas ............................................ IV-2
IV.1.3. Kebutuhan Ruang Jalan ............................................................ IV-3
IV.1.4. Analisis Kapasitas Jalan ............................................................ IV-4
IV.1.5. Analisis Volume Jam Perencanaan ........................................... IV-4
IV.1.6. Derajat Kejenuhan Kondisi Existing......................................... IV-7
IV.1.7. Derajat Kejenuhan Setelah Pelebaran Jalan .............................. IV-8
IV.2. Perancangan Geomterik .......................................................................... IV-10
IV.2.1. Perencanaan Alinyemen Horizontal.......................................... IV-10
IV.2.1.1. Koordinat Jalur Rencana .......................................... IV-10
IV.2.1.2. Jarak Titik Koordinat ................................................ IV-10
IV.2.1.3. Sudut Tikungan ........................................................ IV-12
IV.2.1.4. Menghitungan Rencana Alinyemen Horizontal ....... IV-14
Page 14
xi
IV.2.1.4.1. Perhitungan Jari-Jari Rencana ............... IV-14
IV.2.1.4.2. Perhitungan Parameter Tikungan (FC) ..
Full Circle .............................................. IV-15
IV.2.1.4.3. Perhitungan Kemiringan Maksimum ....
(e-maks) ................................................. IV-16
IV.2.1.4.4. Perhitungan Daerah Bebas Samping ..... IV-17
IV.2.1.4.5. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan .. IV-18
IV.2.2. Perencanaan Alinyemen Vertikal.............................................. IV-19
IV.2.2.1. Lengkung PVI22 (Lengkung Cekung) ....................... IV-20
IV.2.2.2. Lengkung PVI23 (Lengkung Cembung) ................... IV-22
IV.3. Perancangan Tebal Perkerasan ............................................................... IV-26
IV.3.1. Perancangan Tebal Perkerasan Pada Pelebaran Jalan Dengan
Metode Analisa Komponen ...................................................... IV-26
IV.3.1.1. Lintas Ekivalen Permukaan ...................................... IV-27
IV.3.1.2. Lintas Ekivalen Akhir ............................................... IV-29
IV.3.1.3. Lintas Ekivalen Tengah ............................................ IV-29
IV.3.1.4. Lintas Ekivalen Rencana .......................................... IV-30
IV.3.1.5. Indeks Permukaan Pada Awal Rencana (Ipo) .......... IV-30
IV.3.1.6. Indeks Permukaan Pada Akhir Rencana (IP) ........... IV-30
IV.3.1.7. Faktor Regional ........................................................ IV-30
IV.3.1.8. Penentuan Daya Dukung Tanah dari Nilai CBR .....
Tanah Dasar .............................................................. IV-30
Page 15
xii
IV.3.1.9. Penentuan Indeks Tebal Perkerasan ......................... IV-30
IV.3.1.10. Batas-Batas Minimum Tebal Perkerasan ................. IV-31
IV.4. Perancangan Saluran Drainase
IV.4.1. Menghitung Luasan Daerah Aliran Air .................................... IV-32
IV.4.2. Besar Koefisien (C) ............................................................... IV-32
IV.4.3. Perhitungan Waktu Konsentrasi................................................ IV-33
IV.4.4. Menentukan Intensitas Curah Hujan ......................................... IV-34
IV.4.5. Perhitungan Debit Air Rencana ................................................ IV-36
IV.4.6. Dimensi Saluran ............................................................... IV-36
IV.5. Rencana Anggaran Biaya ............................................................... IV-38
IV.5.1. Perhitungan Volume Pekerjaan ................................................. IV-38
IV.5.1.1. Pekerjaan Tanah ....................................................... IV-38
IV.5.1.2. Pekerjaan Drainase ................................................... IV-40
IV.5.1.3. Pekerjaan Perkerasan ................................................ IV-42
IV.5.1.4. Pekerjaan Pelengkap ................................................. IV-45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... V-1
V.1. KESIMPULAN ............................................................... V-1
V.2. SARAN ............................................................... V-3
DAFTAR PUSTAKA
Page 16
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I DATA LHR
LAMPIRAN II PERHITUNGAN KAPASITAS JALAN BARU
LAMPIRAN III PERHITUNGAN ANGKA EKIVALEN
KENDARAAN
LAMPIRAN IV NOMOGRAM DAN GRAFIK
LAMPIRAN V DATA CURAH HUJAN
LAMPIRAN VI DATA CBR LAPANGAN
LAMPIRAN VII DETAIL RENCANA ANGGARAN BIAYA
LAMPIRAN VIII FOTO DOKUMENTASI
LAMPIRAN IX LONG SECTION
LAMPIRAN X CROSS SECTION
Page 17
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Tabel Klasifikasi Jalan ....................................................................... II-6
Tabel II.2. Kriteria dan Dimensi Ruang-Ruang Jalan .......................................... II-7
Tabel II.3. Ukuran Bagian-Bagian Ruang Milik Jalan ......................................... II-8
Tabel II.4. Lebar Jalur dan Bahu Jalan Antar Kota .............................................. II-8
Tabel II.5. Nilai Faktor K dan Faktor F Berdasarkan VLHR .............................. II-9
Tabel II.6. Tabel EMP Kendaraan Untuk Jalan Luar Kota .................................. II-10
Tabel II.7. Tabel Kapasitas Dasar ........................................................................ II-14
Tabel II.8. Tabel Faktor Penyesuai Lebar Jalan ................................................... II-15
Tabel II.9. Faktor Penyesuai Pemisah Arah ......................................................... II-16
Tabel II.10. Faktor Penyesuai Bahu dan Hambatan Samping................................ II-16
Tabel II.11. Tingkat Pelayanan Jalan ..................................................................... II-17
Tabel II.12. Dimensi Kendaraan Rencana Untuk Jalan Antar Kota ...................... II-19
Tabel II.13. Dimensi Kendaraan Rencana Untuk Jalan Perkotaan ........................ II-20
Tabel II.14. Jenis Kendaraan Menurut Karakteristik Kendaraan ........................... II-20
Tabel II.15. Kecepatan Rencana (VR) Untuk Jalan Antar Kota ............................ II-22
Tabel II.16. Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum Untuk Jalan Antar Kota ............ II-23
Tabel II.17. Panjang Jarak Pandang Mendahului (Jd) ............................................ II-25
Tabel II.18. Kelas Hambatan Samping Untuk Jalan Perkotaan/Semi Perkotaan ... II-27
Tabel II.19. Jari-Jari Tikungan Minimum, Rmin (m) Untuk Jalan Antar Kota .......
Page 18
xv
(emaks = 10%) ...................................................................................... II-29
Tabel II.20. Panjang Bagian Lurus Maksimum (Jalan Antar Kota) ....................... II-30
Tabel II.21. Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian ...............
Superelevasi (Le) Untuk Jalan 1 lajur-2 lajur-2 arah. ......................... II-31
Tabel II.22. Jari-Jari Tikungan Yang Tidak Memerlukan Lengkung Peralihan .... II-32
Tabel II.23. Jari-Jari Yang Diijinkan Tanpa Superelevasi ..................................... II-33
Tabel II.24. Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan ............................................. II-41
Tabel II.25. Panjang Kritis Landai (m) .................................................................. II-42
Tabel II.26. Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan ...................................... II-43
Tabel II.27. Panjang Minimum Lengkung Vertikal ............................................... II-43
Tabel II.28. Jumlah Lajur Rencana Berdasarkan Lebar Perkerasan ...................... II-46
Tabel II.29. Koefisien Distribusi Kendaraan (C) ................................................... II-47
Tabel II.30. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan .................................. II-48
Tabel II.31. Solusi Tebal Timbunan Pilihan Untuk CBR Mnimum ....................... II-52
Tabel II.32. Nilai Faktor Regional ......................................................................... II-52
Tabel II.33. Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana (IP) .................................... II-53
Tabel II.34. Indeksi Permukaan Awal Umur Rencaa (IPo) ................................... II-54
Tabel II.35. Koefiisen Kekuatan Relatif ................................................................ II-56
Tabel II.36. Batas-Batas Minimum Tebal Lapis Permukaan ................................. II-57
Tabel II.37. Batas Minimum Tebal Pondasi Atas .................................................. II-57
Tabel II.38. Periode Ulang Sebagai Fungsi dari reduced varied (YT) ................... II-62
Page 19
xvi
Tabel II.39. Hubungan Jumlah Tahun Pengamatan Curah Hujan (n), ...................
Reduced mean (Yn) dan reduced standard deviation (Sn) .................... II-62
Tabel II.40. Koefisien Limpasan/Pengaliran (C) untuk Metode Rasional ............. II-64
Tabel II.41. Koefisien Hambatan Lapis Permukaan ( nd ) ..................................... II-66
Tabel II.42. Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Jenis Material .... II-68
Tabel II.43. Kemiringan Normal Perkerasan Jalan ................................................ II-68
Tabel IV.1. Hasil Survey Kendaraan Lalu Lintas per hari / 2 arah ....................... IV-1
Tabel IV.2. Potensi Arus Lalu Lintas Pada Tahun Tinjauan ................................. IV-3
Tabel IV.3. Volume Lalu Lintas Harian Tahun 2016 ............................................ IV-5
Tabel IV.4. Volume Lalu Lintas Harian Untuk Tahun Tinjauan ........................... IV-5
Tabel IV.5. Volume Jam Perencanaan Untuk Tahun Tinjauan ............................. IV-7
Tabel IV.6. Derajat Kejenuhan Untuk Tahun Tinjauan ......................................... IV-8
Tabel IV.7. Derajat Kejenuhan Tahun Tinjauan Setelah Pelebaran Jalan ............. IV-9
Tabel IV.8. Data Sumbu Koordinat ....................................................................... IV-10
Tabel IV.9. Jarak Lurus Antar Titik (D) ................................................................ IV-12
Tabel IV.10. Sudut Tikungan Berdasarkan Koordinat Titik ................................... IV-13
Tabel IV.11. Data Tikungan Proyek ........................................................................ IV-19
Tabel IV.12. Perhitungan Elevasi Titik Pada Lengkung Vetikal Cekung ............... IV-22
Tabel IV.13. Perhitungan Elevasi Titik Pada Lengkung Vertikal Cembung........... IV-24
Tabel IV.14. Alinyemen Vertikal Seluruh Stasiun .................................................. IV-24
Tabel IV.15. Data Lalu Lintas dan Akhir Umur Rencana ....................................... IV-27
Page 20
xvii
Tabel IV.16. Lintas Ekivalen Kendaraan ................................................................. IV-27
Tabel IV.17. Lintas Ekivalen Permulaan Kendaraan .............................................. IV-28
Tabel IV.18. Lintas Ekivalen Akhir Kendaraan ...................................................... IV-29
Tabel IV.19. Data Curah Hujan ............................................................................... IV-34
Tabel IV.20. Perhitungan Intensitas Curah Hujan ................................................... IV-35
Tabel IV.21. Volume Galian dan Timbunan Tanah Biasa ...................................... IV-38
Tabel IV.22. Rekapitulasi Harga Pekerjaan............................................................. IV-46
Page 21
xviii
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1. Jarak Pandang Mendahului .............................................................. II-25
Gambar II.2. Daerah Bebas Samping di Tikungan , Untuk Jh < Lt ....................... II-26
Gambar II.3. Daerah Bebas Samping di Tikungan , Untuk Jh > Lt ....................... II-26
Gambar II.4. Bentuk Tikungan Full Circle (FC) .................................................. II-33
Gambar II.5. Bentuk Superelevasi Full Circle (FC) ............................................. II-34
Gambar II.6. Bentuk Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS) ................................... II-35
Gambar II.7. Bentuk Superlevasi Spiral Circle Spiral (SCS) ................................ II-35
Gambar II.8. Bentuk Tikungan Spiral Spiral (SS) ................................................. II-37
Gambar II.9. Bentuk Superlevasi Spiral Spiral (SS) ............................................. II-38
Gambar II.10. Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan .............................................. II-39
Gambar II.11. Lengkung Vertikal ........................................................................... II-41
Gambar II.12. Lengkung Vertikal Cembung ........................................................... II-44
Gambar II.13. Lengkung Vertikal Cekung .............................................................. II-44
Gambar II.14. Korelasi DDT dan CBR ................................................................... II-51
Gambar II.15. Contoh Nomogram Untuk Menentukan ITP .................................... II-55
Gambar II.16. Kurva Basis ...................................................................................... II-64
Gambar II.16. Catchment Area Saluran .................................................................. II-67
Gambar II.16. Rencana Penampang Saluran ........................................................... II-69
Gambar III.1. Diagram Alur Tugas Akhir .............................................................. III-2
Page 22
xix
Gambar III.2. Bagan Alir Perhitungan Alinyemen Horizontal ............................... III-8
Gambar III.3. Bagan Alir Perhitungan Alinyemen vertikal .................................... III-9
Gambar III.4. Diagram Alur Perancangan Perkerasan ........................................... III-10
Gambar III.5. Bagan Alir Pendimensian Drainase ................................................. III-11
Gambar III.6. Bagan Alir Pembuatan Rencana Anggaran Biaya ........................... III-12
Gambar IV.1. Diagram Pertumbuhan Lalu Lintas .................................................. IV-2
Gambar IV.2. Superlevasi Tikungan FC ................................................................. IV-17
Gambar IV.3. Susunan Lapisan Perkerasan ............................................................ IV-31
Gambar IV.4. Drainase Rencana ............................................................................. IV-37
Gambar IV.5. Dimensi Drainase ............................................................................. IV-40
Gambar IV.6. Dimensi Lapis Perkerasan ................................................................ IV-42
Gambar IV.7. Dimensi Laston AC-WC .................................................................. IV-42
Gambar IV.8. Dimensi Laston AC-BC ................................................................... IV-42
Gambar IV.9. Dimensi Lapisan Batu Pecah Kelas “A” .......................................... IV-43
Gambar IV.10. Dimensi Lapisan Sirtu/Pitrun Kelas “A” ......................................... IV-43
Gambar IV.11. Dimensi Lapisan Selected Fill ......................................................... IV-43
Gambar IV.12.Sket Marka Jalan .............................................................................. IV-45
Page 23
xx
DAFTAR NOTASI
MKJI : Manual Kapasitas Jalan Indonesia
a : Koefisien Relatif
a` : Daerah Tangen
α : Sudut Azimuth
BURDA : Laburan Aspal Dua Lapis
BURTU : Laburan Aspal Satu Lapis
BURAS : Laburan Aspal
C : Kapasitas jalan
CESA : Akumulasi ekivalen beban sumbu standar
Ci : Koefisien Distribusi
Co : Kapasitas Dasar
CS : Circle to Spiral, titik perubahan dari lingkaran ke spiral
CT : Circle to Tangen, titik perubahan dari lingkaran ke lurus
d : Jarak
d1 : Pembacaan lendutan awal
dR : Pembacaan lendutan akhir
DS : Derajat Kejenuhan
D` : Tebal lapis perkerasan
Δ : Sudut luar tikungan
∆h : Perbedaan Tinggi
Dtjd : Derajat lengkung terjadi
Dmaks : Derajat maksimum
DDT : Daya dukung tanah
e : Superelevasi
E : Daerah kebebasan samping
Ec : Jarak luar dari PI ke busur lingkaran
Ei : Angka ekivalen beban sumbu kendaraan
em : Superelevasi maksimum
en : Superelevasi normal
Eo : Derajat kebebasan samping
Page 24
xxi
Es : Jarak eksternal PI ke busur lingkaran
Ev : Pergeseran vertikal titik tengah busur lingkaran
f : Koefisien gesek memanjang
F :( disebut faktor F), faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat
jam dalam satu jam
FCcs : Faktor penyesuaian ukuran kota
FCSF : Faktor penyesuaian akibat besarnya side friction (hambatan
samping)
FCSP : Faktor penyesuaian pemisahan arah
FCw : Faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FC 6,SF : Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 6 lajur
FC 4,SF : Faktor penyesuaian kapasitas untuk jalan 4 lajur
FK : Faktor Keseragaman
FKTBL : Faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
fm : Koefisien gesek melintang maksimum
Fo : Faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay
Fp : Faktor Penyesuaian
HRS : Hot Roller Sheet/Lapis Tipis Aspal Beton
Ho :Tebal lapis tambah sebelum dikoreksi temperatur rata-rata tahunan
Ht : Tebal lapis tambah Laston setelah dikoreksi temperatur rata-rata
tahunan
i : Kelandaian melintang
I : Pertumbuhan lalu lintas
ITP : Indeks Tebal Perkerasan
Jd : Jarak pandang mendahului
Jh : Jarak pandang henti
k : Absis dari p pada garis tangen spiral
K : (disebut faktor K), faktor volume lalu lintas jam sibuk
LASTON : Lapis Aspal Beton
L : Panjang lengkung vertikal
Lc : Panjang busur lingkaran
LAPEN : Lapis Penetrasi Macadam
Page 25
xxii
LATASBUM : Lapis Tipis Aspal Buton Murni
LABUSTAG : Lapis Aspal Buton Agregat
LATASIR : Lapis Tipis Aspal Pasir
LEA : Lintas Ekivalen Akhir
LEP : Lintas Ekivalen Permulaan
LER : Lintas Ekivalen Rencana
LET : Lintas Ekivalen Tengah
Ls : Panjang lengkung peralihan
Ls` : Panjang lengkung peralihan fiktif
Lt : Panjang tikungan
m : Jumlah masing-masing jenis kendaraan
MR : Modulus Resilien
N : Faktor hubungan umur rencana dengan perkembangan lalu lintas
O : Titik pusat
p : Pergeseran tangen terhadap spiral
Q : Arus Total
θc : Sudut busur lingkaran
θs : Sudut lengkung spiral
PI : Point of Intersection, titik potong tangen
PLV : Peralihan lengkung vertical (titik awal lengkung vertikal)
PPV : Titik perpotongan tangen
PTV : Peralihan Tangen Vertical (titik akhir lengkung vertikal)
R : Jari-jari lengkung peralihan
Rren : Jari-jari rencana
Rmin : Jari-jari tikungan minimum
S : Standar Deviasi
SC : Spiral to Circle, titik perubahan spiral ke lingkaran
S-C-S : Spiral-Circle-Spiral
SS : Spiral to Spiral, titik tengah lengkung peralihan
Ss : Jarak pandang henti
S-S : Spiral-Spiral
ST : Spiral to Tangen, titik perubahan spiral ke lurus
Page 26
xxiii
T : Waktu tempuh
Tc : Panjang tangen circle
TC : Tangen to Circle, titik perubahan lurus ke lingkaran
TPRT :Temperatur perkerasan rata-rata tahunan untuk daerah/kota
tertentu
Ts : Panjang tangen spiral
TS : Tangen to Spiral, titik perubahan lurus ke spiral
Tt : Panjang tangen total
TT : Waktu tempuh rata-rata LV sepanjang segmen (jam)
UR : Umur Rencana
V : Kecepatan
Vr : Kecepatan rencana
VJP : Volume Jam Perencanaan
VLHR : Volume Lalu Lintas Harian Rencana
Xs : Absis titik SC pada garis tangen, jarak lurus lengkung peralihan
Y : Faktor penampilan kenyamanan
Ys : Ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis tangen, jarak tegak
lurus ke titik
Page 27
I - 1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Jalan memiliki syarat umum yaitu dari segi kontruksi harus kuat, awet dan
kedap air. Jika dilihat dari segi pelayanan, jalan harus rata, tidak licin, geometrik
memadai dan ekonomis. Untuk itu, dibutuhkan suatu rancangan perkerasan yang
mampu memenuhi syarat tersebut hingga mencapai umur rencana perkerasan.
Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang memegang peranan yang
sangat penting dalam sektor perhubungan dan menunjang laju pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Oleh karena itu pembangunan jalan sangat penting untuk
diperhatikan baik dari segi perencanaannya maupun dari segi perawatan jalan
tersebut. Pelebaran jalan merupakan salah satu unsur paling penting dalam
perencanaan jalan yang ikut menentukan kemampuan jalan dalam
pemanfaatannya untuk mendukung sistem transportasi darat.
Proyek peningkatan struktur dan pelebaran jalan yang dilaksanakan oleh
PPK 12, Sibolga Cs menjadi proyek jalan yang dianggap penulis layak dijadikan
sebagai bahan Tugas Akhir karena status jalan sebagai jalan nasional sehingga
hasil perancangan haruslah baik dan benar karena jika tidak akan berpengaruh
terhadap perekonomian provinsi/daerah yang dihubungkan oleh ruas jalan ini.
Hasil perancangan oleh penulis nantinya akan dijadikan sebagai bahan masukan
kepada pihak terkait (Dinas PU) dalam memberikan pelayanan terbaik dalam
bidang jalan untuk masyarakat .
Berdasarkan tinjauan dan data jalan yang diperoleh dari SNVT P2JN
Provinsi Sumatera Utara, kondisi jalan sudah mengalami banyak kerusakan di
beberapa stasiun sehingga layak untuk diperbaiki atau dilakukan overlay serta
lebar jalan yang dianggap tidak mampu lagi menampung kapasitas kendaraan
yang lewat tiap harinya dan tidak sesuai dengan fungsi jalannya sehingga
dibutuhkan pelebaran jalan. Judul yang dipilih penulis pada Tugas Akhir ini yaitu
“Perancangan Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga –
Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900)”. Rencana sistem tinjauan berupa
peninjauan kelayakan geometri, perancangan tebal lapis perkerasan pada
Page 28
I - 2
pelebaran jalan, perancangan drainase serta penulis juga akan membuat rencana
anggaran biaya untuk pelebaran jalan pada proyek ini.
I.2. Rumusan Masalah
Sesuai dengan judul di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang
akan dibahas dalam Tugas Akhir ini, yaitu :
1) Berapa nilai perhitungan kapasitas jalan pada Jalan Lintas Barat Ruas Jalan
Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 )?
2) Bagaimanakah desain geometrik pada Jalan Lintas Barat Ruas Jalan
Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 )?
3) Bagaimanakah perancangan tebal lapis perkerasan pada pelebaran jalan
dengan menggunakan Metode Analisa Komponen pada Jalan Lintas Barat
Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6
+ 900 )?
4) Berapakah dimensi drainase yang akan dirancang untuk Jalan Lintas Barat
Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6
+ 900 )?
5) Berapakah Rencana Anggaran Biaya untuk pelebaran Jalan Lintas Barat
Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5 + 400 – Sta 6
+ 900 ) ?
6) Bagaimanakah potongan melintang (cross section) jalan per 50 meter untuk
Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru
(Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 ) ?
I.3 Batasan Masalah
Sesuai dengan permasalahan di atas, maka pembatasan masalah yang
diambil oleh penulis adalah perhitungan kapasitas jalan, desain geometrik jalan,
perancangan tebal lapis perkerasan pada pelebaran jalan menggunakan metode
analisa komponen (SKBI 1987),perancangan saluran drainase, serta anggaran
biaya yang diperlukan untuk seluruh proyek pelebaran jalan sepanjang 1,5 km.
Page 29
I - 3
I.4. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan laporan ini adalah:
1) Untuk mengetahui tingkat pelayanan jalan mulai dari awal operasional jalan
hingga akhir umur rencana pada Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional
Batas Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 );
2) Untuk mengetahui desain geometrik Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional
Batas Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 );
3) Untuk mengetahui tebal setiap lapis perkerasan yang akan digunakan pada
pelebaran jalan dengan menggunakan Metode Analisa Komponen pada
Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru
( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 );
4) Untuk mengetahui dimensi drainase yang akan digunakan untuk Jalan
Lintas Barat Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru
( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 );
5) Untuk mengetahui besarnya biaya yang diperlukan pada proyek pelebaran
Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru
( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 ).
6) Untuk melihat desain gambar potongan melintang jalan (cross section) per
50 meter pada proyek pelebaran Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional
Batas Kota Sibolga – Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900 ).
I.5. Manfaat
Manfaat Laporan Tugas Akhir ini bagi mahasiswa diharapkan:
1) Dapat mengimplementasikan ilmu yang diajarkan dalam merancang suatu
jalan;
2) Dapat merancang desain geometrik suatu jalan;
3) Dapat merancang tebal perkerasan untuk jalan baru ;
4) Dapat merancang desain drainase jalan;
5) Dapat merencanakan anggaran biaya pada proyek jalan.
6) Dapat menghasilkan gambar potongan melintang (cross section) per 50
meter.
Page 30
I - 4
I.6. Metodologi
1) Metode Pengumpulan data
Untuk memperoleh data primer, seperti data lalu lintas dan kondisi existing
jalan digunakan metode observasi yaitu dengan cara survey ke lapangan untuk
mengetahui kondisi sebenarnya dari lokasi proyek sehingga tidak terjadi desain
yang kurang sesuai dengan kondisi lapangan.
Untuk memperoleh data sekunder, seperti gambar long section, data CBR
(California Bearing Ratio), data curah hujan dan data analisa harga satuan
Kabupaten Tapanuli Tengah digunakan metode literatur yaitu dengan
mengumpulkan, mengidentifikasi serta mengolah data tertulis yang berasal dari
instansi terkait.
2) Metode Pengolahan data
Data yang akan diolah berupa data kuantitatif dengan mentabulasi data-data
yang berupa angka. Hasil pengolahan data akan dianalisis menggunakan metode
statistik untuk mendapat hasil akhir berupa data eksak yang teratur, tersusun dan
sistematis.
1.7. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan yang digunakan dalam penyusunan Tugas
Akhir ini adalah:
Bab 1. Pendahuluan
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang, batasan masalah,
rumusan masalah, tujuan pembahasan, manfaat, metode pengumpulan data, serta
sistematika penulisan.
Bab 2. Tinjauan Pustaka
Berisi tinjauan pustaka mengenai lalu lintas, geometrik, metode analisa
komponen (SKBI 1987), drainase dan rencana anggaran biaya.
Page 31
I - 5
Bab 3. Metodologi
Dalam bab ini dibahas mengenai metodologi penyusunan tugas akhir
yang meliputi identifikasi masalah, studi literatur, pengumpulan data sekunder,
perancangan, hasil akhir perancangan, serta bagan alir.
Bab 4. Hasil Perancangan dan Pembahasan
Merupakan penerapan dari analisa yang digunakan untuk perencanaan
meliputi perhitungan kapasitas jalan, perhitungan geometrik jalan yaitu alinyemen
horizontal dan alinyemen vertikal, drainase jalan dan perhitungan tebal lapis
perkerasan untuk pelebaran dengan Metode Analisa komponen, perhitungan
dimensi drainase serta anggaran biaya yang dibutuhkan.
Bab 5. Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan simpulan dan saran atas perhitungan dan hasil yang
didapat.
Page 32
II - 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Umum
Jalan Lintas barat Batas Kota Sibolga-Batang Toru yang dipilih oleh
penulis sebagai bahan Tugas Akhir adalah ruas jalan dengan status jalan Nasional
dibawah wewenang Kementerian Pekerjaan Umum dengan sistem jaringan jalan
primer dan fungsi jalan kolektor. Ruas jalan ini adalah jalan luar kota yaitu dua
lajur dua arah tak terbagi dengan total lebar jalan 4,5 meter yang diperuntukkan
untuk umum.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004, bahwa jalan
adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,
yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah
permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel. Konstruksi perkerasan adalah konstruksi yang terletak
antara tanah dan roda kendaraan yang berfungsi untuk mengurangi tegangan pada
tanah dasar (subgrade). Fungsi perkerasan adalah:
1. Untuk memikul beban lalu lintas secara aman dan nyaman dan selama umur
rencana tidak terjadi kerusakan yang berarti;
2. Sebagai pelindung tanah dasar terhadap erosi akibat air;
3. Sebagai lapis perantara untuk menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
Sistem jaringan jalan merupakan satu kesatuan jaringan jalan yang
terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang
terjalin dalam hubungan hierarki. Adanya sistem jaringan jalan yang tersusun
secara teratur dapat meningkatkan arus transportasi barang dan jasa. Sistem
jaringan jalan disusun dengan mengacu pada rencana tata ruang wilayah dengan
memperhatikan keterkaitan antar kawasan dan/atau dalam kawasan perkotaan, dan
kawasan pedesaan.(S.Sukirman,1995:5)
Page 33
II - 2
Kondisi jalan yang bagus adalah jalan yang mampu melayani arus
barang dan jasa dengan baik, dalam segi kapasitas maupun kualitas jalan tersebut.
Secara umum, perencanaan jalan meliputi perencanaan geometrik jalan dan
perencanaan struktur jalan.
Perencanaan struktur jalan, dibagi menjadi 2 macam (Departemen
Pekerjaan Umum, 1987a), yaitu:
1. Perencanaan perkerasan jalan baru (New Construction);
2. Perkuatan perkerasan jalan lama (Overlay).
II.2. Lalu Lintas
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam perancangan
jalan ditinjau dari segi lalu lintas, yang meliputi:
II.2.1. Klasifikasi Jalan
Untuk memudahkan dalam hal pengaturan, pengawasan serta
tanggung jawab terhadap penyelenggaraan/pengoperasian dan pemeliharaan jalan
maka jalan-jalan di Indonesia dibuat dalam beberapa klasifikasi sebagai berikut :
A. Klasifikasi Jalan Sesuai Rancangan UU No.38 Tahun 2004
1) Pengelompokan Jalan Menurut Sistem Jaringan
a. Sistem Jaringan Jalan Primer
Sistem Jaringan Jalan Primer merupakan sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
pengembangan suatu wilayah di tingkat nasional, dengan
menghubungkan semua simpul jasa distribusi yang berwujud pusat-
pusat kegiatan.
b. Sistem Jaringan Jalan Sekunder
Sistem Jaringan Jalan Sekunder merupakan sistem jaringan jalan
dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk
masyarakat di dalam wawasan perkotaan.
Page 34
II - 3
2) Pengelompokan Jalan Menurut Fungsi
a. Jalan Arteri
Jalan Arteri adalah jalan yang melayani pengangkutan utama, ciri-
ciri:
Perjalan jarak jauh.
Kecepatan rata-rata tinggi.
Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien dengan
memperhatikan kapasitas jalan masuk.
b. Jalan Kolektor
Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpulan/pembagian, dengan cirri-ciri:
Perjalanan sedang.
Kecepatan rata-rata sedang.
Jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan Lokal
Jalan Lokal adalah jalan yang melayani angkuatan lokal, dengan
cirri-ciri:
Perjalanan jarak dekat.
Kecepatan rata-rata rendah.
Jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan Lingkungan
Jalan Lingkungan adalah jalan yang melayani angkutan lingkungan
dengan ciri-ciri:
Perjalanan jarak pendek.
Kecepatan rendah.
3) Pengelompokan Jalan Menurut Statusnya
a. Jalan Nasional
Jalan umum dengan fungsi Arteri Primer.
Menghubungkan antar Negara.
Jalan yang bersifat strategi Nasional.
Page 35
II - 4
b. Jalan Provinsi
Jalan umum yang dengan fungsi Kolektor Primer.
Menghubungkan Ibukota Provinsi dengan Ibukota Kabupaten
atau Kota.
Jalan yang bersifat strategi Regional.
c. Jalan Kabupaten
Jalan umum dengan fungsi Kolektor Primer.
Menghubungkan Ibukota Kabupaten dengan Ibukota
Kecamatan.
Jalan strategis lokal di daerah Kabupaten.
Jaringan jalan sekunder diluar daerah perkotaan.
d. Jalan Kota
Jalan umu dalam sistem Sekunder.
Menghubungkan antar pusat kegiatan lokal dalam kota.
Berada di pusat perkotaan.
e. Jalan Desa
Jalan umum dalam sistem Tersier.
Menghubungkan kawasan di dalam desa dan antar pemukiman.
B. Klasifikasi Jalan Menurut Kelas Jalan (Pasal 8 Undang-Undang Tahun 2000)
Pembagian kelas jalan didasarkan pada:
a. Fungsi jalan.
b. Kemampuan menerima muatan rencana sumbu terberat, baik konfigurasi
rencana sumbu kendaraan atau sesuai dengan ketentuan teknologi alat
transportasi.
1) Kelas Jalan yang tertera dalam Pasal 10 yang didukung oleh:
UU No. 14 Tahun 1992 dan UU No. 22 Tahun 2009 berdasarkan
penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan yakni :
Jalan Kelas I untuk kendaraan rencana yang bisa melewati
dengan ukuran 2500x18000 mm dan MST lebih dari 10 T
Page 36
II - 5
Jalan Kelas II untuk kendaraan rencana yang bisa melewati
dengan ukuran 2500x18000 mm dan MST maksimum 10 T
Jalan Kelas IIIA untuk kendaraan rencana yang bisa melewati
dengan ukuran 2500x18000 mm dan MST maksimum 8 T
Jalan Kelas IIIB untuk kendaraan rencana yang bisa melewati
dengan ukuran 2500x12000 mm dan MST maksimum 8 T
Jalan Kelas IIIC untuk kendaraan rencana yang bisa melewati
dengan ukuran 2500x9000 mm dan MST maksimum 8 T
PP No. 34 Tahun 2006 berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana
jalan meliputi pengendalian jalan masuk, persimpangan sebidang, jumlah
dan lebar lajur, ketersediaan median, serta pagar terdiri dari:
Jalan bebas hambatan dengan spesifikasi meliputi:
- pengendalian jalan masuk secara penuh,
- tidak ada persimpangan sebidang,
- dilengkapi pagar ruang milik jalan,
- dilengkapi dengan median,
- paling sedikit mempunyai 2 (dua) lajur setiap arah,
- dan lebar lajur paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter.
Jalan raya adalah jalan umum untuk lalu lintas secara menerus
dengan spesifikasi meliputi:
- pengendalian jalan masuk secara terbatas
- dilengkapi dengan median,
- paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah,
- lebar lajur paling sedikit 3,5 (tiga koma lima) meter.
Jalan sedang adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak
sedang dengan spesifikasi meliputi:
- pengendalian jalan masuk tidak dibatasi,
- paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah
Page 37
II - 6
- lebar jalur paling sedikit 7 (tujuh) meter.
Jalan kecil adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas
setempat dengan spesifikasi meliputi,
- paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah
- dengan lebar jalur paling sedikit 5,5 (lima koma lima)
meter
Klasifikasi Jalan memiliki keterkaitan satu dan lainnya, dimana jika
dihubungkan keterkaitan tersebut akan dapat dipahami seperti yang disajikan pada
Tabel II.1. berikut ini:
Tabel II.1. Tabel Klasifikasi Jalan
KELAS
JALAN
FUNGSI
JALAN
Dimensi Maksimum dan Muatan Sumbu Terberat (MST)
Kendaraan Bermotor yang harus mampu ditampung
Lebar (mm) Panjang (mm) MST (Ton) Tinggi
(mm)
I
Arteri
2500 18000 > 10
42
00
dan
tid
ak l
ebih
tin
gg
i d
ari
1.7
x
Leb
ar k
end
araa
n
II 2500 18000 ≤ 10
IIIA Artei atau
Kolektor 2500 18000 ≤ 8
IIIB Kolektor 2500 12000 ≤ 9
IIIC Lokal &
Lingkungan 2100 9000 ≤ 10
Catatan: Dalam keadaan tertentu daya dukung jalan (MST) kelas IIIC dapat ditetapkan lebih
rendah dari 8 ton
Panjang maksimum kendaraan penarik 12000, jika ditambah gandeng atau
tempelan maka panjang maksimum tidak boleh lebih dari 18000mm
Sumber: UU. No. 22 Tahun 2009 tentang Jalan
UU No. 34 Tahun 2006 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Page 38
II - 7
II.2.2. Persyaratan Ruang Jalan
Persyaratan ruang jalan diperlukan dalam rangka untuk menentukan
batasan-batasan ukuran tiap-tiap bagian jalan agar sesuai dengan klasifikasi jalan
yang direncanakan. Seperti halnya klasifikasi jalan, persyaratan ruang ini juga
telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku terutama dalam PP No. 34
Tahun 2006. Ruang jalan yang dimaksud meliputi:
Ruang Manfaat Jalan (Rumaja)
Ruang Milik Jalan (Rumija)
Ruang Pengawasan Jalan (Ruwasja)
Kriteria dan dimensi dari masing-masing ruang jalan yang disarikan
dari PP No.34 Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel II.2. Persyaratan yang lebih
spesifik lagi mengenai dimensi Bagian-Bagian Ruang Milik Jalan (Rumija) dan
Lebar Minimum Badan Jalan yang diatur dalam PP No 34 Tahun 2006 adalah
seperti yang tercantum pada Tabel II.2. dan Tabel II.3. berikut:
Tabel II.2. Kriteria dan Dimensi Ruang-Ruang Jalan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997
Page 39
II - 8
Tabel II.3. Ukuran Bagian-Bagian Ruang Milik Jalan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997
Sedangkan berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar
Kota No. 038/TBM/1997, lebar jalur dan bahu jalan antar kota yang disyaratkan
dapat dilihat pada Tabel II.4. berikut.
Tabel II.4. Lebar Jalur dan Bahu Jalan Antar Kota
II.2.3. Lalu Lintas Harian Rata-rata
Lalu lintas harian rata-rata adalah volume lalu lintas rata-rata dalam
satu hari. Fari cara memperoleh data tersebut dikenal dua jenis lalu lintas harian
rata-rata yaitu lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) dan lalu lintas harian
rata-rata ((LHR). LHRT adalah jumlah lalu lintas kendaraan rata-rata yang
melewati satu jalur jalan selama 24 jam dan diperoleh dari data-data selama 1
tahun penuh.
Jalan Bebas
HambatanJalan Raya Jalan Sedang Jalan Kecil
Fungsi Jalan Arteri & Kolektor Arteri & Kolektor LokalLokal &
Lingkungan
Lebar RUMIJA (m) 30 25 15 11
Lebar Jalur (m) 2(2x3.5) 2(2x3.5) 7 5.5
Lebar Median (m) 3 2 - -
Lebar Bahu Luar (m) 2 2 2 2
Lebar Saluran Tepi (m) 2 1.5 1.5 0.75
Ambang Pengaman (m) 2.5 1 0.5 -
Marginal Strip 0.5 0.25 - -
Keterangan:
*) = dua jalur terbagi,masing-masing nx3,50m, dimana n=jumlahlajurper jalur.
**) = mengacu kepadapersyaratan ideal.
- = tidak ditentukan
Page 40
II - 9
LHRT =
.......................................(II.1)
LHRT dinyatakan dalam smp/hari/2 arah.
LHR adalah jumlah kendaraan yang diperoleh selama pengamatan dibandingkan
atau dibagi dengan lamanya pengamatan.
LHR =
.......................................(II.2)
II.2.4. Volume Jam Rencana
Volume jam rencana (VJR) adalah jumlah kendaraan yang melintasi
satu titik pengamatan dalam satu-satuan waktu (hari, jam atau menit). Dalam
perencanaan digunakan perhitungan volume jam puncak yang dinyatakan dalam
volume per jam perencanaan. Perhitungan volume lalu lintas menggunakan rumus
dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997.
= VJR = LHRT × K/F ...............................................................(II.3)
VJR = Volume Jam Rencana (smp/jam)
LHRT = Lalu lintas harian rata-rata tahunan (smp/hari)
K = Faktor volume lalu lintas jam sibuk (K = 10% - 15%)
F = faktor variasi tingkat lalu lintas jamsibuk per-15 menit dalam
satu jam, atau seperti pada tabel berikut:
Tabel II.5. Nilai faktor K dan faktor F berdasarkan VLHR
VLHR (smp/hari) K (%) F (%)
> 50.000 4 – 6 0,9 – 1
30.000 – 50.000 6 – 8 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6 – 8 0,8 – 1
Page 41
II - 10
5.000 – 10.000 8 – 10 0,6 – 0,8
1.000 – 5.000 10 – 12 0,6 – 0,8
< 1.000 12 – 16 < 0,6
II.2.6. Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
Satuan untuk arus lalu-lintas dimana arus berbagai tipe kendaraan
diubah menjadi arus kendaraan ringan (termasuk mobil penumpang) dengan
menggunakan emp di mana mobil penumpang ditetapkan memiliki satu smp.
Dalam menghitung VLHR, karena pengaruh berbagai jenis kendaraan digunakan
faktor ekivalen mobil penumpang (emp) untuk mendapatkan nilai satuan mobil
penumpang (smp).
Ekivalen Mobil Penumpang (EMP) adalah Faktor yang menunjukkan
berbagai tipe kendaraan dibandingkan kendaraan ringan sehubungan dengan
pengaruhnya terhadap kecepatan kendaraan ringan dalam arus lalu-lintas (untuk
mobil penumpang dan kendaraan ringan yang sasisnya mirip, EMP = 1,0). Besar
nilai emp masing-masing kategori kendaraan untuk jalan luar kota, yaitu :
Tabel II.6. Tabel EMP Kendaraan Untuk Jalan Luar Kota
Page 42
II - 11
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Page 43
II - 12
II.2.7. Kapasitas Jalan
Kapasitas didefinisikan sebagai arus maksimum yang dapat
dipertahankan persatuan jam yang melewati suatu titik di jalan dalam kondisi
yang ada. Untuk jalan dua-lajur dua-arah, kapasitas didefinisikan untuk arus dua-
arah (kedua arah kombinasi), tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus
dipisahkan per arah perjalanan dan kapasitas didefinisikan per lajur.
Nilai kapasitas telah diamati melalui pengumpulan data lapangan
sejauh memungkinkan. Oleh karena kurangnya lokasi yang arusnya mendekati
kapasitas segmen jalan sendiri (sebagaimana ternyata dari kapasitas simpang
sepanjang jalan), kapasitas juga telah diperkirakan secara teoritis dengan
menganggap suatu hubungan matematik antara kerapatan, kecepatan dan arus dan
kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp).
Rumus untuk menghitung kapasitas jalan luar kota adalah :
C = CO x FCW x FCSP x FCSF ……………………………..…….(II.4)
dimana:
C :Kapasitas (smp/jam)
CO :Kapasitas dasar (smp/jam)
FCW :Faktor penyesuaian lebar jalan
FCSP :Faktor penyesuaian pemisahan arah (hanya untuk jalan tak
terbagi)
FCSF :Faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kereb
A. Tipe Jalan
1) Jalan dua-lajur dua-arah tak terbagi (2/2 UD)
Tipe jalan ini meliputi semua jalan dua-arah dengan lebar jalur sampai
dengan 11 meter. Untuk jalan dua-arah yang lebih lebar daripada 11 meter, cara
beroperasi jalan sesungguhnya selama kondisi arus tinggi harus diperhatikan
sebagai dasar dalam pemilihan prosedur perhitungan untuk jalan dua-lajur atau
empat-lajur tak-terbagi.
Page 44
II - 13
Keadaan dasar dari tipe jalan ini yang digunakan untuk menentukan
kecepatan arus bebas dan kapasitas dicatat sebagai berikut :
- Lebar jalur lalu-lintas efektif tujuh meter
- Lebar efektif bahu 1,5 m pada masing-masing sisi (bahu tak diperkeras,
tidak sesuai untuk lintasan kendaraan bermotor)
- Tidak ada median
- Pemisahan arah lalu-lintas 50-50
- Tipe alinyemen : Datar
- Guna lahan : Tidak ada pengembangan samping jalan
- Kelas hambatan samping : Rendah (L)
- Kelas fungsional jalan : Jalan Arteri
- Kelas jarak pandang : A
2) Jalan empat-lajur dua-arah tak terbagi (4/2 UD)
Tipe jalan ini meliputi semua jalan dua-arah tak terbagi dengan marka lajur
untuk empat lajur dua lebar total jalur lalu-lintas tak terbagi antara 12 dan 15
meter. Jalan standar dari tipe ini didefinisikan sebagai berikut :
- Lebar jalur lalu-lintas empat belas meter
- Lebar efektif bahu 1,5 m pada masing-masing sisi (bahu tak diperkeras,
tidak sesuai untuk lintasan kendaraan bermotor)
- Tidak ada median
- Pemisahan arah lalu-lintas 50 – 50 %
- Tipe elinyemen : Datar
- Guna lahan : Tidak ada pengembangan samping jalan
- Kelas hambatan samping : Rendah (L)
- Kelas fungsional jalan : Jalan arteri
- Kelas jarak pandang : A
3) Jalan empat-lajur dua-arah terbagi (4/2 D)
Tipe jalan ini meliputi semua jalan dua-arah dengan dua jalur lalu lintas
yang dipisahkan oleh median. Setiap jalur lalu lintas mempunyai dua lajur
Page 45
II - 14
bermarka dengan lebar antara 3,0 – 3,75 m. Jalan standar dari tipe ini
didefinisikan sebagai berikut :
- Lebar jalur lalu lintas 2 x 7,0 m (tak termasuk lebar median)
- Lebar efektif bahu 2,0 m diukur sebagai lebar bahu dalam + bahu luar
untuk setiap jalur lalu lintas ( bahu tak diperkeras, tidak sesuai untuk
lintasan lau lintas)
- Tipe alinyemen : Datar
- Guna lahan : Tidak ada pengembangan samping jalan
- Kelas hambatan samping : Rendah (L)
- Kelas fungsional jalan : Jalan arteri
- Kelas jarak pandang : A
4) Jalan enam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D)
Jalan enam-lajur dua-arah dengan karakteristik umum sama sebagaimana
diuraikan 4/2 D diatas .
B. Kapasitas Dasar
Kapasitas dasar adalah jumlah kendaraan atau orang maksimum yang
dapat melintasi suatu penampang jalan tertentu selama satu jam pada kondisi jalan
dan lalu lintas yang ideal. Digunakan sebagai dasar perhitungan untuk kapasitas
rencana. Berikut tabel kapasitas dasar untuk berbagai tipe jalan :
Tabel II.7. Tabel Kapasitas Dasar
Page 46
II - 15
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Berikut adalah tabel-tabel yang diperlukan dalam perhitungan kapasitas dasar
jalan luar kota :
Tabel II.8. Faktor Penyesuai Lebar Jalan
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
\
Page 47
II - 16
Tabel II.9. Faktor Penyesuai Pemisah Arah
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
Tabel II.10. Faktor Penyesuai Bahu dan Hambatan Samping
Sumber : Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997
II.2.8. Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan didefinisikan sebagai rasio arus lalu lintas terhadap
kapasitas jalan, digunakan sebagai faktor kunci dalam penentuan perilaku lalu
lintas pada suatu simpang dan segmen jalan. Nilai derajat kejenuhan akan
menunjukkan apakah segmen jalan itu akan mempunyai suatu masalah dalam
kapasitas atau tidak.
Page 48
II - 17
Besarnya nilai derajat kejenuhan ditunjukkan pada rumus berikut.
DS = VJP / C ……………………………………………..….(II.5)
Dimana:
DS = Derajat Kejenuhan
VJP = Volume jam perencanaansmp/jam, dihitung sebagi berikut:
= x
C = Kapasitas jalan (smp/jam)
DS akan menetukan Tingkat pelayanan suatu jalan sesuai dengan tabel berikut :
Tabel II.11. Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat Pelayanan Rasio (V/C) Karakteristik
A < 0,60 Arus bebas, volume rendah dan
kecepatan tinggi, pengemudi dapat
memilih kecepatan yang dikehendaki
B 0,60 < V/C < 0,70 Arus stabil, kecepatan sedikit terbatas
oleh lalu lintas, pengemudi masih dapat
bebas dalam memilih kecepatannya.
C 0,70 < V/C < 0,80 Arus stabil, kecepatan dapat dikontrol
oleh lalu lintas
D 0,80 < V/C < 0,90 Arus mulai tidak stabil, kecepatan
rendah dan berbeda-beda, volume
mendekati kapasitas
E 0,90 < V/C <1 Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan
berbeda-beda, volume mendekati
kapasitas
F >1 Arus yang terhambat, kecepatan
rendah, volume diatas kapasitas, sering
terjadi kemacetan pada waktu yang
cukup lama.
(Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997)
Page 49
II - 18
II.3. Geometrik
Perencanaan geometrik jalan merupakan bagian dari perencanaan
jalan yang dititik beratkan pada perencanaan bentuk fisik sehingga dapat
memenuhi fungsi dasar dari jalan yaitu memberikan pelayanan yang optimum
pada arus lalu lintas dan sebagai akses ke rumah-rumah.
Dalam lingkup perencanaan geometrik tidak termasuk perencanaan
tebal perkerasan jalan, walaupun dimensi dari perkerasan merupakan bagian dari
perencanaan geometrik sebagai bagian dari perencanaan jalan seutuhnya.
Demikian pula dengan drainase jalan. Jadi tujuan dari perencanaan
geometrik jalan adalah menghasilkan infrastruktur yang aman, efisiensi pelayanan
arus lalu lintas dan memaksimalkan ratio tingkat penggunaan/biaya pelaksanaan.
Ruang, bentuk, dan ukuran jalan dikatakan baik, jika dapat memberikan rasa aman
dan nyaman kepada pemakai jalan.
Yang menjadi dasar perencanaan geometrik adalah setiap gerakan,
dan ukuran kendaraan, sifat pengemudi dalam mengendalikan gerak
kendaraannya, dan karakteristik arus lalu Iintas. Hal-hal tersebut haruslah menjadi
bahan pertimbangan perencana sehingga dihasilkan bentuk dan ukuran jalan, serta
ruang gerak kendaraan yang memenuhi tingkat kenyamanan dan keamanan yang
diharapkan.
II.3.1. Parameter Perencanaan Geometrik Jalan
II.3.1.1. Kendaraan Rencana
Kendaraan rencana adalah kendaraan yang dimensi (termasuk radius
putarnya) dipilih sebagai acuan dalam perencanaan geometrik jalan.
Pengelompokan jenis kendaraan rencana yang relevan dengan penggunaannya,
dibedakan menurut sumber dan implementasinya sebagai berikut:
1. Geometrik jalan antar kota
Pengelompokan kendaraan rencana untuk perencanaan geometrik jalan antar
kota adalah sebagai berikut:
Kendaraan Kecil : mobil penumpang
Kendaraan Sedang : truk 3 as tandem atau bus besar 2 as
Page 50
II - 19
Kendaraan Besar : truk semi trailer
Dimensi masing-masing jenis kendaraan rencana, dijelaskan pada Tabel II.12.
Tabel II.12. Dimensi Kendaraan Rencana Untuk Jalan Antar Kota
Kat
egori
Ken
dar
aan
Ren
can
a
Dimensi Kendaraan
(cm)
Tonjolan
(cm)
Radius Putar
(cm)
Rad
ius
To
njo
lan
(cm
)
Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Min.
Maks.
Kecil
130
210 580 90 150 420 730 780
Sedang
410
260 1210 210 240 740 1280 1410
Besar
410
260 2100 120 90 290 1400 1370
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997:6
2. Geometrik jalan perkotaan
Pengelompokan kendaraan rencana untuk perencanaan geometrik jalan
perkotaan adalah sebagai berikut:
Kendaraan kecil : mobil penumpang
Kendaraan sedang : unit tunggal truk/bus
Kendaraan besar : truk semi trailer
Sedangkan dimensi masing-masing jenis kendaraan rencana tersebut
dijelaskan pada Tabel II.13.
Page 51
II - 20
Tabel II.13. Dimensi Kendaraan Rencana Untuk Jalan Perkotaan
Jenis kendaraan
Rencana
Dimensi kendaraan Dimensi tonjolan Radius
putar
minimu
m
Radius
tonjolan
minimu
m
Tinggi Lebar Panjan
g
Depan Belakang
Mobil
Penumpang 1,3 2,1 5,8 0,9 1,5 7,3 4,4
Truk As Tunggal 4,1 2,4 9,0 1,1 1,7 12,8 8,6
Bus Gandengan 3,4 2,5 18,0 2,5 2,9 12,1 6,5
Truk Semitrailer
Kombinasi
Sedang
4,1 2,4 13,9 0,9 0,8 12,2 5,9
Truk Semitrailer
Kombinasi Besar 4,1 2,5 16,8 0,9 0,6 13,7 5,2
Convensional
School Bus 3,2 2,4 10,9 0,8 3,7 11,9 7,3
City Transit Bus 3,2 2,5 12,0 2,0 2,3 12,8 7,5
Sumber: RSNI T- 14 – 2004: 23
3. Pengelompokan jenis kendaraan menurut karakteristik kendaraan
Berdasarkan jenis kendaraan yang dilayani jalan raya, Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1993 mengelompokkan jenis kendaraan dengan sistem kelas
kendaraan seperti pada Tabel II.14.
Tabel II.14. Jenis Kendaraan Menurut Karakteristik Kendaraan
Kelas Jalan
Fungsi Jalan
Dimensi Kendaraan
MST (ton) Lebar (m) Panjang (m)
Kelas I
Arteri
≤ 2,50 ≤ 18,00 > 10,00
Kelas II ≤ 2,50 ≤ 18,00 ≤ 10,00
Kelas III A ≤ 2,50 ≤ 18,00 ≤ 8,00
Kelas III A Kolektor ≤ 2,50 ≤ 18,00 ≤ 8,00
Page 52
II - 21
B ≤ 2,50 ≤ 12,00 ≤ 8,00
C Lokal ≤ 2,10 ≤ 9,00 ≤ 8,00
Sumber: PP Nomor 43 Tahun 1993:17
4. Pengelompokan jenis kendaraan menurut Indonesian Highway Capacity
Manual (IHCM) 1977
Berkaitan dengan tingkat pelayanan jalan (ruas jalan, simpang, dan bundaran),
IHCM 1977 mengelompokkan jenis kendaraan sebagai berikut:
Kendaraan ringan (Light Vehicle: LV)
Kendaraan berat (Heavy Vehicle: HV)
Sepeda motor (Motor Cycle: MC)
II.3.1.2. Kajian Lalu Lintas
1. Kecepatan Rencana (VR)
Kecepatan rencana adalah kecepatan yang dipilih untuk keperluan
perencanaan setiap bagian jalan raya seperti tikungan kemiringan jalan, jarak
pandang dan lain-lain. Kecepatan yang dipilih tersebut adalah kecepatan tertinggi
menerus dimana kendaraan dapat berjalan dengan aman dan keamanan itu
sepenuhnya tergantung dari bentuk jalan.
Hampir semua rencana bagian jalan dipengaruhi oleh kecepatan rencana,
baik secara langsung seperti tikungan horizontal, kemiringan melintang di
tikungan jarak pandangan maupun secara tak langsung seperti lebar lajur, lebar
bahu, kebebasan melintang dan lain-lain. Oleh karena itu pemilihan kecepatan
rencana sangat mempengaruhi keadaan seluruh bagian-bagian jalan dan biaya
untuk pelaksanaan jalan tersebut.
Untuk perencanaan jalan antar kota, kecepatan rencana ditetapkan
berdasarkan klasifikasi (fungsi) jalan dan medan jalan dapat dilihat pada Tabel
II.15.
Page 53
II - 22
Tabel II.15. Kecepatan Rencana (VR) Untuk Jalan Antar Kota
Fungsi jalan
Kecepatan rencana, VR, (km/jam)
Datar Bukit Gunung
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997:11
2. Jarak Pandang
Panjang jalan di depan kendaraan yang masih dapat dilihat dengan jelas
diukur dari titik kedudukan pengemudi, disebut jarak pandangan. Jarak pandang
dibedakan atas jarak pandang henti (Jh) dan jarak pandang mendahului (Jd).
a. Jarak Pandang Henti
Jarak pandangan henti yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraannya atau Jarak Pandang adalah suatu jarak yang
diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat mengemudi sedemikian
sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan,
pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghidari bahaya tersebut
dengan aman.
Jarak pandang henti (Jh) terdiri dari 2 (dua) elemen jarak, yaitu:
1). Jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti
sampai saat pengemudi menginjak rem; dan
2). Jarak pengereman (Jhr) adalah jarak yang dibutuhkan untuk
menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan berhenti.
Jarak pandang henti (Jh) diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi
adalah 105 cm dan tingggi halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan.
Page 54
II - 23
Jarak pandang henti (Jh) dapat dihitung dengan rumus
p
2
R
Rh
2g.f
3,6
V
T3,6
VJ
...............................................................................(II.6)
di mana:
VR = kecepatan rencana, km/jam
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/detik2.
fp = koefisien gesek memanjang antara ban kendaraan dengan perkerasan
jalan aspal, ditetapkan 0,35 – 0,55.
Rumus diatas disederhanakan menjadi:
.....................................................................................................(II.7)
Nilai jarak pandang henti (Jh) minimum untuk jalan antar kota yang
dihitung berdasarkan rumus diatas dapat dilihat pada Tabel II.16.
Tabel II.16. Jarak Pandang Henti (Jh) Minimum Untuk Jalan Antar Kota
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997: 21
b. Jarak Pandang Mendahului (Jd)
Yaitu jarak pandangan yang dibutuhkan untuk dapat menyiap
kendaraan lain yang berada pada lajur jalannya dengan menggunakan lajur
untuk arah yang berlawanan. Jarak pandang mendahului diukur berdasarkan
asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi halangan
adalah 105 cm. Jd, dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut:
Page 55
II - 24
Jd = dl + d2 + d3 + d4....................................... .................................................(II.8)
dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m),
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang
dari arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m),
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan,
yang besarnya diambil sama dengan d2 (m).
Rumus estimasi d1, d2, d3, d4 adalah sebagai berikut:
2
a.TmVT0,278d 1
R11 .........................................................................(II.9)
di mana:
d2 = 0,278 VR x T2
d3 = antara 30 – 100 m
d4 = 2/3 x d2
T1 = waktu dalam = 2,12 + 0,026 VR, (detik)
T2 = waktu kendaraan berada di jalur lawan = 6,56 + 0,048 VR, (detik)
a = percepatan rata-rata = 2,052 + 0,0036 VR, (km/jam/detik)
m = perbedaan kecepatan dari kendaraan yang mendahului dan kendaraan
yang didahului (diambil 10 – 15 km/jam)
Page 56
II - 25
Nilai jarak pandang mendahului (Jd) untuk jalan antar kota yang dihitung
berdasarkan rumus di atas dapat dilihat pada Tabel II.17. berikut:
Tabel II.17. Panjang Jarak Pandang Mendahului (Jd)
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997: 22
Gambar II.1. Jarak Pandang Mendahului
3. Daerah bebas samping tikungan
Daerah bebas samping di tikungan (E) adalah ruang untuk menjamin
kebebasan pandang di tikungan sehingga Jh dapat terpenuhi. Daerah bebas
samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan pengemudi di
tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh E (m), yang
diukur dari garis tengah lajur dalam sampai pada obyek penghalang pandangan
sehingga persyaratan Jh dipenuhi.
Ada dua bentuk daerah bebas samping di tikungan, yaitu:
1. jarak pandang henti (Jh) < panjang tikungan (Lt)
2. jarak pandang henti (Jh) > panjang tikungan (Lt)
Page 57
II - 26
Daerah bebas samping di tikungan (E) untuk jalan antar kota dihitung
berdasarkan rumus sebagai berikut:
1. Jika Jh < Lt.
πR
J90cos1RE h
0
...................................(II.10)
Gambar II.2. Daerah Bebas Samping di Tikungan, Untuk Jh < Lt
2. Jika Jh > Lt.
πR
J90sinLJ
2
1
πR
J90cos1RE h
0
thh
0
.....(II.11)
Gambar II.3. Derah Bebas Samping di Tikungan, Untuk Jh > L
Page 58
II - 27
4. Hambatan Samping
Banyak aktivitas samping jalan di Indonesia sering menimbulkan konflik,
kadang-kadang besar pengaruhnya terhadap arus lalu-lintas. Hambatan samping
yang terutama berpengaruh pada kapasitas dan kinerja jalan perkotaan adalah:
- Pejalan kaki;
- Angkutan umum dan kendaraan lain berhenti;
- Kendaraan lambat (misalnya becak, kereta kuda);
- Kendaraan masuk dan keluar dari lahan di samping jalan.
Menurut MKJI 1997 (lihat Tabel II.18.) setiap aktivitas di samping jalan
memberikan pengaruh berdasarkan bobot sebagai berikut; pejalan kaki (bobot
0,5), kendaraan umum/kendaraan lain berhenti (bobot1 1,0), kendaraan
masuk/keluar sisi jalan (bobot 0,7), dan kendaraan lambat (bobot 0,4).
Tabel II.18. Kelas Hambatan Samping Untuk Jalan Perkotaan/Semi Perkotaan
Kelas Hambatan
Samping (SFC) Kode
Jumlah berbobot
kejadian per 200 m
per jam (dua sisi)
Kejadian Kondisi Khusus
Sangat rendah VL < 100 Daerah permukiman; Jalan
samping tersedia
Rendah L 100 – 299 Daerah permukiman;
beberapa angkutan umum,dsb
Sedang M 300 – 499 Daerah Industri Beberapa
toko di sisi jalan
Tinggi H 500 – 899 Daerah komersial; aktivitas
di sisi jalan tinggi
Sangat Tinggi VH >900
Daerah komersial dengan
aktivitas pasar di samping
jalan
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia, 1997, Bab 5
Page 59
II - 28
II.3.2. Alinyemen Jalan (Horizontal)
Perencanaan alinyemen horisontal merupakan proyeksi sumbu tegak
lurus bidang horizontal yang terdiri dari susunan garis lurus dan garis lengkung .
Alinyemen horizontal terdiri atas bagian lurus dan bagian lengkung
atau disebut juga tikungan. Perencanaan geometrik pada bagian lengkung
dimaksudkan untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang diterima kendaraan yang
berjalan dengan kecepatan VR pada saat melewati tikungan (Departemen
Pekerjaan Umum, 1997a). Gaya sentrifugal ini dapat mendorong kendaraan
secara radial ke arah luar lengkung. Gaya ini arahnya tegak lurus terhadap arah
laju kendaraan yang mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi pengemudi
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan tikungan pada
alinyemen horizontal adalah:
II.3.2.1. Superelevasi (e)
Superelevasi adalah kemiringan melintang jalan pada lengkung
horizontal yang bertujuan untuk memperoleh komponen berat kendaraan guna
mengimbangi gaya sentrifugal. Superelevasi maksimum yang dapat dipergunakan
pada suatu jalan raya dibatasi oleh beberapa keadaan (Sukirman, 1994), seperti:
1. Keadaan cuaca, seperti turun hujan dan berkabut;
2. Jalan yang berada di daerah yang sering turun hujan atau berkabut,
superelevasi maksimumnya lebih rendah daripada jalan yang berada di
daerah yang selalu bercuaca baik;
3. Keadaan medan, seperti datar, berbukit-bukit atau pegunungan. Di daerah
datar, superlevasi maksimumnya lebih tinggi daripada di daeran berbukit-
bukit dan pegunungan.
Dalam hal ini, batasan superlevasi maksimum yang dipilih lebih
ditentukan pada tingkat kesukaran dalam pelaksanaan pembuatan jalan.
II.3.2.2. Jari-Jari Tikungan
Tikungan jalan terdiri dari lingkaran dan lengkung peralihan.
Penentuan ukuran bagian-bagian tikungan didasarkan pada keseimbangan gaya
yang bekerja pada kendaraan yang melintasi tikungan tersebut. Di dalam
perancangan geometrik jalan, ketajaman lengkung horizontal dapat dinyatakan
Page 60
II - 29
dalam jari-jari lengkung (R) atau dalam derajat lengkung (D). Besarnya jari-jari
minimum (Rmin) lengkung pada alinyemen horizontal dapat dicari dengan rumus:
........................................................................(II.12)
Dimana:
Rmin = jari-jari tikungan minimum (m)
VR = kecepatan rencana (km/jam)
emaks = superelevasi maksimum (%)
fmaks = koefisien gesekan melintang maksimum
Untuk: VR < 80 km/jam, fmaks = - 0,00065 VR + 0,192.......................(II.13)
VR > 80 km/jam, fmaks = - 0,00125 VR + 0,240......................(II.14)
Tabel II.19. dapat dipakai untuk menetapkan Rmin untuk jalan antar kota.
Tabel II.19. Jari-Jari Tikungan Minimum, Rmin (m) Untuk
Jalan Antar Kota (emaks = 10%)
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 600 370 210 110 80 50 30 15
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997: 28
II.3.2.3. Panjang Bagian Lurus
Dengan mempertimbangkan faktor keselamatan pemakai jalan,
ditinjau dari segi kelelahan pengemudi, maka panjang maksimum bagian jalan
yang lurus harus ditempuh dalam waktu tidak lebih 2,5 menit sesuai dengan
kecepatan rencana (VR). Panjang bagian lurus dapat ditetapkan dari Tabel II.20.
Page 61
II - 30
Tabel II.20. Panjang Bagian Lurus Maksimum (Jalan Antar Kota)
Fungsi
Panjang bagian lurus maksimum
Datar Perbukitan Pegunungan
Arteri 3.000 2.500 2.000
Kolektor 2.000 1.750 1.500
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997: 31
II.3.2.4. Lengkung Peralihan
Menurut Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota Nomor:
38/T/BM/1997, Lengkung peralihan adalah lengkung yang disisipkan di antara
bagian lurus jalan dan bagian lengkung jalan berjari jari tetap R; berfungsi
mengantisipasi perubahan alinemen jalan dari bentuk lurus (R tak terhingga)
sampai bagian lengkung jalan berjari jari tetap R sehingga gaya sentrifugal yang
bekerja pada kendaraan saat berjalan di tikungan berubah secara berangsur-
angsur, baik ketika kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan
tikungan.
Panjang lengkung peralihan (Ls) ditentukan dari tiga rumus di bawah
ini dan diambil nilai terbesar.
Berdasarkan waktu tempuh maksimum di lengkung peralihan:
3,6
.TVR ......................................................................................................(II.15)
Berdasarkan antisipasi gaya sentrifugal:
C
.e2,727.V
.CR
0,022.V R
c
2
R ......................................................................(II.16)
Berdasarkan tingkat pencapaian perubahan kelandaian:
R
e
nmaks V.3,6.
ee
.............................................................................................(II.17)
Page 62
II - 31
Di mana:
T = waktu tempuh pada lengkung peralihan = 3 det,
VR = kecepatan rencana, km/jam,
Rc = jari-jari busur lingkaran, m
C = perubahan percepatan, diambil 1 – 3 m/det2.
e = superelevasi
emaks = superelevasi maksimum
en = superelevasi normal
гe = tingkat perubahan pencapaian superelevasi
= VR ≤ 70 km/jam, гe = 0,035 m/m/det. ................................(II.18)
= VR ≥ 80 km/jam, гe = 0,025 m/m/det. ................................(II.19)
Selain menggunakan rumus-rumus di atas, untuk tujuan praktis Ls
dapat ditetapkan dengan menggunakan Tabel II.21. pada halaman berikut:
Tabel II.21. Panjang Lengkung Peralihan (Ls) dan Panjang Pencapaian
Superelevasi (Le) Untuk Jalan 1 lajur-2 lajur-2 arah.
VR
(km/jam)
Superelevasi (%)
2 4 6 8 10
Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le Ls Le
20 - - - - - - - - - -
30 - - - - - - - - - -
40 10 20 15 25 15 25 25 30 35 40
50 15 25 20 30 20 30 30 40 40 50
Page 63
II - 32
60 15 30 20 35 25 40 35 50 50 60
70 20 35 25 40 30 45 40 55 60 70
80 30 55 40 60 45 70 65 90 90 120
90 30 60 40 70 50 80 70 100 100 130
100 35 65 45 80 55 90 80 110 110 145
110 40 75 50 85 60 100 90 120 - -
120 40 80 55 90 70 110 95 135 - -
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997:30
Tikungan yang memiliki R lebih besar atau sama dengan yang ditunjukkan
pada Tabel II.22. tidak memerlukan lengkung peralihan.
Tabel II.22. Jari-Jari Tikungan Yang Tidak Memerlukan Lengkung
Peralihan
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Rmin (m) 2500 1500 900 500 350 250 130 60
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 : 30
Jika lengkung peralihan digunakan, posisi lintasan tikungan bergeser dari
bagian jalan yang lurus ke arah sebelah dalam sebesar p. Nilai p dihitung
dengan rumus:
24.Rc
Ls2
.........................................................................................(II.20)
Dimana:
Ls = panjang lengkung peralihan (m)
RC = jari-jari lengkung rencana (m).
Page 64
II - 33
Apabila nilai p kurang dari 0,25 m, maka lengkung peralihan tidak
diperlukan sehingga tipe tikungan menjadi Full Circle.
Superelevasi tidak diperlukan apabila nilai R lebih besar atau sama dengan
yang ditunjukkan pada Tabel II.23.
Tabel II.23. Jari-Jari Yang Diijinkan Tanpa Superlevasi
VR (km/jam) 120 100 80 60
Rmin (m) 5000 2000 1250 700
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997: 31
II.3.2.5. Tikungan
Tikungan terdiri atas 3 bentuk, yaitu:
a. Tikungan Full Circle (FC)
Full Circle (FC) yaitu tikungan yang berbentuk busur lingkaran secara
penuh. Tikungan ini memiliki satu titik pusat lingkaran dengan jari-jari yang
seragam. Biasanya memiliki jari-jari tikungan yang besar dan sudut yang kecil.
Gambar II.4. Bentuk Tikungan Full Circle (FC)
Page 65
II - 34
Gambar II.5. Bentuk Superelevasi Full Circle (FC)
Dalam perencanaan tikungan Full Circle, parameter yang digunakan yaitu:
Δ2
1Rc.tanTc ............................................................................................(II.21)
Δ4
1Tc.tanEc ............................................................................................(II.22)
0360
.RcΔ.2.Lc
................................................................................................(II.23)
Dimana:
PI Sta = nomor stasiun (Point of Intersection)
TC = tangent to circle.
CT = circle to tangent.
V = kecepatan rencana, km/jam (ditetapkan)
Rc = jari-jari lingkaran (ditetapkan)
Tc = panjang tangen jarak antara TC-PI atau PI-CT (dihitung)
Lc = panjang busur lingkaran (dihitung)
Ec = jarak PI ke busur lingkaran (dihitung)
∆ = sudut tangen/tikungan (diukur/dihitung dari gambar trase jalan)
Page 66
II - 35
b. Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS)
Digunakan pada tikungan yang mempunyai jari-jari dan sudut tangen yang
sedang. Pada tikungan SCS, perubahan dari tangen ke lengkung circle
dihubungkan dengan lengkung spiral (Ls). Fungsi dari lengkung spiral adalah
menjaga agar perubahan gaya sentrifugal yang timbul pada saat kendaraan
memasuki atau meninggalkan tikungan dapat terjadi secara berangsur-angsur. Di
samping itu, hal ini juga dimaksudkan untuk membuat transisi dari kemiringan
melintang normal pada bagian jalan lurus menuju kemiringan melintang
maksimum pada bagian circle tidak terjadi secara mendadak sehingga keamanan
dan kenyamanan terjamin.
Gambar II.6. Bentuk Tikungan Spiral Circle Spiral (SCS)
Gambar II.7. Bentuk superelevasi Spiral Circle Spiral (SCS)
Page 67
II - 36
Dalam perencanaan tikungan Spiral Circle Spiral, parameter yang
digunakan yaitu:
2
2
40Rc
Ls1LsXc ....................................................................................(II.24)
Rc6
LsYc
2
......................................................................................................(II.25)
Rc
Ls90θs
....................................................................................................(II.26)
θscos1Rc6Rc
Lsp
2
...............................................................................(II.27)
θssinRcRc40
LsLsk
2
3
...........................................................................(II.28)
kΔ2
1tanpRcTs ................................................................................(II.29)
RcΔ2
1secpRcEs ............................................................................(II.30)
Rcxx
180
θs2ΔLc
.................................................................................(II.31)
Ltot = Lc + 2 Ls ...............................................................................................(II.32)
dimana:
Xc = absis titik SC atau CS pada garis tangen, jarak dari titik TS ke SC
atau jarak dari titik ST ke CS
Yc = ordinat titik SC atau CS pada garis tegak lurus garis tangent , jarak
tegak lurus ke titik SC atau CS pada lengkung
Ls = panjang lengkung peralihan, jarak dari titik TS ke SC atau CS ke ST
Lc = panjang busur lingkaran, panjang dari titik SC ke CS.
Page 68
II - 37
Ts = panjang tangen dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST
TS = titik dari tangen ke spiral.
SC = titik dari spiral ke lingkaran
Es = jarak dari PI ke busur lingkaran
θs = sudut lengkung spiral.
Rc = jari-jari lingkaran
p = pergeseran tangen terhadap spiral.
k = absis dari p pada garis tangen spiral.
Jika diperoleh Lc < 25 m, maka sebaiknya tidak digunakan bentuk SCS,
tetapi digunakan lengkung SS, yaitu lengkung yang terdiri dari 2 lengkung
peralihan.
c. Tikungan Spiral Spiral (SS)
Tikungan jenis spiral spiral digunakan pada tikungan tajam dengan sudut
tangen yang besar. Pada prinsipnya lengkung spiral spiral sama dengan lengkung
spiral circle spiral, hanya saja pada tikungan spiral spiral tidak terdapat busur
lingkaran sehingga panjang lengkung total (Ltot) adalah 2 kali lengkung spiral
(Ls). Karena nilai Lc = 0 maka tidak ada jarak tertentu dalam tikungan yang sama
miringnya sehingga tikungan ini kurang begitu bagus pada superelevasi.
Gambar II.8. Bentuk tikungan Spiral Spiral (SS)
Page 69
II - 38
Gambar II.9. Bentuk Superelevasi Spiral Spiral (SS)
Rumus-rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
90
.Rcθs.Ls
.................................................................................................(II.33)
θscos1Rc6Rc
Lsp
2
...............................................................................(II.34)
θssinRcRc40
LsLsk
2
3
...........................................................................(II.35)
kΔ2
1tanpRcTs ................................................................................(II.36)
RcΔ2
1secpRcEs ............................................................................(II.37)
Lc = 0 dan θs = ½ Δ............................................................................. ..........(II.38)
Karena Lc = 0, maka Ltotal = 2 Ls....................................... ............................(II.39)
II.3.2.6. Pelebaran Perkerasan Pada Lengkung Horizontal
Pada saat kendaraan melintasi tikungan, roda belakang kendaraan
tidak dapat mengikuti jejak roda depan sehingga lintasannya berada lebih ke
dalam dibandingkan dengan lintasan roda depan. Lebar jalan yang dibutuhkan
Page 70
II - 39
pada daerah tikungan lebih besar agar roda kendaraan tetap berada pada
perkerasan.
Untuk itu pada bagian ini perlu dibuat pelebaran. Pada umumnya truk
tunggal digunakan sebagai jenis kendaraan rencana untuk penentuan tambahan
lebar perkerasan yang dibutuhkan. Tetapi pada jalanjalan dimana banyak dilewati
kendaraan berat, jenis kendaraan semi trailer merupakan kendaraan yang cocok
dipilih untuk kendaraan rencana.
Pelebaran perkerasan pada tikungan dapat dilihat pada Gambar II.10
berikut.
Gambar II.10. Pelebaran Perkerasan Pada Tikungan
Detail dari elemen-elemen dari pelebaran perkerasan tikungan di atas
adalah sebagai berikut:
1) Off Tracking
Untuk perencanaan geometrik jalan antar kota, Bina Marga
memperhitungkan lebar kendaraan rencana (B) dengan mengambil posisi kritis
kendaraan yaitu pada saat roda depan kendaraan pertama kali dibelokkan dan
tinjauan dilakukan pada lajur sebelah dalam.
2) Kesukaran Dalam Mengemudi di Tikungan
Semakin tinggi kecepatan kendaraan dan semakin tajam tikungan tersebut,
semakin besar tambahan pelebaran akibat kesukaran dalam mengemudi. Hal ini
disebabkan kecenderungan terlemparnya kendaran bergerak ke arah dalam
Page 71
II - 40
gerakan menikung tersebut. Kebebasan samping di kiri dan kanan jalan tetap
harus dipertahankan demi keamanan dan tingkat pelayanan jalan. Kebebasan
samping (C) sebesar 0,5m, 1 m, dan 1,25 m cukup memadai untuk jalan dengan
lebar lajur 6 m, 7 m, dan 7,50 m.
Persamaan-persamaan yang digunakan dalam perencanaan pelebaran
perkerasan pada tikungan adalah sebagai berikut,
(
)...........................................................................................(II.40)
(√ ) .............................................................(II.41)
√ .............................................................................(II.42)
...........................................................(II.43)
....................................................................................................(II.44)
Keterangan :
b = Lebar kendaraan rencana.
Z = lebar tambahan akibat kesukaran mengemudi di tikungan.
V = Kecepatan (km/jam).
Rc = Radius lengkung rencana (m).
C = lebar kebebasan samping di kiri dan kanan kendaraan.
B = lebar total perkerasan pada bagian lurus.
Bt = lebar total perkerasan di tikungan
n = jumlah jalur.
ΔB = tambahan lebar perkerasan di tikungan = Bt – B.............................(II.45)
Page 72
II - 41
II.3.3. Alinyemen Jalan (Vertikal)
Alinyemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian
lengkung vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal
dapat berupa landai positif (tanjakan), landai negatif (turunan) atau landai nol
(datar). Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung
cembung.
Lengkung vertikal terdiri dari dua kelandaian sehingga dapat berupa
tanjakan turunan ataupun turunan tanjakan. Berikut pada Gambar 2.11. dapat
dilihat kombiasi dari kelandaian sehingga membentuk lengkung vertikal baik
cembung dan cekung.
Gambar II.11. Lengkung Vertikal
1. Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk memungkinkan kendaran
bergerak terus tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum
didasarkan pada kecepatan truk yang bermuatan penuh yang mampu bergerak
dengan penurunan kecepatan tidak lebih dari separuh kecepatan semula tanpa
harus menggunakan gigi rendah (Departemen Pekerjaan Umum, 1997a). Berikut
ini disajikan kelandaian maksimum yang diijinkan untuk berbagai Kecepatan
Rencana (Vr) dalam Tabel II.24.
Page 73
II - 42
Tabel II.24. Kelandaian Maksimum Yang Diijinkan
Vr, km/jam 120 110 100 80 60 50 40 < 40
Landai maksimum,% 3 3 3 4 6 7 8 9
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997: 36
2. Kelandaian Minimum
Pada jalan yang menggunakan kerb pada tepi perkerasannya, perlu dibuat
kelandaian minimum 0,5 % untuk keperluan kemiringan saluran samping, karena
kemiringan jalan dengan kerb hanya cukup untuk mengalirkan air kesamping.
3. Panjang kritis suatu kelandaian
Panjang kritis ini diperlukan sebagai batasan panjang kelandaian maksimum
agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh Vr. Panjang kritis
landai dapat dilihat pada Tabel II.25.
Tabel II.25. Panjang Kritis Landai (m)
Kecepatan pada awal tanjakan,
km/jam
Landai, %
3 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230
200
60 320 210 160 120 110 90 80
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997: 36
4. Lengkung Vertikal
1. Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan
mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian; dan
menyediakan jarak pandang henti.
2. Lengkung vertikal dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola
sederhana,
a. jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal
cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:
.........................................................................................(II.46)
Page 74
II - 43
b. jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:
...................................................................................(II.47)
3. Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus:
..........................................................................................(II.48)
.............................................................................................(II.49)
di mana :
L = Panjang lengkung vertikal (m),
A = Perbedaan grade (m),
Jh = Jarak pandangan henti (m),
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm
dan tinggi mata 120 cm.
4. Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan, dan
penampilan. Y ditentukan sesuai Tabel II.26.
Tabel II.26. Penentuan Faktor Penampilan Kenyamanan
Kecepatan Rencana (Km/jam) Faktor penampilan kenyamanan (Y)
< 40 1.5
40 – 60 3
> 60 8
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 : 37
5. Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel II.27.
yang didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang.
Tabel II.27. Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana
(Km/jam)
Perbedaan kelandaian memanjang
(%)
Panjang Lengkung
(m)
< 40 1 20 – 30
Page 75
II - 44
40 – 60 0.6 40 – 80
> 60 0.4 80 – 150
Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1997 : 38
II.3.3.1. Lengkung vertikal
Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik
perpotongan antara kedua tangent berada di atas permukaan jalan.
Gambar II.12. Lengkung Vertikal Cembung
Lengkung vertikal cekung adalah lengkung dimana titik perpotongan
antara kedua tangent berada di bawah permukaan jalan.
Gambar II.13. Lengkung vertikal cekung
c
VPT
Lv
Lv/2 Lv/2
Garis pandang
h1 h2
g1 g2 VPC
VPI
Jarak pandang henti (S)
h2 h1
g1 g2
VPT VPC
VPI
Panjang lengkung vertikal cembung (Lv)
Jarak pandang henti (S)
Page 76
II - 45
Maka persamaan umum untuk lengkung vertikal adalah:
2
x
L
ggy
221
atau
2L
Axy
2
......................................(II.50)
Jika A dinyatakan dalam persen, maka:
......................................................................................(II.51)
Untuk x = ½ L maka y = Ev, dengan demikian
.......................................................................................................(II.52)
Keterangan :
PLV = Titik awal lengkung parabola
PV1 = Titik perpotongan kelandaian 1 g dan 2 g
g = Kemiringan tangen : (+) naik, (-) turun
A = Perbedaan aljabar landai ( 1 g - 2 g ) %
EV = Pergeseran vertikal titik tengah besar lingkaran (PV1 – m) meter
Lv = Panjang lengkung vertikal
V = Kecepatan rencana ( km/jam)
Tanda + (Positif) menunjukkan lengkung vertikal cembung dan tanda –
(Negatif) menunjukkan lengkung vertikal cekung.
Untuk mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian dan untuk
menjamin jarak pandangan henti, maka lengkung vertikal harus disediakan pada
setiap lokasi di mana kelandaian berubah.
Page 77
II - 46
II.4. Metode Analisa Komponen (SKBI 1987)
Parameter perencanaan tebal perkerasan untuk jalan baru maupun
jalan lama adalah:
II.4.1. Umur Rencana
Umur rencana perkerasan jalan adalah jumlah tahun dari saat jalan
tersebut dibuka untuk lalu lintas kendaraan sampai diperlukan suatu perbaikan
yang bersifat struktural (sampai diperlukan overlay lapisan perkerasan). Selama
umur rencana tersebut pemeliharaan perkerasan jalan tetap harus dilakukan,
seperti pelapisan nonstruktural yang berfungsi sebagai lapis aus. Umur rencana
untuk perkerasan lentur jalan umumnya diambil 20 tahun dan untuk peningkatan
jalan 10 tahun. Umur rencana yang lebih besar dari 20 tahun tidak lagi ekonomis
karena perkembangan lalu lintas yang terlalu besar dan sukar untuk mendapatkan
ketelitian yang memadai (tambahan tebal lapisan perkerasan menyebabkan biaya
awal yang cukup tinggi).
II.4.2 Jumlah Jalur Rencana
Jalur rencana merupakan salah satu jalur lalu lintas dari suatu ruas
jalan yang menampung lalu lintas terbesar. Jumlah jalur rencana dapat ditentukan
dengan lebar perkerasan jalan tersebut, hal ini dapat dilihat pada Tabel II.28.
berikut:
Tabel II.28. Jumlah Lajur Rencana Berdasarkan Lebar Perkerasan
NO. Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur (n)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
L < 5,5m
5,5m ≤ L < 8,25m
8,25m ≤ L < 11,25m
11,25m ≤ L < 15,00m
15,00m ≤ L < 18,75m
18,75m ≤ L < 22,00m
1 Lajur
2 Lajur
3 Lajur
4 Lajur
5 Lajur
6 Lajur
Sumber: SNI-1732-1987
Page 78
II - 47
II.4.3. Koefisien Distribusi Kendaraan
Koefisien distribusi kendaraan perlu ditentukan dengan cara
mengklasifikasi jenis kendaraan, diklasifikasikan atas kendaraan ringan dan
kendaraan berat yang akan melintas pada jalur rencana jalan. Untuk koefisien
distribusi kendaraan tersebut dapat dilihat pada Tabel II.29.
Tabel II.29. Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Jumlah
Jalur
Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 jalur
2 jalur
3 jalur
4 jalur
5 jalur
6 jalur
1,00
0,60
0,40
-
-
-
1,00
0,50
0,40
0,30
0,25
0,20
1,00
0,70
0,50
-
-
-
1,00
0,50
0,475
0,45
0,425
0,40
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987).
Catatan:
*) Berat total < 5 ton, misalnya; Mobil penumpang, pick up, mobil
hantaran.
**) Berat total ≥ 5 ton, misalnya; Bus, traktor, semi trailer, trailer.
II.4.4. Angka Ekivalen Beban Sumbu Kendaraan (E)
Angka ekivalen masing-masing golongan benan sumbu untuk setiap
kendaraan ditentukan dengan rumus:
- Angka ekivalen sumbu tunggal = *
+
...….…(II.53)
- Angka ekivalen sumbu ganda = 0,086 × *
+
.(II.54)
Angka ekivalen (E) dilanjutkan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel
II.30. di bawah ini.
Page 79
II - 48
Tabel II.30. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda
1000 2205 0,0002 0,0000
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0795
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1237
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987).
II.4.5. Lalu Lintas Harian Rata-Rata dan Rumus-Rumus Lintas
Ekivalen
Data lalu lintas merupakan landasan utama dalam merencanakan jalan
raya. Perencanaan ini meliputi geometrik dan tebal perkerasan jalan raya. Data
mengenai jumlah lalu lintas didapat dari perhitungan kendaraan yang lewat
perhari per 2 arah.
a. Lalu Lintas Harian Rata-Rata
Lalu lintas harian rata-rata dari setiap jenis kendaraan yang
ditentukan pada awal umur rencana, untuk setiap kendaraan dihitung untuk
kedua jurusan pada jalan tanpa median atau pada masing-masing arah pada
jalan dengan median.
Menurut Bina Marga LHR dapat dihitung dengan rumus:
LHR = …………………………….....…(II.55)
Page 80
II - 49
Dimana:
LHR = LHR untuk masing-masing kendaraan
UR = Umur Rencana
= Pertumbuhan Lalu Lintas Rata-Rata
b. Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)
LEP adalah jumlah lintas ekivalen rata-rata dari sumbu tunggal seberat
8,16 ton pada jalur rencana, yang diduga terjadi pada awal umur rencana.
LEP dihitung dengan rumus:
LEP = ∑ …………………………...........(II.56)
Dimana:
LEP = Lintas Ekivalen Permulaan
C = Koefisien Distribusi Kendaraan
E = Angka Ekivalen
j = Jenis Kendaraan
Catatan: LHR yang digunakan adalah LHR awal kendaraan
c. Lintas Ekivalen Akhir (LEA)
LEA adalah jumlah lintas ekivalen rata-rata dari sumbu tunggal seberat
8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada akhir umur rencana.
LEA dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
LEA = ∑ ……………….…(II.57)
Dimana:
LEA = Lintas Ekivalen Akhir
C = Koefisien Distribusi Kendaraan
E = Angka Ekivalen
UR = Umur Rencana
j = Jenis Kendaraan
= Pertumbuhan Lalu Lintas Rata-Rata
Catatan: LHR yang digunakan adalah LHR awal kendaraan
Page 81
II - 50
d. Lintas Ekivalen Tengah (LET)
LET adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal
seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi pada pertengahan
umur rencana.
LET dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
LET =
……………………………………...…...(II.58)
Dimana:
LET = Lintas Ekivalen Tengah
LEP = Lintas Ekivalen Permulaan
LEA = Lintas Ekivalen Akhir
e. Lintas Ekivalen Rencana (LER)
LER adalah jumlah lintas ekivalen harian rata-rata dari sumbu tunggal
seberat 8,16 ton pada jalur rencana yang diduga terjadi selama umur rencana.
LER dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
LER = LET FP …………………………………….........(II.59)
Dimana:
FP = Faktor Penyesuaian
FP =
………………………………………………...…..(II.60)
II.4.6. Daya Dukung Tanah Dasar (DDT) dan California Bearing Ratio
(CBR)
Yang dimaksud dengan harga CBR disini adalah harga CBR lapangan
atau CBR laboratorium. Jika digunakan CBR lapangan maka pengambilan contoh
tanah dasar dilakukan dengan tabung (undisturb), kemudian direndam dan
diperiksa harga CBR-nya. Dapat juga mengukur langsung di lapangan (musim
hujan/direndam). CBR lapangan biasanya digunakan untuk perencanaan lapis
tambahan (overlay), CBR lapangan juga biasa dilakukan dengan cara Dinamic
Cone Penetrometer Test (DCP). Jika dilakukan menurut Pengujian Kepadatan
Ringan (SKBI 3.3. 30.1987/UDC 624.131.43 (02) atau Pengujian Kepadatan
Berat (SKBI 3.3. 30.1987/UDC 624.131.53 (02) sesuai dengan kebutuhan. CBR
Page 82
II - 51
laboratorium biasanya dipakai untuk perencanaan pembangunan jalan baru.
Sementara ini dianjurkan untuk mendasarkan daya dukung tanah dasar hanya
kepada pengukuran nilai CBR. Cara-cara lain hanya digunakan bila telah disertai
data-data yang dapat dipertanggungjawabkan. Cara-cara lain tersebut dapat berupa
: Group Index, Plate Bearing Test atau R-value. Harga yang mewakili dari
sejumlah harga CBR yang dilaporkan, ditentukan sebagai berikut:
a. Tentukan harga CBR terendah.
b. Tentukan berapa banyak harga dari masing-masing nilai CBR yang
sama dan lebih besar dari masing-masing nilai CBR.
c. Angka jumlah terbanyak dinyatakan sebagai 100%. Jumlah lainnya
merupakan persentase dari 100%.
d. Dibuat grafik hubungan antara harga CBR dan persentase jumlah tadi.
e. Nilai CBR yang mewakili adalah yang didapat dari angka persentase
90%.
Daya Dukung Tanah Daar (DDT). Yaitu skala yang dipaki dalam
nomogram penetapan tebal perkerasan untuk menyatakan kekuatan tanah dasar.
Daya dukung tanah dasar diperoleh dengan menggunakan diagram hubungan
korelasi antar CBR dan DDT.
Gambar II.14. Korelasi DDT dan CBR
Page 83
II - 52
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987).
Catatan: Hubungan nilai CBR dengan garis mendatar kesebelah kiri diperoleh
nilai DDT.
Jika syarat maksimum CBR yaitu 6% tidak terpenuhi maka
perhitungan digunakan dengan memakai CBR maksimum 6% dengan syarat
ditambahnya lapisan timbunan pilihan diatas tanah dasar. Tebal lapisan timbunan
pilihan dapat dilihat pada Tabel II.31. berikut ini.
Tabel II.31. Solusi Tebal Timbunan Pilihan Untuk CBR Minimum
CBR Tanah Dasar
(%)
Tebal Timbunan
Pilihan (mm)
5 100
4 150
3 200
2,5 250
Sumber : Manual Desain Perkerasan Jalan 2013
II.4.7. Faktor Regional (FR)
Faktor ini adalah fungsi dari kondisi iklim (yang dinyatakan dengan
jumlah curah hujan pertahun), kelandaian dan persentase kendaraan berat.
Kendaraan berat yang diperhitungkan dalam menetukan FR adalah kendaraan
dengan total berat lebih besar atau sama dengan 13 ton. Nilai FR diambil secara
kualitatif dengan menggunakan Tabel II.32. sebagai berikut:
Tabel II.32. Nilai Faktor Regional (FR)
Curah Hujan
Kelandaian I
( < 6 %)
Kelandaian II
(6 – 10 %)
Kelandaian III
( > 10%)
% kendaraan berat % kendaraan berat % kendaraan berat
≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 % ≤ 30 % > 30 %
Iklim I < 900 mm/th 0,5 1,0 – 1,5 1,0 1,5 – 2,0 1,5 2,0 – 2,5
Page 84
II - 53
Iklim II > 900 mm/th 1,5 2,0 – 2,5 2,0 2,5 – 3,0 2,5 3,0 – 3,5
II.4.8. Indeks Permukaan (IP)
Indeks Permukaan ini menyatakan nilai daripada kerataan / kehalusan
serta kekokohan permukaan yang bertalian dengan tingkat pelayanan bagi lalu-
lintas yang lewat. Kondisi tingkat pelayanan dalammetode Bina Marga dinyatakan
dalam indeks Permukaan, yang dinyatakan dengan nilai Present Serviceability
Indeks (PSI) dari metode AASHTO dalam skala nilai 0-5.
Adapun beberapa nilai IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut
di bawah ini:
IP =1,0 : adalah menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehingga sangat mengganggu lalu Iintas kendaraan.
IP = 1,5: adalah tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan
tidak terputus).
IP = 2,0: adalah tingkat pelayanan rendah bagi jalan yang masih mantap.
IP = 2,5: adalah menyatakan permukaan jalan yang masih cukup stabil dan
baik.
Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur rencana,
perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan dan jumlah lintas
ekivalen rencana (LER), seperti pada Tabel II.33. di bawah ini:
Tabel II.33. Indeks Permukaan Akhir Umur Rencana (IP)
LER Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Tol
< 10
10 – 100
100 – 1000
>1000
1,0 – 1,5
1,5
1,5 – 2,0
-
1,5
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
1,5 – 2,0
2,0
2,0 – 2,5
2,5
-
-
-
2,5
*) LER dalam satuan angka ekivalen 8,16 ton beban sumbu tunggal.
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode
Analisa Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987).
Page 85
II - 54
Catatan: Pada proyek-proyek penunjang jalan, JAPAT / jalan murah atau jalan
darurat maka IP dapat diambil 1,0.
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IPo),
perlu diperhatikan jenis lapis permukaan jalan (kerataan / kehalusan serta
kekokohan) pada awal umur rencana. Untuk menentukan hal tersebut dapat dilihat
pada Tabel II.34. berikut:
Tabel II.34. Indeks Permukaan Awal Umur Rencana (IPo)
Jenis Lapisan Perkerasan IPo Roughness *)
(mm/km)
LASTON >4 ≤ 1000
3,9 – 3,5 > 1000
LASBUTAG 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
HRA 3,9 – 3,5 ≤ 2000
3,4 – 3,0 > 2000
BURDA 3,9 – 3,5 < 2000
BURTU 3,4 – 3,0 < 2000
LAPEN 3,4 – 3,0 ≤ 3000
2,9 – 2,5 > 3000
LATSABUM 2,9 – 2,5
BURAS 2,9 – 2,5
LATASIR 2,9 – 2,5
JALAN TANAH ≤ 2,4
JALAN KERIKIL ≤ 2,4
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa
Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987)
*) Alat pengukur roughness yang dipakai adalah roughometer NAASRA, yang
dipasang pada kendaraan standar Datsun 1500 station wagon, dengan kecepatan
kendaraan ± 32 km per jam.
Gerakan sumbu belakang dalam arah vertikal dipindahkan pada alat
roughometer melalui kabel yang dipasang ditengah-tengah sumbu belakang
kendaraan, yang selanjutnya dipindahkan kepada counter melalui "flexible drive”.
Setiap putaran counter adalah sama dengan 15,2 mm gerakan vertikal antara
Page 86
II - 55
sumbu belakang dan body kendaraan. Alat pengukur roughness type lain dapat
digunakan dengan mengkalibrasikan hasil yang diperoleh terhadap roughometer
NAASRA.
II.4.9. Indeks Tebal Perkerasan
Perhitungan perkerasan secara lentur dapat ditentukan dengan suatu
Indeks Tebal Perkerasan (ITP). Jenis perkerasan ini berkaitan dengan yang telah
diuraikan pada bentuk susunan konstruksi perkerasan, sehingga kita mendapatkan
koefisien kekuatan relative masing-masing bahan dan kegunaanya. ITP
dapatdiperoleh dari nomogram dengan menggunakan LER selama umur rencana
dan DDT (Daya Dukung Tanah), seperti pada Gambar II.15. berikut ini:
Gambar II.15. Contoh Nomogram untuk Menentukan ITP
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa
Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987).
II.4.10. Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Besarnya nilai koefisien kekuatan relatif (a) untuk masing-masing
bahan dan kegunaanya sebagai lapisan permukaan, lapisan pondasi bawah,
ditentukan secara korelasi sesuai dengan nilai Marshall Test (untuk bahan dengan
aspal), kuat tekan (untuk bahan yang distabilkan dengan semen atau kapur) dan
Page 87
II - 56
CBR (untuk bahan lapis pondasi bawah). Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel
II.35. berikut:
Tabel II.35. Koefisien Kekuatan Relatif
Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan
Jenis Bahan a1 a2 a3 MS (kg) Kt (kg/cm) CBR (%)
0,40
0,35
0,35
0,30
0,35
0,31
0,28
0,26
0,30
0,26
0,25
0,20
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,28
0,26
0,24
0,23
0,19
0,15
0,13
0,15
0,13
0,14
0,13
0,12
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
0,13
0,12
0,11
0,10
744
590
454
340
744
590
454
340
340
340
-
-
590
454
340
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
22
18
22
18
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
100
80
60
70
50
30
20
LASTON
Lasbutag
HRA
Aspal Macadam
Lapen (mekanis)
Lapen (manual)
Laston Atas
Lapen (mekanis)
Lapen (manual)
Stabilitas tanah dengan semen
Stabilitas tanah dengan kapur
Batu Pecah (kelas A)
Batu Pecah (kelas B)
Batu Pecah (kelas C)
Sirtu/Pitrun (kelas A)
Sirtu/Pitrun (kelas B)
Sirtu/Pitrun (kelas C)
Tanah/Lempung Kepasiran
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa
Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987).
Catatan: Kuat tekan stabilitas tanah dengan semen diperiksa pada hari ke-7. Kuat tekan stabilitas
tanah dengan kapur diperiksa pada hari ke-21.
Page 88
II - 57
II.4.11. Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan
– Lapis Permukaan
Persyaratan tebal minimum lapis permukaan untuk setiap nilai indeks tebal
perkerasan (ITP) untuk setiap material yang digunakan dapat dilihat pada Tabel
II.36. berikut:
Tabel II.36. Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Permukaan
ITP Tebal Minimum
(cm)
Bahan
< 3,00 5 Lapis Pelindung: (Buras/Burtu/Burda)
3,00 – 6,70 5 Lapen/Aspal Macadam, HRA,
Lasbutag, Laston
6,71 – 7,49 7,5 Lapen/Aspal Macadam, HRA,
Lasbutag, Laston
7,50 – 9,99 7,5 Lasbutag, LASTON
≥ 10 10 LASTON
Sumber: Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur Jalan Raya Dengan Metode Analisa
Komponen, (SKBI – 2.3.26. 1987).
– Lapis Pondasi Atas
Dalam perencanaan tebal lapis pondasi atas, Bina Marga telah menentukan
batas minimum untuk setiap nilai indeks tebal perkerasan yang menggunakan
lapis pondasi atas. Adapun tebal minimum lapis pondasi atas tersebut dapat dilihat
pada Tabel II.37. berikut:
Tabel II.37. Batas Minimum Tebal Pondasi Atas
ITP Tebal
Minimum (cm)
Bahan
< 3,00 15 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur
3,00 – 7,49
20 *)
10
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur
Laston atas
7,50 – 9,99 20 Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
Page 89
II - 58
15
tanah dengan kapur, pondasi macadam
Laston atas
10 – 12,14
≥ 12,25
20
25
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur, LAPEN, laston atas
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi
tanah dengan kapur, LAPEN, laston atas
– Lapis Pondasi Bawah
Batas minimum lapis pondasi bawah pada tebal lapisan perkerasan adalah
untuk setiap nilai ITP bila digunakan pondasi bawah, maka tebal minimum adalah
10 cm.
Dari parameter-parameter tersebut kemudian diperoleh nilai ITP dan
nilai koefisien kekuatan relatif untuk masing-masing bahan perkerasan. Tebal
masing-masing bahan perkerasan untuk masing-masing lapis permukaan, lapis
pondasi atas, dan lapis pondasi bawah dapat dihitung menggunakan rumus:
ITP = ……………...……..(II.61)
Dimana:
, , = koefisien kekuatan relative bahan perkerasan
, , = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm), lapisan
pondasi atas dan lapisan pondasi bawah.
II.5. Drainase
Drainase adalah pembuangan massa air secara alami atau buatan dari
permukaan atau bawah permukaan dari suatu tempat. Pembuangan ini dapat
dilakukan dengan mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air.
Drainase merupakan bagian penting dalam penataan sistem penyediaan air di
bidang pertanian maupun tata ruang.
II.5.1. Sistem Drainase
Ditinjau dari fungsi dan tujuannya, sistem drainase dibagi menjadi 2
(dua), yaitu:
1. Drainase permukaan (surfase drainage);
2. Drainase bawah permukaan (sub surfase drainage);
Page 90
II - 59
Sesuai dengan kondisi topografi dan tanah pada lokasi pekerjaan, dimana
pengendalian air permukaan tanah (air tanah) belum menjadi problem pada
perkerasan jalan, maka dalam pelaporan ini yang dianalisis hanya drainase
permukaan.
II.5.2. Drainase Permukaan (Sub Surface Drainage)
Drainase permukaan (surface drainage) adalah sistem drainase yang
terletak dipermukaan tanah baik yang terbentuk secara alamiah maupun buatan
untuk mengalirkan air hujan dan limpasan permukaan. Pada drainase jalan raya,
drainase permukaan meliputi :
1. Kemiringan melintang perkerasan jalan dan bahu;
2. Saluran samping (side ditch);
3. Gorong-gorong (culvert);
4. Saluran penangkap (catch ditch).
II.5.3. Faktor Yang Mempengaruhi Drainase Permukaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi sistem drainase permukaan adalah :
1. Aspek hidrologi;
2. Aspek hidrolika.
II.5.3.1. Aspek Hidrologi
A. Unsur morfologi, antara lain :
a. Intensitas curah hujan;
b. Distribusi hujan dalam daerah pengaliran;
c. Arah pergerakan hujan.
B. Unsur daerah pengaliran, meliputi :
a. Tata guna lahan;
b. Luas daearah pengaliran;
c. Kondisi topografi daerah pengaliran;
d. Jenis tanah/ material;
e. Kondisi permukaan
Page 91
II - 60
II.5.3.2. Aspek Hidrolika
Aspek hidrolika adalah merupakan dasar untuk menetapkan dimensi
saluran terbuka/ tertutup yang digunakan sebagai sarana untuk mengalirkan air ke
badan air penerima. Prinsip-prinsip aliran disaluran terbuka adalah :
a. Kemiringan dasar saluran/drainase;
b. Gaya grafitasi sebagai sumber energi;
c. Gaya geseran dinding saluran.
II.5.4. Perencanaan Dimensi Drainase
Dalam merencanakan dimensi saluran samping perlu diketahui
besarnya debit aliran yang mengalir dalam saluran samping tersebut. Penentuan
besar aliran maksimum untuk mendapatkan debit rencana dari suatu fasilitas
drainase tergantung pada beberapa parameter berikut:
a. Selang waktu dan intensitas hujan;
b. Frekuensi dari hujan lebat;
c. Bentuk ukuran, kemiringan, dan permeabilitas tanah dari daerah pengalihan;
d. Perubahan karakteristik aliran sehubungan dengan perubahan daerah
pengaliran akibat penggunaan tanah.
Dengan adanya faktor ketergantungan terhadap parameter- parameter
di atas maka hubungan antara curah hujan dan aliran maksimum menimbulkan
problema yang rumit terutama untuk mendapatkan besaran langsung dari aliran
maksimum.
Sesuai dengan kondisi eksisting drainase di area perencanaan perlu
adanya survey dan analisa hidrolika, keperluan survey hidrolika ini adalah untuk
menetapkan urutan prioritas perencanaan drainase baru atau peningkatan/
rehabilitasi. Kegiatan survey hidrolika meliputi beberapa hal seperti :
a. Menginventarisir drainase, yaitu kondisi saluran dan bangunan drainase
eksisting yang ada;
b. Catchment area yang ada;
c. Tata guna lahan;
Page 92
II - 61
d. Mengumpulkan data-data yang dapat digunakan langsung untuk
perencanaan dan mencatat keadaan-keadaan yang dapat mempengaruhi
rencana letak saluran dan bangunan;
e. Pendataan terhadap pola aliran pada daerah rencana trase jalan.
Analisa hidrolika dimaksudkan untuk menetapkan besarnya debit ( Q )
yang harus disalurkan. Analisa Hidrolika diperlukan untuk menetapkan dimensi
saluran dan bangunan drainase yang diperlukan untuk mengalirkan debit tersebut.
Dalam perencanaan Saluran, data tata guna lahan dibutuhkan sebagai
parameter untuk menentukan :
a. Batas lebar pengukuran;
b. Catchment area;
c. Koefisien limpasan.
Sesuai pengamatan selama proses survey lapangan sepanjang daerah
perencanaan tata guna lahan adalah :
a. Sisi kiri/ kanan trase jalan lahan pertanian buah-buahan;
b. Jalan keluar kota.
II.5.5. Analisa Curah Hujan Maksimum
Dalam analisa curah hujan maksimum, metode yang kami gunakan
dalam perhitungannya adalah Metode Gumbel dengan rumus sebagai berikut :
............................................................(II.62)
Dimana :
XT= Curah hujan rencana menurut tahun ulang (mm/24jam)
= Nilai rata-rata dari jumlah hujan maksimum
..................................................................................(II.63)
YT = Reduced variate
Yn = Reduced mean
Sn = Reduced standard deviation
SD = Standard Deviation
√∑ ̅
...................................................................... (II.64)
Page 93
II - 62
Tabel II.38. Periode Ulang Sebagai Fungsi dari reduced varied (YT)
Periode Ulang (Tahun) Reduce Varied (YT)
2 0,3665
5 1,4999
10 2,2502
20 2,9606
25 3,1985
50 3,9019
100 4,6001
Sumber: “Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan: 52”
Tabel II.39. Hubungan Jumlah Tahun Pengamatan Curah Hujan (n),
Reduced mean (Yn) dan reduced standard deviation (Sn)
N Yn Sn N Yn Sn
8 0,48430 0,90430 50 0,54854 1,16066
9 0,49020 0,92880 51 0,54 1,16230
10 0,49520 0,94970 52 0, 54 1,16380
11 0,49960 0,96760 53 0, 54 1,16530
12 0,50350 0,98330 54 0,55 1,16670
13 0,50700 0,99720 55 0, 55 1,16810
14 0,51000 0,00950 56 0, 55 1,16960
15 0,51280 0,02057 57 0, 55 1,17080
16 0,51570 1,03160 58 0, 55 1,17210
N Yn Sn N Yn Sn
17 0,51810 1,04140 59 0, 55 1,17340
18 0,52020 1,04930 60 0, 55 1,17467
19 0,52200 1,05660 62 0, 55 1,17700
20 0,52355 1,06283 64 0, 55 1,17930
21 0,52520 1,06960 66 0, 55 1,18140
22 0,52680 1,07540 68 0, 55 1,18340
Page 94
II - 63
23 0,52830 1,08110 70 0, 55 1,18536
24 0,52960 1,08640 72 0, 55 1,18730
25 0,53084 1,09148 74 0, 55 1,18900
26 0,53200 1,09610 76 0, 55 1,19060
27 0,53320 1,10040 78 0, 55 1,19230
28 0,53430 1,10470 80 0, 55 1,19382
29 0,53630 1,1860 82 0, 55 1,19530
30 0,53682 1,11238 84 0, 55 1,19630
Sumber: “Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan: 52”
II.5.6. Periode Ulang
Sesuai buku 2 “Hidrolika Untuk Pekerjaan Jalan dan Jembatan, No.
01-2/BM/2005: untuk saluran samping digunakan periode ulang 5 tahun.
II.5.7. Lamanya Curah Hujan
Lamanya curah hujan, dapat ditentukan berdasarkan hasil
penyelidikan Van Breen. Curah hujan harian terkonsentrasi selama 4 jam, dengan
jumlah hujan sebesar 90 % dari jumlah hujan selama 24 jam. Dengan rumus
sebagai berikut :
I4T
............................................................................. (II.65)
Dimana :
= Jumlah hujan yang terkonsentrasi selama 4 jam
XT = Nilai dari hasil analisa curah hujan maksimum
II.5.8. Intensitas Curah Hujan (I)
Intensitas curah hujan (rainfall intensity) dapat diperhitungkan dengan
cara memplotkan nilai-nilai Tc terhadap kurva basis seperti gambar dibawah ini.
Page 95
II - 64
Gambar II.16. KURVA BASIS
II.5.9. Perkiraan Debit Banjir Rencana
Penentuan besarnya debit rencana aliran akibat air hujan pada saluran,
baik pada saluran samping dan gorong-gorong diperkirakan berdasarkan rumus
Metode Rasional berikut :
......................................................................... (II.66)
Dimana :
Qr = Debit puncak banjir atau debit aliran dalam saluran (m3/det)
C = Koefisien limpasan/pengaliran
I = Intensitas Hujan (mm/jam)
A = Luas daerah tampungan air (Km2)
Tabel II.40. Koefisien Limpasan/Pengaliran (C) untuk Metode
Rasional
No Kondisi Permukaan Tanah Kondisi Pengaliran (C)
BAHAN
1 Jalan Beton dan Jalan Aspal 0,70 – 0,95
2 Jalan kerikil dan Jalan Tanah 0,40 – 0,70
3 Bahu Jalan :
- Tanah berbutir halus 0,40 – 0,65
Page 96
II - 65
- Tanah berbutir kasar 0,05 – 0,10
- Batuan masif keras 0,70 – 0,85
- Batuan masif lunak 0,60 – 0,75
TATA GUNA LAHAN
1 Daerah perkotaan 0,70 – 0,95
2 Daerah pinggir kota 0,60 – 0,70
3 Daerah industri 0,60 – 0,90
4 Pemukiman padat 0,40 – 0,60
5 Pemukiman tidak padat 0,40 – 0,60
6 Taman dan kebun 0,20 – 0,40
7 Persawahan 0,45 – 0,60
8 Perbukitan 0,70 – 0,80
9 Pegunungan 0,75 – 0,90
Sumber: “Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan: 52”
II.5.10. Koefisien Pengaliran (C)
Koefisien pengaliran/ limpasan adalah angka reduksi dari intensitas
hujan yang besarnya disesuaikan dengan kondisi atau jenis permukaan atau jenis
tanah. Untuk menentukan C dengan berbagai kondisi permukaan, dapat dihitung
dengan persamaan berikut :
................................................................... (II.67)
Dimana :
C1, C2, C3 = Koefisien pengaliran sesuai dengan jenis permukaan
A1, A2,A3 = Luas daerah pengaliran
II.5.11. Waktu Konsentrasi ( Tc )
Waktu Konsentrasi dalah waktu terpanjang yang dibutuhkan untuk
seluruh daerah layanan dalam menyalurkan air hujan secara simultan (runoff) ke
saluran drainase setelah melewati titik-titik tertentu. Untuk saluran terbuka
lamanya waktu konsentrasi dihitung dengan rumus sebagai berikut :
................................................................................ (II.68)
Page 97
II - 66
√ .............................................................. (II.69)
.................................................................................. (II.70)
Dimana :
Tc = Waktu Konsentrasi;
T1= Waktu Inlet (menit);
T2= Waktu Aliran (menit);
Lo= Jarak titik terjauh ke fasilitas drainase (meter);
L = Panjang Aliran (meter);
S = Kemiringan daerah pengaliran;
V = Kecepatan air rata-rata (m/det);
nd= Koefisien hambatan.
Tabel II.41. Koefisien Hambatan Lapis Permukaan ( nd )
No. Kondisi Lapis Permukaan nd
1 Lapis semen dan aspal beton 0,013
2 Permukaan licin dan kedap air 0,020
3 Permukaan licin dan kokoh 0,100
4 Tanah dengan rumput tipis dan gundul 0,200
Dengan permukaan sedikit kasar
5 Padang rumput dan rumput-rumputan 0,400
6 Hutan gundul 0,600
7 Hutan rimbun dan hutan gundul rapat dengan 0,800
Hamparan rumput jarang sampai rapat
Sumber: “Shirley I. Hendarsih. Perencanaan Teknik Jalan Raya. Hal 277”
II.5.12. Catchment Area
Catchment area atau daerah tampungan air hujan adalah suatu daerah
dimana tempat curah hujan terkonsentrasi (mengumpul) untuk kemudian mengalir
kedalam suatu sistem jalan air berupa sungai/alur. Luas daerah tampungan air
Page 98
II - 67
hujan yang diperhitungkan untuk perencanaan bangunan hidrolika atau saluran
dibatasi oleh titik-titik tertinggi disekelilingi saluran sampai titik yang diukur.
Untuk luas catchment area saluran samping didasarkan pada panjang
segmen jalan yang ditinjau terhadap lebar setengah badan jalan L1, bahu L2 dan
lebar daerah sekitar L3 dapat dilihat pada Gambar II.17. dibawah ini :
Gambar II.17. Catchment Area Saluran
Sesuai dengan jalan rencana :
L1 = Setengah lebar perkerasan jalan;
L2 = Lebar bahu jalan;
L3 = Lebar s/d batas pengukuran (sesuai tata guna lahan)..
Luas atachment area diperhitungkan dengan persamaan A = (L1 + L2
+ L3) x panjang jalan. Dengan anggapan bahwa segmen saluran ini adalah awal
dari sistem drainase sehingga tidak ada debit masuk (Q) selain dari A1, A2, dan
A3.
II.5.13. Kriteria Perencanaan Saluran Samping
Beberapa kriteria perencanaan saluran dalam perencanaan ini adalah :
a. Jenis aliran yang terjadi adalah aliran terbuka (open channel);
b. Bahan bangunan saluran ditentukan oleh besarnya kecepatan rencana aliran
air yang mengalir di saluran tersebut. Kecepatan aliran yang diizinkan
adalah seperti pada Tabel II.32. ;
c. Penampang minimum saluran minimum 0,50 m2;
d. Tipe dan jenis bahan saluran didasarkan atas kondisi tanah dasar dan
kecepatan abrasi air.
Page 99
II - 68
Tabel II.42. Kecepatan Aliran Air yang Diijinkan Berdasarkan Jenis Material
No. Jenis Material saluran Kecepatan aliran Maksimum (m/det)
1 Pasir halus 0,45
2 Lempung pasiran 0,50
3 Lanau Aluvial 0,60
4 Kerikil halus 0,75
5 Lempung kokoh 0,75
6 Lempung padat 1,10
7 Kerikil kasar 1,20
8 Batu-batu besar 1,50
9 Pasangan batu 1,50
10 Beton 1,50
Sumber : Tata Cara Perencanaan Drainase Permukaan Jalan, SNI 03-342-1994
II.5.14. Kemiringan Melintang Perkerasan
Kemiringan melintang perkerasan sebagai drainase jalan harus
memenuhi ketentuan yang diuraikan berikut ini :
II.5.14.1. Pada Daerah Jalan Yang Datar dan Lurus
a. Kemiringan perkerasan dan bahu jalan mulai dari tengah perkerasan (as
jalan) menurun/melandai ke arah saluran drainase jalan (sesuai gambar).
b. Besarnya kemiringan bahu jalan diambil 2 % lebih besar dari pada
kemiringan permukaan jalan. Kemiringan melintang normal pada
perkerasan sesuai II.43.
Tabel II.43. Kemiringan Normal Perkerasan Jalan
No. Jenis Lapisan Permukaan Kemiringan Melintang Normal
1 Aspal dan Beton 2 % - 3 %
2 Japat (jalan yang dipadatkan) 2 % - 4 %
3 Kerikil 3 % – 6 %
4 Tanah 4 % - 6 %
Sumber: “Suripin, 2004, Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan: 52”
Page 100
II - 69
II.5.15. Penampang Saluran Rencana
Penampang saluran direncanakan bentuk persegi. Luas penampang
basah saluran dihitung berdasarkan debit air dan kecepatan aliran, dengan rumus :
.....................................................................................(II.71)
Gambar II.18. Rencana Penampang Saluran
Dengan komponen perencanaan saluran sebagai berikut :
a. h = Tinggi muka air;
b. B = Lebar dasar saluran;
c. Luas penampang basah saluran;
Untuk perhitungan luas penampang basah saluran digunakan rumus
sebagai berikut:
...............................................................................(II.72)
d. Jari-jari hidrolis;
Untuk perhitungan jari-jari hidrolis digunakan rumus sebagai berikut:
................................................................................. (II.73)
e. Keliling basah penampang saluran;
Untuk perhitungan keliling basah saluran digunakan rumus sebagai
berikut:
........................................................................... (II.74)
f. Tinggi Jagaan ( Free Board )
Untuk perhitungan tinggi jagaan (free board) pada saluran digunakan
rumus :
√ . .........................................................................(II.75)
Page 101
II - 70
II.6. Rencana Anggaran Biaya
Untuk menentukan besarnya biaya yang diperlukan terlebih dahulu
harus diketahui volume dari pekerjaan yang direncakan. Pada umumnya prmbuat
jalan tidak lepas dari masalah galian maupun timbunan. Besarnya galian dan
timbunan yang akan dibuat dapat dilihat pada gambar long profile. Sedangkan
volume galian dapat dilihat melalui gambar Cross Section.
Selain mencari volume galian dan timbunan juga diperlukan untuk
mencari volume dari pekerjaan lainnya yaitu :
1. Volume Pekerjaan
a. Umum
- Mobilisasi
- Manajemen Mutu
- Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas
- Pengeboran, termasuk SPT dan Laporan
- Sondir, termasuk Laporan
- Pengaman Lingkungan
b. Pekerjaan tanah
- Galian Biasa
- Timbunan Biasa dari Sumber Galian
- Timbunan Pilihan
- Penyiapan Bahu Jalan
c. Pekerjaan Drainase
- Saluran Berbentuk U Tipe DS 1
d. Pekerjaan Perkerasan Berbutir
- Batu Pecah Kelas “A”
- Sirtu/Pitrun Kelas “A”
e. Pekerjaan Perkerasan Aspal
- Lapis Resap Pengikat (Prime Coat) – Aspal Cair
- Lapis Perekat (Tack Coat) – Aspal Cair
- Laston Lapis Aus (AC-WC)
- Laston Lapis Antara (AC-BC)
Page 102
II - 71
f. Pekerjaan Pengembalian Kondisi Jalan
- Marka Jalan Termoplastik
- Rambu Jalan Tunggal dengan Permukaan Pemantul
Engineering Grade
- Rambu Jalan Ganda dengan Permukaan Pemantul
Engineering Grade
- Rambu Jalan Tunggal dengan Permukaan Pemantul High
Intensity Grade
- Rambu Jalan Ganda dengan Permukaan Pemantul High
Intensity Grade
- Patok Pengarah
- Patok Kilometer
2. Analisa Harga Satuan
Analisa harga satuan diambil dari Harga Satuan Dasar Upah dan
Bahan serta Biaya Operasi Peralatan Dinas Bina Marga Tapanuli
Tengah.
Page 103
III - 1
BAB III
METODOLOGI
III.1. Persiapan
Tahap persiapan merupakan rangkaian kegiatan sebelum
pengumpulan dan pengolahan data, pada tahap ini disusun kegiatan yang harus
dilakukan dengan tujuan untuk mengefektifkan dalam perencanaan. Untuk
membantu dalam proses penyelesaian Tugas Akhir maka perlu dibuat suatu
pedoman kerja yang matang, sehingga waktu untuk menyelesaikan laporan Tugas
Akhir dapat terencana dengan baik dan tercapainya sasaran penulisan Tugas Akhir
sesuai dengan bobot persoalan yang diangkat. Agar pekerjaan berjalan efektif
maka perlu dibuat suatu pedoman umum, berupa alur kerja yang efisien namun
dapat menjawab semua permasalahan yang akan ditinjau.
Persiapan awal yang dilakukan untuk menunjang kelancaran
penyusunan Tugas Akhir adalah sebagai berikut :
1. Melengkapi persyaratan administrasi Tugas Akhir;
2. Melengkapi studi pustaka berupa pengumpulan materi studi sebagai
referensi dalam analisis data dan perancangan desain;
3. Menentukan kebutuhan data sementara;
4. Mendata instansi-instansi yang akan dijadikan nara sumber data;
5. Pengadaan persyaratan administrasi untuk pengumpulan data;
6. Pembuatan proposal penyusunan tugas akhir;
7. Presentasi data dan rangkuman kerja penyusunan Tugas Akhir;
8. Survey lokasi untuk mendapatkan gambaran umum kondisi proyek;
9. Pembuatan jadwal rencana penyusunan Tugas Akhir.
III.2. Tahap Penyusunan Tugas Akhir
Diagram alir Tugas Akhir merupakan suatu kerangka dasar yang
membentuk alur kerja dan berfungsi sebagai pedoman umum untuk membantu
proses penyusunan Tugas Akhir. Kerangka dan prosedur pengerjaan Tugas Akhir
diterangkan dalam diagram alir seperti Gambar III.1. berikut:
Page 104
III - 2
Gambar III.1. Diagram Alur Tugas Akhir
Start
Identifikasi Masalah
Observasi Lapangan
Tinjauan Pustaka
Perumusan Masalah dan Inventarisasi Kebutuhan Data
Pengumpulan Data
Data Primer Data langsung dari lapangan, yaitu:
- Kondisi Perkerasan
Data Sekunder Data langsung dari Instansi, yaitu:
- Data LHR
- Data Geometrik jalan eksisting
- Data Tanah
- Data Topografi
- Data curah hujan
Analisis Data
Data Cukup ?
Ya
Tidak
Perancangan Teknis
Perancangan Geometrik Perancangan Perkerasan Perancangan Drainase
Kesimpulan dan Saran
Selesai
Rencsna Anggaran Biaya
Validasi Data
Page 105
III - 3
III.3. Identifikasi Masalah
Tahap identifikasi permasalahan merupakan upaya untuk mengenali
permasalahan yang timbul di lokasi studi. Dalam hal ini, permasalahan jalan
timbul karena kondisi jalan yang kurang layak untuk dijadikan jalan arteri primer.
Jalan eksisting ruas jalan batas Kota Sibolga – Batang toru masih sempit dan
minim bangunan pelengkapnya. Selain itu, jalan eksisting juga sudah mengalami
beberapa kerusakan, kerusakan yang terjadi pada jalur lalu lintas tersebut pada
umumnya berupa jalan berlubang.
III.4. Pengamatan Pendahuluan
Pengamatan pendahuluan adalah kegiatan yang dilaksanakan secara
langsung di lapangan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi secara umum dan
aktual pada lokasi yang menjadi obyek studi. Pada tahap ini, akan dikumpulkan
berbagai informasi penting seputar permasalahan yang terjadi di lapangan.
Pengamatan dapat dimulai dari pendataan situasi jalan eksisting
dengan berbagai aspek permasalahan yang ada. Pengamatan lapangan yang akan
dilakukan diantaranya adalah:
a. Meninjau dan mengamati arus lalu lintas yang terjadi di lokasi studi;
b. Mengamati kerusakan jalan yang terjadi;
c. Mengamati aspek geometrik jalan, struktur perkerasan, dan sistem
drainase yang ada.
III.5. Perumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan tindak lanjut dari tahap pengamatan
pendahuluan dari identifikasi masalah untuk mengupas permasalahan yang terjadi
di lokasi studi dengan mengevaluasi sebab-sebab permasalahan yang diperoleh
dari hasil pengamatan di lapangan dan diperkaya dengan hasil studi pustaka.
III.6. Pengumpulan Data
Proses pemecahan masalah jalan pada lokasi studi memerlukan
analisis yang teliti terhadap data yang dikumpulkan dari setiap parameter yang
akan digunakan dalam solusi permasalahan. Penyajian data yang lengkap dan teori
Page 106
III - 4
yang memadai akan memberikan hasil perencanaan yang baik. Adapun cara
pengumpulan data penyusunan tugas akhir dapat dilakukan dengan metode seperti
di bawah ini :
a. Studi pustaka (literatur) yaitu metode pengumpulan data dengan
menelaah buku literatur yang relevan;
b. Wawancara yaitu metode pengumpulan data melalui tanya-jawab
langsung pada narasumber terkait;
c. Observasi yaitu metode pengumpulan data dengan melakukan
peninjauan langsung ke lapangan.
Berdasarkan sifatnya, sumber data dibagi menjadi 2, yaitu data primer,
dan data sekunder. Dalam Perancangan Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional
Bts.Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900) diperlukan sejumlah
data sebagai bahan kajian, diantaranya :
a. Data Primer
Yaitu data yang diperoleh melalui survei langsung di lapangan. Data primer
digunakan untuk mengetahui kondisi yang sebenarnya di lapangan atau lokasi
proyek yang akan dilaksanakan. Data primer meliputi data LHR, data geometrik
jalan eksisting, kondisi perkerasan, dan bangunan pelengkap pada lokasi studi.
Data LHR diperoleh dari hasil perhitungan kendaraan yang lewat pada jalur
tersebut melalui pengamatan langsung dan akan digunakan sebagai bahan validasi
terhadap data LHR dari PU. Sedangkan data geometrik jalan eksisting, kondisi
perkerasan, dan bangunan pelengkap dengan cara pengamatan secara visual pada
lokasi studi untuk kemudian diklasifikasikan berdasarkan kondisi yang ada di
lapangan.
b. Data sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari instansi terkait. Data sekunder diantaranya:
1) Data Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR)
Data LHR ini digunakan untuk menentukan kapasitas jalan, jumlah
lajur, lebar lajur, dan bahu jalan. Data ini diperoleh dari Dinas Bina
Marga Provinsi Sumatera Utara.
Page 107
III - 5
2) Data Tanah
Data tanah merupakan hasil pengujian langsung di lapangan
menggunakan alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP) Sehingga
menghasilkan nilai CBR tanah pada sekitar jalan tersebut. Data ini
diperlukan untuk perancangan perkerasan jalan, seperti menentukan
tebal lapisan maupun agregat yang akan digunakan dalam pembuatan
lapis pondasi. Data ini diperoleh dari Dinas Bina Marga Provinsi
Sumatera Utara.
3) Data Topografi
Data topografi digunkan untuk menentukan trase jalan, merencanakan
tipe geometrik jalan, dan perecanaan alinyemen jalan. Data ini
diperoleh dari Dinas Bina Marga Provinsi Sumatera Utara.
4) Data Klimatologi
Data klimatologi diperlukan dalam merancang saluran drainase,
menentukan peninggian jalan, dan desain elevasi peningkatan jalan.
Data ini diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika Provinsi
Sumatera Utara.
6) Data Harga Satuan Pekerjaan
Data ini digunakan untuk mengetahui upah tenaga, harga material, dan
bobot pekerjaan dalam menghitung rencana anggaran biaya.
III.7. Analisis Data
Data yang disesuaikan dengan dengan jenis analisis yang akan
dilakukan. Data-data tersebut nantinya digunakan dalam menganalisis parameter
yang akan dipakai dalam perencanaan. Jenis-jenis analisis yang akan dilakukan
dalam Perancangan Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional Bts.Kota Sibolga –
Batang Toru (Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900) adalah sebagai berikut:
a. Analisis Lalu Lintas, untuk mengevaluasi kinerja kendaraan yang lewat
selama tahun rencana yang terdiri dari :
1) Volume lalu lintas;
2) Pertumbuhan lalu lintas;
3) Jumlah lajur seperti pada tabel.
Page 108
III - 6
b. Analisis Geometrik Jalan, terdiri dari :
1) Alinyemen horizontal ;
2) Alinyemen vertical ;
Alinyemen horizontal dan vertikal ini bertujuan untuk
mengevaluasi kesesuaian geometrik jalan eksisting.
3) Kapasitas jalan, bersama-sama dengan hasil analisis lalu lintas
bertujuan untuk mengevaluasi kinerja jalan.
c. Analisis Lapis Perkerasan, untuk menganalisis kondisi jalan eksisting ;
d. Analisis dimensi drainase.
III.8. Evaluasi Kondisi Eksisting Terhadap Kondisi Ideal
Evaluasi ini dilakukan dengan membandingkan antara kinerja jalan
eksisting dengan kinerja jalan pada kondisi ideal. Hubungan tersebut dapat
direpresentasikan dari parameter-parameter yang dihasilkan pada tahap analisis
data. Fungsi dari evaluasi adalah mengetahui apakah diperlukan adanya perbaikan
terhadap kondisi jalan eksisting dan seberapa jauh perbaikan akan dilakukan.
III.9. Perancangan Teknis
Perancangan teknis adalah tahap menciptakan desain produk dari
alternatif solusi terpilih sebagai panduan dalam pelaksanaan pekerjaan di
lapangan. Setiap detail rancangan harus mengacu pada referensi pustaka yang
relevan, standar/pedoman perencanaan yang berlaku, spesifikasi teknis, dan dasar
hukum
yang mengaturnya. Produk yang akan dihasilkan dari studi Jalan Lintas Barat
Ruas Jalan Nasional Bts.Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900)
adalah :
1. Perencanaan peningkatan jalan, meliputi menentukan lebar jalan yang
akan di rencanakan berdasarkan klasifikasi jalan dan karakteristik lalu
lintas;
2. Perencanaan geometrik jalan, meliputi jarak pandang dan perencanaan
alinemen vertical dan horizontal;
Page 109
III - 7
3. Perencanaan struktur perkerasan jalan, meliputi perencanaan tebal lapis
tambah (Overlay) menggunakan metode lendutan dan perencanaan
pelebaran jalan menggunakan metode analisa komponen.;
4. Perencanaan drainase yang akan dipakai pada ruas jalan yang ditinjau
akan menganalisis beberapa data, yaitu :
a. Analisis data hidrologi
b. Analisis data pasang surut air laut
c. Analisis data peta topografi dan kontur
d. Analisis data tanah
e. Analisis tata guna lahan dan rencana tata ruang
5. Pembuatan rencana anggaran biaya untuk proyek jalan yang ditinjau
harus memiliki beberapa data awal seperti jumlah tenaga pekerja,
volume pekerjaan serta harga dan analisa satuan wilayah Tapanuli
Tengah sesuai dengan lokasi dimana proyek ini berada.
III.10. Hasil Akhir Perancangan
Pada bagian ini akan disajikan berbagai hasil perencanaan berupa:
1. Gambar potongan melintang;
2. Konstruksi perkerasan lentur jalan
3. Dimensi drainase;
4. Rencana Anggaran Biaya.
Page 110
III - 8
III.11. Bagan Alir
III.11.1. Perancangan Geometrik
III.11.1.1. Alinyemen Horizontal
Gambar III.2. Bagan Alir Perhitungan Alinyemen Horizontal
Data:
Jari-jari rencana (Rc)
Sudut luar tikungan (∆)
Kecepatan rencana (VR)
Dicoba tikungan FC
Dicoba tikungan SCS
Rc ≥ Rmin FC
Lc > 20 m
Dicoba
tikungan SS
Hitung:
Data tikungan
Pelebaran perkerasan
Daerah bebas samping
Hitung:
Data tikungan
Pelebaran perkerasan
Daerah bebas samping
Hitung:
Data tikungan
Pelebaran perkerasan
Daerah bebas samping
ya
ya
tidak
tidak
tidak
Selesai
Mulai
Page 111
III - 9
III.11.1.2. Alinyemen Vertikal
Gambar III.3. Bagan Alir Perhitungan Alinyemen Vertikal
Data:
1. Stationing PVI
2. Elevasi PVI
3. Kelandaan tangen (g1, g2, dstnya)
4. Kecepatan rencana (VR)
5. Perbedaan aljabar kelandaian (A)
Hitung panjang lengkung vertikal (Lv)
berdasarkan:
1. Jarak pandang minimum (Jh)
2. Panjang minimum
Hitung data lengkung vertikal:
1. Ev
2. Elevasi PTV da PLV
3. Elevasi titik-titik pada lengkung vertikal
4. Gambar lengkung vertkal
Selesai
Mulai
Page 112
III - 10
III.11.2. Perkerasan
Gambar III.4. Diagram Alur Perancangan Perkerasan
PERENCANAAN TEBAL PERKERASAN
PADA PELEBARAN DENGAN METODE
ANALISA KOMPONEN
MENGHITUNG :
1. MENENTUKAN UMUR RENCANA
2. JUMLAH JALUR RENCANA
1. KOEFISIEN DISTRIBUSI
KENDARAAN
2. ANGKA EKIVALEN BEBAN
SUMBU KENDARAAN (E)
3. LALU LINTAS HARIAN RATA-
RATA (LHR)
4. LINTAS EKIVALEN PERMULAAN
(LEP)
5. LINTAS EKIVALEN AKHIR (LEA)
6. LINTAS EKIVALEN TENGAH
(LET)
7. LINTAS EKIVALEN RENCANA
(LER)
8. DAYA DUKUNG TANAH DASAR
(DDT)
9. FAKTOR REGIONAL (FR)
10. INDEKS PERMUKAAN (IP)
11. INDEKS TEBAL PERKERASAN
12. KOEFISIEN KEKUATAN RELATIF
(a)
13. BATAS-BATAS MINIMUM TEBAL
LAPISAN PERKERASAN
SELESAI
START
Page 113
III - 11
III.11.3. Drainase
Gambar III.5. Bagan Alir Pendimensian Draianase
Selesai
Perhitungan Dimensi Saluran
Perhitungan Debit Rencana
Harga koefisien pengaliran ( C )
Luas daerah pengaliran (A)
Intensitas curah hujan ( I )
Pengumpulan data sekunder:
Data Curah Hujan
Mulai
Page 114
III - 12
III.11.4. Rencana Anggaran Biaya (RAB)
Gambar III.6. Bagan Alir Pembuatan Rencana Anggaran Biaya
Page 115
IV-1
BAB IV
HASIL PERANCANGAN DAN PEMBAHASAN
Hasil perancangan dan pembahasan yang dimaksud berupa
perancangan kapasitas jalan, perancangan geometrik jalan, perancangan tebal
perkerasan, perancangan dimensi drainase, perancangan galian dan timbunan serta
perancangan anggaran biaya pada ruas jalan Batas Sibolga – Batang Toru (Sta
5+400 – Sta 6+900).
IV.1. Perancangan Kapasitas Jalan
Untuk perencanaan kapasitas jalan, digunakan data lalu lintas yang
didapat langsung dari lapangan pada tahun 2016 serta data kondisi eksisting jalan
sebelum dilebarkan. Berikut merupakan tahapan perencanaan kapasitas untuk ruas
jalan yang diteliti .
IV.1.1. Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)
Lalu lintas harian rata-rata merupakan hasil dari data primer
pencacahan kendaraan pada ruas jalan Bts. Sibolga – Batang Toru (Sta 5+400 –
Sta 6+900). Hasil analisis data survey lalu lintas akan menghasilkan potensi arus
lalu lintas pada lokasi yang ditinjau per harinya. Volume lalu lintas harian rata-
rata yang didapatkan dari survey selama 7 x 24 jam oleh penulis dan tim survey
dapat dilihat pada Tabel IV.1. berikut ini :
Tabel IV.1. Hasil Survey Kendaraan Lalu Lintas per hari / 2 arah
Kategori Kendaraan Golongan
Kendaraan
Potensi Arus Lalu
Lintas Lokasi
Survey
(kend/hari/2arah)
Sepeda Motor, Sekuter, Roda 3 1 28325
Sedan, Jeep dan Station Wagon 2 3199
Oplet, Pick-Up Oplet, Suburban, Combi
dan Minibus
3 3620
Page 116
IV-2
Pick-Up, Micro Truk dan Mobil Hantaran 4 959
Bus Kecil 5a 68
Bus Besar 5b 55
Truk Ringan 2 Sumbu 6a 702
Truk Sedang 2 Sumbu 6b 52
Truk 3 Sumbu 7a 157
Truk Gandeng 7b 0
Truk Semi Trailer 7c 21
TOTAL 37159
IV.1.2. Prediksi Pertumbuhan Lalu Lintas
Pertumbuhan lalu lintas diprediksi sebesar 5% merupakan nilai
pertumbuhan yang diperoleh dari Dinas PU Sumatera Utara. Dalam studi ini
prediksi lalu lintas dan analisis kelayakan jalan akan dilakukan dengan tahun
tinjauan (horizon years) selama 20 tahun dari mulai sejak studi kelayakan proyek.
Dengan memperhatikan konsep pemilihan kerangka waktu tinjauan yang
disampaikan di atas, maka dalam studi ini skala analisis kelayakan yang
dipergunakan adalah sesuai perencanaan jangka menengah suatu sistem jaringan
jalan yaitu tahun 2016-2038 dapat di lihat pada Gambar IV.1. berikut ini :
Gambar IV.1. Diagram Pertumbuhan Lalu Lintas
Page 117
IV-3
Pertumbuhan lalu lintas pada ruas rencana dalam horizon years dapat
dilihat pada Tabel IV.2. berikut ini.
Tabel IV.2 Potensi Arus Lalu Lintas Pada Tahun Tinjauan
Golongan
Kendaraan
Potensi Arus Lalu Lintas Jalan (kend/hari/2arah)
2016 2018 2023 2028 2033 2038
1 28325 31228 39856 50868 64922 82858
2 3199 3527 4502 5745 7332 9358
3 3620 3991 5094 6501 8297 10589
4 959 1057 1350 1722 2198 2806
5a 68 75 95 122 155 198
5b 55 60 77 99 126 160
6a 702 774 988 1261 1609 2054
6b 52 57 73 93 119 151
7a 157 173 221 282 361 460
7b 0 0 1 1 1 1
7c 21 23 30 38 49 62
IV.1.3. Kebutuhan Ruang Jalan
Dalam menghitung kebutuhan ruang jalan selain harus mengetahui
permintaan arus lalu lintas juga kapasitas ruas jalan dalam menampung arus lalu
lintas tersebut. Parameter yang ideal untuk menyatakan kebutuhan ruang jalan
adalah apabila Derajat Kejenuhan (Kepadatan) pada ruas jalan tersebut yaitu
perbandingan antara volume lalu lintas yang lewat dalam satu satuan waktu
terhadap kapasitas jalan dalam satuan waktu tidak melebihi 0,8.
Dalam analisis kebutuhan ruang jalan ini diasumsikan bahwa tahun
awal pembukaan jalan adalah tahun 2018 dan tahun analisis ditinjau setiap 5 tahun
hingga 20 tahun kemudian. Analisis mengenai kebutuhan ruang setiap tahun
tinjauan disajikan berikut ini.
Page 118
IV-4
IV.1.4. Analisis Kapasitas Jalan
Pada tahun awal direncanakan tipe jalan dengan ukuran minimum
yang disyaratkan dalam PP No. 34 Tahun 2006 dengan klasifikasi Jalan Sedang,
yaitu Tipe 2/2 UD (Tak Terbagi) dengan lebar jalur efektif = 4,5 m. Hambatan
samping sedang dengan lebar bahu jalan = 1,5 m.
C = CO x FCW x FCSP x FCSF
di mana:
CO = 3000 smp/jam, per lajur……………………...………..……...(Tabel II.7)
FCW = 0.69…………………………………………….…..…...….....(Tabel II.8)
FCSP = 1……………………………………….…….……….….…... (Tabel II.9)
FCSF = 0,94……………………….………………….……….……..(Tabel II.10)
Untuk faktor kapasitas dasar suatu ruas jalan 2 lajur tak terbagi
dengan medan perbukitan didapat nilai Co adalah 3000 smp/jam. Untuk faktor 2
lajur tak terbagi lebar lajur lalu lintas efektif didapat nilai FCw adalah 0,69. Untuk
faktor penyesuaian pemisah arah 2 lajur yang besarnya sama yaitu 50%-50%
didapat nilai FCsp adalah 1 dan untuk faktor penyesuaian hambatan samping dan
lebar bahu didapat nilai FCsf adalah 0,94.
Sehingga diperoleh kapasitas jalan adalah:
C = 3000 smp/2 lajur x 0,69 x 1,00 x 0,94
C = 1945,8 smp/jam
IV.1.5. Analisis Volume Jam Perencanaan (VJP)
Analisis volume jam perencanaan yaitu mencari volume kendaraan
dalam jam perencanaan awal tahun rencana hingga tahun rencana bedasarkan dari
data lintas harian rata – rata. Sebelum mendapatkan volume jam perencanaan
terlebih dahulu dicari volume lalu lintas harian kendaraan yaitu potensi arus lalu
lintas yang dinyatakan dalam kendaraan per hari harus dikalikan dengan nilai emp
setiap kategori kendaraan untuk mendapatkan nilai volume lalu lintas harian rata-
rata setiap harinya. Volume lalu lintas harian tahun 2016 akan ditampilkan pada
Tabel IV.3. berikut ini.
Page 119
IV-5
Tabel IV.3. Volume Lalu Lintas Harian Tahun 2016
Golongan
Kendaraan
Nilai emp
(1)
Potensi Arus Lalu Lintas
kend/hari
(2)
smp/hari
(3) = (2).(1)
1 0,5 28325 14163
2 1 3199 3199
3 1 3620 3620
4 1 959 959
5a 1,7 68 116
5b 1,7 55 94
6a 1,7 702 1193
6b 1,7 52 88
7a 3,3 157 518
7b 3,3 0 0
7c 3,3 21 69
TOTAL 24019
Setiap tahun tinjauan yaitu 20 tahun mendatang juga harus dicari
volume lalu lintas harian rata-ratanya untuk mendapatkan volume jam
perencanaan. Dengan cara yang sama seperti pada Tabel IV.3. maka volume lalu
lintas harian untuk tahun tinjauan dapat dilihat pada Tabel IV.4. berikut ini.
Tabel IV.4. Volume Lalu Lintas Harian Untuk Tahun Tinjauan
Golongan
Kendaraan
Potensi Arus Lalu Lintas (smp/hari)
2016 2018 2023 2028 2033 2038
1 14163 15614 19928 25434 32461 41429
2 3199 3527 4502 5745 7332 9358
Page 120
IV-6
3 3620 3991 5094 6501 8297 10589
4 959 1057 1350 1722 2198 2806
5a 116 128 162 207 264 337
5b 94 102 131 168 214 272
6a 1193 1316 1680 2144 2735 3492
6b 88 97 124 158 202 257
7a 518 571 729 931 1191 1518
7b 0 0 3 3 3 3
7c 69 76 99 125 162 205
TOTAL 24019 26478 33802 43139 55060 70265
Setelah volume lalu lintas harian setiap tahun didapatkan dalam satuan
smp/hari maka volume jam perencanaan sudah dapat dicari dengan menggunakan
rumus sebagai berikut:
di mana
K = faktor K, faktor volume jam sibuk
F = faktor F, faktor variasi tingkat lalu lintas per seperempat jam dalam satu
jam
Nilai pada faktor K dan faktor F diambil berdasarkan volume lalu
lintas harian sesuai yang ada pada Tabel II.5. Angka volume lalu lintas harian
yang tidak terdapat di dalam tabel dapat dicari dengan menggunakan rumus
interpolasi guna menentukan nilai K dan F, berikut contoh perhitungan volume
jam perencanaan pada tahun 2016.
Page 121
IV-7
= 1891 smp/jam
*nilai K dan F dicari dengan menggunakan rumus interpolasi pada Tabel II.5.
Dengan sistem perhitungan yang serupa dan penggunaan interpolasi
untuk menentukan nilai K dan F maka volume jam perencanaan untuk setiap
tahun tinjaun dapat dilihat pada Tabel IV.5. berikut ini :
Tabel IV.5. Volume Jam Perencenaan Untuk Tahun Tinjauan
Tahun VLHR
(smp/hari) Faktor K (%) Faktor F
VJP
(smp/jam)
2016 24019 7,4 0,94 1891
2018 26478 7,6 0,96 2096
2023 33802 6,4 0,83 2606
2028 43139 7,3 0,93 3386
2033 55060 6 1 3304
2038 70265 6 1 4216
IV.1.6. Derajat Kejenuhan Kondisi Existing
Persyaratan ideal yang diberikan untuk pelayanan jalan adalah dengan
melihat derajat kejenuhan yang merupakan rasio antara volume terhadap kapasitas
tidak lebih besar dari 0,8. Untuk nilai derajat kejenuhan pada tahun 2016
digunakan perhitungan sebagai berikut :
di mana
VJP = 1891 smp/jam,
C = 1945,8 smp/jam,
Page 122
IV-8
Sehingga nilai derajat kejenuhan, DS = 1891 / 1945,8 = 0,97
Dengan cara yang sama, maka Derajat Kejenuhan ruas jalan dalam
tahun-tahun tinjauan dapat dilihat pada Tabel IV.6. berikut ini ;
Tabel IV.6. Derajat Kejenuhan Untuk Tahun Tinjauan
Tahun 2016 2018 2023 2028 2033 2038
VJP 1891 2096 2606 3386 3304 4216
C 1945,8 1945,8 1945,8 1945,8 1945,8 1945,8
DS 0,97 1,08 1,34 1,74 1,70 2,17
LoS E F F F F F
*nilai Los (Level of Service dapat dilihat pada Tabel II.11.)
Dari hasil analisis terhadap derajat kejenuhan jalan, maka terlihat
bahwa mulai pada Tahun 2016 tingkat pelayanan jalan sudah memasuki kategori
E (Arus tidak stabil, kecepatan rendah dan berbeda-beda volume mendekati
kapasitas) dan untuk tahun 2018 s/d tahun 2038 ruas jalan yang ditinjau akan
memasuki kategori F (arus yang terhambat, kecepatan rendah, volume diatas
kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu yang cukup lama) untuk tingkat
pelayanan jalannya
Dengan demikian Tipe Jalan 2/2 Terbagi dengan lebar jalur efektif
4,5m , dengan lebar bahu 1,5 m untuk ruas jalan Batas Kota Sibolga – Batang
Toru (Sta 5+400 – Sta 6+900) sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan lalu lintas
sampai pada tahun 2038. Maka dari itu harus dilakukannya pelebaran jalan sesuai
dengan fungsi dan kelas Kolektor Primer I dengan lebar efektif jalur lalu lintas
7,00 m dengan lebar bahu 1,5 m serta kondisi eksisting jalan yang berjarak 10-15
meter dengan pemukiman masyarakat sehingga memungkinkan untuk
dilakukannya pelebaran jalan.
IV.1.7. Derajat Kejenuhan Setelah Pelebaran Jalan
Dengan panduan seperti IV.1. – IV.6., maka digunakan cara
perhitungan yang sama untuk merancang kapasitas jalan dengan kondisi jalan
yang telah dilebarkan yaitu lebar efektif lalu lintas 7,00 meter dengan lebar bahu
1,5 meter. Seluruh tahap perhitungan dapat dilihat di Lampiran I. Derajat
Page 123
IV-9
kejenuhan ruas jalan yang ditinjau berdasarkan tahun tinjauan dengan kondisi
jalan yang telah dilebarkan dapat dilihat pada Tabel IV.7. berikut ini.
Tabel IV.7. Derajat Kejenuhan Tahun Tinjauan Setelah Pelebaran Jalan
Tahun 2016 2018 2023 2028 2033 2038
VJP 1658 1843 2379 2945 3817 3719
C 2910 2910 2910 2910 2910 2910
DS 0,57 0,63 0,82 1,01 1,31 1,28
LoS A B D F F F
Dari hasil analisis terhadap derajat kejenuhan jalan yang telah
dilebarkan, maka terlihat bahwa mulai pada tahun 2016 s/d tahun 2018 tingkat
pelayanan jalan masih berada dibawah nilai 0,80 yang berarti arus masih stabil
dan kecepatan kendaraan masih dapat dikontrol, pada tahun 2023 sudah
memasuki kategori D (arus mulai tidak stabil,kecepatan rendah dan berbeda-beda,
volume mendekati kapasitas) dan akhirnya pada tahun 2028 s/d tahun 2038
tingkat pelayanan jalan sudah masuk kategori F (arus yang terhambat, kecepatan
rendah, volume diatas kapasitas, sering terjadi kemacetan pada waktu yang cukup
lama) sehingga dapat diperkirakan akan dilakukan pelebaran kembali pada tahun
2023 akibat naiknya volume lalu lintas.
Page 124
IV-10
IV.2. Perancangan Geometrik
Perhitungan geometrik berupa perhitungan alinyemen horizontal dan
alinyemen vertikal. Pada proyek yang diteliti penulis yaitu Ruas Jalan Nasional
Bts. Kota sibolga – Batang Toru (Sta 5+400 – Sta 6+900) memiliki 8 tikungan
dan 24 lengkung. Berikut tahapan perhitungannya :
IV.2.1. Perencanaan Alinyemen Horizontal
IV.2.1.1. Koordinat Pada Jalur Rencana
Koordinat pada jalur rencana didapatkan setelah dilakukan
perhitungan terhadap koordinat asli seluruh proyek . Berikut data koordinatnya :
Tabel IV.8. Data Sumbu Koordinat
Titik X Y
A 0,000 0,000
-35,042 -136,533
-77,742 -334,301
23,441 -583,083
113,287 -687,089
273,144 -888,522
326,469 -954,118
441,581 -1088,905
584,581 -1207,424
B 618,410 -1243,033
Sumber : Hasil Analisis
IV.2.1.2. Jarak Titik Koordinat
Berdasarkan data kordinat pada Tabel IV.8, maka dapat dicari panjang
garis tangen antar titik dengan menggunakan rumus Pytagoras, adapun
perhitungan dapat dilihat seperti dibawah ini:
Jarak antara titik A-PI34
d1 = √( ) ( )
= √( ) ( )
= 140,598 m
Jarak antara titik PI34-PI35
Page 125
IV-11
d2 = √( ) ( )
= √( ( )) ( ( ))
= 202,325 m
Jarak antara titik PI35-PI36
d3 = √( ) ( )
= √( ( ) ( ( ))
= 268,571 m
Jarak antara titik PI36-PI37
d4 = √( ) ( )
= √( ) ( ( ))
= 137,505 m
Jarak antara titik PI37-PI38
d5 = √( ) ( )
= √( ) ( ( ))
= 257,094 m
Jarak antara titik PI38-PI39
d6 = √( ) ( )
= √( ) ( ( ))
= 84,536 m
Jarak antara titik PI39-PI40
d7 = √( ) ( )
= √( ) ( ( ))
= 177,252 m
Jarak antara titik PI40-PI41
d8 = √( ) ( )
= √( ) ( ( ))
= 185,730 m
Jarak antara titik PI41-PIB
d9 = √( ) ( )
= √( ) ( ( ))
= 49,116 m
Page 126
IV-12
Data hasil perhitungan jarak lurus antar titik disajikan pada Tabel IV.9. berikut
ini:
Tabel IV.9. Jarak Lurus Antar Titik (D)
Titik X
(meter)
Y
(meter)
D
(meter)
A 0,000 0,000
-35,042 -136,533 140,958
-77,742 -334,301 202,325
23,441 -583,083 268,571
113,287 -687,089 137,505
273,144 -888,522 257,094
326,469 -954,118 84,536
441,581 -1088,905 177,252
584,581 -1207,424 185,730
B 618,410 -1243,033 49,116
Total 1503,089
Dari seluruh perhitungan jarak antar titik, maka didapat total panjang
lurus antar titik adalah 1.503,089 meter.
IV.2.1.3 Sudut Tikungan
Sudut tikungan ditentukan oleh koordinat titik yang mempengaruhi
cara perhitungan suatu tikungan.
α1 = (
)
α1 = (
)
= 14,395˚
α2 = (
)
α2 = (( ) ( )
( ) ( ))
= 12,184˚
Δ1 = α1 - α2
Page 127
IV-13
Δ1 = 14,395˚– 12,184˚
ΔPI34 = 2,211˚
α3 = (
)
α3 = ( –( )
( ))
= 22,132˚
Δ2 = α3 – α2
Δ2 = 22,132˚– 12,184˚
ΔPI35 = 9,949˚
α4 = (
)
α4 = ( –
( ))
= 40,854˚
Δ3 = α4 – α3
Δ3 = 40,854˚ – 22,132 ˚
ΔP36 = 18,722˚
Dengan cara perhitungan yang serupa maka didapatkan sudut (Δ )
untuk seluruh titik yang ditampilkan pada Tabel IV.10. berikut ini.
Tabel IV.10. Sudut Tikungan Berdasarkan Koordinat Titik
Titik X
(meter)
Y
(meter)
α
(˚)
Δ
(˚)
A 0,000 0,000
-35,042 -136,533 14,395 2,211
-77,742 -334,301 12,184 9,949
23,441 -583,083 22,132 18,722
113,287 -687,089 40,854 2,436
273,144 -888,522 38,418 0,691
326,469 -954,118 39,109 1,390
Page 128
IV-14
441,581 -1088,905 40,498 9,850
584,581 -1207,424 50,348 6,816
B 618,410 -1243,033
IV.2.1.4. Menghitung Rencana Alinyemen Horizontal
Sesuai dengan gambar rencana dan perhitungan sudut yang seluruhnya
< 20° maka seluruh tikungan adalah jenis tikungan FC (Full Circle), maka akan
diuraikan tahap perhitungan tikungan FC. Sebagai contoh akan diuraikan tahap
perhitungan tikungan PI35 yang meliputi perhitungan tikungan, superelevasi, jarak
pandang ideal dan pelebaran pada tikungan.
IV.2.1.4.1. Perhitungan Jari-Jari Rencana
Ruas Jalan Bts Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5+400 – Sta 5+900)
merupakan jalan Kolektor Primer, yang terletak di daerah perbukitan maka
didapat data – data yang digunakan yaitu:
Kecepatan rencana (VR) yang digunakan yaitu 60 km/jam
Jari – jari rencana (RC) digunakan yaitu 135 m
Sudut tikungan PI34 yaitu 9,949˚
Berdasarkan besarnya sudut tikungan PI34 maka tikungan ini
merupakan jenis tikungan Full Circle (FC), sehingga untuk perhitungan
selanjutnya menggunakan perhitungan tikungan Full Circle (FC).
Mencari jari-jari minimum Rmin yang fungsinya untuk menunjukkan
apakah jari – jari rencana yang ditetapkan lebih besar dari jari – jari minimum, di
bawah ini merupakan perhitungan dari jari – jari minimum:
Mencari Koefisien Gesek Melintang Maksimum (fmaks):
fmaks = - 0,00065 VR + 0,192
- 0,00065 x 60 km/jam + 0,192
= 0,153
( )
Page 129
IV-15
( )
( )
Rmin < Rc
112.41 < 135 m
Sehingga yang digunakan yaitu Rc = 135 m
IV.2.1.4.2. Perhitungan Parameter Tikungan FC (Full Circle)
Menentukan nilai Tc
Menentukan nilai Ec
Menentukan nilai Lc
Maka panjang tikungan pada Tikungan PI35 yaitu 23,441 m dan jenis tikungan
yaitu Full Cirle (FC).
Page 130
IV-16
IV.2.1.4.3. Perhitungan Kemiringan Maksimum (emaks)
Mencari Ls (Lengkung Peralihan), digunakan 3 rumus dimana hasil
yang terbesar akan digunakan sebagai Ls.
Menentukan nilai Ls
Maka diambil nilai Ls yang terbesar yaitu 50 meter.
Mencari kemiringan Maksimum (emaks):
( )
Page 131
IV-17
Maka kemiringan melintang jalan pada tikungan yaitu 5,70 % (Superevelasi).
Gambar IV.2. Superelevasi Tikungan FC
IV.2.1.4.4. Perhitungan Daerah Bebas Samping
Untuk memudahkan pandangan pengemudi di tikungan maka
dirancang juga jarak pandangan pengemudi dari objek – objek yang dapat
menghalangi pandangan pengemudi pada bagian tikungan jalan adapun
perhitungannya dapat dilihat di bawah ini,
Jarak Pandang Henti (Jh) = 75 m
Panjang total tikungan (Lc) = 23,441 m
Jarak Pandang Henti (Jh) > Panjang total tikungan (Lc)
E = , (
)
( ) (
)-
E = , (
)
( ) (
)-
0%
Lc
sisi luar
sisi dalam
as jalan
3% 3%
3%
3%
3%
5,7%
5,7% 5,7%
5,7%
3%
3%
3% 0%
3% 3%
1/3 Ls
2/3 Ls
enormal
bagian
lurus
bagian
lurus
bagian lingkaran CT TC
Page 132
IV-18
E = 12,244 m
Maka didapat daerah bebas samping yaitu sebesar 12,244 m.
IV.2.1.4.5. Perhitungan Pelebaran Pada Tikungan
Kendaraan yang bergerak dari jalan lurus menuju ke tikungan, sering
kali tidak dapat mempertahankan lintasannya pada lajur yang disediakan, terutama
pada tikungan – tikungan yang tajam, maka perlu pelebaran jalan pada tikungan
tersebut. Dibawah ini merupakan perhitungan pelebaran pada tikungan PI35.
Data :
Vr = 60 m (Kecepatan rencana)
R = 135 m (Jari – jari Rencana)
b = 2,6 m (lebar kendaraan)
P = 7,6 m (Jarak as roda depan dan belakang)
A = 2,1 m (Panjang tonjolan depan)
n = jumlah jalur lalu lintas
Perhitungan pelebaran PI35
( (√ ))
( (√ ))
√ ( )
√ ( )
√
√
( ) ( )
( ) ( )
Page 133
IV-19
Lebar perkerasan pada jalan lurus (W) 2 × 2,25 = 4,50 m
Ternyata B < W
3,970 m < 4,50 m
Karena B < W, maka tidak diperlukan pelebaran pada setiap tikungan,
Dengan cara perhitungan yang sama untuk seluruh tikungan FC (Full
Circle) maka didapat keseluruhan data untuk seluruh tikungan proyek yang
ditampilkan pada Tabel IV.11. berikut ini.
Tabel IV.11. Data Tikungan Proyek
Tikungan Jari-Jari
Rencana
(Rc-meter)
Panjang
Tikungan
(Lc meter )
Kemiringan
Maksimum
(erc-%)
Daerah
Bebas
Samping
(E-meter)
Pelebaran
Pada
Tikungan
(B < W)
2000 77,176 -13,88 0,352 3,543
135 23,441 5,70 12,244 3,970
200 65,530 -1,13 4,405 3,864
1000 42,512 -12,47 1,312 3,603
3000 36,165 -14,36 0,477 3,516
3000 72,758 -14,36 0,248 3,516
500 82,954 -9,63 1,406 3,689
1000 118,968 -12,47 0,703 3,603
Catatan : - Jari-jari yang besar serta sudut yang kecil menandakan tikungan
secara kasat mata hampir menyerupai jalan lurus.
- Nilai minus ( - ) pada perhitungan kemiringan maksimum
menandakan jalan memakai kemiringan maksimum normal yaitu 3%
IV.2.2. Perencanaan Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal adalah bidang tegak melalui sumbu jalan atau
proyeksi tegak lurus bidang gambar. Potongan memanjang ini menggambarkan
tinggi rendahnya permukaan jalan terhadap permukaan tanah asli.
Page 134
IV-20
Untuk perhitungan alinyemen vertikal akan membahas dua lengkung
yaitu Lengkung PVI22 yang merupakan lengkung cekung dan lengkung PVI23
yang merupakan lengkung cembung.
IV.2.2.1. Lengkung PVI22 (Lengkung Cekung)
VR = 60 km/jam
Jh = 75 m
Menentukan kelandaian memanjang
Elevasi PVI21 = 4,933 STA PVI21 = 6+300
Elevasi PVI22 = 4,742 STA PVI22 = 6+346,237
Elevasi PVI23 = 4,941 STA PVI23 = 6+350
( ) ( )
–
( ) ( )
Menentukan perbedaan kelandaian memanjang
A = g2 – g1
= 5,288 % - (-0,413)%
= 5,701 %
Menentukan panjang lengkung minimum
Untuk menentukan panjang lengkung minimum dapat digunakan beberapa
rumus, yaitu.
Page 135
IV-21
= 13.889 m
= 27,78 m
Dari ketiga hasil di atas maka di gunakan panjang lengkung yang terbesar
yaitu Lv = 40 m (nilai maksimum)
Menentukan Ev
(
)
(
)
= m ( tanda + berarti cekung)
Perhitungan Elevasi pada lengkung vertikal
TPTV =
TPTV = (
)
TPTV = 4,825
TPLV =
TPLV =
TPLV = 5,800
Tx = dimana: Y = A/200 Lv * X2
Page 136
IV-22
Untuk perhitungan selanjutnya disajikan pada Tabel IV.12.
Tabel IV.12. Perhitungan Elevasi Titik Pada Lengkung Vertical Cekung
X g1*X X^2 Y = A/200 Lv * X^2 Tx
0 0 0 0 4,825
10 -0,041 100 0,071 4,855
20 -0,083 400 0,285 5,027
30 -0,124 900 0,641 5,342
40 -0,165 1600 1,140 5,800
Sumber: Hasil Analisis
IV.2.2.2. Lengkung PVI23 (Lengkung Cembung)
VR = 60 km/jam
Jh = 75 m
Menentukan kelandaian memanjang
Elevasi PVI22 = 4,742 STA PVI22 = 6+346,237
Elevasi PVI23 = 4,941 STA PVI23 = 6+350
Elevasi PVI24 = 5,692 STA PVI24 = 6+400
( ) ( )
–
( ) ( )
Menentukan perbedaan kelandaian memanjang
A = g2 – g1
= 1,502 % - 5,288 %
= -3,786 %
Page 137
IV-23
Menentukan panjang lengkung minimum
Untuk menentukan panjang lengkung minimum dapat digunakan beberapa
rumus
= 13.889 m
= 27,78 m
Dari ketiga hasil di atas maka di gunakan panjang lengkung yang terbesar
yaitu Lv = 40 m (nilai minimum, Tabel II.27.)
Menentukan Ev
(
)
(
)
= m ( tanda - berarti cembung)
Perhitungan Elevasi pada lengkung vertikal
TPTV =
TPTV = (
)
TPTV = 3,883
TPLV =
TPLV =
TPLV = 5,241
Tx = dimana: Y = A/200 Lv * X2
Page 138
IV-24
Untuk perhitungan selanjutnya disajikan pada Tabel IV.13.
Tabel IV.13. Perhitungan Elevasi Titik Pada Lengkung Vertical Cembung
X g1*X X^2 Y = A/200 Lv * X^2 Tx
0 0 0 0 3,833
10 0,529 100 -0,047 4,365
20 1,058 400 -0,189 4,752
30 1,586 900 -0,426 5,044
40 2,115 1600 -,0757 5,241
Sumber: Hasil Analisis
Dengan langkah perhitungan yang serupa maka didapatkan seluruh lengkung
cembung dan cekung pada ruas jalan yang diteliti yang dapat dilihat pada Tabel
IV.14. berikut ini.
Tabel IV.14. Alinyemen Vertikal Seluruh Stasiun
PVI Sta TPVI Beda
Tinggi
Jarak
Datar g A Lv TPTV TPLV Ev
A 5+400 5,809 -0,177 50,000 -0,354
1 5+450 5,632 -0,176 50,000 -0,352 0,002 40,000 5,703 5,562 0,000
2 5+500 5,456 -0,088 36,151 -0,243 0,109 40,000 5,526 5,407 0,005
3 5+536,151 5,368 0,001 13,849 0,007 0,251 40,000 5,417 5,369 0,013
4 5+550 5,369 0,159 50,000 0,318 0,311 40,000 5,368 5,433 0,016
5 5+600 5,528 0,083 25,000 0,332 0,014 40,000 5,464 5,594 0,001
6 5+625 5,611 0,104 25,000 0,416 0,084 40,000 5,545 5,694 0,004
7 5+650 5,715 0,186 50,000 0,372 -0,044 40,000 5,632 5,789 -0,002
8 5+700 5,901 0,179 50,000 0,358 -0,014 40,000 5,827 5,973 -0,001
9 5+750 6,080 0,097 26,364 0,368 0,010 40,000 6,008 6,154 0,000
10 5+776,364 6,177 -0,113 23,636 -0,478 -0,846 40,000 6,103 6,081 -0,042
11 5+800 6,064 -0,100 50,000 -0,200 0,278 40,000 6,160 6,024 0,014
12 5+850 5,964 -0,151 50,000 -0,302 -0,102 40,000 6,004 5,904 -0,005
13 5+900 5,813 -0,151 50,000 -0,302 0,000 40,000 5,873 5,753 0,000
14 5+950 5,662 -0,152 50,000 -0,304 -0,002 40,000 5,722 5,601 0,000
15 6+000 5,510 -0,161 50,000 -0,322 -0,018 40,000 5,571 5,446 -0,001
16 6+050 5,349 -0,002 50,000 -0,004 0,318 40,000 5,413 5,348 0,016
17 6+100 5,347 -0,012 50,000 -0,024 -0,020 40,000 5,348 5,342 -0,001
18 6+150 5,335 -0,021 50,000 -0,042 -0,018 40,000 5,340 5,327 -0,001
Page 139
IV-25
19 6+200 5,314 -0,186 50,000 -0,372 -0,330 40,000 5,322 5,240 -0,017
20 6+250 5,128 -0,195 50,000 -0,390 -0,018 40,000 5,202 5,050 -0,001
21 6+300 4,933 -0,191 46,237 -0,413 -0,023 40,000 5,011 4,850 -0,001
22 6+346,237 4,742 0,199 3,763 5,288 5,701 40,000 4,825 5,800 0,285
23 6+350 4,941 0,751 50,000 1,502 -3,786 40,000 3,883 5,241 -0,189
24 6+400 5,692 0,873 50,000 1,746 0,244 40,000 5,392 6,041 0,012
25 6+450 6,565 0,873 50,000 1,746 0,000 40,000 6,216 6,914 0,000
26 6+500 7,438 0,874 50,000 1,748 0,002 40,000 7,089 7,788 0,000
27 6+550 8,312 0,873 50,000 1,746 -0,002 40,000 7,962 8,661 0,000
28 6+600 9,185 0,873 50,000 1,746 0,000 40,000 8,836 9,534 0,000
29 6+650 10,058 0,831 48,130 1,727 -0,019 40,000 9,709 10,403 -0,001
30 6+698,130 10,889 -0,434 1,870 -23,209 -24,935 40,000 10,544 6,247 1,247
31 6+700 10,455 -0,489 50,000 -0,978 22,231 40,000 15,097 10,259 1,112
32 6+750 9,966 -0,901 50,000 -1,802 -0,824 40,000 10,162 9,606 -0,041
33 6+800 9,065 -0,900 50,000 -1,800 0,002 40,000 9,425 8,705 0,000
34 6+850 8,165 -0,900 50,000 -1,800 0,000 40,000 8,525 7,805 0,000
B 6+900 7,265 -7,265 50,000 -14,530
Dari data yang ditambilkan pada Tabel IV.14 maka pada ruas Jalan
Bts.Kota Sibolga – Batang Toru (Sta 5+400 – Sta 6+900) terdapat 34 alinyemen
vertikal yang terdiri dari 24 lengkung (11 lengkung cembung,13 lengkung
cekung) dan 10 datar.
Page 140
IV-26
IV.3. Perancangan Tebal Perkerasan
IV.3.1. Perancangan Tebal Perkerasan Pada Pelebaran Jalan Dengan
Metode Analisa Komponen (SKBI 1987)
Data perhitungan dengan menggunakan metode Analisa Komponen
SNI No.03-1732-1989-F / SKBI.2.3.26.2987 yang digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Panjang Jalan : 1500 m
2. Umur yang direncanakan = 20 tahun
3. Pertumbuhan Lalu Lintas = 5 %
4. Klasifikasi Jalan yaitu Kolektor
5. Lebar Perkerasan Jalan = 2,5 meter
6. Curah Hujan < 900mm/tahun
7. CBR tanah dasar = 2,96 % (karena tidak memenuhi nilai minimum maka
perhitungan memakai nilai minimum CBR tanah dasar sebesar 6%
dengan syarat penggantian Subgrade dengan timbunan pilihan setebal 20
cm) lihat Tabel II.31.
8. Jalan yang Direncanakan : 2/2 UD
9. Material Perkerasan yang digunakan adalah sebagai berikut:
Laston
Batu Pecah Kelas A
Sirtu Kelas A
10. Data Lalu Lintas
Data lalu lintas yang digunakan adalah data lalu lintas harian rata-rata awal
operasional jalan yaitu tahun 2018 dan akhir umur rencana yaitu tahun
2038. Data lalu lintas tahun 2016 dan tahun 2038 dapat dilihat pada Tabel
IV.15. berikut ini.
Page 141
IV-27
Tabel IV.15. Data Lalu Lintas Awal dan Akhir Umur Rencana
Jenis Kendaraan Golongan
Awal
Operasional
Akhir Umur
Rencana
Tahun 2018 Tahun 2038
Sepeda Motor,Sekuter dan Kendaraan Roda Tiga 1 31228 82858
Sedan, Jeep dan Station Wagon 2 3527 9358
Oplet,PickUp-Oplet,Suburban,Combi dan Mini Bus 3 3991 10589
Pick-Up, Micro Truk dan Mobil Hantaran 4 1057 2806
Bus Kecil 5a 75 198
Bus Besar 5b 60 160
Truk Ringan 2 Sumbu 6a 774 2054
Truk Sedang 2 Sumbu 6b 57 151
Truk 3 Sumbu 7a 173 460
Truk Gandeng 7b 0 1
Truk Semi Trailer 7c 23 62
TOTAL 42985 110737
IV.3.1.1. Lintas Ekivalen Permulaan
Perhitungan ini dilakukan dengan menggunakan hasil perhitungan
LHR (lalu lintas harian rata-rata) awal operasional jalan pada tahun 2018.
Sebelum memasukkan rumus terlebih dahulu dicari angka ekivalen kendaraan,
tahap perhitungan dapat dilihat pada Lampiran II. Hasil perhitungan angka
ekivalen setiap golongan kendaraan dapat dilihat pada Tabel IV.16. berikut ini.
Tabel IV.16. Angka Ekivalen Kendaraan
Golongan
Kendaraan
Beban
Kend
Max
(kg)
Sumbu Roda Kendaraan (Kg) Angka Ekivalen
Roda
Kendaraan
Roda Belakang
Depan Belakang Total 1 2 3
1 - 0000 0000 0000 0000 000000 000000 000000
2 dan 3 2000 1000 1000 0000 0000 0.00118 0.00118 0.00236
4 4000 1500 2500 0000 0000 0,00590 0.04593 0,10543
5a 8000 2720 5280 0000 0000 0,0644 0.91403 0,97843
5b 9000 3060 5940 0000 0000 0,10311 0,28079 0,38390
6a 8300 2822 5478 0000 0000 0,07458 0.20310 0,27769
6b 18200 6188 12012 0000 0000 1,72435 4,69570 6,42006
Page 142
IV-28
7a 25000 6250 18750 0.000 0.000 1,79451 3,44772 5,24222
7b 31400 5652 8792 8478 8478 1,20000 1,34769
4,87815
1,16523
1,16523
7c 26200 4716 10742 10742 00000 0,21833 3,00317 6,22467
3,00317
Setelah angka ekivalen setiap golongan kendaraan didapatkan maka selanjutnya
yaitu menghitung lintas ekivalen permukaan dengan rumus berikut :
LEP = LHRawal x C x E
dimana;
LHRAwal = Lintas Harian Rata-Rata Awal
C = Koefisien Distribusi Kendaran (C = 0,5) Tabel II.29
E = Angka Ekivalen Kendaraan
Perhitungan lintas ekivalen permulaaan menggunakan data lau lintas harian rata-
rata pada awal operasional jalan yaitu pada tahun 2018, perhitungan dapat dilihat
pada Tabel IV.17. berikut ini.
Tabel IV.17. Lintas Ekivalen Permulaan Kendaraan
Golongan LHRT C E LEP
1 31288 0,5 0 0
2 dan 3 7518 0,5 0,00236 8,871
4 1057 0,5 0,10543 55,720
5a 75 0,5 0,97843 36,691
5b 60 0,5 0,3839 11,517
6a 774 0,5 0,27769 107,466
6b 57 0,5 6,42006 182,972
7a 173 0,5 5,24222 453,452
7b 0 0,5 4,87815 0
7c 23 0,5 6,22467 71,584
TOTAL 928,273
Page 143
IV-29
IV.3.1.2. Lintas Ekivalen Akhir
Perhitungan lintas ekivalen akhir menggunakan data lalu lintas harian
rata-rata pada akhir umur rencana yaitu pada tahun 2038. Rumus yang digunakan
adalah sebagai berikut.
LEA = LHRAkhir x C x E
dimana;
LHRAkhir = Lintas Harian Rata-Rata Awal
C = Koefisien Distribusi Kendaran (C = 0,5) Tabel II.29
E = Angka Ekivalen Kendaraan
Perhitungan lintas ekivalen akhir dapat dilihat pada Tabel IV.18 berikut ini.
Tabel IV.18. Lintas Ekivalen Akhir Kendaraan
Golongan LHRT C E LEA
1 82858 0,5 0 0
2 dan 3 19947 0,5 0,00236 23,537
4 2806 0,5 0,10543 147,918
5a 198 0,5 0,97843 96,865
5b 160 0,5 0,3839 30,712
6a 2054 0,5 0,27769 285,188
6b 151 0,5 6,42006 484,715
7a 460 0,5 5,24222 1205,711
7b 1 0,5 4,87815 2,439
7c 62 0,5 6,22467 192,965
TOTAL 2470,049
IV.3.1.3. Lintas Ekivalen Tengah
LET = (LEP + LEA) / 2
LET = 928,273+ 2470,049 = 1699,161 kendaraan
2
Page 144
IV-30
IV.3.1.4. Lintas Ekivalen Rencana
LER = (LET X UR/10)
LER = 1699,161 x 20 = 3398,322 kendaraan
10
IV.3.1.5. Indeks Permukaan Pada Awal Rencana (Ipo)
- Rencana Permukaan Perkerasan = LASTON
- Indeks Permukaan Awal (IPo) = ≥ 4 (Tabel II.34)
IV.3.1.6. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IP)
- Klasifikasi Jalan = Kolektor
- Lintas Ekivalen Rencana (LER) = 3398 = >1.000
Maka Indeks Permukaan (IP) yang didapat sebesar 2,5 (Tabel II.33)
IV.3.1.7. Faktor Regional
- Curah Hujan = < 900 mm/thn (Sumber: BMKG SUMUT)
- Kelandaian = < 6%
- Persentase Kendaraan Berat = < 30%
Maka Faktor Regional yang didapat sebesar 0,5 (Tabel II.32.)
IV.3.1.8. Penentuan Daya Dukung Tanah dari Nilai CBR Tanah Dasar
Nilai daya dukung tanah didapat dengan menggunakan nomogram
dari manual SKBI 1987 yaitu dengan cara mencari garis horizontal yang ditarik
dari nilai CBR tanah dasar ke nomogram daya dukung tanah. Nilai daya dukung
tanah yang didapatkan yaitu sebesar 4,9 kg/cm2
(Lampiran III)
IV.3.1.9. Penentuan Indeks Tebal Perkerasan
Penentuan indeks tebal perkerasan didapat dengan menggunakan
nomogram dari manual SKBI 1987 dengan menggunakan nilai DDT, LER dan
nilai FR . Dari Grafik Nomogram diperoleh nilai ITP =10,4 cm (Lampiran III)
Data penggunaan bahan perkerasan rencana dibawah ini didapat dari
Tabel II.34.
- AC-WC Laston, MS 744 MS > 744
Page 145
IV-31
AC-BC Laston, MS 744 MS > 744 ; a1 = 0,40
- Batu Pecah Kelas A, CBR 100% ; a2 = 0,14
- Sirtu/pitrun Kelas A, CBR 70% ; a3 = 0,13
IV.3.1.10. Batas-Batas Minimum Tebal Perkerasan
Nilai tebal minimum perkerasan didapat dengan menggunakan nilai
ITP sebesar 10,4 cm dari hasi perhitungan sebelumnya. Digunakan Tabel II.36.
untuk tebal lapis permukaan dan Tabel II.37. untuk tebal lapis pondasi atas.
- Lapis Permukaan: Laston, MS 744 d1 = 10 cm
- Lapis Pondasi Atas: Batu Pecah Kelas A d2 = 20 cm
- Lapis Pondasi Bawah: Sirtu/Pitrun Kelas A d3 = dihitung
Untuk menghitung tebal lapis tambah pada perkerasan maka nilai d3 harus
dihitung kembali menggunakan rumus dibawah ini.
ITP = a1 . d1 + a2 . d2 + a3 . d3
10,4= (0,4 x 10) + (0,14 x 20) + (0,13 x D3)
d3 = 27,6923
d3 = 28 cm
Dari hasil perhitungan diatas, maka susunan lapis perkerasan yang direncanakan
adalah sebagai berikut :
Gambar IV.3. Susunan Lapisan Pekerasan
Page 146
IV-32
IV.4. Perancangan Saluran Drainase
Dalam merancang saluran drainase, terlebih dahulu dilakukan analisa
perhitungan terhadap curah hujan, lebar jalan, dan faktor yang lain yang dimana
hasil analisa nantinya akan digunakan untuk mendapatkan dimensi saluran
drainase untu suatu proyek. Berikut tahapannya.
IV.4.1. Menghitung Luasan Daerah Aliran Air
Perancangan drainase pada ruas jalan nasional batas harus
disesuaikan dengan luas dan kondisi jalan, luasan bahu jalan, panjang drainase,
dan luasan dari sekitar luar jalan yang akan dirancang.
Berikut merupakan perhitungan daerah luasan pengaliran air berdasarkan
data–data yang ada.
Bagian-bagian tinjauan luasan pengaliran air,
a. Perkerasan = Perkerasan Lentur (Laston)
b. Bahu Jalan = Tanah
c. Bagian luar jalan = Pemukiman Tidak Padat
Panjang saluran drainase (L) = 1500 meter
I1 = lebar perkerasan jalan (aspal) = 3,5 meter
I2 = lebar bahu jalan = 1,5 meter
I3 = lebar bagian luar jalan (Perumahan,industri,kebun) = 25 meter
Adapun daerah luasan pengaliran air pada proyek yang ditinjau yaitu:
- Aspal A1 = 3,5 m x 1500 m
= 5250 m2
- Bahu jalan A2 = 1,5 m x 1500 m = 2250 m2
- Daerah bagian luar jalan A3 = 25 m x 1500 m = 37500 m2
Total A = 45000 m
2
= 0,045 m
2
IV.4.2. Besar Koefisien (C)
Besar koefisien (c) Merupakan perbandingan antara jumlah air hujan
yang mengalir atau melimpas di atas permukaan tanah dengan jumlah air hujan
yang jatuh dari atmosfir. Besaran koefisien ini dipengaruhi oleh tata guna lahan,
Page 147
IV-33
kemiringan lahan, jenis dan kondisi tanah. Koefisien diperoleh dari Tabel II.40.
Berikut perhitungannya.
- Aspal I1, koefisien C1 = 0,95
- Bahu jalan I2, koefisien C2 = 0,10
- Pemukiman tidak padat I3, koefisien C3 = 0,60
Adapun koefisien rata – rata yang didapat bedasarkan perhitungan luasan
daerah pengaliran air yaitu:
1 1
1
IV.4.3. Perhitungan Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi (Tc) yaitu waktu yang diperlukan untuk
mengalirkan air dari titik yang paling jauh pada daerah aliran ke titik kontrol yang
ditentukan di bagian hilir suatu saluran. Berikut perhitungan mencari waktu
konsentrasi aliran air :
1 (
√ )
dengan pengertian :
L = jarak dari titik air jatuh terjauh ke fasilitas saluran samping,
nd = koefisien hambatan (retardasi permukaan) Tabel II.41.
S = kemiringan daerah pengaliran Tabel II.43.
taspal = (
√ )
= 0,91 menit
tbahu = (
√ )
= 1.20 menit
tpemukiman = (
√ )
= 2,38 menit
T1 dari badan jalan = taspal + tbahu ≤ tdaerah samping
= 0,91 + 1.20 ≤ 2,38
Page 148
IV-34
Maka T1 = 2,38 (diambil nilai paling besar)
Mencari T2 =
( )
=
( )
= 16,7
Maka, Tc = T1 + T2
= 2,38 + 16,7
= 19,08
Maka didapat waktu konsentrasi pengaliran air sebesar 19,08 menit
IV.4.4. Menentukan Intensitas Curah Hujan
Adapun data curah hujan yang diperoleh dari BMKG yaitu pada Tabel
IV.19. berikut ini .
Tabel IV.19. Data Curah Hujan
Tahun Jumlah Terbesar Curah hujan (mm)
2006 152,7
2007 279,9
2009 162,2
2009 172,3
2010 171
2011 268,5
2012 229
2013 176,1
2014 229,5
2015 112
Dengan data curah hujan yang diperoleh dari BMKG maka selanjutnya data
curah hujan tersebut diolah untuk mencari intensitas curah hujan rencana. Berikut
merupakan perhitungan intensitas curah hujan rencana bisa dilihat pada Tabel di
bawah ini:
Page 149
IV-35
Tabel IV.20. Perhitungan Intensitas Curah hujan
No Tahun
Hujan Harian Deviasi
(XT - Xave)2 Maksimum (mm)
XT XT - Xave
1 2006 152,7 -42,62 1816,46
2 2007 279,9 84,58 7153,78
3 2009 162,2 -33,12 1096,93
4 2009 172,3 -23,02 529,92
5 2010 171 -24,32 591,46
6 2011 268,5 73,18 5355,31
7 2012 229 33,68 1134,34
8 2013 176,1 -19,22 369,41
9 2014 229,5 34,18 1168,27
10 2015 112 -83,12 6942,22
n = 10 Σ XT = 1953,2
26158,12
Xave =
Xave = 195,32
Sx = * ( )
+0.5
Sx = 51.15
Untuk periode ulang (T) = 5 Tahun dan n= 10 tahun
Diperoleh,
YT = 1,499 Tabel II.38.
Yn = 0,49520 Tabel II.39.
Sn = 0,94970 Tabel II.39.
XT = Xave + (SX/Sn) x (YT – Yn)
= 195,32 + (51,15/0,9497) x (1,499 – 0,4952)
= 249,378 mm
I = (90% x XT)/4
= (90% x 249,378)/4
= 56 mm/jam
Dari nilai intensitas curah hujan yang telah didapat, kemudian diplotkan
pada kurva basis (Lampiran III) dengan waktu intensitas = 19,08 menit. Tarik
garis lengkung searah dengan garis lengkung kurva basis. Kurva ini merupakan
Page 150
IV-36
garis lengkung intensitas hujan rencana. Oleh karena I yang didapat 56 mm/jam <
190 mm/jam, maka garis lengkung intensitas hujan rencana merupakan garis
lengkung kurva basis.
IV.4.5. Perhitungan Debit Air Rencana
Perhitungan debit rencana dilakukan setelah didapat nilai intensitas
hujan yang direncanakan, perhitungan debit rencana digunakan untuk mendimensi
saluran drainase yang akan dirancang, berikut merupakan perhitungan debit
rencana :
A = 45000 m2
C = 0,62
I = 190 mm/jam = 0,0000527778 m/s
Q = 1/3,6 x C.I.A
= 1/3,6 x 0,62 x 0,0000527778 m/s x 45000
= 0,407 m3/s
Maka didapat debit rencana yaitu sebesar 0,407 m3/detik
IV.4.6. Dimensi saluran
Perhitungan dimensi saluran didasarkan pada debit yang ditampung
oleh saluran, setelah debit rencana sudah didapat maka berikutnya dapat dihitung
dimensi dari drainase yang akan dirancang, berikut adalah perhitungan dimensi
dari drainase yang akan dirancang.
Diketahui:
Debit Rencana (Q) = 0,407 m3/detik
Kecepatan Aliran (V) = 1,5 m
Luas Penampang Basah (A) =
= 0,27 m2
Lebar Drainase (b) A = b x h
0,27 m2
= 2h x h
Page 151
IV-37
h2 = 0,27 / 2
Tinggi permukaan air (h) = 0,37 m
Maka, b = 2 x h
= 2 x 0,37
= 0,74 m
Tinggi Jagaan W =√ = √ = 0,43 m
Maka didapat dimensi dari drainase yaitu dengan lebar 0,74 meter dan
tinggi permukaan air sebesar 0,37 meter dengan tinggi jagaan sebesar 0,43 meter.
Dimensi drainase bisa dilihat pada gambar dibawah ini:
Gambar IV.4. Drainase Rencana
Page 152
IV-38
IV.5. Rencana Anggaran Biaya
Rencana Anggaran Biaya akan membahas kebutuhan dana yang akan
dikeluarkan untuk pelaksanaan proyek pelebaran mulai dari perkerasan hingga
pembuatan drainase sepanjang 1,5 km.
IV.5.1. Perhitungan Volume Pekerjaan
IV.5.1.1. Pekerjaan Tanah
Volume galian dan timbunan tanah yang diperlukan pada proyek ini
dihitung dengan menggunakan rumus ”area” di AutoCAD pada gambar Cross
Section. Volume galian dan timbunan tanah sepanjang 1,5 km dapat dilihat pada
Tabel IV.21. berikut ini.
Tabel IV.21. Volume Galian dan Timbunan Tanah Biasa
STA Luas (m2) Luas Rata-rata (m2)
Jarak (m) Volume (m3)
Cut Fill Cut Fill Cut Fill
5 + 400 4,888 0,240
5,088 0,131 50,000 254,375 6,550
5 + 450 5,287 0,022
5,268 0,014 50,000 263,375 0,700
5 + 500 5,248 0,006
5,085 0,114 50,000 254,250 5,700
5 + 550 4,922 0,222
5,202 0,175 50,000 260,100 8,750
5 + 600 5,482 0,128
5,412 0,069 50,000 270,600 3,450
5 + 650 5,342 0,010
5,291 0,012 50,000 264,525 0,600
5 + 700 5,239 0,014
5,391 0,075 50,000 269,550 3,725
5 + 750 5,543 0,135
5,665 0,068 50,000 283,225 3,375
5 + 800 5,786 0,000
Page 153
IV-39
5,553 0,005 50,000 277,650 0,225
5 + 850 5,320 0,009
5,385 0,005 50,000 269,225 0,225
5 + 900 5,449 0,000
5,315 0,039 50,000 265,725 1,950
5 + 950 5,180 0,078
5,048 0,143 50,000 252,375 7,150
6 + 000 4,915 0,208
4,942 0,123 50,000 247,100 6,150
6 + 050 4,969 0,038
5,209 0,019 50,000 260,450 0,950
6 + 100 5,449 0,000
5,372 0,000 50,000 268,575 0,000
6 + 150 5,294 0,000
5,162 0,061 50,000 258,100 3,050
6 + 200 5,030 0,122
5,264 0,061 50,000 263,200 3,050
6 + 250 5,498 0,000
5,256 0,037 50,000 262,800 1,825
6 + 300 5,014 0,073
4,945 0,137 50,000 247,225 6,850
6 + 350 4,875 0,201
5,072 0,134 50,000 253,600 6,700
6 + 400 5,269 0,067
5,309 0,037 50,000 265,450 1,825
6 + 450 5,349 0,006
5,291 0,034 50,000 264,525 1,675
6 + 500 5,232 0,061
5,450 0,031 50,000 272,500 1,525
6 + 550 5,668 0,000
5,649 0,000 50,000 282,450 0,000
6 + 600 5,630 0,000
Page 154
IV-40
5,398 0,007 50,000 269,900 0,325
6 + 650 5,166 0,013
5,172 0,013 50,000 258,575 0,625
6 + 700 5,177 0,012
5,345 0,008 50,000 267,250 0,375
6 + 750 5,513 0,003
5,633 0,008 50,000 281,650 0,400
6 + 800 5,753 0,013
5,460 0,047 50,000 273,000 2,350
6 + 850 5,167 0,081
5,218 0,043 50,000 260,900 2,150
6 + 900 5,269 0,005
TOTAL 7942,225 82,225
Dari data pada tabel diatas didapat volume galian biasa sebesar 7528,225 m3 dan
timbunan sebesar 82,225 m3 untuk seluruh pekerjaan sepanjang 1,5 km.
IV.5.1.2. Pekerjaan Drainase
Pada pekerjaan drainase yang akan dihitung adalah kebutuhan beton
yang akan digunakan sesuai dimensi drainase yang akan dihitung.
Gambar IV.5. Dimensi Drainase
Page 155
IV-41
Dengan pembagian luas seperti yang tertera pada Gambar IV.3. maka dapat
dilakukan perhitungan sebagai berikut ;
Luas I = p x l
= 0,74 x 0,25
= 0,185 m2
Luas II dan Luas VII = p x l
= 1,35 x 0,30
= 0,405 m2
Luas IV dan Luas V = (a x t) / 2
= (0,8 x 0,16) / 2
= 0,064 m2
Luas III dan Luas VI = p x l
= 0,55 x 0,16
= 0,088 m2
Luas Total = Luas I + Luas II + Luas III + Luas IV + Luas V + Luas
VI + Luas VII
= 0,185 + 0,405 + 0,088 + 0,064 + 0,064 + 0,088 + 0,405
= 1,299 m2
Volume beton = Luas Total x Panjang Jalan x Jumlah Ruas
= 1,299 m2 x 1500 m x 2
= 3897 m3
Untuk pekerjaan drainase sepanjang 1,5 km, maka dibutuhkan volume beton
sebesar 3897 m3
.
Page 156
IV-42
IV.5.1.3. Pekerjaan Perkerasan
Setelah dilakukan perhitungan sesuai dengan manual SKBI 1987
maka didapatkan susunan lapisan perkerasan seperti berikut ini (satuan meter)
Gambar IV.6. Dimensi Lapis Perkerasan
Berikut perhitungan volume setiap lapis perkerasan yang dibutuhkan :
1. Lapisan Aspal Beton AC-WC (Asphalt Concrete-Wearing Course)
Gambar IV.7. Dimensi Laston AC-WC
Volume = p x l x 1500 x 2
= 1,25 x 0,04 x 1500 x 2
= 150 m3
2. Lapisan Aspal Beton AC-BC (Asphalt Concrete-Binder Course)
Gambar IV.8. Dimensi Laston AC-BC
Volume = p x l x 1500 x 2
= 1,25 x 0,06 x 1500 x 2
= 225 m3
Page 157
IV-43
3. Batu Pecah Kelas “ ”
Gambar IV.9. Dimensi Lapisan Batu Pecah Kelas “A”
Volume = p x l x 1500 x 2
= 1,25 x 0,20 x 1500 x 2
= 750 m3
4. Sirtu/Pitrun Kelas “ ”
Gambar IV.10. Dimensi Lapisan Sirtu/Pitrun Kelas “A”
Volume = p x l x 1500 x 2
= 1,25 x 0,28 x 1500 x 2
= 1050 m3
5. Selected Fill / Timbunan Pilihan
Gambar IV.11. Dimensi Lapisan Selected Fill
Volume = p x l x 1500 x 2
= 1,25 x 0,20 x 1500 x 2
= 750 m3
Dari perhitungan diatas, maka didapatkan volume setiap lapis perkerasan sebagai
berikut : - Laston AC-WC = 150 m3
- Laston AC-BC = 225 m3
Page 158
IV-44
- Batu Pecah Kelas “ ” = 750 m3
- Sirtu/Pitrun Kelas “ ” = 1050 m3
- Selected Fill = 750 m3
6. Prime Coat (Lapis Resap Pengikat)
Sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 (Revisi 3) Divisi 6 Perkerasan
Aspal Seksi 6.1. mengenai Lapis Resap Pengikat dan Lapis Perekat menjelaskan
bahwa Lapis perekat pengikat adalah Aspal semen Pen.60/70 atau Pen.80/100
dengan bahan pengencer minyak tanah dan takaran penyemprotan maks.1,3 liter
per meter persegi, dengan perbandingan 80% minyak tanah dan 20% aspal. Cairan
ini akan dituang diatas Lapisan Batu Pecah Kelas “ ”. Maka dari itu berikut
perhitungan kebutuhan Prime Coat (Lapis Resap Pengikat) untuk proyek
sepanjang 1,5 km.
Luas Penyemprotan = 1,25 x 1500 x 2
= 3750 m2
1 m
2 = 1,3 liter
3750 m2 = 3750 x 1,3
= 4875 liter
7. Tack Coat ( Lapis Perekat)
Sesuai Spesifikasi Umum Bina Marga 2010 (Revisi 3) Divisi 6 Perkerasan
Aspal Seksi 6.1. mengenai Lapis Resap Pengikat dan Lapis Perekat menjelaskan
bahwa Lapis perekat pengikat adalah Aspal semen Pen.60/70 atau Pen.80/100
dengan bahan pengencer minyak tanah dan takaran penyemprotan maks.0,25 liter
per meter persegi, dengan perbandingan 30% minyak tanah dan 70% aspal. Cairan
ini akan dituang diatas Lapisan AC-BC. Maka dari itu berikut perhitungan
kebutuhan Tack Coat (Lapis Perekat) untuk proyek sepanjang 1,5 km.
Luas Penyemprotan = 1,25 x 1500 x 2
= 3750 m2
1 m
2 = 0,25 liter
Page 159
IV-45
3750 m2 = 3750 x 0,25
= 937,5 liter
IV.5.1.4. Pekerjaan Pelengkap
1. Perhitungan Marka Jalan
Gambar IV.12. Sket Marka Jalan
a. Marka Tengah Putus-putus
( )
( )
b. Marka Tengah Menerus
Luas = panjang tikungan x lebar marka
= 122,771 x 0.1
= 12,277 m2
Luas total marka jalan = 55,209 + 12,277
= 67,486 m2
Dengan menggunakan PAHS (Pedoman Analisa Harga Satuan) dari PU maka
akan didapat jumlah seluruh biaya yang dibutuhkan untuk pekerjaan Perancangan
Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Batas Kota Sibolga – Batang Toru (STA 5+400 –
STA 6+900). Seluruh detail perhitungan dapat dilihat di LAMPIRAN VII,
dibawah ini adalah rekapitulasi total harga pekerjaan yang dibutuhkan.
2.0 m 3.0 m 2.0 m
0.1 m
Page 160
IV-46
Tabel IV.22. Rekaptulasi Harga Pekerjaan
Page 161
V-1
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan perhitungan menggunakan seluruh data
terkait (data primer dan sekunder) maka didapat beberapa kesimpulan pada
proyek Perancangan Jalan Lintas Barat Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga –
Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6 + 900), yaitu sebagai berikut :
1. Kondisi jalan eksisting (lebar jalur efektif 4,5 m dan lebar bahu jalan 1,5 m)
sudah tidak bisa menampung kapasitas kendaraan yang lewat sehingga perlu
dilakukan pelebaran jalan. Dilakukan pelebaran jalan (lebar jalur efektif 7 m
dan lebar bahu jalan 1,5 m) guna mempertahankan kondisi jalan agar tetap
mampu menampung kapasitas kendaraan hingga tahun 2038. Tetapi setelah
dilakukan perhitungan, ruas jalan harus dilakukan pelebaran kembali pada
tahun 2023 karena jalan yang sudah mencapai derajat jenuh.
2. Berdasarkan data long section, maka setelah dilakukan perhitungan didapat
kesimpulan geometrik sebagai berikut :
a. Alinyemen Horizontal
Didapat jarak antar titik sebesar 1503,089 meter, 8 tikungan FC dengan
total panjang tikungan sebesar 522,323 meter, kemiringan maksimum
pada tikungan sebesar 3 % dan 5,7 % tanpa adanya pelebaran pada
setiap tikungan.
b. Alinyemen Vertikal
Didapat 34 alinyemen vertikal yang terdiri dari 24 lengkung (11
lengkung cembung dan 13 lengkung cekung) dan 10 datar.
3. Perhitungan tebal lapis perkerasan pada pelebaran dengan menggunakan
Metode SKBI 1987 maka didapatkan susunan lapisan perkerasan seperti
berikut ini.
Laston AC – WC = 4 cm
Laston AC – BC = 6 cm
Batu Pecah Kelas “A” = 20 cm
Page 162
V-2
Sirtu/Pitrun Kelas “A” = 28 cm
Selected Fill = 20 cm
Timbunan Pilihan dijadikan sebagai lapisan pengganti tanah dasar dengan
cara pengorekan tanah dasar sedalam 20 cm.
4. Dari hasil analisa terhadap data curah hujan maka dilakukan perancangan
terhadap saluran drainase berbentuk U Tipe DS 1 dengan lebar total sebesar
1,66 m, tinggi sebesar 1,35 m dengan dimensi luas tangkapan air dengan
lebar sebesar 0,74 m, tinggi permukaan air rencana sebesar 0,37 m dan
tinggi jagaan sebesar 0,43 m.
5. Rekapitulasi anggaran biaya yang diperlukan pada proyek ini yaitu sebesar
Rp. 5.887.081.000,--.
Page 163
V-3
V.2. SARAN
Sesuai dengan analisa terhadap seluruh proses perhitungan dan kondisi di
lapangan, maka terdapat beberapa saran pada proyek Perancangan Jalan Lintas
Barat Ruas Jalan Nasional Batas Kota Sibolga – Batang Toru ( Sta 5 + 400 – Sta 6
+ 900), yaitu sebagai berikut :
1. Pengerjaan gambar rencana long section dengan alinyemen vertikal haruslah
dalam satu gambar dan tegak lurus sesuai stasiun yang ada agar proses
pemasukan data tidak sulit.
2. Jalan yang memiliki sudut kecil dengan jari-jari yang besar memang masuk
sebagai tikungan FC, tetapi lebih baik jika dianggap jalan lurus sehingga
tidak menghabiskan dana dan waktu hanya untuk menghitung jalan yang
seharusnya secara kasat mata dianggap lurus dan tidak memerlukan
superlevasi.
3. Sebaiknya untuk penanganan nilai CBR yang tidak mencapai 6% yaitu
dilakukan pengorekan atau penggantian tanah dasar tersebut dengan
timbunan pilihan lalu dilakukan pengecekan ulang terhadap nilai CBR. Hal
ini masih sering tidak dilakukan dilapangan karena alasan metode
pelaksanaan yang lebih praktis jika lapisan base yang dipertebal
dibandingkan harus mengorek tanah dasar lalu mengganti dengan timbunan
pilihan serta pengecekan ulang terhadap nilai CBR.
4. Data curah hujan yang dipakai sebagai data utama dalam perhitungan
dimensi drainase seringkali tidak sesuai dengan perkiraan kedepan. Alam
yang tidak dapat ditebak dapat menghasilkan curah hujan yang tinggi atau
rendah dalam rentang waktu yang berdekatan, maka dari itu perhitungan
dimensi drainase harus memakai nilai yang paling tinggi yang telah
diperkirakan sesuai umur rencana.
5. Dengan memperhatikan jarak jalan eksisting dengan pemukiman yang
berkisar antara 10-15 meter dibeberapa titik stasiun maka perancangan
pelebaran jalan pada ruas jalan yang ditinjau dianggap layak untuk
dilaksanakan dengan syarat dilakukannya pembebasan lahan terlebih dahulu
untuk pemukiman penduduk yang terkena proyek pelebaran jalan.
Page 164
V-4
6. Rencana Anggaran Biaya yang telah diperhitungan terkadang tidak sesuai
ketika diimplentasikan di lapangan dikarena kondisi lapangan dengan segala
unsur sosial, etnik, wilayah yang menyebabkan harga dapat berkurang atau
bahkan makin tinggi, maka dari itu dari segi sumber daya manusia haruslah
orang yang tanggap situasi dan kondisi di lapangan sehingga tidak terjadi
hal yang diluar perhitungan.