PERANAN POLRI DALAM PENANGANAN KERUSUHAN SENGKETA LAHAN TANAH REGISTER 45 (STUDI WILAYAH HUKUM PADA POLRES TULANG BAWANG) ABSTRAK Oleh: HARISNO KAHFI Sengketa lahan hutan negara Register 45 Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, sudah hampir setahun belum juga tuntas. Kinerja tim pemerintah pusat menyelesaikan kasus ini terkesan lambat. Bentrok berdarah akibat sengketa lahan kembali terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung. Dua kelompok warga di Desa Tulung Gunung, Mesuji, terlibat bentrok dengan melibatkan senjata api, Selain itu, Polda Lampung juga langsung giat melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat, agama, serta pemda setempat agar persoalan rebutan lahan ini tak melebar. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil pokok masalah, yaitu: Bagaimanakah peranan Polri dalam menangani kerusuhan akibat dari sengketa lahan tanah register? Apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam menangani kerusuhan akibat dari sengketa lahan tanah register? Penulis di dalam melakukan penelitian, menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan pendekatan yuridis empiris. Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat memberikan kesimpulan sebagai berikut: Kasus konflik agraria di Mesuji merupakan konflik yang terjadi antara dua kelas yaitu kelas Pengusaha (kapitalis) dengan kelas petani memperebutkan lahan/tanah di daerah Mesuji Lampung. Konflik ini juga tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang dilakukan pemerintah di masa orde baru yang cenderung bersifat kapitalistik. Terhadap pelaksanaan penindakan konflik sengketa lahan register 45 yang mengarah atau terjadinya kerusuhan dan tindakan anarkis, Polri tetap mengacu pada tataran tugas sebagaimana yang telah diuraikan di atas tentunya dengan suatu strategi represif untuk preventif, yaitu melakukan tindakan tegas berdasarkan aturan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak asasi manusia dalam rangka mencegah meluasnya konflik. Faktor penghambat dalam menangani sengketa lahan register 45 mesuji yaitu kebijakan pertanahan yang bersifat kapitalistik, pluralisme hukum, tindakan represif dari aparat keamanan, kurangnya pengaruh tokoh masyarakat, ketidakseimbangan perhatian pemerintah daerah, ketidakjelasan status kepemilikan lahan dan HGU lahan perusahaan, sikap arogansi dan egosentris kelompok, kurangnya kepedulian perusahaan terhadap lingkungan. Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya maka penulis dapat memberikan saran sebagai berikut: 1. Hendaknya aparat penegak hukum lebih memperketat lagi keamaan dan ketertipan dalam masyarakat. Agar kasus seperti sengketa lahan register 45 tidak terjadi lagi. 2. Hendaknya aparat penegak hukum dan masyarakat bersama-sama menjaga ketertiban lingkungan. Hendaknya pemerintah dan aparat penegak hukum lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
20
Embed
PERANAN POLRI DALAM PENANGANAN KERUSUHAN SENGKETA …repository.ummetro.ac.id/files/mhs/70635dcf42375ba2d3326cd161772451.pdfmenangani kerusuhan akibat dari sengketa lahan tanah register?
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERANAN POLRI DALAM PENANGANAN KERUSUHAN
SENGKETA LAHAN TANAH REGISTER 45
(STUDI WILAYAH HUKUM PADA POLRES TULANG BAWANG)
ABSTRAK
Oleh:
HARISNO KAHFI
Sengketa lahan hutan negara Register 45 Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung,
sudah hampir setahun belum juga tuntas. Kinerja tim pemerintah pusat
menyelesaikan kasus ini terkesan lambat. Bentrok berdarah akibat sengketa lahan
kembali terjadi di Kabupaten Mesuji, Lampung. Dua kelompok warga di Desa
Tulung Gunung, Mesuji, terlibat bentrok dengan melibatkan senjata api, Selain itu,
Polda Lampung juga langsung giat melakukan koordinasi dengan tokoh masyarakat,
agama, serta pemda setempat agar persoalan rebutan lahan ini tak melebar.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil pokok
masalah, yaitu: Bagaimanakah peranan Polri dalam menangani kerusuhan akibat
dari sengketa lahan tanah register? Apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam
menangani kerusuhan akibat dari sengketa lahan tanah register?
Penulis di dalam melakukan penelitian, menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan pendekatan yuridis empiris.
Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya, maka penulis dapat memberikan
kesimpulan sebagai berikut: Kasus konflik agraria di Mesuji merupakan konflik
yang terjadi antara dua kelas yaitu kelas Pengusaha (kapitalis) dengan kelas petani
memperebutkan lahan/tanah di daerah Mesuji Lampung. Konflik ini juga tidak
terlepas dari kebijakan pertanahan yang dilakukan pemerintah di masa orde baru
yang cenderung bersifat kapitalistik. Terhadap pelaksanaan penindakan konflik
sengketa lahan register 45 yang mengarah atau terjadinya kerusuhan dan tindakan
anarkis, Polri tetap mengacu pada tataran tugas sebagaimana yang telah diuraikan di
atas tentunya dengan suatu strategi represif untuk preventif, yaitu melakukan
tindakan tegas berdasarkan aturan hukum yang berlaku dengan memperhatikan hak
asasi manusia dalam rangka mencegah meluasnya konflik. Faktor penghambat
dalam menangani sengketa lahan register 45 mesuji yaitu kebijakan pertanahan
yang bersifat kapitalistik, pluralisme hukum, tindakan represif dari aparat
keamanan, kurangnya pengaruh tokoh masyarakat, ketidakseimbangan perhatian
pemerintah daerah, ketidakjelasan status kepemilikan lahan dan HGU lahan
perusahaan, sikap arogansi dan egosentris kelompok, kurangnya kepedulian
perusahaan terhadap lingkungan.
Berdasarkan penjelasan bab-bab sebelumnya maka penulis dapat memberikan saran
sebagai berikut: 1. Hendaknya aparat penegak hukum lebih memperketat lagi
keamaan dan ketertipan dalam masyarakat. Agar kasus seperti sengketa lahan
register 45 tidak terjadi lagi. 2. Hendaknya aparat penegak hukum dan masyarakat
bersama-sama menjaga ketertiban lingkungan. Hendaknya pemerintah dan aparat
penegak hukum lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakat.
POLICE ROLE IN THE HANDLING OF RIOTS
LAND LAND DISPUTE REGISTER 45
(STUDY JURISDICTIONS IN BONE POLRES ONION)
ABSTRACT
By:
HARISNO KAHFI
State forest land dispute Register 45 Mesuji district, Lampung province, nearly a
year has not been completed. Team performance of the central government to
resolve this case seems slow. Bloody clashes again occurred as a result of land
disputes in the district of Mesuji, Lampung. Two groups of residents in the village
of Tulung Mount, Mesuji, clashed with the involvement of a firearm, in addition,
Lampung Police also instantly keen to coordinate with community leaders,
religious, and local government to address the issue of land seizure is not widened.
Based on the background described above, it can be the subject matter, namely:
What is the role of the police in handling the unrest as a result of land disputes on
land registers? What are the factors inhibiting the Police in handling the unrest as a
result of land disputes on land registers?
Author in conducting research, using two approaches, namely empirical juridical
approach.
Based on the explanation of the previous chapters, the authors can provide the
following conclusion: The case of agrarian conflict in Mesuji is a conflict between
the two classes, namely class entrepreneur (capitalist) class of farmers for land /
land in Lampung Mesuji. This conflict can not be separated from the land policy of
the government in the new order which tend to be capitalistic. The implementation
of action conflict land disputes registers 45 that leads or unrest and anarchy, the
police still refers to the level of the duties as described above course with a
repressive strategy for preventive, ie act decisively based on the applicable law with
regard to human rights human beings in order to prevent the spread of conflict.
Inhibiting factors in dealing with land disputes registers 45 Mesuji namely land
policy that is capitalistic, legal pluralism, repressive actions of the security forces,
the lack of influence of public figures, the imbalance of attention of local
governments, unclear land tenure and concession area of the company, the
arrogance and self-centered groups, lack of corporate concern for the environment.
Based on the explanation of the previous chapters, the author can provide advice as
follows: 1. Should law enforcement officials be tightened again keamaan and order
in society. In order for such cases of land disputes registers 45 do not happen again.
2. Should law enforcement officials and community jointly maintain order
environment. Should the government and law enforcement officials pay more
attention to the welfare of society.
LATAR BELAKANG
Masalah agraria menjadi salah satu isu penting yang diperbincangkan saat ini.
Mengingat makin banyaknya kasus-kasus konflik yang menyangkut agraria, sebut
saja konflik Mesuji. kasus tersebut merupakan contoh sebagian kecil dari kasus
konflik yang menyangkut masalah agraria di daerah yang jarang kita ketahui.
Namun, konflik agraria sejatinya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak lama
bahkan semenjak masa kolonial, perebutan lahan telah terjadi antara petani dengan
pemerintah maupun petani dengan kelompok pengusaha. Sengketa lahan tersebut
sudah terjadi dalam proses yang cukup lama yang salah satu titik kejadian muncul
korban jiwa, korban luka, dan beberapa kerugian materil di tiga lokasi itu.
Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria tersebut tercantum pada pasal 3 menyebutkan “dengan
mengingat ketentuan-ketentuan pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak yang
serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih
tinggi”, dan pasal 5 yang berbunyi “hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pengertian masyarakat adat dalam undang-undang diatas sesuai dengan hukum adat
yang berlaku didaerah masing-masing dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Masyarakat adat Lampung khususnya masyarakat adat Tulang Bawang berada
dalam bentuk federasi lembaga adat yang disebu dengan Megoupak, terdiri dari 4
(empat) Klein besar yaitu marga tegamo’an, marga buai bolan, marga sway umpu,
dan marga aji. Marga memiliki pengertian :
1. Masyarakat adat yang terdiri dari beberapa kebuayan yang telah menyatakan
diri dalam kesatuan hukum adat tertentu.
2. Wilayah hukum adat yang telah dinyatakan berada dalam suatu wilayah
tertentu.
Berdasarkan pengertian huruf (1) Marga terdiri dari klein kebuain dan kebuaian
terbagi dari beberapa pepadun (Kepepaduan). Penyimbang dalam Kepaduan disebut
dengan Penyimbang Pepaduan sedangkan penyimbang dalam kebuayaan disebut
Penyimbang asal. Menurut pengertian huruf (2) marga memiliki wilayah adat yang
terbagi menjadi beberapa Kampung (Tiuh), umbul dan huma. Tentang penggunaan
tanah adat dan hasil hutan, hukum adat megoupak pada mulanya diatur atas
perizinan Kepala Marga dan hanya mengenal hak pakai, hak pakai mengambil hasil
hutannya saja (tidak memiliki) sedangkan hak penggunaan air dan rawa merupakan
hak bersama seluruh masyarakat adat megoupak. Dan hak kepemilikan harta benda
turun temurun dikenal dengan Jeneng (hibah).
Sengketa tanah di Tulang Bawang merupakan sengketa tanah yang paling tinggi.
Permasalahan ini muncul karena adanya pengakuan tanah ulayat dalam Undang-
Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar pokok-pokok Agraria dan
pemahaman tentang Hukum Adat yang berlaku di Kabupaten Tulang Bawang tidak
sesuai dengan kaedah hukum adat Megoupak. Maka didalam hukum adat Megou
Pak penggunaan bumi,air dan ruang angkasa meliputi :
1. Hak pakai
2. Hak mengambil hasil hutan
3. Jeneng (hak kepemilikan)
4. Hak penggunaan air dan yang ada di dalamnya merupakan hak masyarakat adat
Megou Pak tanpa batas klein.
Tradisi yang berlaku dalam masyarakat adat Megou Pak apabila berkenaan dengan
permasalahan adat maka segala sesuatu diputuskan berdasarkan Pepung Marga
yang dihadiri oleh perwakilan dari ke Empat Marga tersebut diatas yaitu ;
1. Segala sesuatu yang berkenaan dengan hubungan seseorang yang berada
dalam kepepaduannya dengan orang lain yang diluar kepepaduannya
berdasarkan Pepung adat. Contoh ; dalam perkawinan adat maka perwakilan
dari ke empat marga merupakan keharusan untuk mengetahui perkawiinan
tersebut.
2. Kemudian segala sesuatu yang berhubungan dengan satu kesatuan wilayah
Marga (Kampung, Umbul dan Huma) karena mnyangkut kepentingan orang
banyak juga diputuskan melalui Pepung Marga.
Permasalahan yang terjadi pada sengketa lahan tanah register di Tulang Bawang
yaitu dikarenakan:
1. Umbul bolak, maharou dan sebagainya hanya dibuktikan oleh keterangan
kepala kampung, sedangkan umbul maharou atau bolak merupakan bagian dari
kesatuan wilayah adat yang seharusnya di putuskan melalui pepung adat lebih
dahulu.
2. Salah pengertian tentang kewenangan penyimbang Pepadun terhadap
kepemilikan tanah marga. Karena kewenangan Penyimbang Pepadun hanya
memilki kewenangan dalam kepepadunnya saja. Sedangkan apabila
menyangkut orang banyak harus melalui keputusan Pepung Adat.
3. Adanya pemahaman yang salah tentang kepemilikan tanah marga yang
diartikan bahwa semua marga tertentu berhak terhadap tanah tersebut.
Misalnya tanah marga Tegamo’an yang memiliki kesatuan wilayah Kampung
atau Tiuh, umbul dan maharou serta bolak. Maka yang berhak atas tanah ulayat
tersebut adalah masyarakat Kampung (tiuh), umbul yang berada dalam wilayah
tanah itu (tidak semua marga Tegamo’an berhak atasnya). Namun
pembuktian dan penyelesaiianya berdasarkan keputusan Pepung Adat (Marga).
4. Tidak ada satupun lembaga adat yang kompeten untuk mengatur perselisihan
dan persengketaan yang terjadi. Adapun lembaga adat seperti Lembaga Adat
Megou Pak Tulang Bawang dapat menjadi motorisasi, namun perlu legalitas
semua pihak yang sah sebagai mitra kerja yang di butuhkan dan perlu sumber
daya manusia yang memenuhi standar kapabilitas, kredibelitas yang memadai.
Kepala Bagian Operasional Polres Tulangbawang Komisaris Deden Heksa Putra
meminta warga tidak main hakim. Serahkan masalahnya kepada aparat penegak
hukum. Kawasan Register 45 Sungai Buaya yang didiami ribuan perambah menjadi
ladang bisnis menggiurkan sekaligus rawan konflik. Sejumlah makelar tanah
bergentayangan menjual lahan milik negara itu. Harganya Rp 8 juta per hektare.
Semenjak usaha pengambilalihan kembali (reclaiming) lahan milik warga 7 desa di
Kecamatan Tulang Bawang yang dikuasai perusahaan untuk lahan perkebunan,
telah menimbulkan teror dan intimidasi terhadap warga. Berdasarkan uraian diatas
hal tersebut menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian dengan judul
“Peranan Polri Dalam Penanganan Kerusuhan Sengketa Lahan Tanah
Register 45 (Studi Wilayah Hukum Pada Polres Tulang Bawang)”.
PERMASALAH DAN RUANG LINGKUP
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil pokok
masalah, yaitu:
a. Bagaimanakah peranan Polri dalam menangani kerusuhan akibat dari sengketa
lahan tanah register?
b. Apakah faktor-faktor penghambat Polri dalam menangani kerusuhan akibat
dari sengketa lahan tanah register?
RUANG LINGKUP
Mengingat banyaknya perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana
dan luasnya wilayah hukum Kepolisian Republik Indonesia, maka dalam rangka
efektifitas dan efisiensi penelitian, penulis perlu membatasi ruang lingkup penelitian
pada wilayah hukum Tulang Bawang. Dalam hal ruang lingkup substansi, dibatasi
pada Peranan Polri Dalam Penanganan Kerusuhan Sengketa Lahan Tanah Register
45 (Studi Wilayah Hukum Pada Polres Tulang Bawang).
TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan perumusan masalah yang akan dibahas, maka tujuan penelitian
ditentukan sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peranan Polri dalam menangani kerusuhan akibat dari
sengketa lahan tanah register.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor penghambat Polri dalam menangani kerusuhan
akibat dari sengketa lahan tanah register.
KEGUNAAN PENELITIAN
Sejalan dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan mengandung dua
kegunaan sebagai berikut:
a. Kegunaan yang bersifat teoritis, sebagai sumbangan pemikiran bagi penegak
hukum/penyidik Polri dalam menganalisa tentang upaya penegakan hukum
terhadap bentuk tindak pidana sengketa lahan tanah register.
b. Kegunaan yang bersifat praktis, sebagai bahan pertimbangan bagi penegak
hukum/penyidik polri dalam pertimbangan penyidik Polri dalam menangani
bentuk tindak pidana sengketa lahan tanah register.
KERANGKA TEORITIS DAN KONSEPTUAL
KERANGKA TEORITIS
Menurut Soerjono Soekanto (2005:125) “Kerangka teoritis adalah konsep yang
merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada
dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial
yang dianggap relevan”.
Pada hakekatnya hukum itu mengandung ide atau konsep-konsep dan dengan
demikian boleh digolongkan pada sesuatu yang abstrak. Kelompok yang abstrak
ini termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial.
Campur tangan hukum yang semakin luas dalam bidang kehidupan masyarakat,
menyebabkan masalah efektifitas penerapan hukum menjadi semakin penting
untuk dipertimbangkan. Itu artinya, hukum harus bisa menjadi institusi yang
bekerja secara efektif dalam masyarakat. Berkaitan dengan fungsi hukum,
enegaskan bagi manusia, hukum paling sedikit berfungsi untuk mencapai
ketertiban umum dan pada gilirannya menciptakan keadaan yang kondusif untuk
mencapai keadilan. Keberadaan hukum di berbagai bidang dalam masyarakat
diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana penyelesaian sengketa,
sarana kontrol sosial, sarana social engineering, maupun sebagai sarana
pendistribusian keadilan. Diantara berbagai fungsi hukum tersebut, fungsi hukum
sebagai sarana penyelesaian sengketa, yang dalam hal ini diwakili oleh pengadilan,
menempati peranan penting bagi perbaikan ekonomi atau mendukung
kemakmuran bangsa. Hukum pada hakekatnya baru timbul untuk dipermasalahkan
kalau terjadi pelanggaran kaidah hukum, konflik, kebatilan, atau “tidak hukum”
(unlaw, onrecht). Kalau segala sesuatu berlangsung dengasn tertib, lancar tanpa
terjadinya konflik atau pelanggaran hukum, tidak akan ada orang
mempermasalahkan hukum. (Yahya: 2006)
Proses penegakan hukum dalam rangka menjalankan proses peradilan,
berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 menyebutkan bahwa
Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Sengketa pada dasarnya merupakan suatu pencerminan watak dan kemauan
diantara manusia yang tidak bisa seragam. Dalam masyarakat bila terjadi sengketa
pada umumnya diselesaikan melalui berbagai cara. Terdapat dua pendekatan
umum yang sering dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa. Pertama,
menggunakan paradigma penyelesaian litigasi, melalui proses gugatan di
Pengadilan yang untuk mendapatkan keadilan mempergunakan sistem perlawanan
(the adversary system) dalam mengelola sengketa serta menghasilkan suatu
keputusan win-lose solution bagi pihak-pihak yang bersengketa. Kedua, paradigma
penyelesaian sengketa non-litigasi yang dalam pencarian keadilan lebih
mengutamakan pendekatan ‘konsensus’ dan berusaha mempertahankan
kepentingan pihak-pihak yang bersengketa serta bertujuan untuk mendapatkan
hasil penyelesaian sengketa kearah win-win solution. (Abdurrahman: 1995)
Berkaitan dengan figur hukum Hak Guna Bangunan (HGB) diatas Hak
Pengelolaan (HPL) yang merupakan fokus bahasan, dalam transaksi sektor
ekonomi figur hukum tersebut telah lazim diterapkan dalam konstruksi hukum
yang bersifat kontraktual. Selama pelaksanaannya berjalan mulus dan tidak ada
perdebatan, maka tidak menjadi sengketa. Namun, tidak jarang juga hubungan antar
pihak bermuara dalam jalan buntu, sengketa para pihak dapat diselesaikan melalui
institusi yang relatif efisien untuk mengatasi perselisihan. Biasanya setelah cara-
cara non-litigasi tidak dapat menyelesaikan perselisihan para pihak, mereka
membawa permasalahan ke pengadilan untuk mendapatkan keadilan.
Penegakan hukum dan musyawarah mufakat merupakan solusi untuk penyelesaian
sengketa lahan. Ada tiga macam bentuk konflik lahan di Kampar yakni, konflik
masyarakat antarmasyarakat, masyarakat dengan perusahaan dan konflik
perusahaan dengan perusahaan. Faktor penyebab konflik di antaranya, faktor
ekonomi, tumpang tindih kepemilikan lahan, sumber daya alam (lahan) yang
terbatas sementara jumlah orang semakin bertambah. Kemudian perilaku oknum
yang tak bertanggung jawab, seperti mengeluarkan beberapa kali surat dengan
objek yang sama, kemudian tumpang tindih peraturan. "Solusi penyelesaian ada dua
yakni melalui penegakan hukum dan musyawarah mufakat. (Supriadi: 2007)
KONSEPTUAL
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-
konsep khusus yang merupakan kumpulan dan arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang akan di teliti. Untuk memberikan kesatuan pemahaman terhadap istilah-
istilah yang berhubungan dengan judul penelitian ini, maka di bawah ini akan
diuraikan konseptual sebagai berikut:
a. Peranan Polri yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat. (Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002)
b. Kerusuhan adalah sekelompok orang berkumpul bersama untuk melakukan
tindak kekerasan, biasanya sebagai tindak balas terhadap perlakuan yang
dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan)
c. Pengertian sengketa tanah atau dapat juga dikatakan sebagai sengketa hak atas
tanah, yaitu timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu
pihak (orang atau badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas
tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan