PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DITINJAU BERDASARKAN PASAL 28 UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES KARAWANG) Disusun Oleh: E Mega Pradani RS 017201605024 Skripsi ini disajikan kepada Fakultas Humaniora Program Studi Ilmu Hukum President University untuk pemenuhan persyaratan gelar Sarjana dibidang Hukum BEKASI Januari 2020
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN
KEBENCIAN (HATE SPEECH) DITINJAU BERDASARKAN PASAL 28
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
(STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES KARAWANG)
Disusun Oleh:
E Mega Pradani RS
017201605024
Skripsi ini disajikan kepada
Fakultas Humaniora Program Studi Ilmu Hukum President University
untuk pemenuhan persyaratan gelar Sarjana dibidang Hukum
BEKASI
Januari 2020
iv
ABSTRACT
The problem in this study is an illustration of the role of the police in handling cases of
Hoax and Hate Speech news spreading that lately is rife in Indonesia. The spread of
Hoax and Hate Speech news has spread to various types of people in Indonesia,
technological advances are quite fast, not balanced with qualified knowledge from the
community, these events can be seen from the role of the Karawang Resort police in
its many carrying out law enforcement on perpetrators , the police indiscriminately in
upholding the law, for anyone who becomes the perpetrators of the Hoax and Hate
Speech news dissemination. This study aims to determine the role of the Karawang
Resort police as law enforcers, in handling Hoax and Hate Speech news cases, of course
with prevention and law enforcement efforts for the perpetrators, as well as
comparative law enforcement in Indonesia and Singapore. This research was compiled
using the Empirical Legal Research Method which is a legal research method that
functions to see the law in the real sense and examine how law works in the community.
Because in this study examines people in living relationships in society, the empirical
legal research method can be said as a sociological legal research. It can be said that
legal research is taken from facts in a community, legal entity or government agency.
The results of research in the Karawang district police jurisdiction show that there are
still many people who commit ITE violations, and the Karawang Resort police are still
not optimally carrying out efforts to prevent the spread of Hoax and Hate Speech news.
As mandated and arranged in “Undang-Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik”.
Keywords: Analysis of Empirical Legal Research, Violations, Role of Karawang
Resort Police, Enforcement, Hoax and Hate Speech News Spreading.
v
ABSTRAK
Permasalahan dalam penelitian ini merupakan gambaran dari peran kepolisian dalam
menangani kasus penyebaran berita Hoax dan Hate Speech yang akhir – akhir ini marak
terjadi di Indonesia. Penyebaran berita Hoax dan Hate Speech sudah menyebar pada
berbagai macam kalangan masyarakat di Indonesia, kemajuan teknologi yang cukup
cepat, tidak di imbangi dengan pengetahuan yang mumpuni dari masyarakat, peristiwa
tersebut bisa di lihat dari peran kepolisian Resor Karawang dalam banyak nya
melakukan penegakan hukum pada pelaku, kepolisian tanpa pandang bulu dalam
menegakan hukum, bagi siapapun yang menjadi pelaku Penyebaran berita Hoax dan
Hate Speech. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kepolisian Resor
Karawang sebagai penegak hukum, dalam menangani kasus berita Hoax dan Hate
Speech, tentunya dengan upaya – upaya pencegahan serta penegakan hukum bagi para
pelaku, serta perbadingan penegakan hukum di Indonesia dan Singapura. Penelitian ini
disusun dengan menggunakan Metode Penelitian Hukum Empiris yaitu suatu metode
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti
bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam
penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode
penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat
dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam
suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah. Hasil penelitian di wilayah
hukum Polres Karawang menunjukkan masih banyak nya masyarakat yang melakukan
pelanggaran ITE, serta masih kurang maksimal nya pihak kepolisian Resor Karawang
dalam melakukan upaya pencegahan penyebaran berita Hoax dan Hate Speech. Seperti
yang sudah di amanatkan serta di atur dalam “Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.
Kata kunci: Analisa Penelitian Hukum Empiris, Pelanggaran, Peran Kepolisian Resor
Karawang, Penindakan, Penyebaran berita Hoax dan Hate Speech.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul: “PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN
KEBENCIAN (HATE SPEECH) DITINJAU BERDASARKAN PASAL 28
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM
POLRES KARAWANG)”.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum President University. Penulis menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan yang penulis miliki, kesempurnaan
hanya milik Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini tidak akan
terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga
kepada:
1. Ibu Zenny R. Dewantary, S.H.,M.Hum. selaku Kaprodi Fakultas Hukum President
University.
2. Bapak Gratianus Prikasetya Putra, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang telah
sangat membantu memberikan bimbingan dan arahan serta memberikan motivasi
kepada penulis dari awal pengerjaan skripsi sampai selesai.
3. Seluruh Dosen Fakultas Hukum President University yang telah memberikan
pengetahuan dan ilmu kepada penulis, serta seluruh staff Fakultas Hukum
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
SURAT PENGESAHAN .............................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN ............................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PEMERIKSAAN.................................................. iii
ABSTRACT ................................................................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Pokok Permasalahan ................................................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 8
D. Manfaat Penulisan .................................................................................................... 8
Dari kedua isu yang sangat kental memanfaatkan sentimen agama ini terlihat
tujuan akhirnya yakni mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah digambarkan seolah
berseberangan dengan ulama dan bahkan sedang memusuhi ulama.
Dampak lebih buruk dapat terjadi sampai lini-lini yang sensitif. Isu sensitif
penyerangan terhadap ulama jelas menimbulkan ketakutan. Kehidupan berbangsa yang
tenteram terkoyak. Lebih dari itu konflik sosial akan mudah tersulut sewaktu- waktu.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan salah satu peraturan dalam hukum positif
Indonesia yang dipergunakan untuk membatasi perbuatan-perbuatan yang melanggar
di media sosial terkait dengan rasa kebencian dan juga unsur suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA). Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi, ‘setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)’. Terkait pemahaman
dari kebencian itu sendiri, dalam pasal tersebut tidak ada pemahaman yang cukup jelas.
Oleh karena itu, terkait dengan hal tersebut, dalam Pasal 156 KUHP lebih mengarah ke
perbuatan yang menyatakan permusuhan (vijanschap) yaitu, perbuatan yang
menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang oleh umum sebagai memusuhi suatu
golongan penduduk Indonesia. Perbuatan menyatakan kebencian (haat) adalah berupa
perbuatan menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang atau dinilai oleh
masyarakat umum sebagai membenci terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
6
Perbuatan yang isinya dipandang oleh umum menyatakan ucapan yang menghina,
merendahkan, melecehkan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.7
Pada faktanya, adanya sebuah kasus yang dianggap telah melanggar ketentuan
dari pasal tersebut yaitu kasus penyebaran video editan di media sosial Facebook oleh
Buni Yani. Buni Yani dianggap telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media
sosial. Melalui akun media sosialnya, Buni Yani menyebarkan sebuah video yang
isinya tentang pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang pada pidatonya, Ahok
mengucapkan Surat Al-Maidah 51. Akibat dari penyebaran video tersebut, sebagian
umat muslim menganggap bahwa agamanya telah di nodai oleh Ahok yang pada
faktanya terjadi demo yang menuntut Ahok untuk dipenjara atas dugaan penodaan
agama.8
Sekilas pada kasus yang ramai di kalangan masyarakat seluruh nasional
Indonesia, di wilayah khususnya Kabupaten Karawang juga terjadi kasus terkait pada
penyebar berita bohong (Hoax) dan ujaran kebencian (Hate Speech) Perkara yang
terjadi di wilayah hukum Polres Karawang yang di tangani oleh Polres Karawang
dimana peristiwa tersebut sudah meresahkan masyarakat.
Adapun peristiwa tersebut diduga para pelaku dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian artau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan atar golongan (SARA). Pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan
7 Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Positif Penghinaan, Cetakan II Edisi Revisi, Media Nusa
Creative, Malang, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), hlm. 199. 8 Rivki, Herianto Batubara, Jumat 4 November 2016 “Petisi Proses Hukum Buni Yani Muncul, Diteken
Lebih dari 50 Ribu Orang”, URL: http://news.detik.com/berita/d-3337863/petisi-proses-hukum-
buniyanimuncul-diteken-lebih-dari-50-ribu-orang, diakses tanggal 24 April 2019
cara memvideokan atau merekam saat pelaku mengatakan kata-kata yang mengandung
muatan Ujaran kebencian, kemudian video rekaman tersebut dengan sengaja di upload
oleh pelaku ke media elektronik sehingga video rekaman tersebut diketahui secara
umum, waktu kejadian diketahui pada hari Minggu tanggal 24 februari 2019 pukul
20.00 wib di wilayah hukum Polres Karawang.
Yang dimana dalam isi video tersebut bermuatan beberapa kawanan ibu-ibu
yang mempengaruhi seorang kakek tua agar tidak memilih calon president nomor urut
1 (satu) Jokowi, apabila kakek tua tersebut memilih calon president nomor urut 1 (satu)
Jokowi maka di Indonesia tidak akan ada berkumandangnya suara adzan serta
perkawinan sesama jenis di perbolehkan di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan
bagaimana untuk dapat mengadakan penelitian dengan judul “PERANAN
KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN KEBENCIAN
(HATE SPEECH) DITINJAU BERDASARKAN PASAL 28 UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES
KARAWANG)”
B. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana peran Kepolisian Resor Karawang dalam “Menangani dan
Mencegah Kriminalisasi” terhadap Tindak Pidana Berita Bohong (Hoax) dan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang didasarkan pada pasal 28 UU Nomor
8
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (di wilayah hukum
Polres Karawang)?
2. Bagaimana Perbandingan hukum terkait peran Kepolisian dalam menangani
Tindak Pidana Berita Bohong (Hoax) dan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di
Indonesia dan Singapura?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk dapat memahami dan menganalisis peran Kepolisian Resor Karawang
dalam “Menangani dan Mencegah Kriminalisasi” terhadap Tindak Pidana
Penyebar Berita Bohong (Hoax) dan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang
didasarkan pada pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (di wilayah hukum Polres Karawang).
2. Untuk dapat memahami dan menganalisis hukum terkait peran kepolisian dalam
menangani Tindak Pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) dan Ujaran
Kebencian (Hate Speech) di Indonesia dan Singapura.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan ilmu
pengetahuan lewat saran serta pemikiran penulis khususnya pada bidang tindak
pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) Dan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
Penyikapan secara bijaksana atas berbagai informasi yang beredar, pentingnya
kesadaran atas pemanfaatan media sosial yang bisa menghadirkan rasa damai, rasa
aman, serta keselamatan di tengah-tengah masyarakat menjadi suatu pesan moral
yang penting dalam mengembangkan literasi media bagi publik di Indonesia yang
9
masyarakatnya beragam. Masyarakat sebaiknya menyelidiki benar atau tidak
informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi memuat fitnah, hingga
anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu disebarkan. Kalau sumber tidak
jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan tidak bermanfaat, maka tidak usah
disebarkan.
Di sisi lain, media massa mainstream termasuk media berita online,
diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun media
tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Media boleh
saja diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus dipimpin
orang yang kompeten dan bermoral dalam mengabdi informasi dari berbagai
peristiwa di belahan bumi mana pun dengan dinamika seperti apa pun tidak lagi
ditelan mentah-mentah, melainkan dapat melalui penyaringan atau filter
Selain itu penelitian ini juga dapat menjadi referensi tambahan bagi
kepentingan yang bersifat akademis maupun bagi tambahan wawasan untuk
kebutuhan kepustakaan khususnya berkaitan dengan upaya preemtif, preventif dan
represif bagi orang yang melakukan tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax)
Dan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penegak dan
pembentuk aturan hukum terutama kepolisian untuk mengambil kebijakan hukum
dalam aspek penanggulangan tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) Dan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) dan meninjau kembali upaya preemtif, preventif
dan represif orang yang melakukan tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax)
Dan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
10
E. Definisi Operasional
Beberapa istilah yang penulis pergunakan di dalam penyusunan skripsi ini
antara lain :
1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit” didalam KItab
Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya
yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” itu sendiri.9 Menurut Moeljatno tindak pidana
merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja
yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh
masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
10
2. Konsep Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau
bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu
“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan
penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum
merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan termasuk juga dalam
kebijakan legislatif (legislative policy). Politik riminal pada hakikatnya juga merupakan
bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai
kesejahteraan sosial.11
11
Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila
dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena
pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah
sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ialah
merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur
kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio- political
problems.12
Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usahausaha yang
rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan
politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu
perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian
dari perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari keseluruhan
kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak
sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan terhadap orang
dewasa.
9 Sugeng, Pengertian Tindak Pidana Menurut Ahli, Http://www.Hukumonline.Com, Diakses,Pada:
Senin 07 April 2019 Pukul 23:00 Wib.
10 Frans H Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Pt Kompas Media Nusantara, 2009, Hal 307. 11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 2.
15 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar Interpratama, 2011),
hal. 45
13
Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa upaya
penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
4. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
5. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
6. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass
media).15
3. Peranan
Peran adalah suatu keadaan di mana seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam suatu sistem atau organisasi. Kewajiban yang dimaksud dapat
berupa tugas dan wewenang yang diberikan kepada seseorang yang memangku jabatan
dalam organisasi.
Peran terbagi menjadi:
a. Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
b. Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan
kedudukannya di dalam suatu sistem.
c. Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial
yang terjadi secara nyata.16
4. Penal dan Non Penal
Sarana Penal, Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan
melalui sarana penal dan non penal, upaya penanggulangan hukum pidana melalui
14
sarana penal dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya
merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy). Upaya penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik beratkan pada sifat represive
(penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi.
Hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena
itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (law
enforcement). Hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan
dapat memberikan efek jera kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan.17
Sarana non penal, usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
tindak pidana adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana),
tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana yang non-penal. Sarana nonpenal
mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Upaya preventif yang di maksud
adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana dengan cara menangani
faktor-faktor pendorong terjadinya tindak pidana, yang dapat di laksanakan dalam
beberapa cara:
a. Cara Moralistik, cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
b. Cara Moralistik, cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
16 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pngantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002. hlm.243-244 17 Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 204
15
c. Cara Moralistik, cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
d. Cara Abolisionik, cara ini muncul dari asumsi bahwa tindak pidana adalah suatu
kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-
sebabnya dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan
sebab-sebab tersebut. Mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat
serta dorongan individual yang mengarah pada tindakan-tindakan pidana,
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta menghukum orang-orang
yang telah melakukan tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku.18
Sudut pandang politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana.
Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif
kedalam sistem kegiatan negara yang teratur. Upaya penanggulangan kejahatan non-
penal dapat berupa:
a. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment);
b. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment mass
media).19
18 Ibid, hlm. 205 19 Ibid, hlm. 207
16
Penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan beberapa
istilah yang digunakan oleh penulis, adapun istilah-istilah yang dimaksud antara lain
sebagai berikut:
a. Peran adalah suatu keadaan di mana seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam suatu sistem atau organisasi.20
b. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia).21
c. Penanggulangan tindak pidana adalah berbagai tindakan atau langkah yang
ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi
suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi
masyarakat dari kejahatan.22
d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku.23
20 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980. 21 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. 22 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23 23 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
17
e. Penyebar adalah orang yang menyebarkan atau alat untuk menyebarkan
(menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia).24
f. Berita Bohong (Hoax) adalah Kabar, informasi, atau berita palsu yang tersebar
melalui internet.25
g. Tindak Pidana Hoax adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar larangan tersebut dengan menyebarkan atau alat untuk
menyebarkan berita bohong (Hoax) melalui internet.26
h. Berita bohong (hoax) adalah berita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran
yang sesungguhnya. Pengertian berita bohong (hoax) menurut Cambridge
English Dictionary adalah ”rencana untuk menipu seseorang” sementara
menurut Merriam-Webster adalah “trik atau siasat agar orang percaya atau
menerima sesuatu sebagai yang asli padahal palsu dan sering tidak masuk akal”.
Hoax dapat diartikan sebagai informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang
ada, dengan tujuan agar orang dapat mempercayai informasi tersebut.27
5. Berita Bohong
Berita bohong (hoax), berasal dari kata hocus, yang memiliki arti mengecoh
atau menipu. Secara umum berita bohong (hoax) artinya adalah kabar burung atau
kabar bohong – sebuah kabar atau cerita bohong yang sengaja dibuat, seolah-olah kabar
24 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980. 25 Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Tekhnologi Elektronik. 26 Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Tekhnologi Elektronik. 27 Reni Julani, Media Sosial Ramah Sosial VS Hoax, dalam jurnal Program Studi Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, 2017, hlm. 143
19 18
atau cerita tersebut benar adanya. Kata hoax popular bersamaan dengan semakin
populernya internet, dimana hoax ini biasanya memiliki dua tujuan, pertama untuk
sekedar lelucon dan beredar di kelompok terbatas, kedua untuk tujuan jahat sengaja
difabrikasi untuk menipu atau mengecoh. Berita bohong (hoax) mendapat momen besar
ketika media sosial menjadi sangat umum dan berkembang di masa internet. Orang
dengan mudah dan tanpa sadar mengirim sebuah berita bohong (hoax) di media sosial,
kemudian rekan – rekannya tersebut mengirim ke rekan – rekannya yang lain, terus
berantai seperti itu.28
Dijelaskan juga berita bohong (hoax) dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 28, yang berbunyi:
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individudan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antar golongan (SARA).
28 Anisa, Renata, dan Rachmaniar, Hoax Politik pada Media Sosial Instagram: Studi Enografi Virtual
tentang Keberadaan Instagram dan Hoax Politik, Makalah Disampaikan dalam Prosiding Seminar
Nasional Komunikasi Jurnal Fisip UNILA,Tahun 2016, hlm. 147-153
19
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka peneliti
memprgunakan beberapa metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif,
yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.29 Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.
Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri,
tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.30
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach)
dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan
untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia.
Pendekatan kasus bertujuan untuk mepelajari penerapan norma-norma atau kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang
telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-
perkara yang menjadi fokus peneltian, yaitu perkara pidana.31
2. Spesifikasi Penelitian
29 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, hlm. 295. 30 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 13-14. 31 Johnny Ibrahim, op. cit, hlm. 321.
19 20
Spesifikasi yang digunakan adalah spesifikasi penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau penjelasan secara konkrit
tentang keadaan objek atau masalah yang diteliti tanpa mengambil kesimpulan secara
umum. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto 32 dalam bukunya
Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut :
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya
tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.
3. Sumber Data
Dalam penulisan penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data primer
yaitu ini diperoleh dari penelitian lapangan, berkomunikasi secara langsung dengan
responden yang berada di lokasi penelitian 33 dan data sekunder yaitu data yang
diperoleh penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-
pendapat, tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk
memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui
naskah resmi yang ada,34 yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan yang mengikat, terdiri dari Undang-
undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik, dan perundang-undangan
lainnya.
32 Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm. 10. 33 Ibid, hal. 65 34 Amiruddin dan H Zaenal Asikun, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, hal. 65
21
b. Bahan hukum sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer. Seperti buku-buku mengenai tinjauan hukum pidana pada
aspek tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) Dan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), dan buku-buku lainnya yang dapat menjadi
acuan bagi penunjang penulisan.
c. Bahan hukum tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.35
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara studi dokumen-
dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan
identifikasi data. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara
induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang
ditelaah penelitian skripsi ini akan dapat dijawab.
5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dikelompokan menurut permasalahan yang selanjutnya
dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa
analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data
yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat serta pada analisis kualitatif
memiliki pola-pola, dimana pola-pola tersebut dianalisis lagi dengan menggunakan
teori obyektif seperti melalui pengamatan, studi kasus maupun pedoman wawancara
35 Bambang Sugondo, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1997, hal. 83-102
36 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta. Rineka Cipta. 2013. Hal. 21.
22
(Interview Guide)36 . yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat,
badan hukum atau badan pemerintah.
23
BAB II
TINDAK PIDANA PENYEBAR BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN
KEBENCIAN (HATE SPEECH)
A. Penanggulangan Tindak Pidana
Penanggulangan tindak pidana adalah suatu usaha untuk menanggulangi
kejahatan dengan cara penegakan hukum pidana yang rasional yaitu memenuhi rasa
keadilan dan daya guna, selain itu penanggulangan tindak pidana adalah suatu sarana
sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan berupa sarana pidana
(penal) dan maupun non-pidana (non-penal) yang saling ter-integrasi satu dengan
lainnya.37
Adapun usaha-usaha penal dan non-penal, adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pidana dengan sarana penal Sarana penal adalah penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat 2 (dua)
masalah sentral, yaitu:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.
2. Kebijakan pidana dengan sarana non-penal Kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan sarana non-penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial
40 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 75.
24
untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu namun secara tidak langsung
Penghinaaan dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika penghinaan
itu ditujukan kepada seseorang atau kelompok berdasarkan suku, agama, aliran
keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis,
gender, orang dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual dan ekspresi gender
serta penghinaan itu berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan
atau kekerasan.55 Penghinaan ini terdapat dalam rumusan Pasal 315 KUHP jo.
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang
Hak-Hak Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Pasal 315 KUHP berbunyi:
54 Angka 2 huruf f Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran kebencian (hate speech),hlm. 2. 55 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hlm. 14
38
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau
pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik di muka umum
dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau
perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya,
diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Fitnah juga dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika tuduhan itu
tidak hanya dinyatakan tetapi dilakukan dalam bentuk tindakan dan usaha baik
langsung maupun tidak langsung, tuduhan tidak benar itu tentang kehormatan
atau nama baik seseorang berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang
dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual, ekspresi gender serta tuduhan itu
berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.56
Penghinaan berupa fitnah terdapat dalam rumusan Pasal 311 KUHP jo. UU No.
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 311 KUHP berbunyi:
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam
hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang
diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 no. 1-
3 dapat dijatuhkan.”
b. Pencemaran Nama Baik
57 Ibid., hlm. 14.
38
39
Pencemaran nama baik dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika
serangan tersebut berbentuk tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak
langsung, serangan kepada kehormatan atau nama baik seseorang itu berdasarkan
suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar
golongan, etnis, gender, orang dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual,
ekspresi gender serta serangan berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi,
permusuhan atau kekerasan.57 Pencemaran nama baik terdapat dalam rumusan
Pasal 310 KUHP jo. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 310 KUHP berbunyi:
“(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang,
dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau dena paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika hal itu
dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, ditunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis,
diancam pidanapenjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran
tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum karena terpaksa
untuk bela diri.”
c. Penistaan
40
Penistaan adalah suatu perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan
yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap
prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari
tindakan tersebut, sedangkan menurut pasal 310 ayat (1) KUHP Penistaan adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara menuduh seseorang ataupun
kelompok telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan itu
tersiar (diketahui banyak orang). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu
perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan
sebagainya. Cukup degan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang
memalukan.58 Sedangkan penistaan dengan surat di atur di dalam Pasal 310 ayat
(2) KUHP.59 Sebagaimana dijelaskan, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan
tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan menista dengan surat.
Jadi seseorang dapat dituntut menurut Pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan
dilakukan dengan surat atau gambar.
d. Perbuatan Tidak menyenangkan
Perbuatan tidak menyenangkan tidak termasuk dalam ujaran kebencian.
Karena Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 1/PUUXI/2013 telah
menghapus kekuatan mengikat frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan
yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Dengan
58 Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 59 Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
41
demikian perbutan tidak menyenangkan tidak lagi ada dalam hukum pidana
Indonesia.60
e. Memprovokasi
Memprovokasi berupa menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan di muka umum terhadap suatu atau beberapa golongan terdapat pada
rumusan Pasal 156 KUHP dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan tersebut dilakukan dalam
bentuk tindakan dan usaha baik secara langsung maupun tidak langsung.
Golongan yang dimaksud dalam pasal tersebut yaitu tiap-tiap bagian dari rakyat
Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras,
negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut
hukum tata negara.61
f. Menghasut
Menurut R. Soesilo, Menghasut artinya mendorong, mengajak,
membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam
kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Mengahsut itu lebih keras
daripada “memikat” atau “membujuk” akan tetapi bukan “memaksa”. 62
Menghasut terdapat dalam rumusan Pasal 160 KUHP.
g. Penyebaran
60 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hlm. 15 61 Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 62 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politea, Bogor, 1991, hlm. 136.
42
Berita Bohong Menurut R. Soesilo, Menyebarkan Berita Bohong yaitu
menyiarkan berita atau kabar dimana ternyata kabar yang disiarkan itu adalah
kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong tidak saja memberitahukan
suatu kabar kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul suatu
kejadian.63
3. Unsur-Unsur Ujaran Kebencian
Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan
Ujaran kebencian (hate speech) memang tidak dijabarkan secara jelas pengertian dari
Ujaran Kebencian (hate speech), namun dapat dilihat secara eksplisit unsur-unsur
a. Segala tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung. Terdapat dua
makna yang tidak bisa dipisahkan yaitu:
63 Ibid., hlm. 269.
43
1) Berbagai bentuk tingkah laku manusia baik lisan maupun tertulis. Misal
pidato, menulis, dan menggambar.
2) Tindakan tersebut ditujukan agar orang atau kelompok lain melakukan yang
kita anjurkan/sarankan. Tindakan tersebut merupakan dukungan aktif, tidak
sekadar perbuatan satu kali yang langsung ditujukan kepada target sasaran.
b. Diskriminasi: pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
c. Kekerasan: setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis.
d. Konflik sosial: perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua
kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial
sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.
e. Menghasut: mendorong atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan
tindakan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan. Apakah orang yang
mendengar hasutan ini melakukan yang dihasutkan tidak menjadi unsur pasal
sehingga tidak perlu dibuktikan. Yang bisa dijadikan dasar untuk melihat apakah
ini hasutan antara lain:
1) Intonasi (tone) yang bisa menunjukkan intensi dari ujaran tersebut untuk
menghasut;
44
2) Konteks ruang dan waktu ujaran tersebut diutarakan.
f. Sarana: segala macam alat atau perantara sehingga suatu kejahatan bisa terjadi.
Contoh sarana adalah buku, email, selebaran, gambar, sablonan di pintu mobil,
dan lain-lain.
4. Alat Ujaran Kebencian
Alat-alat yang dapat digunakan dalam ujaran kebencian yaitu :
a. Kampanye, baik berupa orasi maupun tulisan;
b. Spanduk atau banner;
c. Jejaring media sosial;
d. Penyampaian pendapat di muka umum;
e. Ceramah keagamaan;
f. Media massa cetak atau elektronik;
g. Pamflet;
h. Dan lain-lain
E. Peran dan Fungsi Kepolisian
Kepolisian memiliki peranan penting dalam mewujudkan keamanan dan
kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, kepolisian merupakan lembaga
pengayom masyarakat dalam segala kondisi sosial yang caruk maruk. Peran kepolisian
dapat dikatakan sebagai aspek kedudukan yang berhubungan dengan kedudukanya
sebagai pelindung masyarakat.
Pengertian peran menurut Soerjono Soekanto, yaitu peran merupakan aspek
dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari hal diatas lebih
lanjut kita lihat pendapat lain tentang peran yang telah ditetapkan sebelumnya disebut
sebagai peranan normatif. Sebagai peran normatif dalam hubungannya dengan tugas
45
dan kewajiban dinas perhubungan dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan
hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum secara penuh.64
Polisi mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ
pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan agar yang
diperintah menjalankan badan tidak melakukan larangan-larangan perintah. Menurut
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, definisi
Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas, fungsi, dan kewenangan dijalankan atas kewajiban untuk mengadakan
pengawasan secara intensif dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara
melaksanakan kewajiban umum dengan perantara pengadilan, dan memaksa yang
diperintah untuk melaksanakan kewajiban umum tanpa perantara pengadilan.65
Berkaitan dengan tugas dan wewenang polisi ini harus dijalankan dengan baik
agar tujuan polisi yang tertuang dalam pasal-pasal berguna dengan baik, Undang-
undang kepolisian bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta
terbinannya ketentraman masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanaan negara,
terselenggaranya fungsi pertahannan dan keamanan negara, tercapainya tujuan nasional
dengan menjunjung fungsi hak asasi manusia terlaksana.66
Momo Kelana menerangkan bahwa polisi mempunyai dua arti, yakni polisi
dalam arti formal mencangkup penjelasan organisasi dan kedudukan suatu instansi
64 Soerjono, Soekanto, 2002. Sosioiogi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. Hlm. 243 65 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Perkembangan di Indonesia Suatu studi Histories Komperatif,
melakukan tindak pidana “secara bersama sama melakukan perbuatan menyiarkan
suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran
dikatalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu adalah bohong”
Adapun unsur pidana dalam pasal pasal 14 ayat (2) UU RI No. 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP dan UU No. 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara pidana dan pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI
No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, yaitu :
1. Unsur pasal 14 ayat (2) UU RI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum.
- Barang siapa;
Bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah orang manusia
sebagai subyek hukum, selaku pendukung hak dan kewajiban yang
dapat dimintai pertanggung jawaban.
Menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan;
Bahwa yang dimaksud dengan “Menyiarkan suatu berita atau
mengeluarkan pemberitahuan” dalam hal ini adalah menyampaikan atau
memberitahu kepada khalayak ramai dengan berbagai cara.
- Yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat;
Yang dimaksud dengan “Yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan
rakyat” adalah bahwa berita tersebut bisa menciptakan atau membuat
kegaduhan, atau kerusuhan, atau keributan didalam suatu masyarakat.
65
- Sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu adalah bohong;
Bahwa yang dimaksud “Sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa
berita atau pemberitahuan itu adalah bohong” adalah bahwa orang
menyiarkan berita tersebut seharusnya mengerti atau menduga bahwa
berita yang disiarkannya adalah berita yang tidak benar atau tidak sesuai
dengan yang sebenarnya.
2. Unsur pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No. 19 tahun 2016
tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
- Setiap orang;
Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah siapa saja yang
merupakan orang perseorangan, baik warga Indonesia, warga Asing
maupun badan hokum, sebagai subjek hokum, yang dapat dimintakan
pertanggung jawabannya atas segala perbuatannnya
- Dengan sengaja dan tanpa hak;
Bahwa yang dimaksud “dengan sengaja dan tanpa hak” adalah bahwa
seseorang melakukan suatu perbuatan dengan menghendaki perbuatan
itu serta menginsafi atau mengerti akan akibat dari perbuatannya itu.
“tanpa hak” berarti seseorang melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hokum objektif, atau suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain atau dengan haknya.
- Menyebarkan Informasi;
66
Bahwa yang dimaksud dengan “Menyebarkan Informasi” adalah suatu
perbuatan yang menyiarkan atau membagi – bagikan kabar atau benda
tentang suatu kepada khalayak ramai.
- Yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA);
Bahwa yang dimaksud dengan “yang ditujukan” dalam hal ini adalah
pelaku menginginkan suatu akibat yang mungkin ditimbulkan dari
perbuatannya tersebut. Jadi potensi timbulnya rasa kebencian atau
permusuhan dari suatu perkataan tulisan atau lisan tersebut dapat
menjadi indicator didalam pemenuhan makna ditujukan.
Bahwa yang dimaksud dengan “menimbulakan rasa kebencian” adalah
rasa tidak suka atau pertentangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu” adalah individu adalah bersifat perseorangan,
sedangkan kelompok masyarakat adalah kumpulan orang – orang yang
memiliki atribut sama atau hubungan antara pihak yang sama;
Bahwa yang dimaksud dengan “Suku, Agama, Ras dan antar golongan
(SARA)” adalah suku berarti golongan bangsa dari suatu bangsa yang
besar, dan Agama adalah suatu ajaran yang dianut oleh seseorang atau
sekelompok orang yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan Ras adalah
67
golongan manusia berdasarkan ciri – ciri fisik, serta antar golongan
berarti golongan yang satu dengan golongan yang lain.70
B. Tugas dan Fungsi Kepolisian Republik Indonesia Menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana Fungsi Kepolisian Republik Indonesia Menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.71
Dikhususkan peran kepolisian dalam menanggulangi ujaran kebencian
tercantum dalam Surat Edaran Kepolisian Republik Indonesia Nomor SE/6/X/2015
tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) angka 3 yang menyatakan bahwa:
1. Berkenaan dengan uraian pada angka 2 di atas, Diberitahukan/dipermaklumkan
bahwa untuk menangani perbuatan ujaran kebencian agar tidak memunculkan
tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang
meluas diperlukan langkah-langkah penanganannya sebagai berikut :
a. Melakukan tindakan preventif
b. Apabila tindakan preventif sudah dilakukan oleh anggota Polri namun tidak
menyelesaikan masalah yang timbul dari tindakan ujaran kebencian, maka
penyelesaian dapat dilakukan melalui :
70 Putusan Nomor : 194/Pid.B/2019/PN.Kwg tentang pertimbangan hakim, hlm. 8. 71 Ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
68
1) Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian yang
mengacu pada ketentuan :
a) Pasal 156 KUHP
b) Pasal 157 KUHP
c) Pasal 310 KUHP
d) Pasal 311 KUHP
e) Pasal 28 jis pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
f) Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis.
2. Dalam hal telah terjadi konflik sosial yang dilatar belakangi ujaran kebencian,
dalam penanganannya tetap berpedoman pada :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial,
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013
tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Adapun Tugas dan Peran Kepolisan, berdasarkan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 dan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang
penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam menangani kasus
penyebaran berita Hoax dan Hete speech oleh ketiga emak – emak relawan
Prabowo-sandi (PEPES) di Karawang yaitu :72
1. Melakukan tindakan preventif : Kepolisan melalui kegiatan sambang
dan patroli ke tempat – tempat keramaian, tokoh agama, tokoh
masyarakat, ormas, tempat pendidikan, lingkup masyarakat, media
cetak maupun sosial elektronik, telah melakukan sosialisasi upaya
pencegahan terjadi nya peristiwa yang serupa, dalam hal tersebut polisi
72 Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
69
mempunyai selogan “Saring sebelum sharing”, selogan tersebut
bermakna bahwa kepolisian mengharapkan setiap masyarakat dapat
menganilisa baik dan buruknya dampak dari setiap kabar atau informasi
yang beredar, yang tentunya belum diketahui dengan jelas kebenaran
kabar yang beredar tersebut.
2. Penegakan hukum : Sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa kepolisian dalam hal ini
mempunyai tugas dalam penegakan hukum sebagai Penyidik dan
Penyidik pembantu, Kepolisian mempunyai peran melakukan
penyelidikan dan Penyidikan dalam setiap penegakan hukum,
sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara pidana bahwa yang disebut penyidik yaitu pejabat kepolisian,73
dalam kasus penyebaran berita Hoax dan Hete speech oleh ketiga emak
– emak relawan Prabowo-sandi (PEPES) di Karawang, Kepolisian
langsung bergerak cepat dengan langsung melakukan penyelidikan dan
mengumpulkan alat bukti terkait dengan kasus tersebut, yang
menjadikan dasar pihak kepolisian melakukan penegakan hukum yaitu
adanya laporan dari masyarakat dan situasi yang sedang dalam masa
kampanye pemilihan presiden Indonesia, yang akan berakibat pada akan
semakin cepatnya membuat keonaran hingga perpecahan antara satu
kelompok dengan yang lainnya, maka dari itu kepolisian segara
melakukan penyelidikan dan penyidikan, hingga menetapkan Tersangka
73 Ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
70
dan melakukan penahanan terhadap ketiga emak – emak tersebut,
selama proses penyidikan tindak pidana tersebut, ketiga tersangka yang
diduga menjadi pelaku penyebaran dan pembuat Vidio berisikan muatan
Hoax dan Hate speech, ditahan oleh pihak kepolisian dengan berbagai
macam pertimbangan, dalam hal penanganan perkara ini, pihak
kepolisian bersikap objektif dengan memperhatikan keamanan ketiga
pelaku dilingkungan masyarakat, karena apabila tidak dilakukan
penahanan akan berdampak pada keselamatan jiwa ketiga emak – emak
tersebut, lalu Kepolisan melakukan penyitaan terhadap barang bukti
yang diduga digunakan menjadi alat pembuatan dan penyebaran Vidio
tersebut, dalam hal ini kepolisian tidak ingin barang bukti tersebut akan
hilang atau bahkan ada upacaya menghilangkan dan memusnahkan oleh
para pelaku.74
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Perbuatan ujaran kebencian dan berita
hoax memiliki dampak merendahkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.
Ujaran kebencian dan berita hoax bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif,
pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan,
pembantaian etnis atau genosida terhadap kelompok tertentu yang menjadi sasaran
ujaran kebencian. Sehingga, ujaran kebencian dan berita hoax harus ditangani dengan
74 Putusan Nomor : 194/Pid.B/2019/PN.Kwg tentang pertimbangan hakim, hlm. 10.
71
Baik karena berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pencegahan
sedini mungkin dapat dilakukan dengan cara memberikan pemahaman dan pengetahuan
atas bentuk-bentuk ujaran kebencian, ciri-ciri berita hoax dan dampak negatifnya
sebelum timbulnya tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian dan berita hoax
tersebut oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri sesuai dengan Pasal 5 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Agar
tidak memunculkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau
konflik sosial yang meluas, tidak hanya sudah menjadi tugas kepolisian dalam
memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, kegiatan khusus
personel Polri mengenai ujaran kebencian dan berita hoax dilakukan berdasarakan
Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech).
C. Gambaran mengenai kasus yang terjadi terkait berita bohong (hoax) dan
ujaran kebencian (hoax)
a. Kasus Jonru Riah Ukur atau biasa disapa Jonru Ginting
Kasus Jonru Riah Ukur atau biasa disapa Jonru Ginting, lahir di Kabanjahe,
Karo, Sumatera Utara pada 7 Desember 1970. Jonru lulus dari jurusan Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1998. Pria yang
menyukai fotografi, design web grafis, computer dan internet ini pada awal tahun 2000
72
hingga maret 2007, berstatus sebagai pekerja kantoran di dua perusahaan internet
service provider dengan jabatan content editor. Sejak maret 2007, jonru mengaku focus
fulltime sebagai entrepreneur.
Penggiat media sosial jonru ginting telah ditetapkan sebagai tersangka kasus
dugaan ujaran kebencian. Penetapan tersangka ini terkait sejumlah postingan
(unggahan) di akun media sosial facebooknya. Di media sosial, nama jonru mencuat
selama dan setelah pilpres 2014 ketika menggugah status soal joko widodo. Unggahan
jonru ini kemudian dipermalahkan oleh anggota komisi III DPR RI Akbar Faizal, yang
dulunya merupakan tim sukses jokowi saat pilpres 2014, saat bertemu jonru di ILC
tvone.
Jonru dilaporkan ke polisi atas tuduhan ujaran kebencian di media sosial. Jonru
dilaporkan oleh Muanna Al Aidid dengan Nomor Laporan :
LP/4153/VIII/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus. Jonru dilaporkan atas dugaan ujara
kebencian di media sosial yang terjadi pada maret-agustus 2017. Laporan tersebut
sesuai dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Republik
Indonesia No 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pada 8 Januari 2018, Jonru menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri
Jakarta Timur. Jonru Ginting didakwa menyebarkan ujaran kebencian lewat Facebook.
Posting-an Jonru dinilai jaksa bisa menimbulkan permusuhan di tengah masyarakat.
Jaksa menuntut Jonru hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta, namun
di sidang vonis, Jonru divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
73
Sejak vonis itu, Jonru kemudian mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang ,
JakartaTimur.
Juni 2018, Jonru sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT)
Jakarta atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya, tapi hakim PT menolak permohonan
banding Jonru, dan tetap menghukum Jonru 1,5 tahun penjara.
b. Kasus Buni Yani
Buni Yani merupakan seorang peneliti dari universitas leiden, belanda. Sejak
tahun 2010, ia mengambil gelar doctoral sekaligus sebagai peneliti di faculty of social
and behavioral sciences, institute of cultural antrophology and development sociology,
leiden university. Beliau juga pernah tinggal di amerika serikat setelah lulus dari
fakultas sastra inggris dari universitas udayana, Denpasar. Buni tinggal di ohio amerika
serikat, sejak tahun 2000 sampai 2012 untuk mengambil gelar master of art dalam studi
asia tenggara dari ohio university.
Pada tanggal 8 Oktober 2016 nama Buni Yani mulai dikenal public seiring
dengan kasus penodaan agama yang melibatkan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok). Buni Yani disebut menyunting video ahok soal al-maidah 51
sehingga menimbulkan kegaduhan. Buni Yani lalu dipolisikan oleh relawan ahok dari
komunitas Advokat Muda Ahok-Djarot (Kotak Adja). Postingan Buni Yani dinilai telah
menimbulkan polemik ditengah masyarakat.
Pada tanggal 10 oktober 2016, postingan Buni Yani terkait video ahok di
facebook juga ternyata menuai beragam reaksi. Dia mengaku kerap diteror apalagi
setelah namanya dilaporkan ke polisi sebab dianggap menyunting video ahok saat
berkunjung ke kepulauan seribu. Buni Yani melaporkan balik 2 orang yang
74
mempolisikan dirinya. Dalam laporan resmi bernomor
LP/4898/X/2016PMJ/Disrekrimsus, Buni Yani melaporkan ketua kotak adja Muanas
Al aidid dan M Guntur Romli. Pada tanggal 4 November 2016 Buni Yani mengatakan
dirinya ada dalam demontrasi besar-besaran gabungan ormas islam pada 4 November
lalu. Menurut buni dirinya ikut demo untuk menunjukan konsistensinya dalam
menegakkan keadilan.
Rangkaian proses hukum Buni Yani atas kasus pelanggaran Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berakhir di pengadilan tingkat pertama.
Kasus Buni Yani tercatat dengan nomor register 1712 K/PID.SUS/2018 dan nomor
Perkara Pengadilan tingkat satu 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg. Pada 14 November tahun
lalu, Buni Yani divonis satu tahun enam bulan penjara dalam perkara penyebaran
ujaran kebencian benuansa suku, agama, ras dan antargolongan oleh hakim
Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. Ia terbukti melanggar pasal Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elekronik.75
Vonis tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai M Sapto dalam
sidang yang digelar di Gedung Arsip, Jalan Seram, Bandung, Jawa Barat, pada Selasa
14 November 2017.
c. Peran Kepolisian Dalam Kasus Jonru Ginting dan Buni Yani.
Dalam hal ini kepolisan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 dan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang
penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam menangani kasus