PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H SAIDUL IRFAN HUTABARAT NIM: 040707028 DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 Universitas Sumatera Utara
100
Embed
PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM ... JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H SAIDUL IRFAN HUTABARAT NIM:
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM
PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI
KARO SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN
O L E H SAIDUL IRFAN HUTABARAT NIM: 040707028
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM
PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI
KARO
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O L E H
SAIDUL IRFAN HUTABARAT NIM: 040707028
Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS SASTRA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN
2010
Universitas Sumatera Utara
PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI DALAM
PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI
KARO
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O L E H SAIDUL IRFAN HUTABARAT NIM: 040707028 Pembimbing I Pembimbing II
Drs.Kumalo Tarigan, M.A Dra.Heristina Dewi, M.Si NIP: 195812131986011002 NIP: Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Sastra USU Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam Bidang Etnomusikologi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN 2010
Universitas Sumatera Utara
DISETUJUI OLEH:
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
JURUSAN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
NIP: 196011181988032001
Dra. Frida Deliana, M.Si
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi rrabbil ‘alamin, segala puji bagi Allah penulis ucapkan atas
segala nikmat dan karunia yang diberikan-Nya untuk hidup dan kehidupan penulis,
buat segala kesehatan, kesabaran, kekuatan dan bantuan yang terus mengalir
khususnya untuk membantu penulis dalam perjalanan penulisan skripsi ini, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi yang berjudul “PERANAN JASA TARIGAN SEBAGAI MUSISI
DALAM PERKEMBANGAN ENSAMBEL MUSIK TRADISI KARO.” ini
diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni (S-1) pada Jurusan
Etnomusikologi Fakultas Sastra, USU Medan.
Dalam proses penyelesaian studi dan skripsi ini, tentunya banyak orang-
orang yang secara bersama membantu dan memberi semagat. Untuk itu pada
kesempatan ini penulis memberikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Teristimewa kedua orang tua tercinta, almarhum Ayahanda Muhammad Ali
Umar Hutabarat dan Ibunda Fauziah Adnan, atas segala cinta, do’a dan
pengorbanan kalian, juga buat kakak dan abang-abangku yang memberi
dorongan, semangat dan do’a.
2. Bapak Drs. Kumalo Tarigan, M.A, dan Ibu Dra. Heristina Dewi M.Pd. selaku
pembimbing yang telah memberi bantuan, samangat dan membimbing
dengan baik dalam penyelesaian skripsi ini.
3. Ketua Departemen Etnomusikologi Ibu Dra. Frida Deliana M.Si dan Ibu Dra.
Heristina Dewi M.Pd. selaku sekretaris departemen etnomusikologi yang telah
Universitas Sumatera Utara
memberikan dukungan dan bantuan dalam administrasi serta registrasi
perkuliahan selama masa kuliah dan penyelesaikan tugas akhir penulis.
4. Seluruh staff pengajar di Departemen Etnomusikologi, atas segala bantuan,
saran dan arahannya. terkhusus Ibu Dra. Rithaony Hutajulu, M.A, selaku
pembimbing akademik.
5. Teman dan rekan-rekan seperjuangan : khususnya stambuk ’04 dan seluruh
anggota Ikatan Mahasiswa Etnomusikologi atas bantuan, semangat dan
kerjasama kalian selama ini.
6. Seluruh informan yang telah bersedia membantu dan menerima penulis
selama melakukan penelitian. Terutama Bapak Jasa Tarigan selaku informan
utama yang dengan baik melayani penulis dalam proses penelitian.
7. Keluarga kecil ku ‘RZ’ dan ‘AWYNE’, dan semua yang masih menjadi api
dan air. Tetaplah menjadi keluarga dan jangan berakhir.
Semoga Allah SWT. Membalas kebaikan-kebaikan yang telah diberikan
dengan melimpahkan rahmat dan karunia-Nya pada kita semua Amin.
Medan, Juni 2010
Penulis
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
I.2 Pokok Permasalahan.......................................................................... 5
I.3 Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 92
DAFTAR INFORMAN ..................................................................................... 95
Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Jasa Tarigan adalah seorang Seniman tradisi karo senior yang berasal dari
desa Ujung bawang – sebuah desa di pegunungan Tanah Karo. Berawal dari
ketertarikannya akan musik tradisi semenjak kecil, Dia pun berniat untuk menjadi
pemain musik tradisi, dan dengan bakat musik yang ada pada dirinya, dia serius
mendalami ilmu bermusiknya dengan belajar kepada beberapa orang musisi tradisi
Karo, walau pun banyak sekali kesulitan yang harus dijalaninya.
Akhirnya, keberhasilannya dalam belajar dan meniti karier dalam dunia
musik tradisi dan budaya Karo dapat dilihat dari karya-karya yang sudah
dihasilkannya. Bermula dari masuknya Jasa Tarigan ke Universitas Sumatera Utara
Jurusan Etnomusikologi sebagai mahasiswa dan pengajar praktek musik tradisi Karo
di Etnomusikologi pada pertengahan tahun 1982, walaupun Jasa Tarigan tidak
berhasil menyelesaikan studinya di Etnomusikologi tersebut.
Dalam tahun-tahun studinya di Etnomusikologi Jasa Tarigan mulai bermain
dan menyukai instrumen musik Keyboard, dari sinilah berawal ide Jasa Tarigan
untuk memulai karya Gendang Kibod1
1 Gendang Kibod merupakan sebutan atau istilah yang lazim diucapkan oleh orang Karo terhadap jenis irama musik yang diprogram secara khusus di dalam Keyboard. Kata Gendang mengacu kepada pengertian musik Karo dan kata Kibod merupakan ucapan orang Karo terhadap kata Keyboard itu sendiri.
-nya yang kemudian menjadi sebuah
fenomena dalam musik tradisi Karo. Dia juga yang pertama sekali memperkenalkan
Gendang Kibod sebagai ensambel musik pengiring dalam upacara adat Karo.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, dalam keberhasilannya dibidang programmer pada Keyboard, ia
mendapat sertifikat nasional dari Era Musika, Roland, dan Yamaha dalam program
pertunjukan Keyboard. Itu membuktikan bahwa eksistensi jasa tarigan di dunia
musik modern juga mendapat tempat.
Bermodalkan ilmu, keterampilan dan kreatifitasnya itu lah Jasa Tarigan mulai
mengembangkan musik tradisi Karo, dengan menyuguhkan musik yang ‘baru’ yaitu
Gendang Kibod, dan juga beberapa perubahan baru pada musik tradisi Karo
khususnya pada ensambel Gendang Lima Sendalanen.
Memang kesenian tidak pernah lepas dari peran masyarakatnya. Sebagai
salah satu bagian yang paling penting dalam kebudayaan adalah kesenian yang
merupakan ungkapan kreatifitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakat yang
menyangga kebudayaan, demikian pula kesenian mencipta, memberi peluang untuk
bergerak, memelihara, serta menularkan, mengembangkan serta kemudian
menciptakan kebudayaan baru lagi. (Umar Kayam, 1981:38).
Perkembangan kebudayaan juga telah menyentuh etnis Karo, sebagai hasil
dari potensi dan perkembangan masyarakat penggunanya sendiri, seni musik tradisi
dalam budaya Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan yang paling banyak
mendapat pengaruh dari luar budaya Karo, dalam hal ini adalah teknologi. Teknologi
sendiri merupakan produk dari kebudayaan sebagai suatu karya manusia untuk
memenuhi kebutuhannya.
Era masuknya instrumen musik Keyboard ini ke dalam kesenian tradisi Karo
sekitar tahun 1991an. Diawali oleh Jasa Tarigan yang mengkolaborasikan Keyboard
dengan Kulcapi dan ensambel Gendang Lima Sendalanendalam konteks seni
Universitas Sumatera Utara
pertunjukan tradisional Gendang guro-guro aron. Kemudian hadirnya alat pengeras
suara (seperti pick up di gitar elektrik) pada instrumen Kulcapi.
Bahkan belakangan telah muncul sebuah instrumen baru dalam Gendang
Kibod, yaitu sebuah gendang konikal double side yang berfungsi sebagai instrumen
pengaya struktur ritem dari pola-pola ritem yang di hasilkan oleh Keyboard dalam
Gendang Kibod. Juga secara otomatis Gendang Kibod menghasilkan harmonisasi
baru dalam musik tradisi Karo, dengan dimainkannya akord dan harmonisasi-
harmonisasi lain pada Keyboard dalam Gendang Kibod. Hal ini juga merupakan
dampak nyata dari perkembangan teknologi terhadap budaya Karo.
Dewasa ini Gendang Kibod sudah mendominasi kesenian Karo, walaupun
banyak menimbulkan reaksi pro dan kontra di antara kelompok masyarakat Karo
sendiri. Banyak alasan mengapa kehadiran Gendang Kibod ini membuahkan pro dan
kontra di masyarakat pendukungnya, seperti para pemerhati budaya Karo yang
mencemaskan bahwa kehadiran Gendang Kibod akan berdampak buruk terhadap
eksistensi Gendang Lima Sendalanen dan keaslian kesenian Karo lainnya.
Tapi dari sisi lain, kemudahan dalam menyajikan, serta murahnya biaya
pertunjukan Gendang Kibod mengakibatkan Gendang Kibod ini semakin eksis pada
masyarakat Karo, selain itu banyaknya lagu-lagu populer yang mudah dimainkan
dengan Gendang Kibod juga semakin memojokkan keberadaan Gendang Lima
Sendalanen.
Dari contoh fenomena di atas dapat kita lihat, memang tampak jelas sekali
bahwa modernisasi telah begitu banyak mempengaruhi musik tradisi, khususnya
musik tradisi Karo dewasa ini. Misalnya, dengan munculnya Gendang Kibod yang
kerap dijadikan sebagai media pengganti musik tradisional, baik untuk acara ritual
Universitas Sumatera Utara
kematian maupun acara-acara adat lainnya. Akibatnya, tak hanya musik itu sendiri
yang terkontaminasi keasliannya. Tapi, juga berimbas kepada seniman-seniman
tradisinya sendiri yang akhirnya semakin jarang dipertunjukkan.
Jasa Tarigan sendiri yang merintis lahirnya Gendang Kibod menjadi orang
yang sering disalahkan atas kondisi ini. Namun di sisi lain pemusik yang juga
menguasai beberapa alat musik tradisional Karo ini, juga dianggap berperan aktif
telah mempopulerkan musik Karo sehingga dikenal luas di luar wilayah Karo sendiri.
Kemudian pertanyaannya adalah bagaimana sebenarnya peranan seorang Jasa
Tarigan yang sebelumnya telah mahir dan aktif dalam pertunjukan musik tradisi
Karo ini bisa menjalankan pranannya tersebut dan bagaimana hal ini bisa bertahan di
masyarakat.
Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk menelitinya serta membuat suatu
tulisan ilmiah dengan mengangkat Peranan Jasa Tarigan Sebagai Musisi dalam
Perkembangan Ensambel Musik Tradisi Karo.
Universitas Sumatera Utara
I.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa hal
pokok yang menjadi perhatian utama dalam skripsi ini, antara lain;
1. Apa saja peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi
Karo?
2. Aspek-aspek apa saja yang telah berubah dan yang tetap dipertahankan dalam
perkembangan musik tradisi karo tersebut?
3. Bagaimana tanggapan pendukung budaya Karo terhadap peranan-peranan
Jasa Tarigan tersebut?
I.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan pokok permasalahan di atas maka tujuan
utama dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel
musik tradisi Karo sebagai akibat dari akulturasi budaya
2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perubahan dalam ensambel musik tradisi
Karo setelah masuknya pengaruh Jasa Tarigan.
3. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat Karo terhadap perubahan-
perubahan yang dilakukan Jasa Tarigan.
Penelitian ini direalisasikan dalan bentuk skripsi yang menjadi salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni dalam bidang Etnomusikologi di
Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
I.4 Manfaat Penelitian
Selain sebagai skripsi, manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui apa yang telah berubah, baik bertambah, berkurang maupun
dimodifikasi oleh Jasa Tarigan dalam musik tradisi Karo khususnya ensambel musik
tradisional Karo dan bagaimana tanggapan masyarakat pendukungnya. Tulisan ini
juga bermanfaat untuk menambah referensi dan dokumentasi budaya Karo. Dan
sebagai bahan dokumentasi ilmiah pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Sastra
USU Medan.
1.5 Konsep dan Teori
I.5.1 Konsep
Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
pengertian konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa
yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005).
Menurut R. Merton dalam Koentjaraningrat, konsep merupakan defenisi dari
apa yang perlu diamati. Konsep juga merupakan unsur pokok dari suatu penelitian
(Koentjaraningrat,1987:36).
Untuk mendapatkan pengetahuan mendasar tentang objek penelitian dan
untuk menghindari ambiguitas, maka diperlukan definisi-definisi terhadap
terminologi yang menjadi pokok bahasan. Definisi ini merupakan kerangka konsep
yang mendasari batasan-batasan makna terhadap topik-topik yang menjadi pokok
penelitian.
Universitas Sumatera Utara
Kata “Peranan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka,2005)
diartikan sebagai tindakan yg dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa.
Namun makna dari kata “peran” dapat dijelaskan lewat beberapa cara yaitu :
1. Suatu penjelasan historis menyebutkan, konsep peran semula dipinjam dari
keluarga drama atau teater yang hidup subur pada jaman Yunani Kuno
(Romawi). Dalam arti ini, peran menunjuk pada karakteristik yang disandang
untuk dibawakan oleh seseorang aktor dalam sebuah pentas drama.
2. Suatu penjelasan yang menunjuk pada konotasi ilmu sosial, yang
mengartikan peran sebagai suatu fungsi yang dibawakan seseorang ketika
menduduki suatu karakteristik (posisi) dalam struktur sosial.
3. Suatu penjelasan yang lebih bersifat operasional, menyebutkan bahwa peran
seorang aktor adalah suatu batasan yang dirancang oleh aktor lain, yang
kebetulan sama-sama berada dalam satu “penampilan/unjuk peran (role
performance).
Dari penjelasan diatas ”Peranan” yang penulis maksud dalam tulisan ini
adalah apa yang telah dilakukan Jasa Tarigan sebagai musisi tradisi Karo dalam
‘perkembangan’ (menambah, mengurangi dan memodifikasi) ensambel musik tradisi
Karo.
Adapun defenisi musisi dalam KBBI online adalah orang yg mencipta,
memimpin, atau menampilkan musik; pencipta atau pemain musik.
Kemudian untuk melihat perkembangan ensamble musik tradisi Karo yang di
lakoni Jasa Tarigan, ada baiknya kita mengerti defenisi “Perkembangan” itu sendiri,
Secara singkat, perekembangan adalah proses atau tahapan pertumbuhan ke
arah yang lebih maju. Pertumbuhan sendiri (growth) berarti tahapan peningkatan
Universitas Sumatera Utara
sesuatu dalam hal jumlah, ukuran, dan arti pentingnya. Pertumbuhan juga dapat
berarti sebuah tahapan perkembangan (a stage of development), (McLeod, 1989).
Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), ini berarti mekar terbuka
atau membentang; menjadi besar, luas, dan banyak, serta menjadi bertambah
sempurna dalam hal kepribadian, pikiran, pengetahuan, dan sebagainya.
Dalam hal ini penulis bermaksud melihat perkembangan sebagai sebuah
tindakan yang dilakukan dalam inovasi, kreatifitas dan perjalanan budaya bagi
masyarakat pendukungnya, dengan berbagai konsekuensi yang harus hadir bersama
perkembangan tersebut.
Ensamble musik yang disebut dalam tulisan ini merujuk pada pengertian
bahwa ensambel adalah kelompok pemain musik (penyanyi) yg bermain bersama
secara tetap, (KBBI online). Selanjutnya Sztompka (2004: 71) mengatakan bahwa
dalam arti sempit, tradisi adalah kumpulan benda material dan gagasan yang diberi
makna khusus yang berasal dari masa lalu. Tradisi pun mengalami perubahan.
Tradisi bertahan dalam jangka tertentu dan mungkin lenyap bila benda material
dibuang dan gagasan ditolak atau dilupakan. Ada dua faktor yang menyebabkan
suatu tradisi mengalami perubahan, yaitu: faktor dari dalam (internal) masyarakat,
dan faktor dari luar (eksternal) masyarakat. Faktor dari dalam disebabkan oleh sifat
kebudayaan yang selalu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan secara
alamiah. Faktor dari luar disebabkan oleh masuknya pengaruh budaya global.
Mardimin (1994: 12-13) juga mengatakan bahwa kebudayaan tradisi pun juga
berkembang, meskipun sangat lambat dan dalam kurun waktu yang lama.
Jadi, musik tradisional yang penulis maksud dalam tulisan ini adalah musik
yang hidup di masyarakat secara turun temurun, dipertahankan sebagai sarana adat,
hiburan dam lain sebagainya. Tiga komponen yang saling mempengaruhi di
antaranya Seniman, musik itu sendiri dan masyarakat penikmatnya. Sedangkan
maksudnya untuk memper-satukan persepsi antara pemikiran seniman dan
masyarakat tentang usaha bersama dalam mengembangkan dan melestarikan seni
musik tradisional. Menjadikan musik trasidional sebagai perbendaharaan seni di
masyarakat sehingga musik tradisional lebih menyentuh pada sektor komersial
umum.
Berdasarkan konsepsi diatas, maka dalam tulisan ini penulis mengkaji peran
dan proses dari hasil karya Jasa Tarigan sebagai seorang pencipta atau pemain musik
tradisional Karo dalam menghasilkan ide-ide inovasi dan kreatifitas dalam kemajuan
unsur budaya yaitu kesenian musik tradisi Karo khususnya ensamble musik. Tidak
terlepas juga pembahasan tentang apa saja yang telah berubah (bertambah, berkurang
dan dimodifikasi) sebagai akibat dari ‘pekembangan’ tersebut dalam struktur dan
fungsi Musik tradisi Karo serta pro dan kontranya dalam masyarakat Karo.
1.5.2 Teori
Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berpikir dalam membahas
permasalahan. Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa
teori hanya ada pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada
ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat,1987:10).
Untuk itu penulis mencoba mengambil beberapa teori yang dianggap perlu
sebagai referensi atau acuan dalam penulisan skripsi ini.
Untuk melihat bagaimana kebudayaan luar bisa mempengaruhi kebudayaan
yang lain kita bisa merujuk pada teori-teori perubahan yang ada, antara lain seperti
Universitas Sumatera Utara
yang ditawarkan L.Dyson (1987:39), ia mengatakan bahwa, sikap menerima dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : faktor kebutuhan, keuntungan langsung
yang dapat di nikmati, senang pada satu hal yang baru (novelty), dan sifat inovatif
yang ingin slalu berkreasi. Adapun sikap menolak disebabkan oleh anggapan bahwa
hal-hal yang baru itu merugikan, atau bertentangan dengan tata nilai yang sudah
dianut sebelumnya. Selain itu ada pula yang menolak tanpa alasan.
Sealin itu, Edi Sudyawati (1987) juga mengatakan bahwa perubahan terjadi
bukan semata-mata disebabkan karena lingkaran pemilikan suatu seni tradisi menjadi
lebih luas, tetapi bisa pula karena manusia-manusia pendukung kebudayaan daerah
itu sendiri telah berubah, karena perubahan gaya hidup, dan pergantian generasi.
Tidak jauh dari pandangan Edi diatas, Umar Kayam (1981:48) menjelaskan
bahwa sudah waktunya kreatifitas kesenian dipahami dalam konteks perkembangan
masyarakat, agar strategi pengembangan kesenian mengacu kepada perkembangan
masyarakat.
Tulisan ini juga membahas tentang perubahan unsur kebudayaan khususnya
dalam ensambel musik Karo, penulis mengacu pada teori akulturasi yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat (1981:149) akulturasi
adalah perpaduan kebudayaan yang terjadi bila suatu kelompok manusia dengan
suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan
asing yang berbeda sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu dengan lambat laun
diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian
kebudayaan sendiri. Akulturasi budaya pada dasarnya juga merupakan pertemuan
wahana atau area dua kebudayaan, dan masing- masing dapat menerima nilai-nilai
bawaannya.
Universitas Sumatera Utara
1.6 Metode Penelitian
Dalam hal metode penelitian, penulis memakai metode penelitian kualitatif,
yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Penekanan kajian diarahkan
pada latar dan individu tersebut secara utuh. Suatu penelitian kualitatif
memungkinkan kita memahami masyarakat secara personal dan memandang mereka
sendiri mengungkapkan pandangan dunianya (Bogdan dan Taylor, 1975:4-5).
Penulis juga berpedoman pada disiplin etnomusikologi seperti yang
disarankan Curt Sachs dan Nettll (1964:62) yaitu penelitian etnomusikologi dibagi
dalam dua jenis pekerjaan yakni kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium
(deks work).
Selain itu, untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam
penulisan tulisan ini, penulis menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya
ada dua macam, yakni: (1) menggunakan daftar pertanyaan (questionnaires); (2)
menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi pengumpulan data dengan
daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula digunakan pengamatan
(Observation) dan penggunaan catatan harian, (Djarwanto, 1984:25).
Jadi, kerja lapangan dalam skripsi ini meliputi studi kepustakaan, wawancara
dan kerja laboratorium. Dan kerja laboratorium sendiri meliputi pembahasan dan
penganalisisan data yang telah diperoleh selama penelitian.
I.6.1 Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni
dengan mengumpulkan literatur atau sumber bacaan untuk mendapatkan
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan dasar tentang objek penelitian. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa
buku, ensiklopedi, jurnal, buletin, artikel, laporan penelitian dan lain-lain. Dengan
melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif
dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini.
I.6.2 Penelitian lapangan
Penulis melakukan kerja lapangan dengan observasi langsung terhadap
daerah penelitian, juga mencari nara sumber dari masyarakat pendukungnya yang
diakui oleh masyarakat pendukung kebudayaan yang memiliki otoritas.
Penulis juga melakukan wawancara antara peneliti dan informan yaitu dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada susunan pertanyaan yang telah dipersiapkan
agar memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan.
I.6.3 Wawancara
Wawancara yang dimaksud disini adalah suatu cara yang digunakan seseorang
untuk tujuan tugas tertentu, mencoba mendapatkan keterangan secara lisan dari
seorang responden dan bercakap-cakap serta bertatap muka dengan seseorang
(Koentjaraningrat,1977:129). Wawancara yang penulis lakukan yaitu: wawancara
berfokus (focused interview) dan wawancara bebas (free interview). Wawancara
berfokus, pertanyaan yang dilakukan berpusat pada aspek permasalahannya saja
sedangkan wawancara bebas pertanyaan yang diajukan tidak berpusat pada suatu
pokok permasalahan yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
I.6.4 Kerja Laboratorium
Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi
kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan
dengan cara menyeleksi data dengan membuang data yang tidak perlu dan
menambahkan data yang kurang. Pada akhirnya, data-data hasil pengolahan dan
analisis disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.
I.6.5 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang penulis lakukan adalah di kotamadya Medan.
Universitas Sumatera Utara
BAB II
KESENIAN KARO
2.1 Pendukung Kesenian Karo
Secara umum, pendukung budaya dan kesenian Karo adalah masyarakat suku
Karo. Secara garis besar suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi
Karo, dan beberapa tempat lain seperti Kabupaten Deliserdang, Kota Binjai,
Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi, Kabupaten Simalungun, Kota Medan, dan
Kabupaten Aceh Tenggara. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di
salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo.
Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo
didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas.
Untuk lebih jelas penulis akan memaparkan tentang siapa, bagaimana dan
dimana suku Karo berada.
2.1.1 Wilayah Kultural Masyarakat Karo
Suku Karo merupakan salah satu dari beberapa sub suku bangsa Batak di
Sumatera Utara, sehingga sering juga suku Karo disebut Batak Karo. Selain sebutan
untuk suatu kumpulan masyarakat dari salah satu sub suku Batak tersebut, Karo juga
merupakan sebutan untuk satu wilayah administratif kabupaten yaitu kabupaten Karo
yang wilayahnya meliputi seluruh dataran tinggi Karo.
Gambaran tentang daerah domisili masyarakat Karo dapat pula dilihat seperti
apa yang digambarkan oleh J.H. Neuman dalam buku lentera kehidupan orang Karo
dalam berbudaya (Sarjani Tarigan, 2009 : 36), yaitu:
Universitas Sumatera Utara
“Wilayah yang didiami oleh suku Karo dibatasi sebelah timur oleh pinggir jalan yang memisahkan dataran tinggi dari Serdang. Di sebelah Selatan kira-kira dibatasi oleh sungai Biang (yang diberi nama sungai Wampu, apabila memasuki Langkat), disebelah Barat dibatasi oleh gunung Sinabung dan disebelah Utara wilayah itu meluas sampai kedataran rendah Deli dan Serdang.”
Dari gambaran luas daerahnya diatas, domisili masyarakat Karo ini memang
tidak dapat dibantah, bahwa ada beberapa kelompok yang berdomisili di daerah
pantai dan hidup berdampingan dengan penduduk Melayu, dan secara bertahap
kedua suku tersebut saling berbaur dan berakulturasi antara sesamanya.
Dengan demikian, orang-orang Karo yang tersebar dan berakulturasi dengan
suku-suku lain tersebut, mengakibatkan adanya perbedaan julukan atas dasar wilayah
komusitasnya seperti : Karo Kenjulu, Karo Teluh Dereng, Karo Singalor Lau, Karo
Baluren, Karo Langkat, Karo Timur dan Karo Dusun.2
2. Karo Kenjulu adalah sebahagian besar wilayah Kabupaten Karo, yakni kecamatan Kabanjahe, Berastagi, Tiga Panah, Barusjahe, Simpang Empat, Payung. Yang termasuk dalam Karo Teruh Deleng adalah kecamatan Kuta Buloh, Kec. Payung, kec. Lau Baleng dan kec. Mardinding. Sementara Karo Singalor Lau meliputi kecamatan Tiga Binanga, kecamatan Juhar, dan kecamatan Munte.Yang termasuk Karo Baluren adalah kecamatan Tanah Pinem dan kecamatan Tigalingga. Kecamatan Tanah Pinem sudah merupakan bagian dari kabupaten Dairi.Yang termasuk Karo Langkat adalah masyarakat Karo yang tinggal di kabupaten Langkat dan kabupaten Binjei yang meliputi kecamatan-kecamatan: Padang Tualang, Bahorok, Salapian, Kwala, Selesai, Sungai Bingei, Binjei dan Stabat. Yang termasuk Karo Timur adalah yang tinggal di wilayah kecamatan Lubuk Pakam, kecamatan Bangun Purba, kecamatan Galang, kecamatan Gunung Meriah, kecamatan Dolok Silau dan kecamatan Silimakuta. Wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah kabupaten Deli Serdang dan kabupaten Simalungun. Yang termasuk dalam wilayah Karo Dusun adalah kecamatan Sibolangit, Kecamatan Pancurbatu, Kecamatan Namorambe, Kecamatan Sunggal, kecamatan Kutalimbaru, kecamatan STM-Hilir, Kecamatan STM-Hulu, Kecamatan Hamparan Perak, Kecamatan Tanjung Morawa dan Kecamatan Biru-biru. (ibid : 37)
Universitas Sumatera Utara
Gambar.1. Peta Provinsi Sumatera Utara (Sumber: Badan Meteorologi Indonesia)
Selain wilayah-wilayah tempat tinggal yang telah dijelaskan di atas, masih
ada wilayah yang cukup penting yang menjadi tempat tinggal atau domisili orang
Karo, yaitu wilayah kota Medan (ibukota propinsi Sumatera Utara). Di sepanjang
jalan dari Kabanjahe/Kabupaten Karo menuju kota Medan juga terdapat beberapa
desa dan semi kota (sub-urban) yang juga menjadi domisili orang Karo seperti: kota
Berastagi, desa Bandarbaru, desa Sibolangit, desa Sembahe, dan Pancurbatu (kecuali
Berastagi, semua desa tersebut termasuk dalam wilayah kabupaten Deliserdang).
Memasuki wilayah kota Medan, terdapat lagi beberapa wilayah desa, seperti:
desa Lau Cih, Kelurahan Simpang Selayang, Simpang Kuala dan Padang Bulan yang
sebagian besar penduduknya adalah orang Karo. Penduduk di setiap wilayah
tersebut, walaupun telah lama tinggal secara menetap, namun secara kekerabatan
masih mempunyai hubungan dengan masyarakat Karo yang tinggal di wilayah
kabupaten Karo.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Jenis-Jenis Kesenian Karo
Rohidi (2000:28) mengatakan bahwa berekspresi estetik merupakan salah
satu kebutuhan manusia yang tergolong kedalam kebutuhan integratif. Kebutuhan
integratif ini muncul karena adanya dorongan dalam diri manusia yang secara hakiki
senantiasa ingin merefleksikan keberadaannya sebagai mahluk yang bermoral,
berakal, dan berperasaan.
Berekspresi melalui kesenian merupakan salah satu aktivitas manusia yang
sangat umum dalam setiap kelompok masyarakat pada umumnya.. Dengan demikian
kesenian merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam masyarakat untuk
mengekspresikan dirinya sebagai manusia yang memiliki perasaan indah, senang,
gembira maupun perasaan sedih.
Suku Karo sebagai salah satu etnik dari beratus etnik yang dimiliki Nusantara
tentu memiliki keunikan kesenian tersendiri. Keunikan Kesenian Karo ini lah yang
menjadi kebanggaan suku Karo dalam menjalankan tutur budayanya.
Untuk itu dibawah ini penulis memapaparkan kesenian-kesenian yang
dimiliki oleh masyarakat Karo dalam budayanya.
2.2.1 Seni Sastra
Kesusasteraan Karo memiliki dua bentuk, yakni lisan dan tulisan. Namun,
sastra bentuk, lisan lebih dikenal dan lebih sering digunakan dibandingkan tulisan.
2.2.1.1 Sastra Lisan
Pada umumnya dalam berkomunikasi dengan sesamanya, orang Karo
mempergunakan bahasa Karo. Dalam berkomunikasi atau pembicaraan sehari-hari,
penggunaan bahasa Karo ini tidak memerlukan suatu bentuk atau susunan dan aturan
penganak, dan (5) gung. Istilah gendang pada Gendang Lima Sendalanen ini berarti
“alat musik”, lima berarti “lima buah”, dan sendalanen berarti “sejalan”. Dengan
demikian Gendang Lima Sendalanen mengandung pengertian “lima buah alat musik
yang dimainkan sejalan atau secara bersama-sama”. Kadang-kadang Gendang Lima
Sendalanen disebut dengan istilah Gendang Sarune4
Perlu diketahui juga bahwa, masing-masing alat musik dalam ensambel
Gendang Lima Sendalanen tersebut dimainkan oleh seorang pemain, kecuali alat
musik penganak dan gung yang dapat dimainkan oleh seorang pemain.
. Adanya dua istilah atau
penyebutan satu ensambel musik tradisional Karo yang sama ini-Gendang Lima
Sendalanen dan Gendang Sarune-terjadi karena perbedaan latar belakang dari orang-
orang yang menggunakannya.
Di kalangan musisi tradisional Karo istilah Gendang Sarune lebih sering
dinggunakan, sementara itu di berbagai tulisan tentang kebudayaan musik Karo lebih
banyak menggunakan istilah Gendang Lima Sendalanen. Untuk konsistensi
penulisan, dalam tulisan ini penulis menggunakan istilah Gendang Lima
Sendalanen. Ini tidak berarti istilah Gendang Lima Sendalanen lebih mewakili dari
pada Gendang Sarune karena memang kedua istilah tesebut selalu digunakan dalam
masyarakat Karo.
4 Istilah Gendang Sarune muncul karena dalam ensambel tersebut sarune merupakan alat musik pembawa melodi
Universitas Sumatera Utara
Di bawah ini penulis menjabarkan penjelasan tentang masing-masing
instrumen yang terdapat dalam Gendang Lima Sendalanen, yaitu :
2.2.7.1.1 Sarune
Sarune merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda (double reed),
dan tabung alat musik ini berbentuk konis (conical) mirip dengan alat musik obo
(oboe). Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta
terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: (a) anak-anak sarune, (b) tongkeh, (c)
ampang-ampang, (d) batang sarune, dan (e) gundal.
Anak-anak sarune berfungsi sebagai lidah (reeds), terbuat dari dua helai kecil
daun kelapa yang telah dikeringkan. Biasanya ketika hendak memainkan sarune,
anak-anak sarune tersebut harus dibasahi terlebih dahulu dengan air liur agar
menjadi lunak sehingga mudah bergetar jika ditiup.
Ampang-ampang yaitu sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari
kulit binatang Baning (trenggiling) diletakkan di tengah tongkeh (terbuat dari timah).
Ampang-ampang berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang
meniup alat tersebut. Batang sarune sendiri terbuat dari kayu selantam atau pohon
nangka, pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang nada berjumlah delapan
buah sebagai penghasil atau pengubah nada ketika sarune ditiup. Gundal juga terbuat
dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan
corong (bell) pada alat tiup sarune yang fungsinya membuat lantunan nada-nada
menjadi lebih panjang dan nyaring atau keras.
Perlu ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh
biasanya dihubungkan satu sama lain dengan seutas tali berukuran kecil, yang
Universitas Sumatera Utara
berfungsi sebagai pengikat agar bagian-bagian tersebut tidak tercecer, terpisah atau
hilang karena ukurannya yang kecil.
Gambar 1: Bagian-bagian Sarune (Sumber: Di edit dari dok. Perikuten Tarigan)
Keterangan gambar 4.1:
(1) anak-anak sarune (3) batang sarune,
(2) tongkeh (4) gundal
(2a) ampang-ampang (4a) tagan sarune
Gambar 2: Sarune (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.1.2 Gendang singanaki dan gendang singindungi
Gendang singanaki dan Gendang singindungi (double sided conical drums)
merupakan dua alat musik pukul yang terbuat dari kayu pohon nangka. Pada kedua
sisi alat musik yang berbentuk konis tersebut, terdapat membrane yang terbuat dari
kulit binatang. Sisi depan/atas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi
belakang/bawah (tidak dipukul) disebut pantil gendang. Kedua alat musik ini
memiliki ukuran yang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, dengan diameter babah
gendangnya sekitar 5 cm, sedangkan diameter pantil gendang sekitar 4 cm.
Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi bahan, bentuk, ukuran,
dan cara pembuatannya. Perbedaannya hanya pada “gendang mini” yang disebut
gerantung (panjang 11,5 cm) yang diikatkan di sisi badan gendang singanaki,
sedangkan pada gendang singindungi tidak ada. Gendang singindungi dapat
menghasikan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu5
5 Pada bagian luar (dari ujung ke ujung) alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu. Tali tersebut lah yang berfungsi untuk mengencangkan kulit/membrane gendang, sehingga menghasilkan suara yang berbeda. Tetapi biasanya tehnik ini digunakan untuk ‘menyetem’ suara gendang tersebut.
, sedangkan
gendang singanaki tidak memiliki tehnik tersebut sehingga bunyi yang dihasilkannya
tidak bisa naik turun. Masing-masing gendang memiliki dua palu-palu gendang atau
alat pukul (drum stick) sepanjang 14 cm.
Gambar 3: Gendang singanaki Gambar 4: Gendang singindungi
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.1.3 Gung dan Penganak
Penganak dan gung tergolong dalam jenis suspended idiophone/gong
berpencu yang memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti
gong yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaan
keduanya (Penganak dan gung) adalah dari segi ukuran atau lebar diameternya.
Gung memiliki ukuran yang besar (diameter 68,5 cm), dan penganak memiliki
ukuran yang kecil (diameter 16 cm). Gung dan Penganak ini terbuat dari kuningan,
sedangkan palu-palu (pemukulnya) terbuat dari kayu dengan benda lunak yang
sengaja dibuat di ujungnya untuk menghasilkan suara gung yang lebih enak didengar
(palu-palu gung).
Gambar 5: Penganak dan Palu-palu
Gambar 6: Gung dan Palu-palu (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.1.4 Peran masing-masing instrumen dalam Gendang Lima Sendalanen
Gendang Lima Sendalanen sebagai suatu ensambel musik yang terdiri dari
lima alat musik memiliki karakter bunyi dan cara memainkan yang berbeda-beda
sesuai dengan bentuk instrumen tersebut.
Sarune dimainkan dengan cara meniup anak-anak sarune (reeds) sementara
jari-jari kedua tangan si pemain memegang (membuka dan menutup) lobang nada
yang terdapat pada badan (batang) alat musik tersebut. Alat musik Sarune ini dalam
Gendang Lima Sendalanen memiliki peran sebagai pembawa melodi lagu.
Gambar 7: Penarune sedang memainkan sarune (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)
Sementara itu, gendang singanaki, gendang singindungi dimainkan dengan
cara memukul babah gendang (head membrane) masing-masing dengan dua palu-
palu gendang (alat pukul gendang/stick). Gendang singanaki menghasilkan pola
ritem berulang-ulang (repetitif), sedangkan Gendang singindungi membawakan pola
ritem yang variabel, berbeda dengan pola ritem yang dimainkan gendang singanaki.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 8: Penggual Singindungi Gambar 9: Penggual Singanaki (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan) (Sumber: Dok.Perikuten Tarigan)
Penganak dan gung dimainkan dengan memukul pencu yang terdapat pada
bagian tengah penganak dan gung masing-masing dengan satu palu-palu. Kedua alat
musik tersebut menghasilkan pola pukulan yang berulang-ulang.
Gambar 10: Simalu Gung sedang memainkan penganak dan gung (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.1.5 Posisi pemain Gendang Lima Sendalanen
Secara umum pemain Gendang Lima Sendalanen dalam setiap
pertunjukannya bermain dalam posisi duduk. Posisi duduk ini - khsususnya untuk
penarune dan penggual - merupakan posisi baku karena dua hal, yaitu:
• Dalam menghasilkan nada-nada tertentu, penarune harus menutupkan ujung
Sarune-nya (tonggum) ke bagian betis kakinya sendiri,
• Penggual senantiasa mengaitkan alat musiknya (gendang singanaki dan
gendang singindungi) diantara kedua kakinya dalam posisi duduk bersila,
sehingga posisi intrumen tersebut menjadi diagonal, dengan babah gendang
mengarah ke sebelah kanan penggual.
• Simalu gung dan simalu penganak juga bermain dalam posisi duduk,
sementara itu kedua alat musiknya senantiasa digantung dengan seutas tali
pada suatu tempat yang telah disediakan secara khusus.
Gambar 11: Posisi pemain musik Gendang Lima Sendalanen dalam upacara adat. (Sumber: Dok. Perikuten Tarigan)
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.2 Gendang telu sendalanen
Secara harfiah Gendang telu sendalanen memiliki pengertian tiga alat musik
yang sejalan atau dimainkan secara bersama-sama (sama seperti pengertian Gendang
Lima Sendalanen). Ketiga alat musik tersebut adalah (1) Kulcapi/balobat, (2) keteng-
keteng, dan (3) mangkok. Dalam ensambel ini ada dua istrumen yang bisa digunakan
sebagai pembawa melodi yaitu Kulcapi atau balobat. Pemakaian Kulcapi atau
balobat sebagai pembawa melodi dilakukan secara terpisah dalam upacara yang
berbeda. Sedangkan Keteng-keteng dan mangkok merupakan alat musik pengiring
yang menghasilkan pola-pola ritem yang bersifat konstan dan repetitif.
Jika Kulcapi digunakan sebagai pembawa melodi, dan keteng-keteng serta
mangkok sebagai alat musik pengiringnya , maka istilah Gendang telu sendalanen
sering disebut Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi, dan jika balobat sebagai
pembawa melodi, maka istilahnya tersebut menjadi gendang balobat. Masing-
masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain.
Gambar 12: Gendang Balobat Gambar 13: Gendang Telu Sendalanen (Sumber: Dok. Irwansyah Harahap) (Sumber: Dok. Irwansyah Harahap)
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.2.1 Kulcapi
Kulcapi adalah alat musik petik berbentuk lute yang terdiri dari dua buah
senar (two-strenged fretted-necked lute). Dahulu kala senarnya terbuat dari akar
pohon aren (enau) namun sekarang telah diganti senar metal. Langkup Kulcapi
(bagian depan resonator Kulcapi) tidak terdapat lobang resonator, justru lobang
resonator (disebut babah) terdapat pada bagian belakang Kulcapi. Dalam memainkan
Kulcapi, lobang resonator (babah) tersebut juga berfungsi untuk mengubah warna
bunyi (efek bunyi) dengan cara tonggum, yakni suatu teknik permainan Kulcapi
dengan cara mendekapkan seluruh/sebagian babah Kulcapi ke badan pemain Kulcapi
secara berulang dalam waktu tertentu. Efek bunyi Kulcapi yang dihasilkan melalui
tehnik tonggum ini hampir menyerupai efek bunyi echo pada alat musik elektronik
pada umumnya.
2.2.7.2.2 Balobat
Balobat merupakan alat musik tiup yang tebuat dari bambu (block flute).
Instrumen ini mirip dengan alat musik recorder pada alat musik barat. Balobat
memiliki enam buah lobang nada. Dilihat dari perannya dalam gendang telu
sedalanen, balobat memiliki peran yang sedikit atau kurang berperan penting, karena
pada sebagian besar penampilan Gendang telu sendalanen biasanya menggunakan
Kulcapi pembawa melodi.
2.2.7.2.3 Keteng-keteng
Keteng-keteng merupakan alat musik yang terbuat dari bambu. Bunyi keteng-
keteng dihasilkan dari dua buah “senar” yang diambil dari kulit bambu itu sendiri
Universitas Sumatera Utara
(bamboo idiochord). Pada ruas bambu tersebut dibuat satu lobang resonator dan tepat
di atasnya ditempatkan sebilah potongan bambu dengan cara melekatkan bilahan itu
ke salah satu senar keteng-keteng. Bilahan bambu itu disebut gung, karena peran
musikal dan warna bunyinya menyerupai gung dalam Gendang Lima Sendalanen.
Bunyi musik yang dihasilkan keteng-keteng merupakan gabungan dari alat-alat
musik pengiring Gendang Lima Sendalanen (kecuali sarune) karena pola permainan
keteng-keteng menghasilkan bunyi pola ritem: gendang singanaki, gendang
singindungi, penganak dan gung yang dimainkan oleh hanya seorang pemain keteng-
keteng.
Menurut Sempa Sitepu (1982: 192) kemungkinan terciptanya alat musik ini
(keteng-keteng) ialah untuk menanggulangi kesulitan memanggil gendang (Gendang
Lima Sendalanen) dan untuk acara yang tidak begitu besar seperti ndilo tendi
(memanggil roh) atau erpangir ku lau, alat tersebut dapat menggantikannya. Balobat
digunakan sebagai pembawa melodi menggantikan sarune dalam Gendang Lima
Sendalanen.
2.2.7.2.4 Mangkok
Mangkok yang dimaksud dalam hal ini adalah semacam cawan (chinese
glass-bowl) yang pada dasarnya bukan merupakan alat musik, namun dalam gendang
telu sedalanen, mangkok tersebut digunakan sebagai instrumen pembawa ritmis.
Selain sebagai alat musik, mangkok juga merupakan perlengkapan penting dari guru
sibaso (dukun) dalam sistem kepercayaan tradisional Karo. Mangkok tersebut
digunakan sebagai tempat air suci atau air bunga atau juga beras dalam ritual
tertentu. Ketika mangkok digunakan atau dipakai sebagai alat musik dalam Gendang
Universitas Sumatera Utara
telu sendalanen biasanya diisi air putih biasa, tujuannya agar bunyi yang dihasilkan
mangkok tersebut menjadi lebih nyaring.
2.2.7.2.5 Peran masing-masing instrumen gendang telu sedalanen.
Secara struktur musikal, Gendang telu sendalanen mengacu kepada struktur
musikal Gendang Lima Sendalanen, dimana peran musikalnya dibagi dalam dua
bagian penting, yakni satu alat musik sebagai pembawa melodi, yang lainnya sebagai
istrumen musik pengiring. Dalam gendang telu sedalanen, Kulcapi (dalam Gendang
Lima Sendalanen Plus Kulcapi) atau balobat (dalam gendang balobat) berperan
sebagai alat musik pembawa melodi. Keteng-keteng dan mangkok memiliki peranan
sebagai musik pengiring. Namun keteng-keteng sebagai alat musik pengiring
memiliki peran yang unik, yakni menghasilkan bunyi imitasi (tiruan) dari bunyi
empat alat musik pengiring yang terdapat pada Gendang Lima Sendalanen. Dalam
pola permainan alat musik keteng-keteng terdapat sora (“bunyi”) penganak, gung,
cak-cak (pola ritem) singanaki dan singindungi. Pola pukulan mangkok merupakan
pukulan konstan berulang-ulang mengikuti pola permainan penganak atau gung
dalam Gendang Lima Sendalanen.
2.2.7.2.6 Posisi pemain Gendang Telu Sedalanen
Para pemain Gendang telu sendalanen bermain musik dalam posisi duduk.
Alat musik Kulcapi dimainkan dengan posisi tangan kanan memangku ujung alat
musik sekaligus jari tangan kanan memegang kuis-kuis, yaitu alat petik yang terbuat
dari kayu atau kadang-kadang dari tanduk binatang. Sementara tangan kiri
memegang kerahong (neck) Kulcapi sekaligus jari-jari tangan kiri berperan menekan
Universitas Sumatera Utara
senar Kulcapi dalam memainkan melodi. Keteng-keteng dimainkan dengan
meletakkan alat musik tersebut di lantai di depan pemain, mangkok juga ditempatkan
dalam posisi serupa.
2.2.7.3 Alat musik tradisional Karo non-ensambel
Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang
telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang
dimainkan secara sendiri (solo) tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang
lain (non-ensembel). Alat musik solo tersebut adalah Kulcapi, balobat, surdam,
embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur
2.2.7.3.1 Kulcapi
Alat musik Kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini sama
dengan Kulcapi yang telah diuraikan dalam gendang telu sedalanen, namun
perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih dari satu yakni dapat dimainkan
dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara solo (tunggal). Perbedaannya
adalah konteks penyajian. Kulcapi sebagai alat musik solo biasa digunakan sebagai
hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil pendengar yang tidak memiliki
konteks tertentu. Sebagai alat musik pribadi, Kulcapi memiliki komposisi-komposisi
tersendiri yang berisi tentang ceritera-cerita rakyat, seperti cerita penganjak kuda
sitajur, cerita perkatimbung beru tarigan, tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru,
dan beberapa cerita lainnya. Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui
melodi Kulcapi. Jika didengarkan oleh sekelompok orang sebagai hiburan, kadang-
kadang timbul pertanyaan dari pendengar tentang arti melodi yang sedang dibawakan
Universitas Sumatera Utara
oleh perKulcapi karena mereka tidak mengerti. PerKulcapi biasanya akan
menjelaskan cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi
tersebut, sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang
dimainkan perKulcapi.
Gambar 14: Kulcapi
2.2.7.3.2 Balobat
Balobat (block flute) sebagai instrumen solo juga merupakan alat musik yang
sama dengan balobat yang terdapat dalam gendang balobat. Perbedaannya adalah
konteks penyajian. Balobat sebagai instrumen solo digunakan sebagai hiburan
pribadi ketika sedang mengembalakan ternak di padang rumput, ketika sedang
menjaga padi di sawah atau di ladang.
Gambar 4.16: Balobat
Universitas Sumatera Utara
2.2.7.3.3 Surdam
Surdam juga alat musik tiup yang terbuat dari bambu. Alat musik surdam
ditiup dari belakang dengan ruas bambu yang terbuka (endblown flute). Secara
konstruksi dan tehnik memainkan, surdam memiliki kemiripan dengan saluang pada
musik tradisional Minangkabau atau shakuhachi pada musik tradisional Jepang.
Tidak seperti balobat yang secara sederhana dapat langsung berbunyi ketika ditiup,
surdam memiliki teknik khusus untuk meniupnya agar dapat berbunyi (lihat
Lampiran Gambar L.3). Tanpa menguasai teknik tersebut, surdam tidak akan
berbunyi ketika ditiup. Alat musik surdam biasanya dimainkan pada malam hari
ketika suasana sepi.
2.2.7.3.4 Embal-embal dan empi-empi
Kedua alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang hanya biasa
ditemukan pada sawah atau ladang ketika padi sedang menguning. Keduanya
dimainkan atau digunakan sebagai alat musik hiburan pribadi di sawah atau di ladang
ketika menjaga padi dari gangguan burung. Embal-embal (aerophone, single reed)
terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lobang-lobang penghasil nada. Sebagai alat
musik tiup, lidah (reed) embal-embal dibuat dari badan alat musik alat musik itu
sendiri.
Empi-empi (aerophone, multiple reeds) terbuat dari batang padi yang telah
mulai menguning. Lidah (reed) dari empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri,
dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung batang padi yang
memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas batang padi menjadi beberapa bagian (tidak
terpisah) maka ketika ditiup bagian yang terpecah tersebut akan menimbulkan bunyi.
Universitas Sumatera Utara
Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobang-lobang untuk menghasilkan
nada yang berbeda. Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada. Untuk
saat sekarang, embal-embal dan empi-empi sudah semakin jarang
ditemukan/dimainkan oleh masyarakat Karo, khususnya orang Karo yang berada di
daerah pedesaan.
2.2.7.3.5 Murbab, dan Genggong.
Alat musik murbab atau murdab merupakan alat musik gesek
menyerupai rebab pada alat musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik
barat. Murbab terdiri dari dua senar, sedangakan resonatornya terbuat dari
tempurung kelapa. Alat musik murbab dahulu dipergunakan sebagai alat musik solo
dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan. Alat musik ini
kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo.
Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan dengan
menggunakan mulut sebagai resonator. Selain sebagai resonator, mulut juga
berfungsi untuk mengubah tinggi rendahnya nada yang diinginkan. Pada waktu dulu,
genggong dipergunakan oleh anak perana (perjaka) untuk memanggil singuda-
nguda (gadis) pujaan hatinya pada malam hari agar keluar dari rumah, sehingga
mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang anak perana memainkan
genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti oleh kekasihnya, sehingga dia
akan keluar dari rumah. Genggong juga diperkirakan telah hilang dari kebudayaan
musik Karo saat ini.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
PERANAN JASA TARIGAN DALAM KESENIAN KARO
3.1 Perubahan Tradisi Masyarakat Karo Secara Umum
Tradisi masyarakat Karo secara bertahap mengalami perubahan bersamaan
dengan proses perkembangan masyarakat dan munculnya pengaruh dari kebudayaan
luar masyarakat tersebut. Mayoritas masyarakat Karo juga telah meninggalkan
kepercayaan lama yaitu pemena, sehingga beberapa kegiatan ritual tradisional
semakin jarang dilakukan.
Kegiatan ritual tersebut memiliki kaitan yang erat dengan musik tradisional
Karo, maka apabila ritual tersebut tidak dilaksanakan lagi, maka secara otomatis
musik tradisionalnya juga semakin jarang ditampilkan. Selain itu sistem pertanian
masyarakat Karo juga telah berubah dari sistem pertanian substansi menjadi bersifat
ekonomis. Hal ini berdampak pada acara Gendang guro-guro aron yang menjadi
salah satu seni pertunjukan tradisi yang biasanya dilaksanakan anak perana-singuda-
nguda (muda-mudi). Acara tersebut juga menjadi berkurang kwantitas
pertunjukannya karena sebagian besar anak perana-singuda nguda meninggalkan
daerah kabupaten Karo untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di kota
Medan atau kota-kota besar lainnya.
Masyarakat yang tinggal di wilayah kabupaten Karo juga telah puluhan tahun
mengenal media informasi dan hiburan, seperti: surat kabar, televisi bahkan
belakangan ini media innternet mulai bayak di gunakan sehingga berbagai jenis
informasi dan hiburan juga telah dapat diketahui atau diamati.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan di atas merupakan faktor-faktor umum yang terjadi dalam suatu
masyarakat yang sedang berkembang. Secara lebih khusus masih terdapat faktor lain
yang mengakibatkan suatu proses dan hasil sebuah perubahan menjadi berbeda-beda.
Hal ini terlihat dalam proses perubahan tradisi masyarakat Karo yang akan diuraikan
berikut ini.
Walaupun sebagian besar masyarakat Karo telah meninggalkan sistem
kepercayaan lama, tetapi masih terdapat beberapa aktivitas tradisi yang secara rutin
masih dilakukan. Seperti Kerja tahun, Kerja tahun merupakan suatu upacara adat
yang berkaitan dengan pertanian, dan semua desa/kecamatan memiliki bulan tertentu
dalam setiap tahun untuk merayakan Kerja tahun tersebut. Seluruh keluarga biasanya
berkumpul di desa kelahirannya pada saat kerja tahun ini. Selain itu komunitas orang
Karo yang tinggal secara menetap di kota Medan juga masih melaksanakan beberapa
upacara tradisi, seperti perkawinan adat Karo, ritual kematian dan lain sebagainya,
dan upacara-upacara tersebut dilaksanakan masih seperti tata cara yang dilakukan di
wilayah kabupaten Karo, dan .
Selain itu, muda-mudi yang berada di kota Medan juga dalam waktu tertentu
tetap melaksanakan Gendang guro-guro aron di dalam komunitas barunya.
Walaupun konteks seni pertunjukan yang dilaksanakan di Medan tidak berkaitan
dengan sistem pertanian tradisi, tapi tata cara pelaksanaannya masih mengikuti
Gendang guro-guro aron di pedasaan. Para seniman yang mendukung seni
pertunjukan Gendang guro-guro aron di desa dan di kota juga pada umumnya adalah
orang yang sama, khususnya Perkolong-kolong.
Di lain hal, karena jarak yang tidak terlalu jauh antara kota Medan dengan
wilayah Kabupaten Karo (+/-76 KM), menyebabkan hubungan antara orang Karo
Universitas Sumatera Utara
yang berdomisili di kedua daerah tersebut tetap terjaga, hal ini dilihat berdasarkan
hubungan kekerabatan antara orang Karo. Jika sebuah keluarga di wilayah kabupaten
Karo mengadakan upacara adat, maka kerabat yang berada di Medan pada
khususnya, di wilayah Sumatera Utara pada umumnya akan diundang.
Demikian juga sebaliknya, orang Karo yang mengadakan upacara adat di kota
Medan pasti melibatkan unsur kerabatnya yang berada di wilayah kabupaten Karo.
Interaksi-interaksi tersebut mengakibatkan dua hal. Pertama, orang Karo dari
kabupaten Karo secara berkala akan melihat hal-hal yang baru di perkotaan ketika
menghadiri upacara adat di kota, dan sebaliknya, masyarakat perkotaan juga secara
berkala akan pergi ke kabupaten Karo dalam rangka menghadiri upacara adat. Secara
tidak langsung kondisi ini mengakibatkan terjadinya percampuran kebiasaan di
antara kedua masyarakat yang berlaian wilayah tempat tinggal tersebut.
Faktor-faktor yang telah disebutkan di atas sangat berpotensi mengakibatkan
terjadinya berbagai perubahan dalam kebudayaan tradisi masyarakat Karo, dan
dalam kenyataannya hal ini telah terjadi dalam beberapa hal, khususnya pada
pemakaian alat-alat musik tradisional dalam konteks kesenian tradisional masyarakat
Karo.
3.2 Penambahan Instrumen Dalam Ensambel Musik Tradisi Karo
3.2.1 Kulcapi dalam Ensambel Gendang Lima Sendalanen
Pada awal tahun 1980, seorang musisi tradisional Karo, yaitu Jasa Tarigan
melakukan eksperimen dengan menggabungkan alat musik Kulcapi dengan Gendang
Lima Sendalanen dalam seni pertunjukan tradisional masyarakat Karo, yaitu
Gendang guro-guro aron. Awalnya, Kulcapi adalah alat musik pembawa melodi
Universitas Sumatera Utara
dalam ensambel Gendang telu sendalanen, sementara itu alat musik pembawa
melodi dalam Gendang Lima Sendalanen adalah Sarune. Sebelumnya pada akhir
tahun 1970an, Gendang Lima Sendalanen yang terdiri dari alat musik: Sarune,
Gendang singanaki, Gendang singindungi, Penganak dan Gung masih merupakan
ensambel musik tradisional masyarakat Karo yang biasa digunakan dalam kesenian
tradisional Karo.
Selanjutnya, dengan kemampuan dan kreativitas yang dimilikinya, Jasa
Tarigan menggabungkan instrumen Kulcapi dengan Gendang Lima Sendalanen
dalam konteks Gendang guro-guro aron. Dalam hal ini Kulcapi dimainkan secara
bergantian dengan Sarune sebagai alat musik pembawa melodi. Pergantian alat
musik ini juga tidak bersifat permanen dalam satu pertunjukan Gendang guro-guro
aron, karena dalam setiap pertunjukannya, kedua instrumen tersebut tetap akan
dibawa dan penggunaannya dimainkan secara berganti-gantian dalam membawakan
melodi lagu.
Dengan digunakannya Kulcapi sebagai pembawa melodi dalam Gendang
Lima Sendalanen, maka konsep atau terminologi Gendang Lima Sendalanen sebagai
suatu ensambel musik tradisional Karo menjadi rancu, karena di depan telah
dijelaskan bahwa Gendang Lima Sendalanen terdiri dari instrumen: Sarune,
Gendang singanaki, Gendang singindungi, Penganak dan Gung, sementara Kulcapi
memiliki ensembel dan konteks tersendiri, yaitu Gendang telu sendalanen dan
konteksnya adalah Erpangir ku lau.
Agar lebih memudahkan penulisan, dalam tulisan ini penulis menggunakan
istilah Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi untuk menyebutkan percampuran
antara Kulcapi dengan Gendang singanaki, gendang singindingi, Penganak dan
Universitas Sumatera Utara
Gung (Gendang Lima Sendalanen). Artinya, secara ensambel tetap merupakan
ensambel Gendang Lima Sendalanen sementara Kulcapi hanya sebagai tambahan
instrumen.
Kemudian, sekitar tahun 1970an, sebelum Kulcapi digabungkan dengan
Gendang Lima Sendalanen dalam konteks Gendang guro-guro aron, lagu-lagu diluar
lagu tradisi Karo sudah mulai digunakan, seperti lagu: Seringgit si dua Kupang, Mak
Inang (lagu tradisi melayu) dan lain-lain. Selanjutnya ketika Gendang Lima
Sendalanen Plus Kulcapi hadir dan memainkan lagu-lagu tersebut, orang-orang yang
mendengar merasa lebih senang. Selain itu lagu-lagu pop daerah Karo yang biasanya
dimainkan group band Karo, juga dapat dimainkan dengan baik menggunakan
Kulcapi sebagai pembawa melodi. Secara tidak langsung penggunaan Kulcapi
tersebut mendapat perhatian lebih dari masyarakat Karo, khususnya kalangan muda-
mudi. Oleh karena itu, Gendang guro-guro aron dengan iringan Gendang Lima
Sendalanen Plus Kulcapi menjadi semakin sering dipertunjukkan oleh masyarakat
Karo, dari kelompok singuda-nguda dan anak perana yang berada di pedesaan,
sampai anak perana singuda-nguda yang berada di kota Medan.
Seiring dengan itu, Jasa Tarigan sebagai pembawa perubahan dalam
ensambel tradisional Karo tersebut, tentunya mendapat banyak pesanan untuk
bermain dalam konteks Gendang guro-guro aron, tidak hanya terbatas di wilayah
Sumatera Utara, namun kadang-kadang komunitas masyarakat Karo di perantauan
seperti di kota Jakarta, Bandung, Surabaya, dan kota lainnya juga secara khusus
Universitas Sumatera Utara
pernah mengundang Jasa Tarigan dan kelompok pemusiknya sebagai Sierjabaten
dalam Gendang guro-guro aron yang diselenggarakan di kota-kota tersebut.6
Di sisi lain, peran Sarune dan Kulcapi (dalam Gendang Lima Sendalanen
Plus Kulcapi) dalam membawakan melodi lagu (komposisi) tradisional Karo
Karena seringnya Gendang guro-guro aron yang dilaksanakan menggunakan
Gendang Lima Sendalanen Plus Kulcapi hasil kreativitas Jasa Tarigan ini, maka
lambat laun, beberapa seniman tradisional Karo mulai mengikuti apa yang dilakukan
Jasa Tarigan tersebut. Karena pada masa itu hanya sedikit orang Karo yang
menguasai tehnik permainan Kulcapi, maka beberapa seniman Karo khususnya dari
kalangan pemuda berusaha mempelajarinya kembali.
Sebenarnya ada beberapa faktor yang menyebabkan instrumen Kulcapi ini
menjadi begitu menarik bagi masyarakat Karo khususnya anak muda dalam kontaks
Gendang guro-guro aron, seperti yang penulis ketahui, biasanya Kulcapi dimainkan
oleh kalangan orang tua yang telah berumur di atas 50 tahun, sementara seniman
(sierjabaten) dalam Gendang guro-guro aron biasanya lebih banyak melibatkan
orang-orang yang lebih muda, hal ini disebabkan karena jenis komposisi musik yang
ditampilkan sangat berbeda. Karena ini adalah acara muda-mudi, maka Sierjabaten
dalam Gendang guro-guro aron harus tau memainkan berbagai lagu muda-mudi
yang bersifat percintaan dan lain-lain, oleh sebab itu kalangan seniman khususnya
Penarune (pemain Sarune) atau PerKulcapi (pemain Kulcapi) yang telah berusia
lanjut biasanya banyak yang tidak mampu menguasai lagu muda-mudi yang bersifat
percintaan tersebut maupun lagu-lagu yang baru muncul.
6 Hasil wawancara penulis dengan Jasa tarigan 25 – 02 - 2010.
Universitas Sumatera Utara
merupakan suatu fenomena baru, hal itu disebabkan antara lain karena kedua alat
tersebut memiliki karakter yang berbeda, Sarune adalah alat tiup sementara Kulcapi
alat musik petik. Sarune tidak dapat di-tuning tinggi rendah nadanya, sementara
Kulcapi dapat dengan mudah di-tuning, oleh karena itu secara tidak langsung hal itu
menyebebkan keterbatasan Sarune dalam membawakan lagu-lagu pop Karo
dibandingkan Kulcapi.
Selain itu, Kulcapi mampu menghasilkan nada-nada “mendekati” tangga
nada diatonis mayor dan tangga nada diatonis minor. Pengertian “mendekati” dalam
hal ini adalah nada-nada yang dihasilkan Kulcapi sebenarnya tidak persis sama
dengan tangga nada diatonis, karena alat musik Kulcapi dibuat berdasarkan prinsip
tradisi musik Karo, tanpa mengacu kepada alat musik barat pada umumnya. Namun,
Kulcapi dapat memainkan melodi lagu-lagu pop Karo dan lagu-lagu Indonesia,
terutama lagu-lagu dangdut yang biasanya hadir dalam pertunjukan Gendang guro-
guro aron.
Kemudian, harmoni bunyi yang ditimbulkan Kulcapi juga cukup
mempengaruhi minat pendengar dan penari karena Kulcapi memiliki dua buah senar
dengan fret di neck (leher)nya, ini memudahkan kulcapi menghasilkan interval-