PERANAN ASEAN MENDORONG PEMERINTAHAN MILITER DALAM MENEGAKKAN DEMOKRASI DI MYANMAR Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hubungan Internasional Oleh : Ikrimah NIM : 106083002812 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERANAN ASEAN MENDORONG PEMERINTAHAN MILITER
DALAM MENEGAKKAN DEMOKRASI DI MYANMAR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hubungan Internasional
Oleh :
Ikrimah
NIM : 106083002812
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
LEMBAR PERNYATAAN :
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 13 Oktober 2010
Ikrimah
ABSTRAK
Myanmar merupakan salah satu negara berkembang di kawasan Asia Tenggara yang dikuasai oleh rezim militer otoriter. Sejak merdeka Myanmar diselimuti oleh masalah domestik yang kompleks. Stabilitas politik dan masyarakat yang masih rentan dan adanya disintegrasi nasional menjadi salah satu alasan bagi militer untuk melakukan intervensi dalam pemerintahan. Tahta pemerintahan yang diduduki oleh militer tidak menjamin perbaikan kondisi politik negara, karena hal tersebut mengakibatkan Myanmar memiliki tambahan beban permasalahan dengan mendangkalnya proses peralihan kekuasaan kepada pihak yang dipilih rakyat.
Fenomena kuatnya rezim militer Myanmar dan lambatnya proses
demokrasi berdampak pada kredibilitas ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara yang menaungi Myanmar. Dengan bergesernya konsep masalah demokrasi menjadikan demokrasi sebagai bagian dari urusan internasional, maka peran ASEAN dalam mengatasi masalah Myanmar sangat diperhatikan masyarakat internasional. Melalui pendekatan constructive engagement dan penyelesaian masalah berdasarkan konsensus, ASEAN berusaha mengatasi permasalahan demokrasi di Myanmar.
Penelitian ini memiliki hasil temuan bahwa peran ASEAN tidak cukup berhasil dalam mengupayakan kehidupan demokrasi di Myanmar. Ketidakberhasilan ASEAN disebabkan ASEAN terbentur oleh hambatan yang bersifat internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap kehidupan demokrasi Myanmar yang berjalan stagnan.
Penelitian ini bersifat kualitatif dan didukung oleh teori-teori sehingga diperoleh bukti yang mendukung kebenaran hasil temuan. ASEAN terbukti belum berhasil memainkan perannya disebabkan ASEAN tidak mampu mengupayakan keterlibatan semua pihak dalam rencana pesta demokrasi tahun 2010. Selain itu, ASEAN tidak berhasil mendorong pemerintah militer Myanmar untuk dapat membentuk peraturan pemilu yang memiliki asas keadilan bagi semua pihak di Myanmar. Peran ASEAN yang belum berhasil ini disebabkan adanya beberapa hambatan internal dan eksternal yang mempengaruhi prospek demokrasi Myanmar. Secara internal, ASEAN memiliki prinsip dan cara penyelesaian masalah yang mempengaruhi kapabilitas ASEAN dalam mengimplementasikan perannya. Sedangkan secara eksternal, adanya kepentingan-kepentingan negara luar terhadap Myanmar sehingga menjadikan beberapa peran ASEAN dalam mengupayakan kehidupan demokrasi di Myanmar mengalami kegagalan. Kata Kunci : ASEAN, Militer, Demokrasi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT Yang Maha
Pengasih Lagi Maha Penyayang, yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia
Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam
penyusunan skripsi ini, penulis menyadari terdapat banyak kendala yang
menghambat langkah penulis untuk merampungkan skripsi ini. Namun, berkat
bimbingan, bantuan serta motivasi dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih
kepada :
1. Prof.Dr.Bahtiar Effendy sebagai Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
dan Dr. Hendro Prasetyo, MA, sebagai Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Nazaruddin Nasution, SH, MA, sebagai Ketua Jurusan Hubungan
Internasional dan Agus Nilmada Azmi, M.Si, sebagai Sekretaris Jurusan
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. M. Adian Firnas, M.Si, sebagai Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang telah
memberi arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan dengan baik.
4. Mutiara Pertiwi, MA, sebagai Pembimbing Akademik Penulis.
5. Segenap pihak Kementerian Luar Negeri, Deplu RI, khususnya Drs. Ade
Padmo Sarwono, MA, selaku Direktur Politik dan Keamanan ASEAN dan Ibu
Arie yang telah bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukannya.
vi
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmu yang tidak
ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Orang tua tercinta yang selalu membimbing dan memberikan motivasi demi
kebaikan dan keberhasilan penulis tanpa pernah mengeluh dan berputus asa.
8. Saudara dan Saudari penulis; Ka Mila dan Ka Zayed, Ka Musriva dan Ka
Rahmat, Ka Ria, Ka Chaca, yang turut memberikan dukungan moril dan
materiil bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Dani Agus Prasetyo yang telah bersedia meluangkan waktunya menemani
penulis dalam pencarian data untuk pembuatan skripsi ini.
10. Sahabat-sahabat terbaik penulis; Fitrianingsih, Annisa Auditasari, Evi Tamala
yang sama-sama berjuang dengan penulis dalam susah dan senang selama
proses pembuatan skripsi ini, serta untuk Ricka, Yovita, Ika, Ovi dan Novita
yang selalu memberi dukungan dan mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Sahabat-sahabat terbaik penulis di HI A ; Anne Normadiah, Ayu Yukhaeroh,
Dzuriah Tiara Hanny, Hazrina, dan Ita Fatimah atas kesediaanya berjuang
bersama penulis sejak awal hingga masa-masa akhir perkuliahan.
12. Nadya Hajarani Dwi Lestari, terimakasih atas semua informasinya.
13. Teman-teman Mahasiswa/Mahasiswi Jurusan Hubungan Internasional kelas A
angkatan 2006.
14. Semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini namun
tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
vii
Akhir kata penulis berharap semoga segala kebaikan yang tulus dari semua
pihak dapat diterima oleh Allah SWT. Kiranya skripsi ini masih jauh dari
sempurna, namun besar harapan bagi penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan kontribusi bagi pembaca khususnya mahasiswa FISIP HI UIN, untuk
menambah wawasan dalam mempelajari ilmu hubungan internasional.
Jakarta, 13 Oktober 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 5
Myanmar adalah salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara
yang hingga kini dikuasai oleh militer. Setelah memperoleh kemerdekaan dari
Inggris pada tahun 19481, pemerintahan Burma2 berbentuk Republik bernama
Union of Burma dengan Sao Shwe Thaik sebagai Presiden pertama dan U Nu
sebagai Perdana Menteri.
Pasca merdeka demokrasi sempat berlangsung di Burma, tetapi berhenti
sejenak tatkala militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win melakukan kudeta di
tahun 1958 hingga 1960. Demokrasi bersemi kembali setelah pemilu tahun 1960
dimenangkan oleh U Nu dengan partainya Union Party. Namun rezim militer
mengemuka kembali mengambilalih pemerintahan sipil di tahun 1962.3
Keberhasilan kudeta yang dilakukan Ne Win terhadap Perdana Menteri U Nu ini
dapat dikatakan sebagai awal dari keruntuhan demokrasi di Myanmar.
Selama berkuasa, Jenderal Ne Win membentuk dan hanya mengakui satu
partai politik yaitu Burmese Socialist Program Party (BSPP) atau lebih dikenal
dengan Partai Lenzin. Partai tunggal ini dibentuk untuk mendukung program
1 Win Min, ”Looking Inside The Burmese Military”, Asian Survey, Vol. XLVIII No. 6,
November/Desember 2008, h. 1021. 2 Meskipun pada tahun 1990 pemerintah telah merubah nama resmi negara dari Burma ke
Myanmar, banyak pembahasan dalam penelitian ini mengacu pada konsep kekinian yaitu yang lebih dikenal sebagai Myanmar. Untuk menghindari kerancuan, dalam penelitian ini saya menggunakan nama Myanmar secara konsisten.
3 Neil A. Englehart, ”Is Regime Change Enough for Burma?, The Problem of State Capacity”, Asian Survey, Vol. XLV No. 4, July/ August 2005, h. 623.
1
pemerintahannya yaitu ”Burmese Way to Socialism”.4 Berbagai kebijakan represif
yang dijalankan Ne Win telah menyebabkan munculnya masalah intern yang
harus dihadapi oleh rakyat Burma. Ketidakpuasan atas kebijakan Ne Win
mendorong lahirnya protes besar pada tahun 1988. Rakyat menuntut kembalinya
sistem demokrasi multipartai dan digantinya pemerintahan. Dengan adanya
pertentangan ini, Ne Win mundur dari pemerintahan dan digantikan oleh Jenderal
Saw Maung pada 18 September 1988 diikuti dengan pembubaran BSPP dan
pendirian SLORC (State Law and Order Restoration Council).5 SLORC yang
didirikan dengan tujuan untuk memulihkan keadaan negara, berkuasa melalui
Undang-Undang Darurat (Martial Law).
Pada masa kekuasaanya Saw Maung merencanakan penyelenggaraan
pemilu untuk memilih anggota Parlemen yang dikenal dengan nama Pyithu
Hluttaw dengan tetap memberlakukan Undang-Undang Darurat dan membekukan
konstitusi 1974. Sesuai dengan persetujuan SLORC untuk mengadakan pemilu
multipartai, maka pada tanggal 27 Mei 1990 diadakan pemilu untuk memilih
anggota parlemen. Dalam pemilu kali ini partai oposisi yaitu National League for
Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi tampil sebagai
pemenang. Hasil pemilu ini diluar prediksi SLORC sehingga menimbulkan
keterkejutan bagi junta militer. Oleh sebab itu, SLORC tidak mengakui hasil
pemilu tersebut bahkan Aung San Suu Kyi dan Tin Oo selaku pimpinan NLD
4 M. Adian Firnas, “Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina,
Vol. 2 No. 2, 2003, h. 130. 5 Priyambudi Sulistiyanto, ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi
Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No. 5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997, h. 20.
2
ditangkap dan dikenakan tahanan rumah oleh pemerintah Myanmar pada 29 Juli
1989.6
Jenderal Saw Maung mundur dari pemerintahan dan digantikan oleh
Jenderal Than Shwe. Pada masa pemerintahannya, ia telah mencabut UU Darurat
pada 26 September 1992. Sedangkan pada tahun 1997, SLORC berganti nama
menjadi SPDC (The State Peace and Development Council) dengan karakteristik
pemerintahan yang sama yaitu otoriter, represif dan totaliter. Pengelakan hasil
pemilu dan pengambilalihan kekuasaan atas sipil dilakukan militer dikarenakan
militer menganggap bahwa kelompok prodemokrasi merupakan ancaman bagi
supremasi pihak militer.
Masalah yang terjadi dalam pemerintahan Myanmar menyita perhatian
masyarakat internasional. Penyebab awal timbulnya perhatian internasional adalah
sejak adanya tindakan pemerintahan junta yang menindas keras para demonstran
yang beraksi menentang pemerintahannya. Rakyat Myanmar yang melakukan aksi
protes menuntut pemerintahan junta untuk segera menjalankan sistem demokrasi,
menghormati hak asasi manusia dan membebaskan aktor-aktor prodemokrasi.
Kebijakan–kebijakan yang dijalankan oleh junta telah memiskinkan negara dan
dari kebijakan tersebut terlihat jelas bahwa pemerintahan junta telah mengabaikan
hak-hak masyarakat Myanmar. Masalah Myanmar telah menjadi tantangan bagi
keamanan dan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan telah memberikan tantangan
bagi ASEAN dalam hal membangun kepercayaan terhadap masyarakat
internasional.
6 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi
Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 86.
3
Kebijakan domestik Junta juga telah menciptakan kondisi yang
mengancam ketidakstabilan wilayah Asia Tenggara yang berujung pada kesinisan
sikap internasional. Ketidakmampuan ASEAN membuat Myanmar untuk lebih
bersikap terbuka dan memperbaiki kebijakan domestiknya akan memperkuat
pandangan masyarakat internasional bahwa ASEAN tidak memainkan perannya
secara penuh dalam wilayah Asia Tenggara.7
Proses percobaan mempengaruhi Junta agar melakukan perubahan telah
dilakukan oleh ASEAN dan PBB. Dengan melakukan misi kunjungan kenegaraan
ASEAN telah diwakili oleh beberapa utusan dari negara-negara pendiri ASEAN
yang bertugas untuk menyampaikan pandangan ASEAN tentang pentingnya
percepatan proses rekonsiliasi nasional Myanmar.8 Akan tetapi, dalam upaya itu
tidak jarang Junta militer menolak dengan tegas misi kunjungan kenegaran
tersebut. Dengan prinsip non-interference yang dipegang teguh ASEAN yang
telah disepakati bersama, maka ASEAN tidak dapat bertindak lebih tegas dalam
menghadapi kekerasan sikap Junta militer Myanmar.
Selain itu, dengan pendekatan konstruktif yang dilakukan oleh ASEAN
diasumsikan telah membuat sikap Junta sedikit melunak. Hal ini terlihat pada
rencana junta untuk menjalankan referendum konstitusi baru yang diikuti dengan
Pemilihan Umum tahun 2010. Sebagai bagian dari rencana ini, Myanmar telah
menyiapkan 7 langkah “Road Map to Democracy”. Namun, rencana ini tidak
cukup untuk perubahan politik Myanmar karena Junta militer setengah hati untuk
menganut sistem tersebut. Hal ini didasarkan pada peraturan pemerintah militer
7 Sam Polk, ‘’Burma’s Crisis and Indonesia’s Opportunity”, The Indonesian Quarterly,
Vol. 36 No. 1, First Quarter 2008, h. 94-95. 8 Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN,
Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 186.
4
yang mengatakan bahwa dalam konstitusi tersebut junta tetap menolak
kesempatan partisipasi dalam sistem politik bagi Aung San Suu Kyi.9
Jika Myanmar tidak sungguh-sungguh dalam implementasi proses
demokratisasi, maka dampak yang ditimbulkannya akan mempengaruhi
kredibilitas dan integritas ASEAN secara keseluruhan. Karenanya, Myanmar
perlu memperlihatkan bukti nyata bahwa mereka tengah bergerak kearah
demokrasi.10 Dengan demikian, kerjasama yang baik antara ASEAN dan militer
Myanmar dalam menciptakan kehidupan demokratis yang kondusif di Myanmar
adalah sangat diperlukan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas dapat ditarik suatu permasalahan yaitu :
1. Bagaimana peran ASEAN dalam menciptakan kehidupan demokrasi di
Myanmar?
2. Hambatan apa yang dihadapi ASEAN dalam mendorong pemerintahan
militer Myanmar agar menegakkan demokrasi?
1.3 Tinjauan Pustaka
Setelah membuka daftar skripsi tahun sebelumnya maka dapat
disimpulkan belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai Peranan
ASEAN Mendorong Pemerintahan Militer dalam Menegakkan Demokrasi di
9 Sam Polk, Op.Cit., h. 73. 10 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 57.
5
Myanmar. Penulisan-penulisan sebelumnya yang membahas mengenai ASEAN
dan Permasalahan Myanmar adalah :
1. Agus Budi Rachmanto, Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu-Ilmu
Sosial, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,
2002.
“Tantangan Gerakan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National
League for Democracy (NLD)”. Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut menghasilkan fokus pembahasan
mengenai tantangan terbesar yang dihadapi gerakan demokratisasi di
Myanmar yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi sejak tahun 1988 yaitu
munculnya militer yang memiliki sifat dan karakteristik yang otoriter,
yang bermakna bahwa militer Myanmar mempunyai kecenderungan untuk
menguasai pemerintahan dengan cara menggulingkan pemerintahan sipil.
Strategi yang ditawarkan untuk terciptanya tatanan politik yang
demokratis di Myanmar adalah penghapusan sifat dan karakteristik
otoritarianisme yang melekat dalam Junta militer. Selama militer
Myanmar masih otoriter, maka tidak mungkin demokrasi akan terwujud,
sehingga militer otoriter harus diubah menjadi profesionalisme.
2. M.Adian Firnas, Program Studi Ilmu Politik, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial,
Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2000.
”Militer dan Kekuasaan : Suatu Studi Terhadap Upaya-Upaya Militer
Myanmar Mempertahankan Kekuasaanya dalam Sistem Politik
Myanmar”. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Fokus
dari penelitian tersebut adalah faktor kebertahanan rezim militer Myanmar
6
ditengah desakan masyarakat internasional. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa kebertahanan rezim militer Myanmar disebabkan oleh
kemampuan militer untuk melemahkan kekuatan oposisi yang dilakukan
dengan cara mengisolasi negaranya dari percaturan internasional,
melakukan tindakan represif terhadap kekuatan demokrasi, membekukan
kegiatan politik dan mengontrol media massa. Disamping itu, kekuatan
hubungan korporat militer sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhan
ekonomi negara menjadi penyebab kedua kebertahanan rezim militer
Myanmar.
3. Wahono, Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga, 2005.
”Kebertahanan Pemerintahan Junta Militer Myanmar Menghadapi
Oposisi, Tekanan Asing dan Gerakan-Gerakan Perlawanan”. Dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif, maka penelitian tersebut
menghasilkan faktor-faktor penentu bertahannya pemerintahan militer
Myanmar, yaitu : loyalitas korporat militer, pengendalian oposisi yang
ketat melalui pengendalian partai politik dan insurjen bersenjata, tekanan
luar negeri yang mengendur dan survival strategy.
4. Triyogo Puspito Adi, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001.
“Kepentingan Myanmar Menjadi Anggota ASEAN Periode (1988-1997)”.
Metode analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif.
Penelitian tersebut menghasilkan bahwa untuk meningkatkan volume
perdagangan dengan negara-negara anggota ASEAN mendorong
7
Myanmar untuk menjadi anggota ASEAN, dan untuk meningkatkan
investasi dari ASEAN mendorong Myanmar untuk menjadi anggota
ASEAN. Selain itu, adanya dukungan ASEAN melalui kebijakan
constructive engagement mendorong Myanmar untuk menjadi anggota
ASEAN.
5. Dwi Wahyuni, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002.
“Efektifitas Kebijakan Constructive Engagement ASEAN Terhadap
Myanmar (1992-2000). Metode penelitian yang digunakan adalah metode
penelitian deskriptif kualitatif. Berdasarkan indikator yang ditawarkan
maka hasil penelitian ini yaitu kebijakan constructive engagement ASEAN
tidak cukup efektif dalam membawa perubahan kebijakan dalam negeri
Myanmar. Selain itu, kebijakan constructive engagement ASEAN tidak
mampu membuat keseimbangan dalam unsur tekanan dan akomodasi
terhadap pemerintah Junta militer yang berkuasa di Myanmar.
Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian
sebelumnya adalah :
a. Penelitian ini menekankan pada peran ASEAN menciptakan demokrasi
pada negara anggotanya yang masih di kuasai oleh rezim militer.
b. Rentang waktu yang digunakan dalam penelitian ini sampai pada tahun
2010 karena pada tahun tersebut terdapat rencana pelaksanaan pemilihan
umum multipartai.
8
1.4 Kerangka Teori
Myanmar sebagai salah satu negara yang berada di kawasan Asia
Tenggara resmi menjadi anggota organisasi regional ASEAN (Association of
Southeast Asia Nation) sejak tahun 1997 bersama dengan Laos. Berdasarkan
kedekatan geografis dan kesadaran negara-negara anggota ASEAN mengenai
kerentanan kawasannya akan berbagai pengaruh dan kekuatan negara-negara
besar, maka ASEAN menerima Myanmar menjadi anggotanya.
Sesuai dengan pemahaman regionalisme yang dikemukakan Louis Cantori
dan Steven Spiegel bahwa konsep region memiliki arti dua atau lebih negara yang
saling berinteraksi dan memiliki kedekatan geografis, kesamaan etnis, bahasa,
budaya, keterkaitan sosial dan sejarah serta perasaan identitas yang seringkali
meningkat disebabkan adanya aksi dan tindakan dari negara-negara diluar
kawasan.11
Pemahaman tentang regionalisme lebih lanjut dapat dijelaskan berdasaran
empat fenomena yang dikemukakan oleh Andrew Hurrell, yaitu :12
1. Tahap regionalisasi yang ditandai munculnya hubungan antar masyarakat di
kawasan secara spontan dan intensif yang didorong karena kedekatan
wilayah.
2. Fenomena regional awareness yaitu proses regionalisme yang di dorong
dengan adanya kesadaran kesamaan identitas antar masyarakat di suatu
11Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, ”Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 104. 12 Andrew Hurrel dan Louise Fawcett, ”Regionalism in World Politics : Regional
Organization and International Order”, Oxford University Press, Oxford, 1995, h. 40-44, dalam Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 78.
9
kawasan sehingga menimbulkan keinginan untuk melakukan kerjasama
secara intens.
3. Berkaitan dengan pembentukan institusi formal di tingkat kawasan atau
dalam bentuk forum kerjasama antar negara yang lebih didorong oleh
kepentingan pemerintah negara-negara di kawasan untuk mengadakan
kerjasama secara formal yang disebut sebagai regional inter-state
cooperation.
4. Tingkat yang paling advance dari proses regionalisme yaitu pembentukan
regional integration yang diwujudkan dalam bentuk organisasi supra-
nasional.
Sebagai organisasi regional, ASEAN memiliki tanggung jawab yang besar
untuk megupayakan pendekatan terhadap pemerintah Myanmar guna menegakkan
demokrasi. Dengan adanya upaya pelibatan pendekatan konstruktif yang
dilakukan oleh ASEAN diharapkan dapat melunakkan sikap junta militer
dibandingkan dengan menggunakan pendekatan konfrontatif seperti yang
dilakukan Barat. Peranan ASEAN dalam masalah Myanmar merupakan perilaku
politik yang tidak dapat dielakkan. Suatu organisasi memiliki struktur organisasi
untuk mencapai tujuan organisasi yang telah disepakati bersama. Apabila suatu
struktur tersebut telah menjalankan fungsi-fungsinya, maka organisasi itu telah
menjalankan peranan tertentu.13
Sebagaimana dalam teori peranan ditegaskan bahwa perilaku politik
adalah perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini beransumsi bahwa
sebagian besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap
13 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 30.
10
peran yang kebetulan dipegang oleh aktor politik. Mengenai sumber munculnya
harapan tersebut dapat berasal dari dua sumber : Pertama, harapan yang dimiliki
orang lain terhadap aktor politik. Kedua, harapan juga bisa muncul dari cara si
pemegang peran menafsirkan peran yang dipegangnya, yaitu harapannya sendiri
tentang apa yang harus dan yang tidak boleh dilakukan, tentang apa yang bisa dan
tidak bisa dilakukan. Sedangkan kegunaan teori peranan ini sebagai alat analisis,
untuk menjelaskan dan meramalkan perilaku politik. Peranan juga dipengaruhi
oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si pemeran.14
Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
militer Myanmar begitu kuat memerintah di atas tekanan dunia internasional. Lalu
adakah kemungkinan bagi rezim militer Myanmar untuk mundur dari
pemerintahan?. Untuk menjawab masalah tersebut, maka dibutuhkan variable
alasan mundurnya militer dari pemerintahan yang sangat penting untuk meneliti
prospek pemerintahan Myanmar. Menurut Ulf Sundhaussen terdapat tiga alasan
militer mundur dalam pemerintahan, seperti :15
Pertama, faktor eksternal militer yaitu adanya oposisi terhadap
keberlangsungan kekuasaannya. Contohnya dalam kasus Venezuela, oposisi
terbukti mampu mendesak rezim tersebut untuk segera menjalankan demokrasi.
Perlawanan dan protes tebuka yang dilakukan oleh Accion Democratica dan
partai-partai politik lain terhadap Jenderal Perez Jimenez telah berhasil membawa
negara itu menuju proses redemokratisasi kembali pada tahun 1958.16
14 Ibid, h. 30-31. 15 Ulf Sundhaussen, ”Penarikan Militer dari Pemerintahan”, Prisma LP3ES, No.7 tahun
XXIV Juli 1995, h. 60-61. 16 M. Adian Firnas, “Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas Paramadina,
Vol. 2 No. 2, 2003, h. 135.
11
Kedua, adanya alasan eksternal terhadap negara. Rezim militer yang
secara ekonomi, militer dan logistik tergantung kepada negara lain dapat terancam
bila donatur mereka menarik dukungannya. Kebijaksanaan hak-hak asasi manusia
pemerintah Carter mempunyai dampak terhadap rezim-rezim di Amerika Latin.
Samoza mungkin masih berkuasa bila pemerintahan AS tidak mengucilkannya.
Ketiga, faktor internal militer. Pemimpin rezim barangkali bersedia
menarik diri karena mereka percaya bahwa tatanan demokrasi yang tetap
memasukkan prinsip supremasi sipil atas militer pada dasarnya sangat diperlukan.
Seperti yang terjadi di Portugal ketika dikuasai militer pada 1974-1975, angkatan
bersenjata terpecah menjadi begitu banyak faksi sehingga negeri itu tidak
memiliki pemerintahan sesungguhnya. Para komandan militer menyimpulkan
bahwa satu-satunya cara memperoleh kembali kohesifitas angkatan bersenjata
adalah dengan bersama-sama menarik diri keluar dari arena politik.
Mengenai penarikan diri militer, Sundhaussen meneliti bahwa terdapat tiga
prasarat bagi penarikan diri militer, yaitu : Seluruh pengelompokan di dalam
tubuh militer yang mampu melakukan aksi politik secara sepihak sepakat
menyerahkan kekuasaan, kepentingan-kepentingan yang dianggap pimpinan rezim
militer sebagai hal esensial harus terjamin, dan tersedianya apa yang dipandang
pimpinan militer sebagai alternative politik yang dapat terus bertahan.17
Tiga faktor prasyarat penarikan diri militer ini hampir mustahil terjadi.
Berkaca kepada teori yang ditawarkan Nordlinger18 mengenai faktor-faktor yang
menjadi latar belakang intervensi salah satunya yaitu mempertahankan
kepentingan korporat militer dan anggapan internal bahwa militer sebagai
17 Ulf Sundhaussen, Op,Cit., h. 62-63. 18 Eric A.Nordlinger, Militer dalam Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, h. 93.
12
golongan nasionalis utama, sehingga menjadikan mereka bersikeras beranggapan
bahwa dirinyalah yang paling pantas untuk memerintah sehingga enggan untuk
menarik diri dari pemerintahan Myanmar.
Argumen Sundhaussen tentang penarikan diri militer dari pemerintahan,
tidak jauh berbeda dengan pendapat Todung Mulya Lubis yang meneliti proses
demilitarisasi di Indonesia masa Orde Baru. Menurutnya ada dua faktor yang
sangat urgent yang menjadikan alasan militer keluar dari kandang politik. Faktor-
faktor tersebut adalah :19 Faktor-faktor luar (exogenous factors), yakni jatuhnya
rezim Orde Baru yang disangga militer, telah memberi bukti yang kuat bahwa
militer tidak mampu memberi kesadaran politik terhadap rakyat. Oleh karena itu,
desakan publik agar militer kembali ke barak dan menyerahkan tanggung jawab
pemerintah kepada sipil, menjadi faktor dominan terjadinya demilitarisasi. Di sisi
lain, faktor dalam (inogenous factors), yakni terciptanya berbagai perbedaan
pandangan di dalam tubuh perwira-perwira tinggi militer terhadap peran mereka
dalam dunia politik, juga friksi-friksi yang terjadi di tubuh militer, mendesak
militer untuk kembali ke barak sebagai penjaga keamanan rumah tangga bangsa.
Tentunya penarikan diri militer dalam kancah politik dibutuhkan satu konsensus
di kalangan militer itu sendiri, bahwa habitat militer memang mendiami satu
wilayah yang bernuansa pada basis keamanan rakyat dan negara.
Dalam perkembangan selanjutnya, militer yang berkuasa hingga kini mulai
melunakkan hatinya dengan merencanakan akan melangsungkan kembali pesta
demokrasi pada tahun 2010. Adanya rencana untuk mengadakan pemilihan umum
ini memunculkan pertanyaan apakah dengan demikian maka di tahun 2010
19 Anas S. Machfudz dan Jaleswari Pramodawardhani (ed), Military Without Militarism,
Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI, 2001, h. 168.
13
Myanmar akan berubah menjadi negara demokrasi?. Untuk menganalisa hal
tersebut perlu dilakukan pengamatan mengenai proses transisi demokrasi dengan
mengacu pada pola transisi yang ditawarkan Huntington, yaitu:20 Pertama, pola
”transformasi”, yaitu transisi menuju demokrasi yang diprakarsai oleh rezim
yang sedang berkuasa. Kedua, pola ”replacement”, dimana kelompok oposisi
memimpin perjuangan menuju demokrasi. Ketiga, pola ”transplacement”, dimana
demokratisasi berlangsung sebagai akibat negosiasi dan bergaining antara
pemerintah dan kelompok oposisi. Keempat, pola ”intervensi”, dimana lembaga-
lembaga demokratis dibentuk dan dipaksa berlakunya oleh aktor dari luar.
Demokrasi sebagai sistem politik menurut Henry B.Mayor memiliki
pengertian suatu sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan
atas dasar mayoritas atas wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat
dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik
dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.21
Untuk mengukur tingkat pelaksanaan demokrasi, maka prinsip-prinsip
demokrasi dapat menjadi indikator, seperti :
Tabel 1. Prinsip-Prinsip Demokrasi
Nilai-nilai
Terkandung
Deskripsi
Partisipasi
(Participation)
Demokrasi pada esensinya melibatkan aspirasi masyarakat
dalam menjalankan perannya secara aktif dan menentukan
dalam proses politik. Partisipasi tidak hanya berupa
memilih dalam pemilihan umum. Partisipasi menjamin
20 Samuel P. Huntington, The Third Wave : Democratization in The Late Twenthieth
Century. University of Oklohama Press, Norman, 1991, terjemahan Asril Marjohan, Gelombang Demokratisasi Ketiga, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, h. 158-203.
21 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2005, h. 110.
14
keterlibatan dalam proses kebijakan, baik dengan
melibatkan LSM, partai politik, maupun jalur-jalur lain.
Tetapi, semua ini harus didasarkan pada asumsi bahwa
hak-hak untuk berpartisipasi itu memang sudah eksis dan
masyarakat memiliki kapasitas serta sumber daya yang
layak untuk berpartisipasi. Selain itu, pemerintah telah
menyediakan jalur-jalur dan institusi-institusi politik (di
mana melalui semua itu masyarakat bisa berpartisipasi).
Inklusivitas/Pelibatan
(Inclusion)
Setiap individu dipandang setara secara politik. Dengan
kata lain setiap individu diperlakukan sebagai warga
negara terlepas dari perbedaan latar belakang ras, etnis,
kelas, gender, agama, bahasa, maupun identitas lain.
Demokrasi mendorong pluralitas keberagaman, juga
mengelola keberagaman tersebut tanpa kekerasan.
Demokrasi tidak bisa eksis jika perolehan hak-hak dasar
dibatasi secara diskriminatif. Demokrasi juga harus
mengawal sektot-sektor masyarakat yang termarjinalisasi
melalui pelaksanaan kebijakan afirmatif untuk dapat
mencapai kesamaan status dan pemberdayaan.Kebijakan
afirmatif ini haruslah bebas dari prasangka atau stereotip.
Perwakilan
(Representation)
Dengan mempertimbangkan bahwa partisipasi langsung
dalam setiap proses pemerintahan tidak bisa dilakukan
secara absolut mengingat keterbatasan waktu dan ruang,
jalur yang paling rasional adalah dengan menyediakan
perangkat untuk representasi/perwakilan. Mereka yang
telah mendapatkan mandat untuk menjalankan aspirasi
populer harus mampu mewakili konstituensi mereka.
Institusi-institusi harus pula mencerminkan komposisi
sosial dari para pemilih – baik kelompok mayoritas
maupun minoritas. Terlebih lagi, mereka harus mewakili
arus utama dari opini publik.
Transparansi Karena demokrasi berarti bahwa institusi-institusi publik
15
(Transparency) mendapatkan otoritas mereka dari masyarakat, maka harus
ada perangkat yang memungkinkan masyarakat untuk
mengawasi dan mengawal institusi tersebut. Masyarakat
atau kelompok yang ditunjuk oleh masyarakat harus
diberikan kesempatan untuk mempertanyakan kinerja dan
kerja institusi publik tersebut. Terlebih lagi, segala
informasi mengenai proses kerja dan kinerja mereka harus
bisa dijangkau oleh publik dan media massa.
Prtanggungjawaban/
Akuntabilitas
(Accountability)
Pertanggungjawaban/akuntabilitas hanya akan mungkin
jika institusi-institusi negara/publik itu transparan dan
terbuka. Akuntabilitas penting dalam demokrasi karena
hal inilah yang akan menjamin wakil-wakil rakyat yang
memegang mandat populer tidak menyimpang dari jalur
mandat dan fungsi mereka. Akuntabilitas mengharuskan
wakil-wakil rakyat tersebut bertanggungjawab atas sikap
dan perbuatan mereka, dan jika sampai terjadi
penyimpangan, penjatuhan sanksi kepada pihak-pihak
yang bertanggungjawab harus menjadi bagian dari
akuntabilitas ini.
Kecepatan merespon
(Responsiveness)
Dalam demokrasi, institusi-institusi negara harus dapat
diakses oleh kelompok-kelompok masyarakat yang
berbeda. Institusi ini harus siap untuk merespon tuntutan-
tuntutan warganegara dalam setiap proses pembuatan
kebijakan secara cepat dan bijak. Kemampuan institusi
tersebut dalam mengantarkan pelayanan (service
delivery) menunjukkan kualitas dari institusi tersebut dan
pada akhirnya, kualitas dari demokrasi itu sendiri.
Kompetisi/ Otorisasi
(Competition/Autho-
rization)
Demokrasi juga merupakan sebuah sistem di mana partai
politik bertarung dalam proses pemilihan. Setiap partai
politik diberikan kesempatan yang setara untuk mengelola
diri secara bebas dan adil dalam proses yang kompetitif.
Selain itu, hasil dari proses-proses ini tidak akan
16
mendapatkan legitimasi jika tidak semua orang
menerimanya. Maka dari itu, sistem kompetisi ini harus
mengandung kondisi dimana warganegara diberikan
pilihan kandidat wakil rakyat yang berkualitas dengan
program-program yang layak dipilih.
Solidaritas
(Solidarity)
Rejim demokratis harus bisa bersandar pada dukungan
dan niat baik dari negara-negara lain yang juga
demokratis. Thesis “Demokrasi damai” (democratic
peace) mengklaim bahwa gabungan negara-negara
demokratis bisa membentuk komunitas bangsa yang
cinta damai. Solidaritas dapat menemukan ekspresinya
saat sebuah demokrasi menjunjung prinsip, norma, dan
aturan hukum yang disepakati oleh insitusi multilateral.
Terlebih dari itu, solidaritas harus pula mencerminkan
dukungan terhadap pergulatan demokratis di negara2 lain.
Sumber diolah dari http://www.csis.or.id/working_paper_file/62/wps054.pdf diakses pada 27 November 2010.
1.5 Hipotesa
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diawal dan didukung oleh
teori yang dipandang berguna untuk membantu menganalisa penulisan
selanjutnya, maka penulis mengajukan hipotesa sebagai berikut :
1. Peran ASEAN tidak cukup berhasil dalam menciptakan demokrasi di
Myanmar.
2. Hambatan yang dihadapi ASEAN dalam mengupayakan demokrasi di
Myanmar adalah karakter ASEAN yang memegang teguh prinsip non-
intervensi, dan adanya kekuatan hubungan luar negeri Myanmar dengan
China dan India.
17
1.6 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.22 Pengolahan data
didasarkan pada rasio dengan menggunakan logika terkait dengan penilaian
peneliti dan sesuai dengan realita.
Dengan penelitian ini diharapkan dapat lebih memahami permasalahan
sebuah negara yang dipimpin oleh militer berdasarkan proses kudeta, dan juga
diharapkan munculnya pandangan yang lebih kritis menanggapi peran organisasi
regional ASEAN dalam membantu negara-negara anggotanya untuk menciptakan
kehidupan demokrasi.
Berdasarkan penelitian deskriptif maka teknik pengumpulan data ini
menggunakan data primer dan sekunder. Data primer ini diperoleh dari dokumen
yang diterbitkan dan situs resmi ASEAN serta wawancara dengan narasumber
yang kompeten. Sedangkan data sekunder berasal dari buku, jurnal, artikel,
majalah dan koran.
1.7 Tujuan Penelitian
Terdapat tiga tujuan pokok dalam penulisan penelitian ini, yaitu :
1. Menambah wawasan mengenai peran ASEAN sebagai organisasi regional
Asia Tenggara dalam menciptakan kehidupan demokrasi di negara
anggotanya.
22 Lexy J. Moleong, ”Metode Penelitian Kualitatif”, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,
2006, h. 4.
18
2. Memperkaya wawasan mengenai demokrasi disuatu negara yang dipimpin
oleh rezim militer.
3. Memenuhi syarat dalam mencapai gelar sarjana S1 pada jurusan
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
1.8 Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan. Dibahas aspek metodologis yang paling mendasar. Selain
mendeskripsikan dengan teoritis, bab ini juga merumuskan hipotesis yang
relevan.
Bab II Latar Belakang Berdirinya Pemerintahan Militer. Dalam bab ini
membahas latar belakang intervensi militer dalam pemerintahan, dan
dinamika peran militer dalam dunia politik untuk mempertahankan
kekuasaannya serta berbagai kebijakan yang diterapkan militer dibawah
payung organisasi politiknya yang dapat menguatkan posisi mereka dalam
pemerintahan.
Bab III Gerakan Perlawanan Prodemokrasi Terhadap Pemerintahan
Militer. Membahas mengenai sepak terjang aktor prodemokrasi dalam
memperjuangkan tatanan hidup demokrasi di Myanmar dan pelaksanaan
pemilu multipartai tahun 1990.
Bab IV Peranan ASEAN dalam Menciptakan Demokrasi di Myanmar.
Dalam bab ini akan dimuat tentang ASEAN serta akan ditarik benang
merah mengenai awal mula bergabungnya Myanmar dalam ASEAN
19
sehingga dapat memperjelas duduk masalah peranan ASEAN terhadap
Myanmar.
Bab V Penutup. Dalam bab ini akan ditarik kesimpulan dari berbagai uraian
diatas.
20
BAB II
Latar Belakang Berdirinya Pemerintahan Militer
2.1 Intervensi Militer Myanmar dalam Pemerintahan
Fenomena masuknya militer dalam pemerintahan merupakan
permasalahan yang umumnya dialami oleh negara-negara yang baru merdeka.
Masalah politik, sosial dan ekonomi yang sedemikian kompleks dan rentannya
pemerintahan sipil mengakibatkan militer berinisiatif untuk terjun dalam
panggung pemerintahan. Meluasnya peran militer dalam porsi pemerintahan
memiliki faktor-faktor tertentu. Beberapa pengamat politik militer pun memiliki
analisis tersendiri yang tidak jauh berbeda antar satu dan lainnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Ulf Sundhaussen23 yang mengatakan
bahwa penyebab intervensi militer terbagi menjadi dua faktor. Faktor internal :
Pertama, perwira-perwira intervensionis didorong oleh motivasi untuk membela
atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma
konstitusional. Kedua, intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk
membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal.
Ketiga, kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan perwira-perwira
percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional
dibandingkan dengan kelompok sipil. Keempat, intervensi militer dalam politik
sebagai sebab ambisi pribadi perwira yang haus wibawa dan kuasa.
23 Ulf Sundhaussen, ”Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI”,
LP3ES, Jakarta, 1986, h. 440-473, dikutip dari Ikrar Nusa Bhakti, ”Tentara Mendamba Mitra”, Tim Peneliti PPW-LIPI, Mizan, 1999, h. 40.
21
Faktor yang kedua adalah faktor eksternal, yang terdiri dari : Pertama,
intervensi militer dalam politik sebagai akibat dari struktur politik masyarakat
yang masih rendah dan rentan. Kedua, kegagalan sistem politik dari kalangan sipil
yang memerintah atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan
jaminan tertib politik dan stabilitas politik. Ketiga, kelompok sipil dianggap tidak
mampu dalam melakukan modernisasi ekonomi. Keempat, terjadinya disintegrasi
nasional.
Myanmar merupakan negara koloni Inggris sejak tahun 1885 dan Jepang
semasa Perang Dunia II (1939-1945). Selama dijajah Inggris, rakyat Myanmar
dibawah pimpinan Aung San melakukan perlawanan bekerjasama dengan Jepang
dengan membentuk angkatan bersenjata BIA (Burma Independence Army).24
Akan tetapi setelah Myanmar dan Jepang berhasil, Jepang masih tetap menguasai
Myanmar. Kemudian BIA tampil kembali bersama AFPL (Anti Fascist People’s
Freedom) dan Inggris melakukan perlawanan mengusir Jepang.25
Seiring dengan kekalahan Jepang, tentara Inggris kembali memerintah
Myanmar. Namun Inggris tidak dapat memerintah Myanmar kembali karena
memiliki tantangan dari AFPL. AFPL menuntut kemerdekaan kepada Inggris,
sehingga pada April 1947 diadakan pemilihan badan legislatif pertama yang
dimenangkan oleh Aung San dari partai AFPL,26 kemudian Inggris menunjuk
Jenderal Aung San menjadi Perdana Menteri Myanmar. Namun sebelum
24 BIA merupakan cikal bakal Angkatan Bersenjata (Tatmadaw) Myanmar yang
mendapat pelatihan militer dari Jepang. Pada saat itu BIA telah mereorganisasi diri menjadi Burmese Defence Army.
25 Wahono, ”Kebertahanan Pemerintahan Junta Militer Myanmar Menghadapi Oposisi, Tekanan Asing, dan Gerakan-Gerakan Perlawanan”, Tesis Program Pascasarjana Magister Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2005, h. 89-91.
26 Ian Holliday, ”Voting and Violence in Myanmar, Nation Building for a Transition to Democracy”, Asian Survey, Vol. XLVIII No. 6, November/December 2008, h. 1043.
22
kemerdekaan tercapai, Aung San dan para pemimpin lainnya tewas terbunuh pada
19 April 1947. Wakil Presiden AFPL U Nu menjadi Presiden partai dan Inggris
menunjuknya sebagai Perdana Menteri Myanmar. Akhirnya, Myanmar sebagai
negara plural memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 4 Januari 1948.27
Pada masa awal jabatannya U Nu lebih disibukkan untuk menghadapi
ancaman dan tantangan dari gerakan komunis dan pemberontakan bersenjata oleh
berbagai kelompok etnis.28 Situasi pemerintahan yang semakin tak terkendali
membuat Perdana Menteri U Nu merancang persiapan peralihan kekuasaan secara
formal kepada pihak militer yang dipimpin oleh Jenderal Ne Win. Kemudian
berdasarkan hasil rapat anggota perwakilan rakyat Jenderal Ne Win terpilih
sebagai pemimpin kabinet yang baru yang diambil sumpahnya pada tanggal 29
Oktober 1958, dalam pidatonya Jenderal Ne Win berjanji akan taat pada konstitusi
dan demokrasi serta akan melaksanakan pemilu yang bebas dan adil pada tahun
1960.29
Setelah mengabdi selama 2 tahun, Jenderal Ne Win memenuhi janjinya
untuk melaksanakan pemilu bulan Februari 1960. Pada pemilu saat itu, U Nu
kembali tampil sebagai pemenang dan pada masa kekuasannya kali ini situasi
politik Myanmar memang belum stabil. Keadaan negara yang kacau menjadi
peluang bagi Jenderal Ne Win untuk melakukan kudeta (kudeta tidak berdarah)
yang berlangsung pada 2 Maret 1962. Dengan alasan pemerintahan sipil tidak
dapat mengendalikan keadaan negara dan tidak dapat memajukan perekonomian
negara, Ne Win melancarkan aksi kudeta terhadap pemerintahan U Nu, selain itu
27 Wahono, Op.Cit., h. 91. 28 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 60. 29“Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Kedutaan
Besar Republik Indonesia,Yangon, Edisi ke-2 2002, h. 65-66.
23
ia juga telah menganulir konstitusi 1947. Didukung oleh aparat militer dan
sekutunya, Ne Win mendirikan pemerintahan militer otoriter dan memerintah
dengan gaya diktator. Rakyat tidak diperkenankan memilih pemimpinnya sendiri
karena semua keputusan politik harus melalui pemimpin militer di Rangoon.30
Disinilah awal dari runtuhnya demokrasi di Myanmar.
2.2 Perubahan Bentuk Pemerintahan dan Politik di bawah Kekuasaan
Jenderal Ne Win
Sejak Jenderal Ne Win mengambil alih kekuasaan dari tangan sipil, ia telah
melakukan beberapa kebijakan dalam pemerintahan, diantaranya mengontrol
ekonomi negara dan masyarakat dengan ketat, menghapuskan media independen,
dan menghancurkan kekuatan masyarakat yang dianggapnya sebagai ancaman.
Bahkan untuk memperkuat kekuasaannya, di awal tahun 1970-an Jenderal Ne Win
merubah Myanmar menjadi negara sosialis yang isolasionis dengan
diberlakukannya ”Cara Burma Menuju Sosialisme/ Burmese Way to Socialism”
dan mendirikan sebuah partai yaitu BSPP (Burma Socialist Program Party) serta
pada tahun 1974 konstitusi Burma dirancang setelah pelaksanaan referendum
nasional.31
Pembentukan BSPP bertujuan untuk menciptakan negara sosialis Myanmar
dengan cara memperkuat militer, melembagakan ekonomi sosial, dan menerapkan
kebijakan garis keras atas kelompok etnis minoritas. Jenderal Ne Win juga
menghapus semua partai oposisi dengan hanya mengizinkan satu partai (BSPP/
30 Priyambudi Sulistiyanto, ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi
Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No. 5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997, h. 19-20.
31 Win Min, ”Looking Inside The Burmese Military”, Asian Survey, Vol. XLVIII No. 6, November/December 2008, h. 1022.
24
Partai Lanzin) sebagai kendaraan politik pemerintah.32 Dalam bidang ekonomi,
Ne Win menerapkan strategi pembangunan sosialis radikal dengan menghapuskan
sistem pemilikan pribadi lewat program nasionalisasi.
Ne Win dengan BSPP sebagai payung politiknya tidak mampu
menciptakan negara yang stabil dan bebas dari masalah sosial, politik, dan
ekonomi yang selama ini telah mewarnai kehidupan rakyat Myanmar. Selain itu,
meskipun dengan konstitusi baru (konstitusi 1974) dimungkinkan
diselenggarakannya pemilu, namun BSPP terus menunda pelaksanaan pemilu
tersebut dan masih tetap memegang kekuasaan. Keadaan negara seperti itu
menimbulkan kemarahan bagi rakyat yang diluapkan melalui gerakan
demonstrasi. Gerakan ini dilakukan oleh kekuatan rakyat pada 8 Agustus 1988
yang dikenal dengan peristiwa 8888. Peristiwa ini diperkirakan telah memakan
korban jiwa lebih dari 3.000 orang sehingga gerakan ini sekaligus menjadi fakta
kerepresifan pihak militer.
’’Demonstrasi dan penindasan berdarah ini telah menunjukkan bahwa militer tidak punya cara untuk melibatkan unsur-unsur masyarakat kecuali melalui pemaksaan dan kekerasan. Pejabat Rezim telah menghancurkan kompetensi dan independensi kepolisian, kejaksaan, dan pelayanan publik untuk terus mengkonsolidasikan kekuasaan mereka sendiri. Rezim militer hanya memiliki satu cara untuk mencegah keruntuhan tatanan sosial yaitu kekerasan. Penggunaan kekerasan terbukti tidak hanya dalam waktu jangka pendek, ketika mereka mulai kehilangan kendali negara”.33
Tanpa alasan yang jelas Jenderal Ne Win mengundurkan diri dari
pemerintahan, melepaskan tanggung jawab terhadap negara yang sedang dalam
keadaan kacau. Namun hal ini bukan menjadi akhir dari skenario rezim
32 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 60-61. 33 Neil A. Englehart, “Is Regime Change Enough for Burma?, The Problem of State
Capacity”, Asian Survey, Vol. XLV, No. 4, July/August 2005, h. 633-634.
25
pemerintahan militer di Myanmar. Kenyataannya Ne Win masih berada
dibelakang layar dengan tetap menjadi ketua BSPP dan bibit-bibit Jenderal yang
haus kekuasaan akan tetap tampil dalam pemerintahan demi mempertahankan
kerajaan militer Myanmar.
2.3 Kekuasaan Rezim Militer Jenderal Saw Maung dan Kekacauan
Politik Myanmar
Keadaan negara yang kacau dan gerakan demonstrasi rakyat menjadikan
Jenderal Ne Win mundur dari pemerintahan. Posisi Ne Win kemudian digantikan
oleh Jenderal Sein Lwin yang dikenal sebagai dalang utama pembantaian tragedi
8888. Sein Lwin akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 12 Agustus 1988 dan
digantikan oleh mantan Jenderal yang telah pensiun yaitu Dr. Maung Maung.
Maung Maung kemudian merencanakan diselenggarakannya pemilihan umum
multipartai tetap dibawah pengawasan pemerintahan militer. Rencana tersebut
dengan segera ditentang oleh kelompok oposisi yang menginginkan Maung
Maung mundur dari pemerintahan. Tekanan dari masyarakat mengakibatkan
terjadinya kembali kudeta34 militer dibawah pimpinan Jenderal Saw Maung.35
Pemerintahan Saw Maung dimulai pada 18 September tahun 1988.
Tampilnya Saw Maung sekaligus sebagai petanda bubarnya BSPP dan berdirinya
SLORC (State Law and Order Restoration Council). Pada masa awal
pemerintahannya, Saw Maung menyatakan bahwa konstitusi 1974 tidak berlaku
lagi. Selain itu, SLORC juga menetapkan tiga prinsip nasional (Three Main
34 Kudeta ini dikatakan sebagai kudeta berdarah karena dalam proses pengambilalihan
kekuasaan tersebut telah memakan banyak korban jiwa. 35 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi
Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 84-85.
26
National Causes) yang harus ditaati oleh seluruh rakyat, yaitu : Non
Disintegration of the Union, Non Disintegration of the National Unity, and
Consolidation of National Sovereignty.36
Pada tahun 1990 SLORC resmi mengganti nama Burma menjadi
Myanmar dengan Yangon sebagai ibu kotanya, dan sesuai dengan persetujuan
SLORC untuk mengadakan pemilu multipartai, maka pada tanggal 27 Mei 1990
diadakan pemilu untuk memilih anggota parlemen.37 Dalam pemilu ini SLORC
sangat yakin militer akan memenangi pemilu tersebut, sifat totaliter pemerintah
militer menjadi dasar keyakinan mereka mengontrol perolehan suara politik
rakyat. Namun ternyata prediksi SLORC berbeda dengan kenyataan. Partai
oposisi yaitu National League for Democracy (NLD) yang dipimpin oleh Aung
San Suu Kyi yang muncul sebagai partai pemenang pemilu saat itu, sehingga
membuat SLORC tidak mengakui hasil pemilu tersebut. Pada 29 Juli 1990,
SLORC mengumumkan bahwa pemerintahannya bukan berdasarkan konstitusi
melainkan UU Darurat (Martial Law).
Kegagalan pemerintahan Ne Win menjadi pelajaran bagi Saw Maung.
Dalam bidang ekonomi, pemerintahan Saw Maung melakukan reformasi ekonomi
dengan membentuk sistem ekonomi terbuka. Pemerintahan militer dari tahun
1988-1990 telah meluncurkan undang-undang tentang investasi asing, peraturan
dalam sektor keuangan dan perbankan serta program swastanisasi. Bahkan
pemerintahan militer juga mendapatkan keuntungan dari investor asing Cina,
Singapura, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, dan Malaysia. Sayangnya, reformasi
36 ”The New ASEANs: Vietnam, Burma, Cambodia & Laos”, Department of Foreign
Affairs and Trade Commonwealth of Australia, 1997, h. 99. 37 Neil A. Englehart, “Is Regime Change Enough for Burma?, The Problem of State
Capacity”, Asian Survey, Vol. XLV, No. 4, July/August 2005, h. 634.
27
ekonomi ini tidak dapat dikatakan berhasil dikarenakan hanya menguntungkan
sekelompok orang dalam lingkup militer.38
Kebijakan politik dengan melaksanakan pemilu multipartai pun tidak
dilakukan secara demokratis, akibatnya memunculkan tekanan dari rakyat untuk
sesegera mungkin menjalankan proses demokrasi yang nyata. Tekanan yang
bertubi-tubi menjadikan Jenderal Saw Maung memutuskan untuk mundur dari
pemerintahan.
2.4 Myanmar Masa Pemerintahan Rezim Militer Jenderal Than Shwe
Mundurnya Jenderal Saw Maung kemudian digantikan oleh Jenderal Than
Shwe pada 21 April 1992. Bergantinya kekuasaan ke tangan Than Shwe tidak
menjamin Myanmar lebih dekat dengan jalan demokrasi. Jenderal Than Shwe
menjalankan kekuasan berdampingan dengan Jenderal Khin Nyunt. Pada masa
pemerintahannya, Jenderal Than Shwe telah mencabut Undang-Undang Darurat
pada tanggal 26 September 1992. Tidak hanya itu, SLORC pun berjanji untuk
tidak akan melakukan tindakan penekanan terhadap kaum minoritas seperti masa
Jenderal Saw Maung.39
Tidak berbeda jauh dengan para pendahulunya, gaya pemerintahan represif
dan otoriter pun telah menjadi pilihan bagi Jenderal Than Shwe, karena selama
Than Shwe mengambil alih pemerintahan juga telah terjadi beberapa kebijakan
yang menimbulkan masalah, diantaranya adalah : Menangkap, memenjarakan dan
38 Priyambudi Sulistiyanto, ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi
Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No. 5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997, h. 21-22.
39 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.
28
menyiksa para pendukung prodemokrasi. Melarang untuk berkumpul lebih dari 5
orang di malam hari bagi siapapun yang berada di Myanmar. Menaikkan Bahan
Bakar Minyak sebesar 500%. Seluruh akses informasi keluar, baik jaringan
internet maupun telepon diputus, serta melarang bepergian disekitar lima kuil
Buddha utama.
Selain itu, dengan wataknya yang konservatif, Jenderal Than Shwe telah
memberhentikan Jenderal Khin Nyunt yang dikenal lebih pragmatis yang masih
melihat perlunya reformasi dan keterlibatan masyarakat internasional dalam
proses demokrasi di negaranya. Terbukti dengan diluncurkannya Program ”Road
Map to Democracy” oleh Jenderal Khin Nyunt pada 30 Agustus 2003,40 sesuai
dengan tekadnya untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis.
Pada tanggal 15 November 1997, dibawah pemerintahan Jenderal Than
Shwe SLORC merubah nama menjadi SPDC (State Peace and Development
Council) namun tetap dengan karakteristik pemerintahan yang sama yaitu represif,
otoriter dan totaliter. Penggantian ini ditunjukkan untuk menata kebijakan politik
dan perekonomian guna mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain,
khususnya setelah Myanmar secara resmi diterima menjadi anggota penuh
ASEAN. Dengan tetap menjalankan kebijakan sebelumnya, SPDC berusaha
meningkatkan citra lain dengan membebaskan para tahanan politik yang dianggap
tidak membahayakan keamanan nasional dan berjanji tidak akan memegang
kekuasaan negara dalam jangka waktu lama, namun akan mengalihkan kekuasaan
kepada sipil setelah konstitusi baru terbentuk.41 Akan tetapi, hal tersebut hanya
40 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 57. 41 “Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Kedutaan
Besar Republik Indonesia,Yangon, Edisi ke-2 2002, h. 73.
29
menjadi janji kosong SPDC karena nyatanya hingga kini peralihan kekuasaan
kepada sipil tak kunjung dilaksanakan. Selain itu, pembebasan para tahanan
politik sekedar tindakan sementara karena setelah para tahanan melakukan
kegiatan diluar yang tidak disenangi militer, mereka menjadi tahanan politik
kembali.
Fakta lain mengenai kerepresifan Jenderal Than Shwe dibawah naungan
SPDC tampak dalam sikapnya menanggapi tekanan-tekanan internasional dengan
meluncurkan statement mengenai persepsi pemerintahan Myanmar terhadap arti
demokrasi. Melalui pernyataan ini, semakin menegaskan bahwa demokrasi di
Myanmar berjalan lambat dan dominasi militer dalam pemerintahan akan semakin
sulit dihilangkan. Pernyataan tersebut adalah :42
” Demokrasi harus didasarkan pada kepentingan umum dan bukan kepentingan sepihak. Termasuk pentingnya untuk tetap menjamin stabilitas keamanan domestik dan mencegah munculnya tindakan yang melawan hukum yang terpaksa akan dijawab dengan kekuatan militer”.
Dengan demikian, perhatian kepemimpinan militer Myanmar selama tiga
generasi tidak menunjukkan perubahan secara signifikan. Janji militer untuk
menjalankan demokrasi dan mengambalikan pemerintahan sipil tak kunjung
dilaksanakan. Pengelolaan ekonomi negara pun hanya dipusatkan pada bisnis
yang mengutamakan golongan militer dalam pemerintahan. Sehingga dapat
dikatakan kapasitas militer Myanmar dalam mengendalikan kehidupan politik,
sosial, dan ekonomi rakyat Myanmar sangat kuat.
42 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi
Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.
30
BAB III
Gerakan Perlawanan Prodemokrasi Terhadap Pemerintahan Militer
3.1 Aung San Suu Kyi Sebagai Aktor Demokrasi Myanmar
Daw Aung San Suu Kyi adalah salah satu tokoh prodemokrasi di
Myanmar. Putri dari The Founding Father Myanmar Aung San ini telah menjadi
tokoh pejuang demokrasi bagi rakyat Myanmar sejak tahun 1988. Sebagai putri
dari pahlawan kemerdekan, Suu Kyi mewariskan keberanian orang tuanya dalam
membela dan memajukan bangsanya sampai titik darah penghabisan. Gagasan-
gagasan politiknya yang diperuntukan bagi perubahan negara tidak jarang
menjadikan posisi militer terancam dan menyebabkan dirinya menjadi tahanan
politik militer.
Kekacauan negara yang terjadi pada masa pemerintahan Ne Win, ketika
rakyat merasakan perlunya kehidupan yang demokratis, mengakibatkan
meledaknya gerakan demonstrasi besar-besaran disepanjang tahun 1988.
Pengunduran diri Ne Win sebagai pemimpin yang diktator dan terjadinya aksi
protes yang meluas di hampir seluruh wilayah Myanmar dan mengakibatkan
terbunuhnya ribuan jiwa rakyat Myanmar, menjadi awal bagi Suu Kyi untuk
segera melakukan perlawanan terhadap militer dan melakukan perubahan yang
berhak didapatkan oleh rakyat Myanmar.
Menyadari betapa menderitanya rakyat Myanmar akibat kesewenang-
wenangan pemerintahan militer membuat Suu Kyi memulai aksi politiknya. Aksi
politik Aung San Suu Kyi untuk pertama kali dilakukan pada tanggal 26 Agustus
1988 dengan melakukan pidato di lapangan depan Pagoda Shwedagon, Yangoon.
31
Dalam pidatonya Suu Kyi menegaskan tujuan perjuangan bersama adalah untuk
mewujudkan pemerintahan multipartai yang demokratis, bukan referendum
seperti yang ditawarkan pemerintah. Keberanian Suu Kyi menentang pemerintah
militer diaplikasikan melalui pemikiran serta peran politiknya yang berlandaskan
pada sistem demokrasi yang adil dan jujur. Ia juga tidak sepaham dengan militer
yang lebih memilih politik isolasionis, sebaliknya ia lebih menginginkan
Myanmar menjadi negara yang terbuka pada dunia luar dengan tetap menjaga
budaya dan agama serta menghilangkan fanatisme sempit.43
Aung San Suu Kyi sangat lantang menyuarakan kebebasan dan demokrasi.
Ia menunjukkan keberaniannya dalam menghadapi ancaman dan menunjukkan
bahwa dia tidak akan terintimidasi atau merasa takut. Itu merupakan gaya
keberaniannya yang didukung oleh rakyat Myanmar yang menginginkannya untuk
menjadi pemimpin.44 Sehingga perjuangan Aung San Suu Kyi tidak hanya dinilai
oleh masyarakat Myanmar, masyarakat internasional juga memberi perhatian yang
lebih terhadap perjuangannya. Berkat kegigihannya memperjuangkan demokrasi
dan penegakkan hak asasi manusia, maka pada tanggal 4 November 1990 Aung
San Suu Kyi dianugerahi Penghargaan HAM Thorolf Rafto. Pada 22 Januari 1991,
ia kembali meraih penghargaan Sakharov tahun 1990 untuk kebebasan berfikir
dari Parlemen Eropa. Di tahun yang sama ia mendapatkan Nobel Perdamaian dari
Presiden Czechoslovakia, Vaclav Havel.45 Terakhir, ikon demokrasi Myanmar ini
43 Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National
League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 32-34. 44 Josef Silverstein, ”The Idea of Freedom in Burma and the Political Thought of Daw
Aung San Suu Kyi”, Pacific Affairs, Vol. 69 No. 2 Summer 1996, h. 226. 45 Mya Maung, “Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development”, Paragon
House, New York, 1992, h. 164.
32
menerima Simon Bolivar Prize untuk kebebasan pada tahun 1992. 46 Dalam
Thorolf Rafto Human Rights Prize, Komite Internasional mendeskripsikan Aung
San Suu Kyi sebagai berikut :
”Daw Aug San Suu Kyi personified Burma’s movement for democracy. Through her courageous and devoted work for human rights and democracy, Daw Aung San Suu kyi has become the focal point of the Burmese opposition demanding an end to the iron-fisted military rule in the country, restoration of fundamental human rights and democracy. In this dark period of the history of Burma, Daw Aung San Suu Kyi has earned enormous respect both from her fellow-citizens and from the international human rights community’’.47
Sejak keterlibatannya dalam NLD sebagai sekertaris jenderal, Suu Kyi
mulai berjuang atas nama partai. National League for Democracy (NLD) berdiri
dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang demokratis dengan cara
mengusahakan perubahan sosial dan politik yang terjamin perdamaian, HAM dan
kesejahteraan.48 Suu Kyi dan NLD mulai mendapat perhatian rakyat Myanmar
akibat tujuannya untuk memberikan angin demokrasi yang selama ini tidak
dipenuhi oleh pemerintahan militer. Perjuangan tokoh-tokoh demokrasi di dalam
NLD menjadikan NLD sebagai partai paling populer di Myanmar. Namun
kediktatoran militer menjadi tembok penghalang yang sangat kuat bagi NLD
dalam usaha mencapai tujuannya.
Menghadapi penyelenggaraan pemilu multipartai tahun 1990, tokoh-tokoh
NLD menyusun strategi untuk mencapai sasarannya menciptakan Myanmar
sebagai negara demokrasi. Namun berkaitan dengan pernyataan Aung San Suu
46 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi
Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.86.
47 Mya Maung, Op.Cit., h. 137-138. 48 Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National
League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 35.
33
Kyi dalam sebuah wawancara pada masa kampanye bahwa ia dan partainya akan
menyerukan boikot nasional terhadap proses ekonomi, maka Suu Kyi, Kyi Maung
dan Tin Oo selaku pemimpin NLD ditangkap dan dikenakan tahanan rumah oleh
pemerintah militer pada 29 Juli 1989.49 Dengan kenyataan Aung San Suu Kyi
menjadi tahanan rumah, pemerintahan militer pernah menolak Suu Kyi dan Tin
Oo mewakili distrik Yangoon. Terlebih Suu Kyi dianggap tidak layak menjadi
wakil rakyat disebabkan latar belakang kehidupannya yang lama menetap di luar
negeri dan menikah dengan warga negara asing.50 Menanggapi hal tersebut Aung
San Suu Kyi dalam pidatonya mengatakan :
"Saya percaya bahwa semua orang yang telah berkumpul di sini tanpa terkecuali datang dengan keinginan yang tak tergoyahkan untuk memperjuangkan dan memenangkan sistem multipartai yang demokratis. Dalam hubungan ini, saya ingin menjelaskan bagian yang telah saya lakukan dalam gerakan ini. Hal ini diperlukan karena cukup banyak orang yang tidak mengetahui sejarah kehidupan saya ... Memang benar bahwa saya telah tinggal di luar negeri. Benar juga bahwa saya menikah dengan orang asing. Fakta-fakta ini tidak pernah dan tidak akan mengganggu atau mengurangi cinta dan pengabdian saya untuk negara oleh ukuran atau derajat apa pun".51
Tindakan SLORC menurunkan popularitas NLD agar tidak mendapatkan
suara mayoritas dalam pemilu menjadi usaha yang sia-sia. Kenyataannya, hasil
pemilu diluar prediksi pemerintahan militer dalam naungan SLORC. NLD
menjadi pemenang, tetapi kemenangan tersebut tidak diakui SLORC dengan
berbagai alasan. Tidak hanya itu, sejumlah besar anggota NLD pun menjadi
tahanan politik.
49 ”The New ASEANs: Vietnam, Burma, Cambodia & Laos”. Department of Foreign
Affairs and Trade Commonwealth of Australia, 1997, h. 110. 50 Aung San Suu Kyi menikah dengan seorang ilmuwan ahli masalah Tibet
berkebangsaan Inggris, Michael Aris. 51 Mya Maung, Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development, Paragon
House, New York, 1992, h. 145-146.
34
Keadaan negara sedikit berubah ketika Jenderal Saw Maung
mengundurkan diri. Tahta pemerintahan berpindah pada Jenderal Than Shwe dan
Jenderal Khin Nyunt. Watak Khin Nyunt yang lebih pragmatis membuat Khin
Nyunt memiliki inisiatif untuk melakukan pertemuan dengan Suu Kyi dan tokoh
NLD lainnya. Hasil pertemuan ini berdampak pada dibebaskannya para tahanan
politik termasuk Suu Kyi pada 10 Juli 1995. Suu Kyi diperbolehkan melakukan
aktifitas kembali namun tetap berada di bawah kepemimpinan Aung Shwe yang
merupakan anggota militer yang ditunjuk SLORC.52
Kebebasan yang dirasakan aktor-aktor demokrasi hanya sementara.
Setelah Jenderal Khin Nyunt digantikan oleh Jenderal Than Shwe yang
merupakan Jenderal bersifat konservatif telah menjadikan Suu Kyi dan tokoh-
tokoh NLD lainnya sebagai tahanan rumah. NLD dan Suu Kyi yang dinilai
sebagai ancaman bagi supremasi militer menjadikan mereka kembali berstatus
sebagai tahanan rumah sejak 30 Mei 2003. Mengenai penahan kali ini seharusnya
Suu Kyi dibebaskan pada bulan Mei 2009. Namun ternyata, intrusi yang
dilakukan seorang warga negara Amerika Serikat bernama Yettaw ke rumah Suu
Kyi, menjadi alasan bagi militer untuk mengadili hal tersebut. Pengadilan
kemudian memutuskan hukuman penjara bagi Suu Kyi selama 18 bulan setelah
adanya perintah keringanan dari Jenderal Than Shwe dengan alasan menjaga
kestabilan dan perdamaian di Myanmar.53
Pertentangan antara sipil dan militer serta keadaan negara yang semakin
tak terkendali, menjadikan Suu kyi menawarkan penyelesaian secara damai
52 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi
Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.88.
53 Alexandra Retno Wulan, ”Terorisme, Perkembangan Politik di Myanmar dan Pemilu di tiga Negara”, Analisis CSIS, Vol. 38 No. 3 September 2009, h. 356.
35
dengan pihak militer. Penyelesaian melalui jalan diskusi atau dialog telah
diupayakan oleh Suu Kyi sejak lama, tetapi kenyataannya cara ini pun tak lantas
diindahkan oleh pemerintah militer. Aung San Suu Kyi percaya bahwa
penyelesaian atas semua masalah perbedaan yang terjadi di Myanmar dapat
dicapai melalui diskusi atau dialog.
”Saya selalu meminta dialog.....Tetapi dialog tanpa perdebatan. Akan ada perbedaan pendapat dan cara berfikir. Dialog tidak melibatkan pemenang dan pecundang. Ini bukan sebuah pertanyaan tentang kehilangan muka. Ini mengenai penemuan solusi yang terbaik untuk negara”.54
Sosok Aung San Suu Kyi telah menjadi kekuatan pokok dalam perjuangan
demokrasi Myanmar. Berkat perjuangannya, kini NLD menjadi partai paling
populer di Myanmar. Akan tetapi, kekuatan Suu Kyi dan NLD tidak mampu
membendung otoritas militer. Kenyataan ini semakin membuat lambatnya proses
demokrasi dan bukan tidak mungkin dapat membuat kekuasaan militer di
Myanmar mendapatkan waktu yang lebih lama lagi.
3.2 Pemilihan Umum Multipartai Tahun 1990
Penyelenggaraan pemilu multipartai telah direncanakan sejak Myanmar
dikuasai oleh Jenderal Saw Maung. Dalam pemilu untuk memilih anggota
Parlemen (Pyithu Hluttaw) ini tetap memberlakukan Undang-Undang Darurat
(Martial Law) dan dimaksudkan untuk mempertahankan eksistensi SLORC.
Sebenarnya banyak tokoh oposisi yang meragukan pemilu ini dapat berjalan
dengan jujur. Terlebih pemerintah militer telah menampakkan kecurangannya
beberapa hari menjelang pemilu dengan menangkap beberapa tokoh oposisi di
54 Josef Silverstein, ”The Idea of Freedom in Burma and the Political Thought of Daw
Aung San Suu Kyi”, Pacific Affairs, Vol. 69 No. 2 Summer 1996, h. 227.
36
Yangoon. Sehingga banyak tokoh oposisi awalnya enggan untuk mengikuti
pemilu. Menanggapi hal tersebut, Saw Maung mengeluarkan pernyataan bahwa
Pemilu ini merupakan momentum penting yang merupakan perwujudan dari
tuntutan rakyat untuk memperbaiki politik. Seperti yang dikatakannya dalam rapat
koordinasi SLORC tanggal 10 Januari 1990:55
”The reason way of Rule of Law and Order, and the prevalence of peace and tranquility is being given so much emphasis is because the Pyithu Hluttaw (People’s Assembly) election to be held this year is not an Ordinary one. It is an election of historic significance, a veritable milestone in the annals of history marking the change from one system to another and turning point in our history it self”.
Pemerintahan militer memberikan waktu bagi setiap partai untuk
mendaftar menjadi peserta pemilu di mulai dari tanggal 17 September hingga 28
Februari 1989. Dalam pendaftaran ini terdapat 2.209 kandidat dari 93 partai dan
87 partai independen untuk memperebutkan 492 Pyithu Hluttaw.56 Namun
akhirnya hanya tujuh partai politik yang diakui oleh pemerintah memenuhi
persyaratan dan memiliki pengikut yang banyak, partai-partai tersebut adalah :57
1. National Unity Party. Merupakan nama baru untuk BSPP yang secara
resmi dikukuhkan pemerintah tanggal 14 Oktober 1988 dengan ketua Than
Kyaw dan didampingi oleh 14 komite sentral yang baru.
2. National League for Democracy. Partai oposisi yang terdaftar pada tanggal
30 September 1988 dipimpin oleh Aung Gyi, Tin Oo sebagai wakil ketua
dan Aung San Suu Kyi sebagai sekertaris jenderal.
55 Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National
League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 67-68. 56 Mya Maung, “Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development”, Paragon
House, New York, 1992, h. 181. 57 Agus Budi Rahmanto, Op.Cit., h. 39-40.
37
3. The People’s Democracy Party. Partai in diketuai oleh Thakin Lwin yang
pernah menjadi pendiri Burmese Workers and Peasant Party (BWPP).
Partai ini terdaftar pada tanggal 4 Oktober 1988.
4. The Democracy Party. Terbentuknya partai ini atas dukungan mantan
Perdana Menteri U Nu. Dibentuk pada tanggal 14 Oktober 1988 dan
dipimpin oleh Thu Wai dan Bohmu Aung.
5. The Democratic Front For National Reconstruction. Partai ini diisi oleh
veteran BWPP dan dipimpin oleh Thakin Chit.
6. The Unity and Development Party. Partai ini dipimpin oleh Thakin Soe
yang pernah ditangkap pemerintah pada tanggal 13 November 1970 dan
dibebaskan melalui amnesti umum tahun 1980.
7. The Anti Facist People’s Freedom League (AFPFL). Sebuah institusi
politik pertama kali pada zaman kemerdekaan Myanmar dan di bentuk
kembali oleh Bo Kyaw Nyunt.
Penyelenggaraan pemilu multipartai ini berdasarkan konstitusi 1974.
Pemerintah militer memang memberikan kesempatan bagi setiap kandidat untuk
menyampaikan program-programnya melalui kampanye terhadap masyarakat
Myanmar. Namun kesempatan ini tetap dibatasi oleh pemerintah militer bahkan
masyarakat dilarang mengadakan pertemuan dengan kandidat. Beberapa peraturan
lain dibuat oleh pemerintah militer demi mengontrol hasil perolehan suara dalam
pemilu tersebut. Beberapa peraturan itu adalah :58
1. Setiap mengadakan pawai atau pidato harus melapor kepada SLORC
tingkat lokal.
58 Agus Budi Rahmanto, “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus National
League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002, h. 70.
38
2. Materi kampanye harus sudah terkumpul tujuh hari sebelumnya.
3. Beberapa publikasi atau pidato yang dapat diintepretasikan
mengganggu kedaulatan negara dan integritas teritorial bangsa serta
memecah belah bangsa termasuk etnis minoritas yang berbeda-beda,
meremehkan martabat militer, menyinggung agama dilarang.
4. Tiap-tiap partai politik diberi kesempatan untuk berkampanye (berupa
pidato) yaitu lima belas menit di radio dan sepuluh menit di televisi.
Pada akhirnya pemilu diselenggarakan pada 27 Juli 1990 dengan aman
tanpa adanya insiden. Hasil pemilu menunjukkan NLD sebagai pemenang dengan
meraih 392 dari 485 kursi pada parlemen nasional. Sedangkan partai militer
(NUP) hanya memperoleh 3% kursi parlemen. Hasil yang diluar dugaan militer
pada akhirnya tidak diakui oleh militer, melalui Jenderal Maung Maung
pemerintah militer tidak mengakui hasil pemilu secara sepihak.59 Beberapa alasan
melatarbelakangi penolakan pemerintah militer terhadap hasil pemilu, alasan
tersebut antara lain : Pertama, pemilu adalah sarana untuk membentuk Konvensi
Nasional dan bukan untuk transformasi kekuasaan. Kedua, menurut ketentuan
yang ada, seorang calon yang bersuamikan orang asing dan lama bermukim di
luar negeri tidak dapat mengikuti pemilu. Ketiga, pada saat itu belum ada
konstitusi, karena itu belum ada prosedur yang mengatur peralihan kekuasaan.60
Untuk memperkuat tindakannya, militer membuat Deklarasi No. 1/90 yang
ditandatangani tanggal 27 Juli 1990. Deklarasi ini memuat kebijaksanan
pemerintah untuk menyelenggarakan konferensi nasional guna menyusun draf
59 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi
Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h.86.
60 “Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Kedutaan Besar Republik Indonesia,Yangon, Edisi ke-2 2002, h. 77.
39
pedoman dimana Pyithu Hluttaw akan dibentuk melalui konstitusi baru yang
permanen. Berdasarkan Deklarasi ini SLORC membatalkan pemilu 1990 hingga
terbentuknya konstitusi baru yang permanen.61
Menanggapi keotoriteran militer kali ini, NLD terus berusaha mendesak
pemerintah untuk segera menyerahkan kekuasaan kepada NLD. Akan tetapi,
pemerintah militer tetap pada keputusan semula tidak akan menyerahkan
kekuasaan kepada NLD. Terlebih NLD dinyatakan sebagai partai yang tidak sah
dan harus dibubarkan. Menanggapi hal tersebut NLD mengeluarkan Deklarasi No.
46 (4/00) pada tanggal 6 April 2000, yang menyebutkan bahwa partai ini adalah
resmi dan telah terdaftar pada Multy Party Democracy Election Commission
sesuai dengan Undang-Undang yang dikeluarkan oleh SLORC No. 4/88 pada
tanggal 7 September 1988.62
Langkah pemilu multipartai pada akhirnya tidak dapat menjadikan
Myanmar sebagai negara yang demokratis. Semua gerakan oposisi dalam
memperjuangkan demokrasi dan kebebasan hidup masih memiliki hambatan yang
besar dari militer. Sehingga menjadikan Myanmar semakin jauh pada kenyataan
hidup bebas di bawah naungan negara demokrasi.
3.3 Tindakan Pemerintah Militer Myanmar Menghadapi Gerakan
Demokrasi
Pemerintah militer Myanmar dikenal sebagai pemerintahan yang selalu
menggunakan kekerasan dalam menghadapi gerakan-gerakan demokrasi rakyat.
61 Agus Budi Rahmanto, Op.Cit., h. 72-73. 62 “Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Op.Cit.,
h. 102.
40
Sejak tahun 1988, pemerintah telah menunjukkan kekuatannya membasmi
gerakan-gerakan perlawanan dari rakyat. Penahanan aktor-aktor demokrasi dan
mahasiswa, penewasan para demonstran serta penculikan menjadi kejadian yang
telah mewarnai kehidupan rakyat Myanmar. Fenomena tersebut menyebabkan
Myanmar menjadi negara yang mengerikan bagi rakyatnya sendiri.
Dalam perkembangan terakhir, protes terhadap tindakan pemerintah
militer dipimpin oleh para biksu Buddha. Protes biksu diawali ketika SPDC
melakukan kebijakan sewenag-wenang dengan meningkatkan BBM sampai
500%. Kebijakan yang diumumkan pada bulan Agustus ini menimbulkan
kemarahan bagi rakyat Myanmar. Rakyat yang sudah dalam keadaan sulit
semakin dibebani dengan kenaikan BBM. Keadaan ini membuat biksu Buddha
tidak dapat berdiam diri. Demi melakukan perubahan, biksu Buddha yang sangat
dihormati (Sangha) merelakan dirinya untuk terjun kedalam urusan negara dengan
memimpin aksi protes di Yangoon khususnya di Pagoda Sule. Dalam mewakili
kebutuhan masyarakat, biksu menuntut tiga permintaan, yaitu : mudahkan kondisi
hidup masyarakat Myanmar, bebaskan semua tahanan politik, dan segera lakukan
dialog yang bermakna bagi rekonsiliasi nasional.63
Aksi protes biksu yang terjadi pada 28 Agustus 2007, ditindak oleh militer
dengan cara yang brutal. Akibat dari tindakan SPDC adalah banyaknya korban
jiwa bahkan SPDC telah menewaskan seorang jurnalis Jepang, Kenji Nagai.
Tindakan ini menjadi bukti pemerintahan militer yang tidak menghargai
63 Christopher B.Roberts, “Plight of Myanmar’s People : Challenges for the
Internasional Community ”, dalam “Strategic Currents : Emerging Trends in Southeast Asia” , Insitute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2009, h. 35.
41
komunitas biksu.64 Kerepresifan militer yang telah mengakibatkan korban jiwa
bahkan terdapat korban warga asing telah membuat masalah Myanmar semakin
rumit terlebih mengenai hubungannya dengan Jepang.
Militer Myanmar yang sebagian besar hanya memiliki sedikit pendidikan
atau pelatihan profesional menyebabkan mereka selalu menghadapi para
demonstran dengan cara yang brutal. Militer yang berbasis di daerah perbatasan
juga terbiasa melakukan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap
kelompok-kelompok etnis minoritas. Sebelum melaksanakan tugasnya
memberantas aksi demonstrasi, komandan militer telah menyediakan dosis
methamphetamine bagi tentaranya untuk meningkatkan agresivitas, dan taktik
tersebut juga diadopsi ketika menghadapi aksi protes biksu di Yangoon.65
Militer tidak hanya menangkap para biksu, politisi prodemokrasi bahkan
masyarakat sipil lainnya yang mendukung protes biksu juga menjadi korban
kerepresifan militer. Win Naing, seorang aktor komedi menjadi salah satu korban
militer yang ditangkap di rumahnya karena memberikan makanan dan air kepada
para biksu yang menggelar protes. Sebelumnya Naing juga pernah ditangkap pada
8 Maret 2007 karena mengadakan konfrensi pers aktivis menggugat kesulitan
ekonomi yang dialami rakyat. Selain itu, aktor komedi Zaganar juga ditangkap
karena menyerukan rakyat agar mendukung protes para biksu dalam wawancara
di radio.66
Kehidupan demokrasi sangat dibutuhkan masyarakat Myanmar, mengingat
masyarakat Myanmar selalu hidup dalam bayang-bayang aksi kemanusiaan yang
64 Alexdra Retno Wulan, “Isu Myanmar, Semenanjung Korea dan Konflik Darfur”,
Jurnal Analisis CSIS, Vol. 36. No. 4, 2007, h. 368. 65 Christopher B.Roberts, Op.Cit., h. 36. 66 ”Suu Kyi Dipindah ke Penjara Insein”, Kompas, 27 September 2007.
42
diakhiri dengan cara kekerasan. Namun usaha untuk menuju kehidupan damai dan
demokratis masih memiliki hambatan yang besar. Kekuatan militer yang
didukung oleh faktor internal dan eksternal serta lemahnya oposisi menjadikan
proses rekonsiliasi berjalan lambat.
43
BAB IV
Peran dan Hambatan ASEAN dalam Menciptakan Demokrasi di Myanmar
4.1 Keanggotaan Myanmar dalam Organisasi Regional ASEAN
Myanmar resmi tergabung menjadi anggota ASEAN sejak tahun 1997
bersama dengan Laos. Secara geografis, Myanmar memang terletak di kawasan
Asia Tenggara. Sehingga kedekatan geografis tersebut menjadi alasan bagi
ASEAN untuk menerima Myanmar meskipun masalah penerimaan tersebut telah
menjadi kontroversi dalam perpolitikan internasional.
Menerima Myanmar sebagai anggota baru dengan permasalahan
demokrasi dan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan pemerintahan
militer memang tidak mudah bagi ASEAN. Mengatasi hal tersebut, ASEAN
mengembangkan kebijakan ”constructive engagement”. Kebijakan ini memiliki
inti upaya membantu menyelesaikan persoalan internal Myanmar dengan cara-
cara Asia Tenggara yaitu tanpa menggunakan kekerasan.67
Melalui kebijakan ”constructive engagement”, ASEAN memberi
kebebasan bagaimana masing-masing negara anggota agar dapat menyelesaikan
apa yang diinginkannya sepanjang hal itu dianggap pantas dan ASEAN tidak
memiliki posisi yang bersifat kolektif terhadap persoalan Myanmar. Tujuan utama
kebijakan ini adalah menahan diri untuk tidak melawan pemerintah Junta militer
dengan mempermalukan atau mengisolasi mereka. Selain itu, kebijakan ini juga
bertujuan menolak campur tangan yang dilakukan oleh kekuatan luar, khususnya
67 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h.71.
44
negara-negara Barat.68 Dengan landasan tersebut, ASEAN berupaya membantu
permasalahan internal Myanmar tanpa harus mendikte pemerintahan militer yang
berkuasa.
Selain karena faktor kedekatan geografis, bergabungnya Myanmar
menjadi anggota ASEAN juga dilandasi oleh kepentingan nasional Thailand.
Myanmar dan Thailand merupakan negara yang berbatasan. Wilayah perbatasan
yang sulit dilintasi menjadi lokasi yang aman bagi rakyat Myanmar yang ingin
melarikan diri dari kekerasan politik militer. Rakyat Myanmar yang tidak
mendapatkan hak hidup bebas dari ketakutan menyebabkan mereka mencari suaka
di negara-negara tetangga salah satunya adalah Thailand.
Tidak terkendalinya jumlah pengungsi rakyat Myanmar yang melarikan
diri ke daerah perbatasan Thailand menjadi penyebab utama keinginan Thailand
menjadikan Myanmar sebagai salah satu anggota ASEAN dengan harapan jika
terjadi masalah maka ia dapat dengan segera dibatasi, diperkecil, atau
diselesaikan.69 Berikut adalah tabel jumlah pengungsi rakyat Myanmar yang
mencari suaka di negara lain.
68 Dwi Wahyuni, “Efektifitas Kebijakan Constructive Engagement ASEAN Terhadap
Myanmar (1992-2000), Skripsi Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2002, h. 19
69 CPF Luhulima, “Perimbangan Kekuatan di Myanmar, Faktor ASEAN dan Kepentingan Indonesia”, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 164.
45
Tabel 2 Refugee population, end of year--main countries of asylum (main countries in 2005)
Asylum Country*
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Thailand 104,033 105,216 101,686 99,716 104,569 110,313 112,238 118,762 120,814 116,499 Bangladesh 30,578 21,497 22,174 22,131 21,556 22,106 21,967 19,743 20,402 21,053 Malaysia 5,114 5,104 5,113 5,136 5,134 5,151 5,247 4,152 9,601 14,208 United States 810 1,135 1,508 2,079 3,006 5,268 5,551 4,789 5,342 6,793 India 440 463 588 696 779 876 1,043 940 1,162 1,471 Other 2,042 2,357 2,338 1,905 2,084 2,142 2,455 2,998 3,692 4,840 Total 143,017 135,772 133,407 131,663 137,128 145,856 148,501 151,384 161,013 164,864 * UNHCR estimates for most industrialized countries Sumber diolah dari http://www.unhcr.org/4641be720.html diakses pada 1 Desember 2010.
46
Negara-negara anggota ASEAN lain mulanya menunjukkan sikap
ketidaksetujuannya menerima Myanmar menjadi anggota ASEAN disebabkan
adanya kasus pembunuhan ratusan ribu muslim Rohingya di Myanmar yang
dipaksa mengungsi di Bangladesh. Namun menjelang Myanmar menjadi anggota
penuh, sikap tersebut berubah, Malaysia kini berubah haluan menjadi mendukung
gagasan menerima Myanmar dalam keanggotaan ASEAN.70
Sedangkan Singapura, Indonesia, Vietnam dan Philipina juga mendukung
hal tersebut dengan acuan prinsip non-interference. Perubahan sikap ini
merupakan respon dari adanya kebijakan Amerika Serikat untuk menjatuhkan
sanksi terhadap Myanmar karena bagi negara-negara anggota ASEAN, penundaan
keanggotaan Myanmar akan membuka peluang bagi Amerika untuk menginjak-
injak prinsip otonomi regional ASEAN.71 Meskipun Myanmar belum resmi
menjadi anggota ASEAN, ASEAN tidak menginginkan kawasan Asia Tenggara
di intervensi oleh negara lain.
Dari sebelum hingga menjadi anggota ASEAN, Myanmar telah menjadi
sumber masalah rumit bagi ASEAN. Melalui pendekatan ”constructive
engagement”, ASEAN berfikir bahwa permasalahan di Myanmar secara perlahan
akan teratasi. Reformasi politik, demokratisasi, penghormatan Hak Asasi
Manusia, pembebasan Aung San Suu Kyi dan aktor-aktor prodemokrasi lainnya
akan segera dipenuhi oleh pemerintahan militer Myanmar. Namun, ciri
pemerintahan militeristik mematahkan harapan tersebut. Pendekatan konfrontatif
70 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h.72. 71 Ibid, h.72.
47
maupun pendekatan konstruktif tidak membendung kegigihan militer untuk dapat
mempertahankan kekuasaan.
Kerepresifan dan pembangkangan pemerintah Myanmar memang telah
mencoreng citra ASEAN di mata internasional. Keanggotaan dalam ASEAN tidak
mengubah watak otoriter rezim militer Myanmar. Myanmar benar-benar telah
membuat ASEAN kecewa dengan menganggap bahwa ASEAN tidak mampu
memberikan langkah konkrit terhadap Myanmar. Rasa kekecewaan yang
mendalam pernah diungkapkan oleh Perdana Menteri Malaysia, Mahatir
Muhammad, dengan mengatakan bahwa jika Myanmar terus-menerus
mempermalukan ASEAN, bukan tidak mungkin Myanmar akan disingkirkan dari
keanggotaan ASEAN.72
Namun setelah terbentuknya Piagam ASEAN, pendapat ini bertentangan
dengan Piagam tersebut sebab berdasarkan Piagam ASEAN yang telah disepakati
bersama, tidak terdapat pasal yang mengatur tentang pengeluaran anggota.73
Dengan demikian, sebesar apapun kekecewaan akibat pembangkangan
pemerintahan militer Myanmar, ASEAN tidak dapat mengeluarkan Myanmar dari
keanggotaannya. Namun disisi lain, ini akan menjadi kelemahan di pihak ASEAN
karena bukan tidak mungkin permasalahan Myanmar akan berangsur lebih lama
lagi karena kerepresifan pemerintahan militer terus mendominasi Myanmar.
72 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h. 162. 73 Wawancara dengan Ade Padmo Sarwono, Direktur Politik dan Keamanan ASEAN,
Kemlu RI, 3 Agustus 2010.
48
4.2 Peran ASEAN dalam Menegakkan Demokrasi di Myanmar
Pada masa Perang Dingin masalah demokrasi merupakan masalah internal
suatu negara. Kini setelah Perang Dingin berakhir masalah demokrasi dianggap
sebagai suatu bentuk ancaman keamanan non-konvensional yang harus dihadapi
oleh negara-negara dunia ketiga dan negara-negara berkembang termasuk negara-
negara di kawasan Asia Tenggara. Pergeseran konsep masalah demokrasi ini
disebabkan oleh beberapa faktor.
Reorientasi kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat yang dibuat oleh
Presiden William (Bill) Clinton. Reorientasi kebijakan ini memberikan perhatian
lebih besar pada masalah-masalah lingkungan hidup, penegakan HAM dan
demokratisasi. Dengan adanya reorientasi kebijakan tersebut, AS berhasil
menjadikan isu-isu urusan domestik menjadi urusan internasional. Kemajuan
dalam teknologi komunikasi menyebabkan terjadinya arus penyebaran informasi
secara cepat ke seluruh penjuru dunia. Munculnya desakan yang kuat dari
berbagai kelompok dalam masyarakat, seiring pula dengan terjadinya peningkatan
kualitas hidup rakyat akibat keberhasilan pembangunan ekonomi. Semakin
kuatnya jaringan kerjasama antar LSM di belahan dunia mengakibatkan sebuah
pelanggaran HAM dan demokratisasi yang terjadi di suatu negara akan dengan
cepat menyebar ke negara lain. Hal-hal tersebutlah yang menjadikan pergeseran
konsep masalah demokrasi.74
Munculnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya tunggal pasca Perang
Dingin menjadikan Amerika merasa memiliki kewajiban moral untuk
74 Anna Juliastuti, “ASEAN dan Masalah Hak Asasi Manusia”, Global Jurnal Politik
Internasional, No. 1, September 2000, h. 45.
49
mendemokrasikan dunia, menjamin sebanyak mungkin warga dunia hidup dengan
kebebasan. Walaupun hal ini bertentangan dengan prinsip non-intervensi dan
kedaulatan nasional, prinsip inilah yang selanjutnya menjadi pijakan dari
kebijakan demokrasi dan HAM pemerintahan Amerika Serikat di luar negeri.75
Dengan adanya kebijakan Amerika Serikat maka peranan ASEAN sebagai
organisasi regional dalam mengatasi permasalahan yang terjadi di Myanmar
sangat diperhatikan oleh masyarakat internasional. Seberapa besar perilaku politik
dan seberapa kuat pengaruh ASEAN di kawasan menentukan citra ASEAN di
mata internasional. Upaya ASEAN untuk terus melakukan pendekatan terhadap
pemerintahan militer Myanmar guna mengembangkan demokrasi merupakan
prasyarat yang tidak dapat ditawar.76
Sebagaimana ditegaskan dalam teori peranan, perilaku politik adalah
perilaku dalam menjalankan peranan politik. Teori ini berasumsi bahwa sebagian
besar perilaku politik adalah akibat dari tuntutan atau harapan terhadap peran yang
kebetulan dipegang oleh aktor politik. Peranan ini tergantung juga pada posisi
atau kedudukan struktur itu dan harapan lingkungan sekitar terhadap struktur tadi.
Peranan juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisi serta kemampuan dari si
pemeran.77
Melalui peranan ASEAN dalam masalah Myanmar ini dapat dilihat
perilaku politik yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan ASEAN,
tentang apa yang bisa dan tidak bisa ASEAN lakukan. Dengan memaparkan
75 Endi Haryono, ”ASEAN Menanggapi Sanksi Ekonomi AS terhadap Myanmar 1997”,
Jurnal Paradigma, Vol. 1 No. 2, 1997, h. 58. 76 Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur : ASEAN,
Myanmar dan Krisis Semenajung Korea”. Jurnal Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 184. 77 Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005, h. 30-31.
50
variable-variable peran ASEAN dalam permasalahan yang terjadi di Myanmar,
akan terlihat seberapa besar peran ASEAN dan seberapa besar pengaruhnya
terhadap perkembangan kehidupan demokrasi Myanmar.
ASEAN Regional Forum
ASEAN Regional Forum (ARF) merupakan suatu forum yang
dibentuk oleh ASEAN pada tahun 1994 sebagai suatu wahana bagi dialog
dan konsultasi mengenai hal-hal yang terkait dengan politik dan keamanan
di kawasan, serta untuk membahas dan menyamakan pandangan antara
negara-negara peserta ARF untuk memperkecil ancaman terhadap
stabilitas dan keamanan kawasan.78
Sebagai suatu wahana utama dalam mewujudkan tujuan ASEAN
dalam menciptakan dan menjaga stabilitas serta keharmonisan kawasan,
ARF menetapkan dua tujuan utama yang terdiri atas:79
1. Mengembangkan dialog dan konsultasi konstruktif mengenai isu-isu
politik dan keamanan yang menjadi kepentingan dan perhatian
bersama.
2. Memberikan kontribusi positif dalam berbagai upaya untuk
mewujdkan confidence building measures (CBM) dan preventive
diplomacy (PD) di kawasan Asia Pasifik.
Pendekatan yang dianut oleh ARF bersifat evolusioner dan
berlangsung dalam tiga tahap besar, yaitu Confidence Building, Preventive
/tabid/66/Default.aspx diakses pada 29 November 2010. 79 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h. 209.
51
Diplomacy dan Conflict Resolution.80 Cara pengambilan keputusan yang
diadopsi oleh ARF tidak berbeda dengan ASEAN yaitu melalui suatu
konsensus setelah melalui konsultasi yang mendalam antar para peserta.
Dalam permasalahan yang terjadi di Myanmar, menanggapi
tekanan Internasional terhadap Myanmar, para anggota ARF mengadakan
pertemuan ARF yang ke IV di Kuala Lumpur pada 27-29 Juni 1997.
Dalam pertemuan tersebut Myanmar diwakili oleh Menteri Luar Negeri U
Ohn Gyaw.
Peranan ARF sebagai wahana dialog politik dan keamanan bagi
Myanmar berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya. Berdasarkan
hasil pernyataan Ketua Pertemuan ARF, maka terdapat beberapa
pertemuan ARF yang telah membahas masalah Myanmar, yaitu :81
1. Pertemuan ARF ke-7, Bangkok, 27 Juli 2000.
Para Menteri menyambut penunjukkan Mr. Razali Ismail
sebagai Utusan Khusus PBB untuk Myanmar pada 29 Juni-3 Juli 2000.
Penunjukkan Mr. Razali dimaksudkan untuk bertemu dengan para
pemimpin pemerintah Myanmar dan pihak terkait lainnya. Melalui
dialog konstruktif, para Menteri berharap akan membawa
perkembangan positif bagi Myanmar.
2. Pertemuan ARF ke-8, Hanoi, 25 Juli 2001.
Para Menteri menyambut baik perkembangan proses
rekonsilasi di Myanmar, dan menyatakan penghargaan atas upaya
pemerintah Myanmar, ASEAN dan utusan khusus PBB.
80http://www.aseanregionalforum.org/Publiclibrary/ARFChairmansStatementsandReports/tabid/66/Default.aspx diakses pada 29 November 2010.
81 Ibid.
52
3. Pertemuan ARF ke-9, Bandar Sri Begawan, 31 Juli 2002.
Para Menteri menyambut baik perkembangan terakhir di
Myanmar yang menandai prestasi penting dalam proses rekonsilasi
nasional dan kemajuan ekonomi Myanmar. Para Menteri
mengungkapkan harapan terhadap pemerintah Myanmar untuk
mengambil langkah lebih jauh dalam mengkonsolidasikan kemajuan.
4. Pertemuan ARF ke-10, Phnom Penh, 18 Juni 2003.
Memperhatikan pentingnya penguatan demokrasi sebagai
elemen fundamental keamanan regional. Para menteri meminta
Myanmar untuk melanjutkan upaya rekonsiliasi nasional dan dialog
dengan semua pihak yang bersangkutan untuk mengarah pada transisi
demokrasi. Menyambut baik jaminan yang diberikan Myanmar atas
masalah penahanan Aung San Suu Kyi. Serta menegaskan kembali
dukungan bagi upaya utusan PBB Tan Sri Razali Ismail.
5. Pertemuan ARF ke-11, Jakarta, 2 Juli 2004.
Para Menteri membahas perkembangan di Myanmar. Para
Menteri juga mengingat dan menekankan relevansi pernyataan ketua
ARF ke-10 yang menggarisbawahi perlunya keterlibatan seluruh
lapisan masyarakat Myanmar dalam keberlangsungan Konvensi
Nasional. Para Menteri mendesak Myanmar untuk mengambil
tindakan yang akan menambah substansi pada ekspresi dan aspirasi
demokratis. Para Menteri juga mengakui peran Utusan Khusus PBB
dalam membantu Myanmar dalam mencapai tujuan demokrasi.
53
6. Pertemuan ARF ke-12, Vientiane, 29 Juli 2005.
Mencatat perkembangan terakhir di Myanmar termasuk
kemajuan Konvensi Nasional dan menyatakan kekhawatiran pada
proses demoratisasi. Menyerukan untuk dialog efektif dengan semua
pihak terkait. Meminta untuk menerima kunjungan Utusan Khusus
PBB.
7. Pertemuan ARF ke-13, Kuala Lumpur, 28 Juli 2006.
Para Menteri bertukar pandangan mengenai perkembangan
terakhir di Myanmar. Para Menteri menyatakan keprihatinan mengenai
proses rekonsiliasi nasional dan berharap melihat kemajuan demokrasi.
Para Menteri menegaskan kembali untuk melakukan dialog efektif
dengan semua pihak terkait. Para Menteri mencatat bahwa masalah ini
akan dibahas secara luas oleh AMM ke-39 dan mereka menyatakan
dukungan peran konstruktif yang diambil oleh Ketua Komite Tetap
ASEAN ke-39 dan selanjutnya mendiskusikan hasil kunjungannya ke
Myanmar pada 23-24 Maret 2006. Para Menteri juga mencatat inisiatif
Utusan Khusus PBB untuk mengunjungi Myanmar pada 18-20 Mei
2006 dan kesiapan Myanmar menerima kunjungan lain.
Para Menteri mengakui bahwa Myanmar membutuhkan waktu
dan ruang politik untuk menghadapi tantangan yang kompleks. Para
Menteri menyatakan harapan mereka terhadap upaya Myanmar untuk
menghadapi tantangan dengan kemajuan secara efektif melibatkan
masyarakat internasional, dan ARF akan tetap terlibat secara
konstruktif sesuai dengan kebutuhan.
54
8. Pertemuan ARF ke-14, Manila, 2 Agustus 2007.
Para Menteri bertukar pandangan mengenai perkembangan
terakhir di Myanmar. Menteri mencatat perkembangan terakhir dalam
proses rekonsiliasi nasional dan transisi damai menuju demokrasi
sebagaimana yang diuraikan dalam Roadmap to Democracy. Para
Menteri menyatakan keprihatinan mengenai proses rekonsiliasi
nasional dan mendesak Myanmar untuk menunjukkan kemajuan nyata
yang akan mengakibatkan transisi damai menuju demokrasi dalam
waktu dekat. Para Menteri menyambut baik diselenggarakannya sesi
akhir dari Konvensi Nasional, yang dimulai pada tanggal 18 Juli 2007,
dan didorong oleh jaminan Myanmar bahwa proses Konvensi Nasional
akan selesai dalam waktu dua bulan. Para Menteri juga menyatakan
harapan Myanmar untuk bergerak ke langkah berikutnya dari
Roadmap. Para Menteri menegaskan kembali panggilan mereka untuk
melakukan dialog efektif dengan semua pihak terkait.
Para Menteri menyatakan harapan mereka terhadap upaya
Myanmar untuk menghadapi tantangan yang cukup kompleks dan
keberhasilan Myanmar secara efektif melibatkan masyarakat
internasional, dan dalam hal ini ARF akan tetap terlibat secara
konstruktif sesuai kebutuhan.
9. Pertemuan ARF ke-15, Singapore, 24 Juli 2008.
Para Menteri menyatakan belasungkawa kepada Myanmar dan
Cina atas banyaknya korban jiwa dan kehancuran yang disebabkan
Topan Nargis dan gempa bumi di Sichuan, Cina. Para Menteri
55
menyatakan kepuasannya terhadap Satuan Tugas Kemanusiaan
ASEAN yang telah efektif menyampaikan bantuan kemanusiaan bagi
para korban selamat dari Topan Nargis. Mekanisme yang dipimpin
ASEAN pertama yang melibatkan negara-negara anggota ASEAN
secara individu dan kolektif, serta PBB dan masyarakat internasional,
telah membawa hasil positif.
10. Pertemuan ARF ke-16, Phuket, 23 Juli 2009.
Menteri Luar Negeri mencatat perkembangan kerja sama
Myanmar dengan Amerika, termasuk kunjungan ke Myanmar oleh Mr
Ban Ki-moon, Sekertaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada
tanggal 3-4 Juli 2009. Mereka menegaskan kembali pandangan mereka
bahwa PBB memiliki peran penting dalam proses rekonsiliasi nasional
maupun sebagai pembangunan sosial dan ekonomi di Myanmar.
Mereka menyambut kerjasama antara Pemerintah Myanmar dan PBB
pasca Topan Nargis. Mereka menyatakan kesediaan mereka untuk
terus terlibat secara konstruktif dan berkontribusi terhadap
pembangunan sosial dan ekonomi Myanmar, dan mendorong
Pemerintah Myanmar dalam hal kemajuan nyata dan kredibel di
jalan demokratisasi.
Dalam hubungan ini, mereka mendorong Pemerintah Myanmar
untuk mengadakan pemilihan umum yang bebas, adil dan inklusif pada
tahun 2010, dengan demikian meletakkan suatu landasan bagi
pembangunan sosial dan ekonomi di masa depan. Mereka juga
meminta Pemerintah Myanmar untuk membebaskan semua tahanan,
56
termasuk Daw Aung San Suu Kyi, dengan maksud untuk
memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2010,
dengan demikian membuka jalan bagi dialog yang bermakna dan
rekonsiliasi.
Berdasarkan dialog yang telah dijalankan oleh negara-negara
anggota ARF dan perkembangan demokratisasi di Myanmar, maka dapat
dikatakan bahwa ARF tidak cukup efektif dalam membawa perubahan di
negeri Myanmar. Pemerintah militer Myanmar masih memiliki keinginan
kuat untuk memerintah dan memiliki cara sendiri untuk mendemokrasikan
negara. Tujuan ARF untuk menciptakan konsultasi konstruktif membuat
ARF memiliki kapasitas tersendiri dalam memainkan perannya. Oleh
sebab itu, ARF sejauh ini hanya berhasil membangun rasa saling percaya
(confidence building measures) dan tak beranjak pada tahap penyelesaian
konflik (conflict resolution) di kawasan.
Tekanan Internasional Terhadap Myanmar
Tekanan internasional terhadap rezim militer Myanmar merupakan
reaksi atas penahanan Aung San Suu Kyi dan aktor prodemokrasi lainnya,
proses demokratisasi yang berjalan lamban dan berbagai kasus
pelanggaran hak asasi manusia. Tekanan berulang kali dilakukan terhadap
pemerintahan militer Myanmar akibat dari kebijakan otoriternya.
Myanmar memiliki catatan buruk dalam kancah perpolitikan dunia.
Sejak merdeka masalah yang dihadapi Myanmar terpusat pada masalah
integrasi nasional. Setelah pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan
57
militer terhadap sipil, permasalahan yang terjadi di Myanmar semakin
rumit. Berbagai aksi protes menentang pemerintahan militer berdampak
panjang bagi Myanmar dan juga bagi ASEAN.
Semenjak aksi demonstrasi tahun 1988, kondisi perpolitikan
Myanmar menjadi kacau. Keadaan ini diperparah ketika pemerintahan
militer memutuskan mengadakan pemilu multipartai di tahun 1990.
Penolakan pemilu 1990, pemberangusan aktor-aktor demokrasi dan para
pemprotes menjadi tindakan yang dikecam oleh masyarakat internasional.
Sanksi-sanksi tegas menjadi pilihan bagi beberapa negara dan organisasi
internasional yang ditujukan kepada Myanmar untuk menekan
pemerintahan militer.
Beberapa bentuk tekanan berupa sanksi-sanksi ditujukkan kepada
Myanmar dengan maksud mendatangkan efek jera bagi Myanmar. Sanksi
ekonomi sebagai bentuk upaya menekan Myanmar terpaksa dilakukan
oleh beberapa negara di dunia. Ancaman untuk tidak hadir dalam
pertemuan-pertemuan ASEAN ataupun membatalkan pertemuan
kerjasama karena faktor Myanmar juga telah dilakukan.
Sanksi-sanksi yang ditujukan kepada pemerintahan militer
Myanmar sepert Uni Eropa yang memberlakukan sanksi embargo senjata
dan penundaan kerjasama pertahanan pada tahun 1990-an. Kemudian UE
memberlakukan sanksi dengan menolak memberikan visa bagi semua
anggota militer dan keluarganya.82 Selain itu, UE juga menangguhkan
semua bentuk kunjungan tingkat tinggi Myanmar ke Eropa dan
82 Nurani Chandrawati, “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II No. 3, 2006, h. 90.
58
membekukan aset Myanmar diseluruh Eropa. Lebih dari itu, sanksi UE
juga berimbas kepada ASEAN dengan adanya kebijakan UE yang
menjadikan perbaikan kondisi dalam negeri Myanmar sebagai
kondisionalitas ketika UE berhubungan dengan ASEAN.83
Sanksi yang diterapkan UE terhadap Myanmar berdampak pula
pada ASEAN. Adanya kebijakan UE kepada Myanmar, hubungan ASEAN
dengan UE menjadi terganggu. Ketegangan hubungan UE dan ASEAN
sudah muncul sejak menjelang bergabungnya Myanmar dalam
keanggotaan ASEAN dan semakin rumit setelah Myanmar resmi
bergabung dalam ASEAN. UE tidak ingin berhadapan dengan negara yang
selama ini dikecamnya dalam Asia Europe Meeting (ASEM), maka UE
bersikeras menolak dan menghalangi keanggotaan Myanmar dalam
ASEAN yang nantinya akan tergabung pula dalam ASEM.84
Keberatan UE terhadap partisipasi Myanmar dalam ASEM
diimplementasikan dengan cara menghalang keras ikut serta dalam
pertemuan puncak Asia-Eropa di Hanoi pada tahun 2004. Dengan tegas
UE juga membatalkan 2 pertemuan puncak ASEM secara sepihak. Dilain
sisi, ASEAN yang tidak menyukai cara konfrontasi diterapkan kepada
anggotanya, berusaha membela Myanmar meskipun negara tersebut
memiliki catatan buruk tentang pelaksanaan HAM dan demokratisasi.
Tindakan UE jelas telah menyinggung ASEAN, menghadapi tindakan UE
tersebut ASEAN dengan tegas menolak tindakan UE. Bagi ASEAN,
83 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 66. 84 Ibid, h. 67.
59
dalam pertemuan ASEM tersebut ASEAN harus hadir dengan
menyertakan anggota barunya sebagaimana UE menyertakan anggota
barunya. Bahkan lebih tegas ASEAN menyampaikan jika UE menolak
kehadiran Myanmar maka ASEAN juga akan melakukan hal yang sama
dengan menolak kehadiran 10 anggota baru UE dalam pertemuan di
Hanoi.85
Respon ASEAN terhadap tindakan UE pada akhirnya
membuahkan hasil. UE yang menyadari keuntungan akan kerjasama Asia-
Eropa menyebabkan UE melunakkan sikapnya. Dengan negosiasi yang
dilakukan antar UE dan ASEAN, ditemukan kesepakatan untuk saling
menyertakan anggota-anggota barunya dalam pertemuan di Hanoi. Selain
sanksi, UE juga melancarkan kritikan terhadap ASEAN akibat peran
ASEAN terhadap Myanmar. Cara ASEAN yang lebih menggunakan
pelibatan konstruktif dengan melakukan negosiasi secara kekeluargaan,
bagi UE terlalu lunak bahkan tidak berdampak signifikan. UE sangat
mengharapkan sikap ASEAN yang lebih keras dalam mengatasi masalah
di Myanmar. Bagi UE tindakan konkrit lebih penting dari pada negosiasi
yang pada akhirnya tidak berpengaruh pada pemerintahan militer
Myanmar.
Selain UE, tindakan penekanan dan kritikan terhadap Myanmar
dan ASEAN juga dilakukan oleh Amerika. ASEAN yang menyatakan
kebanggaan akan keberhasilan perannya dengan katalisator terdapat
perkembangan positif di Myanmar yang disampaikan dalam KTT ASEAN
85 Humphrey Wangke, Loc, Cit.
60
di Bali pada tahun 2003, dibantah oleh Amerika yang diwakili juru bicara
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Richard Boucher, menentang
pernyataan ASEAN tersebut. Masih ditahannya Aung San Suu Kyi dan
aktor-aktor prodemokrasi lainnya menjadi penyebab Amerika berpendapat
tidak ada perkembangan positif di Myanmar. Amerika meminta
pemerintah Myanmar untuk melibatkan semua lapisan masyarakat dalam
konvensi guna penyusunan konstitusi baru.86 Kenyataanya, pemerintah
militer Myanmar kembali mengabaikan tekanan tersebut dan
ketidakmampuan ASEAN mengupayakan pelibatan semua lapisan
masyarakat Myanmar dalam rekonsilisasi nasional Myanmar pada
akhirnya mencoreng kredibilitas ASEAN.
Berbagai sanksi dan penekanan yang ditujukan Amerika kepada
Myanmar tidak membawa dampak sedikit pun bagi pemerintahan militer
Myanmar. Perubahan yang diharapkan para pemberi sanksi tidak menjadi
kenyataan. Bagi junta militer tekanan sekeras apapun tidak akan merubah
kondisi di Myanmar.87 Pendekatan konfrontatif dengan menggunakan
sanksi, penekanan maupun isolasi telah membuktikan tidak membendung
kerepresifan pemerintahan militer Myanmar.
Tindakan penekanan terhadap Myanmar terus mengalami
kegagalan karena Myanmar tidak ingin didikte khususnya oleh negara-
negara barat dan masyarakat internasional untuk melaksanakan proses
demokratisasi, karena pada dasarnya demokrasi tidak dapat dipaksakan.
86 Humphrey Wangke, ” ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 69. 87 Bantarto Bandoro, “Myanmar dan Negara-Negara Ekstra Regional : Perspektif Mesin
Menurut Myanmar, tindakan-tindakan penekanan tersebut tidak memiliki
sumbangan bagi demokrasi di Myanmar. Bahkan secara tegas Perdana
Menteri Khin Nyunt pada saat itu menyampaikan dalam pidatonya yang
menjelaskan bahwa Myanmar ingin melakukan proses demokrasi secara
mandiri tanpa ada campur tangan atau tekanan dari manapun.
”Semakin kuat kami ditekan semakin jauh pencapaian demokrasi itu. Tapi karena kami telah mempunyai sasaran yang tepat, maka kami akan kerjasama dengan seluruh rakyat sehingga tidak ada penyimpangan dari jalan yang telah kami pilih”. 88
Penekanan yang tidak diinginkan Myanmar membuktikan cara
konfrontatif yang dilancarkan UE dan Amerika tidak akan memberikan
pengaruh terhadap demokratisasi di Myanmar. Disebutkan dalam suatu
sumber laporan tim independen kepada Komisi Eropa bahwa militer akan
tetap berkuasa sampai beberapa tahun kedepan meskipun militer harus
merasakan kebijakan dan sikap dunia luar yang memberatkannya.89
Menanggapi tekanan dan sanksi yang diberikan UE dan Amerika
Serikat terhadap Myanmar, ASEAN berusaha membantu Myanmar
melalui pendekatan konstruktif dengan melakukan dialog. ASEAN
berharap melalui pendekatan konstruktif akan membuat Junta militer
Myanmar mengerti dan bersedia menjalankan rekonsiliasi nasional.
Pendekatan yang dilakukan ASEAN dalam menghadapi
kerepresifan pemerintahan militer Myanmar dikatakan lebih efektif
dibandingkan dengan pendekatan konfrontatif. Akan tetapi, benarkah
88 CPF Luhulima, “Perimbangan Kekuatan di Myanmar, Faktor ASEAN dan Kepentingan
Indonesia”, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 162. 89 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 71-72.
62
pendapat tersebut?. Faktanya, ASEAN membutuhkan waktu yang sangat
lama untuk dapat menyelesaikan permasalahan demokrasi di negara
anggotanya. Namun efektifitas pendekatan ASEAN dalam memainkan
perannya tidak cukup sampai pada perkembangan penekanan luar yang
dihadapi Myanmar.
4.2.3 Pendekatan Dialogis dengan Pemerintah Militer Myanmar
Kegagalan penggunaan sanksi dan isolasi menyimpulkan bahwa
untuk menyelesaikan permasalahan demokrasi di Myanmar membutuhkan
formula yang lebih lunak. Kegagalan pendekatan konfrontatif sekaligus
membenarkan pendekatan yang dilakukan ASEAN. Oleh sebab itu,
ASEAN berupaya meyakinkan negara-negara Barat untuk merubah haluan
dengan melakukan dialog. Proses percobaan mempengaruhi junta agar
melakukan perubahan telah dilakukan oleh ASEAN dan PBB. Dalam
melakukan misi kunjungan kenegaraan ASEAN telah diwakili oleh
beberapa utusan dari negara-negara pendiri ASEAN yang bertugas
menyampaikan pandangan ASEAN.
Taktik dan strategi yang semula bersifat konfrontatif aktif kini
diubah menjadi a meaningful political dialogue yang lentur dalam
perundingan, sehingga utusan-utusan ini sangat diharapkan dapat segera
membawa perubahan drastis pada perilaku politik penguasa dan
mempercepat rekonsiliasi nasional Myanmar. Kenyatan bahwa dalam
kurun waktu 10 sampai 15 tahun mendatang Aung San Suu Kyi yang kini
sudah semakin tua, diperkirakan tidak akan mampu lagi terjun dalam
63
kancah perpolitikan Myanmar sehingga ditakutkan akan melicinkan jalan
dan usaha pemerintahan militer untuk mengatur arah pemerintahan sesuai
dengan strateginya.90
Perubahan negara kearah demokrasi yang nyata akan semakin
disangsikan tanpa adanya kekuatan oposisi dan pendekatan dari
masyarakat internasional. Oleh sebab itu, ketidakmungkinan kontinuitas
Aung San Suu Kyi tampil dalam perpolitikan Myanmar memberikan tugas
bagi oposisi di Myanmar untuk memfokuskan diri melahirkan generasi
baru yang memiliki karakter intelektual lebih kompeten dan berani
memperjuangkan kehidupan demokrasi.
Upaya ASEAN melakukan pendekatan dengan mengadakan misi
kunjungan kenegaraan. Utusan ASEAN diwakili Menteri Luar Negeri
Malaysia Syed Hamid Albar pada tahun 2006. Tugas Syed Hamid Albar
adalah untuk menyampaikan pandangan ASEAN tentang pentingnya
percepatan proses rekonsiliasi nasional Myanmar, peningkatan interaksi
dengan ASEAN agar Myanmar sebagai anggota ASEAN dapat bergerak
maju bersama serta mengingatkan pentingnya partisipasi dalam aktifitas
masyarakat internasional. Misi kunjungan kenegaraan ASEAN juga
mengalami kegagalan karena untuk kesekian kalinya pemerintah militer
Myanmar kembali menampakkan kerepresifannya. Kunjungan yang
ditetapkan pada bulan Januari 2006 baru terlaksana pada Maret 2006
90 “Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”, Kedutaan
Besar Republik Indonesia,Yangon, Edisi ke-2 2002, h. 78-79.
64
menjadi bukti ketidaksimpatisan pemerintahan militer Myanmar sebagai
anggota ASEAN.91
Selain Syed Hamid Albar, ASEAN juga pernah mengirim utusan
yang lainnya yaitu Perdana Menteri Lee Hshien Loong yang melakukan
kunjungan ke Myanmar pada 31 Maret 2005,92 dan Menteri Luar Negeri
Philipina Raul Manglapus. Misi Manglapus ialah untuk menemui Aung
San Suu Kyi juga mengalami kegagalan karena pemerintah militer
Myanmar menolak pertemuan tersebut.93
Selain ASEAN, PBB juga telah berupaya mengirimkan utusan
khususnya yaitu Tan Sri Razali Ismail yang dirintis sejak Desember tahun
2000. Pada kunjungan ke-9 tahun 2002, Razali berhasil menemui Jenderal
Than Shwe, Jenderal Khin Nyunt dan Aung San Suu Kyi membicarakan
masalah utama yaitu pengaktifan kembali National Convention yang akan
menyusun konstitusi. Dalam pertemuan ini Razali sangsi dengan hasil
dialog melihat lambatnya proses rekonsiliasi dan sikap pemerintahan
militer yang tidak bisa memberikan komitmen.94 Pada akhirnya pertemuan
yang diharapkan dapat membawa perubahan di Myanmar tidak
membuahkan hasil. Sifat keras pemerintahan militer dan keinginan kuat
militer untuk mempertahankan kekuasaan menjadikan usaha negosiasi
PBB sia-sia.
91 Ibid, h. 186. 92 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 73. 93 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h.72. 94 Ibid, h. 79-80.
65
Upaya negosiasi yang hingga saat itu tidak membuahkan hasil
menjadikan Razali memutuskan untuk mengundurkan diri. Pengunduran
diri Razali terjadi pada bulan Januari 2006 setelah ia ditolak masuk ke
Myanmar. Proses percobaan mempengaruhi junta agar melakukan
perubahan yang dilakukan PBB berlajut dengan mengutus Dr. Ibrahim
Gambari. Usaha mediasi ini dilakukan dalam rangka pembangunan
perdamaian bagi rakyat Myanmar. Dr. Ibrahim Gambari berlaku sebagai
“wasit” yang adil berkaitan dengan pencapaian bagaimana proses terbaik
yang seharusnya dibangun dan langkah apa yang seharusnya berjalan.95
Berdasarkan pendekatan dialogis yang telah dilakukan utusan-
utusan PBB, terdapat kepesimisan mengenai prospek demokrasi Myanmar.
Seperti yang dialami Razali, setelah berulang kali mengupayakan
demokratisasi melalui dialog, Razali menyatakan kepesimisan mengenai
prospek perkembangan politik Myanmar, sekalipun ASEAN berulangkali
telah mendorong demokratisasi dan mengusahakan pembebasan aktor-
aktor prodemokrasi termasuk Aung San Suu Kyi.96 Kepesimisan Razali ini
sangat beralasan, mengingat ketidakinginan Myanmar untuk ditekan
namun dengan pendekatan yang lebih halus pun pemerintah militer tetap
menampilkan kerepresifannya.
Pendekatan dialogis sebagai kelanjutan dari kegagalan pendekatan
konfrontatif dan diharapkan dapat melunakkan pemerintahan militer
Myanmar, tidak lantas membuat militer tergerak untuk segera melakukan
95 Sam Polk, “Burma’s Crisis and Indonesia’s Opportunity”. Indonesian Quarterly”.
Vol.36 No.1 Quarter 2008, h. 75. 96 Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN,
Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 185.
66
perubahan politik menuju pada negara demokrasi. Hal ini memperjelas
tidak berlakunya pola transisi demokratis yang ditawarkan Samuel P.
Huntington97 yaitu pola ”transplacement” yang bermakna bahwa
demokratisasi dapat berlangsung sebagai akibat negosiasi dan bergaining
antara pemerintah dan kelompok oposisi.
Pemerintahan militer membutuhkan waktu cukup lama menyusun
strategi agar tidak kehilangan eksistensinya dalam memerintah Myanmar.
Mengingat negaranya belum kuat serta memiliki masalah internal yang
kompleks dan rentan akan bentuk intervensi negara-negara besar, militer
Myanmar tidak menghendaki pemerintahan dikuasai oleh pihak yang
lemah. Berdasarkan alasan intervensi militer dalam pemerintahan yang
bersifat internal, yaitu kemahiran profesional di kalangan militer
menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari
segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kelompok sipil.98
Maka, militer yang merasa memiliki rasa nasionalisme tinggi
dibandingkan dengan pihak sipil, berpandangan bahwa merekalah pihak
yang paling layak untuk memimpin negara. Oleh sebab itu, proses dialog
yang diandalkan oleh ASEAN mungkin dapat diterima oleh pemerintah
militer Myanmar. Namun, pada akhirnya keputusan untuk terus
memerintah dengan gaya kepemimpinannya akan menjadi pilihan.
97 Samuel P. Huntington, The Third Wave : Democratization in The Late Twenthieth
Century. University of Oklohama Press, Norman, 1991, terjemahan Asril Marjohan, Gelombang Demokratisasi Ketiga, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995, h. 158-203.
98 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 Menuju Dwifungsi ABRI, LP3ES, Jakarta, 1986, h. 440-473, dikutip dari Ikrar Nusa Bhakti, Tentara Mendamba Mitra, Tim Peneliti PPW-LIPI, Mizan, 1999, h. 40.
67
4.2.4 Pembentukan ASEAN Human Rights Body (AHRB)
Dalam percaturan politik internasional, karakter ASEAN sangat
diperhatikan masyarakat internasional untuk menentukan kredibilitas
sebagai organisasi regional. Berdasarkan perkembangannya, karakter
ASEAN sebagai organisasi dengan peraturan yang longgar dan tuntutan
kemajuan globalisasi semakin mengancam kredibilitas ASEAN, sehingga
ASEAN tergerak untuk menciptakan suatu sistem hukum yang dapat
mengikat negara-negara anggotanya. Sistem hukum yang tidak mengikat
menjadi kendala bagi ASEAN untuk mengatasi permasalahan pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh negara-negara anggota.
Melalui Bali Concord II tahun 2003-2004, atas usulan Indonesia
yang merasa ASEAN perlu membentuk komunitas ASEAN yang mulanya
ditargetkan pada tahun 2020 namun akhirnya dipercepat menjadi 2015,
telah disepakati 3 pilar utama, yaitu ASEAN Security Community (ASC),
ASEAN Economic Community (AEC), dan ASEAN Social and Cultural
Community (ASCC).99 Dibawah pilar politik dan keamanan terdapat suatu
mandat kesepakatan untuk merundingkan suatu piagam yang memuat
aturan-aturan untuk menghadapi tantangan kedepan. Sehingga tahun 2007
dikatakan sebagai tahun bersejarah bagi ASEAN karena berhasil
membentuk konstitusi baru yang terdiri dari 13 bab dan 55 pasal dan
termuat dalam ASEAN Charter.
ASEAN Charter merupakan dokumen pertama yang mengikat
secara hukum bagi setiap negara anggotanya. Berdasarkan pasal 1 tentang
99 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h.81.
68
Purposes dan pasal 2 tentang Principles yang secara garis besar memuat
hasrat ASEAN untuk menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas
kawasan serta mendorong peace-oriented attitudes dan perwujudan
kawasan Asia Tenggara yang bebas senjata nuklir; membentuk ASEAN
menjadi pasar tunggal dan basis produksi yang kompetitif dan terintegrasi,
dengan memfasilitasi arus perdagangan, investasi, arus modal, pergerakan
pelaku usaha dan tenaga kerja yang lebih bebas; mengurangi kemiskinan
dan kesenjangan pembangunan; dan memperkuat demokrasi, good
governance, dan perlindungan HAM dengan uraian sebagai berikut :100
Pasal 1 mengenai Tujuan ASEAN selengkapnya sebagai berikut :
1. Memelihara dan meningkatkan perdamaian, keamanan, dan stabilitas
serta lebih memperkuat nilai-nilai yang berorientasi pada perdamaian di
kawasan;
2. Meningkatkan ketahanan kawasan dengan memajukan kerja sama
politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya yang lebih luas;
3. Mempertahankan Asia Tenggara sebagai Kawasan Bebas Senjata
Nuklir dan bebas dari semua jenis senjata pemusnah massal lainnya;
4. Menjamin bahwa rakyat dan Negara-Negara Anggota ASEAN hidup
damai dengan dunia secara keseluruhan di lingkungan yang adil,
demokratis, dan harmonis;
5. Menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur,
sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang
efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus
100 http://www.aseansec.org/AC-Indonesia.pdf diakses pada 24/04/2010.
69
lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya
pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat dan buruh;
dan arus modal yang lebih bebas;
6. Mengurangi kemiskinan dan mempersempit kesenjangan pembangunan
di ASEAN melalui bantuan dan kerja sama timbal balik;
7. Memperkuat demokrasi, meningkatkan tata kepemerintahan yang baik
dan aturan hukum, dan memajukan serta melindungi hak asasi manusia
dan kebebasan-kebebasan fundamental, dengan memperhatikan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dari Negara-Negara Anggota ASEAN;
8. Menanggapi secara efektif,sesuai dengan prinsip keamanan menyeluruh,
segala bentuk ancaman, kejahatan lintas-negara dan tantangan lintas-batas;
9. Memajukan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin perlindungan
lingkungan hidup di kawasan, sumber daya alam yang berkelanjutan,
pelestarian warisan budaya, dan kehidupan rakyat yang berkualitas tinggi;
10. Mengembangkan sumber daya manusia melalui kerja sama yang
lebih erat di bidang pendidikan dan pemelajaran sepanjang hayat, serta di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk pemberdayaan rakyat
ASEAN dan penguatan Komunitas ASEAN;
11. Meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak bagi rakyat
ASEAN melalui penyediaan akses yang setara terhadap peluang
pembangunan sumber daya manusia, kesejahteraan sosial, dan keadilan;
12. Memperkuat kerja sama dalam membangun lingkungan yang aman
dan terjamin bebas dari narkotika dan obat-obat terlarang bagi rakyat
ASEAN;
70
13. Memajukan ASEAN yang berorientasi kepada rakyat yang di
dalamnya seluruh lapisan masyarakat didorong untuk berpartisipasi
dalam, dan memperoleh manfaat dari proses integrasi dan pembangunan
komunitas ASEAN;
14. Memajukan identitas ASEAN dengan meningkatkan kesadaran yang
lebih tinggi akan keanekaragaman budaya dan warisan kawasan; dan
15. Mempertahankan sentralitas dan peran proaktif ASEAN sebagai
kekuatan penggerak utama dalam hubungan dan kerja samanya dengan
para mitra eksternal dalam arsitektur kawasan yang terbuka, transparan,
dan inklusif.
Berdasarkan pasal 1 diatas, maka keinginan ASEAN untuk
memperkuat demokrasi tercantum pada butir 4 yang menekankan
kehidupan damai, demokratis dan harmonis. Selanjutnya, keinginan
ASEAN untuk memperkuat good governance dan perlindungan HAM di
lingkungan kawasan Asia Tenggara, tercantum dalam butir 7 yang
menekankan pentingnya tata pemerintahan yang baik, aturan hukum dan
HAM.
Sedangakan Pasal 2 mengenai Prinsip ASEAN berisi :
1. Dalam mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan dalam Pasal 1, ASEAN
dan Negara-Negara Anggotanya menegaskan kembali dan memegang
teguh prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam deklarasi-deklarasi,
persetujuan-persetujuan, konvensi-konvensi, concords, traktat-traktat, dan
instrumen ASEAN lainnya.
71
2. ASEAN dan Negara-Negara Anggotanya wajib bertindak sesuai
wilayah, dan identitas nasional seluruh Negara-Negara Anggota
ASEAN;
(b) Komitmen bersama dan tanggung jawab kolektif dalam
meningkatkan perdamaian, keamanan dan kemakmuran di kawasan;
(c) Menolak agresi dan ancaman atau penggunaan kekuatan atau
tindakan-tindakan lainnya dalam bentuk apa pun yang bertentangan
dengan hukum internasional;
(d) Mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai;
(e) Tidak campur tangan urusan dalam negeri Negara-Negara Anggota
ASEAN;
(f) Penghormatan terhadap hak setiap Negara Anggota untuk menjaga
eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan eksternal, subversi,
dan paksaan;
(g) Ditingkatkannya konsultasi mengenai hal-hal yang secara serius
memengaruhi kepentingan bersama ASEAN;
(h) Berpegang teguh pada aturan hukum, tata kepemerintahan yang
baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan yang konstitusional;
(i) Menghormati kebebasan fundamental, pemajuan dan perlindungan
hak asasi manusia, dan pemajuan keadilan sosial;
72
(j) Menjunjung tinggi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan hukum
internasional, termasuk hukum humaniter internasional, yang disetujui
oleh Negara-Negara Anggota ASEAN;
(k) Tidak turut serta dalam kebijakan atau kegiatan apa pun, termasuk
penggunaan wilayahnya, yang dilakukan oleh Negara Anggota
ASEAN atau Negara non-ASEAN atau subjek non-negara mana pun,
yang mengancam kedaulatan, integritas wilayah atau stabilitas politik
dan ekonomi Negara-Negara Anggota ASEAN;
(l) Menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama yang dianut
oleh rakyat ASEAN, dengan menekankan nilai-nilai bersama dalam
semangat persatuan dalam keanekaragaman;
(m) Sentralitas ASEAN dalam hubungan eksternal di bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya, dengan tetap berperan aktif,
berpandangan ke luar, inklusif dan non-diskriminatif; dan
(n) Berpegang teguh pada aturan-aturan perdagangan multilateral dan
rejim-rejim yang didasarkan pada atura ASEAN untuk melaksanakan
komitmen-komitmen ekonomi secara efektif dan mengurangi secara
progresif ke arah penghapusan semua jenis hambatan menuju integrasi
ekonomi kawasan, dalam ekonomi yang digerakkan oleh pasar.
Dalam pencapaian tujuan dalam memperkuat demokrasi, good
governance dan perlindungan HAM, ASEAN berpegang teguh pada
prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam butir (h) dan (i) yang
menekankan pedoman ASEAN pada aturan hukum, tata kepemerintahan
yang baik, prinsip demokrasi dan menghormati HAM.
73
Dengan dibentuknya ASEAN Charter diharapkan dapat mengatasi
segala permasalahan yang terjadi di negara-negara anggota dan
mewujudkan kawasan yang dapat bersaing dengan negara-negara maju.
Sebelumnya ASEAN adalah satu-satunya organisasi di dunia tanpa
intergovernmental regional human rights machinery. Berbeda dengan
Eropa, Amerika Serikat dan Afrika bahkan negara-negara Arab yang telah
memiliki instrument HAM. Oleh sebab itu, ASEAN perlu sesegera
mungkin membuat sistem HAM yang sama dengan wilayah lainnya di
dunia.101
Berdasarkan uraian Piagam ASEAN Bab I, pasal 1 dan 2 diatas
maka komunitas ASEAN adalah sebuah komunitas yang ditujukan untuk
memperkuat demokrasi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Komunitas
yang dimaksud adalah sebuah masyarakat yang mampu memberikan ruang
yang lebih besar bagi nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, negara-negara
anggota ASEAN harus memiliki semangat penghargaan atas HAM dan
kepercayaan pada demokrasi. Salah satu implementasi yang sangat penting
berkaitan dengan persoalan diatas adalah pembentukan Badan Hak Asasi
Manusia ASEAN (ASEAN Human Rights Body/AHRB), sebagaimana telah
diterapkan terhitung mulai Desember 2008 dan diamanatkan di dalam Bab
IV Pasal 14 dengan rinciannya sebagai berikut :102
1. Selaras dengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN
terkait dengan pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan kebebasan
101 Liona Nanang Supriatna, “Piagam ASEAN : Upaya untuk Meningkatkan
Penghormatan dan Pemajuan Kebebasan Fundamental dan Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 26 No. 2, April 2008, h. 143.
102 http://www.aseansec.org/AC-Indonesia.pdf diakses pada 24/04/2010.
74
fundamental, ASEAN wajib membentuk badan hak asasi manusia
ASEAN.
2. Badan hak asasi manusia ASEAN ini bertugas sesuai dengan kerangka
acuan yang akan ditentukan oleh Pertemuan para Menteri Luar Negeri
ASEAN.
Terkait dengan masalah Myanmar, di piagam itu disepakati ASEAN
Human Rights Body atau badan ASEAN yang bertanggung jawab
mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, sehingga
memungkinkan ASEAN menjawab berbagai macam isu yang terkait
dengan human rights. Melalui badan ini, diharapkan ASEAN bisa
membantu mendorong Myanmar kearah demokrasi.103
Menghadapi terbentuknya ASEAN Charter khususnya yang
mengatur tentang Human Rights Body, ASEAN membentuk Komisi Hak
Asasi Manusia ( ASEAN Intergovernmental Commission on Human
Rights/AICHR) yang beroperasi sesuai dengan Terms of Reference (TOR)
dan memiliki tujuan :104
1. Mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan dasar
penduduk ASEAN.
2. Menjaga hak negara-negara ASEAN untuk hidup dalam damai, martabat
dan kesejahteraan;
3. Berkontribusi pada realisasi tujuan ASEAN sebagaimana dalam Piagam
ASEAN untuk meningkatkan stabilitas dan harmonisasi dalam
103 Dian Triansyah Djani, “ASEAN Organisasi Regional Yang Sukses”, Diplomasi, No. I
tahun I, 15 Januari- 14 Februari 2008, h. 6. 104 http://www.aseansec.org/22769.htm diakses pada 1 Desember 2010.
75
persahabatan ASEAN, wilayah dan kerjasama antar negara-negara anggota
ASEAN dalam proses membangun Masyarakat ASEAN.
4. Mempromosikan hak asasi manusia dalam konteks regional, mengingat
perbedaan pikiran nasional dan regional serta saling menghormati
perbedaan sejarah, budaya dan agama latar belakang, dan mengambil
mempertimbangkan keseimbangan antara hak dan tanggung jawab;
5. Meningkatkan kerjasama regional dengan tujuan untuk melengkapi upaya
pada promosi dan perlindungan hak asasi manusia nasional dan
internasional.
6. Menegakkan standar-standar hak asasi manusia internasional seperti yang
ditentukan Deklarasi Wina, dan instrumen hak asasi manusia internasional.
Pengambilan keputusan dalam AICHR didasarkan pada konsultasi
dan konsensus sesuai dengan Pasal 20 dari Piagam ASEAN. Menghadapi
terbentuknya AHRB, pada April 2000 Myanmar telah membentuk Komite
Hak Asasi Manusia dengan tugasnya yaitu mempersiapkan pembentukan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Selama dalam proses pembentukan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Myanmar telah merevisi Undang-
Undang yang disesuaikan dengan kehidupan sosial, budaya serta
disesuaikan dengan hukum internasional. Selain itu, Myanmar juga telah
meratifikasi beberapa konvensi HAM, yakni :105
1. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women, tanggal 22 Juli 1997.
2. Convention on the Rights of the Child, 15 juli 1991.
105 Ibid.
76
3. Geneva Convention of 12 August 1949 on the protection of the victims of
war.
4. Convention Concerning Forced or Compulsory Labour (no.29) and the
1948 Convention Concerning Freedom of Association.
5. Protection of the Right to Organize (no.87) of the International Labour
Organization.
Menjadikan ASEAN sebagai organisasi yang bersifat badan hukum
(legal personality) seperti tercantum dalam ASEAN Charter, tidak secara
otomatis membuat ASEAN semakin solid. Dalam pengimplementasian
ASEAN Charter, ASEAN menghadapi kendala yang justru datang dari
lingkungan internal ASEAN sendiri, yakni : Pertama, secara organisatoris,
ASEAN adalah organisasi elite politik yang cenderung mengabdi pada
kepentingan elite, berbeda dengan harapan dibentuknya ASEAN Charter,
organisasi ini kelak menjadi organisasi yang berorientasi pada rakyat dan
bukan organisasi birokrat semata. Kedua, ASEAN masih memegang teguh
prinsip non-interference. Dengan alasan prinsip ini ASEAN tidak akan
dapat mengintervensi pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di
negara-negara anggotanya. Ketiga, kondisi real masing-masing negara
yang cukup signifikan mengganggu nilai-nilai HAM.106
Dengan adanya Piagam ASEAN menjadikan seluruh negara-negara
anggota termasuk Myanmar terikat dengan sistem hukum internasional.
Dalam konteks permasalahan di Myanmar, pembentukan ASEAN
106 Liona Nanang Supriatna, “Piagam ASEAN : Upaya untuk Meningkatkan
Penghormatan dan Pemajuan Kebebasan Fundamental dan Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 26 No. 2, April 2008, h. 146.
77
Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) menjadi bukti
dari peran ASEAN dalam menyelesaikan masalah di negara-negara
anggotanya.
Di lain sisi, tindakan Myanmar meratifikasi konvensi HAM tidak
diiringi dengan keseriusan menghilangkan tindakan pelanggaran HAM.
Sementara itu, pembentukan Komisi Nasional HAM Myanmar tidak
diiringi dengan peresmian. Sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan
Myanmar tersebut merupakan tindakan formalitas belaka. Berdasarkan
prinsip demokrasi yang antara lain menjunjung tinggi nilai-nilai HAM,
maka selama Myanmar masih memiliki catatan pelanggaran HAM,
Myanmar belum dapat dikatakan sebagai negara demokrasi. Namun
demikian berdasarkan pengambilan keputusan yang dianut oleh ASEAN,
maka apabila terjadi pelanggaran HAM, ASEAN harus menyetujui secara
bulat (konsensus), di samping itu ASEAN juga tidak memiliki aturan
mengenai sanksi hukum yang dapat diterapkan kepada negara pelanggar.
4.3 Hambatan ASEAN dalam Menegakkan Demokrasi di Myanmar
Dalam masalah Myanmar, ASEAN bukan tidak pernah menggunakan
wewenangnya untuk mengupayakan proses rekonsiliasi nasional di Myanmar.
Dengan berpegang teguh pada ”ASEAN Way” ASEAN telah berulang kali
melakukan percobaan mempengaruhi pemerintahan militer Myanmar agar
melakukan perubahan. Akan tetapi, peran ASEAN dalam mengupayakan
perubahan di Myanmar terhambat oleh beberapa hal yang berasal dari dalam
maupun luar ASEAN. Dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh ASEAN secara
78
kolektif regional membuat ASEAN memiliki kapasitas tersendiri dalam setiap
menyelesaikan masalah di kawasan. Sehingga hal tersebut telah menjadikan posisi
yang dilematis bagi ASEAN dan mendatangkan penilaian bahwa peran ASEAN
tidak signifikan.
The ASEAN Way ” yang terdiri dari tiga pilar utama yaitu : prinsip non-
interference, pengambilan keputusan berdasarkan konsensus, minimalis dan
infornalitas dalam mekanisme institusionalisasi (soft institutionalism).107 ASEAN
Way merupakan gaya diplomasi yang dikembangkan dalam organisasional
ASEAN yang mengutamakan konsultasi informal berupa dialog. Cara ASEAN
merupakan rangkaian norma atau pedoman yang tidak tertulis namun bersifat
mengikat dan ditaati oleh negara-negara anggota ASEAN.108
ASEAN Way yang dijadikan pedoman dalam hubungan intra-ASEAN
tercermin dalam Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama (Treaty of Amity and
Cooperation/ TAC) yang dibentuk pada tahun 1976.109 TAC merupakan traktat
ASEAN yang paling mendasar dengan prinsip-prinsip dasarnya antara lain adalah
sikap saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, keutuhan territorial dan
identitas nasional setiap negara; hak setiap negara untuk menjalankan kehidupan
nasional yang bebas dari campur tangan, subversi atau tekanan luar; saling tidak
mencampuri masalah dalam negeri masing-masing anggota; penyelesaian konflik
107 Anak Agung Banyu Perwita, “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Internal
di Myanmar”, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 153. 108 Tritogo Puspito Adi, “Kepentingan Myanmar Menjadi Anggota ASEAN Periode
(1988-1997)”, Skripsi Departemen Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, Depok, 2001, h. 76.
109 Mekanisme penyelesaian sengketa di ASEAN kini menggunakan acuan dalam Piagam ASEAN yang pada dasarnya memiliki kesamaan dengan mengandalkan sebuah konsensus dalam sebuah sengketa hukum.
79
secara damai; menolak penggunaan kekerasan, dan kerjasama yang efektif antara
sesama negara angota.110
Cara penyelesaian masalah yang dianut oleh ASEAN lebih menekankan
pada penyelesaian secara damai demi mencegah munculnya konflik dan
penggunaan kekerasan. Dengan penekanan pada konsensus, ASEAN memiliki
beberapa mekanisme pengambilan keputusan di antaranya melalui KTT, Sidang
Para Menteri Luar Negeri, dan Sidang para Pejabat Tinggi (Senior Official
Meeting-SOM).
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN terdiri atas para Kepala Negara
atau Pemerintahan dari Negara-Negara Anggota dan merupakan badan pengambil
kebijakan tertinggi ASEAN yang membahas, memberikan arah kebijakan dan
mengambil keputusan atas isu-isu utama yang menyangkut realisasi tujuan-
tujuan ASEAN, hal-hal pokok yang menjadi kepentingan Negara-Negara
Anggota, dan segala isu yang dirujuk kepadanya oleh Dewan Koordinasi
ASEAN, Dewan-Dewan Komunitas ASEAN, dan Badan-Badan Kementerian
Sektoral ASEAN. Pertemuan-Pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN
diselenggarakan dua kali setahun, dan dilaksanakan oleh Negara Anggota yang
menjabat Ketua ASEAN dan menyelenggarakan, apabila diperlukan, pertemuan-
pertemuan khusus atau ad hoc yang diketuai oleh Negara Anggota yang
menjabat Ketua ASEAN, di tempat yang disepakati oleh Negara-Negara
Anggota ASEAN.111
Sidang Para Menteri Luar Negeri ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting-
AMM) mempunyai peran dan tanggung jawab untuk merumuskan garis kebijakan
110 “Seperempat ABAD ASEAN”, Proyek Kerjasama Antar Negara ASEAN Sekertariat Nasional ASEAN Departemen Luar Negeri, 1994, h. 22.
111 http://www.aseansec.org/22769.htm diakses pada 1 Desember 2010.
80
dan koordinasi kegiatan-kegiatan ASEAN yang merupakan penjabaran keputusan-
keputusan KTT. Sedangkan Sidang para Pejabat Tinggi ASEAN (Senior Officials
Meeting-SOM) secara resmi dilembagakan sebagai bagian dari mekanisme
ASEAN pada KTT III dan bertanggung jawab untuk menangani kerjasama
dibidang politik dan keamanan. SOM diselenggarakan bila diperlukan dan
menyiapkan laporan secara langsung kepada AMM.112 Dengan menekankan pada
konsensus maka dapat dilihat bagaimana hambatan yang dihadapi ASEAN dalam
megupayakan penyeleaian masalah yang terjadi di negara-negara anggota.
4.3.1 Penerapan Prinsip Non-Interference ASEAN dalam
Menegakkan Demokrasi Myanmar
Peran ASEAN berkenaan dengan perkembangan negara Myanmar
khususnya mengenai demokrasi belum menunjukkan hasil yang signifikan.
Dalam penerapan peranannya, ASEAN tetap bersikukuh untuk
mempertahankan ”ASEAN Way” dengan salah satu pilar adalah prinsip
non-interference.
Prinsip non-interference banyak dinilai sebagai batu penghalang
bagi ASEAN dalam memainkan perannya menyelesaikan permasalahan
internal negara-negara anggota, akan tetap dipegang teguh oleh ASEAN
untuk melindungi kedaulatan negara-negara anggotanya karena intervensi
bertentangan dengan kedaulatan nasional. Dalam tata hubungan
internasional, hal ini dapat dilihat melalui penjelasan Andrew M. Scott
yaitu :
112 Ibid.
81
”Prinsip non-interference mempunyai hubungan erat dengan kedaulatan nasional. Prinsip yang menyebutkan suatu bangsa atau negara harus menghormati integritas teritorial negara lain tanpa perlu memandang adanya perbedaan kekayaan, kekuatan dan kondisi alamnya. Prinsip non-interference mengalami perubahan yang serius usai Perang Dunia II karena mulai terbentuk model negara kaya dan negara miskin. Negara yang kaya tentu tidak mau mematuhi prinsip tersebut, dan negara kaya tidak akan memberikan bantuan kepada negara yang lebih miskin yang menganut prinsip non-interference karena semua program bantuan yang diberikannya tidak terlepas dari bentuk intervensi. Secara prinsip, kedaulatan nasional menolak intervensi suatu negara terhadap negara lain. Jika kedaulatan diterima sebagai suatu hal yang baik, maka dengan itu intervensi dianggap sebagai suatu hal yang buruk. Kenyataanya, tidak sedikit negara yang masih berusaha mempertahankan prinsip kedaulatan negara diatas segalanya."113
Seperti dipaparkan sebelumnya, negara yang masih
mempertahankan prinsip non-interference salah satunya adalah negara-
negara yang tergabung dalam ASEAN. Hal ini disebabkan ASEAN
menjadikan non-intervensi sebagai prinsip kekal ASEAN yang diadopsi
secara kolektif regional demi menjaga kedaulatan negara masing-masing
anggota.
Dalam perkembangan berikutnya, prinsip kedaulatan mulai
mendapat tantangan hebat ketika berkembang isu-isu humanitarianisme di
dalam hubungan internasional seperti hak asasi manusia dan
demokratisasi. Banyak negara, terutama negara-negara berkembang
berlindung dibalik prinsip kedaulatan negara ketika mereka melakukan
pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Alasannya karena khawatir
bahwa negara yang lebih kuat akan melakukan intervensi terhadap mereka
113 Andrew M. Scott, The Revolution in Statecraft Intervention in an Age of
Interdependence, Duke Press Policy Studies Paperbacks, Durham, NC, 1982, h. 198-201, dalam Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian, Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 59.
82
dengan alasan kemanusiaan.114 Prinsip non-interference memang memiliki
nilai positif untuk menghindari intervensi negara-negara lain. Namun
berdasarkan perkembangannya, nilai-nilai kemanusiaan merupaka hal
yang tidak bisa dihiraukan.
Selaras dengan apa yang menjadi permasalahan di Myanmar,
konflik internal Myanmar menjadikan posisi ASEAN menjadi sangat
dilematis. Di satu sisi ASEAN bersikukuh mempertahankan prinsip non-
interference. Tetapi di sisi lain, perkembangan internasional kini telah
menuntut ASEAN untuk bersikap lebih realistis dan tegas terhadap
Myanmar karena bagaimanapun masalah internal Myanmar jika tidak
segera menggunakan langkah konkrit akan mengancam kredibilitas
ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara.
Bagi negara-negara anggota ASEAN, prinsip non-interference
menjadi alasan untuk : berusaha agar tidak melakukan penilaian kritis
terhadap kebijakan pemerintah negara anggota terhadap rakyatnya masing-
masing agar tidak menjadi penghalang bagi kelangsungan organisasional
ASEAN, mengingatkan negara anggota lain yang melanggar prinsip
tersebut, menentang pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi
negara lain, mendukung dan membantu negara anggota lain yang sedang
menghadapi gerakan anti-kemapanan.115
Berbeda dengan proses penyelesaian permasalahan demokrasi dan
hak asasi manusia di Myanmar, prinsip non-interference telah menjadi
114 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 59. 115 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h.32.
83
salah satu sebab utama mengapa ASEAN tidak mampu memberi tindakan
konkrit dalam menanggapi kekerasan sikap pemerintahan militer
Myanmar.116 Meskipun ASEAN mengatakan bahwa prinsip intervensi
bukan penghalang bagi ASEAN, setidaknya prinsip ini telah menjadikan
ASEAN melangkah dengan hati-hati dalam menyelesaikan masalah
internal Myanmar sehingga proses rekonsiliasi di Myanmar berjalan
lambat.
Namun demikian, kekerasan sifat junta militer yang telah
menjadikan ASEAN sebagai sandera politik Myanmar, membuat ASEAN
geram dengan lambatnya proses rekonsiliasi nasional yang sudah
seharusnya segera dilakukan Myanmar. Menghadapi kekerasan sikap
pemerintah militer Myanmar, ASEAN menunjukkan kelunakan prinsip
non-intervensinya. Mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh
mantan Menlu RI Ali Alatas bahwa ” ASEAN memang menjunjung tinggi
prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri anggota, tetapi hal itu
sifatnya flexible”. Masalah di Myanmar tidak hanya telah memberikan
dampak regional tetapi juga berdampak internasional. Kenyatatan ini
memaksa ASEAN terlibat dalam urusan internal Myanmar sehingga
memungkinkan ASEAN membicarakan masalah internal Myanmar secara
terbuka. Hal ini mulai diterapkan ASEAN pada Pertemuan Para Menlu
ASEAN (ASEAN Ministrial Meeting / AMM) di Phnom Phen Juni 2003.117
116 Alexandra Retno Wulan, “Isu Myanmar, Semenanjung Korea dan Konflik Darfur”,
Jurnal Analisis CSIS, Vol. 36 No. 4, 2007, h. 369. 117 Fautinus Andrea, “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN,
Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006, h. 182.
84
Tindakan ASEAN membicarakan masalah internal Myanmar
menjadi bukti bahwa ASEAN telah keluar dari tradisinya, karena dalam
prinsip tersebut negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk berusaha
agar tidak melakukan penilaian kritis terhadap kebijakan pemerintah
negara anggota terhadap rakyatnya masing-masing agar tidak menjadi
penghalang bagi kelangsungan organisasional ASEAN.118 ASEAN
memang tidak menggunakan cara konfrontatif dengan memberikan sanksi
tegas, bagi ASEAN membicarakan masalah internal negara anggotanya
dalam suatu forum terbuka sudah merupakan perubahan yang sangat
berarti.
Pendekatan konfrontatif yang dilakukan UE dan Amerika Serikat
tidak efektif karena tidak diiringi dengan dukungan yang setimpal dengan
ASEAN. Beberapa pendapat mengatakan bahwa mungkin pendekatan
dengan menggunakan sanksi tegas akan berhasil jika ASEAN
menanggalkan pendekatan ”contructive engagement” dan prinsip non-
interference.119 Akan tetapi, hal demikian sulit terjadi mengingat
pendekatan dan prinsip tersebut merupakan hal yang bersifat kekal bagi
ASEAN. Meskipun pelaksanaannya kini sudah flexible, nyatanya ASEAN
belum dapat melakukan tindakan lebih tegas. ASEAN akan tetap memilih
silent diplomacy untuk mendorong reformasi politik di Myanmar.
Sedangkan efektifitas pendekatan yang dilakukan ASEAN akan terjawab
118 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h.32. 119 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 74.
85
apabila Myanmar secara benar-benar serius melaksanakan pemilu 2010
dengan adil, jujur dan terbuka.
4.3.2 Kekuatan Hubungan Luar Negeri Myanmar dengan Cina dan
India
Fenomena masalah domestik Myanmar yang berkepanjangan tidak
membuat rezim militer goyah. Ditengah tekanan internasional dan sanksi
ekonomi, Myanmar masih dapat berdiri tegak dan rezim militer masih
dapat mempertahankan eksistensinya dipercaturan politik Myanmar.
Kapabilitas rezim militer dalam menjalankan pemerintahan ditengah
kecaman masyarakat internasional selain disebabkan militer memiliki
kekuatan, dan disisi lain lemahnya posisi oposisi, militer juga mendapat
dukungan kuat dari beberapa negara yang juga memiliki kepentingan
terhadap Myanmar. Negara yang memiliki pengaruh kuat terhadap
Myanmar adalah Cina dan India.
Dukungan Cina terhadap Myanmar didasarkan pada kepentingan
kerjasama ekonomi. Sebelum mencapai keeratan hubungan tersebut, Cina
dan Myanmar pernah mengalami kondisi hubungan yang bergejolak. Sejak
pemerintahan U Nu hingga awal pemerintahan Jenderal Ne Win, Myanmar
tidak mencoba menjalin hubungan baik dengan Cina. Perbedaan ideologi
menjadi penyebab utama Perdana Menteri U Nu mengadopsi hubungan
equi-distance. Selain itu, renggangnya hubungan Myanmar dengan Cina
disebabkan adanya tentara Koumintang dan adanya dukungan Cina
terhadap Partai Komunis Burma. Namun pada akhirnya Ne Win merubah
86
sikap dan memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan
Cina dengan dasar persaudaraan (paukphaw).120
Masa Perang Dingin memang merupakan masa peperangan
ideologi, dimana komunisme melawan kapitalisme untuk mendapatkan
pengaruh sebesar-besarnya di seluruh negara. Negara-negara komunis
seperti Cina juga ikut serta menyebarkan ideologi komunisnya ke negara-
negara yang belum dan baru merdeka dengan memberikan dukungan
kepada partai-partai komunis di negara lain. Myanmar yang pada saat itu
menyandang status sebagai negara yang baru merdeka dan memiliki
ideologi yang berbeda dengan Cina tentu tidak menginginkan rakyatnya
dikuasai oleh ideologi komunis.
Pada masa pemerintahan Jenderal Ne Win terjadi fluktuasi
hubungan Myanmar dengan Cina. Ketika Jenderal Ne Win melakukan
kunjungan resmi ke Cina pada tahun 1965, hubungan kerjasama yang baik
diresmikan kedua belah pihak meskipun kenyataanya masih terdapat
prasangka antar kedua negara ini. Kemudian kondisi hubungan yang mulai
membaik kembali retak tatkala Cina mengadakan reavolusi budaya tahun
1966 yang bermakna Cina akan mendukung partai-partai komunis di Asia
termasuk Partai Komunia Burma.121
Perubahan sikap kembali terjadi pada masa pemerintahan Ne Win,
menjelang tahun 1970 Ne Win berusaha memperbaiki hubungan Myanmar
dengan Cina. Pemulihan hubungan semakin dipertegas dengan
120Madya Obaidellah Mohamad (ed), Hubungan Myanmar-China : dari Konfrontasi ke
Arah Kerjasama, Institut Pengkajian China, Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 2004, h. 190-193. 121 Ibid, h. 194.
87
menghidupkan kembali Perjanjian Kerjasama Ekonomi dan Teknikal
Cina-Myanmar dan menandatangani perjanjian tidak akan menggunakan
kekerasan dalam menyelesaikan masalah bersama. Selain itu, di tahun
1980 Cina mulai menghargai hubungannya dengan Myanmar yang terlihat
pada keputusan Deng Xiaoping yang mengurangi dukungan moral dan
materil kepada Partai Komunis Burma.122
Hubungan luar negeri Myanmar dengan Cina yang terus membaik
menjadikan Cina dianggap sebagai sekutu terdekat pemerintahan militer
Myanmar.123 Kekuatan hubungan kerjasama Myanmar dan Cina lebih
didasarkan pada kepentingan ekonomi masing-masing. Cina
berkepentingan memperluas pengaruh ekonomi, sedangkan Myanmar
berkepentingan menciptakan perekonomian yang mapan dengan dukungan
dana dari Cina. Namun tujuan Myanmar ini tanpa disadari telah
menjadikan negara tersebut terlalu bergantung dengan Cina, bahkan
hingga dalam hal diplomatik dan propaganda.
Hubungan Myanmar dengan Cina memang lebih didasarkan pada
pertimbangan ekonomi dibanding pertimbangan politik. Terbukti dengan
peran Cina sebagai penyumbang utama peralatan ketentaraan kepada
Myanmar dengan tujuan untuk memperkuat pertahanan negara dalam
menjamin keberlangsungan perdagangan Cina. Meskipun Cina
memberikan bantuan dalam bidang pertahanan tetapi tujuan bantuan
tersebut semata untuk menjamin peningkatan perdagangan Cina.
122 Ibid, h. 195-196. 123 Bambang Cipto, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, h.161.
88
Ketergantungan Myanmar dengan Cina menjadikan Cina
mempunyai andil besar untuk dapat mempengaruhi pemerintahan militer
Myanmar agar dapat menjalankan proses demokrasi, akan tetapi hal
tersebut belum juga tampak, dengan alasan bahwa prinsip kerjasama
mereka adalah tidak akan campur tangan mengenai masalah internal
masing-masing. Padahal jika permasalahan yang terjadi di Myanmar tidak
dapat terselesaikan, maka yang merasakan dampak tersebut tidak hanya
Myanmar tetapi berimbas pada kestabilan negara Cina.
Hubungan luar negeri Myanmar dengan Cina yang sangat erat pada
dasarnya telah menjadi masalah bagi ASEAN. Pengaruh besar Cina
terhadap Myanmar telah menggangu kedudukan ASEAN sebagai kawasan
yang bebas dari pengaruh negara-negara besar. Hal ini berkaitan dengan
prinsip otonomi regional ASEAN yang menginginkan negara-negara di
kawasan Asia Tenggara untuk dapat mengembangkan politik luar negeri
mandiri dan tidak tergantung sepenuhnya pada dukungan negara-negara
besar.
Hubungan Myanmar dengan Cina menambah daftar hambatan bagi
ASEAN. Kebertahanan pemerintahan militer dalam menghadapi sanksi-
sanksi ekonomi yang diterapkan Barat disebabkan Myanmar mendapat
dukungan penuh dari Cina. Sanksi-sanksi tersebut tidak akan berdampak
apapun selama Cina menyokong perekonomian Myanmar. Sementara itu,
upaya ASEAN bernegosiasi dengan Cina untuk memainkan pengaruhnya
terhadap Myanmar tidak dapat dikatakan berhasil.
89
Besarnya pengaruh Cina menjadikan India berinisiatif untuk
menjalin hubungan baik dengan Myanmar agar membatasi pengaruh Cina
di Myanmar. Letak Myanmar yang strategis diantara Cina dan India
membuat negara tersebut saling bersaing untuk dapat berperan dominan di
wilayah lautan Hindia. India tidak ingin Cina berpengaruh besar terhadap
Myanmar karena hal tersebut dapat membuat pengaruh India berkurang di
wilayah lautan Hindia.
Persaingan antara Cina dan India berawal sejak tahun 1947, ketika
itu Cina dan India pernah berperang. Dalam peperangan tersebut India
menjadi pihak yang kalah dan harus kehilangan wilayah yang
dipertikaikan. India mengambil langkah untuk bekerjasama dengan
Mynamar sebagai upaya menangani pengaruh Cina di Myanmar.
Kerjasama yang dilakukan adalah dalam bidang perdagangan,
perhubungan, sains dan teknologi. Bahkan di tahun 1997 Myanmar telah
menjadi anggota kelima BIMST-EC (Bangladesh, India, Myanmar, Sri
Lanka, Thailand-Economic Cooperation) yang merupakan usaha India
untuk mengintegrasikan ekonomi Myanmar dengan negara di kawasan
Asia Selatan.124
Kerjasama India dengan Myanmar ini membuktikan bahwa selain
India mempunyai kepentingan untuk menahan pengaruh Cina, India juga
mempunyai tujuan untuk mempertahankan kemajuan ekonominya.
Langkah India menjadikan Myanmar sebagai wilayah target perluasan
ekonominya merupakan langkah cerdik mengingat Myanmar memiliki
124 Madya Obaidellah Mohamad (ed), Op,Cit., h. 201.
90
cadangan energi yang besar dan belum digali, dan merupakan akses
strategis di bidang perdagangan. Kekuatan hubungan Myanmar dengan
Cina dan India merupakan bentuk dari pemenuhan kepentingan nasional
masing-masing. Adanya kedekatan hubungan ini dinilai sebagai salah satu
kendala bagi ASEAN untuk dapat melunakkan sikap militer Myanmar.
Pemberian sanksi yang telah dilakukan tidak berdampak besar bagi
Myanmar karena Cina dan India masih menjadi penyokong perekonomian
utama bagi Myanmar. Beberapa pendapat mengatakan bahwa Cina dan
India mempunyai andil besar untuk dapat mempengaruhi pemerintah
militer Myanmar. Akan tetapi, dengan berlindung di bawah payung
perjanjian kerjasama yaitu tidak mencampuri urusan politik dalam negeri
masing-masing, Cina dan India enggan menjalankan desakan-desakan
tersebut. Pada dasarnya tindakan Cina dan India merupakan cermin politik
negara-negara Barat. Seperti yang terdapat dalam argumentasi berikut :
”Apa yang dilakukan Cina dan India terhadap Myanmar merupakan cermin dari apa yang dilakukan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yaitu bermain dengan retorika demokrasi dan HAM untuk kepentingan strategis dan ketahanan energinya. Dengan melancarkan sanksi terhadap Myanmar, Amerika dan negara-negara Eropa masih tetap menjalankan bisnis yang menguntungkan di Myanmar. Perusahaan minyak Prancis (Total) dan perusahaan minyak Amerika (Chevron) adalah dua diantara sekian banyak raksasa minyak di dunia yang masih menjalankan keuntungannya di Myanmar.”125
Dukungan Cina dan India terhadap Myanmar membuat militer
Myanmar tidak mempunyai alasan kuat untuk mundur dalam
pemerintahan. Berdasarkan faktor eksternal terhadap negara, yaitu rezim
militer yang secara ekonomi, militer dan logistik tergantung kepada negara
125 “Dilema Burma dan India”, Koran Tempo, Senin 29 Oktober 2007.
91
lain dapat terancam bila donatur mereka menarik dukungannya. Contoh
keberhasilan kebijakn tersebut adalah Kebijaksanaan hak-hak asasi
manusia pemerintah Carter mempunyai dampak terhadap rezim-rezim di
Amerika Latin. Samoza mungkin masih berkuasa bila pemerintahan AS
tidak mengucilkannya.
Berbeda dengan Myanmar, dukungan maupun tekanan dunia
internasional semakin meningkat semenjak militer menolak kemenangan
NLD. Sanksi-sanksi yang diberikan dunia internasional pun tidak mampu
melemahkan posisi rezim militer disebabkan selain militer tidak memiliki
ketergantungan dengan negara-negara tersebut, militer masih memiliki
dukungan materi yang cukup kuat dari Cina dan India.
4.4 Pemilu 2010 Sebagai Implementasi ”Road Map to Democracy”
Menghadapi gencarnya tekanan internasional, para anggota militer
mencari cara demi memperbaiki citra Myanmar di mata internasional. Cara yang
ditempuh militer adalah menampilkan Jenderal Khin Nyunt yang diangkat sebagai
Perdana Menteri. Jenderal Khin Nyunt dikenal sebagai tokoh militer yang lebih
moderat dan memiliki pemikiran perlunya rekonsiliasi nasional dan perlunya
keterlibatan masyarakat internasional dalam proses demokratisasi di negaranya.126
Pengangkatan Khin Nyunt sebagai Perdana Menteri dilaksanakan pada bulan
Agustus 2003. Khin Nyunt bertanggung jawab untuk menangani proses
126 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 57.
92
rekonsiliasi yang dimotori oleh PBB antara pemerintah dengan kelompok oposisi
pimpinan Aung San Suu Kyi.127
Pada bulan Agustus 2003, PM Khin Nyunt mengumumkan 7 langkah
menuju demokrasi (Road Map to Democracy). Pembentukan ”Road Map to
Democracy” ini merupakan sebuah upaya pemerintah dalam melaksanakan
reformasi politik dan konstitusi sekaligus menjadi jawaban atas tuntutan
masyarakat internasional terhadap proses demokratisasi di Myanmar. Ketujuh
tahapan itu adalah :128
1. Reconvening of the National Convention that has been adjourned since
1996.
2. After the successful holding of the National Convention, step by step
implementation of the process necessary for the emergence of a genuine and
disciplined democratic system.
3. Drafting a new constitution in accordance with basic principles and detailed
basic principles laid dawn by the National Convention.
4. Adoption of the draft constitution through national referendum.
5. Holding of free and fair elections for Pyithu Hluttaw (People’s Assemblies)
according to the new Constitution.
6. Convening of Hluttaw attended by Hluttaw members in accordance with the
new Constitution.
127 Ibid, h. 64. 128 Stephen Mc.Carthy, “Burma and ASEAN, Estranged Bedfellows”, Asian Survey, Vol.
XLVIII No. 6, November/December 2008, h.921.
93
7. Building a modern, developed and democratic nation by the state leaders
elected by the Hluttaw; and the government and other central organs formed
by Hluttaw.
Langkah awal dengan mengadakan Konvensi Nasional diharapkan dapat
menghasilkan sebuah referendum tentang konstitusi baru dan pemilu baru.
Konvensi yang awalnya akan dilangsungkan tahun 1993 akhirnya ditangguhkan
pada Maret 1996 sebab banyak partai menarik diri sebagai aksi protes jalannya
konvensi yang tidak demokratis.
Setelah Konvensi Nasional tahun 1996 gagal mencapai kesepakatan,
pemerintahan militer berjanji untuk mengadakan Konvensi Nasional sebanyak dua
kali yaitu pada bulan Mei-Juni 2004 dan Februari-Maret 2005. Namun kedua
konvensi ini kembali mengalami kegagalan. Konvensi pertama gagal karena
diboikot oleh kelompok oposisi Partai NLD dan dua partai oposisi lainnya.
Sedangkan kegagalan konvensi kedua disebabkan pemerintahan militer tidak
mengundang ketiga partai yang memboikot konvensi petama, sehingga hasil
konvensi ini tidak diakui oleh PBB dan negara-negara di dunia.129
Ketidakjelasan penyelenggaraan konvensi nasional membuat dunia
internasional menganggap pemerintah militer Myanmar tidak serius menjalankan
proses demokrasi. Terlebih ketika akhir bulan Maret 2005, pemerintah militer
memutuskan menunda melanjutkan konvensi nasional dan menyatakan tidak akan
mengumumkan kelanjutannya hingga November 2005. Kesungguhan realisasi
”Road Map to Democracy” dan prospek demokrasi di Myanmar diasumsikan
129 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h.65-66.
94
semakin tidak menentu setelah pemerintah militer mengganti Jenderal Khin Nyunt
dengan Let. Jend Soe Win yang bergaris keras pada tanggal 19 Oktober 2004.130
Pergantian kekuasan dari Khin Nyunt menjadi Letjen Jenderal Soe Win
ternyata tidak menyurutkan Myanmar untuk melanjutkan langkah memenuhi
”Road Map to Democracy”. Menuju pada langkah selanjutnya yaitu menyusun
konstitusi dengan prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan dalam Konvensi Nasional
telah dilaksanakan pada April 2008. Konstitusi yang bagi militer merupakan
proses demokratisasi hanya dianggap oposisi sebagai alat militer untuk
mengontrol negara. Setelah menyusun konstitusi, pemerintahan militer segera
menuju pada langkah berikutnya yaitu mengesahkan konstitusi melalui
referendum. Referendum konstitusi 2008 telah dilaksanakan pemerintah pada
bulan Mei 2008. Dalam referendum tersebut terdapat beberapa peraturan
diantaranya adalah calon presiden dilarang berasal dari seseorang yang menikah
dengan warga negara asing.
Sesuai dengan langkah kelima dari ”Road Map to Democracy” yaitu
melaksanakan pemilu yang bebas dan adil untuk membentuk parlemen,
pemerintah militer telah menetapkan untuk mengadakan pesta demokrasi
multipartai yang direncanakan akan dilangsungkan pada bulan Oktober 2010.
melihat langkah demi langkah yang dilakukan pemerintah militer untuk
mewujudkan ”Road Map to Democracy” tampak keseriusan militer untuk
mengubah Myanmar menjadi negara demokratis. Namun, apakah hal tersebut
akan menjamin efektifitas demokratisasi di Myanmar?.
130 Ibid, h. 66.
95
Berdasarkan peraturan pemilu yang dibuat pemerintah militer Myanmar
mengatakan bahwa presiden tidak boleh berasal dari seseorang yang menikah
dengan Warga Negara Asing. Hal ini merupakan alasan untuk membuat Suu Kyi
tidak dapat tampil dalam pemilu tersebut. Selanjutnya menanggapi kenyataan
bahwa suami Aung San Suu Kyi telah meninggal dunia, pemerintah militer
memiliki peraturan yang memihak berikutnya yaitu tahanan politik tidak boleh
ikut serta dalam pemilu. Hal ini jelas menjadi penghalang bagi Suu Kyi sebab Suu
Kyi harus memenuhi masa tahanan selama tiga tahun sejak ditahan pada tahun
2009. Berikutnya, partai NLD telah melewati tenggang waktu mendaftar dalam
pemilu 2010.
Tampilnya NLD maupun Aung San Suu Kyi dalam pemilu 2010 sudah
dapat dipastikan tidak dapat terwujud. Oleh sebab itu, kini yang menjadi
permasalahan bukan NLD dengan Aung San Suu Kyi bisa tampil dalam pemilu
2010. Namun, kini yang terpenting adalah adanya oposisi lain yang juga memiliki
program kuat untuk mendemokrasikan Myanmar dan keseriusan untuk
menjalankannya.
Bila Aung San Suu Kyi tidak mungkin lagi tampil dalam pemilu, dan tidak
ada pihak oposisi yang dapat melawan kekuatan militer. Maka kini yang
terpenting adalah adanya militer progresif yang dapat memahami rakyat Myanmar
dan memerintah tidak dengan tangan besi. Namun, kemungkinan ini pun sangat
kecil dikarenakan militer otoriter juga mendominasi militer progresif. Hal ini
tampak pada kasus pergantian Perdana Menteri Khin Nyunt dengan Sao Win pada
bulan Oktober 2004. PM Khin Nyunt dikenal dengan sosok yang lebih pragmatis
ditangkap oleh junta militer Myanmar dengan tuduhan korupsi. Namun banyak
96
yang menduga bahwa Khin Nyunt ditangkap karena ketidaksesuaian pandangan
dengan dua petinggi senior lainnya, Jenderal Than Shwe dan Jenderal Maung
Aye. Masalah yang dipertikaikan adalah rencana Khin Nyunt untuk menengahi
para aktifis demokrasi dan etnik minoritas.131 Dengan demikian kenyataan ini
menambah keraguan dunia internasional atas kesungguhan Myanmar menjalankan
demokrasi.
Ini menjadi bukti bahwa militer Myanmar memiliki kekuatan internal
karena perbedaan pandangan didalam tubuh militer pun dapat diminimalisasi.
Sehingga hal ini memperkuat pandangan tidak berlakunya faktor mundurnya
militer dari pemerintahan yang bersifat internal yakni adanya berbagai macam
perbedaan pandangan di tubuh militer,132 disebabkan selain militer Myanmar
dikenal sebagai korporat yang solid, mereka juga cenderung tidak mengizinkan
adanya jenderal yang berbeda pandangan dengan mereka.
Kini pemerintahan militer Myanmar telah menjalankan langkah ke lima
dari Road Map to Democracy yaitu pemilihan umum multi partai pada 7
November 2010. Namun, terlaksananya pesta demokrasi tidak menjamin
demokratisasi di Myanmar disebabkan tidak terlaksananya prinsip-prinsip
demokrasi seperti Participation, Inclusion, Representation, Transperency,
Accountability, Responsiveness, Competition/Authorization, and Solidarity.133
Perolehan suara dalam pemilu tersebut dipegang oleh partai militer yaitu Union
Solidarity and Development Party (USDP), dengan rincian perolehan suara
sebagai berikut :
131 Humphrey Wangke, ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal Kajian,
Vol. 10 No. 1, Juni 2005, h. 57. 132 Anas S. Machfudz dan Jaleswari Pramodawardhani (ed), Military Without Militarism,
Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI, 2001, h. 168. 133 Penjelasan prinsip demokrasi ini telah dijelaskan pada bagian pendahuluan, h.14-17.
97
Tabel 3 Burmese Election Results 2010
Official Results People’s National Region/State Total Party Assembly AssemblyAssemblies Seats Union Solidarity and Development Party * 259 129 496 884National Unity Party ** 12 5 46 63Shan Nationalities Democratic Party 18 3 36 57Rakhine Nationalities Development Party 9 7 19 35All Mon Regions Democracy Party 3 4 9 16National Democratic Force 8 4 4 16Chin Progressive Party 2 4 6 12Pa-O National Organisation * 3 1 6 10Phalon-Sawaw Democratic Party 2 3 4 9Chin National Party 2 2 5 9Palaung National Party * 1 1 4 6Kayin People’s Party 1 1 4 6Wa Democratic Party * 2 1 3 6Unity and Democracy Party of Kachin State * 2 1 2 5Inn Nationalities Development Party 1 - 3 4Democratic Party (Myanmar) - - 3 3National Democratic Party for Development * - - 2 2Kayin State Democracy and Progressive Party - 1 1 2Kayan National Party - - 2 288 Generation Student of Youths (Myanmar) Party * - - 1 1Ethnic Nationals Development Party - - 1 1Lahu National Development Party* - - 1 1Independent 1 1 4 6TOTAL 326 168 662 1156
Sumber: http://www.networkmyanmar.org/index.php?option=com_content&view=article&id=52&Itemid=94 diakses pada 1 Desember 2010.
(*) are believed to be pro-regime.
(**) is pro-establishment, but is not a regime proxy party. It would be willing to
hold the government to account, if not promote democratic reform.
98
Pemerintahan militer Myanmar memang telah memenuhi janjinya untuk
melaksanakan pemilihan umum yang selama 20 tahun terakhir pesta demokrasi
tersebut tidak pernah dipenuhi oleh pemerintah militer. Namun, pelaksanaan
pemilu tersebut tidak menjamin demokratisasi di Myanmar dan ASEAN sebagai
organisasi regional yang mewadahi Myanmar tidak dapat bertindak lebih tegas
karena berdasarkan prinsip pembentukan ASEAN, maka ASEAN memiliki
kapasitas tersendiri dalam menangani setiap permasalahan yang terjadi di negara-
negara anggotanya.
99
BAB V
PENUTUP
5. 1 Kesimpulan
Fenomena tampilnya militer dalam porsi pemerintahan merupakan
fenomena yang umumnya terjadi pada negara-negara yang baru merdeka. Kondisi
negara yang masih rentan, menumbuhkan rasa patriotisme militer untuk
menyelamatkan negara dari bahaya kehancuran. Dengan dalih tersebut militer
menghalalkan tindakan pelanggaran konstitusional.
Adanya kekuatan militer otoriter di Myanmar memunculkan kesadaran
rakyat untuk menentang pemerintahan represif. Aung San Suu Kyi adalah tokoh
yang paling vokal memperjuangkan kehidupan demokrasi untuk rakyat Myanmar.
Bersama dengan tokoh prodemokrasi lainnya yang tergabung dalam partai oposisi
NLD, Aung San Suu Kyi merangkul rakyat Myanmar untuk memperjuangkan hak
mereka yang selama ini tidak terpenuhi rezim otoriter. Meskipun tantangan yang
harus dihadapi sangat besar, tak lantas membuat Suu Kyi mundur dari
perjuangannya.
Lantangnya perjuangan Suu Kyi dan NLD menjadikan NLD tampil
sebagai partai pemenang dalam pemilu multipartai tahun 1990. Keinginan militer
untuk terus memimpin negara membuat militer menolak hasil pemilu tersebut
secara sepihak. Bahkan dengan dalih oposisi sebagai ancaman negara yang akan
lebih mendekatkan Myanmar dengan negara-negara Barat, militer memenjarakan
Aung San Suu Kyi dan tokoh prodemokrasi lainnya. Gerakan perlawanan atas
tindakan militer yang datang dari kaum Bhiksu sebagai komunitas yang dihormati
100
juga diatasi dengan tangan besi. Hal ini membuktikan bahwa militer memiliki
kekuatan eksternal yang membuat militer mampu membendung kekuatan oposisi.
Ketika militer dapat melanggengkan kekuasaanya dan membendung
kekuatan oposisi. Militer Myanmar terus memfokuskan diri pada program
peningkatan perekomomian dan pembangunan. Dengan dukungan bantuan dari
sekutu terdekatnya yaitu Cina dan India, program peningkatan perekonomian dan
pembangunan negara yang dilakukan militer mencapai keberhasilan. Bahkan kini
militer Myanmar merambah karirnya dalam bidang bisnis. Keengganan
menanggalkan kerajaan bisnis menjadi salah satu penyebab kebertahanan militer
Myanmar menguasai negara. Ini menjadi bukti bahwa militer Myanmar memiliki
kekuatan internal yang dilihat dari kemampuan militer mempertahankan
eksistensinya hingga beberapa generasi dan kekuatan hubungan korporat militer.
Oleh sebab itu, kekuatan internal dan eksternal militer Myanmar ini memberikan
kontribusi bagi stagnasi demokrasi di Myanmar.
Berlarut-larutnya masalah internal Myanmar tidak hanya berdampak
nasional, namun juga telah berdampak regional bahkan internasional. Oleh sebab
itu, peran ASEAN sebagai organisasi regional Asia Tenggara sangat dibutuhkan.
Dengan kebijakan ”constructive engagement” ASEAN berharap dapat
menjalankan perannya mengupayakan kehidupan demokrasi di Myanmar dan
pembebasan para tahanan politik militer.
Pendekatan konstruktif yang diterapkan ASEAN sebagai jawaban
ketidaksetujuan ASEAN terhadap pendekatan konfrontatif. ASEAN sebagai
organisasi regional Asia Tenggara memiliki cara penyelesaian masalah sendiri
yang digunakan dalam hubungan intra-ASEAN. Melalui pendekatan kontruktif
101
berupa dialog yang juga dilakukan ASEAN Regional Forum, dilanjutkan dengan
pembentukan ASEAN Charter dan ASEAN Human Right Body dapat dilihat
seberapa besar peran ASEAN dan seberapa besar pengaruhnya terhadap
perkembangan demokrasi di Myanmar.
ASEAN memang telah melakukan beberapa upaya untuk menegakkan
demokrasi di Myanmar yang tentunya berlandaskan prinsip-prinsip dan tujuan
ASEAN. Namun dalam pencapaiannya ASEAN terbentur oleh hambatan yang
bersifat internal dan eksternal. Hambatan bersifat internal berasal dari
karakteristik ASEAN sebagai organisasi regional. ASEAN yang memegang teguh
prinsip non-interference dengan tujuan untuk melindungi anggotanya dari
berbagai bentuk intervensi dari negara luar, tidak membenarkan prinsip ini
sebagai kendala bagi ASEAN karena prinsip ini bersifat flexible. Meskipun pada
kenyataannya prinsip ini telah membuat peran ASEAN sangat hati-hati sehingga
proses rekonsiliasi Myanmar berjalan lambat dan ASEAN tidak mampu
memberikan langkah konkrit bagi Myanmar.
Selain hambatan internal, terdapat pula hambatan bersifat eksternal yang
tentunya berasal dari luar ASEAN. Semenjak berakhirnya Perang Dingin, isu
demokrasi menjadi bagian permasalahan masyarakat internasional. Sehingga isu
demokrasi Myanmar menjadi alasan bagi masyarakat internasional untuk ikut
andil dalam mengupayakan tegaknya demokrasi. Dengan melakukan tekanan dan
sanksi, masyarakat internasional yakin dapat memberikan dampak bagi demokrasi
Myanmar. ASEAN dianggap tidak mampu bertindak tegas yang pada akhirnya
mencoreng citra ASEAN di mata internasional. Sedangkan bagi militer Myanmar
102
tindakan pemberian sanksi tidak berdampak signifikan bagi negaranya selama
Myanmar mempunyai dukungan ekonomi yang kuat dari Cina dan India.
Pendekatan konfrontatif yang diterapkan masyarakat internasional
mengalami kegagalan karena dalam menjalankan proses demokrasi pemerintahan
militer tidak mau di tekan oleh pihak manapun. Oleh sebab itu, ASEAN
menyarankan masyarakat internasional untuk merubah pendekatannya dengan
menggunakan pendekatan yang lebih lunak dengan cara dialog. Namun kerasnya
pemerintahan militer Myanmar yang menambah daftar hambatan bagi ASEAN,
membuat proses dialog tersebut tidak berjalan dengan baik. Dalam penerapannya,
proses dialog yang dilakukan ASEAN, PBB, UE dan AS sering mendapat
penolakan dari pemerintahan militer. Meskipun militer Myanmar telah membuka
diri dengan masyarakat luar, namun pada akhirnya keputusan untuk menjalankan
proses demokrasi tanpa tekanan menjadi pilihan militer.
Melihat kerasnya sikap pemerintahan militer Myanmar membuat banyak
pihak tidak yakin dengan perwujudan demokrasi Myanmar. Namun ASEAN terus
berusaha menampilkan perannya untuk memperbaiki citranya dengan
menciptakan ASEAN Charter untuk mengikat anggotanya secara hukum. Melalui
ASEAN Charter semestinya membuat ASEAN dapat bertindak tegas terhadap
anggotanya. Setidaknya dengan adanya ASEAN Charter, ASEAN dapat
memberikan sanksi tegas pada Myanmar bila tidak menjalankan asas-asas
demokrasi. Namun ketiadaan lembaga yudikatif yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa hukum ASEAN dan tidak jelasnya sanksi hukum
menjadikan ASEAN tidak memiliki kekuatan penuh untuk menyelesaikan
permasalahn di negara-negara anggotanya.
103
Peran ASEAN tidak dapat dikatakan berhasil, dengan katalisator ASEAN
tidak berhasil mengupayakan keikutsertaan seluruh lapisan masyarakat Myanmar
dalam pemilu 2010, dan ASEAN tidak berhasil mempengaruhi pemerintahan
militer untuk dapat membuat peraturan pemilu yang adil bagi pihak oposisi,
sehingga membuat Aung San Suu Kyi tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu
2010. Hal tersebut lah yang meyakinkan rasa pesimis mengenai prospek cerah
demokrasi bagi Myanmar. Namun demikian, keberhasilan peran ASEAN dapat
dilihat dari keberhasilan jalannya pemilu 2010. Jika tragedi pemilu tahun 1990
terulang maka dapat dikatakan ASEAN tidak berhasil. Tetapi jika pemerintah
militer Myanmar dapat menjalankan pemilu dengan jujur, adil, transparan dan
menerima segala hasil yang diperoleh, maka dapat dikatakan ASEAN berhasil.
104
DAFTAR PUSTAKA
Buku A.Nordlinger, Eric. Militer dalam Politik, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Bhakti, Ikrar Nusa. Tentara Mendamba Mitra, Tim Peneliti PPW-LIPI, Mizan,
1999. Cipto, Bambang. Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007. Huntington, P.Samuel. The Third Wave : Democratization in The Late Twenthieth
Century, University of Oklohama Press, Norman, 1991. Terjemahan Marjohan, Asril. Gelombang Demokratisasi Ketiga, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1993.
Luhulima, CPF, (et al). Seperempat Abad ASEAN, Proyek Kerjasama Antar
Negara ASEAN Sekertariat Nasional ASEAN, Departemen Luar Negeri, 1994.
Maung, Mya. Totalitarian in Burma, Prospect for Economic Development,
Paragon House, New York, 1992. Mohamad, Madya Obaidellah (ed). Hubungan Myanmar-China : dari Konfrontasi
ke Arah Kerjasama, Institut Pengkajian China, Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 2004.
Nurhasim, Moch, (ed). Praktek-Praktek Bisnis Militer, Pengalaman Indonesia,
Burma, Filipina dan Korea Selatan, The Ridep Institute, Jakarta, 2003. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yani, Yanyan Mochamad. Pengantar Ilmu
Hubungan Internasional, PT.Remaja Rosdakarya, Bandung, 2005. S. Machfudz, Anas dan Pramowardhani, Jaleswari, (ed). Military Without
Militarism, Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI, 2001. Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani,
Prenada Media, Jakarta, 2005. Jurnal A.Englehart, Neil. ”Is Regime Change Enough for Burma?, The Problem of State
Capacity”, Asian Survey, Vol. XLV No. 4, July/ August 2005.
xi
Andrea, Fautinus. “Lingkungan Strategis Asia Tenggara dan Asia Timur: ASEAN, Myanmar dan Krisis Semenanjung Korea”, Analisis CSIS, Vol.35 No.2, 2006.
B.Roberts, Christopher. “Plight of Myanmar’s People : Challenges for the
Internasional Community ”, dalam “Strategic Currents : Emerging Trends in Southeast Asia” , Insitute of Southeast Asian Studies, Singapore, 2009.
Chandrawati, Nurani. “Perluasan ASEM dan Masalah Myanmar : Melanjutkan
Strategi Kompromistis atau Membentuk Kriteria Baru”, Jurnal Kajian Wilayah Eropa, Vol. II, No.3, 2006.
Firnas, M. Adian. “Prospek Demokrasi di Myanmar”, Jurnal Universitas
Paramadina, Vol. 2 No.2, 2003. Haryono, Endi. ”ASEAN Menanggapi Sanksi Ekonomi AS terhadap Myanmar
1997”, Jurnal Paradigma, Vol. 1 No. 2, 1997. Holliday, Ian. ”Voting and Violence in Myanmar, Nation Building for a
Transition to Democracy”, Asian Survey, Vol. XLVIII No. 6, November/December 2008.
Juliastuti, Anna. “ASEAN dan Masalah Hak Asasi Manusia”, Global Jurnal
Politik Internasional, No. 1, September 2000. Luhulima, CPF. ”Perimbangan Kekuatan di Myanmar: Faktor ASEAN dan
Kepentingan Indonesia”, Analisis CSIS, Vol.35 No.2, 2006. Mc.Carthy, Stephen. “Burma and ASEAN, Estranged Bedfellows”, Asian Survey,
Vol. XLVIII No.6, November/December 2008. Min, Win. ”Looking Inside The Burmese Military”, Asian Survey, Vol. XLVIII
No.6, November/December 2008. Perwita, Anak Agung Banyu. “Kapasitas ASEAN dalam Penyelesaian Konflik
Internal di Myanmar”, Jurnal Analisis CSIS, Vol. 35 No. 2, 2006. Polk, Sam. ‘’Burma’s Crisis and Indonesia’s Opportunity”, The Indonesian
Quarterly, Vol.36 No.1, First Quarter 2008. Retno Wulan, Alexandra. ”Terorisme, Perkembangan Politik di Myanmar dan
Pemilu di tiga Negara”, Analisis CSIS, Vol. 38 No. 3 September 2009. Silverstein, Josef. ”The Idea of Freedom in Burma and the Political Thought of
Daw Aung San Suu Kyi”, Pacific Affairs, Vol. 69 No. 2 Summer 1996.
xii
Sulistiyanto, Priyambudi. ”Politik, Reformasi Ekonomi dan Demokrasi; Studi Perbandingan Thailand, Indonesia dan Burma”, Prisma LP3ES, No.5 tahun XXVI, Mei-Juni 1997.
Sundhaussen, Ulf. ”Penarikan Militer dari Pemerintahan”, Prisma LP3ES, No.7
tahun XXIV, Juli 1995. Supriatna, Liona Nanang. “Piagam ASEAN : Upaya untuk Meningkatkan
Penghormatan dan Pemajuan Kebebasan Fundamental dan Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 26 No. 2, April 2008.
Wangke, Humphrey. ”ASEAN dan Masalah Kepemimpinan Myanmar”, Jurnal
Kajian, Vol. 10 No. 1, Juni 2005. Dokumen “Kerjasama ASEAN dalam Upaya Menuju Terbentuknya Mekanisme HAM di
ASEAN”, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Deplu RI, 2002. “Sang Merah Putih di Tanah Pagoda, Kenangan, Masa Kini dan Harapan”,
Kedutaan Besar Republik Indonesia,Yangon, Edisi ke-2 2002. ”The New ASEANs: Vietnam, Burma, Cambodia & Laos”. Department of Foreign
Affairs and Trade Commonwealth of Australia, 1997. “Seperempat ABAD ASEAN”, Proyek Kerjasama Antar Negara ASEAN
Sekertariat Nasional ASEAN Departemen Luar Negeri, 1994. Majalah dan Surat Kabar Djani, Dian Triansyah, “ASEAN Organisasi Regional Yang Sukses”, Diplomasi,
No.I tahun I, 15 Januari- 14 Februari 2008. ”Suu Kyi Dipindahkan ke Penjara Insein”, Kompas, 27 September 2007. ”Dilema Burma dan India”, Koran Tempo, Senin 29 Oktober 2007. Skripsi dan Tesis
Triyogo Puspito Adi, “Kepentingan Myanmar Menjadi Anggota ASEAN Periode (1988-1997)”, Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001.
xiii
Firnas, M.Adian. ”Militer dan Kekuasaan : Suatu Studi Terhadap Upaya-Upaya Militer Myanmar Mempertahankan Kekuasaanya dalam Sistem Politik Myanmar”., Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2000.
Rahmanto, Agus Budi. “Tantangan Demokrasi di Myanmar : Studi Kasus
National League for Democracy (NLD)”, Tesis Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta, 2002.
Wahono, ”Kebertahanan Pemerintahan Junta Militer Myanmar Menghadapi
Oposisi, Tekanan Asing, dan Gerakan-Gerakan Perlawanan”, Tesis Program Pascasarjana Magister Pembangunan, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, 2005.