PERAN YAYASAN BINA ANAK PERTIWI DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN (Studi Kasus pada Anak Jalanan di Daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sosiologi Agama (S.Sos) Disusun Oleh: Husnul Khotimah Nim. 104032201023 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2009 M
114
Embed
PERAN YAYASAN BINA ANAK PERTIWI DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN · Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang program-program dalam pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PERAN YAYASAN BINA ANAK PERTIWI DALAM
PENGENTASAN KEMISKINAN
(Studi Kasus pada Anak Jalanan di Daerah Pasar Minggu,
Jakarta Selatan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Sosiologi Agama (S.Sos)
Disusun Oleh:
Husnul Khotimah Nim. 104032201023
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
PERAN YAYASAN BINA ANAK PERTIWI DALAM
PENGENTASAN KEMISKINAN
(Studi Kasus pada Anak Lalanan di Daerah Pasar
Minggu, Jakarta Selatan)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Sosiologi Agama (S.Sos)
Disusun Oleh:
Husnul Khotimah
Nim. 104032201023
Di Bawah Bimbingan
Dra. Joharotul Jamilah, M.Si.
Nip. 150282401
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1430 H/2009 M
ABSTRAKSI
Husnul Khotimah
Peran Yayasan Bina Anak Pertiwi dalam Pengentasan Kemiskinan Anak
Jalanan (Studi Kasus pada Anak Jalanan di Daerah Pasar Minggu, Jakarta
Selatan)
Masalah kemiskinan anak jalanan merupakan masalah yang multidimensional. Dewasa ini masalah yang dihadapi cukup mengkhawatirkan
baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Secara kuantitas akibat dari krisis ekonomi yang melanda negeri ini membuat terjadinya peningkatan pada jumlah
anak-anak jalanan. Sedangkan kualitas tentu saja perilaku mereka yang cukup
memprihatinkan. Sebagai tunas-tunas bangsa, maka sudah seharusnya hal-hal
negatif yang ada pada diri anak-anak jalanan perlu segera ditangani.
Dalam penanganan masalah anak jalanan dibutuhkan kerja sama berbagai pihak,
profesi dan disiplin ilmu agar menghasilkan pola penanganan yang mampu
menangani masalah anak jalanan secara komprehensif. Salah satunya dengan
mendirikan lembaga-lembaga di luar pemerintah seperti LSM, dan yayasan-
yayasan rumah singgah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang program-program dalam
pengentasan kemiskinan yang dilakukan oleh Yayasan Bina Anak Pertiwi sebagai
salah satu lembaga yang menjadi ‘kepanjangan tangan’ pemerintah. Program-
program tersebut bertujuan untuk menghantarkan mereka pada masa depan yang
lebih baik khususnya mereka mampu mengatasi kemiskinan mereka yang selama ini telah membelenggu mereka dan keluarganya.
Dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mengumpulkan data baik berupa kata-kata maupun dari tulisan-tulisan dari orang-orang yang diamati
guna mendapatkan data-data yang diperlukan yang kemudian dijabarkan secara deskriptif.
Melalui wawancara, observasi dan dokumentasi, selama ini mereka masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat luas. Banyak hal mengapa anak memilih
jalanan, karena usia mereka yang relatif muda tanpa memiliki kreativitas apa-apa,
akhirnya mereka memilih jalanan untuk menyambung hidupnya karena tekanan
kemiskinannya. Maka dengan program-program yang diajarkan Yayasan Bina
Anak Pertiwi, dapat membantu mereka menjalankan kehidupan normal dan
menggapai masa depan yang lebih cerah.
Program-program tersebut berupa pelatihan keterampilan, kesenian, pertanian dan
yang lebih penting lagi adalah pendidikan berupa sekolah kejar paket. Kegiatan
program-program tersebut paling tidak bertujuan untuk mengalihkan profesi anak
jalanan ke non jalanan. Dan itu sangat berdampak positif.
i
KATA PENGANTAR
Tengadah jemari ke hadirat Ilahi Robbi, terucap untaian kata nan suci yang
penuh makna dari lubuk hati yang paling dalam “Alhamdulillah”, sebagai
ungkapan rasa syukur yang ikhlas sebagai wujud penghambaan diri kepada Dzat
yang maha agung tempat mengembalikan segala urusan, Allah SWT. Karena atas
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya penulis dapat merampungkan penulisan skripsi
ini.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpah curahkan kepada Rasulullah
saw, penghulu para nabi, suri tauladan bagi umatnya yang membawa ajaran islam
sebagai rahmatan lil alamin.
Penulis menyadari sepenuh hati bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan baik dari segala materi,
pembahasan maupun tata bahasa. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
kemampuan penulis yang masih perlu mengisi diri dengan ilmu pengetahuan.
Untuk itu, kritikan dan saran yang bertujuan dan membangun sungguh merupakan
masukan bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
Skripsi ini adalah buah dari ketulusan dan keikhlasan berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak DR. M. Amin Nurdin, MA selaku dekan fakultas Ushuluddin dan
Filsafat
2. Ibu Dra. Ida Rasyidah, MA selaku Ketua Jurusan Sosiologi Agama.
ii
3. Ibu Dra. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan sekaligus
sebagai pembimbing skripsi penulis yang telah membimbing, meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya untuk penulis.
Orang tuaku tercinta ( H. Hamdani(alm) dan Hj. Marhanih) yang selalu ada dihati
penulis, yang selalu memberikan kasih sayang tanpa batas, yang selalu berharap
dalam setiap do’a yang dipanjatkan, yang selalu terjaga dalam setiap langkah
kemana kaki ini berjalan, yang selalu tersenyum penuh cinta dalam setiap canda
tawa.
Para dosen pengajar fakultas Ushuluddin dan Filsafat khususnya jurusan Sosiologi
Agama yang membuat wawasan penulis lebih terbuka lagi.
Staff perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Umum,
perpustakaan Iman Jama, dan Perpumda yang telah memberikan pelayanan
dengan baik selama penulis menyelesaikan skripsi.
Kakak-kakakku tersayang yang selalu memotivasi dan memberikan fasilitas
kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Keponakan-keponakanku yang
nakal yang selalu mengganggu penulis ketika mengetik.
Specially for “abang Q A. Hafiz” yang telah mengisi dan memberikan warna
dalam kehidupan penulis, yang tak pernah berhenti memberikan semangat dalam
penulisan skripsi ini, terima kasih untuk kesabaran, pengertian dan waktu yang
diluangkan.
iii
4. Pengurus Yayasan Bina Anak Pertiwi khususnya kak Zayyadi, kak Ali,
Ardi, beserta anak-anak penghuni lainnya yang telah membantu penulis
dan memberikan data-data yang terkait dengan penulisan ini.
Teman-teman SA angkatan 2004, yang tidak bisa disebutkan satu persatu, tapi
kalian semua adalah the best friend khususnya Nia, Zumi, Umi, Uti dan Ita teman
curhat penulis, tempat berbagi kesedihan dan keceriaan. Terima kasih atas
masukan-masukan dan do’a yang diberikan. Sampai kapanpun kita harus selalu
saling mendo’akan.
Teman-teman alumni Seblak angkatan 2004, Uun, Ika, Zah, Bad, dan lainnya.
Jangan pernah putuskan tali silaturahmi kita.
Ciputat, Januari 2009
Husnul Khotimah
iv
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI …………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………. ii DAFTAR ISI …………………………………………………………………… v
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………. vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 9
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 10
E. Metodologi Penelitian ..................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 14
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Peranan dalam Perspektif Sosiologis .............................. 16
B. Kemiskinan ..................................................................................... 21
16 David Berry, Pokok-Pokok Pikiran dalam Sosiologi, h. 101.
Peranan mencakup tiga hal, yaitu :17
Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat.
Peranan adalah suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur
sosial masyarakat.
Perlu pula disinggung mengenai fasilitas-fasilitas bagi peranan individu
(role-facilities). Masyarakat biasanya memberikan fasilitas-fasilitas pada individu
untuk dapat menjalankan peranan. Lembaga-lembaga kemasyarakatan merupakan
bagian masyarakat yang banyak menyediakan peluang-peluang untuk pelaksanaan
peranan. Kadang-kadang perubahan struktur suatu golongan kemasyarakatan
menyebabkan fasilitas-fasilitas bertambah. Misalnya perubahan departemen
pemerintahan dalam menangani kasus anak jalanan, dan lain lain.
Bertolak dari sudut-sudut pandangan di atas, peranan sosial dapat didefinisikan
sebagai bagian dari fungsi sosial masyarakat yang dilaksanakan oleh orang atau
kelompok tertentu, menurut pola kelakuan lahiriah dan batiniah yang telah
ditentukan.
17 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), h. 244.
Dari gambaran di atas tentang peranan, dapat disimpulkan beberapa aspek
yaitu:18
1. Peranan sosial adalah sebagian dari keseluruhan fungsi masyarakat.
Fungsi pada umumnya adalah suatu pengertian yang menunjukkan
pengaruh khas dari satu bagian terhadap keseluruhan. Masyarakat sebagai
keseluruhan kesatuan hidup bersama mengemban tugas umum, ialah
mencukupi kepentingan umum yang berupa kesejahteraan spiritual dan
material, tata tertib ketentaraman dan keamanan. Tugas umum ini hanya
dapat terlaksana dengan baik jika anggota-anggotanya dan bagian-
bagiannya berfungsi baik. Adapun bagian-bagian masyarakat itu tak lain
adalah kelompok-kelompok sosial atau lembaga-lembaga sosial.
Lembaga-lembaga sosial inilah yang bisa berupa sebuah yayasan yang
berdiri sendiri atau lembaga lainnya yang mengemban tugas bagian yang
disebut fungsi sosial. Dalam hal ini misalnya yayasan Bina anak Pertiwi
memiliki komitmen terhadap kesejahteraan anak-anak jalanan di daerah
Pasar Minggu.
2. Peranan sosial mengandung sejumlah pola kelakuan yang telah ditentukan.
Jika peranan sosial ditinjau dari sudut lain yakni bagaimana
pelaksanaannya, peranan sosial adalah seperangkat pola kelakuan lahiriah
dan batiniah yang harus diikuti oleh individu yang bersangkutan.
Misalnya, bagaimana seorang pengurus yayasan yang fokus terhadap
permasalahan anak jalanan mampu memahami karakter anak-anak jalanan,
18 Hendropuspito, Drs. D. Sosiologi sistematik, h.179-181.
bagaimana harus bersikap terhadap mereka, bagaimana harus berbicara
dan berbuat kepada mereka, semua itu sudah mempunyai pola tersendiri,
dia tidak hanya harus memahami anak-anak jalanan, tetapi juga harus
mengerti dan merasakan segala kesulitan-kesulitan anak-anak jalanan.
3. Peranan sosial dilakukan oleh perorangan atau kelompok tertentu,
misalnya sebuah yayasan atau lembaga lainnya.
4. Pelaku peranan sosial mendapat tempat tertentu dalam tangga masyarakat.
Sama halnya dengan suatu pementasan sebuah drama, pelaku-pelaku yang
menjalankan peranan sosial diberi tempat dalam suatu tangga masyarakat.
Misalnya dalam setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh sebuah
lembaga, maka masyarakat akan memberikan dukungan baik berupa
materi atau semangat.
5. Dalam peranan sosial terkandung harapan-harapan yang khas dari
masyarakat.
Setiap peranan sosial adalah sejumlah harapan yang hendak diwujudkan,
juga harapan dari orang banyak yang realisasinya diserahkan kepada
seorang atau beberapa pelaku. Isi harapan dari masyarakat adalah agar
peranan (tugas) sosial tersebut dilakukan menurut norma dan peraturan
yang telah ditentukan. Misalnya sebuah yayasan yang fokus dalam
masalah anak jalanan memiliki harapan dari masyarakat yang
menginginkan anak-anak jalanan bebas dari keterpurukannya.
6. Dalam peranan sosial ada gaya khas tertentu.
Setiap peranan yang dipegang oleh individu atau kelompok memiliki
harapan-harapan yang berbeda sesuai dengan penjiwaannya. Misalnya
lembaga yang menangani masalah anak jalanan, maka penjiwaannya pun
seperti halnya anak-anak jalanan, atau contoh lainnya lembaga yang
menangani masalah kemiskinan, maka karakternya pun dapat memahami
kemiskinan tersebut dibanding orang atau lembaga yang tidak memahami
masalah tersebut.
B. KEMISKINAN
a. Pengertian Kemiskinan
Dalam merumuskan pengertian-pengertian tentang kemiskinan nampaknya
bukan suatu hal yang mudah, karena selain kompleksnya masalah yang berkaitan
dengan kemiskinan di samping itu juga masing-masing para pembuat pengertian
tentang kemiskinan sangat dipengaruhi oleh latar belakang kerangka berfikir dan
fokus perhatian yang berbeda dalam melihat masalah kemiskinan itu sendiri.
Kemiskinan merupakan masalah global yang sering dikaitkan dengan masalah
kebutuhan, kesulitan, dan kekurangan-kekurangan dalam hidup. Kemiskinan
memiliki beberapa ciri, yaitu:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang,
dan papan).
2. Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,
pendidikan, sanitasi, air bersih, dan transportasi).
3. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiada investasi untuk pendidikan
dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam.
5. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial masyarakat.
6. Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.
7. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
8. Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita
korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal
dan terpencil).19
Kemiskinan itu sendiri berasal dari kata “miskin” dengan mendapatkan
awalan “ke” dan akhiran “an”. Miskin adalah tidak berharta benda; serba
kekurangan (berpenghasilan sangat rendah), sedangkan kemiskinan adalah hal
miskin; keadaan miskin; situasi penduduk atau sebagian penduduk yang hanya
dapat memenuhi makanan, pakaian, dan perumahan yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan tingkat kehidupan yang minimum.20
Dalam literatur hukum Islam, istilah kemiskinan atau “miskin” dibedakan dengan
“fakir”. Mengenai perbedaan kedua istilah tersebut, definisi miskin adalah yang
memiliki harta benda/pencaharian atau kedua-duanya hanya bisa menutupi
seperdua atau lebih dari kebutuhan pokok. Sedangkan yang disebut fakir ialah
mereka yang tidak memiliki sesuatu harta benda atau tidak memiliki mata
pencaharian tetap atau mempunyai harta benda tetapi hanya mampu menutupi
19 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. h.132.
20 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka , 1998) Cet. Ke-2. h.587.
kurang seperdua kebutuhan pokoknya.21
Para sosiolog menyebut masyarakat miskin sebagai masyarakat marjinal,
masyarakat pinggiran, atau masyarakat kumuh. Karena itu banyak pula teori yang
menjelaskan tentang masyarakat miskin, antara lain menurut Murray, masyarakat
miskin atau masyarakat marjinal, atau masyarakat kumuh adalah mereka yang
dalam kehidupan sehari-harinya tinggal di perkampungan perkotaan yang
letaknya sangat strategis untuk bertahan hidup, di mana perkampungan tersebut
dikenal sebagai kampung ilegal, liar, kotor, sarang penyakit. Sumber perlawanan
dan kejahatan. Hal senada juga diutarakan oleh Adam Firol, yang menjelaskan
bahwa masyarakat miskin adalah mereka yang memiliki buruknya kondisi rumah
sebagai tempat tinggal dan kampung-kampung pemukiman mereka disebabkan
oleh adanya ledakan jumlah penduduk.22
Terdapat banyak sekali teori dalam memahami kemiskinan. Bila dipetakan maka
terdapat dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan:
yakni paradigma neo-liberal yang memfokuskan pada tingkah laku individu dan
demokrasi sosial (social-democracy) yang mengarah pada struktur sosial.23
Teori neo-liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas
Hobbes, John Lock dan John Stuart Mill. Teori yang memfokuskan pada tingkah
laku individu merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi, dan
kapital manusia (human capital). Intinya menyerukan bahwa komponen penting
21 Ali Yafie, Islam dan Problematika Kemiskinan Pesantren (Jakarta: Buku P3LM,
1986), h.6.
22 Y. Argo Twikromo, Pemulung Jalanan Yogyakarta : Konstruksi Marjinalitas dan
Perjuangan terhadap Bayang-Bayang Budaya Dominan (Yogyakarta: Media Pressindo,
1999),h.5.
23 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Me mberdayakan Rakyat. h. 138
dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Kaum neo-liberal yang
mengedepankan azas laissez faire disebut sebagai ide yang mengunggulkan
mekanisme pasar bebas. Maksudnya bahwa manusia bebas mengambil keputusan
untuk dirinya sendiri dengan tersedianya pilihan-pilihan. Perspektif ini sejalan
dengan teori sosiologi fungsionalis, yang menyarankan bahwa sejumlah fungsi
lebih penting dan tentu saja lebih menguntungkan bagi masyarakat dibandingkan
dengan fungsi-fungsi lainnya. Dari perspektif teori fungsional, ketidaksetaraan itu
tidak dapat dihindari dan diinginkan adalah keniscayaan dan penting bagi
masyarakat secara keseluruhan.24
Para pendukung teori neo-liberal beragumen bahwa kemiskinan merupakan
persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan atau pilihan-
pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya
jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan pertumbuhan
ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung, strategi penanggulangan
kemiskinan harus bersifat ‘residual’ sementara, dan hanya melibatkan keluarga,
kelompok-kelompok swadaya atau lembaga-lembaga keagamaan. Peran Negara
hanyalah sebagai “penjaga malam” yang baru boleh ikut campur manakala
lembaga-lembaga di atas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya.
Sedangkan teori demokrasi sosial memandang bahwa kemiskinan bukanlah
persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan di sebabkan oleh adanya
ketidak adilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-
akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan.
24 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin; Perspektif Baru Usaha Pengentasan
Kemiskinan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.47.
Pandangan strukturalis ini diwakili oleh kelompok Marxis, yaitu bahwa
hambatan-hambatan struktural yang sistematik telah menciptakan ketidaksamaan
dalam kesempatan, dan berkelanjutannya penindasan terhadap kelompok miskin
oleh kelompok kapitalis. Variasi teori struktural ini terfokus pada topik seperti ras,
gender, atau ketidaksinambungan geografis dalam kaitannya atau dalam
ketidakterkaitannya dengan ras.25
Pendukung demokrasi sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat
penting dalam memperoleh kemandirian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan
hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-
sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik, dan pendapatan yang cukup.
Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari pengaruh luar. Melainkan pula bebas
dalam menentukan plihan-pilihan (choice). Dengan kata lain kebebasan berarti
memilliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Misalnya, kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya, kemampuan
menghindari kematian dini, kemampuan menghindari kekurangan gizi,
kemampuan membaca, menulis, dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki
peranan di dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam
transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan
pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Singkatnya, teori perilaku individu meyakini bahwa sikap individu yang tidak
produktif telah mengakibatkan lahirnya kemiskinan. Disisi lain, teori struktur
sosial melihat bahwa kondisi miskinlah yang mengakibatkan perilaku tertentu
25 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin. h. 47-48.
pada setiap individu, yaitu munculnya sikap individu yang tidak produktif
merupakan akibat dari adaptasi dengan keadaan miskin.
Pada tingkat ekstrem, kedua teori ini bersifat normatif, dilihat dari anggapan teori
perilaku individu yang melakukan tuduhan moral bahwa orang yang tidak
produktif dikarenakan mereka lemah dibidang kualitas, latihan, atau moralitas dan
mereka harus bangkit sendiri dan berbuat lebih baik. Teori struktural juga
memiliki anggapan mengenai penilaian moral, bahwa struktur sosial yang ada saat
ini tidak adil terhadap kelompok miskin sehingga harus diubah.
Di luar pandangan-pandangan keras tersebut, ada juga kelompok yang tidak
memihak (middle ground). Teori yang paling terkenal dari kelompok ini antara
lain adalah teori mengenai budaya miskin sebagaimana dijelaskan oleh Oscar
Lewis. Teori ini menggambarkan budaya kelompok kelas bawah, khususnya pada
orientasi untuk masa sekarang dan tidak adanya penundaan atas kepuasan,
mengekalkan kemiskinan di kalangan mereka dari satu generasi ke generasi
berikutnya.26
Perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin, yang mengindikasikan bahwa adanya
disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-
keadaan yang sulit yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam
struktur sosial.27
Kelompok tengah (middle ground) ini bermuara kepada Max Weber, seorang
sosiologis institusional besar yang kemudian dilanjutkan oleh Ralf Dahrendrof.
Weber menentang posisi Marxis tentang teori determinisme ekonominya. Weber
26 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin. h. 50.
27 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin, h. 51.
melihat “kesempatan hidup” (life chances) secara jauh lebih kompleks yang tidak
hanya bergantung pada kedudukan kelas ekonomi, tetapi juga kekuasaan politik,
preseden sejarah, hubungan status sosial, dan lain sebagainya. Kesempatan-
kesempatan ini merepresentasikan kemungkinan-kemungkinan untuk mobilitas
sosial dan ekonomi.28
Kesempatan hidup diartikan sebagai seperangkat kesempatan yang tersedia untuk
seorang individu. Kesempatan hidup merupakan batasan-batasan, atau sedikitnya
batasan-batasan terhadap pilihan. Dengan kata lain, kesempatan bagi semua orang
tidak sama dan sejak usia dini, pembatasan terhadap pilihan-pilihan tersebut
diinternalisasikan dan ikut membentuk sikap hidup dan tingkah laku seseorang.
Dahrendrof meminjam dari teori Weber, menciptakan hubungan variable-variabel
tatanan sosial dan kesempatan hidup bagi setiap individu,
Kesempatan-kesempatan hidup merupakan kesempatan pengembangan individu yang dibekali
oleh karakter struktur sosial, bentukan, atau cetakan (moulds), sebagaimana biasa kita
menyebutnya, karena cetakan tersebut menyediakan sebuah jembatan penting untuk memahami
masyarakat yang menekankan pentingnya kualitas struktur sosial……dan merupakan sebuah teori
normatif masyarakat yang menekankan kebebasan individu.29
Jadi konsep kesempatan hidup dan institusi-institusi ekonomi dan sosial
yang membentuk kesempatan-kesempatan tersebut dapat digunakan sebagai dasar
penting bagi teori kesejahteraan.
b. Ukuran dan Kriteria Kemiskinan
Untuk mengukur kemiskinan pada umumnya menggunakan indikator
28 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin, h. 52.
29 Michael Sherraden. Aset untuk Orang Miskin. h. 53.
pendapatan per waktu kerja (untuk Amerika digunakan ukuran setahun sebagai
waktu kerja, sedangkan di Indonesia digunakan ukuran waktu kerja sebulan).
Dengan adanya tolok ukur ini, maka jumlah dan siapa-siapa yang tergolong
sebagai orang miskin dapat diketahui untuk dijadikan kelompok sasaran yang
diperangi kemiskinannya.
Tolok ukur lainnya adalah berdasarkan kebutuhan relatif per keluarga yang
batasan-batasannya dibuat berdasarkan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi
agar sebuah keluarga dapat melangsungkan kehidupannya secara sederhana, tetapi
memadai sebagai warga masyarakat yang layak. Yang menjadi cakupan dalam
tolok ukur ini adalah kebutuhan-kebutuhan yang berkenaan dengan biaya sewa
rumah dan mengisi rumah dengan peralatan rumah tangga yang sederhana tetapi
memadai, biaya-biaya untuk memelihara kesehatan dan untuk pengobatan. Biaya-
biaya untuk menyekolahkan anak-anak, biaya untuk sandang yang sewajarnya dan
biaya untuk pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan memadai.
Berdasarkan definisi kemiskinan dan fakir miskin dari BPS dan Depsos
(2002), jumlah penduduk miskin pada tahun 2002 mencapai 35,7 juta jiwa dan
15,6 juta jiwa (43 %) diantaranya masuk kategori fakir miskin.angka kemiskinan
ini akan lebih besar lagi jika dalam kategori kemiskinan dimasukkan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang kini jumlahnya mencapai lebih dari
21 juta orang. PMKS meliputi gelandangan, pengemis, anak jalanan, yatim piatu,
jompo terlantar, dan penyandang cacat yang tidak memiliki pekerjaan atau
memiliki pekerjaan namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.30
30 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. h. 137.
Batas garis kemiskinan itu sendiri yang dipakai oleh Badan Pusat Statistik (BPS)
setiap tahunnya selalu berubah berdasarkan tingkat inflasi yang berlaku dan
dipisahkan antara kota dan desa.
Dalam seminar yang diadakan oleh Universitas Prof. DR. Moestopo
(Beragama) disebutkan bahwa masyarakat yang termasuk kategori miskin (target
group) baik secara kultural maupun struktural sebagai berikut :
• Buruh tani (tidak memiliki lahan)
• Petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0,25 ha
• Nelayan miskin (buruh nelayan)
Penganggur (fully unemployment)
Penganggur terselubung (disguised unemployment)
Putus sekolah (drop out)
Buruh kecil
Perambah hutan (forest squatters), dll.31
Selain itu dalam seminar tersebut juga mengkategorikan orang miskin
dilihat dari pendekatan wilayah (target area), yaitu sebagai berikut:
• Daerah padat penduduk
• Daerah kritis tandus
• Daerah kumuh perkotaan
• Daerah rawan bencana alam (kebakaran, banjir, dll)
• Daerah terkena penataan wilayah
31 Universitas Prof. DR. Moestopo (Beragama), Rangkuman Seminar Sehari
Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil Pembangunan (Jakarta 24 juli
1993), h.13.
• Daerah terkena proyek pembangunan Daerah aliran sungai (DAS)
• Perkampungan nelayan miskin Daerah perbatasan32
Dalam usaha untuk melakukan pengukuran tingkat kemiskinan tidak
cukup dilihat hanya dari sudut pendapatan, konsep taraf hidup (level of living)
juga perlu diukur berdasarkan faktor pendidikan, kesehatan, perumahan, dan
kondisi sosial lainnya. Kenyataan tersebut mengakibatkan pendekatan yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan juga bervariasi.33
Adanya berbagai variasi pendekatan dan pengukuran tersebut sekaligus
menunjukkan bahwa kemiskinan dapat dilihat secara absolut dan secara relatif.
Secara absolut maksudnya tingkat kemiskinan diukur dengan standar tertentu,
sehingga kemudian dapat dikatakan bahwa mereka yang taraf hidupnya di bawah
standar yang ditentukan tersebut dikatakan miskin, sebaliknya mereka yang
berada di atas standar dinyatakan tidak miskin.
Dengan membandingkan jumlah penduduk yang berada di bawah standar, apabila
perbandingannya dilakukan antar dua kondisi yang mempunyai rentang waktu
yang cukup panjang dan tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat
sebagai perubahan sosial ekonomi yang telah terjadi, maka standar yang dipakai
sudah tidak memadai lagi.
Walaupun dengan menggunakan standar yang lama dapat diketahui semakin
banyak warga masyarakat yang sudah keluar dari kondisi kemiskinan, akan tetapi
dilihat dari tuntutan kebutuhan yang semakin berkembang, kondisi tersebut tetap
32 Rangkuman Seminar Sehari Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan
Hasil Pembangunan, h.13-14.
33 Soetomo, Masalah Sosial dan Pembangunan (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 1995), h.117.
dirasakan sebagai masih berada dalam keadaan miskin. Permasalahan yang sama
akan dijumpai apabila memperhatikan stratifikasi sosial yang ada, dimana
walaupun lapisan bawah telah meningkat taraf hidupnya, akan tetapi apabila
peningkatan itu dibandingkan dengan yang dialami lapisan lain, masih jauh lebih
rendah, maka secara relatif masih merasakan kondisinya tetap miskin.
Dalam pengukuran kemiskinan relatif bertambah relevan jika digunakan
dalam masyarakat yang sudah semakin terbuka dan berkembang. Dalam konsep
kemiskinan relatif ini, kemiskinan tidak semata-mata diukur dengan
menggunakan standar yang baku, melainkan juga dilihat dari seberapa jauh
peningkatan taraf hidup lapisan terbawah telah terjadi dibandingkan dengan
lapisan masyarakat lain, juga dibandingkan dengan kenaikan tuntutan kebutuhan
hidup yang berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan bermasyarakat.
c. Sebab dan Proses Terjadinya Kemiskinan
Masalah kemiskinan mempunyai keterkaitan pada seluruh aspek
kehidupan masyarakat. Latar belakang yang akan kita jumpai meliputi beberapa
aspek yaitu: sosial, ekonomi, psikologi, dan politik. Dalam aspek sosial yang
menjadi penyebab kemiskinan adalah akibat dari keterbatasan interaksi sosial dan
penguasaan informasi. Pada aspek ekonomi akan tampak pada keterbatasan pada
kepemilikan alat produksi, upah yang kecil, daya tawar yang rendah, tabungan
yang nihil, kurang agresifnya memanfaatkan peluang yang ada. Dari aspek
psikologis terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir.
Sedangkan dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai
fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan
keputusan.34
David cox membagi kemiskinan ke dalam beberapa dimensi, yaitu:
1. Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi
menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya
adalah Negara-negara maju. Sedangkan Negara-negara
berkembang seperti Indonesia seringkali semakin terpinggirkan
oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat
globalisasi.
2. Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan
subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan),
kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran
pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan
kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan percepatan
pertumbuhan perkotaan).
3. Kemiskinan sosial, kemiskinan yang dialami oleh perempuan,
anak-anak, dan kelompok minoritas.
4. Kemiskinan konsekuensional, kemiskinan yang terjadi akibat
kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si
miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan,
dan tingginya jumlah penduduk.35
Di Indonesia, salah satu penyebab kemiskinan adalah akibat pembangunan
fisik yang hanya berpusat di kota-kota besar seperti Jakarta, selain tidak tepat juga
34 Amrullah Ahmad, Islamisasi Ekonomi (Yogyakarta: PLT@M, 1985), h. 109.
35 Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, h.132-133.
tidak adil. Akibatnya banyak penduduk desa yang lari ke kota besar untuk
mempertahankan hidupnya. Banyak pilihan yang mereka rasakan dapat dilakukan
setibanya di kota besar, tetapi kenyataan yang cukup berat menghadang mereka
setibanya di kota.
Jakarta sebagai kota terbesar di Indonesia, merupakan kota yang menggoda
banyak orang desa untuk menyentuhnya. Namun kenyataannya mereka tersisih di
Jakarta, namun dengan kondisi ini tidak membuat mereka jera dan kembali ke
desa. Bertahan, merupakan tekad yang dijalankan ketimbang malu tanpa hasil
setelah merantau ke Jakarta, karena bila kembali ke desa pun tidak juga menjamin
tersedianya lapangan pekerjaan.
Pendapat lain menyebutkan bahwa penyebab kemiskinan adalah kolusi antara
para penguasaha dengan para birokratnya dan elit militer. Kolusi yang begitu
lama, telah mengakibatkan korupsi yang begitu biasa terhadap dana rakyat, yang
seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan. Kolusi antara kekuasaan dan
uasaha yang berorientasi keuntungan telah mengakibatkan korupsi atas dana-dana
Negara dan berbagai penyelewengan kekuasaan, serta kebijaksanaan
pembangunan, yang pada gilirannya mendorong terjadinya kesenjangan antara si
kaya dan si miskin.36 Kepemimpinan pada masa Orde Baru bisa dijadikan contoh
dalam kategori ini.
Kemiskinan juga banyak dihubung-hubungkan dengan beberapa penyebab yaitu:
penyebab individu atau patologis yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin. Penyebab keluarga yang
36 Seminar Sehari Pengentasan Kemiskinan dan Kesenjangan Pemerataan Hasil
Pembangunan, h.10.
menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga. Penyebab sub-budaya
(subkultural) yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari,
dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar. Penyebab agensi yang
melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain termasuk perang,
pemerintah, dan ekonomi. Penyebab struktural yang memberikan alasan bahwa
kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.37
Di daerah-daerah tertentu, terdapat aspek kultural yang mengakibatkan tejadinya
proses kemiskinan, misalnya sistem pewarisan tanah kepada ahli waris, yang
antara lain meyebabkan munculnya petani-petani gurem dan buruh-buruh tani di
Jawa. Proses kemiskinan seringkali juga timbul secara tidak disadari dalam
hubungan sosial yang berkembang dalam masyarakat sendiri.
Secara kultural juga, kemiskinan disebabkan karena pandangan dunia yang keliru,
yang dipengaruhi pemahaman nilai-nilai agama yang pasif dan fatalistik. Doktrin
takdir bahwa Tuhan telah menentukan segalanya sejak setiap manusia diciptakan,
termasuk kaya-miskin, status sosial, kecerdasan, membelenggu mereka yang tidak
sempat mengenyam pendidikan agama yang mencerahkan.38
Seperti juga pendapatnya Harun Nasution melihat bahwa kemiskinan dan
keterbelakangan di Indonesia banyak dipengaruhi oleh budaya dan corak
pemahaman teologi tradisional paham Qodho dan Qodar dalam arti fatalisme serta
keyakinan bahwa masa depan lebih banyak diserahkan kepada nasib yang telah
ditetapkan oleh Tuhan yang maha kuasa. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa
37 http://id.wikipedia.org/wiki/kemiskinan artikel diakses pada tanggal 6 Januari
2009. 38 Mutohharun Jinano, “Kemiskinan dan Filantropi Agama,” Sindo. 4 September 2007,
h.7.
kemiskinan memang sudah berupa salah satu takdir Tuhan. Tuhan maha pengasih,
nampaknya tiada tega jika melihat laki-laki tanpa ada wanita. Tuhan maha
bijkasana, tidak mungkin akan mengisi dunia seluruhnya dengan orang kaya
saja.39
Penyebab lain dari kemiskinan dalam situasi sekarang adalah tiadanya teknologi
dan kemampuan SDM mengelola teknologi. Dalam kaitan ini kemiskinan
bersumber dari ketidak mampuan menguasai aset, baik aset fisik berupa alat-alat
produksi, modal, mesin, peralatan, tanah dan tenaga kerja serta aset non-fisik
yakni kesehatan, pendidikan, keterampilan, manajemen, informasi, dan teknologi.
Orang menjadi miskin karena mereka tidak mampu memiliki aset-aset tersebut,
yang sebenarnya merupakan sumber pendapatan dan penghidupan.
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tentang faktor penyebab
terjadinya kemiskinan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada tiga
faktor utama penyebab kemiskinan, yaitu:
a. Kemiskinan alami yang disebabkan keterbatasan kualitas sumber daya
alam maupun sumber daya manusia.
Kemiskinan struktural yang diakibatkan oleh berbagai kebijakan,
peraturan, dan keputusan dalam pembangunan.
b. Kemiskinan kultural yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu
dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku atau
budaya yang menjebak dirinya dalam kemiskinan.40
39 Harun Nasution, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, (Bandung: Mizan, 1995),
h.145.
40 Iwan Nugroho dan Rochmin Dahuri. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi,
C. ANAK JALANAN
a. Pengertian Anak Jalanan
Anak menurut UU RI nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah
kawin.41 Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan
sosial yang komplek. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan
pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak
bermasa depan jelas, dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi “masalah” bagi
banyak pihak, keluarga, masyarakat dan Negara.
Banyak pengertian dan batasan dikemukakan tentang anak jalanan yang
satu dengan yang lainnya tidak selalu sama, tergantung darimana cara
memandang. Unicef memberikan batasan tentang anak jalanan yaitu:
“……………street child are those who have abandoned their homes, school and
immediate communities before they are sixteen years of age and have clrifted into a
nomadic street life ( anak jalanan merupakan anak-anak yang berumur di bawah 16 tahun
yang sudah melepaskan diri dari keluarga, lingkungan masyarakat terdekatnya, larut
dalam kehidupan yang berpindah-pindah di jalan raya)……….42
Sedangkan definisi resmi yang dikeluarkan oleh PBB dalam
mendefinisikan anak jalanan adalah sebagai berikut:
“ Any boy and girl…..whom the street in the wides sense of the word, including
unoccupied dwellings, wasteland, etc, has become her or his habitualabode and or
sources of livelihood and who is inadequately protected, supervised or directed by
responsible adults” (setiap anak baik laki-laki maupun perempuan, dimana dalam
berbagai hal, meliputi tidak memiliki rumah tempat tinggal, membuat mereka memiliki
Sosial dan Lingkungan (Jakarta: LP3ES, 2004), h.166-168.
41 UU RI Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak (Surabaya: Media Center,
2006), h.50.
42 Armai Arief, Upaya Pemberdayaan Anak Jalanan dalam Rangka Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dan Stabilitas Nasional (Jakarta: Fajar, jurnal LPM UIN Syahid Jakarta,
2002), h.23.
tempat tinggal, dan juga memiliki sumber penghidupan, termasuk disini adalah anak-anak
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak memiliki perlindungan, bimbingan dan
pengawasan dari orang dewasa yang cukup bertanggung jawab).43
HIMMATA ( Himpunan Mahasiswa Pemerhati Masyarakat Marjinal
Kota) mengelompokkan anak jalanan menjadi dua kelompok, yaitu44 :
a. Anak semi jalanan
Istilah ini digunakan untuk anak-anak yang hidup dan mencari
penghidupan di jalanan, tetapi tetap mempunyai hubungan dengan
keluarga.
b. Anak jalanan murni
Istilah ini digunakan untuk anak-anak yang hidup dan menjalani
kehidupannya di jalanan tanpa punya hubungan dengan keluarga.
Sedangkan Tata Sudrajat mengelompokkan anak jalanan menjadi tiga
kelompok berdasarkan hubungan anak dengan orang tuanya, yaitu:
a. Anak yang putus hubungan dengan orang tuanya, tidak sekolah dan tinggal di
jalanan. Di sebut anak yang hidup di jalanan atau children of the street.45
Seluruh waktunya dihabiskan di jalanan. Adapun ciri dari anak-anak ini
biasanya tinggal dan bekerja di jalanan (living and working on the street), tidak
mempunyai rumah (homeless) dan jarang atau bahkan tidak pernah kontak
dengan keluarga. Mereka umumnya berasal dari keluarga berkonflik, misalnya
ayah-ibunya cerai, penyiksaan orang tuanya dan konflik-konflik lainnya.
43 Nurhayati, “Pengaruh Pendidikan Agama Islam terhadap Anak Jalanan (Studi Kasus
Rumah Singgah Sakina)”, skripsi Sarjana Pendidikan (Jakarta: Perpustakaan UIN, 2004), h.25-26.
44 Asmawi, “Menatap Masa Depan Anak-Anak Jalanan”, Ummi (majalah Islam wanita)
September 2001, h.28.
45 Tata Sudrajat, “Pola Hubungan Sosial dan Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan” makalah PKBI, 1999, h.3.
Mereka lebih mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, karena
mereka tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Masalah yang banyak
dialami mereka adalah karena tinggal di jalanan dan tanpa ada yang
mendampinginya. Jumlah mereka lebih sedikit di bandingkan kelompok anak
jalanan lainnya, diperkirakan hanya 10-15% dari seluruh populasi anak jalanan.
b. Anak yang berhubungan tidak teratur dengan orang tuanya, tidak sekolah,
kembali ke orang tuanya seminggu sekali, dua minggu sekali, sebulan sekali,
dua bulan sekali atau bahkan tiga bulan sekali. Disebut dengan anak yang
bekerja di jalanan atau children on the street.46 Mereka hanya berada sesaat di
jalanan. Dalam kelompok ini sendiri terdapat dua kelompok lagi anak jalanan,
yakni anak dari luar kota dan anak yang tinggal bersama dengan orang tuanya.
Pada anak-anak dari luar kota, mereka biasanya mengontrak rumah secara
bersama-sama di satu lingkungan tertentu dan penghuninya adalah teman
daerah sendiri. Mereka ini sudah tidak bersekolah lagi dan ikut ke kota karena
ajakan teman-teman atau orang yang lebih dewasa. Kontak dengan keluarga
lebih sering dibandingkan kelompok children of the street, bahkan lebih
teratur. Mereka pulang untuk menyerahkan uang penghasilannya kepada orang
tua. Sebagian kecil mereka tinggal bersama orang tuanya (urbanisan). Motivasi
mereka adalah ekonomi, jarang yang sifatnya konflik. Persentasenya mencapai
40 %
c. Anak yang masih tinggal bersama orang tuanya. Setiap hari pulang ke rumah,
masih sekolah atau putus sekolah. Disebut anak yang rentan menjadi anak
46 Tata Sudrajat,Pola Hubungan Sosial dan Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan., h.3.
jalanan atau vulnerable to be street children.47 Mereka umumnya adalah anak-
anak dari dalam kota sendiri. Biasanya orang tua mereka ada yang asli
penduduk kota dan adapula yang urban. Mereka ke jalanan umumnya berjualan
koran. Di samping mempunyai motivasi ekonomi, beberapa anak mempunyai
motivasi untuk belajar mencari uang dan menolong diri sendiri. Aspirasi
mereka terhadap sekolah masih baik dibandingkan kelompok lainnya. Mereka
pulang ke rumahnya setelah berjualan, tetapi karena jalanan menawarkan
kemudahan memperoleh uang dan hal-hal menarik lainnya maka sebagian kecil
dari mereka menjadi lebih lama di jalanan. Persentase kelompok ini mencapai
45 % dari seluruh populasi anak jalanan.
Sementara itu, menurut Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI)
membedakan anak jalanan menjadi 4 kelompok, yaitu:
1. Anak-anak yang tidak berhubungan lagi dengan orang tuanya.
Mereka tinggal 24 jam di jalanan dan menggunakan semua
fasilitas jalanan sebagai ruang hidupnya. Hubungan dengan
keluarga sudah terputus. Kelompok anak ini disebabkan oleh
faktor sosial psikologis keluarga, mereka mengalami kekerasan,
penolakan, penyiksaan, dan perceraian orang tua. Umumnya
mereka tidak mau kembali ke rumah, kehidupan jalanan dan
solidaritas sesam temannya telah menjadi ikatan mereka.
Anak-anak yang berhubungan dengan orang tua. Mereka adalah anak yang
bekerja di jalanan. Mereka seringkali diidentikkan sebagai pekerja migran kota
47 Tata Sudrajat,Pola Hubungan Sosial dan Aktivitas Sosial Ekonomi Anak Jalanan., h.3.
yang pulang tidak teratur kepada orang tuanya di kampung. Pada umumnya
mereka bekerja dari pagi hingga sore hari seperti menyemir sepatu, pengasong,
pengamen, kuli panggul. Tempat tinggal mereka di lingkungan kumuh bersama
dengan saudara atau teman-teman senasibnya.
Anak-anak yang masih berhubungan teratur dengan orang tuanya. Mereka tinggal
dengan orang tuanya. Beberapa jam di jalanan sebelum atau sesudah sekolah.
Motivasi mereka ke jalan karena terbawa teman, belajar mandiri, membantu orang
tua dan disuruh orang tua. Aktivitas usaha mereka yang paling mencolok adalah
berjualan koran.
Anak-anak yang berusia di atas 16 tahun. Mereka berada di jalanan untuk mencari
kerja, atau masih labil pada suatu pekerjaan. Umumnya mereka telah lulus SD
bahkan ada yang SLTP. Mereka biasanya kaum urban yang mengikuti orang
dewasa (orang tuanya atau saudaranya) ke kota. Pekerjaan mereka biasanya
mencuci bus, menyemir sepatu, membawa barang belanjaan (kuli panggul),
pengasong, pengamen, pengemis, dan pemulung.48
b. Potret Anak Jalanan di Jakarta
Keberadaan anak jalanan sudah menjadi pemandangan yang lazim di Ibu
Kota Jakarta. Hampir diseluruh perempatan jalan dan lampu merah yang ada di
Jakarta terdapat anak-anak jalanan dengan penampilan yang menimbulkan
perasaan belas kasihan. Entah itu pengamen atau pengemis atau juga pemulung
dan lainnya. Selain di perempatan jalan dan lampu merah, hampir seluruh
angkutan umum seperti bus kota, metro mini, dan mikrolet yang beroperasi tiap
48 Fajar, Jurnal LPM UIN Syarif Hidayatullah, Edisi Vol 4, No.I November 2002, h. 26.
hari menjadi sasaran yang empuk bagi anak-anak jalanan untuk mengemis
ataupun mengamen. Dari waktu ke waktu bukan berkurang justru semakin
bertambah banyak jumlahnya. Akibatnya kepekaan masyarakat terhadap anak
jalanan semakin berkurang. Padahal, anak terlahir di dunia ini bukan sekedar
perhiasan dan bukan hiburan bagi orang tua, tetapi lebih dari itu, anak adalah
amanah dari Allah SWT. Wajib bagi kita untuk memelihara dan mendidik mereka
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.
Menurut UUD 1945, “anak terlantar itu dipelihara oleh Negara”. Artinya
pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pembinaan
anak-anak terlantar, termasuk anak jalanan. Hak-hak Asasi anak terlantar dan
anak jalanan, pada hakekatnya sama dengan hak-hak asasi manusia pada
umumnya, seperti halnya tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang
pengesahan Convention on the Right of the Child (konvensi tentang hak-hak
anak). Mereka perlu mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana
layaknya anak, yaitu hak sipil dan kemerdekaan, (civil right and freedoms),
lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan (family environment anf alternative
care), kesehatan dasar dan kesejahteraan (basic health and welfare), pendidikan,
rekreasi, dan budaya (education, leisure and culture activities), dan perlindungan
khusus (special protection).49
Makin meningkatnya jumlah anak jalanan disebabkan oleh banyak faktor. Salah
satunya adalah akibat meningkatnya urbanisasi dan industrialisasi. Urbanisasi dan
49 http://harjasaputra.wordpress.com/ . Diakses pada tanggal 6 Januari 2009.
industrialisasi mengacaukan keluarga-keluarga di pedesaan yang pindah ke kota
dengan tujuan meningkatkan taraf hidup. Kebanyakan mereka yang pindah ke
kota tidak mempunyai keterampilan yang memadai. Akibatnya timbul kantong-
kantong pemukiman padat di daerah-daerah yang tidak bertuan, seperti pinggiran
sungai, di bawah kolong jembatan, di pinggiran rel kereta, bahkan di tanah-tanah
negara yang kosong, dan sebagainya. Efek tersebut menjadikan keluarga miskin
menyuruh anak-anak mereka untuk mencari uang, baik untuk membantu ekonomi
keluarga dan lainnya.
Berdasarkan hasil survey sementara yang dilakukan Unika Atmajaya dengan
pendanaan Asian Development Bank (ADB) pada tahun 1997 jumlah anak jalanan
di 12 kota besar di Indonesia adalah 39.861 orang. Sementara hasil laporan
UNICEF pada tahun 1998 menyebutkan jumlah anak jalanan diseluruh Indonesia
50.000 orang.50
Berbeda jauh dengan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Badan
Pusat Statistik Republik Indonesia tahun 1998 memperlihatkan bahwa anak
jalanan secara nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak. Dua tahun kemudian,
tahun 2000 angka tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4 %, sehingga
jumlahnya menjadi 3,1 juta anak. Pada tahun yang sama, anak yang tergolong
rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3 juta anak atau 17,6% dari populasi
anak di Indonesia, yaitu 58,7 juta anak.51 Berapapun jumlahnya, angka-angka
tersebut sangat memprihatinkan, padahal mereka adalah aset, investasi SDM dan
sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika kondisi dan kualitas hidup anak kita
50 Dana untuk Tangani Anak Jalanan Kurang, Media Indonesia. Jakarta 21 Juli 2001.
51 http://harjasaputra.wordpress.com/ . Diakses pada tanggal 6 Januari 2009.
memprihatinkan, berarti masa depan bangsa dan Negara juga kurang
menggembirakan.
Di Ibu Kota Jakarta, berdasarkan catatan Profil Dinas Bina Mental Spiritual dan
Kesejahteraan Sosial tahun 2002, anak jalanan berjumlah sekitar 31.304 anak,
sedangkan panti pemerintah yang memberikan pelayanan sosial terhadap mereka
hanya berjumlah 9 panti, yaitu : 4 Panti Balita Terlantar, 4 Panti Anak Jalanan dan
1 Panti Remaja Putus Sekolah. Daya tampung keseluruhannya adalah 2.370 anak.
Sementara itu, panti Sosial Asuhan Anak yang diselenggarakan masyarakat
berjumlah 58 Panti dengan daya tampung 3.338 anak dan pelayanan sosial kepada
anak di luar panti sebanyak 3.200 anak. Secara akumulatif jumlah yang mendapat
pelayanan Panti dan non-Panti adalah 8.908 anak dan yang belum tersentuh
pelayanan pemerintah maupun organisasi sosial atau LSM adalah 22.396 anak.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan, sebagian dari anak bangsa kita mengalami
lost generation (generasi yang hilang).52
Data tersebut cukup memprihatinkan kita semua, karena idealnya sebagai “kota
percontohan” DKI dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidak-tidaknya
jumlah anak jalanan tergolong rendah.
Jika kita kaji literatur, fenomena anak jalanan di Indonesia dan di Negara
berkembang lainnya berbeda dengan Negara maju. Anak jalanan di Negara maju
berkaitan erat dengan kenakalan dan keluarga yang broken home, orang tua
pengangguran, penyalahgunaan obat dan minuman keras. Sedangkan di Negara
berkembang berkaitan dengan kemiskinan, anak-anak tidak bisa memenuhi
52 http://harjasaputra.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 6 Januari 2009.
kebutuhan dasarnya, tidak bisa bersekolah, lalu bekerja membantu orang tuanya
dan diri sendiri.
Anak jalanan hidup dan berada dalam situasi sosial yang terdiri dari berbagai latar
belakang, yaitu:
Pertama, adalah lingkungan sosial yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan
masyarakat dimana keluarga anak jalanan tinggal. Ini adalah lingkungan pertama
bagi seorang anak, sebelum perubahan-perubahan yang terjadi menyebabkan
seorang anak keluar dari lingkungan sosial dan menjadi anak jalanan. Perubahan-
perubahan tersebut antara lain kesulitan ekonomi, keluarga atau perceraian orang
tua, biaya sekolah yang tinggi, atau penolakan warga masyarakat sekitarnya
menyebabkan anak-anak menjadi korban dan tidak lagi dapat hidup layak untuk
dapat tumbuh kembang secara wajar.
Kedua, adalah lingkungan jalanan yang merupakan lingkungan kedua bagi anak
jalanan. Di jalanan anak berinteraksi dengan berbagai orang, baik sebagai pribadi
maupun atas nama dinas. Mereka antara lain para pemegang otoritas jalanan
seperti petugas DLLAJ, kepala stasiun, kepala terminal, polisi, trantib, para
pekerja LSM dan lain-lain. Proses interaksi ini dapat menghasilkan bentuk-bentuk
kepribadian tertentu. Dalam lingkungan jalanan ini, anak juga berinteraksi dengan
berbagai norma dari pemegang otoritas jalanan serta bentuk-bentuk perlawanan
terhadapnya.
Latar belakang yang lebih khusus lagi dari lingkungan jalanan adalah kehidupan
kaum marjinal. Jalanan adalah ruang terbuka, di mana dan siapapun dapat masuk
untuk mengadu nasib. Jenis-jenis pekerjaan dijalanan tidak membutuhkan
persyaratan formal kecuali kondisi fisik yang kuat, keberanian dan modal usaha
yang banyak. Karena sifat terbuka dan longgar terhadap norma sosial, maka
ragam pekerjaan mereka bervariasi baik positif maupun negatif.53
Anak-anak tersebut pada umumnya datang dari keluarga kurang mampu, tinggal
di kawasan tertentu yang dianggap pemerintah kota Jakarta sebagai daerah
pemukiman kumuh (slum-area) antara lain Prumpung, Manggarai, Pedongkelan,
Jembatan Lima, Rawa Badak, Gudang Baru dan daerah pemukiman liar (squatter
areas) antara lain pemukiman sepanjang bantaran kali (Ciliwung, Bendungan
Hilir), pemukiman sepanjang pinggir rel kereta api (Senen, Kota, Cipinang,
dll).54
D. Teori Manajemen Organisasi
Suatu usaha untuk menetapkan pengetahuan organisasi dan manajemen
sebagai pengetahuan yang terpisah dan dapat dibedakan baru akhir-akhir ini
dicoba. Tujuan dari usaha tersebut adalah mengembangkan teori secara umum.
Para kontributor dalam hubungan dengan pengembangan tersebut berasal dari
kelompok-kelompok yang sifatnya heterogen, baik dari praktisi maupun pada
akademikus yang spesialis. Pada mulanya pikiran-pikiran mengenai manajemen
berasal dari para pelaksana praktisi dan administrator yang mencatat observasinya
dan pengalamannya, kemudian dari dasar itu dibuat petunjuk yang bersifat umum.
53 Modul Pelatihan, Intervensi Psikososial Bagi Pekerja Sosial (Jakarta : YKAI, 2002),
h.12.
54 Surya Mulandar (penyunting). Dehumanisasi anak marjinal: berbagai pengalaman pemberdayaan (Bandung: Yayasan Akatiga, 1996), h. 133.
Perkembangan manajemen ilmiah mula-mula dipelopori oleh Frederick W. Taylor
(1856-1915) pada akhir abad ke 19. pandangannya sangat dipengaruhi oleh etik
protestan yang berlaku pada zaman itu. Ia menekankan nilai dari suatu kerja keras,
rasionalitas ekonomi, sifat-sifat individualisme, dan pendapatnnya bahwa setiap
manusia mempunyai peranan yang berbeda di dalam masyarakat.55
Ide Taylor berasal dari pengalaman-pengalaman kerjanya sebagai konsultan pada
berbagai perusahaan-perusahaan industri. Pada permulaan karirnya ia tertarik pada
masalah peningkatan efisiensi kerja dan metode-metodenya dan mencoba
mendapatkan salah satu cara yang paling baik untuk mengerjakan setiap
pekerjaan. Taylor berpendapat bahwa suatu pekerjaan dapat dianalisa secara
ilmiah dan merupakan tugas manajemen untuk memberikan pengarahan terhadap
performance pekerja. Hal ini menghasilkan perkembangan dari satu metode yang
paling baik untuk mengerjakan tugas, standarisasi, dan melatih mereka dengan
metode yang paling efisien untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.
Ada tiga belas prinsip yang digunakan Taylor dalam manajemen, yaitu:
1. Pembagian kerja (division of work)
Kekuasaan dan tanggung jawab (authority and responsibility)
Disiplin (dicipline)
Kesatuan perintah (unity of command)
Kesatuan pengarahan (unity of direction)
Kepentingan individu berada di bawah kepentingan organisasi secara umum
Sentralisasi (centralization)
55Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig. Organisasi dan Manajemen. (Jakarta: PT
Bina Aksara, 1986), h. 91.
Mata rantai (scalar chain)
Penempatan (order)
Persamaan (equity)
Stabilitas dalam melakukan tugas
Inisiatif (initiative)
2. Esprit de corps, menekankan perlunya “team work” dan
hubungan antar individu di dalam organisasi.56
Dari prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Taylor, secara tidak langsung
setiap organisasi atau lembaga apapun memang memakai prinsip tersebut, karena
sebuah organisasi bukan hanya satu orang saja yang menjalani tetapi banyak
orang yang terlibat di dalamnya.
56 Fremont E. Kast dan James E. Rosenzweig. Organisasi dan Manajemen. h.99-100.
BAB III
GAMBARAN UMUM YAYASAN BINA ANAK PERTIWI
A. Sejarah Berdirinya
Keterpurukan Negeri akibat krisis politik dan kebangkrutan ekonomi
menyebabkan peningkatan tajam jumlah anak-anak jalanan. Masalah yang
dihadapi oleh anak-anak jalanan pun semakin kompleks dan rumit. Berbagai latar
belakang membentuk depresi sosial, ekonomi, kultural dan psikologis membuat
semua menjadi saling terkait dalam membentuk pola perilaku dan kematangan
emosi mereka, sehingga masyarakat pun pada umumnya memandang anak jalanan
dengan predikat buruk dan menempatkan mereka pada posisi yang tersudut.
Anak jalanan tentunya memiliki latar belakang dan motivasi yang berbeda-beda
untuk turun ke jalan, salah satunya tentu saja faktor yang berkenaan dengan
tekanan ekonomi orang tuanya yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-
hari, kemudian berangkat dari keinginan membantu orang tua mereka akibat
kemiskinan yang mereka alami, maka mereka melakukan pekerjaan dengan
kemampuan yang mereka miliki. Selain itu ada juga anak jalanan yang melakukan
pekerjaan tersebut demi mendapatkan uang untuk memenuhi biaya hidupnya
sendiri.57 Mengingat anak adalah aset masa depan bangsa, maka keterlibatan
anak dalam kegiatan ekonomi dapat berdampak buruk bagi perkembangan dan
masa depan anak tersebut, bahkan kondisi ini cenderung tidak menguntungkan
bagi masa depan mereka.
57 “Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Anak Jalanan di Kotamadya Malang.”
artikel diakses pada tanggal 7 februari 2009 dari http//.www.depnakertrans.org.id.
Berangkat dari keprihatinan dan kepedulian, beberapa mahasiswa yang tergabung
dalam sebuah Forum Studi Dialektika (FOSTUDIA) secara khusus mengkaji
masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Forum tersebut beranggotakan
mahasiswa lintas perguruan tinggi terdiri dari mahasiswa IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) Jakarta, Pendidikan Guru
Taman Kanak-Kanak (PGTK) Darul Qalam, dan Bina Sarana Informatika (BSI)
Pondok Labu. Dalam kajiannya forum ini menampilkan ‘reformasi gaya baru’,
maksudnya ketika perhatian orang-orang tersita oleh tuntutan reformasi politik
dan ekonomi, maka kumpulan mahasiswa ini mengambil bagian untuk
menyelamatkan generasi bangsa yang hidup di jalanan. Bahkan masalah anak
jalanan dijadikan prioritas utama, karena anak-anak adalah aset bangsa yang harus
segera diselamatkan dari keterpurukan dan masa depan yang tidak jelas. Disadari
atau tidak, masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan
mendidik generasi sekarang.58
Strategi awal yang digunakan oleh para mahasiswa ini dalam merekrut anak
jalanan yaitu dengan kunjungan lapangan atau penjangkauan, dengan cara
bermain bersama dengan menggunakan berbagai media, seperti nongkrong
bareng, bermain game, bermain sepak bola, dan lain-lain. Salah satu cara yang
dilakukan oleh mahasiswa pada saat itu adalah mengikuti pekerjaan yang mereka
lakukan. Waktu itu mereka adalah pedagang-pedagang di kereta, mau tidak mau
mereka memang harus ikut jadi pedagang asongan, ada juga yang menjadi agen
minuman, seperti aqua, dan minuman ringan lainnya, ada juga yang menjadi
58 Berdasarkan data dari profil Yayasan Bina Anak Pertiwi.
pedagang rokok, tisu dan segala macamnya, lainnya adalah menjadi pedagang
Koran. Seperti pernyataan Zayyadi : ”Dari situ sebenarnya kami dituntut untuk
menjadi ‘bos’nya langsung.”59 Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengenal
dunia mereka lebih dalam. Karena dengan cara seperti itu, maka komunikasi dapat
terjalin lebih hangat dan mereka akan lebih merasa diakui keberadaannya
sehingga komunikasi yang tercipta lebih terbuka dan akrab. Jika sudah begitu
maka para mahasiswa ini akan mengetahui dari mana mereka harus memulai
pembinaan yang kemudian mengajak mereka untuk datang ke asrama dan belajar
bersama.
Aksi sosial selanjutnya yang dilakukan sebagai bentuk kepedulian terhadap nasib
pendidikan anak jalanan/terlantar adalah dengan mewujudkan pendidikan luar
sekolah paket A yang setara dengan SD. Karena pada umumnya anak-anak
jalanan/terlantar tidak memiliki ijazah sekalipun SD. Lokasi awal yang dijadikan
sebagai tempat untuk kegiatan ini, dilaksanakan di masjid pasar Kebayoran Lama,
tepatnya pada bulan Juni 1997, dengan jumlah anak jalanan dan pemulung yang
disebut sebagai ‘warga belajar’ berjumlah 73 anak. Saat itu kegiatan pembelajaran
masih bernaung di bawah Yayasan Sosial. Tetapi kemudian kegiatan belajar
mengajar ini bubar, karena adanya kurang kesepahaman antara kelompok
mahasiswa dengan pihak yayasan.60
Kejadian tersebut membuat sekelompok mahasiswa putus asa, tetapi hal itu tidak
berlangsung lama, karena pada tahun 1998 banyak respon-respon positif dari
59 Wawancara pribadi dengan Zayyadi (ketua Yayasan Bina Anak Pertiwi), Jakarta 11
Februari 2009.
60 Berdasarkan data dari profil Yayasan Bina Anak Pertiwi.
masyarakat terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh para mahasiswa sehingga
mereka memulai kembali melakukan aksi sosialnya di daerah Pasar Minggu,
Jakarta Selatan. Kemudian sebagai sebuah gebrakan baru, mereka mengganti
Forum Studi Dialektika (FOSTUDIA) menjadi Pusat Pembinaan dan
Pemberdayaan Anak Jalanan (P3A). perubahan nama ini dimaksudkan agar lebih
spesifik dan berimplikasi pada visi, misi yang dijalankan agar terfokus pada
pembinaan dan pemberdayaan anak jalanan.61
Pada awal kegiatannya, P3A melakukan kegiatan pembinaan biasa dalam bentuk
pendidikan luar sekolah. Namun seiring berjalannya waktu, kegiatan sekelompok
mahasiswa ini dalam hal penanganan anak jalanan semakin berkembang pesat,
karena kegiatan tersebut mendapatkan simpati dan dukungan luas dari berbagai
kalangan baik masyarakat maupun pemerintah, sehingga para mahasiswa yang
tergabung dalam P3A ini mulai membuka diri dan melibatkan para tokoh
masyarakat untuk menunjang agar pembinaan terhadap anak-anak jalanan ini
dapat terus dilakukan agar semakin berkembang.62
Mengingat kegiatan ini harus berkesinambungan dan harus ada
pertanggungjawaban secara yuridis, dari kalangan masyarakat banyak yang
mendesak agar lembaga ini memiliki badan hukum, karena badan hukum adalah
sumber kekuatan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dan mengurangi
kepercayaan. Maka kemudian lembaga ini dibakukan dengan akta Notaris No.2
tanggal 3 November 1998 dengan nama Yayasan Bina Anak Pertiwi. Yayasan ini
membangun rasa kekeluargaan dan kebersamaan terhadap orang lain, khususnya
61 Profil Yayasan Bina Anak Pertiwi.
62 Profil Yayasan Bina Anak Pertiwi.
anak-anak jalanan dan anak-anak terlantar.63
Bila dilihat dari namanya, sekilas mengandung nilai-nilai nasionalisme yang
tinggi, padahal secara implisit Yayasan Bina Anak Pertiwi ini tidak hanya rumah
singgah saja, tetapi juga di dalamnya terdapat PKBM (Pusat Kegiatan Belajar
Mengajar) Pesantren Kota yang saat ini konsen pada program pendidikan
paketnya, PKBM ini juga berada di daerah Depok dan Citayam yang bernama
PKBM Lentera Ummah, yang juga menangani Pendidikan Anak Usia Dini
(PAUD) yang merupakan cabang dari Yayasan Bina Anak Pertiwi. Selain di
ketiga tempat tersebut, masih ada lagi cabang di daerah Jonggol yang konsen pada
PLK (Pendidikan Layanan Khusus) untuk daerah terpencil. Di daerah ini juga
yang dijadikan sebagai pusat pertanian, khususnya budidaya belimbing karena
memiliki lahan yang cukup luas.64
Dalam perkembangannya, yayasan ini mengalami perjalanan yang sangat panjang,
sebelum akhirnya menempati bangunan permanen milik sendiri yang sekarang
ada di Jl. Bacang Gg. Kenanga No.46 Kelurahan Jati Padang Kecamatan Pasar
Minggu Jakarta Selatan. Pada awal berdirinya, yaitu pada bulan Juni tahun 1998,
anak-anak jalanan yang tergabung dalam yayasan ini menempati sebuah
kontrakan di Tanjung Barat Pasar Minggu selama 3 bulan, sedangkan
sekretariatnya ada di Jl. Limun Pisangan Barat Ciputat. Dalam kondisi tersebut,
pembinaan terhadap anak jalanan berjalan kurang efektif dikarenakan kurangnya
kontrol. Dimana jarak antara asrama dengan sekretariat cukup jauh dan kurang
kondusif sehingga pembinaan berjalan kurang efektif, efisien, dan fokus.
63 Profil Yayasan Bina Anak Pertiwi.
64 Wawancara dengan Ali (pengurus), Jakarta 18 Februari 2009.
Pada bulan September 1998 atas usul dari anak-anak jalanan sendiri, asrama
dipindahkan dari Tanjung Barat, Pasar Minggu ke Bojong Gede. Sedangkan
sekretariatannya yang pada mulanya ada di Jl. Limun Pisangan Barat, Ciputat
pindah ke Jl. Semanggi II Rt 004/03 Cempaka Putih, Ciputat. Selama di Bojong
Gede banyak konflik yang terjadi antara anak-anak jalanan dengan pemilik
tempat, karena barang-barang anak jalanan sering dicuri oleh famili pemilik
tempat. Hal ini terjadi karena pandangan masyarakat cenderung memvonis anak
jalanan sebagai “anak liar”, “anak kotor”, dan “pelaku kriminal”. Adanya
stigmatisasi ini tentu saja akan mengesahkan jalan kekerasan dalam menghadapi
anak jalanan.
Kemudian pada tahun 1999 asrama anak jalanan kembali dipindah ke daerah
Pasar Minggu Baru, sedangkan tempat belajarnya di Masjid Al-Awwabin. Akan
tetapi kehadiran anak jalanan di daerah ini kurang mendapat simpati dari
masyarakat sekitarnya, karena ada kecemburuan sosial terhadap anak-anak jalanan
binaan. Menurut informasi yang penulis terima, masyarakat sekitar asrama yang
rata-rata kurang mampu merasa iri terhadap anak-anak jalanan ini karena mereka
sering mendapat bantuan dari berbagai pihak, seperti bantuan makanan dan
pakaian.
Lalu pada tahun 2001 asrama dipindah lagi ke sebuah ruko di Terminal Pasar
Minggu. Di sini pembinaan terhadap anak jalanan mulai berjalan efektif, karena
ada beberapa faktor yang mendukung, yaitu: pertama, karena asrama berdekatan
dengan komunitas mereka. Kedua, keberadaan anak jalanan yang tinggal di
asrama terkontrol selama 24 jam.
Keberadaan anak jalanan di ruko ini sempat bertahan selama satu tahun,
dikarenakan harga untuk menyewa ruko cukup mahal. Dan sejak itulah mulai
berfikir untuk mendapatkan bangunan permanen milik sendiri.
Dengan usaha yang maksimal akhirnya dana dapat terkumpul untuk membeli
bangunan di Jl. Bacang Pasar Minggu yang kebetulan milik Wali Kota Jakarta
Barat yang sekarang ditempati menjadi asrama anak jalanan.
Pada awalnya kehadiran yayasan ini mendapat tantangan dari masyarakat sekitar
yang mayoritas beragama Islam. Penyebabnya adalah sebelum hadirnya yayasan
ini telah berdiri sebelumnya sebuah yayasan sosial untuk anak jalanan yang
ternyata milik non-muslim. Masyarakat merasa kecolongan dengan kehadiran
yayasan tersebut karena masyarakat tidak membutuhkannya. Namun demikian
mereka tidak patah semangat untuk meyakinkan masyarakat sekitar, dan setelah
mengatasnamakan Pesantren Kota akhirnya keberadaan yayasan ini diterima oleh
masyarakat sekitar.65
Sesuai dengan motto yayasan ini, yaitu “bersama untuk bangsa”, maka dalam
menjalankan setiap aktivitasnya yayasan ini selalu bersama-sama masyarakat
dimana kegiatan tersebut dilangsungkan.
Kalau saja bukan karena kegigihan para pendiri dalam memperjuangkan
keberadaan lembaga ini, maka belum tentu yayasan ini dapat berjalan dengan
baik. Selain itu juga peran masyarakat dalam mendukung keberadaan yayasan ini
memiliki nilai lebih. Dan merupakan modal yang paling utama untuk keberhasilan
kelangsungan program yang paling utama untuk keberhasilan kelangsungan
65 Wawancara pribadi dengan Zayyadi (ketua).
program dan kesejahteraan anak-anak jalanan dan terlantar tersebut.
B. Visi, Misi, dan Tujuan Yayasan Bina Anak Pertiwi
Dalam sebuah organisasi ataupun yayasan, visi dan misi memiliki peranan
yang sangat penting, visi dan misi adalah sebuah acuan tindakan dalam setiap
program-program dan strategi-strategi yang dilaksanakan agar pelaksanaannya
sesuai dan tidak melenceng. Begitu juga dengan yayasan Bina Anak pertiwi
sebagai lembaga yang bergerak dalam permasalahan anak-anak jalanan, tentu
memiliki tanggung jawab terhadap mereka. Untuk itu visi dari Yayasan Bina
Anak Pertiwi adalah: “meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraan sosial
masyarakat fakir miskin, terutama anak yatim, anak jalanan/terlantar serta
kurang mampu, agar menjadi anak bangsa yang konstruktif dan bermartabat
sejalan dengan potensi yang dimilikinya untuk mewujudkan masa depan bangsa
yang lebih berkualitas.”
Adapun misi yang diemban oleh Yayasan Bina Anak pertiwi adalah:
1. Menumbuhkan rasa percaya diri yang tinggi. Menciptakan peluang
kerja baru dengan mengembangkan pelatihan kerja.
2. Menggali serta memberdayakan potensi yang dimilikinya agar menjadi
manusia yang mandiri dan produktif.
Mengembangkan peran serta masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk turut serta
mengentaskan dan memberdayakan fakir miskin, terutama anak yaitm, anak
jalanan/terlantar, dan anak kurang mampu.
Berdasarkan visi dan misi tersebut, maka tujuan berdirinya Yayasan Bina
Anak Pertiwi adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan sikap mental positif. Membangun akhlak al-karimah
. Menggali serta memberdayakan potensi yang dimiliki warga belajar,
dan
2. Memberikan gambaran akan kepastian masa depan dengan berbekal
berbagai keterampilan kerja dan pengembangan usaha mandiri, serta
penempatan kerja.
C. Profil Anak Jalanan
Jumlah anak-anak jalanan yang saat ini berada di bawah naungan Yayasan Bina Anak
Pertiwi berjumlah sekitar 125-135 anak. Tetapi dari semuanya itu yang tinggal menetap di asrama
yayasan hanya sekitar 30-35 orang.66 Jumlah ini bisa meningkat maupun menurun dikarenakan
yayasan adalah sebuah rumah singgah, jadi anak-anak jalanan ini bebas keluar masuk yayasan
sesuai dengan keinginan mereka, jadi tidak ada perhitungan yang pas mengenai jumlah anak-anak
jalanan dengan latar belakang mereka yang berbeda-beda. Untuk memudahkan membedakan anak
jalanan yang murni dengan anak jalanan yang semi sesuai dengan latar belakang kehidupan
mereka maka penulis mengkategorikan anak-anak jalanan sesuai dengan umur, pekerjaan, asal
daerah, tingkat pendidikan, kehidupan keluarga, dan jenis pelayanan yang diikuti.
Tabel 1
Jumlah anak jalanan berdasarkan kategori
66 Berdasarkan data statistik anak jalanan binaan Yayasan Bina Anak Pertiwi.
NO
.
Kategori L % P % Jumlah %
1. On The Street 25 18.94% 7 5.30% 32 24.24%
2. Of The Street 85 64.39% - - 85 64.39%
3. Vulnerable 15 11.36% - - 15 11.36%
Jumlah 125 94.70% - 5.30% 132 100.00%
Sumber: database anak jalanan binaan Rumah Singgah
Dari tabel di atas ternyata tidak hanya anak-anak lelaki saja tetapi juga ada
anak jalanan perempuan, meskipun jumlahnya hanya sedikit. Dari tabel di atas
juga diketahui bahwasanya anak-anak jalanan yang dibina oleh Yayasan Bina
Anak Pertiwi tidak semuanya anak jalanan murni (of the street), meskipun
memang jumlahnya lebih banyak yaitu 64,39% tetapi juga anak-anak yang hanya
sebagian waktunya digunakan di jalan (on the street) sebanyak 24,24%. Selain itu
juga anak-anak yang rentan di jalan (Vulnerable) mempunyai persentase sebanyak
11,36%.
Tabel berikutnya penulis ingin menggambarkan persentase anak-anak jalanan berdasarkan usia.
Tabel 2
no umur Jumlah Persentase
.
5-10 30 22,72%
2. 11-15 35 26,51%
3. 16-20 44 33,4%
4. 20-ke atas 9 6,7%
5. Tidak diketahui 14 10,6%
jumlah 132 100%
Sumber: database anak jalanan binaan Rumah Singgah
Dari tabel di atas kita lihat bahwasanya persentase tertinggi diperoleh oleh
tingkatan usia 16-20 tahun sebanyak 33,4%, menyusul pada tingkatan usia 11-
15% dengan persentase 26,51%. Hal tersebut menegaskan bahwa anak-anak
jalanan kebanyakan berkisar pada usia produktif. Dari data tersebut juga ada umur
anak yang tidak diketahui dengan jelas.
Kemudian, tabel selanjutnya untuk mengetahui pekerjaan apa yang mereka
lakukan di jalan.
Tabel 3
No. Bentuk Pekerjaan L % P % Jumla
h
%
1. Mengamen 27 20,45% 7 5.30% 34 25,75%
2. Pedagang
Koran/Majalah
3 2,27% - - 3 2,27%
3. Pedagang Asongan 5 3,78% - - 5 3,78%
4. Bengkel Motor 23 17,42% - - 23 17,42%
5. Sopir/Kernet 12 9,09% - - 12 9,09%
6. Kuli Angkut Pasar 7 5,30% - - 7 5,30%
7. Lainnya 55 41,66% - - 55 41,66%
Jumlah 125 23.48% 7 5.30% 132 100%
Sumber: database anak jalanan binaan Rumah Singgah
Dari tabel tersebut diketahui bahwasanya pekerjaan anak jalanan cukup
beragam, karena selain menjadi pengamen yang menjadi ciri khas, ada juga yang
menjadi pedagang asongan, kenek, kuli amgkut dan lainnya. Yang perlu
dijelaskan di sini adalah dalam kategori lainnya. Maksudnya adalah pekerjaan
selain yang disebutkan di atas, bisa apa saja misalnya penjual lainnya atau tukang
parker, dan lain-lain.
Data selanjutnya mengenai tingkat pendidikan. Pendidikan disini dianggap
penting karena pendidikan menunjukkan status sosial keluarganya, meskipun
tidak bisa dijadikan ukur
Tabel 4
No.
Tingkat
pendidikan L % P % Jumlah % 1. DO SD 15 11.36% - 15 11.36%
2. Lulus SD 17 12.87% 7 5.30% 24 18.18%
3. DO SLTP 6 4.54% - 6 4.54%
4. Lulus SLTP 5 3.79% 5 3.79% 10 7.58%
5. DO SLTA 2 1.52% - 2 1.52%
6. Lulus SLTA 3 2.27% 3 2.27% 6 4.54%
7. Kejar Paket A 31 23.48% 5 3.79% 36 27.27%
8. Kejar Paket B 19 14.39% 1 0.76% 20 15.15%
9. Kejar Paket C 10 7.58% - - 10 7.58%
10. Lainnya 3 2.27% - - 3 2.27%
Jumlah
11
1 84.1%
2
1 15.9% 132 100%
Sumber: database anak jalanan binaan Rumah Singgah
Selanjutnya adalah pengkategorian berdasarkan tempat lahir untuk
mengetahui apakah mereka pribumi atau masyarakat urban.
Tabel 5
No. Tempat lahir L % P % Jumlah %
1 Di Jakarta
5
1 38.64%
3
1 23.48% 82 62.12%
2 Di Luar Jakarta
2
6 19.70%
2
4 18.18% 50 37.88%
Jumlah
7
7 58.33%
5
5 41.67% 132 100%
Sumber: database anak jalanan binaan Rumah Singgah
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwasanya anak-anak jalanan yang
memang pribumi lebih banyak jumlahnya mencapai 62.12%.
Jika melihat tempat lahir, maka perlu juga adanya kategori mengenai
status keluarganya.
Tabel 6
No. Status tinggal L % P % Jumlah %
1. Bersama Orang Tua
3
6 27.27%
4
5 34.09% 81 61.36%
2. Di Rumah Singgah
3
5 26.52% - - 35 26.52%
3. Di Lembaga Rujukan 5 3.79% - - 5 3.79%
4. Nomaden 6 4.55% 5 3.79% 11 8.33%
Jumlah
8
2 62.12%
5
0 37.88% 132 100%
Sumber: database anak jalanan binaan Rumah Singgah
Mengenai tempat tinggal dan dengan siapa dia tinggal, dalam tabel tersebut dapat
diketahui bahwasanya sebagian besar dari mereka memang masih memiliki orang tua yang
miskin.persentasenya mencapai 61.36%. Hal ini melebihi dari setengahnya dari keseluruhan anak
jalanan. Dalam latar belakang tersebut juga sebenarnya terbagi lagi dengan latar belakang
keluarga, di sini persentase tersebut merupakan akumulasi dari berbagai keadaan, baik orang
tuanya lengkap, maupun yatim, akibat perceraian, seperti pernyataan KP: “ dulu orang tua
berantem terus, saya engga betah di rumah.”67
67 Wawancara pribadi dengan KP, Jakarta, 11 Februari 2009.
BAB IV
PEMBINAAN DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN ANAK
JALANAN PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN
A. Partisipasi Anak Jalanan di Lingkungan Yayasan
Partisipasi anak-anak jalanan yang berada di Yayasan Bina Anak Pertiwi
dalam beberapa kegiatan adalah dengan mengikuti segala kegiatan yang di
sarankan diantaranya:
1. Mengikuti kegiatan diskusi.
Ada dua metode yang dilakukan yaitu dengan metode individual dan metode ceramah.
Dalam metode individual dilakukan secara face to face dimana pembimbing melakukan
komunikasi langsung dengan anak-anak jalanan. Metode ini dilakukan agar mereka merasa
memiliki seseorang yang peduli dengan keadaan mereka.
Biasanya hal ini dilakukan untuk anak-anak jalanan yang baru bergabung, agar para Pembina
mengetahui permasalahan yang mereka hadapi. Para pengurus dan Pembina berusaha untuk
menjadi orang tua mereka, dengan memberikan kasih sayang perlindungan agar mereka merasa
nyaman. Seperti ucapan Zayyadi (ketua): “sebenarnya apa sih yang dibutuhkan anak-anak jalanan
ini! Mereka kan sebetulnya ingin diakui keberadaannya, eksistensinya. Sama seperti kita, anak
jalanan butuh dihargai tapi bukan berarti lantas menjudge itu. Dia tidak butuh penghargaan, nah
dari sisi itulah kita masuk supaya anak-anak jalanan bisa menghargai. Bagaimana orang bisa
menghargai nasib kita kalau dia sendiri tidak memperhatikan nasib orang lain. Jadi itu yang selalu
kita tanamkan, dan itu termasuk pemberdayaan. Sekalipun dikasih sekolah gratis lalu seterusnya
apa….! Menjadi anak jalanan lagi…..! kan tidak.”68
Makanya ketika penulis bertanya kepada AA salah satu anak jalanan yang tinggal di yayasan
tentang tanggapannya terhadap pengurus maka dia menjawab: “pengurus di sini baik-baik semua
68 Wawancara pribadi dengan Zayyadi (ketua).
ka. Bisa mengurus saya sekolah, insyaAllah sampe lulus.”69
Dari usaha tersebut maka paling tidak anak-anak jalanan ini akan merasa
memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Karena salah satu kendala
sebetulnya adalah karena mereka kurang percaya diri dengan potensi yang mereka
miliki.
Sedangkan metode ceramah diberikan berupa uraian atau penjelasan dengan
bahasa yang lugas, jelas, dan mudah dimengerti. Hal ini dilakukan untuk
membangun sikap mental yang positif dan menumbuhkan kembali semangat
keberagamaan sesuai dengan tujuan dari yayasan.
Adapun materi yang diberikan berkisar pada akhlaq, tauhid, ibadah, dan sejarah
Islam. Dengan adanya materi-materi tersebut, pembimbing berharap agar mereka
menjadi anak jalanan yang saleh dan santun, kehidupannya dipenuhi dengan hal-
hal yang positif, dan mereka selalu mendo’akan kedua orang tuanya, meskipun
ada diantara mereka yang tidak mengetahui keberadaan orang tua mereka.
2. Pengamalan nilai-nilai agama.
a. Shalat berjamaah
Melihat keutamaan serta manfaat shalat berjamaah, maka pembimbing
mewajibkan anak binaannya untuk melaksanankan shalat berjamaah. Ditinjau dari
segi kejiwaan, maka shalat berjamaah itu dapat membantu konsentrasi pikiran, di
samping itu pekerjaan yang dilakukan bersama-sama akan menambah semangat
orang yang melakukannya. Hal itu sebagai bagian dari upaya kedisiplinan.
Walaupun tidak jarang dikerjakan dengan terpaksa.
69 Wawancara pribadi dengan AA, Jakarta 11 Februari 2009.
b. Pembelajaran al-Qur’an
Tujuannya agar anak-anak jalanan dapat membaca al-Qur’an secara baik
dan benar serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.
c. Selain kegiatan yang berkaitan dengan keagamaan, anak-anak jalanan juga
dibekali dengan kegiatan-kegiatan sosial. Kegiatan dilakukan secara spontanitas
sesuai dengan keadaan. Misalnya saja dalam kegiatan pelayanan kesehatan. Yang
mana mereka memiliki sertifikat sehat, mereka sering membantu warga sekitar
yang membutuhkan keringanan biaya dalam pengobatan sekaligus mengurusi hal-
hal yang berkaitan dengan kebutuhan tersebut.
Dari kegiatan-kegiatan yang diberikan dalam lingkungan yayasan sebetulnya memiliki
dampak positif terhadap perkembangan mental dan spiritual anak-anak jalanan melalui siraman
rohani. Hal ini sesuai dengan pernyataan Zayyadi: “tentu saja dalam kegiatan di dalam yayasan ini
ada aturan-aturan yang bertujuan untuk mendidik mereka, tidak semata-mata pemberdayaan
ekonominya, tapi juga pemberdayaan mental dan spiritualnya.”70
B. Strategi Pengentasan Kemiskinan
Dalam usahanya untuk mencoba membantu anak-anak jalanan agar bisa
mengatasi kemiskinannya, maka Yayasan Bina Anak pertiwi memiliki beberapa
program yang bertujuan agar anak jalanan mampu untuk mengembangkan
kemampuannya, yaitu:
1. Program kelompok belajar
Pendidikan memainkan peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dalam
menunjang masa depannya, khususnya bagi pembangunan kehidupan intelektual nasional.
Amandemen UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan pentingnya pendidikan. Pada pasal 31 ayat
70 Wawancara pribadi dengan Zayyadi.
(1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikannya, sedangkan pada
pasal 31 ayat (2) berbunyi bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya. Amandemen ini hasil dari institusi sosial lainnya termasuk
hukum, sosial budaya, ekonomi, dan politik sebagai suatu kesadaran kolektif. Pendidikan
sepatutnya juga responsif terhadap ketidakseimbangan struktur populasi penduduk, kesenjangan
sosio-ekonomi, kesenjangan teknologi, penyesuaian sendiri terhadap nilai-nilai baru dalam era
globalisasi dan ini sepatutnya diarahkan kepada pembangunan nasional.71 Salah satunya
berkenaan dengan kemajuan pendidikan anak bangsa.
Pentingnya pendidikan tersebut lebih lanjut diuraikan dalam UU
pendidikan Nomor 20 Tahun 2003 pasal 5 yang berbunyi:
a. Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu.
b. Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual,
dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
c. Warga Negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang
terpencil berhak memperoleh Pendidikan Layanan Khusus (PLK).
d. Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak
memperoleh pendidikan khusus.
e. Setiap warga Negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang
hayat.72
Untuk mewujudkan amanah tersebut maka diperlukan sinergi antara
pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam hal ini Yayasan Bina Anak Pertiwi
71 Direktorat Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah
Depdiknas. Pendidikan Kesetaraan dan Pesan UUD 1945 dalam Pendidikan Kesetaraan
Mencerahkan Anak Bangsa (Jakarta: Bina Putera Utama, 2006), h. 21.
72 Direktorat Pendidikan Kesetaraan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Depdiknas. Pendidikan Kesetaraan dan Pesan UUD 1945 dalam Pendidikan Kesetaraan
Mencerahkan Anak Bangsa. h. 22.
memiliki program kelompok belajar dalam bentuk pendidikan kesetaraan yang
meliputi program paket A setara dengan SD/MI, paket B setara SMP/MTS, dan
paket C setara SMA/MA. Semua itu merupakan pendidikan non formal (PNF)
yang ditujukan bukan hanya untuk anak-anak jalanan, tetapi juga anak-anak dari
masyarakat sekitar yang berasal dari masyarakat kurang mampu, anak-anak yang
tidak pernah sekolah, anak yang putus sekolah serta anak-anak usia produktif
yang belum memiliki pengetahuan dan kecakapan hidup dan warga masyarakat
lain yang perlu layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Di bawah
ini adalah data anak-anak yang mengikuti program kejar paket.
PRIYANTO MASMIN L 19 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
3. AGAM ADSYAH L 16 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
4.AGUNG REKA
FEBRIADI AGUNG
REKAHADI L 18 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
5.AGUS SALIM AL
RABBANI SOPYAN L 21 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
6. AHMAD FAISAL ARMAN
SYAMSUDIN L 16 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
7.AHMAD TAUFIK RIZKI
SOGI L 21 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
8.ALDI MULIA
FIRMANSYAH BASTARI L 19 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
9. ARI SAPUTRA RAWIT L 15 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 10.DEDE SAPUTRA PAEDI L 14 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 11.DEDE SURYANA SURYANA L 18 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
12.DEIGO MAHMUD
FAHRESI MAHDI L 22 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
13.DEINIL ISLAMU
IRAWAN MARSUNI L 19 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
14.FEBRIANTO PUTRA
ALONSO PAEDI L 16 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
15.KIFLI L 15 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
16.MUHAMMAD
ARIFIN SAEFUL L 15 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
17.MUHAMMAD
RIDWAN
IRWANSYAH ZULFARIZAL L 17 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
18.MUHAMMAD
ZAINURI AHMAD L 16 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
19.PARULIAN DOLOK
SARIBU
HOTLER
DOLOK
SARIBU L 17 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
20.RADJA ISLAMI
PASHA ABDULLAH L 10 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
21.RAJAB AL ISLAM L 16 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 22.RAVI L 14 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
23.REYNUR RAHMAT
MALIK M. ABDUL
MALIK L 19 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
24.REZA WAHYU
ILAHI RAHMAN L 16 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A
25.RIAN SIREGAR KORI L 19 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 26.RICO DAKAR L 14 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 27.RIFKI ASRUL L 18 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 28.SYAIFULLAH YUDA L 20 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 29.TAMSIR L 21 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 30.WARDIMA J.B. BASTARI L 15 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A 31.YUDI SETIAWAN BONA L 18 RS. BINA ANAK PERTIWI PAKET A