Page 1
PERAN RESERSE KRIMINAL POLISI DALAM
MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
(Studi Kasus di Polresta Sibolga)
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SONNY ANUGERAH SIREGAR
140200153
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
Universitas Sumatera Utara
Page 2
Universitas Sumatera Utara
Page 3
i
ABSTRAK
Sonny Anugerah Siregar*
Liza Erwina, SH., M.Hum**
Mahmud Mulyadi, SH., M.Hum***
Polisi merupakan pelaksana dan penegak hukum yang mempunyai tugas
untuk memelihara dan keamanan dalam Negara Republik Indonesia serta
diberikan wewenang untuk mencegah dan pemberantasan tindak pidana. Tindak
Pidana Pembunuhan, sangatlah diperlukan peran dan tugas pihak Kepolisian
khususnya satuan reserse kriminal dalam pengungkapan sebab pembunuhan yang
dilakukan sangat susah untuk dilakukan pengungkapan ini membutuhkan kerja
keras dari pihak kepolisian khususnya Polresta Sibolga, jadi dengan keberadaan
institusi kepolisian dalam kehidupan masyarakat harus dapat mewujudkan
hukum dalam kenyataan, menjamin kepastian hukum dan keadilan sehingga
memegang peranan penting dalam mewujudkan negara hukum. Fungsi kepolisian
merupakan bagian dari suatu fungsi pemerintahan negara dibidang penegakan
hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbing masyarakat
dalam rangka terjaminnya ketertiban dan tegaknya hukum.
Jenis penelitian yang digunakan yuridis normatif dan yuridis empiris. Sifat
penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan
yaitu data primer, data sekunder dengan pendekatan penelitian yang analisi
deskriptif.
Pengaturan hukum tentang tindak pidana pembunuhan, merupakan
kejahatan terhadap tubuh dan nyawa. Ketentuan kejahatan terhadap tubuh dan
nyawa diatur dalam Pasal 338, 339, 340, 341, 342, 344, 345, 346 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) serta sanksi yang diancamkan kepada pelaku
pembunuhan terdapat pada pasal tersebut. Peran reserse kriminal Polresta Sibolga
dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan yaitu melakukan Penyelidikan,
melakukan penyidikan, kegiatan Olah Tempat Kejadian Perkara, Pemeriksaan
Saksi-Saksi, Melakukan Visum/Otopsi, Penangkapan, Penyelesaian Berkas dan
Penyerahan Berkas. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh pihak Reserse
Kriminal Polresta Sibolga ialah faktor hukum, faktor keaslian tempat, kurangnya
saksi yang diperoleh. Upaya yang diambil menanggulangi tindak pidana
pembunuhan adalah upaya penal dan upaya non penal.
Kata kunci : Peranan Kepolisian, Tindak Pidana Pembunuhan, Penyidikan
______________________
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universita Sumatera Utara
** Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Pembimbing II,Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Page 4
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah menyertai dan
memberikan kesehatan kepada penulis, sehingga dapat meyelesaikan penulisan
skripsi ini untuk menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Skripsi ini disusun untuk melengkapi tugas dan syarat dalam
memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara, yang merupakan
kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang akan menyelesaikan perkuliahannya.
Adapun judul skripsi yang Penulis kemukakan adalah : “PERAN RESERSE
KRIMINAL POLISI DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN (STUDI KASUS di POLRESTA SIBOLGA)” Penulis telah
bekerja semaksimal mungkin dalam penyelesaian skripsi ini. Namun, Penulis
menyadari masih banyak kekurangan, baik dari segi isi maupun dalam
penulisannya.
Melalui kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Saidin, SH, M.Hum, Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH, M.Hum,
Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, yang masing-masing selaku Pembantu
Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
Page 5
iii
3. Ibu Dr. Idha Apriliana Sembiring, SH, M.Hum selaku Doesn Wali dari
penulis yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis.
4. Bapak Dr. M. Hamdan, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Pidana
yang telah memberikan bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.
5. Ibu Liza Erwina, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana
dan juga salaku Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah memberikan
bimbingan ataupun arahan kepada Penulis.
6. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II
Penulis, yang telah meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan,
dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih sempurna.
7. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberikan ilmu khususnya dalam bidang hukum.
8. Edward. O.P. Siregar dan Luseria M.C. Sibarani selaku orangtua penulis
yang telah memberikan dukungan secara moril, doa, perhatian, maupun
materi sehingga terselesaikan skripsi ini.
9. Kepada Benyamin Daniel Siregar selaku abang saya yang telah memberikan
dukungan secara moril, perhatian sehingga skripsi ini dapat selesai
10. Erinsiman Sinaga merupakan sahabat saya yang telah memberikan motivasi,
hiburan, kerjasama dan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi.
11. Kevin Arga Tobing merupakan sahabat saya yang telah memberikan
motivasi, hiburan, kerjasama dan dukungan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
Universitas Sumatera Utara
Page 6
iv
12. Kepada kawan-kawan seperjuangan grup kck, Anes Ringo, Johannes
Sagala, Elia Frans Silitonga, Marvel Perdana, terima kasih atas
kebersamaannya, hiburan, dan dukungannya kepada penulis.
13. Kepada teman-teman gokil dan terkadang gila, Andini Hutajulu, Dwi
Mazmur Gulo, Rachel Kartika Sirait, Octaclaudia Simanjuntak, Joshua
Manalu, Stefani Putri, terima kasih atas kebersamaanya.
14. Kepada seluruh Stambuk 2014 Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, terima kasih atas kebersamaannya dan dukungannya.
15. Kepada seluruh pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam
penulisan skripsi ini.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
untuk kemajuan di masa mendatang terutama dalam ranah penegakan hukum di
Indonesia. Penulis juga berharap agar skripsi ini dapat dijadikan sebagai langkah
awal dalam upaya pembangunan hukum di indonesia terutama dalam
perkembangan hukum pidana.
Medan, Januari 2018
Hormat Saya,
Penulis,
Sonny Anugerah Siregar
Universitas Sumatera Utara
Page 7
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK...............................................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................v
BAB I : PENDAHULUAN.........................................................................1
A.Latar Belakang...........................................................................1
B.Perumusan Masalah...................................................................7
C. Tujuan Penelitian.......................................................................7
D. Manfaat Penelitian.....................................................................8
E.Keaslian Penelitian ....................................................................8
F.Tinjauan Pusataka.......................................................................8
1. Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentan Kepolisian Negara
Republik Indonesia..............................................................9
2. Pengertian Tindak Pidana ...................................................14
3.Pengertian Pembunuhan.......................................................26
G.Metode Penulisan.....................................................................28
H.Sistem Penulisan......................................................................30
Universitas Sumatera Utara
Page 8
vi
BAB II :PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(KUHP)........................................................................................33
A.Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan ....................................33
B.Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan .....................................36
C.Sanksi-sanksi Tindak Pidana Pembunuhan.................................53
BAB III :PERAN RESERSE KRIMINAL POLRESTA SIBOLGA
DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN.........................................................................57
A. Penyelidikan............................................................................57
1. Pengertian Penyelidikan......................................................57
a. Penyelidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana..................................................................57
b. Penyelidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun
2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana.............................................................................61
2.Fungsi dan Wewenang Penyelidik.........................................64
B. Penyidikan...............................................................................67
1. Pengertian Penyidikan................. .......................................67
a. Penyidikan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana .........................................................................68
Universitas Sumatera Utara
Page 9
vii
vii
b. Penyidikan Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun
2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana.............................................................................72
2. Fungsi dan Wewenang Penyidikan......................................73
3. Upaya Paksa dalam Penyidikan............................................74
C. Kasus dan Analisa Kasus..........................................................80
D. Peran Reserse Kriminal Polresta Sibolga Dalam Mengungkap
Tindak Pidana Pembunuhan....................................................84
BAB IV :HAMBATAN-HAMBATAN RESERSE KRIMINAL
POLRESTA SIBOLGA DALAM MENGUNGKAP TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN........................................................90
A. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Reserse Kriminal Polresta
Sibolga dalam menanggulangi Tindak Pidana
Pembunuhan............................................................................90
B. Hambatan-hambatan yang ditemui oleh Reserse Kriminal Polresta
Sibolga dalam Mengungkap Tindak Pidana
Pembunuhan............................................................................94
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN.................................................100
A. Kesimpulan...........................................................................100
B. Saran.....................................................................................101
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Sumatera Utara
Page 10
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Negara Republik Indonesia adalah salah satu dari beberapa negara yang
menganut asas negara hukum, hal ini dibuktikan didalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 1 Ayat (3) yang
berbunyi Negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Maka dalam hal ini
berarti di dalam Negara Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek
kehidupan diselenggarakan berdasarkan atas hukum. Dengan demikian hukum
harus menjadi titik sentral orientasi strategis sebagai pemandu dan acuan semua
aktivitas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Supaya
hukum dapat ditaati baik oleh individu maupun kelompok, maka diperlukan
adanya institusi-institusi yang dilengkapi dengan bidang penegakkan hukum,
salah satu diantranya adalah lembaga kepolisian.
Pengidentifikasian Polisi sebagai birokrasi kontrol sosial memang memberi
deskripsi mengenai Polisi itu. Polisi seyogyanya kita lihat tidak hanya sebagai
kontrol sosial saja, melainkan juga memberi pelayanan dan interpretasi hukum
secara konkrit, yaitu melauli tindakan-tindakanya. Dengan kontrol sosial,
pelayana dan agen interpretasi tersebut menjadi lebih lengkaplah bahwa Polisi
mewujudkan janji-janji hukum. Mempelajari Kepolisian juga berarti berusaha
memberikan penjelasan mengenai objeknya, seperti lazimnya aturan main dalam
ilmu pengetahuan, maka kita tidak akan bisa memahami pekerjaan Kepolisian
Universitas Sumatera Utara
Page 11
2
dengan sebaik-baiknya, tanpa masuk kedalam hakikatnya sebagai suatu pekerjaan
yang berakar perilaku itu. Penegakan hukum, penjagaan keamanan dan ketertiban
masyarakat serta pelayanan dan pengayoman masyarakat adalah tugas pokok
Polisi sebagai profesi mulia, yang aplikasinya harus berakibat pada asas legalitas,
undang-undang yang berlaku dan hak azasi manusia. Atau dengan kata lain harus
bertindak secara professional dan memegang kode etik secara ketat dan keras,
sehingga tidak terjerumus kedalam perilaku yang dibenci masyarakat.
Kepolisian atau Polisi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum
pidana sehingga tidaklah berlebihan jika Polisi dikatakan sebagai hukum pidana
yang hidup.1 Kepolisian atau Polisi bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam
negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan kertertiban masyarakat, tertib
dan tegaknya hukum, terselengaranya perlindungan , pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia2.
Institusi Kepolisian usaha yang digunakan dalam menyelenggarakan tugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat yaitu melalui upaya preventif
maupun represif. Tugas dibidang preventif dilaksanakan dengan konsep dan pola
pembinaan dalam wujud pemberian pengayoman, perlindungan dan pelayanan
kepada masyarakat, agar masyarakat merasa aman, tertib dan tentram tidak
terganggu segala aktifitasnya. Langkah preventif adalah usaha mencegah
bertemunya niat dan kesempatan berbuat jahat, sehingga tidak terjadi kejahatan
1 Satjipto raharjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002) hal, 25.
2 Untung S. Rajab, Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia dalam Sistem
Ketatanegaraan(berdasarkan UUD 1945), (Bandung: Cv. Utomo, 2003) hal, 12.
Universitas Sumatera Utara
Page 12
3
atau kriminalitas 3.Semakin berkembangnya dunia kejahatan dan kriminalitas,
membuat Kepolisian harus membuat suatu kemajuan khususnya dibidang
Satreskrim dimana bidang itulah yang selalu menjadi pagar atau tembok utama
dalam menanggulangi kejahatan.
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia menyatakan bahwa Kepolisian ialah alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.4 Antara fungsi dan tugas
merupakan satu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena
fungsi dijabarkan dalam tugas-tugas dan tugas-tugas itu lebih dijabarkan lagi
kedalam berbagai peran dan wewenang, dan dalam pelaksanaannya harus
ditopang dengan sifat professionalisme dari setiap anggota Polri yang
direfleksikan dalam sikap/perilaku yang terpuji dan terampil dalam melaksanakan
tugasnya. Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku Polisi untuk dijadikan
pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegakkan
hukum ketertiban umum dan keamanan masyarakat.5
Berkaitan dengan penegakkan hukum, peranan yang ideal dan peranan yang
sebenarnya adalah memang peran yang di kehendaki dan diharapkan oleh hukum
di tetapkan oleh Undang-Undang. Sedangkan peran yang dianggap diri sendiri
dan peran yang sebenarnya telah dilakukan adalah peran yang yang
3 Sadjijono, Hukum Kepolisian, (Yogyakarta : Laksbang Pressindo, 2006) hal, 118.
4 Ibid hal, 119.
5 Kunarto, Etika Kepolisian, (Jakarta: Cipta Manunggal ,1997), hal, 97
Universitas Sumatera Utara
Page 13
4
mempertimbangkan antara kehendak hukum yang tertulis dengan kenyataan-
kenyataan, dalam hal ini kehendak hukum harus menentukan kenyataan yang ada.
Menurut Achmad Ali, Professionalisme dan kepemimipinan juga termasuk
dalam sistem hukum hal tersebut merupakan unsur kemampuan dan keterampilan
secara person dari sosok-sosok penegak hukum.6 Sebagai pihak yang
bertanggungjawab terhadap keamanan masyarakat sudah seharusnya pihak
kepolisian mewujudkan rasa aman tersebut. Dalam hal mengungkap tindak pidana
pembunuhan diperlukan kerja keras dari pihak Polresta sibolga untuk
mengidentifikasi korban agar menemukan siapa yang menjadi otak pelaku
tersebut dan segera untuk menghukum para pelaku pembunuhan tersebut. Salah
satu tindak pidana adalah Pembunuhan merupakan suatu perbuatan yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Dengan kata lain Pembunuhan adalah
suatu perbuatan melawan hukum dengan cara merampas hak hidup orang lain
sebagai Hak Asasi Manusia.
Latar belakang terjadi pembunuhan di Indonesia sangat bervariasi.
Pengertian pembunuhan adalah sebuah perbuatan kriminal yang menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang, saat ini banyak terjadi pembunuhan di berbagai
daerah Indonesia. Hal ini selain dipengaruhi motif atau latar belakang dari sang
pelaku,juga merupakan gambaran merosotnya moral bangsa ini. Kemerosotan
moral, himpitan ekonomi, ketidaksabaran dan kebencian adalah beberapa faktor
yang menyebabkan terjadinya pembunuhan. Begitu mudahnya sesorang
menghilangkan nyawa orang lain ini patut diteliti penyebabnya. Kerasnya
6 Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judical
Prudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal, 204.
Universitas Sumatera Utara
Page 14
5
kehidupan dan rapuhnya pendidikan agama mungkin juga menjadi faktor begitu
mudahnya seseorang menghilangkan nyawa orang lain.7
Aristoteles menyatakan bahwa “kemiskinan menimbulkan kejahatan dan
pemberontakan. Kejahatan yang besar tidak diperbuat untuk memperoleh apa
yang perlu untuk hidup, tetapi untuk kemewahan”. Berbicara mengenai kejahatan
khususnya pembunuhan, dahulu orang membunuh dengan cara yang sederhana
sehingga mudah terungkap oleh aparat kepolisian. Namun sekarang terjadi
peristiwa pembunuhan dengan cara yang berbeda dan cukup sadis, yakni dengan
cara keji, tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar dan latar belakang terjadinya
pembunuhan di Indonesia ini adalah sakit hati dan kebencian. Ketika seseorang
tidak memiliki ilmu agama dan pengendalian emosi yang baik, maka ketika
muncul rasa sakit hati dapat berujung pada peristiwa pembunuhan pada orang
yang dibenci.
Maraknya tindak pidana pembunuhan sangatlah diperlukan peran dan tugas
pihak-pihak yang berwenang diantaranya Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.8
Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dalam bentuk pokok, dimuat dalam
Pasal 338 KUHP yang rumusannya adalah ”barang siapa dengan sengaja
menghilangkan nyawa orang lain dipidana karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun”.
Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan
bermasyarakat, pada dasarnya istilah kejahatan itu diberikan kepada suatu jenis
perbuatan atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat dinilai sebagai perbuatan
7 W.A. Gerungan, Dipl, psikologisosial, (Bandung: Aditama, 2004), hal, 1.
8 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010), hal, 56.
Universitas Sumatera Utara
Page 15
6
jahat. Perbuatan atau tingkah laku yang dinilai serta mendapat reaksi yang bersifat
tidak disukai oleh masyarakat itu, merupakan suatu tindakan yang tidak
dibenarkan untuk muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat begitu juga
dengan kejahatan pembunuhan.sesuai yang diatur dalam Pasal 338 KUHP yang
berbunyi “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain
dipidana karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.”
Maupun dalam Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang berbunyi
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati
atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun”.
Meningkatnya tindak pidana pembunuhan memerlukan peran dan tugas
pihak-pihak yang berwenang diantaranya Kepolisian, Kejaksaan. Paling penting
adalah tugas Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal, dalam
pengungkapan sebab pembunuhan yang dilakukan pelaku ini membutuhkan kerja
keras dari pihak Kepolisian. Kerja sama antara Kepolisian, Kejaksaan dalam
menyelesaikan kasus dapat mewujudkan hukum dalam kenyataan, menjamin
kepastian hukum, dan keadilan, sehingga memegang peranan penting dalam
mewujudukan Negara hukum.
Sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat
sudah seharusnya pihak Kepolisian khususnya satuan Reserse Kriminal
mewujudkan rasa aman tersebut. Hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi pihak
Polisi Republik Indonesia khususnya satuan Reserse Kriminal untuk mencari dan
menemukan para pelaku kejahatan dan mencegah agar tidak terjadi lagi kejahatan
Universitas Sumatera Utara
Page 16
7
ini sesuai dengan apa yang menjadi cita – cita Pihak Kepolisian khususnya
Satuan Reserse Kriminal dan sudah diatur dalam Undang – Undang Kepolisian
Negara Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002.
Dari uraian diatas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas suatu
tulisan yang berjudul : PERAN RESERSE KRIMINAL POLISI DALAM
MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (STUDI KASUS DI
POLRESTA SIBOLGA).
B. Perumusan Masalah
Dari judul skripsi di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan menurut KUHP?
2. Bagaimana peran Reserse Kriminal Polresta Sibolga dalam mengungkap
Tindak Pidana Pembunuhan ?
3. Apa yang menjadi hambatan-hambatan Reserse Kriminal Polres Sibolga dalam
mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan ?
C. Tujuan Penulisan
Yang menjadi tujuan Penulisan Skripsi ini adalah :
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Pembunuhan dalam
KUHP.
2. Untuk Mengetahui Peran Reserse Kriminal Polresta Sibolga dalam
Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan.
Universitas Sumatera Utara
Page 17
8
3. Untuk Mengatahui Hambatan-hamabatan yang ditemui oleh Satuan Reserse
Kriminal Polres Sibolga.
D. Manfaat Penelitian
Penulisan Skripsi ini kiranya dapat memberi manfaat kepada pembaca baik
manfaat teoritis maupun manfaat praktis.
1. Manfaat Teoritis, yaitu untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang
hukum, khususnya hukum pidana.
2. Manfaat Praktis, diharapkan dapat memberi sumbangan pikiran kepada
masyarakat pada umumnya. Tentang Peran Reserse Kriminal dalam
mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul Peran Reserse Kriminal Polisi Dalam
Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus di Polresta Sibolga),
yang pada prinsipnya penulis membuatnya dengan melihat dasar-dasar yang telah
ada, baik melihat literatur yang penulis peroleh dari elum ada yangperpustakaan,
dan dari media masa baik cetak maupun elektronika. Selanjutnya dari penelusuran
ke perpustakaan umum Universitas Sumatera Utara belum ada yang mengangkat
judul tersebut dalam suatu penulisan skripsi. Apabila dikemudian hari ternyata
ada skripsi yang sama baik judul maupun isi keseluruhan maka saya akan
bertanggung jawab sepenuhnya.
F. Tinjauan pustaka
Universitas Sumatera Utara
Page 18
9
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Kata “Polisi” dalam bahasa Indonesia merupakan kata pinjaman dan jelas
berasal dari kata belanda “politie”. Adapun kata Belanda “politie” didasarkan
atas serangkaian kata Yunani Kuno dan Latin berasal dari kata Yunani-Kuno
“polis”. Kata tersebut berarti “kota” atau “negara kota”. Atas dasar
perkembangan itu maka kata “polis”, mendapat pengertian “negara” dan dalam
bentuk-bentuk perkembangannya masuk unsur “pemerintah” dan lain
sebagainya. Kata Yunani kuno tersebut masuk kedalam bahasa latin sebagai
“poliyia” dan kata itulah yang diduga menjadi kata dasar kata “police”
(Inggris), “poliitie” (Belanda), “Polisi” (Indonesia).9
Bilamana secara tepat kata “Polisi” mendapat arti yang kini digunakan,
sulit dipastikan. Namun demikian, perkembangan sebagaimana dicatat di
Inggris, yang dicatat penggunaan kata “police” sebagai kata kerja yang berarti
“memerintah” dan “mengawasi” (sekitar tahun 1589). Selanjutnya sebagai kata
benda diartikan “pengawasan”, yang kemudian meluas dan menunjukan
organisasi yang menangani pengawasan dan pengamanan (tahun 1716).
Di Indonesia, istilah Polisi digunakan dalam pengertian organisasi
pengamanan pada abad ke-19 dalam interegum Inggris dari 1811-1817.
Wilayah Indonesia saat itu merupakan bagian dari wilayah yang dipimpin
bupati masing-masing diserahi tugas pengamanan tertib hukum dan Polisi
bertanggung jawab pada bupati setempat itu. Dari kata Polisi tersebut,
9 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, (Jakarta: PT. Grasindo, 1994), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Page 19
10
kemudian para cendikiawan Kepolisisan menyimpulkan bahwa terdapat 3
pengertian, yaitu :10
1. Polisi sebagai fungsi
2. Polisi sebagai organ kenegaraan dan
3. Polisi sebagai jabatan atau petugas.
Banyak disebut sehari-hari adalah pengertian Polisi sebagai atau petugas.
Tiga pengertian kata Polisi tersebut, kadang dicampur adukkan oleh
masyarakat, yang seharusnya diartikan sesuaidengan konteks yang mnyertai.
Oleh karena itu timbul penilaian yang sebenarnya untuk individu (pejabat)
tetapi diartikan sebagai tindakan suatu lembaga (alat negara).
Kepolisian merupakan lembaga penegak hukum yang bertugas untuk
mengayomi masyarakat, sehingga dapat terciptannya keamanan dan ketertiban
di masyarakat. Encyclopaedia of Social Sceinces didapatkan pengertian Polisi
sebagai berikut 11
Istilah Polisi pada pengertian semulanya meliputi bidang
fungsi/tugas yang luas. Istilah itu dipergunakan untuk menjelaskan berbagai-
bagai aspek dari pengawasaan kesehatan umum dalam arti yang sangat khusus
dipakai dalam hubungannya dengan usaha penanggulangan pelanggaran-
pelanggaran politik, dan sejak itu telah meluas secara praktis meliputi semua
bentuk pengaturan dan ketertiban umum. Sekarang, istilah itu terutama
dipergunakan dalam hubungan dengan pemeliharaan ketertiban umum dan
perlindungan orang-orang serta harta bendanya dari tindakan-tindakan yang
melanggar hukum sejak itu police dan constabulary telah merupakan istilah-
10 H.R Abdussalam, Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum,
(Jakarta: Restu Agung, 2009), hal. 36.
11
Momo Kelana, op.cit,. hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
Page 20
11
istilah yang hampir sinonim. Pengertian yang hampir sama dalam
encyclopaedia britanica kita dapatkan dimana disebutkan bahwa12
istilah Polisi
yang sekarang biasa dipergunakan diartikan sebagai pemeliharaan ketertiban
umum dan perlindungan orang-orang serta miliknya dari keadaan yang
menurut perkiraan dapat merupakan suatu bahaya atau gangguan umum dan
tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Pengertian sebelumnya meliputi
seluruh bidang kebijakan pemerintah dalam negeri.
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau yang sering disingkat dengan
Polri dalam kaitannya dengan pemerintahan adalah salah satu fungsi
pemerintahan negara dibidang memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat, yang bertujuan untuk mewujudkan keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggara perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.13
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia diatur juga tentang tujuan dari Polri yaitu
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan
dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertiba dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia .
12 Ibid., hal. 32.
13
Budi Rizki Husin dan Rini Fathonah, Studi Lembaga Penegak Hukum, ( Lampung:
UNILA, 2014), hal. 15.
Universitas Sumatera Utara
Page 21
12
Berbicara tentang kejahatan kita harus terlebih dahulu melihat dari sudut
mana pengertian kejahatan itu ditinjau, secara umum pada dasarnya kejahatan
ini diberikan pada suatu jenis atau tingkah laku manusia tertentu yang dapat
dinilai sebagai perbuatan jahat, oleh karena itu perbuatan jahat bertolak ukur
pada alam nilai tentunya penafsiran yang diberikan pada perbuatan atau
tingkah laku itu sangat relatif singkat, kerelatifannya terletak kepada penilaian
yang diberikan oleh masyrakat dimana perbuatan tersebut terwujud.14
Sedangkan nilai-nilai yang diberikan kepada kebudayaan masyarakat
yang sangat bervariasi tersebut yang bertebar di alam ini menyebabkan
pengertian kejahatan maupun sifat maupun jenis kejahatan sangat tergantung
kepada penilaian dan jenis reaksi yang diberikan oleh masyarakat dimana
terjadinya perbuatan itu oleh karena itu tidaklah heran pengertian kejahatan itu
sangat tergantung darimana kita melihat.15
Radcliff Brown mendefinisikan kejahatan sebagai suatu pelanggaran
terhadap suatu kebiasaan yang mendorong dilaksanakannya sanksi pidana.
Thomas mendefinisikan kejahatan dari sudut psikologi sosial sebagai suatu
tindakan yang bertentangan dengan rasa solidaritas kelompok, individu
dianggap sebagai anggota kelompoknya sendiri.16
Dewasa ini semakin banyak kejahatan pembunuhan yang terjadi seolah-
olah nyawa korban pembunuhan tersebut tidak berharga maka keterlibatan
14 Chainur Arrasjid, Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal,(Medan : Kelompok Studi
Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU,1999), hal. 39.
15
Ibid, hal, 40.
16
Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya
ditinjau darri segi Kriminologi dan sosial,(Jakarta :PT. Pradnya Paramita), hal.12.
Universitas Sumatera Utara
Page 22
13
Polisi sangat diharapkan dalam fungsi dan peran nya dalam menanggulangi dan
mengungkap kejahatan .
Sehingga dalam memberantas kejahatan tersebut tidak lepas dari peranan
yang dijalankan oleh Pihak Kepolisian khususnya untuk memberikan rasa
aman kepada masyarakat, pihak Kepolisian telah memberntuk satuan yang
bertugas dalam memberantas kejahatan, satuan tersebut dinamakan Reserse
Kriminal (RESKRIM).
Reserse Kriminal adalah :
“Satuan yang bertugas dalam mengungkap tindak pidana, mencari pelaku
kejahatan, mengumpulkan bukti-bukti dan nantinya akan diproses secara hokum.”
Dengan dibentuknya satuan Reserse Kriminal ini akan membuat terang
suatu tindak pidana yang terjadi didalam masyarakat, contohnya dalam kasus
pencurian apakah telah terjadi tindak pidana pencurian maka akan dicari
kebenaranya dan akan di usut tuntas oleh satuan Reserse Kriminal.
Tugas dan satuan Reserse Kriminal ini refresif yang dilakukannya dengan
cara rahasia dengan menggunakan teknik Reserse seperti pengamana/ observasi,
yang disebut juga “ la Police en civile” karena dalam tugasnya selalu
menggunakan pakaian preman dan berbeda dengan Polisi yang lainnya yang
selalu menggunakan pakaian seragam dinas Kepolisian.17
Satuan Reserse Kriminal diharapkan akan mengusut tuntas setiap kejahatan
yang ada dalam masyarakat dan menangkap pelaku serta di jatuhi hukuman yang
sesuai dengan perbuatanya sehingga memberikan efek jera bagi si pelaku.
17 M.Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi,( Jakarta : PT. Pradnya
Paramita,1991) hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
Page 23
14
2. Pengertian Tindak pidana
Perbuatan tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa
perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang diancam
pidana, asla saja dimana pada saat itu diingat bahwa larangan diancam pidana,
asla saja dimana pada saat itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada
perbuatan, (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kekuatan
orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian itu.
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungannya yang erat, oleh
karena itu, ada hubunganya yang erat pula. Yang satu dapat dipisahkan dari
yang lain. Kejadian tidak dapat dilarang, jika yang menimbulkan bukan orang,
dan orang tidak dapat dilarang, jika karena tidak ditimbulkan olehnya. Justru
untuk menyatakan hubungan yang erat itu, maka dipakailah perkataan
perbuatan, yaitu suatu pengertian abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan
konkrit: pertama, adanya kejadian tertentu dan kedua, adanya orang yang
berbuat, yang menimbulkan kejadian itu. Karena itu maka kurang tepat jika
untuk pengertian yang abstrak itu digunakan istilah “peristiwa” sebagaimana
halnya dalam Pasal 14 ayat (1) UUD Sementara dahulu, yang memakai istilah
“peristiwa pidana”. Sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkrit, yang
hanya menunjuk kepada suatu kejadian tertentu saja, misalnya : matinya orang.
Universitas Sumatera Utara
Page 24
15
Peristiwa ini saja tak mungkin dilarang. Hukum pidana tidak melarang
adanya orang mati, tetapi melarang adanya orang mati karena perbuatan orang
lain. Jika matinya orang itu karena keadaan alam entah karena penyakit, entah
karena sudah tua, entah karena tertimpa pohom yang roboh ditiup angin puyuh,
maka peristiwa itu tidak penting sama sekali bagi hukum pidana. Juga tidak
penting, jika matinya orang itu karena binatang. Baru apabila matinya ada
hubungan dengan kelakuan orang lain, di situlah persitiwa tadi menjadi penting
bagi hukum pidana.
Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana yaitu “tindak pidana”.
Istilah ini sering tumbuhnya dari pihak Kementrian Kehakiman, sering
disepakati dalam perundang-undangan. Meskipun kata “tindak” lebih pendek
daripada “perbuatan”, tapi “tindak” tidak menunjuk kepada hal yang abstrak
seperti perbuatan, tapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana halnya
dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah
laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dakan
tindak tanduk, tindakan dan bertindak dan belakangan juga sering dipakai
“ditindak”.
Van Hamel merumuskan: strafbaar feit adalah kelakuan orang
(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum, yang patut dipidana (straf waarding) dan dilakukan dengan kesalahan.
Jika melihat pengertian ini maka di situ dalam pokoknya ternyata :
1. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling, kelakuan atau tingkah
laku
Universitas Sumatera Utara
Page 25
16
2. Bahwa pengertian straf baar feit dihubungkan dengan kesalahan orang
yang mengadakan kelakuan tadi.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat disamakan dengan istilah Inggris
“criminal act” Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan
akibat, atau dengan lain perkataan : akibat dari suatu kelakuan, yang dilarang
oleh hukum. Dalam Outlines of criminal law 1952 pah. 12 tentang criminal act
atau dengan bahasa latin : actus reus ini diterangkan sebagai berikut: “actus
reus may be defined as such result of human conduct as the the law seek
(mencoba) to prevent, it is important to note that the actus reus, which is the
result of conduct, must be distinguished from the conduct which produced the
result”
Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat dipidana seseorang)
selain daripada melakukan criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus
mempunyai kesalahan (guilt). Hal ini dinyatakan dalam kalimat latin: “actus
non facit reum, nisi mens sit res”. (an act does not make a person guilt, unless
the mind is guilt). Bahwa untuk mempertanggungjawabkan pidana tidak cukup
dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus
ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam azas
hukum yang tidak tertulis: Tidak dipidana jika ada kesalahan. (geen starf
zonder schuld, ohne Schuld keono Strafe). “Pidana” merupakan isitilah yang
mempunyai pengertian yang khusus. Berdasarkan dengan “hukuman” yang
merupakan istilah umum dan dapat mempunyai arti yang luas serta berubah-
ubah. Istilah hukuman tidak saja dipergunakan dalam bidang hukum, tetapi
Universitas Sumatera Utara
Page 26
17
juga dalam bidang-bidang yang lain, seperti : pendidikan, moral, agama dan
lain sebagainya.
Terjemahan “strafbaar feit” atau “delic” itu (Mr. R. Tresna dan E.
Utrecht) di kenal pula sebagai terjemahan yang lain seperti:
a. Tindak pidana (Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi)
b. Perbuatan pidana (Mulyatno, pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada
VI tahun 1955 di Medan)
c. Pelanggaran pidana (Mr. M.H. Tirtaamidjaya, Pokok – pokok Hukum
Pidana. Penerbit Fasco, Jakarta 1995)
d. Perbuatan yang boleh di hukum (Mr. Karni, Ringkasan Tentang Hukum
Pidana, Penerbit Balai Buku Indonesia, Jakarta 1959)
e. Perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang No. 12/Drt Tahun 1951,
Pasal 3, tentang Mengubah Ordonantie Tijdelijk Bijzondere
Strafbepalingen)18
.
Beberapa istilah tersebut di atas yang paling tepat untuk dipakai adalah
persitiwa pidana, karena yang diancam dengan pidana bukan saja yang berbuat
atau bertindak tetapi juga yang berbuat (melanggar suruhan/gebod) atau tidak
bertindak.
Simon dan Van Hamel. Dua ahli hukum pidana Belanda tersebut
pandangan-pandangannya mewarnai pendapat para ahli hukum pidana Belanda
dan Indonesia hingga saat ini.
18 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana Untuk Tiap
Orang, (Jakarta: Pradnya Paramita,2004), hal. 36-37.
Universitas Sumatera Utara
Page 27
18
a. D.Simon
Bahwa strafbaarfeit itu adalah kelakuan yang di ancam dengan pidana,
bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan
oleh orang yang mampu bertanggung jawab19
. Perumusan Simon tersebut
menunjukkan unsur-unsur tindak pidana atau peristiwa sebagai berikut:
1. Handeling : perbuatan manusia
Handeling dimakasudkan tidak saja “een doen” (perbuatan) dan tetapi
“een nalaten” atau “niet doen” (melainkan atau tidak berbuat); masalahnya
apakah melalaikan atau tidak berbuat itu dapat disebut berbuat. Seseorang yang
tidak berbuat atau melalaikan dapat dikatakan bertanggung jawab atas suatu
peristiwa pidana, apabila ia tidak berbuat atau melalaikan sesuatu, padahal
kepadanya di bebankan suatu kewajiban hukum atau keharusan untuk berbuat.
Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana kewajiban hukum atau keharusan
hukum bagi seseorang untuk berbuat dapat dirinci dalam tiga hal:
a. Undang – Undang (de wet)
Undang- undang mengharuskan seseorang untuk berbuat. Maka Undang –
Undang merupakan sumber kewajiban hukum.
b. Dari jabatan (het ambt)
Keharusan yang melekat pada jabatan.
c. Dari perjanjian (overeenkomst)
19 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta : Fajar Interpratama Offset,2006), hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Page 28
19
Seorang dokter swasta menolong orang sakit dapat dituntut jika melalaikan
kewajibannya hingga orangnya meninggal Perjanjian “Poenale Sanctie”.
2. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (Wedeerechtelijk)
3. Perbuatan itu diancam dengan pidana (Strafbaar Gesteld) oleh Undang-
Undang.
4. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab
(Toerekeningsvatbaar)
5. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan (Schuld) si pembuat.
b. Van Hamel
Perumusan Van Hamel sebenarnya sama dengan perumusan Simon,
hanya Van Hamel menambah satu syarat lagi yaitu : perbuatan itu harus pula
patut di pidana (Welk Handeling een Strafwaarding karakter heft). Secara tegas
Van Hamel mengatakan bahwa Strafbaarfeit itu adalah kelakuan orang yang
dirumuskan dalam undang-undang bersifat melawan hukum, patut di pidana
dan dilakukan dengan kesalahan20
.
Simon maupun Van Hamel memasukkan kesalahan dalam pengertian
tindak pidana, “Berhubung dengan kesalahan, ataupun dilakukan dengan
kesalahan, merupakan frasa yang memberi pertanda, bahwa bagi beliau suatu
perbuatan merupakan tindak pidana jika di dalamnya juga dirumuskan tentang
kesalahan.
c. Schaffmeister
20 Ibid
Universitas Sumatera Utara
Page 29
20
Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan manusia yang termasuk dalam
ruang lingkup rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dapat dicela21
.
Dalam hal ini, sekalipun tidak menggunakan istilah kesalahan, namun data
dicela umumnya telah dapat dipahami sebagai makna kesalahan. Menurut Vos
peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh
Undang- Undang (Een Strafbaar feit is een door de wet strafbaar gesteld
feit).22
Begitu berpengaruh pandangan ahli - ahli hukum Belanda tersebut,
sehingga umumnya diikuti oleh ahli-ahli hukum pidana Indonesia, termasuk
generasi sekarang, seperti:
1. Komariah E. Sapardjaja. “Tindak Pidana adalah suatu perbuata manusia
yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah
melakukan perbuatan itu”.23
2. Indriyantu Seno Adji. “Tindak Pidana adalah perbuatan seseorang yang
diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum, terdapat suatu
kesalahan dan bagi pelakunya dapat dipertanggung jawabkan atas
perbuatannya24
. Tindak pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang atau
di cela oleh masyarakat dan dilakukan oleh orang yang bersalah yang dapat
dikenakan sanksi pidana. Unsur kesalahan atau pertanggung jawaban
menjadi bagian pengertian tindak pidana”.
21 D.Schaffmeister, N. Keijzer dan EPH Sutorius, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Liberty
,1995), hal. 27.
22
C.S.T Kansil dan Christie S.T. Kansil, op.cit., hal. 20.
23
Komariah E. Sapardjaya, Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Hukum Pidana
Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangan dalam Yurisprudensi,(Bandung:
Alumni, 2002), hal. 22.
24
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Hukum Pidana, (Jakarta : Kantor Pengacara dan
Konsultan Hukum Oemar Seno Adji dan Rekan, 2002), hal. 155.
Universitas Sumatera Utara
Page 30
21
3. A.Ridwan Halim, S. Menyebut tindak pidana sebagai delik yaitu : suatu
perbuatan atau tindakan yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh
Undang – Undang (pidana)25
. Dari apa yang dikatakan oleh A Ridwan
Halim, S, jelas nampak agar suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak
pidaana, maka perbuatan tersebut harus telah diatur dalam suatu peraturan
perundang-udangan serta diancam dengan hukuman.
Unsur – Unsur untuk adanya suatu tindak pidana atau perbuatan pidana
yaitu:26
1. Adanya subyek hukum, yang dapat dijadikan subyek hukum hanyalah orang
2. Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan yang dilakukan sesuai dengan
rumusn delik.
Bersifat melawan hukum yaitu :
a. Malawan hukum formal artinya apabila perbuatan yang dilakukan
sebelumnya telah diatur dalam undang - undang.
b. Melawan hukum material artinya apabalia perbuatan yang dilakukan
melanggar aturan atau nilai- nilai yang hidupnya dalam masyarakat harus
adanya kesalahan. Kesalahan yang dimaksud adalah dari masyarakat
apabila melakukan hal tersebut sehingga adanya hubungan batin anatara
pelaku dengan kejadian yang nantinya akan menimbulkan suatu akibat.
Kesalahan itu sendiri dapat dibagi 2 yaitu kesengajaan/dolus dan
kealpaan.
3. Harus dapat dipertanggung jawabkan
25 Ridwan Halim, Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 7.
26
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1987), hal. 155.
Universitas Sumatera Utara
Page 31
22
4. Sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan
Bahwa kesalahan adalah faktor penentu pertanggung jawaban pidana
karenanya tidak sepatutnya menjadi bagian definisi tindak pidana. Hal ini
nampak sebagaimana di katakana Moeljatno, apakah Inkonkreto yang
melakukan perbuatan tadi sungguh – sungguh di jatuhi pidana atau tidak. Itu
sudah di luar arti perbuatan pidana. Artinya apakah yang melakukan tindak
pidana tersebut kemudian di pertanggungjawabkan atas perbuatannya sudah
diluar kontek pengertian tindak pidana.27
Moeljatno, tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam
dengan pidana barang siapa yang melakukan.28
Di lain kesempatan juga
beliau mengatakan, suatu tindak pidana adalah perbuatan atau omisi yang
dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana
berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam definisi- defenisi tersebut,
unsur kesalahan telah dikeluarkan, shingga tindak pidana pada hakikatnya
adalah “perbuatan” saja. Perbuatan disini bersisi kelakuan dan kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan atau kelakuan dan akibatnya.
Kelakuan juga terdiri dari melakukan sesautu (komisi) dan tidak
melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan
perbuatan melakukan sesuatu, perbuatan tidak melakukan sesuatu, dan
menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang – undang. Pengertian
sebagaiman tersebut di atas, dalam Pasal 11 rancangan KUHP di rumuskan
dengan, “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
27 Chairul Huda, op.cit., hal. 27.
28
Moelyatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana,
(Jakarta :Bina Aksara ,1983), hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
Page 32
23
sesuatu yang oleh peraturan perundang – undangan dinyatakan sebagai
perbuatan yang dilarang dan ancama dengan pidana”. Dapat ditegaskan
sepanjang berkenaan dengan perumusan definisi tindak pidana, pikiran-
pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggung jawaban pidana
telah menjadi bagian pembaharuan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi
dalam Rancangan KUHP. Sekalipun demikian, usaha uyntuk memisahkan
tindak pidana dari pertanggung jawaban pidana haru sterus menerus
dikembangkan sehingga manfaat dapat menyeluruh.
Andi Hamzah, “Pemisahan tersebut hanya penting diketahui oleh
penuntut umum dalam penyusunan surat dakwaan, karena surat dakwaan
cukup berisi bagian inti (bestandeel) delik dan perbuatan nyata terdakwa, jadi
actus reus saja. Bertolak dari pendapat di atas, maka dengan sendirinya juga
sangat penting bagi penasehat hukum untuk menyusun pembelaan. Pada
gilirannya hakim juga perlu untuk memahami konsep ini dalam menyusun
putusan.29
Pasal 1 ayat (1) KUHP menghendaki penentuan tindak pidana hanyalah
berdasarkan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Sekalipun
dalam Rancangan KUHP prinsip ini sedikit banyak disimpangi. Tetapi
penetuan tindak pidana berdasarkan pereaturan perundang-undangan masih
merupakan inti ketentuan tersebut. Dapat dikatakan Nullum Crimen Sine lege
dan Nulla Poena Sine Lega merupakan prinsip utama dari asas legalitas,
sehingga penyimpangannya sejauh mungkin dihindari. Karena itu suatu
perbuatan bagaimanapun bentuknya baru merupakan perbuatan pidana
29 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal.90
Universitas Sumatera Utara
Page 33
24
bilamana perbuatan itu dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dan orangnya diancam dengan pidana.
Penegasan dalam jenis perbuatannya juga diikuti dengan penegasan
terhadap jenis pidananya. Asas ini dikenal dengan”Nullum Dilictum Nulla
Poena Sine Praevina Lege Poenali” (tidak ada delik, tidak ada pidna, tanpa
peraturan lebih dulu) Makna yang terkandung dalam asas legalitas itu ada
tiga pengertian yaitu :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal
itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang.
2. Dalam menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Rumusan tindak pidana juga berisi ancaman pidana atau sanksi yang
diletakkan pada tindak pidana tersebut. Ancaman pidana ini ditunjukkan bagi
orang” yang melakukan tindak pidana.30
Hoven dalam Andi Hamzah,
menyatakan yang dapat dipidana ialah pembuat31
. Ancaman pidana karenanya
ditujukan kepada orang yang melakukan kelakuan yang di larang,
mengabaikan perintah yang seharusnya di lakukan, dan arena perbuatannya
menimbulkan akibat terlarang.
Ancaman pidana tidak ditujukan terhadap perbuatan terlarang tersebut.
Melainkan ditujukkan terhadap orang yang melakukannya. Hal ini
30 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif,( Jakarta :Aksara
Baru, 1983), hal. 234
31
Andi Hamzah, op.cit, hal. 87
Universitas Sumatera Utara
Page 34
25
berdasarkan pada pandangan bahwa hanya oranglah yang dapat memiliki
kesalahan. Kesalahan itu sifat orang, dan bukan sifat dari suatu perbuatan.
“Tiada Pidana tanpa Kesalahan” berarti tiada pemidanaan tanpa kesalahan.
Pemidanaan di timpakan terhadap orang, dan bukan terhadap suatu perbuatan.
Perumusan tindak pidana dalam KUHP tidak sepenuhnya demikian.
Adakalanya ancaman pidana ditujukan terhadap “perbuatannya”. Andi
Hamzah mengatakan, “ancaman pidana di tujukan terhadap orang ternyata
dan rumusan tindak pidana yang dimulai dengan kata, barang siapa”32
. Kata
ini menunjukkan kepada siapa saja “orang” yang melakukan perbuatan yang
dirumuskandalam Pasal tersebut “diancam” dengan pidana. Pasal 111 KUHP
ayat (1) “barang siapa” mengadakan hubungan dengan negara asing, dengan
niat hendak membujuk atau supaya mereka itu bermusuhan atau berperang
dengan Negara ini, atau dengan maksud hendak memperkuat maksud mereka
itu tentang hal itu, atau denagn maksdu menjanjikan pertolongan tentang hal
itu, atau memberi pertolongan dalamhal persiapannya, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 111 ayat (1) KUHP
tersebut, jelas ancaman pidana ditujukkan pada perbuatannya.
Beberapa tindak pidana di luar KUHP, bahwa dirumuskan dengan kata-
kata yang lebih tegas menuju kepada orang. Yaitu : ”setiap orang” yang
menggantikan “barang siapa”. Demikian pula halnya dengan Rancangan
KUHP. Sekalipun kata-kata “setiap orang” disini bukan hanya ditujukan
terhadap perorangan, tetapi juga korporasi. Namun demikian tetap saja
32 Sudarto, Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1995), hal.7.
Universitas Sumatera Utara
Page 35
26
ancaman pidana ditujukan terhadap pembuatanya (baik orang perseorangan
dan.atau korporasi), dan tidak lagi ditinjaukan terhadap perbuatannya. 33
3. Pengertian Pembunuhan
Menurut Lamint beberapa tindak pidana yang terjadi harus diketahui
makna dan definisinya termasuk tindak pidana pembunuhan. Pembunuhan
yang berarti suatu tindakan yang menghilangkan nyawa seseorang dengan
berbagai cara yang melanggar hukum, walaupun tidak melawan hukum.
Pembunuhnya biasanya dilatarbelakangi oleh macam-macam motif misalnya
politik, kecemburuan, dendam, membela diri dan sebagainya.
Pembunuhan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
merupakan kejahatan terhadap nyawa, dimana seseorang menghilangkan
nyawa orang lain secara paksa dan melawan hukum. Perkataan “nyawa” sering
disinonimkan dengan “jiwa”. Kata nyawa dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dimuat artinya sebagai pemberi hidup, jiwa atau roh. Sedangkan kata
jiwa dimuat artinya sebagai roh manusia (yang ada ditubuh dan menyebabkan
hidup), seluruh kehidupan batin manusia. Pengertian nyawa dimaksudkan
adalah yang menyebabkan kehidupan manusia. Pengertian nyawa berarti
menghilangkan kehidupan manusia yang secara umum disebut
“pembunuhan”.34
Kesengajaanya menghilangkan nyawa orang lain oleh Pasal 338 dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan :
33 Andi Hamzah, Hukum Pidana ekonomi, (Jakarta : Erlangga,1996), hal. 26
34
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh,(Jakarta :Sinar
Grafika,200), hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
Page 36
27
“Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen bet leven) adalah berupa
penyerangan terhadap nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi
dan yang merupakan obyek kejahatan ini adalah nyawa (leven) manusia.
Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau
dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu: (1) atas dasar unsur kesalahannya dan (2)
atas dasar obyeknya (nyawa).Atas dasar kesalahannya ada 2 kelompok
kejahatan terhadap nyawa, ialah :35
a. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus
misdrijven), adalah kejahatan yang dimuat dalam Bab XIX KUHP, pasal
338 sampai pasal 350.
b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan tidak dengan sengaja (culpose
misdrijven), dimuat dalam Bab XXI (khusus pasal 359).
Sedangkan atas dasar obyeknya (kepentingan hukum yang dilindungi),
maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 macam,
yakni:
a. Kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat dalam
pasal:338.339.340,344,345.
b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan,
dimuat dalam pasal:341,342, dan 343.
c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu
(janin), dimuat dalam pasal:346,347,348,dan 349.
35Adamai Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,( Jakarta: Rajawali
Press,2010), hal. 55.
Universitas Sumatera Utara
Page 37
28
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
pendekatan Yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan
cara terlebih dahulu meneliti bahan-bahan kepustakaan yang relevan dengan
permasalahan yang akan diteliti.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian Yang dipilih oleh penulis untuk melakukan peneltian
guna mendapatkan bahan-bahan hukum yang akurat adalah berlokasi di Polres
Sibolga , jalan. DR. F.L. Tobing, Kota Beringin no.38, alasan penulis memilih
tempat tersebut adalah terus berulangnya kasus pembunuhan yang bersifat
sadis di wilayah hukum Kepolisan Resort Sibolga, dan ketersedian informasi
mengenai kasus pembunuhan yang ada di wilayah hukum Kepolisian Resort
Sibolga.
3. Sifat penelitian
Penelitian mengenai “Peran Reserse Kriminal Polisi Dalam Mengungkap
Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus di Polresta Sibolga )”, adalah
merupakan penelitian yang bersifat deskriptif yaitu bertujuan menggambarkan
apa adanya secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau
kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk
menentukan ada tidaknya hubungan anatara suatu gejala dengan gejala lain
dalam masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Page 38
29
4. Sumber data
Penlitian ilmu hukum dengan aspek empiris ini menggunakan dua jenis
data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
bersumber dari penelitan lapangan yaitu baik dan responden maupun informan.
Data sekunder adalah suatu data yang bersumber dari penelitian kepustakan
yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber pertamanya melainkan
bersumber dari data-data yang sudah terdokumentasi dalam bentuk bahan-
bahan hukum.
5. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai penelitian Ilmu Hukum dengan Aspek Empiris, maka dalam
teknik pengumpulan data ada beberapa teknik yaitu studi dokumen,
wawancara (interview) :
a. Studi Dokumen
Studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam setiap
penelitian, baik penelitian ilmu hukum dengan aspek epiris maupun
penelitian ilmu hukum dengan aspek normatif, karena meskipun aspeknya
berbeda namun keduannya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu
bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan hukum
yang relevan dengan permasalahan penelitian.
b. Wawancara (Interview)
Wawancara , merupakan salah satu teknik yang sering dan paling lazim
digunakan dalam penelitian ilmu hukum dengan aspek empiris. Dalam
Universitas Sumatera Utara
Page 39
30
kegiatan ilmiah wawancara dilakukan bukan sekedar bertanya pada
seseorang melainkan dilakukan dengan pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan
masalah penelitian kepada responden maupun informan.
6. Analisis Data
Dalam penulisan ini analisis data yang digunakan adalah dengan cara
kualitatif, karena dalam melakukan analisis data ini dalam penelitian deskriptif
maka data yang terkumpul diperoleh dari hasil penelitian langsung kelapangan,
sehingga analisis data ini merupakan penjelasan terhadap penemuan
dilapangan.
Dari penelitian data-data tersebut diatas, penulisan dapat memenuhi
pembahasan skripsi secara metode deduksi yaitu menarik kesimpulan dari fakta
yang bersifat universal kepada fakta yang bersifat reprentatif (dari umum ke
yang khusus). Selain itu dapat pula dilakukan secara metode induksi yaitu
kesimpulan data yang bersifat refresentatif kepada data yang bersifat universal.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini alam membahas tentang Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan Penelitian, Keaslian Penulisan, Metode Penelitian,
Sistematika Penulisan.
Universitas Sumatera Utara
Page 40
31
BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(KUHP)
Pada bab ini penulis menguraikan tentang pengertian pembunuhan
dan bagaimana pengaturan tentang tindak pidana pembunuhan,
serta apa-apa saja sanksi-sanksi terhadap pelaku pembunuhan .
BAB III PERAN RESERSE KRIMINAL POLRESTA SIBOLGA
DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
Pada bab ini membahas dan menguraikan tentang penyelidikan dan
penyidikan dan menganalisa kasus serta .membahas Peran Reserse
Kriminal Reserse Polresta Sibolga dalam mengungkap seseorang
yang melakukan Tindak Pidana Pembunuhan.
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN RESERSE KRIMINAL
POLRESTA SIBOLGA DALAM MENGUNGKAP TINDAK
PIDANA PEMBUNUHAN
Pada bab ini penulis membahas dan menguraikan hambatan-
hambatan yang ditemui oleh Reserse Kriminal Polresta Sibolga
dalam menanggulangi tindak pidana pembunuhan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan membahas kesimpulan merupakan intisari dari
pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini,
Universitas Sumatera Utara
Page 41
32
saran yang ada diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi para
pembacanya dan dapat berguna bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
penegakan hukum.
Universitas Sumatera Utara
Page 42
33
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)
A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Kata pembunuhan berasal dari kata dasar “bunuh” yang mendapat awalan
pe- dan akhiran -an yang mengandung makna mematikan, menghapuskan
(mencoret) tulisan, memadamkan api dan atau membinasakan tumbuh-tumbuhan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa “membunuh
artinya membuat supaya mati, menghilangkan nyawa, sedangkan pembunuhan
berarti perkara pembunuh, perbuatan atau hal membunuh”36
. Dalam peristiwa
pembunuhan minimal ada 2 (dua) orang yang terlibat, orang yang dengan sengaja
mematikan atau menghilangkan nyawa disebut pembunuh (pelaku), sedangkan
orang yang dimatikan atau orang yang dihilangkan nyawanya disebut sebagai
pihak terbunuh (korban).
Pembunuhan termasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa orang lain.
Pembunuhan adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk
menghilangkan nyawa orang lain itu, seseorang pelaku harus melakukan sesuatu
atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain
dengan catatan bahwa opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa
meninggalnya orang lain tersebut.37
36
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka,
2006), hal 194 37
P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung
:Penerbit Sinar Baru,1990 ), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Page 43
34
Tindak pidana pembunuhan itu merupakan suatu tindak pidana materil atau
materieel delict, yaitu suatu tindak pidana yang baru dapat dianggap sebagai telah
selesai dilakukan olehh pelakunya dengan timbulnya akibat terlarang atau yang
tidak dikehendaki oleh undang-undang. Dengan demikian, orang belum dapat
berbicara tentang terjadinya suatu tindak pidana pembunuhan, jika akibat berupa
meninggalnya orang lain itu sendiri belum timbul.
Oleh karena itu, terjadinya adalah hilangnya nyawa orang lain, sehingga
belum bisa dikatakan meninggalnya orang lain tersebut belum terwujud. Bila
tujuan menghilangkan nyawa orang lain tidak terwujud maka baru bisa disebut
percobaan pembunuhan.
Pengaturan-pengaturan mengenai ketentuan pidana tentang kejahatan yang
ditujukan terhadap nyawa orang, kita juga dapat mengetahui bahwa pembentuk
undang-undang telah bermaksud membuat perbedaan antara berbagai kejahatan
yang dapat dilakukan orang terhadap nyawa orang dengan memberi kejahatan
tersebut dalam lima jenis kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang,
masing-masing sebagi berikut :38
a. Kejahatan berupa menghilangkan nyawa orang lain dalam pengertiannya yang
umum, tentang kejahatan mana pembentuk undang-undang selanjutnya juga
masih membuat perbedaan antara kesengajaan menghilangkan nyawa orang
lain yang tidak direncanakan lebih dahulu yang telah diberinya nama doodslag
dengan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan direncanakan
38
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Kesehatan,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal 11-12.
Universitas Sumatera Utara
Page 44
35
lebih dahulu yang disebutnya moord diatur dalam pasal 338 KUHP sedang
moord diatur dalam pasal 340 KUHP.
b. Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seorang anak yang baru
dilahirkan oleh ibunya sendiri. Tentang kejahatan ini selanjutnya pembentuk
undang-undang masih membuat perbedaan anatara kesengajaan menghilangkan
nyawa seorang anak yang dilakukan ibunya sendiri yang dilakukan tanpa
direncanakan lebih dahulu dengan kesengajaan menghilangkan nyawa seorang
anak yang baru dilahirkan oleh ibunya sendiri yang dilakukan dengan
direncanakan lebih dahulu, jenis kejahatan yang disebutkan terlebih dahulu itu
oleh pembentuk undang-undang telah disebut sebagai kinderdoodslag dan
diatur dalam pasal 341 KUHP, adapun jenis kejahatan yang disebutkan
kemudian adalah kindermoord dan diatur dalam pasal 342 KUHP.39
c. Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang atas permintaan,
yang bersifat tegas dan sungguh-sungguh dari orang itu sendiri, yakni
sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 344 KUHP.40
d. Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri
atau membantu orang lain melakukan bunuh diri sebagaimana yang diatur
dalam pasal 345 KUHP
e. Kejahatan berupa kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita atau
menyebabkan anak yang berada dalam kandungan meninggal dunia.
Pengguguran kandungan itu oleh pembentuk undang-undang telah disebut
dengan kata afdrijving. Mengenai kejahatan ini selanjutnya pembentuk
undang-undang membuat perbedaan antara beberapa jenis afdrijving yang
39
Ibid., hal 12 40
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Page 45
36
dipandang dapat terjadi didalam praktik, masing-masing yaitu sebagai berikut
:41
1. Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan atas permintaan
wanita yang mengandung, seperti yang diatur dalam pasal 346 KUHP;
2. Kesengajaan menggugurkan kandungan yang dilakukan orang tanpa
mendapatkan izin terlebih dahulu dari wanita mengandung seperti yang
telah diatur dalam pasal 348 KUHP;
3. Kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita yang pelaksanaanya
dibantu oleh seorang dokter, seorang bidan, atau seorang peramu obat-
obatan, yakni seperti yang diatur dalam pasal 349 KUHP.
B. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan
Tindak pidana pembunuhan dalam hukum Indonesia diatur secara umum
dalam kitab undang-undang hukum pidana. Pengaturan tindak pidana
pembunuhan dalam kitab undang-undang hukum pidana Indonesia terdapat
dalam Bab XIX, yang membahas mengenai kejahatan terhadap nyawa. Pada bab
ini, kejahatan terhadap nyawa diatur dalam pasal 338 sampai dengan pasal 351
KUHP. Kejahatan terhadap nyawa diatur sesuai dengan perbuatan yang dilakukan
oleh pelaku pembunuhan. Dalam hal ini ketentuan yang dimaksud adalah
ketentuan pidana yang di mana di dalamnya berisi aturan yang berisi larangan,
atau keharusan disertai sanksi pidana.
Adapun beberapa unnsur-unsur pembunuhan secara umum yaitu, sebagai
berikut :
41
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Page 46
37
1. Unsur dengan kesengajaan
Dengan sengaja artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan
kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus) yang
dimaksud dalam Pasal 338 KUHP adalah perbuatan sengaja yang telah terbentuk
tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud sengaja dalam
Pasal 340 KUHP adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk menghilangkan
nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan terlebih dahulu.
Secara umum Zainal Abidin Farid menjelaskan bahwa secara umum sarjana
hukum telah menerima tiga bentuk sengaja, yakni :42
a. Sengaja Sebagai Niat
Menurut Anwar mengenai unsur sengaja sebagai niat, yaitu :43
“Hilangnya nyawa seseorang harus dikehendaki, harus menjadi tujuan. Suatu
perbuatan dilakukan dengan maksud atau tujuan atau niat untuk
menghilangkan jiwa seseorang, timbulnya akibat hilangnya seseorang tanpa
dengan sengaja atau maksud, tidak dapat dinyatakan sebagai pembunuhan, jadi
dengan sengaja berarti mempunyai maksud atau niat atau tujuan untuk
menghilangkan jiwa seseorang.”
b. Sengaja Insaf Akan Kepastian
Sedangkan Prodjodikoro berpendapat sengaja sebagai insaf akan kepastian,
sebagai berikut :44
“Kesengajaan semacam ini ada apabila sipelaku, dengan perbuatannya itu
bertujuan untuk mencapai akibat yang akan menjadi dasar dari tindak pidana,
kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu mengikuti perbuatan itu”.
Kesengajaan secara insaf kepastian adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar delic,
42
H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal 262 43
H.A.K Moch Anwar, Hukum Pidan Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid I, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1994), hal 89 44
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung : Refika
Aditama 2003), hal 63
Universitas Sumatera Utara
Page 47
38
tetapi ia tahu dan sadari benar bahwa akibat itu pasti mengikuti perbuatan itu.
Dan apabila itu terjadi, maka menurut teori kehendak (wisltheorie)
menggangapakibat tersebut juga dikehendaki oleh pelaku, karena itu ada
kesengajaan. Sedangkan menurut teori bayangan (voorstelling-theorie) akibat
itu bukan kehendak pelaku tetapi bayangan atau gambaran dalam gagasan
pelaku, bahwa akibat itu psati terjadi, maka juga ada kesengajaan.
c. Sengaja Insaf Akan Kemungkinan
Selanjutnya Lamintang mengemukakan sengaja sebagai insaf akan
kemungkinan, sebagai berikut :45
“Pelaku yang bersangkutan pada waktu melakukan perbuatan itu untuk
menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari
kemungkinan akan timbul suatu akibat, yang dilarang oleh undang-undang
telah menyadari kemungkinan akan timbul suatu akibat lain dari pada akibat
yang memang ia kehendaki.”
Bedanya dengan kesengajaan sebagai niat dan kesengajaan insaf kepastian,
kesengajaan insaf kemungkinan pelaku yang membayangkan kemungkian
belaka. Menurut Van Dijk dan Pompe yang dikutip oleh Wirjono Prodjidokoro
bahwa hanya ada keinsafan kemungkian, tidak ada kesengajaan, tetapi hanya
mungkin ada culpa , atau kurang berhati-hati.
2. Unsur Menghilangkan Nyawa
Unsur pembunuhan yaitu menghilangkan, unsur ini juga diliputi oleh
kesengajaan artinya pelaku harus mengkehendaki dengan sengaja,dilakukannya
45
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Kesehatan,
Op.cit , hal 18.
Universitas Sumatera Utara
Page 48
39
tindakan menghilangkan tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa
tindakannya itu bertujuan menghilangkan nyawa orang lain.
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3 syarat yang
harus dipenuhi, yaitu :46
1. Adanya wujud perbuatan,
2. Adanya suatu kematian orang lain,
3. Adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara perbuatan dan akibat
kematian orang lain.
Menurut Wahyu Adnan mengemukakan bahwa untuk mengetahui unsur
hilangnya nyawa orang lain harus ada perbuatan tersebut, yang dapat
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Akibat dari perbuatan tersebut tidak
perlu terjadi secepat mungkin akan tetapi dapat timbul kemudian47
.
Sedangkan menurut Hermein Hadiati menyebut unsur-unsur tindak pidana
pembunuhan sebagai berikut :48
1. Adanya suatu perbuatan yang menyebabkan matinya orang, hubungan ini ada
dalam alam kenyataan;
2. Adanya kesengajaan yang tertuju kepada terlaksananya kematian orang itu,
hubungan ini ada dalam alam batin
3. Kesengajaan merampas nyawa orang itu dilakukan segera setelah timbulnya
niat (untuk membunuh)
4. Orang lain, unsur yang menunjukkan bahwa merampas nyawa orang itu
merupakan perbuatan positif sekalipun dengan perbuatan yang kecil.
46
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Nyawa dan Tubuh, Op.cit., hal 57 47
Wahyu Adnan, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Bandung : Gunuga Aksara,
2007), hal 45. 48
Hermein Hadiat Koeswadji, Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-Asas, Kasus, dan
Permasalahanya, (Surabaya : PT. Sinar Wiyaya, 1984), hal 22.
Universitas Sumatera Utara
Page 49
40
3. Unsur kelalaian/kealpaan (culpa)
Undang-undang tidak memberikan defenisi apakah kelalaian itu. Hanya
Memori Penjelasan (Memorie Van Toelichting) mengatakan, bahwa kelalaian
(culpa) terletak antara sengaja atau kebetulan. Bagaiamanpun culpa itu dipandang
lebih ringan dibandingkan dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel Suringa
mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelict) sehingga
diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dengan
kebetulan.49
Didalam KUHP biasanya disamping diebut dengan sengaja pada suatu
rumusan disisebut pula delik culpa pada rumusan berikutnya. Disebut
pembunuhan dengan sengaja pada Pasal 338 KUHP yang diancam pidananya
maksimum 15 tahun penjara, pada Pasal 359 KUHP disebut “karena salahnya
menyebabkan orang mati”, yang di Indonesia diancam pidana maksimal 5 tahun.
Ancaman pidana ini sudah diperberat dengan pertimbangan terlalu banyak terjadi
delik ini khususnya yang disebabkan oleh pengemudi mobil. Semula diancam
hanya maksimum satu tahun penjara atau 9 bulan kurungan.50
Para penulis ilmu hukum pidana berpendapat bahwa terjadinya culpa maka
harus diambil sebagai ukuran ialah bagaimanakah sebagain besar orang dalam
masyarakat bersikap tindak dalam suatu keadaan yang nyata-nyata terjadi. Culpa
dibedakan menjadi culpa levissima berarti kealpaan yang ringan sedangkan culpa
lata adalah kealpaan besar, didalam ilmu pengetahuan dikenal kealpaan yang
disadari dan kealpaan yang tidak disadari. Kealpaan yang disadari itu dapat
digambarkan bila seorang yang menimbulkan delik tanpa sengaja dan telah
49
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Op.cit., hal, 125 50
Ibid, hal 127
Universitas Sumatera Utara
Page 50
41
berusaha menghalangi akibat yang terjadi, akan tetapi walaupun demikian
akibatnya tetap timbul juga, sedangkan pada kealpaan yang tidak disadari, orang
yang bersikap tidak membayangkan akibat yang timbul, padahal ia seharusnya
membayangkan.51
Tindak pidana pembunuhan terbagi atas beberapa jenis, diantarnya, menurut
M. Sudrajat Bassar:52
1. Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP)
“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lam lima belas tahun.”
2. Pembunuhan terkualifikasi (gequalificeerd) (Pasal 339 KUHP)
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh suatu perbuatan
pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk melepaskan diri sendiri maupun
peserta lainnya dan pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.”
3. Pembunuhan yang direncanakan (Pasal 340 KUHP)
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun “.
4. Pembunuhan anak (Pasal 341 KUHP)
“Seorang ibu yang takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian , dengan sengaja merampas anaknya,
diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun”.
5. Pembunuhan atas permintaan si korban (Pasal 344 KUHP)
51
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana Untuk Tiap Orang, Op.Cit,
hal 53-54 52
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, (Bandung : Remaja Karya, 1984), hal 12
Universitas Sumatera Utara
Page 51
42
“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”
6. Bunuh diri (Pasal 345 KUHP)
“Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanaya untuk itu, diancam
pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
7. Menggugurkan kandungan (Pasal 346 KUHP)
“Sorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandunganya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.”
Dari ketentuan-ketentuan mengenai pidana tentang kejahatan-kejahatan
yang ditujukan terhadap nyawa orang sebagaimana dimaksudkan diatas, kita juga
dapat mengetahui bahwa pembentuk undang-undang telah membuat pembedaan
antara berbagai kejahatan yang dilakukan orang terhadap nyawa orang dengan
memberikan kejahatan tersebut dalam lima jenis kejahatan yang ditujukan
terhadap nyawa orang masing-masing sebagai berikut :53
1. Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dalam
pengertiannya yang umum, tentang kejahatan mana pembentuk undang-undang
selanjutnya masih membuat perbedaan kesengajaan menghilangkan nyawa
orang yang tidak direncanakan terlebih dahulu yang telah diberi nama doodslag
dengan kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan direncanakan
terlebih dahulu yang telah disebut moord doodslag diatur dalam Pasal 338
KUHP sedang moord diatur dalam Pasal 340 KUHP
2. Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seorang anak baru
dilahirkan oleh ibunya sendiri. Tentang kejahatan itu selanjutnya pembentuk
53
P.A.F Lamintang, Delik-delik khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan,
(Jakarta : Sinar Grafik, 2010), hal 11.
Universitas Sumatera Utara
Page 52
43
undang-undang selanjutnya juga masih membuat perbedaan kesengajaan
menghilangkan nyawa seseorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya yang
dilakukan tanpa direncanakan terlebih dahulu yang telah diberi nama
kinderdoodslag dengan kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang anak
yang baru dilahirkan ibunya sendiri dengan direncanakan terlebih dahulu
disebut kindermoord. Jenis kejahatan yang terlebih dahulu itu oleh pembentuk
undang-undang disebut kinderdoodslag dalam Pasal 341 KUHP dan adapun
jenis kejahatan yang disebut kemudian adalah kindermoord diatur dalam Pasal
342 KUHP.
3. Kejahatan berupa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang
bersifat tegas dan bersungguh-sungguh dari orang itu sendiri, yakni
sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP
4. Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri
atau membantu orang lain melakukan bunuh diri sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 345 KUHP.
5. Kejahatan berupa kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita atau
menyebabkan anak yang berada dalam kandungan meninggal dunia.
Pengguguran kandungan itu yang oleh pembuat undang-undang telah disebut
dengan kata afdrijving. Mengenai kejahatan ini selanjutnya pembuat undang-
undang masih mebuat perbedaan antara beberapa jenis afdrijving yang di
pandangnya dapat terjadi dalam praktik, masing-masing yaitu :
a. Kesengajaan menggugurkan kandungan dilakukan orang atas permintaan
wanita yang mengandung seperti yang telah diatur dalam Pasal 346 KUHP.
Universitas Sumatera Utara
Page 53
44
b. Kesengajaan menggugurkan kandungan orang tanoa mendapat izin dahulu
dari wanita yang mengandung seperti yang telah diatur dalam Pasal 347
KUHP.
c. Kesengajan menggugurkan kandungan yang dilakukan orang dengan
mendapatkan izin terlebih dahulu dari wanita yang mengandung seperti
yang diatur dalam Pasal 348 KUHP.
d. Kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita yang pelaksanaanya
telah dibantu oleh seorang dokter, seorang bidan, atau seorang peramu obat-
obatan, yakni seperti yang diatur dalam Pasal 349 KUHP.
Disamping itu dapat dikualifikasikan macam-macam pembunuhan yaitu,
sebagai berikut ;
1. Pembunuhan Biasa
Tindak pidana pembunuhan diatur dalam Pasal 338 yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena
bersalah telah melakukan pembunuhan dipidana dengan pidana penjara paling
lama lima belas tahun.”
Dari Pasal tersebut dapat diketahui yang menjadi unsur-unsur sebagai berikut :
a. Dengan sengaja ;
b. Menghilangkan nyawa orang lain.
2. Pembunuhan dengan Keadaan yang Memberatkan
Tindak pidana pembunuhan ini diatur dalam Pasal 339 KUHP yang berbunyi :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oelh suatu perbuatan
pidana, yang dilakukan dengan maksud untuk melepaskan diri sendiri maupun
peserta lainnya dan pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk
memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun.”
Universitas Sumatera Utara
Page 54
45
Dari pasal tersebut, unsur-unsur dari tindak pidana pembunuhan dengan
keadaan-keadaan yang memperberatkan sebagai berikut :
a. Dengan sengaja
b. Diikuti, disertai atau didahului tindak pidana lain
c. Pembunuhan itu dlilakukan dengan maksud : mempersiapkan tindak pidana
lain, untuk mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain dan dalam hal
tertangkap tangan ditujukan untuk menghindarkan diri sendiri maupun
peserta lainnya dari pidana serta untuk memastikan penguasaan benda yang
diperoleh secara melawan hukum (dari tindak pidana lain itu).
Unsur diikuti, disertai atau didahului terletak di belakang pembunuhan dan
unsur tersebut diartikan sebagai sebuag kesengajaan menghilangkan nyawa
orang lain, adapun unsur-unsur oogmerk atau maksud juga terletak di belakang
kata pembunuhan, maka itu berarti bahwa di samping unsur-unsur itu harus
didakwakan oleh penuntut umum terhadap terdakwa dan dibuktikan di
persidangan (karena ia meliputi unsur opzet).54
3. Pembuhan berencana
Pembunuhan berencana adalah pembunuha yang paling berat ancaman
pidananya dari seluruh bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam
Pasal 340 yang berbunyi :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun “.
Dari rumusan Pasal tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. Dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu
54
Ibid, hal 46
Universitas Sumatera Utara
Page 55
46
b. Menghilangkan nyawa orang lain.
Pasal 340 KUHP dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur
dalam Pasal 338 KUHP, kemudian ditambah dengan suatu unsur lagi yakni
“dengan rencana terlebih dahulu”. Oleh karena dalam Pasal 340 KUHP
mengulang lagi seluruh unsur Pasal 338 KUHP, maka pembunuhan berencana
dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri (een
zelfstandingmisdrijf) lepas dan lain dengan pembunuhan biasa dalam bentuk
pokok (Pasal 338 KUHP).55
Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3
syarat: 56
a. Memutuskan Kehendak dalam Suasana Tenang
Maksud dari Kehendak dalam Suasana Tenang adalah pada saat
memutuskan kehendak untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana
(batin) yang tenang. Suasana yang tenang tersebut adalah suasana tidak
tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang
tinggi. Sebagai indikatornya ialah sebelum memutuskan kehendak untuk
membunuh itu, telah dipikirkannya dan dipertimbangkanya .
b. Ada Tenggang Waktu yang Cukup
Maksud dari Ada Tenggang Waktu yang Cukup adalah, antara sejak
timbulnya/diputuskannya kehendak sampai pelaksanaan keputusan
kehendak itu. Waktu yang cukup ini adalah relatif. Dalam arti tidak diukur
dari lamanya waktu tertentu melainkan bergantung pada keadaan atau
55
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta : PT. Raja Grafindo,
2001), hal 81 56
Ibid., hal 82
Universitas Sumatera Utara
Page 56
47
kejadian konkret yang berlaku. Tidak perlu singkat, karena jika terlalu
singkat, tidak mempunyai kesempatan lagi untuk berpikir-pikir, karena
tergesa-gesa waktu yang demikan sudah tidak menggambarkan ada
hubungan antara pengambilan putusan kehendak untuk membunuh dengan
pelaksanaan pembunuhan.
c. Pelaksanaan Kehendak (Perbuatan) dalam Suasana Tenang.
Maksud dari Pelaksanaan Kehendak (Perbuatan) dalam Suasana Tenang
yaitu, dalam melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang
tergesa-gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan dan lain
sebagainya.
Tiga syarat dengan rencana lebih dahulu sebagaimana yang diterangkan di
atas, bersifat kumulatif dan saling berhubungan, suatu kebulatan yang tidak
terpisahkan. Sebab bila sudah terpisah/terputus, maka sudah tidak ada lagi
dengan rencana terlebih dahulu.
4. Pembunuhan anak
Pembunuhan anak ini terbagi menjadi 2 yakni pembunuhan akan biasa
(kinderdoodslag) dan pembunuhan anak berencana (kindermoord), berikut
uraiannya :
a. Tindak pidana pembunuhan anak diatur dalam Pasal 341 KUHP yang
berbunyi sebagai berikut :
“Seorang ibu yang takut akan ketahuan melahirkan anak pada saat anak
dilahirkan atau tidak lama kemudian , dengan sengaja merampas anaknya,
diancam karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.”
Universitas Sumatera Utara
Page 57
48
Dari rumsuan mengenai tindak pidana pembunuhan anak, dapat diketahui
bahwa unsur-unsur dari tindak pidana pembunuhan anak yang diatur dalam
Pasal 341 KUHP sebagai berikut :
a. Menghilangkan nyawa anaknya pada saat segera setelah kelahiranya
b. Takut diketahui telah melahirkan anak
Langermeijer berpendapat bahwa ketentuan pidana diatur dalam Pasal 341
KUHP itu juga diberlakukan bagi wanita yang telah menikah, jika wanita
tersebut memang mempunyai alasan untuk merasa takut akan diketahui oleh
orang lain bahwa ia telah melahirkan seorang anak.57
Simons berpendapat mengenai sebab pidana terhadap pelaku dari tindak
pidana yang diancamkan terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan anak
atau kinderdoodslag itu diperinga dibandingkan dengan pidana yang telah
diancamkan terhadap tindak pidana pembunuhan pada umumnya adalah
karena tindak pidana pembunuhann anak pada umumnya telah dilakukan
oleh seorang ibu dengan motif yang tersendiri dan dilakukan dalam keadaan
yang kurang dapat dipertanggungjawabkan (verminderde annsprakelijkheid)
sebagai akibat dair kegoncangan jiwanya (gemoedsbeweging).58
Kegoncangan jiwa dari seorang ibu yang tidak menikah dalam hal itu telah
melahirkan seorang anak di luar pernikahan karena kekhawatirannya
mendapat malu jika diketahui oleh orang lain.
b. Pembunuhan anak berencana (kindermoord) diatur dalam pasal 342 KUHP
yang berbunyi :
57
Noyon-Langemeijer, Het Wetbook (Catatan 1 Pada Pasal 290) dalam P.A.F. Lamintang
dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh dan Kesehatan, (Jakarta : Sinar Grafika,
2010), hal 62 58
Ibid., hal 65
Universitas Sumatera Utara
Page 58
49
“Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut
akan ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak pada saat anak dilahirkan
tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam karena
melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana , dengan pidana
penjara paling lama sembilan tahun”.
Pengambil keputusan kehendak dalam Pasal 342 ini memiliki perbedaan
unsur berencana dengan unsur berencana pada Pasal 340. Perbedaan ini
adalah kalau dalam hal pembentukan kehendak dari moord (Pasal 340)
dilakukan dalam keadaan atau suasana (batin) yang tenang, namun
sebaliknya terbentuknya kehendak dari kindermood (Pasal 342) adalah
suasana (batin) yang tidak tenang karena dalam suasana batin yang
ketakutan akan diketahuinya bahwa ia melahirkan bayi.
Perbedaan utama antara kindermoord dengan kinderdoodslag terletak pada
saat timbulnya keputusan kehendak untuk membunuh bayi. Pada kinderdoodslag,
kehendak itu timbul secara tiba-tiba pada saat bayi sedang dilahirkan atau pada
saat yang tidak lama setelah bayi dilahirkan. Sedangkan pada kindermoord
terdapat tenggang waktu antara sejak timbulnya tanda-tanda akan melahirkan
sampai dengan keluarnya/terpisahnya bayi dari tubuh ibu. Maka diambilnya
keputusan kehendak untuk membunuh itu adalah sebelum tanda-tanda tersebut
timbul. Saat/waktu pengambilan keputusan kehendak sebelum timbulnya pertanda
itu adalah syarat mutlak unsur „berencana‟ dalam pembunhan bayi berencana.
Faktor-faktor atau kondisi yang mempengaruhi seorang ibu sehingga
dengan sengaja menghilangkan nyawa anak yang baru dilahirkan atau tidak
berapa lama setelah dilahirkan adalah sebagai berikut :
a. Dari faktor psikis, yaitu adanya perasaan takut yang mendalam akan
ketahuan bahwa ia akan melahirkan anak, perbuatan itu dilakuakn oleh
Universitas Sumatera Utara
Page 59
50
seorang ibu yang tidak menghendaki anak itu hidup, anak yang dilahirkan
tanpa ayah atau ayah dari anak itu tidak bertanggungjawab.
b. Dari faktor waktu, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh seorang ibu untuk
menghilangkan nyawa anak itu pada saat dilahirkan atau tidak berapa lama
setelah dilahirkan sehingga timbul niat untuk menghilangkan nyawa anak
itu karena merupakan aib yang sangat memalukan.
c. Dari faktor ekonomi, yaitu seorang ibu yang melakukan perbuatan
menghilangkan nyawa nak itu karena dipengaruhi tingkat ekonominya yang
memprihatinkan atau tidak mampu. Jika anak itu lahir ada kekhawatiran
tidak mapu membiayai hidup anak itu, sementara untuk memenuhi
kebutuhan dirinya sehari-hari pun tidak mampu.59
5. Pembunuhan atas permintaan korban
Tindak pidana pempbunuhan atas permintaan dari korban diatur dalam Pasal
344 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.”
Dari rumusan Pasal 344 KUHP ini mempunyai unsur-unsur yaitu:
a. Menghilangkan nyawa orang lain
b. Atas permintaan dan secara tegas dan sungguh-sungguh
Unsur permintaan korban membuktikan bahwa inisiatif untuk membuktikan
pembunuhan itu terletak pada korban sendiri. Permintaan adalah berupa
pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang itu melakukan
perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang meminta..
59
Ismu Gunadi dan Joenadi Efendi, Hukum Pidana, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group,
2014 ), hal 106
Universitas Sumatera Utara
Page 60
51
6. Bunuh diri
Bunuh diri diatur dalam Pasal 345 KUHP yang berbunyi :
“Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya
dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanaya untuk itu, diancam
pidana penjara paling lama empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.”
Unsur-unsur dari rumusan tersebut adalah :
a. Perbuatan mendorong,menolong, memberikan sarana
b. Pada orang untuk bunuh diri
c. Dengan sengaja.
Berdasarkan pada unsur perbuatan, kejahatan Pasal 345 KUHP ini ada 3
bentuk yaitu :60
1. Bentuk pertama, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
mendorong orang lain untuk bunuh diri.
2. Bentuk kedua, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri.
3. Bentuk ketiga, melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan
memberikan sarana pada orang yang diketahui akan bunuh diri
7. Menggugurkan kandungan
Menggugurkan kandungan diatur dalam Pasal 346 KUHP yang berbunyi :
“Sorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandunganya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.”
Unsur-unsur dalam pasal ini yaitu :
a. Dengan sengaja
b. Menggugurkan, mematikan,
60
http://www.negarahukum.com/hukum/kejahatan-terhadap-nyawa.html, diakses pada tanggal 12
juli 2018, pukul 16.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Page 61
52
c. Menyuruh orang lain menggugurkan
d. Menyuruh orang lain mematikan
Penggguguran dan pembunuhan kandungan sebagaimana yang di maksud
dalam Pasal 346 KUHP dilakukan oleh seorang perempuan, terhadap
kandungan nya sendiri. Tidak disyaratkan bahwa kandungan tersebut sudah
terwujud sebagai bayi sempurna dan belum ada proses kelahiran maupun
kelahiran bayi, sebagaimana pada pasal 341 dan 342 KUHP. Berlainan dengan
kejahatan dalam pasal 341 dan 342 KUHP, karena kandungan sudah berwujud
sebagai bayi lengkap, bahkan perbuatan yang dilakukan dalam kejahatan itu
adalah pada waktu sedang dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan maka
dikatakan bahwa pelakunya haruslah ibunya.
Perbuatan menggugurkan kandungan adalah melakukan perbuatan yang
bagaimana pun wujud dan caranya terhadap kandungan seorang perempuan
yang menimbulkan akibat lainnya bayi atau janin dari rahm perempuan
sebelum waktunya dilahirkan menurut alam. Lahirnya bayi atau janin sebelum
waktu inilah yang menjadi maksud si pelaku. Hal yang penting dalam
perbuatan ini adalah bayi atau janin harus keluar dari rahim dan keluarnya
karena paksaan oleh perbuatan, artinya lahir sebelum waktunya menurut alam.
Unsur kesengajaan dalam Pasal 346 ditujukan pada unsur-unsur perbuatan
menggugurkan atau mematikan atau menyuruh orang lain melakukan
perbuatan tersebut pada obyek kandungannya sendiri. Artinya perempuan itu
mengkehendaki dan mengetahui bahwa akibat dari perbuatannya sendiri dan
perbuatan orang lain tersebut dapat menggugurkan dan mematikan
kandungannya.
Universitas Sumatera Utara
Page 62
53
Unsur menyuruh orang lain untuk menggugurkan atau mematikan kandungan,
dalam konteks Pasal 346, istilah menyuruh mempunyai makna yang tidak
sama dengan menyuruh lakukan ( doen plegen) dalam Pasal 55 (1). Istilah
menyuruh dalam Pasal 346 KUHP mempunyai makna yang bersifat harafiah.
Pengertian menyuruh lakukan dalam konteks Pasal 55 (1) menurut Memorie
van Toelichting (MvT) diisyaratkan bahwa orang yang disuruh bahwa orang
yang disuruh merupakan subyek tak berhendak atau pelakunya tidak dapat
dipidana, karena tidak tahu, tunduk pada kekerasan dan karena tersesatkan.
Sedangkan pada Pasal 346 melakukan dapat dijatuhi pidana. Pengertian
menyuruh lakukan dalam Pasal 346 adalah berupa unsur tingkah laku atau
perbuatan yang dilarang dari suatu tindak pidana.
C. Sanksi Pidana terhadapa Tindak Pidana Pembunuhan
Suatu tindak pidana yang sudah jelas oleh undang-undang perbuatanya
dilarang, bagi siapa yang melanggarnya maka akan dikenakan ancaman pidana.
Pembunuhan dalam konteks hukum pidana atas pembunuhan yag dikehendaki
oleh pelaku, pembunuhan karena penganiayaan dan pembunuhan karena kealpaan
dan kelalaian.
Pembunuhan secara terminologi adalah perkara membunuh, perbuatan
membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan pidana
tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur dalam buku II
bab XIX, yang terdiri dari Pasal 13 Pasal , yakni Pasal 338 sampai Pasal 350.61
61
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, ( Jakarta :PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), hal 29
Universitas Sumatera Utara
Page 63
54
Pembunuhan adalah suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang dan/ atau
beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang yang
meninggal dunia.62
Tindak kejahatan merupakan perilaku menyimpang, yaitu
tingkah laku yang melanggar dari aturan-aturan pengertian normative atau dari
harapan-harapan lingkungan sosial yang bersangkutan. Dan salah satu cara untuk
mengendalikan adalah dengan sanksi pidana. Hakikat dari sanksi pidana adalah
pembalasan, sedangkan tujuan sanksi pidana adalah penjeraan baik ditujukan
kepada pelanggar hukum itu sendiri maupun pada mereka yang mempunyai
potensi menjadi penjahat. Selain itu juga bertujuan melindungi masyarakat dari
segaola bentuk kejahtan dan pendidikan atau perbaikan bagi para penjahat.63
Sistem hukuman yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP menyatakan bahwa
hukuman yang dapat dikenakan kepada seorang pelaku tindak pidana terdiri dari :
a. Hukuman Pokok (hoofdstraffen)
1. Hukuman mati
2. Hukuman penjara
3. Hukuman kurungan
4. Hukuman denda
5. Pidana tutupan (berdasarkan undang-undang RI No. 20 Tahun 1946 Berita
Negara RI tahun kedua No.24 tanggal 1 dan 15 November 1946)
b. Hukuman Tambahan (bijkomende straffen)
1. Pencabutan beberapa hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim
62
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal 24 63
Leden Marpaung , Asas-Asas Praktik Hukum Pidana,(Jakarta : Sinar Grafika, 2008),
hal 12
Universitas Sumatera Utara
Page 64
55
Sub-sub sistem hukum seperti disebutkan dalam ketentuan tersebut
sederhana sekali. Tetapi kalau diperhatikan benar-benar, maka kesederhanaanya
menjadi berkurang karena sistem hukuman yang keliatannya sederhana dalam
pelaksanaanya kurang memperhatikan sifat obyektifitas hukumannya yang sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Bahkan hanya dilihat kegunaan untuk
menghukum pelaku tindak pidananya saja. Hal inilah yang kemudain
mengakibatkan terjadinya perbedaan pendapat antar para ahli hukum.64
Adapun sanksi tindak pidana pembunuhan sesuai dengan KUHP bab XIX
buku II adalah sebagai berikut :
a. Pembunuhan biasa, Pasal 338 KUHP diancam dengan hukuman penjara paling
lama lima belas tahun.
b. Pembunuhan terkualifikasi (gequalificeerd) (Pasal 339 KUHP), diancam
dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun.
c. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), diancam dengan hukuman mati
atau penjara seumur hidup atau penjara paling lama dua puluh tahun.
d. Pembunuhan anak (Pasal 341 , 342 KUHP)
Pembunuhan anak ini terbagi menjadi 2 yakni :
1. Pembunuhan anak biasa (kinderdoodslag) (Pasal 341 KUHP), diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
2. Pembunuhan anak berencana (kindermoord) (Pasal 342 KUHP), diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
64
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,( Bandung :
Alumni, 1984), hal 47
Universitas Sumatera Utara
Page 65
56
e. Pembunuhan atas permintaan si korban (Pasal 344 KUHP), diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
f. Bunuh diri (Pasal 345 KUHP), diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
g. Menggugurkan kandungan (Pasal 346 KUHP), diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun.65
65
http://www.suduthukum.com/2014/05/tindak-tindak-pembunuhan-dalam-
kuhp.html?m=1,, diakses pada tanggal 12 juli 2018, pukul 02.00 wib.
Universitas Sumatera Utara
Page 66
57
BAB III
PERAN RESERSE KRIMINAL POLRESTA SIBOLGA DALAM
MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Penyelidikan
1. Pengertian Penyelidikan
a. Penyelidikan berdasarkan Kitab Undang-Undang hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Polisi dalam menjalankan tugasnya dapat dibedakan antara tugas
yang bersifat preventif dan tugas yang bersifat refresif. Tugas yang bersifat
preventif tersebut mengkehendaki kehadiran dan eksitensi Polisi di tengah-
tengah kehidupan masyarakat, dimaksudkan sebagai “upaya prevensi”.
Dengan demikian kehadiran dan keberadaan kepolisian dianggap
mengandung preventif effect yang memilki daya cegah anggota masyarakat
melakukan tindak kriminal. Sedangkan tugas yang bersifat refresif
dilakukan dengan mengadakan penyidikan atas suatu kejahatan dan
pelanggaran menurut ketentuan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana
dan Tindak Pidana Khusus yang diatur di luar KUHP.66
Pengertian penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang.67
66
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2009), hal 90 67
M. Husein Harun, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana,(Jakarta : Rineka
Cipta, 1991), hal 56
Universitas Sumatera Utara
Page 67
58
Sementara itu yang dimaksud dengan penyelidikan menurut Pasal 1
Angka 5 KUHAP adalah sebagai berikut :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindakan pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang”.
Yang dimaksud dengan Penyelidik menurut Pasal 1 angka 4
KUHAP ialah :
”Penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh Undang-Undang ini melakukan Penyelidikan”.
Pengertian penyelidikan menurut KUHAP lebih memandang
cenderung dilakukan pada hakekatnya penyelidikan menurut KUHAP
bertujuan untuk :
1. Mendahului guna mempersiapkan tindakan-tindakan penyidikan yang
akan dilakukan ;
2. Mencegah terjadinya pelanggaran hak warga negara ;
3. Mengatasi penggunaan upaya paksa secara dini ;
4. Menghindarkan penyidik dari kemungkinan timbulnya resiko tuntutan
hukum karena tindakan penyidikan yang dilakukan ;
5. Membatasi dan mengawasi pelaksanaan penyelidikan agar dilakukan
secara terbuka (Pasal 104 KUHAP).68
Berbicara mengenai penyelidikan atau pemeriksaan pendahuluan
menurut KUHAP berarti mengemukakan Penyelidikan dan Penyidikan
Sebagai kewenangan Kepolisian di dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
68
MABES ABRI Kepolisian Negara Republik Indonesia, Himpunan JUKLAK dan
JUKNIS Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana,(Jakarta ,1987), hal, 3.
Universitas Sumatera Utara
Page 68
59
Selanjutnya sesuai dengan Pasal 4 KUHAP yang berwenang melaksanakan
fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat Polisi Republik Indonesia.
Tegasnya, Penyelidik adalah setiap pejabat POLRI. Jaksa atau pejabat
lainnya tidak berwenang dalam melakukan penyelidikan. Penyelidikan
“monopoli tunggal” POLRI.69
Penyelidikan hanya bertugas untuk mengetahui dan menentukan
peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita
acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan
penyidikan.
Menurut M. Husein Harun, “Penyelidikan” dilakukan berdasarkan
pada :
1. Informasi atau laporan yang diterima maupun diketahui langsung oleh
penyelidik/penyidik.
2. Laporan polisi.
3. Berita Acara pemeriksaan tersangka dan atau saksi.70
Adapun proses Penyelidikan dilakukan mempunyai beberapa
tujuan, yaitu :
1. Untuk Mencari keterangan keterangan dan bukti guna menentukan suatu
peristiwa yang dilaporkan atau diadukan, apakah merupakan tindak
pidana atau bukan.
2. Persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan.
69
M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Op.cit. hal
109 70
M. Husein Harun, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana. Op.cit., hal 57
Universitas Sumatera Utara
Page 69
60
Penyelidikan bukanlah fungsi yang berdiri sendiri, melainkan
hanya merupakan salah satu metode atau sub dari fungsi penyidikan.71
Penyelidikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bidang
penyidikan. Tindakan penyelidikan lebih dikategorikan sebagai tindakan
pengusutan sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa
keterangnadan bukti-bukti sesuatu peristiwa yang diduga merupakan tindak
pidana .
Pengertian penyelidikan menurut KUHAP tersebut dapat
disimpulkan bahwa dalam proses penyelidikan ini tujuannya adalah untuk
mencari tahu dan memastikan apakah dalam suatu peristiwa hukum tertentu
telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak. Seperti kita ketahui bahwa tidak
setiap peristiwa yang terjadi diduga sebagi tindak pidana merupakan
tindakan pidana, maka sebelum melangkah lebih lanjut dengan melakukan
penyidikan dengan konsekuensi digunakan upaya paksa maka berdasarkan
data atau keterangan yang didapat dari hasil penyelidikan ditentukan lebih
dahulu bahwa peristiwa yang terjadi dan diduga sebagai tindak pidana itu
benar-benar merupakan tindak pidana sehingga dapat dilanjutkan dengan
penyidikan. Jadi di sini kita lihat bahwa penyelidikan memegang peranan
penting, penyelidikan merupakan tindakan awal, dan tindakan-tindakan
dalam rangka proses penyelesaian perkara itu tergantung pada penyeledikan
yang mengawalinya.72
71
Himpunan Bujuklak, Bujuklap, Bujukmin. Proses Penyidikan Tindak Pidana, Jakarta,
1990, hal 17 72
Djoko Prakoso, POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, (Jakarta :Bina
Aksara,1987), hal,43.
Universitas Sumatera Utara
Page 70
61
b. Penyelidikan berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012
tentang manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
Pengertian Penyelidikan menurut Pasal 1 ayat (9) Perkap no.14
tahun 2012 :
“Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang.”
Dalam Pasal 9 Peraturan Kapolri No. 14. 2012, diatur mengenai
administrasi penyelidikan, yaitu meliputi :73
a. Surat perintah tugas ;
b. Surat perintah penyelidikan, dan ;
c. Laporan Hasil Penyelidikan (LHP).
Kegiatan penyelidikan dilakukan sebelum ada Laporan
Polisi/Pengaduan dan sesudah ada Laporan Polisi/pengaduan atau dalam
rangka penyidikan.74
Kegiatan penyelidikan tersebut dilakukan. Kegiatan
penyelidikan tersebut, merupakan bagian atau salah satu cara dalam
melakukan penyidikan untuk :75
a. Menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana atau
bukan.
b. Membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan pelakunya
c. Dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa.
Menurut Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012, kegiatan penyelidikan yang dimaksud meliputi :76
a. Pengolahan Tempat Kejadian Perkara (TKP).
b. Pengamatan (observasi).
73
Pasal 9 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. 74
Ibid., Pasal 11 ayat (1) 75
Ibid., Pasal 11 ayat (3) 76
Ibid., Pasal 12
Universitas Sumatera Utara
Page 71
62
c. Wawancara (interview).
d. Pembuntutan (surveillance)
e. Penyamaran (under cover).
f. Pelacakan (tracking).
g. Penelitian dan analisa dokumen.
Sasaran dari dilakukannya penyelidikan yaitu meliputi orang,
benda atau barang, tempat, peristiwa/kejadian dan kegiatan. Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, petugas penyelidik wajib melengkapi
dengan surat perintah penyelidikan yang ditandatangani oleh atasan
penyidik dan wajib membuat laporan hasil penyelidikan kepada pejabat
pemberi perintah. Laporan hasil penyelidikan tersebut disampaikan secara
tertulis, atau lisan yang ditindaklanjuti dengan laporan secara tertulis paling
lambat 2 x 24 jam.77
Tim penyelidik terdiri dari ketua, wakil ketua dan anggota.
Personel yang ditunjuk dalam tim penyidik harus memiliki kompetensi,
integritas dan kapabilitas, sesuai dengan perkara yang ditangani.
Pembentukan tim penyelidik tersebut dibentuk dengan surat perintah.
Sebelum melakukan penyelidik wajib membuat rencana
penyelidikan, rencana penyelidikan sebagaimana dimaksud pada Pasal 16
ayat (2) sekurang-kurangnya memuat :78
a. Surat perintah perintah penyelidikan.
b. Jumlah dan identidas penyidik/penyelidikan yang akan melaksanakan
penyelidikan
c. Objek, sasaran dan target hasil penyelidikan
d. Kegiatan yang akan dilakukan dalam penyelidikan dengan metode sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. Peralatan, perlengkapan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan
penyelidikan.
f. Waktu yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan penyelidikan, dan
g. Kebutuhan anggaran penyelidikan.
77
Ibid., Pasal 13 78
Ibid., Pasal 16 ayat (2)
Universitas Sumatera Utara
Page 72
63
Berdasarkan Perkap No. 12 tahun 2012, Penyelidikan dilaksanakan
melalui kegiatan :79
a. Pengolahan TKP, yaitu :
1. Mencari dan mengumpulkan keterangan, petunjuk,barang bukti, identitas
tersangka, dan saksi/korban untuk kepentingan penyelidikan selanjutnya.
2. Mencari hubungan antara saksi/korban, tersangka, dan barang bukti.
3. Memperoleh gambaran modus operandi tindak pidana yang terjadi.
b. Pengamatan (observasi)
1. Melakukan pengawasan terhadap objek, tempat, dan lingkungan tertentu
untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan.
2. Mendapatkan kejelasan atau melengkapi informasi yang sudah ada
berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang diketahui sebelumnya.
c. Wawancara (interview)
1. Mendapatkan keterangan dari pihak-pihak tertentu melaui teknik wawancaar
secara tertutup maupun terbuka.
2. Mendapatkan kejelasan tindak pidana yang terjadi dengan caar mencari
jawaban atas pertanyaan siapa, apa, diaman, dengan apa, mengapa,
bagaimana, dan bilamana.
d. Pembuntutan (surveillance)
1. Mengikuti seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana atau orang
lain yang dapat mengarahkan kepada pelaku tindak pidana
2. Mencari tahu aktifitas, kebiasaan, lingkungan, atau jaringan pelaku tindak
pidana.
3. Mengikuti distribusi barang atau tempat penyimpanan barang hasil
kejahatan.
e. Pelacakan (tracking)
1. Mencari dan mengikuti keberadaan pelaku tindak pidana dengan
menggunakan teknologi informasi.
2. Melakukan pelacakan melalui kerjasama dengan interpol, kementrian/
lembaga/badan/komisi/instansi terkait.
3. Melakukan pelacakan aliran dana yang diduga dari hasil kejahatan.
f. Penyamaran (under cover)
1. Menyusup ke dalam lingkungan tertentu tanpa diketahui identitasnya untuk
memperoleh bahan keterangan atau informasi.
2. Menyatu dengan kelompok tertentu untuk memperoleh peran dari kelompok
tersebut, guan mengetahui aktivitas para pelaku tindak pidana.
3. Khusus kasus peredaran narkoba, dapat digunakan teknik penyamaran
sebagai calon pembeli (under cover buy),penyamaran untuk dapat
melibatkan diri dalam distribusi narkoba samapi tempat tertentu (controlled
delivery), penyamaran disertai penindakan/pemberantasan (raid planning
execution).
79
Ibid., Pasal 24.
Universitas Sumatera Utara
Page 73
64
g. Penelitian dan analisa dokumen, yang dilakukan terhadap kasus-kasus tertentu
dengan cara :
1. Mengkompulir dokumen yang diduga ada kaitan dengan tindak pidana.
2. Meneliti dan menganalisis dokumen yang diperoleh guna menyusu anatomi
perkara tindak pidana serat modus operandinya.
Penyelidikan ini dilakukan pada saat sebelum ditentukan
tersangkanya sebagai pelaku kejahatan. Sedangkan, penyidikan
dilakukan setelah diketahui tersangkanya sebagai pelaku kejahatan
tersebut.
2. Fungsi dan Wewenang Penyelidik
Sebagai alat negara yang menjalankan fungsinya dalam penegakan
hukum, di bidang peradilan, Polisi berperan dalam mengadakan penyelidikan
dan penyidikan terhadap suatu perkara pidana menurut ketentuan-ketentuan
yang ada di dalam KUHAP dan peraturan negara lainnya
Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang diperinci
pada Pasal 5 KUHAP. Dalam buku Yahya Harahap, beliau membagai dan
menjelaskan fungsi dan wewenang aparat penyelidik dari dua sudut pandang
yang berbeda sesuai dengan bunyi pasal tersebut, yaitu berdasarkan hukum dan
perintah penyidik..80
Dalam menjalankan tugasnya sebagai Penyelidik dalam suatu perkara
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP, Polisi berwenang
untuk:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
2. Mencari keterangan dan barang bukt i;
80
https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/penyelidikan-dan-penyidikan-
oleh-rahmat-yudistiawan/, diakses pada hari sabtu 21 juli 2018 pukul 21.40 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Page 74
65
3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Menerima Laporan dan Pengaduan, berangkat adanya laporan atau
pengaduan atas tindak pidana kepada pihak yang berwenang melakukan
penyelidikan, laporan dan pengaduan dalam perkara pidana diatur dalam Pasal
1 butir 24 dan 25 KUHAP tentang pengertian laporan dan pengaduan.
Menurut Pasal 103 jo Pasal 108 KUHAP dijelaskan bahwa :
a. Pasal 103 KUHAP :
1. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
2. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik
3. Dalam hal laporan atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu harus
disebutkan sebagai catatan dalam lapran atau pengaduan tersebut.
b. Pasal 108 KUHAP :
1. Setiap orang yang mengalami , melihat, menyaksikan dan menjadi
korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk
mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan penyidik
baik lisan maupun tertulis.
2. Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu
juga melaporkan hal tersebut kepada penyidik atau penyelidik.
Universitas Sumatera Utara
Page 75
66
3. Setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang
mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana,
wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik
4. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara terrulis harus
ditandatangani oleh pelapor atau pengadu
5. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik
6. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik
harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan
kepada yang bersangkutan.
Proses selanjutnya, apabila pejabat yang berwenang (melakukan
penyelidikan) menerima pemberitahuan (baik berupa pengaduan ataupun
laporan), maka ia wajib segera melakukan langkah-langkah guna mengetahui
sejauh mana kebenaran atas pemberitahuan tersebut.81
Mencari Keterangan dan Barang Bukti, setelah diketahui yang
diberitahukan kepadanya itu memang benar-benar telah terjadi, maka
penyelidik harus mengumpulkan segala data dan fakta yang berhubungan
dengan tindak pidana tersebut. Berdasarkan data dan fakta yang diperolehnya
penyelidik dapat menentukan apakah peristiwa itu benar merupakan tindak
pidana dan apakah terhadap tindak pidana tersebut dapat dilakukan
penyelidikan. Hasil yang diperoleh dengan dlaksanakannya penyelidikan
81
Hamrat Hamid dan Harun M. Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang
Penyidikan, (Jakarta :Sinar Grafika, 1992), hal 18
Universitas Sumatera Utara
Page 76
67
tersebut menjadi bahan yang diperlukan penyidik atau penyidik pembantu
dalam melaksanakan penyidikan.82
Menyuruh berhenti orang yang dicurigai, menyuruh berhenti orang
yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Ketika
ada seseuatu yang dicurigai melakukan tindakan tersebut maka polisi sebagai
penyelidik berhak untuk melakukan tindakan menyuruh berhenti orang yang
dicurigai tersebut.
Akan tetapi jika mengalami kesulitan dalam melakukan tindakan
tersebut diatas, maka satu-satunya jalan yang dapat dibenarkan hukum, pejabat
penyelidik harus cepat-cepat mendatangi pejabat penyidik atau lebih
efisiensinya penyelidik mempersiapkan kian “surat perintah” penangkapan atau
surat perintah “membawa dan menghadapkan” orang yang dicurigai ke muka
penyidik.
Tindakan Lain Menurut Hukum, kewenangan berdasarkan perintah
penyidik. Tindakan yang dilakukan penyelidik dalam hal ini, tepatnya
merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik, yaitu berupa :
1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
2. Pemeriksaan dan penyitaan surat
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
B. Penyidikan
1. Pengertian penyidikan
82
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Cet. Ke-2,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 99.
Universitas Sumatera Utara
Page 77
68
a. Penyidikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Istilah penyidikan yang sinonim dengan istilah pengusutan,
merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu “opsporing” atau dalam
bahasa Inggris disebut dengan “investigation”.83
Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 KUHAP,
yang berbunyi :
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang ada dengan bukti itu membuat terang tentang
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Dari rumusan tersebut diatas kita dapat melihat unsur-unsur dari
tindakan penyidikan, yaitu :
1. Merupakan serangkaian tindakan
2. Dilakukan oleh penyidik
3. Dalam hal yang diatur dalam KUHAP
4. Menurut cara yang diatur dalam KUHAP
5. Untuk mencari dan mengumpulkan bukti dan guna membuat terang
suatu tindak pidana dan siapa tersangkanya.84
Tujuan penyidikan adalah untuk menunjuk siapa yang telah
melakuka kejahatan dan memberikan pembuktian-pembuktian mengenai
masalah yang telah dilakukannya. Untuk mencapai maksud tersebut maka
83
Yan Pramudya Puspa, Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda-Indonesia-
Inggris, (Semarang : CV Aneka, 1977), hal. 645. 84
D.P.M. Sitompul, dan Edwar Syahperenong, Hukum Kepolisian di Indonesia suatu
Bunga Rampai, (Bandung: Transito, 1985), hal 65
Universitas Sumatera Utara
Page 78
69
penyidik akan menghimpun keterangan dengan fakta atau peristiwa-
perisitwa tertentu.85
Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat 2 KUHAP, unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian penyidikan adalah :
a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung
tindakan-tindakan yang antara satu dengan yang lain saling
berhubungan.
b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik
c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan
menemukan tersangkanya.
Berdasarkan keempat unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa
sebelum penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana itu belum terang
dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana
yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.86
Secara konkret, tindakan penyidikan merupakan tindakan penyidik
untuk mendapatkan keterangan mengenai :87
1. Tindak pidana yang telah dilakukan;
2. Tempat tindak pidana dilakukan;
3. Waktu tindak pidana dilakukan;
4. Cara tindak pidana dilakukan;
5. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan;
6. Mengapa tindak pidana itu dilakukan; dan
85
M. Husein Harun, Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana, Op.cit., hal 58 86
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang :
Bayumedia Publishing, 2005), hal 380-381. 87
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya, (Bandung : PT Alumni, 2007), hal. 55
Universitas Sumatera Utara
Page 79
70
7. Siapa pelakunya.
Yang dimaksud penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan.
Disamping yang diatur dalam Pasal 1 butir ke-1 KUHAP dan Pasal
6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik
pembantu disamping penyidik.88
dalam Pasal 6 ayat 2 diatur mengenai
siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai penyidik ditinjau
dari segi instansi maupun kepangkatan. Yang berhak diangkat sebagai
pejabat penyidik berdasarkan ketentuan Pasal 6 KUHAP antara lain
adalah :
a. Pejabat Penyidik Polri
Menurut penjelasan Pasal 6 ayat 2, kedudukan dan kepangkatan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan
dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim
peradilan umum. Peraturan pemerintah yang mengatur masalah
kepangkatan penyidik adalah berupa Peraturan Pemerintah No. 27
tahun 1983, syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidikan
sebagai berikut :
1. Pejabat Penyidik Penuh
Syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan , yaitu :
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan dua Polisi.
88
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Op.cit., hal
110
Universitas Sumatera Utara
Page 80
71
b. Atau yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua
apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik
yang berpangkat Pembantu Letnan Dua.
c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik
Indonesia.
2. Penyidik Pembantu
Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah
pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh
Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur dengan
peraturan pemerintah.89
Menurut Pasal 3 PP Nomor 27 tahun 1983, syarat kepangkatan untuk
dapat diangkat sebagai penyidik pembantu :
a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi
b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara
dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda
(Golongan II/a).
c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul
komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan
wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka
miliki bersumber pada undang-undang pidana khusus, yang telah
menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu
pasal.
89
Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, dan Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana
Bagian Umum dan Penyidikan, (Yogyakarta: Liberty), hal 19.
Universitas Sumatera Utara
Page 81
72
Adapun wewenang Polisi sebagai penyidik sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal
diri tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggledahan, dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik bertindak
berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu Penyidik wajib membuat
berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75 KUHAP) tentang :
a. Pemeriksaan tersangka
b. Penangkapan
c. Penahanan
d. Penggeledahan
e. Pemasukan rumah
f. Pemeriksaan surat
g. Pemeriksaan saksi
h. Pemeriksaan tempat kejadian
i. Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan
j. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.
b. Penyidikan berdasarkan Peraturan Kapolri No. 14 tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Pengertian Penyidikan menurut Pasal 1 ayat (2) Perkap No. 14
tahun 2012 , adalah:
“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Universitas Sumatera Utara
Page 82
73
Yang dimaksud dengan penyidik, pada Pasal 1 ayat (4) tersebut
adalah :
“Penyidik adalah Pejabat Polri yang diberi wewenang khusus oleh undang-
undang untuk melakukan penyidikan”.
Penyidikan tindak pidana dilaksanakan berdasarkan laporan polisi
dan surat perintah penyidikan.90
Selanjutnya memulai kegiatan penyidikan
yang dilaksanakan secara bertahap meliputi penyelidikan, pengiriman
SPDP, upaya paksa, pemeriksaan, gelar perkara, penyelesaian berkas
perkara, penyerahan berkas perkara ke penuntut umum, penyerahan dan
barang bukti, dan penghentian penyidikan.91
Sebelum melakukan penyidikan , penyidikan wajib membuat
rencana penyidikan yang diajukan kepada atasan penyidik secara
berjenjang sekurang-kurangnya memuat jumlah dan identitas penyidik,
sasaran/target penyidikan, kegiatan yang akan dilakukan sesuai tahap
penyidikan, karakteristik dan anatomi perkara yang akan disidik, waktu
penyelesaian penyidikan berdasarkan bobot perkara, kebutuhan anggaran
penyidikan, dan kelengkapan administrasi penyidikan.
2. Fungsi dan Wewenang Penyidikan
Fungsi penyidikan sebagaimana tugas dan tujuan dari hukum acara
pidana ialah mencari dan menemukan kebenaran materil yaitu kebenaran
manurut fakta yang sebenarnya. Abdul Mun‟in Idris dan Agung Legowo
Tjiptomartono mengemukakan mengenai fungsi penyidikan sebagai berikut :
“fungsi penyidikan adalah merupakan fungsi teknis reserse kepolisian yang
90
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 14 ayat (1) 91
Ibid., Pasal 15
Universitas Sumatera Utara
Page 83
74
mempunyai tujuan membuat suatu perkara menjadi jelas, yaitu dengan mencari
dan menemukan kebenaran materil yang selengkap-lengkapnya mengenai
suatu perbauatan pidana atau tindak pidana yang terjadi.92
Sedangkan R. Soesilo menyamakan fungsi penyidikan dengan tugas
penyidikan sebagai berikut :”Sejalan dengan Tugas Hukum Acara Pidana maka
tugas penyidikan perkara adladh mencari kebenaran materil yaitu kebenaran
menurut fakta yang sebenar-benarnya”.93
Dari pendapat di atas, dapat simpulkan bahwa fungsi penyidikan
adalah untuk mencari dan mengumpulkan fakta dan bukti sebanyak-banyaknya
untuk mencapai suatu kebenaran materil yang diharapkan dan untuk
menyakinkan bahwa suatu tindak pidana tertentu telah dilakukan.94
Adapun wewenang Polisi sebagai penyidik sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:
a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak
pidana;
b. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
i. Mengadakan penghentian penyidikan;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
3. Upaya Paksa dalam Penyidikan
92
http://jurnalapapun.blogspot.com/2014/11/fungsi-penyidikan.html, diakses Minggu
tanggal 15 Juli 2018 pukul 13.20 WIB. 93
Ibid. 94
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Page 84
75
Dalam melakukan penyidikan, dapat dilakukan upaya paksa yang
meliputi pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaa,
pemeriksaan surat.95
Upaya paksa merupakan salah satu kegiatan penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik POLRI, sebagaimana dalam Pasal 15 Peraturan
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012, yaitu
kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi :96
a. Penyelidikan
b. Pengiriman Surat Pembertiahuan Dimulainya Penyidikan ( SPDP)
c. Upaya paksa
d. Pemeriksaan
e. Gelar perkara
f. Penyelesaian berkas perkara
g. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum
h. Penyerahan tersangka dan barang bukti, dan
i. Penghentian penyidikan.
Pada Pasal 26 menyatakan bahwa upaya paksa sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 15 huruf c tersebut, meliputi :97
a. Pemanggilan
b. Penangkapan
c. Penahanan
d. Penggeledahan
e. Penyitaan
f. Pemeriksaan surat.
A.d. a. Pemanggilan
Dalam Pasal 27 Peraturan Kepala Kepolisian Nomor 14 Tahun 2012,
berbunyi :98
1. Pemanggilan dilakukan secara tertulis dengan menerbitkan surat panggialn
atas dasar laporan polisi, laporan hasil penyelidikan, dan pengembangan
hasil pemeriksaan yang tertuang dalam berita acara.
95
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahum 2012, Pasal
26 96
Ibid., Pasal 15 97
Ibid., Pasal 26 98
Ibid., Pasal 27
Universitas Sumatera Utara
Page 85
76
2. Surat penggilan tersebut ditandatangani oleh penyidik atau atasan
penyidik selaku penyidik
3. Surat panggilan disampaikan dengan memperhitungkan tenggang waktu
yang cukup paling lama 3 (tiga) hari sudah diterima sebelum waktu untuk
datang memenuhi panggilan.
4. Surat panggilan sedapat mungkindiserahkan kepada yang bersangkutan
disertai dengan tanda terima, kecuali dalam hal :
a. Yang bersangkutan tidaka ada ditempat, surat panggilan diserahkan
melalui keluarganya, kuasa hukum, Ketua RT/RW/lingkungan, atau
Kepala Desa atau orang lain yang dapat menjamin bahwa surat
panggilan tersebut segera akan disampaikan kepada yang brsangkutan;
dan
b. Seseorang yagn dipanggil berada di luar wilayah hukum kesatuan
POLRI yang memanggil, maka surat panggialn dapat disampaikan
melalui kesatuan POLRI tempat tinggal yang bersangkutan atau
dikirimkan melalui pos/jasa pengiriman surat dengan disertai bukti
penerimaan pengiriman.
5. Dalam hal yang dipanggil tidak datang kepada penyidik tanpa alasan yang
sah, penyidik membuat surat panggilan kedua.
6. Apabila panggilan kedua tidak datang sesuai waktu yang telah ditetapkan,
penyidik menerbitkan surat perintah membawa.
Tersangka yang telah dipanggil untuk pemeriksaan dalam rangka
penyidikan perkara sampai lebih dari 3 (tiga) kali dan ternyata tidak jelas
Universitas Sumatera Utara
Page 86
77
keberadaannya, dapat dicatat di dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) dan
dibuat Surat pencarian Orang.
A.d.b. Penangkapan
Penangkapan dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembatu terhadap
orang yang diduga keras melakukan tindak pidaan berdasarkan bukti
permulaan yang cukup. Penangkapan tersebut wajib dilengkapi dengan surat
perintah penangkapan yang ditandatangani oleh atasan penyidik selaku
penyidik. Tembusan surat perintah penangkapan wajib disampaikan kepada
keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum setelah tersangka tertangkap.99
Tindakan penangkapan terhadap tersangka dilakukan dengan
pertimbangan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Kepala
Kepolisian Nomor 14 Tahun 2012, yaitu sebagai berikut :100
a. Adanya bukti permulaan yang cukup, dan
b. Tersangkanya dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut tidak hadir tanpa alasan
yang patut dan wajar.
A.d. c. Penahanan
Penahanan adala penempatan tersangka atau terdakwa di temapt
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini (Pasal 1 angka 21 KUHAP). Adapun tujuan dilakukan penahanan
diatur dalam Pasal 20 KUHAP , yaitu :101
1. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas
perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Mengenai ukuran
99
Ibid., Pasal 33 100
Ibid., Pasal 36 ayat (1). 101
Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Medan : USU Press,
2009), hal 21
Universitas Sumatera Utara
Page 87
78
kepentingan penyidikan pada dasarnya ditentukan oleh kenyataan
keperluan pemeriksaana penyidikan itu sendiri secara objektif.
Tergantung kepada kebutuhan tingkat upaya penyidik untuk
menyelesaikan penyidikan sampai tuntas dan sempurna. Ketika
penyidikan selesai maka penahanan tidak lagi diperlukan.
2. Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum, bertujaun untuk
kepentingan penuntutan.
3. Penahanan yang dilakukan oleh peradilan, dimaksud untuk kepentingan
pemeriksaan di tingkat pengadilan. Hakim berwenang melakukan
penahanan dengan penetapan yang di dasarkan kepada perlu tidanya
penahanan dilakukan sesuai dengan kepentingan pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Pasal 43 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Nomor 14 Tahun 2012,
berbunyi :102
1. Penahanan dilakukan oleh penyidik terhadap orang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup.
2. Prosedur dan teknis penahanan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
3. Tanggung jawab hukum terhadap tersangka yang ditahan berada pada
penyidik yang mengeluarkan surat perintah penahanan, sedang tanggung
jawab mengenai kondisi fisik tersangka yang ditahan berada pada Kepala
Rumah Tahanan.
Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan
pertimbangan sebagai berikut :103
a. Tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri
b. Tersangka dikhawatirkan dakan mengulangi perbuatannya
c. Tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan
102
Ibid., Pasal 43. 103
Ibid., Pasal 44.
Universitas Sumatera Utara
Page 88
79
d. Tersangka diperkirakan mempersulit.
A.d. d. Penggeledahan
Penggeledahan adalah suatu tindakan pemeriksaan untuk
mengumpulkan barang dan bukti dan informasi terkait dengan sebuah perkara
hukum. Tindakan penggeledahan termasuk dalam upaya paksa yang
wewenangnya diberikan kepada penyidik. Tindakan pemeriksaan ini
dilakukan terhadap tempat tertutup (rumah. gedung, dan sejenisnya) atau
badan seseorang.104
Pasal 55 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Nomor 14 Tahun 2012,
berbunyi :105
1. Penggeledahan dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap
badan/pakaian dan rumah/tempat lainnya.
2. Penyidik yang melakukan penggeledahan wajib dilengkapi dengan surat
perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan
penyidik selaku penyidik
3. Penggeledahan dilaksanakan untuk kepentingan penyidikan guna mencari
dan menemukan barang bukti dan/atau penangkapan tersangka.
4. Penggeledahan pakaian dan/atau badan terhadap wanita dilakuakan oelh
polisi wanita atau wanita yang diminta bantuannya oleh
penyidik/penyidik pembantu
5. Prosedur dan teknis penggeledahan dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-udangan.
A.d. e. Penyitaan
Penyitaan dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu terhadap
benda/barang atau tagihan tersangka yang berkaitan dengan perkara yang
104
Imam Sopyan Abbas, Tahukah Anda ? Hak-Hak Saat Digeledah, (Jakarta : Dunia
Cerdas, 2013), hal 93. 105
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 tahum 2012,
Pasal 55
Universitas Sumatera Utara
Page 89
80
ditangani untuk kepentingan penyidikan.106
mengenai benda sitaan , yaitu
:107
1. Terhadap benda/barang sitaan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan
memerlukan perawatan dengan biaya tinggi dapat dititip rawat kepada
orang yang berhak atau orang dari mana benda itu disita.
2. Terhadap benda/barang sitaan berupa narkoba, benda yang mudah rusak,
dan berbahaya, prosedur penanganannya dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-udangan.
3. Dalam hal setalah dilakukan penyitaan , diketahui bahwa benda yang tidak
terkait dengan perkara yang ditangani, penyidik/penyidik pembantu segera
mengembalikan kepada orang dari mana benda itu disita, dengan
dilengkapi berita acara yang ditandatangani oleh penyidik/penyidik
pembantu dan yang menerima.
C. Analisa Kasus-kasus Pembunuhan
1. Kasus Pembunuhan berdasarkan Laporan Polisi Nomor :
LP/163/VII/2015/SU/ Res Sbg, tanggal 01 Agustus 2015
Pada Hari sabtu tanggal 01 Agustus 2015 sekira pukul 14.00 WIB,
Buala‟aro Lafao pergi bersama dengan istri nya yang bernama Erika
Br.Aritonang untuk bekerja mencari barang-barang bekas dan ditengah
perjalanan Buala‟aro Lafao pergi menuju rumah korban Arosokhi Lase ALS
Ama Fitri untuk meminta sirih dan sesampainya di depan rumah Aroskhi Lase
ALS Ama Fitri, Buala‟aro Lafao melihat Arosokhi Lase ALS Ama Fitri sedang
bekerja menggunting barang bekas berupa aqua, ketika melihat saya (buala‟aro
Lafao) Arosokhi Lase ALS Ama Fitri pun keluar dari dalam rumahnya dan
memarahi saya dan menuduh saya selingkuh dengan istri korban lalu kami pun
bertengkar mulut, dan tidak lama kemudian istri korban yang bernama Murni
Ati Zai datang dan Arosokhi Lase ALS Ama Fitri pun marah dan mengejar lalu
memukul Murni Ati Zai, melihat korban memukul istrinya sayapun segera
memisahkan mereka namun korban marah dan langsung memukul saya sambil
106
Ibid., Pasal 60 ayat (1) 107
Ibid., Pasal 61.
Universitas Sumatera Utara
Page 90
81
memegang sebilah gunting di tangan kirinya lalu meninju saya dan kami pun
berkelahi kemudian saya pun mengambil kayu dan memukulkannya ke bagian
lengan korban sehingga gunting yang berada ditangan korbanpun jatuh, namun
korban kembali memukul saya dan sayapun membalasnya dengan mengambil
pisau yang sudah saya selipkan di pinggang sebelah kanan saya lalu
menikamkan pisau tersebut kearah punggung sebelah kanan korban sebanyak 1
(satu) kali selanjutnya menikamkan pisau tersebut ke bagian rusuk sebelah kiri
korban sebanyak 1(satu) kali.
Dalam kasus ini unit reserse yang bertugas adalah Bripka Rudi
Agustinus Tampubolon selaku penyidik pembantu. Barang bukti dalam kasus
ini, penyidik menemukan sebilah pisau yang disembunyikan oleh tersangka di
dalam rumahnya yang jaraknya tidak jauh dari tempat kejadian perkara dan
sebuah kayu berukuran 1 (satu) meter yang ditemukan di tempat kejadian
perkara.
Menurut keterangan Penyidik, motif tersangka melakukan
pembunuhan yaitu balas dendam karena tersangka dan korban pernah
berselisih paham sebelumnya dan korban menuduh tersangka telah
berselingkuh dengan istri korban. Setelah tersangka melakukan aksinya,
tersangka langsung menyerahkan diri kepada pihak Kepolisian.
Menurut keterangan penyidik, pada saat dilakukan penyidikan yang
terutama adalah olah TKP. Penyidikannya pun relatif cepat karena dari olah
TKP, keterangan saksi, dan barang bukti semua mengarah ke tersangka
Danang.
Universitas Sumatera Utara
Page 91
82
Berdasarkan Berdasarkan hasil penyidikan, maka tersangka Buala‟aro
Lafao diduga kuat telah melakukan tindak pidana dengan sengaja
menghilangkan jiwa orang lain dan atau penganiayaan mengakibatkan matinya
orang ( Pasal 338, 351 ayat (3), KUHP).
2. Kasus Pembunuhan Berdasarkan Laporan Polisi Nomor :
LP/216/XI/2014/SU/ Res Sbg, tanggal 01 November 2014
Pada hari Sabtu tanggal 01 November 2014 sekira pukul 19.30 wib
saat itu saya berada dirumah saya sedang menasehati adik kandung perempuan
saya, namun adik kandung perempuan saya tersebut bicaranya sangat kuat
hingga HERRYZON HUTABARAT yang berada di depan rumah saya masuk
ke dalam rumah dan mengatakan kepada saya “kok ribut kau” sambil memukul
saya sehingga saya dan HERRYZON HUTABARAT pun berkelahi namun
dipisahkan oleh ibu kandung saya juga merupakan ibu kandung HERRYZON
HUTABARAT, setelah itu HERRYZON HUTABARAT keluar rumah sambil
bicara kasar tentang saya, lalu saya pergi ke dapur untuk mengambil es kosong
dan saya melihat sebelah pisau berada di tempat cabe kemudian mengambil
pisau tersebut dan saya selipkan di pinggang belakang saya , lalu saya pergi ke
depan pintu, dan saya selipkan di pinggang belakang saya, lalu saya pergi ke
depan pintu, dan saya masih mendengar HERRYZON HUTABARAT masih
tetap ribut-ribut (ngomel-ngomel) di depan rumahnya lalu saya datang
menemui HERRYZON HUTABARAT namun HERRYZON HUTABARAT
menyerang dengan memukul saya sehingga saya dan HERRYZON
HUTABARAT berkelahi kemudian saya terjatuh dan HERRYZON
HUTABARAT mencekik leher saya, lalu saya mengambil sebilah pisau di
Universitas Sumatera Utara
Page 92
83
pinggang saya kemudian saya menikamkan pisau tersebut kearah pelipis mata
kiri HERRYZON HUTABARAT sebanyak satu kali hingga pelipis mata kiri
HERRYZON HUTABARAT sebanyak satu kali hingga pelipis mata kiri
HERRYZON HUTABARAT mengalami luka robek, lalu saya kembali
menikam dada bagian kanan HERRYZON HUTABARAT sebanyak satu kali
hingga pisau saya tersebut menembus dan merobek dada bagian kanan
HERRYZON HUTABARAT, setelah HERRYZON HUTABARAT terjatuh
dan berlumuran darah, kemudian saya pergi ke jalan baru untuk menenangkan
diri dan sesampainya disana, Saya duduk di sebuah teras cafe dan tidak lama
kemudian RAMSES MANULLANG datang menemui saya dan mengatakan
kepada saya bahwa abang saya telah meninggal dunia, kemudian kami pergi
ketempat family yang berada di daerah Aek Korsik.
Dalam kasus ini unit reserse yang bertugas adalah Bripka Rudi
Agustinus Tampubolon selaku penyidik pembantu. Barang bukti dalam kasus
ini, sebilah pisau yang bergagang kayu, 1 (satu) buah jaket warna hitam merk
Adidas, satu buah kaos oblong warna orange yang berlumuran darah, satu buah
kaos kutang warna putih yang berlumuran darah,
Menurut keterangan Penyidik, motif tersangka melakukan
pembunuhan yaitu balas dendam karena tersangka dan korban pernah
berselisih paham sebelumnya dan korban dan tersangka terlibat cek cok mulut
yang berujungnya perkelahian hingga tewasnya korban.
Menurut keterangan penyidik, kendala dalam pengungkapan kasus ini
adalah pencarian dan penangkapan karena tersangka melarikan diri ke Aek
Universitas Sumatera Utara
Page 93
84
Korsik bersama Ramses Manullang, Ramses Manullang yang sebenarnya tidak
terlibat. Namun berkat kerjasama Polisi dalam hal ini Penyidik sangat baik dan
cepat, maka akhirnya kedua tersangka dapat dibekuk dan tanpa kesulitan.
Berdasarkan Berdasarkan hasil penyidikan, maka tersangka Amosen Hutabarat
diduga kuat telah melakukan tindak pidana dengan sengaja menghilangkan
jiwa orang lain dan atau penganiayaan mengakibatkan matinya orang ( Pasal
340,338, 351 ayat (3) KUHP).
D. Peran Reserse Kriminal Polresta Sibolga Dalam Mengungkap Tindak
Pidana Pembunuhan
Adapun langkah-langkah yang dilakukan Pihak Kepolisian khususnya
Satuan Reserse Kriminal dalam menemukan dan mengungkap Tindak Pidana
Pembunuhan adalah :
1. Melakukan Penyelidikan
Setelah suatu peristiwa tindak pidana pembunuhan diketahui oleh pihak
kepolisian maka pihak kepolisian segera melakukan suatu tindakan Penyelidikan
terhadap tindak pidana tersebut, kegiatan penyelidikan ini dimaksudkan untuk
mencari dan mengumpulkan barang bukti permulaan atau barang bukti yang
cukup guna dilanjutkan kegiatan penyidikan, penyelidikan ini dapat disamakan
tindakan pengusutan sebagi usaha mencari dan menemukan jejak berupa
keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana.
Pihak kepolisian yang menangani adalah Penyelidik Reserse, dimana yang
berwenang untuk melakukan penyelidikan reserse adalah setiap pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia yang ditugaskan untuk menangani hal tersebut.
Sasaran penyelidikan ialah orang, benda/barang, tempat kejadian. Penyelidikan
Universitas Sumatera Utara
Page 94
85
yang dilakukan oleh Unit Reserse Umum dilakukan secara terbuka sepanjang hal
itu dapat menghasilkan keterangan-keterangan yang diperlukan dan dilakukan
secara tertutup apabila tim kesulitan dalam proses penyelidikan.108
2. Melakukan Penyidikan
Penyidikan baru dapat dilakukan setelah selesainya proses penyelidikan
yang ditandai dengan keluarnya surat perintah penyidikan oleh pejabat yang
berwenang di instansi penyidik, dengan diterimanya laporan polisi atau
pengaduan atau informasi tentang telah terjadinya kejahatan dan pelaku kejahatan
tersebut tidak dengan sendirinya surat perintah penyidikan dikeluarkan, dalam
melakukan tugasnya penyidik harus bertindak berdasarkan pada surat perintah
penyidikan yang sah yang diberikan oleh pejabat berwenang.109
Setelah dikeluarkannya surat untuk melakukan penyidikan maka tim
penyidik melakukan proses penyidikan dengan mengambil keterangan saksi-saksi
terlebih dahulu ketika keterangan-keterangan dari saksi sudah
didapatkan,keterangan saksi merupakan kunci untuk membuat terang suatu tindak
pidana dan mengungkapkan siapa pelakunya dan menemukan identitas si pelaku,
maka yang paling terpenting adalah mencari dan mengumpulkan bukti-bukti.
3. Kegiatan Olah Tempat Kejadian Perkara
Begitu kita mengetahui terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tidak
dilaporkan atau tidak dilaporkan Pihak Kepolisian khususnya Reserse Kriminal
segera menuju TKP untuk melakukan Olah Tempat Kejadian Perkara (perkap 14
108
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 2 juni 2018. 109
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 2 juni 2018.
Universitas Sumatera Utara
Page 95
86
tahun 2012), dari Olah TKP Kepolisian dapat mengetahui modus operandinya
seperti apa, bagaimana cara melakukan pembunuhan tersebut.
Dalam kegiatan gelar perkara bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan
barang bukti yang tertinggal dan dengan barang bukti itu akan menjadi pertunjuk
bagi pihak Kepolisian khususnya Reserse Kriminal dalam mengungkap tindak
pidana pembunuhan , kemudian mencari tahu apakah suatu peristiwa tersebut
merupakan suatu tindak pidana atau bukan, dan pembunuhan sudah jelas
merupakan peristiwa pidana, tetapi temuan mayat tersebut belum tentu suatu
pembunuhan oleh karena itu tim penyidik mengumpulkan alat-alat bukti, mayat
yang ditemukan tersebut bisa saja meninggal dunia karena penyakit, bunuh diri,
atau merupakan peristiwa tindak pidana pembunuhan.110
Keberhasilan pengungkapan kasus-kasus pembunuhan diawali dari TKP,
banyak informasi yang kita dapat kan dari olah TKP, dari Olah TKP kita dapat
mengetahui siapa-siapa saja saksinya, modus operandinya, waktu kejadiannya dan
tanggal berapa, mengambil Sidik Jari Korban, mengambil foto korban, membawa
korban kerumah sakit untuk di Visum, membawa barang-barang yang ditemukan
di TKP yang terkait dengan tindak pidana pembunuhan tersebut apakah ada sidik
jari tersangka yang menempel di benda yang ditemuka di TKP, kemudian
memberikan tanda garis pada letak posisi mayat
Ketika Tempat Kejadian Perkara tidak steril lagi untuk dilakukannya Olah
TKP maka akan sulit bagi Pihak Kepolisian Khususnya Reserse Kriminal untuk
mencari dan mengumpulkan barang bukti yang nantinya akan membuat proses
penyidikan akan menjadi terhambat.
110
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 2 juni 2018.
Universitas Sumatera Utara
Page 96
87
4. Pemeriksaan Saksi
Pemeriksaan Saksi merupakan kegiataan untuk memperoleh keterangan,
kejelasan, dan keidentikan dari tersangka tentang barang bukti yang ditemukan
maupun unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi.
Setelah laporan polisi diterima oleh penyidik, maka penyidik melakukan
pemanggilan atau pemeriksaan saksi, sebelum melakukan pemeriksaan penyidik
menjelaskan terlebih dahulu maksud dan tujuan pemeriksaan agar dimengerti oleh
saksi. Pemeriksaan saksi dapat memberikan pernyataan atau menandatangani
kesaksian dalam suatu dokumen Berita Acara Pemeriksaan sebagai alat bukti
dikemudian hari atau seseorang yang memberikan keterangan berdasarkan
kesaksiannya sendiri mengenai fakta yang dilihatnya sendiri.111
5. Melakukan Visum/otopsi
Visum merupakan surat yang dibuat oleh pejabat dan dibuat atas sumpah
jabatan berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan, visum ini
dilakukan oleh Kepolisian Khususnya Reserse Kriminal untuk mengetahui
penyebab kematian dari korban, mayat tersebut diotopsi oleh Dokter Forensik
untuk mengetahui penyebab kematian apakah kematian tersebut disebabkan
adanya pukulan benda tumpul atau diracun, ditikam menggunakan pisau, dan di
cekik menggunakan tali, sehingga pihak Kepolisian dapat menyimpulkan tentang
kematian korban yang nantinya menjadi acuan untuk melakukan rekonstruksi
tentang peristiwa Pidanatersebut.
Hasil Visum oleh Dokter, Pihak Kepolisian sudah memiliki 2 alat bukti
yaitu saksi dan Surat Visum, dengan alat bukti tersebut pihak Kepolisian sudah
111
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 2 juni 2018.
Universitas Sumatera Utara
Page 97
88
mengetahui siapa pelaku nya maka Pihak Kepolisian khususnya Reserse Kriminal
akan melakukan penangkapan sesuai dari hasil laporan dan juga bukti-bukti yang
lengkap.
6. Penangkapan
Setelah dilakukannya penyelidikan terhadap peristiwa pidana yang terjadi
dan terpenuhinya bukti-bukti yang mengarah kepada tersangka maka akan
dilakukan penangkapan, penangkapan dilakuakan oleh penyidik/penyidik
pembantu terhadap seseorang yang diduga kuat melakukan tindak pidana,
Sebelum melakukan Penangkapan Petugas dilengkapi dengan Surat Perintah
Tugas dan Surat Perintah Penangkapan.
Semua kegiatan kepolisian berdasarkan KUHAP , kegiatan Kepolisian
mulai dari penyelidikan hingga berita acara penangkapan harus dimuat dalam
berita acara, setelah Pihak Kepolisian menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut
merupakan perisitiwa pidana maka petugas yang melakukan penangkapan harus
menunjukkan Surat Perintah Penangkapan kepada tersangka yang diduga kuat
melakukan tindak pidana didasarkan pada permulaan bukti yang cukup, kemudian
penangkapan tersebut dimuat dalam Berita Acara Penangkapan yang ditanda
tangani oleh petugas dan orang yang ditangkap.
7. Penyelesaian dan penyerahan berkas ke JPU
Kegiatan penyelesaian dan penyerahan berkas perkara merupakan kegiatan
akhir dari penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik/penyidik
pembantu, proses yang meliputi pembuatan resume, penyusunan isi berkas
perkara dan penyerahan berkas perkara haruslah dilakukan secara cermat dan teliti
agar berkas perkara memenuhi syarat, tersusun rapih dan sistimatis
Universitas Sumatera Utara
Page 98
89
Kegiatan penyelesaian berkas perkara terdiri dari, pembuatan resume,
pembuatan resume merupakan kegiatan penyidik untuk menyusun ikhtisar dan
kesimpulan berdasarkan hasil penyidikan suatu tindak pidana yang terjadi,
kemudian dilanjutkan Penyerahan Berkas Perkara dimana kegiatan tersebut
merupakan kegiatan pengiriman berkas perkara berikut penyerahan tanggung
jawab atas tersangka dan barang buktinya kepada penuntut umum. 112
112
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 2 juni 2018.
Universitas Sumatera Utara
Page 99
90
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN RESERSE KRIMINAL POLRESTA SIBOLGA
DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
A. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Reserse Kriminal Polresta Sibolga
dalam menanggulangi Tindak Pidana Pembunuhan
Kebijakan dan penanggulan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian
integral dari uapaya perlindungan masyarakat ( social defence ) dan upaya
mencapai kesejahteraan masyarakat ( Social welfare ). Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir dari poltik hukum pidana yang juga merupakan
bagian dari politik kriminal,113
ialah “perlindungan masyarakat guna mencapai
kesejahteraan masyarakat”. Dengan demikian, politik criminal pada hakikatnya
merupakan bagian integral dari politik sosial.
Hukum Indonesia tidak Onpartijdig, tapi partijdig, memihak kepada
manusia dalam suatu arti yang luas, mengayomi masyarakat Indonesia,
melindungi, memberikan kesejahteraan, baik kepada orang perorangan maupun
kepada masyarakat secara luas. Keadilan dapat dilihat dari kebijakan pemerintah
yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk menikmati rasa, cipta, dan
karsa baik badaniah maupun rohaniah, pribadi ataupun golongan. Namun tidak
jarang keadilan sulit dinikmati, sehingga kesamaan kodrat manusia terinjak-injak
dan jauh dari keadilan.114
113
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal
21 114
Edi Warman, Selayang Pandang Tentang Kriminologi, (Medan: Universitas Sumatera
Utara Press, 1994), hal 1-2.
Universitas Sumatera Utara
Page 100
91
Kebijakan penanggulangan kejahatan ( criminal policy ) menurut G. Pieter
Hoefnagels dapat dilakukan dengan kebijakan penal ( penal policy ) yang biasa
disebut dengan “criminal law application” , dan kebijakan non penal ( non penal
policy ).115
a. Upaya Penal
Pengertian kebijakan hukum pidana (Penal Policy) menurut Marc Ancel :
“Kebijakan hukum pidana (Penal Policy) adalah suatu ilmu sekaligus seni
yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman tidak hanya kepda apembuat Undang-Undang dan juga kepada
para penyelenggarna atau pelaksana putusan pengadilan.”
Kebijakan penal atau sering disebut politik hukum pidana merupakan upaya
menentukan ke arah mana pemberlakuan hukum pidana indonesia masa yang akan
datang dengan melihat penegakkannya saat ini. Hal ini berkaitan dengan
konseptualitas hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan.116
Dua masalah sentral dalam kebijakan criminal dengan menggunakan secara
penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan :
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar117
Sehubungan dengan hal ini, Ted Honderich berpendapat, bahwa pidana
dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis apabila dipenuhi syarat-syarat
sebagi berikut :
115
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2008), hal 50 116
Ibid., hal 66 117
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra
Aditiya Bakti, 2002), hal 21.
Universitas Sumatera Utara
Page 101
92
1. Pidana itu sungguh-sungguh mencegah
2. Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya tindakan keadaan yang lebih
berbahaya/merugikn dari pada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak
dikenakan.
3. Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya
kerugian yang lebih kecil 118
Kebijakan penal selain mengatur mengenai perbuatan yang tergolong tindak
pidana juga mengatur mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku.
Sanksi yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana penjara
seumur hidup, kurungan dan denda. Apabila pelaku adalah korporasi, maka
terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan
izin usaha dan atau pencabutan status badan hukum.
Kebijakan penal penanggulangan tindak pidana pembunuhan dengan
menggunakan instrumen hukum melalui penegakkan hukum terhadap tindak
pidana pembunuhan. Penegakkan hukum pada hakikatnya adalah penegakkan
norma-norma hukum, baik yang berfungsi suruhan (gebot, command) atau
berfungsi lain seperti memberi kuasa (ermachtigen to empower), membolehkan
(erlauben to permit), dan menyimpangi (derogieren to derogate).
Sarana penal atau upaya yang bersifat represif yaitu dilakukan setelah
kejahatan itu terjadi dengan menggunakan hukum pidana berupa penegakkan
hukum dengan menjatuhkan hukuman dan bertujuan untuk efek jera agar tidak
terjadinya kembali kejahatan tersebut dan memasyarakatkan pelaku agar diterima
kembali didalam masyarakat dengan sejahtera.
118
Ibid., hal 35.
Universitas Sumatera Utara
Page 102
93
Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan bagi pelaku pembunuhan mengacu
pada KUHP yang sesuaikan dengan pasal-pasal pembunuhan berdasarkan
perbuatan pelaku, kebijakan hukum yang diterima adalah hukuman pidana
maksimal berbagai pertimbangan juga perbuatan pelaku mengacu pada pasal-
pasal 338 KUHP.119
b. Upaya Non-Penal
Upaya non-penal yang paling strategis adalah upaya untuk menjadikan
masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara
materil dan imateril dari faktor-faktor krominogen.120
Upaya non-penal yang yang dilakukan oleh Reserse Kriminal Polresta
Sibolga dalam rangka menanggulangi tindak pidana pembunuhan :
1. Mengadakan Penyuluhan Hukum kepada Masyarakat
Penyuluhan hukum ini dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat, sehingga penting untuk ditanamkan pada
masyarakat supaya di dalamnya berkembang baik suatu sikap dan perasaan yang
taat terhadap peraturan-peraturan, agar setiap orang menyadari dan menghargai
hak serta kewajibanya masing-masing sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Salah satu usaha dari berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran
hukum masyarakat dapat diadakan dengan cara memberikan penyuluhan.
Penyuluhan ini dapat berupa memberi informasi dan arahan atau masukan kepada
masyarakat tentang kesadaran hukum sehingga dinilai dapat mengurangi
kejahatan atau tindak pidana pembunuhan.
2. Melakukan patroli dan penjagaan atau pengawasan terhadap masyarakat.
119
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 8 juni 2018. 120
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.Op.cit., hal 49
Universitas Sumatera Utara
Page 103
94
Upaya yang dapat dilakukan yaitu aparat penegak hukum melakukan patroli
setiap ada kegiatan yang berbau kemungkinan ada perjudian dan wajib
berkunjung ke masyarakat untuk memberikan penyuluhan dan juga melakukan
penjagaan yang kiranya dirasa akan terjadi perjudian togel dari tugas preventif
(pencegahan) pokok polisi yaitu pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli-
patroli. Melakukan deteksi-deteksi dini, dalam hal melakukan deteksi-deteksi dini
dilakukan oleh satuan intelejen untuk mendeteksi kerawanan-kerawanan wilayah
dimana yang sering terjadi tindak pidana.121
Dalam menjalankan kebijakan kriminal, baik melalui upaya penal maupun
upaya non-penal, keduanya harus dijalankan secara integral, yaitu adanya
keseimbangan antara upaya penal dan upaya non-penal sehingga upaya yang
dihasilkan tidak hanya bertahan sementara tetapi untuk jangka panjang. Dalam
menjalankan upaya-upaya tersebut juga tidak terlepas dari adanya partisipasi
masyarakat karena kejahatan itu terjadi di masyarakat sehingga laporan dari
masyarakatlah dapat diketahui mengenai kejahatan pembunuhan yang telah
terjadi.
B. Hambatan-Hambatan yang dihadapi oleh Reserse Kriminal Polresta
Sibolga dalam mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan
Proses pengungkapan suatu tindak pidana pemunuhan guna menemukan
pelakunya atau tersangkanya agar dapat dijatuhi hukuman maka tidak terlepas dari
kerja keras pihak kepolisian khususnya Reserse Kriminal menemui hambatan-
121
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 8 juni 2018
Universitas Sumatera Utara
Page 104
95
hambatan dalam proses pengungkapannya yang menyebabkan sulitnya proses
pengusutan.
Dalam pengungkapan tindak pidana pembunuhan tidak semudah yang
diharapkan oleh semua pihak terkhusus Pihak Kepolisian dikarenakan pelaku
kejahatan tidak ingin hasil perbuatannya diketahui oleh orang tentunya si pelaku
akan menyembunyikan atau menghilangkan jejak/barang bukti yang nantinya
akan bisa membuat terungkapnya kejahatan yang dilakukannya.
Berdasarkan hasil penelitian penulis yang dilakukan di Polresta Sibolga,
maka yang menjadi hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Reserse Kriminal
dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan tersebut antara lain :122
1. Faktor Subtansi Hukum
Faktor aturan perundang-udangan atau subtansi hukum dapat menghambat
peranan Reserse Kriminal (penyidik) Kepolisian dalam mengungkap tindak
pidana pembunuhan adalah Pasal 183 KUHAP, dalam hal menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa
ynag bersalah melakukannya. Pasal 184 menyatakan bahwa alat bukti sah yang
dimaksud, surat, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu
dibuktikan. Kemudian ketidak jelasan arti kata-kata di dalam Undang-undang
yang mengakibatkan kesimpangsiuran di dalam penafsiran serta penerapanya.
122
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 2 juni 2018
Universitas Sumatera Utara
Page 105
96
2. Faktor keaslian tempat
Perubahan tempat kejadian perkara, sebelum tim penyidik datang dilokasi
tempat kejadian perkara, kondisi tempat kejadian perkara sudah berubah, sudah
tidak asli lagi, mengalami kerusakan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor:
a. Faktor Alam, faktor alam ini dapat menjadi kendala bagi penyidik dalam
proses penanganan TKP karena dapat merubah keaslian TKP seperti halnya
hujan, panas, badai, banjir, dll.
b. Faktor Manusia :
1. Tersangka berusaha menghilangkan barang bukti
2. Rasa ingin ketahuan masyarakat sehingga masuk ke TKP
3. Kurangnya ketelitian petugas yang menangani TKP.
4. Laporan yang telat sehingga TKP rusak oleh orang-orang, saksi-saksi, atau
masyarakat.
3. Kurangnya saksi yang diperoleh
Keinginan Masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang tertib dan
damai dalam hidup bermasyarakat terus diupayakan, apalagi sekarang
dalam sistem penegakan hukum. Dengan penegakan hukum yang baik
itu diharapkan akan menimbulkan tata tertib, keamanan dan ketentraman di
tengah-tengah masyarakat. Penegakan hukum dapat dilakukan melalui usaha
pencegahan, pemberantasan dan penindakan.
Hukum pada dasarnya tidak hanya sekedar rumusan hitam di atas
putih saja sebagaimana yang dituangkan dalam berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan, tetapi hendaknya hukum dilihat sebagai suatu gejala
yang dapat diamati dalam kehidupan masyarakat melalui pola tingkah laku
Universitas Sumatera Utara
Page 106
97
warganya. Hal ini berarti hukum sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non
hukum seperti : nilai, sikap, dan pandangan masyarakat yang biasa disebut dengan
kultur/budaya hukum.
Kultur atau budaya hukum menurut Lawrence Meir Friedman adalah
sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah suasana pemikiran sosial dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Hukum dipercaya sebagai suatu lembaga penyeimbang
yang kuat terhadap ancaman disintegrasi dalam hidup bermasyarakat
akibat benturan kekuatan yang sama-sama ingin berkuasa dan sekaligus
membatasi kesewenangan yang sedang berkuasa. Hukum dalam bentuknya
yang asli bersifat membatasi kekuasaan dan berusaha untuk memungkinkan
terjadinya keseimbangan dalam hidup bermasyarakat.Berbeda dengan
kekuasaan yang agresif dan ekspansionis, hukum cenderung bersifat
kompromistisa, damai dan penuh dengan kesepakatan-kesepakatan dalam
kehidupan sosial dan politik
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para aparat penegak
hukum terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia yang dinilai buruk
harus segera dikembalikan dan dipulihkan dengan perbaikan pada aspek
struktur dan substansi hukum yang diiringi dengan adanya budaya hukum
(Culture Hukum). Aspek budaya hukum inilah yang mempunyai peranan yang
sangat penting dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Menurut Lawrence
M. Friedman menjelaskan mengenai konsep budaya hukum adalah sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum-kepercayaan, nilai, pemikiran,
Universitas Sumatera Utara
Page 107
98
serta harapannya. Dengan kata lain budaya hukum adalah suasana pikiran
sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan,
dihindari atau disalahgunakan, tanpa adanya budaya/kultur hukum maka sistem
hukum sendiri tak berdaya.123
Saksi merupakan salah satu alat bukti untuk menjadi acuan dalam
mengungkap tindak pidana apa lagi tindak pidana pembunuhan yang dilakukan
oleh pihak Reserse Kriminal yang mana saksi yang diperoleh akan sangat bisa
membantu pihak kepolisian dalam mencari dan menemukan pelaku tindak pidana
pembunuhan, karena saksi adalah orang yang mengetahui atau yang menemukan
telah terjadinya tindak pidana pembunuhan.
Masyarakat masih memiliki rasa ketakutan dan keenganan masyarakat
untuk menjadi saksi dalam proses penyidikan, ketakutan tersebut disebabkan
adanya ancaman dari pelaku yang tidak segan-segan melakukan kekerasan
terhadap masyarakat yang menyaksikan perbuatan mereka.
Kurangnya saksi yang diperoleh akan menjadi kendala-kendala yang
dihadapi oleh Reserse Kriminal dalam mengungkap kasus pembunuhan, dengan
kurangnya saksi yang diperoleh akan membuat pihak Reserse Kriminal akan
bekerja lebih keras lagi dalam mencari dan mengumpulkan bukti yang mengarah
kepada pelaku kasus pembunuhan tersebut
4. Faktor Penegak Hukum
Masih banyaknya anggota Reserse Kriminal yang belum menguasai dan
memahami serta penerapan teknik dan taktik penangkapan, belum sepenuhnya
123 Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), (Jakarta, :
Ghalia Indonesia, 2003), hal 10.
Universitas Sumatera Utara
Page 108
99
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, sehingga sering ditemukan melakukan
penangkapan tanpa menggunakan surat perintah penangkapan yang tidak sesuai
dengan prosedur yang ada, masih ditemukan adanya polisi yang salah tangkap
terhadap orang yang bukan pelaku kejahatan, akibat kurang jelinya polisi atau
terlalu gegabah dalam melaksanakan tugasnya.124
Kemudian secara kuantitas masih terbatas jumlah penyidik sehingga dalam
pelaksanaan proses penyidikan sedikit terkendala dengan kurang personil.
Inilah hambatan-hambatan yang ditemui oleh Reserse Kriminal Polresta
Sibolga dalam Mengungkap Tindak Pidana Pembunuhan.
124
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta Sibolga,
pada hari Sabtu, tanggal 8 juni 2018
Universitas Sumatera Utara
Page 109
100
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan penulis sebelumnya, maka
penulis menarik beberapa ksimpulan sebagai intisari dari apa yang telah diuraikan
dan dibahas. Dalam bab terakhir ini Penulis akan mengemukakan beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Ketentuan pasal-pasal KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang
mengatur kejahatan terhadap jiwa dan nyawa orang lain, kejahatan yang
ditujukan kepada nyawa orang orang pada umumnya (Pasal 338, Pasal 339,
Pasal 340, Pasal 344, Pasal 345 KUHPidana), kemudian kejahatan terhadap
nyawa bayi ( Pasal 341, Pasal 342, Pasal 346 KUHPidana), yang unsur-
unsurnya terkandung dalam rumusan Pasal tersebut, serta ancaman atau
sanksi kepada pelaku kejahatan yang melakukan pembunuhan diancam
sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHP.
2. Peran Reserse Kriminal Polresta Sibolga dalam mengungkap pembunuhan
dimulai dari melakukan penyelidikan, penyidikan, kegiatan olah tempat
kejadian perkara, pemeriksaan saksi, melakukan visum, penangkapan, dan
penyelesaian dan penyerahan berkas ke JPU. Berdasarkan Laporan Polisi
Nomor : LP/153/VIII/2015/SU/Res Sbg, Laporan Polisi Nomor
:LP/216/XI/2014/SU/Res Sbg, dalam proses penyidikan nya telah sesuai
dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, yang
semuanya itu berlangsung dalam suatu Sistem Peradilan Pidana dalam
rangka penegakan hukum pidana.
Universitas Sumatera Utara
Page 110
101
3. Adapun hambatan-hambatan yang ditemui oleh Reserse Kriminal Polresta
Sibolga dalam mengungkap tindak pidana pembunuhan : dapat ditinjau dari
faktor subtansi hukum, faktor penegak hukum, faktor keaslian tempat,
kurangnya saksi yang diperoleh. Faktor yang paling dominan adalah faktor
aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas masih terbatasnya jumlah
penyidik, serta upaya-upaya Polresta Sibolga yang dilakukan dalam
menanggulangi tindak pidana pembunuhan adalah upaya penal yakni
kebijakan hukum yang dapat dijatuhakan bagi pelaku pembunuhan mengacu
pada KUHP yang disesuaikan dengan pasal-pasal pembunuhan, upaya non
penal ialah mengadakan penyuluhan hukum kepada masyarakat dan
melakukan patroli dan penjagan atau pengawasan terhadap masyarakat.
B. Saran
1. Setiap orang sebaiknya memiliki pengetahuan agama dan keimanan
yang cukup untuk mengontrol diri dalam berfikir dan bertindak. Media
massa dan pemerintah diharapkan dapat berperan aktif dalam
menyeleksi dan menyiarkan tayangan yang bersifat positif dan jauhdari
unsur kekerasan guna melindungi masyarakat.
2. Hendaknya pemerintah dalam menetukan arah kebijaksanaan pembangunan,
terutama dalam bidang ekonomi lebih memperhatikan kesejahteraan
masyarakat ekonomi lemah sebagai kelompok masyarakat di Kotamadya
Sibolga.
3. Pihak Kepolisian Resort Sibolga dalam upaya non-penal dapat
meningkatkan kegiatan penyuluhan secara rutin. Upaya penal
Universitas Sumatera Utara
Page 111
102
diharapkan agar lebih tegas dan baik pelaksaannya sesuai dengan
peraturan.
Universitas Sumatera Utara
Page 112
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abbas, Imam Sopyan., 2013, “Tahukah Anda ? Hak-Hak Saat Digeledah”,
Jakarta : Dunia Cerdas.
Abdussalam, H.R., 2009, “Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam
Disiplin Hukum”, Jakarta : Restu Agung.
Abidin, H.A. Zainal., 2007, “Hukum Pidan a I”, Jakarta : Sinar Grafika.
ABRI, MABES Kepolisian Negara Republik Indonesia, 1987, “Himpunan
JUKLAK dan JUKNIS Tentang Proses Penyidikan Tindak Pidana”, Jakarta.
Adji, Indriyanto Seno., 2002, “Korupsi dan Hukum Pidana”, Jakarta : Kantor
Pengacara dan Konsultan Hukum Oemar Seno Adji dan Rekan.
Adnan, Wahyu., 2007, “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa”, Bandung :
Gunuga Aksara, 2007.
Ali, Zainuddin., 2012, “Hukum Pidana Islam”, Jakarta : Sinar Grafika.
Ali, Ahmad., 2009, “Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judical Prudence)”, Jakarta : Kencana.
Anwar, H.A.K Moch., 1994, “Hukum Pidan Bagian Khusus (KUHP Buku II)
Jilid I”, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Arief, Barda Nawawi dan Muladi., 1984, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana”,
Bandung : Alumni.
Bassar, M. Sudrajat., 1984, “Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana”, Bandung : Remaja Karya.
Universitas Sumatera Utara
Page 113
Chainur, Arrasjid., 1999, “Sepintas Lintas Tentang Politik Kriminal”, Medan :
Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum USU.
Chazawi, Adami., 2005, “Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di
Indonesia”, Malang : Bayumedia Publishing.
_____________., 2010, “Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa”, Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
_____________., 2010, “Pelajaran Hukum Pidana Bagian I”, Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Faal, M., 1991, “Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi”, Jakarta : PT. Pradnya
Paramita.
Gerungan, W.A., 2004, “Dipl, psikologisosial”, Bandung : Aditama.
Gunadi, Ismu dan Joenadi Efendi., 2014, “Hukum Pidana”, Jakarta : Kencana
Prenadamedia Group.
Halim, Ridwan., 1986, “Hukum Pidana dalam Tanya Jawab”, Bandung : Alumni.
Hamid, Hamrat dan Harun M. Husein., 1992, “Pembahasan Permasalahan
KUHAP Bidang Penyidikan”, Jakarta : Sinar Grafika.
Hamzah, Andi., 1994, “Asas-asas Hukum Pidana”, Jakarta : Rineka Cipta.
___________., 1996, “Hukum Pidana ekonomi”, Jakarta : Erlangga.
Harahap, M. Yahya., 2009, “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP”, Jakarta : Sinar Grafika.
Harun, M. Husein., 1991, “Penyidik dan Penuntut Dalam Proses Pidana”, Jakarta
: Rineka Cipta.
Himpunan Bujuklak, Bujuklap, Bujukmin. Proses Penyidikan Tindak Pidana,
Jakarta, 1990.
Universitas Sumatera Utara
Page 114
Huda, Chairul., 2006, “Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”, Jakarta : Fajar
Interpratama Offset.
Husin, Budi Rizki dan Rini Fathonah., 2014, “Studi Lembaga Penegak Hukum”,
Lampung : UNILA.
Kansil, C.S.T dan Christine S.T Kansil., 2004, “Pokok-Pokok Hukum Pidana
Untuk Tiap Orang‟, Jakarta : Pradnya Paramita.
Kelana, Momo., 1994, “Hukum Kepolisian”, Jakarta : PT. Grasindo, 1994.
Kunarto, 1997, “Etika Kepolisian”, Jakarta : Cipta Manunggal.
Koeswadji, Hermein Hadiat., 1984, “Kejahatan Terhadap Nyawa, Asas-Asas,
Kasus, dan Permasalahanya”, Surabaya : PT. Sinar Wiyaya.
Lamintang, P.A.F., 1985, “Delik-Delik Khusus”, Bandung : Bina Cipta.
______________., 2010, “Delik-delik khusus: Kejahatan Terhadap Nyawa,
Tubuh, dan Kesehatan”, Jakarta : Sinar Grafik.
______________ dan C. Djisman Samosir., 1990, “Hukum Pidana Indonesia”,
Bandung : Penerbit Sinar Baru.
______________ dan Theo Lamintang., 2012, “Kejahatan Terhadap Nyawa dan
Kesehatan”, Jakarta : Sinar Grafika.
Marpaung, Leden., 2008, “Asas-Asas Praktik Hukum Pidana”, Jakarta : Sinar
Grafika.
______________., 2005, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Jakarta :
Sinar Grafika.
Mulyadi, Lilik., 2007, “Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan
Permasalahannya”, Bandung : PT Alumni.
Universitas Sumatera Utara
Page 115
Mulyadi, Mahmud., 2009, “Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Medan :
USU Press.
Moelyatno., 1983, “Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum
Pidana”, Jakarta : Bina Aksara.
________., 1987, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Jakarta : Bina Aksara.
Ngani, Nico., I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, 2010, Mengenal Hukum
Acara Pidana Bagian Umum dan Penyidikan, (Yogyakarta: Liberty).
Poerwadarminta, W.J.S., 2006, “Kamus Umum Bahasa Indonesia”, Jakarta : Balai
Pustaka.
Prakoso, Djoko., 1987, “POLRI Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum”,
Jakarta :Bina Aksara.
Prodjodikoro, Wirjono., 2003, “Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia”,
Bandung : Refika Aditama.
Puspa, Yan Pramudya., 1977, “Kamus Hukum Edisi Lengkap Bahasa Belanda-
Indonesia- Inggris”, Semarang : CV Aneka.
Raharjo, Satjipto., 2002, “Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia”,
Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Rajab, Untung S., 2003, “Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia dalam
Sistem Ketatanegaraan(berdasarkan UUD 1945”, Bandung : Cv. Utomo.
Sadjijono, 2006, “Hukum Kepolisian”, Yogyakarta : Laksbang Pressindo.
Saleh, Roeslan., 1983, “Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif”, Jakarta
: Aksara Baru.
Universitas Sumatera Utara
Page 116
Sapardjaya, Komariah E., 2002, “Ajaran Melawan Hukum Materil dalam Hukum
Pidana Indonesia, Studi Kasus Tentang Penerapan dan Perkembangan
dalam Yurisprudensi‟, Bandung : Alumni.
Schaffmeister D., N. Keijzer dan EPH Sutorius, 1995, “Hukum Pidana”,
Yogyakarta : Liberty.
Sitompul, D.P.M., dan Edwar Syahperenong, 1985, “Hukum Kepolisian di
Indonesia suatu Bunga Rampai”, Bandung : Transito.
Soesilo, R., 1979, “Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik
Khusus”, Bogor : Politela.
________., 1996, “Pelajaran Lengkap Hukum Pidana”, Bogor : Politeia.
Sudarto, 1995, “Hukum Pidana”, Bandung : Alumni.
Tresna. R, 1996, “Asas-Asas Hukum Pidana”, Jakarta : PT. Tiara,1996.
Widiyanti, Ninik dan Panji Anoraga., 1987, “Perkembangan Kejahatan dan
Masalahnya ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Jakarta : PT.
Pradnya Paramita.
B. Instrumen Hukum
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
C. Berita dan Internet
“Kejahatan Terhadap Nyawa “
http://www.negarahukum.com/hukum/kejahatan-terhadap-nyawa.html, diakses
pada tanggal 12 juli 2018, pukul 16.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
Page 117
“Tindak Pidana Pembunuhan dalam KUHP“
http://www.suduthukum.com/2014/05/tindak-pidana-pembunuhan-dalam-
kuhp.html, diakses pada tanggal 12 juli 2018, pukul 08.00 wib.
“Penyelidikan dan Penyidikan“
https://rahmatyudistiawan.wordpress.com/2013/01/23/penyelidikan-dan-
penyidikan-oleh-rahmat-yudistiawan/, diakses pada hari sabtu 21 juli 2018 pukul
21.40 WIB.
“Fungsi Penyidikan“
http://jurnalapapun.blogspot.com/2014/11/fungsi-penyidikan.html, diakses
Minggu tanggal 15 Juli 2018 pukul 13.20 WIB.
D. Wawancara
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta
Sibolga, pada hari Sabtu, tanggal 2 juni 2018.
Hasil Wawancara dengan Bripka Rudi Agustinus Tampubolon di Polresta
Sibolga, pada hari Sabtu, tanggal 8 juni 2018.
Universitas Sumatera Utara