-
PERAN KANTOR PERTANAHAN DALAM RANGKA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
SECARA MEDIASI
DI KANTOR PERTANAHAN JAKARTA UTARA
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Derajat S-2
Program Studi Magister Kenotariatan
Oleh HERWANDI B4B 008 109
PEMBIMBING : Nur Adhim, SH.MH.
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG 2010
-
PERAN KANTOR PERTANAHAN DALAM RANGKA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
SECARA MEDIASI
DI KANTOR PERTANAHAN JAKARTA UTARA
Disusun Oleh :
HERWANDI B4B 008 109
Dipertahankan di hadapan Tim Penguji Pada tanggal 20 Maret
2010
Tesis ini telah diterima
Sebagai persyaratan untuk memeperoleh gelar Magister
Kenotariatan
Mengetahui, Pembimbing, Ketua Program Studi Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro
Nur Adhim, SH.,MH H. Kashadi, SH.MH. NIP. 19640420 199003 1 002
NIP. 19540624 198203 1 001
-
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini, Nama : HERWANDI, dengan
ini
menyatakan hal-hal sebagai berikut :
1. Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri dan di dalam tesis
ini tidak terdapat
karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di
suatu
Perguruan Tinggi / lembaga pendidikan manapun. Pengambilan karya
orang
lain dalam tesis ini dilakukan dengan menyebutkan sumbernya
sebagaimana
tercantum dalam daftar pustaka;
2. Tidak keberatan untuk dipublikasikan oleh Universitas
Diponegoro dengan
sarana apapun , baik seluruhnya atau sebagian, untuk kepentingan
akademik /
ilmiah yang non komersial sifatnya.
Semarang, 20 Maret 2010
Yang menerangkan,
HERWANDI
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dengan
berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul PERAN
KANTOR
PERTANAHAN DALAM RANGKA PENYELESAIAN SENGKETA TANAH
SECARA MEDIASI DI KANTOR PERTANAHAN JAKARTA UTARA, yang
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Pascasarjana
Magister
Kenotariatan pada Universitas Diponegoro, Semarang.
Mengingat kemampuan dan pengetahuan dari Penulis yang masih
terbatas,
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih
terdapat banyak
kekurangan dan ketidak sempurnaan yang ditemui. Oleh karena itu,
dengan hati
terbuka dan lapang dada, Penulis mengharapkan saran atau kritik
yang sifatnya
positif terhadap tulisan ini, guna peningkatan kemampuan Penulis
di masa
mendatang dan kemjuan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
hukum.
Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa hormat,
terima
kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. dr. Susilo Wibowo, M.S., Med.,Spd. And.
selaku Rektor
Universitas Diponegoro Semarang;
2. Prof. Drs. Y. Warella, MPA., PhD. Selaku Direktur Program
Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang;
-
3. Bapak Prof. Dr. Arief Hidayat, SH. M.Hum., selaku Dekan
Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro Semarang;
4. Bapak H. Kashadi, SH., MH. selaku Ketua Program Studi
Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Semarang;
5. Bapak Dr. Budi Santoso, S.H., MS. selaku Sekretaris Program
Studi Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Semarang Bidang
Akademik;
6. Bapak Dr. Suteki, SH., M.Hum. selaku Sekretaris Program Studi
Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Semarang Bidang
Administrasi Dan Keuangan;
7. Bapak Nur Adhim, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing yang telah
bersedia
dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan serta pengarahan
dalam
penyusunan Tesis ini.
8. Seluruh staf pengajar Program Studi Magister Kenotariatan,
Pascasarjana,
Universitas Diponegoro, Semarang.
9. Seluruh Karyawan Administrasi dan Sekretariat yang telah
banyak membantu
Penulis selama Penulis belajar di Program Studi Magister
Kenotariatan,
Pascasarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
10. Bapak H. Cecep Bagja Gunawan, selaku Kepala Kantor
Pertanahan Kota
Administratif Jakarta Utara;
11. Bapak Lihardo SH, MH. selaku Kepala Seksi SKP Kantor
Pertanahan Kota
Administratif Jakarta Utara;
-
12. Bapak Firdaus SH. yang telah banyak membantu dalam
memberikan data-data
yang diperlukan dalam penulisan tesis ini.
13. Tante Hj. Misdar R Selaku orang tuaku yang telah memberikan
perhatian, doa
dan dukungan sepenuhnya kepada Penulis selama masa pembelajaran
di
Program Studi Magister Kenotariatan, Pascasarjana, Universitas
Diponegoro,
Semarang, sampai dengan akhir hayatnya.
14. Isteriku tercinta Dra. Ria Herdjuntari atas dukungan dan
doanya serta selalu
setia mendampingi penulis dengan penuh kasih sayang dan
pengorbanan,
meskipun ditengah rintangan yang kita alami, percalayah bahwa
setiap
rintangan selalu ada hikmah yang Allah SWT berikan kepada
kita;
15. Anak-anakku tersayang yang aku cintai dan sayangi serta aku
banggakan;
16. Rekan-rekan M.Kn Undip angkatan 2008 atas persaudaraan
dan
persahabatannya.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan
tulisan ini dengan
harapan semoga dapat mendatangkan bermanfaat dan kegunaan bagi
kita
semua. Seandainya tulisan ini mempunyai nilai di sisi-Nya, maka
hendaknya
pahala dari-Nya dilimpahkan kepada kedua orang tua kami yang
tercinta dan
guru-guru kami yang tersayang.
Semarang, 20 Maret 2010
Penulis
-
ABSTRAK
Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang
paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga
berfungsi sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah
tersebut dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan
pelepasan hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak
berupa uang semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas
lain. Beberapa permasalahan tanah, bisa diselesaikan dengan baik
oleh Kantor Pertanahan (BPN) melalui mediasi. Mediasi adalah salah
satu bagian dari alternatif penyelesaian sengketa (APS), di samping
negosiasi, arbitrase, dan pengadilan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran
Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa tanah secara
mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara dan analisa yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa
tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
Metode yang digunakan adalah yuridis empiris, yaitu suatu
penelitian disamping melihat aspek hukum positif juga melihat pada
penerapannya atau praktek di lapangan. Teknik analisis data yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu setelah data
terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan
sistematis, selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan
penyelesaian masalah, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif,
yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat
khusus.
Berdasarkan penelitian, diperoleh hasil : 1) Sebagai mediator,
Kantor Pertanahan Jakarta Utara mempunyai peran membantu para pihak
dalam memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari hal-hal
yang dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran
informasi, mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan
kepentingan, persepsi, penafsiran terhadap situasi dan
persoalan-persoalan ada; dan 2) Mediasi di lingkungan instansi
pertanahan dalam hal ini Kantor Pertanahan Jakarta Utara sebenarnya
juga secara tidak di sadari telah di jalankan olah aparat pelaksana
secara sporadis dengan mengandalkan kreatifitas dan seni di dalam
gaya kepemimpinan masing-masing pejabat, tetapi baru pada saat
sekarang ini upaya mediasi telah memiliki payung hukumnya di
lengkapi pedoman serta petunjuk teknis yang memadai sehingga tidak
ada keraguan lagi bagi aparat pelaksana untuk menjalankannya. Kata
Kunci : Penyelesaian Sengketa, Mediasi, Kantor Pertanahan
-
ABSTRACT
-
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN
...............................................................................
HALAMAN PERNYATAAN
...............................................................................
i
KATA PENGANTAR
.........................................................................................
ii
ABSTRAK
.........................................................................................................
v
ABSTRACT
.......................................................................................................
vi
DAFTAR ISI
......................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
.................................................................................
1
B. perumusan Masalah
........................................................................
7
C. Tujuan Penelitian
.............................................................................
8
D. Manfaat Penelitian
...........................................................................
8
E. Kerangka Pemikiran
.........................................................................
9
F. Metode Penelitian
............................................................................
16
1. Metode Pendekatan
....................................................................
16
2. Spesifikasi Penelitian
...................................................................
17
3. Sumber dan Jenis Data
...............................................................
18
4. Populasi dan Teknik Penentuan Sampel
..................................... 18
-
a. Populasi
...................................................................................
18
b. Teknik Penentuan
Sampel.......................................................
19
5. Teknik Pengumpulan Data
.......................................................... 20
6. Teknik Analisis Data
....................................................................
24
G. Sistematika Penulisan
.....................................................................
24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsepsi Hukum Tanah Nasional
................................................... 26
B. Tinjauan Umum Konflik Pertanahan
................................................ 35
1. Pengertian Sengketa Pertanahan
.............................................. 35
2. Pengertian Konflik Pertanahan
................................................... 37
C. Tinjauan Umum Mediasi
.................................................................
41
1. Pengertian
Mediasi.....................................................................
43
2. Model Mediasi
............................................................................
45
3. Prinsip-Prinsip Mediasi
...............................................................
48
a. Mediasi Bersifat Sukarela
.................................................... 48
b. Lingkup Sengketa Pada Prinsipnya Bersifat Keperdataan 51
c. Proses Sederhana
...............................................................
55
d. Proses Mediasi Tetap Menjaga Kerahasiaan Sengketa
Para Pihak
...........................................................................
57
e. Mediator Bersifat Menengahi
................................................ 57
D. Pengertian Peran Organisasi
.......................................................... 58
-
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Peran Kantor Pertanahan Dalam Rangka Penyelesaian
Sengketa
Tanah Secara Mediasi Di Kantor Pertanahan Jakarta Utara
.......... 61
B. Analisis yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan Dalam
Rangka
Penyelesaian Sengketa Tanah Secara Mediasi Di Kantor
Pertanahan Jakarta Utara
..............................................................
93
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
....................................................................................
117
B. Saran
.............................................................................................
119
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
-
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting
untuk kelangsungan hidup umat manusia, hubungan manusia
dengan
tanah bukan hanya sekedar tempat hidup, tetapi lebih dari itu
tanah
memberikan sumber daya bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Bagi
bangsa Indonesia tanah adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa
dan
merupakan kekayaan nasional, serta hubungan antara bangsa
Indonesia
dengan tanah bersifat abadi. Oleh karena itu harus dikelola
secara cermat
pada masa sekarang maupun untuk masa yang akan datang.
Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang
paling dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga
berfungsi
sosial, oleh karena itulah kepentingan pribadi atas tanah
tersebut
dikorbankan guna kepentingan umum. Ini dilakukan dengan
pelepasan
hak atas tanah dengan mendapat ganti rugi yang tidak berupa
uang
semata akan tetapi juga berbentuk tanah atau fasilitas lain.
Secara filosofis tanah sejak awalnya tidak diberikan kepada
perorangan. Jadi tidak benar seorang yang menjual tanah berarti
menjual
-
miliknya, yang benar dia hanya menjual jasa memelihara dan
menjaga
tanah selama itu dikuasainya.1
Hal tersebut adalah benar apabila dikaji lebih dalam bahwa tanah
di
samping mempunyai nilai ekonomis, juga mempunyai nilai sosial
yang
berarti hak atas tanah tidak mutlak. Namun demikian negara
harus
menjamin dan menghormati atas hak-hak yang diberikan atas
tanah
kepada warga negaranya yang dijamin oleh undang-undang.
Dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau biasa disebut
Undang-
Undang Pokok Agraria yang disingkat (UUPA) diatur tentang
hak-hak
atas tanah yang dapat diberikan kepada warga negaranya berupa
yang
paling utama Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan,
Hak
Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak untuk Memungut Hasil
Hutan
dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di
atas
akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang
sifatnya
sementara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 53 UUPA.
Permasalahan tanah yang muncul akhir-akhir ini, semakin
kompleks. Pemicunya, tak sebatas aspek ekonomi saja, melainkan
sosial
dan budaya bahkan juga agama. Beberapa permasalahan tanah,
bisa
diselesaikan dengan baik oleh kantor Pertanahan melalui
mediasi.
1 Soedharyo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, (Jakarta :
Sinar Grafika, 1993), Hal.
82
-
Mediasi adalah salah satu bagian dari alternatif penyelesaian
sengketa
(APS), di samping negosiasi, arbitrase, dan pengadilan.
Mediasi adalah proses negosiasi pemecahan masalah di mana
pihak ketiga yang tidak memihak bekerja sama dengan para pihak
yang
bersengketa membantu memperoleh kesepakatan memuaskan. Data
di
Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebutkan, jumlah
permasalahan
tanah yang meliputi sengketa, konflik, dan perkara seluruh
Indonesia
4.591 kasus. Hal itu menjadikan salah satu tantangan bagi
BPN
menuntaskan permasalahan itu dengan Operasi Tuntas Sengketa.
Jangka
waktu penyelesaiannya selama 60 hari, sedangkan Operasi
Sidik
Sengketa, jangka waktu penyelesaiannya 90 hari.2
Apabila dilihat dari tipologi permasalahan, hampir 85
persennya
merupakan kasus dengan tipologi sengketa penguasaan dan
kepemilikan
tanah. Sedangkan sisanya, dengan tipologi sengketa hak dan
sengketa
batas/letak tanah. Hal ini jelas menunjukkan, sebagian besar
masyarakat
telah mengetahui hak mereka terhadap tanah yang mereka miliki
dan
kuasai, terlepas bahwa tanah tersebut sudah bersertipikat atau
belum.
Dengan adanya kesadaran masyarakat menyelesaikan
permasalahan
tanah yang ada, kiranya dapat turut mendukung penuntasan
permasalahan tanah yang dihadapi BPN pada umumnya.3
2 www.bpn.go.id/Penyelesaian Sengketa Pertanahan/ online
internet tanggal 5 Juni 2009 3 www.bpn.go.id/Penyelesaian Sengketa
Pertanahan/ online internet tanggal 5
Juni 2009
-
Dari tipologi permasalahan tersebut, kemudian dapat ditilik
lebih
mendalam mengenai para pihak yang bersengketa. Sengketa
antar
individu mencapai 89%, sengketa individu dengan badan hukum
6%,
sedangkan sengketa antara individu dan pemerintah 5%.
Persengketaan
antari ndividu secara jelas merupakan peringkat tertinggi karena
memang
tanah mempunyai hubungan magis dengan si pemiliknya.
Pelaksanaan hasil mediasi hendaknya dikembalikan kepada
itikad
baik para pihak menyelesaikan permasalahan. Namun terlepas dari
itikad
baik tersebut, keputusan mediasi yang dihasilkan bersama akan
lebih
berkekuatan apabila pertama dapat didaftarkan di Pengadilan
Negeri (PN)
setempat, sehingga disarankan apabila dalam setiap hasil
mediasi,
khususnya yang terkait dengan permasalahan tanah perlu
dicantumkan
klausul untuk ditindaklanjuti dengan pendaftaran di PN. Kedua,
hasil
mediasi ditindaklanjuti dengan dilakukannya perbuatan hukum
di
hadapan pejabat yang berwenang seperti notaris atau PPAT, bila
terjadi
peralihan haknya dapat segera didaftarkan di kantor Pertanahan.
Dengan
semakin diakuinya lembaga mediasi sebagai salah satu
alternatif
penyelesaian permasalahan pertanahan, maka perlu dipopulerkan
pula
para mediator. 4
Alasannya, mediator itulah yang memberi peranan penting
dalam
keberhasilan suatu mediasi. Seorang mediator harus mengetahui
secara
4 www.bpn.go.id/Penyelesaian Sengketa Pertanahan/ online
internet tanggal 5 Juni 2009
-
psikologis kondisi para pihak, sehingga mereka merasa nyaman
dan
permasalahannya pun terselesaikan dengan nyaman pula. Selain
itu,
mediator haruslah mempunyai kemampuan analisis dan keahlian
menciptakan pendekatan pribadi para pihak yang terlibat
sengketa. Dia
harus bisa memahami dan memberikan reaksi positif atas
persepsi
masing-masing pihak. Tujuannya membangun hubungan baik dan
kepercayaan. 5
Kepercayaan para pihak kepada mediator mempermudah
tercapainya suatu konsensus. Mediator, di sini khususnya dari
BPN itu
sendiri tidak perlu harus mengantongi sertipikat sebagai
seorang
mediator. Yang diutamakan adalah tujuan dan fungsi mediator
tercapai
yaitu menyelesaikan permasalahan pertanahan dalam rangka
menuntaskan masalah tanpa menimbulkan masalah.
Lembaga mediasi di bidang pertanahan, harus sering dilakukan
oleh aparat Badan Pertanahan Nasional, namun didalam
pembicaraannya belum populer. Hal ini disebabkan adanya
pemahaman
yang sempit mengenai penyelesaian sengketa itu sendiri,
adanya
kekurangpercayaan pada efektivitas pelaksanaan putusan mediasi
dan
kekhawatiran akan menimbulkan kerancuan dan pemanfaatan
lembaga
arbitrase yang telah ada. 6
5 www.bpn.go.id/Penyelesaian Sengketa Pertanahan/ online
internet tanggal 5 Juni 2009 6 www.tripod.com. online internet
tanggal 5 Juni 2009
-
Berdasarkan pemahaman yang demikian itu lembaga penyelesaian
sengketa melalui mediasi perlu di populerkan, terutama bagi
penyelesaian sengketa pertanahan. Oleh karena hal ini selain
dimungkinkan pemanfaatannya, dari tugas pokok dan fungsi
Badan
Pertanahan Nasional dapat mencakup penyelesaian sengketa
dengan
cara demikian. 7
Selain itu secara sosiologis, kondisi masyarakat Jakarta
Utara
rata-rata adalah pendatang khususnya nelayan yang tingkat
pendidikannya rendah, sehingga tingkat kesadaran hukumnya
sangat
kurang yang pada akhirnya mempengaruhi pola pikir mereka
yang
asal dalam mendirikan bangunan untuk rumah tinggal tanpa
memikirkan status tanah yang ditempati bangunan tersebut.
Hal tersebut sangat berpontensi menimbulkan sengketa
pertanahan dengan pihak lain, khususnya pemilik tanah yang sah
secara
hukum. Terkait dengan penyelesaian permasalahan tanah,
Kantor
Pertanahan Jakarta Utara mengedepankan upaya mediasi, yaitu:
1. perkembangan masyarakat dan bisnis menghendaki efisiensi
dan
kerahasiaan lestarinya hubungan kerja sama dan tidak
formalistis
serta menghendaki penyelesaian yang lebih menekankan
keadilan;
2. lembaga litigasi tidak dapat merespons karena dalam
operasionalnya
dinilai lamban, mahal, memboroskan energi, waktu dan uang;
7 www.tripod.com. online internet tanggal 5 Juni 2009
-
3. litigasi tidak dapat memberikan win-win solution.
Penyelesaian yang dilakukan secara mediasi mencapai 85%.
Mediasi memang sebagai salah satu alternatif penyelesaian yang
paling
diminati, hal ini dikarenakan 80 % mediasi dapat menyelesaikan
masalah
pertanahan, termasuk sengketa tanah yang terjadi di Jakarta
Utara
khususnya yang telah ditangani oleh Kantor Jakarta Utara.
Penggunaan
mediasi dalam penyelesaian
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, maka penulis ingin
meneliti
lebih lanjut mengenai permasalahan dan menyusunnya dalam tesis
yang
berjudul: PERAN KANTOR PERTANAHAN DALAM RANGKA
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH SECARA MEDIASI DI KANTOR
PERTANAHAN JAKARTA UTARA.
B. Perumusan Masalah
Bagaimanakah peran Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian
sengketa
tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara ?
Bagaimana analisis yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam
rangka
penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan
Jakarta
Utara ?
-
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui peran Kantor Pertanahan dalam rangka
penyelesaian
sengketa tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta
Utara;
2. Untuk mengetahui analisa yang dilakukan oleh Kantor
Pertanahan dalam
rangka penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di Kantor
Pertanahan
Jakarta Utara.
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
masukan
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum Perdata
khususnya
Hukum Agraria mengenai peran kantor pertanahan dalam rangka
penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan
Jakarta
Utara.
2. Kegunaan Praktis
Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang
sangat
berharga bagi pihak Kantor Pertanahan dalam rangka
penyelesaian
sengketa tanah secara mediasi.
-
E. Kerangka Pemikiran
Pasal 33 ayat (3) UUD Tahun 1945
Pasal 6 UU No. 30/ 1999 Prinsip Dasar Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Pasal 3 UU No. 28/1999 Asas Umum
Penyelenggaraan Negara
UU No. 5/1960 (UUPA)
Perpres No. 10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional Pasal 4
PERMA No. 1/ 2008
semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat I
wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian
dengan bantuan MEDIATOR
Peraturan KBPN No. 3/2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional
Peraturan KBPN No. 4/2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional
Keputusan KBPN No. 34/2007 tentang
Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian
Permasalahan Pertanahan AKTA PERDAMAIAN (Hasil Mediasi)
-
Masalah pertanahan di negeri kita telah muncul dalam banyak
aspek
dengan beragam wujud. Berbagai upaya penyelesaian telah
ditawarkan baik
melalui musyawarah atau mediasi tradisional maupun mediasi
pertanahan
yang dibentuk dalam lingkungan Instansi Badan Pertanahan
Nasional.
Penyelesaian cara mediasi tidak selamanya memberikan
penyelesaian yang
memuaskan dan memberi penyelesaian yang tuntas, sementara
perkara yang
masuk ke Pengadilan sudah kian menumpuk, sehingga perlu
dipikirkan untuk
membentuk Pengadilan Pertanahan yang dapat memberikan
penyelesaian
kasus-kasus pertanahan secara cepat dan sesuai dengan prinsip
keadilan.
Pelaksanaan reforma agraria tinggal menunggu kesiapan
masyarakat.
"Sudah disiapkan semuanya, sekarang tinggal mengecek satu hal
yakni
kesiapan masyarakat yang akan menerimanya. Oleh karena persoalan
tanah
adalah persoalan sensitive. Upaya mengatasi persoalan pertanahan
hanya
bisa dilakukan dengan satu cara yakni reforma agraria yang
dilakukan dalam
dua langkah sekaligus, yakni aset masyarakat berupa tanah
dikelola, termasuk
di dalamnya ada "land reform" dan retribusi serta akses
mereka.
Saat ini pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) menurunkan
banyak
tim untuk melakukan pengecekan, pengujian, dan mempersiapkan
masyarakat
pada saat reforma agraria sepenuhnya digulirkan. Kalau saat ini
tahapannya
masih uji coba di beberapa tempat. Kalau nanti sepenuhnya
digulirkan, apakah
pengorganisasian masyarakat sudah siap.
-
Di Indonesia saat ini banyak sekali sengketa tanah dengan
macam-
macam bentuk, seperti masyarakat dengan masyarakat, masyarakat
dengan
perorangan, masyarakat dengan badan hukum, badan hukum dengan
badan
hukum, badan hukum dengan instansi pemerintah, instansi
pemerintah
dengan masyarakat, dan sebagainya. Sengketa tanah di luar
kawasan hutan
sebagian besar adalah warisan, serta antara masyarakat dengan
badan usaha
dan masyarakat dengan instansi pemerintah.
Sistem hukum yang berlaku sekarang ini tidak membatasi perkara
apa
saja yang diajukan ke Mahkamah Agung. Akibatnya terjadi
penumpukan
perkara di Mahkamah Agung yang tidak dapat diselesaikan bila
tidak dicari
penyelesaiannya yang lebih mendasar, yang pada gilirannya
akan
menghambat akses keadilan para justisiabelen. Oleh karena itu
perlu
dilakukan penyelesaian perkara dengan musyawarah melalui
penyelesaian
sengketa alternatif baik diluar pengadilan maupun didalam
pengadilan. Dialog,
musyawarah serta usaha pengakomodasian terhadap kepentingan
semua
pihak sebenarnya adalah inti dari konsep proses ADR.
Konsep inilah yang kemudian diarahkan untuk menjadi cara
menyelesaikan sengketa tetapi dengan menggunakan prinsip
legalitas yang
menjadi bagian dari sistem hukum dimana Mediasi merupakan salah
satu
strategi dan bentuk dari PSA atau ADR yang diadopsi kedalam
proses
beracara di Pengadilan Negeri (juga Pengadilan agama) melalui
PERMA no
02 Tahun 2003 terhadap Prosedur Mediasi di Pengadilan untuk
-
mengefektifkan Pasal130 HIR/154 Rbg. Dan yang menjadi topik
bahasan
dalam penulisan ini adalah : bagaimanakah mengembangkan Pasal
130
HIR/154 Rbg dengan memberlakukan Lembaga Mediasi diPengadilan
(Court
Annexed Mediation). Bagaimanakah konsep negara lain dalam
melakukan
mediasi atau ADR serta bagaimanakah penerapan PERMA No 02 Tahun
2003
tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dan
hambatan-hambatannya,
Penelitian menunjukkan bahwa Pasal 130 HIR/154 Rbg dilaksanakan
oleh
Hakim hanya bersifat formalitas karena Hakim mengalami kesulitan
yang
disebabkan oleh : perkara kompleks, pengacara cenderung
menginginkan
perkara dilanjutkan ke litigasi. Kemampuan Hakim dalam
melakukan
perdamaian masih kurang, belum cukup, disosialisasikan budaya
damai dalam
masyarakat dan keengganan Hakim untuk menyelesaikan perkara
secara
damai. Dan untuk mengembangkan Pasal 130 HIR/154 Rbg dengan
memberlakukan mediasi terintegrasi di Pengadilan haruslah
hati-hati dengan
tetap berjalan di koridor jiwa dan phylosophy Pasal tersebut.
8
Keberhasilan mediasi yang terintegrasi di Pengadilan sangat
ditentukan
oleh peraturan itu sendiri dan pelaku-pelakunya serta sarana dan
prasarana
yang mendukungnya sedangkan di Luar Negeri mediasi berhasil
karena
mendapat dukungan dari pemerintah, masyarakat dan para stake
holder. Oleh
karena itu PERMA tersebut perlu diperjelas atau direvisi dan
disosialisasikan
secara terus menerus atau berkelanjutan.
8www.legalitas.go.id,online internet tanggal 5 Juni 2009
-
Mediasi adalah salah satu metode resolusi konflik yang banyak
menjadi
kajian dalam studi Alternative Dispute Resolution (ADR), atau
Resolusi Konflik
Alternatif. Kelebihan dari teori ini terletak pada metodenya
yang sepenuhnya
menyerahkan proses resolusi tersebut kepada para pihak yang
sedang konflik.
Mediator dengan demikian sekedar memfasilitasi proses resolusi
tersebut agar
berjalan dengan baik. Keputusan akhir tetap berada pada para
pihak yang
berkonflik.
Konflik mengandung pengertian "benturan ", seperti perbedaan
pendapat, persaingan, dan pertentangan antar individu dan
individu, kelompok
dan kelompok, individu dan kelompok, dan antara individu atau
kelompok
dengan pemerintah. Konflik terjadi antar kelompok yang
memperebutkan hal
yang sama.9
Ada berbagai teori penyebab konflik, misalnya teori hubungan
masyarakat menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi
yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang
berbeda
dalam suatu masyarakat. Sedangkan teori negosiasi prinsip
menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras
dan perbedaan-
perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang
mengalami
9 Ramelan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, ( Jakarta : Gramedia
Widiasarana Indonesia,
1992), Hal. 145
-
konflik. 10 Sedangkan teori elit memandang bahwa setiap
masyarakat terbagi
dalam dua kategori: 11
(a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya
menduduki posisi untuk memerintah; dan
(b) sejumlah besar masa yang ditakdirkan untuk diperintah. Mosca
dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori
yaitu:12
(a) elit yang memerintah (governing elit); (b) elit yang tidak
memerintah (non-governing elite); (c) dan masa umum
(non-elite).
Konflik biasanya merujuk pada keadaan dimana seseorang atau
suatu
kelompok dengan identitas yang jelas, terlibat pertentangan
secara sadar
dengan satu atau lebih kelompok lain karena kelompok-kelompok
ini mengejar
atau berusaha mencapai tujuan. Pertentangan tersebut polanya
dapat hanya
sebatas pertentangan nilai, atau menyangkut klaim terhadap
status (jabatan
politik), kekuasaan, dan atau sumberdaya-sumberdaya yang
terbatas; serta
dalam prosesnya seringkali ditandai oleh adanya upaya dari
masing-masing
pihak untuk saling menetralisasi, menyederai, hingga
mengeliminasi
posisi/eksistensi rival/lawannya.13 Konflik akan merupakan suatu
pertumbukan
antara dua atau lebih dari dua pihak, yang masing-masing
mencoba
menyingkirkan pihak lawannya dari arena kehidupan bersama, atau
setidak-
10 S.N. Kartikasari (Penyunting), Mengelola Konflik: Ketrampilan
& Strategi Untuk bertindak,
(Jakarta : The British Council, 2000). Hal. 8 11 S.P. Varma,
Teori Politik Modern. (Jakarta : Rajawali Pers, 1987), Hal. 119 12
Ibid, Hal. 120 13 Lewis A. Coser, The Functions of Social Conflict,
(New York : Free Press, 1956). Hal.3
-
tidaknya menaklukkannya dan mendegradasikan lawannya ke posisi
yang
lebih tersubordinasi.14
Salah satu prasyarat penting dalam pembangunan pertanian
adalah
penguatan aspek agraria, dan guna mengejawantahkannya kini
diperlukan
pandangan paradigmatik baru. Pertama, di masyarakat yang
mayoritas
penduduknya terikat, tinggal dan hidup dari lingkungan agraris,
maka sebagian
besar dari sumberdaya agraria --terutama tanah, air, perairan--
harus dikuasai
oleh mayoritas penduduk tersebut, karena itulah basis
penghidupannya hari
ini, dan paling mungkin dikembangkan untuk hari esok. Kedua,
tanah tidak
dapat diperlakukan sebagai komoditas semata, karena memiliki
dimensi sosial
yang sangat mendasar. Konsekuensinya, distribusi dan
pemanfaatannya
(tanah itu) tidak dapat dibiarkan dikendalikan oleh kekuatan
pasar. Ketiga,
devolusi sumberdaya agraria kepada penduduk desa dan
masyarakat
lokal/adat, sehingga mengokohkan penguasaan alat produksi yang
paling
fundamental bagi kategori masyarakat yang memang bertumpu
pada
penghidupannya pada sumberdaya agraria, terutama tanah.
F. Metode Penelitian
14 Soetandyo Wignjosoebroto, 2006, Konflik: Masalah, Fungsi
dan
Pengelolaannya, ...Makalah disampaikan dalam Diskusi
...Pengelolaan dan Antisipasi Ancaman Konflik di Jawa Timur ...,
yang diselenggarakan Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur, tanggal 14
Juni 2006 di Balitbang Propinsi Jawa Timur. Hal. 2
-
Penulisan ilmiah atau tesis agar mempunyai nilai ilmiah, maka
perlu
diperhatikan syarat-syarat metode ilmiah. Secara epistimologis,
ilmiah atau
tidak suatu tesis adalah dipengaruhi oleh pemilihan dan
penggunaaan metode
penulisan, bahan atau data kajian serta metode penelitian.
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkapkan
kebenaran
secara sistematis, metodologis dan konsisten melalui proses
penelitian
tersebut perlu diadakan analisa dan konstruksi terhadap data
yang telah
dikumpulkan dan diolah.15
Dalam penulisan tesis penulis menggunakan metodelogi
penulisan
sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian, maka
metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris.
Yuridis
empiris, yaitu suatu penelitian disamping melihat aspek hukum
positif juga
melihat pada penerapannya atau praktek di lapangan,16 dalam hal
ini
pendekatan tersebut digunakan untuk menganalisis secara
kualitatif
tentang peran Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian
sengketa
tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
15 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum
Normatif-Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Rajawali Press, 1985), Hal. 1 16 Ibid., Hal. 52
-
Dalam melakukan pendekatan yuridis empiris ini, metode yang
digunakan adalah metode kualitatif. Metode ini digunakan
karena
beberapa pertimbangkan yaitu : pertama, menyesuaikan metode ini
lebih
mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode
ini
menyajikan secara langsung hakekat hubungan antara peneliti
dengan
responden; ketiga metode ini lebih peka dan lebih dapat
menyesuaikan diri
dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola
nilai
yang dihadapi.17
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penulisan tesis ini berupa
penelitian
deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti bahwa dalam
penelitian ini penulis
bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci,
sistematis
dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
peran
Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa tanah
secara
mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara, sedangkan analitis
berarti
mengelompokkan, menghubungkan dan memberi tanda pada peran
Kantor
Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa tanah secara
mediasi di
Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
3. Sumber dan Jenis Data
17 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung :
PT. Remaja Rosda Karya,
2000), hal. 5.
-
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam suatu
penelitian
hukum terarah pada penelitian data sekunder dan data primer.18
Penelitian
ini menggunakan jenis sumber data primer yang didukung dengan
data
sekunder, yaitu : data yang mendukung keterangan atau
menunjang
kelengkapan Data Primer yang diperoleh dari perpustakaan dan
koleksi
pustaka pribadi penulis yang dilakukan dengan cara studi pustaka
atau
studi literat
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini
penulis
menggunakan sumber dan jenis data sebagai berikut :
a. Data Primer, adalah data yang diperoleh secara langsung
dari
masyarakat yang dilakukan melalui wawancara, observasi dan
alat
lainnya.19
b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari atau berasal
dari bahan
kepustakaan.20
4. Populasi dan Teknik Penentuan Sampel
a. Populasi
Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, populasi adalah seluruh
obyek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau seluruh
kejadian
18 Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, (Semarang :
Program Studi Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, 2009).
Hal. 6. 19 P. Joko Subagyo, Metode penelitian Dalam Teori dan
Praktek Cetakan
Kelima, (Jakarta : Rineka Cipta, 2006).Hal. 87 20 Ibid, Hal.
88
-
atau seluruh unit yang akan diteliti.21 Populasi dalam
penelitian ini
adalah semua pihak yang terkait dengan peran Kantor
Pertanahan
dalam rangka penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di
Kantor
Pertanahan Jakarta Utara. Oleh karena itu dengan menggunakan
populasi tersebut akan diperoleh data yang akurat dan tepat
dalam
penulisan tesis ini.
b. Teknik Penentuan Sampel
Penarikan sampel merupakan suatu proses dalam memilih
suatu bagian dari suatu populasi yang berguna untuk
menentukan
bagian-bagian dari obyek yang akan diteliti. Untuk itu, untuk
memilih
sampel yang representatif diperlukan teknik sampling.
Dalam penelitian ini, teknik penarikan sampel yang
dipergunakan oleh penulis adalah teknik purposive-non random
sampling maksud digunakan teknik ini agar diperoleh
subyek-subyek
yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian
dilakukan
pada peran Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian
sengketa
tanah secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
Berdasarkan sample tersebut diatas maka yang menjadi
responden dalam penelitian ini adalah :
1) Kepala Kantor Pertanahan Jakarta Utara;
2) Kepala Seksi SKP Kantor Pertanahan Jakarta Utara;
21 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan
Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1988), Hal. 44
-
3) Dua pihak-pihak yang bersengketa.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya
dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan
diperoleh
data yang diperlukan untuk selanjutnya dianalisa sesuai dengan
yang
diharapkan.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam penelitian ini
penulis
menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut :
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat melalui :
1) Wawancara, yaitu cara memperoleh informasi dengan
bertanya
langsung pada pihak-pihak yang diwawancarai terutama orang-
orang yang berwenang, mengetahui dan terkait dengan peran
Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa tanah
secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
Sistem wawancara yang dipergunakan adalah wawancara bebas
terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar
pertanyaan
sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi
pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat
wawancara
dilakukan.22
22 Soetrisno Hadi, Metodologi Reseacrh Jilid II, (Yogyakarta :
Yayasan Penerbit Fakultas
Psikologi UGM, 1985). Hal. 26
-
2) Daftar pertanyaan, yaitu daftar pertanyaan yang diajukan
kepada
orang-orang yang terkait dengan peran Kantor Pertanahan
dalam
rangka penyelesaian sengketa tanah secara mediasi di Kantor
Pertanahan Jakarta Utara, untuk memperoleh jawaban secara
tertulis. Dalam hal ini, daftar pertanyaan diberikan kepada
pihak
Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang mendukung keterangan atau
menunjang kelengkapan data primer yang diperoleh dari
perpustakaan
dan koleksi pustaka pribadi penulis, yang dilakukan dengan cara
studi
pustaka atau literatur. Data sekunder terdiri dari:
1) Bahan-bahan hukum primer, meliputi :
a) Peraturan perundang-undangan, yaitu :
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok Agraria;
(2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada Diatasnya;
(3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa;
b) Peraturan Pemerintah, meliputi :
-
(1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti-
Kerugian;
c) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional;
d) Peraturan Menteri :
(1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pelimpahan Kewenangan dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara;
(2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
e) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor
Pertanahan;
f) Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 37 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis
Penanganan dan Penyelesaian Permasalahan Pertanahan;
2) Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisa dan memahami bahan hukum primer, meliputi :
-
a) Buku-buku mengenai Pendaftaran Tanah, Hukum Agraria
Indonesia Sejarah dan Perkembangannya, buku tentang
Penyelesaian sengketa Pertanahan, buku tentang Metodologi
Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah. Selain itu, dalam
penulisan tesis ini juga digunakan Kamus Besar Bahasa
Indonesia.
b) Makalah dan Artikel, meliputi makalah tentang arbitrase
dan
alternatif penyelesaian sengketa dan makalah tentang pokok-
pokok pikiran mengenai penyelesaian konflik agraria yang
hasil
dari Lokakarya Persiapan Pembentukan Komite Nasional untuk
Penyelesaian Konflik Agraria.
Dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup bahan primer
yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat; bahan sekunder yaitu
bahan hukum sekunder yaitu yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer; dan bahan hukum tertier yakni
bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder.23
6. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi
dokumen pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis
secara
deskriptif kualitatif, yaitu setelah data terkumpul kemudian
dituangkan
23 Ibid Hal. 52
-
dalam bentuk uraian logis dan sistematis, selanjutnya dianalisis
untuk
memperoleh kejelasan penyelesaian masalah, kemudian ditarik
kesimpulan secara deduktif, yaitu dari hal yang bersifat umum
menuju hal
yang bersifat khusus.24
Dalam penarikan kesimpulan, penulis menggunakan metode
deduktif. Metode deduktif adalah suatu metode yang
berhubungan
dengan permasalahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau
prinsip-
prinsip umum menuju penulisan yang bersifat khusus.
G. Sistematika Penulisan
Untuk menyusun tesis ini peneliti membahas menguraikan
masalah
yang dibagi dalam empat bab. Adapun maksud dari pembagian tesis
ini ke
dalam bab-bab dan sub bab-bab adalah agar untuk menjelaskan
dan
menguraikan setiap masalah dengan baik.
Bab I Pendahuluan, bab ini merupakan bab pendahuluan yang
berisikan antara lain latar belakang masalah, perumusan masalah,
tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kerangka pemikiran dan metode
penelitian serta
sistematikan penulisan.
Bab II Tinjauan Pustaka, pada bab ini berisi teori-teori dan
peraturan-
peraturan sebagai dasar hukum yang melandasi pembahasan
masalah-
24 Ibid. Hal. 10
-
masalah yang akan dibahas meliputi Konsepsi Hukum Tanah Nasional
dan
tinjauan umum konflik pertanahan serta tinjauan umum
mediasi.
Bab III Hasil Penelitian dan Pembahasan, yang akan
menguraikan
hasil penelitian yang relevan dengan permasalahan dan
pembahasannya,
yaitu peran Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian sengketa
tanah
secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara dan analisis
yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan dalam rangka penyelesaian
sengketa tanah
secara mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara.
Bab IV Penutup, merupakan penutup yang berisikan kesimpulan
dan
saran dari hasil penelitian ini dan akan diakhiri dengan
lampiran-lampiran yang
tekait dengan hasil penelitian yang ditemukan di lapangan yang
dipergunakan
sebagai pembahasan atas hasil penelitian.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsepsi Hukum Tanah Nasional
Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Hukum Tanah
Nasional yang akan dibangun didasarkan pada hukum adat dalam
pengertian
hukum adat yang telah di-"seneer", maka harus diartikan bahwa
norma-
norma hukum adat yang telah dibersihkan dari unsur-unsur
pengaruh asing
dan norma hukum adat itu dalam kenyataannya masih hidup dan
mengikat
masyarakat.25
Selanjutnya konsiderans tersebut menunjukkan, bahwa hukum
adat
merupakari sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional.
Hal
tersebut dapat dilihat dari rumusan konsiderans undang-undang:
26
Komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah
secara
individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi
sekaligus
mengandung kebersamaan.
Sifat komunalistik religius yang bersumber dari hukum adat
sebagai
salah satu ciri yang tertuang dalam konsepsi Hukum Tanah
Nasional juga
ditunjukkan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA)
yang menyatakan bahwa:
25 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2002),
Hal. 224 26 Ibid, Hal. 225
26
-
Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang
angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Tanah
ulayat sebagai salah satu wujud hak yang bersumber dari
hukum adat merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum
adat
yang kemudian dalam konsepsi hukum tanah nasional dikembangkan
bahwa
semua tanah dalam wilayah negara menjadi tanah bersama seluruh
rakyat
Indonesia yang bersatu menjadi bangsa Indonesia sebagaimana
dirumuskan
dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Pernyataan rumusan tersebut menunjukkan, sifat komunalistik
konsepsi hukum tanah nasional, sedangkan unsur religius konsepsi
ini
ditunjukkan dalam pernyataan rumusan bahwa bumi, air, dan ruang
angkasa
Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya,
merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa
Indonesia.
Dalam konsepsi hukum adat, sifat keagamaan hak ulayat masih
belum
jelas benar, dikarenakan rumusan norma tanah ulayat sebagai
tanah
bersama adalah "peninggalan nenek moyang" atau sebagai "karunia
sesuatu
kekuatan yang gaib", namun apabila konsepsi hukum tanah nasional
dengan
adanya keterkaitan dengan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa" (Sila
Kesatu
Pancasila), maka tanah yang merupakan tanah bersama bangsa
Indonesia
secara tegas dinyatakan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan
demikian sifat religiusnya menjadi jelas benar.
-
Sifat religius hukum tanah nasional juga tampak dengan apa
yang
tersurat dalam konsiderans dan rumusan Pasal 5 Undang-Undang
Pokok
Agraria (UUPA), yang memuat kandungan suatu pesan atau
peringatan
kepada pembuat undang-undang agar dalam membangun hukum
tanah
nasional tidak mengabaikan, melainkan harus mengindahkan
unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.
Konsepsi hukum tanah nasional dengan mengacu untuk me-
ngembangkan pengertian yang bersumber dari hak ulayat
sebagaimana
dalam Pasal 1 Ayat (2), serta memerhatikan rumusan Pasal 1 Ayat
(1)
Undang-Undang Pokok Agraria (UU PA) mengakui dan menempatkan
hak
bangsa sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi atas
seluruh
wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air terhadap seluruh
rakyat
Indonesia yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini
berarti
bahwa hak-hak penguasaan atas tanah yang lain, termasuk hak
ulayat dan
hak-hak individual atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh
penjelasan
umum secara langsung atau pun tidak langsung semuanya bersumber
pada
hak bangsa.
Pengertian hak bangsa tersebut, meliputi semua tanah dalam
rumusan
Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), artinya
dengan kata
"seluruh" berarti seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya di wilayah Republik
Indonesia
-
menunjukkan bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di negara
Republik
Indonesia yang merupakan tanah yang tidak bertuan (res
nullius).27
Hak bangsa tersebut bersifat abadi, yang berarti bahwa hubungan
yang
akan berlangsung tidak terputus-putus selama-lamanya. Pernyataan
tersebut
sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang
Pokok
Agraria (UUPA) bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi,
air serta
ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan
yang
bersifat abadi. Rumusan tersebut dipertegas dalam pernyataan
penjelasan
umum II disertai penjelasan sebagai berikut.
Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air, dan ruang
angkasa
Indonesia adalah hubungan yang bersifat abadi. Ini berarti bahwa
selama
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada
dan
selama bumi, air serta ruang angkasa Indonesia masih ada pula
dalam
keadaan bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut.
Hak bangsa yang meliputi semua tanah dalam wilayah negara
Republik
Indonesia, di samping mengandung unsur hukum publik juga
mengandung
unsur privat. Dalam pengertian unsur hukum publik bahwa
sumber-sumber
alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah
satu
unsur pendukung utama bagi kelangsungan hidup dan
peningkatan
27 Boedi-Harsono, Op. Cit. Hal 127.
-
kemakmuran bangsa sepanjang masa dan potensi sumber-sumber
alam
tersebut dianggap sebagai modal dasar pembangunan nasional.
Pemberian karunia Tuhan Yang Maha Esa harus diartikan pula
mengandung "amanat" berupa beban tugas untuk mengelolanya dengan
baik,
bukan saja untuk generasi sekarang, melainkan juga untuk
generasi-generasi
yang akan datang. Tugas mengelola berupa mengatur dan,
memimpin
penguasaan dan penggunaan tanah bersama tersebut menurut
sifatnva
termasuk bidang hukum publik.
Unsur privat mengandung makna bahwa tanah bersama "kekayaan
nasional", menunjukkan arti keperdataan yaitu hubungan
"kepunyaan" antara
bangsa Indonesia dan tanah bersama tersebut. Hubungan
kepunyaan
menurut artinya yang asli memberi wewenang untuk menguasai
sesuatu
sebagai "empunya", artinya sebagai tuannya bisa dalam
hubungan
kepemilikan.
Tugas kewajiban pengelolaan tanah dalam bidang hukum publik
tidak
mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh bangsa Indonesia,
maka
penyelenggaraannya oleh bangsa Indonesia sebagai pemegang hak
dan
pengemban amanat tersebut pada tingkatan yang tertinggi
dikuasakan
kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan
seluruh
rakyat (Pasal 2 Ayat (1) UUPA). Pemberian kuasa tersebut
dituangkan dalam
Undang-Undang Dasar 1945 oleh wakil-wakil bangsa Indonesia pada
waktu
dibentuknya Negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus
1945
-
dengan kata-kata: "Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di
dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat".
Pengertian normatif dalam hubungannya dengan bumi, air, dan
ruang
angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
selaku
organisasi kekuasaan seluruh rakyat maka dianggap negara
bertindak
kedudukannya sebagai "kuasa" dan "netugas" bangsa Indonesia.
Dalam
melaksanakan tugas tersebut negara merupakan organisasi
kekuasaan
rakyat yang tertinggi, sedangkan yang terlibat sebagai petugas
bangsa
tersebut bukan hanya penguasa legislatif dan eksekutif saja,
tetapi juga
meliputi penguasa yudikatif.
Hubungan hukum yang menyangkut pertanahan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 dirumuskan dengan istilah "dikuasai" dapat
dinyatakan
secara normarif sebagai hubungan bersifat hukum publik.
Sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA)
memuat rincian kewenangan hak menguasai negara, berupa
kegiatan:
(a) mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan,
persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa;
(b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-
orang dengan; bumi, air, dan ruang angkasa;
-
(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air,
dan
ruang angkasa.
Rincian kewenangan mengatur, menentukan dan menyelenggarakan
berbagai kegiatan dalam Pasa1 2 Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA)
dapat dianggap kepastian hukum interpretasi autentik mengenai
hak
menguasai negara yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Dasar
1945
sebagai hukum yang bersifat publik sematamata. Dengan demikian
tidak
akan ada lagi tafsiran lain mengenai pengertian dikuasai dalam
pasal
Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam lingkup hak bangsa juga dimungkinkan para warga negara
Indonesia sebagai pihak yang mempunyai hak bersama atas tanah
bersama
tersebut, masing-masing menguasai dan menggunakan sebagian dari
tanah
bersama itu secara individual dengan hak-hak yang bersifat
pribadi.
Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti
bahwa
tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan, dan
tidak ada
keharusan untuk menguasainya bersamasama orang lain secara
kolektif,
namun dibalik ketentuan/peraturan menguasai dan menggunakan
tanah
secara kolektif bersama terbuka kemungkinan untuk diperbolehkan.
Hal ini
diatur dalam Pasa1 4 Ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Atas dasar
hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah,
yang
-
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik
sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum".
Dalam konsepsi hukum tanah nasional, di samping diakui hak
perorangan atas tanah bersifat pribadi hak-hak individual juga
diakui unsur
kebersamaan atas hak-hak atas tanah. Sifat pribadi hak-hak
individual
dimaksudkan menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk
menggunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan
dalam
memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, sebagaimana
dirumuskan
dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
menyatakan
bahwa:
Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun
wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak
atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi
diri
sendiri maupun keluarganya.
Rumusan kata untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi
diri
sendiri maupun keluarganya menunjukkan sifat pribadi hak-hak
atas tanah
dalam konsepsi Hukum Tanah Nasional. Oleh karena itu, konsepsi
Hukum
Tanah Nasional, hak-hak atas tanah yang individual berunsur
pribadi juga
mengandung norma unsur kebersamaan. Unsur kebersamaan yang
bersifat
kemasyarakatan tersebut ada pada tiap hak atas tanah, karena
semua hak
atas tanah secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada
hak
bangsa yang merupakan hak bersama.
-
Hak-hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa
yang
disebut hak-hak primer, meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak
guna
bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh negara sebagai
petugas
bangsa, sementara hak-hak yang bersumber tidak langsung dari hak
bangsa
adalah apa yang disebut hak-hak sekunder, meliputi: hak-hak yang
diberikan
oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, bagi hasil, gadai,
dan lain-
lainnya.
Sifat pribadi hak-hak atas tanah yang sekaligus mengandung
unsur
kebersamaan atau kemasyarakatan tersebut dalam Pasal 6
Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) dirumuskan dengan dalil hukum bahwa "semua
hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial". Dengan demikian konsep
hukum tanah
nasional yang dikembangkan tetap mer.gacu pada prinsip dan
ketentuan
dalam UUPA yang bersumber dan berdasarkan pada hukum adat,
dengan
harapan bahwa apabila mengacu pada prinsip dan norma-norma dari
UUPA
dapat menjadi solusi yang terbaik dalam upaya membangun konsep
hukum
tanah nasional sebagai salah satu upaya dalam menata dan
mengatasi
penyelesaian konflik pertanahan yang sangat kompleks.
B. Tinjauan Umum Sengketa dan Konflik Pertanahan
1. Pengertian Sengketa Pertanahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala
sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau
-
perbantahan.28 Sengketa merupakan kelanjutan dari konflik,
sedangkan
konflik itu sendiri adalah suatu perselisihan antara dua pihak,
tetapi
perselisihan itu hanya dipendam dan tidak diperlihatkan dan
apabila
perselisihan itu diberitahukan kepada pihak lain maka akan
menjadi
sengketa.29
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari
pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi
keberatan-
keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status
tanah, prioritas
maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh
penyelesaian
secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang
berlaku.30
Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada
beberapa
macam, antara lain :
a. Masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang
sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum
ada haknya;
b. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang
digunakan sebagai dasar
pemberian hak;
c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan
peraturan yang
kurang atau tidak benar;
d. Sengketa atau masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial
praktis.
Alasan yang sebenarnya menjadi tujuan akhir dari sengketa bahwa
ada pihak
yang lebih berhak dari yang lain (prioritas) atas tanah yang
disengketakan, oleh karena itu
28 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Op. Cit, Hal. 643 29
Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,
(Bandung: PT. Citra
Aditya Bhakti, 2003), Hal. 1 30 Rusmadi Murad, Penyelesaian
Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju,
1991), Hal. 22
-
penyelesaian sengketa hukum terhadap sengketa tersebut
tergantung dari sifat
permasalahan yang diajukan dan prosesnya akan memerlukan
beberapa tahap tertentu
sebelum diperoleh suatu keputusan.
2. Pengertian Konflik Pertanahan
Konflik menurut pengertian hukum adalah perbedaan pendapat,
perselisihan paham, sengketa antara dua pihak tentang hak dan
kewajiban
pada saat dan keadaaan yang sama. Secara umum konflik atau
perselisihan paham, sengketa, diartikan dengan pendapat yang
berlainan
antara dua pihak mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan
yang
sama.31 Selanjutnya, kata "konflik" menurut Kamus Ilmiah Populer
adalah
pertentangan, pertikaian, persengketaan, dan perselisihan.32
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan dengan
pertentangan, percekcokan33 Merujuk pada pengertian tersebut,
dapat
dipahami bahwa kata "'konflik" mempunyai pengertian yang lebih
luas, oleh
karena istilah konflik tidak hanya digunakan dalam kasus
pertanahan yang
terkait dengan proses perkara pidana, juga terkait dalam proses
perkara
perdata dan proses perkara tata usaha negara. Dalam penelitian
ini konflik
yang dimaksudkan adalah konflik pertanahan yang terkait proses
perkara
pidana, khususnya ketentuan perundang-undangan di luar
kodifikasi hukum
pidana.
31 Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat
Pemerintah dan Peradilan Tata
Usaha Di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1992), Hal. 42 32 A.
Partanto dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya : Arloka,
1994), Hal. 354 33 Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia,(Jakarta : PN. Balai Pustaka, 1982), Hal.:
518
-
Sebutan "tanah" dalam bahasan ini dapat dipahami dengan
berbagai
arti, maka penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui
dalam arti
apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah sebutan
istilah "tanah"
dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah
diberi
batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
dinyatakan bahwa; "Atas dasar hak menguasai dari Negara ...,
ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut
tanah
yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang.". Tanah
dalam
pengertian yuridis mencakup permukaan bumi sebagaimana diatur
dalam
Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hak
tanah
mencakup hak atas sebagian tertentu yang berbatas di permukaan
bumi.
Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan
hak-hak
yang disediakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
untuk
digunakan atau dimanfaatkan. Diberikannya dan dipunyai tanah
dengan
hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya
terbatas
hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja.
Untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan
juga
penggunaan sebagai tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air
serta
ruang angkasa yang di permukaan bumi. Oleh karena itu, dalam
Pasal 4
Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa
hak-
hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk
menggunakan
-
sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang
disebut
"tanah", tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air
serta ruang
angkasa yang ada di atasnya, dengan demikian yang dipunyai
dengan
hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu
dari
permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan yang bersumber
dengan hak tersebut diperluas hingga meliputi juga penggunaan
sebagian
tubuh bumi yang ada di bawah tanah, air serta ruang yang ada
di
atasnya.34
Menurut Parlindungan tanah hanya merupakan salah satu bagian
dari bumi.35 Pembatasan pengertian tanah dengan permukaan
bumi
seperti itu juga diatur dalam penjelasan Pasal Undang-Undang
Pokok
Agraria (UUPA) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 bagian II
angka I
bahwa dimaksud dengan tanah ialah permukaan bumi.36
Pengertian tanah dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 51 PRP
Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang
Berhak
atas Kuasanya, dirumuskan:37
(1) Tanah yang langsung dikuasai oleh negara;
(2) Tanah yang tidak dikuasai oleh negara yang dipunyai dengan
sesuatu
hak oleh perorangan atau badan hukum.
34 Boedi Harsono, Op. Cit. Hal 18 35 A. P. Parlindungan.
Landreform di Indonesia : Suatu Perbandingan,
(Bandung : Mandar Maju, 1990), Hal. 90 36 Boedi Harsono, Op.
Cit. Hal 37 37 Ibid, Hal. 624
-
Tanah dalam pengertian geologis agronomis, diartikan lapisan
permukaan bumi yang paling atas yang dimanfaatkan untuk
menanam
tumbuh-tumbuhan yang disebut tanah garapan, tanah pekarangan,
tanah
pertanian, tanah perkebunan, dan tanah bangunan yang digunakan
untuk
mendirikan bangunan.38
Beberapa pengertian tersebut dapat dipahami bahwa yang di-
maksud dengan pengertiam tanah ialah bagian permukaan bumi
termasuk
tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air yang
langsung
dikuasai oleh negara atau dipunyai dengan sesuatu hak oleh
perorangan
atau badan hukum.
Fokus kajian dalam tesis ini dibatasi pada konflik pertanahan
di
permukaan bumi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 4 Ayat (1)
dan
(2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), khususnya yang
terkait
dengan hak milik atas tanah.
Konflik pertanahan menurut A. Hamzah diistilahkan dengan delik
di
bidang pertanahan, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas
dua
bagian, yang meliputi:39
(1) Konflik pertanahan yang diatur dalam kodifikasi hukum
pidana, yakni konflik (delik) pertanahan yang diatur dalam beberapa
Pasal yang tersebar dalam kodifikasi hukum pidana (KUHP);
38 Sunindhia dan Widiyanti, Pembaharuan Hukum Agraria
(Beberapa
Pemikiran), (Jakarta : Bina Aksara, 1988), Hal. 8. 39 A. Hamzah,
Hukum Pertanahan di Indonesia, (Jakarta : Rineka Cipta, 1991), Hal.
47
-
(2) Konflik pertanahan yang diatur di luar kodifikasi hukum
pidana, yakni konflik (delik) pertanahan yang khusus terkait dengan
peraturan perundang-undangan pertanahan di luar kodifikasi hukum
pidana.
C. Tinjauan Umum Mediasi
Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian persengketaan
yang
diselenggarakan di luar pengadilan, dimana pihak-pihak yang
bersengketa meminta atau
menggunakan bantuan dari pihak ketiga yang netral untuk membantu
menyelesaikan
pertikaian di antara mereka.
Mediasi ini berbeda dengan bentuk penyelesaian pertikaian
alternatif yang lain seperti
negosisi atau arbritrasi, karena di dalam mediasi ini selain
menghadirkan seorang penengah
(mediator) yang netral, secara teori ia dibangun di atas
beberapa landasan filosofis seperti
confidentiality (kerahasiaan), voluntariness (kesukarelaan),
empowerment (pemberdayaan),
neutrality (kenetralan), dan unique solution (solusi yang
unik).40
Sesungguhnya bagi bangsa Indonesia sudah sejak lama menjalankan
pola-pola
penyelesaian sengketa secara tradisional yang dilakukan melalui
peradilan adat maupun
peradilan desa (dorpsjustitie). Pada waktu itu oleh Pemerintah
Hindia Belanda juga diadakan
institusi lain di luar pengadilan yang juga mempunyai tugas
menyelesaikan perkara dagang,
yakni arbitrase atau perwasitan sebagaimana diatur dalam Pasal
615 sampai dengah Pasal
651 Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) Staatsblad
1847 Nomor 52 dan Pasal
377 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Staatsblad 1941
Nomor 44, Pasal 705
Rechtsreglement Buifengewesten (RBg) Staatsblad 1927 Nomor
227.
Selanjutnya, berhubung ketentuan yang terdapat dalam Rv yang
dipakai sebagai
pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi, maka dilakukan
penyesuaian dan perubahan yang
40 David Spencer, Michael Brogan, 2006:3.sebagaimana dikutip
oleh Muslih MZ dalam Mediasi : Pengantar Teori Dan Praktek,
www.hukumonline.com, online internet tanggal 5 Desember 2009
-
mendasar melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Selain mengatur arbitrase, diatur pula di
dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 ini mengenai penyelesaian sengketa
alternatif.
Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang apa itu mediasi
maka dalam tulisan
singkat ini akan disampaikan dan dibahas poin-poin berikut: (1)
pengertian mediasi dan
mediator, (2) model-model mediasi, (3) prinsip-prinsip mediasi,
(4) tahap-tahap mediasi, (5)
teknik mediasi.
1. Pengertian Mediasi
Secara etimologi (bahasa), mediasi berasal dari bahasa latin
mediare yang berarti
berada di tengah karena seorang yang melakukan mediasi
(mediator) harus berada di
tengah orang yang berikai. Dari segi terminologi (istilah)
terdapat banyak pendapat yang
memberikan penekanan yang berbeda tentang mediasi.
Meski banyak yang memperdebatkan mengenai apa sebenarnya yang
dimaksud
dengan mediasi, namun setidaknya ada beberapa batasan atau
definisi yang bisa
dijadikan acuan. Salah satu diantaranya adalah definisi yang
diberikan oleh the National
Alternative Dispute Resolution Advisory Council yang
mendefinisikan mediasi sebagai
berikut: 41
Mediation is a process in which the parties to a dispute, with
the assistance of a dispute resolution practitioner (the mediator),
identify the disputed issues, develop options, consider
alternatives and endeavour to reach an agreement. The mediator has
no advisory or determinative role in regard to the content of the
dispute or the outcome of its resolution, but may advise on or
determine the process of mediation whereby resolution is
attempted.
(Mediasi merupakan sebuah proses dimana pihak-pihak yang
bertikai, dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian
(mediator) mengidentifikasi isu-isu yang dipersengketakan,
mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan
upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan. Dalam hal ini sang
mediator tidak memiliki peran menentukan dalam kaitannya dengan
isi/materi persengketaan atau hasil dari resolusi persengketaan
tersebut, tetapi ia (mediator)
41 David Spencer, Michael Brogan, 2006:3.sebagaimana dikutip
oleh Muslih MZ dalam Mediasi
: Pengantar Teori Dan Praktek, www.hukumonline.com, online
internet tanggal 5 Desember 2009
-
dapat memberi saran atau menentukan sebuah proses mediasi untuk
mengupayakan sebuah resolusi/penyelesaian),
jadi secara singkat bisa digambarkan bahwa mediasi merupakan
suatu proses
penyelesaian pihak-pihak yang bertikai untuk mencapai
penyelesaian yang memuaskan
melalui pihak ketiga yang netral (mediator).
Keberhasilan mediasi bisa dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti
kualitas
mediator (training dan profesionalitas), usaha-usaha yang
dilakukan oleh kedua pihak
yang sedang bertikai, serta kepercayaan dari kedua pihak
terhadap proses mediasi,
kepercayaan terhadap mediator, kepercayaan terhadap
masing-masing pihak. Seorang
mediator yang baik dalam melakukan tugasnya akan merasa sangat
senang untuk
membantu orang lain mengatasi masalah mereka sendiri, ia akan
berindak netral seperti
seorang ayah yang penuh kasih, meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan,
mempunyai metode yang harmonis, mempunyai kemampuan dan sikap,
memiliki integritas
dalam menjalankan proses mediasi serta dapat dipercaya dan
berorientasi pada
pelayanan.
Beberapa sikap dasar yang harus dimiliki oleh mediator adalah:
bersikap terbuka,
mandiri, netral, percaya diri, menghormati orang lain, seimbang,
mempunyai komitmen,
fleksibel, bisa memimpin proses mediasi dengan baik, percaya
pada orang lain dan bisa
dipecaya oleh orang lain serta berorientasi pada pelayanan.
Dengan kata lain, ketika
membantu menyelesaikan konflik, seorang mediator/penegah
harus:
a. Fokus pada persoalan, bukan terhadap kesalahan orang
lain;
b. Mengerti dan menghormati terhadap setiap perbedaan
pandangan;
c. Memiliki keinginan berbagi dan merasakan;
d. Bekerja sama dalam menyelesaikan masalah.
2. Model Mediasi
-
Ada beberapa model mediasi yang perlu diperhatikan oleh pelajar
dan praktisi
mediasi. Lawrence Boulle, professor of law dan associate
director of the Dispute
Resolution Center, Bond University mengemukakan bahwa
model-model ini didasarkan
pada model klasik tetapi berbeda dalam hal tujuan yang hendak
dicapai dan cara sang
mediator melihat posisi dan peran mereka. Boulle menyebutkan ada
empat model mediasi,
yaitu: settlement mediation, facilitative mediation,
transformative mediation, dan evaluative
mediation.42
Settlement mediation yang juga dikenal sebagai mediasi kompromi
merupakan
mediasi yang tujuan utamanya adalah untuk mendorong terwujudnya
kompromi dari
tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai.43 Dalam mediasi
model ini tipe mediator
yang dikehendaki adalah yang berstatus tinggi sekalipun tidak
terlalu ahli di dalam proses
dan teknik-teknik mediasi. Adapun peran yang bisa dimainkan oleh
mediator adalah
menentukan bottom lines dari disputants dan secara persuasif
mendorong disputants
untuk sama-sama menurunkan posisi mereka ke titik kompromi.
Facilitative mediation yang juga disebut sebagai mediasi yang
berbasis
kepentingan (interest-based) dan problem solving merupakan
mediasi yang bertujuan
untuk menghindarkan disputants dari posisi mereka dan
menegosasikan kebutuhan dan
kepentingan para disputants dari pada hak-hak legal mereka
secara kaku.44 Dalam model
ini sang mediator harus ahli dalam proses dan harus menguasi
teknik-teknik mediasi,
meskipun penguasaan terhadap materi tentang hal-hal yang
dipersengketakan tidak terlalu
penting. Dalam hal ini sang mediator harus dapat memimpin proses
mediasi dan
mengupayakan dialog yang konstruktif di antara disputants, serta
meningkatkan upaya-
upaya negosiasi dan mengupayakan kesepakatan.
42 Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa, Edisi Pertama,
Cetakan ke-1 (Jakarta : Telaga Ilmu Indonesia, 2009). Hal. 62 43
Loc. It 44 Loc. It
-
Transformative mediation yang juga dikenal sebagai mediasi
terapi dan
rekonsiliasi, merupakan mediasi yang menekankan untuk mencari
penyebab yang
mendasari munculnya permasalahan di antara disputants, dengan
pertimbagan untuk
meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan
pemberdayaan sebagai
dasar dari resolusi (jalan keluar) dari pertikaian yang ada.45
Dalam model ini sang mediator
harus dapat menggunakan terapi dan teknik professional sebelum
dan selama proses
mediasi serta mengangkat isu relasi/hubungan melalui
pemberdayaan dan pengakuan.
Sedangkan evaluative mediation yang juga dikenal sebagai mediasi
normative merupakan
model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan
berdasarkan pada hak-hak
legal dari para disputans dalam wilayah yang diantisipasi oleh
pengadilan.46 Dalam hal ini
sang mediator haruslah seorang yang ahli dan menguasai
bidang-bidang yang
dipersengketakan meskipun tidak ahli dalam teknik-teknik
mediasi. Peran yang bisa
dijalankan oleh mediator dalam hal ini ialah memberikan
informasi dan saran serta
persuasi kepada para disputans, dan memberikan prediksi tentang
hasil-hasil yang akan
didapatkan.47
3. Prinsip-Prinsip Mediasi
Berdasarkan berbagai pengertian dan kajian-kajian literatur
tentang mediasi dapat
disimpulkan beberapa prinsip dari lembaga mediasi.
a. Mediasi bersifat sukarela
Prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui
mediasi
tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari
sifat
kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan
pada
45 Ibid, Hal. 63 46 Loc. It. 47 David Spencer, Michael Brogan,
2006:101-103, sebagaimana dikutip oleh Muslih MZ dalam
Mediasi : Pengantar Teori Dan Praktek, www.hukumonline.com,
online internet tanggal 5 Desember 2009.
-
kekuatan kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata.
Dengan
demikian pada prinsipnya pilihan mediasi tunduk pada kehendak
atau
pilihan bebas para pihak yang bersengketa. Mediasi tidak
bisa
dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang
menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada
kesepakatan penyelesaian.48 Meskipun para pihak telah
memilih
mediasi sebagai cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak
ada
kewajiban bagi mereka untuk menghasilkan kesepakatan dalam
proses
mediasi tersebut. Sifat sukarela yang demikian didukung fakta
bahwa
mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya memiliki
peran
untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas
sengketa yang dihadapi para pihak, Mediator tidak memiliki
kewenangan untuk memutuskan sengketa yang bersangkutan
seperti
layaknya seorang hakim atau arbiter. Dengan demikian tidak
ada
paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
dengan cara mediasi.49
Menurut hukum di Indonesia, praktek mediasi pada
umumnyajuga didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Dalam konteks sengketa konsumen penggunaan
mediasi
48 Howard Raiffa, The Art & Science of Negotiation, (Amacom
: American
Management Association, 1982), Hal. 117. 49 M. Zein Umar Purba,
Mediasi Dalam Sengketa Perbankan : Perbandingan Dengan Bidang
Pasar Modal dalam Mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank
Indonesia dan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan
Tahun 2007, Hal. 7 sebagaimana dikutip dari Naskah Akademis
Mediasi" terbitan Mahkamah Agung RI tahun 2007 Hal. 15
-
bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (2) UU
No. 8
Tahun 1999 yang berbunyi:
"Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela
para pihak yang bersengketa".
Penggunaan mediasi dalam kasus-kasus sengketa yang tidak
dilandasi oleh adanya hubungan kontrak atau perjanjian juga
bersifat
sukarela, misalkan sengketa Lingkungan Hidup berdasarkan Pasal
30
dan 32 UU No. 23 Tahun 1997 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 30:
"Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui
pengadiian atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan secara
sukarela para pihak yang bersengketa"
Pasal 32 :
"Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan
dapat digunakan jasa pihak ketiga, baik yang tidak memiliki
kewenangan mengambil keputusan maupun yang memiliki kewenangan
mengambil keputusan untuk membantu menyelesaikan sengketa
lingkungan hidup."
Pada perkembangannya kemudian penggunaan mediasi ada
yang bersifat wajib untuk konteks-konteks tertentu. Di Indonesia
mediasi
bersifat wajib sampai saat ini diberlakukan untuk
sengketa-sengketa
perdata yang telah diajukan ke pengadilan negeri berdasarkan
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
-
Penggunaan prosedur mediasi wajib dalam hal ini dimungkinkan
karena hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia, HIR dan
RBG
menyediakan dasar hukum yang kuat. Pasal 130 HIR dan Pasal
145
RBG menyatakan bahwa hakim diwajibkan untuk terlebih dahulu
mengupayakan proses perdamaian. Dengan demikian, penggunaan
mediasi yang bersifat wajib dalam kaitannya dengan proses
peradilan
perdata di Indonesia memiliki dasar hukum yang kuat pada
tingkat
undang-undang, sehingga tidak menimbulkan persoalan dari
aspek
hukum.50
b. Lingkup sengketa pada prinsipnya bersifat keperdataan
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang
yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan
bahwa
pada prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan
melalui
mediasi adalah sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No.
23
Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan
bahwa
penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap
tindak
pidana lingkungan hidup. Demikian pula dalam Pasal 75 ayat (1)
UU
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana dirubah
dengan
UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan penyelesaian sengketa
kehutanan
50 Takdir Rahmadi, Mediasi Perbankan, makalah disampaikan pada
Diskusi Terbatas
Mediasi Perbankan, diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara bekerjasama
Universitas Andalas, Bumi Minang, Padang, Selasa, 3 April 2007,
hal. 4
-
di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana
sebagaimana
diatur dalam UU Kehutanan tersebut.
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti
kedua UU terdahulu, namun dari ketentuan Pasal 5 ayat (1)
yang
berbunyi: "sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase
hanya
sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut
hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak yang
bersengketa", dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat
diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa perdagangan dan sengketa hak
yang
bersifat keperdataan saja.51
Namun meskipun demikian secara teoritis masih terbuka
kemungkinan untuk menyelesaikan tindak pidana tertentu
melalui
proses penyelesaian diluar peradilan. Kemungkinan ini
terutama
dikarenakan sifat sanksi pidana itu sendiri sebagai ultimum
remedium,
Menurut Soedarto, konsekwensi dari sifat atau ciri ini, maka
bilamana
sarana hukum lainnya seperti perdata dan administrasi bisa atau
lebih
baik digunakan, maka hukum atau sanksi pidana tidak perlu
digunakan.
Atau dengan kata lain bila tidak perlu sekali jangan
menggunakan
pidana sebagai sarana.52 Sedangkan Remmellink mengemukakan
51 Ibid. hal. 12 52 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung :
Alumni, 1977), hal.32
-
bahwa Hukum Pidana bukan merupakan tujuan dalam dirinya
sendiri,
melainkan memiliki fungsi pelajaran dan fungsi sosial.53
Pemahaman ini tentu membuka ruang gerak bagi penggunaan
mediasi perbankan kalau mekanisme ini lebih baik digunakan.
Apalagi
mengingat sengketa perbankan yang mempunyai aspek pidana
atau
tindak pidana perbankan itu sendiri tergolong ke dalam Tindak
Pidana di
Bidang Ekonomi yang menyebutkan penyelesaian yang cepat,
efektif
dan efisien. Namun semua itu tentu harus dalam kerangka hukum
yakni
hukum yang bersifat khusus atau bijzondere strafrecht.
Di samping itu, dalam praktek sebenarnya penyelesaian kasus
keperdataan yang berindikasi pidana sudah sering menggunakan
penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan (Model penyelesaian
ini
sudah banyak digunakan, khususnya dalam kasus BLBI dan kasus
Bank Lipo). Dalam penanganan kasus BLBI misalnya pemerintah
berupaya menyelesaikan masalah tersebut terlebih dahulu melalui
jalur
luar pengadilan. Dari aspek dunia usaha kasus-kasus perbankan,
yang
bisa digolongkan sebagai "white collar crime"; akan lebih
menguntungkan kalau diselesaikan di luar mekanisme
penyelesaian
perkara pidana seperti yang dikemukakan oleh Russel L.
Blintiff:54
53 Jan Rummellink, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal KUHP
Belanda
dan Padangannya dalam KUHP Indonesia, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 2005), hal.15
54 Russell L. Bintliff, Complete Maual of White Collar Crime,
Detection and Prevention, Prentice Hall, New Jersey, 1993, hal.
12
-
"Since civil action is simplier and easier than criminal trial,
it often supplies the best remedy for recovering property, money or
taking other punitive actions in the white collar crime case.
...Often the company benefits by using civil court instead of
criminal court remedies in dealing with action involving white
collar crime
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Marshal B. Clinard dan
Peter
C. Yeager, bahwa dalam kejahatan korporasi (corporate crime)
penerapan sanksi pidana sangat jarang dikenakan:55
"The use of criminal sanction against corporate executive
remain, limited. In spite of the hai m that their sanctions
engender, corporatt offenders simply are not viewed in the same
manner as are ordinar offenders. For the most part, when reference
is made to the regulatiol of corporate behavior by measure directed
at key corporate personnei it must be realized that such actions
are in all probability going tos betaken, if at all, only in the
most blatant cases.
Disamping itu, model penyelesaian perkara pidana di luar
pengadilan
sudah dikenal dalam hukum pidana baik yang diatur dalam Pasal
82
KUHP ataupun perundang-undangan di luar KUHP, baik itu
melalui
mekanisme sanksi administratif ataupun penyelesaian perkara
secara
cepa