Page 1
WP/12/2019
WORKING PAPER
Solikin M. Juhro, Budi Trisnanto
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
2019
PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES
SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU
Page 2
2
PERAN INOVASI, CULTURAL CAPITAL DAN VALUES
SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU
Solikin M. Juhro and Budi Trisnanto1
ABSTRAK
Indonesia memiliki modalitas yang sangat “berlimpah” dalam bentuk cultural capital
dan values. Modalitas tersebut berpotensi menjadi sumber baru pertumbuhan ekonomi
Indonesia ke depan. Kekayaan budaya dan nilai-nilai budaya termasuk tingkat religiousitas
masyarakat merupakan faktor penting dalam meningkatkan kualitas human capital. Penelitian
ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia dapat dijelaskan secara lebih baik dengan menggunakan model endogenous
growth model. Selain itu, inovasi dan pembiayaan syariah merupakan faktor yang memengaruhi
dinamika pertumbuhan ekonomi meski dengan derajat yang masih kecil. Berkaitan dengan hal
tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran cultural capital dan values terhadap
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas (inovasi). Dengan menggunakan data
panel seluruh provinsi di Indonesia, diperoleh hasil bahwa cultural capital yang didekati dengan
variabel intangible cultural capital (traditional craftsmanship) dan values yang didekati dengan
variabel jumlah pelajar sekolah islam secara statistik memberikan dampak yang signifikan
terhadap produktivitas. Sebagai catatan, caveat dari penelitian ini adalah tidak tersedianya data
survei dan indikator proxy religiousitas seperti jumlah infaq dan shodaqoh.
Key words: Pertumbuhan ekonomi, Endogenous growth, cultural capital.
JEL Classification: O3, O4, O30
1 Bank Indonesia Institute. Views expressed in this paper are of the authors and do not reflect the views of Bank
Indonesia or its Board of Governors. The authors wish to thank Ridwan Umar Hanafi for his excellent and valuable
research assistance. All errors belong to the authors.
Page 3
3
I. PENDAHULUAN
Tiga dekade terakhir ini merupakan periode yang sangat dinamis dan diwarnai oleh banyak
tantangan dan momen penting bagi pencapaian kinerja perekonomian Indonesia. Dalam periode
tersebut perekonomian Indonesia mengarungi dua kejadian krisis yang tergolong besar, yaitu
krisis keuangan Asia (Asian Financial Crisis/AFC) 1997/98 dan krisis keuangan global 2008/09
(Global Financial Crisis/GFC). Perekonomian Indonesia menunjukkan tingkat ketahanan
terhadap krisis yang cukup baik. Pasca krisis keuangan Asia, perekonomian Indonesia tumbuh
masih cukup kuat, bahkan di atas pertumbuhan ekonomi negara lain di kawasan. Namun,
perbaikan ekonomi Indonesia berjalan lambat sejalan dengan belum pulihnya permintaan global,
yang diperparah dengan terjadinya krisis keuangan global di 2008/09.
Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia masih bertumpu pada konsumsi domestik
dengan pangsa yang semakin meningkat paska krisis keuangan global. Kegiatan konsumsi dan
investasi menjadi sumber pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Peran konsumsi domestik
terhadap PDB berkisar antara 60-70% pada periode sebelum krisis keuangan Asia. Kontribusi
konsumsi domestik kemudian meningkat menjadi paling tidak sebesar 70% pada periode setelah
krisis keuangan Asia. Perkembangan tersebut terus berlanjut pada periode setelah krisis
keuangan global 2008/09, dimana pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat ditopang oleh tingginya
konsumsi di tengah kegiatan investasi yang masih kuat. Kuatnya permintaan domestik tersebut
(demand driven) tidak terlepas dari peningkatan daya beli, cukup kondusifnya iklim investasi,
dan tetap terjaganya keyakinan konsumen terhadap prospek perekonomian ke depan. Tingginya
peran sektor domestik dan meningkatnya kontribusi investasi menggeser peran sektor eksternal
yang didorong oleh ekspor (export-led growth). Kinerja ekspor sebagai penopang perekonomian
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pertumbuhan ekonomi global dan harga komoditas
internasional. Indonesia yang sangat kaya dengan minyak dan sumber daya alam (SDA) sangat
diuntungkan dengan tingginya harga komoditas internasional. Namun, sejalan dengan
perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh krisis keuangan dan juga penurunan harga
komoditas membuat peran ekspor semakin menurun sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi
Indonesia.
Dari sisi sektoral (Lapangan Usaha), selama 1993-2018, struktur perekonomian Indonesia
masih didominasi oleh Industri Pengolahan/Manufaktur dan Perdagangan. Namun, dalam
beberapa waktu terakhir laju pertumbuhan yang cukup tinggi terlihat pada sektor-sektor tersier,
seperti Transportasi dan Komunikasi, Jasa-Jasa, dan Konstruksi. Pergeseran sumber
pertumbuhan ekonomi dari sisi sektoral tersebut memiliki konsekuensi pada perkembangan
sektor eksternal yang terlihat belum begitu menggembirakan. Defisit Transaksi Berjalan (CAD)
masih cukup lebar dalam 5 tahun terakhir (di kisaran 2,3% dari PDB). Secara sekilas, kondisi
tersebut memang tidak lepas dari daya saing industri domestik yang rendah, disamping struktur
industri yang masih sangat tergantung pada impor bahan baku dan barang modal.
Ketergantungan terhadap impor yang masih tinggi menyebabkan permasalahan defisit transaksi
berjalan (TB) tidak kunjung reda. Dengan adanya “balance of payments-constrained growth”
Page 4
4
tersebut, apabila tidak ada langkah kebijakan yang bersifat struktural yang kuat dan konsisten,
defisit TB akan terus melebar sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan memiliki
risiko untuk tidak berkelanjutan, 2015).
Dengan kondisi makroekonomi yang masih cukup terjaga, indeks daya saing Indonesia
sayangnya mengalami penurunan ranking/posisi dalam Global Competitiveness Index.
Berdasarkan Global Competitive Report 2019, dari total 141 negara responden, posisi daya saing
Indonesia berada di urutan ke-50 atau turun lima peringkat dibandingkan posisi tahun
sebelumnya (2017). Pilar innovation capability --yang mengukur kuantitas dan kualitas kegiatan
research and development (R&D) serta lingkungan yang mendukung kolaborasi, konektivitas,
kreativitas, serta kapasitas untuk mewujudkan ide-- juga masih bernilai rendah, yakni dengan
skor 37,7 dan berada pada posisi 74. Sementara itu, pilar yang mengukur kualitas human capital,
khususnya dari aspek skill2 juga masih rendah (skor 64; posisi 65). Keterbatasan kemampuan
inovasi tersebut terutama dipengaruhi oleh masih rendahnya kegiatan research and development
(R&D). Berdasarkan UNESCO (2019), pengeluaran biaya R&D untuk Indonesia hanya sebesar
0,24% terhadap PDB pada tahun 2017. Nilai ini jauh tertinggal jika dibandingkan dengan
negara-negara frontier.
Dengan kondisi tersebut, strategi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia
perlu diarahkan pada peningkatan produktivitas disamping mencari sumber baru pertumbuhan
ekonomi. Indonesia memiliki berbagai endowments yang mendukung seperti bonus penduduk
usia muda, masyarakat kelas menengah yang meningkat, sumber daya alam yang berlimpah yang
juga disertai dengan kekayaan budaya yang beragam dan nilai-nilai keagamaan yang kuat.
Faktor-faktor tersebut dapat menjadi modal yang sangat potensial untuk menciptakan sumber-
sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia, sehingga dapat melesat menjadi negara
berpendapatan tinggi. Bila dilihat dari tren pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel terkait
sebagaimana diuraikan sebelumnya, menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor eksogen dan
endogen yang berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan pesat dekade-dekade sebelumnya, misalnya, disertai dengan peningkatan signifikan
dalam pengembangan modal manusia dan diversifikasi ekonomi dari sektor pertanian ke
manufaktur (Hofman et al., 2004).
Kualitas SDM dapat pula ditingkatkan melalui penguatan karakter atau nilai-nilai luhur
budaya dan agama. Khan et al (2010) membuktikan bahwa nilai-nilai budaya (cultural traits),
yaitu trust, respect, dan self-determination memiliki dampak yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Nilai-nilai budaya membentuk karakter individu sehingga dapat menurunkan biaya
transaksi (trust), acceptance attitude yang mendorong perdagangan (respect), dan perilaku
inovatif (self-determination). Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan nilai-nilai budaya
luhur bangsa (nilai-nilai kebangsaan) serta bangsa yang religius memiliki modalitas
pembangunan ekonomi yang sangat potensial. Modalitas tersebut memperkuat peningkatan
kualitas SDM yang dilakukan melalui jalur pendidikan. Investasi pada penguatan nilai-nilai
budaya memberikan dampak yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan tingkat
2 The general level of skills of the workforce and the quantity and quality of education.
Page 5
5
pendapatan khususnya lingkungan ekonomi yang memiliki nilai-nilai budaya yang cukup kental
(culture-intensive) (Bucci et al, 2014). Selain itu, dampaknya lebih besar (magnified) terhadap
produktivitas (total factor productivity – TFP) yang sensitif terhadap nilai-nilai budaya (stok
cultural capital). Dengan kata lain, di lingkungan kerja yang sarat akan nilai-nilai budaya maka
produktivitas dapat ditingkatkan dengan mempertebal atau memperkuat nilai-nilai tersebut.
Grafik 1 menunjukkan bahwa pada tingkat provinsi, perbedaan indeks pembangunan
manusia di Indonesia pada tahun 2018 tidak terlalu tinggi. Dari 34 provinsi, terdapat 9 provinsi
yang memiliki IPM di atas nilai IPM nasional. Dari 9 provinsi tersebut, terdapat Provinsi Riau
dan Kalimantan Timur yang merupakan wilayah kaya sumber daya alam. UNDP (2017)
berpendapat bahwa banyak negara terlalu berfokus pada rata-rata nasional dan tidak pada variasi
yang sangat besar antar daerah. Hal ini menunjukkan bahwa studi mengenai wilayah/daerah yang
masih tertinggal dan faktor penyebabnya menjadi hal yang krusial untuk dilakukan.
Sumber: Badan Pusat Statistik
3
Grafik 1. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Provinsi Tahun 2018
Affandi dan Anugrah (2017) dengan menggunakan growth diagnostic model,
mengungkapkan bahwa permasalahan rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia
merupakan hambatan paling utama (the most binding constraint) pertumbuhan ekonomi.
Permasalahan ini umumnya juga diikuti dengan rendahnya produktivitas pada hampir di seluruh
provinsi Indonesia. Permasalahan human capital merupakan permasalahan klasik bagi negara
middle income seperti Indonesia. Besarnya jumlah penduduk yang tidak didukung keahlian atau
pendidikan yang tinggi dapat membuat Indonesia sulit keluar dari middle income trap. Tenaga
kerja dengan pendidikan yang tinggi diperlukan untuk menggeser industri mayoritas di sebuah
negara yang menggunakan teknologi rendah menuju ke industri yang menggunakan teknologi
menengah atau tinggi. Pergeseran jenis industri ini merupakan salah satu cara menghindari
3 https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/06/16/1211/indeks-pembangunan-manusia-menurut-provinsi-2010-
2018-metode-baru-.html [Diakses pada 29 November 2019 pukul 10.43]
6064 64 65 67 67 68 68 69 69 69 69 70 70 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71 71 72 72 72 72 75 75 76
80 80
-
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Skor IPM
Page 6
6
middle income trap (Eichengreen, Park dan Shin, 2013). Pada tahun 2045, Indonesia
diproyeksikan akan mengalami kondisi bonus demografi dengan komposisi penduduk produktif
yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan untuk lepas dari potensi berada di middle income trap
economy.
Dari sudut pandang teoritis, dinamika pertumbuhan ekonomi suatu negara dan wilayah
dalam jangka panjang akan selalu menuju ke kondisi balance growth path atau keseimbangan
jangka panjang. Pada titik tersebut tingkat pertumbuhan ekonomi akan menjadi stagnan.
Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi modern, yang dapat mengakselerasi pertumbuhan
ekonomi di sebuah perekonomian adalah Total Factor Productivity (TFP) yang dipengaruhi oleh
kualitas modal manusia, peran kelembagaan, demokrasi, kemajuan dan kemampuan
mengaplikasikan teknologi. Berdasarkan latar belakang empiris untuk kondisi Indonesia dan
penjelasan teoritis di atas, maka peranan human capital sebagai akselerator pertumbuhan dalam
perekonomian Indonesia menjadi penting. Demikian pula, walau tersirat bahwa transformasi
struktural Indonesia menuju ekonomi yang berorientasi sektor jasa, isu-isu yang berkaitan
dengan produktivitas sektor jasa pada khususnya dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi
Indonesia kurang dipahami dan merupakan topik yang menjadi perhatian kebijakan. Selain dari
isu-isu ini, literatur menyimpulkan beberapa hambatan pertumbuhan ekonomi seperti masalah
yang terkait dengan kualitas infrastruktur, sumber daya manusia, dan pendidikan yang mencegah
ekonomi bergerak ke lintasan pertumbuhan yang lebih tinggi (Juhro, 2016).
Dalam perekonomian Indonesia, terdapat regional imbalances atau ketidakseimbangan
regional, dimana terdapat konsentrasi pembangunan pada wilayah-wilayah tertentu saja.
Berdasarkan data BPS, 60 persen PDB Nasional disumbang oleh wilayah Jawa dan 21 persen
berasal dari wilayah Sumatera4. Dengan demikian, PDB yang merupakan cerminan dari aktifitas
perekonomian di Indonesia, paling tidak 80 persennya bersumber dari wilayah Jawa dan
Sumatera. Peranan wilayah Kalimantan, Sulawesi, dan Kawasan Timur Indonesia--yang
merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam dan sebagian besar dari luas wilayah
Indonesia--hanya mencapai 20 persen dalam total aktifitas perekonomian di Indonesia. Fakta
empiris ini menunjukan bahwa ketidakseimbangan perekonomian di Indonesia relatif sangat
tinggi dengan terkonsentrasi di dua wilayah utama yaitu Jawa dan Sumatera.
Dengan latar belakang di atas, studi ini mengeksplore endogenous growth model dengan
tujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan yaitu: (i) Seberapa besar kontribusi modal manusia
(human capital) menjelaskan pertumbuhan ekonomi di tingkat regional, dan (ii) Bagaimana
peran faktor-faktor endogen lain (endowment factors, i.e. inovasi, cultural capital, dan values)
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di tingkat regional. Kontribusi penelitian ini sangat
signifkan. Pertama, masih terbatasnya literatur mengenai endogenous growth model untuk
konteks ekonomi Indonesia, sebagaimana salah satunya adalah Juhro dan Trisnanto (2018).
Kedua, sangat terbatasnya studi mengenai peran faktor budaya dan nilai-nilai luhur yang ada
ditengah masyarakat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terlebih untuk konteks keunikan
4https://www.bps.go.id/dynamictable/2016/06/08/1202/pdrb-triwulanan-atas-dasar-harga-konstan-menurut-
pengeluaran-2010-100-2014-2018.html [Diakses pada 29 November 2019 pukul 10.40]
Page 7
7
Indonesia yang memiliki ribuan pulau, beragam suku dan budaya, serta endowment yang berbeda
di tingkat provinsi.
Dengan berbagai perspektif tersebut, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
perspektif kebijakan yang berbeda dalam memahami pertumbuhan ekonomi regional Indonesia.
Paparan working paper penelitian ini terdiri dari 5 bagian. Menyambung bagian pendahuluan ini
disampaikan tinjauan literature mengenai teori dan hasil studi empiris mengenai pertumbuhan
ekonomi endogen, dengan penekanan peran inovasi, cultural capital dan values. Bagian ketiga
memaparkan metodologi permodelan dan data yang digunakan. Bagian keempat adalah hasil
estimasi dan analisis. Bagian terakhir adalah penutup yang berisi kesimpulan dan implikasi
kebijakan,
II TINJAUAN LITERATUR
2.1 Inovasi sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi
Pendekatan lanjutan dalam teori pertumbuhan endogen, yang utamanya digunakan pada
saat ini, adalah model yang menggunakan inovasi teknologi (secara eksplisit) dan investasi
dalam bidang R&D (Voosholz, 2014). Kedua hal tersebut (inovasi teknologi dan investasi dalam
bidang R&D) memengaruhi produksi dengan dua cara, yaitu dengan meningkatkan variasi (jenis)
produk dan dengan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Karakteristik utama model
pertumbuhan ini adalah perusahaan hanya akan berinvestasi dalam bidang R&D jika inovasi
dapat digunakan secara ekslusif (tidak dapat digunakan oleh pihak lain) dan setidaknya
perusahaan berada dalam kondisi monopoli (sementara). Inovasi juga akan meningkatkan daya
saing perusahaan (Gerguri dan Ramadani, 2010). Dalam ekonomi modern, inovasi sangat
penting untuk penciptaan nilai (value creation), pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan
pekerjaan.
Inovasi merupakan faktor penting dalam pertumbuhan dan kinerja perekonomian dalam
ekonomi global. Pentingnya inovasi semakin diperkuat oleh adanya globalisasi dan kemajuan
pesat teknologi (information and technology communication/ICT), di mana keduanya
menciptakan bentuk kompetisi baru dan membuka pasar baru untuk penciptaan serta pengiriman
produk-produk inovatif (OECD, 2007). Inovasi membawa teknologi dan produk baru yang
membantu mengatasi tantangan global, menciptakan cara baru dalam proses produksi yang
mampu meningkatkan produktivitas, penciptaan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (Gerguri dan Ramadani, 2010). Penciptaan inovasi sendiri bergantung
kepada basic knowledge yang diperoleh melalui pendidikan dan sains (OECD, 2007). Oleh
karena itu, untuk memfasilitasi proses difusi inovasi diperlukan sistem pendidikan yang baik
serta mampu diakses secara luas.
Salah satu teori terbaik yang menjelaskan peran inovasi sebagai motor penggerak
pertumbuhan ekonomi diintroduksi oleh Paul M. Romer (salah seorang pelopor teori
pertumbuhan endogen). Berdasarkan teori variasi produk Dixit dan Stiglitz (1977), Romer
Page 8
8
(1990) membangun model di mana inovasi mengarahkan kepada penciptaan produk baru dan
peningkatan variasi produk (inovasi horizontal). Model Romer terdiri dari 3 tahapan, yaitu (i)
produksi/penciptaan inovasi; (ii) produksi intermediates; dan (iii) produksi produk akhir. Pada
model ini, human capital dan teknologi memikili peran yang signifikan. Penciptaan ide-ide baru
dan prototipe produk baru merupakan fungsi dari share of human capital (HA) dan current stock
of knowledge di dalam sektor riset. Di sektor riset, sebagian besar tenaga kerja atau share of
human capital digunakan sebagai input langsung, dikombinasikan dengan total stock of the
technical knowledge of the society yang akan memengaruhi produktivitas tenaga kerja yang
digunakan. Output dari sektor riset adalah pengetahuan teknis baru yang kemudian akan
ditambahkan ke dalam current stock of knowledge.
Model pertumbuhan Romer juga merupakan model pertumbuhan berbasis technological
change (perubahan teknologi). Menurut Romer (1990), perubahan teknologi ini muncul dari
investasi melalui pengembangan R&D. Model pertumbuhan Romer dibangun berdasarkan
beberapa argumen, yang pertama adalah perubahan teknologi--peningkatan infrastruktur--
merupakan motor utama dalam pertumbuhan ekonomi. Model yang dikembangkan Romer
menyerupai model Solow (1956) yang disertai dengan perubahan teknologi. Perubahan teknologi
menyediakan insentif yang kontinu (berkelanjutan) terhadap akumulasi modal. Secara
bersamaan, keduanya (perubahan teknologi dan akumulasi modal) akan meningkatkan
produktifitas tenaga kerja. Asumsi yang kedua adalah perubahan teknologi sebagian besar
muncul karena tindakan yang disengaja oleh orang-orang merespon insentif pasar. Insentif pasar
sendiri memainkan peran penting dalam proses perubahan teknologi. Asumsi yang ketiga, dan
yang terpenting, perubahan teknologi akan menurunkan biaya produksi. Perubahan teknologi
akan mengarahkan kepada pembentukan instruksi baru yang dapat digunakan terus menerus
tanpa menyebabkan timbulnya additional cost. Berikut model fungsi produksi yang
dikembangkan oleh Romer (1990):
Y = Kα (ALγ)1-α
��= sK Y – dK merupakan akumulasi kapital dan pertumbuhan populasi 𝐿
𝐿 = n. Jumlah ide
(ideas) atau stock of knowledge accumulated dilambangkan dengan A.
��= LA
Jumlah new ideas (��) sama dengan jumlah orang yang mencurahkan waktunya untuk
menemukan ide-ide baru (LA), dikalikan dengan tingkat dihasilkannya/ditemukannya ide baru.
Tenaga kerja digunakan baik untuk memproduksi barang-barang (LY) ataupun memproduksi ide-
ide baru (LA).
L = LY + LA
Tingkat dihasilkannya ide-ide baru dapat bernilai konstan (constant return) atau
meningkatkan (increasing return) fungsi A.
= A
Page 9
9
Dampak dari LA tidaklah proporsional. Jadi, diasumsikan bahwa 𝐿𝐴 , yang mengarahkan
kepada inklusi ide-ide baru pada fungsi produksi, memiliki nilai 0 < < 1. Fungsi produksi baru
dengan ide-ide baru akan menjadi,
�� = 𝐿𝐴 A
Diasumsikan bahwa 0 < < 1. Kemudian bagi persamaan di atas dengan A sehingga,
��
𝐴 =
𝐿𝐴
𝐴1−
Dengan ��
𝐴 = gA = konstan,
��𝐴
𝐿𝐴 – (1 - )
��
𝐴 = 0
Sehingga, adanya penambahan ide-ide baru ke dalam ekonomi akan menyebabkan
peningkatan pertumbuhan ekonomi.
2.2. Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Baru & Peran Cultural Capital
Modal Budaya (Cultural Capital)
Pengaruh budaya terhadap kinerja perekonomian masih menjadi hal yang tidak mudah
dipahami dalam ilmu ekonomi, khususnya di dalam teori neoklasik. Para ekonom tersebut
enggan mengandalkan budaya sebagai salah satu determinan yang mungkin memengaruhi
kinerja perekonomian. Keengganan ini utamanya disebabkan oleh sulitnya mengkuantifikasi
variabel budaya variabel budaya yang melekat di mana-mana (memiliki cakupan yang luas)
seperti di dalam kebiasaan maupun perilaku sehari-hari, dan memasuki ruang lingkup ekonomi
secara samar-samar sehingga sulit untuk merancang uji hipotesisnya. Konsekuensi dari
pandangan tersebut menyebabkan peran budaya dalam perekonomian menjadi dikecilkan. Tanpa
adanya hipotesis yang dapat diuji, tidak ada peran budaya dalam ekonomi kecuali mungkin
sebagai mekanisme seleksi di antara banyak ekuilibria (Greif, 1994, 2005).
Pembahasan mengenai modal budaya (cultural capital) pertama kali dilakukan oleh
Bourdieu dan Passeron (1977). Konsep ini diulas kembali secara lebih komprehensif oleh
Bourdieu (1984; 1986). Bourdieu (1986) dalam “The Forms of Capital”, mengelompokkan
modal budaya ke dalam tiga jenis, yaitu modal budaya terkandung (embodied state), modal
budaya terobjektifikasi (objectified state) dan modal budaya terlembagakan (institutionalized
state). Modal budaya merupakan pendidikan seseorang (pengetahuan dan keterampilan) yang
memberikan keuntungan dalam mencapai status sosial yang lebih tinggi di dalam masyarakat.
Bourdieu (1986), dalam esai sosiologinya, mengidentifikasi modal ke dalam tiga
kategori, yaitu modal ekonomi (economic capital), modal sosial (social capital) dan modal
budaya (cultural capital). Pengelompokkan ini didasarkan kepada biaya yang harus dikeluarkan
dalam mentransformasi modal dan field (bidang/area) tempat berfungsinya modal tersebut.
Bentuk pertama adalah modal ekonomi, yaitu modal yang dapat segera dan langsung dikonversi
menjadi uang serta dapat dilembagakan ke dalam bentuk property rights. Bentuk kedua adalah
modal budaya, yaitu modal yang dapat diubah menjadi modal ekonomi (dalam kondisi tertentu)
dan dapat dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan. Bentuk yang terakhir adalah
Page 10
10
modal sosial, terdiri dari kewajiban sosial (koneksi) yang dapat diubah menjadi modal ekonomi
(dalam kondisi tertentu) dan dapat dilembagakan dalam bentuk gelar kebangsawanan. Diskursus
mengenai modal budaya dan modal sosial telah menjadi pembahasan yang cukup intens dalam
beberapa waktu terakhir.
Sedangkan menurut Harper-Scott dan Samson (2009) modal budaya merujuk kepada aset
sosial non-finansial (pendidikan, keterampilan, gaya berbicara, dll) yang mendorong mobilitas
sosial dalam stratifikasi masyarakat. Throsby (2001) mendefinisikan modal budaya sebagai
persediaan (stock) dari ekspresi budaya berwujud (tangible) dan tidak berwujud (intangible).
Berbagai literatur yang ada juga telah mencoba mendefinisikan ‘budaya’ secara lebih
sempit untuk memudahkan pencarian hubungan kausal antara budaya terhadap perekonomian.
Granato et al (1996) menjelaskan budaya sebagai sistem nilai-nilai dasar umum yang membantu
membentuk perilaku kelompok masyarakat tertentu. Di sebagian besar kelompok masyarakat
pra-industri, nilai-nilai ini berupa agama yang berubah dengan lambat; kemudian adanya
industrialisasi dan proses modernisasi membuat nilai-nilai ini menjadi lebih rasional dan terbuka
terhadap perubahan. Peran budaya menjadi lebih penting dalam memahami post-industrial
development dan tampaknya akan menjadi semakin penting di masa mendatang (Bucci et al,
2014). Porter (2000) mendefinisikan budaya sebagai nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi dan
asumsi-asumsi mendasar lain yang umumnya diterima di suatu kelompok masyarakat. Guiso et
al (2006) mendefinisikan budaya sebagai keyakinan dan nilai-nilai adat yang dianut oleh
kelompok etnis, agama, dan sosial yang tidak berubah dari generasi ke generasi.
UNESCO (2009), dalam Framework for Cultural Statistics, mendefinisikan
domain/wilayah budaya sebagai serangkaian kegiatan ekonomi (seperti produksi barang dan
jasa) dan sosial (seperti partisipasi dalam kegiatan budaya) yang secara tradisional dianggap
sebagai “budaya”. Selain itu, related domain terdiri dari kegiatan ekonomi dan sosial lainnya
yang dapat dikategorikan sebagai “partially cultural” atau yang lebih sering dianggap sebagai
“rekreasional” daripada “purely cultural”. Definisi domain budaya bertujuan untuk mengukur
kegiatan budaya, barang, dan jasa yang dihasilkan oleh kegiatan industri maupun non-industri.
Produk (barang atau jasa) budaya mencakup nilai-nilai artistik, estetika, simbolik dan spiritual.
Produk budaya memiliki karakteristik yang berbeda dari produk lainnya karena sistem
valorisasinya (penetapan kembali nilai harga sutu produk), yang meliputi beberapa karakteristik
seperti irreproducible (tidak dapat diproduksi kembali) (Throsby, 2001). Pengembangan budaya
(infrastruktur) juga merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi emerging countries,
karena sektor ini diprediksi akan mampu menyerap lebih dari separuh turis internasional pada
2030 (Ernst dan Young, 2015) yang merupakan sumber devisa potensial.
Sementara itu, Intangible Cultural Heritage (ICH)5 dapat dianggap sepenuhnya bersifat
budaya, sedangkan tiga domain transversal (education and training; archiving and preserving
dan equipment and supporting materials) dianggap “partially cultural” karena domain-domain
5 “Practices, representations, expressions, knowledge, skills – as well as the instruments, objects, artefacts and
cultural spaces associated therewith – that communities, groups and, in some cases, individuals recognize as part of
their cultural heritage” (UNESCO, 2003).
Page 11
11
tersebut mengandung elemen/ativitas yang bersifat budaya. ICH ditransmisikan/diwariskan dari
generasi ke generasi dan membentuk identitas bagi masyarakat di suatu wilayah (UNESCO,
2009). ICH sangatlah unik karena hanya dapat didefinisikan sebagai ICH jika
komunitas/masyarakat di suatu wilayah menerima/mengakuinya sebagai heritage. Identifikasi
sebagai ICH sangat bergantung kepada masyarakat/komunitas dalam menjaga, memelihara, dan
mewariskan objek tersebut. Dengan kata lain, tidak ada pihak luar (pemerintah, peneliti dll) yang
dapat mendefinisikan suatu objek sebagai ICH selain masyarakat di wilayah tersebut. Sebagai
tambahan, tiga domain transversal dimasukkan karena peran kunci mereka dalam siklus budaya
untuk produksi, transmisi budaya. Domain-domain tersebut disebut transversal juga karena dapat
diaplikasikan/diterapkan ke semua domain budaya dan related domains.
Akan tetapi, literatur dan gagasan mengenai pengaruh budaya terhadap kinerja
perekonomian telah semakin berkembang saat ini. Perkembangan teknik/metodologi dan data
yang dapat dikumpulkan memungkinkan identifikasi secara lebih sistematis terhadap people’s
preferences dan belief untuk kemudian dikaitkan dengan berbagai ukuran cultural legacy (Guiso
et al, 2006). Beberapa literatur seperti dalam Barro dan McCleary (2003); Guiso et al (2006);
dan Bucci et al (2014) membuat para ekonom mulai mengakui bahwa budaya memang
berpengaruh terhadap perekonomian. Para peneliti yang bergerak di bidang ekonomi budaya
sedikitnya telah mampu menunjukkan bagaimana budaya memberikan kontribusi penting
terhadap perekonomian. Meski begitu, tetap terdapat bagian dari budaya yang tidak dapat
dijelaskan atau sebaiknya tidak dijelaskan oleh ilmu ekonomi (Casson, 1993).
Guiso et al (2006), menjelaskan bahwa pengaruh budaya terhadap perekonomian
ditransmisikan melalui dua hal, yaitu kepercayaan terdahulu (prior beliefs) dan
preferences/values. Transmisi pertama adalah melalui prior beliefs. Budaya--diproksi
menggunakan religion dan ethnic background--memiliki pengaruh yang signifikan terhadap trust
(prior beliefs). Trust mampu memengaruhi keputusan ekonomi dalam beberapa cara, misalnya
saat melakukan transaksi perdagangan internasional dan transaksi yang dilakukan saat kondisi
legal tidak sempurna diperlukan trust agar proses berjalan dengan lancar. Hasil studinya
menunjukkan bahwa trust memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kemungkinan
untuk menjadi entrepreneur. Hasil ini juga mendukung hipotesis bahwa budaya memiliki peran
penting dalam keputusan ekonomi (menjadi entrepreneur). Mekanisme transmisi yang kedua
adalah melalui preferences/values. Budaya--masih diproksi menggunakan religion dan ethnic
background--dapat memengaruhi economic outcomes melalui dua jalur preferences/values, yakni
economic preferences (thriftiness) dan political preferences (preferences for redistribution6).
Jalur pertama adalah budaya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap thriftiness.
Thriftiness, melalui uji OLS dan IV, secara positif dan signifikan memengaruhi economic
outcomes yang diproksi menggunakan jumlah tabungan nasional. Hal ini juga menjadi temuan
penting karena sangat membantu dalam memahami perbedaan tingkat tabungan nasional di
berbagai negara. Jalur kedua adalah melalui preferences for redistribution. Hasil regresi
6 Preferensi politik individu tentang apa yang seharusnya dilakukan (kebijakan) pemerintah terhadap redistribusi
pendapatan, diperoleh dari General Social Survey.
Page 12
12
menunjukkan bahwa variabel preferences for redistribution memiliki pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap tingkat redistribusi pendapatan7 (proksi dari economic outcomes).
Ang (2018) mencoba melihat hubungan antara budaya dengan pengembangan ekonomi
yang berfokus pada hubungan antara individualisme dengan teknologi inovasi. Masyarakat yang
individualis cenderung tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisional, namun mereka lebih kreatif
dan memiliki pemikiran yang bebas. Masyarakat semacam ini menyediakan lingkungan yang
kondusif bagi kemajuan dan inovasi ilmiah. Data individualisme dan teknologi inovasi yang
digunakan dalam studi ini bersumber dari WVS wave 6 (2010-2014). Data-data yang diperoleh
diolah menggunakan metode OLS untuk menemukan hubungan antar keduanya. Individualisme
dikonstruksi kedalam tiga bentuk, yaitu non-tradition, divorce justification, dan family
unimportance; sementara teknologi inovasi dibedakan kedalam tiga bagian yaitu credibility of
science, values of ideas, dan creative tasks. Hasil regresi seluruh sampel menunjukkan bahwa
secara umum individualisme berkorelasi positif dengan output inovasi, begitu pula hasil regresi
saat dilakukan pengujian di tingkat negara (Amerika Serikat). Temuan ini menunjukkan bahwa
individualisme berperan penting dalam inovasi dan kreatifitas, bahkan untuk negara yang level
technological sophistication-nya sudah tinggi.
Azis (2019) berpendapat bahwa dalam hubungan antara budaya dan ekonomi, terdapat
komponen yang memainkan peran sebagai variabel penghubung. Variabel penghubung yang
memiliki peran penting dalam menghubungkan (kausalitas) ekonomi dan budaya adalah
institusi/lembaga, baik formal maupun informal. Lembaga informal berasal dari “socially
transmitted information” dan merupakan bagian dari warisan/budaya, sementara lembaga formal
umumnya berkaitan dengan sistem politik yang berlaku. Keduanya memengaruhi kinerja
perekonomian dengan cara yang berbeda, meskipun hasil akhir yang tercipta dari keduanya sama
yaitu efisiensi kinerja perekenomian. Lembaga/institusi yang dipengaruhi budaya dapat
memengaruhi transaction cost (seperti biaya negosiasi dan informasi asimetris) yang pada
gilirannya akan memengaruhi perekonomian. Dalam lingkungan yang dinamis, melalui
keputusan organisasi tentang teknologi dan inovasi, serangkaian persyaratan yang mencerminkan
kualitas lembaga dan social capital memiliki peran penting dalam memengaruhi pertumbuhan
produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Budaya dan lembaga berinteraksi dan berkembang
secara saling melengkapi (komplementer), bukan hubungan kausalitas satu arah. Tipe suatu
lembaga akan membuat budaya berkembang ke arah yang berbeda, sementara budaya yang
berbeda juga akan membuat lembaga berfungsi secara berbeda.
Modal Sosial (Social Capital), Values dan Indiviual Beliefs
Gagasan tentang modal sosial sebagai bagian dari ilmu ekonomi mulai didorong oleh tulisan
Bordieu (1984, 1986), Coleman (1988, 1990) dan Putnam et al (1993). Tidak ada definisi yang
baku mengenai modal sosial, namun terdapat cukup banyak literatur yang menjelaskan tentang
definisi modal sosial dan bagaimana modal sosial berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
7 Dihitung dari Rasio dari pajak penghasilan+pajak penjualan+pajak tidak langsung lainnya terhadap total
pendapatan negara bagian, diperoleh dari US Census Bureau.
Page 13
13
antara lain Coleman (1988); Putnam et al (1993); Narayan dan Pritchett (1997); dan Uphoff
(2000). Bordieu (1986)8 merupakan yang pertama kali mendefinisikan modal sosial secara
sistematis. Modal sosial menurut Putnam (Putnam 1993; Putnam et al 1993) merupakan
seperangkat “horizontal associations” yang terdiri dari jaringan sosial (“networks of civil
engagement”) dan norma-norma terkait yang memengaruhi produktivitas masyarakat. Uphoff
(2000) mendefinisikan modal sosial sebagai akumulasi berbagai aset sosial, psikologi, budaya,
kognitif, institusional dan aset-aset terkait yang meningkatkan jumlah (atau kemungkinan)
perilaku kooperatif yang saling menguntungkan. Modal sosial di dalam masyarakat meliputi
lembaga/institusi, hubungan, sikap dan nilai-nilai yang mengatur interaksi antara orang-orang
dan berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi dan sosial (Grootaert dan van Bastelaer,
2001). Literatur mengenai peran modal sosial kemudian semakin berkembang seperti pada Portes
(1998), Woolcock (1998), Uphoff (2000), Woolcock dan Narayan (2000), Grootaert dan van
Bastelaer (2001) dan Akçomak (2008).
Menurut Akçomak (2008), terdapat 3 poin utama yang berkaitan dengan modal sosial.
Pertama, modal sosial yang tinggi akan menginduksi terjadinya inovasi melalui pengurangan
biaya transaksi (transactional cost), penciptaan bentuk-bentuk pertukaran informasi yang baru
dan perubahan norma yang akan memengaruhi perilaku. Adanya modal sosial akan menciptakan
innovate-prone environment yang akan mendorong terciptanya lebih banyak inovasi.
Berdasarkan hasil empiris, inovasi berfungsi sebagai mekanisme transmisi modal sosial yang
memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, modal sosial merupakan konsep stok dan
memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat terbentuk. Kedua, modal sosial mengurangi
tindak kriminalitas melalui eksternalitas jaringan dan terjadinya peningkatan opportunity cost of
crime. Ketiga, institusi/lembaga memiliki peran penting dalam membentuk modal sosial. Sejarah
dan institusi (lembaga formal) akan memengaruhi modal sosial dalam jangka panjang.
Variabel budaya umumnya juga dibedakan menjadi beberapa nilai budaya (cultural
traits) yang berbeda agar mudah untuk dikuantifikasi. Tabellini (2008) serta Williamson dan
Karekes (2008) membangun variabel budaya yang terdiri dari trust, respect, control dan
obedience. Sedangkan Williamson (2009) dan Khan et al (2010) mengembangkan nilai-nilai
budaya yang terdiri dari trust, respect, individual self-determination dan obedience. Nilai-nilai
budaya tersebut berkaitan dengan interaksi sosial-ekonomi dan memengaruhi pertumbuhan
ekonomi. Boettke (2009) berasumsi bahwa trust memengaruhi kinerja perekonomian melalui
dampaknya terhadap transactional cost. Williamson dan Kerekes (2008) juga menyatakan bahwa
individu yang lebih terpercaya (trusted) akan mampu mengurangi transactional cost dan
monitoring cost.
Granato et al (1996) menganalisis peran nilai-nilai budaya (cultural values) terhadap
pertumbuhan ekonomi di 25 negara (Asia Timur, beberapa negara Uni Eropa, Nigeria, Afrika
Selatan, India, Turki dan Meksiko). Variabel budaya dibagi menjadi dua jenis variabel
8 Definisi modal sosial menurut Bourdieu (1986) : “the aggregate of the actual or potential resources which are
linked to possession of a durable network of more or less institutionalized relationships of mutual acquaintance and
recognition.”
Page 14
14
(achievement motivation dan postmaterialism) yang ditimbang berdasarkan beberapa indikator,
yaitu thrift, determination, obedience dan religious faith. Data-data variabel budaya diperoleh
dari World Value Survey, sedangkan beberapa data lainnya diperoleh dari Levine dan Renelt
(1992). Hasil estimasi model OLS menunjukkan bahwa salah satu variabel budaya, achievement
motivation, memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Achievement
motivation memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena memiliki
kecenderungan untuk meningkatkan investasi. Sementara itu, beberapa variabel lain (GDP,
pendidikan dan investasi) juga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa masing-masing faktor budaya dan faktor ekonomi memiliki peran penting
terhadap pertumbuhan ekonomi yang tidak dapat saling menggantikan antara yang satu dengan
lainnya.
Tabellini (2008) mencoba memahami pengaruh budaya terhadap pembangunan ekonomi,
baik secara langsung ataupun melalui peran institusi/lembaga di 8 negara Eropa (yang dipecah
menjadi 69 regional). Budaya (cultural traits) yang digunakan dalam penelitian diproksi
menggunakan 4 indikator, yaitu trust, control dan respect (yang diduga mampu mendorong
pertumbuhan ekonomi) dan obedience (yang diduga menghambat pertumbuhan ekonomi). Data-
data budaya ini bersumber dari World Value Surveys (1990-91 dan 1995-97) dan Inglehart et al
(2000). Pertumbuhan ekonomi diproksi dengan nilai tambah kotor per kapita (per capita gross
value added) yang diperoleh dari Cambridge Econometrics. Metode yang digunakan dalam
mencari kausalitas antara budaya dengan pertumbuhan ekonomi adalah OLS dan IV. Hasil
estimasi model menunjukkan bahwa komponen-komponen budaya merupakan faktor penting
dalam kinerja ekonomi regional. Cultural traits ini mampu memengaruhi pertumbuhan ekonomi,
baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui lembaga/institusi). Meski begitu,
interpretasi yang tepat dari peran budaya ini sulit dijelaskan dan perlu studi yang lebih lanjut
untuk mengetahui cara budaya memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Khan et al (2010) melakukan estimasi dampak nilai-nilai budaya (culture values) tertentu
terhadap pertumbuhan ekonomi di 11 negara Asia. Metode yang digunakan untuk mengetahui
dampak budaya dan faktor ekonomi terhadap growth adalah OLS. Data culture yang digunakan
dibedakan menjadi 4 komponen, yaitu trust, self-determination, respect dan obedience. Data-data
culture ini diperoleh dari World Value Survey untuk rentang tahun 1995-2007 terhadap 11 negara
Asia, yaitu China, India, Pakistan, Jepang, Korea Selatan, Turki, Malaysia, Thailand, Taiwan,
Bangladesh dan Indonesia. Variabel dependen yang digunakan untuk proksi pertumbuhan
ekonomi adalah pendapatan per kapita. Berdasarkan estimasi model OLS, diperoleh bahwa trust,
respect dan self determination memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap tingkat
pendapatan per kapita. Hasil estimasi model OLS ini juga didukung oleh uji korelasi. Hasil uji
korelasi menunjukkan bahwa tiga aspek budaya (trust, respect dan self determination) memiliki
korelasi positif dengan economic growth. Aspek budaya terakhir, obedience, memiliki pengaruh
negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Selain nilai-nilai budaya, banyak literatur yang juga mencoba melihat peran kepercayaan
individu (individual beliefs) dalam mendorong kegiatan ekonomi, meskipun pada umumnya
Page 15
15
belum terdapat bukti tegas yang menunjukkan peran nilai-nilai agama terhadap kegiatan
ekonomi. Barro dan McCleary (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi merespon
secara positif tingkat kepercayaan terhadap agama (religious belief), terutama kepercayaan
terhadap adanya surga dan neraka, tetapi berpengaruh negatif terhadap kehadiran di gereja. Hal
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan bergantung kepada sejauh mana keyakinan penganutnya
(believing) relatif terhadap kepemilikan (belonging). Sementara itu, Eum (2011) mengemukakan
bahwa hasil yang diperoleh Barro dan McCleary (2003) mungkin tidak konstan untuk periode
waktu yang berbeda. Eum menyatakan bahwa variabel agama tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dan konstan terhadap pertumbuhan ekonomi. Guiso et al (2003) hanya menyatakan
bahwa secara umum, agama baik untuk perkembangan sikap (attitudes) yang kondusif untuk
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu hasil dari penelitian De Jong (2008) menunjukkan hasil
yang ambigu, yang mungkin disebabkan oleh kurangnya kerangka teoritis, di mana tidak ada
agama yang tampak secara khusus mendorong atau menghambat pertumbuhan.
Mangeloja (2004) mencoba menguji klaim Barro dan McCleary (2002; 2003) yang
berpendapat bahwa terdapat peran aktivitas keagamaan dalam pertumbuhan ekonomi. Studi
Mangeloja menggunakan model time series, metode panel data hingga estimasi di tingkat level
individu setiap negara (8 negara OECD) agar diperoleh hasil yang lebih meyakinkan. Indikator
agama bersumber dari World Values Survey (WVS) yang dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu
keyakinan agama (religious belief), aktivitas keagamaan (religious activities) dan efisiensi
keagamaan (religious efficiency). Keyakinan agama diproksi menggunakan data kepercayaan
terhadap adanya neraka setelah kematian, aktivitas agama diproksi dengan tingkat kehadiran di
gereja, sedangkan efisiensi keagamaan dibentuk dari gabungan dua hal sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi digambarkan dengan data GNP rill dari OECD annual statistics. Hasil
empiris menunjukkan bahwa hanya religious belief yang memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pada pengujian di tingkat individu 8 negara, religious
efficiency hanya berpengaruh signifikan di satu negara (Finlandia). Hasil estimasi juga tidak
menunjukkan bukti yang jelas mengenai hubungan yang terjadi antara ekonomi dengan agama
(searah ataupun dua arah).
III. METODOLOGI
3.1 Estimasi Nilai Pertumbuhan TFP (Growth TFP)
Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari tingkat kemakmuran suatu negara.
Setiap negara akan melakukan berbagai upaya dalam rangka mempercepat laju pertumbuhan
ekonominya. Produktivitas merupakan kekuatan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
yang juga mencerminkan kondisi perekonomian di setiap negara. Emerging countries umumnya
memiliki tingkat produktivitas rendah yang menghambat mereka dalam mencapai kondisi growth
yang diharapkan. Indonesia, sebagai salah satu emerging countries, juga mengalami kendala
yang serupa. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya tingkat produktivitas Indonesia yang berada di
Page 16
16
peringkat ke-45 dari 50 negara (KKDSI UGM, 2014). Salah satu penyebab dari rendahnya
produktivitas di Indonesia adalah kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah.
Berdasarkan data BPS (2017), pendidikan formal yang ditamatkan oleh sebagian besar angkatan
kerja yang bekerja di Indonesia berkisar antara SD/SLTP/SMA/SMK/SMU dengan rata-rata
persentase mencapai 69,77% untuk tahun 1990-2017.
Teknologi adalah salah satu komponen penting dalam menggerakkan perekonomian.
Solow (1975) menjelaskan bahwa peran teknologi sebagai variabel eksogen direpresentasikan
sebagai Total Factor Productivity (TFP). Solow, dalam teori pertumbuhannya, juga
mengasumsikan bahwa output ditentukan oleh input kapital dan tenaga kerja, dimana kedua
input tersebut saling berinteraksi pada tingkat teknologi tertentu. Ganev (2005) menunjukkan
bahwa TFP merupakan penentu utama dalam pertumbuhan ekonomi di Bulgaria yang dibuktikan
dengan peningkatan efisiensi ekonomi sebesar 4-5 % per tahunnya (dampak dari peran
teknologi). Sigit (2004) juga menjelaskan bahwa TFP memiliki peran dalam pertumbuhan
ekonomi Indonesia, di mana TFP growth sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan pekerja dan
besarnya kontribusi kapital.
Kemajuan teknologi (technological progress) ini diukur dengan menggunakan
pendekatan Total Factor Productivity (TFP). TFP menurut Comin (2006) adalah merupakan
bagian dari output yang tidak dijelaskan oleh sejumlah input yang digunakan dalam produksi.
Perhitungan TFP penelitian ini menggunakan pendekatan growth accounting model (GAM).
Metode ini dipilih karena relatif lebih mudah dan banyak digunakan di berbagai negara dalam
menghitung pertumbuhan TFP. Asumsi model pertumbuhan Solow yang digunakan penelitian
ini, pada dasarnya mengikuti fungsi produksi Cobb Douglas. Adapun penurunan dari
pertumbuhan TFP (TFPG) adalah sebagai berikut:
Y(t) = A(t) . f (K(t)L (t)) (1)
Selanjutnya, persamaan (1) didiferensialkan terhadap (t) : 𝑑𝑌
𝑑𝑡 =
𝑑𝑌
𝑑𝑡 f + A(t)
𝑑𝑓
𝑑𝐾 𝑑𝐾
𝑑𝑡 + A(t)
𝑑𝑓
𝑑𝐿 𝑑𝐿
𝑑𝑡 atau (2)
�� = ��f + A (t) 𝑑𝑓
𝑑𝐾. �� + A (t)
𝑑𝑓
𝑑𝐿. �� (3)
Tanda cap (^) mengindikasikan adanya “time derivatives”. Selanjunya membagi kedua sisi
dengan Y sehingga diperoleh : ��
𝑌 = ��
𝑓 (𝐾,𝐿)
𝑌 f + A(t)
𝑑𝑓
𝑑𝐾 .
��
𝑌 + A(t)
𝑑𝑓
𝑑𝐿 .
��
𝑌 (4)
Persamaan (4) dapat ditransformasikan sebagai berikut :
Ŷ
𝑌 =
Â
𝐴 + A(t)
𝑑𝑓
𝑑𝐾 .
��
𝑌 .
𝐾
𝐾 + A(t)
𝑑𝑓
𝑑𝐿 .
��
𝑌 .
𝐿
𝐿 (5)
Ŷ
𝑌 =
Â
𝐴 + 𝛼
��
𝐾 + 𝛽
��
𝐿 (6)
Secara ringkas, persamaan tersebut dapat ditulis :
�� = �� + 𝛼�� + 𝛽�� (7)
Sehingga, nilai pertumbuhan TFP diperoleh :
�� = ��- 𝛼��- 𝛽�� (8)
Page 17
17
Tanda dot (.) ini mengindikasikan pertumbuhan dari masing-masing komponen. Notasi
dari �� adalah pertumbuhan dari output (growth of output); �� adalah pertumbuhan dari kapital
(growth of capital); �� adalah pertumbuhan dari tenaga kerja (growth of labor); �� adalah
pertumbuhan dari kemajuan teknologi (growth of technical progress); 𝛼 adalah elastisitas kapital
terhadap output, dan 𝛽 adalah elastisitas tenaga kerja terhadap output.
Data yang digunakan dalam penghitungan TFP adalah gabungan data deret waktu tahun
2011 sampai 2017 (time series) dan data 33 provinsi di Indonesia (cross section). Data yang
dibutuhkan terdiri dari: (i) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan
(ii) stok kapital masing-masing provinsi/regional (miliar rupiah), (iii) jumlah tenaga kerja di
tingkat regional (orang), dan (iv) upah/gaji tenaga kerja di tingkat regional (rupiah). Khusus
untuk penghitungan stok kapital, data yang digunakan data investasi (PMTB) sejak tahun 1993
untuk memberikan hasil estimasi yang lebih reliable. Data penelitian diperoleh dari beberapa
sumber, seperti Badan Pusat Statistik (BPS) untuk data PDRB dan tenaga kerja; dan CEIC untuk
PMTB dan upah di tingkat provinsi.
Tabel 1 Variabel Dekomposisi TFPG
Variabel Definisi variabel Sumber
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) di tingkat provinsi
CEIC
PMTB Pembentukan Modal Tetap Bruto
(PMTB) di tingkat provinsi
CEIC
ActiveWorkforce Jumlah Angkatan Kerja yang Aktif
Bekerja di tingkat provinsi
Badan Pusat Statistik (BPS)
MinimumWages Upah Minimum per Bulan di tingkat
provinsi
CEIC
Langkah-langkah dekomposisi pertumbuhan TFP dengan pendekatan Growth Accounting Model
(GAM) adalah sebagai berikut:
1. Menghitung tingkat pertumbuhan PDRB, tenaga kerja dan stok kapital neto pada masing-
masing provinsi. Stok kapital neto diperoleh dari selisih antara PMTB dengan nilai
depresiasinya. Nilai depresiasi yang digunakan sebesar 3%, mengikuti Sigit (2004).
2. Menghitung labor income share (LIS) dan capital income share (CIS) pada masing-masing
provinsi
3. Menghitung pertumbuhan tertimbang dari tenaga kerja dan kapital pada masing masing sektor
lapangan usaha. Nilai pertumbuhan tertimbang masing-masing faktor produksi ini merupakan
hasil perkalian antara labor income share dan capital income share terhadap tingkat
pertumbuhan baik tenaga kerja maupun kapital.
4. Menghitung pertumbuhan Total Factor Productivity (TFPG) yang diperoleh dari selisih
antara pertumbuhan PDB dengan pertumbuhan tertimbang baik tenaga kerja maupun kapital.
Page 18
18
3.2 Estimasi Model Pertumbuhan Regional
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penghitungan model pertumbuhan berasal dari berbagai sumber,
yaitu Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), CEIC,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag).
Data Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersumber dari BPS. Data jumlah penyaluran kredit
(umum dan syariah) bersumber dari Bank Indonesia dan OJK. Data growth industri pengolahan
(manufaktur); dan total perdagangan di tingkat provinsi bersumber dari CEIC. Growth dari
industri manufaktur merupakan proksi inovasi yang akan digunakan dalam penelitian ini.
Indikator budaya yang digunakan dalam penelitian ini termasuk ke dalam jenis intangible
cultural heritage (warisan budaya tak benda) yang bersumber dari Kemdikbud. Berdasarkan
Kemdikbud (2019c) terdapat lima jenis penggolongan warisan budaya tak benda. Pada
penelitian ini hanya digunakan satu jenis warisan budaya tak benda, yaitu Keterampilan dan
Kemahiran Kerajinan Tradisional (Traditional Craftmanship). Data terkait values (nilai-nilai
agama) bersumber dari Kemenag, dengan indikator yang digunakan adalah jumlah rumah ibadah
dan jumlah pelajar di institusi pendidikan Islam formal di tiap provinsi.
Tabel 2 Definisi Variabel Model Pertumbuhan TFP
Variabel Definisi variabel Sumber
TFPG Total Factor Productivity Growth (TFPG),
dihitung menggunakan pendekatan Growth
Accounting Model (GAM)
Hasil kalkulasi penulis
HDI Human Development Index (HDI) – Indeks
Pembangunan Manusia (IPM)
Badan Pusat Statistik (BPS)
ManuGrowth Pertumbuhan sektor industri pengolahan
(manufaktur)
CEIC
TradeGrowth Kinerja perdagangan (ekspor + impor) CEIC
CreditGrowth Pertumbuhan penyaluran kredit oleh bank
umum
Bank Indonesia dan OJK
SocecPreferences Social Economy Preferences – proksi dari
cultural capital (Keterampilan dan
Kemahiran Kerajinan Tradisional)
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud)
SyariaFunding Jumlah pembiayaan (funding) yang
diberikan oleh Bank Umum Syariah (BUS)
dan Unit Usaha Syariah (UUS)
OJK
WorshipHouse Jumlah rumah ibadah (terdiri dari jumlah
masjid, gereja kristen & katolik), pura,
vihara dan kelenteng)
Kementerian Agama
(Kemenag)
IslamicStudent Jumlah pelajar di institusi pendidikan
formal Islam
Kementerian Agama
(Kemenag)
Page 19
19
Model Estimasi Data Panel
Penelitian ini menggunakan analisis data panel, dimana data panel merupakan kumpulan amatan
terhadap suatu objek dalam suatu periode waktu (Gujarati, 2004), atau gabungan antara data
cross section dan time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dari waktu
terhadap banyak individu, sedangkan time series data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu
terhadap suatu individu. Model persamaan data panel yang merupakan gabungan dari data cross
section dan data time series adalah sebagai berikut:
Yit = 𝛼 + β1X1it + β2X2it + … + βNXNit + eit
dimana:
Yit = variabel terikat (dependent)
Xit = variabel bebas (independent)
i = entitas ke-i
t = periode ke-t
Regresi data panel memiliki tujuan yang sama dengan regresi linier berganda, yaitu
memprediksi nilai intersep (𝛼) dan slope/koefisien regresi (𝛽). Penggunaan data panel dalam
regresi akan menghasilkan intersep dan slope yang berbeda pada setiap entitas/individu dan
setiap periode waktu. Model regresi data panel yang akan diestimasi membutuhkan asumsi
terhadap intersep, slope dan variabel gangguannya. Penggunaan model data panel memberikan
dua keuntungan dibandingkan data time series atau cross section saja (Verbeek, 2004). Pertama,
dengan mengombinasikan data time series dan cross section dalam data panel akan membuat
jumlah observasi menjadi lebih besar. Selain itu, marginal effect dari variabel independen dapat
dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga meningkatkan akurasi estimasi jika
dibandingkan dengan model lain. Menurut Hsiao (2004), data panel dapat memberikan data yang
informatif, mengurangi kolinearitas antarpeubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang
akhirnya efisiensi. Kedua, data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang
secara sederhana tidak dapat diatasi dalam data cross section saja atau time series saja. Metode
ini mampu secara eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu pada langkah estimasinya.
Data panel juga lebih baik untuk studi yang berkaitan dengan perubahan dinamis (dynamics of
adjustments).
Menurut Gujarati (2004), terdapat tiga pendekatan yang umum diaplikasikan dalam data
panel, yaitu Pooled Least Square (PLS)/Common Effect Model, Fixed Effects Model (FEM) dan
Random Effects Model (REM). Model Common Effect adalah model yang paling sederhana,
karena metode yang digunakan dalam metode Common Effect hanya dengan mengkombinasikan
data time series dan cross section. Dengan hanya menggabungkan kedua jenis data tersebut,
maka dapat digunakan metode Ordinal Least Square (OLS) atau teknik kuadrat terkecil untuk
mengestimasi model data panel (Juanda dan Junaidi, 2012). Dalam pendekatan ini tidak dapat
membedakan dimensi individu maupun waktu, dan mengasumsikan bahwa perilaku data antar
individu sama dalam rentang waktu pengamatan. Berikut model matematis PLS (Firdaus, 2011) :
Page 20
20
yit = 𝛼i + Xit 𝛽 + uit
di mana 𝛼i bersifat konstan untuk semua observasi, atau 𝛼i = 𝛼. Asumsi ini jelas sangat jauh dari
realita sebenarnya, karena karakteristik antar individu baik dari segi kewilayahan jelas sangat
berbeda. Asumsi ini pada akhirnya juga dapat menyebabkan pendugaan parameter 𝛽 menjadi
bias. Berdasarkan hal tersebut, model PLS tidak akan dijadikan acuan model penelitian dan
penelitian ini akan mengedepankan pendekatan FEM dan REM. Model FEM dan REM
dibedakan berdasarkan pada asumsi ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan
peubah bebas (regressor). Misalkan:
y(it) = 𝛼i + Xit 𝛽 + εit
Pada one way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam bentuk:
εit = i + uit
Sedangkan pada two way error components model, komponen error dispesifikasikan dalam
bentuk:
εit = i + t + uit
Pada pendekatan one way, error term hanya memasukkan komponen error yang merupakan efek
dari individu (i). Pada two way, dimasukkan efek dari waktu (t) ke dalam komponen error. Jadi
pembeda antara FEM dengan REM terletak pada ada atau tidaknya korelasi antara i dan t
dengan Xit.
(1) Model Efek Tetap (Fixed Effect Model/FEM)
Model ini digunakan untuk mengatasi kelemahan dari analisis data panel yang menggunakan
metode common effect, penggunaan data panel common effect tidak realistis karena akan
menghasilkan intercept ataupun slope pada data panel yang tidak berubah baik antar individu
(cross section) maupun antar waktu (time series).
Model ini juga untuk mengestimasi data panel dengan menambahkan variabel dummy.
Model ini mengasumsikan bahwa terdapat efek yang berbeda antar individu. Perbedaan ini dapat
diakomodasi melalui perbedaan diintersepnya. Oleh karena itu dalam model fixed effect, setiap
individu merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi dengan menggunakan
teknik variabel dummy. Untuk mengilustrasikan pendekatan ini misalnya persamaan awal seperti
pada persamaan PLS dan kelompok dummy variable dgit = 1 (g=i), sebagaimana Firdaus (2011).
yit = 𝛼i + X’it 𝛽 + uit
dengan memasukkan sejumlah dgit = 1 (g=i), persamaan awal menjadi:
yit = 𝛼1d1it + 𝛼2d2it + …+ 𝛼NdNit +X’it 𝛽 + uit
persamaan ini dapat diestimasi dengan pendekatan OLS sehingga diperoleh parameter 𝛽LSDV.
Teknik ini dinamakan Least Square Dummy Variabel (LSDV) (Baltagi, 2005). Selain diterapkan
untuk efek tiap individu, LSDV ini juga dapat mengkombinasikan efek waktu yang bersifat
sismatik sehingga menghasilkan dugaan parameter yang tidak bias dan efisien. Meski begitu,
pendekatan ini memiliki kelemahan jika jumlah unit observasinya besar maka akan terlihat
cumbersome (rumit).
Page 21
21
(2) Model Efek Acak (Random Effect Model/REM)
Pendekatan ini muncul ketika efek individu dan regressor tidak menunjukkan adanya korelasi.
Asumsi ini membuat komponen error dari efek individu dan waktu dimasukkan ke dalam error.
Untuk one way error component, dibentuk dalam:
y(it) = 𝛼i + Xit 𝛽 + uit + i
Sedangkan untuk two way error component, komponen error dispesifikasikan ke dalam:
y(it) = 𝛼i + Xit 𝛽 + uit + i + t
Menurut Firdaus (2011), terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan untuk
menghitung estimator REM, yaitu between estimator dan Generalized Least Square (GLS).
Pertama, pendekatan between estimator berkaitan dengan dimensi antardata (differences between
individual) yang ditentukan sebagaimana pendekatan OLS pada sebuah regresi dari rata-rata
individu y dalam nilai x secara individu. Between estimator konsisten untuk N tak hingga,
dengan asumsi bahwa peubah bebas dengan error tidak saling berkorelasi atau E(xit, εi) = 0 dan
begitu juga dengan nilai rata-rata error-nya. Kedua, pendekatan GLS yang mengombinasikan
informasi dari dimensi antar dan dalam (between dan within) data secara efisien. GLS dapat
dipandang sebagai rata-rata yang dibobotkan dari estimasi between dan within dalam sebuah
regresi. Bila bobot yang dihitung tersebut tetap, maka estimator yang diperoleh disebut random
effects estimator. Dalam bentuk persamaan hal ini dapat dinyatakan sebagai berikut:
βRE = βBetween + (Ik - ) βWithin
Uji Kesesuian Model
Uji kesesuaian model ditujukan untuk menentukan teknik mana yang sebaiknya dipilih untuk
regresi data panel. Terdapat beberapa uji kesesuaian model data panel untuk menentukan model
mana yang paling tepat dalam mengestimasi parameter data panel. Pertama, uji statistik F (uji
Chow) yang digunakan untuk memilih antara metode Commom Effect atau metode Fixed Effect
Model. Kedua, uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara metode Fixed Effect Model
atau metode Random Effect Model. Ketiga, uji Lagrange Multiplier (LM) digunakan untuk
memilih antara metode Commom Effect atau metode Random Effect Model.
(i) Uji Statistik F (Uji Chow)
Untuk mengetahui model mana yang lebih baik dalam pengujian data panel, dapat dilakukan
dengan penambahan variabel dummy sehingga dapat diketahui bahwa intersepnya berbeda dapat
diuji dengan uji Statistik F. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel
dengan metode Fixed Effect lebih baik dari regresi model data panel tanpa variabel dummy atau
metode Common Effect.
Hipotesis nul pada uji ini adalah bahwa intersep bernilai sama yang menunjukkan bahwa
model yang tepat untuk regresi data panel adalah Common Effect, sedangkan hipotesis
alternatifnya adalah intersep tidak bernilai sama atau model yang tepat untuk regresi data panel
adalah Fixed Effect. Nilai Statistik F hitung mengikuti distribusi statistik F. Apabila nilai F
hitung lebih besar dari F kritis maka hipotesis nul ditolak yang artinya model yang tepat untuk
Page 22
22
regresi data panel adalah model Fixed Effect. Sebaliknya apabila nilai F hitung lebih kecil dari F
kritis maka model yang tepat untuk regresi data panel adalah model Common Effect.
(ii) Uji Hausman
Uji Hausman ini didasarkan pada ide bahwa Least Squares Dummy Variables (LSDV) dalam
metode metode Fixed Effect dan Generalized Least Squares (GLS) dalam metode Random
Effect adalah efisien sedangkan Ordinary Least Squares (OLS) dalam metode Common
Effect tidak efisien. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Squares dengan
derajat kebebasan (df) sebesar jumlah variabel bebas.
Hipotesis nulnya adalah bahwa model yang tepat untuk regresi data panel adalah
model Random Effect dan hipotesis alternatifnya adalah model yang tepat untuk regresi data
panel adalah model Fixed Effect. Apabila nilai statistik Hausman lebih besar dari nilai kritis Chi-
Squares maka hipotesis nul ditolak yang artinya model yang tepat untuk regresi data panel
adalah model Fixed Effect. Dan sebaliknya, apabila nilai statistik Hausman lebih kecil dari nilai
kritis Chi-Squares maka hipotesis nul diterima yang artinya model yang tepat untuk regresi data
panel adalah model Random Effect.
(iii) Uji Lagrange Multiplier (LM)
Uji LM ini didasarkan pada distribusi Chi-Squares dengan derajat kebebasan (df) sebesar jumlah
variabel independen. Hipotesis nulnya adalah bahwa model yang tepat untuk regresi data panel
adalah Common Effect, dan hipotesis alternatifnya adalah model yang tepat untuk regresi data
panel adalah Random Effect. Apabila nilai LM hitung lebih besar dari nilai kritis Chi-
Squares maka hipotesis nul ditolak yang artinya model yang tepat untuk regresi data panel
adalah model Random Effect. Dan sebaliknya, apabila nilai LM hitung lebih kecil dari nilai
kritis Chi-Squares maka hipotesis nul diterima yang artinya model yang tepat untuk regresi data
panel adalah model Common Effect.
3.2.4 Spesifikasi Model Pertumbuhan TFP Regional
Mengacu kepada Baltagi (2005) dalam pembentukan model data panel, yang juga turut
memasukkan komponen inovasi, cultural capital dan values, maka spesifikasi model
pertumbuhan TFP yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
𝑇𝐹𝑃𝐺𝑡 = 𝛾0 + 𝛾1 𝐻𝐷𝐼𝑡 +𝛾2 𝑀𝑎𝑛𝑢𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ𝑡 + 𝛾3𝑇𝑟𝑎𝑑𝑒𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ𝑡 + 𝛾4𝐶𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡𝐺𝑟𝑜𝑤𝑡ℎ𝑡
+ 𝛾5𝑆𝑜𝑐𝑒𝑐𝑃𝑟𝑒𝑓𝑒𝑟𝑒𝑛𝑐𝑒𝑠𝑡 + 𝛾6𝑙𝑜𝑔(𝑊𝑜𝑟𝑠ℎ𝑖𝑝𝐻𝑜𝑢𝑠𝑒)𝑡
+ 𝛾7 𝑙𝑜𝑔(𝐼𝑠𝑙𝑎𝑚𝑖𝑐𝑆𝑡𝑢𝑑𝑒𝑛𝑡)𝑡 + 𝛾8 𝑙𝑜𝑔(𝑆𝑦𝑎𝑟𝑖𝑎𝐹𝑢𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔)𝑡 + 𝑒𝑖𝑡
di mana TFPG merupakan pertumbuhan TFP di tingkat provinsi; HDI merupakan nilai dari
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setiap provinsi; ManuGrowth merupakan pertumbuhan
sektor industri pengolahan (manufaktur) di tingkat provinsi; TradeGrowth merupakan kinerja
perdagangan (ekspor + impor) setiap provinsi; CreditGrowth merupakan pertumbuhan alokasi
Page 23
23
kredit perbankan (umum) di tingkat provinsi; SocecPreferences merupakan Social Economic
Preferences -- Traditional Craftmanship (Keterampilan dan Kemahiran Kerajinan Tradional);
WorshipHouse merupakan jumlah rumah ibadah; IslamicStudent merupakan jumlah pelajar di
institusi pendidikan Islam; dan SyariaFunding merupakan jumlah pembiayaan yang didanai oleh
Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Tanda yang diharapkan/diduga
diperoleh untuk variabel human capital (IPM) dan variabel makroekonomi adalah 𝛾1, 𝛾3 , 𝛾4 > 0.
Variabel inovasi, nilai budaya, dan values juga diharapkan akan meningkatkan produktivitas
(TFPG) sehingga tanda koefisien harapan untuk 𝛾2, 𝛾5, 𝛾6, 𝛾7 , 𝛾8 > 0.
IV HASIl ESTIMASI DAN ANALISIS
4.1. Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi Regional
Perkembangan perekonomian regional Indonesia selama 2011-2018 didominasi oleh peranan
input kapital (Tabel 3). Hal ini terlihat jelas dari besarnya rata-rata nilai kontribusi pertumbuhan
tertimbang kapital (SKG) terhadap pertumbuhan ekonomi (EG), yaitu 35,17% (yoy). Sebaliknya,
peran kedua input lainnya dalam menggerakkan perekonomian tercatat masih sangat lemah. Hal
ini dibuktikan dari rendahnya nilai kontribusi kedua input tersebut, yakni input tenaga kerja
(SLG) sebesar 4,90% (yoy) dan input teknologi (TFPG) sebesar 6,86% (yoy). Kondisi
perekonomian Indonesia pasca krisis keuangan global 2008/2009 (GFC) masih sangat tergantung
pada keberadaan input kapital. Pentingnya peran kapital dalam pertumbuhan ekonomi ini
membuat pemerintah lebih berkonsentrasi pada berbagai upaya untuk mendorong perkembangan
input tersebut. Salah satu buktinya adalah tingginya rata-rata laju pertumbuhan tertimbang
kapital dibandingkan input lain yang mencapai 6,05% (yoy). Rata-rata laju pertumbuhan
tertimbang tenaga kerja hanya tumbuh sebesar 0,86% (yoy). Peningkatan pertumbuhan tenaga
kerja utamanya disebabkan oleh peningkatan populasi yang pada akhirnya meningkatkan jumlah
angkatan kerja (aktif). Umumnya, tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal, di mana
persentasenya mencapai 58,22% pada Februari 2018 (BPS, 2018). Aktifitas ekonomi yang
banyak berada di sektor informal hanya sedikit berkontribusi kepada pertumbuhan ekonomi
(Sigit, 2004).
Tabel 3 Dekomposisi Pertumbuhan Ekonomi (%), 2011-2018
Provinsi Rata-Rata Pertumbuhan Tertimbang (%) Rata-Rata Kontribusi (%)
EG SLG SKG TFPG SLG SKG TFPG
Aceh 2.83 1.10 4.60 -2.87 3.18 12.75 -5.32
Sumatera Utara 5.62 0.57 5.84 -0.79 3.17 33.32 -4.50
Sumatera Barat 5.73 0.87 4.26 0.61 4.88 24.62 3.54
Riau 2.74 0.56 9.27 -7.09 1.58 24.94 -17.01
Jambi 5.88 1.01 5.13 -0.27 5.89 31.24 -0.54
Sumatera Selatan 5.54 0.88 4.53 0.12 5.18 25.42 0.64
Bengkulu 5.70 0.87 4.59 0.24 5.08 26.75 1.21
Page 24
24
Lampung 5.57 0.78 4.45 0.33 4.33 25.06 1.94
Kep. Bangka Belitung 4.92 1.29 7.19 -3.56 6.54 37.01 -18.56
Kep. Riau 5.74 0.67 11.56 -6.49 2.70 70.76 -37.47
DKI Jakarta 6.17 0.23 6.02 -0.08 1.43 37.31 -0.55
Jawa Barat 5.77 0.49 4.92 0.36 2.79 28.58 2.21
Jawa Tengah 5.29 0.29 5.18 -0.18 1.55 27.40 -0.96
DI Yogyakarta 5.34 0.30 4.57 0.47 1.58 24.35 2.67
Jawa Timur 5.87 0.09 5.24 0.55 0.46 30.93 3.30
Banten 6.04 1.14 6.92 -2.02 7.30 42.44 -12.84
Bali 6.41 0.99 7.21 -1.78 6.24 46.75 -11.68
Nusa Tenggara Barat 3.50 0.89 4.52 -1.91 5.51 16.27 53.12
Nusa Tenggara Timur 5.23 0.70 2.88 1.66 3.49 15.07 8.88
Kalimantan Barat 5.35 0.61 4.40 0.34 3.25 23.79 1.75
Kalimantan Tengah 6.65 1.05 5.28 0.31 7.09 35.37 2.00
Kalimantan Selatan 5.22 0.90 5.83 -1.51 4.65 31.32 -7.94
Kalimantan Timur 1.41 0.19 6.08 -4.86 1.10 9.77 6.26
Sulawesi Utara 6.29 0.96 5.73 -0.40 6.17 36.21 -2.76
Sulawesi Tengah 9.11 0.77 7.66 0.67 6.51 70.60 14.70
Sulawesi Selatan 7.63 0.81 7.35 -0.52 5.99 56.56 -4.01
Sulawesi Tenggara 7.83 0.90 7.32 -0.39 6.96 58.84 -0.70
Gorontalo 7.07 1.66 6.81 -1.40 11.28 49.33 -10.28
Sulawesi Barat 7.74 1.19 8.86 -2.30 10.20 72.19 -19.98
Maluku 6.04 1.33 0.93 3.79 7.97 5.58 23.32
Maluku Utara 6.64 1.94 8.88 -4.18 13.27 58.53 -27.07
Papua Barat 4.87 0.59 8.93 -4.66 3.10 43.28 -21.11
Papua 4.76 1.80 6.58 -3.62 1.20 28.31 10.56
Mean 5.65 0.86 6.05 -1.26 4.90 35.17 -2.04
Std Deviasi 1.50 0.43 2.06 -0.40 4.88 31.24 -0.55
4.2. Estimasi Model Pertumbuhan TFP Regional
4.2.1 Uji Asumsi Klasik
(i) Uji Stasioneritas
Penggunaan data panel akan meningkatkan nilai goodness of fit karena jumah sampel pada data
panel umumnya cukup besar. Di sisi lan, jumlah sampel yang besar berpotensi membawa risiko
perubahan struktur sehingga meningkatkan peluang terjadinya heterogenitas, utamanya pada
jumlah cross section yang besar. Untuk itu perlu dilakukan uji stasioneritas atau unit root test (uji
akar unit) terhadap model pertumbuhan TFP regional.
Tabel 1 Hasil Uji Stasioneritas Model Pertumbuhan TFP Regional
Page 25
25
Levin, Liu and Chu Test*
Variabel Statistic Prob** Cross-section Obs Status
TFPG -13.221 0.000 33 223 I(O)
HDI -13.416 0.000 33 198 I(1)
ManuGrowth -9.842 0.000 33 222 I(O)
TradeGrowth -17.323 0.000 33 216 I(O)
CreditGrowth -15.052 0.000 33 222 I(O)
SocecPreferences -14.412 0.000 24 113 I(O)
Log (WorshipHouse) -24.280 0.000 33 225 I(O)
Log (IslamicStudents) -11.191 0.000 33 198 I(1)
Log (SyariaCredit) -450.34 0.000 33 99 I(1)
ADF & PP (Fisher Chi-Square)***
Variabel Statistic Prob**
Cross-section Obs
Status ADF PP ADF PP ADF PP
TFPG 141.502 200.011 0.000 0.000 33 222 231 I(O)
HDI 136.695 196.051 0.000 0.000 33 222 231 I(1)
ManuGrowth 114.131 138.004 0.000 0.000 33 222 231 I(O)
TradeGrowth 187.868 241.106 0.000 0.000 33 216 231 I(O)
CreditGrowth 151.873 167.523 0.000 0.000 33 222 231 I(O)
SocecPreferences 93.6619 108.577 0.000 0.000 24 113 114 I(O)
Log (WorshipHouse) 245.313 293.687 0.000 0.000 33 225 231 I(O)
Log (IslamicStudents) 247.597 332.757 0.000 0.000 33 198 198 I(1)
Log (SyariaCredit) 114.805 150.923 0.000 0.000 33 99 99 I(1) *Null : Unit root (assumes common unit root process).
** Probabilities for Fisher tests are computed using an asymptotic Chi-square distribution. All other tests assume asymptotic normality. *** Null: Unit root (assumes individual unit root process)
Hasil uji stasioneritas common root dengan menggunakan uji Levin, Liu dan Chu dan
individual root menggunakan uji Augmented Dickey Fuller (ADF) & Philips-Peron (PP)
menunjukkan hasil estimasi yang serupa. Hasil uji akar unit menunjukkan bahwa sebagian besar
variabel telah lulus uji stasioner di tingkat level (Tabel 10). Beberapa variabel yang belum
stasioner di tingkat level adalah HDI, IslamicStudent dan SyariaFunding. Permasalahan
stasioneritas ketiga variabel tersebut hilang setelah dilakukan first difference (I=1).
(ii) Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah variabel-variabel yang menyusun suatu
model memiliki sebaran data yang terdistribusi normal atau tidak. Model regresi yang memiliki
residu terdistribusi normal akan menghasilkan proses pengambilan kesimpulan yang lebih
meyakinkan, meski tidak semua metode mengharuskan dilakukan uji normalitas. Pada data panel
untuk model common effect dan fixed effect, perlu dilakukan uji asumsi klasik (salah satunya uji
normalitas) karena menggunakan pendekatan Ordinary Least Squares (OLS). Sementara itu
model random effect yang menggunakan pendekatan Generalized Least Squares (GLS) tidak
memerlukan uji asumsi klasik. Pengujian normalitas pada data panel dapat dilakukan melalui
Page 26
26
pendekatan Jarque-Bera dengan pengujian nilai statistik Chi-Square (Gujarati, 2004). Jika nilai
prob. Jarque-Bera > taraf signifikansi (0,05), maka terima H0 atau residual mempunyai distribusi
normal. Berdasarkan hasil uji normalitas pada Tabel 11, terlihat bahwa seluruh model fixed effect
yang digunakan dalam penelitian memiliki nilai prob. Jarque-Bera di atas 0,05, artinya terima H0
atau seluruh model fixed effect memiliki residu yang terdistribusi normal.
Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Model Pertumbuhan TFP Regional
Model Jarque-Bera Prob.
Model (1) 2.6171 0.2702
Model (2) 5.6268 0.0600
Model (3) 1.8924 0.3882
(iii) Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk melihat residu yang dihasilkan oleh model memiliki
varian yang konstan atau tidak. Heteroskedastisitas biasanya terjadi pada jenis data cross section.
Regresi data panel memiliki karakteristik tersebut sehingga memunculkan peluang timbulnya
masalah heteroskedastisitas. Dari ketiga model regresi data panel hanya model common effect
dan fixed effect saja yang memungkinkan terjadinya heteroskedastisitas. Hal ini dikarenakan
estimasi keduanya masih menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS), sementara
random effect sudah menggunakan Generalize Least Square (GLS) yang merupakan salah satu
teknik penyembuhan regresi.
Tabel 6 Hasil Uji Heteroskedastisitas Model Pertumbuhan TFP Regional
Model Obs*R-squared Prob. Chi-Square
Model (1) 5.2936 0.2785
Model (2) 6.7433 0.2404
Model (3) 7.6163 0.1787
Uji heteroskedastisitas menggunakan Breusch-Pagan-Godfrey test. Jika diperoleh nilai
prob. Chi Square > taraf signifikansi (0,05), maka terima H0 atau berarti model bersifat
homoskedastisitas (asumsi non-heteroskedastisitas terpenuhi). Hasil Breusch-Pagan-Godfrey test
(Tabel 12) menunjukkan bahwa seluruh model fixed effect memiliki nilai prob. Chi Square di
atas taraf signifikansi (0.05), artinya terima H0 atau seluruh model fixed effect terlepas dari
permasalahan heteroskedastisitas.
(iv) Uji Multikolinearitas
Permasalahan multikolinearitas akan muncul saat model regresi menggunakan lebih dari satu
variabel bebas. Adanya multkolinearitas akan menyebabkan banyak variabel bebas tidak
signifikan yang memengaruhi variabel terikat namun tetap menghasilkan nilai koefisien
determinasi yang tinggi. Untuk data panel, metode yang digunakan untuk mendeteksi adanya
multikolinearitas adalah melalui korelasi berpasangan. Pengunaan metode korelasi berpasangan
Page 27
27
akan membuat peneliti dapat mengetahui secara rinci variabel bebas apa saja yang saling
berkorelasi dan sejauh mana korelasi tersebut terjadi. Pengambilan keputusan metode korelasi
berpasangan dilakukan jika nilai korelasi dari masing-masing variabel bebas > 0,85 maka tolak
H0 atau di dalam model tersebut terdapat masalah multikolinearitas (Widarjono, 2007).
Berdasarkan hasil korelasi berpasangan, tidak terdapat variabel bebas pada setiap model estimasi
yang memiliki nilai korelasi > 0,85, sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi masalah
multikolinearitas. Hasil uji multikolinearitas dapat dilihat pada Lampiran 1-8.
4.4.2 Estimasi Model Pertumbuhan TFP Regional
Hasil estimasi model pertumbuhan TFP regional dapat dilihat pada Tabel 13. Model (1) pada
Tabel 13 merupakan model umum dalam memprediksi variabel-variabel yang memengaruhi
pertumbuhan TFP di tingkat regional yang ditambah dengan memasukkan komponen inovasi.
Pada model tersebut, variabel HDI --sebagai proksi dari human capital-- memberikan dampak
yang signifikan dan positif terhadap pertumbuhan produktivitas regional. Hal ini melengkapi
riset OECD (2012) yang menjelaskan bahwa human capital, yang merupakan bagian dari
Knowledge Based Economy (KBE), memberikan pengaruh positif terbesar terhadap produktivitas
(di level makro). Investasi pada human capital akan memberikan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan, berbeda dengan investasi di bidang teknologi yang hanya memberikan
keunggulan kompetitif yang terbatas (Pfeffer, 1994). Inovasi, yang diproksi menggunakan
pertumbuhan sektor manufaktur, memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap
pertumbuhan produktivitas regional. Temuan ini sejalan dengan Gerguri dan Ramadani (2010)
yang menjelaskan bahwa inovasi akan meningkatkan produktivitas melalui cara baru dalam
proses berproduksi. Penciptaan inovasi memiliki kaitan yang erat dengan basic knowledge yang
diperoleh dari pendidikan dan sains (OECD, 2007). Oleh karena itu diperlukan sistem
pendidikan yang baik dan accessible untuk masyarakat luas agar mampu memfasilitasi proses
difusi inovasi.
Model (2) merupakan pengembangan dari model (1) dengan menambahkan komponen
budaya (traditional craftmanship). Pada model ini, variabel HDI dan budaya memberikan
dampak yang positif dan signifikan terhadap model pertumbuhan TFP. Hasil ini sesuai dengan
Bucci et al (2014) yang menjelaskan bahwa cultural capital akan memberikan dampak positif
terhadap agregat TFP, sehingga peningkatan investasi budaya akan menjadi sumber
pertumbuhan yang efektif. Hal ini juga sejalan dengan McCleary (2003) dan Guiso et al (2006)
yang menunjukkan bahwa budaya dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian.
Tabellini (2008) menjelaskan bahwa budaya (cultural traits) merupakan faktor penting dalam
kinerja ekonomi regional. Lebih lanjut, UNESCO (2001) menjabarkan bahwa budaya dapat
menghasilkan pendapatan melalui pariwisata, kerajinan tangan --termasuk di dalamnya
traditional craftsmanship-- maupun artefak dan berkontribusi terhadap sustainable development
di suatu wilayah/negara. Dari sisi ketenagakerjaan, sektor budaya (padat karya) akan mampu
memberikan dampak signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Pengembangan budaya
(infrastruktur) juga merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi emerging countries,
Page 28
28
karena sektor ini diprediksi akan mampu menyerap lebih dari separuh turis internasional pada
2030 (Ernst dan Young, 2015) yang merupakan sumber devisa potensial.
Tabel 7 Hasil Estimasi Model Pertumbuhan TFP Regional Independet
Variables Dependent Variable : TFPG
Descriptions (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Human
Capital
HDI 0.343***
(6.921)
0.363***
(5.353)
0.323***
(6.105) -0.027
(-0238) 0.036
(0.340)
Economic
Variables
TradeGrowth 0.000
(0.006)
0.000
(1.286)
0.000
(0.048)
0.000
(0.062)
0.000
(-0.742)
0.001
(1.226)
0.001
(1.252)
0.000
(0.795)
CreditGrowth 0.002
(0.528)
0.004
(0.522)
0.003
(0.650)
-0.002
(-0.281)
-0.006
(-0.431)
-0.005
(-0.339)
Innovation
ManuGrowth 0.061***
(2.881)
-0.033
-0.872)
0.059***
(2.850)
0.076***
(2.673)
0.090***
(3.280)
-0.073
(-1.088)
-0.075
(-1.130)
-0.050
(-0.794)
Social Economic
Preferences
Traditional
Craftmanship 0.012**
(1.636) 0.026**
(1.788)
0.026*
(1.830)
0.027**
(1.968)
Values
(Religiousity)
Log
(WorshipHouse) 0.409
(0.872) 0.441
(1.071)
Log
(IslamicStudent) 0.691**
(2.262) 0.544*
(1.800)
Log
(SyariaFunding) 0.012
(0.038) 0.001
(0.005)
Estimation FE
(weighted)
FE
(weighted)
FE
(weighted) RE RE RE RE RE
Observation 264 195 264 264 165 195 195 165
Adjusted R2 60.15 60.29 59.65 4.75 6.61 7.10 4.32 3.77
Model (3), (4) dan (5) merupakan pengembangan dari model (1) dengan menambahkan
komponen values (religiusitas) ke dalam model. Variabel-variabel yang dicoba sebagai proksi
untuk values antara lain jumlah rumah ibadah (model 3), jumlah pelajar di institusi pendidikan
formal Islam (Model 4) dan jumlah funding yang dilakukan oleh Bank Umum Syariah (BUS)
dan Unit Usaha Syariah (UUS) (Model 5). Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel values
pada Model (3) dan (5) memiliki tanda koefisien sesuai dengan yang diharapkan meski belum
mencapai taraf nyata yang diinginkan. Variabel values memberikan pengaruh yang signifikan
dan positif terhadap variabel dependen di Model (4). IslamicStudent memberikan pengaruh yang
positif dan signifikan diduga karena memiliki perilaku yang mirip dengan HDI, di mana human
capital sangat berkaitan dengan tingkat pendidikan. Hal ini juga menunjukkan bahwa nilai-nilai
Page 29
29
keagamaan yang ditanamkan kepada pelajar sejak usia dini akan memberikan kontribusi positif
terhadap kinerja produktivitas di tingkat regional.
Model (6), (7) dan (8) mencoba mengombinasikan peran culture dan values ke dalam
satu model untuk kemudian dilihat pengaruhnya terhadap pertumbuhan produktivitas regional.
Hasil estimasi ketiga model tersebut menunjukkan bahwa variabel budaya selalu memiliki
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap variabel dependen. Hal ini mengisyaratkan
pentingnya peran culture dalam upaya peningkatan pertumbuhan produktivitas. Budaya, dalam
hal ini Intangible Cultural Heritage (ICH), dapat diwariskan atau ditransmisikan dari generasi ke
generasi dan membentuk identitas bagi masyarakat di suatu wilayah (UNESCO, 2009). Cultural
stock yang diwariskan secara turun-temurun ini akan terakumulasi dan membawa dampak positif
bagi pertumbuhan ekonomi dan potensi pendapatan (Bucci et al, 2014). Dari tiga variabel yang
digunakan sebagai proksi untuk values, hanya variabel IslamicStudent yang memberikan
pengaruh yang positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas regional. Adanya
kendala terkait ketersediaan data untuk proxy keagamaan diduga menjadi penyebab hanya satu
variabel values yang bernilai signisikan. Meski begitu, hasil ini sejalan dengan hasil yang
diperoleh pada Model (4) di mana variabel IslamicStudent juga memberikan pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas regional.
Secara umum, hasil estimasi model menunjukkan output yang sesuai dengan hipotesis.
Model pertumbuhan TFP regional sebagian besar dapat dimodelkan dengan baik menggunakan
model estimasi yang didorong oleh inovasi, culture dan values. Hasil estimasi yang diperoleh
umumnya konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu seperti OECD (2007; 2012) dan
Gerguri dan Ramadani (2010) untuk indikator inovasi; Bucci et al (2014), McCleary (2003),
Guiso et al (2006), dan UNESCO (2001) untuk variabel budaya. Sementara itu, dua dari tiga
indikator values (religiusitas) yang digunakan pada penelitian ini memberikan hasil yang serupa
dengan Eum (2011), De Jong (2008) dan Mangeloja (2004) yakni belum adanya relevansi yang
jelas antara agama dengan kinerja ekonomi.
V KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Berdasarkan berbagai uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan berbagai hal berikut.
Pertama, ptensi peningkatan kualitas sumber daya manusia (human capital) sangat besar sejalan
dengan modalitas yang dimiliki Indonesia dalam bentuk cultural capital dan values. Perbaikan
kualitas human capital tersebut sangat diperlukan utuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang
lebih cepat. Produktivitas dan inovasi berkembangnya dengan cepat sejalan dengan
meningkatnya kualitas human capital. Kondisi tersebut sejalan dengan hasil penelitian
sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dijelaskan
dengan lebih baik menggunakan model endogenous growth yang salah satunya bertumpu pada
human capital.
Kedua, cultural capital dalam bentuk kekayaan budayaan (tangible) maupun nilai-nilai
budaya (intangible capital) berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan produktivitas.
Page 30
30
Bangsa Indonesia kaya akan nilai-nilai budaya seperti gotong royong--yang justru semakin
ditinggalkan--yang dapat memberikan dampak yang positif terhadap social capital seperti
integritas dan kejujuran. Terkait dengan hal ini, nilai-nilai keagamaan (religiousitas) juga
menjadi faktor penting yang secara signifikan memberikan dampak pada pertumbuhan
produktivitas.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa indikator sebagai proksi cultural capital dan
values yang tersedia secara baik. Kondisi tersebut menjadi caveat dari penelitian ini sehingga
hasil yang diperoleh tidak sebaik yang diharapkan. Hal ini terkait dengan tidak tersedianya data
yang dianggap lebih relevan untuk menunjukkan tingkat religiousitas seperti data infaq/shodaqoh
atau data pengumpulan zakat dan wakaf atau data survei yang terkait.
Berbagai temuan tersebut memiliki beberapa implikasi diperlukannya upaya untuk
melestarikan dan membudayakan kembali budaya bangsa dan nilai-nilai kebangsaan luhur yang
bernilai positif yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Demikian pula halnya dengan upaya untuk
meningkatkan tingkat religiousitas masyarakat Indonesia ditengah keberagamanan yang ada.
Terakhir perlu disampaikan bahwa penelitian ini masih bersifat awal, dan dengan demikian
temuan yang dihasilkan masih perlu didalami lebih lanjut, Oleh karenanya diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk melihat variasi antar provinsi dengan memperkuat fisibilitas ketersediaan data
yang dibutuhkan.
Page 31
31
DAFTAR PUSTAKA
Affandi Y dan Anugrah DF. 2017. Strategi Pertumbuhan Di Indonesia: Pendekatan Growth Diagnostic,
Bank Indonesia, Jakarta
Akçomak İS. 2008. The Impact of Social Capital on Economic and Social Outcomes. Maastricht:
Universitaire Pers Maastricht.
Baltagi BH. 2005. Econometric Analysis of Panel Data 3rd Edition. Chicester (EN): J Wiley & Sons Ltd.
Barro RJ dan McCleary RM. 2003. Religion and Economic Growth. NBER Working Paper No. 9682.
Boettke, P.J. (2009), Review of Eric L. Jones Cultures Merging: A Historical and Economic Critique of
Culture, Economic Development and Cultural Change, 57(2): 434–437.
Bourdieu P. 1984. Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste. Cambridge: Harvard
University Press.
Bourdieu P. 1986. The Forms of Capital. In Handbook of Theory and Research for the Sociology of
Education, edited by J.E. Richardson. New York: Greenwood.
Bourdieu, P. and Passeron, J. C. (1977) Reproduction in Education, Society and Culture. Beverly Hills:
Sage.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2018. Berita Resmi Statistik. Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Februari
2018.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2011. Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-Hari
Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010.
Bucci A, Sacco PL dan Segre G. 2014. Smart endogenous: cultural capital and the creative use of skills.
International Journal of Manpower. 35 (1/2): 33-55
Casson, Mark. 1993. ‘Enterpreneurship and Business Culture.’ In J. Brown and M.B. Rose, eds.,
Enterpreneurship, Networks and Modern Business, pp. 30-54. Manchester: Manchester University
Press.
CEIC. 2019. Gross Domestic Product : By Industry : Constant Price.Coleman JS. 1988. Social Capital in
the Creation of Human Capital. The American Journal of Sociology. 94: 95-120.
Coleman, JS. 1990. Foundations of Social Theory. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
Comin D. 2006. Total Factor Productivity. Part of the The New Palgrave Economics Collection book
series (NPHE). London: Palgrave Macmillan.
Cornell University, INSEAD, dan WIPO. 2019. Global Innovation Index. [Online] Available at:
https://www.globalinnovationindex.org/analysis-indicator [Diakses pada 15 Agustus 2019 pukul
13.13]
Cornell University, INSEAD, dan WIPO. 2019a. The Global Innovation Index 2019: Creating Healthy
Lives—The Future of Medical Innovation. Ithaca. Fontainebleau, dan Geneva.
Cornell University, INSEAD, dan WIPO. 2018. The Global Innovation Index 2018: Energizing the World
with Innovation. Ithaca, Fontainebleau, and Geneva.
De Jong E. 2008. Religious Values and Economic Growth: A Review and Assessment of Recent Studies.
NiCE Working Paper 08-111.
Dixit, A. K. and Stiglitz, J. E. (1977). Monopolistic Competition and Optimum Product Diversity. The
American Economic Review, 67 (3), 297–308.
Eichengreen, B., D. Park, and K. Shin, 2013, “Growth Slowdowns Redux: New Evidence on the Middle-
Income Trap,” NBER Working Paper 18673 (Cambridge, Massachusetts: National Bureau of
Economic Research).
Page 32
32
Ernst & Young. 2015. Cultural times: The first global map of cultural and creative industries
Eum W. 2011. Religion and Economic Development – A Study on Religious Variables Influencing GDP
Growth over Countries.
Eurostat dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). 2005. Oslo Manual:
Guidelines for Collecting and Interpreting Innovation Data, 3rd edition. Paris: OECD.
Firdaus M. 2011. Aplikasi Ekonometrika untuk Data panel dan Time Series. Bogor: IPB Press
Ganev K. (2005). Measuring Total Factor Productivity: Growth Accounting for Bulgaria.
http://ssrn.com/abstract=2025902 [diunduh 15 Oktober 2019]
Gerguri S dan Ramadani V. 2010. The Impact of Innovation into the Economic Growth. MPRA Paper
No. 22270
Granato J, Inglehart R dan Leblang D. 1996. The Effect of Cultural Values on Economic Development:
Theory, Hypotheses, and Some Empirical Tests. American Journal of Political Science. 40(3):
607–631.
Greif, Avner, (1994), “Cultural Beliefs and the Organization of Society: A Historical and Theoretical
Reflection on Collectivist and Individualist Societies,” Journal of Political Economy, 102(5): 912-
50.
Greif, Avner (2005), Institutions: Theory and History. Comparative and Historical Institutional Analysis,
Cambridge University Press: Cambridge.
Grootaert C dan van Bastelaer T. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of
Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Social Capital Initiative
Working Paper No. 24.
Gujarati DN. 2004. Basic Econometrics 4th Edition. New York (US): McGraw-Hill.
Guiso L, Sapienza P dan Zingales L. 2003. People’s Opium: Religion and Economic Attitudes. Journal of
Monetary Economics. 50(2003): 225-282.
Guiso L, Sapienza P dan Zingales L. 2006. Does Culture Affect Economic Outcomes? Journal of
Economic Perspectives. 20 (2): 23-48.
Harper-Scott, J.P.E; Samson, Jim (2009). An Introduction to Music studies. Cambridge: Cambridge
University Press.
Hofman B, Rodrick-Jones E, dan Thee KW. 2004. Indonesia: Rapid Growth, Weak Institutions, Paper
presented at the Scaling Up Poverty Reduction: A Global Learning Process and Conference, 25-27
May, Shanghai.
Juanda B dan Junaidi. 2012. Ekonometrika Deret Waktu. Bogor (ID): IPB Press.
Juhro SM & Trisnanto, B. 2018. Paradigma dan Model Pertumbuhan Endogen Indonesia. Working Paper
Bank Indonesia. Desember.
Juhro SM. 2016. Sustainable Economic Growth: Challenges dan Policy Strategy, in Growth Diagnostic:
Growth Strategy to Support Structural Reform in Indonesia, Juda Agung Edimon Ginting, Solikin
M. Juhro, and Yoga Affandi (Eds.), BI-ADB, 2016.
Juhro SM. 2015. "Sustainable Economic Growth: Challenges and Policy Strategies," Working
Papers WP/15/2015, Bank Indonesia.
Khan MM, Zhang J, Hashmi MS dan Bashir M. 2010. Cultural Values and Economic Growth in Asia: An
Empirical Analysis. International Journal of Business and Social Science. 1 (2): 15-27.
KKDSI UGM (Kelompok Kerja untuk Daya Saing Indonesia UGM). 2014. Catchup: Seberapa Jauh
Indonesia Memiliki Bekal untuk Mengejar Negara-Negara Maju. Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada
Page 33
33
Mangeloja E. 2005. Economic Growth and Religious Production Efficiency. Applied Economics. 37:
2349-2359
Narayan, Deepa, and Lant Pritchett. 1997. "Cents and Sociability: Household Income and Social Capital
in Rural Tanzania." Processed. World Bank, Washington, D.C.
OECD. 2007. Innovation and Growt: Rationale for an Innovation Strategy.
OECD. 2011. Sources of growth. In OECD Science, Technology and Industry Scoreboard 2011. OECD
Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/sti_scoreboard-2011-5-en
OECD. 2012. New Sources of Growth: Knowledge-Based Capital Driving Investment and Productivity in
the 21st Century. Interim Project Findings.
OECD. 2013. Supporting Investment in Knowledge Capital, Growth and Innovation. Introduction and
overview: Supporting investment in knowledge-based capital. OECD Publishing.
http://dx.doi.org/10.1787/9789264193307-en.
Pfeffer J. 1994. Competitive Advantage through People. California Management Review. 36(2) : 9-28.
Porter ME. 2000. Attitudes, Values, and Beliefs, and the Microeconomics of Prosperity, in ed. Lawrence
Harrison and Samuel Huntington Cu lture Matters: How Values Shape Human Progress. New
York: Basic Books, 202–218.
Portes, Alejandro. 1998. “Social Capital: Its Origins and Applications in Contemporary Sociology.”
Annual Review of Sociology 24: 1–24.
PUSKAS BAZNAS (Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional). 2018. Outlook Zakat Indonesia
2019.
PUSKAS BAZNAS (Pusat Kajian Strategis Badan Amil Zakat Nasional). 2017. Outlook Zakat Indonesia
2018.
Putnam, R., with R. Leonardi, and R. Nanetti. 1993. Making Democracy Work: Civic Traditions in
Modern Italy. Princeton: Princeton University Press.
Romer PM. 1990. Endogenous Technological Change. Journal of Political Economy. 98 (5): 71–102.
Sigit H. (2004). Total Factor Productivity Growth. Report of the Asian Productivity Organization (APO)
on Total Factor Productivity 2001/2002, 98-133.
Solow RM. 1956. A contribution to the theory of economic growth. Quarterly Journal of Economics. 70.
65–94.
Tabellini G. 2008. Culture and Institutions: Economic Development in the Regions of Europe. Mimeo
Throsby, D. (2001), Economics and Culture, Cambridge University Press, Cambridge.
UNCTAD. (2004). Creative Industries and Development (document TD(XI)/BP/13).
UNCTAD. (2010). Creative Economy Report 2010
UNESCO. (1986). The UNESCO Framework for Cultural Statistics. Statistical Commission and
Economic Commission for Europe, UNESCO, Conference of European Statisticians. Third Joint
meeting on Cultural Statistics, 17-20 March 1986. CES/AC/44/11. 13 February 1986.
UNESCO. (1995). “Our Creative Diversity”. Report of the World Commission on Culture and
Development. Paris: UNESCO.
UNESCO. (2001). UNESCO Universal Declaration on Cultural Diversity. Paris: UNESCO.
UNESCO. (2003). Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage. Paris: UNESCO.
UNESCO. (2009), Framework for Cultural Statistics, UNESCO, Paris.
UNESCO Institute for Statistics. 2019. UIS Stat. [Online] Available at: http://data.uis.unesco.org/#
[Diakses pada 13 September 2019 pukul 09.36]
Page 34
34
Uphoff, Norman. 2000. “Understanding Social Capital: Learning from the Analysis and Experience of
Participation.” In Partha Dasgupta and Ismail Serageldin (eds.), Social Capital: A Multifaceted
Perspective, Washington, D.C.: World Bank.
Williamson CR. 2009. Informal Institutions Rule: Institutional Arrangements and Economic Performance.
Public Choice (2009) 139: 371-387
Williamson CR dan Karekes CB. 2008. Securing Private Property: Formal versus Informal Institutions.
Mimeo.
Woolcock, Michael. 1998. “Social Capital and Economic Development: Toward a Theoretical Synthesis
and Policy Framework.” Theory and Society 27 (2): 151-208.
Woolcock, Michael, and Deepa Narayan. 2000. “Social Capital: Implications for Development Theory,
Research, and Policy.” World Bank Research Observer 15 (2): 225–249.
Voosholz F. 2014. A Survey on Modelling Growth with Special Interest on Natural Resource Use.
CAWM Discussion Paper No. 69.
Page 35
35
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Uji Multikolinearitas Model (1)
HDI MANUGROWTH TRADEGROWTH CREDITGROWTH
HDI 1.000 -0.092 -0.087 -0.158
MANUGROWTH -0.092 1.000 0.301 0.008
TRADEGROWTH -0.087 0.301 1.000 -0.002
CREDITGROWTH -0.158 0.008 -0.002 1.000
Lampiran 2 Uji Multikolinearitas Model (2)
HDI
MANU
GROWTH
TRADE
GROWTH
CREDIT
GROWTH
SOCEC_
PREFERENCES
HDI 1.000 -0.126 -0.093 -0.226 -0.202
MANUGROWTH -0.126 1.000 0.606 -0.026 -0.033
TRADEGROWTH -0.093 0.606 1.000 -0.013 -0.039
CREDITGROWTH -0.226 -0.026 -0.013 1.000 0.001
SOCEC_PREFERENCES -0.202 -0.033 -0.039 0.001 1.000
Lampiran 3 Uji Multikolinearitas Model (3)
HDI
MANU
GROWTH
TRADE
GROWTH
CREDIT
GROWTH
LOG
(WORSHIPHOUSE)
HDI 1.000 -0.092 -0.087 -0.158 0.198
MANUGROWTH -0.092 1.000 0.301 0.008 -0.079
TRADEGROWTH -0.087 0.301 1.000 -0.002 -0.083
CREDITGROWTH -0.158 0.008 -0.002 1.000 -0.027
LOG(WORSHIPHOUSE) 0.198 -0.079 -0.083 -0.027 1.000
Lampiran 4 Uji Multikolinearitas Model (4)
MANU
GROWTH
TRADE
GROWTH
CREDIT
GROWTH
LOG
(ISLAMICSTUDENT)
MANUGROWTH 1.000 0.301 0.008 -0.040
TRADEGROWTH 0.301 1.000 -0.002 -0.050
CREDITGROWTH 0.008 -0.002 1.000 -0.043
LOG(ISLAMICSTUDENT) -0.040 -0.050 -0.043 1.000
Lampiran 5 Uji Multikolinearitas Model (5)
HDI
MANU
GROWTH
TRADE
GROWTH
LOG
(SYARIAFUNDING)
HDI 1.000 -0.130 -0.134 0.593
MANUGROWTH -0.130 1.000 0.311 -0.144
TRADEGROWTH -0.134 0.311 1.000 -0.116
LOG(SYARIAFUNDING) 0.593 -0.144 -0.116 1.000
Page 36
36
Lampiran 6 Uji Multikolinearitas Model (6)
MANU
GROWTH
TRADE
GROWTH
CREDIT
GROWTH
SOCEC_
PREFERENCES
WORSHIP
HOUSE
MANUGROWTH 1.000 0.606 -0.026 -0.033 -0.011
TRADEGROWTH 0.606 1.000 -0.013 -0.039 -0.051
CREDITGROWTH -0.026 -0.013 1.000 0.001 -0.004
SOCEC_PREFERENCES -0.033 -0.039 0.001 1.000 0.296
WORSHIPHOUSE -0.011 -0.051 -0.004 0.296 1.000
Lampiran 7 Uji Multikolinearitas Model (7)
MANU
GROWTH
TRADE
GROWTH
CREDIT
GROWTH
SOCEC_
PREFERENCES
LOG
(ISLAMIC
STUDENT)
MANUGROWTH 1.000 0.606 -0.026 -0.033 -0.018
TRADEGROWTH 0.606 1.000 -0.013 -0.039 -0.053
CREDITGROWTH -0.026 -0.013 1.000 0.001 -0.012
SEP_002 -0.033 -0.039 0.001 1.000 0.120
LOG
(ISLAMICSTUDENT) -0.018 -0.053 -0.012 0.120 1.000
Lampiran 8 Uji Multikolinearitas Model (8)
HDI
MANU
GROWTH
TRADE
GROWTH
SOCEC_
PREFERENCES
LOG
(SYARIAFUNDING)
HDI 1.000 -0.151 -0.140 -0.280 0.605
MANUGROWTH -0.151 1.000 0.704 -0.072 -0.155
TRADEGROWTH -0.140 0.704 1.000 -0.050 -0.127
SOCEC_
PREFERENCES -0.280 -0.072 -0.050 1.000 -0.016
LOG
(SYARIAFUNDING) 0.605 -0.155 -0.127 -0.016 1.000