PERAN HUTAN KEMASYARAKATAN YANG DIKELOLA SECARA AGROFORESTRI MELALUI INISIATIF KARBON TERSIMPAN DI KPH BUKIT PUNGGUR WAY KANAN (Skripsi) Oleh YANFA GHIYATS GHIFARI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2020
PERAN HUTAN KEMASYARAKATAN YANG DIKELOLA SECARAAGROFORESTRI MELALUI INISIATIF KARBON TERSIMPAN
DI KPH BUKIT PUNGGUR WAY KANAN
(Skripsi)
Oleh
YANFA GHIYATS GHIFARI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2020
ABSTRACT
THE ROLE OF COMMUNITY FORESTS AGROFORESTRY MANAGEDTHROUGH INSTITUTED CARBON INITIATIVES
IN KPH BUNGIT PUNGGUR WAY KANAN
By
Yanfa Ghiyats Ghifari
Community Forestry (HKm) is one of the Social Forestry programs that
empowers people to obtain the benefits of forest products optimally while
maintaining forest sustainability. Community Forestry Jaya Lestari is one of the
HKm located in Bukit Punggur Forest Management Unit (FMU) area in Way
Kanan Regency. This study aimed to analyze the contribution of the amount of
stored carbon in the Gapoktan Jaya Lestari management area to the income of
farmers mainly obtained from the activities such selling carbon stored in HKm
Jaya Lestari. This study used 16 sample plots with sampling intensity of 0,005%
from the 1.295 ha area of land managed by HKm Jaya Lestari farmers. Data
collection methods used in this study were to determine the Importance Value
Index, allometric equations and additional incentives from the economic value of
carbon using assumptions. The results showed that the species that dominated in
the tree phase were rubber (128,03%), rubber species dominance (156,31%) in the
pole phase, coffee species dominance (97,12) in the sapling phase and haredong
species dominance (24,26%) in the seedling and undergrowth phases.
Community Forestry Jaya Lestari has a management area of 1.295 ha with an
average carbon of 96,45 tons/ha with carbon potential of 124.902,75 tons. Total
revenue from carbon initiatives was estimated to reach a nominal value of
Rp. 31.697.528.111 based on the Voluntary Carbon Market carbon trading
scheme.
Keywords: agroforestry, allometrics, carbon initiatives, community forestry
ABSTRAK
PERAN HUTAN KEMASYARAKATAN YANG DIKELOLA SECARAAGROFORESTRI MELALUI INISIATIF KARBON TERSIMPAN
DI KPH BUKIT PUNGGUR WAY KANAN
Oleh
Yanfa Ghiyats Ghifari
Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah salah satu program Perhutanan Sosial yang
memberdayakan masyarakat untuk memperoleh manfaat hasil hutan secara
optimal serta tetap menjaga kelestarian hutan. Hutan Kemasyarakatan Jaya
Lestari merupakan salah satu HKm yang berlokasi di kawasan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH) Bukit Punggur Kabupaten Way Kanan. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis kontribusi jumlah karbon tersimpan di wilayah
pengelolaan Gapoktan Jaya Lestari terhadap pendapatan petani yang diperoleh
dari kegiatan inisiatif penjualan karbon tersimpan di HKm Jaya Lestari.
Penelitian ini menggunakan 16 petak contoh hasil dari penentuan intensitas
sampling sebesar 0,005% dari 1.295 ha luas lahan yang dikelola oleh petani HKm
Jaya Lestari. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah menentukan Indeks Nilai Penting (INP), persamaan allometrik dan insentif
tambahan dari nilai ekonomi karbon dengan menggunakan asumsi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa spesies yang mendominasi pada fase pohon yaitu
karet (128,03%), dominasi spesies karet (156,31%) pada fase tiang, dominasi
spesies kopi (97,12) pada fase pancang dan dominasi spesies haredong (24,26%)
pada fase semai dan tumbuhan bawah. Hutan Kemasyarakatan Jaya Lestari
memiliki area kelola seluas 1.295 ha dengan rata-rata karbon sebesar 96,45 ton/ha
maka HKm tersebut memiliki potensi karbon sebesar 124.902,75 ton. Total
pendapatan dari inisiatif karbon diperkirakan mencapai nominal yang tinggi yaitu
sebesar Rp. 31.697.528.111 berdasarkan skema perdagangan karbon Voluntary
Carbon Market (VCM).
Kata Kunci: agroforestri, allometrik, hutan kemasyarakatan, inisiatif karbon
PERAN HUTAN KEMASYARAKATAN YANG DIKELOLA SECARAAGROFORESTRI MELALUI INISIATIF KARBON TERSIMPAN
DI KPH BUKIT PUNGGUR WAY KANAN
Oleh
YANFA GHIYATS GHIFARI
Skripsi
sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA KEHUTANAN
pada
Jurusan KehutananFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2020
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandung, pada tanggal 23 September
1996, sebagai anak dari Bapak Wawan Dermawan, S.Pd.,
M.M.Pd dan Ibu Isnawati, dan merupakan anak pertama dari
empat bersaudara (Fairuz Al Fajri, M. Almer Dzaky, dan
Citra Vayla Uzmahani).
Riwayat pendidikan Penulis dimulai dari Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN
4 Soreang pada Tahun 2008, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 2
Banjaran pada Tahun 2011, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 1
Margahayu pada Tahun 2014.
Tahun 2014, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Unila melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(SBMPTN). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota utama
Himasylva dan menjadi anggota Bidang Rumah Tangga Himasylva pada tahun
2015-2016. Penulis telah melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun
2018 di Desa Wawasan, Kecamatan Tanjung Sari, Lampung Selatan. Tahun
2017, penulis melakukan Praktik Umum (PU) di Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Balapulang Divisi Regional Jawa Tengah. Penulis mengikuti Seminar
Nasional Biologi 4 pada tahun 2019 sebagai penyaji sebagian dari hasil
penelitiannya dengan judul “Cadangan Karbon pada Tegakan Karet di Kesatuan
Pengelolaan Hutan Bukit Punggur”.
Ku Persembahkan Karya Ini Untuk Kedua Orang Tuaku,Ayahanda Wawan Dermawan dan Ibunda Isnawati Tercinta
Serta Untuk Adik-Adikku Tersayang
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
dan hidayah-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi dengan judul “Peran Hutan Kemasyarakatan yang Dikelola secara
Agroforestri melalui Inisiatif Karbon Tersimpan di KPH Bukit Punggur
Way Kanan” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Kehutanan di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Indra Gumay Febryano, S.Hut., M.Si., selaku Ketua Jurusan
Kehutanan;
3. Ibu Dr. Ir. Christine Wulandari, M.P., selaku pembimbing utama atas
kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini, serta membantu mendanai penelitian ini;
4. Bapak Rudi Hilmanto, S.Hut., M.Si., selaku pembimbing kedua atas
kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini, serta membantu mendanai penelitian ini;
5. Bapak Dr. Ir. Samsul Bakri, M.Si., selaku penguji utama pada ujian skripsi.
Terima kasih untuk masukan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini;
6. Bapak Wawan Derrmawan, S.Pd, M.M.Pd. dan Ibu Isnawati, selaku orang tua
kandung Penulis yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan hingga
Penulis menyelesaikan skripsi ini;
7. Bapak Feri Fahrurrozi dan Ibu Sari Wilianti, selaku orang tua tiri Penulis
yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan hingga Penulis
menyelesaikan skripsi ini,
8. Mbah Pertiwi, Paman Fery dan keluarga yang senantiasa selalu mendukung
dan memberikan arahan dalam proses perkuliahan hingga skripsi ini selesai
dikerjakan,
9. Kakak-kakak dan Adik-adik kandung, saudara-saudara tiri, serta keluarga
besar Penulis, yang selalu mendoakan dan memberikan support hingga
penulis menyelesaikan skripsi ini;
10. Bapak Trio Santoso, S.Hut., M.Sc., selaku pembimbing akademik;
11. Bapak dan Ibu tenaga kependidikan Kehutanan Unila;
12. Bang Yustinus Seno, S.Hut., Bang Imawan Abdul Qohar, S.Hut., dan Ghina
Zhafira, S. Hut., dan Prila Idayanti, S. Hut. selaku tim yang telah bekerjasama
dan membantu dalam penelitian ini;
13. Bang Fredy Rahman Dani, S.Hut. selaku bakti ribawan KPH III Bukit
Punggur yang telah banyak membantu, mengarahkan, dan menyediakan
tempat selama penelitian berlangsung;
14. Kehutanan 2014 (LUGOSYL) selaku rekan angkatan seperjuangan yang
selalu support;
ii
15. Lembaga Garuda Sylva (GARSI), dan abang-abang dan mbak-mbak yang
selalu support dalam menyelesaikan skripsi Penulis,
16. Seluruh Tim Pengawas dan Penilai (WASNIL) Program Rehabilitasi Hutan
dan Lahan (RHL) terkhusus Bang Ahmad Hendri Gunawan, S. Hut. (Kyay
Konces) dan tim yang senantiasa memberi dukungan serta motivasi kepada
Penulis.
17. Seluruh teman dan sahabat Penulis terkhusus Tita Prenti Rahmadanti, S.P.,
Azhary Taufiq, S.Hut., Ade Sofiyan, S.Hut., Ary Rahmadi, S.Hut., Reki
Hamdani, Suprayoga Adi Prasetya dan Zulfikri, S.Hut. yang selalu
memberikan support dan nasihat serta membantu Penulis sampai skripsi ini
selesai.
Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
dengan segala kerendahan hati semoga skripsi yang sederhana ini dapat
bermanfaat dan berguna bagi ilmu pengetahuan.
Aamiin.
Bandar Lampung, 14 Februari 2020
Yanfa Ghiyats Ghifari
iii
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL ..................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 11.1 Latar Belakang ................................................................................ 11.2 Tujuan Penelitian............................................................................. 31.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 82.1 Gambaran Umum Kabupaten Way Kanan...................................... 82.2 Hutan ............................................................................................... 10
2.2.1 Hutan lindung........................................................................ 112.3 Hutan Kemasyarakatan ................................................................... 122.4 Sejarah Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten
Way Kanan ...................................................................................... 132.5 Vegetasi ........................................................................................... 142.6 Indeks Nilai Penting (INP) .............................................................. 162.7 Agroforestri ..................................................................................... 19
2.7.1 Definisi agroforestri .............................................................. 192.7.2 Sistem agroforestri ................................................................ 192.7.3 Ciri-ciri agroforestri .............................................................. 212.7.4 Agroforestri sebagai tempat penyimpanan karbon ............... 22
2.8 Biomassa ......................................................................................... 242.8.1 Definisi biomassa.................................................................. 242.8.2 Perhitungan biomassa hutan ................................................. 25
2.9 Karbon............................................................................................. 282.9.1 Definisi karbon ..................................................................... 282.9.2 Siklus karbon ........................................................................ 322.9.3 Peran hutan dalam menyerap karbon.................................... 33
2.10 Pasar Karbon................................................................................. 342.10.1 Definisi pasar karbon .......................................................... 342.10.2 Perdagangan dalam pasar karbon ........................................ 362.10.3 Voluntary carbon market (VCM)........................................ 36
HalamanIII. METODOLOGI PENELITIAN ....................................................... 38
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ......................................................... 383.2 Objek dan Alat Penelitian ............................................................... 383.3 Metode Penelitian............................................................................ 39
3.3.1 Data primer ........................................................................... 393.3.2 Data sekunder ....................................................................... 39
3.4 Penentuan Petak Ukur ..................................................................... 403.4.1 Petak ukur ............................................................................ 403.4.2 Intensitas sampling............................................................... 403.4.3 Bentuk plot contoh ............................................................... 413.4.4 Pengambilan data ................................................................. 42
3.5 Pengamatan dan Pengumpulan Data ............................................... 433.5.1 Indeks nilai penting (INP)..................................................... 433.5.2 Pendugaan biomassa ............................................................. 453.5.3 Konversi tarif karbon dalam VCM ....................................... 48
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................... 494.1 Indeks Nilai Penting (INP) .............................................................. 49
4.1.1 Pohon .................................................................................... 494.1.2 Tiang ..................................................................................... 524.1.3 Pancang................................................................................. 544.1.4 Tumbuhan bawah dan semai................................................. 56
4.2 Biomassa dan Karbon Tersimpan ................................................... 584.3 Potensi Cadangan Karbon dan Pendapatan Perdagangan Karbon .. 65
V. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 695.1 Simpulan.......................................................................................... 695.2 Saran................................................................................................ 70
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 71
LAMPIRAN............................................................................................... 78Tabel 10-14............................................................................................. 79Gambar 11-19......................................................................................... 93
v
1
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman1. Jumlah petak ukur di HKm Jaya Lestari...... ........................................... 41
2. Model persamaan allometrik.................................................................. 45
3. INP fase pohon pada HKm Jaya Lestari ................................................ 50
4. INP fase tiang pada HKm Jaya Lestari .................................................. 52
5. INP fase pancang pada HKm Jaya Lestari ............................................. 54
6. INP fase semai dan tumbuhan bawah pada HKm Jaya Lestari.............. 56
7. Nilai biomassa, karbon tersimpan, dan serapan CO2 ............................. 60
8. Komposisi cadangan karbon pada biomassa pohon............................... 63
9. Asumsi pembagian insentif penjualan karbon ....................................... 68
10. Data pengamatan pada fase pohon......................................................... 79
11. Data pengamatan pada fase tiang........................................................... 82
12. Data pengamatan pada fase pancang ..................................................... 85
13. Data pengamatan pada fase tumbuhan bawah dan semai ...................... 88
14. Data biomassa pada semua fase pertumbuhan....................................... 93
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman1. Diagram alir penelitian.......................................................................... 7
2. Peta lokasi penelitian ............................................................................ 8
3. Petak ukur pengambilan data biomassa ................................................ 42
4. Indeks nilai penting fase pohon ............................................................ 51
5. Indeks nilai penting fase tiang .............................................................. 53
6. Indeks nilai penting fase pancang ......................................................... 55
7. Indeks nilai penting fase tumbuhan bawah dan semai.......................... 57
8. Data perbandingan karbon tersimpan ................................................... 61
9. Persentase dominansi diameter batang pohon ...................................... 64
10. Lapisan pendapatan hasil hutan masyarakat HKm Jaya Lestari ........... 66
11. Tugu kawasan hutan lindung KPH Bukit Punggur............................... 93
12. Hutan yang dikelola oleh HKm Jaya Lestari ........................................ 94
13. Pengukuran diameter pohon ................................................................. 94
14. Tegakan yang didominasi fase tiang dan fase pancang ........................ 95
15. Pengambilan sampel serasah dan tumbuhan bawah ............................. 95
16. Penimbangan sampel bobot serasah dan tumbuhan bawah .................. 96
17. Pengeringan contoh serasah dan tumbuhan bawah............................... 96
18. Silatuhrahmi dengan pengurus HKm Jaya Lestari................................ 97
19. Tim pengambilan data penelitian dari mahasiswa Unila ...................... 97
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan Indonesia adalah hutan yang mengalami laju deforestasi tercepat di dunia.
Sejak tahun 2000 hingga 2012, hutan Indonesia mengalami kerusakan hutan
sebesar 6,02 mha dengan kenaikan sekitar 47.600 ha/tahun (Margono dkk., 2014).
Laju deforestasi berlangsung juga di Provinsi Lampung, tercatat bahwa
657.800 ha (65,47%) dari total luasan kawasan hutan (1.004.735 ha) mengalami
deforestasi (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2013).
Deforestasi disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan yang sudah tidak terkendali
lagi. Dewan Nasional Perubahan Iklim (2009) menyebutkan total emisi nasional
Indonesia adalah 85%, berasal dari agrikultur dan perubahan tata guna lahan dari
lahan hutan menjadi tutupan lahan lainnya. Oleh sebab itu, perlu adanya
perbaikan kondisi hutan yang merupakan sebuah solusi sebagai sumber
pendapatan masyarakat. Selain itu perlu adanya pertimbangan mengenai peran
ekologis hutan terkait dengan fungsi hutan yang salah satunya adalah sebagai
mitigasi emisi gas rumah kaca.
Kondisi hutan saat ini perlu adanya strategi dan upaya untuk mitigasi guna
mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan penyimpanan karbon dalam
rangka mengatasi perubahan iklim dan peningkatan sumber nafkah rumah tangga
2masyarakat dengan cara memperdagangkan karbon yang tersimpan dalam hutan
(Fitria dkk., 2017). Menurut Angelsen dkk. (2013), pengelolaan hutan berbasis
masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan Reduction
Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Indonesia.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016) dalam P.83 tentang
Perhutanan Sosial menjelaskan bahwa Hutan Kemasyarakatan (HKm) merupakan
salah satu model pengelolaan hutan yang pemanfaatannya bertujuan untuk
memberdayakan masyarakat setempat. Pemanfaatannya dalam bentuk kegiatan
memanen hasil hutan bukan kayu melalui pembibitan, penanaman, pemeliharaan,
pemanenan, pengolahan dan pemasaran berdasarkan asas kelestarian hutan, sosial
dan lingkungan dan/atau dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan melalui
antara lain jasa ekowisata, jasa tata air, jasa keanekaragaman hayati maupun jasa
penyerap atau penyimpan karbon.
Hutan Kemasyarakatan Jaya Lestari merupakan kawasan hutan lindung
KPH Bukit Punggur Kabupaten Way Kanan yang diperuntukan agar masyarakat
sekitar hutan dapat memperoleh nafkah serta mempertahankan kelestarian
hutannya. HKm tersebut dikelola oleh masyarakat dengan menerapkan
agroforestri. Agroforestri dikembangkan baik di negara berkembang maupun di
negara maju sebagai bentuk penurunan konsentrasi gas rumah kaca
(Natalia dkk., 2014), khususnya penurunan CO2.
Pengelolaan hutan berdasarkan skema HKm dengan sistem agroforestri sejauh ini
dinilai memiliki cadangan karbon yang baik. Aprianto (2015) mendapatkan hasil
bahwa jumlah cadangan karbon di KPHL Batutegi yang dikelola dengan sistem
agroforestri sebesar 534,73 ton/ha dengan rata-rata cadangan karbon sebesar
3178,24 ton/ha. Penelitian Fitria dkk. (2017) menunjukkan bahwa HKm Desa
Ngeposari yang memiliki luasan 115 ha mendapati jumlah karbon tersimpan
sebesar 32.578,55 ton dengan biaya yang didapatkan dari hasil penjualan karbon
sebesar Rp. 295.321.293. Peran HKm Jaya Lestari adalah sebagai penunjang
perekonomian masyarakat sekitar hutan namun perlu adanya pengetahuan tentang
peran ekologis kawasan tersebut dalam penyerapan karbon. Oleh karena itu
penelitian mengenai karbon tersimpan perlu dilakukan untuk dapat mengetahui
pendugaan cadangan karbon di HKm Jaya Lestari serta sebagai acuan dan
informasi bagi masyarakat dalam upaya mengikuti program REDD+ atau inisiatif
karbon.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut.
1. Analisis Indeks Nilai Penting (INP) spesies yang mendominasi
HKm Jaya Lestari.
2. Analisis jumlah karbon tersimpan di wilayah pengelolaan
Gapoktan Jaya Lestari.
3. Analisis potensi karbon tersimpan dan serapan karbon dalam upaya penurunan
laju emisi.
4. Analisis sumbangan ekonomi karbon terhadap pendapatan rumah tangga
melalui inisiatif perdagangan karbon.
41.3 Kerangka Pemikiran
Diketahui bahwa HKm merupakan salah satu skema perhutanan sosial yang
memperdayakan masyarakat setempat atau sekitar kawasan hutan.
Pelaksanaannya adalah dengan memanfaatkan sumberdaya hutan secara optimal,
adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan
lingkungan hidup (PermenLHK, 2014). Hutan Kemasyarakatan Jaya Lestari
adalah salah satu HKm yang dibentuk di Kabupaten Way Kanan sebagai suatu
rancangan pelayanan kredit bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan untuk dapat
membuat unit-unit usaha berbasis hasil hutan. Peraturan Menteri
Kehutanan (2014) dalam P.88 tentang HKm menjelaskan bahwa dalam
penyelenggaraan HKm adalah untuk pengembangan kapasitas dan pemberian
akses kepada masyarakat setempat untuk mengelola kawasan hutan secara lestari
guna menciptakan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan serta untuk
menyelesaikan persoalan sosial. Salah satu metode pengelolaan hutan yang
masyarakat tekuni adalah dengan menerapkan sistem agroforestri.
Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan terpadu yang mengombinasikan
tanaman kehutanan terutama pohon dengan tanaman pertanian dan/atau hewan
ternak yang dilakukan dalam waktu bersamaan atau bergilir. Tujuannya agar
mendapatkan hasil dari penggunaan lahan yang optimal dan berkelanjutan
(Sudoyono dkk., 2014). Nadeak dkk. (2013) dan Asmi dkk. (2013)
mengemukakan bahwa agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan
biofisik saja namun untuk menghasilkan keuntungan sosial, ekonomi dan
lingkungan bagi semua pengguna lahan dengan adanya pengelolaan pada lahan,
Peran ekologi terkait dengan fungsi hutan salah satunya adalah sebagai mitigasi
5emisi gas rumah kaca melalui simpanan karbon pada tegakannya. Realitanya,
hutan di Provinsi Lampung saat ini tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai
penyimpan karbon dengan baik berdasarkan kondisi hutan saat ini.
Kondisi hutan di Lampung saat ini adalah sebanyak 65,47% rusak oleh adanya
faktor-faktor penyebab kerusakan hutan (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung,
2013). Banyaknya perambahan hutan, degradasi hutan, deforestasi dan kebakaran
adalah sebagian penyebab kerusakan hutan. Dalam kurun waktu 10 tahun (2007-
2016) hutan Provinsi Lampung mengalami kerusakan hutan sebesar 7,05% atau
seluas 234.004 ha. Hutan di Provinsi Lampung juga menjadi salah satu wilayah
yang mengalami kerusakan hutan terluas pada 20 tahun yang terjadi di Pulau
Sumatera yaitu sebesar 20% dari luas hutan yang ada (Maulina dkk., 2016).
Berdasarkan permasalahan tersebut terdapat suatu skema yang dapat dijadikan
solusi sebagai upaya yang dapat menanggulangi kerusakan hutan, yaitu melalui
program REDD+ (Reduction Emissions from Deforestation and Forest
Degradation).
Progran (REDD+) merupakan program yang ditujukan untuk mengurangi emisi
gas rumah kaca dari sektor kehutanan. Pelaksanaan program tersebut merupakan
kerja sama antara negara maju dan negara berkembang sehingga dapat
memastikan tercapainya tujuan rezim iklim internasional (Rizqie, 2013). Salah
satu perdagangan karbon yang dapat dipraktekkan adalah Voluntary Carbon
Market (VCM) atau pasar karbon sukarela, terbentuk karena adanya korporasi dan
masyarakat di negara maju, yang bertujuan untuk mengurangi carbon footprint
yang dihasilkan oleh emitter dan juga akan menambah pendapatan masyarakat
sekitar hutan dari hasil perdagangan karbon ini (Fitria dkk., 2017).
6Sistem agroforestri yang dikelola masyarakat HKm Jaya Lestari merupakan suatu
kesempatan yang tepat untuk mewujudkan hutan lestari dan masyarakat sejahtera
disamping kondisi hutan yang terus menerus mengalami kerusakan seiring
bertambahnya tahun. Hal tersebut didasari oleh adanya ± 380 desa/kelurahan dan
± 1,33 juta jiwa berada di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan Provinsi
Lampung (Sanudin dkk., 2016), yang perlu diperhatikan kesejahteraannya.
Tentunya hasil hutan memberikan tambahan pendapatan bagi para petani dan juga
menjaga peran ekologis dari hutan itu sendiri salah satunya mitigasi emisi gas
rumah kaca dengan cara masyarakat memiliki inisiatif untuk memperdagangkan
karbon tersimpan pada lahan garapannya.
Simpanan karbon yang dihitung pada peneilitian ini adalah karbon di atas
permukaan tanah. Data yang diambil untuk simpanan karbon dengan
menggunakan beberapa petak contoh (sampling) yang ditentukan dengan metode
stratified random sampling. Karbon yang diukur terdiri dari 3 objek yaitu pohon,
serasah serta tumbuhan bawah yang dapat diketahui dengan menghitung besarnya
biomassa dan dihitung dengan metode destructive (pemanenan) maupun non-
destructive (tanpa pemanenan). Biomassa yang diukur adalah biomassa pohon
pada semua fase pertumbuhan yang dihitung dengan menggunakan persamaan
allometrik. Pengukuran biomassa serasah dan tumbuhan bawah
dihitung dengan menggunakan rumus biomass expansion factor (Brown, 1997).
Setelah diketahui pendugaan biomassa, maka karbon tersimpan di HKm Jaya
Lestari tersebut dapat diketahui dengan mengkonversi pada satuan total stock.
Karbon tersimpan kemudian dikonversi lagi menjadi dolar sebesar tarif VCM
berdasarkan ecosystem market place tarif karbon VCM. Hasil penelitian ini
7adalah sebagai informasi bagi pihak terkait dalam upaya pengelolaan pada
kawasan yang dikelola secara agroforestri di HKm Jaya Lestari Register 24 KPH
Bukit Punggur Kabupaten Way Kanan. Bagan diagram alir dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir penelitian.
Kondisi HKm Jaya Lestari
HKm Jaya Lestari denganSistem Agroforestri
Reduction Emissions fromDeforestation and ForestDegradation (REDD+)
VoluntaryCarbon Market
Perekonomian Masyarakat Bertambahdan
Menjaga Peran Ekologis Hutan
Biomassa di AtasPermukaan Tanah
Metode Destructive Metode Non-Destructive
Biomassa SerasahDan
Biomassa Tumbuhan Bawah
Biomassa Pohon
Analisis Karbon
Peran HKm Melalui Inisiatif Karbon di KPH Bukit Punggur
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Kabupaten Way Kanan
Peta lokasi penelitian peran HKm yang dikelola secara agroforestri melalui
inisiatif karbon tersimpan di KPH Bukit Punggur disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian.
9Kabupaten Way Kanan termasuk dalam salah satu kabupaten yang ada di Provinsi
Lampung yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Lampung Utara. Undang-
undang No. 12 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Dati II Way Kanan
adalah sebagai dasar pembentukan Kabupaten Way Kanan tersebut.
Peresmiannya adalah pada tanggal 27 April 1999 yang ditandai dengan pelantikan
Pejabat Bupati oleh Menteri Dalam Negeri di Jakarta. Blambangan Umpu
merupakan Ibukota Kabupaten Way Kanan yang menjadi salah satu kampung tua
di Kabupaten tersebut (Badan Pusat Statistik, 2018).
Luasan wilayah Kabupaten Way Kanan adalah 3.921,63 km2 yang terbagi menjadi
14 kecamatan, 6 kelurahan dan 221 kampung. Badan Pusat Statistik
Way Kanan (2018) menjabarkan batasan wilayah Kabupaten Way Kanan adalah
sebagai berikut.
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten OKU Timur, Provinsi Sumatera
Selatan
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Lampung Utara
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Tulang Bawang Barat
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lampung Barat
Kabupaten Way Kanan tersusun dalam beberapa bentuk bentang alam yang
tersusun dari ±73,9% luasan adalah wilayah datar sampai wilayah bergelombang
dengan kemiringan lereng 0-15%, ±20,2% luasan memiliki relif bergelombang
sampai berbukit dengan kemiringan 15-25% dan ±5,9% luasan berbukit sampai
bergunung dengan kemiringan lereng 25- 40%. Ketinggian tempat atau elevasi
pada Kabupaten Way Kanan adalah 450-1700 mdpl dengan daerah lereng-lereng
10curam. Kecamatan Kasui yang memiliki puncak pada Bukit Punggur setinggi
1700 mdpl, Kecamatan Banjit yang memiliki puncak pada Gunung Remas
setinggi 1600 mdpl, dan Gunung Bukit Duduk setinggi 1500 mdpl (Surastyawan,
2017).
Topografi wilayah Kabupaten Way Kanan ada dua bagian, yaitu daerah topografi
berbukit sampai bergunung dan daerah river basin. Daerah topografi berbukit
sampai bergunung merupakan daerah dengan lereng-lereng yang curam atau terjal
dengan ketinggian bervariasi antara 450-1700 mdpl yang meliputi bukit barisan,
umumnya ditutupi oleh vegetasi hutan primer, sekunder dan hutan yang terdiri
dari bukit barisan dan bukit persegi. Daerah river basin merupakan daerah yang
meliputi river basin sungai-sungai kecil yang berada didataran rendah (Badan
Pusat Statistik, 2018).
2.2 Hutan
Pasal 1 UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan bahwa hutan
merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan merupakan salah satu
kekayaan yang dimiliki oleh negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat
manusia, oleh karena itu wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara
optimal, serta dijaga kelestariannya untuk kemakmuran rakyat sekarang maupun
yang akan datang. Penguasaan hutan tersebut memberikan wewenang kepada
pemerintah yaitu:
11a. Mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan,
kawasan hutan, dan hasil hutan.
b. Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan
hutan sebagai bukan kawasan hutan.
c. Mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan
hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
2.2.1 Hutan lindung
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menjelaskan bahwa hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara
kesuburan tanah. Hutan lindung dapat diartikan sebagai kawasan-kawasan
resapan air yang memiliki curah hujan tinggi dengan struktur tanah yang mudah
meresapkan air dan kondisi geomorfologinya mampu meresap air hujan sebesar-
besarnya.
Hutan yang berfungsi sebagi hutan pelindung adalah kawasan hutan yang
keberadaannya diperuntukkan sebagai pelindung kawasan air, pencegah banjir,
pencegah erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah yang berbeda untuk pengertian
konservasi. Kawasan hutan dengan ciri khas tertentu mempunyai fungsi
perlindungan, sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
(Senoaji, 2010).
122.3 Hutan Kemasyarakatan
Program HKm yang merupakan hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan
yang memiliki tujuan memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi,
nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan
masyarakat setempat). Program HKm di Lampung menunjukkan bahwa
masyarakat memiliki kekhususan preferensi untuk fasilitasi dari faktor eksternal
dengan penekanan pada pembangunan komunitas kewirausahaan untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka bukan hanya memperkuat masyarakat
institusi (Wulandari dan Kurniasih, 2019). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan No.83 Tahun 2016 mengartikan hutan kemasyarakatan sebagai
hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk masyarakat setempat
dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui
pemanfaatan sumber daya hutan secara optimal, adil dan berkelanjutan dengan
tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 83 Tahun
2016 menjelaskan bahwa HKm merupakan salah satu model pengelolaan hutan
yang pemanfaatannya bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat.
Pemanfaatannya dalam bentuk kegiatan memanen hasil hutan bukan kayu melalui
pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan dan pemasaran
berdasarkan asas kelestarian hutan, sosial dan lingkungan dan/atau dalam bentuk
pemanfaatan jasa lingkungan melalui antara lain jasa ekowisata, jasa tata air, jasa
keanekaragaman hayati maupun jasa penyerap atau penyimpan karbon. Kawasan
hutan yang dapat ditetapkan sebagai areal kerja HKm adalah kawasan hutan
13lindung dan kawasan hutan produksi. Proses pemberdayaan masyarakat dalam
hutan kemasyarakatan dimaksudkan agar pengembangan kapasitas dan pemberian
akses terhadap masyarakat setempat yang mengelola hutan secara lestari dapat
dijamin ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat untuk memecahkan
persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi pada masyarakat, sehingga tujuan dari
hutan kemasyarakatan dapat terpenuhi.
2.4 Sejarah Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Way Kanan
Awal mulanya HKm di Kabupaten Way Kanan merupakan sebuah tindak lanjut
dari diberlakukannya Kepmenhut No.622/Kpts-II/1995. Tindak lanjutnya, Dirjen
Pemanfaatan Hutan didukung oleh para LSM, universitas, dan lembaga
internasional, merancang proyek-proyek uji-coba di berbagai tempat dalam
pengelolaan konsesi hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Hingga tahun
1997, bentuk pengakuan HKm masih sangat kecil. Kemudian Menteri Kehutanan
mengeluarkan Keputusan No. 677/Kpts-II/1998, mengubah Keputusan
No.622/Kpts-II/1995. Masyarakat diberikan hak pemanfaatan hutan non kayu
atau disebut Hak Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm).
Menteri Kehutanan membuat suatu rancangan pelayanan kredit bagi masyarakat
yang ada di sekitar hutan untuk dapat membuat unit-unit usaha berbasis hasil
hutan. Promosi bentuk HKm ini merupakan suatu pendekatan yang dapat
meminimalisir degradasi hutan dan meningkatkan taraf ekonomi masyarakat,
kemudian Kepmenhut tersebut di ubah dengan Kepmenhut No. 31/Kpts-II/2001.
14Selanjutnya, HKm diatur secara bersama kegiatan hutan adat dan kemitraan dalam
KemenLHK No. P.83/2016 dalam program perhutanan sosial. Adanya keputusan
ini, masyarakat diberi keleluasaan lebih besar sebagai pelaku utama dalam
pengelolaan hutan.
Sasaran dari adanya kebijakan ini adalah masyarakat yang memiliki lahan di
wilayah hutan register yang bercocok tanam dengan pola berpindah-pindah.
Harapan dari kebijakan tersebut adalah untuk meminimalisir penggunaan lahan
secara tidak terkontrol dan mengurangi laju kerusakan hutan secara masif.
Sampai tahun 2019 ini, terdapat 10 kelompok HKm di KPH III Bukit Punggur,
yaitu HKm Jaya Lestari, HKm Sumber Rejeki, HKm Jaya Makmur, HKm Karya
Makmur, HKm Mekar Jaya, HKm Putri Malu, HKm Harapan Jaya, HKm
Harapan Makmur, HKm Panca Tunggal, dan HKm Mangga Mulyo.
Pengelolaan kawasan hutan lindung Register 24 Bukit Punggur yang berada di
Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan secara resmi telah diserahkan
pengelolaanya kepada kelompok tani melalui skema HKm. Melalui Bupati Way
Kanan Bustami Zainudin, memberi izin pengelolaan hutan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan no.447 tentang Penetapan Areal Kerja HKm seluas
1.295 ha yang diserahkan kepada HKm Jaya Lestari di Kampung Menanga
Jaya, Kecamatan Banjit.
2.5 Vegetasi
Vegetasi adalah kumpulan dari bebagai jenis tumbuhan yang tumbuh secara
bersamaan pada satu tempat, di antara susunan individu-individu yang terkumpul
15membentuk interaksi yang erat, baik itu diantara tumbuh-tumbuhan maupun
hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut (Lestari, 2018).
Menurut Tiurmasari (2016) menyatakan bahwa vegetasi merupakan kumpulan
tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari beberapa jenis, seperti herba, pohon dan perdu
yang hidup bersama-sama pada suatu tempat dan saling berinteraksi antara satu
dengan yang lainnya, serta lingkungannya dan memberikan ciri kenampakan luar
(fisiognami) vegetasi.
Hutan lahan kering primer merupakan hutan yang tumbuh berkembang pada
habitat lahan kering yang dapat berupa daerah dataran rendah, perbukitan dan
pegunungan, atau hutan tropis daratan tinggi yang masih kompak dan belum
mengalami intervensi manusia atau yang belum menampakkan adanya bekas
penebangan (Standar Nasional Indonesia, 2010). Lahan kering sekunder adalah
hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan kering yang dapat berupa
dataran rendah, perbukitan dan pegunungan, atau hutan tropis dataran tinggi yang
telah mengalami intervensi manusia atau menampakkan bekas penebangan
(kenampakan alur dan bercak bekas tebang). Hutan lahan basah primer adalah
hutan yang tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk
rawa payau dan rawa gambut.
Wilayah lahan basah berkarakteristik unik yaitu dataran rendah yang membentang
sepanjang pesisir, wilayah berelevasi rendah, tempat yang dipengaruhi oleh
pasang-surut untuk wilayah dekat pantai, wilayah yang dipengaruhi oleh musim
yang terletak jauh dari pantai, dan sebagian besar wilayah tertutup gambut, belum
mengalami intervensi manusia. Hutan lahan basah sekunder adalah hutan yang
16tumbuh berkembang pada habitat lahan basah berupa rawa, termasuk rawa payau
dan rawa gambut. Wilayah lahan basah berkarakteristik unik yaitu dataran rendah
yang membentang sepanjang pesisir, wilayah berelevasi rendah, tempat yang
dipengaruhi oleh pasang-surut untuk wilayah dekat pantai, wilayah yang
dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai, dan sebagian besar
wilayah tertutup gambut, telah mengalami intervensi manusia (Standar Nasional
Indonesia, 2010).
2.6 Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks Nilai Penting (INP) adalah suatu indikator untuk mengetahui spesies-
spesies yang mendominasi pada suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto, 2016).
Menurut Lestari (2017) yang dimaksud analisis vegetasi adalah suatu cara
mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi tumbuh-tumbuhan. Penelitian
yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat penganalisisan terletak pada
komposisi jenis atau jenis. Struktur masyarakat hutan dapat dipelajari dengan
mengetahui sejumlah karakteristik tertentu diantaranya, kepadatan, frekuensi,
dominansi dan nilai penting. Tujuan pendugaan kuantitatif komunitas vegetasi
dikelompokkan ke dalam 3 kategori yaitu.
a. Pendugaan komposisi vegetasi dalam suatu areal dengan batas-batas jenis dan
membandingkan dengan areal lain atau areal yang sama namun waktu
pengamatan berbeda.
b. Menduga tentang keragaman jenis dalam suatu areal.
c. Melakukan korelasi antara perbedaan vegetasi dengan faktor lingkungan
tertentu atau beberapa faktor lingkungan.
17Lestari (2017) menjelaskan secara umum bahwa inventarisasi hutan didefinisikan
sebagai pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumberdaya hutan
untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya tersebut bagi kesejahteraan
masyarakat secara lestari dan serbaguna. Metode inventarisasi hutan telah banyak
dikembangkan baik teknik pengambilan data, penggunaan bentuk unit contoh
maupun pengelolaan datanya. Berbagai metode tersebut digunakan untuk
menduga potensi yang ada pada tegakan, karena tidak mungkin dilakukan sensus
terhadap tegakan hutan yang sangat luas.
Menurut Lestari (2017), metode sampling yang belakangan ini sering digunakan
dalam kegiatan inventarisasi hutan adalah metode sampling jalur sistematik yang
merupakan metode pengambilan sampel dengan unit sampel berupa petak ukur
jalur yang terdistribusi secara sistematik. Sistematik diartikan jalur tersebar
merata dengan lebar jalur dan jarak antar jalur yang selalu tetap dari satu jalur ke
jalur lainnya, sedangkan petak ukur yang dimaksudkan adalah satuan sampling
yang berupa bagian dari luasan sebuah tegakan dimana akan dilakukan
pengukuran dan pengamatan karakter tegakan dan kondisi lahannya.
Beberapa parameter kuantitatif vegetasi yang sangat penting yang umum diukur
dari suatu tipe komunitas menurut Lestari (2017) adalah :
a. Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan
tertentu.
b. Frekuensi adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari
sejumlah petak contoh yang dibuat.
18c. Dominansi adalah bagian dari parameter yang digunakan untuk menunjukan
spesies tumbuhan yang dominan dalam suatu komunitas.
d. Indeks nilai penting (INP) adalah parameter kuantitatif yang dapat dipakai
untuk menyatakan tingkat dominandsi spesies-spesies dalam suatu komunitas
tumbuhan.
e. Penyebaran adalah parameter kualitatif yang menggambarkan keberadaan
spesies organism pada ruang secara horizontal.
Beragamnya nilai INP menunjukkan adanya pengaruh lingkungan tempat tumbuh
seperti kelembaban, suhu dan tidak mampu atau kalah berkompetisi, seperti
perebutan akan zat hara, sinar matahari dan ruang tumbuh dengan jenis-jenis
lainnya yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dari diameter batang pohon.
Selain INP ditentukan dengan diameter batang juga dipengaruhi oleh umur suatu
pohon. Menurut Odum (1971), jenis yang dominan mempunyai produktivitas
yang besar, dan dalam menentukan suatu jenis vegetasi dominan yang perlu
diketahui adalah diameter batangnya. Keberadaan jenis dominan pada lokasi
penelitian menjadi suatu indikator bahwa komunitas tersebut berada pada habitat
yang sesuai dan mendukung pertumbuhannya.
Wahyuni (2014) menjelaskan bahwa terdapat hubungan signifikan antara INP
dengan biomassa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan INP sebanding
dengan biomassa. Terdapat satu peubah yaitu diameter pohon yang sama-sama
digunakan untuk menghitung biomassa dan dominansi dalam INP sehingga besar
biomassa secara tidak langsung berkolerasi dengan dominansi jenis pohon
tersebut. Hasil analisis korelasi antara INP dengan biomassa pohon menunjukkan
19INP berpengaruh nyata terhadap nilai biomassa (taraf nyata 0,01) dengan nilai
korelasi sebesar 0,752. Hal tersebut menunjukkan bahwa teradapat hubungan
kuat antara INP dengan biomassa yang bernilai positif, yang berarti peningkatan
INP sebanding dengan biomassa.
2.7 Agroforestri
2.7.1 Definisi agroforestri
Menurut Sudoyono dkk. (2014) agroforestri adalah sistem penggunaan lahan
terpadu yang mengombinasikan tanaman kehutanan terutama pohon dengan
tanaman pertanian dan/atau hewan ternak yang dilakukan dalam waktu bersamaan
atau bergilir dengan tujuan agar mendapatkan hasil dari penggunaan lahan yang
optimal dan berkelanjutan. Wulandari dkk. (2019) dan Zhafira (2019)
menyatakan bahwa agroforestri merupakan sebuah bentuk nama kolektif atau
nama gabungan dari hasil sistem nilai masyarakat yang berkaitan dengan model-
model penggunaan hutan secara lestari serta memberikan banyak manfaat pada
waktu yang berbeda dalam kurun waktu setahun. Agroforestri dikenal dalam
bahasa Indonesia sebagai wanatani dengan pengartian pengaplikasian teknik
budidaya tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian pada suatu lahan.
2.7.2 Sistem agroforestri
Agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu kehutanan, pertanian dan
peternakan (hewan) (Aprianto, 2015). Setiap komponen agroforestri tersebut
dapat berdiri sendiri pada suatu bentang lahan. Sistem agroforestri adalah untuk
menghasilkan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan bagi semua pengguna
20lahan dengan adanya pengelolaan pada lahan agroforestri yang dinamis secara
ekologi. Sependapat dengan pendapat Senoaji (2012) bahwa pengelolaan lahan
dengan sistem agroforestri bertujuan untuk mempertahankan lahan dan
keanekaragaman produksi lahan sehingga berpotensi memberikan manfaat sosial
ekonomi dan lingkungan bagi para pengguna lahan.
Agroforestri dikelompokkan menjadi dua sistem, dua sistem tersebut adalah
sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks (Aprianto, 2015).
Perbedaan dari kedua sistem tersebut yaitu :
a. Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah kombinasi penanaman antara satu jenis
tanaman tahunan dengan satu atau beberapa jenis tanaman semusim. Jenis
pohon yang ditanam adalah tanaman yang bernilai ekonomi tinggi seperti karet
(Havea braziliansis), kelapa (Cocus nucifera), cengkeh (Syzygium
aromaticum) dan jati (Tectona grandis). Namun ada juga tanaman yang
ditanam merupakan tanaman yang bernilai ekonomi rendah seperti dadap
(Eruthina sp.), lamtoro (Leucaena leucocephala) dan kaliandra (Calliandra
haematocephalla). Tanaman semusim yang ditanam biasanya adalah padi
(Oriza sativa), jagung (Zea mays), sayur mayur, atau jenis tanaman lain seperti
pisang (Musa paradisiaca), kopi (Coffea arabica) dan kakao (Theoborma
cacao).
b. Sistem Agroforestri Kompleks
Sistem agroforestri kompleks dapat dipahami sebagai suatu sistem pertanian
menetap yang berisi banyak jenis tanaman berbasis pohon yang ditanam dan
21dirawat oleh penduduk setempat dengan pola tanam dan ekosistem seperti
hutan. Cangkupan pada sistem ini sebagian besar memiliki komponen
pepohonan, perdu, tanaman semusim dan/atau rumput. Fisik yang tampak dan
dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam, baik hutan primer
maupun hutan sekunder. Sistem agroforestri kompleks ini dibedakan atas
pekarangan dan agroforestri kompleks. Contoh agroforestri pekarangan
adalah kebun talun dan karang tiri. Contoh dari agroforestri kompleks adalah
kebun karet dan kebun damar.
2.7.3 Ciri-ciri agroforestri
Beberapa ciri penting agroforestri yang dikemukakan oleh Aprianto (2015) yaitu
diantaranya :
a. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman dan/atau hewan atau
lebih, yang mana minimal satu diantaranya merupakan tumbuhan berkayu
(pohon).
b. Sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun pengelolannya.
c. Adanya interaksi (baik aspek ekologi maupun ekonomi) antara tanaman
berkayu dengan tanaman tidak berkayu.
d. Agroforestri selalu memiliki dua macam produk atau lebih (multi product),
misalnya pada suatu lahan yang menerapkan sistem agroforestri yang dikelola
menghasilkan pakan ternak, kayu bakar, buah-buahan, serta obat-obatan.
e. Agroforestri minimal memiliki satu fungsi pelayanan jasa (service function),
misalnya sebagai pelindung angin, penaung, penyubur tanah, atau peneduh,
dengan demikian kawasan tersebut dapat dijadikan sebagai pusat
berkumpulnya masyarakat.
222.7.4 Agroforestri sebagai tempat penyimpanan karbon
Tanaman agroforestri dapat mengikat karbon dalam jumlah yang besar.
Agroforestri dapat digunakan untuk menghubungkan hutan yang mengalami
fragmentasi dan habitat kritis lainnya sebagai salah satu strategi manajemen
lansekap secara luas yang memungkinkan terjadinya migrasi spesies sebagai
akibat pertambahan populasi genetik dan sebagai respon atas perubahan iklim
(Tampubolon, 2011).
Sehubungan dengan perubahan iklim, sistem agroforestri diperkirakan memiliki
potensi yang tinggi dalam penyerapan karbon di atmosfer. Menurut Aprianto
(2015), agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang berfungsi
produktif dan protektif. Sistem agroforestri berkontribusi mengurangi
peningkatan karbondioksida (CO2) atmosfer dan gas rumah kaca lainnya dengan
cara meningkatkan karbon dalam tanah dan mengurangi tekanan untuk
pembukaan lahan hutan, karbon yang berasal dari CO2 tersebut diambil oleh
tanaman dan disimpan dalam bentuk biomassa (Malau dkk., 2012).
Peran agroforestri dalam mempertahankan cadangan karbon di daratan masih
lebih rendah dibandingkan dengan hutan alam, tetapi sistem ini dapat merupakan
suatu tawaran yang dapat memberikan harapan besar dalam meningkatkan
cadangan karbon pada lahan-lahan terdegradasi (Aprianto, 2015). Hal yang
menyebabkan hutan alam memiliki cadangan karbon lebih besar dibandingkan
lahan agroforestri karena tanaman pada hutan alam merupakan pepohonan yang
memiliki biomassa yang tinggi, dibandingkan dengan tanaman semusim pada
23lahan agroforestri. Banyaknya biomassa tergantung berdasarkan hasil yang
diperoleh saat melakukan fotosintesis (Lukito, 2013).
Menurut Tampubolon (2011), ada dua manfaat utama dari sistem agroforestri
yang telah diketahui. Kedua manfaat tersebut yaitu:
a. Mengatur penyimpanan karbon secara langsung di dalam pohon dan di
dalam tanah.
b. Sangat potensial untuk mengimbangi emisi gas rumah kaca akibat
deforestasi dan perladangan.
Perlu diketahui bahwa sistem agroforestri sederhana (tumpangsari pohon dan
tanaman pangan) dapat menimbun karbon dalam biomassa rata-rata sekitar
2,5 ton/ha/tahun (Aprianto, 2015). Kawasan sistem agroforestri yang
diterapkan di Register 24 ditanami tanaman jenis pertanian dan kehutanan yang
dihitung karbon tersimpannya. Besar karbon tersimpan pada kawasan hutan
perlu diketahui agar peran hutan yang dikelola dengan sistem agroforestri dalam
meradiasikan kembali sinar matahari yang diserap oleh vegetasi sebagai
gelombang panjang yang tidak mampu menembus lapisan gas rumah kaca di
atmosfer dapat diketahui. Dengan begitu maka instansi maupun masyarakat
pengelola dapat mengetahui jenis tanaman pertanian atau kehutanan yang paling
berperan dalam penyimpan karbon di HKm Jaya Lestari.
242.8 Biomassa
2.8.1 Definisi biomassa
Biomassa merupakan total berat atau volume organisasi dalam suatu area atau
volume tertentu (Bhaskara, 2018). Tampubolon (2011) mendefinisikan biomassa
hutan sebagai jumlah total bahan organik hidup di atas tanah pada pohon dan
seluruh bagian tubuh populasi atau komunitas yang dinyatakan dalam berat
kering tanur per satuan luas (ton/ha). Badan Standarisasi Nasional (2011)
membagi dua jenis biomassa, jenis biomassa pertama adalah biomassa atas
permukaan tanah yang meliputi seluruh bagian pohon dan tumbuhan bawah dan
jenis biomassa kedua adalah biomassa bawah permukaan tanah yang meliputi
akar tanaman dan karbon organik tanah.
Menurut Sutaryo (2009), biomassa didefinisikan sebagai keseluruhan materi yang
berasal dari makhluk hidup, termasuk bahan organik baik yang hidup maupun
yang mati, baik yang ada di atas permukaan tanah maupun yang berada di bawah
permukaan tanah, seperti pohon, hasil panen, rumput, serasah, akar, hewan, serta
sisa kotoran hewan. Berbeda dengan yang dikatakan oleh Sobirin (2010), yang
mengatakan bahwa biomassa merupakan hasil dari proses fotosintesis meliputi
semua bahan tanaman atau bahan organik yang merupakan produk fotosintesis
meliputi semua bahan tanaman yang berasal dari hasil fotosintesis, serapan unsur
hara, dan air yang diolah melalui proses biosintesis oleh suatu pohon.
Selain biomassa, produk lain dari hasil proses fotosintesis adalah oksigen.
Vegetasi pada suatu lahan memiliki peran yang sangat berguna dalam produksi
25oksigen untuk proses respirasi makhluk hidup lainnya dan juga untuk mengurangi
keberadaan gas CO2 yang semakin banyak di udara akibat kendaraan bermotor
ataupun industri tertentu (Aprianto, 2015).
2.8.2 Perhitungan biomassa hutan
Menurut Sutaryo (2009), terdapat empat cara utama untuk menghitung biomassa.
Keempat cara tersebut yaitu:
a. Sampling dengan pemanenan (destructive sampling) secara in situ
Metode ini dilaksanakan dengan memanen seluruh bagian tumbuhan termasuk
akarnya, mengeringkannya, dan menimbang berat biomassanya. Pengukuran
dengan metode ini, untuk menghitung biomassa hutan dapat dilakukan dengan
mengulang beberapa area sampel atau untuk melakukan ekstrapolasi untuk
area yang lebih luas dengan menggunakan persamaan allometrik. Meskipun
metode ini terhitung akurat untuk menghitung biomassa dalam suatu areal
yang tidak terlalu luas, namun metode ini terhitung mahal dan sangat memakan
waktu yang lama.
b. Sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) dengan data pendataan
hutan secara in situ
Metode ini merupakan cara sampling dengan melakukan pengukuran tanpa
melakukan pemanenan. Metode ini dilakukan dengan mengukur tinggi atau
diameter pohon dan menggunakan persamaan allometrik untuk mengetahui
berapa besar kandungan biomassanya.
26c. Pendugaan melalui penginderaan jauh
Penggunaan teknologi penginderaan jauh umumnya tidak dianjurkan terutama
untuk proyek-proyek yang berskala kecil. Kendala utamanya adalah karena
penggunaan melalui penginderaan jauh umumnya relatif mahal dan secara
teknis membutuhkan keahlian tertentu atau ahlinya. Metode ini juga kurang
efektif jika digunakan pada daerah aliran sungai, pedesaan atau lahan
agroforestry yang merupakan mosaik dari berbagai penggunaan lahan dengan
petak yang berukuran relatif kecil. Biasanya hasil penginderaan jauh yang
didapat dengan resolusi sedang mungkin sangat bermanfaat untuk membagi
area proyek menjadi kelas-kelas vegetasi yang relatif homogen. Hasil
pembagian kelas ini menjadi panduan untuk proses survey dan pengambilan
data lapangan. Untuk mendapatkan estimasi biomassa dengan tingkat
keakuratan yang baik memerlukan hasil penginderaan jauh dengan resolusi
yang tinggi, tetapi hal ini akan membutuhkan biaya yang relatif mahal dalam
penggunaannya.
d. Pembuatan model
Model digunakan untuk menghitung estimassi biomassa dengan frekuensi dan
intensitas pengamat in situ atau penginderaan jauh yang terbatas. Umumnya,
model empiris ini didasarkan pada jaringan dari sampel plot yang diukur
berulang, yang mempunyai estimassi biomassa yang sudah menyatu atau
melalui persamaan allometrik yang mengonversi volume menjadi biomassa.
Menurut Aprianto (2015), berat jenis biomassa hutan akan memberikan dugaan
sumber karbon di vegetasi hutan. Hal tersebut dikarenakan 40%-50% dari
27biomassa adalah karbon. Selain itu juga vegetasi akan memberikan serasah
batang, serasah cabang, akar kasar, dan akar halus yang melalui proses
penguraiannya akan mengeluarkan karbon yang secara langsung ke udara melalui
proses penggunaan bahan bakar kayu (Ristiara, 2016).
Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan
mengubah zat tersebut menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis. Laju
pengikatan biomassa disebut produktivitas primer bruto yang bergantung pada
luas daun yang terkena sinar matahari, intensitas penyinaran, suhu, dan ciri-ciri
jenis tumbuhan. Sisa dari hasil respirasi disebut produktivitas primer bersih,
yaitu nilai total energi yang disimpan per unit luas per satuan waktu tertentu
(Aprianto, 2015).
Menurut Aprianto (2015), tumbuhan memerlukan sinar matahari dan
karbondioksida yang diserap oleh udara. Tumbuhan juga memerlukan air dan
unsur hara lainnya yang diserap dari dalam tanah untuk keberlanjutan hidup
tumbuhan tersebut. Saat tumbuhan melakukan proses fotosintesis,
karbondioksida di udara diikat oleh tumbuhan dan diubahnya menjadi
karbohidrat yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian tubuh tumbuhan.
Penelitian mengenai perhitungan biomassa hutan menggunakan metode sampling
dengan pemanenan (destructive) dan metode sampling dengan cara pengumpulan
(non-destsructive). Penggunaan metode tersebut dikarenakan biomassa yang
dihitung meliputi biomassa pohon dan nekromassa yang didapat dengan
menggunakan metode tanpa pemanenan. Biomassa serasah didapat dengan
menggunakan metode pengumpulan serasah yang dimasukkan ke dalam kantong
28yang telah disiapkan untuk diketahui berat basah total biomassa serasah pada
masing-masing petak contoh dalam penelitian (Sutaryo, 2009). Sutaryo (2009)
menjelaskan bahwa terdapat dua metode dalam mengestimasikan biomassa di
atas permukaan tanah atau dari suatu pohon/hutan. Metode tersebut adalah.
a. Biomassa Expansion Factor (BEF)
Metode ini merupakan cara mengestimasi volume atau biomassa dari suatu
bagian dari organ pohon dengan cara menggandakan nominal dari volume yang
diukur tersebut ke jumlah nomilnal lainnya yang mencangkup keseluruhan
pohon.
b. Persamaan allometrik
Metode ini digunakan untuk menegetahui hubungan antara ukuran suatu pohon
(diameter dan tinggi) dengan berat kering pohon secara keseluruhan. Allometrik
sendiri diartikan sebagai suatu ajaran dari suatu hubungan antara pertumbuhan
dan ukuran salah satu bagian organisme dengan pertumbuhan dan ukuran dari
keseluruhan organisme.
2.9 Karbon
2.9.1 Definisi karbon
Tim Arupa (2014) menjelaskan bahwa karbon (C) adaah unsur kimia dengan
nomor atom 6 yang termasuk unsur logam, apabila terlepas di udara dan terikat
dengan oksigen maka karbon akan menjadi CO2. Karbon merupakan bahan
penyusun dasar semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem
bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain seperti karbohidrat
29yang dihasilkan selama proses fotosintesis dan karbondioksida yang dibebaskan
bersamaan dengan energi selama melakukan respirasi.
Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler
menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan
terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO2 dari atmosfer
melalui stomata daunnya dan menggabungkannya ke dalam bahan organik
biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik
tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen (Sutaryo, 2009).
Karbon tersimpan menurut Manuri dkk. (2011) dapat berbentuk makhluk hidup,
tumbuhan dan hewan, ataupun dalam bentuk organisme mati lainnya seperti fosil
tumbuhan dan hewan, yang sebagian besar berasal dari mahkluk hutan. Menurut
Ambarwati (2019) hutan alam mampu menyimpan karbon tertinggi dibandingkan
dengan sistem penggunaan lahan pertanian. Hutan alam yang menyimpan
keanekaragaman jenis dengan umur yang panjang dan seresah yang banyak
merupakan gudang penyimpanan karbon tertinggi dan bila hutan diubah
fungsinya sebagai lahan pertanian dan penggembalaan maka jumlah karbon
tersimpan akan merosot.
Karbon merupakan bahan dasar penyusun senyawa organik. Kemampuan saling
mengikat pada atom-atom karbon (C) merupakan dasar bagi keragaman molekul
dan ukuran molekul yang sangat diperlukan dalam kehidupan. Selain terdapat
dalam bahan organik, karbon juga ditemukan dalam senyawa anorganik, yaitu
gas karbondioksida (CO2) dan batuan karbonat (batu kapur dan koral) dalam
bentuk kalsium karbonat (CaCO3). Organisme autotrof (tumbuhan) menangkap
30karbondioksida dan mengubahnya menjadi karbohidrat, protein, lipid, dan
senyawa organik lainnya. Bahan organik yang dihasilkan tumbuhan ini
merupakan sumber karbon bagi hewan dan konsumen lainnya (Aprianto, 2015).
Sumber karbon (Carbon Pool) dikelompokkan menjadi tiga kategori utama, yaitu
biomasa hidup, bahan organik mati, dan karbon tanah (Ginoga, 2010). Biomasa
hidup dipilih menjadi dua bagian yaitu Biomasa Atas Permukaan (BAP) dan
Biomasa Bawah Permukaan (BBP). Bahan organik mati dikelompokkan menjadi
dua, yaitu kayu mati dan serasah.
Menurut Sutaryo (2009), dalam inventarisasi karbon hutan setidaknya ada empat
penghasil karbon. Keempat penghasil karbon yang dimaksud diantaranya
sebagai berikut:
a. Biomassa Atas Permukaan
Biomassa atas permukaan adalah suatu material hidup atas permukaan termasuk
bagian dari kantong karbon ini adalah batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji
dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon maupun dari strata tumbuhan di
bawah lantai.
b. Biomassa Bawah Permukaan
Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan yang
hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter tertentu yang
ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan dengan diameter yang lebih
kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk dibedakan dengan bahan organik tanah
dan serasah.
31c. Bahan Organik Mati
Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan sebagai
semua bahan organik mati dengan diameter yang lebih kecil dari diameter yang
telah ditetapkan dengan berbagai tingkat dekomposisi yang terletak di permukaan
tanah. Kayu mati adalah semua bahan organik mati yang tidak tercakup dalam
serasah, baik yang masih tegak berdiri maupun yang telah roboh/tumbang di
tanah, akar mati, dan tanggul dengan diameter lebih besar dari diameter yang
telah ditetapkan.
d. Karbon Organik Tanah
Bagian yang mencakup karbon organik tanah yaitu karbon pada tanah mineral
dan tanah organik yang termasuk gambut di dalamnya. Menurut Ambarwati
(2019), pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam bentuk tiga komponen
pokok, yaitu:
1). Biomassa
Biomassa adalah massa dari bagian vegetasi yang masih hidup seperti tajuk
pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim pada suatu bentang
lahan. Biomassa yang dihitung biasanya terdiri dari biomassa atas permukaan
(pohon, nekromassa, dan serasah) serta biomassa bawah permukaan (tanah
dan akar).
2). Nekromassa (pohon mati)
Nekromassa adalah massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih
tegak di lahan atau telah tumbang/tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau
ranting, dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk. Nekromassa masih
menyimpan karbon dalam bentuk biomassa.
323). Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia)
yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah
menjadi bagian dari tanah. Bahan organik tanah biasanya memiliki ukuran
partikel sebesar <2 mm.
Menurut Aprianto (2015) ada tiga sumber utama pemasok karbon ke dalam
tanah, yaitu:
a. Tajuk tanaman pohon dan tanaman semusim yang masuk sebagai serasah dan
sisa panen.
b. Akar tanaman melalui akar-akar yang mati, ujung-ujung akar, eksudasi akar,
dan respirasi akar.
c. Biota.
2.9.2 Siklus karbon
Siklus karbon adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan
bagaimana karbon di lingkungan mengalir di antara makhluk hidup, materi
anorganik, dan atmosfer. Munculnya kehidupan di bumi telah menyebabkan
karbon dioksida (CO2) terkonversi ke atmosfer dan lautan, senyawa anorganik dan
organik yang tak terhitung banyaknya di darat dan di laut. Perkembangan
kehidupan di bumi dalam berbagai ekosistem setelah jutaan tahun telah
membentuk pola siklus karbon (C) melalui lingkungan. Pertukaran C alami antara
atmosfer, lautan, dan daratan ekosistem sekarang sedang dimodifikasi oleh
aktivitas manusia dan perubahan penggunaan lahan. Aktivitas manusia telah
menyebabkan CO2 bertambah dengan stabil ke atmosfer dan peningkatan
konsentrasi atmosfer dari sebelumnya revolusi industri pada tahun 1998 sebesar
33285 ppmv (bagian per juta berdasarkan volume) menjadi 336 ppmv. Hal tersebut
menunjukkan peningkatan nilai lebih dari 28% selama 150 tahun terakhir
(Hairiah dkk., 2001).
Siklus karbon adalah permukaan karbon antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan
atmosfer bumi (Sobirin, 2010). Siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama
yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir yang dimaksud adalah
atmosfer, biosfer teresterial (biasanya seperti material non hayati organik seperti
karbon tanah), lautan (termasuk di dalamnya karbon anorganik terlarut dari biota
laut hayati dan biota non hayati), dan sedimen (termasuk di dalamnya bahan
bakar fosil). Secara alami karbon banyak tersimpan di bumi (darat dan laut) dari
pada di atmosfer.
2.9.3 Peran hutan dalam menyerap karbon
Hutan merupakan penyerap karbon terbesar dan memainkan peranan penting
dalam siklus karbon global. Hutan yang mempunyai komposisi vegetasi yang
beragam dapat bertindak sebagai pembersih udara dengan memanfaatkan
karbondioksida di udara dan digunakan dalam proses fotosintesis (Lukito, 2013).
Menurut Masripatin (2010) hutan primer adalah penyimpan karbon lebih besar
dibandingkan hutan sekunder karena pada hutan sekunder telah terjadi gangguan
terhadap tegakannya. Berbagai gangguan seperti kebakaran, ekstraksi kayu,
pemanfaatan lahan untuk pertanian, dan aktivitas lainnya adalah penyebab
berkurangnya hutan dalam menyimpan karbon. Hutan di lahan yang kering
mampu menyimpan karbon dalam jumlah yang besar jika dibandingkan hutan
rawa atau mangrove. Hal tersebut dikarenakan kemampuan hutan lahan kering
34dalam membangun tegakan yang tinggi dan berdiameter besar sebagai penyimpan
karbon.
Menurut Sutaryo (2009) dalam inventarisasi hutan terdapat beberapa kantung
karbon yaitu sebagai berikut.
a. Biomasa pada atas permukaan yaitu material yang hidup di atas permukaan
seperti batang, tunggul, cabang, kulit kayu, biji daun dari vegetasi baik dari
strata pohon dan strata tumbuhan yang ada di bawah lantai.
b. Biomasa yang ada di bawah permukaan yaitu semua biomasa dari akar
tumbuhan yang hidup.
c. Bahan organik mati meliputi kayu mati dan serasah.
d. Karbon organik tanah yang mencangkup karbon yang ada pada tanah mineral
dan tanah organik seperti gambut.
2.10 Pasar Karbon
2.10.1 Definisi pasar karbon
Pasar karbon merupakan suatu instrumen ekonomi yang fungsinya adalah sebagai
sarana pelaksanaan kebijakan (policy tool) untuk memberikan insentif bagi
kegiatan mitigasi perubahan iklim. Istilah pasar karbon masih asing bagi
sebagaian masyarakat Indonesia. Kesan yang pertama muncul adalah tentang
perdagangan arang (charcoal), padahal karbon yang dimaksud adalah karbon
dioksida (CO2) yang merupakan salah satu jenis gas rumah kaca yang dapat
menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim (UNDP, 2018).
35Dunia merespon ancaman perubahan iklim dengan suatu konvensi Perserikatan
Bangsa-bangsa (PBB) yang bernama United Nations Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC). Konvensi ini diadopsi oleh 195 negara termasuk
Indonesia yang meratifikasikannya melalui UU No. 6/1994. Protokol Kyto
(1997) merupakan salah satu pencapaian penting dalam pelaksanaan konvensi ini.
Protokol tersebut mewajibkan bagi negara-negara maju untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca sebanyak rata-rata 5% di bawah tahun 1990 protokol ini mulai
berlaku efektif pada tahun 2005 sedangkan indonesia meratifikasi melalui
Undang-Undang No. 17/2004.
Dalam kegiatan UNFCCC, dikenal prinsip Common but Differentiated
Responsibility atau tanggung jawab yang berlaku secara umum dengan kadar
yang berbeda. Prisip ini mengacu pada kenyataan bahwa negara-negara
menjaulah yang terlebih dahulu melepaskan rumah kaca secara masif ke atmosfer
ketika melakukan pembangunan di negaranya masing-masing. Maka setelah
manfaat pembangunan itu diperoleh, mereka mempunyai kadar tanggung jawab
yang lebih utuk menurunkan emisi gas rumah kaca serta membantu negara
berkembang melakukan mitigasi dan adaptasi (UNDP, 2018).
Prinsip ini mendasari pengembangan pasar karbon, dimana pihak-pihak yang
memiliki tanggung jawab untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tidak dapat
melakukannya sendiri, sehingga menyuruh pihak lain untuk mengurangi gas
rumah kaca atas nama pihak-pihak tersebut. Pihak-pihak tersebut terdiri dari
pihak yang membutuhkan dan pihak yang menyuplai penurunan emisi sehingga
terbentuknya sebuah pasar perdagangan karbon.
362.10.2 Perdagangan dalam pasar karbon
Masyarakat masih memiliki sedikit kesalahpahaman dalam mengartikan pasar
karbon. Masyarakat masih menganggap bahwa komoditas pasar karbon adalah
arang (charcoal), padahal pasar karbon yang dimaksud terdiri dari enam jenis,
menurut Protokol Kyoto, yaitu CO2, metana (CH4), nitrat oksida (N2O),
hidroflourokarbon (HFCs) dan sulfur heksaflourida (SF6) (UNDP, 2018).
Perdagangan dalam pasar karbon sesungguhnya adalah hak atas emisi gas rumah
kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 equivalent) (UNDP, 2018). Hak
yang dimaksud adalah dapat berupa hak untuk melepaskan gas rumah kaca
ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca.
Definisi pasar menurut Kotler dan Amstrong (2018) dalam Prinsip-Prinsip
Pemasaran bahwa pasar adalah pihak-pihak yang mempunyai
kebutuhan/keinginan untuk dipenuhi, uang untuk dibelanjakan dan kemauan
untuk membelanjakannya. Mengacu pada definisi tersebut bahwa pasar karbon
dapat diartikan sebagai kumpulan kebutuhan/keinginan terhadap hak atas emisi
gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 eq.). Menurut Peraturan
Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim bahwa
perdagangan karbon didefinisikan sebagai kegiatan jual beli sertifikat
pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim.
2.10.3 Voluntary carbon market (VCM)
Permintaan (demand) pada pasar karbon terbentuk karena adanya keinginan
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Keinginan ini memicu terjadinya
perdagangan karbon antara pihak yang menginginkan dengan penyedia karbon
37yang kerap kali terjadi secara langsung (over the counter). Beberapa kasus yang
terjadi, keinginan/kebutuhan digabungkan menjadi komitmen kolektif, sehingga
menyebabkan ketertarikan dengan pihak lain untuk terlibat dalam perdagangan
karbon. Salah satu contoh kasus tersebut adalah perantara, investor serta layanan
bursa (UNDP, 2018). Diketahui VCM adalah salah satu jenis kegiatan yang
dilakukan dalam pasar karbon yang dalam pelaksanaannya tidak ada kewajiban
untuk membayar jasa karbon dari penyedia karbon. Program VCM
mengandalkan keinginan dan niat baik untuk mengurangi emisi karbon, volume
pasar sukarela relatif kecil dan sulit diperkiraan.
38
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober 2018. Pengambilan data
dilakukan di HKm Jaya Lestari Kecamatan Banjit, Kabupaten Way Kanan.
3.2 Objek dan Alat Penelitian
Objek dalam penelitian ini yaitu pohon, nekromassa, serasah dan tumbuhan
bawah yang ada pada plot pengamatan pada lahan HKm Jaya Lestari, Kecamatan
Banjit, Kabupaten Way Kanan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
pita meter untuk mengukur diameter, christen hypsometer untuk mengukur tinggi
pohon, lembar pengamatan (tally sheet), gunting untuk memotong tumbuhan
bawah, oven untuk mengeluarkan kadar air tumbuhan bawah dan serasah,
timbangan digital dengan satuan gram untuk menimbang tumbuhan bawah dan
serasah, kamera untuk dokumentasi, tali rapia untuk pengukuran plot, GPS untuk
mengunduh koordinat plot, dan laptop untuk pengolahan data serta pembuatan
laporan penelitian.
393.3 Metode Penelitian
3.3.1 Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari pengukuran dan pengamatan di HKm
Jaya Lestari, Kecamatan Banjit, Kabupaten Way Kanan. Data yang diambil pada
penelitian yaitu:
a. Data Vegetasi
Menurut Ambarwati (2018) data vegetasi berupa tumbuhan bawah, pancang,
tiang, dan pohon yaitu jumlah setiap jenis yang ditemukan di dalam petak ukur
dengan ukuran 20 m x 20 m. Data vegetasi digunakan untuk mengetahui jenis
tanaman yang paling dominan pada suatu kawasan HKm Jaya Lestari, dan
mengetahui kerapatan suatu jenis dan besar INP pada kawasan HKm Jaya Lestari,
Kecamatan Banjit, Kabupaten Way Kanan.
b. Data Biomassa
Pengukuran data biomassa dilakukan dengan metode observasi yaitu mengukur
diameter, tinggi dan pengumpulan tumbuhan bawah dan serasah (Lestari, 2017).
3.3.2 Data sekunder
Data sekunder pada penelitian ini adalah studi literatur yang diperoleh dari
penelitian-penelitian mengenai karbon tersimpan yang pernah dilakukan dan
instansi pemerintah daerah yang meliputi profil dan kondisi umum lokasi
penelitian seperti peta wilayah HKm Jaya Lestari.
403.4 Penentuan Petak Ukur
3.4.1 Petak ukur
Penentuan petak ukur dilakukan dengan menggunakan metode Stratified Sampling
yang merupakan metode pengambilan sampel yang dipilih dengan cermat
sehingga relevan dengan pengambilan data sampel yang telah dikelompokkan
berdasarkan kelas ketinggian tempat (Bhaskara, 2018). Ketinggian tempat pada
lahan HKm Jaya lestari berkisar antara 550-950 m dpl. Ketinggian kelas dibagi
menjadi empat kelas, berdasarkan penentuan kisaran ketinggian tempat sebagai
berikut:
Ketinggian tempat
Jumlah kelas=
950-550 mdpl
4 kelas= 100 mdpl
Maka kelas ketinggian tempat terdiri dari:
Kelas 1 = 550 mdpl + 100 mdpl = 650 mdpl
Kelas 2 = 650 mdpl + 100 mdpl = 750 mdpl
Kelas 3 = 750 mdpl + 100 mdpl = 850 mdpl
Kelas 4 = 850 mdpl + 100 mdpl = 950 mdpl
3.4.2 Intensitas sampling
Menurut Bhaskara (2018) penentuan jumlah petak ukur yang didapat berdasarkan
beberapa perhitungan berikut:
Luas HKm Jaya Lestari (N) : 1.295 Ha = 12.950.000 m2
Intensitas sampling yang digunakan (IS) : 0,05% = 0,0005
Luas tiap petak contoh (n) : 20 m x 20 m = 400 m2
Maka, didapat:
Luas seluruh petak contoh adalah:
41IS x N = 0,0005 x 12.950.000 m2 = 6.475 m2
Sehingga didapat jumlah petak ukur yang dibuat adalah:
Jumlah plot yang dibuat =Luas seluruh petak contoh
Luas tiap petak contoh
=6.475 m2
400 m2 = 16,2 ~ 16 plot
Berdasarkan perhitungan diatas, 16 plot dibagi secara proporsional untuk masing-
masing kelas ketinggian tempat, sehingga diketahui berapa jumlah plot contoh
pada setiap kelas ketinggian tempat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jumlah petak ukur di HKm Jaya Lestari
Kelas Ketinggian Ketinggian Jumlah Petak Ukur1 550 – 650 m dpl 42 651 – 750 m dpl 43 751 – 850 m dpl 44 851 – 950 m dpl 4Jumlah 16
3.4.3 Bentuk plot contoh
Bentuk plot contoh yang digunakan pada penelitian ini adalah bujur sangkar
dengan ukuran 20 m x 20 m yang digunakan untuk pengambilan data biomassa
(Bhaskara, 2018). Ukuran plot untuk mengukur tiap fase pertumbuhan tanaman
dapat dilihat pada Gambar 3.
42
Gambar 3. Petak untuk pengambilan data biomassa.
Keterangan gambar:
A: Merupakan petak berukuran 2 m x 2 m, digunakan untuk pengambilan sampel
serasah dan tumbuhan bawah dengan tinggi <1,5 m.
B: Merupakan petak contoh 5 m x 5 m, digunakan untuk tingkat pancang dengan
diameter <10 cm dan tinggi tanamannya >1,5 m.
C: Merupakan petak contoh ukuran 10 m x 10 m, digunakan untuk tingkat tiang
dengan diameter 10-20 cm.
D: Merupakan petak contoh ukuran 20 m x 20 m, digunakan untuk tingkat pohon
dengan diameter >20 cm.
3.4.4 Pengambilan data
a. Biomassa pohon
Pengambilan data biomassa dilakukan dengan menggunakan metode non-
destructive (tidak menebang pohon) pada setiap pohon yang berada di dalam plot
20 m x 20 m. Pohon yang diambil untuk dihitung biomassanya harus dilengkapi
data jenis pohon, diameter dan tinggi pohon tersebut. Pengukuran biomassa
DC
B
A
43dilakukan pada fase pohon yang berada di plot 20 m x 20 m, fase pancang di plot
5 m x 5 m, dan fase tiang yang berada di plot 10 m x 10 m.
b. Biomassa serasah
Pengukuran biomassa serasah dilakukan pada plot berukuran 2 m x 2 m, dengan
cara mengumpulkan serasah. Serasah yang ada dalam plot tersebut diambil lalu
ditimbang. Sebagian dari serasah yang ditimbang kemudian diambil sebagai
contoh serasah dengan berat 100-300 g dan jika berat yang didapatkan kurang dari
100 g maka semua contoh tanaman yang didapatkan harus dijadikan sebagai sub
contoh. Sampel serasah yang didapatkan kemudian dioven dengan suhu 80o C
sampai beratnya konstan dengan tujuan untuk mendapatkan berat kering serasah.
c. Biomassa tumbuhan bawah
Pengukuran biomassa tanaman bawah dilakukan dengan menggunakan metode
destruktif pada petak ukur 2 m x 2 m. Tumbuhan bawah yang berada dalam petak
ukur 2 m x 2 m diambil dengan memotong seluruh bagian tumbuhan yang berada
diatas tanah. Pengukuran data biomassa pada tanaman bawah dihitung dengan
menggunakan metode yang sama dengan metode penggukuran biomassa serasah.
3.5 Pengamatan dan Pengumpulan Data
3.5.1 Indeks nilai penting (INP)
Menurut Winardi (2014) menuturkan bahwa perlu dilakukan analisis vegetasi
untuk menentukan dominansi suatu jenis vegetasi terhadap jenis lainnya dalam
suatu tegakan dengan menggunakan Indeks nilai penting (INP). Perhitungan INP
tersebut memberikan data jenis pohon yang dominan di HKm Jaya Lestari.
44Besarnya Indeks Nilai Penting (INP) pada suatu vegetasi dapat dihitung
berdasarkan Indiyanto (2016) dengan persamaan berikut.
Kerapatan (K) =Jumlah individu untuk spesie ke-i
Luas seluruh petak contoh
Kerapatan Relatif (KR) =Kerapatan spesies ke-iKerapatan seluruh x 100%
Frekuensi (F) =Jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies ke-i
Jumlah seluruh petak contoh
Frekuensi Relatif (FR) =Frekuensi suatu spesies ke-i
Frekuensi seluruh spesiesx100%
Dominansi (D) =Jumlah luas bidang dasar
Luas seluruh petak contoh
Dominansi Relatif (DR) =Dominansi suatu jenis
Dominansi seluruh jenisx 100%
Berdasarkan persamaan tersebut, maka untuk menghitung besar Indeks Nilai
Penting (INP) pada suatu spesies yaitu.
INP = KR + FR + DR
Keterangan :
INP : Ketetapan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya dari total petak
contoh
KR : Persentase dari jumlah jenis tumbuhan yang bersangkutan dari total
satuan luas
FR : Persentase jumlah plot tempat ditemukannya suatu spesies dari total
satuan luas
DR : Persentase jenis tumbuhan utama yang mempengaruhi dan melaksanakan
45kontrol terhadap komunitas dilihat dari jumlah jenis, besar ukuran
maupun pertumbuhannya yang dominan
Menurut Indiyanto (2016), untuk menghitung INP fase tumbuhan bawah adalah
dengan menggunakan rumus seperti berikut.
INP = KR+FR
Keterangan :
INP : Ketetapan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya dari total petak
contoh
KR : Persentase dari jumlah jenis tumbuhan yang bersangkutan dari total
satuan luas
FR : Persentase jumlah plot tempat ditemukannya suatu spesies dari total
satuan luas
3.5.2 Pendugaan biomassa
a. Biomassa pohon
Hasil pengukuran diameter pohon dan tinggi pohon dianalisis dengan
menggunakan persamaan allometrik yang telah ada untuk menduga biomassa
pohon pada Tabel 2.
Tabel 2. Model persamaan allometrik
No JenisTegakan
Persamaan Allometrik Sumber Lokasi
1 Mahoni BK= 0,902 (D2H)0,08 (Tim Arupa, 2014) Dn. Kembangan,Sleman
2 Akasia BK= 0,077 (D2H)0,90 (Tim Arupa, 2014) Dn. Kembangan,Sleman
3 Medang BK= 0,11 x 0,51(D)2,62 (Ketterings, 2001) Sepunggur, Jambi
46Tabel 2. (Lanjutan)
No JenisTegakan
Persamaan Allometrik Sumber Lokasi
4 Cengkeh BK= 0,11 x 0,7(D)2,62 (Ketterings, 2001) Sukamantri, Bogor3 Pohon-
pohonbercabang
BK= 0,11 ρ(D)2,62 (Ketterings, 2001) Sepunggur, Jambi
4 Pohon tidakbercabang
BK= π ρD2H/40 (Hairiah dkk., 2001) Rantau Pandan,Jambi
5 Kopi BK= 0,281 (D)2,06 (Nugroho, 2014) Dn. Kembangan,Sleman
6 Karet BK = 3,42 D1,15 (Saragih dkk, 2016) Kabupaten SerdangBegadai
Keterangan:
BK = Berat kering (kg/pohon)
H = Tinggi total tanaman (m)
D = Diameter setinggi dada (cm)
BA = Basal area (cm2)
ρ = Berat Jenis kayu (0,7 g/m3) dan berat jenis kayu mati (0,4 g/m3)
b. Biomassa serasah dan tumbuhan bawah
Pengukuran biomassa serasah dan tumbuhan bawah dilakukan pada plot ukuran
2 m x 2 m dengan metode destruktif. Data biomassa diperoleh setelah serasah dan
tumbuhan bawah dioven sehingga berat serasah dan tumbuhan bawah konstan
dengan suhu 800C, kemudian serasah tersebut diambil sampelnya untuk ditimbang
sebagai berat kering. Berat basah dan berat kering dari serasah dan tumbuhan
bawah dapat digunakan untuk menduga biomassa dengan menggunakan rumus
Biomassa Expansion Factor (Brown, 1997).
47
Total BK =BK sub contoh (kg)
BB sub contoh (kg)x total BB (kg)
Keterangan:
BK = Berat kering (kg)
BB = Berat basah (kg)
c. Penghitungan cadangan karbon total dalam plot
Sumber karbon (C) yang telah didapatkan selanjutnya dihitung totalnya pada
masing-masing plot pengamatan. Rumus yang digunakan untuk menghitung total
biomassa sebagai berikut (BSN, 2011).
C plot = C pohon + C nekromassa + C serasah + C tumbuhan bawah
Keterangan :
C = Cadangan karbon
Selanjutnya penghitungan cadangan karbon dalam suatu areal hutan dilakukan
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut.
C total = (∑ C plot
n plot) x luas areal
Keterangan :
C total : total cadangan karbon (ton)
n plot : total plot
C plot : total kandungan karbon per hektar (ton/ha)
Luas areal : luas total lahan (ha)
d. Karbon tersimpan
Karbon tersimpan pada vegetasi hutan dapat diestimasi menggunakan nilai
biomassa yang yang diperoleh dari persamaan allometrik ataupun dengan
48persamaan BSN (2011) yang menyatakan bahwa nilai persentase kandungan
karbon sebesar 47%, sehingga perhitungan karbon yang tersimpan dapat diubah
dalam bentuk karbon (ton/ha). Perhitungan karbon dapat dilakukan dengan cara
faktor konversi 0,47 yang dinyatakan dalam rumus berikut.
C = Biomassa total x 0,47Keterangan :
C = Cadangan karbon
e. Penyerapan CO2
Perhitungan potensi penyerapan gas CO2 didapat melalui perkalian kandungan
karbon terhadap besarnya serapan CO2 satuan total stock. Perhitungan dilakukan
berdasarkan 1 juta metrik ton karbon equivalent dengan 3,67 juta metric ton CO2
yang diserap dari atmosfer. Perhitungan serapan CO2 dilakukan dengan
menggunakan rumus berikut (Hardjana, 2010).
WCO2 = Wtc x 3,67
Keterangan :
WCO2 : Banyaknya CO2 yang diserap (ton)
Wtc : Berat total unsur karbon ke CO2 [massa atom C = 12 dan O = 16,
CO2 = (1 x 12) + (2 x 16) = 44; konversinya = (44:12) = 3,67]
3.5.3 Konversi tarif karbon dalam VCM
Karbon dioksida (CO2) yang sudah dikonversi satuannya menjadi ton CO2
equivalent, maka dapat dikonversi dalam dolar sebesar tarif VCM. Berdasarkan
ecosytem market place bahwa setiap 1 ton CO2 equivalent memiliki tarif $3.8
(Stanley dkk, 2014).
69
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah
1. Spesies dominan pada HKm Jaya Lestari fase pohon yaitu karet (Hevea
brasiliensis) dengan persentase INP sebesar 128,03%, pada fase tiang
didominasi oleh spesies karet (Hevea brasiliensis) dengan INP sebesar
156,31%, fase pancang didominasi oleh spesies kopi (Coffea canephora)
dengan INP sebesar 97,12%, pada fase semai didominasi oleh spesies karet
(Hevea brasiliensis) dengan INP sebesar 11,80% dan fase tumbuhan bawah
didominasi oleh spesies haredong (Clidemia hirta) dengan INP
sebesar 24,26%.
2. Hutan Kemasyarakatan Jaya Lestari Register 24 KPH Bukit Punggur Way
Kanan memiliki total cadangan karbon pada petak ukur percontohan sebesar
1.543,16 ton/ha. Rata-rata karbon tersimpan pada tiap kelas ketinggian
tempatnya sebesar 96,45 ton/ha. Total serapan karbon (CO2 equivalent)
di lokasi penelitian sebesar 5663,41 ton.
3. Potensi karbon tersimpan di HKm Jaya Lestari dengan luas area kelola sebesar
1.295 ha adalah 124.902,75 ton. Total potensi serapan karbon (CO2 equivalent)
di HKm Jaya Lestari sebesar 462.063,01 ton.
704. Sumbangan ekonomi karbon terhadap pendapatan rumah tangga HKm Jaya
Lestari per 5 tahun dapat dimasukkan sebagai tarif insentif tinggi yaitu sebesar
Rp. 31.697.528.111. Pendapatan tersebut berdasarkan kesepakatan kontrak
melalui inisiatif perdagangan karbon yang menggunakan tarif VCM
5.2 Saran
Penelitian tentang peran hutan kemasyarakatan yang dikelola secara agroforestri
melalui inisiatif karbon tersimpan di HKm Jaya Lestari Register 24 KPH Bukit
Punggur Kabupaten Way Kanan memiliki cadangan karbon dengan
rata-rata 96, 45 ton/ha. Kondisi tersebut dapat diartikan bahwa hutan yang
dikelola tersebut belum cukup baik sebagai penyimpan atau penyerap CO2
dari atmosfer. Berdasarkan hal tersebut maka instansi terkait dan Gapoktan Jaya
Lestari dalam pengelolaan lahan agroforestri miliknya perlu melakukan
pertimbangan penambahan jenis tanaman berkayu, seperti medang (Phoebe
hunanensis) dan pulai (Alstonia scholaris), dengan jumlah yang besar dalam
peningkatan pertumbuhan dan kelestarian hutan yang merupakan bagian
dari kawasan Hutan Lindung.
71
DAFTAR PUSTAKA
Adinugroho, W. C., Indrawan, A., Supriyanto., Arifin, H. S. 2013. Kontribusisistem agroforestri terhadap cadangan karbon di hulu DAS Kali Bekasi.Jurnal Hutan Tropis. 1(3):1-9.
Agus, F., Hairiah, K., Mulyani, A. 2011. Pengukuran Cadangan Karbon TanahGambut. Buku. World Agroforestry Centre-ICRAF, SEA Regional Officedan Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian(BBSDLP). Bogor. 58 hlm.
Ambarwati, A. 2019. Pendugaan Cadangan Karbon di HKm Bina WanaKecamatan Kebun Tebu Kabupaten Lampung Barat. Skripsi. UniversitasLampung. Bandar Lampung. 70 hlm.
Amelia, S. M., Hasyim, A. I., Situmorang, S. 2019. Efesiensi sistem pemasarancengkeh (Syzihium aromaticum) di Kabupaten Pesisir Barat. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis. 7(2): 187-194
Angelsen, A., Brockhaus, M., Sunderlin, W. D., Verchot, L. V. 2013.Menganalisis redd+. Buku. CIFOR. Bogor. 500 hlm.
Aprianto, D., Wulandari, C., Masruri, N. W. 2016. Karbon tersimpan padakawasan sistem agroforestry di Register 39 Datar Setuju KPHL BatutegiKabupaten Tanggamus. Jurnal Sylva Lestari. 4(1): 21-30.
Aprianto, D. 2015. Karbon Tersimpan pada Kawasan Sistem Agroforestry diRegister 39 Datar Setuju Kphl Batutegi Kabupaten Tanggamus. Skripsi.Universitas Lampung. Bandar Lampung. 87 hlm.
Asmi, M. T., Qurniati, R., Haryono, D. (2013). Komposisi tanaman agroforetridan kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga di Desa PesawaranIndah Kabupaten Pesawaran Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 1(1): 55-64.
Badan Pusat Statistik (BPS). 2018. Way Kanan Dalam Angka. Buku. BadanPusat Statistik. Lampung. 292 hlm.
72Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2011. Pengukuran dan Perhitungan
Cadangan Karbon. Pengukuran Lapangan untuk Penaksiran CadanganKarbon Hutan (Ground Based Forest Carbon Accounting). Buku. BadanStandardisasi Nasional. Jakarta. 16 hlm.
Bhaskara, D. R. 2017. Karbon Tersimpan pada Repong Damar PekonPahmungan Kecamatan Pesisir Tengah Kabupaten Pesisir Barat. Skripsi.Universitas Lampung. Bandar Lampung. 70 hlm.
Bhaskara, D. R., Qurniati, R., Duryat, Banuwa, I. S. 2018. Karbon tersimpanpada repong damar di Pekon Pahmungan Kecamatan Pesisir Tengah,Kabupaten Pesisir Barat. Jurnal Sylva Lestari. 6(2): 32-40.
Brown, S. 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forest, aprimer. Buku. FAO Forestry Paper 143. FAO Rome. 55 hlm.
Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2014. Perubahan Iklim dan TantanganPeradaban Bangsa Lima Tahun DNPI 2008 - 2013. Buku. DNPI. Jakarta.149 hlm.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2013. Rencana Pengelolaan Hutan JangkaPanjang Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Batutegi 2014-2023. Buku. DisHut Prov. Lampung. Bandar Lampung. 101 hlm.
Fitria, D., Dharmawan, A. H., Prasetyo, L. B. 2017. Peran hutan kemasyarakatanmelalui inisiatif karbon terhadap nafkah rumah tangga petani di KabupatenGunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Silvikultur Tropika.8(1): 35-40.
Ginoga, K. 2010. Pedoman Pengukuran Karbon untuk Mendukung PenerapanREDD+ di Indonesia. Buku. Pusat Penelitian dan PengembanganPerubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. 40 hlm
Hairiah, K., Sitompul, S. M., Noordwijk, M. V., Palm, C. 2001. Carbon Stock ofTropical Landuse System as Part of the Global C Balance: Effects of ForestConversion and Option for Clean Development Activities. Buku. ASBLecture Note 4A. ICRAF. Bogor. 59 hlm.
Hanafi, N., dan Bernardianto, N.B. 2012. Pendugaan cadangan karbon padasistem penggunaan lahan di areal PT. Sikatan Utama Raya. Jurnal MediaSains. 4(2) : 1-12.
Hardjana, A. K. 2010. Potensi biomassa dan karbon pada hutan tanaman Acaciamangium di HTI PT. Surya Hutani Jaya, Kalimantan Timur. JurnalPenelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 7(4): 237-249.
Huxley, P. 1999. Tropical Agroforestry. Buku. Blackwell Science Ltd. UnitedKingdom. 371 hlm.
73Idayanti, P., Bakri, S., Wulandari, C., Yuwono, S. B. 2019. Karakteristik sosial
ekonomi yang berpengaruh terhadap pendapatan kelompok hutankemasyarakatan Panca Tunggal. Prosiding Seminar Nasional Biologi 4UIN Sunan Gunung Djati. BEK-51: 174 – 180.
Indriyanto. 2016. Ekologi Hutan. Buku. PT Bumi Aksara. Jakarta. 210 hlm.
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). 2006. IntergovermentalPanel on Climate Change Guidelones for National Greenhouse GasInventories. Buku. Prepared by the National Greenhouse Gas InventoriesProgramme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. And Tanabe K.(eds). IGES. Jepang. 20 hlm.
Kabupaten Way Kanan dalam Angka. 2018. Geografi dan Iklim. Buku.Percetakan Kartika Lampung. Lampung. 292 hlm.
Ketterings, Q. M., Coe, R., Noorwijk, M. V., Ambagau, Y., Palm, C. A. 2001.Reducing uncertainly in the use of allometric biomass equations forpredicting aboveground tree biomass in mixed secondary forest. JurnalForest Ecology and Management. 146(2) : 199-209.
Kotler, P. T. dan Amstrong, G. 2018. Principles of Marketing (Global Edition)17th Edition. Buku. Prentice Education, Inc. New Jersey. 111 hlm.
Lestari, R. N. 2017. Analisis Karbon di Atas Tanah Sebagai Indikator KesehatanHutan Lindung Register 25. Skripsi. Universitas Lampung. 77 hlm.
Lukito, M. 2013. Estimasi biomassa dan karbon tanaman jati berumur 5 tahun(kasus kawasan hutan tanaman jati unggul nusantara (jun) Desa Krowe,Kecamatan Lembeyan Kabupaten Magetan). Agri-Tek Jurnal PenelitianIlmu-Ilmu Eksakta. 14(1): 1-23.
Malau, Y. D. P., Rahmawati, Riswan. 2012. Pendugaan cadangan karbon aboveground biomass (agb) pada tegakan agroforestri di Kabupaten Langkat: (theestimate of carbon stocks above ground biomass (agb) on agroforestrystands in Langkat). Jurnal Penorema Forestry Science. 2(1): 106-110.
Manuri, S., Putra, C. A. S., Saputra, A. D. 2011. Teknik Pendugaan CadanganKarbon Hutan. Buku. Merang REDD Pilot Project, German InternationalCoorporation-GIZ. Palembang. 91 hlm.
Margono B. A., Potapov P. V., Turubanova S., Stolle F., Hansen M. C. 2014.Primary forest cover loss in Indonesia over 2000–2012. Jurnal NatureClimate Change. 4(8): 730-735.
74Masripatin, N., Ginoga, K., Pari, G., Dharmawan, W.S., Siregar, C.A., Wibowo,
A., Puspasari D., Utomo, A.S., Sakuntaladewi, N., Lugina, M., Indartik.,Wulandari, W., Darmawan, S., Heryansah, I., Heriyanto, N.M.,Siringoringo, H., Damayanti, R., Anggraeni, D., Krisnawati, H., Maryani,R., Apriyanto, D., Subekti, B. 2010. Cadangan Karbon pada BerbagaiTipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Buku. Pusat Penelitian danPengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor. 43 hlm.
Maulina, D., Irawati, M. H., Rochman, F., Syamsuri, I. 2016. Kajian kerusakanlingkungan terhadap penurunan populasi satwa lindung Elepas maximussumateraensis di Provinsi Lampung. Jurnal Bioterdidik. 4(2): 9-15.
Miranda A., Lumangkun, A., Husni, H. 2015. Analisa pendapatan petani karetdari hutan tanaman rakyat di Trans Sp 1 Desa Pangmilang KecamatanSingkawang Selatan Kota Singkawang Kalimantan Barat. Jurnal HutanLestari. 3 (4): 517–525.
Nadeak, N., Qurniati, R., Hidayat, W. 2013. Analisis finansial pola tanamagroforetri di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang Cermin KabupatenPesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari. 1(1): 65-74.
Natalia, D., Yuwono, S.B., Qurniaty, R.. 2014. Potensi penyerapan karbon padasistem agroforestri di Desa Pesawaran Indah Kecamatan Padang CerminKabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Jurnal Sylva Lestari.2(1): 11-20.
Nugroho, D. 2014. Menghitung Cadangan Karbon di Hutan Rakyat Panduanbagi Para Pendamping Petani Rakyat. Buku. Biro Penerbit AruPA.Yogyakarta. 36 hlm.
Odum, E. P. 1971. Dasar-dasar Ekologi. Alih Bahasa : Samingan, T dan B.Srigandono. Fundamental of Ecology. Buku. Universitas Gajah Mada.Yogyakarta. 574 hlm.
Peter-Stanley, M., dan Gonzalez, G. 2014. Sharing the stage: State of tehVoluntary Carbon Market. Buku. Forest Trend’ Ecosystem Marketplace.Washington DC. 22 hlm.
Protokol Kyoto. 1998. Kyoto Protocol to the United Nations FrameworkConvention on Climate Change. Buku. United Nation. 21 hlm.
Putri, S. M., Indriyanto, Riniarti, M. 2019. Komposisi jenis dan struktur vegetasihutan lindung Bengkunat di Resort III KPH Unit I Pesisir Barat. JurnalSylva Tropika. 3(1): 118-131.
Ristiara, L. 2016. Etimasi Karbon Tersimpan pada Hutan Rakyat di PekonKelungu Kabupaten Tanggamus. Skripsi. Universitas Lampung. BandarLampung. 67 hlm.
75Rizqie, D. 2013. Efektifitas mekanisme redd (reducing emissions from
deforestation and forest degradation) sebagai kebijakan yang dihasilkan olehrezim perubahan iklim unfccc. Andalas Journal of International Studies.2(1): 75-105.
Rochmayanto, Y., Wibowo, A., Lugina, M., Butarbutar, T., Mulyadin, R. M.,Wicaksono, D. 2014. Cadangan Karbon pada Bebagai Tipe Hutan danJenis Tanaman di Indonesia (Seri 2). Buku. PT Kanisius. Yogyakarta.104 hlm.
Saragih, E. S., Muhdi, Hanafiah, D. S. 2016. Pendugaan cadangan karbon padatanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) umur 10 tahun di perkebunanrakyat Desa Tarean, Kecamatan Silindak, Kabupaten Serdang Bedagai.Jurnal Peronema Forestry Science. 5(2) : 5-19.
Sanjaya, R. 2016. Evaluasi Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKm) padaGabungan Kelompok Tani Rukun Lestari Sejahtera di Desa Sindang PagarKecamatan Sumberjaya Kabupaten Lampung Barat. Skripsi. UniversitasLampung. Bandar Lampung. 51 hlm.
Sanudin, Awang, S. A., Sadono, R., Purwanto, R. H. 2016. Perkembangan hutankemasyarakatan di Provinsi Lampung. Jurnal Manusia dan Lingkungan.23(2): 276-283.
Senoaji, G. 2010. Studi kesesuaian lahan untuk penentuan kawasan lindung diHutan Lindung Konak Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu. JurnalIlmu Kehutanan. 4(1): 12-20.
Senoaji, G. 2012. Pengelolaan lahan dengan sistem agroforestri oleh masyarakatBadui di Banten Selatan. Jurnal Bumi Lestari. 12(2): 283-293.
Sobirin, M. 2010. Pendugaan Karbon Tersimpan di Atas Permukaan diArboretum Universitas Lampung. Skripsi. Universitas Lampung. BandarLampung. 78 hlm.
Soerianegara, I., dan Indrawan, A. 2008. Ekologi Hutan Indonesia. Buku.Institut Pertanian Bogor. Bogor. 197 hlm.
Standar Nasional Indonesia (SNI). 2010. Klasifikasi Penutup Lahan. Buku.Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 32 hlm.
Sudoyono, I., Syaufina, L., Suharjito, D. 2014. Analisis pola kemitraanagroforestri dalam rangka mengurangi ancaman perambahan hutan (studikasus tumpangsari tanaman pangan di iuphhk-ht Pulau Laut KotabaruKalimantan Selatan. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam danLingkungan. 4(1): 1-8.
76Supriadi. 2018. Evaluasi Program HKm Secara Ekonomi, Ekologis dan
Kebersinambungan Program: Studi Gapoktan Jaya Lestari Desa ManangaJaya Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan. Tesis. UniversitasLampung. Bandar Lampung. 94 hlm.
Supriadi, Riniarti, M., Bakri, S. 2018. Produktivitas karet pada lahan hkm JayaLestari Kabupaten Way Kanan Provinsi Lampung. Gorontalo Journal ofForestry Research. 1(1): 1-8.
Surastyawan, Y. 2017. Implementasi Kebijakan Hutan Kemasyarakatan diKabupaten Way Kanan (Studi pada Kelompok Tani Hutan KemasyarakatanRegister 24 Bukit Punggur). Skripsi. Universitas Lampung. Lampung.90 hlm.
Sutaryo, D. 2009. Pernghitungan Biomassa: Sebuah Pengantar untuk StudiKarbon dan Perdagangan Karbon. Buku. Wetlands InternasionalProgramme. Bogor. 39 hlm.
Syarifa, L. F., Agustina, D.S., Nancy, C., Supriadi, M. 2016. Dampak rendahnyaharga karet terhadap kondisi sosial ekonomi petani karet di SumateraSelatan. Indonesian J. Nat. Rubb. Res. 34(1): 119-126.
Tampubolon, N. 2011. Potensi Penyerapan Kabron dalam Mendukung AdaptasiPerubagan Iklimdi Hutan Marga Kecamatan Belalau dan batu KetulisKabupaten Lampung Barat. Skripsi. Universitas Lampung. BandarLampung. 67 hlm.
Tim Arupa. 2014. Menghitung Cadangan Karbon di Hutan Rakyat Panduanbagi Para Pendamping Petani Hutan Rakyat. Buku. Biro Penerbit Arupa.Sleman. 28 hlm.
Tiurmasari, S. 2016. Analisis Vegetasi dan Tingkat Kesejahteraan MasyarakatPengelola Agroforestri di Desa Sumber Agung Kecamatan Kemiling KotaBandar lampung. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.74 hlm.
Union Nations Development Program. 2018. Pengantar Pasar Karbon untukPengendalian Perubahan Iklim. Buku. Menara Ravindo. Jakarta Pusat.119 hlm.
Wahyuni, N. I. 2014. Korelasi indeks nilai penting terhadap biomassa pohon dikawasan taman nasional Bogani Nani Wartabone, Sulawesi Utara.Prosiding Seminar Rehabilitasi dan Restorasi Kawasan HutanMenyongsong 50 Tahun. 1(9): 113- 124.
Wijayanto, N. dan Hartoyo, A. P. P. 2015. Biodiversitas berbasisikanagroforestry. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas Indonesia.1(2): 242-246.
77Winardi, F. 2014. Nilai Kandungan Karbon dan Indek Nilai Penting Jenis
Vegetasi Mangrove di Perairan Desa Mantang Baru Kecamatan MantangKabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi. Universitas Riau.Riau. 86 hlm.
Wulandari, C. dan Kurniasih, H. 2019. Community preferences for socialforestry facilitation programming in Lampung, Indonesia. Jurnal Forestand Society. 3(1): 114-132.
Wulandari, C., Landicho, L. D., Cabahug, R. E. D., Baliton, R. S., Banuwa, I. R.,Hernawati., S., Budiono, P. 2019. Food security status in agroforestrylanscape of Way Betung watershed, Indonesia and Molawin Dampalitsubwatershed, Phillipines. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 25(3): 164-172.
Zhafira, G., Wulandari, C., Rusita, Bakri, S. 2019. Pengaruh ketinggian tempatterhadap produksi getah karet hutan kemasyarakatan di Kabupaten WayKanan. Prosiding Seminar Nasional Biologi 4 UIN Sunan Gunung Djati.BEK-52: 181-184.