43 PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA KITAB SUCI DHAMMAPADA DI KABUPATEN BANYUMAS (Studi Kasus di Kabupaten Banyumas) Sujiono Abstrak Tujuan penelitian adalah (1) mendeskripsikan peran guru pendidikan agama Buddha dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab Suci Dhammapada; (2) mendeskripsikan hambatan-hambatan apa yang dialami dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab Suci Dhammapada; dan (3) mendeskripsikan bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab Suci. Subjek penelitian adalah para guru pendidikan agama Buddha dan yang siswa yang beragama Buddha di Kabupaten Banyumas. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan Juli s.d Desember 2016. Jenis penelitian adalah studi kasus. Hasil penelitian yaitu: (1) peran guru dalam meningkatkan keterampilan membaca Dhammapada yaitu melatih siswa membaca Kitab Suci Dhammapada baik sekolah maupun di vihara; (2) hambatan-hambatan yang dialami dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab Suci Dhammapada yaitu; (a) kurang tepatnya siswa dalam membacakan Dhammapada dengan aksara Pāli; (b) siswa kurang percaya diri saat membaca Kitab Suci Dhammapada; (c) Kurang ketersediaan buku Dhammapada: (3) cara mengatasi hambatan-hambatan dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab Suci Suci Dhammapada yaitu: (a) guru perlu memberikan motivasi dan semangat belajar membaca Dhammapada; (b) guru perlu mengkondisikan suasana pelatihan membaca Dhammapada yang menyenangkan; (c) mengkondisikan siswa membaca Dhammapada sebelum pembelajaran pendidikan agama Buddha dimulai; (d) saat pembelajaran yang ada kaitannya dengan Dhammapada guru mengajak siswa membaca Dhammapada baik dalam bahasa Pāli dan bahasa Indonesia; (e) pelatihan membaca Dhammapada tidak hanya cukup sekali, namun harus konsisten sesuai dengan jadwal; (f) kepala sekolah hendaknya menyediakan jadwal pendalaman kitab suci bagi siswa beragama Buddha; (g) perlu diadakanya pelatihan tentang keterampilan membaca Dhammapada khususnya kepada guru; dan (h) diperlukannya aplikasi sofwere Dhammapada. Kata kunci: Keterampilan membaca, Dhammapada. Abstract This research aims to (1) describe the role of Buddhist Education Teacher to Improve Dhammapada Reading Skills in Banyumas ; (2) describe the obstacles experienced in improving the Dhammapada reading skills in Banyumas; and (3) describe the ways to overcome the obstacles in improving the Dhammapada reading skills. The subjects were the Buddhist education teachers and the Buddhist students in Banyumas. It was conducted on July - December 2016. The research was a case study. The Results study are: (1) The roles of teachers in improving the Dhammapada reading skills : trains students to read Dhammapada both in school and monastery; (2) Obtacles experienced in improving Dhammapada reading skills; they are (a) the students recited Dhammapada less precisely in Pali alphabet; (b) students were less confidence when reciting Dhammapada; (c) Lack of availability of Dhammapada books: (3) the ways to overcome the obstacles in improving the Dhammapada reading skills: (a) teachers need to provide motivation and enthusiasm for learning the way to read Dhammapada; (b) the teachers are necessary to create pleasant atmosphere in training of Dhammapada reading; (c) conditioning the students to read Dhammapada before the subject of Buddhist education begins; (d) during the lesson that has to do with Dhammapada teacher asked students to read Dhammapada both in Pali and Bahasa Indonesia; (e) reading Dhammapada training is not only once, but it should be consistent with the Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
43
PERAN GURU PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA DALAM MENINGKATKAN
KETERAMPILAN MEMBACA KITAB SUCI DHAMMAPADA DI
KABUPATEN BANYUMAS
(Studi Kasus di Kabupaten Banyumas)
Sujiono
Abstrak
Tujuan penelitian adalah (1) mendeskripsikan peran guru pendidikan agama Buddha dalam
meningkatkan keterampilan membaca Kitab Suci Dhammapada; (2) mendeskripsikan hambatan-hambatan
apa yang dialami dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab Suci Dhammapada; dan (3)
mendeskripsikan bagaimana cara mengatasi hambatan-hambatan dalam meningkatkan keterampilan
membaca Kitab Suci. Subjek penelitian adalah para guru pendidikan agama Buddha dan yang siswa yang
beragama Buddha di Kabupaten Banyumas. Waktu pelaksanaan penelitian adalah bulan Juli s.d Desember
2016. Jenis penelitian adalah studi kasus. Hasil penelitian yaitu: (1) peran guru dalam meningkatkan
keterampilan membaca Dhammapada yaitu melatih siswa membaca Kitab Suci Dhammapada baik sekolah
maupun di vihara; (2) hambatan-hambatan yang dialami dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab
Suci Dhammapada yaitu; (a) kurang tepatnya siswa dalam membacakan Dhammapada dengan aksara Pāli;
(b) siswa kurang percaya diri saat membaca Kitab Suci Dhammapada; (c) Kurang ketersediaan buku
Dhammapada: (3) cara mengatasi hambatan-hambatan dalam meningkatkan keterampilan membaca Kitab
Suci Suci Dhammapada yaitu: (a) guru perlu memberikan motivasi dan semangat belajar membaca
Dhammapada; (b) guru perlu mengkondisikan suasana pelatihan membaca Dhammapada yang
menyenangkan; (c) mengkondisikan siswa membaca Dhammapada sebelum pembelajaran pendidikan
agama Buddha dimulai; (d) saat pembelajaran yang ada kaitannya dengan Dhammapada guru mengajak
siswa membaca Dhammapada baik dalam bahasa Pāli dan bahasa Indonesia; (e) pelatihan membaca
Dhammapada tidak hanya cukup sekali, namun harus konsisten sesuai dengan jadwal; (f) kepala sekolah
hendaknya menyediakan jadwal pendalaman kitab suci bagi siswa beragama Buddha; (g) perlu diadakanya
pelatihan tentang keterampilan membaca Dhammapada khususnya kepada guru; dan (h) diperlukannya
aplikasi sofwere Dhammapada. Kata kunci: Keterampilan membaca, Dhammapada.
Abstract
This research aims to (1) describe the role of Buddhist Education Teacher to Improve Dhammapada
Reading Skills in Banyumas ; (2) describe the obstacles experienced in improving the Dhammapada
reading skills in Banyumas; and (3) describe the ways to overcome the obstacles in improving the
Dhammapada reading skills. The subjects were the Buddhist education teachers and the Buddhist students
in Banyumas. It was conducted on July - December 2016. The research was a case study. The Results study
are: (1) The roles of teachers in improving the Dhammapada reading skills : trains students to read
Dhammapada both in school and monastery; (2) Obtacles experienced in improving Dhammapada reading
skills; they are (a) the students recited Dhammapada less precisely in Pali alphabet; (b) students were less confidence when reciting Dhammapada; (c) Lack of availability of Dhammapada
books: (3) the ways to overcome the obstacles in improving the Dhammapada reading skills: (a) teachers
need to provide motivation and enthusiasm for learning the way to read Dhammapada; (b) the teachers are
necessary to create pleasant atmosphere in training of Dhammapada reading; (c) conditioning the students
to read Dhammapada before the subject of Buddhist education begins; (d) during the lesson that has to do
with Dhammapada teacher asked students to read Dhammapada both in Pali and Bahasa Indonesia; (e)
reading Dhammapada training is not only once, but it should be consistent with the
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
44 Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
schedule; (f) the principal should provide the schedule of dhamma deepening for Buddhists students;
(g) it is necessary to organize the training on Dhammapada reading skills, especially for the teachers;
and (h) It is needed to build Dhammapada software application.
Keywords: Reading skills, Dhammapada.
Pendahuluan
Kondisi kehidupan senantiasa diliputi
berbagai kondisi baik yang menyenangkan
maupun sebaliknya. Manusia akan berbahagia
jika dalam kehidupan senantiasa tercapai cita-
citanya. Namun manusia akan menderita jika
mengalami kondisi kehidupan yang tidak
diharapkan, seperti berpisah dengan yang
dicinta, tidak tercapai harapannya. Kondisi batin
akan tergoncang ketika menjumpai peristiwa
yang tidak diharapkan. Berbagai peristiwa
tentang kondisi kehidupan menjadi inspirasi
Pangeran Siddharta untuk mencapai Penerangan
Sempurna menjadi Buddha.
Perjuangan Pangeran Siddharta berhasil
menjadi Buddha tepat disaat Purnama Waisak.
Selama 45 tahun Buddha mengajarkan Dhamma
kepada semua makhluk atas dasar cinta kasih.
Setelah Guru Buddha Parinibbana ajaran Beliau
dituliskan kembali oleh para bhikkhu menjadi
Kitab Suci agama Buddha yaitu Tipitaka.
Tipitaka dijadikan pedoman hidup oleh umat
Buddha. Segala perilaku baik pikiran, ucapan,
dan perbuatan berpodoman pada Tripitaka. Hal
ini dilakukan untuk mencapai kehidupan yang
berbahagia dan penuh welas asih.
Bagian Kitab Suci Tipitaka yang paling
populer adalah Dhammapada. Kegiatan
membaca Kitab Suci Dhammapada dewasa ini
semakin jarang dilaksanakan. Hal ini didukung
oleh hasil wawancara yang telah dilakukan
“Kami jarang membaca Dhammapada, biasanya membaca Dhammapada pada saat mau hari raya perayaan hari raya Waisak, Asadha, Magha Puja, dan Asadha serta saat mau lomba.” (CL No. 1 tanggal 2 Juli 2016).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa aktifitas membaca Kitab Suci Dhammapada mulai jarang dilakukan. Hanya mau
menjelang perayaan hari raya keagamaan dan saat
mau lomba saja. Lebih saat dilakukan dengan
guru pendidikan Agama Buddha di Kabupaten
Banyumas, diperoleh informasi sebagai berikut;
Kami biasanya memberikan pelatihan keterampilan membaca Dhammapada pada saat kegiatan pondok Romadhon, selain itu pelatihan keterampilan membaca Dhammapada dilakukan saat mau menjelang hari raya keagamaan, seperti Waisak, Asadha, dan Magha Puja. (CL No. 2 tanggal 2 Agustus 2016).
Berdasarkan informasi di atas dapat
dijelaskan bahwa pelatihan keterampilan
membaca Kitab Suci Dhammapada jarang
dilakukan. Pelatihan membaca Kitab Suci
Dhammapada dilakukaan saat bulan Romadhon
yaitu saat kegiatan pesantren kilat dan
menjelang perayaan hari raya keagamaan yaitu
Waisak, Asadha, Magha Puja dan Kathina.
Dewasa ini sering dijumpai perilaku di
masyarakat mulai meninggalkan nilai ajaran
luhur agama. Setiap hari melalui media cetak
dan elektronik mudah sekali diketahui
berbagai perilaku yang tidak bermoral. Hal ini
ditandai berbagai perilaku yang tidak
bermoral, diantaranya perilaku mengambil
barang yang bukan miliknya, sebagaimana
dicontohkan dalam kutipan di bawah ini.
Minggu 31 Juli 2016 pukul 21.00 WIB,
pemilik toko Finawati baru saja menutup
tempat usahanya tersebut. Kedua pelaku yang
telah mengintai, beberapa menit kemudian
langsung beraksi dengan cara membuka paksa
teralis rolling door toko tersebut (sindonews.
com, 1 Agustus 2016). Selanjutnya perilaku
pencurian juga dilakukan oleh Asep (19),
sebagaimana dalam kutipan di bawah ini Asep (19) nekat menyatroni rumah tetangganya di
Perum Bumi Waringin Indah Blok A6 Desa
Waringinjaya, Kedungwaringin, Kabupaten
Bekasi karena terhimpit masalah ekonomi.
Berdasarkan hasil kutipan tentang berita di
atas dapat dijelaskan bahwa mudahnya
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
seseorang tergoda untuk melakukan tindakan
yang bertentangan dengan Pancasila
Buddhis, yaitu tindakan mengambil barang
yang tidak diberikan.
Kitab Suci yang seyogyanya dijadikan
pedoman hidup dan selalu dibaca, direnungkan
dan dilaksanakan kenyataannya hanya sebatas
peninggalan sejarah belaka. Maraknya perilaku
yang kurang terpuji jika dibiarkan akan
memberikan dampak yaitu semakin rusaknya
mental. Berdasarkan uraikan latar belakang
diatas dan mengingat pentingnya keterampilan
membaca Kitab Suci Dhammapada sebagai
upaya menciptakan generasi Indonesia yang
gemar membaca dan menjadi generasi yang
berbudi luhur.
Membaca adalah suatu metode yang kita
pergunakan untuk berkomunikasi dengan diri kita
sendiri dan kadang-kadang dengan orang lain yaitu
mengkomunikasikan makna yang terkandung pada
lambang-lambang tertulis (Tarigan, 2008: 8).
Membaca adalah memahami isi ide atau gagasan
baik tersurat, tersirat bahkan tersorot dalam bacaan.
Dengan demikian, pemahamanlah yang menjadi
produk membaca yang bisa diukur, bukan perilaku
fisik duduk berjam-jam di ruang belajar sambil
memegang buku (Saddhono, dan Slamet,
2014:101). Sementara itu, Achmad dan Alek
(2011: 75) menjelaskan bahwa membaca ialah
proses memahami pesan tertulis yang
menggunakan bahasa tertentu yang disampaikan
oleh penulis kepada pembaca. Berdasarkan kutipan
di atas dapat disintesiskan bahwa membaca adalah
proses komunikasi lisan yang dilakukan untuk
memahami sebuah gagasan baik yang tersirat
maupun tersurat melalui sarana tulisan yang
disajikan oleh penulis.
Kegiatan membaca yang dilakukan
dengan baik akan memiliki banyak fungsi.
Menurut Saddhono dan Slamet (2014:101-102)
menyebutkan beberapa fungsi kegiatan
membaca, yaitu: a) Fungsi intelektual; dengan banyak
membaca dapat meningkatkan kadar
intelektualitas, membina daya nalar.
Contohnya sering membaca Kitab Suci
45
Dhammapada kemampuan intelektual
dalam mengembangkan batin menjadi
lebih sabar, penuh welas asih dan tanpa
kebencian. b) Fungsi pemacu kreativitas; Hasil membaca
dapat mendorong, menggerakkan diri kita
untuk berkarya, didukung oleh keleluasaan
wawasan dan pemilihan kosakata. Kegiatan
membaca Kitab Suci Dhammapada akan
memacu kreativitas dalam memahami
aksara Pāli, sehingga kemampuan dalam
berbahasa Pāli akan semakin optimal
sehingga mendorong untuk menulis kalimat
dalam bahasa Pāli. c) Fungsi praktis; kegiatan membaca
dilaksanakan untuk memperoleh
pengetahuan praktis dalam kehidupan,
misalnya panduan pembacaan aksara
Pāli, pembacaan syair dalam Kitab Suci Dhammapada.
d) Fungsi rekreatif; membaca digunakan
sebagai upaya menghibur hati,
mengadakan tamasya yang mengasyikkan.
Contohnya bacaan-bacaan ringan, novel-
novel pop, cerita humor, tabel, Kitab Suci
Dhammapada dan lain-lain. e) Fungsi informatif; dengan banyak
membaca informatif seperti Kitab Suci
Dhammapada dapat memperoleh berbagai
informasi yang sangat diperlukan dalam
kehidupan. Misalnya mengendalikan
kemarahan, kebencian dalam kehidupan
sehari-hari, pikiran menjadi terhindari dari
keserakahan. f) Fungsi religius; membaca dapat
digunakan untuk membina dan
meningkatkan keimanan, memperluas
budi, dan meningkatkan diri kepada
Tiratana. Kegiatan membaca Kitab Suci
Dhammapada yang sering dilakukan akan
mengkondisikan pembaca semakin
memahami ajaran Buddha sehingga
keyakinan (saddha) pada Buddha,
Dhamma, dan Sangha akan semakin
meningkat. g) Fungsi sosial; kegiatan membaca memiliki
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
46
fungsi sosial yang tinggi manakala
dilaksanakan secara lisan atau nyaring.
Dengan demikian kegiatan membaca
langsung dapat dimanfaatkan oleh orang
lain mengarahkan sikap berucap, berbuat
dan berpikir. Contohnya pembacaan
pembacaan Kitab Suci Dhammapada yang
diiramakan dengan baik, baik orang lain
sebagai pendengar akan terhibur sekaligus
mengkondisikan untuk senantiasa
mempraktikkan kebaikan dalam
kehidupan sehari-hari.
h) Fungsi pembunuh sepi; kegiatan membaca
dapat juga dilakukan untuk sekedar
merintang-rintangkan waktu, mengisi
waktu luang. Contohnya membaca
majalah, surat kabar, Kitab Suci
Dhammapada dan lain-lain.
Jadi aktivitas membaca memiliki beberapa
fungsi diantaranya fungsi intelektual, praktis,
rekreatif,informatif,religius,sosial,danpembunuh
sepi. Seseorang yang senantiasa melakukan
aktivitas membaca Kitab Suci Dhammapada
maka kadar intelektualitas dan daya nalarnya
semakin baik. Aktivitas membaca Kitab Suci
Dhammapada yang dilakukan dengan baik akan
menumbuhkan daya kreativitas pada seseorang
berbudi luhur dengan mengendalikan pikiran
dari kebencian, keserakahan, dan kegelapan
batin. Informasi-informasi yang sangat berharga
dari Kitab Suci Dhammapada diperoleh melalui
aktivitas membaca. Melalui aktivitas membaca
Kitab Suci Dhammapada akan memperoleh
informasi tentang nilai-nilai luhur dari ajaran
Guru Buddha dan pentingnya mempraktikkan
ajaran Buddha yang dikemas dalam bentuk syair
sehingga lebih mudah dipahami. Aktivitas
membaca Kitab Suci Dhammapada juga
memiliki fungsi sosial, yaitu akan mengarahkan
seseorang untuk senantiasa mengendalikan
pikiran, ucapan, dan perbuatan.
Adapun manfaat membaca dapat dijelaskan
sebagai berikut; (a) memperoleh banyak
pengalaman hidup; (b) memperoleh pengetahuan
umum dan berbagai informasi tertentu yang sangat
berguna bagi kehidupan; (c) mengetahui
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
berbagai peristiwa besar dalam peradaban dan
kebudayaan suatu bangsa; (d) dapat mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
mutakhir di dunia; (e) dapat memperkaya batin,
memperluas cakrawala pandang dan pola pikir,
meningkatkan taraf hidup dan budaya keluarga,
masyarakat, nusa, dan bangsa; (f) dapat
memecahkan berbagai masalah kehidupan, dapat
mengantarkan seseorang menjadi cerdik pandai;
(g) dapat memperkaya perbendaharaan kata,
ungkapan, istilah dan lain-lain yang sangat
menunjang keterampilan menyimak, berbicara,
dan menulis; dan (h) mempertinggi potensial
tiap pribadi dan mempermantap eksistensi
(Saddhono, dan Slamet, 2014:102-103).
Aktivitas membaca Kitab Suci Dhammapada
akan memberikan manfaat dalam memecahkan
persoalan kehidupan misalnya dalam pergaulan,
kehidupan sosial kemasyarakatan.
Dalam cerita nilai-nilai luhur ditanamkan
pada diri anak melalui penghayatan terhadap
makna dan maksud isi cerita. Anak melakukan
serangkaian kegiatan kognisi dan afeksi, mulai dari
interprestasi, komprehensi, hingga inferensi
terhadap nilai-nilai moral yang terkandung di
dalamnya. Melalui kegiatan ini, transmisi budaya
terjadi secara alamiah, bawah sadar, dan
akumulatif hingga jalin-menjalin membentuk
kepribadian anak. Anak melakukan serangkaian
aktivitas kognisi dan afeksi yang rumit dari fakta
cerita seperti nama tokoh, sifat tokoh, latar tempat,
dan budaya, serta hubungan sebab akibat dalam
alur cerita dan pesan moral yang tersirat di
dalamnya. Makna kebaikan, kejujuran, kerjasama
berakumulasi pada benak anak (Musfiroh,
2008:19-20). Berdasarkan kutipan di atas dapat di
ambil simpulan bahwa aktivitas membaca Kitab
Suci Dhammapada yang dilakukan dengan baik
akan mendatangkan kemanfaatan. Melalui
aktivitas membaca Kitab Suci Dhammapada akan
memperoleh pengetahuan tentang ajaran-ajaran
kebaikan untuk mencapai kebahagiaan. Siswa akan
mendapatkan pesan-pesan moral yaitu tentang
pengembangan cinta kasih, welas asih, mudita,
simpati dan keseimbangan batin. Melalui aktivitas
membaca Kitab Suci Dhammapada
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan akan memperoleh inspirasi perilaku yang sesuai
dengan Dhamma, sehingga dalam diri siswa
akan tumbuh rasa cinta kasih dan kepedulian
terhadap sesama, dan senantiasa mengurangi
kebencian, keserakahan, dan kegelapan batin.
Kitab Suci agama Buddha adalah Tipitaka
dalam bahasa Pali dan Tripitaka dalam bahasa
Sansekerta. Secara harfiah Tripitaka berarti “Tiga
Keranjang”, maksudnya kumpulan kitab. Kitab
yang pertama Vinaya Pitaka. Vinaya Pitaka terdiri
dari 5 kitab: (1) Parajika; (2) Pacittiya; (3)
Mahavagga; (4) Cullavagga; dan (5) Parivara.
Kitab yang kedua adalah Sutta Pitaka. Sutta Pitaka
cipta); 4) Pupphavaggo (Warta tentang bunga); 5) Bālavaggo (Warta tentang orang dungu); 6)
Paṇditavaggo (Warta tentang orang bijaksana); 7) Ahantavaggo (Warta tentang orang suci); 8) Sahassavaggo (Warga tentang yang seribu); 9) Pāpavaggo (Warga tentang hal buruk); 10) Daṇḍavaggo (Warga tentang hukuman); 11) Jarāvaggo (Warga tentang ketuaan); 12) Attavaggo (Warga tentang diri); 13) Lokavaggo
(Warga tentang dunia); 14) Buddhavaggo (Warga
tentang Buddha); 15) Sukhavaggo (Warga tentang
47 kebahagiaan); 16) Piyavaggo (Warga tentang
kecintaan); 17) Kodha vaggo (Warga tentang
kemarahan); 18) Malavaggo (Warga tentang
noda); 19) Dhammaṭṭhavaggo (Warga tentang
penegak Dhamma); 20) Maggavaggo (Warga
tentang Jalan); 21) Pakiṇṇakavaggo (Warga
tentang Rampai); 22) Nirayavaggo (Warga
tentang neraka); 23) Nāgavaggo (Warga tentang
gajah besar); 24) Taṇhāvaggo (Warga tentang
kegandrungan); 25) Bhikkhuvaggo (Warga
tentang Bhikkhu); dan 26) Brāhmaṇavaggo
(Warga tentang Brāhmana).
Dhammapada merupakan salah satu bagian
ajaran Buddha yang termuat dalam Sutta Pitaka,
Khuddaka Nikāya yang paling poluler di kalangan
masyarakat umat Buddha. Ajaran-ajaran yang
berbentuk kesusastraan termuat dalam
Dhammapada. Istilah “Dhammapada” berasal dari
kata “dhamma” (“Dhamma”, “kebenaran”, ajaran
Buddha”) dan “pada” (kaki, jejak, keadaan, bagian,
kalimat, syair). Dengan demikian “Dhammapada”
berarti “syair Dhamma”, “bagian Dhamma”, atau
“syair kebenaran”. Kitab ini merupakan sebuah
bunga rampai yang terdiri 423 ayat Dhamma, yang
dilantunkan dan disabdakan Buddha di berbagai
tempat, peristiwa, dan waktu (Widjaja, 2013:26).
Lebih lanjut Dhammadhīro (2014:v-vi)
menjelaskan secara harfiah, kata Dhammapada
berarti jejak ajaran Buddha. Dhammapada adalah
simbol dari tradisi Buddhisme yang masih terjaga
dan terpelihara dengan baik, baik isi maupun
maknanya. Dhammapada memberikan inspirasi
bagi pembaca untuk memiliki kesabaran,
kebijaksanaan, ketenangan, dan kebahagiaan
dalam hidup. Jadi Kitab Suci Dhammapada
merupakan jejak ajaran Buddha yang berbentuk
syair yang terdiri atas 423 ayat Dhamma. Isi Kitab
Suci Dhammapada merupakan pesan langsung
Buddha yang disampaikan kepada para murid
Beliau.
Dhammapada adalah salah satu kitab dari
kumpulan naskah kecil atau Khuddaka Nikāya
dalam Sutta Piṭaka, Tipitaka. Dhammapada
berarti “syair kebenaran”. Kitab ini merupakan
bunga rampai 423 ayat, yang terbagi dalam 26
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
48
kelompok. Setiap ayat Dhammapada disabdakan
oleh Buddha sebagai tanggapan atas suatu kejadian
(Handaka, 2014). Berdasarkan kutipan di atas
dapat dijelaskan bahwa Dhammapada merupakan
kumpulan ajaran Buddha yang berbentuk syair-
syair. Dhammapada diajarkan Buddha sebagai
tanggapan atau sebuah kejadiaan. Dhammapada
berisi ringkasan dari berbagai macam ajaran
Buddha yang terangkum dalam Tipitaka.
Kitab Suci Dhammapada dalam penelitian
ini merupakan syair-syair kumpulan ajaran
Buddha menggunakan bahasa Pāli. Bahasa Pāli
merupakan salah satu bahasa yang digunakan
dalam Kitab Suci Agama Buddha. Pembacaan
bahasa Pāli berbeda dengan pembacaan dalam
bahasa Indonesia hal ini disebabkan dalam
bahasa Pāli ada beberapa lambang aksara
memiliki tanda baca tertentu. Setiap kata dengan
tanda baca tertentu memiliki makna yang
berbeda. Dalam membacakan tes bahasa Pāli
haruslah sesuai dengan tanda baca, sehingga
tidak menimbulkan kesalahan makna.
Adapun panduan pembacaan aksara Pāli,
dalam penelitian ini mengutip dari
Dhammadhīro (2014:xiii-xvi).
Aksara Hidup atau Vokal Aksara hidup atau vokal dalam bahasa
Pāli berjumlah 8 buah, yang menurut panjang
pendeknya dibedakan menjadi dua, yakni: vokal
pendek dan vokal panjang. Kedelapan vokal Pāli
adalah sebagai berikut:
Vokal pendek: a, i, u
Vokal panjang: ā, ī, ū, e, o
Vokal pendek disuarakan separoh tempo
vokal panjang. Pembandingan pendek dan
panjangnya vokal di atas dapat dicermati melalui
pelafalan suku kata dalam bahasa Indonesia
sebagai berikut: Vokal pendek terdapat dalam
pelafalan vokal pada suku kata yang
berkonsonan akhir, sedangkan vokal panjang
terdapat dalam pelafalan vokal pada suku kata
yang tak berkonsonan akhir, terutama sekali
tampak jelas pada suku kata terakhir dalam satu
kata. Khusus untuk vokal e dan o, apabila diikuti
dengan konsonan akhir, dilafalkan pendek.
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu
Pengetahuan Contoh:
can-di: a terlafalkan pendek; i terlafalkan panjang. pin-tu: terlafalkan pendek; u terlafalkan panjang. jum-pa: terlafalkan pendek; a terlafalkan panjang. go-res: terlafalkan panjang; e terlafalkan
pendek, dsb.
Pelafalan vokal pendek dan panjang
dalam bahasa Pāli bisa diperbandingkan dengan
pendek dan panjangnya vokal di atas. Aksara Mati atau Konsonan
Aksara mati dalam bahasa Pāli berjumlah
33 buah, yaitu;
k kh g gh ṅ
c ch j jh ñ
ṭ ṭh ḍ ḍh ṇ
t th d dh n
p ph b bh m
y r l v s h ḷ ṁ Ada beberapa lambang dan pelafalan konsonan
Pāli yang kurang umum pemakaiannya dalam
bahasa Indonesia: · Konsonan: kh, gh, cb, jb, ṭb, ḍb, tb, db, pb,
dan bb, adalah suatu fonem, bernada
kasar. Pelafalannya dilakukan dengan
menyuarakan lambang konsonan pertama
yang sama dengan awal penyuaraannya
lambang dengan membuka pita suara
sedikit demi sedekit baru kemudian
dibuka lebar setelah vokal yang mengikuti
dilafalkan. · Konsonan yang bertanda titik bawah, yakni:
ṭ, ṭb, ḍ, ḍb, ṇ, dan ḷ ber-artikulasi daerah
depan lidah (daerah di antara tengah dan
ujung lidah). Cara pelafalannya, daerah
depan lidah (daerah antara tengah langit-
langit dan pangkal gigi atas). contoh: Pembunyian kata bahasa Jawa kuthuk (kuṭuk)
yang berarti anak ayam berbeda dengan kata
kutuk yang berarti serapah. · Konsonan t, tb, d, db, dan n kelimanya ber-
artikulasi di ujung lidah. Cara pelafalannya,
ujung lidah tersebut disentuhkan ke daerah
Asosiasi Dosen & Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Jurnal Agama Buddha dan Ilmu Pengetahuan
gigi depan.
contoh:
Pembunyian kata bahasa Jawa wedi yang
berarti takut berbeda dengan kata wedhi
(weḍi) yang berarti pasir. · Aksara ṅ dan ṁ, dilafalkan seperti ng; dan
ṅg dilafalkan ngg. contoh: saṅkhārā
dibaca: sang-khā-rā. sukhaṁ: dibaca su-
khang. aṅguttara dibaca: ang-gut-ta-ra. · Aksara ñ dilafalkan seperti ny; dan ññ
dilafalkan seperti nny. contoh:
ñāṇa dibaca nyā-ṇa. paññā dibaca: pan-
nyā. · Konsonan h yang terletak setelah
konsonan lain dilafalkan bersamaan
dengan konsonan tersebut.
contoh:
mayhaṁ dibaca may-(y)hang; tumhaṁ
dibaca tum-(m)hang, dsb. · Konsonan v dilafalkan seperti konsonan
w, bukan f. · Pada satu suku kata yang berkonsonan
akhir, aksara akhir tetap diusahakan
dilafalkan.
contoh:
buddhaṁ dibaca: bud-dhang, bukan bu-
dhang atau bū-dhang. Dhammaṁ dibaca:
dham-mang, bukan dha-mang atau dhā-
mang. Pembacaan syair
pembacaan wacana dalam bentuk syair
dilakukan dengan mengikuti perbaris hingga
kata yang ada di masing-masing baris terbaca
habis lalu dilanjutkan ke baris berikutnya. contoh: Na hi verena verāni s a m m a n t ī d h a
kudācanaṁ averena ca sammanti esa dhammo sanantano. setelah „Na hi verena verāni‟ dibaca, pembacaan
diteruskan ke baris yang sama, yakni
„sammantīdha kudācanaṁ. Bahasa Pāli dan Intonasi Pengucapan dalam bahasa Pāli dilakukan
49 dengan nada datar. Berbahasa Pāli adalah bahasa
bertekanan, yaitu tiap suku katanya mengandung
tekanan, tekanan ringan dan tekanan berat.
Tekanan ringan (lahu) terdapat pada suku kata
yang bervokal pendek (tanpa diikuti konsonan
akhir), contoh: sugatibhava. Sedangkan tekanan
berat (garu) terdapat pada suku kata yang bervokal
panjang atau berkonsonan akhir, contoh:
sammāsambuddho. Suku kata bertekanan ringan
dibacakan dengan tempo pendek, dengan cara
pembacaannya, begitu vokal dalam suku kata
bertekanan ringan tersebut dibacakan, sekedar
cukup dapat dikenali jenis vokal yang dibacakan,
segera mungkin pembaca beranjak menuju ke
pembacaan suku kata berikutnya, kalaupun suku
kata berikutnya itu adalah bagian dari kata
berikutnya. Suku kata bertekanan ringan yang
berada di akhir satu baris atau di tempat-tempat
yang rasanya perlu untuk berhenti bisa dilafalkan
dengan tekanan berat. Suku kata bertekanan berat
ada beberapa jenis, dibacakan dengan tempo
panjang, dengan masing-masing dibacakan dengan
cara sebagai berikut: a. Untuk suku kata yang terdapat vokal