MAKALAH TUGAS FILSAFATPERAN DOKTER HEWAN DALAM PENANGGULANGAN
RABIES
OLEH:
ii
Maria Margaretha (061424253001) Zafitri Nuryati W
(061424253008)Yudik Rizky R.(061424253002) Candra Dwi Atma
(061424253009)Ayang Mahendra(061424253003) Diastutik Agustina
(061424253010)Qabilah Cita K. N. S (061424253004) Tika Fitria W
(061424253011) Uun Pramesti(061424253005) Febrina Dian P
(061424253012) Andika Indra K(061424253006) Santi Vidya L
(061424253013) Nindita Lestyana P(061424253007) Yuanistia Shally
(061424253014)
PROGRAM MAGISTERILMU PENYAKIT DAN KESEHATAN MASYARAKAT
VETERINERFAKULTAS KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS
AIRLANGGASURABAYA2015DAFTAR ISIHalamanHALAMAN JUDULiDAFTAR ISI
iiBAB I PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang1 1.2 Rumusan Masalah 3 1.3
Tujuan 3 1.4 Manfaat 3
BAB IITINJAUAN PUSTAKA42.1Rabies 42.2Peraturan Perundangan
tentang Penyakit Rabies 42.3Kewenangan di Beberapa Pihak yang
Berwenang 82.3.1 Dokter Hewan dan Lembaga Otoritas Veteriner
82.3.2. Karantina 102.3.3. Direktorat Jendral Peternakan dan
Kesehatan Hewan 12
BAB III PEMBAHASAN KASUS 15
BAB IVPENUTUP224.1Kesimpulan.224.2.Saran 22DAFTAR PUSTAKA .24BAB
IPENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangDi Indonesia Rabies pertama kali dilaporkan
pada kerbau oleh Esser (1884), kemudian oleh Penning pada anjing
(1889) dan oleh E.V. De Haan pada manusia (1894), selanjutnya
selama pendudukan Jepang situasi daerah tertular Rabies tidak
diketahui dengan pasti, namun setelah Perang Dunia II peta Rabies
di Indonesia berubah. Secara kronologis tahun kejadian penyakit
Rabies mulai di Jawa Barat (1948), Sumatera Barat, Jawa Tengah dan
Jawa Timur (1953), Sumatera Utara (1956), Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara (1958), Sumatera Selatan (1959), D.I. Aceh (1970),
Jambi dan Yogyakarta (1971), Bengkulu, DKI Jakarta dan Sulawesi
Tenggara (1972), Kalimantan Timur (1974), Riau (1975), Kalimantan
Tengah (1978), Kalimantan Selatan (1983) dan P. Flores (1997). Pada
akhir tahun 1997, KLB (Kejadian Luar Biasa) Rabies muncul di Kab.
Flores Timur-NTT sebagai akibat pemasukan secara ilegal anjing dari
pulau Buton- Sulawesi Tenggara yang merupakan daerah endemik
Rabies. Sampai dengan saat ini selain beberapa provinsi di kawasan
Timur Indonesia yang tersebut diatas pulau pulau kecil di
sekeliling Pulau Sumatera masih dinyatakan bebas Rabies. (Evalina,
2010)Daerah bebas Rabies adalah daerah yang secara historis tidak
pernah ditemukan penyakit Rabies dan daerah yang pernah tertular
Rabies tetapi dalam 2 (dua) tahun terakhir tidak ada kasus secara
klinis dan epidemiologis dan dikonfirmasikan secara laboratoris
(Hastari, 2014). Sampai saat ini daerah tertular Rabies terdapat di
24 provinsi dari 33 provinsi di Indonesia dan hanya terdapat 9
provinsi yang masih dinyatakan sebagai daerah bebas Rabies yaitu
sebagai berikut: Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Jawa Tengah, NTB, Jawa Timur, Papua Barat dan Papua.
Provinsi Banten dinyatakan daerah baru tertular Rabies, setelah
terjadi kasus luar biasa (KLB) di Kabupaten Lebak pada tahun 2008.
Provinsi Bali merupakan daerah yang sebelumnya tidak pernah terjadi
kasus Rabies yang secara historis dinyatakan bebas Rabies, tetapi
pada bulan September tahun 2008 terjadi KLB Rabies pada beberapa
kabupaten di Bali (Pazra, 2014).Pada daerah tertular Rabies peran
stake holder lebih besar. Vaksinasi massal merupakan hal yang harus
dilakukan oleh dinas terkait terhadap anjing maupun Hewan Penular
Rabies (HPR) lain. Harmonisasi lalu lintas hewan diperketat sesuai
dengan aturan yang sudah ada, yaitu pada daerah yang terjangkit
Rabies, hewan pembawa Rabies dilarang dibawa keluar ke daerah yang
bebas. Peran aktif masyarakat dalam pengamatan dan pengendalian
penyakit Rabies juga wajib dilakukan. Masyarakat diharapkan
mempunyai kesadaran untuk segera melaporkan adanya kasus Rabies
maupun kasus gigian anjing pada manusia kepada pihak-pihak
terkait.
1.2. Rumusan MasalahAtas dasar latar belakang tersebut maka
timbul permasalahan yaitu :1. Apa itu rabies?2. Bagaimana penyakit
Rabies di Indonesia?3. Bagaimana pandangan kasus Rabies pada suatu
daerah bebas Rabies ?
1.3. Tujuan1. Mengetahui penyakit Rabies.2. Mengetahui penyakit
rabies di Indonesia.3. Menjelaskan pandangan kasus Rabies pada
suatu daerah bebas Rabies.
1.4. ManfaatPenulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai penyakit Rabies di Indonesia serta memberikan
informasi bagaimana prosedur penanganan kasus Rabies jika terjadi
pada suatu daerah bebas Rabies.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. RabiesRabies (penyakit anjing gila) adalah penyakit hewan
yang dapat menular ke manusia (bersifat zoonosis) (WHO, 2010).
Rabies disebabkan oleh virus Rabies dari genus Lyssavirus, famili
Rhabdoviridae (Jallet et al., 1999). Virus Rabies di keluarkan
bersama air liur hewan terinfeksi dan ditularkan melalui luka
gigitan atau jilatan. Rabies sangat penting artinya bagi kesehatan
masyarakat, karena apabila penyakit tersebut menyerang manusia dan
tidak sempat mendapat perawatan medis akan mengakibatkan kematian
dengan gejala klinis yang mengharukan dan bersifat fatal (Adjid, et
al., 2005).
2.2 Peraturan Perundangan tentang Penyakit RabiesPeraturan
perundangan yang menjadi landasan program pemberantasan Rabies
antara lain:a) Undang-undang Nomor 18 tahun 2009 tentang Peternakan
dan Kesehatan Hewan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5015);b) Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Wabah Penyakit
Menular. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3273);c)
Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3482);d) Undang-undang Nomor 16
tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3495);e) Undang-undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3482);f) Undang-undang Nomor 24 tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4723);g) Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahun 1973 tentang Pembuatan
Persediaan, Peredaran dan pemakaian Vaksin, Sera dan Bahan-bahan
Diagnostika Biologis Untuk Hewan. (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1973 Nomor 23);h) Peraturan Pemerintah Nomor 15
tahun 1977 tentang Pembuatan Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan
dan Pengobatan Penyakit Hewan. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3101);i) Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 1983 tentang
Kesehatan Masyarakat Veteriner. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3253);j) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular. (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3447);k) Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 1992
tentang Obat Hewan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3509);l) Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang
Pembagaian urusan Pemerintahan Anatar pemritahana Daerah provinsi
dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);m) Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2000
tentang Karantina Hewan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4002);n) Keputusan Bersama Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
Menteri Pertanian Republik Indonesia dan Menteri Dalam Negeri
Republik Indonesia Nomor 279A/Men.Kes/SK/VIII/1978, Nomor
522/Kpts/UM/8/78 Nomor 143 Tahun 1978 tentang Peningkatan,
Pemberantasan dan Penanggulangan Rabies.o) Keputusan Menteri
Pertanian Republik Indonesia, Nomor 487/Kpts/UM/6/1981 tentang
Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan Menular.p)
Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia, Nomor
363/Kpts/UM/5/1982 tentang Pedoman Khusus Pencegahan dan
Pemberantasan Rabies.q) Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik
Indonesia, Nomor 1096/Kpts/TN.120/10/1999 tentang Pemasukan Anjing,
Kucing, Kera dan hewan Sebangsanya ke wilayah/Daerah Bebas Rabies
di Indonesia.r) Intruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia,
Nomor 32 Tahun 1982 tentang Koordinasi Bagi Pencegahan,
Pemberantasan dan penanggulangan Rabies di Daerah.s) Intruksi
Panglima ABRI Nomor ST/292/1993 tanggal 6 Oktober Tahun 1993
tentang peran serta ABRI Dalam Program pemberantasan Rabies.t)
Intruksi Panglima ABRI Nomor ST/26/1994 tanggal 12 Februari Tahun
1994 tentang Tindak Lanjut ABRI dalam Mendukung keberhasilan
Program Pemberantasan Rabies Di Seluruh Indonesia.u) Surat
Keputusan Bersama 3 Direktur Jenderal tahun 1989 (SK.Dirjen PUOD
no.443.4-531, Dirjennak No 24. Dirjen PPM dan PLP No.
Agno.366.I/PD.03.04) tentang Pelaksanaan Kegiatan Pembebesan Rabies
di Pulau Jawa dan Kalimantan, diperbahurui pada tahu 1993 untuk
perpanjangan kegiatan pembeebasan Rabies Se-Pulau Jawa dan
Kalimanatan sekaligus Pembebasan Pulau Sumatera dan Sulawesi
kemudian diperbahurui lagi dengan Surat Keputusan Bersama 3
Direktur Jenderal tahun 1999 (Dirjen PPM dan PLP
No.KS.00-01-1.1554, Direjennak No 999, Dirjen POUD No 443.2-270)
tentang Pelaksanaan Kegiatan Pembebesan dan Mempertahankan Daerah
Bebas Rabies DI Wilayah Republik Indonesia.v) Surat Keputusan
Direktur Jenderal Peternakan Nomor 59/Kpts/PD.610/05/2007 tahun
2007 tentang Jenis-Jenis Penyakit Hewan Menular yang mendapat
Prioritas Pengendalian dan atau Pemberantasannya.w) Surat Keputusan
Direktur Jenderal Produksi Peternakan Nomor
95/TN.120/Kpts/DJP/DEPTAN tahun 2000 tentang Pedoman Teknis
Pemasukan Anjing, Kucing Kera dan Hewan sebangsanya dari Negara,
Wilayah/Daerah tidak bebas Rabies ke Wilayah Wilayah/Daerah bebas
Rabies.
2.3 Kewenangan di Beberapa Pihak yang Berwenang2.3.1 Dokter
Hewan dan Lembaga Otoritas VeterinerDokter hewan bertanggung jawab
terhadap seluruh penyelenggaraan kesehatan hewan di wilayah
kerjanya atau di negaranya, atau bahkan di wilayah yang lebih luas
baik regional maupun internasional. Penyelenggaraan kesehatan hewan
yang terkait dengan administrasi pemerintah menjadi tanggung jawab
dari kelembagaan kesehatan hewan atau kelembagaan veteriner di
tingkat nasional (OIE, 2012)Menurut UU No 18 Tahun 2009, dokter
hewan adalah orang yang memiliki profesi di bidang kedokteran
hewan, sertifikat kompetensi, dan kewenangan medik veteriner dalam
melaksanakan pelayanan kesehatan hewan. Sedangkan Otoritas
veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang
dibentuk Pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi yang
bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan
dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi
mulai dari mengindentifikasikan masalah, menentukan kebijakan,
mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan
teknis operasional di lapangan.Kelembagaan pemerintah dalam
otoritas veteriner di Indonesia dalam hal ini adalah Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian.
Lembaga Otoritas Veteriner merupakan salah satu upaya untuk
menjembatani ketatnya penyampaian informasi veteriner pada
masyarakat. Bahkan, lembaga ini pula yang bertugas menentukan
penetapan wabah penyakit hewan menular serta pengambil kebijakan
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan menular. Selain itu,
badan inilah yang berperan mengatur masuk dan keluarnya hewan dan
produk hewan lintas daerah maupun lintas negara yang
diselenggarakan oleh dinas peternakan provinsi/kota/kabupaten
setempat (Prastowo Joko, 2013).Suatu negara dikatakan bebas Rabies
apabila telah dinyatakan bebas Rabies oleh pemerintah negara yang
bersangkutan sesuai dgn ketentuan Office International des
Epizooties (OIE). Sedangkan wilayah / daerah bebas Rabies di
Indonesia merupakan suatu area tertentu baik yg bersifat
administratif / pulau / gugusan pulau yg telah dinyatakan bebas
Rabies oleh Menteri Pertanian. Namun, berdasarkan UU No 18 Tahun
2009, bahwasanya otoritas veteriner dalam hal ini menteri pertanian
dalam pengambilan keputusan tertinggi yang bersangkutan dengan
kesehatan hewan haruslah melibatkan kewenangan dokter hewan. Dokter
hewan yang memiliki fungsi dan kewenangan terhadap kesehatan hewan
ikut berperan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit
Rabies, utamanya dalam hal ini adalah fungsi diagnosa terhadap
suatu hewan dapat dinyatakan positif atau negatif Rabies. Sehingga,
peran lembaga otoritas veteriner dan dokter hewan saling terkait
dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
2.3.2. KarantinaKarantina adalah tempat pengasingan dan atau
tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan
penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu
area ke area lain di dalam negeri atau keluarnya dari suatu wilayah
negara Republik Indonesia.Karantina sebagai tempat pengasingan
meliputi pelabuhan laut, sungai dan pelabuhan penyeberangan, bandar
udara, kantor pos, pos perbatasan dengan negara lain, serta
tempat-tempat lain yang dianggap perlu yang ditetapkan sebagai
tempat untuk memasukkan dan atau mengeluarkan media pembawa hama
dan penyakit hewan karantina (HPHK). Media pembawa HPHK dapat
berupa hewan, bahan asal hewan, hasil bahan asal hewan, benda lain
selain ketiganya yang berpotensi menyebarkan penyakit seperti
vaksin, antigen, pakan ternak, dan lain-lain, serta media pembawa
lain berupa hasil ikutan, kotoran dan sisa pakan.Sesuai dengan UU
No. 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan
menyatakan bahwa tujuan karantina meliputi hal-hal sebagai berikut
:a. Mencegah masuknya hama penyakit hewan karantina (HPHK), hama
penyakit ikan karantina (HPIK), dan organisme pengganggu tanaman
karantina (OPTK) dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik
Indonesia.b. Mencegah tersebarnya HPHK, HPIK, OPTK dari suatu area
ke area lain di dalam wilayah negara Republik Indonesia.c. Mencegah
keluarnya HPHK dari wilayah negara Republik Indonesia.d. Mencegah
keluarnya HPIK dan OPTK tertentu dari wilayah negara Republik
Indonesia apabila negara tujuan menghendakinya.
Dari tujuan karantina tersebut yang berhubungan dengan salah
satu kewenangan dokter hewan adalah dalam bidang public health,
yaitu penelitian dan pencegahan penyebaran dan penanggulangan
penyakit penyakit yang bersifat zoonosis pada hewan maupun ternak.
Dokter hewan sebagai salah satu petugas karantina memiliki wewenang
untuk menindak setiap media pembawa HPHK yang dimasukkan, dibawa,
atau dikirimkan dari suatu area ke area lain di dalam dan /atau
dikeluarkan dari wilayah negara Republik Indonesia. Tindakan
karantina yang dilakukan oleh petugas karantina berupa :
pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan,
penolakan, pemusnahan, dan pembebasan.
2.3.4. Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan HewanProgram
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan dalam
Pengendalian dan Penanggulangan Penyakit Hewan Menular Strategis
dan Penyakit Zoonosis terutama penyakit Rabies, yaitu:a) Penyediaan
VaksinDigunakan untuk pengadaan vaksin rabies di masing-masing
daerah yang mendapatkan dana.b) Operasional VaksinasiDigunakan
untuk operasional pelaksanaan petugas pada saat melakukan vaksinasi
di lapangan sesuai dengan standar upah yang tertuang dan Petunjuk
Operasional Kegiatan (POK). Petugas dimaksudkan adalah petugas yang
berwenang melakukan kegiatan vaksinasi (dokter hewan, paramedik
veteriner dan kader vaksinator) yang ditetapkan oleh pejabat
berwenang di daerah tersebut dibawah kordinasi PUSKESWAN
setempat.c) Kontrol populasi HPRAdalah kegiatan yang dilaksanakan
dalam penanggulangan dan pengendalian penyakit Rabies yang
bertujuan untuk menjaga populasi Hewan Penular Rabies (HPR) dengan
pelaksanaan kegiatan penangkapan, observasi, eutanasi/ eliminasi/
pendepopulasi Hewan Penular Rabies. Petugas yang berhak
melaksanakan adalah petugas yang telah ditetapkan (dokter hewan dan
paramedic veteriner dibawah penyeliaan dokter hewan) oleh pejabat
yang berwenang di daerah tersebut.d) KoordinasiDigunakan untuk
melakukan rapat koordinasi dalam rangka pengendalian dan
pemberantasan Rabies, yang bertujuan menentukan kebijakan dalm
penanganan penyakit Rabies baik dan Pusat ataupun antar Pemprov dan
Pemkab.e) Monitoring dan EvaluasiDigunakan untuk pelaksanaan
monitoring dan evaluasi mulai dari perencanaan sampai dengan
pelaporan kegiatan pengendalian dan pemberantasan penyakit rabies
serta melakukan surveilans pasif dan surveilans aktif bersama
BBVet/BPPV.f) PelaporanDigunakan untuk pembuatan dan pengiriman
laporan rencan maupun hasil pelaksanaan kegiatan pengendalian dan
penanggulangan rabies (mengacu system pelaporan penyakit rabies
pada program SIKHNAS).g) Kegiatan PusatDigunakan untuk kegiatan
Pertemuan Tim Koordinasi (TIKOR) Rabies Pusat, penyediaan vaksin
dan bahan pengendali HPR stok pusat dan Monitoring dan Evaluasi
Pengendalian Rabies.
BAB IIIPEMBAHASAN KASUS
KASUSSeorang ilmuan atau dokter hewan menemukan kasus rabies di
suatu daerah bebas rabies. Temuan tersebut sudah dipublikasikan di
jurnal ilmiah dan media massa, tetapi ternyata otoritas setempat
memperkarakan yang bersangkutan ke pihak yang berwajib (kepolisian)
dengan tuduhan melanggar wewenang dan kode etik. Bagaimana secara
profesional Anda menyikapi masalah tersebut ditinjau dari aspek
prodi anda?
TANGGAPAN :Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3238/
Kpts/ PD.630/ 9/ 2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis hama
Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media
Pembawa, penyakit Rabies tergolong sebagai Hama Penyakit Hewan
Karantina Golongan II. Dalam kasus telah dipublikasikannya temuan
ilmiah seorang dokter hewan di jurnal ilmiah dan media massa
tentang kejadian kasus Rabies di daerah yang dinyatakan bebas
Rabies, seharusnya otoritas setempat dalam hal ini pemerintah
daerah tidak langsung serta merta memperkarakan yang bersangkutan
dengan tuduhan melanggar wewenang dan kode etik, walaupun tidak
bisa dibenarkan seutuhnya tindakan dokter hewan tersebut. Dilihat
dari sudut pandang filsafat ilmu, pemerintah daerah setempat
sebaiknya mencari kebenaran terlebih dahulu atas temuan dokter
hewan tersebut dengan cara melakukan analisa kebenaran terhadap
hasil temuan dokter hewan tersebut dengan didasari data/laporan
yang bersumber dari Sistem Informasi Manejemen Kesehatan Hewan
sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan selanjutnya.
Apabila pada akhirnya memang ditemukan Rabies maka tindakan yang
harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Dinas
Propinsi/Kota/Kabupaten yang membidangi fungsi kesehatan hewan dan
kesehatan masyarakat veteriner tersebut adalah sesuai dengan
Peraturan Menteri Pertanian No.51/Permentan/OT.140/10/2006 tentang
Pedoman Tata Hubungan Kerja Fungsional Pemeriksaaan, Pengamatan dan
Perlakuan Penyakit Hewan Karantina. Dalam hal ditemukan atau
terdapat petunjuk terjadinya serangan suatu hama dan penyakit hewan
karantina, hama dan penyakit ikan karantina, atau organisme
pengganggu tumbuhan karantina di suatu kawasan yang semula
diketahui bebas dari hama dan penyakit hewan karantina, hama dan
penyakit ikan karantina, atau organisme pengganggu tumbuhan
karantina tersebut, Pemerintah dapat menetapkan kawasan yang
bersangkutan untuk sementara waktu sebagai kawasan karantina.(
sesuai dengan Undang-undang No 16 Tahun 1992 tentang Karantina
Hewan. Ikan dan Tumbuhan dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2000
Tentang : Karantina Hewan )Berdasarkan PP nomor 47 Tahun 2014,
dokter hewan diatas telah melanggar pasal 12 tentang pemeriksaan
dan pengujian karena untuk menentukan status penyakit. Penelitian
harus dilakukan oleh laboratorium veteriner yang ditunjuk. Dan
sudah sewajibnya hasil penelitian tersebut dilaporkan kepada
otoritas setempat untuk ditetapkan sebagai kasus atau temuan
penyakit yang selanjutnya akan dilakukan kajian epidemiologi. Dari
beberapa aspek tinjauan menyatakan bahwa peneliti melakukan
kesalahan dengan mengabaikan kode etik penelitian. Jika ditinjau
dari tahap proses, peneliti telah melakukan kesalahan karena tidak
melakukan komunikasi dengan instansi setempat/daerah. Seharusnya
jika dilakukan penelitian di suatu daerah, maka peneliti wajib
mengirim surat izin penelitian (melampirkan proposal penelitian)
sebelum pelaksanaannya. Dan akan berkonsultasi secara bertahap
mulai dari awal hingga hasil akhir penelitian. Hasil dari
penelitian juga dilaporkan ke instansi terkait, untuk menjadi
rujukan data-data bagi penelitan-penelitian selanjutnya.Sebelum
tahap publikasi, hasil dari penelitian di bandingkan dengan data
yang ada sebelumnya. Agar bisa dicari penyebab infeksi jika hasil
yang di dapat ditemukan adanya infeksi. Selanjutnya bisa dilakukan
tahap pengendalian lebih lanjut. Publikasi hasil penelitian harus
mendapat izin dari instansi terkait, sehingga tidak timbul
permasalahan lain.Publikasi tanpa izin yang dilakukan akan
merugikan secara sosio-ekonomi dan tamparan bagi masyarakat/daerah.
Hal ini bisa menjadi hambatan untuk perkembangan potensi daerah.
Masyarakat akan mengalami kekhawatiran dengan informasi tersebut
karena sebelumnya tidak ada komunikasi dari pemerintah. Komunikasi
kepada masyarakat diperlukan untuk menghindari kesalahpahaman
dengan instansi, karena tidak mengetahui adanya
penelitian/pengambilan data di daerah tersebut.Publikasi suatu
penyakit terutama yang bersifat zoonosis di daerah yang bebas
seperti Rabies menyebabkan permasalahan yang dilematis jika semua
pihak antara otoritas veteriner dengan pemerintah tidak saling
kerjasama. Sistem Kesehatan Hewan Nasional (National animal health
system atau Veterinary services) memainkan peran penting dalam
mengendalikan penyakit hewan menular berbahaya yang bisa menular ke
manusia contohnya Rabies, salah satunya dengan cara melakukan
surveilans, deteksi dini dan respon cepat. Menurut OIE terrestrial
animal health code, prescribed test untuk penyakit Rabies adalah
dengan viral neutralization (VN) dan ELISA. Siskeswannas bukan
hanya meliputi institusi pemerintah resmi saja di pusat (dalam hal
ini Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan),dinas-dinas
terkait di daerah serta institusi karantina hewan dan jaringan
dibawahnya, akan tetapi juga semua pihak yang terlibat didalamnya
termasuk institusi penelitian, perguruan tinggi, dokter hewan
praktek, dokter hewan swasta, tenaga para-profesional veteriner,
organisasi profesi, organisasi komoditi, organisasi obat hewan dan
lain sebagainya. Semua komponen yang turut berperan dalam deteksi
dini dan respon cepat, bukan hanya dalam penanggulangan wabah
tetapi juga dalam pencegahan penyakit. Namun demikian, pemerintah
pusat dan pemerintah daerah memegang peranan dalam upaya tersebut,
terutama dalam penentuan kebijakan, perencanaan sampai kepada
pelaksanaan program pengendalian dan pemberantasan penyakit serta
program-program pendukung lainnya. Selain bertanggung jawab dalam
melakukan surveilans, deteksi dini dan respon cepat, pemerintah dan
pemerintah daerah juga memiliki mandat resmi dalam memberikan
sertifikat saniter (sanitary certificate) untuk hewan dan produk
hewan yang diperdagangkan.Pembangunan jejaring surveilans
epidemiologik penyakit hewan harus didasarkan pada kemitraan yang
erat antara pemerintah dan sektor swasta (public private
partnership) dan melibatkan produsen ternak/peternak, dokter hewan
swasta dan dokter pemerintah. Dalam programnya, pemerintah perlu
menjalankan komunikasi berkesinambungan dan sekaligus membina
sektor swasta, mengorganisasikannya dan melaksanakan
pelatihan-pelatihan sesuai bidang yang dibutuhkan mereka. Begitu
juga pemerintah perlu mengorganisasikan dan mendorong tersedianya
pelatihan-pelatihan bagi dokter hewan swasta serta menetapkan
wilayah yang menjadi cakupan pelayanan kesehatan hewannya.
Sedangkan bagi dokter hewan pemerintah harus tersedia peraturan
perundangan dan sumberdaya yang memadai untuk bisa melaksanakan
tugasnya secara efektif.Produsen ternak bertindak selaku sentinel
dalam pencegahan dan pengendalian penyakit hewan baru muncul dan
penyakit lama muncul kembali. Untuk menjamin terjadinya deteksi
dini, maka apabila produsen ternak benar-benar bersedia
melaksanakan tindakan kesehatan hewan yang diwajibkan sesuai
peraturan perundangan yang berlaku seperti misalnya pemusnahan
ternak (culling), produsen ternak tersebut harus mendapatkan uang
ganti rugi atau kompensasi yang layak lewat mekanisme yang
disepakati pemerintah dan swasta.Penyelenggaraan siskeswannas harus
diterapkan dengan tata pemerintahan yang baik, mengandung
pengertian nilai yang (1) berorientasi pada kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara; (2) keberdayaan masyarakat dan swasta; (3)
pemerintahan yang bekerja sesuai dengan hukum-positif negara; dan
(4) pemerintahan yang produktif, efektif, dan efisien. Sementara
tata pemerintahan (governance) disamping bermakna (1)
penyelenggaraan pemerintahan, juga bermakna (2) aktivitas
pemerintahan melalui pengaturan, fasilitasi, dan pelayanan
publik.Menurut pasal 3.1.2 bab 3.1 OIE Code, siskeswannas harus
mematuhi prinsip-prinsip berikut ini untuk memastikan
kualitaskegiatannya: (1) Penilaian profesional. Pelaksana
siskeswannas harus memiliki kualifikasi yang relevan, keahlian
ilmiah dan pengalaman yang memberikan mereka kemampuan untuk
membuat penilaian profesional berbobot. (2) Independen. Kepedulian
harus ditunjukkan untuk memastikan bahwa pelaksana siskeswannas
bebas dari tekanan-tekanan yang bersifat komersial, finansial,
hirarhikal, politik atau lainnya yang kemungkinan bisa mempengaruhi
penilaiannya atau keputusannya.(3) Tidak berpihak. Siskeswannas
tidak boleh berpihak (impartial). Seluruh pihak-pihak yang
dipengaruhi oleh kegiatannya memiliki hak untuk mengharapkan
pelayanan yang disampaikan dalam kondisi yang wajar dan tidak
diskriminatif. (4) Integritas. Siskeswannas harus menjamin bahwa
pekerjaan dari setiap pelaksananya konsisten memiliki tingkat
integritas yang tinggi. Setiap penyimpangan, korupsi atau palsu
harus diidentifikasi dan dikoreksi.(5) Obyektif. Siskeswannas harus
setiap saat bertindak obyektif, transparan dan tidak
diskriminatif.
Alur yang dilakukan jika ada kasus Rabies ataupun kasus zoonosis
lainnya, yaitu:1. Hasil riset, seperti hasil laboratorium atau
bukti fisik lainnya dikumpulkan.2. Penyerahan bukti-bukti adanya
kasus Rabies di suatu tempat kepada Dinas Peternakan Setempat.3.
Dinas Peternakan melakukan kebijakan-kebijakan khusus terkait bukti
adanya kasus Rabies.
BAB IVPENUTUP3.1. KesimpulanRabies adalah penyakit infeksi
tingkat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus
Rabies. Penyakit ini bersifat zoonotik, yaitu dapat ditularkan dari
hewan ke manusia. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
3238/ Kpts/ PD.630/ 9/ 2009 tentang Penggolongan Jenis-Jenis hama
Penyakit Hewan Karantina, Penggolongan dan Klasifikasi Media
Pembawa, penyakit Rabies tergolong sebagai Hama Penyakit Hewan
Karantina Golongan II. Berdasarkan PP nomor 47 Tahun 2014, dokter
hewan telah melanggar pasal 12 tentang pemeriksaan dan pengujian
karena untuk menentukan status penyakit. Siskeswannas harus
mematuhi prinsip-prinsip berikut ini untuk memastikan
kualitaskegiatannya, yaitu: Penilaian professional, Independen,
Tidak berpihak, Integritas, dan Obyektif. 3.2. Saran1. Diperlukan
adanya kerjasama dari semua pihak dalam penanggulangan dan
penetapan status penyakit Rabies.2. Diperlukan adanya penegakkan
kode etik profesi dokter hewan, baik secara organisasi ataupun
penyelenggara pengawasan kode etik beserta sanksi bagi yang
melanggar.3. Peraturan perundang-undangan harus ditegakkan
sebagaimana mestinya, dan perlu ditinjau kembali jika sudah tidak
relevan lagi dengan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Adjid.R.M.A., A.Sarosa, T.Syapriati, dan Yuningsih. 2005.
Penyakit Rabies di Indonesia dan Pengembangan Teknik Diagnosisnya.
Wartazoa. 15(4 ) : 165-172 Direktorat Kesehatan Hewan. 2006.
Pedoman Pengendalian Rabies Terpadu. Departemen Pertanian,
Direktorat Jenderal Peternakan, Direktorat Kesehatan Hewan.
Ernawati. 2013. Simulasi Rabies di Daerah Bebas. Direktorat
Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementrian Pertanian.
Evalina. 2010. [Thesis] Karateristik Tersangka Penderita Rabies
Di Puskesmas Pancur Batu Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli
Serdang Tahun 2007. Departemen Epidemologi. Fakultas Kesehatan
Masyarat. Universitas Sumatera Utara.
Hiswani. 2003. Pencegahan dan Pemberantasan Rabies. USU digital
library.
Jallet C, Y. Jacob, C.Bahloul, A. Drings, E. Desmezieres, N.
Tordo and P. Perrin. 1999. Chimeric Lyssavirus Glycoprotein with
Increased Immunological Potential. Journal of Virology. 73(1),
Jan1999 : 225-233.
Metlin A., L.Paulin, S.Suomalainen, E.Neuvonen, S.Rybakov,
V.Mikhalishin and A.Huovilainen. 2007. Characterization of Russian
Rabies Virus Vaccine Strain RV-97. Short Communication. Article in
Press.
Naipospos T. 2012. Pengendalian penyakit Hewan dan Zoonosis:
Perlu Tata Pemerintahan Yang Baik.
Http://tatavetblog.blogspot.com/2012/05/pengendalian-penyakit-hewan-perlu-tata.html.
OIE. 2011. Terrestrial Animal Health Code Vol. 1.
OIE. 2012. PVS Pathway. OIE recommendations on the Competencies
of graduating veterinarians (Day 1 graduates) to assure
high-quality of National Veterinary Services.
http://plaza.umin.ac.jp/~vetedu/pages/files/OIE%20Recommendations%20on%20the%20Competencies%20of%20graduating%20veterinarians.pdf.
Steele, JH; Fernandez, J (1991), "History of Rabies and Global
Aspects", in Baer, GM, The Natural History of Rabies (ed. 2), Boca
Raton, Florida: CRC Press, Inc., hlm. 1, ISBN 0849367603.
Tepsumethanon V., H.Wilde, dan V. Sitprija. 2008. Ten-day
Observation of Live Rabies Suspected Dogs. Dev. Biol. Basel,
Kanger. 131 : 543-546.
Transfuzion aabb.org. 2009. Rhabdo Virus (Virus Rabies).
Appendix2 Transfuzion. 49:146s-147s.
Triakoso B., 2007. Pencegahan dan Pengendalian Rabies. Penerbit
Kanisius.
UGM. 2009. Asosiasi FKH Indonesia Desak Adanya Posisi Wakil
Menteri Otoritas
Veteriner.Http://ugm.ac.id/id/berita/826-asosiasi.fkh.indonesia.desak.adanya.posisi.wakil.menteri.otoritas.veteriner.
Warrell M.J.2009. Rabies and Other Lyssa virus Infection. Dalam
Principle & Practice of Clinical Virology. Sixth edition.
Editor. Zuckerman A.J.,choub, P.Mostimer. 777-800.
Wilde H.,2009. Rabies Vaccines.Travelers Vaccines State of the
Art. Chapter 9: 215 236.
WHO. 2010. http://www.who.int/immunization/topics/Rabies/en/
10