Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Pemberhentian Presiden di Indonesia Oleh: Catur Alfath Satriya dan Fitra Arsil Fakultas Hukum Universitas Indonesia Email: [email protected]Abstrak Sebagai kamar kedua, DPD seharusnya memiliki peran yang fundamental dalam proses demokrasi yang ada di Indonesia. Lahir dari semangat reformasi, DPD seharusnya mampu menyuarakan aspirasi daerah di tingkat pusat. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan desain kelembagaan DPD di dalam UUD 1945 yang tidak mencerminkan hal tersebut. Hal ini terlihat dari kewenangan yang dimiliki DPD hanya bersifat subordinatif terhadap DPR. Permasalahan ketimpangan kewenangan tersebut tidak hanya terjadi dalam legislasi dan pengawasan, namun juga terhadap keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden. Di dalam penelitian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden di dalam UUD 1945 Role of Regional Representatives Council in the Presidential Impeachment Process in Indonesia Abstract As a second chamber, DPD should have fundamental role in the democratic process in Indonesia. Born from spirit of reform, DPD should be able to voice the aspirations, as a regional representation, at the center level. However, it is contrary due to the institutional design of DPD in the 1945 Constitution that does not reflect it. Based on the authority of DPD in 1945 Constitution, DPD is merely subordinate to DPR. The Problem is not only in legislation and supervision authority, but also in the involvement of DPD in the process of presidential impeachment. In this study, the author will explain how the involvement of DPD in the process of presidential impeachment in 1945 Constitution. Keywords: DPD, impeachment, 1945 Constitution Pendahuluan Amandemen UUD 1945 memberikan warna baru dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Munculnya lembaga negara baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) memberikan perubahan yang Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
17
Embed
Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Pemberhentian ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Peran Dewan Perwakilan Daerah dalam Proses Pemberhentian Presiden di Indonesia
Sebagai kamar kedua, DPD seharusnya memiliki peran yang fundamental dalam proses demokrasi yang ada di Indonesia. Lahir dari semangat reformasi, DPD seharusnya mampu menyuarakan aspirasi daerah di tingkat pusat. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan desain kelembagaan DPD di dalam UUD 1945 yang tidak mencerminkan hal tersebut. Hal ini terlihat dari kewenangan yang dimiliki DPD hanya bersifat subordinatif terhadap DPR. Permasalahan ketimpangan kewenangan tersebut tidak hanya terjadi dalam legislasi dan pengawasan, namun juga terhadap keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden. Di dalam penelitian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana keterlibatan DPD dalam proses pemberhentian Presiden di dalam UUD 1945
Role of Regional Representatives Council in the Presidential Impeachment Process in Indonesia
Abstract As a second chamber, DPD should have fundamental role in the democratic process in Indonesia. Born
from spirit of reform, DPD should be able to voice the aspirations, as a regional representation, at the center level. However, it is contrary due to the institutional design of DPD in the 1945 Constitution that does not reflect it. Based on the authority of DPD in 1945 Constitution, DPD is merely subordinate to DPR. The Problem is not only in legislation and supervision authority, but also in the involvement of DPD in the process of presidential impeachment. In this study, the author will explain how the involvement of DPD in the process of presidential impeachment in 1945 Constitution.
Keywords: DPD, impeachment, 1945 Constitution
Pendahuluan
Amandemen UUD 1945 memberikan warna baru dalam struktur ketatanegaraan Republik
Indonesia. Munculnya lembaga negara baru seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) memberikan perubahan yang
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
fundamental dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia. Ada lima poin besar yang perlu
menjadi perhatian dari hasil amandemen UUD 1945. Pertama, adanya pergeseran kekuasaan
legislatif dari tangan Presiden ke DPR. Kedua, diadopsinya sistem pengujian konstitusional
(judicial review) suatu undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah
Konstitusi. Ketiga, MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara namun hanya sebagai
lembaga tinggi negara yang sederajat dengan lembaga tinggi negara yang lain. Keempat, MPR
tidak lagi menjadi lembaga pengejawantahan kedaulatan rakyat. Kelima, hubungan antar
lembaga tinggi negara bersifat saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks
and balances.1
Salah satu lembaga yang diharapkan dapat memperkuat prinsip checks and balances
adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPD sebagai lembaga yang diciptakan dari semangat
reformasi diharapkan dapat membuka ruang aspirasi daerah dalam pengambilan keputusan
politik di tingkat pusat. Munculnya DPD sebagai lembaga tersendiri merupakan bentuk
institusionalisasi utusan daerah yang merupakan salah satu kelompok di dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ada 5 alasan mengapa DPD perlu dibentuk. Pertama,
memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI dan memperteguh persatuan kebangsaan
seluruh daerah. Kedua, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi kepentingan daerah
dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan pusat dan daerah. Ketiga, meningkatkan
percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.
Keempat, mekanisme kontrol dan keseimbangan antar cabang kekuasaan negara dalam dalam
lembaga legislatif itu sendiri. Kelima, menjamin dan menampung perwakilan daerah yang
memadai untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentinangan daerah dalam lembaga legislatif.2
Namun, kehadiran DPD sebagai lembaga yang mempunyai legitimasi yang tinggi karena
dipilih langsung oleh rakyat tidak sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. DPD tidak
memiliki kewenangan yang powerful apabila dibandingkan dengan DPR. Padahal, sebagai kamar
kedua seharusnya DPD memiliki kewenangan untuk melakukan second review terhadap tindakan
yang dilakukan oleh DPR. Secara teoritis, DPD seharusnya berfungsi sebagai kamar
1 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. 4, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 291-
292 2 Efriza dan Syafuan Rozi, Parlemen Indonesia Geliat Volksraad hingga DPD: Menembus Lorong Waktu
Doeloe, Kini, dan Nanti, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 252
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
penyeimbang sehingga dapat mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh kamar lain. House
mewakili rakyat kebanyakan sedangkan senate mewakili orang yang lebih mapan sebagai
pelaksanan checks and balances terhadap tekanan yang mungkin muncul dari opini publik.3
Permasalahan eksistensi dan peran DPD tidak hanya terdapat di dalam fungsi legislasi dan
pengawasan namun juga terdapat di komposisi antara DPR dan DPD di dalam MPR yang akan
sangat berkaitan dengan proses pemberhentian Presiden ditengah masa jabatan atau yang lebih
dikenal dengan istilah pemakzulan Presiden. Adanya ketidakseimbangan jumlah anggota DPD di
dalam MPR membuat ketidakseimbangan peran DPD dalam proses pemberhentian Presiden. 4
Tinjauan teoritis
Teori Pemberhentian Presiden
Istilah pemberhentian Presiden secara terminologi mempunyai banyak arti dan
klasifikasi. Harun Alrasyid mengungkapkan bahwa pemberhentian Presiden merupakan salah
satu dari syarat pergantian Presiden. Harun Alrasyid berpendapat bahwa terdapat 3 unsur dalam
pergantian Presiden yaitu: (1). Presiden berhenti tetap; (2). Presiden berhenti di tengah masa
jabatannya; dan (3). Pejabat pengganti Presiden menjabat selama sisa masa jabatan Presiden
yang digantikan.5 Menurut Harun Alrasyid pergantian jabatan Presiden dapat terjadi dengan 4
syarat, yaitu: (1) Meninggal dunia; (2) Mengundurkan diri (berhenti); (3) Dilepaskan dari
jabatannya (diberhentikan); (4) Menderita gangguan kesehatan.6 Dalam hal ini, Harun Alrasyid
membedakan antara berhenti dengan diberhentikan. Menurut Harun Alrasyid yang membedakan
berhenti dengan diberhentikan adalah faktor pendorongnya. Berhenti faktor pendorong lebih
dominan berasal dari diri sang Presiden. Sedangkan, diberhentikan faktor pendorong lebih
3 Aunur Rofiq, Peran & Kewenangan DPD Koran Sindo, (23 Maret 2016), dapat diakses di http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2016-03-23 (diakses pada tanggal 9 Juni 2016 pukul 08.00 WIB)
4 Dewan Perwakilan Daerah, Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Dewan Perwakilan Daerah, 2006), hal. 67-68
5 Fajri Nursyamsi, Pergantian Presiden Republik Indonesia Dengan Dasar “Tidak Dapat Melakukan Kewajibannya” dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, (Tesis Magister, Jakarta, 2016), hal. 26 6 Ibid., hal. 43-‐44
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
dominan berasal dari pihak luar diri Presiden.7 Sementara itu, Jimly Asshiddiqie berpendapat
bahwa syarat berhenti dapat diartikan sebagai pengunduran diri secara sepihak dan juga dapat
diartikan sebagai diberhentikan.8
Selain itu, Hamdan Zoelva juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
pemberhentian Presiden adalah impeachment dalam arti sempit. Dia menggunakan istilah
Pemakzulan Presiden dibandingkan dengan pemberhentian Presiden dikarenakan istilah
pemberhentian Presiden lebih luas yang berarti bisa karena mengundurkan diri atau tidak dapat
lagi melaksanakan tugas dalam jabatannya. Hamdan Zoelva berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan impeachment adalah pengawasan legislatif yang luar biasa (an extraordinary legislative
check) baik terhadap eksekutif maupun yudikatif yang dapat berupa hukuman berhenti dari
jabatan sebagai tindakan politik akibat telah melakukan kesalahan berat terhadap negara.9 Di
dalam konteks sistem pemerintahan, penggunaan istilah impeachment dikaitkan dengan proses
pemberhentian Presiden di negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial. Hal ini
berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang menggunakan istilah mosi tidak percaya
atau vote of no confidence untuk memberhentikan kepala pemerintahannya.
Teori Sistem Bikameral
Secara umum, pembagian struktur parlemen di dunia dibagi menjadi dua yaitu unikameral
dan bikameral. Unikameral yaitu hanya mempunyai satu lembaga perwakilan sedangkan
bikameral yaitu mempunyai dua lembaga perwakilan. Menurut Fatmawati kriteria untuk
menetukan kamar dalam suatu parlemen adalah sebagai berikut: (1). Memiliki kewenangan
sesuai dengan fungsi dari parlemen; (2). Memiliki anggota tersendiri yang merupakan wakil dari
warga negara dengan kategori dan metode seleksi tertentu; (3). Memiliki struktur kelembagaan
tersendiri dan aturan-aturan tersendiri tentang prosedur dalam lembaga tersebut.10 Selain itu,
Arend Lijphart membuat 4 kategori struktur kamar yang terdiri dari: (1) Strong bicameralism;
(2) Medium-strenght bicameralism; (3) Weak bicameralism; dan (4) Unicameral legislatures.
7 Ibid., hal. 81-‐82 8 Ibid., hal. 43-‐44 9 Kamarudin, Struktur Wewenang Pemberhentian Presiden dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Disertasi Doktor, Makasar), hal. 47-‐48 10 Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral, (Disertasi doctor Universitas Indonesia, Jakarta, 2009), hal. 51
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Terdapat 3 ciri dari sistem bikameral yang menjelaskan apakah bikameralisme kuat atau
bikameralisme lemah, yaitu: 11
a. Kekuatan kedua kamar berdasarkan kewenangan formal yang diatur di dalam Undang-
Undang Dasar, dalam hal ini kamar kedua (second chambers) cenderung subordinat
terhadap kamar pertama (first chambers)
b. Kepentingan politik yang sesungguhnya dari kamar kedua (second chambers) tidak hanya
tergantung dari kewenangan formal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar tetapi juga
metode seleksinya. Dalam hal kewenangan formal dan legitimasi demokrasi, sistem
bikameral dapa dibagi menjadi 2 yaitu simetris dan asimetris bikameral. Kamar yang
simetris adalah kamar dengan kekuatan konstitusional yang setara dan memiliki
legitimasi demokrasi, sedangkan kamar yang asimetris adalah kamar yang tidak setara
dalam hal kewenangan formal dan legitimasi demokrasi.
c. Perbedaan lainnya terletak pada komposisi anggota yang mana kamar kedua (second
chambers) dapat dipilih dengan metode yang berbeda untuk memberikan tempat yang
lebih kepada minoritas tertentu. Jika demikian, maka kedua kamar tersebut berbeda
komposisinya dan disebut sebagai incongruent.
Dari penjelasan di atas, maka: (a) Strong bicameralism memiliki karakteristik simetris
dan incongruence; (b) Medium-strength bicameralism memiliki karakteristik tidak
adanya salah satu dari simetris dan incongruence; (c) Weak bicameralism memiliki
karakteristik asimetris dan congruent.
Menurut Tsebelis dan Money, terdapat dua karakteristik khusus dalam sistem
bikameral yaitu: 12 (a) Keanggotaan dari kedua kamar berdasarkan pada metode seleksi
dan kategori dari warga negara yang diwakili. Sebagian besar, majelis rendah dipilih
secara langsung oleh warga negara, sedangkan majelis tinggi dipilih melalui metode
seleksi atau perwakilan golongan; (b) Kewenangan formal kedua kamar yang tercermin
dalam mekanisme penyelesaian jika terjadi perbedaan.
11 Ibid., hal. 31-‐32 12 Ibid., hal. 39-‐40
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Metode Penelitian
Secara garis besar, penelitian yang dilakukan merupakan penelitian hukum normatif.
Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
mencakup: (1) Penelitian terhadap azas-azas hukum; (2) Penelitian terhadap sistematika hukum;
(3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; (4) Penelitian sejarah hukum; dan (5) Penelitian
perbandingan hukum.13 Pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau
data sekunder yang mencakup bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.14 Di dalam penelitian
ini penulis meneliti mengenai asas-asas hukum dengan pendekatan komparatif (comparative
approach). Dalam hal ini peneliti melakukan perbandingan proses pemberhentian Presiden di
Indonesia dengan di negara lain dengan menggunakan konstitusi sebagai acuannya. Negara yang
digunakan oleh peneliti sebagai pembanding adalah sebagian besar negara-negara di Amerika
Latin dan beberapa negara di Amerika tengah dan Afrika. Hal ini dikarenakan negara-negara di
Amerika Latin memiliki kesamaan dalam sistem pemerintahan yaitu sistem pemerintahan
presidensial. Dari sudut sifatnya, penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif. Hal
tersebut dikarenakan peneliti akan mencoba menggambarkan bagaimana peran DPD dalam
proses pemberhentian Presiden di Indonesia secara komperhensif. Apabila dilihat dari sudut
bentuknya, penelitian ini adalah penelitian evaluatif. Hal ini dikarenakan peneliti mencoba
memberikan penilaian apakah selama ini pengaturan mengenai impeachment di Indonesia sudah
ideal dengan teori-teori hukum yang berkembang saat ini. Dilihat dari sudut penerapannya,
penelitian yang dilakukan adalah penelitian murni. Hal ini dikarenakan tujuan dari penelitian ini
adalah untuk pengembangan ilmu atau teori. Dilihat dari sudut ilmu yang dipergunakan,
penelitian yang dilakukan adalah penelitian mono disipliner yaitu hanya satu disiplin ilmu yang
digunakan yaitu ilmu hukum.15
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data sekunder, yaitu data
yang diperoleh dari kepustakaan yaitu buku, jurnal, skripsi, tesis, disertasi dan lain sebagainya
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3, (Jakarta: UI-‐Press, 2012), hal. 51 14 Ibid., hal. 52 15 Sri Mamuji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4-‐5
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
yang digunakan untuk mendukung penelitian ini.16Alat pengumpulan data yang digunakan oleh
peneliti dalam penelitian ini adalah dengan cara studi dokumen atau bahan pustaka. Dalam hal
ini, melalui bacaan yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti dan penelitian yang
pernah dilakukan di masa lampau. Selain itu, peneliti juga akan melakukan wawancara apabila
data yang diperoleh dari studi dokumen belum mencukupi.17
Metode analisis yang digunakan oleh peneliti adalah metode analisis kualitatif yaitu apa
yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan, dan
perilaku nyata dan yang diteliti adalah objek penelitian yang utuh.
Pembahasan dan Hasil Penelitian
Di dalam penelitian ini, penulis akan membandingkan bagaimana proses pemberhentian
Presiden di Indonesia dengan di negara lain dan lembaga apa saja yang berperan dalam proses
pemberhentian Presiden tersebut. Di dalam penelitian ini, ada lima kriteria negara yang dijadikan
dasar sebagai pembanding. Pertama, yaitu negara dengan sistem pemerintahan presidensial.
Kedua, negara dengan struktur parlemen bikameral. Ketiga, kamar kedua yang merupakan
keterwakilan daerah (regional representation). Keempat, bentuk negara yaitu federasi atau
kesatuan. Kelima, tipe bikameral simetris atau asimetris. Dalam penelitian ini, kategori simetris
dan asimetris yang digunakan berdasarkan teori dari Arend Ljiphart yang melihat simetris atau
asimetris sebuah kamar dilihat dari kewenangan formal dan legitimasi demokrasi antar 2 kamar.
Apabila kewenangan formal dan legitimasi demokrasi antar 2 kamar setara berarti bikameral
simetris. Namun, apabila kewenangan formal dan legitimasi demokrasi antar 2 kamar tidak
setara berarti bikameral asimetris. Berikut penjabaran negara yang penulis lakukan berdasarkan
tipe bikameral dan lembaga yang berperan dalam proses pemberhentian Presiden
16 Ibid., hal. 22 17 Ibid., hal. 6
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Tabel 4.1 Tipe bikameral dan lembaga yang berperan dalam proses pemberhentian
Presiden
No Nama negara (bentuk negara) Tipe bikameral Lembaga yang berperan
1. Amerika Serikat (federasi) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senate (SC), dan Ketua
Mahkamah Agung
2. Filipina (kesatuan) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senate (SC), dan Ketua
Mahkamah Agung
3. Argentina (federasi) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senates (SC), dan
Ketua Mahkamah Agung
4. Brazil (federasi) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC),
Federal Senate (SC), dan
Mahkamah Agung
5. Bolivia (kesatuan) Bikameral
Simetris
Jaksa Agung, Pluri-National
Legislative Assembly (JS),
dan Mahkamah Agung
6. Chili (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC)
dan Senate (SC)
7. Kolombia (kesatuan) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC), Senate (SC), dan
Mahkamah Agung
8. Republik Dominika (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC),
Senate (SC), dan Mahkamah
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Agung
9. Meksiko (federasi) Bikameral
Simetris
House of Representatives
(FC) dan Senate (SC)
10. Paraguay (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Deputies (FC)
dan Chamber of Senators
(SC)
11. Uruguay (kesatuan) Bikameral
Simetris
Chamber of Representatives
(FC) dan Chamber of
Senators (SC)
12. Afrika Selatan (kesatuan) Bikameral
Asimetris
National Assembly (FC)
13. Kenya (kesatuan) Bikameral
Asimetris
National Assembly (FC) dan
Senate (SC)
Ket: FC= first chamber, SC= second chamber, JS= Joint Session
Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa hampir setiap negara melibatkan kamar kedua
dalam proses pemberhentian Presiden. Di negara yang merupakan tipe bikameral simetris
menempatkan kamar kedua secara tersendiri dalam proses pemberhentian Presiden. Hanya
Bolivia yang menempatkan peran kamar keduanya dalam bentuk joint session dengan kamar
pertama dalam proses pemberhentian Presiden. Sementara itu, di negara yang merupakan tipe
bikameral asimetris ada yang menempatkan kamar keduanya sebagai pemutus dalam proses
pemberhentian Presiden yaitu Kenya namun ada juga yang tidak melibatkan kamar kedua dalam
proses pemberhentian Presiden seperti Afrika Selatan. Selain itu, berdasarkan bentuk negara,
negara yang bebentuk federasi selalu melibatkan kamar kedua dalam proses pemberhentian
Presiden yaitu dalam hal memutuskan apakah Presiden patut diberhentikan atau tidak. Sementara
itu, negara yang berbentuk kesatuan ada beberapa negara yang melibatkan kamar kedua dalam
proses pemberhentian Presiden yaitu Filipina, Bolivia, Chili, Kolombia, Republik Dominika,
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
Paraguay, Uruguay, dan Kenya. Namun, ada juga yang tidak melibatkan kamar kedua dalam
proses pemberhentian Presiden yaitu Afrika Selatan.
Di Indonesia sendiri, proses pemberhentian Presiden melibatkan 3 lembaga tinggi negara
yaitu DPR, Mahkamah Konstitusi, dan MPR. DPR sebagai lembaga yang mengajukan usul
pemberhentian Presiden, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang memutuskan apakah
Presiden bersalah atau tidak, dan MPR sebagai lembaga yang memutuskan apakah Presiden patut
diberhentikan atau tidak.
Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam proses Pemberhentian Presiden
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan terhadap 13 negara yang lain, kewenangan
kamar kedua dalam proses pemberhentian Presiden dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi. Pertama,
kamar kedua mempunyai kewenangan dalam memberikan putusan akhir apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak. Kedua, kamar kedua mempunyai kewenangan untuk melakukan
investigasi sebelum memutus apakah Presiden dapat diberhentikan atau tidak. Ketiga, kamar
kedua dengan kamar pertama bertemu dalam joint session memutuskan apakah Presiden dapat
disidangkan atas kesalahan yang dilakukannya atau tidak. Keempat, kamar kedua tidak
mempunyai kewenangan apapun dalam proses pemberhentian Presiden. Berikut penjabaran yang
penulis lakukan berdasarkan kewenangan kamar kedua dalam proses pemberhentian Presiden:
Tabel 4.2 Kewenangan kamar kedua (second chamber) dalam proses pemberhentian
Presiden
No. Nama negara Kewenangan kamar kedua
(second chamber) dalam proses
pemberhentian Presiden
1. Amerika Serikat (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
2. Filipina (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016
3. Argentina (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
4. Brazil (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
5, Bolivia (BS) Bersama kamar pertama dalam
bentuk joint session memberikan
persetujuan apakah Presiden
dapat disidangkan di depan
Mahkamah Agung atau tidak
6. Chili (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
7. Kolombia (BS) Melakukan investigasi dan
memutuskan apakah Presiden
dapat diberhentikan atau tidak
8. Republik Dominika (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
9. Mexico (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
10. Paraguay (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
11. Uruguay (BS) Memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
12. Kenya (BA) Melakukan investigasi dan
memutus apakah Presiden dapat
diberhentikan atau tidak
Peran Dewan ..., Catur Alfath Satriya, FH UI, 2016