PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH LEWAT MEDIASI DI LEMBAGA LITIGASI DAN NON LITIGASI (STUDI KASUS : PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN, BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL JAKARTA, DAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S.H) Oleh: ABDUSSAMI MAKARIM NIM. 11140460000087 PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019 M/1440 H
187
Embed
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH LEWAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44551/1/ABDUSSAMI... · atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH LEWAT MEDIASI DI
LEMBAGA LITIGASI DAN NON LITIGASI (STUDI KASUS : PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN, BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
JAKARTA, DAN LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN
INDONESIA)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S.H)
Oleh:
ABDUSSAMI MAKARIM
NIM. 11140460000087
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi Berjudul "Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Mediasi di Lembaga Litigasi dan Non Litigasi (Studi Kasus: Pengadilan Agama
Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah Nasional, dan Lembaga Altematif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia)" yang telah ditulis oleh Abdussami
Makarim, NIM. 11140460000087, telah diujikan dalam sidang Skripsi pada
Jum'at, 25 Januari 2019. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.tI) pada Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 30 Januari 2019
Mengesahkan,
Panitia Sidang:
Ketua A,M.Hasan A二 ,M.ANIP。 19751201200501 1005
Dr.Abdllrraun Lcq M・ A.
NコP。 19731215200501 1002
Ahnad Chdrul Hadi.M.A.
NIP。 197205312007101002
Dr.Ahmad Tholabi Kharlie.M.H"M.A.
NIP.197608072003121001
Mustolih.S.H,I"M.Htt CLA.
NIDN。 2009088001
Sekretaris
Pembimbing
Penguji I
19966031001
Penguji II
¬
LEMBAR PERI{YATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH.:.,
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIll{) Syarif Hidayatullah Jakarra.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di universitas Islam Negeri Or$ syarif
Hidayatullah Jakarta
:V
ト
Ciputat,12 Dcsember 2018
v
ABSTRAK
Abdussami Makarim, 11140460000087, Studi Perbandingan Penyelesaian
Sengketa Perbankan Syariah Lewat Mediasi Di Lembaga Litigasi Dan Non Litigasi
(Studi Empiris: Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Badan Arbitrase Syariah
Nasional, Dan Lembaga Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia). Hukum
Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2018, 130 halaman.
Hubungan antara kreditur dan debitur atau Bank dengan nasabahnya
diperjanjiakan sejak awal transaksi. Hak, kewajiban, dan segala sesuatu yang
berkaitan dengan transaksi perbankan tertuang dalam sebuah kontrak.
Apabila salah satu pihak baik bank maupun nasabah melakukan wanprestasi
dan tidak cepat diselesaikan, maka terjadilah sengketa. Apabila bank tidak
dapat menyelesaikan pengaduan lewat Internal Dispute Resolution (tidak
tercapai kesepakatan), para pihak bisa menyelesaikan konflik melalui
mediasi di lembaga penyelesaian sengketa (External Dispute Resolution).
Mediasi terdapat di lembaga penyelesaian sengketa litigasi dan non litigasi.
Litigasi adalah pengadilan sedangkan non litigasi adalah lembaga diluar
pengadilan, dalam penelitian ini lembaga yang dimaksud adalah Basyarnas
dan LAPSPI. Sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah, sengketa perbankan boleh diselesaikan
baik di jalur litigasi (Pengadilan Agama) maupun non litigasi (Basyarnas dan
LAPSPI).
Penelitian ini menganalisis penyelesaian sengketa perbankan syariah
yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut melalui mediasinya. Dengan
analisis perbandingan tersebut diperoleh informasi perbedaan dan
persamaan. Adapun penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris
dengan data yang diolah secara kualitatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahhwa ada persamaan dalam
jenis perkara yang masuk yakni perkara perdata perbankan syariah dan
penyelenggaraan mediasi dilakukan secara tertutup. Sedangkan
perbedaannya, pada Pengadilan Agama, mediasi dilakukan sebelum masuk
pemeriksaan pokok perkara. Pada LAPSPI mediasi dilakukan dengan acara
tersendiri terpisah dengan arbitrase dan ajudikasi. Dan pada Basyarnas, acara
yang diselenggarakan adalah arbitrase, namun unsur mediasi tetap ada
sebatas upaya mediasi yang mungkin dilaksanakan di setiap tahap arbitrase.
Kata Kunci : Sengketa Perbankan Syariah, Mediasi, Pengadilan Agama,
Basyarnas, LAPSPI
Dosen Pembimbing : Achmad Choirul Hadi
Daftar Pustaka : Tahun 1986 s/d 2018
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahuwwata’ala atas segala nikmat, rahmat,
hidayah, dan kekuatan yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas akhir Skripsi ini untuk memperoleh gelar sarjana di bidang
Hukum Ekonomi Syariah di Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beserta keluarganya dan
sahabatnya, yang telah membawa perubahan bagi peradaban dunia dengan
bangkitnya Islam hingga akhir zaman.
Dengan disusunnya penelitian tingkat skripsi ini, kami berharap kami bisa
memberikan kontribusi manfaat, baik dalam tataran kajian Hukum Islam, maupun
Kajian Hukum positif, terlebih khususnya pada masalah penyelesaian sengketa
perbankan syariah melalui mediasi di Lembaga litigasi dan non-litigasi seperti
Pengadilan Agama, Badan Arbitrase Syariah Nasional, dan Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia.
Kami sadar bahwa penelitian ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungann dan
bantuan dari orang-orang yang ada di sekitar kami. Dengan segala hormat dan dari
hati yang terdalam, kami ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
2. AM. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Abdurrauf Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
4. Achmad Chairul Hadi, M. A., selaku pembimbing yang secara langsung
memberikan arahan dalam peyusunan skripsi ini, dan juga mmemberikan
pencerahan materi-materi perkuliahan yang menjadi inspirasi penulisan
skripsi ini;
vii
5. Seluruh Dosen di Fakultas Syariah dan Hukum atas didikan dan
bimbingannya selama kami kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Para narasumber yang telah memberikan informasi untuk menyempurnakan
skripsi ini, diantaranya: Dr. H. Jarkasih, M.H., Hakim Pengadilan Agama
Jakarta Selatan; Dra. Euis Nurhasanah, Sekretaris Badan Arbitrase Syariah
Nasional (Basyarnas); H. Achmad Djauhari, S.H., M.H., Arbiter Basyarnas;
Ir. Saifuddin Latief, MM., Sekretaris Lembaga Alternatif Penyelesaian
Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI), dan Kak Tyra, Case Manager
LAPSPI;
7. Seluruh keluarga besasr, terutama kedua orang tua kami, Ayah dan Bunda
yang telah mendukung semua kebutuhan semasa kuliah, mendoakan kami
di setiap sujudnya, dan mengalirkan semangat di setiap tutur katanya. You
are the best thing I’ve ever had, I promise, I’ll make both of you proud;
8. Teman-teman Hukum Ekonomi Syariah Angkatan 2014, Kelas B HES’14,
Center for Islamic Economics Studies (COINS), Generasi Baru Indonesia
(GenBI) UIN Jakarta, Mahasantri UICCI Sulaimaniyah Ciputat, KKN 13
Balas Budi, Sahabat New Foward, hingga teman-teman dan adik angkaran
yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Akhirnya tidak ada yang dapat kami berikan sebagai balas jasa kecuali sebuah
doa, semoga semua pihak yang telah mendukung mendapatkan ganjaran yang
berlipat ganda dari Allah Subhanahuwwata’ala, Aamiin.
Perbandingan Penyelesalan sengketa Ekonomi syariah pada BASYARNAS, LAPSPI, dan
Pengadilan Agama
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/lbu dapat menerima
yang bersungkrtrn untuk Wawancara serta memperoleh data guna penulisan skripst
dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya. kami ucapkan terima kasih.
W a ssal a nt u' a I a i ku m. Wr. Wb
/′
〃 .ξ rヴ
a.n. DekanKepala Bagian Tata Usaha
´Drs,Mochamad Guruh,M,Pd‐‐NIP.196204081987101001
SUmT KETERANGAN
Yang bertanda tangan di balvah ini:
Nama . AbdLrssami Makarim
}r{M :1fi4A46A000087
Prodi/Fakultas: Hukum Ekonomi syariah/ Fakultas syariah dan Hukum
Menerangkan telah melaksanakan wawancara untuk penelitian dan penyusunan
tugas akhir kuliah (skripsi) tentang Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Badan Arbitrase Nasional (BA SYARNAS ), dengan :
Demikian keterangan ini saya buat dengan sebenar-benarnya sebagai bukti telah
melakukan wawancara.
Ciputat, 17 April2}fi
Pewawancara
Nama
Jabttan
:Achad ttauhari,SH.MII.
:Sekretaris Umlllll BASYARNAS
Narasumber
1
PERATURAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
NOMOR: 01/LAPSPI-PER/2017
TENTANG
PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN INDONESIA
Menimbang: a. bahwa dalam penyelesaian pengaduan Nasabah kepada Perbankan seringkali tidak tercapai kesepakatan yang dapat diterima oleh Para Pihak;
b. bahwa terdapat forum alternatif penyelesaian sengketa perbankan di luar pengadilan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keungan;
c. bahwa asosiasi-asosiasi perbankan telah membentuk Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI) dengan layanan Mediasi, Adjudikasi, dan Arbitrase, untuk Para Pihak dalam menyelesaikan sengketa secara cepat, murah, adil, dan efisien;
d. bahwa berdasarkan hal hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk membuat Peraturan dan Prosedur Mediasi LAPSPI sebagai pedoman bagi para pihak terkait.
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872), beserta perubahannya apabila ada;
2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 175);
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan, yang diundangkan tanggal 6 Agustus 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2013 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5431) beserta perubahannya apabila ada;
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Keuangan, yang diundangkan tanggal 23 Januari 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5499) beserta perubahannya apabila ada;
2
5. Anggaran Dasar LAPSPI sebagaimana tertuang dalam Akta
Pendirian Nomor 36 tanggal 28 April 2015 yang dibuat di hadapan Ashoya Ratam, S.H., M.Kn., Notaris di Jakarta yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dengan Surat Keputusan KEMENKUMHAM Nomor AHU-0004902.AH.01.07 Tahun 2015 tanggal 16 September 2015, beserta perubahannya apabila ada.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN DAN PROSEDUR MEDIASI
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Definisi
(1) Dalam Peraturan dan Prosedur ini yang dimaksud dengan:
(a) Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui proses perundingan di LAPSPI untuk memperoleh Kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.
(b) Mediator adalah pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
(c) Mediator Tetap adalah orang perseorangan yang diangkat oleh LAPSPI sebagai Mediator dan tercatat dalam Daftar Mediator Tetap.
(d) Daftar Mediator Tetap adalah daftar yang diterbitkan oleh LAPSPI yang berisikan nama-nama Mediator Tetap.
(e) Sekretaris adalah 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat yang ditunjuk oleh Pengurus untuk membantu Mediator dalam urusan pencatatan dan administrasi selama proses Mediasi.
(f) Kode Etik adalah Kode Etik yang berlaku bagi Mediator LAPSPI. (g) Benturan Kepentingan adalah kondisi seseorang dimana yang bersangkutan
tidak dapat bertindak secara objektif karena adanya kepentingan pribadi, baik secara ekonomi maupun sosial.
(h) Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa Mediator telah lulus pelatihan dan pendidikan Mediator yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah diakreditasi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
(i) Para Pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa sengketa mereka ke LAPSPI untuk memperoleh penyelesaian.
(j) Pemohon adalah pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
(k) Termohon adalah pihak lawan dari Pemohon dalam penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
3
(l) Permohonan Mediasi adalah surat permohonan yang diajukan oleh Para Pihak atau salah satu Pihak atau Arbiter Tunggal/Ketua Majelis Arbitrase kepada Pengurus LAPSPI untuk menyelenggarakan Mediasi dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur ini.
(m) Perjanjian Mediasi adalah perjanjian tertulis yang dibuat oleh Para Pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui Mediasi LAPSPI.
(n) Resume Perkara adalah dokumen yang dibuat oleh Para Pihak yang memuat kronologis kejadian sengketa, tuntutan yang diajukan, dan usulan solusi penyelesaian.
(o) Pengurus adalah mereka yang diangkat sebagai Pengurus LAPSPI sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar LAPSPI, beserta segala perubahannya jika ada.
(p) Sekretariat adalah sekretariat yang dibentuk Pengurus untuk menjalankan operasional sehari-hari LAPSPI yang dipimpin oleh salah satu anggota Pengurus, atau personil lain yang ditunjuk oleh Pengurus.
(q) Kaukus adalah pertemuan antara Mediator dengan salah satu Pihak tanpa dihadiri oleh Pihak lain.
(r) Kesepakatan Perdamaian adalah kesepakatan hasil mediasi dalam bentuk dokumen yang memuat ketentuan penyelesaian sengketa yang ditandatangani Para Pihak dan Mediator.
(s) Kesepakatan Perdamaian Sebagian adalah kesepakatan antara Pihak Pemohon dengan sebagian atau seluruh Pihak Termohon dan kesepakatan Para Pihak terhadap sebagian dari seluruh objek perkara dan/atau permasalahan hukum yang disengketakan dalam proses Mediasi.
(t) Akta Perdamaian adalah akta yang memuat isi Kesepakatan Perdamaian yang dibuat oleh Hakim Pengadilan Negeri untuk menguatkan isi Kesepakatan Perdamaian tersebut.
(u) Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum yang diselenggarakan di LAPSPI dengan menggunakan Peraturan dan Prosedur ini yang didasarkan pada Perjanjian Arbitrase.
(v) Layanan Probono adalah layanan Mediasi secara cuma-cuma untuk sengketa dengan jumlah Tuntutan Ganti Rugi sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) yang diajukan oleh Pemohon dengan kriteria tertentu yang ditetapkan dalam Keputusan Rapat Pengurus LAPSPI.
(w) Layanan Komersial adalah layanan Mediasi berbayar untuk sengketa dengan jumlah Tuntutan Ganti Rugi diatas Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(x) Tuntutan Ganti Rugi adalah jumlah nominal materiil tertentu yang dituntut oleh Pemohon.
(2) Penyebutan kata “hari” dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah merujuk kepada hari kerja nasional Indonesia.
Pasal 2
Ruang Lingkup Peraturan dan Prosedur (1) Peraturan dan Prosedur ini mengatur penyelesaian sengketa yang diselesaikan melalui
Mediasi LAPSPI, baik yang diajukan langsung oleh Para Pihak kepada forum Mediasi LAPSPI maupun yang ditempuh melalui forum Arbitrase LAPSPI.
(2) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui Mediasi LAPSPI harus memenuhi semua kriteria tersebut di bawah ini: (a) merupakan sengketa perdata di bidang Perbankan dan/atau berkaitan dengan
bidang Perbankan;
4
(b) sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh Pihak yang bersengketa;
(c) sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian;
(d) sengketa yang telah menempuh upaya musyawarah tetapi Para Pihak tidak berhasil mencapai perdamaian; dan
(e) antara Para Pihak terikat dengan Perjanjian Mediasi. (3) LAPSPI termasuk Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat dilarang untuk
memberikan dan/atau menawarkan bantuan hukum dalam bentuk apapun, baik secara profesional ataupun personal kepada Para Pihak, termasuk nasehat dan/atau opini hukum menyangkut posisi hukum Para Pihak.
(4) Para Pihak, Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil Sekretariat wajib mengikuti ketentuan yang diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
Pasal 3 Sifat Proses Mediasi
(1) Proses Mediasi pada dasarnya bersifat tertutup kecuali Para Pihak menghendaki lain. (2) Penyelesaian sengketa melalui Mediasi LAPSPI dilaksanakan oleh Para Pihak
berdasarkan kepada itikad baik dan bermartabat, dengan mengesampingkan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya.
(3) Keikutsertaan Para Pihak dalam proses Mediasi adalah berdasarkan keinginan Para Pihak sendiri tanpa adanya paksaan, dan harus diikuti dengan santun, saling menghormati dan tertib.
(4) Kesepakatan Perdamaian dibuat secara sukarela tanpa adanya unsur paksaan. (5) Kesepakatan Perdamaian bersifat final dan mengikat Para Pihak untuk dilaksanakan
dengan itikad baik, dan terhadap Kesepakatan Perdamaian tersebut tidak dapat diajukan perlawanan atau bantahan.
(6) Pihak yang tidak melaksanakan Kesepakatan Perdamaian dianggap melanggar perjanjian.
(7) Mediator hanya memfasilitasi pertemuan dan perundingan dalam kerangka Mediasi dengan tujuan untuk mencapai suatu penyelesaian antara Para Pihak yang bersengketa, dan dalam hal ini Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat suatu keputusan atau penetapan pembayaran.
(8) Pertemuan Mediasi dapat dilakukan melalui media komunikasi audio visual jarak jauh yang memungkinkan semua pihak saling melihat dan/atau mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam pertemuan.
BAB II
MEDIATOR
Pasal 4 Persyaratan Mediator
(1) Untuk dapat menjadi Mediator dalam Mediasi LAPSPI, haruslah orang yang sudah diangkat oleh Pengurus sebagai Mediator Tetap LAPSPI.
(2) Pengurus mengangkat seseorang sebagai Mediator Tetap LAPSPI menurut ketentuan sebagai berikut : (a) Pencalonan seseorang untuk menjadi Mediator Tetap LAPSPI diputuskan dalam
Rapat Pengurus berdasarkan pemahaman Pengurus mengenai integritas dan
5
kapabilitas dari calon yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang tercantum dalam Lampiran II.
(b) Apabila seseorang dimaksud, atas permohonan kesediaan yang disampaikan dari Pengurus, bersedia menjadi calon Mediator Tetap LAPSPI, maka Pengurus meminta yang bersangkutan menyampaikan resume jati diri dan riwayat hidup beserta salinan dokumen-dokumen pendukungnya dan mengikuti uji kecakapan dan kelayakan (fit and proper test) yang dilakukan oleh Pengurus.
(c) Pengurus hanya mengangkat seseorang menjadi Mediator Tetap LAPSPI apabila calon tersebut telah disetujui oleh Badan Pengawas LAPSPI.
(3) Pengangkatan seseorang menjadi Mediator Tetap LAPSPI hanya dapat dilakukan apabila calon yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat sebagaimana tertuang dalam Lampiran II Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(4) Apabila setelah diangkat sebagai Mediator Tetap LAPSPI ternyata di kemudian hari Mediator tersebut mengalami perubahan kondisi pada dirinya yang mengakibatkan tidak terpenuhinya 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Pengurus segera memutuskan untuk: (a) membekukan statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI untuk sementara waktu
sampai dengan dipenuhinya kembali syarat-syarat yang diperlukan; atau (b) mengajukan permohonan kepada Badan Pengawas LAPSPI untuk mencabut
statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI. (5) Dalam hal keputusan pembekuan atau pencabutan dimaksud dalam ayat (3) diterbitkan
oleh Pengurus pada saat Mediator yang bersangkutan tengah menjalankan tugasnya sebagai Mediator perkara, pada saat Mediasi berada dalam tahap apapun, maka Pengurus segera menghentikan proses Mediasi dimaksud sampai dengan ditunjuk kembali Mediator baru sesuai dengan Peraturan dan Prosedur ini.
(6) Pengurus menerbitkan Daftar Mediator Tetap LAPSPI yang terbuka untuk umum, dan memperbaharuinya setiap ada perubahan pada daftar tersebut.
Pasal 5 Kewajiban Mediator
(1) Mediator wajib mentaati ketentuan Kode Etik dan menghindari Benturan Kepentingan selama menjalankan fungsinya.
(2) Mediator berkewajiban melaksanakan tugasnya sampai selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi Kode Etik.
(3) Mediator wajib memberikan kesempatan yang sama kepada masing-masing Pihak untuk didengar keterangan, pendapat dan keinginannya.
(4) Mediator wajib segera mengundurkan diri apabila, setelah menerima penunjukan sebagai Mediator, kemudian menyadari bahwa yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (6).
BAB III Penunjukan Mediator
Pasal 6 Layanan Probono
(1) Untuk Layanan Probono, Pengurus LAPSPI menunjuk 1 (satu) orang Mediator Tetap LAPSPI untuk menangani penyelesaian sengketa Para Pihak.
6
(2) Sekretaris dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi kesediaan Mediasi dari Termohon, meneruskan surat penunjukan kepada Mediator.
(3) Mediator yang ditunjuk, berhak untuk menerima atau menolak penunjukan atas dirinya, dan memberikan jawabannya secara tertulis paling lama 5 (lima) hari terhitung setelah menerima surat penunjukan tersebut kepada Sekretaris, dengan tembusan Pengurus.
(4) Apabila Mediator menerima penunjukan, maka Mediator di dalam jawabannya sekaligus melampirkan surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh LAPSPI dengan memperhatikan Kode Etik dan Pedoman Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan dan Prosedur Mediasi ini. Mediator bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya tersebut.
(5) Mediator hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memiliki benturan kepentingan terhadap salah satu atau Para Pihak yang
bersengketa; (b) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan
tugas sebagai Mediator yang akan mempengaruhi integritas, imparsialitas dan kemandiriannya dalam menyelenggarakan Mediasi;
(c) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Mediator dengan sebaik-baiknya;
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan sebagaimana dimaksud ayat (4) dengan jujur dan benar.
(6) Apabila Mediator menolak penunjukan, karena sebab tidak terpenuhinya ketentuan ayat (5) pasal ini, maka Pengurus menunjuk Mediator lain dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima surat penolakan. Jangka waktu dalam kesempatan kedua tersebut sudah termasuk konfirmasi penerimaan dari Mediator yang ditunjuk.
(7) Apabila Mediator melanggar ketentuan Pasal 5, maka proses Mediasi akan diberhentikan sementara dan Pengurus LAPSPI akan menunjuk dan mengangkat Mediator baru dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(8) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Mediator memberikan konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Mediator, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Mediator dimaksud sebagai Mediator untuk perkara yang bersangkutan.
(9) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (8), Pengurus menyerahkan Berkas Permohonan Mediasi kepada Mediator melalui Sekretaris supaya dapat segera dimulai perundingan Mediasi.
Pasal 7 Layanan Komersial
(1) Para Pihak dalam Layanan Komersial berhak memilih seorang atau paling banyak 2 (dua) orang Mediator yang tercatat dalam Daftar Mediator Tetap LAPSPI.
(2) Pengurus, dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat konfirmasi kesediaan Mediasi dari Termohon, menyampaikan Daftar Mediator Tetap LAPSPI kepada Para Pihak untuk menyepakati dan menunjuk 1 (satu) orang atau lebih Mediator.
7
(3) Para Pihak, dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah menerima Daftar Mediator Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pasal ini, harus telah menyepakati dan menunjuk 1 (satu) orang atau lebih Mediator dan menyampaikan penunjukan tersebut secara tertulis kepada Pengurus LAPSPI.
(4) Sekretaris segera meneruskan surat penunjukan kepada Mediator atau Para Mediator paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat dari Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini.
(5) Mediator hanya boleh menerima penunjukan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tidak memiliki benturan kepentingan terhadap salah satu atau Para Pihak yang
bersengketa; (b) tidak berada dalam pengaruh dan/atau tekanan siapapun untuk menjalankan
tugas sebagai Mediator yang akan mempengaruhi integritas, imparsialitas dan kemandiriannya dalam menyelenggarakan Mediasi;
(c) dalam keadaan sehat secara jasmani maupun rohani sehingga mampu menjalankan tugas sebagai Mediator dengan sebaik-baiknya;
(d) membuat surat pernyataan dan keterbukaan sebagaimana dimaksud ayat (4) dengan jujur dan benar.
(6) Apabila Mediator menolak penunjukan, karena sebab tidak terpenuhinya ketentuan ayat (5) pasal ini, maka Pengurus berwenang menunjuk Mediator lain dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah menerima surat penolakan dan menyampaikan kepada Para Pihak.
(7) Apabila Mediator menerima penunjukan, maka Mediator di dalam jawabannya sekaligus melampirkan surat pernyataan dan keterbukaan dalam format yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh LAPSPI dengan memperhatikan Pedoman Benturan Kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Lampiran III Peraturan dan Prosedur Mediasi ini. Mediator bertanggung jawab penuh atas segala risiko hukum yang timbul dari kebenaran surat pernyataan dan keterbukaan yang telah dibuat dan ditandatanganinya tersebut.
(8) Pengurus berwenang menunjuk Mediator untuk kepentingan Para Pihak apabila: (a) Para Pihak menyerahkan penunjukan Mediator kepada Pengurus; atau (b) Para Pihak gagal menunjuk Mediator dalam waktu sebagaimana dimaksud ayat
(1) atau ayat (3); atau (c) Mediator yang ditunjuk Para Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pasal ini,
menolak penunjukan. (9) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung setelah Mediator memberikan
konfirmasi penerimaan penunjukannya sebagai Mediator, Pengurus menerbitkan surat keputusan Pengurus tentang pengangkatan Mediator dimaksud sebagai Mediator untuk perkara yang bersangkutan.
(10) Setelah pengangkatan sebagaimana dimaksud ayat (9), Pengurus menyerahkan Berkas Permohonan Mediasi kepada Mediator melalui Sekretaris supaya dapat segera dimulai perundingan Mediasi.
Pasal 8 Penggantian Mediator
(1) Setelah diterbitkan surat pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (10), Mediator tidak dapat diganti atau mengundurkan diri, kecuali menurut syarat-syarat dan tata cara yang diatur dalam Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (6).
8
(2) (a) Salah satu Pihak dapat mengajukan permintaan penggantian Mediator secara tertulis kepada Pengurus dengan tembusan Mediator dan Pihak lainnya apabila Mediator yang bersangkutan ternyata tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5) dan/atau melanggar ketentuan Pasal 5.
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Mediasi sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Pihak lainnya harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Pihak lain tidak berkeberatan terhadap permintaan penggantian Mediator tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (10).
(e) Dalam hal Pihak lain berkeberatan terhadap permintaan penggantian Mediator tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus.
(f) Mediator berhak diberikan kesempatan untuk membela diri atau memberikan penjelasan kepada Para Pihak dan Pengurus sehubungan dengan adanya permintaan penggantian dirinya.
(3) (a) Mediator dapat mengajukan permohonan pengunduran diri kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak, apabila Mediator tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih syarat-syarat sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (5) dan Pasal 7 ayat (5) atau melanggar Pasal 5.
(b) Pengurus segera menghentikan sementara proses Mediasi sampai ada kepastian mengenai persoalan permintaan pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud huruf (a).
(c) Para Pihak harus memberikan tanggapan secara tertulis terhadap pengunduran diri sebagaimana dimaksud huruf (a), dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima surat tersebut.
(d) Dalam hal Para Pihak tidak berkeberatan terhadap permintaan pengunduran diri Mediator tersebut, Pengurus segera mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(e) Dalam hal Para Pihak berkeberatan terhadap permintaan pengunduran diri Mediator tersebut, maka persoalan tersebut akan diputuskan oleh Pengurus.
(f) Mediator berhak diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan kepada Pengurus dan Para Pihak sehubungan dengan adanya permintaan pengunduran dirinya tersebut.
(4) Dalam hal Mediator meninggal dunia atau dalam keadaan yang tidak memungkinkannya untuk mengajukan permohonan pengunduran diri, maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(5) Apabila Pengurus memutuskan menolak permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud ayat (2) atau pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Mediator tersebut tetap bertugas dan Mediasi dilanjutkan kembali.
(6) Apabila Pengurus memutuskan menerima permintaan penggantian Mediator sebagaimana dimaksud ayat (2), atau pengunduran diri Mediator sebagaimana dimaksud ayat (3), maka Pengurus segera mencabut surat pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
9
(7) Keputusan Pengurus sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dan ayat (6) bersifat final dan mengikat Para Pihak dan Mediator yang bersangkutan.
(8) Setelah Pengurus mencabut surat keputusan pengangkatan Mediator perkara, selanjutnya Mediator yang baru akan ditunjuk sesuai dengan tata cara penunjukan Mediator yang diganti dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pencabutan surat keputusan tersebut. Proses Mediasi dimulai kembali dengan perhitungan jangka waktu yang baru.
BAB IV
Proses Mediasi
Pasal 9 Pendaftaran Permohonan Mediasi
(1) Mediasi diselenggarakan berdasarkan Permohonan Mediasi yang diajukan pendaftarannya oleh Para Pihak atau salah satu Pihak kepada LAPSPI.
(2) Berkas Permohonan Mediasi paling kurang memuat: (a) nama lengkap, dan tempat tinggal atau tempat kedudukan Para Pihak; (b) jenis perkara; (c) permintaan kepada LAPSPI untuk diselenggarakan Mediasi; (d) Resume Perkara; (e) fotokopi dokumen-dokumen atau bukti-bukti pendukung;
(3) Resume Perkara dibuat oleh masing-masing Pihak jika tidak dimungkinkan untuk dibuat secara bersama-sama.
(4) Pengurus menyampaikan surat konfirmasi penerimaan atau penolakan terhadap pendaftaran Permohonan Mediasi kepada Para Pihak dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung setelah diterimanya konfirmasi tertulis dari Termohon.
(5) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan ditolak, maka surat sebagaimana dimaksud ayat (4) memuat alasan penolakan. Para Pihak dapat mengajukan kembali Permohonan Mediasi setelah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan dan Prosedur ini.
(6) Apabila Permohonan Mediasi dinyatakan diterima, maka surat sebagaimana dimaksud ayat (4) memuat pula: (a) pemberitahuan mengenai dimulainya penunjukan Mediator; (b) pemberitahuan mengenai nama Sekretaris yang ditunjuk oleh Pengurus untuk
perkara yang bersangkutan; (c) informasi mengenai biaya-biaya Mediasi atas perkara yang bersangkutan.
(7) Terhadap permohonan Mediasi yang diterima sebagaimana dimaksud ayat (6), Sekretariat pada tanggal yang sama dengan tanggal konfirmasi dimaksud mencatatkan permohonan tersebut dalam buku register perkara LAPSPI.
(8) Pengurus dapat melimpahkan kewenangan melakukan konfirmasi atas pendaftaran Permohonan Mediasi kepada personil Sekretariat.
Pasal 10 Sekretaris
(1) Pengurus menunjuk 1 (satu) atau lebih personil Sekretariat untuk menjadi Sekretaris
pada perkara yang akan atau sedang diproses dalam Mediasi. (2) Sekretaris mempunyai tugas sebagai berikut:
(a) membuat risalah pertemuan perundingan, kaukus dan dengar pendapat; (b) mengurus korespondensi Mediasi;
10
(c) menyimpan catatan dan dokumen Mediasi; (d) menandatangani surat-surat undangan pertemuan kepada Para Pihak atas nama
Mediator; (e) membantu Para Pihak dan Mediator menyiapkan format konsep Kesepakatan
Perdamaian; (f) membantu Mediator dalam menyusun jadwal perundingan dan mengingatkan
Mediator dan Para Pihak mengenai jangka waktu Mediasi; (g) menyiapkan konsep laporan Mediator kepada Pengurus mengenai selesainya
Mediasi; (h) tugas-tugas lain yang diatur pada bagian lain dari Peraturan dan Prosedur ini,
apabila ada. (3) Sekretaris wajib menjaga prinsip kerahasiaan atas proses Mediasi dan melaksanakan
tugasnya sampai dengan selesai secara profesional, bersikap netral, independen dan menjaga integritas serta menjunjung tinggi kehormatan LAPSPI.
Pasal 11 Perjanjian Mediasi
(1) Perjanjian Mediasi dapat dibuat dengan cara sebagai berikut:
(a) tertuang dalam klausula penyelesaian sengketa dari perjanjian pokok; (b) dibuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh Para Pihak; (c) dalam bentuk pernyataan Para Pihak di hadapan persidangan Arbitrase LAPSPI.
(2) Dalam hal pengajuan Mediasi dibuat dalam bentuk pernyataan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (c) maka perjanjian tersebut cukup dibuktikan dengan Berita Acara Persidangan Arbitrase LAPSPI.
(3) Perjanjian Mediasi memuat pernyataan bahwa Para Pihak bersedia untuk terikat, tunduk dan melaksanakan setiap dan semua kesepakatan yang mungkin dicapai dalam Mediasi LAPSPI, serta menanggung biaya-biaya yang diperlukan dalam Mediasi.
(4) LAPSPI dapat memfasilitasi pertemuan antara Para Pihak dalam rangka membuat Perjanjian Mediasi.
BAB V PERUNDINGAN MEDIASI
Pasal 12 Jangka Waktu
Perundingan Mediasi berlangsung paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah tanggal surat keputusan pengangkatan Mediator perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9). Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang atas kesepakatan Para Pihak dan Mediator paling lama 30 (tiga puluh) hari lagi.
Pasal 13 Tempat
Mediasi diselenggarakan di Jakarta atau tempat yang ditentukan oleh Pengurus. Namun demikian, Para Pihak dapat mengusulkan tempat lain dengan persetujuan Pengurus dan Mediator.
Pasal 14 Bahasa
11
(1) Bahasa yang digunakan dalam semua proses Mediasi LAPSPI adalah bahasa Indonesia,
kecuali atas persetujuan Mediator maka Para Pihak dapat memilih bahasa lain. (2) Kesepakatan Perdamaian harus menggunakan Bahasa Indonesia dan dapat
diterjemahkan ke dalam Bahasa Lain.
Pasal 15 Perundingan, Kaukus, dan Dengar Pendapat
(1) Mediator harus sudah memulai perundingan Mediasi selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari terhitung setelah tanggal menerima surat keputusan pengangkatan sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (8) dan Pasal 7 ayat (9).
(2) Mediator berupaya menyelenggarakan proses Mediasi yang efisien dan bersungguh-sungguh membimbing Para Pihak mencapai Kesepakatan Perdamaian.
(3) Mediator harus mengambil inisiatif untuk memulai pertemuan, mengusulkan jadwal dan agenda pertemuan kepada Para Pihak untuk dibahas dan disepakati.
(4) Mediator harus mendorong Para Pihak untuk secara langsung terlibat dan berperan aktif dalam: (a) proses Mediasi secara keseluruhan; (b) menelusuri dan menggali kepentingan Para Pihak; dan (c) mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi Para Pihak.
(5) Dalam rangka menjaga prinsip independensi dan keadilan, Pengurus memiliki kewenangan untuk hadir memantau jalannya proses Mediasi.
(6) Apabila menganggap perlu, Mediator dapat melakukan Kaukus dengan persetujuan terlebih dahulu Para Pihak.
(7) Apabila menganggap perlu, Mediator dengan persetujuan dan biaya Para Pihak dapat mengundang 1 (satu) atau lebih ahli dalam bidang tertentu dan/atau pihak ketiga lainnya untuk memberikan keterangan.
(8) Para Pihak harus menghadiri pertemuan perundingan yang diselenggarakan oleh Mediator dan tidak boleh diwakilkan hanya oleh kuasa hukumnya. Jika dipandang perlu oleh Mediator untuk kelancaran proses perundingan, Mediator dapat membatasi kehadiran kuasa hukum Para Pihak.
(8) Dalam hal suatu Pihak merupakan badan hukum, maka harus diwakili oleh pengurusnya dan/atau pegawainya yang sah dan berwenang atau berdasarkan Surat Kuasa khusus, untuk: (a) mewakili badan hukum; (b) mengambil keputusan untuk dan atas nama badan hukum; dan (c) membuat perdamaian untuk dan atas nama badan hukum.
(9) Acara perundingan, Kaukus dan mendengar keterangan ahli/pihak ketiga dapat dilakukan dalam bentuk pertemuan tatap muka langsung atau melalui sarana teknologi informasi (seperti telepon, telekonferensi dan/atau video konferensi).
(10) Selama belum tercapai Kesepakatan Perdamaian, salah satu Pihak dapat menyatakan mundur dari proses Mediasi kepada Mediator, dengan tembusan Pihak lain dan Pengurus, jika terdapat alasan dan bukti yang kuat bahwa Pihak lain menunjukkan itikad tidak baik dalam menjalani proses Mediasi.
Pasal 16 Keterlibatan Ahli dan Saksi
(1) Atas persetujuan Para Pihak, Mediator dapat menghadirkan seorang atau lebih Ahli atau Saksi.
12
(2) Para Pihak harus terlebih dahulu mencapai kesepakatan kekuatan yang mengikat atau tidak mengikat dari penjelasan dan/atau penilaian Ahli dan/atau Saksi.
Pasal 17 Kerahasiaan
(1) Proses Mediasi bersifat rahasia dan berlangsung secara tertutup yang hanya dihadiri oleh Para Pihak, Mediator dan Sekretaris, kecuali Para Pihak menghendaki lain atau bila diperlukan untuk pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 21 ayat (3).
(2) Kecuali bila diperlukan untuk pelaksanaan Mediasi sebagaimana alasan yang diperbolehkan Pasal 20 ayat (3), maka semua orang yang terlibat dalam proses Mediasi harus menjaga kerahasiaan baik selama perundingan maupun setelah selesai, dan tidak menggunakan untuk tujuan apapun terhadap: (a) fakta bahwa proses Mediasi akan, sedang dan/atau telah berlangsung; (b) hal-hal yang muncul dalam proses Mediasi; (c) pendapat yang dikemukakan, usulan-usulan atau proposal yang diajukan Para
Pihak untuk penyelesaian sengketa; (d) semua bahan yang diserahkan dan pembicaraan yang dilakukan selama proses
Mediasi; (e) semua data, informasi, korespondensi, dan bahan baik dalam bentuk cetak
tertulis maupun elektronik, mengenai masalah yang didiskusikan, proposal dan tanggapan yang disampaikan, termasuk isi Kesepakatan Perdamaian.
(3) Ketentuan kerahasiaan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) tetap melekat atas orang yang terlibat dalam proses Mediasi meskipun Mediasi telah selesai.
(4) LAPSPI dan/atau salah satu Pihak berhak menuntut Pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2) berupa tuntutan termasuk namun tidak terbatas pada: (a) ganti rugi penuh atas kerugian yang ditimbulkan; (b) biaya upaya hukum yang dilakukannya sehubungan dengan pelanggaran
tersebut; (c) jaminan tidak terulang kembali pelanggaran tersebut di kemudian hari.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ayat (1) dan/atau ayat (2), Mediator berwenang untuk menghentikan proses Mediasi untuk sementara waktu sampai adanya jaminan bahwa pelanggaran tersebut tidak terulang kembali di kemudian hari.
(6) Setelah Mediasi selesai, maka: (a) Catatan Mediator dan Sekretaris wajib dimusnahkan; (b) Mediator tidak dapat bertindak sebagai saksi fakta, ahli, konsultan, kuasa hukum,
Adjudikator, atau Arbiter dalam perkara yang sama.
Pasal 18 Dokumentasi, Korespondensi dan Komunikasi
(1) Para Pihak dilarang merekam acara Mediasi baik rekaman audio, rekaman visual maupun rekaman audio visual.
(2) Pengiriman surat-menyurat disampaikan oleh Sekretaris kepada nama dan alamat yang tercantum pada Permohonan Mediasi. Apabila ada perubahan, maka masing-masing Pihak harus memastikan telah memberikan informasi kepada Sekretaris mengenai nama, nomor telepon, nomor faksimili dan alamat secara lengkap untuk tujuan surat-menyurat dari dan ke masing-masing Pihak, dan setiap perubahan-perubahan selanjutnya berkenaan dengan hal-hal tersebut.
13
(3) Apabila Mediator telah diangkat, maka setiap Pihak tidak boleh melakukan komunikasi
dengan Mediator dengan cara apapun sehubungan dengan Permohonan Mediasi, kecuali dalam pertemuan perundingan, atau pertemuan Kaukus, atau disertai suatu salinan yang juga dikirimkan kepada Pihak lain melalui Sekretaris.
(4) Surat-menyurat dari Mediator kepada Para Pihak, maupun dari satu Pihak kepada Mediator dan Pihak lain, harus disampaikan dalam kesempatan perundingan, pertemuan Kaukus dan/atau melalui Sekretaris.
(5) Penyampaian dan pendistribusian surat-menyurat melalui Sekretaris disampaikan melalui kurir, pos tercatat, faksimili dan/atau e-mail.
(6) Pengiriman oleh Sekretaris kepada Para Pihak melalui faksimili dan/atau e-mail adalah sama sahnya dengan pengiriman melalui kurir dan/atau pos tercatat dengan bukti penerimaan yang cukup. Apabila pengiriman melalui faksimili dan/atau e-mail sudah diterima dengan baik dan jelas, maka pengiriman surat asli melalui kurir dan/atau pos tercatat boleh untuk tidak dilakukan lagi oleh Sekretaris kepada Para Pihak.
(7) Dokumentasi, korespondensi dan komunikasi yang melanggar ketentuan Pasal 18 ini adalah tidak sah dan dianggap tidak pernah ada.
BAB VI HASIL MEDIASI
Pasal 19 Mediasi Mencapai Kesepakatan
(1) Apabila Para Pihak berhasil mencapai kesepakatan, maka Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator harus menuangkan kesepakatan tersebut dalam Kesepakatan Perdamaian yang ditandatangani oleh Para Pihak dan Mediator sebagai saksi.
(2) Sebelum Para Pihak menandatangani Kesepakatan Perdamaian, Mediator memeriksa materi perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat itikad tidak baik.
(3) Dengan ditandatangani Kesepakatan Perdamaian oleh Para Pihak, Mediator menyatakan Mediasi selesai dan tugas Mediator selesai. Selanjutnya Mediator segera melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada Pengurus.
Pasal 20 Pelaksanaan Kesepakatan Perdamaian
(1) Apabila ada Pihak yang tidak mematuhi atau melaksanakan Kesepakatan Perdamaian
dalam jangka waktu yang disepakati dalam kesepakatan tersebut, Pihak lain dapat melakukan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar dengan tembusan LAPSPI.
(2) Pengurus, dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung setelah menerima tembusan surat sebagaimana dimaksud ayat (1), akan menyampaikan teguran tertulis kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Pihak lain dan kepada Asosiasi perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Apabila telah lewat masa 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal disampaikannya surat sebagaimana dimaksud ayat (2) masih juga diingkari, Pengurus dan/atau Pihak lain menyampaikan kembali teguran tertulis kedua kepada Pihak yang ingkar, dengan tembusan kepada Asosiasi perbankan serta Otoritas Jasa Keuangan.
14
Pasal 21 Akta Perdamaian
(1) Apabila Para Pihak menghendaki Kesepakatan Perdamaian dituangkan ke dalam Akta Perdamaian, maka hal tersebut harus tercantum pada Kesepakatan Perdamaian, dan selanjutnya salah satu Pihak mengajukan Permohonan Arbitrase kepada LAPSPI atau mengajukan gugatan melalui Pengadilan untuk meminta Akta Perdamaian.
(2) Pada sidang yang ditetapkan oleh Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase sebagaimana dimaksud ayat (1), Para Pihak menyerahkan Kesepakatan Perdamaian kepada Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase.
(3) Arbiter Tunggal/Majelis Arbitrase LAPSPI hanya akan menguatkan Kesepakatan Perdamaian ke dalam bentuk Akta Perdamaian apabila kesepakatan tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (a) sesuai kehendak Para Pihak; (b) tidak bertentangan dengan hukum dan kepatutan; (c) tidak merugikan pihak ketiga; (d) dapat dieksekusi; dan (e) dengan itikad baik Para Pihak.
Pasal 22 Kesepakatan Perdamaian Sebagian
(1) Apabila dalam persengketaan terdapat lebih dari 1 (satu) tuntutan, maka diperbolehkan kepada Para Pihak untuk mencapai Kesepakatan Perdamaian untuk sebagian saja dari tuntutan-tuntutan tersebut.
(2) Apabila Mediasi melibatkan banyak Pihak, maka perdamaian diperbolehkan untuk tercapai secara parsial hanya pada sebagian Pihak saja.
(3) Sebagian sengketa/tuntutan yang belum terselesaikan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan/atau ayat (2) dapat dilanjutkan kepada penyelesaian sengketa yang lainnya sesuai kesepakatan/perjanjian di antara Para Pihak.
Pasal 23 Mediasi Tidak Mencapai Perdamaian
(1) Mediator menyatakan Mediasi berakhir tanpa penyelesaian dan segera melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada Pengurus dengan tembusan Para Pihak apabila: (a) setelah lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Mediasi tidak
berhasil mencapai perdamaian; (b) Mediator mengetahui bahwa dalam sengketa yang sedang dimediasikan,
ternyata melibatkan asset atau harta kekayaan atau kepentingan yang nyata-nyata berkaitan dengan pihak lain yang tidak menjadi pihak dalam Mediasi, sehingga tidak mungkin dapat dibuat suatu perdamaian yang akan dapat dilaksanakan dengan baik;
(c) satu atau lebih Pihak mengundurkan diri dari Mediasi; (d) Mediator menilai tidak ada itikad baik dari satu atau lebih Pihak dalam Mediasi.
(2) Berdasarkan keadaan sebagaimana dimaksud ayat (1), maka tugas Mediator selesai, dan selanjutnya sengketa tersebut dapat dilanjutkan pada proses penyelesaian sengketa lainnya sesuai kesepakatan/perjanjian di antara Para Pihak.
(3) Jika Para Pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan Para Pihak dalam proses Mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti proses persidangan perkara.
15
BAB VII
BIAYA-BIAYA LAYANAN MEDIASI
Pasal 24 Jenis-jenis Biaya
(1) Biaya-biaya dalam layanan Mediasi terdiri dari:
(a) Biaya Pendaftaran, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 25; (b) Biaya Sengketa, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 26; (c) Biaya Mediator, sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 27;
(2) Biaya Pendaftaran dan Biaya Mediator, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan c, ditanggung oleh Pemohon.
(3) Para Pihak bebas menyepakati pembagian beban di antara Para Pihak atas Biaya Sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b. Para Pihak segera memberitahukan kesepakatan tersebut kepada Pengurus.
(4) Apabila tidak ada kesepakatan sebagaimana dimaksud ayat (3), Pengurus menentukan Biaya Sengketa sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b secara adil.
(5) Apabila terdapat perhitungan pajak, maka biaya-biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) juncto Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 serta Lampiran I adalah jumlah bersih yang diterima LAPSPI.
(6) Pengurus menunda dan/atau menghentikan proses pemeriksaan apabila ada biaya sebagaimana dimaksud ayat (1) yang belum dilunasi oleh Para Pihak sesuai ketentuan Pasal 25 atau Pasal 26 atau Pasal 27.
Pasal 25
Biaya Pendaftaran (1) Besarnya biaya pendaftaran ditetapkan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(2) Biaya Pendaftaran Permohonan Mediasi dilunasi oleh Pemohon pada saat pendaftaran Permohonan Mediasi.
Pasal 26 Biaya Sengketa
(1) Biaya Sengketa adalah biaya-biaya untuk keperluan pengeluaran:
(a) mediasi yang diselenggarakan di luar kantor LAPSPI; (b) menghadirkan ahli dan/atau saksi sebagaimana dimaksud Pasal 16; (c) munculnya lain-lain biaya yang relevan dan wajar yang dapat diterima atau
disepakati oleh Para Pihak. (2) Para Pihak harus menyerahkan deposit untuk pengeluaran Biaya Sengketa sesuai
dengan keputusan Pengurus LAPSPI sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(3) Deposit sebagaimana dimaksud ayat (2) disetorkan Para Pihak kepada LAPSPI sebelum dimulainya perundingan Mediasi.
(4) Apabila jumlah deposit telah berkurang lebih dari 60 % (enam puluh per seratus), maka Para Pihak harus menambah deposit sehingga jumlahnya kembali sebesar deposit awal.
16
(5) Apabila seluruh pengeluaran Biaya Perundingan ternyata lebih kecil dari deposit yang disetor, maka sisa deposit segera dikembalikan kepada Para Pihak, dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung setelah Mediasi selesai.
(6) Sekretariat membuat laporan penggunaan deposit kepada Para Pihak dengan bukti-bukti pengeluaran yang cukup.
Pasal 27
Biaya Mediator (1) Biaya Mediator ditentukan oleh Pengurus LAPSPI dari waktu ke waktu yang nilainya
dicantumkan dalam Lampiran I dan yang merupakan satu kesatuan dengan Peraturan dan Prosedur Mediasi ini.
(2) Pemohon melunasi Biaya Mediator saat pendaftaran Permohonan Mediasi. (3) Apabila nilai sengketa tidak disebutkan oleh Para Pihak atau tidak berupa suatu
tuntutan pembayaran uang, maka besarnya nilai sengketa ditetapkan oleh Pengurus dengan memperhatikan kompleksitas perkara dan setelah mendengar pendapat Para Pihak dan Mediator.
(4) Apabila Mediasi ternyata tidak berhasil mencapai Kesepakatan Perdamaian tanpa adanya Pihak yang mengundurkan diri, maka Biaya Mediator tidak dihitung berdasarkan ayat (1), tetapi menggunakan perhitungan tarif biaya per jam sebagaimana tercantum dalam Lampiran I sesuai dengan total konsumsi waktu Mediator yang dipakai untuk perundingan Mediasi.
BAB VIII SANKSI
Pasal 28 Pelanggaran oleh Mediator
(1) Mediator yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Benturan Kepetingan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5a) dan (5b) serta Pasal 7 ayat (6a) dan (6b), akan diperiksa oleh Komite Kehormatan LAPSPI.
(2) Mediator yang terbukti bersalah berdasarkan keputusan Komite Kehormatan LAPSPI, akan dikeluarkan dari Daftar Mediator Tetap dan tidak diperkenankan untuk menangani perkara atau sebagai Kuasa Hukum dari Para Pihak yang bersengketa, di dalam jurisdiksi LAPSPI.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
(1) Pengurus, Mediator, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban pidana maupun perdata terhadap pelaksanaan tugasnya dan kewenangannya berdasarkan Peraturan dan Prosedur ini, maupun terhadap isi dari Kesepakatan Perdamaian.
(2) Para Pihak tidak dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap LAPSPI (termasuk Mediator, Pengurus, Sekretaris dan personil LAPSPI lainnya), termasuk tapi tidak terbatas pada tuntutan berkenaan dengan: (a) setiap layanan yang disediakan LAPSPI; (b) setiap upaya yang dilakukan oleh LAPSPI;
17
(c) sengketa yang didaftarkan dan diproses di LAPSPI; (d) setiap tindakan, berkenaan dengan proses Mediasi, yang dilakukan yang sesuai
dengan Peraturan dan Prosedur ini. (3) Para Pihak menyatakan dan setuju bahwa setiap tuntutan terhadap LAPSPI (termasuk
Pengurus, Mediator, Sekretaris dan/atau personil LAPSPI lainnya) yang dibuat dengan melanggar ayat (1) dan/atau ayat (2) adalah merupakan suatu kerugian yang besar dan nyata bagi LAPSPI. Oleh karena itu LAPSPI berhak untuk melakukan upaya hukum atas tuntutan tersebut, dan juga berhak untuk menuntut kepada Para Pihak atas ganti rugi secara penuh biaya hukum yang telah LAPSPI keluarkan.
(4) Mediator yang pada saat mulai berlakunya Peraturan dan Prosedur ini telah diangkat sebagai Arbiter/Mediator Tetap LAPSPI namun belum mempunyai Sertifikat Mediator, maka kepada Mediator yang bersangkutan diberikan kesempatan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung setelah berlakunya Peraturan dan Prosedur ini untuk memiliki Sertifikat Mediator dimaksud. Apabila Mediator yang bersangkutan tidak memenuhi ketentuan ini maka Pengurus akan mencabut statusnya sebagai Mediator Tetap LAPSPI. Selama statusnya belum dicabut, Mediator yang bersangkutan tetap dapat ditunjuk oleh Para Pihak dan/atau Pengurus untuk menjadi Mediator perkara di LAPSPI.
(5) Penyebutan nama suatu organisasi/instansi dalam Peraturan dan Prosedur ini adalah dimaksudkan pula kepada nama baru dari organisasi/instansi yang bersangkutan disebabkan perubahan nama saja ataupun disebabkan karena tindakan pemisahan, penggabungan atau pengambilalihan yang menyebabkan perubahan nama organisasi/instansi.
Pasal 30
Pada saat Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku, Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia Nomor 07/LAPSPI-PER/2015 tentang Peraturan dan Prosedur Mediasi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 31
Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 April 2017
PENGURUS LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN INDONESIA
Himawan E. Subiantoro Saifuddin Latief Nirwana Atta Ketua Sekretaris Bendahara
i
P R O F I L BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL- MAJELIS ULAMA INDONESIA
(BASYARNAS-MUI)
N A M A
Badan Arbitrase Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, disingkat Basyarnas -MUI.
KEDUDUKAN
Basyarnas berkedudukan di Jakarta dengan cabang atau perwakilan ditempat-tempat lain yang dipandang perlu.
PEMBENTUKAN
Basyarnas pada saat didirikan bernama Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal5Jumadil Ula 1414 H. bertepatan tanggal 21 Oktober 1993 dengan bentuk badan hukum berupa Yayasan. Akte pendirian yayasan dibuat dihadapan Notaris Ny. Lely Roostiati Yudo Paripurno, SH, di Jakarta dengan akta No. 175 tanggal 21 Oktober 1993 M, ditandatangani oleh Ketua Umum MUI KH. Hasan Basri dan Sekretaris Umum MUI Bp. HS. Prodjokusumo. BAMUI dibentuk oleh MUI berdasarkan keputusan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI Tahun 1992. Perubahan nama dari BAMUI menjadi Basyarnas diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan nama, bentuk dan pengurus BAMUI dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424 H. bertepatan tanggal 24 Desember 2003 M. SIFAT DAN STATUS Basyarnas, sesuai dengan Pedoman Dasar yang ditetapkan oleh MUI, merupakan lembaga hakam yang bebas merdeka, otonom dan independen, tidak dicampuri dan tidak dipengaruhi oleh lembaga kekuasaan dan pihak-pihak lainnya. Basyarnas merupakan perangkat organisasi MUI sebagaimana Dewan Syariah Nasional (DSN), Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM-MUI), Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (YDDP), Lembaga Perekonomian dan Keuangan MUI, Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumbaer Daya Alam, Komite Dakwah Khusus (KDK), Pusat Da’wah dan Pendidikan Akhlak Bangsa (PDPAB). Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika (PP-POM-UI),
ii
Yayasan Dana Dakwah Pembangunan (TDDP), Lembaga PerPendidikan Akhlak DASAR HUKUM
1. Al-Qur’an
a. Surah {49} AL-Hujurat,(9) “Dan jika dua golongan orang yang beriman berperang (bersengketa),maka damaikanlah keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sampai mereka kembali kepada ajaran Allah. Dan jika golongan itu telah kembali, maka damaikan keduanya dengan adil dan berlakulah adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
b. Surah{4} An-Nisa,(35) “Jika kamu khawatir terjadi sengketa diantara keduanya (suami isteri), maka kirimkan seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan (perdamaian), niscaya Allah akan memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Dengan metode analogi/qiyas, maka bilamana tahkim dalam sengketa suami isteri dibolehkan bahkan diperintahkan, sudah barang tentu dalam masalah lain yang menyangkut hak pribadi dibolehkan juga).
2. As-Sunnah
Hadist Riwayat Bukhari dan Muslim, warta dari Abi Hurairah r.a, mengabarkan Rasulullah bersabda: ”Ada seorang laki-laki membeli pekarangan dari seorang. Orang yang membeli tanah pekarangan tersebut menemukan sebuah guci yang berisikan emas. Kata orang yang membeli pekarangan, ambillah emasmu yang ada pada saya, aku hanya membeli daripadamu tanahnya saja dan tidak membeli emasnya. Jawab orang memiliki tanah, aku telah menjual kepadamu tanah dan barang-barang yang terdapat di dalamnya. Kedua orang itu lalu bertahkim (mengangkat arbiter) kepada seseorang. Kata orang yang diangkat menjadi arbiter, apakah kamu berdua mempunyai anak. Jawab dari salah seorang dari kedua yang bersengketa. ”ya”, saya mempunyai seorang anak laki-laki. Dan yang lain menjawab, saya mempunyai seorang anak perempuan. Kata arbitrator lebih lanjut, kawinkanlah anak laki-laki itu dengan anak perempuan itu dan biayailah kedua mempelai dengan emas itu, dan kedua orang tersebut menyedekahkan (sisanya kepada fakir miskin).
3. Ijma’
Banyak riwayat meunjukkan bahwa para ulama dan sahabat Rasulullah SAW dan sepakat (ijma’) membenarkan penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase. Misalnya, diriwayatkan tatkala Umar bin Khattab hendak membeli seekor kuda.Pada saat Umar menunggang kuda itu untuk uji coba, kaki kuda itu patah.Umar hendak mengembalikan kuda itu kepada pemilik. Pemilik kuda itu menolak. Umar berkata: “Baiklah, tunjuklah seseorang yang kamu percayai untuk
iii
menjadi hakam (arbiter) antara kita berdua. Pemilik kuda itu berkata: “Aku rela Syureh al Qadhi untuk menjadi hakam”. Maka mereka menyerahkan penyelesaian sengketa itu kepada Abu Syureih (Syureh al Qadhi). Abu Syureih (Syureh al Qadhi) yang dipilih itu memutuskan bahwa Umar harus mengambil dan membayar harga kuda itu. Abu Syureih (Syureh al Qadhi) berkata kepada Umar bin Khattab : “Ambillah apa yang kamu beli (dan bayar harganya), atau kembalikan kepada pemilik apa yang telah kamu ambil seperti semula tanpa cacat”. Umar menerima baik putusan itu dengan membayar harga kuda tersebut. Pada riwayat lain Umar bin Khattab bersengketa dengan Ubay bin Ka’ab tentang sebidang tanah dan bersepakat menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai hakam.Pada riwayat lain, Thalhah pernah bersengketa dan menunjuk hakam Jubeir bin Muth’im.
4. Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Arbitrase menurut Undang-Undang No.30 Tahun 1999 adalah cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan Lembaga Arbitrase adalah badan arbitrase yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. adalah salah satu Lembaga Arbitrase sebagaimana dimaksud Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Sebelum Undang-Undang 30 Tahun 1999 diundangkan, maka dasar hukum berlakunya arbitrase adalah : a. Reglemen Acara Perdata (Rv. S. 1847 : 52) Pasal 615 sampai dengan 651,
Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR. S.1941 : 44) Pasal 377 dan Reglemen Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg S.1927 : 227) Pasal 705.
b. UU 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman : Penjelasan Pasal 3 ayat 1. sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
c. Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI.
5. Undang-undang No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir dengan Undang-undang no. 50 tahun 2009
6. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 14 Tahun 2016 Tentang Tata cara penyelesaian perkara ekonomi syariah.
iv
7. Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia SK Dewan Pimpinan MUI No.Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 30 Syawal 1424 (24 Desember 2003) tentang Badan Arbitrase Syariah Nasional. Basyarnas merupakan lembaga hakam (arbitrase syariah) di Indonesia yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus sengketa muamalah yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain.
8. Fatwa DSN-MUI Fatwa-fatwa DSN-MUI perihal hubungan muamalah (perdata) diakhiri dengan ketentuan: “Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah”. (Lihat antara lain Fatwa No.04 tentang Jual Beli (Murabahah) Fatwa No 5 Jual-Beli Salam, Fatwa No.06 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa No.07 tentang Pembiayaan Mudharabah, Fatwa No.08 tentang Pembiayaan Musyarakah, dan Fatwa No.60…..
WEWENANG (YURISDIKSI)
BASYARNAS berwenang : a. Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalah (perdata) yang
timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Prosedur Basyarnas.
b. Memberikan pendapat hukum yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa mengenai persoalan berkenaan dengan suatu perjanjian.
PERATURAN PROSEDUR
Basyarnas mempunyai peraturan prosedur yang memuat ketentuan-ketentuan beracara antara lain: permohonan untuk mengadakan arbitrase, penetapan arbiter, acara pemeriksaan, perdamaian, pembuktian dan saksi-saksi, berakhirnya pemeriksaan, pengambilan putusan, perbaikan putusan, pendaftaran putusan, biaya arbitrase. Demikian profil singkat Basyarnas.
5
PERATURAN PROSEDUR BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL
(BASYARNAS)
Pasal 1 YURISDIKSI
Yurisdiksi BASYARNAS meliputi:
a) Menyelesaikan secara adil dan cepat sengketa muamalat/perdata yang timbul dalam bidang perdagangan, keuangan, industri, jasa, dan lain-lain yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa, dan para pihak sepakat secara tertulis untuk menyerahkan penyelesaiannya kepada Basyarnas sesuai dengan Peraturan Prosedur Basyarnas.
b) Memberikan pendapat hukum yang mengikat atas permintaan para pihak tanpa
ada sengketa mengenai suatu persoalan muamalat/perdata dalam sebuah perjanjian.
Pasal 2
KLAUSULA DAN PERJANJIAN ARBITRASE
1. Kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaian sengketa kepada Basyarnas, dilakukan oleh para pihak dengan cara:
b) mencantumkan klausula arbitrase dalam suatu naskah perjanjian atau; c) membuat perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat dan disetujui oleh para
pihak, baik sebelum maupun setelah timbul sengketa.
2. Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi muamalat/perdata secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka ke arbitrase di Basyarnas atau menggunakan Peraturan Prosedur Basyarnas, maka Basyarnas mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa diantara para pihak tersebut dan para pihak tunduk kepada Peraturan Prosedur Basyarnas yang berlaku.
6
Pasal 3 PERMOHONAN ARBITRASE
(1) Prosedur Arbitrase dimulai dengan mendaftarkan Permohonan Arbitrase oleh
pihak yang memulai proses arbitrase (Pemohon) pada Sekretariat Basyarnas. Sebelum permohonan arbitrase didaftarkan ke sekretariat Basyarnas Pemohon harus sudah memberitahukan secara tertulis kepada Termohon, bahwa syarat arbitrase berlaku.
(2) Surat Permohonan Arbitrase harus memuat sekurang-kurangnya: a. nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak dan / atau kuasa hukumnya; b. menyebutkan adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase; c. perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa; d. uraian tentang sengketa disertai bukti-bukti; e. dasar tuntutan serta jumlah tuntutan apabila ada; f. cara penyelesaian yang dikehendaki; g. perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter atau apabila
tidak pernah diadakan perjanjian semacam itu, Pemohon dapat mengajukan usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil atau tunggal, atau merujuk kepada Peraturan Prosedur Arbitrase BASYARNAS mengenai penunjukkan dan/atau pembentukan Arbiter Tunggal atau Arbiter Majelis.
(3) Surat Permohonan Arbitrase harus disertai :
a. salinan/copy surat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, yaitu ketentuan bahwa sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut akan diselesaikan oleh Basyarnas;
b. salinan/copy surat perjanjian arbitrase tersendiri yang secara khusus menyerahkan penyelesaian sengketa kepadaBasyarnas;
c. Surat Kuasa Khusus apabila Surat Permohonan Arbitrase diajukan oleh Kuasa hukum Pemohon.
d. Salinan/copy alat-alat bukti yang sudah dinazegelan.
(4) Setelah Pemohon mendaftarkan permohonannya dan telah membayar seluruh biaya Arbitrase, maka Sekretariat Basyarnas mengirimkan 1 (satu) copy permohonan kepada Termohon disertai permintaan agar Termohon menyampaikan jawaban atau jawaban tersebut disampaikan selambat-lambatnya pada sidang pertama.
7
Pasal 4 PENUNJUKAN ARBITER TUNGGAL
ATAU ARBITER MAJELIS
(1) Para pihak dapat menyepakati pemeriksaan dilakukan oleh Arbiter / Majelis
Arbiter .
Dalam hal para pihak menyepakati sengketa diperiksa oleh Majelis Arbiter, maka masing-masing pihak memilih satu orang Majelis Arbiter. Kedua orang Majelis Arbiter yang dipilih oleh masing-masing pihak tersebut memilih dan menentukan orang ketiga sebagai Ketua Majelis Arbiter.
Daftar Arbiter tersedia dan dapat dilihat di kantor Basyarnas.
Arbiter Basyarnas Pusat dapat menangani seluruh perkara di kantor perwakilan Basyarnas.
(2) Apabila para pihak menghendaki adanya Arbiter dari luar daftar yang disediakan
Basyarnas karena adanya pertimbangan khusus atas sengketa, maka Arbiter di luar daftar Basyarnas harus disepakati terlebih dahulu oleh para pihak dan untuk itu para pihak mengajukan permohonan tertulis kepada Ketua Basyarnas. Diterima atau tidaknya Arbiter luar tersebut diputuskan oleh Ketua Basyarnas dengan Surat Penetapan.
Apabila Ketua Basyarnas menolak permohonan penggunaan Arbiter dari luar,
maka berlaku ketentuan Pasal 4 ayat (1)
(3) Arbiter / Majelis Arbiter yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkara harus menandatangani Pernyataan Kesediaan tidak berpihak dan tidak mempunyai benturan kepentingan (conflict of interest) dengan para pihak, yang formulirnya disediakan oleh Sekretariat Basyarnas.
(4) Dalam hal klausula arbitrase menentukan bahwa sengketa dapat diadili oleh
Arbiter Tunggal yang disepakati oleh para pihak, maka dalam Permohonan Arbitrase, pemohon harus mengusulkan seorang Arbiter Tunggal yang memenuhi syarat. Usul/penunjukan arbiter tunggal tersebut harus disetujui secara tertulis oleh Termohon. Jika Termohon tidak menyetujui Arbiter Tunggal yang ditunjuk Pemohon, maka para pihak diberi waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Permohonan Arbitrase diterima oleh Termohon untuk menyepakati Arbiter Tunggal yang akan memeriksa dan mengadili sengketa mereka. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan dalam penunjukkan Arbiter Tunggal, maka sengketa akan diperiksa dan diadili oleh Majelis Arbiter, dengan mengacu pada ketentuan Pasal 4 ayat 1.
8
(5) Jika terdapat lebih dari 2 (dua) pihak yang bersengketa, pihak-pihak Pemohon akan dianggap sebagai satu pihak, sedangkan pihak-pihak Termohon akan dianggap sebagai satu pihak lainnya. Jika dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) pihak-pihak Pemohon atau pihak-pihak Termohon tidak mencapai kesepakatan untuk menunjuk seorang Arbiter / Majelis Arbiter, maka penunjukkan Arbiter / Majelis Arbiter oleh para pihak dinyatakan gagal. Selanjutnya Ketua Basyarnas berwenang menunjuk seorang arbiter / Majelis Arbiter untuk masing-masing pihak.
(6) Jika terdapat pihak ke tiga diluar perjanjian arbitrase yang mengajukan
intervensi, maka pihak yang mengajukan intervensi itu akan dianggap sebagai pihak (berdiri sendiri, pihak Pemohon dan pihak Termohon) sesuai dengan isi permohonan intervensinya dan penunjukan Arbiternya akan mengikuti ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 4 ini.
(7) Dalam hal para pihak yang bersengketa menyetujui pemeriksaan perkara dengan Majelis Arbiter , maka bersamaan dengan pendaftaran Permohonan Arbitrase, Pemohon harus menunjuk arbiter / Majelis Arbiter pilihannya. Dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender setelah Termohon menerima pemberitahuan adanya Permohonan Arbitrase, Termohon sudah harus menunjuk arbiter / Majelis Arbiter pilihannya. Jika Termohon tidak menunjuk Arbiter / Majelis Arbiter pilihannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka Termohon dianggap menyerahkan penunjukkan arbiter pilihannya kepada Ketua Basyarnas. Atas permohonan Termohon, Ketua Basyarnas dapat mengabulkan permohonan perpanjangan jangka waktu penunjukkan arbiter selama 7 (tujuh) hari kalender.
Kedua arbiter yang telah ditunjuk oleh para pihak selanjutnya akan memilih
arbiter ketiga yang akan bertindak sebagai ketua Majelis Arbiter dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak mereka menyatakan kesediaannya untuk memeriksa dan mengadili sengketa dengan menandatangani formulir dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). Dalam hal kedua Arbiter yang telah ditunjuk para pihak tersebut gagal menunjuk Arbiter ketiga sebagai ketua Majelis Arbiter, maka Ketua Basyarnas akan menunjuk seorang arbiter sebagai ketua Majelis Arbiter.
(8) Setiap arbiter yang telah ditunjuk berdasarkan mekanisme penunjukkan pada
ayat (7) di atas, dapat ditolak oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak para pihak menerima pemberitahuan dari Basyarnas mengenai penunjukkan Arbiter yang bersangkutan, jika terdapat indikasi yang jelas dan nyata mengenai ketidak-mandiriannya dalam memeriksa perkara. Permohonan penolakan terhadap arbiter harus diajukan kepada Ketua Basyarnas. Ketua Basyarnas wajib meneliti permohonan penolakan tersebut. Jika penolakan tersebut disetujui oleh Ketua Basyarnas, maka penunjukkan Arbiter pengganti dilakukan oleh Ketua Basyarnas.
9
(9) Apabila Ketua Basyarnas berhalangan melakukan kewenangannya maka
kewenangan tersebut dijalankan oleh salah seorang Wakil Ketua dan keberhalangannya tidak perlu dibuktikan kepada pihak ketiga.
(10) Apabila Arbiter Tunggal telah ditunjuk atau Arbiter Majelis telah dibentuk, maka
semua komunikasi dengan arbiter atau para arbiter harus dilakukan dengan kehadiran pihak lawannya atau jika komunikasi itu dalam bentuk tulisan, pihak lawannya harus mendapat tembusannya.
(11) Penunjukan arbiter atau Majelis Arbiter ditetapkan dengan surat penetapan oleh
ketua Basyarnas. (12) Arbiter atau Majelis arbiter dan pengurus Basyarnas tidak dapat dikenakan
tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan sehubungan dengan penyelenggaraan arbitrase yang dilaksanakan berdasarkan prosedur ini.
Pasal 5
PENGUNDURAN DIRI ARBITER
(1) Seorang arbiter yang telah menerima penunjukkan tidak boleh mengundurkan diri, kecuali pengunduran diri tersebut disetujui oleh para pihak.
(2) Paling lambat dalam waktu 10 (sepuluh) hari kerja dari tanggal permohonan
pengunduran diri arbiter, Ketua Basyarnas harus menunjuk arbiter pengganti.
Pasal 6 MENINGGAL / TIDAK BERFUNGSINYA ARBITER
(1) Apabila salah seorang arbiter meninggal dunia atau secara nyata salah seorang
anggota arbiter dalam keadaan tidak mungkin melaksanakan tugasnya, sedangkan tugasnya sebagai arbiter belum selesai, maka Ketua Basyarnas segera mengisi kedudukannya dengan menunjuk arbiter pengganti.
(2) Penggantian arbiter yang meninggal dunia, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
dari tanggal diketahuinya telah meninggal dunia, sedang arbiter yang berada dalam keadaan tidak mungkin melaksanakan fungsinya, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal diketahui keadaan tersebut.
(3) Dalam hal Arbiter Tunggal atau Ketua Majelis Arbiter atau 2 (dua) anggota Majelis
Arbiter diganti, maka pemeriksaan yang telah dilaksanakan diulang kembali namun segala dokumen yang telah dimasukkan tidak dapat ditarik kembali.
(4) Perhitungan jangka waktu pemeriksaan selama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender dimulai sejak ditunjuknya Arbiter Tunggal atau Majelis Arbiter pengganti.
10
Pasal 7 KEWENANGAN ARBITER
1. Arbiter / Majelis Arbiter memeriksa, mengadili dan memutus perkara antara para
pihak atas nama Basyarnas. 2. Dalam menjalankan semua kewenangan Basyarnas sesuai dengan peraturan
prosedur / Arbiter / Majelis Arbiter tidak melebihi tuntutan ( Ultra fetita). 3. Arbiter / Majelis Arbiter mengusahakan adanya perdamaian di antara para pihak.
Upaya perdamaian tersebut tidak mempengaruhi batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (4).
Pasal 8
PERHITUNGAN WAKTU DAN CARA PEMANGGILAN
(1) Perhitungan tenggang waktu atas segala pemberitahuan, panggilan dan surat menyurat lainnya dianggap telah diterima apabila secara nyata disampaikan ke alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan para pihak.
(2) Surat panggilan, pemberitahuan atau surat-surat lainnya kepada para pihak yang bersengketa disampaikan secara tertulis melalui pos tercatat atau melalui kurir atau dapat diambil langsung oleh para pihak di Sekretariat Basyarnas.
(3) Tanggal pengiriman melalui pos tercatat sebagai hari dimulainya perhitungan tenggang waktu.
(4) Apabila pengiriman melalui kurir ataupun diambil langsung oleh para pihak di Sekretariat Basyarnas, dibuatkan tanda terima oleh Sekretariat Basyarnas dan dihitung sebagai hari dimulainya perhitungan tenggang waktu.
(5) Apabila dalam perjanjian yang memuat klausula arbitrase, tempat tinggal atau
tempat kedudukan para pihak telah dinyatakan dengan tegas, maka Basyarnas akan menganggap alamat-alamat tersebut sebagai alamat tetap dan tidak berubah, kecuali jika yang bersangkutan secara tertulis memberitahukan kepada Basyarnas dan pihak lawan sengketanya tentang adanya perubahan alamat.
(6) Surat panggilan atau surat-surat lainnya dari Basyarnas kepada para pihak akan
disampaikan di tempat tinggal atau tempat kedudukan sebagaimana ditetapkan pada ayat (5) pasal ini.
(7) Setiap pengajuan permohonan, dokumen-dokumen lainnya, lampiran-lampirannya serta komunikasi tertulis harus diserahkan kepada Sekretariat Basyarnas dengan jumlah salinan yang cukup untuk memungkinkan Basyarnas memberikan satu salinan kepada para pihak, para arbiter yang bersangkutan serta untuk arsip Sekretariat Basyarnas.
11
Pasal 9 JAWABAN,EKSEPSI DAN REKONPENSI
(1) Termohon harus menyampaikan jawaban paling lama pada sidang pertama,
sekaligus dapat mengajukan eksepsi dan rekonpensi (apabila ada cukup dasar bagi Termohon)
(2) Jawaban harus disertai dengan : a. Surat Kuasa Khusus apabila Jawaban dan/atau tuntutan balasan
(rekonpensi) diajukan oleh Kuasa Termohon; b. dokumen bukti-bukti.(salinan/copy yang telah dinazegelen)
Pasal 10 ACARA PEMERIKSAAN
(1) Seluruh pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup.
(2) Bahasa yang digunakan dalam beracara adalah Bahasa Indonesia. Apabila para
pihak/salah satu pihak tidak memahami Bahasa Indonesia dan menghendaki adanya penerjemah, maka pihak yang berkepentingan harus menghadirkan penerjemah atas biayanya sendiri.
(3) Pihak ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri (intervensi) dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase Basyarnas, apabila terdapat unsur kepentingan yang terkait dan keturutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa serta disetujui oleh Arbiter yang memeriksa dan mengadili sengketa yang bersangkutan dengan membuat Surat Penetapan.
(4) Selama proses persidangan dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung,
Arbiter harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama kepada masing-masing pihak untuk membela dan mempertahankan kepentingannya.
(5) Baik atas pendapat sendiri maupun atas permintaan salah satu pihak, Arbiter
dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk keterangan ahli.
(6) Setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada Arbiter,
harus menyertakan salinannya untuk diberikan kepada pihak lawan sengketa.
(7) Pemeriksaan dilakukan secara langsung dan tertulis di depan persidangan yang ditetapkan untuk itu tanpa mengurangi pemeriksaan secara lisan.
12
Pemeriksaan terdiri dari tahap: Permohonan Arbitrase, Jawaban, Replik, Duplik,
pembuktian dan kesimpulan. (8) Pemeriksaan lisan terdiri dari tahap presentasi perkara oleh para pihak,
verifikasi bukti-bukti tertulis dan pemeriksaan saksi dan/atau ahli. Pemeriksaan lisan dilakukan di muka persidangan.
(9) Sekretaris Arbiter wajib merekam jalannya persidangan dan membuat berita
acara persidangan.
(10) Jangka waktu pemeriksaan adalah 180 hari kalender terhitung sejak tanggal penetapan terbentuknya Arbiter / Majelis Arbiter sampai dengan tanggal putusan dibacakan.
(11) Dalam hal terdapat penggabungan perkara (Intervensi), maka jangka waktu
pemeriksaan 180 hari kalender dihitung sejak adanya penetapan diterimanya perkara intervensi oleh Arbiter / Majelis Arbiter
(12) Arbiter / Majelis Arbiter berwenang untuk memperpanjang jangka waktu
tugasnya apabila :
a. diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu. b. Sebagai akibat ditetapkan putusan provisinil atau putusan sela lainnya, atau c. Dianggap perlu oleh Arbiter / Majelis Arbiter untuk kepentingan pemeriksaan.
Pasal 11
TEMPAT PERSIDANGAN
(1) Tempat persidangan dilakukan ditempat kedudukan Basyarnas di Jakarta atau di kantor / perwakilan Basyarnas atau di tempat lain atas persetujuan para pihak.
(2) Apabila para pihak menghendaki persidangan dilakukan di tempat lain dan hal tersebut harus berdasarkan persetujuan Arbiter, maka seluruh biaya yang timbul sehubungan dengan hal tersebut ditanggung para pihak.
(3) Apabila dipandang perlu oleh Arbiter, Majelis Arbiter dapat melakukan sidang di
tempat obyek sengketa dan biaya untuk itu ditanggung oleh para pihak.
Pasal 12 JADUAL PERSIDANGAN
(1) Jawaban atas Permohonan Arbitrase sudah harus disampaikan kepada Arbiter /
Majelis Arbiter ( melalui sekretariat Basyarnas) dalam jangka waktu paling lama
13
14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak Termohon menerima salinan Permohonan Arbitrase dari Basyarnas.
(2) Jangka waktu penyampaian Jawaban dapat diperpanjang atas permintaan Termohon. Arbiter / Majelis Arbiter dapat memberikan perpanjangan jangka waktu penyerahan Jawaban, paling lambat pada hari sidang pertama. Apabila Termohon hadir namun tidak menyerahkan Jawaban pada hari sidang pertama, maka Termohon dianggap melepaskan haknya untuk mengajukan jawaban terhadap permohonan Pemohon.
(3) Pada sidang pertama, Arbiter wajib mengusahakan perdamaian di antara para pihak. Pada sidang pertama, arbiter dapat menyusun jadwal persidangan yang disetujui para pihak
(4) Jika pada sidang pertama Termohon tidak hadir tanpa suatu alasan yang sah sementara telah dipanggil secara patut, maka Arbiter dapat menunda sidang dan melakukan panggilan susulan kepada Termohon dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kalender.
(5) Apabila pada hari yang telah ditentukan termohon tanpa suatu alasan sah tidak datang menghadap, sedangkan termohon telah dipanggil secara patut, Arbiter atau Majelis arbiter segera melakukan pemanggilan sekali lagi. Jika pada sidang kedua Termohon atau kuasanya tidak juga hadir setelah dipanggil secara patut untuk itu, maka Arbiter / Majelis Arbiter dapat melakukan pemanggilan terakhir, apabila panggilan terakhir Termohon tidak hadir, Arbiter / Majelis Arbiter dapat melanjutkan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran Termohon.
(6) Paling lama 14 (empat belas) hari setelah pemanggilan kedua diterima termohon dan tanpa alasan sah termohon juga tidak datang menghadap di muka persidangan, pemeriksaan akan diteruskan tanpa hadirnya termohon dan tuntutan pemohon dikabulkan seluruhnya, kecuali jika tuntutan tidak beralasan atau tidak berdasarkan hukum.
(7) Jika pada sidang pertama Pemohon tidak hadir tanpa suatu alasan yang sah sementara telah dipanggil secara patut, maka Permohonan Arbitrase dinyatakan gugur dan Arbiter akan memutuskan perkara arbitrase tidak dapat diterima.
(8) Jadual pemeriksaan selanjutnya, untuk penyampaian Replik, Duplik, pemeriksaan dan/atau verifikasi bukti serta penyampaian kesimpulan,dapat disampaikan ke Majelis Arbiter melalui sekertaris sidang di luar persidangan.
(9) Arbiter dapat menentukan bahwa pihak yang tidak memenuhi jadual persidangan
tanpa alasan yang sah, sementara telah dipanggil atau ditetapkan tanggal-tanggal pemeriksaan / sidang secara patut, dianggap melepaskan haknya untuk proses pemeriksaan / sidang yang telah ditentukan tersebut. Arbiter dapat memutuskan untuk melanjutkan proses pemeriksaan / sidang berikutnya.
14
(10) Panggilan dilakukan secara langsung atau melalui kurir dan/atau dengan surat tercatat.
Pasal 13 PERDAMAIAN
(1) Selama masa persidangan hingga sebelum pengambilan putusan, Arbiter harus
mengupayakan perdamaian di antara para pihak.
(2) Selama masa persidangan dan sebelum pengambilan putusan oleh Arbiter, para pihak yang bersengketa dapat melakukan perdamaian.
(3) Apabila tercapai perdamaian, maka Majelis Arbiter membuat Putusan Perdamaian yang sifatnya final dan mengikat para pihak, dan memerintahkan para pihak untuk menaati isi perdamaian tersebut. Bahwa akta perdamaian tersebut menjadi isi putusan perdamaian.
Basyarnas di Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Apabila perdamaian tidak tercapai, maka acara pemeriksaan dilanjutkan.
Pasal 14 PEMBUKTIAN DAN SAKSI / AHLI
(1) Para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan bukti-bukti disertai daftar bukti
dan penjelasannya. Tambahan bukti-bukti dapat diajukan para pihak selama masa persidangan sampai dengan batas waktu satu hari sebelum tanggal verifikasi bukti-bukti. Pihak Pemohon diberi kesempatan pertama mengajukan bukti tertulis kemudian disusul oleh Termohon.
(2) Pemeriksaan dan pencocokan bukti-bukti tertulis dapat dilakukan diluar sidang dan dilakukan oleh sekretaris sidang serta dilaporkan secara tertulis kepada Majelis
(3) Para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan saksi dan/atau ahlinya untuk didengar kesaksiannya / keterangannya dimuka sidang dengan syarat saksi/ahli tersebut telah menyampaikan keterangan tertulisnya paling lambat 10 (sepuluh)hari kalender sebelum yang bersangkutan didengar
15
kesaksian/keterangannya dimuka sidang. Dalam hal saksi tidak dapat memberikan keterangannya secara tertulis, maka atas pertimbangan Arbiter, saksi tersebut dapat memberikan kesaksian secara lisan. Dalam hal saksi/ahli tidak hadir pada sidang yang telah dijadualkan untuk mendengar kesaksian/keterangannya, maka Arbiter berwenang untuk tidak mempertimbangkan kesaksian / keterangan tertulis dari saksi/ahli yang tidak hadir dalam sidang tersebut.
(4) Pihak yang meminta dipanggilnya saksi atau ahli, harus menanggung sendiri
segala biaya pemanggilan dan perjalanan saksi atau ahli yang bersangkutan.
(5) Arbiter atas prakarsanya sendiri dapat meminta bantuan ahli untuk memberikan keterangan baik lisan maupun tertulis mengenai suatu persoalan khusus yang berhubungan dengan pokok sengketa dan biaya ditanggung oleh para pihak.
(6) Sebelum memberikan keterangan dimuka sidang, para saksi atau ahli wajib mengucapkan sumpah, bahwa saksi atau ahli hanya akan menerangkan apa yang mereka ketahui dengan sungguh-sungguh.
Pasal 15
PENCABUTAN PERMOHONAN ARBITRASE
(1) Selama belum dijatuhkan Putusan, Pemohon dapat mencabut Permohonan Arbitrase.
(2) Apabila pencabutan permohonan itu dilakukan oleh Pemohon sebelum terbentuk
Majelis Arbitrase dan panggilan untuk menghadap sidang belum disampaikan, maka biaya pemeriksaan dikembalikan kepada Pemohon setelah dipotong biaya administrasi.
(3) Apabila pencabutan permohonan itu dilakukan Pemohon sesudah ada Jawaban
dari Termohon sebagaimana dimaksud pasal 12, maka pencabutan tersebut haruslah dengan persetujuan Termohon.
(4) Apabila pencabutan permohonan dilakukan oleh Pemohon setelah pemeriksaan
sidang pertama dimulai, maka semua biaya yang telah dibayar oleh Pemohon tidak dikembalikan.
(5) Apabila para pihak sepakat untuk mencabut perkara setelah sidang dimulai, maka pencabutan tersebut dilakukan dengan penetapan oleh Arbiter / Majelis Arbiter.
16
Pasal 16 BERAKHIRNYA PEMERIKSAAN
(1) Apabila Arbiter menganggap pemeriksaan telah cukup, maka Arbiter / Majelis
Arbiter akan menutup pemeriksaan perkara dan menetapkan suatu hari sidang guna membacakan Putusan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kalender sejak ditutupnya proses pemeriksaan.
(2) Majelis Arbiter akan membacakan Putusan dalam suatu sidang yang dihadiri
oleh para pihak yang bersengketa, dan apabila salah satu atau para pihak tidak hadir walaupun telah diberitahukan atau dipanggil secara patut maka Putusan dapat dibacakan tanpa kehadiran pihak/para pihak sepanjang jangka waktu tersebut pada ayat 1 tidak terlewati.
Pasal 17 PENGAMBILAN PUTUSAN
(1) Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat persidangan sebagaimana
dimaksud pasal 11.
(2) Putusan Majelis Arbiter diambil berdasarkan musyawarah / mufakat, dan apabila mufakat tidak tercapai maka Putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Apabila terdapat perbedaan di antara para arbiter, maka perbedaan itu harus
dicantumkan dalam Putusan.
(4) Tuntutan dari masing-masing pihak terhadap pihak lainnya, akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter bersama-sama dan sekaligus dalam satu Putusan.
(5) Arbiter / Majelis Arbiter mempunyai hak dalam menetapkan putusan provisi atau putusan sela bila dianggap perlu apabila dalam penyelesaian sengketa bersangkutan, termasuk untuk menetapkan suatu putusan tentang sita jaminan, memerintahkan penyimpanan barang pada pihak ketiga atau penjualan barang yang tidak akan tahan lama. Majelis Arbitrse atau Arbiter tunggal berhak meminta jaminan atas biaya yang berhubungan dengan tindakan tersebut.
(6) Dalam hal diminta oleh salah satu pihak dalam Jawaban menyangkut kompetensi absolut untuk mengadili perkara atau masuknya pihak ketiga dalam suatu perkara, Majelis Arbiter akan memberikan Putusan Sela untuk menentukan berwenang atau tidaknya Basyarnas menangani sengketa yang diajukan, diterima atau tidaknya pihak ketiga bergabungdalam suatu perkara (intervensi).
17
Pasal 18
PUTUSAN ARBITRASE
(1) Putusan arbitrase sekurang-kurangnya harus memuat: a. kalimat Basmallah yang berbunyi: Bismillahirrahmannirrahim di atas kepala
Putusan; b. kepala putusan berbunyi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa; c. namalengkap dan alamat para pihak; d. uraian singkat sengketa; e. pendirian para pihak; f. nama lengkap arbiter; g. pertimbangan dan kesimpulan Arbiter mengenai keseluruhan sengketa; h. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam
Majelis Arbitrase; i. amar putusan; j. tempat dan tanggal putusan; dan k. tanda tangan Arbiter.
(2) Arbiter dapat mengambil putusan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aquo et bono). Sepanjang berkaitan substansi.
(3) Arbiter dilarang untuk memberikan Putusan yang tidak dituntut atau melebihi
tuntutan yang diminta oleh para pihak (ultra petita).
Pasal 19 PENDAFTARAN PUTUSAN
(1) Putusan Basyarnas yang sudah ditandatangani oleh Arbiter bersifat final dan
mengikat (Final and Binding) bagi para pihak yang bersengketa, dan wajib ditaati serta dilaksanakan secara sukarela.
(2) Salinan Putusan yang telah ditandatangani oleh Arbiter harus diberikan kepada
masing-masing pihak Pemohon dan Termohon.
(3) Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Putusan dibacakan, lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase didaftarkan oleh Arbiter atau kuasanya pada Kepaniteraan Pengadilan Agama tempat domisili Termohon ( Perma No.14 Tahun 2016)
18
(4) Basyarnas berhak untuk membuat dan menerbitkan anotasi atas Putusan yang dibuat oleh arbiternya setelah Putusan tersebut didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pasal 20
PERBAIKAN PUTUSAN
(1) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak Putusan diterima, para pihak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Arbiter untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan administrasi antara lain tentang kesalahan yang berkenaan dengan jumlah perhitungan, salah ketik atau salah cetak. Permintaan diajukan ke Sekretariat Basyarnas dan tembusannya disampaikan kepada pihak lawan.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat (1) di atas, Arbiter atas inisiatif sendiri
dapat melakukan perbaikan Putusan dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak Putusan diucapkan, hanya mengenai hal-hal yang tersebut dalam ayat 1.
(3) Perbaikan Putusan harus dibuat tertulis dan ditandatangani oleh Arbiter paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal diterimanya permintaan koreksi dari para pihak kepada Basyarnas.
Pasal 21
PEMBATALAN PUTUSAN
Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu:
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan: atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Pasal 22 PENDAPAT HUKUM YANG MENGIKAT
(1) Basyarnas dapat mengeluarkan Pendapat Hukum Yang Mengikat (Binding
Opinion) terhadap persoalan atas hubungan hukum perdata / muamalah tertentu dari suatu perjanjian.
(2) Pendapat Hukum Yang Mengikat diberikan atas permintaan para pihak tanpa adanya suatu sengketa.
19
(3) Terhadap Pendapat Hukum Yang Mengikat tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apapun.
(4) Pendapat hukum yang mengikat diajukan para pihak kepada Ketua Basyarnas dalam satu surat permohonan yang ditandatangani bersama-sama oleh para pihak yang meminta Pendapat Yang Mengikat.
(5) Surat permohonan harus disertai : a. Salinan/copy Surat Perjanjian yang merupakan adanya hubungan perikatan
dan / atau hukum. b. Surat Kuasa Khusus apabila Surat Permohonan diajukan oleh Kuasa Hukum
Pemohon. c. Dokumen-dokumen dan/atau informasi-informasi lain yang terkait dengan
persoalan yang dimintakan Pendapat Yang Mengikat.
(6) Surat permohonan Pendapat Hukum Yang Mengikat, sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal atau tempat kedudukan para
pihak dan/atau kuasa hukumnya. b. Perjanjian atau kesepakatan yang menjadi persoalan. c. Uraian persoalan disertai dokumen-dokumen pendukung. d. Pendapat yang diminta terkait dengan persoalan yang diajukan.
(7) Setelah menerima surat permohonan, Basyarnas dapat meminta pihak-pihak untuk hadir dalam pertemuan dalam rangka verifikasi persoalan yang dimintakan Pendapat Yang Mengikat. Para pihak wajib memberikan tambahan data dan/atau informasi yang diminta Basyarnas dalam rangka pembuatan Pendapat Yang Mengikat.
(8) Pendapat Yang Mengikat diberikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Basyarnas menerima seluruh dokumen-dokumen atau keterangan-keterangan dari pihak-pihak secara lengkap.
(9) PendapatYang Mengikat harus memuat kalimat Basmallah yang berbunyi : Bismillahirrahmannirrahim di atas kepala Pendapat Yang Mengikat dan ditandatangani oleh arbiter pembuat Pendapat Hukum Yang Mengikat dan Ketua Basyarnas.
(10) Besarnya biaya Pendapat Yang Mengikat ditetapkan oleh Ketua Basyarnasdalam suatu Peraturan tersendiri.
20
Pasal 23 BIAYA ARBITRASE
(1) Biaya arbitrase terdiri dari biaya pendaftaran dan biaya pemeriksaan serta
honorarium Arbiter.
(2) Besarnya biaya arbitrase ditetapkan oleh Ketua Basyarnas dalam suatu Peraturan tersendiri.
(3) Biaya pendaftaran ditanggung oleh Pemohon atau Pemohon Intervensi. Biaya pemeriksaan serta honorarium Arbiter harus ditanggung oleh para pihak yang bersengketa secara bersama-sama, masing-masing secara proposional yang jumlahnya ditetapkan oleh ketua Basyarnas.
(4) Pendaftaran perkara Arbitrase tidak akan diproses oleh Sekretariat Basyarnas, apabila biaya pendaftaran dan biaya pemeriksaan serta honorarium Arbiter sebagaimana ditetapkan dalam peraturan tentang biaya arbitrase yang ditetapkan oleh Basyarnasbelum dibayar lunas.
(5) Dalam hal terdapat pihak ketiga yang menggabungkan diri (intervensi) dalam
perkara arbitrase yang diperiksa Basyarnas, maka biaya arbitrase atas perkara intervensi tersebut akan diperhitungkan tersendiri dan menjadi tanggungan sepenuhnya bagi pihak yang menggabungkan diri tersebut.
(6) Jika Pemohon telah melunasi seluruh biaya-biaya tersebut di awal, maka dalam Putusannya, Arbiter dapat mencantumkan kewajiban Termohon untuk membayar biaya-biaya arbitrase tersebut sesuai dengan porsinya. Apabila Basyarnas telah menerima pembayaran porsi Termohon, Basyarnas akan mengembalikan sebagian biaya-biaya arbitrase yang telah diterima olehnya dari Pemohon sejumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh Termohon.
(7) Arbiter berwenang menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab untuk membayar, atau melakukan pengembalian pembayaran kepada pihak lain, untuk seluruh atau sebagian biaya-biaya itu, pembagian mana harus dicantumkan dalam Putusan.
(8) Pada umumnya apabila salah satu pihak sepenuhnya berhasil dalam tuntutannya maka pihak lawannya memikul seluruh biaya dan apabila masing-masing pihak berhasil memperoleh sebagian dari tuntutannya, biaya-biaya menjadi beban kedua belah pihak secara proporsional
21
Pasal 24 KEWENANGAN WAKIL KETUA BASYARNAS
Apabila Ketua Basyarnas berhalangan melakukan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini, maka kewenangan tersebut dilakukan oleh salah seorang Wakil Ketua, dan keberhalangannya tidak perlu dibuktikan kepada pihak lain.
Pasal 25 KEWENANGAN MEMBUAT PELENGKAP PERATURAN
Terhadap hal-hal yang tidak diatur atau belum cukup diatur dalam Peraturan ini, Basyarnas memiliki kewenangan untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang tidak/belum diatur tersebut dengan mengacu kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan Fatwa Dewan Syariah Nasional yang relevan.
Pasal 26 BERLAKUNYA PERATURAN PROSEDUR BASYARNAS
Peraturan Prosedur Basyarnas ini berlaku sejak disahkan. Perkara arbitrase yang pemeriksaannya sudah / sedang berjalan sebelum disahkannya Peraturan Prosedur Basyarnas ini tetap tunduk dan mengacu pada Peraturan Prosedur Basyarnas sebelumnya.
Disyahkan di : Jakarta Pada tanggal :25 Dzulhijjah 1439 H 06 September 2018 M