Page 1
PENYAKIT TINEA CORPORIS ET CRURIS
1. Definisi
Tinea corporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi
maupun noninflamasi pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian
muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea
sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine trichophytique.1,2,3,4,5
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Sinonim untuk penyakit ini adalah eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, dan
ringworm of the groin.
2. Epidemiologi
Tinea corporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang
panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi yang hangat dan lembab
membantu penyebaran infeksi ini. Oleh karena itu, daerah tropis dan subtropis memiliki
insien yang tinggi terhadap tinea corporis. Tinea corporis dapat terjadi pada semua usia. Bisa
didapatkan pada orang yang bekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan.5,6 Maserasi
dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan
memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu
yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya
handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.7
Pada tinea cruris, onsetnya biasanya pada orang dewasa, laki-laki lebih sering terjangkiti
daripada wanita. Faktor predisposisinya antara lain lingkungan yang hangat dan lembab,
pakaian yang ketat, kegemukan dan penggunaan obat glukokortikoid.
3. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan jamur ini
mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita termasuk kelas Fungi imperfecti, yang
terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Walaupun
semua dermatofita bisa menyebabkan tinea corporis, penyebab yang paling umum adalah T.
rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.1,2,3,5
Pada tinea cruris penyebabnya hampir sama dengan tinea corporis. Penyebab tinea cruris
yang tersering yaitu: T. rubrum, T. mentagrophytes, atau E. Floccosum.
Page 2
4. Patofisiologi
Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke keratinosit, penetrasi
melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host.
1. Perlekatan. Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada
jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal dan
sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh glandula
sebasea juga bersifat fungistatik
2. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum
korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu
oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk
jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan
didalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit.
Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis.
3. Perkembangan respons host. Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan
organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity
(DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatofita. Pada pasien yang
belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi
minimal dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan sedikit eritema dan
skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa
antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam
limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang
terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier
epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur
hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.2,3,4
5. Gejala Klinis
Penderita merasa gatal, dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi
kulit (polimorfi). Bagian tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada
bagian tengah. wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan
skuamasi, menahun.1,2
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri
atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah tengahnya
biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang
sering disebut dengan sentral healing1,2
Page 3
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat terlihat
secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan
memberi gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodefisiensi.Pada tinea korporis
yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi
pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.1,2
Pada tinea cruris kelainannya dapat bersifat akut dan menahun, bahkan seumur hidup. Lesi
kulit dapat terbatas tegas pada daerah genito-krural, atau meluas ke sekitar anus, daerah
gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela
paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada didaerah
tengahnya. Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder
(polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit
sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea cruris merupakan salah satu
bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.5
6. Diagnosis
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang diderita pasien. Dari
gambaran klinis didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai, dada, perut atau punggung. Infeksi
dapat terjadi setelah kontak dengan orang yang terinfeksi atau hewan atau objek yang baru
terinfeksi. Pasien mungkin mengalami gatal-gatal, nyeri atau pasien dapat merasa sensasi
terbakar.1,5
Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan sinar
ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan pada lesi akan timbul warna
kehijauan. Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan
elemen jamur berupa hifa panjang dan artrospora. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan
bahan diatas bahan alas (objek glass), kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi
larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah
sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk
melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemnasan sediaan
basah diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan
dihentikan. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang
diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat
warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.1
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan
Page 4
basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan
bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium
agar dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih
sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan
sensitivitasnya kurang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan
langsung.8
7. Diagnosa Banding
Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya, namun ada
beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosis itu, misalnya dermatitis seboroika,
psoriasis, dan pitiriasis rosea.1,5
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya
dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan
kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.. Kulit kepala berambut
juga sering terkena penyakit ini. Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroika adalah
skuamanya yang berminyak dan kekuningan. 1
Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema pada bagian pinggir
sehingga menyerupai tinea. Perbedaannya ialah pada psoriasis terdapat tanda-tanda khas
yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, fenomena tetes lilin, dan fenomena
auspitz. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah
ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. 1
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian
proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang
dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Perbedaannya pada pitiriasis rosea
gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus sedangkan pada
tinea korporis kasar. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. 1,5
8. Penatalaksanaan
Terapi yang dapat diberikan pada pasien bervariasi tergantung derajat lesi yang ada. Prinsip
pengobatan pada tinea kruris lebih kurang sama dengan prinsip pengobatan tinea korporis
Terapi topikal
Terapi ini direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup pada
jaringan. Pada masa kini selain obat-obat topical konvensional, misalnya asam salisil 2-4%,
asam benzoate 6-12%, sulphur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5% dan zat warna
(hijau brilian dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topical baru. Obat-obat baru ini
Page 5
diantaranya tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin, berbagai macam preparat imidazol dan
alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semua obat-obat baru ini memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu
tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan
perbaikan klinik yang tinggi.Berikut obat yang sering digunakan :
1. Topical azol terdiri atas: Econazol 1 %, Ketoconazol 2 %, Clotrimazol 1%, Miconazol 2%
dll. Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada
pembentukan ergosterol membran sel jamur.
2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase
sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur, yaitu
naftifine 1%, butenafin 1%. Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu
bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.
3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan
esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen
topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas. 1.2,4,9,10
Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan bahwa
obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada
telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien
tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.
1. Griseofulvin. Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25
mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu,
diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.
2. Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari – 2 minggu pada pagi
hari setelah makan
3. Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun
absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4. Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat
fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea.
Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.
5. Amfoterisin B. Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces
nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur,
Page 6
protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.
Tinea corporis et cruris
Tinea corporis di punggung
Tinea corporis di perut dan pubis
I. SINONIM
Tinea corporis disebut juga tinea sirsinata, tinea globrosa, atau kurap. Sedangkan
tinea cruris disebut juga exzema marginatum, dhobie icth, jockey itch, ringworm of the groin.1
II. DEFINISI
Tinea corporis merupakan infeksi jamur dermatofita pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin) di daerah muka, lengan, badan, gan glutea.2 Kelainan ini dapat terjadi pada
tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada paha. Dalam hal ini disebut tinea
corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.
Sedangkan tinea kruris adalah penyakit infeksi jamur dermatofita di daerah lipat paha,
genitalia dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah.2
III. EPIDEMIOLOGI
Page 7
Tinea korporis dan kruris terdapat di seluruh dunia, terutama pada daerah tropis dan
insiden meningkat pada kelembaban udara yang tinggi. Penyakit ini masih banyak terdapat di
Indonesia dan masih merupakan salah satu penyakit rakyat.4
Di Jakarta, golongan penyakit ini menempati urutan kedua setelah dermatitis. Di
daerah lain, seperti Padang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Menado, keadaanya kurang
lebih sama, yakni menempati urutan kedua sapai keempat terbanyak dibandingkan golongan
penyakit lainnya.2
Tinea korporis dan cruris dapat menyerang semua umur. Pada tinea korporis dapat
menyerang pria dan wanita, sedangkan tinea kruris lebih banyak terjadi pada laki-laki.
Kebersihan badan dan lingkungan yang kurang sangat besar pengaruhnya terhadap
perkembagan penyakit ini.
Cara penularannya dapat langsung dari tanah, hewan dan manusia ke manusia dan
secara tidak langsung, yaitu kontak dengan benda yang sudah terkontaminasi, misalnya dari
tanaman yang terkena jamur, kateter, pakaian yang lembab, dan air.3,4
IV. ETIOLOGI
Tinea korporis dan kruris disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang
meneyrang jaringan berkeratin. Jamur ini bersifat keratinofilik dan keartinolisis. Dermatofita
terbagi dalam 3 genus, yaituMicrosporon, Epidermofiton, dan Trikofiton.4
Penyebab tersering tinea korporis adalah T rubrum dan T. mentagrophytes, sedangkan
tinea kruris biasanya disebabkan oleh E. floccosum, namun dapat pula oleh T. rubrum dan T.
mentagrophytes, yang ditulaskan secara langsung atau tidak langsung.2, 3
V. PATOGENESIS
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan
tubuh non spesifik dan spesifik. Pada waktu menginvasi pejamu, jamur harus mempunyai
kemampuan melekat pada kulit dan mukosa, serta menembus jaringan pejamu. Selanjutnya
jamur harus mampu bertahan di dalam lingkungan dan dapat menyesuaiakn diri dengan suhu
serta keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi
jaringan atau radang. Dari berbagai kemampuan tersebut, kemampuan jamur untuk
menyesuaikan diri di dalam lingkungan pejamu, dan kemampuan mengatasi pertahanan
seluler, merupakan dua mekanisme terpenting dalam patogenesis penyakit jamur.
Mekanisme imun non spesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi
jamur. Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal, usia
Page 8
dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa, sekresi permukaan, dan
respon radang.
Produksi keringat dan sekresi kelenjar merupakan pertahanan spesifik termasuk asam
laktat dan asam lemak yang mempunyai pH yang rendah untuk menambah potensi anti jamur.
VI. GEJALA KLINIS
Mula-mula timbul lesi kulit berupa bercak eritematosa yang gatal, terutama bila
berkeringat. Olah karena gatal dan digaruk, lesi akan makin meluas, terutama pada daerah
kulit yang lembab.2
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi
pada umumnyamer bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula
terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik karena beberapa lesi kulit yang
menjadi satu.1
Tinea korporis yang menahun ditandai dengan sifat kronik. Lesi tidak menunjukkan
tanda-tanda radang yang akut, kelainan ini biasanya terjadi pada bagian tubuh dan tidak
jarang bersama-sama dengan tinea kruris.2
Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, dapat menyebar luas dan kadang
berbentuk lingkaran yang dapat diasumsikan sebagai penampakan granulomatosa.5
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis tinea korporis dan kruris ditegakkan berdasarkan klinik dan lokalisasinya,
serta pemeriksaan kerokan kulit dari tepi lesi dengan mikroskop langsung dengan larutan
KOH 10-20% untuk melihat hifa atau spora jamur.2 Untuk melihat elemen jamur lebih nyata,
dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta parker superchroom blue
black.1
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung
sedian basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini
adalah medium agar dekstrosa Sabouraud.1
VIII. DIAGNOSIS BANDING
1. Pitiriasis rosea: gambaran makula eritematosa dengan tepi sedikit meninggi, ada papula,
skuama, diameter panjang lesi menuruti garis kulit
Page 9
2. Kandidiasis: lesi relatif lebih basah, berbatas jelas disertai lesi-lesi satelit
3. Psoriasis: skuama lebih tebal dan berlapis-lapis
4. Neurodermatitis sirkumskripta: makula eritematosa berbatas tegas terutama pada daerah
tengkuk, lipat lutut dan lipat siku.3
IX. TERAPI
Terapi anti jamur topikal efektif untuk infeksi pada kulit tubuh yang tidak berambut
dan membran mukosa untuk penyakit yang belum luas dan tidak ada komplikasi.5
Biasanya dipakai salep atau krim antimikotik, seperti salep whitfield, campuran asam
salisilat 5% dengan asam benzoat 10% dan resorsinol 5% dalam spirtus, Castellani’s paint,
imidazol, ketokonazol, dan piroksolamin siklik, yang digunakan selama 2-3 minggu. Pada
tinea kruris, karena lokasinya sangat peka nyeri, maka konsentrasi obat harus lebih rendah
dibandingkan lokasi yang lain.3
Terapi sistemik diindikasikan untuk kasus tinea korporis dan kruris yang berat yang
melibatkan penderitaimmunocompromised, dengan lesi inflamasi atau pada kasus yang tidak
responsif dengan terapi topikal.5
Griseofulvin, terbinafin, ketokonazol, sering digunakan untuk terapi sistemik.
Griseofulvin oral meningkatkan efisiensi dari medikasi topikal. Griseofulvin bersifat
fungsistatik. Secara umum, griseofulvin dapat dibeirkan 0,5 – 1g untuk orang dewasa dan
0,25-0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10 – 25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan
bergantung pada beratnya penyakit. Setelah sembuh klinis, dilanjutkan 2 minggu agar tidak
residif. Terbinafin yang bersifat fungisidal juga dapat diberikan dengan dosis 250 mg sehari
selama 1 minggu. Obat peroral lain yang dapat diberikan adalah ketokonazol yang bersifat
fungisitatik, dengan dosis 100-200 mg sehari selama 10 hari – 2 minggu.1, 7
Selain dengan terapi dan sistemik, perlu diberikan edukasi pada pasien untuk menjaga
kebersihan kulit dan lingkungan, memakai pakaian dari katun dan tidak ketat, menggunakan
sabun ringan dan menjaga agar kulit yang sakit tetap kering.8
X. PROGNOSIS
Dengan terapi yang benar dan menjaga kebersihan kulit, pakaian dan lingkungan.
Prognosis tinea korporis dan kruris adalah baik. Penting juga untuk menghilangkan sumber
penularan untuk mencegah reinfeksi dan penyebaran lebih lanjut.6
Page 10
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja, U., (2000). Mikosis. Dalam: Djuana, A., (ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Hal: 90-7
2. Harahap Marwali, (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates. Hal: 77-8
3. Siregar RS., (1996). Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. hal:19-21.
4. Hartadi, Hardjono, Naoryda. (1991). Dermatomikologi. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
hal:9-11
5. Harahap Marwali. (1997). Diagnosis and Treatment of Skin Infection. London: Blackwell
Science Ltd. p:339-43.
6. Budimulja, U., (2001). Dermatomikosis Superficialis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hal: 7-
16, 29-43
7. Arnold, Harry, L., et al. (1990). Andrew’s Diseases of The Skin: Clinical Dermatology.
Philadelphia: WB Saunders Company. p:331-353.
8. Pendit, Brahm, U., (2001). Dermatologi Praktis. Jakarta: Penerbit Hipokrates. Hal: 102-6.
TINEA CORPORIS
1.1. DEFINISI
Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin).1 Tinea
corporis termasuk semua infeksi dermatofitosis superfisial di luar dari kulit kepala, janggut,
wajah, tangan, kaki, dan selangkangan. Predileksi terdapat pada daerah leher, ekstremitas atas
dan bawah, dan batang tubuh.2
1.2. EPIDEMIOLOGI
T. rubrum adalah agen menular yang paling umum di dunia dan merupakan sumber dari 47%
dari kasus tinea corporis.Trichophyton tonsurans adalah yang paling umum dermatofit
menyebabkan tinea capitis, dan orang-orang dengan infeksi tinea capitis anthropophilic lebih
mungkin untuk mengembangkan terkait tinea corporis. Oleh karena itu, prevalensi tinea
corporis yang disebabkan oleh T. tonsuransmeningkat. Microsporum canis adalah organisme
kausatif ketiga yang paling umum dan terkait dengan 14% dari infeksi tinea corporis.
Page 11
Sebuah studi 5 tahun dari Kuwait yang mencakup 2.730 pasien melaporkan bahwa infeksi
jamur kulit tetap lazim di negara itu, khususnya daerah Modal. Dalam pasien dengan
dermatofit, 6 spesies yang terisolasi. Mereka termasuk Trichophyton mentagrophytes (39%),
M canis (16%), T rubrum (10%), Epidermophyton floccosum (6,2%), Trichophyton
violaceum (2,4%), dan Trichophyton verrucosum (0,4%)
Tinea corporis terjadi baik pada pria maupun wanita. Wanita usia subur lebih mungkin untuk
mengembangkan tinea corporis sebagai hasil dari mereka yang lebih besar frekuensi kontak
dengan anak yang terinfeksi.
Tinea corporis mempengaruhi orang dari semua kelompok umur, tetapi prevalensi tertinggi di
preadolescents. Tinea corporis yang diperoleh dari hewan lebih umum pada anak-anak. Tinea
corporis yang merupakan penyakit sekunder dari tinea capitis biasanya terjadi pada anak-
anak karena tinea capitis lebih umum pada populasi ini.3
1.3. ETIOLOGI
Berbagai macam organisme dapat menyebabkan infeksi jamur tipe ini. Microsporum canis,
T.rubrum, T.mentagrophytes adalah organisme penyebab yang paling sering. T.
Tonsurans juga merupakan penyebab meningkatnya tinea corporis.2
1.4. PATOGENESIS
Dermatofit terutama hidup pada daerah yang mati, lapisan korneum kulit, rambut, dan
kuku, yang menarik untuk lingkungan yang hangat, lembab kondusif untuk proliferasi jamur.
Jamur dapat melepaskan keratinase dan enzim lain untuk menyerang lebih dalam stratum
korneum, walaupun biasanya kedalaman infeksi terbatas pada epidermis. Mereka umumnya
tidak menyerang secara mendalam, karena mekanisme pertahanan host spesifik yang dapat
termasuk aktivasi serum faktor inhibitor, komplemen, dan leukosit polimorfonuklear.
Setelah masa inkubasi 1-3 minggu, dermatofit menginvasi perifer dalam pola sentrifugal.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi, perbatasan aktif memiliki peningkatan proliferasi sel
epidermis dengan skala yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan mekanisme defensi secara
parsial sehingga terjadi penumpukan kulit yang terinfeksi dan meninggalkan kulit yang sehat
di bagian tengah hingga bagian lesi. Eliminasi dermatofit dicapai oleh sel imunitas.
Trichophyton rubrum adalah dermatofit umum dan, karena dinding selnya, yang tahan
terhadap eradikasi. Pelindung ini berisi mannan, yang dapat menghambat sel imunitas,
Page 12
menghambat proliferasi keratinosit, dan meningkatkan resistensi organisme untuk pertahanan
alami kulit.3
1.5. GEJALA KLINIS (GAMBARAN LESI)
Kecil hingga besar, scaling, plak yang berbatas tegas dengan atau tanpa pustula atau
vesikula, biasanya pada bagian tepi. Gambaran tepi yang lebih aktif disertai bagian tengah
yang lebih tenang menghasilkan konfigurasi cincin konsentris atau lesi arkuata; fusi
menghasilkan pola lesi berputar. Tunggal dan kadang-kadang beberapa tersebar lesi. Bullae.
Lesi granulomatosa (granuloma Majocchi's). Psoriasiform plak. Lesi verukosa. Lesi infeksi
zoophilic (dikontrak dari hewan) lebih inflamasi, dengan vesikulasi ditandai dan krusta pada
tepi, bullae.4
1.6. DIAGNOSIS
Ditemukannya lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-
kadang dengan vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-
bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi
dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.1
1.7. PEMBANTU DIAGNOSIS
Diagnosis relatif mudah dibuat dengan menemukan jamur dibawah mikroskop pada kerokan
kulit. Kerokan kulit dapat dikultur dengan menggunakan medium yang cocok. Pertumbuhan
dari jamur pada media kultur paling sering muncul dalam waktu 1 atau 2 minggu.2
1.7.1. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS
Sampel untuk diagnosis diperoleh dari kerokan (scrapping) dan usapan lesi kulit. Bagian
yang terinfeksi dibersihkan dengan alkohol 70%. Hasil kerokan kemudian diletakkan pada
gelas objek steril selanjutnya ditambahkan 1-2 tetes KOH 10%. Sediaan dibiarkan pada
temperatur kamar selama 2-5 meni, dilayangkan beberapa kali di atas api kecil dan dilihat di
bawah mikroskop. Adanya hifa atau konidia menunjukkan infeksi disebabkan oleh jamur.5
1.7.2. KULTUR BAKTERI
Bila pemeriksaan positif (ditandai adanya hifa atau konidia pada hasil scrapping) dilanjutkan
dengan kultur bakteri. Infeksi positif oleh jamur dikerok dengan skalpel, hasil kerokan
diencerkan dengan akuades hingga 10-2. Hasil pengenceran dikultur pada media nutrient agar,
diinkubasi 370C, 24 jam. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung. Jenis bakteri diidentifikasikan
Page 13
dengan pewarnaan Gram. Bakteri teridentifikasi Gram + atau bentuk kokus dikultur kembali
dengan media MSA (Mannitol Salt Agar) dan diuji katalase. Bakteri Gram – dan bentuk
batang dikultur dengan media reaksi biokimia seperti triple sugar iron agar (TSI), sulfur
indole motility agar (SIM), dan simon citrate agar. Dari hasil kultur bakteri dijumpai pada
setiap tinea Staphylococcis aureus, Enterobacter aerogenesdan Staphylococcus
faecalis. Staphylococcus aureus paling banyak dijumpai pada tinea corporis, tinea pedis, dan
tinea kruris. 5
1.7.3. PCR
Apabila evaluasi klinik tidak dapat disimpulkan, metode molekuler PCR untuk identifikasi
DNA jamur dapat dilakukan.3
1.7.4. HISTOLOGI
Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin dari tinea corporis menunjukkan
spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat superfisial. Neutrofil dapat dilihat dalam stratum
korneum yang merupakan petunjuk diagnostik signifikan. Septa percabangan hifa terkadang
dapat terlihat dalam stratum korneum dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin, tetapi
pewarnaan jamur khusus misalnya asam-Schiff, Gomori perak methenamine mungkin
diperlukan.3
1.8. DIAGNOSIS BANDING
1.8.1. DERMATITIS SEBOROIKA
Tempat predileksinya di kulit kepala, lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah
nasolabial, dan sebagainya.
1.8.2. PSORIASIS
Lesi lebih merah, skuama, lebih banyak dan lamelar. Kelainan kulit pada tempat predileksi
yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering
terkena. Adanya lekukan-lekukan pada kuku dapat menolong untuk menentukan diagnosis.
1.8.3. PITIRIASIS ROSEA
Distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota
badan, sukar dibedakan dengan tinea corporis tanpa herald patch yang dapat membedakan
penyakit ini dengan tinea corporis. Pemeriksaan laboratorium yang dapat memastikan
diagnosisnya. 1
1.9. TERAPI
Page 14
Pengobatan ini dipilih berdasarkan lokasi infeksi, etiologi dan kemampuan penetrasi
obat. Kemampuan penetrasi dan retensi di lokasi infeksi menentukan keefektifan dan berapa
frekuensi yang diperlukan.6 Tujuan utama dari farmakoterapi adalah untuk mengurangi
morbiditas dan untuk mencegah komplikasi. Untuk lesi lokal dari tinea corporis,
pengobatan topikal dapat digunakan, untuk lesi yang menyeluruh atau inflamasi (kerion),
termasuk pasien dengan immunocompromise indikasi untuk terapi oral.3
1.9.1. TOPIKAL
Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit jarang menginvasi ke
jaringan yang hidup. Terapi topikal sebaiknya dioleskan hingga 2 cm diluar dari lesi
sebanyak 1 atau 2 kali sehari selama 2 minggu, tergantung agen yang digunakan.Golongan
azole dan allylamine topikal menunjukkan efisiensi yang tinggi. Agen ini menginhibisi
sintesis dari ergosterol, sel membran sterol mayor dari jamur.
· Topikal azole (contoh : econazole, ketoconazole, clotrimazole, miconazole, oxiconazole,
sulconazole, sertaconazole) menghambat enzim lanosterol 14-alfa-demethylase, sitokrom
P450 yang mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Inhibisi dari enzim ini menghasilkan
membran sel jamur menjadi tidak stabil dan menyebabkan membran sel menjadi lisis.
Dermatofit yang lemah tidak dapat bereproduksi dan dapt terbunuh perlahan dengan
fungistatik. Sertaconazole nitrat merupakan topikal azole yang terbaru. Kemampuannya dapat
sebagai fungisidal dan anti inflamasi dan bersifat broadspektrum.
· Allylamine (contoh : naftifine, terbinafine) dan berhubungan dengan benzylamine
butenafine yang menghambat squalene epoxidase, dimana mengubah squalene menjadi
ergosterol.Inhibisi dari enzim ini menyebabkan squalene (substansi toksik bagi sel jamur)
terakumulasi intraseluler dan menyebabkan kematian sel yang cepat. Allylamine mengikat
efektif pada stratum korneum karena bersifat lipofilik. Selain itu dapat juga penetrasi hingga
ke folikel rambut.
- Ciclopirox olamine adalah agen topikal fungisidal. Ini menyebabkan membran
menjadi tidak stabil dengan berakumulasi di dalam sel jamur dan mengganggu
transport asam amino yang melewati membran sel jamur.
- Topikal kortikosteroid potensi rendah hingga sedang dapat ditambahkan ke dalam
regimen antifungal topikal untuk menghilangkan gejala. Steroid dapat menghilangkan
komponen inflamasi dari infeksi dengan cepat, tetapi steroid sebaiknya hanya
diberikan untuk terapi awal. Penggunaan steroid jangka panjang dapat menimbulkan
infeksi yang menetap dan berulang, dapat juga menyebabkan atrofi kulit, striae, dan
teleangiektasis.
Page 15
1.9.2. SISTEMIK
Terapi sistemik diindikasikan untuk tinea corporis yang infeksinya meluas, imunosupresi,
resisten terhadap terapi topikal antijamur, dan komorbid dengan tinea kapitis dan tinea
unguium.
· Mekanisme kerja dari oral micronized griseofulvin melawan dermatofit yaitu dengan
mengganggu mikrotubulus spindle mitosis pada metafase, menyebabkan mitosis sel jamur
menjadi terhambat. Dosisnya adalah 10 mg/kg/hari selama 4 minggu.
· Sistemik azole (contoh : fluconazole, itraconazole, ketoconazole) fungsinya sama dengan
agen topikal, yang menyebabkan destruksi dari membran sel.
o Ketoconazole oral 3-4 mg/kg/hari. Jarang digunakan untuk infeksi dermatofit karena dapat
meningkatkan resiko hepatitis.
o Fluconazole 50-100 mg/hari atau 150 mg 1 x seminggu untuk 2-4 minggu.
o Itraconazole oral 100 mg/hari untuk 2 minggu menunjukkan efisiensi yang tinggi. Dengan
meningkatkan dosis menjadi 200 mg/hari, lamanya terapi dapat dikurangi hingga 1 minggu.
· Terbinafine oral 250 mg/hari selama 2 minggu.3
1.10. PROGNOSIS
Untuk tinea corporis yang sifatnya lokal prognosisnya sangat baik