i PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung) SKRIPSI Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman OLEH : SUSANTI E1A008298 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013
170
Embed
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM ... - Fakultas Hukum …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/SKRIPSI FULL.pdf · Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
OLEH :
SUSANTI
E1A008298
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
ii
LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT SKRIPSI
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN
(Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
Disusun Oleh:
SUSANTI
E1A008298
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman pada Jum’at, 22 Februari 2013
MENGETAHUI
Pembimbing I
Drs. Antonius Sidik M.,S.H.,MH. NIP. 19580905 198601 1 001
Pembimbing II
Sanyoto, S.H.,M.Hum. NIP. 19610123 198601 1 001
Penguji
Rahadi Wasi Bintoro, S.H., M.H.
NIP. 19800812 205011 002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum.
NIP. 19640923 198901 1 001
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini Saya:
Nama : SUSANTI
NIM : E1A008298
Judul ::::
Menyatakan bahwa skripsi yang Saya buat ini adalah benar-benar hasil
karya saya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan
orang lain.
Apabila ternyata saya terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana
tersebut diatas, maka saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Purwokerto, Februari 2013
SUSANTI
NIM. E1A008298
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)
:
iv
ABSTRAK
Putusan pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas perkara Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tertanggal 28 Juli 2010 tentang “Kepailitan” antara Tomi Bungaran Cs sebagai pemohon pailit dan PT. Interkon Kebon Jeruk sebagai termohon pailit yang isinya mengabulkan seluruh permohonan pemohon menyebabkan PT. Interkon Kebon Jeruk Cs merasa tidak puas. PT. Interkon Kebon Jeruk kemudian mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akan tetapi, permohonan kasasi tersebut ditolak. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik melakukan penelitian dengan mengambil judul skripsi “ PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.
Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif dengan metode pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analisis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak permohonan kasasi dalam perkara kepailitan dan akibat hukum ditolaknya kasasi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh simpulan bahwa pertimbangan hukum hakim mahkamah agung dalam menolak permohonan kasasi tidak tepat karena debitur tidak lalai memenuhi isi perjanjian sebagaiamana termaktub dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Akibat hukum ditolaknya kasasi tersebut PT. Interkon Kebon Jeruk pailit dan seluruh harta kekayaan PT. Interkon Kebon Jeruk diserahkan kepada kurator sebagaimana termaktub dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 dibawah pengawasan hakim pengawas.
Kata Kunci: kasasi, kepailitan, pengadilan niaga.
v
ABSTRACT
Decisionof the commercial court at the Central Jakarta District Court on case No. 03/Pembatalan Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst dated July 28, 2010 on "Bankruptcy" between Tomi Bungaran Cs., as applicants bankruptcy and PT. Interkon Kebon Jeruk as a defendant of bankruptcy petitioners which granted entirely applicants’s petitions have caused PT. Interkon Kebon Jeruk unsatisfied. PT.Interkon Kebon Jeruk Cs then filed cassation to the Supreme Court of the Republic of Indonesia. However, the appeal was rejected. Based on the description, the authors are interested in doing research by taking a thesis title “The Refusal of Casation Remedy with Regard to Bankrupcty Proceeding” (A Judicial Review Of Decision Number 771 K/Pdt.Sus/2010 Supreme Court)".
The type of this research is normative juridical,with legislation and analysis approach. This study aims to determine the legal reasoning of the Supreme Court’s judgein rejecting the appeal in a bankruptcy case and legal consequences of the rejection. Result showed that the legal reasoning of judges in Supreme Court in rejecting an appeal is not appropriate because the debtor fulfilled the agreement aswritten in Article 70 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004. Legal consequences of the appeal rejection is PT.Interkon Kebon Jeruk was bankrupt and all assets of PT. Interkon Kebon Jeruk submitted to the curator as set forth in Article 69 paragraph (1) of Law No. 37 Year 2004, under the supervision of supervisory judge.
Keywords: appeal, bankruptcy, commercial court.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim
Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) berjudul “ PENOLAKAN
PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA KEPAILITAN (Suatu
Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah
Agung)”.
Penulisan hukum (skripsi) ini disusun dalam rangka melengkapi syarat-
syarat guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Ilmu Hukum pada
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Penulis sepenuhnya menyadari
begitu banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, untuk itu penulis dengan
besar hati menerima saran dan kritik yang membangun.
Penulisan hukum (skripsi) ini dapat terselesaikan tidak terlepas dari
bimbingan, arahan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua
pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan
pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr.Angkasa,S.H.,M.Hum , sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman yang telah memimpin dengan bijaksana dalam
meningkatkan kualitas Fakultas Hukum, para mahasiswa dan para alumninya.
vii
2. Bapak Drs. Antonius Sidik Maryono, S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing I
yang telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengetahuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini;
3. Bapak Sanyoto, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II, atas segala
bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sampai selesainya
skripsi ini;
4. Bapak Rahadi Wasi Bintoro, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan masukan dan saran demi penyempurnaan skripsi ini.
3. Akibat Hukum Pembatalan Perdamaian .......................................... 62
xi
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian .................................................................................. 64
B. Metode Penelitian ............................................................................... 64
C. Spesifikasi Penelitian .......................................................................... 64
D. Sumber Bahan Hukum ....................................................................... 65
E. Metode Penyajian Hukum .................................................................. 66
F. Metode Analisis Bahan Hukum ......................................................... 66
BAB IV HASIL DAN PENELITIAN
A. Hasil Pene litian .................................................................................... 71
B. Pembahasan ......................................................................................... 130
BAB V PENUTUP
A. Simpulan .............................................................................................. 155
B. Saran .................................................................................................... 155
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berkembang
secara dinamik sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan manusia
tidak pernah terlepas dari interaksi antar sesama, dengan demikian kebutuhan
kehidupan akan saling terpenuhi. Terkait dengan adanya interaksi dapat
menimbulkan permasalahan dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi
permasalahan tersebut dalam hal ini hukum mempunyai peranan yang sangat
penting. Terciptanya tatanan kehidupan masyarakat yang rapi dan aman
tentunya tidak terlepas dari kerjasma yang baik antara para penegak hukum
dan masyarakat yaitu dengan cara mentaati suatu kaidah peraturan hukum
yang sudah ada dan tidak melanggarnya. Hukum bukanlah semata-mata
sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan
untuk dilaksanakan dan ditaati. 1
Aturan hukum menurut fungsinya dapat dibedakan menjadi dua yakni
hukum materill dan hukum formil. Aturan hukum materill adalah aturan-
aturan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang membebani hak dan
kewajiban atau mengatur hubungan hukum atau orang-orang sedangkan
aturan hukum formil adalah aturan hukum untuk melaksanakan dan
mempertahankan yang ada atau melindungi hak perorangan. Hukum materill
1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, edisi ke tujuh, 2002, Liberty
Yogyakarta, hal.1.
2
sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis
merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang
selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Adapun dalam
pelaksanaan hukum materill sering kali terjadi pelanggaran-pelanggaran atau
hak materill tersebut dilanggar sehingga menimbulkan ketidak seimbangan
kepentingan dalam masyarakat, atau menimbulkan kerugian pada orang lain
atau pihak lain. Pelaksanakan hukum materill perdata terutama dalam hal ada
pelanggaran atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materill
perdata dalam hal ada tuntutan hak diperlukan rangkaian peraturan-peraturan
hukum lain. Peraturan-peraturan hukum lain yang dimaksud adalah hukum
formil (hukum acara perdata) atau adjective law. Hukum acara perdata hanya
diperuntukan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil dan di
samping itu juga berfungsi untuk merealisir pelaksaan dari hukum perdata.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan
perantara hakim, jadi hukum acara perdata dapat dikatakan peraturan hukum
yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata
materiil. Konkritnya bahwa hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya
dan pelaksanaan dari pada putusannya. Tuntutan hak adalah tindakan yang
bertujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan
untuk mencegah “eigenrichting” (main hakim sendiri). Tindakan menghakimi
sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya
3
sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain
yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Tindakan
menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak
memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.2
Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan
bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Oleh karena itu demi kebenaran dan
keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang,
agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki,
setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau
alat untuk mencegah atau memperbaiki kekliruan dalam suatu putusan. 3
Upaya hukum dapat dilakukan oleh salah satu pihak yang merasa putusan
Pengadilan kurang sesuai dengan yang diharapkan sehingga menurut tujuan
dari upaya hukum yaitu untuk memohon membatalkan putusan Pengadilan
ditingkat yang lebih rendah kepada Pengadilan yang lebih tinggi.4 Hukum
acara perdata mengenal adanya upaya hukum yang diberikan oleh undang-
undang kepada subyek hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 132 HIR
(Herzein Indonesis Reglement) yang menyebutkan:
“Jika dianggap perlu oleh ketua, yaitu supaya jalannya perkara baik dan teratur, maka pada waktu memeriksa perkara, ia berhak untuk memberikan nasihat kepada kedua belah pihak dan untuk menunjukan upaya hukum dan keterangan kepada mereka yang boleh dipergunakan”.
2 Ibid, hal. 2.
3 Ibid, hal. 232. 4 Darwan Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata, cetakan ketiga revisi,
Citra Aditya Bakti, 2002, Bandung, hal.214.
4
Upaya hukum dalam acara perdata pada umumnya terdapat upaya
hukum biasa berupa perlawanan, banding, kasasi dan upaya hukum luar
biasa berupa derden verzet dan peninjauan kembali. Perkara perdata niaga
maupun HKI (Hak Kekayaan Intelektual) tidak dikenal upaya hukum banding
hal ini termaktub dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Undang-undang
Kepailitan Nomor 37 tahun 2004, sehingga dalam perkara niaga hanya dapat
dilakukan upaya hukum biasa berupa kasasi, serta upaya hukum luar biasa
yang dapat berupa peninjaun kembali sedangkan upaya hukum perlawanan
atau verzet hanya dikenal dalam bentuk yang lain.
Kasasi diharapkan dapat menjadi jawaban yang memuaskan para
pihak, karena kasasi terbatas pada pemeriksaan terhadap penerapan hukum
dan peraturan perundang-undangan terhadap suatu kejadian, sehingga dapat
dilihat apakah dalam putusan sebelumnya telah melanggar hukum atau tidak
dengan harapan dapat memberikan putusan yang memenuhi unsur kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan. Adapun apabila suatu pengadilan negeri
menurut Mahkamah Agung salah menerapkan suatu hukum atau peraturan
perundang-undangan maka putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi
tersebut dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung. 5
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004 Pasal 30 ayat (1) tentang Mahkamah Agung yang menyebutkan
secara limitatif alasan-alasan pemohon kasasi yaitu:
1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
5 K.Wantjik Saleh, Kehakiman dan Peradilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1997, hal.143.
5
2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Undang-undang Kepailitan Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan penyempurnaan
dari Undang-undang Nomor 48 tahun 1998. Undang-undang tersebut perlu
dikeluarkan karena perkembangan perekonomian yang semakin pesat
sehingga semakin banyak permasalahan utang piutang yang timbul di
masyarakat. Oleh karena itu, perlu diatur cara penyelesaian masalah utang
piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif. Penyelesaian perkara
kepailitan dilangsungkan dengan jangka waktu yang pasti, melalui suatu
badan peradilan khusus yakni pengadilan niaga.
Seseorang atau suatu badan hukum yang mengajukan permohonan
pernyataan pailit, harus mengetahui syarat-syarat kepailitan yang termaktub
dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 2004, apabila
permohonan pernyataan Pailit tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka
permohonan pailit tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Pasal 2 ayat
(1) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 yaitu:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.
6
Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan
mengadili Perkara perdata dengan Nomor Register Perkara
27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 pada tanggal 21
April 2009 telah menjatuhkan putusan atas permohonan pailit yang diajukan
oleh Tomy Bungaran cs sebagai Pemohon Pailit terhadap PT.Interkon Kebun
Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy Yuwono cs dan Rainford
Investment cs sebagai Termohon Pailit. PT.Interkon Kebon Jeruk dianggap
lalai memenuhi isi Perjanjian Perdamaian yang telah disahkan berdasarkan
putusan Nomor 027/ Pailit/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 Jo
Nomor 019 PK/N/2006 tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2).
Bahwa Putusan Nomor 03/Pembatalan Perjanjian Perdamaian/
2010/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 28 Juli 2010 Hakim Pengadilan Negeri Niaga
Jakarta Pusat menjatuhkan Putusan terhadap PT. Interkon Kebun Jeruk
dalam salah satu amarnya adalah membatalkan perjanjian perdamaian yang
telah disahkan dalam Putusan Nomor 27/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst jo
Nomor21 K/N/2006 jo Nomor 19 PK/N/2006 tanggal 21 April 2009 dan
menyatakan Termohon PT.Interkon Kebun Jeruk (d/h PT. Intercon
Enterprise) pailit dengan segala akibat hukumnya. Setelah dinyatakan Pailit
pihak PT. Interkon Kebun Jeruk cs, Octavia Widyastuti Alim cs, Eddy
Yuwono cs dan Rainford Investment cs mengajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah Agung, dengan alasan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Niaga Jakarta Pusat telah melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum
dan melanggar peraturan yang berlaku, para pemohon kasasi sangat keberatan
7
terhadap putusan pailit untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu
menolak dengan tegas-tegas putusan judex facti tersebut. Mahkamah Agung
atas permohonan kasasi tersebut telah menjatuhkan putusan yang is inya
menolak permohonan kasasi.
Berdasarkan hal-hal yang duraikan dalam latar belakang tersebut
penulis tertarik untuk meneliti dan menulis Skripsi Putusan Mahkamah
Agung mengenai ditolaknya permohonan kasasi dengan judul: “
PENOLAKAN PERMOHONAN KASASI DALAM PERKARA
KEPAILITAN (Suatu Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Nomor 771
K/Pdt.Sus/2010 Mahkamah Agung)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil suatu rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana penerapan hukum hakim Mahkamah Agung dalam menolak
permohonan kasasi perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara
Perdata khusus Kepailitan?
2. Bagaimana akibat hukum kasasi yang ditolak dalam perkara Nomor 771
K/Pdt.Sus/2010 dalam Perkara Perdata khusus Kepailitan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain adalah:
8
1. Mengetahui penerapan hukum Mahkamah Agung dalam menolak
permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam
perkara perdata khusus kepailitan.
2. Mengetahui akibat hukum penolakan permohonan kasasi pada putusan
Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam perkara perdata khusus kepailitan.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun
secara praktis sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis diharapkan dapat memberikan manfaat dan pengetahuan
lebih mendalam terkait proses beracara dalam kasus kepailitan.
2. Kegunaan Praktis
Secara praktis diharapkan dapat menjadi wacana mengenai ilmu hukum
khusunya hukum acara perdata khusus kepailitan bagi hakim dalam
menjatuhkan suatu putusan.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KEPAILITAN
1. Pengertian dan Pengaturan Kepailitan
Definisi kepailitan secara yuridis terdapat dalam ketentuan Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit
yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini”.
Menurut tata Bahasa Indonesia, kepailitan berarti segala hal yang
berhubungan dengan pailit.6 Kepailitan adalah eksekusi massal yang
ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan
melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit,
baik yang ada pada waktu pernyataan pailit, maupun yang diperoleh selama
kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur yang dilakukan
dengan pengawasan pihak yang berwajib. Menurut Kartono kepailitan adalah
suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur (orang yang
6 Gunawan Widjaja, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.83.
10
berutang) untuk kepentingan semua kreditur-krediturnya (orang-orang yang
berpiutang) bersama-sama, yang pada waktu debitur dinyatakan pailit
mempunyai piutang dan untuk jumlah utang yang masing-masing kreditur
miliki saat itu. 7 Menurut Siti Soemantri Hartono dalam bukunya Pengantar
Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Kepailitan adalah suatu
lembaga dalam Hukum Perdata Eropa, sebagai realisasi dari dua asas pokok
dalam Hukum Perdata Eropa yang tercantum dalam Pasal 1131 dan 1132
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.8
2. Persyaratan untuk dinyatakan Pailit
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 menyebutkan
syarat kepailitan adalah sebagai berikut:
a. Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditur
Menurut Pasal. 2 aya t (1) Undang-Undang Kepailitan, salah satu
syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua kreditur
atau lebih. Undang-undang ini hanya memungkinkan seorang debitur
dinyatakan pailit apabila debitur memiliki paling sedikit dua kreditur.
Syarat mengenai adanya minimal dua atau lebih kreditur dikenal sebagai
concursus creditorium.9
Persyaratan pertama yang mensyaratkan debitur harus mempunyai
lebih dari seorang kreditur ini selaras dengan ketentuan Pasal 1132 KUH
Perdata yang menentukan pembagian secara teratur semua harta pailit
7 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran. Pradnya Paramita, Jakarta, 1973, hal.7. 8 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Penghantar Hukum Kepailitan di Indonesia.
Rineka Citra, Jakarta, 1993, hal.20. 9 Sutan Remy Sjahdeny, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal.64.
11
kepada para krediturnya, yang dilakukan berdasarkan prinsip pari passu
proprate parte. Adapun dalam hal ini yang dipersyaratkan bukan berapa
besar piutang yang mesti ditagih oleh seorang kreditur dari debitur yang
bersangkutan, melainkan berapa banyak orang yang menjadi kreditur dan
debitur yang bersangkutan dan berapa banyak orang yang menjadi kreditur
dari debitur yang bersangkutan. Bahwa disyaratkan debitur minimal yang
mempunyai utang kepada dua orang kreditur.10
b. Syarat adanya Utang
Pasal 1 angka 6 Undang-undang Kepailitan telah dirumuskan
mengenai utang, yaitu:
“Kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian dari undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur”.
Para pihak yang mengajukan permohonan pailit harus dapat
membuktikan bahwa debitur mempunyai utang kepadanya. Para pihak
yang dimaksud ialah (penasihat hukum) dari kreditur, (penasihat hukum
dari) debitur, dan Majelis Hakim yang memeriksa permohonan itu, baik
Majelis Hakim pengadilan niaga, Majelis Hakim kasasi, maupun Majelis
Hakim peninjauan kembali.11
Menurut Volmar dan Zeylemaker, bahwa hakim-lah yang harus
menentukan ada atau tidak adanya keadaan berhenti membayar utang,
10 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004. hal.15.
11 Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal. 68.
12
ketika mereka tidak menjelaskan lebih lanjut ukuran apa yang dipakai oleh
hakim untuk menentukan kapan debitur berada dalam keadaan berhenti
membayar, dan oleh karena itu dapat dijatuhi putusan pailit.12
c. Salah satu utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih telah
dirumuskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) yaitu kewajiban untuk
membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan,
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh
instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau
majelis arbitrase. Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat
ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut
debitur untuk memenuhi prestasinya.13
3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan Permohonan Kepailitan
Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah
pihak pemohon pailit, yakni pihak yang mengambil inisiatif untuk
mengajukan permohonan pailit ke pengadilan, yang dalam perkara biasa
disebut sebagai pihak penggugat.14 Menurut Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 pihak-pihak dapat mengajukan permohonan
kepailitan adalah:
a. Debitor itu sendiri;
12 Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, OP.Cit, hal. 39. 13 Jono, Hukum Kepailitan , Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.11.
14 Munir Fuadi, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal.35.
13
b. Satu atau lebih kreditor;
c. Kejaksaan untuk kepentingan umum;
d. Bank Indonesia, dalam hal debitornya adalah Bank;
e. Bapepam, dalam hal debitornya adalah Perusahaan Efek, Lembaga
Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
f. Menteri Keuangan, dalam hal debitornya adalah perusahaan asuransi,
perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik.
4. Proses Permohonan dan Putusan Pernyataan Pailit
Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 Undang-undang Kepailitan. Prosesnya
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Tahap Pendaftaran Permohonan Pernyataan Pailit
Pemohon mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada ketua
permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan
diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal yang sama
dengan tanggal pendaftaran.
b. Tahap Pemanggilan Para Pihak
Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita
melakukan pemanggilan para pihak, antara lain:
14
1) Wajib memanggil Debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh Kreditur, Kejaksaan, Bapepam, atau Menteri
Keuangan;
2) Dapat memanggil Kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh Debitur (voluntary petition) dan terdapat keraguan
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal. 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan telah terpenuhi.
Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat
paling lambat 7 hari sebelum sidang pemeriksaan pertama
diselenggarakan.
c. Tahap Persidangan atas Permohonan Pernyataan Pailit
Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggla permohonan
pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan
menetapkan sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan tersebut
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah
tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan Debitur dan
berdasarkan alasan yang cukup seperti adanya surat keterangan sakit
dari dokter, Pengadilan dan dapat menunda penyelenggaraan sidang
pemeriksaan sampai dengan paling lambat 25 hari setelah tanggal
permohonan didaftarkan.
Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Kepailitan dinyatakan bahwa
selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan,
15
setiap kreditur, kejaksaan, Bank Indonesia, Bapepam, atau Menteri
Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:
1) Meletakan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan
Debitur; atau
2) Menunjukan Kurator sementara untuk mengawasi:
a) Pengelolaan usaha Debitur; dan
b) Pembayaran kepada kreditur, pengalihan, atau pengagunan
kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang
kreditur.
d. Tahap Putusan atas Permohonan Pernyataan Pailit
Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus
diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyatan
pailit didaftarkan. Waktu 60 hari (2 bulan) yang cukup singkat
merupakan suatu perwujudan atas asas peradilan yang bersifat cepat,
murah, dan sederhana. Dahulu dalam Undang-undang Nomor 48 tahun
1998 lebih cepat lagi, yaitu hanya dalam waktu 30 hari (1 bulan),
pengadilan sudah harus memberikan putusan atas permohonan
pernyataan pailit. Adapun dengan pertimbangan yang rasional, Undang-
undang Kepailitan memberikan batasan, yaitu 2 (dua) bulan di mana
pengadilan wajib memberikan putusan, terhitung sejak tanggal
permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap
16
pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat
pula:
1) Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan
dan/atau sumber hukum atau tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili; dan
2) Pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota
atau ketua majelis.
Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit
wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada
Debitur, pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit,
Kurator, dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah
tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. 15
5. Akibat Hukum Putusan Pailit
Akibat kepailitan diatur dalam Pasal. 21 Undang-Undang Kepailitan
yaitu meliputi seluruh kekayaan Debitur pada saat putusan pernyataan
pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit kehilangan
segala “hak perdata” untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang
telah dimasukan ke dalam harta pailit.
Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan dan bukan mengenai
perorangan debitur, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan yang
15 Jono, OP.Cit. hal. 87-91
17
lain, seperti hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke
macht).
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur. Debitur
tidak berada di bawah pengampuan. Debitur tidaklah kehilangan
kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum itu menyangkut
dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum itu menyangkut pengurusan
dan pengalihan harta bendanya yang telah ada. Diperolehnya itu
kemudian menjadi bagian dari harta pailit.16 Debitur pailit tetap
berwenang bertindak sepenuhnya, akan tetapi tindakan-tindakannya
tidak mempengaruhi harta kekayaan yang telah disita.17
Menurut Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan, dengan
pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukan dalam
kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu, termasuk juga untuk
kepentingan perhitungan hari pernyataan itu sendiri. Pasal 69 ayat (1)
menerangkan bahwa kuratorlah yang berwenang melakukan pengurusan
dan pemberesan harta pailit, kurator kehilangan hak menguasai harta
yang masuk dalam kepailitan, dan tidak kehilangan hak atas harta
kekayaan yang berada di luar kepailitan. Tentang harta pailit, lebih
lanjut dalam Pasal 21 Undang-Undang Kepailitan menerangkan bahwa
harta pailit meliputi semua harta kekayaan debitur, yang ada pada saat
16 Sutan Remy Sjahdeny, OP.Cit, hal.257.
17 Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta Pailit, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2004. hal.44.
18
pernyataan pailit diucapkan serta semua kekayaan yang diperolehnya
selama kepailitan.
6. Pembuktian Sederhana
Membuktikan, menurut Subekti adalah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Pada dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk
menentukan hubungan hukum yang sebenarnya antara para pihak yang
berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa serta suatu hak yang
didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek perselisihan. 18 Pasal 163
HIR menyatakan:
“Barangsiapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu”.
Mengenai beban pembuktian dan alat-alat bukti dalam hukum
acara pada Pengadilan Niaga tidak diatur dalam Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1
Tahun 1998), kecuali dalam hal gugatan Actio Paulina. Pembuktian
sederhana merupakan syarat yang diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 jo Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor
4 Tahun 1998 jo Perpu Nomor 1998, yang menyatakan:
“Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila
terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
18 Aria Syudi dkk, Analisis Kepailitan Indonesia (Kepailitan di Negeri Pailit), PSHK,
Jakarta, 2003, hal.147.
19
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.
Terkait yang dimaksud dengan “Fakta atau keadaan yang
terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan
fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Perbedaan besarnya
jumlah utang yang didalilkan oleh pemohon dan termohon pailit tidak
dilakukan terhadap adanya peristiwa-peristiwa atau keadaan-keadaan
yang menunjukan debitur berada dalam keadaan telah berhenti
membayar utang-utangnya, dan jika permohonan pernyataan pailit
diajukan oleh seorang kreditur, maka terdapat hak penagihan dari
kreditur ini.
20
Pendapat yang berkembang berkaitan dengan pembuktian
sederhana pada masa Faillissement verordening antara lain pembuktian
tentang debitur dalam keadaan berhenti membayar harus dilakukan
secara sederhana (summier). Artinya, Pengadilan di dalam memeriksa
permohonan pernyataan pailit tidak perlu terikat dengan sistem
pembuktian dan alat-alat bukti yang ditentukan dalam hukum acara
perdata.19
7. Pengadilan Niaga dan Yurisdiksinya
Pembentukan Pengadilan Niaga untuk memeriksa perkara-
perkara Kepailitan, dan juga kelak perkara-perkara perniagaan lainnya
berdasarkan peraturan pemerintah, didasarkan atas pertimbangan
kecepatan dan efektivitas. Perkara-perkara kepailitan menurut Undang-
undang Kepailitan ditentukan jangka waktu pemeriksaan di tingkat
pengadilan niaga, di tingkat kasasi, maupun di tingkat peninjauan kembali.
Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang tidak puas terhadap
putusan pengadilan niaga dalam perkara kepailitan adalah langsung kasasi
ke Mahkamah Agung tanpa upaya banding melalui pengadilan tinggi,
dengan demikian perkara Kepailitan akan berjalan lebih cepat bila
dibandingkan dengan pemeriksaan perkara biasa di pengadilan negeri.20
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang
Nomor 37 Tahun 2004 termasuk ke dalam hukum materil, namun bila
19 Siti Anisah, Perlindungan dan Kepentingan Kreditur dan Debitur dalam hukum kepailitan
di Indonesia , Total Media, Yogyakarta, 2008, hal. 127-128 20 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal. 149.
21
dipelajari seluruhnya maka akan diketahui bahwa sebagian besar dari
Pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan hukum formil yang berisi
pengaturan proses pengajuan permohona kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang bahkan proses upaya hukumnya dari tingkat
kasasi sampai peninjauan kembali. Salah satu hal baru yang terdapat dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Undang-undang Nomor 37
Tahun 2004 tidak dijumpai dalam Faillisements Verordening Stb. 1905
Nomor 217 jo Stb 1906 Nomor 348 adalah tentang pengadilan niaga.
Pengadilan Niaga. Pembentukan pengadilan niaga ini menunjukan bahwa
perkembangan sejarah peradilan di Indonesia telah mengalami
peningkatan yang cukup berarti, darisegi struktur organisasi, kedudukan
pengadilan niaga merupakan bagian khusus di dalam lingkungan peradilan
umum.
Pembentukan pengadilan niaga ini merupkan langkah diferensial
atas peradilan umum, yang dimungkinkan pembentukannya berdasarkan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-undang Nomor 35
Tahun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
Undang-Undang tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan niaga
tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan
pengadilan yang telah ada seperti dimaksud dalam Pasal 10 Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok
Kehakiman sebagaimana sudah diubah dengan Undang-undang Nomor 35
Tahnun 1999 dan diganti dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
22
yang meliputi Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan
PTUN. Penjelasan Pasal 10 tersebut menyebutkan juga bahwa perbedaan
dalam empat lingkungan peradilan tidak menutup kemungkinan adanya
pengkhususan dilingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Undang-
undang.
Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang ini, peradilan
khusus yang disebut pengadilan niaga tersebut akan khusus bertugas
menangani permintaan pernyataan Kepailitan. Keberadaan lembaga ini
akan diwujudkan secara bertahap, begitu pula dengan lingkup tugas dan
kewenangannya di luar masalah kepailitan, akan ditambahkan atau
diperluas dari waktu ke waktu. Semuanya akan dilakukan dengan
mempertimbangkan tingkat kebutuhan, dan ada yang penting lagi, tingkat
kemampuan serta ketersediaan sumber daya yang akan mendukungnya.
Adapun untuk mengetahui landasan yuridis pembentukan
pengadilan niaga dalam hubungannya dengan peraturan perundang-
undangan yang telah ada dapat diuraikan di bawah ini:
1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 10 Ayat (1) menetukan
bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan Umum dalam
lingkungan:
a. Peradia lan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
23
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 13 menetukan bahwa: “Badan-badan Peradilan Khusus
disamping Badan-badan Peradilan yang sudah ada hanya dapat
diadakan dengan Undang-Undang’.
2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
(UUPU):
Pasal 1 Ayat (1) UPPU menetukan bahwa: “Pengadilan adalah
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di lingkungan Peradilan
Umum.”
Pasal 3 UUPU menentukan bahwa: “Kekuasaaan Kehakiman di
Lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh:
a. Pengadilan Negeri;
b. Pengadilan Tinggi.
Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan Umum
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Peradilan Tertinggi. Pasal 8
UUPU menentukan bahwa: “Di Lingkungan Peradilan Umum dapat
diadakan pengkhususan yang diatur Undang-undang”. Dalam penjelasan
Pasal 8 UUPU menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “diadakan
pengkhususan” ialah adanya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan
Peradilan Umum, misalnya pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak dan
Pengadilan Ekonomi”. Terkait dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1998 diatur terbentuknya Pengadilan Niaga yang merupakan Pengadilan
Khusus di lingkungan Peradilan Umum.
24
Ketentuan Pasal 300 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
secara tegas menentukan:
(1) Pengadilan sebagaiman dimaksud dalam Undang-undang ini, selain
memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan PKPU,
berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang
perniagaan yang penetapnnya dilakukan dengan Undang-undang.
(2) Pembentukan Pengadilan sebagaiman dimaksud pada ayat (1)
dilakukakan secara bertahap dengan Keputusan Presiden, dengan
memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumberdaya yang diperlukan.
Tujuan utama dibentuknya pengadilan niaga ini adalah agar
dapat menjadi sarana hukum bagi penyelesaian utang piutang diantara para
pihak yaitu debitur dan kreditur secara cepat, adil, terbuka dan efektif,
sehingga dengan demikian dapat meningkatkan penyelenggaraan kegiatan
usaha dan kehidupan perekonomian pada umumnya. Adapun selain itu
sebagai upaya untuk mengembalikan kepercayaan kreditur asing dalam
proses penyelesaian utang-piutang swasta.
Berlakunya Undang-undang Kepailitan Tahun 1998 telah
memindahkan kewenangan mutlak (absolut) dari pengadilan umum untuk
memeriksa permohonan pailit, dengan menetapkan pengadilan niaga
sebagai pengadilan yang memiliki kewenangan untuk menerima
Permohonan Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). Konsekuensinya, bahwa suatu Pengadilan tidak dapat memeriksa
gugatan/permohonan yang diajukan kepadanya apabila ternyata secara
25
formil gugatan tersebut masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak
Pengadilan lain. Pengadilan niaga selain memeriksa dan memutuskan
permohonan pernyataan pailit dan PKPU, berwenang pula memeriksa dan
memutuskan perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya
dilakukan dengan Undang-undang.
Pasal 300 ayat (1) di atas memberikan kekuasaan kepada
pengadilan niaga untuk memeriksa dan memutuskan perkara lain dibidang
perniagaan selain perkara Kepailitan dan PKPU, akan tetapi tidak terdapat
penjelasan apa yang dimaksud dengan perkara lain di perniagaan tersebut,
hal ini disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut, hal ini
disebabkan undang-undang yang mengatur hal tersebut belum ada. Dengan
demikian, undang-undang yang mengatur hal tersebut kelak, hendaknya
harus jelas bidang-bidang perniagaan apa saja yang menjadi kewenangan
yurisdiksi dalam mengadili antara pengadilan niaga dengan pengadilan
negeri.
Undang-undang dibidang HAKI secara tegas menentukan
bahwa perkara-perkara di bidang HAKI harus diproses dan diputus di
pengadilan niaga. Hal ini berarti, bahwa pada saat ini Pengadilan Niaga
selain menyelesaiakan sengketa-sengketa di bidang Kepailitan dan PKPU,
juga menyelesaikan sengketa di bidang HAKI. Untuk pertama kali dengan
undang-undang ini, Pengadilan niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Pembnetukan pengadilan niaga dilakukan secara bertahap
dengan Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan
26
kesiapan sumberdaya yang diperlukan. Sebelum pengadilan niaga
terbentuk, semua perkara menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga
diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Pasal 306 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menegaskan
bahwa:
“Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutus perkara yang menjadi lingkup tugas pengadilan niaga. Pada tahap permulaan pembentukan Pengadilan Niaga saat ini, kewenangan mengadili (kompetensi absolut) hanyalah meliputi pemeriksaan dan pemutusan perkara Permohonan Kepailitan dan PKPU saja, dan untuk pertama sekali pengadilan niaga dibentuk pada tanggal 20 Agustus 1998 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”. Proses pemeriksaan perkara Kepailitan, Pasal 301 Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 menentukan:
(1) Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama
dengan majelis hakim;
(2) Terkait dalam hal menyangkut perkara lain di bidang perniagaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 ayat (1), Ketua Mahkamah
Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada Tingkat
Pertama diperiksa dan diputus oleh Hakim Tunggal.
(3) Menjalankan tugasnya, hakim pengadilan dibantu oleh seorang
Panitera atau seorang Panitera Pengganti dan Jurusita.
Permasalahan lain yang muncul berkaitan dengan penyelesaian
perkara kepailitan adalah tentang keenangan pengdilan antara
27
pengadilan niaga dengan peradilan negeri. Berdasarkan cetak biru
pengadilan niaga, maka terungkap bahwa sebenarnya proses kepailitan
di pengadilan niaga tidak efektif. Hal ini terjadi, karena sering kali ada
perkara-perkara kepailitan yang ternyata menimbulkan persinggungan
antara pengadilan negeri dengan pengadilan niaga. Persinggungan ini
terjadi, misalnya saja ada perusahaan yang sudah dinyatakan pailit dan
seharusnya berdasarkan undang-undang kepailitan dikelola oleh
kurator, ternyata masih bisa mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri. Hal ini dianggap aneh karena seharusnya, perkara tersebut
menjadi kompetensi Pengadilan Niaga dan bukan Pengadilan Negeri.
Adapun untuk mencegah terjadi persinggunagn perlu ada
mekanismenya. Pasalanya, selama ini bila ada perkara-perkara
kepailitan dan HAKI yang diajukan ke pengadilan negeri tidak ada
mekanisme pencegahannya. Berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, hakim tidak boleh mneolak perkara dengan alasan tidak
ada dasar hukumnya, selain menangani perkara kepailitan dan PKPU,
serta perkara-perkara di bidang perniagaan lainnya, pengadilan niaga
berwenang menangani perkara permohonan pernyataan pailit dari para
pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase. Hal ini
ditegaskan dalam Pasal 303 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004
yang menentukan bahwa:
“Pengadilan berwenang memeriksa dan menyelesaikan Permohonan Pernyataan Pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat kalusula Arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah
28
memnuhi ketentuan sebagiaman yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang ini”. Penjelasan Pasal 303 kembali menegaskan tentang kewenangan
Pengadilan Niaga terhadap perjanjian yang memuat klausula
Arbitrase, yaitu bahwa ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk
memberi penegasan bahwa Pengadilan Niaga tetap berwenang
memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para
pihak, sekalipun perjanjian utang piuatang yang mereka buat memuat
klausula Arbitrase. Pada tanggal 18 Agustus 1999, keluarlah PP
Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan,
Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang PP
Nomor 97 Tahun 1999 dalam Pasal 1 menetukan: “Membentuk
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan
Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri
Semarang.” Pasal 2 menetukan tentang wilayah hukum Pengadilan
Niaga yang meliputi:
(1) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri ujung
Pandang meliputi Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian
Jaya.
(2) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan
meliputi: Wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera
Barat, Bengkulu, Jambi, dan Daerah Istimewa Aceh.
29
(3) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Surabaya meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Timur, Bali, Nusa
Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Timor Timur.
(4) Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Semarang meliputi: Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Daerah
Istemewa Yogyakarta.
Selanjutnya Pasal 4 menentukan tentang sengketa yang menjadi
kewenangan Pengadilan Niaga meliputi:
(1) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup
kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan
Presiden ini ditetapkan telah diperiksa tetapi belum diputus oleh
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, akan
tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
(2) Sengketa di bidang perniagaan yang termasuk lingkup
kewenangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada saat Keputusan
Presiden ditetapkan telah diajukan tetapi belum diperiksa oleh
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
dilimpahkan kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri
Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang sesuai dengan daerah
30
hukum masing-masing Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
Khusus untuk Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Pasal 5
menentukan tentang daerah hukumnya, yakni pada saat berlakunya
Keputusan Presiden ini, maka daerah hukum Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat meliputi Wilayah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Propinsi Jawa Barat, Sumatera Selatan, Lampung,
dan Kalimantan Barat. Hakim pengadilan niaga diangkat berdasarkan
keputusan Ketua Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat
diangkat sebagai hakim sebagai hakim sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), adalah:
a. Telah berpengalaman sebagai Hakim dalam lingkungan Peradilan
Umum;
b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang
masalah-masalah yang menjadi lingkup keenangan Pengadilan;
c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan
d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai
Hakim pada Pengadilan.
Tetap memperhatikan syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada
Pasal 302 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan Keputusan
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung dapat diangkat seseorang
yang ahli, sebagai Hakim Ad Hoc, baik pada tingkat pertama, kasasi
31
maupun pada peninjauan kembali (Pasal 302 Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004).
Hakim-hakim yang bertugas di pengadilan niaga terdiri dari 2
(dua) macam, yaitu:
a. Hakim Tetap, yaitu para Hakim yang diangkat berdasarkan Surat
Keputusan Mahkamah Agung untuk menjadi hakim pengadilan
niaga,
b. Hakim Ad Hoc, yaitu hakim ahli yang diangkat khusus dengan
suatu Keputusan Presiden untuk pengadilan niaga di Tingkat
Pertama.
Pengangkatan Hakim Ad Hoc dikatakan dengan alasan yang
cukup mendasar, yaitu untuk membantu meringankan beban-beban
hakim pengadilan niaga dalam menghadapi perkara-perkara/masalah-
masalah hukum yang berkaitan dengan transaksi-transaksitertentu.
Selama ini pembahasan tentang peranan hakim Ad Hoc terpusat pada
peranannya dalam memutuskan permohonan perkara Kepailitan.
Mengembalikan kepercayaan Kreditur Asing dalam proses
penyelesaian utang-piutang swasta, selain direvisinya Fv, dan
dibentuknya Pengadilan Niaga, juga diintrodusir Hakim Ad Hoc untuk
dapat menjadi bagian dari Majelis Hakim yang memeriksa suatu
perkara di Pengadilan Niaga. Ide awal keterlibatan Hakim Ad Hoc di
pengadilan niaga didasarkan pada penilaian atau asumsi beberapa
pihak bahwa pengetahuan “Hakim Karir” cenderung bersifat umum
32
(generalis) sehingga dalam menyelesaikan perkara-perkara pada
lingkup niaga diperlukan Hakim dalam keahlian khusus, di luar dari
“Hakim Karir” yang juga telah melalui tahapan pendidikan untuk
menjadi “Hakim Niaga”.
Pengangkatan Hakim Ad Hoc dalam Kepailitan ditentukan dalam
Undang-undang Nomor 4 tahun 1998, yang kemudian dikuatkan
kembali dengan dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004.
Selama berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 yang
kemudian disempurnakan oleh Undang-undang Nomor 37 Tahun
2004, Pengangkatan Hakim Ad Hoc di pengadilan niaga telah
dilakukan 2 (dua) kali, yakni melalui 2 (dua) buah Keppres. Pertama,
Keppres Nomor. 4 (empat) orang Hakim Ad Hoc untuk masa jabatan 3
(tiga) tahun. Kedua, Keppres Nomor 108/M/2000, berisikan
pengangkatan 9 (sembilan) Hakim Ad Hoc. Penempatan Hakim Ad
Hoc dalam Majelis Hakim adalah berdasarkan penunjukan dari hakim
ketua pengadilan niaga pada pengadilan niaga yang bersangkutan,
dengan terlebih dahulu adanya permohonan dari salah satu pihak yang
berperkara (pemohon pailit).
Konsekuensi dari sifat fakultatif sebagaimana tercantum dalam
Pasal 283 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, maka bila
tidak ada permintaan dari pihak tersebut, maka Hakim Ad Hoc tidak
bertugas. Kondisi inilah yang antara lain mengakibatkan sistem
Hakim Ad Hoc tidak bekerja. Sesuai dengan ketentuan Pasal 303 ayat
33
(3), maka persyaratan pengangkatan seorang sebagai Hakim Ad Hoc
yang membedakan dengan Hakim Pengadilan Niaga yang lain adalah
Hakim Ad Hoc tersebut haruslah seorang “Ahli”. Jadi, berdasarkan
usulan dari Ketua Mahkamah Agung melalui Keppres, maka di
Pengadilan Niaga dapat diangkat seorang yang Ahli sebagai Hakim
Ad Hoc. Tentunya, beberapa persyaratan yang sama dengan “Hakim
Niaga” atau “Hakim Karir”, seperti mempunyai kemampuan
pengetahuan di bidang masalah yang menjadi lingkup kewenngan
Pengadilan Niaga, dan persyaratan lain, harus tetap dipenuhi.
Menurut Paulus Efendi Lotulung menyebutkan beberapa
kemungkinan pengangkatan Hakim Ad Hoc (Sebagai Hakim
Pengawas atau Hakim Majelis) adalah:
(1) Atas permohonan para pihak, baik langsung maupun dengan
penetapan Ketua Pengadilan Niaga, yang selayaknya diberikan
jika wajar (should not be reasonably),
(2) Hanya dengan penetapan Ketua Pengadilan Niaga atas
kewenangan sendiri.
Tentunya pilihan pertama lebih dapat diterima, karena cukup
terdapat check and balance.biaya atau imbalan bagi Hakim Ad Hoc
tersebut, jika perlu tambahan dapat diambil dari harta pailit. Dalam
ketentuan akhirnya, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur
tentang ketentuan peralihan yang dimulai dari Pasal 304 Undang-
undang Kepailitan.
34
Pasal 304 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan
bahwa:
a. Sudah diperiksa dan diputus tetapi belum dilaksanakan atau sudah
diperiksa tetapi belum diputus maka diselesaikan berdasarkan
peraturan perUndang-Undangan di bidang Kepailitan sebelum
berlakunya Undang-Undang ini;
b. Sudah diajukan tetapi belum diperiksa, diselesaikan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 305 Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 menetukan
bahwa:
“ Semua peraturan perUndang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements verordening staatsblad 1905 : 217 juncto staatsblad 1906 : 348) yang diubah dengan Perpu Nomor. 1 Tahun 1998 tentang perubahan Atas undang-undang tentang kepailitan yang ditetapkan menjadi Undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 pada saat Undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sejauh tidak bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini”.
Berlakunya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 mencabut dan
menyatakan tidak berlaku lagi Faillissement verodening dan Undang-
undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang
kepailitan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 307 Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 yang menyatakan:
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-undang
tentang Kepailitan (Faillissements verordening staatsblad 1905
35
: 217 juncto staatsblad 1906 : 348) dan Undang-undang Nomor
4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 1998
tentang perubahan atas undang-undang tentang kepailitan
menjadi Undang-undang (LN RI Tahun 1998 Nomor 135,
Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3778), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. 21
B. KASASI
1. Pengertian Kasasi
Upaya hukum kasasi awalnya ada di Perancis. Setelah belanda
dijajah oleh Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Netherland dan
selanjutnya oleh pemerintah belanda dibawa dan diterapkan di Indonesia.
Dengan demikian Indonesia menganut system “continental”. Adapun
dalam system tersebut Mahkamah Agung sebagai Badan Peradilan
Tertinggi bertugas membina keseragaman penerapan hukum di Indonesia
dan menjaga agar hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan
adil.
Upaya hukum kasasi berasal dari kata kerja casser yang berarti
membatalkan atau memecahkan adalah salah satu tindakan Mahkamah
Agung Republik Indonesia sebagai pengawas tertinggi atas putusan-
putusan pengadilan-pengadilan lain, tetapi tidak berarti
merupakan pemeriksaan tingkat ke-3. Hal ini disebabkan dalam tingkat
kasasi tidak dilakukan suatu pemeriksaan kembali perkara tersebut, tetapi
21 Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2) , PT. Sof Media, Medan, 2010, hal. 229-239
36
hanya diperiksa masalah masalah hukumnya/ penerapan hukumnya. Dasar
hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung diatur
dalam Pasal 20 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48
tahun 2009 yang berbunyi: “Terhadap putusan-putusan yang diberikan
tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain dari Mahkamah Agung,
Kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung”.
Terkait perkara kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, upaya hukum kasasi dapat dilakukan baik oleh debitur
dan kreditur yang merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama,
juga dapat diajukan oleh kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada
persidangan tingkat pertama yang tidak puas terhadap putusan atas
Undang-undang Nomor 37 tahun 2004. Sidang pemeriksaan atas
permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal
permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung dan putusan
atas permohonan kasasi harus di ucapakan paling lambat 60 hari setelah
tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamh Agung (Pasal 12,13
ayat (1), (2),(3) Undang-undang Nomor 37 tahun 2004).
2. Alasan Kasasi
Upaya hukum Kasasi merupakan upaya hukum yang dilakukan
oleh pihak yang merasa dirugikan dan merasa kurang puas terhadap
putusan Judex facti, agar hakim Mahkamah Agung dapat
mempertimbangkan kembali putusan yang sudah inkracht tersebut
37
sehingga dapat menghasilkan putusan yang adil bagi pihak yang yang
merasa dirugikan terlebih mengenai penerapan hukumnya didalam putusan
Judex Facti. Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus disertai
memori Kasasi yang memuat alasan-alasan permohonan kasasi, jika hal ini
dilalaikan maka permohonan Kasasi dianggap tidak ada. Yurisprudensi
tetap Mahkamah Agung menyatakan bahwa permohonan kasasi yang tidak
mengajukan risalah yang memuat alasan-alasan kasasi permohonannya
tidak dapat diterima.22
Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat
(1) yang menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Perohonan Kasasi
yaitu:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini
tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan
kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, Judex facti
incasu Pengadilan Niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU
tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya
tentang judex facti tidak berwenang/bukan merupakan
kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti
melampaui batas wewenang adalah bahwa judex facti telah mengadili
tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan dalam
Undang-undang. Adapun ketika melampaui batas wewenang ini dapat
22 Soedirjo, Kasasi Dalam Perkara Perdata, Akademika Pressindo, Jakarta, 1985, hal.43.
38
juga di artikan bahwa yudex facti dalam putusannya telah mengabulkan
lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat gugatannya.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara
sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum
acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat dari
penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar hukum tendens
kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah dan tidak sesuai
serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang digariskan oleh
Undang-undang.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-syarat
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim
disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),
sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau
( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan
bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim
dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah
Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya
39
perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada
pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak.
3. Fungsi Peradilan Kasasi
Setelah membicarakan justifikasi peradilan kasasi, berikut ini
akan dibicarakan fungsinya ditinjau dari segi teori dan praktik. Ada
beberapa fungsi pokok yang diperankan Mahkamah Agung sebagai
peradilan kasasi, antara lain seperti yang dijelaskan dibawah ini.23
a. Mengoreksi kesalahan peradilan bawahan
Fungsi utama peradilan kasasi, mengoreksi atau memperbaiki
kesalahan peradilan bawahan (to correct error or mistake by the trial
court or lower court).
b. Berfungsi menghindari kesewenangan
Fungsi kasasi lain, menghindari terjadinya kesewenangan
(arbitary) terhadap anggota masyarakat yang timbul dari putusan
pengadilan bawahan.
c. Menyelesaikan kontroversi ke arah standar prinsip keadilan umum
(General Justice Principle) yang Objektif dan Uniformitas.
Suatu putusan pengadilan tidak hanya semata-mata bersifat
imparsial (imparitiality) yang terebebas dari cacat berat sebelah
(partiality).
23 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal.237.
40
C. PUTUSAN HAKIM
1. Pengertian Putusan
Menurut sistem HIR( Het Herziene Indonesisch Reglement) dan
Rbg (Rechts Reglement Buitengewesten) hakim mempunyai peranan aktif
memimpin acara dari awal sampai akhir pemeriksaan perkara. Hakim
berwenang untuk memberikan petunjuk kepada pihak yang mengajukan
gugatannya ke pengadilan (Pasal. 119 HIR-143 Rbg) dengan maksud
supaya perkara yang dimajukan itu menjadi jelas persoalannya dan
memudahkan hakim dalam memeriksa perkara itu. 24 Menurut Darwan
Prinst, Putusan merupakan hasil akhir dari pemeriksaan perkara di
pengadilan. 25
2. Kekuatan Putusan
HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) tidak mengatur
tentang kekuatan putusan hakim. Putusan mempunyai 3 macam kekuatan:
a. Kekuatan Mengikat
Putusan Hakim mempunyai kekuatan mengikat artinya mengikat
kedua belah pihak (Pasal. 1917 KUH Perdata). Terikatnya para pihak
kepada putusan menimbulkan bebrapa teori yang hendak mencoba
memberi dasar tentang kekuatan mengikat daripada putusan.
b. Kekuatan Pembuktian
Kekuatan pembuktian dituangkan putusan dalam bentuk tertulis,
yang merupakan akta otentik, tidak lain bertujuan untuk dapat
24 Abdulkadir Muhamad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990. hal. 21.
25 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 205
41
digunakan sebagai alat bukti bagi para pihak, yang mungkin
diperlukannya untuk mengajukan banding, kasasi atau pelaksanaanya.
Arti putusan itu sendiri dalam hukum pembuktian ialah bahwa dengan
putusan itu telah diperoleh suatu kepatian tentang sesuatu.
c. Kekuatan Eksekutorial
Suatu putusan dimaksudkan untuk menyelesaikan suatu
persoalan atau sengketa dan menetapkan hak atau hukumnya. Ini tidak
berarti semata-mata hanya menetapkan hak atau huumnya saja,
melainkan juga realisasi atau pelaksanaannya (eksekusinya) secara
paksa. Kekuatan mengikat saja dari suatu putusan pengadilan belumlah
cukup dan tidak berarti apabila putusan itu tidak dapat direalisir atau
dilaksanakan. Oleh karena putusan itu menetapkan dengan tegas hak
atau hukumnya untuk kemudian direalisir, maka putusan hakim
mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk
dilaksanakannya apa yng ditetapkan dalam putusan itu secara paksa
oleh alat-alat negara. Bahwa kata-kata “Demi Keadilan berdasarkan
keTuhanan Yang Maha Esa” memberi kekuatan eksekutorial bagi
putusan-putusan pengadilan di Indonesia.
3. Susunan dan Isi Putusan
Adapun di dalam HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement)
tidak ada ketentuan yang mengatur tentang bagaiaman putusan hakim
harus dimuat di dalam putusan diatur dalam Pasal 183, 184, 187 HIR
(Pasal 194, 195, 198 Rbg), 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, 27
42
RO, 61 Rv. Menurut Sudikno Mertokusumo, suatu putusan hakim terdiri
dari 4 bagian, yaitu:
a. Kepala Putusan
Setiap putusan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan
yang berbunyi: “Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha
Esa”. Kepala Putusan ini memberikan kekuatan eksekutorial pada
putusan.
b. Identitas Para Pihak
Setiap perkara atau gugatan mempunyai sekurang-kurangnya 2 pihak,
maka di dalam putusan harus dimuat identitas para pihak lain antara
lain: nama, umur, alamat, dan nama pengacara kalau ada.
c. Pertimbangan
Pertimbangan dalam putusan perdata dibagi 2, yaitu pertimbangan
tentang duduk perkara atau peristiwa dan pertimbangan tentang
hukumnya.
d. Amar
Amar merupakan jawaban terhadap petitum dari pada gugatan yang
merupakan amar atau diktum. Ini berarti bahwa diktum , merupakan
tanggapan terhadap petitum.26
4. Jenis-jenis Putusan
Menurut Darwan Prinst, putusan diklasifikasikan sebagai
berikut:
26 Sudikno Mertokusmo , OP.Cit. hal.220-225.
43
1) Interlocotoir Vonis
Interlocotuir Vonis (putusan sela), adlah putusan yang belum
merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocotuir Vonis) itu dapat
berupa:
a. Putusan Provisional (Tak Dim)
Putusan Provisional (Tak Dim), adalah putusan yang diambil segera
mendahului putusan akhir tentang pokok perkara; karena adanya
alasan-alasan yang mendesak itu. Misalnya dalam hal istri
menggugat suaminya, di mana gugatan pokoknya adlah “mohon
cerai”, akan tetapi sebelum itu karena suami yang digugat itu telah
melalaikan kewajibannya memberikan nafkah kepada istrinya itu,
maka si suami tersebut terlebih dahulu dihukum untuk membayar
nafkah kepada istrinya itu, sebelum putusan akhir terhadap gugatan
cerai itu. Demikian juga halnya mengenai mengizinkan seseorang
untuk berperkara secara cuma-cuma (Pro Deo), sesuai Pasal 235
HIR/Pasal 271 RBG, ditetapkan dengan putusan Provisional.
b. Putusan Preparatoir
Putusan Preparatoir, adalah putusan sela guna mempersiapkan
putusan akhir. Misalnya putusan yang menolak/mengabulkan
pengunduran sidang, karena alasan yang tidak tepat/ tidak dapat
diterima (AT. Hamid 1984: 209). Dalam praktek seringkali terjadi
perbedaan pendapat tentang pengunduran sidang antara penggugat
44
dengan tergugat, maka dalam keadaan demikian hakim harus
mengambil keputusan mengenai pengunduran sidang itu.
c. Putusan Ins idental
Putusan Insidental, adalah putusan sela yang diambil secara
insidental. Hal ini terjadi misalnya karena kematian kuasa dari salah
satu pihak (penggugat/tergugat), dan lain- lain sebagainya (AT.
Hamid 1984: 269). Terhadap putusan sela atau belum merupakan
putusan akhir, maka tidak dapat dimintakan banding secara
tersendiri. Oleh karena itu harus diajukan bersama-sama dengan
permohonan banding terhadap putusan akhir (Pasal 9 Undang-
Undang Nomor. 20 Tahun 1974). Logika pelarangan permohonan
banding terhadap putusan sela secara terpisah dari perkara pokok,
adalah untuk menghindarkan berlarut-larutnya perkara di pengadilan.
2) Putusan Akhir
Putusan akhir dari suatu perkara, dapat berupa:
a. Niet Onvankelijk Verklaart
Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni
putusan pengadilan yang menytakan, bahwa gugatan penggugat
tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan pengadilan mengambil
keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima, adalah
sebagai berikut:
a) Gugatan tidak berdasarkan hukum;
b) Gugatan tidak patut;
45
c) Gugatan itu bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;
d) Gugatannya salah;
e) Gugatannya kabur;
f) Gugatannya tidak memenuhi persyaratan;
g) Objek gugatannya tidak jelas;
h) Subjek gugatannya tidak lengkap;
i) Dan lain- lain.
b. Tidak berwenang mengadili
Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak
berwenang, bukan menyangkut kompetensi absolut maupun
kompetensi relatif, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan
menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu
gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.
c. Gugatan dikabulkan
Suatu gugatan yang terbukti kebenarannya dipengadilan akan
dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Adapun apabila gugatan
terbukti seluruhnya, maka gugatan akan hanya terbukti sebagian,
mka akan dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat
dibuktikan itu. Adakalanya pula suatu gugatan yang dikabulkan
ternyata menjadi nihil, dan tidak dapat dilaksanakan, karena adanya
kelemahan dalam petitum gugatan yang kemudian dikabulkan oleh
pengadilan. Demikianlah misalnya putusan perkara perdata Nomor
249/Pdt.G/1988/PN.Mdn, dimana tergugat MS dihukum
46
menyerahkan tiga ekor lambur yang pernah dipinjamnya dari
penggugat. Lembu tersebut ternyata sudah mati, sementara putusan
tidak mengatakan atau menggantinya dengan tiga ekor lembu
lainnya, atau dengan sejumlah uang tertentu.
d. Gugatan ditolak
Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan
pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu
dapat terjadi untuk seluruhnya atau hanya sebagian saja.27
5. Putusan Pengadilan Niaga
Pengadilan niaga memeriksa dan memutus perkara pada tingkat
pertama dengan Majelis Hakim, dalam menjalankan tugasnya hakim
pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera
pengganti dan juru sita. Adapun apabila perkara-perkara lain telah dapat
diperiksa dan diputuskan pula oleh Pengadilan Niaga. Ketua Mahkamah
Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat
pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal (bukan Majelis
Hakim).28 Undang-undang Kepailitan tidak hanya mengatur masalah
pernyataan pailit dan PKPU. Undang-undang Kepailitan juga mengatur
banyak hal yang tidak terkait langsung dengan pernyataan Kepailitan dan
PKPU.29
a. Kompetensi Pengadilan
27 Darwan Prinst, OP.Cit. hal. 206-209 28 Sutan Remy Sjahdeini, OP.Cit. hal.152. 29 Aria Suyudi dkk, Kepailitan di Negeri Pailit, Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia,
Jakarta. hal.49
47
1) Kompetensi absolut
Masalah permintaan pailit adalah menjadi kompetensi absolut untuk
memeriksanya. Jadi tidak ada Badan Peradilan lain di luar Peradilan
umum yang berkompeten untuk memeriksanya.
2) Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif Pengadilan Negeri untuk memeriksa permintaan
pailit adalah sebagai berikut:
a) Tempat kediaman Debitur
Permintaan pailit dimintakan kepada Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Debitur/ si
berhutang.
b) Tempat kediaman terakhir Debitur
Permintaan pailit dapat dimintakan kepada Pengadilan Negeri
yang wilayah hukumnya meliputi tempat terakhir dari Debitur.
c) Tempat Kantor Firma
Permohonan Pailit terhadap persero-persero Firma diajukan
kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya terletak kantor
perseroan.
d) Tempat Kantor Termohon Pailit
Dalam hal termohon pailit tidak mempunyai tempat tinggal di
wilayah Indonesia, tetapi mempunyai pekerjaan maka
permohonan pailit dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya daebitur tersebut mempunyai kantor.
48
e) Tempat kedudukan Badan Hukum
Permohonan pailit terhadap perseroan terbatas, perseroan
pertanggungan timbal balik, perkumpulan koperasi atau lain- lain
perkumpulan yang berbadan hukum dan yayasan-yayasan
dilakukan kepada Pengailan Negeri tempat kediaman, tempat
dimana perseroan-perseroan itu atau perkumpulan-perkumpulan
itu berdomisili.
f) Tempat perempuan melakukan pekerjaan/perusahaan
Sehubungan dengan permintaan pailit ini dapat terjadi dilakukan
oleh beberapa Pengadilan Negeri. 30
6. Putusan Mahkamah Agung pada Tingkat Kasasi
Salah satu prinsip pemeriksaan tingkat kasasi diatur pada Pasal
40 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung mengatakan, Mahkamah
Agung memeriksa dan memutus perkara dengan Majelis yakni
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim. Putusan akhir dapat
dijatuhkan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, dapat dijelaskan
sebagai berikut:
a. Menyatakan Permohonan Kasasi Tidak Dapat Diterima (Niet
Ontvankelijke Verklaren, To Declare Inadmissible).
Salah satu bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah
Agung pada tingkat Kasasi adalah putusan negatif, berupa
pernyataan permohonan kasasi tidak dapat diterima (niet
30 Darwan Prinst, Op.Cit. hal. 155-156
49
ontvankelijke verklaren). Dasar alasan pertimbangan menjatuhkan
putusan yang menyatakan permohonan kasasi tidak dapat diterima,
yaitu apabila Majelis yang memeriksa perkara itu berpendapat
permohonan Kasasi yang diajukan pemohon, tidak memenuhi syarat
formil yang ditentukan Undang-undang.
Penegakan hukum yang menyatakan permohonan kasasi tidak
dapat diterima apabila tidak memenuhi syarat formil, ditegaskan
pada Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Namun
perlu diingat, penerapan ketentuan ini, harus benar-benar terhadap
syarat formil yang bersifat mutlak. Artinya, syarat formil yang
bersangkutan tidak dapat ditoleransi penegakannya.
Terdapat beberapa syarat formil permohonan kasasi yang harus
dipenuhi. Sifat dari syarat formil tersebut komulatif. Supaya
permohonan kasasi sah menurut hukum, harus semua syarat formil
tersebut. Salah satu saja dari syarat tersebut tidak terpenuhi
mengakibatkan permohonan kasasi mengandung cacat formil
sehingga sehingga permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat
diterima.
1) Permohonan kasasi dilakukan kuasa tanpa surat kuasa yang
khusus memberi kuasa mengajukan kasasi.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (1) huruf a Undang-
undang Mahkamah Agung, permohonan kasasi dlam perkara
perdata dapat diajukan oleh pihak yang berperkara sendiri atau
50
wakilnya. Begitu juga dalam perkara pidana, menurut Pasal 44
ayat (1) huruf b, dapat diajukan terdakwa atau wakilnya atau oleh
jaksa penuntut umum.
2) Permohona Kasasi Tidak disertai Memori Kasasi
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung
menegaskan, dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon
wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-
alasan kasasi. Penyampaian memori kasasi oleh pemohon kasasi,
merupakan syarat formil keabsahan permohonan kasasi. Sifatnya
menurut Pasal 47 ayat (1) imperatif (mandatory). Pemohon kasasi
wajib menyampaiakan memori kasasi. Tidak terpenuhinya syarat
tersebut oleh pemohon mengakibatkan permohonan kasasi tidak
sah (ongeldig, invalid), dan Mahkamah Agung menyatakan
permohonan kasasi tidak dapat diterima.
3) Terlambat mengajukan Memori Kasasi
Selain pemohon wajib menyampaikan memori kasasi, terdapat
pula syarat formil tentang batas jangka waktu menyampaikan
memori kasasi itu sendiri. Syarat itu ditegaskan pada Pasal 47
ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatakan,
penyampaian memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari setelah permohonan kasasi dicatat dlam buku daftar
(rgister).
51
b. Menolak Permohonan Kasasi
Mengenai putusan Mahkamah Agung menolak permohonan
kasasi, dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan
kasasi tidak memenuhi kriteria.
Bentuk putusan lain yang dpat dijatuhkan Mahkamah Agung
tingkat kasasi, yaitu menolak permohonan kasasi. Putusan yang
menolak permohonan kasasibersifat positif, karena telah
menyangkut penilaian terhadap materi pokok perkara:
a. Jadi, putusan yang berbentuk menolak permohonan kasasi,
telah melampaui tahap pemeriksaan dan penilaian syarat formil
permohonan kasasi,
b. Apabila syarat formil terpenuhi, berarti permohonan kasasi
dapat diterima (otvankelijkheid, adminissibility), sehingga
tahap pemeriksaan selanjutnya memeriksa dan menilai putusan
judex facti,
c. Pemeriksaan putusan judex facti dari segi materiil mengacu
dan bertitik tolak dari keberatan-keberatan atau alasan kasasi
yang diajukan pemohon kasasi dalam memori kasasinya.
2) Keberatan kasasi yang diajukan, tidak tunduk kepada
pemeriksaan kasasi.
a. Keberatan kasasi tentang hasil pembuktian
b. Keberatan kasasi atas perubahan berita acara sidang
52
c. Keberatan kasasi yang tidak ditujukan terhadap putusan judex
factie dan materi poko perkara
d. Keberatan kasasi berupa novum
e. Kebertan yang hanya mengulang fakta-fakta yang telah
diajukan pada pemeriksaan tingkat pertama dan/atau tingkat
banding
f. Keberatan kasasi irelevan
g. Keberatan kasasi terhadap tindakan pengawasan.
3) Penolakan kasasi dengan perbaikan putusan judex facti.
Seperti yang dijelaskan, apabila keberatan kasasi tidak mengenai
hal yang takluk kepada pemeriksaan kasasi, Mahkamah Agung
Bentuk putusan tingkat kasasi yang ketiga, mengabulkan
permohonan kasasi. Berdasarkan hasil pengalaman dan pengamata,
putusan kasasi yang paling dominan adalah menolak permohonan
kasasi. Berkisar sekitar 80 (delapan puluh) persen. Sebesar 5 (lima)
persen tidak dapat diterima karena permohonan mengandung cacat
formil. Sedang selebihnya, sebesar 15 (lima belas) mengabulkan
permohonan kasasi. 31
Sindiran judi dan permainan untung-untungan (gambling and a
gim of chance) serta kelucuan (erratic), bis terjadi dalam peradilan
kasasi. Gugatan yang terang dasar hukumnya, kemungkinan akan
ditolak meskipun didukung oleh alat bukti yang kuat berdasarkan
fakta-fakta yang tidak dapat diingkari. Sebaliknya, terkadang dasar
hokum dan fakta-fakta pendukungnya tidak memenuhi batas
minimal pemuktian, bias lolos dan melanggang mulaidari peradilan
tingkat pertama. Banding, dan kasasi. Sehubungan dengan
melekatnya faktor a game of chance and erratic yang dikemukakan
di atas, menurut Yahya Harahap tidak berani mengatakan besarnya
presentase pengabulan permohonan kasasi telah benar-benar objektif
secara kuantitatif dan kualitatif. Kemungkinan besar angka itu bisa
bergeser ke bawah dan ke atas apabila dedikasi, moral, dan
profesionalisme lebih dipertajam dan lebih dicerdaskan.
31 Yahya Harahap, Op.Cit, hal.388-399
54
1) Terpenuhinya syarat formil, tahap awal ke arah pengabulan kasasi
Seperti halnya putusan penolakan kasasi, tahap awal
pemeriksaannya berpijak dari keabsahan permohonan. Adapun
apabila pemohonan memenuhi syarat formil, baru terbukti jalur
tahap selanjutnya memeriksa materi poko perkara yang tertuang
dalam putusan judex facti dikaitkan dengan keberatan –keberatan
yang dikemukakan dalam memori kasasi dan kontra memori
kasasi (jika ada).
Begitu juga halnya pada pengabulan kasasi. Harus berawal dari
keabsahan formil permohonan kasasi, baru peradilan kasasi
melangkah memriksa putusan judex facti dan memori kasasi (jika
ada). Seperti yang dijelaskan terdahulu, sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 yang mengubah Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1985, pada dasarnya kewenangan
memriksa dan menilai terpenuhi atau tidak syarat formil
permohonan kasasi, telah dilimpahkan keweangannya kepada
ketua pengadilan tingkat pertama. Menurut Pasal 45 a ayat (3)
Undang-Undang Mahkamah Agung, jika permohonan kasasi
tidak memenuhi syarta formil, ketua pengadilan tingkat pertama
mengeluarkan penetapan yang memuat dictum menyatakan
permohonan kasasi tidak dapat diterima, dan berkas perkaranya
tidak dikirimkan ke Mahkamah Agung.
55
Bertitik tolak dari ketentuan ini, dapat dikatakan secara teoretis,
semua berkas perkara kasasi yang dikirimkan ke Mahkamah
Agung sudah lolos seleksi pemeriksaan syarat formil. Majelis
yang memeriksa perkara itu tidak perlu lagi repot-repot meneliti
keabsahan syarat formil, cukup mempercayai hasil penelitian
yang dilakukan oleh ketua pengadilan tingkat pertama. Tanpa
mengurangi pendekatan teoretis tersebut, dari segi moral dan
fungsional, majelis yang memeriksa perkara itu, sebaiknya tetap
melakukan control dan penelitian sewajarnya, apakah benar atau
tidak terprnuhi syarat formalnya.
2) Pengabulan kasasi dibarengi pembatalandan mengadili sendiri
Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan kasasi, harus dibarengi dengan
tindakan hokum lain:
(1) Membatalkan putusan judex facti yang dikasasi tersebut,
(2) Mengadili sendiri perkara dimaksud dengan jalan
menyampingkan dan menyingkirkan (set aside) putusan judex
facti yang dibatalkan itu.
Kala begitu, pada pengabulan permohonan kasasi terdapat
rangkaian tindakan yang mesti melekat padanya yakni
membatalkan putusan judex facti dan mengadili sendiri perkara
tersebut dengan jalan menyingkirkan dan menyampingkan putusan
judex facti. Jika putusan judex facti yang dibatalkan itu
56
mengabulkan gugatan atau perlawanan penggugat/pelawan, maka
konsekuensi yuridisnya putusan yang dijatuhkan pada tingkat
kasasi, bias berupa alternatif:
(1) Menyatakan gugatan/ perlawanan tidak dapat diterima.
Apabila Mahkamah Agung berpendapat gugatan penggugat
yang dikabulkan judex facti itu tidak memenuhi syarat formil
melanggar yurisdiksi mengadili, error in persona, obscuur
libel, nebis in idem, premature, dan sebagainya maka
pembatalan itu diikuti dengan putusan menyatakan gugatan
tidak dapat diterima.
(2) Mengabulkan sebagian atau seluruh gugatan
Jika Mahkamah Agung berpendapat putusan judex fact i yang
menolak gugatan tidak tepat, maka pembatalan yang dibarengi
dengan mengadili sendiri, berisi amar mengabulkan sebagian
atau seluruh gugatan.
(3) Menolak seluruh gugatan
Kalau Mahkamah Agung berpendapat, pengabulan gugatan yag
dilakukan judex facti tidak tepat, sehingga putusan tersebut
dibatalkan maka putusan tersebut dibatalkan maka putusan
kasasi yang harus dijatuhkan, menolak seluruh gugatan.
Demikian tindakan yustisial yang diambil Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi apabila permohonan kassi dikabulkan.
57
D. PERDAMAIAN (Accord)
1. Pengertian Perdamaian
Hukum Kepailitan, accord diartikan sebagai suatu perjanjian
perdamaian antara si pailit dengan para Kreditur, dimana diadakan
suatu ketentuan bahwa si Pailit dengan membayar suatu ketentuan
bahwa si pailit dengan membayar sesuatu persentase tertentu (dari
utangnya), ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya.32 Perkara
kepailitan, perdamaian dapat dilakukan pasca putusan, setelah
debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga, debitur berhak
menawarkan perdamaian kepada semua kreditur. Lain ha lnya dengan
perkara perdata (gugatan) yang disidangkan di pengadilan negeri. Di
pengadilan negeri, perdamaian diadakan pra putusan, yakni diawal
persidangan sampai dengan sebelum putusan diucapkan. Setelah
putusan diucapkan, tidak ada lagi perdamaian, yang ada adalah
eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.33
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, perdamaian diatur
dalam Pasal 144-147.
Menurut Pasal 144:
“Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian
kepada semua Kreditur.”
Tawaran perdamain dibuat dalam rencana perdamaian. Rencana
perdamaian (composition plan) diajukan dengan delapan hari
32 Sunarmi, Hukum Kepailitan (Edisi 2), 2010, PT. Sofmedia, Medan, hal. 163. 33 Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, 2010, PT. Tatanusa, Jakarta. hal. 125.
58
sebelum rapat pencocokan piutan atau rapat verifikasi. Sebelum
rapat verifikasi, debitur menyerahkan asli rencana perdamaian ke
kepaniteraan pengadilan niaga agar dapt dilihat dengan cuma-cuma
oleh setiap orang yang berkepentingan. Salinannya wajib dikirimkan
kepada masing-masing anggota panitia Kreditur sementara. Rencana
perdamaian tersebut harus dibicarakan dan diambil keputusannya
segera setelah verifikasi. Rapat verifikasi dapat ditunda oleh Hakim
Pengawas paling lambat 21 hari:
(1) Apabila dalam rapat diangkat panitia Kreditur tetap yang tidak
terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia Kreditur
sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditur menghendaki
dari Panitia Kreditur tetap pendapat tertulis menghendaki
tentang rencana perdamaian yang diusulkan tersebut; atau
(2) Rencana perdamaian tidak disediakan di kepaniteraan
pengadilan niaga dalam waktu yang ditentuakn, sedangkan
jumlah terbanayak Kreditur yang hadir menghendaki
pengunduran rapat.34
Kepailitan ada 2 (dua) accord, yaitu:
a. Accord yang ditawarkan dalam Kepailitan, yaitu pada saat rapat
verifikasi;
b. Accord yang diawarkan dalam Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang, yaitu sebelum Debitur dinyatakan Pailit.
34 Ibid, hal 125-126
59
Accord yang ditawarkan oleh si Pailit itu berisi beberapa
kemungkinan atau aternatif yang akan dipilih oleh para Kreditur,
yaitu:
a. Si Pailit menawarkan kepada Krediturnya, bahwa ia akan
membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari
utangnya namun tidak dalam jumlah keseluruhannya;
b. Si Pailit akan menawarkan accord likuidasi (liquidatie accord),
yakni si Pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para
kreditur untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas
(pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditur,
apabila hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka si Pailit
dibebaskan dari emmbayar sisa yang belum terbayar;
c. Si debitur Pailit menwarkan untuk meminta Penundaan
Pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk
beberapa waktu.
Menurut Zainal Asikin, dengan dibukanya kemungkinan untuk
mengadakan accord, maka hak itu akan dapat menguntungkan
kedua belah pihak , karena:
a. Bagi para kreditur, jikalau harta pailit dijual/ dilelang atau
dilakukan pemberesan dengan perantara hakim, dan hasilnya
dibagi menurut imbangan jumlah piutang kreditur, maka belum
tentu para kreditur itu akan mendapat pembayaran yang lebih
tinggi seperti yang ditawarkan di dlam accord. Jadi, penawaran
60
di dalam accord mungkin lebih tinggi dibandingkan dengan
pembagian melalui pemberesan oleh hakim;
b. Bagi Debitur Pailit, ia akan membayar sejumlah utang yang
telah disetujui dalam accord yang lebih kecil dari utang
sbenarnya, sedangkan sisanya tidak menjadi beban bagi Debitur
untuk melunasinya. Apabila accord telah dipenuhi, maka
berakhilah Kepailitan. Hal ini berbeda dengan pemberesan oleh
Hakim, yakni apabila dari hasil pelelangan itu belum atau tidak
cukup untuk melunasi utang-utang si Pailit secara penuh, maka
sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit secara penuh, maka
sisanya akan tetap menjadi utang si Pailit yang pelunasannya
dengan harta pailit yang masih akan ada (Pasal 1131
KUHPerdata).35
2. Pembatalan Perdamaian
Tentang pembatalan perdamaian diatur mulai Pasal 170
Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu bahwa kreditur dapat
menuntut suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitur lalai
memenuhi isi perdamaian tersebut. Debitur wajib membuktikan
bahwa perdmaian telah dipenuhi. Pengadilan berwenang memberikan
kelonggaran kepada debitur untuk memenuhi semua kewajibannya
35 Sunarmi, Op Cit. hal. 163-164
61
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah putusan pemberian
kelonggaran tersebut diucapkan. Penjelasan Pasal 170 ayat (3)
menentukan bahwa kelonggaran hanya dpat diberikan 1 (satu) kali
dlam seluruh proses. Tuntutan Pembatalan Perdmaian wajib dia jukan
dan ditetapkan dengan cara yang sama sebagaimana dimaksud dalam
21. Bong Mei Tjen, 22. The Sui An, 23. Savina Gozali, Iii. 1. Eddy
Yowono, 2. Yanti Husada, 3. Liliany Wihardjo, 4. Indriyani Dan Iv.
Rainford Investment Inc.
4.2. Menghukum para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit, para Pemohon
Intervensi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini
sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
130
B. PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Hakim Mahkamah Agung dalam menolak
permohonan kasasi dalam perkara Nomor 771 K/Pdt.Sus/2010 dalam
Perkara Perdata Khusus Kepailitan
Pengadilan Niaga sebagai extra ordinary court, oleh Undang-
undang Nomor 37 Tahun 2004 diberikan hal-hal khusus yang merupakan
lex specaialis. Antara lain mengenai upaya hukum. Sebagai speedy trial,
terhadap putusan pailit, orang yang tidak puas dapat mengajukan upaya
hukum.42
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:
“Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas
permohonan pernyataan pailit adalah Kasasi ke Mahkamah
Agung.”
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004:
“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit”. Dasar hukum Pengadilan Kasasi yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang
Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 tahun 2009 yang berbunyi:
“Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan
42 Syamsudin M.Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia, 2012, Tata Nusa, Jakarta, hal.115.
131
peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali
Undang-Undang menentukan lain”.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 jo Undang-undang
Nomor 5 tahun 2004 Pasal 30 ayat 1 tentang Mahkamah Agung yang
menyebutkan secara limitatif alasan-alasan Permohonan Kasasi yaitu:
a) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Pada hakikatnya, pengertian tidak berwenang dalam hal ini
tendens kepada kompetensi relatif (relatieve competentie) dan
kompetensi absolut (absolute competentie). Konkretnya, yudex facti
incasu pengadilan niaga telah mengadili perkara kepailitan dan PKPU
tersebut seolah-olah merupakan kewenangannya, padahal sebenarnya
tentang Judex factie tidak berwenang/bukan merupakan
kewenangannya.Sedangkan alasan kasasi disebabkan judex facti
melampaui batas wewenang adalah bahwa Judex Facti telah
mengadili tidak sesuai atau melebihi kewenangan yang ditentukan
dalam Undang-undang. Kemudian, melampaui batas wewenang ini
dapat juga di artikan bahwa judex facti dalam putusannya telah
mengabulkan lebih dari pada apa yang dituntut Penggugat dalam surat
gugatannya.
b) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Hakikat salah menerapkan hukum dapat diartikan secara
sederhana adalah salah menerapkan ketentuan hukum formal/hukum
acara maupun hukum materiilnya. Kesalahan tersebut dapat dilihat
132
dari penerapan hukum yang berlaku. Sedangkan melanggar
hukum tendens kepada penerapan hukum itu sendiri tidak dapat, salah
dan tidak sesuai serta bertentangan dari ketentuan seharusnya yang
digariskan oleh Undang-undang.
c) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan
perundang undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.
Doktrin hukum acara perdata, kelalaian memenuhi syarat-
syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian dengan batalnya putusan. Aspek ini lazim
disebut dengan istilah melalaikan persyaratan formal (formalities),
sehingga diancam pula kebatalan formal (formele nietigheid) atau
( formele nulliteit). Terhadap hal ini, Soedirjo lebih jauh menegaskan
bahwa persyaratan formal (formalitas) yang tidak dipenuhi oleh hakim
dalam melakukan tugas peradilan merupakan alasan bagi Mahkamah
Agung untuk menyatakan batalnya perbuatan hakim itu. Hanya
perbuatan prosesesuil (processuele handeling) dari hakim tunduk pada
pemeriksaan kasasi, perbuatan para pihak tidak.43
Menurut Yahya Harahap, terdapat beberapa pertimbangan
yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam menolak permohonan
Kasasi yaitu:
43 Loc.Cit.
133
1) Permohonan Kasasi memenuhi syarat formil, tetapi keberatan
kasasi tidak memenuhi kriteria;
2) Keberatan Kasasi yang diajukan tidak tunduk pada Pemeriksaan
Kasasi;
3) Penolakan Kasasi dengan Perbaikan Putusan Judex Facti.44
Syarat Formil yaitu dalam perkara ini Permohonan para Kasasi
Pemohon Kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan
kepada pihak lawan yang dengan saksama, diajukan dalam tenggang
waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus Kepailitan
dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010 ditemukan
sebuah fakta dalam perkara ini dapat dilihat dalam pertimbangan
hakim pengadilan niaga bahwa sesudah putusan terakhir ini dijatuhkan
dengan hadirnya termohon pailit dan para pemohon intervensi pada
tanggal 28 Juli 2010 kemudian terhadapnya oleh termohon pailit dan
para pemohon intervensi dengan perantara kuasanya, berdasarkan
surat kuasa khusus tanggal 2 Agustus 2010 dan tanggal 30 Juli 2010,
diajukan permohonan Kasasi secara lisan pada tanggal 4 Agustus
2010 dan tanggal 5 Agustus sebagaimana ternyata dari akte
permohonan kasasi Nomor 54/Kas/Pembatalan
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst jo Nomor 03/Pembatalan
Perdamaian/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst yang dibuat oleh Panitera
44 Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemerisaan Kasasi dan Peninjauan
Kembali Perkara Perdata, 2007, Sinar Grafika, Jakarta, hal.393-396.
134
Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan
mana disertai dengan Memori Kasasi yang memuat alasan-alasan yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat tersebut pada tanggal 4 Agustus 2010 dan tanggal 5
Agustus 2010;
Bahwa setelah itu oleh Pemohon Pailit yang pada tanggal 9
Agustus 2010 telah diberitahukan tentang Memori Kasasi dari para
Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi diajukan jawaban
Memori Kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 Agustus 2010;
Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004:
“Permohonan Kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan Kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit”. Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 jo
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009
“ Permohonan Kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon.” Menimbang, bahwa permohonan Kasasi a quo beserta alasan-
alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan
135
dalam Undang-undang maka oleh karena itu permohonan Kasasi
tersebut Formil dapat diterima.
Berdasarkan hasil penelitian dalam perkara perdata khusus
Kepailitan dengan Nomor Register Perkara 771 K/ Pdt.Sus/2010
ditemukan sebuah fakta dalam perkara ini mengenai keberatan yang
diajukan para pemohon Kasasi mengajukan alasan Kasasi sebagai
berikut:
a) Majelis Hukum Pengadilan Niaga dalam memutus perkara telah
melakukan beberapa kesalahan penerapan hukum dan melanggar
yang berlaku diantaranya: judex facti melakukan pelanggaran
berat hukum acara mengenai Intervensi, tidak mempertimbangkan
Eksepsi Pemohon Kasasi, tentang Pembuktian (Foto copy dan
Pembuktian sederhana), judex facti mengabulkan tuntutan
wanprestasi oleh pihak ketiga yang tidak berhak, judex facti tidak
menerapkan asas memuat dasar alasan yang lebih rinci,
melanggar ketentuan Formalitas Salinan Putusan, judex facti
salah melakukan penafsiran hukum terhadap Perjanjian
Perdamaian yang telah dihomologasi;
b) Para pemohon Kasasi sangat keberatan terhadap Putusan Pailit
untuk PT. Interkon Kebon Jeruk dan oleh karena itu menolak
dengan tegas-tegas Putusan judex facti tersebut karena Putusan
terhadap Pailit terhadap PT. Interkon Kebon Jeruk adalah Putusan
yang tidak adil bagi para pembeli kavling sebagai masyarakat;
136
c) Judex Facti melanggar ketentuan Pasal 172 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kurator;
d) Judex Facti melanggar asas-asas dalam Undang-Undang Nomor.
37 Tahun 2004;
e) Judex Facti lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perUndang-undangan yaitu didalam amar Putusan tidak
mencantumkan mengenai ditolaknya Eksepsi dan diterima atau
tidaknya Permohonan Intervensi;
f) Judex Facti telah melampaui batas wewenang.
Bahwa pertimbangan-pertimbangan yang diajukan oleh para
pemohon kasasi jelas terlihat memenuhi syarat formil dan syarat
materiil dikabulkannya permohonan kasasi. Syarat materiilnya dapat
dilihat dalam pertimbangan-pertimbangan alasan mengajukan
permohonan kasasi sudah memenuhi kriteria sebagaimana termaktub
dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung.
Berdasarkan alasan yang diajukan oleh para pemohon kasasi, Hakim
Mahkamah Agung memberikan pertimbangan yaitu:
Menimbang, bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan,
oleh karena judex facti/pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam putusannya yang mengabulkan permohonan
Pemohon seluruhnya sudah tepat dan tidak salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku, sebab perkara ini adalah mengenai
tuntutan pembatalan atas perdamaian yang telah disahkan oleh karena
137
debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut sebagaimana diatur
dalam Pasal 170 (1) Undang-Undang Kepailitan dan dalam perkara
seperti itu debitor wajib membuktikan bahwa perdamaian telah ia
penuhi in casu debitur wajib membuktikan bahwa debitor/ termohon
Pailit tidak membebankan biaya PPh kepada Kreditor tidak ada
penambahan biaya perpanjangan SHGB (Sertipikat Hak Guna
Bangunan), jasa dan denda keterlambatan atas perpanjangan dimaksud
sebagaimana tertuang dalam Lampiran 1 dan 2 Proposal Perdamaian
(P.2, P.5, P.7, P.7a, P.8, P.8a s/d P.8u, T.2, T.3b), akan tetapi ternyata
di persidangan Debitor/Termohon Pailit tidak dapat membuktikan
tentang tidak adanya penambahan biaya dimaksud, bahkan sebaliknya
sesuai bukti-bukti tersebut di atas telah terbukti adanya penambahan
biaya tersebut yang melanggar isi perjanjian perdamaian dimana
Debitor in casu Termohon Pailit telah lalai memenuhi isi perdamaian
tesebut.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
ternyata bahwa putusan Judex Facti/Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara ini tidak bertentangan
dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi
yang diajukan oleh para Pemohon Kasasi: PT. Interkon Kebon Jeruk
Cs tersebut harus ditolak;
Menimbang. bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para
Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para Pemohon Intervensi
138
ditolak, maka para Pemohon Kasasi/Termohon Pailit dan para
Pemohon Intervensi harus dihukum untuk membayar biaya perkara
dalam tingkat kasasi ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana yang
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan
perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 serta
peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan.
Pasal 170 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
(1) Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaianyang telah
disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
(2) Debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.
(3) Pengadilan berwenang memberikan kelonggaran kepada Debitur
untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 (tiga puluh) hari
setelah putusan pemberian kelonggaran tersebut diucapkan.
Bahwa perjanjian perdamaian antara Pemohon Pailit dan
Termohon Pailit yang telah disahkan berdasarkan putusan Nomor
027/PAILIT/2010/PN.NIAGA.JKT.PST jo No. 21 K/N/2006 jo No.
019 PK/N/2006tertanggal 29 April 2010 (terlampir, Bukti P-2);
Bahwa isi Perjanjian Perdamaian tersebut di atas yang telah
dilanggar oleh Termohon Pailit sebagai berikut:
“ Pasal 1.2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan: Para pihak setuju
bahwa perdamaian sebagaimana dimaksud dalam PasaI 1.1. akan
139
dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang
tercantum dalam Proposal Perdamaian tertanggal 1 April 2009,
beserta Lampiran I Proposal Perdamaian dan Surat dari PT. Interkon
Kebon Jeruk (dalam Pailit) tertanggal 1 April 2009. Seluruh dokumen
tersebut terlampir dalam Lampiran 2 Perjanjian ini”.
Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya Peralihan
Hak antara lain:
(1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
(2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan penetapan
Badan Pertanahan Nasional (BPN);
PasaI 2 Perjanjian Perdamaian menyebutkan:
(1) Pihak Pertama akan melakukan pembangunan infrastruktur, di
antaranya pembangunan sarana dan prasarana jalan, taman,
pemeliharaan saluran air serta pembangunan fasilitas umum dan
fasilitas sosial di lingkungan Perumahan Taman Kebon Jeruk dan
pemeliharaan kebersihan dan keamanan;
(2) Pembangunan infrastruktur akan dimulai setelah perjanjian ini
ditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga
Jakarta Pusat.
140
Bahwa dalam pelaksanaan isi perdamaian tersebut ternyata debitor
lalai melaksanakan apa yang ditetapkan dalam proposal perdamaian,
sebagai berikut:
(1) Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tercantum Biaya
Peralihan Hak antara lain:
1) BPHTB dengan jumlah pembayaran sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan ketentuan
Pasal 5 Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea
Peralihan Hak atas Tanah dan Bangunan menyebutkan tarif
BPHTB sebesar 5%, namun dalam pelaksanaan perjanjian
perdamaian tersebut ternyata Pihak Termohon Pailit dikenakan
tarif BPHTB lebih dari apa yang ditentukan oleh undang-
undang;
Hal mana dapat dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat
setelah Perjanjian Perdamaian oleh Termohon Pailit dengan
salah satu pihak yang terikat dalam Perjanjian Perdamaian.
Adapun dalam Akta Jual Beli No. 8/2009 (terlampir, Bukti P-
3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti P-4) tanggal 4 November
2009 yang dibuat di hadapan Sri Ambarwati, SH., Notaris
PPAT di Jakarta antara Termohon Pailit dengan Suwarno
Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli dilakukan atas
Kavling Blok L. No.8 dengan harga seluruhnya Rp.
60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima puluh ribu
141
rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan Membeli Tanah di
Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di bawah tangan
bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di bawah nomor:
SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam perincian
perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling
sebesar Rp. 90.487.500,- (sembilan puluh juta empat ratus
delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) Iebih dari 150%
dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan biaya BPHTB
tersebut di atas merupakan pelanggaran dari Perjanjian
Perdamaian karena telah melebihi apa yang ditentukan dalam
undang-undang;
2) PPh dengan jumlah pembayaran sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; Berdasarkan
ketentuan Undang-undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan yang berlaku menetapkan bahwa PPh tidak
dikenakan kepada Pemohon Pailit selaku Pembeli tetapi
terhadap Termohon Pailit selaku Penjual yang menerima
penghasilan, namun dalam pelaksanaan perjanjian perdamaian
tersebut ternyata Pihak Pemohon Pailit yang harus
menanggung PPh tersebut tanpa perincian perhitungan yang
sesuai dengan undang-undang tentang PPh; Hal mana dapat
dibuktikan dari Akta Jual Beli yang dibuat setelah Perjanjian
142
Perdamaian oleh Termohon dengan salah satu pihak yang
terikat dalam Perjanjian Perdamaian. Dalam Akta Jual Beli No.
8/2009 terlampir, Bukti P-3) dan No. 9/2009 (terlampir, Bukti
P-4) tanggal 4 November 2009 yang dibuat di hadapan Sri
Ambarwati, SH., Notaris PPAT di Jakarta antara Termohon
Pailit dengan Suwarno Dicky Yusuf disebutkan bahwa jual beli
dilakukan atas Kavling Blok L.1 No. 8 dengan harga
seluruhnya Rp. 60.750.000,- (enam puluh juta tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah) sesuai Perikatan Untuk Menjual dan
Membeli Tanah di Taman Kebon Jeruk yang dibuat secara di
bawah tangan bermeterai cukup tertanggal 19 April 1996 di
bawah nomor: SPP/TKJ/00831.85/IV/96. Namun, dalam
perincian perhitungan yang diberikan oleh Termohon Pailit
atas Kavling Blok L.1 No. 8 (terlampir Bukti P-5) dikenakan
Biaya PPh sebesar Rp. 93.487.500,- (sembilan puluh tiga juta
empat ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus rupiah) (Iebih
dari 150 % dari nilai obyek jual beli). Hal mana pengenaan
Biaya PPh tersebut di atas merupakan pelanggaran dari
Perjanjian Perdamaian karena telah melebihi apa yang
ditentukan dalam undang-undang;
3) Biaya Pengukuran/Pemecahan Sertifikat sesuai dengan
penetapan Badan Pertanahan Nasional (BPN); Dalam
pelaksanaan perjanjian perdamaian tersebut ternyata Pihak
143
Pemohon Pailit harus menanggung biaya-biaya yang tidak
tercantum dalam Lampiran I Proposal Perdamaian tersebut.
Selain itu biaya-biaya yang dikenakan tersebut tanpa perincian
perhitungan apakah sesuai dengan penetapan Badan
Pertanahan Nasional (BPN) atau penetapan oleh Termohon
Pailit sendiri;
Dalam Lampiran I Proposal Perdamaian butir/poin (3) hanya
tercantum biaya pengukuran/pemecahan sertifikat sesuai
penetapan BPN. Namun, dalam perincian perhitungan yang
diberikan oleh Termohon Pailit atas Kavling Blok L.1 No. 8
(terlampir, Bukti P-5) dikenakan selain biaya pengukuran/
pemecahan sertifikat, juga biaya jasa, yang meliputi biaya
balik nama dan jasa, biaya perpanjangan SHGB dan jasa, biaya
keterlambatan perpanjangan SHGB dan jasa. Adapun dalam
pengurusan kavling tersebut di atas ternyata dikenakan:
1. Biaya Balik Nama dan Jasa sebesar Rp. 27.000.000,- (dua
puluh tujuh juta rupiah);
2. Biaya Perpanjangan SHGB dan Jasa sebesar Rp.
56.250.000,- (lima puluh enam juta dua ratus limapuluh ribu
rupiah);
3. Biaya Denda Keterlambatan Perpanjangan SHGB dan jasa
sebesar Rp. 40.500.000,- (empat puluh juta lima ratus ribu
rupiah);
144
Hal mana pengenaan biaya-biaya tersebut di luar apa yang
secara tegas sudah dinyatakan dalam Lampiran I Proposal
Perdamaian yaitu: hanya biaya pengukuran/pemecahan
sertifikat sesuai penetapan BPN, tanpa tambahan biaya
apapun;
Hal ini jelas-jelas merupakan pelanggaran dari Perjanjian
Perdamaian yang dilakukan dengan sengaja dan itikadburuk
dari Termohon Pailit;
4) Menurut ketentuan Pasal 2 Perjanjian Perdamaian disebutkan
Termohon Pailit selaku Pihak Pertama akan melakukan
pembangunan infrastruktur, di antaranya pembangunan sarana
dan prasarana jalan, taman, pemeliharaan saluran air serta
pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial di lingkungan
Perumahan Taman Kebon Jeruk dan pemeliharaan kebersihan
dan keamanan yang akan dimulai setelah perjanjian
iniditandatangani dan dihomologasi oleh Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat;
Kenyataannya setelah perjanjian perdamaian ditandatangani
dan dihomologasi oleh Pengadilan Negeri/Niaga Jakarta Pusat,
Termohon Pailit tidak memulai pembangunan infrastruktur
yang dijanjikan tersebut. Hal mana dapat dibuktikan jalan-jalan
berbatu tidak diaspal, sungai/kali yang terdapat dalam
perumahan Interkon Kebon Jeruk sudah dalam keadaan kritis
145
akan ambruk tidak dikerjakan oleh Termohon Pailit, meskipun
sudah diberitahukan secara lisan dan tertulis kepada
Termohon. Hal mana dengan terpaksa para Pemohon Pailit
bersama warga yang lain harus mencari upaya sendiri
memperbaikinya dan menanggulangi biaya yang dikeluarkan
untuk perbaikan infrastruktur tersebut secara gotong royong
bersama-sama (terlampir, Buktl P-6);
5) Bahwa kelalaian atas pelaksanaan isi perjanjian perdamaian
oleh Termohon Pailit bukan merupakan keterlambatan
pelaksanaan, melainkan bersifat pelanggaran hukum/undang-
undang yang sengaja dibuat Termohon Pailit dengan
menggelembungkan biaya-biaya yang seharusnya tidak
ditanggung pemohon pailit;
Hal mana jelas-jelas terbukti sangat merugikan para pihak
yang terkait dalam perjanjian perdamaian khususnya para
pembeli kavling perumahan Interkon Kebon Jeruk oleh
karenanya tidak dapat ditolerir lagi, sehingga Termohon Pailit
layak dan patut dipailitkan karena telah melanggar perjanjian
perdamaian;
6) Bahwa para Pemohon Pailit selaku pihak terkait, dalam
perjanjian perdamaian merupakan pihak yang harus dilindungi
oleh hukum karena Termohon Pailit telah melanggar perjanjian
perdamaian sehingga Para Pemohon Pailit berhak memohon
146
agar Termohon Pailit dipailitkan sehingga kepentingan Para
Pemohon Pailit dapat dilaksanakan oleh Pengadilan dengan
seadil-adilnya;
Para Pemohon Pailit sangat berkeberatan dengan pengenaan
biaya-biaya yang ditetapkan di luar isi perjanjian perdamaian
dengan sengaja dan itikad buruk dari Termohon Pailit,
sehingga Para Pemohon Pailit merasa diperas, ditindas oleh
Termohon Pailit dengan biaya-biaya yang sangat besar,
digelembungkan, dimanipulasi, di luar ketentuan undang-
undang, yang dikenakan kepada para Pemohon Pailit untuk
mendapatkan hak-hak atas tanahnya kembali berdasarkan
Perikatan untuk Menjual dan Membeli Tanah di Taman Kebon
Jeruk yang ditandatangani oleh Pemohon Pailit dengan
Termohon Pailit (dahulu PT. Intercon Enterprises). (Bukti P-
7).
Perkara ini hakim Mahkamah Agung menilai bahwa Debitur
lalai memenuhi isi perjanjian sebagaimana termaktub dalam Pasal 170
ayat (1) dan akibatnya Debitur dinyatakan Pailit. Berdasarkan hasil
penelitian dapat dilihat bahwa Hakim Mahkamah Agung dalam
menolak permohonan Kasasi tidak dapat dibenarkan.
Menurut Pasal 170 (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007:
147
“Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang
telah disahkan apabila Debitur lalai memenuhi isi perdamaian
tersebut”.
Berdasarkan faktanya yang mengajukan permohonan
pembatalan perdamaian adalah Horas Panjaitan , S.H (Kuasa Hukum
Pemohon Pailit). Akan tetapi Horas Panjaitan, S.H sama sekali tidak
memiliki wewenang mengajukan permohonan pembatalan tersebut hal
ini dapat dilihat dalam Putusan Nomor 027/Pailit/2006/PN.
Naga/Jkt.Pst jo Nomor 21 K/N/2006 jo Nomor 019 PK/N/2006
tanggal 29 April 2009. Bahwa dalam Surat Kuasanya tidak disebutkan
secara tegas dan spesifik mengenai permohonan pembatalan. Bahwa
benar Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004 menyatakan
“Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah
disahkan apabila debitor lalai memenuhi isi perjanjian tersebut”.
Bahwa ketentuan Pasal 170 ayat (1) UU Nomor 37 Tahun 2004
tetaplah harus berpedoman pada Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 37
Tahun 2004 yang menyatakan “Debitor yang mempunyai dua atau
lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri
maupun ataspermohonan satu atau lebih Kreditor”;
Menurut Sutan Remy Sjahdeini, SH. dalam bukunya Hukum
Kepailitan, menyatakan sebagai berikut: “Sangatlah penting diketahui
148
mengenai apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu
apabila seseorang atau suatu badan hukum bermaksud mengajukan
permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat
tersebut perlu diketahui karena apabila permohonan Kepailitan tidak
memenuhi syarat-syarat tersebut, maka Permohonan tersebut tidak
akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga;
Bahwa syarat tersebut terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 yaitu:
“ Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya”.
Bahwa syarat tersebut sifatnya limitative dan harus dipenuhi
seluruhnya.
Berdasarkan faktanya:
1) Syarat paling sedikit harus ada 2 (dua) Kreditor;
Sekilas syarat ini terpenuhi oleh karena Tommy Bungaran, Cs
merupakan Kreditor dalam Perjanjian Perdamaian Sesuai dengan
Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No. 027/PAILIT/2006/PN.NIAGA.JKT.PST. jo. No. 21
K/N/2006, jo No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009 (Kecuali
Heny Anwari), namun demikian Pemohon Pailit tidak mempunyai
legal standing untuk mengajukan Permohonan Pailit sebagaimana
telah diuraikan dalam Eksepsi Pemohon Intervensi;
149
2) Syarat harus adanya hutang;
Bahwa Pemohon Pailit mengajukan Permohonan Pailit
mendasarkan pada kelalaian Termohon Pailit terhadap Perjanjian
Perdamaian Sesuai dengan Putusan Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 027/Pailit/2006/PN.Niaga jo
No. 21 K/N/2006, jo. No. 019 PK/N/2006 tanggal 29 April 2009
dengan alasan pada pokoknya:
1. Termohon Pailit telah membebani BPHTB, PPh, dan Biaya
Pengukuran/Pemecahan Sertifikat kepada Suwarno Dicky
Yusuf yang menurut Pemohon Pailit melanggar lampiran