PENINGKATAN KOMPETENSI GURU UNTUK MENINGKATKAN MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA Oleh Istamar Syamsuri 1 A. PENDAHULUAN Peningkatan minat siswa pada bidang MIPA dipengaruhi oleh banyak faktor, misalnya latar belakang orang tua, pergaulan, harapan masa depan, dan guru. Guru merupakan faktor dominan yang dapat mempengaruhi minat siswa. Jika gurunya dapat melakukan pembelajaran yang profesional, misalnya menyenangkan, memudahkan, mampu menumbuhkan aktivitas dan kreativitas siswa, serta membelajarkan siswa, maka siswa akan memiliki minat yang tinggi terhadap bidang MIPA. Sebaliknya apabila guru kurang profesional, menyajikan materi pelajaran berpusat pada dirinya, menyebabkan siswa sulit memahami, otoriter dan akhirnya 1 Dr. Istamar Syamsuri, M.Pd, adalah dosen Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, penulis dan peneliti, dan aktif dalam Program Lesson Study, kerjasama antara Pemerintah RI dengan JICA . 2 Makalah disampaikan dalam Lokakarya MIPAnet 2010, The Indonesian Network of Higher Educations of Mathematics and Nanutal Sciences, tanggal 26-27 Juli 2010, di IPB, Bogor
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
PENINGKATAN KOMPETENSI GURUUNTUK MENINGKATKAN MINAT SISWA PADA BIDANG MIPA
Oleh Istamar Syamsuri1
A. PENDAHULUAN
Peningkatan minat siswa pada bidang MIPA dipengaruhi oleh banyak
faktor, misalnya latar belakang orang tua, pergaulan, harapan masa depan, dan
guru. Guru merupakan faktor dominan yang dapat mempengaruhi minat siswa.
Jika gurunya dapat melakukan pembelajaran yang profesional, misalnya
menyenangkan, memudahkan, mampu menumbuhkan aktivitas dan kreativitas
siswa, serta membelajarkan siswa, maka siswa akan memiliki minat yang tinggi
terhadap bidang MIPA. Sebaliknya apabila guru kurang profesional, menyajikan
materi pelajaran berpusat pada dirinya, menyebabkan siswa sulit memahami,
otoriter dan akhirnya membuat siswa malas belajar, maka siswa akan kehilangan
minatnya terhadap bidang MIPA.
Guru yang profesioal adalah guru yang memiliki kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Berdasarkan keprofesionalannya, guru dapat dibedakan menjadi 2 golongan
besar yakni guru yang profesional (walau dia tidak tersertifikasi) dan guru yang
belum profesional (termasuk yang tersertifikasi).
Keprofesionalan guru dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut antara lain faktor kepala sekolah dan pengawas, DIKNAS, Kebijakan 1 Dr. Istamar Syamsuri, M.Pd, adalah dosen Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang, penulis dan peneliti, dan aktif dalam Program Lesson Study, kerjasama antara Pemerintah RI dengan JICA .2 Makalah disampaikan dalam Lokakarya MIPAnet 2010, The Indonesian Network of Higher Educations of Mathematics and Nanutal Sciences, tanggal 26-27 Juli 2010, di IPB, Bogor
Pemerintah (kurikulum, sertifikasi, kebijakan tentang buku, UN, dsb). Mengingat
terbatasnya kesempatan, tidak semua faktor dibahas dalam makalah ini.
B. MUTU PENDIDIKAN KITA MASIH RENDAH
Kita harus mengakui bahwa mutu pendidikan di negara kita masih rendah.
Kualitas pendididkan kita masih berada di bawah rata-rata negara berkembang
lainnya. Hasil survai World Competitiveness Year Book tahun 1997-2007
menunjukkan bahwa dari 47 negara yang disurvai, pada tahun 1997 Indonesia
berada pada urutan 39, pada tahun 1999, berada pada urutan 46. Tahun 2002,
dari 49 negara yang disurvai, Indonesia berada pada urutan 47, dan pada 2007
dari 55 negara yang disurvai, Indonesia menempati posisi ke-53. Menurut
laporan monitoring global yang dikeluarkan lembaga PBB, UNESCO, tahun 2005
posisi Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara berkembang di Asia
Pasifik. Selain itu, menurut laporan United Nations Development Programme
(UNDP), kualitas SDM Indonesia menempati urutan 109 dari 177 negara di
dunia. Sedangkan menurut The Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) yang merupakan lembaga konsultan dari Hongkong menyatakan
kualitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, di antara 12 negara Asia yang
diteliti, Indonesia satu tingkat di bawah Vietnam.
Khusus bidang MIPA, pendidikan di Indonesia juga masih cukup
memprihatinkan. Hasil survai TIMSS tahun 2003 yang diikuti 46 negara, siswa-
siswa Indonesia menempati urutan 34 untuk matematika, dan menempati urutan
36 untuk sains. Singapura menempati urutan pertama untuk dua-duanya, Korea
Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Jepang, juga mendominasi peringkat atas,
sementara Malaysia menempati urutan 10 untuk matematika, dan 20 untuk
sains.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan oleh data
dari Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya
delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Primary Years Program (PYP), dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga
hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah
yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Mudah diduga, jika mutu pendidikan rendah maka kualitas sumber daya
manusia (SDM) juga akan rendah. Pada 15 September 2004 lalu United Nations
for Development Programme (UNDP) mengumumkan hasil studi tentang kualitas
manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul
Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia
hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibandingkan dengan
negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Ini
sungguh memprihatinkan. Berbicara tentang kualitas pendidikan, Yusuf Kalla
pernah mengatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia saat ini lebih buruk di
banding 30-40 tahun yang lalu, bahkan menurut laporan hasil survey The
Political and Economic Risk Consultancy (PERC) kualitas pendidikan Indonesia
berada pada peringkat 16 di tingkat Asia dan berada di urutan 160 untuk tingkat
dunia. Ironisnya, kedudukan itu berada di bawah negara Vietnam yang sering
mengalami kekacauan politik dan peperangan itu.
Walaupun demikian, berita menggembiarakan masih ada. Para anak
bangsa ternyata cukup berprestasi di ajang olimpiade MIPA tingkat internasional,
dan hampir setiap tahun para siswa kita yang mengikuti olimpiade matematika,
Fisika, Kimia dan Biologi memperoleh medali emas. Mereka mengalahkan para
siswa dari negara-negara maju seperti Amerika, Jepang, Belanda, Australia.
Dari para peraih emas itu, terdapat mutiara hitam dari Indonesia Timur
Irian Jaya yang mengharumkan nama bangsa. Ini untuk mempertegas bahwa
sebenarnya, anak Indonesia, dari manapun asalnya, memiliki potensi kuat untuk
menjadi juara olimpiade. Anak Indonesia memiliki potensi kuat juga untuk
menjadi ahli MIPA, menyumbangkan ilmunya untuk kemajuan IPTEK di tanah air
menyamai negara lainnya.
Jika “bahan baku” yang berupa kecerdasan anak Indonesia memiliki
potensi besar, tetapi setelah sekolah mereka prestasinya rendah, berarti ada
sesuatu yang menyebabkannya, ada sesuatu yang keliru dalam sistem
pendidikan kita. Seharusnya mutu pendidikan di Indonesia tidak kalah dengan
negara-negara lain, tetapi mengapa kenyataannya tidak? Bahan baku berupa
kecerdasan anak Indonesia itu baru berbuah emas ketika mereka digodok
beberapa bulan, melalui suatu pelatihan untuk menjadi ilmuwan. Ini berarti
bahwa kesalahan terletak pada proses pembelajaran di kelas, mengapa mutu
pendidikan rendah. Dan proses pembelajaran di kelas itu, selain ditentukan oleh
keprofesionalan guru, juga oleh kualitas kepala sekolah, kondisi sekolah, Dinas
Pendidikan, dan kebijakan pemerintah mengenai pendidikan. Seandainya anak
Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan bakat dan
minatnya terhadap bidang MIPA, maka di Indonesia akan bertumbuh ahli-ahli
MIPA yang tidak kalah dengan negara lain yang sudah maju. Kapan?
C. GURU PROFESIONAL >< GURU BELUM PROFESIONAL
Apakah guru kita sudah profesional? Mungkin jawabannya ya, karena
guru tersebut memang melakukan upaya pembelajaran secara profesional dan
memiliki kompetensi sebagai pendidik yang baik, meskipun dia belum
tersertifikasi. Guru yang demikian masih langka. Namun masih banyak juga
guru yang belum profesional meskipun tekah tersertifikasi. Untuk mengetahui
sampai di tingkat mana keprofesionalan guru, diadakanlah survai di Malang,
dengan asumsi sekolah di kota Malang sudah cukup memadai dan dapat
dijadikan sebagai “contoh” bagi sekolah di sekitarnya. Survai serupa
diselenggarakan di Padang dan Banjarbaru.
Berdasar survai yang diselenggarakan penulis bekerjasama dengan JICA
pada bulan Februari dan Maret 2010 menghasilkan kesimpulan bahwa masih
perlu adanya Inservice Training guru (pembinaan guru dalam jabatan) dalam
bentuk pendampingan oleh para ahli. Survai yang diselenggarakan di kota
Malang, mengambil sampel 11 SMP terdiri dari 1 RSBI, 2 SSN, 3 SMPN non
SSN, 3 SMP Swasta, 1 MTs N dan 1 MTs Swasta, bertujuan untuk mengetahui
kesesuaian antara kebijakan Pemerintah (DIKNAS Pusat, Provinsi, Kota) tentang
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan implementasinya di
sekolah beserta permasalahan yang ada. Responden terdiri dari Tim
Pengembang Kurikulum (TPK) Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur, Kepala
Bidang Pendidikan Menegah (DIKMEN) Dinas Pendidikan Kota Malang dan
beberapa anggota TPK Kota Malang (KASI Kurikulum dan 3 orang pengawas
SMP), Kepala MAPENDA Kantor Departemen Agama Kota Malang dan Staf, 11
Kepala Sekolah SMP/MTs negeri dan swasta, dan sejumlah orang guru
matematika dan IPA, serta beberapa orang guru non MIPA. Pengumpulan data
survai dilakukan melalui wawancara terhadap responden, meminta dokumen
KTSP, dan observasi pembelajaran di kelas.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi KTSP dari
Tingkat Pusat, Provinsi, ke Kota dan Sekolah berlangsung baik. Setiap Tim
Pengembang mulai dari Pusat hingga ke Kota melakukan DIKLAT Penyusunan
KTSP. Pendek kata, secara normatif dan administratif segalanya berjalan baik.
Namun bagaimana hasilnya?
Beberapa temuan survai tersebut diuraikan berikut ini:
a. Umumnya para guru masih menyusun KTSP Buku II (silabus, RPP dan
LKS) dengan teknik “copy paste”, yang berarti mereka belum menyusun
silabus, RPP dan LKS berdasar keperluan dan kondisi mereka sendiri;
b. Meskipun mereka mengaku memiliki RPP, namun ketika proses
pembelajaran siswanya diobservasi, semua guru tidak membawa RPP
dengan alasan tertinggal di rumah;
c. Dari analisis RPP yang diperoleh ternyata terdapat perbedaan antara apa
yang dituliskan dengan apa yang diimplementasikan di kelas. Di RPP guru
menuliskan penggunaan pendekatan konstruktivistik, guru berperan
selaku fasilitator, namun dari observasi di kelas dapat diketahui bahwa
guru lebih dominan, banyak menggunakan ceramah, para siswa pasif,
dan guru tidak memahami bagaimana mengimplementasikan pendekatan
konstruktiivistik di kelas sebagaimana disarankan kurikulum 2006;
d. Pengelolaan kelas dilakukan secara konvensional sehingga tidak
memungkinkan terjadinya interaksi antar siswa, kecuali ada 2 SMP yang
menggunakan pengelolaan kelas yang memungkinkan terjadinya saling
belajar antar siswa.
e. Dalam melakukan evaluasi/assesmen, umumnya guru menggunakan tes
secara tertulis, sehingga tes hanya berorientasi ke ranah kognitif, hanya
beberapa guru yang menggunakan rubrik untuk assesmen. Ini berarti
bahwa pemahaman guru tentang asesmen hanya pada ranah kognitif,
tidak sampai pada ranah afektif dan psikomotor
Hasil survai ini menunjukkan juga bahwa tidak ada perbedaan
keprofesionalan antara guru sekolah “bermutu” dengan sekolah yang “tidak
bermutu”, yang artinya bahwa baik sekolah “bermutu” maupun sekolah “tidak
bermutu” memiliki keprofesionalan yang sama yaitu sama-sama belum
profesional. Rupaya prestasi siswa sekolah “bermutu” selama ini bukan karena
hasil desain pembelajaran gurunya, melainkan karena mutu masukan siswanya
yang memiliki nilai DANEM tinggi.
Dalam rangka meningkatkan mutu guru, Pemerintah telah berupaya
maksimal untuk melakukan inservis training dengan menyelenggarakan
penataran, pelatihan, workshop dalam beberapa minggu sehingga guru
meninggalkan kelasnya, namun setelah kembali ke sekolah para guru tidak
menerapkan ilmunya untuk mengefektifkan pembelajaran. Hal ini disebabkan
karena beberapa alasan yang sering dikemukakan para guru sebagai berikut::
a. Latar belakang siswa (DENEM rendah, dari keluarga menengah ke
bawah, dari desa/daerah terpencil) yang sulit untuk diajak aktif dan kreatif;
b. Guru tidak memiliki waktu cukup untuk menerapkan metode, pendekatan
dan model-model pembelajaran yang disarankan. Jika diterapkan,
waktunya lama sehingga guru tidak dapat menyelesaikan penyampaian
materi pembelajaran yang cukup banyak kepada siswa.
c. Jika menghadapi Ujian Nasional, guru cenderung mengadakan drill dan
latihan soal-soal ujian.
d. Media dan laboratorium tidak mencukupi/tidak ada;
e. Jam mengajar guru terlalu banyak
Melihat alasan yang dikemukakan guru nampak bahwa guru lebih
berorientasi pada faktor dari luar dirinya alias lebih menyalahkan faktor luar
daripada dirinya. Dengan pendampingan oleh dosen melalui kegiatan Lesson
Study, alasan guru itu akhirnya dapat diatasi sendiri oleh mereka, kecuali alasan
Ujian Nasional.
D. FAKTOR KEPALA SEKOLAH
Faktor Kepala Sekolah (juga Pengawas, DIKNAS) memiliki hubungan
komando yang tegas dalam menentukan bentuk kegiatan guru di kelas. Berdasar
ketentuan DEPDIKNAS, KS hendaknya memiliki lima aspek kompetensi, yaitu
kompetensi kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Hasil
uji kompetensi yang dilakukan oleh Dirjen PMPTK menunjukkan bahwa 70% dari
250.000 KS tidak kompeten, terutama di bidang manajerial dan supervisi,
sebagai kompetensi yang paling menentukan kualitas pendidikan. Menurut
Direktur Tenaga Kependidikan, Surya Dharma, dua kompetensi itu merupakan
kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik. Sebagai
pembanding, uji kompetensi terhadap 50 KS dari sebuah yayasan juga
menunjukkan hasil yang sama.
Bagaimana KS dapat melakukan supervisi terhadap guru jika mereka
tidak kompeten? Apakah supervisi dilakukan oleh para Pengawas?.
Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa para Pengawas juga tidak
melakukan pengawasan sesuai dengan TUPOKSInya. Mengapa hal ini terjadi?
Jawabannya karena perekrutan KS (juga Pengawas, DIKNAS Kabupaten/Kota)
tidak dilakukan berdasarkan keprofesionalan mereka sesuai dengan ketentuan,
melainkan berdasar faktor-faktor lain, misalnya faktor politik. Sejak
belajar. Apakah semua siswa bisa (bukan sebagaian besar siswa). Observer
akan mencatat temuannya. Setelah proses pembelajaran berlangsung, para guru
segera melakukan diskusi refleksi. Mereka mengungkapkan temuannya secara
obyektif. Siswa mana yang belajar dan mana yang tidak. Mengapa hal itu terjadi,
mengapa siswa tidak mampu memahami, dan bagaimana cara mengatasinya.
Semua observer mengungkapkan temuannya dan jalan keluar yang disarankan
akan dipergunakan untuk merevisi RPP. RPP hasil revisi dapat diterapkan untuk
proses pembelajaran di kelas lain. Demikian seterusnya
Lesson Study dapat dibedakan menjadi 3 tahapan utama yaitu tahap
perencanaan (plan), yaitu diskusi untuk merumuskan skenario pembelajaran,
yang menghasilkan RPP dan LKDS; tahapan pelaksanaan (do) yakni menunjuk
seorang guru untuk menjadi guru model sementara yang lainnya menjadi
pengamat; tahap ketiga adalah diskusi refleksi (see), yang merupakan diskusi
untuk mencari solusi dan menemukan jalan keluar pemecahan masalah
pembelajaran untuk dijadikan bahan revisi. Demikian seterusnya siklus ini
berulang berkali-kali, karena setiap pembelajaran itu khas, kondisi tidak sama,
dan tidak ada proses pembelajaran yang sempurna.
Melalui Lesson Study para guru dapat menggunakan metode apapun,
pendekatan belajar manapun, dan boleh menggunakan media buatan sendiri,
semuanya harus bermuara pada jawaban pertanyaan: Apakah siswa belajar
dengan mudah? Apakah semua siswa bisa? Apakah antar siswa terjadi proses
saling belajar? Apakah siswa bergairah dan senang selama pembelajaran?
Apakah tujuan pembelajaran tercapai?
Berdasarkan penelitian selama Lesson Study, para guru akhirnya: mampu
menyusun RPP dan LKS yang kreatif dan membelajarkan, kolegalitas antar guru
terbentuk dan mereka saling membelajarkan, guru model tidak takut diamati
pihak manapun, guru tidak sakit hati tetapi justru senang mendapatkan
masukan, para guru tidak saling menjelekkan tetapi muncul solusi konstruktif,
guru lebih memperhatikan hak setiap siswa belajar, siswa merasa senang,
siswa senang mengemukakan pendapat dan kreatif, siswa saling belajar, dan
prestasi siswa akhirnya meningkat. Para siswa akhirnya menyenangi
matapelajaran abstrak yang selalu dianggap sulit yakni matematika. Demikian
juga halnya siswa akhirnya menyenangi fisika, kimia dan biologi karena mereka
tertantang untuk kreatif dalam suasana menyenangkan.
Lesson Study bukanlah suatu metode, tetapi suatu wahana tempat guru
belajar melalui media proses pembelajarannya sendiri. Obyek pengkajiannya
adalah kelas nyata, dan jalan keluar yang ditawarkannya adalah jalan keluar
yang praktis. Melalui Lesson Study guru dapat menggunakan pendekatan
apapun, metode dan media manapun, asalkan menimbulkan minat belajar
dengan maksud untuk tercapainya tujuan belajar.
Merujuk pada judul makalah ini: Bagaimana meningkatkan kompetensi
guru untuk meningkatkan minat siswa pada MIPA, jawabannya adalah dengan
menyelenggarakan Lesson Study. Lesson Study dilaksakan apabila terdapat
komitmen dari para guru, kepala sekolah, pengawas dan DIKNAS. Lesson Study
tidak dapat hanya dilaksanakan satu dua kali, melainkan harus terus menerus
sepanjang hayat. Wadah MGMP dapat dijadikan wahana untuk pelaksanaan
Lesson Study. Tidak harus setiap mengajar melaksanakan Lesson Study dalam
arti kegiatan pembelajaran dilaksanakan untuk diamati guru lain. Seorang guru
cukup sekali dalam satu semester melaksanakan open lesson, yang diamati
guru-guru lain (boleh mengundang orang tua siswa, stake holder, organisasi
sosial, dst sebagai peninjau). Setelah itu mereka melaksanakan sendiri proses
pembelajaran di kelas berdasar temuan-temuan dan saran-saran dalam open
lesson. Jika semua guru di sekolah melaksanakannya, maka di sekolah telah
terbentuk Learning Community (masyarakat belajar), yakni saling belajar
membelajarkan antara guru-guru, guru-siswa, siswa-guru, sekolah-masyarakat.
Agar segala proses dapat berlangsung dengan baik dan dapat terus
ditingkatkan secara berkelanjutan, maka perlu dibentuk Tim Monitoring dan
Evaluasi yang akan melakukan pengukuran dan evaluasi sejak program belum
dilaksanakan, selama program berjalan dan program mencapai akhir periode
tertentu. Melalui Lesson Study, para guru diajak berfikir ilmiah, melakukan
pengkajian terhadap proses pembelajaran di kelas nyata, menyampaikan saran-
saran perbaikan, dan menyusun laporan baik dalam bentuk karya ilmiah maupun
hasil penelitiannya selama berLesson Study.
Sejumlah isu yang dipaparkan diatas menunjukkan perlunya suatu agendareformasi yang didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kualitaspendidikan dasar di Indonesia. Agenda ini harus didasari pada peningkatankapasitas manajemen dan akuntabilitas disetiap tingkat pemerintahan,pemberdayaan sekolah dalam membuat perencanaan dan melaksanakanstrategi mereka sendiri untuk meningkatkan kualitas pendidikan, mengurangiketimpangan sumber daya fiskal daerah dalam pendidikan, menciptakanmekanisme pertukaran dan penggunaan informasi dalam suatu sistem yangmenyeluruh, membangun kemampuan pengajaran yang lebih baik danmemperjelas kembali struktur kelembagaan pusat untuk menyesuaikanamanat baru dari rakyat. Sekarang merupakan waktu yang tepat untukmelaksanakan agenda perubahan ini dengan segara: dimana pemerintahanbaru berada dibawah kepemimpinan baru telah memperoleh mandat amatbesar dari rakyat Indonesia.