1 PENINGKATAN KINERJA GURU MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS KECERDASAN GANDA MUHAMMAD YAUMI No. Reg. 7117080361 Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dalam Rangka Memenuhi Sebagai Persyaratan untuk Penelitian PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 2010
83
Embed
PENINGKATAN KINERJA GURU MELALUI PEMBELAJARAN bERBASIS KECERDASAN gANDA
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
PENINGKATAN KINERJA GURU MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS KECERDASAN GANDA
MUHAMMAD YAUMI No. Reg. 7117080361
Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dalam Rangka Memenuhi Sebagai Persyaratan untuk Penelitian
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2010
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberhasilan suatu negara memiliki relevansi yang signifikan dengan
kualitas pendidikan yang diselenggarakan. Sedangkan kualitas pendidikan
berbanding lurus dengan kinerja tenaga pendidik yang secara langsung
berkontribusi besar dalam menentukan mutu pendidikan yang dihasilkan.
Upaya peningkatan kinerja tenaga pendidik mengalami perkembangan yang
cukup baik dalam beberapa tahun terakhir ini, baik dilihat dari sisi normatif
maupun konseptual. Secara normatif, lahirnya undang-undang nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, tenaga pendidik telah
diakui sebagai tenaga profesional dan berhak memperoleh penghasilan dan
jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai.1
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen telah
menetapkan bahwa pembinaan dan pengembangan profesi guru meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.2 Selain itu, Peraturan Menteri (PERMEN) Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Sertifikasi Guru
1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal Bab XI Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Pasal 40 ayat 1 a.
2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen Bagian Kelima
Pembinaan dan Pengemabngan Pasal 69 Ayat 1 dan 2.
3
dalam Jabatan adalah dukungan normatif dalam rangka untuk meningkatkan
kinerja tenaga pendidik khususnya guru dan dosen dalam menjalankan tugas
keprofesionalan. Secara konseptual, peningkatan frekuensi kegiatan
pengembangan guru seperti seminar, workshop, pelatihan, dan berbagai
bentuk pembinaan lain telah berkontribusi pada berkembangya konsep-
konsep keilmuan melalui diskusi ilmiah, penelitian-penelitian, karya-karya
akademik berupa buku, artikel, jurnal, blog, dan kajian-kajian keilmuan lain
seputar ilmu-ilmu pendidikan.
Namun, fakta menunjukan bahwa berbagai upaya peningkatan kinerja
guru berbanding terbalik dengan hasil yang dicapai saat ini. Survei yang
dilakukan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) terhadap 28
propinsi menemukan bahwa kinerja guru yang sudah lulus sertifikasi atau
lulus uji kompetensi masih rendah.3 Motivasi kerja yang tinggi justru
ditunjukkan oleh guru-guru di berbagai jenjang pendidikan yang belum lulus
sertifikasi. Salah satu penyebabnya adalah tingginya harapan untuk dapat
berhasil dalam uji kompetensi yang membawa konsekwensi terhadap
meningkatnya pendapatan secara finansial. Artinya, peningkatan kinerja,
seperti perubahan pola kerja, motivasi kerja, pembelajaran, atau peningkatan
3 Kompas, Kinerja Guru Rendah: Produktivitas Tinggi Saat mengikuti Sertifikasi, hal 1, 2010 (http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/07/02424962/kinerja.guru.rendah).
diri sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang memadai masih
sangat jauh dari yang diharapkan.
Memang, program sertifikasi guru belum seluruhnya dapat diukur dan
dievaluasi karena baru berjalan sejak tahun 2007 dan pada akhir 2009
terdapat sebanyak 600.450 guru saja yang berhasil disertifikasi dari total 2,7
juta guru yang tersebar di seluruh Indonesia.4 Tetapi paling tidak implikasinya
seharusnya dapat mengangkat mutu pendidikan yang diselenggarakan.
Namun, rata-rata nilai UN SMP/MTs sebesar 7,02 pada tahun 2007 turun
menjadi 6,87 pada tahun 2008, walaupun tingkat kelulusan sebesar 92,76%.
Rata-rata nilai ujian SMP/MTs tersebut masih di bawah target nasional pada
tahun 2008 yaitu 7 dan tingkat kelulusan masih di bawah standar 95% seperti
yang ditargetkan pada tahun 2008.5 Hal ini berarti program sertifikasi guru
yang dilakukan pada tahun 2007 belum membawa implikasi positif terhadap
peningkatan kemampuan siswa dan bahkan justru menunjukkan hasil yang
cenderung menurun.
Dari aspek kualifikasi, persentase kualifikasi guru S-1/D-4 sebesar
49.5% pada tahun 2009 telah melebihi target nasional sebesar 37,5%.
Namun, persentase dosen yang berkualifikasi S-2/S-3 pada tahun 2009
sebesar 58% masih di bawah target nasional sebesar 65%. Berkaitan dengan
4 Direktorat Profesi Pendidikan, Monitoring dan Evaluasi Sertifikasi Guru Tahun
2009, hal.1, 2010 (http://sertifikasiguru.org/berita_detail.php?id=14). 5 Departemen Pendidikan Nasional, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-
sertifikat sebagai pendidik, persentase guru dan dosen yang sudah
bersertifikat masing-masing sebesar 23% dan 15%, masih di bawah target.6
Di satu sisi angka kualifikasi guru pada tahun 2009 tersebut memang sudah
memenuhi target, tetapi di sisi lain jumlah 1.400.982 dari 2.603.650 guru
yang tidak memenuhi persyaratan mengajar minimum nasional7
menunjukkan jumlah yang sangat besar yang dapat mempengaruhi
peningkatan mutu pendidikan.
Rendahnya persentase guru yang memiliki kualifikasi standar
minimum nasional paling tidak disebabkan oleh tiga hal, yakni pertama,
pemahaman yang keliru terhadap relevansi antara pengetahuan yang
diperoleh dengan kesejahteraan yang diberikan yang menyebabkan
rendahnya minat guru untuk menambah wawasan pengetahuan dan
keterampilan sebagai upaya meningkatkan kinerja. Kedua, pelaksanaan
program sertifikasi guru yang hanya bersandar pada sistem portofolio dan
mengabaikan aspek kinerja guru secara profesional. Terdapat sejumlah guru
yang memiliki tingkat dedikasi dan kesungguhan yang berarti, tetapi belum
dapat disertifikasi karena tidak mampu mengumpulkan portofolio secara fisik
sesuai target yang diberikan. Sebaliknya, tidak sedikit guru yang tidak
memiliki kompetensi yang berarti, tetapi mampu memperlihatkan bukti fisik
6 Ibid. hal. 29.
7 Sempoerna foundation, Indonesian teachers currently do not meet the National Minimum of Teaching Requirements, hal. 1, 2009 (http://www.sampoernafoundation.org/content/view/1446/1/lang,en/).
dalam sistem portofolio kemudian dianggap memiliki kompetensi sehingga
langsung mendapatkan sertifikat guru professional. Konsekuensinya, tidak
terdapat korelasi positif antara guru yang sudah disertifikasi dengan
peningkatan kompetensi yang dimiliki.
Ketiga, sistem perekrutan dan pengangkatan guru yang tidak
berdasarkan uji kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Pemberian tes
berupa pancasila, peraturan pemerintah, tes potensi akademik, dan
kemampuan bahasa Inggris hanyalah menyentuh kompetensi kepribadian
dan sosial saja. Sedangkan, kompetensi pedagogik dan profesional tidak
mendapat tempat yang memadai dalam setiap perekrutan tenaga guru
sehingga kinerja guru masih sangat jauh dari tugas keprofesionalan. 8
Oleh karena itu, program peningkatan kinerja guru harus menjadi
bagian dari tugas keprofesionalan yang bermuara pada profesi yang
merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip:
(a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki
komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan
sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai
8 Baedhowi, Kualitas Guru di Indonesia Masih Minim, hal. 1, 2009 (http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/21/18185296/kualitas.guru.di.indonesia.masih.minim).
spiritual), dan existential intelligence (kecerdasan eksistensial).21
Jika menelaah lebih mendalam pandangan Gardner (1983) yang
membagi tujuh kecerdasan pada bukunya Frames of Mind dan menambah
tiga kecerdasan dalam buku berikutnya Intelligence Reframed, maka
kecerdasan jamak itu sesungguhnya terdiri atas 10 kecerdasan. Namun,
Gardner sendiri menyangsikan adanya tumpang tindih antara kecerdasan
eksistensial dan kecerdasan spiritual. Oleh karena itu, penerapan kecerdasan
jamak hanya terdiri atas delapan bagian dengan tidak memasukkan
kecerdasan spiritual dan eksistensial.22 Sekalipun demikian, beberapa
penulis dan peneliti, seperti Amram,23 McKenzie,24Bowles,25 dan
Buzan26telah memasukkan kecerdasan spiritual sebagai salah satu bagian
dari kecerdasan jamak.
21
Gardner, Intelligence Reframed (New York: Basic Books, 1999), p. 47. 22
Armstrong, Multiple Intelligences in the Classroom (Alexandria, VA: ASCD, 2009) p. 126—128.
23 Joseph Yosi Amram, The Contribution of Emotional and Spiritual Intelligences to Effective
Business Leadership, A dissertation submitted in partial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in Clinical Psychology Institute of Transpersonal Psychology Palo Alto, California January 15, 2009.
24 Walter McKenzie, Multiple Intelligences and Instructional technology. Washington DC:
International Society for Technology in Education.2005. 25
Terry Bowles, Self-rated Estimates of Multiple Intelligences Based on Approaches to Learning. Australian Journal of Educational & Developmental Psychology. Vol 8, 2008, pp 15-26.
26 Tony Buzan, The Power of Spiritual Intelligence: 10 Ways to Tap into Your Spirit Genius. New York:
Perfectbound, 2002.
23
Di samping itu, Zohar dan Marshall membahas khusus mengenai
enam jalan menuju kecerdasan spiritual yang lebih tinggi” dan tujuh langkah
praktis mendapatkan kecerdasan spiritual. Keenam jalan tersebut yaitu jalan
tugas, jalan pengasuhan, jalan pengetahuan, jalan perubahan pribadi, jalan
persaudaraan, jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian. Sedangkan
tujuh langkah menuju kecerdasan spiritual lebih tinggi adalah (1) menyadari
di mana saya sekarang, (2) merasakan dengan kuat bahwa saya ingin
berubah, (3) merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi
saya yang paling dalam, (4) menemukan dan mengatasi rintangan, 5)
menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju, (6) menetapkan hati
saya pada sebuah jalan, (7) tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.27
Berangkat dari pandangan tersebut di atas, Dalam penelitian ini,
penulis cenderung menggunakan sembilan kecerdasan jamak dengan
memadukan antara dua kecerdasan spiritual dan eksistensial. Hal ini,
dilakukan untuk mengkaji lebih jauh tentang kecerdasan spiritual peserta
didik dalam menunjang tujuan pendidikan nasional yang melibatkan unsur-
unsur spiritual sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan pembelajaran.
Untuk memudahkan pembahasan, penulis ingin menguraikan sembilan
kecerdasan majemuk seperti digambarkan di bawah ini:
27
Zohar and Marshall, Spiritual Quetient, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, Versi Indonesia (Bandung: Mizan, 2001) hal. 197.
24
1. Kecerdasan Linguistik
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat penting
dalam kehidupan manusia. Tanpa bahasa mustahil seseorang dapat
menyampaikan keinginannya kepada orang lain. Dalam kehidupan anak-
anak, peranan bahasa menjadi sangat vital dalam upaya mencerdaskan
kehidupan anak, bahkan bahasa dipandang sebagai aktivitas sosial
sebagaimana anak-anak menggunakan keterampilan mereka untuk
membangun persahabatan, kompromi, negosiasi, dan menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Bahasa juga memegang peranan penting karena
selalu dihubungan dengan berbagai aspek pengembangan anak dan
pengembangan emosianal bagi yang paling pemula. Seperti yang dilakukan
oleh bayi; tersenyum, bercumbu, dan merespon orang tuanya,
mengembangkan kasih sayang dan ikatan emosional.28
Seperti yang disarankan oleh Gardner (1999) bahwa bahasa adalah
contoh awal yang istimewa dari kecerdasan manusia. Kecerdasan bahasa
mencakup kualitas proses otak kiri dan kanan baik bahasa dalam pengertian
yang linier maupun dalam pengertian holistik yang dibungkus. Kecerdasan
bahasa kemudian muncul menjadi kombinasi dari berbagai sistem yang
berbeda-beda seperti ekspresi gerak isyarat, intonasi, kemampuan kognisi
untuk memberi nama dan mengelompokkan dan uraian kalimat. Dengan
28
Sonawat and Gogri, Multiple Intelligences for Preschool Children (Mumbai: Multi-Tech
Publishing co., 2008) p.20.
25
demikian seorang anak yang memiliki kecerdasan bahasa yang tinggi akan
mampu menceritakan cerita dan adegan lelucon, menulis lebih baik dari rata-
rata anak yang lain yang memiliki usia yang sama, mempunyai memori
tentang nama, tempat, tanggal, dan informasi lain lebih baik dari anak pada
umumnya, senang terhadap permainan kata, menyukai baca buku,
menghargai sajak, dan permainan kata-kata, suka mendengar cerita tanpa
melihat buku, mengkomunikasikan, pikiran, perasaan, dan ide-ide dengan
baik, mendengarkan dan meresponi bunyi-bunyi, irama, warna, berbagai
kata-kata lisan.29
Di samping itu, anak yang memiliki kecerdasan bahasa yang lebih dari
pada anak lainnya suka meniru bunyi-bunyi, bahasa, membaca dan menulis,
belajar dengan mendengar, membaca, menulis dan berdiskusi,
mendengarkan secara efektif, memahami, meringkas, menginterpretasi dan
menjelaskan, dan mengingat apa yang telah dibaca, selalu berusaha untuk
meningkatkan penggunaan bahasa, menciptakan bentuk-bentuk bahasa
yang baru, bekerja dengan menulis atau menyukai komunikasi lisan.30
Mereka juga suka mengajukan banyak pertanyaan, suka bicara, memiliki
29
Carla Lane, Implementing Multiple Intelligences and Learning Styles in Distributed Learning/IMS Projects, 2009, p.3 (http://www.tecweb.org/styles/imslsindl.pdf).
30
Kwok-Cheung Cheung, Reforming Teaching and Learning Using Theory of Multiple
Intelligences: The Macao Experiences (Springer Science: Business Media B.V., 2009) p.
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rahmani Astuti,
Ahmad Najib Burhani, Ahmad Baiquni dengan Kecerdasan Spiritual (2001).
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan yang penting untuk dikaji lebih
lanjut mengingat belum ada kesepakatan untuk dimasukkannya sebagai
salah satu bagian dari kecerdasan jamak. Kecerdasan spiritual itu bersandar
pada hati dan terilhami sehingga jika seseorang memiliki kecerdasan
spiritual, maka segala sesuatu yang dilakukan akan berakhir dengan sesuatu
yang menyenangkan.39 Segala sesuatu harus selalu diolah dan diputuskan
melalui pertimbangan yang dalam yang terbentuk dengan menghadirkan
pertimbangan hati nurani.
Kata spiritual memiliki akar kata spirit. Kata ini berasal dari bahasa
Latin, spiritus, yang berarti napas. Sedangkan, kata spirit diartikan sebagai
energi kehidupan, yang membuat manusia dapat hidup, bernapas dan
bergerak.40 Spiritual berarti pula segala sesuatu di luar fisik, termasuk pikiran,
perasaan, dan karakter.41 Kecerdasan spiritual berarti kemampuan
seseorang untuk dapat mengenal dan memahami diri sepenuhnya sebagai
makhluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta. Kecerdasan
Spiritual melibatkan seperangkat kemampuan untuk memanfaatkan sumber-
39
Zohar dan Marshall, SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, versi terjemahan (Bandung: Mizan, 2001), hal. 3.
sumber spiritual. Istilah spiritualitas merujuk pada kemampuan seseorang
untuk mencari, elemen-elemen pengalaman, kesucian, kebermaknaan,
kesadaran yang tinggi dan transendensi, untuk menghasilkan produk yang
yang bernilai. Jadi, kecerdasan spiritual adalah suatu kecerdasan yang
diarahkan untuk menyelesaikan persoalan makna, dan nilai.42 Artinya suatu
kecerdasan yang menempatkan tindakan dan kehidupan manusia dalam
konteks makna yang lebih luas yakni kemampuan untuk mengakses suatu
jalan kehidupan yang bermakna.
Kecerdasan spiritual mencakup pertama, kesadaran terhadap hakekat
dan eksistensi diri mendorong hadirnya pandangan luas terhadap dunia:
Melihat diri sendiri dan orang lain saling terkait, menyadari tanpa diajari
(intuisi) bahwa bagaimanapun kosmos ini hidup dan bersinar; memiliki
sesuatu yang disebut cahaya subjektif, memiliki pemahaman tentang tujuan
hidupnya, merasakan arah nasibnya, dan melihat berbagai kemungkinan,
seperti cita-cita suci dari hal-hal yang biasa. Kedua, toleran yang merujuk
pada kesadaran terhadap eksistensi diri akan membawa dampak yang
berharga bagi munculnya keinginan untuk mengaku keberadaan yang lain.
Dengan demikian, keberterimaan terhadap keberagaman dapat terealisi
dalam kehidupan bersama. Di sinilah muncul sikap toleransi terhadap
keberadaan yang lain. Ketiga, kebenaran Kebenaran adalah persesuaian
42
Painton, Children’s Spiritual Intelligence in International Handbook of Education for
Spirituality, Care and Wellbeing, International Handbooks of Religion and Education
(Springer Science: Business Media, 2009) p.365.
40
antara pengetahuan dan objeknya. Kebenaran telah dapat memotivasi
seseorang untuk secara tekun mencari dan mengejar hal-hal yang selektif
dan diminati. Keempat, kebermaknaan yang merujuk pada sesuatu yang
dapat bermakna kalau dapat memberi nilai tambah dan memiliki gagasan-
gagasan yang segar dan aneh, rasa humor yang dewasa. Kelima,
penyerahan diri sepenuhnya kepada suatu kekuatan yang dapat mengatur
seluruh alam dan isinya. Keenam, kedamaian, suatu kondisi jiwa yang
merasa tenang, nyaman, dan aman.
Penerapan kecerdasan jamak dalam setting sekolah telah banyak
memberi kontribusi positif dalam upaya mengembangkan pembelajaran yang
berbasis pada kecerdasan siswa. Namun, bukan berarti konsep kecerdasan
jamak telah diterima oleh seluruh kalangan, bahkan banyak ahli dan praktisi
psikologi dan pendidikan memberikan kritik yang terkadang membuat kita
perlu berhati-hati dan mengkaji ulang setiap kecerdasan yang telah diajukan.
Beberapa kritik yang dimaksud dapat dikemukan sebagai berikut:
1. Teori MI hanya mengklain diri sebagai teori yang lebih luas dan
menyoroti teori tentang G masih sangat spesisik. Tetapi keluasan teori
MI tidak didukung oleh riset empiris yang banyak dikembangkan orang
saat ini. 43
43
Andrew D. Carson. Why Has Gardner's Theory of Multiple Intelligences Had So Little Impact on Vocational Psychology? p.1 2010 (http://vocationalpsychology.com/essay_10_gardner.htm).
Untuk memahami konsep kinerja (performance) lebih mendalam,
perlu menjelaskan definisi kinerja, beberapa istilah yang digunakan dalam
hubungannya dengan kinerja, dan indikator penilaian kinerja. Hal ini
dimaksudkan untuk membatasi perluasan makna kinerja yang banyak
dikembangkan oleh berbagai disiplin ilmu. Perbaikan kinerja dalam penelitian
ini hanya berkisar pada persoalan pembelajaran yang berfungsi untuk
menfasilitasi terciptanya kondisi belajar-mengajar yang dapat membangun
mutu pendidikan yang baik.
Istilah Performance Improvement sering diterjemahkan dengan
perbaikan kinerja atau unjuk kerja dalam bahasa Indonesia. Sebelum lebih
jauh membahas berbagai definisi perbaikan kinerja, terlebih dahulu dijelaskan
tentang makna kata performance (kinerja) dan improvement (perbaikan).
Kata performance dapat dipandang dari dua perspektif yang berbeda;
pertama, dilihat dari pengertian yang lebih mengarah pada pertunjukan
panggung dari pada maknanya yang substantif, yakni suatu hasil,
pencapaian yang terukur atau pelaksanaan dari sesuatu yang dialami
termasuk pencapaian hasil pekerjaan. Kedua, dipandang sebagai
pencapaian yang sangat bernilai yang dihasilkan dari aktivitas yang
menghabiskan biaya tinggi. 48
48
Stolovith, Harold D. The Development and Evolution of Human Performance Improvement.
Dalam Dempsey, John V. and Reiser, Robert A. Trends and Issues in Instructional Design
43
Performance juga dimaknai sebagai hasil yang berguna yang hendak
dicapai oleh setiap individu atau organisasi.49 Hal ini mencakup pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang melekat pada individu atau organisasi yang
diperoleh selama melakukan aktivitas belajar.50 Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa performance merujuk pada kemampuan pemelajar untuk
menggunakan dan menerapkan kemampuan yang baru diperoleh.51
Sedangkan kata improvement (perbaikan) atau improving (memperbaiki)
berarti menjadikan sesuatu lebih baik.52
Istilah perbaikan kinerja dalam kajian teknologi pendidikan dapat
dipahami melalui definisi dan terminologi yang diberikan oleh Association for
Educational Communication and Technology (AECT), yakni sebagai studi
dan praktek etis dalam menfasilitasi belajar dan memperbaiki kinerja dengan
menciptakan, menggunakan, dan mengelola proses dan sumber teknologi
yang sesuai.53 Frase improving performance (memperbaiki kinerja) dalam
definisi tersebut tidak menyiratkan bahwa teknologi pendidikan meliputi
and Technology, Second Edition (New Jersey: Pearson Merrill Prentice Hall, 2007) hh.
134—146. 49
Watkins, Ryan. Performance by Design: The Systematic Selection, Design, and
Development of Performance Technologies that Produce Useful Results (Massachusetts: HRD Press, Inc., 2007) hal. 2.
50 Dick, Walter., Carey, Lou., and Carey, James O., The Systematic Design of Instruction,
Sixth Edition (New York: Pearson, 2005) hal. 125. 51
Januszewski, Alan & Molenda, Michael, Educational Technology: A Definition with
Commentary (New York:Taylor & Prancis Group, 2008) hal.7. 52
Stolovith, Harold D., loc.cit. 53
Januszewski, Alan & Molenda, Michael, Educational Technology: A Definition with
Commentary (New York:Taylor & Prancis Group, 2008) hal.1.
44
seluruh bentuk perbaikan kinerja sebagaimana dalam kajian Human
Performance Technology (HPT) dan teori manajemen busines yang meliputi
aspek yang lebih luas. Perbaikan kinerja dalam teknologi pendidikan hanya
berkisar pada pemelajar individu, guru dan perancang pembelajaran, serta
organisasi yang melibatkan adanya intervensi pendidikan.54 Memang,
memperbaiki kinerja adalah suatu cita-cita yang pantas bagi individu-individu
dan organisasi, tetapi jalan yang ditempuh dari cita-cita menuju pencapaian
hasil yang berguna menjadi suatu hal yang sulit untuk diwujudkan. Dengan
demikian, secara umum yang dimaksud dengan kinerja adalah hasil yang
berguna yang dicapai oleh setiap individu atau organisasi. Sedangkan dalam
pengertian yang lebih khusus, kinerja adalah hasil, prestasi, atau kontribusi
yang berguna dari setiap individu, regu, atau organisasi, tanpa memandang
proses-proses yang disukai atau yang diamanahkan.55 Jadi, perbaikan kinerja
lebih fokus pada hasil yang harus dicapai dari pada intervensi yang dapat
mengarahkan pencapaian hasil tersebut.
Menyangkut pembatasan kinerja yang hanya berkisar pada aspek
pemelajar, guru, perancang pembelajaran, dan organisasi yang berhubungan
langsung dengan aktivitas pembelajaran, di satu sisi merupakan konsekuensi
54
Molenda, Michael and Pershing, James A. Improving Performance. Dalam Januszewski, Alan &
Molenda, Michael, Educational Technology: A Definition with Commentary (New
York:Taylor & Prancis Group, 2008) hh. 49—80. 55
Watkins, Ryan. Performance by Design: The Systematic Selection, Design, and Development of Performance Technologies that Produce Useful Results (Massachusetts: HRD Press, Inc., 2007) h. 2.
45
logis terhadap penajaman ilmu pengetahuan untuk bisa profesional dalam
suatu bidang keahlian tertentu. Namun, di sisi lain, pembatasan itu telah
berusaha untuk menanamkan sekat-sekat profesi dan keahlian dalam suatu
kajian yang sempit dan parsial. Akibatnya, penguasaan disiplin ilmu pun
hanya terbatas pada bidang kajian saja. Oleh karena itu, perlu dilakukan
pengembangan ilmu melalui inter, multi, dan transdisiplineritas karena untuk
mencari kebenaran ilmiah terutama yang bermanfaat dalam aplikasinya akan
terjadi kesenjangan dalam upaya menerobos terapi yang paling handal dalam
bidang kajian apabila hanya didasarkan pada satu disiplin saja.56 Kinerja
harus dikaji dan dipahami dari berbagai perspektif sehingga pemahaman
mendalam tentang konsep kinerja tersebut dapat digunakan dalam bidang-
bidang bahasa, manajemen, teknologi pendidikan, begitu pula bidang
pengembangan sumber daya manusia atau bidang-bidang lain.
1. Kinerja, Kompetensi, dan Kompeten
Untuk mempertajam pembahasan mengenai kinerja di sini, perlu dikaji
lebih jauh tentang konsep performance (kinerja), competence (kompeten),
dan competency (kompetensi). Dalam ilmu bahasa, istilah performance
sering digunakan secara berdampingan dengan competence. Kedua kata ini
mempunyai tujuan yang sedikit berbeda satu sama lain. Competence
56
Semiawan, Conny., Setiawan, dan Yufiarti, Panorama Filsafat Ilmu: Landasan
Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman (Bandung: Mizan Media Utama, 2005), hal. 126.
46
dipahami sebagai pengetahuan yang diperoleh untuk dapat menulis dan
berbicara dalam suatu bahasa. Sedangkan, performance kenyataan bahasa
yang dihasilkan atau digunakan seseorang dalam setiap berkomunikasi.
Artinya performance boleh jadi merupakan refleksi dari competence, tetapi
juga termasuk kesalahan bicara (speech errors) yang disebabkan oleh
keseleo lidah (slips of the tongue) atau mungkin juga disebabkan oleh faktor
eksternal seperti persoalan memori dan semacamnya.57 Dengan kata lain
bahwa competence terjadi pada tataran pengetahuan, sedangkan
performance adalah hasil dari proses psikologis yang menggunakan
pengetahuan dalam memproduksi dan menginterpretasi bahasa.58
Pandangan ini ditinjau dari perspektif bahasa dalam hubungannya dengan
aspek-aspek psikologi yang menganalisis kemampuan berbahasa baik
secara tertulis maupun secara lisan.
Berdasarkan definisi operasional sebagai mana diberikan di atas,
perbedaan antara competence dan performance sudah sangat jelas, di mana
competence terjadi pada tataran pengetahuan yang diperoleh dalam proses
pembelajaran, sedangkan performance adalah hasil dari perwujudan
pengetahuan yang didemontrasikan melalui unjuk kerja. Namun demikian,
57
Chomsky, Noam, Aspects of the Theory of Syntax. (Massachusetts: MIT Press, 1965), hal. 201.
58 Scha, Remko. Language Theory and Language technology: Competence and Performance (Diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dari artikel asli dalam bahasa Belanda "Taaltheorie en taaltechnologie; competence en performance",in: R. de Kort and G.L.J. Leerdam (eds.): Computertoepassingen in de Neerlandistiek. Almere: LVVN, 1990, pp. 7-22).
47
perbedaan konsep competency dan performance masih menyisahkan
sejumlah tanda tanya yang berunjung pada suatu kesimpulan keliru bahwa
kedua istilah ini memiliki hakekat yang sama. Jika performance dimaknai
sebagai hasil yang berguna yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan
sikap yang melekat pada individu atau organisasi yang diperoleh selama
melakukan aktivitas belajar dan competency merupakan kombinasi dari
keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan, yang diperlukan untuk
melakukan tugas khusus sesuai dengan gambaran tugas yang diberikan,
maka pertanyaan kemudian adalah di mana letak persinggungan di antara
keduanya? Jika kedua konsep ini berbeda, yang mana yang lebih penting
untuk dijadikan acuan dalam pembelajaran? Apakah yang satu lebih penting
dari yang lain, atau keduanya merupakan indikator keberhasilan yang harus
diformulasikan ke dalam setiap tujuan pembelajaran?
Sejumlah pertanyaan ini muncul diinspirasi oleh suatu kenyataan
objektif di lapangan bahwa lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
pada tahun 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada
tahun 2006 telah menempatkan aspek kompetensi sebagai dasar dan
standar keberhasilan peserta didik. Bahkan dalam peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
48
(SNP), bahwa: Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan
lulusan yang mencakup, sikap, pengetahuan, dan keterampilan.59
2. Indikator Perbaikan Kinerja Guru
Perbaikan kinerja guru dapat dianalisis melalui beberapa kriteria,
antara lain: (1) rencana pembelajaran (teaching plans and materials) atau
disebut dengann RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran), (2) prosedur
pembelajaran (classroom procedure), dan (3) hubungan antar pribadi
(interpersonal skill).60 Penilaian terhadap kinerja guru juga dapat diukur
melalui delapan indikator, seperti: (1) pengelolaan waktu pembelajaran, (2)
komunikasi dalam lingkungan pendidikan, (8) melakukan tugas-tugas non-
instruksional.61 Indikator penilaian perbaikan kinerja guru boleh jadi berbeda
antara satu sekolah dengan sekolah yang lain tergantung dari konteks,
lingkungan, dan karakteristik guru dan siswa yang diukur. Keberagaman ini
59
Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), hal. 90.
60 Direktorat Tenaga Kependidikan. Penilaian Kinerja Guru (Jakarta: Direktoral Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional, 2008), Hal. 22.